Rabu, 25 November 2020

Hukum Faroidh (Pembagian Harta Warisan)


Islam menganjurkan, supaya pemeluk-pemeluknya mempelajari segala macam ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi. Dari sekian banyak ilmu, yang tidak kurang pentingnya untuk dipelajari adalah ilmu faraidh (pembagian harta warisan). Rasulullah bersabda :‎

تَعَلَّمُوْاالْفَرَائِضَ وَعَلِمُوْهَا النَّاسَ فَإِنِّى امْرُؤٌمَقْبُوْضٌ وَاِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُالْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اِثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِى بَيْنَهُمَا ( رواه الحاكم )

“Pelajarilah ilmu faraidh (pembagian harta warisan) dan ajarkan kepada manusia. Sesungguhnya aku seorang manusia yang bakal dicabutnya waktu dan ilmu itupun akan turut tercabut pula.Bakal lahirlah nanti fitnah-fitnah, sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang mengenai warisan, maka tidak didapatinya orang yang akan memberikan putusan (mengenai perselisihan yang terjadi) di antara keduanya” (H.R. Hakim ) 

Adapun tujuan utama mempelajari faraidh adalah, agar kita dapat mengetahui dengan sebenar-benarnya tentang pembagian warisan yang berhak, sehingga tidak sampai terjadi seseorang mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak halal. Sebab, apabila seseorang telah meninggal dunia, maka harta peninggalannya telah terlepas dari pada hak miliknya dan berpindah menjadi milik orang lain yaitu orang yang menjadi ahli warisnya.
Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagikan, statusnya masih tetap menjadi hak milik bersama dari ahli waris. Kadang-kadang di antara ahli waris itu, terdapat anak-anak yatim. Jadi dengan adanya pembagian harta warisan menurut ketentuan Agama Islam, selamatlah orang dari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yaitu mengambil dan memakan hak dan milik orang lain dan anak-anak yatim dengan jalan yang tidak halal.

Di samping itu, kita tentu telah mendengar ataupun melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa perselisihan sering terjadi di antara orang bersaudara, disebabkan pembagian harta warisan. Bahkan perselisihan tersebut, ada yang membawa kepada permusuhan bahkan pembunuhan. Perselisihan dan permusuhan bahkan dapat diatasi, apabila ada pengetahuan mengenai pembagian harta warisanitu dan adanya kesadaran untuk menjalankan ajaran-ajaran agama Islam.

Pembicaraan dalam kitab faraidh berkenaan dengan orang yang mewarisi atau tidak. Kemudian jika orang itu mewarisi, apakah selamanya mewarisi atau ia mewarisi bersama ahli waris lain. Jika ia mewarisi sendiri atau bersama ahli waris lain berapa besarnya harta yang diterima.

Metode yang akan dikemukakan di sini adalah dengan menyebutkan kedudukan tiap-tiap kelompok ahli waris dikala sendiri ataupun dikala berhimpun dengan kelompok  lain. Sebagai contoh adalah tinjauan tentang anak jika ia sendirian, berapakah bagian warisannya? Kemudian jika ditinjau kedudukannya jika bersama kelompok pewaris lain.
Tujuan ilmu mawaris yaitu agar kaum muslimin bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat Islam bidang pembagian harta warisan, supaya dapat memberikan solusi terhadap pembagian harta warisan yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, agar terhindar dari pembagian yang salah (menurut kepentingan pribadi) bagi umat Islam, segala persoalan hidup manusia baik yang berhubungan dengan Allah حَبْلٌ مِنَ اللهِ dan yang terkait dengan manusia lainnyaحَبْلٌ مِنَ النَّاسِ  adalah diatur di dalam syariat Islam.

Di samping hal-hal tersebut di atas, tujuan ilmu mawaris adalah untuk menyelamatkan harta benda si mayit agar terhindar dari pengambilan harta orang-orang yang berhak menerimanya dan jangan ada orang-orang makan harta hak milik orang lain, dan hak milik anak yatim dengan jalan yang tidak halal. 
Kedudukan Ilmu Mawaris

Ilmu mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu mawaris harta peninggala seseorang dapat disalurkan kepada yang berhak, sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka tidak ada pihak-pihakyang merasa dirugikan. Karena pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam pandangan Allah dan manusia.

Ilmu mawaris ini benar-benar harus dipahami, agar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kedudukan ilmu mawaris itu dimana-mana sudah hamper hilang, orang-orang yang mempunyai ilmu ilmu ini hampir sudah tidak ada dan pembagian harta waris yang diatur menurut syari’at Islam itu sudah tidak banyak dilaksanakan oleh umat Islam sendiri. Kalau ada orang yang mati meninggalkan harta pusaka, tidak segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga akhirnya harta itu habis tidak dibagi.‎

Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu sudah mensinyalir keadaan yang demikian, sehingga beliau sangat menekankan kaum muslimin untuk mempelajari ilmu faraidh, karena ilmu ini lama-lama akan lenyap, yakni orang-orang menjadi malas untuk melaksanakan pembagian harta pusaka menurut semestinya, yang diatur oleh hokum Islam.

Nabi Muhammad SAW menganggap pentingnya ilmu faraidh ini dan mengkhawatirkan kalau ilmu faraidh ini akan terlupakan.‎

Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرٓيْرٓةٓ قٓالٓ قٓالٓ رٓسُوْلُ اللّٰه صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَّإنَّهُ نِفْصُ الْعِلمِ وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتتِيْ   (رواه ابن ماجه والداررقطى)

Artinya:
“Dari Abu Hurairah berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hai Abu Hurairah, pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, karena masalah ini adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan, serta ilmu itu yang pertama-tama akan dicabut dari umatku’.” (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)

Dengan demikian, ilmu ini dinamakan ilmu mawaris karena mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris menurut hukum Islam. Disebut ilmu faraidh karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap masing-masing ahli waris. Sebagaimana definisi faraidh di bawah ini :

وَاَمَّافِى الشَّرْعِ فَالْفَرْضُ نَسِيْبٌ مُقَدَّرٌشَرْعًالِمُسْتَحِقِّهِ

“Adapun ilmu faraidh menurut syara’ adalah bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi yang berhak ( ahli waris ).
Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
 ‎
Ingatlah ;‎
Hukumnya fardhu kifayah‎
‎‎
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah. Artinya kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang menjalani  kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa. Ini sejalan dengan perintah Rasulullah SAW agar umatnya mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sebagaimana mempelajari dan mengajarkan Al Qur’an :

تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوْا الْفَرَئِضَ وَعَلِّمُوْهَا النَّاسَ فَاِنِّى امْرُوءٌ مَقْبُوْضٌ وَالْعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوْشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ اَحَدًا يُخْبِرْهُمَا (اخرده احمد والنسائ والدرقطتى)

“Pelajarilah oleh kalian al Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka” (Riwayat Ahmad, Al Nasai, dan Al Daruqutni)”.
Oleh karena itu, dilihat dari satu sisi, mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dapat berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang  dipandang sebagai pimpinan, terutama pemimpin keagamaan.‎

Mempelajari ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Kita umat Islam wajib mengetahui ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dalam pembagian harta warisan.

Nabi bersabda ‎

أَقْسَمُوا الْمَالَ بَيْنَ اَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللهِ (رواه مسلم و ابو داوود)

 “Bagilah harta warisan antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah ( Al Qur’an)”.‎

Karena pentingnya ilmu faraidh dalam masyarakat sehingga Nabi menyebutnya dengan separuh ilmu, sebagaimana sabda beliau :

تَعَلَّمُوا الْفَرَيِضَ وَعَلَّمُوْهَا فَاِنَّهَا نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ اَوَّلُ شَيِئٍ  يُرْفَعُ مِنْ اُمَّتِى (رواه ابن ماجة والدرقطنى)

 “Belajarlah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia maka sesungguhnya (ilmu) faraidh adalah separoh ilmu agama dan ia akan dilupakan (oleh manusia) dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari ummatku (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)‎

Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus dilaksanakan beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu. Hak-hak yang harus diselesaikan dan harus dibayar adalah :

1)      Zakat; apabila telah sampai saatnyauntuk mengeluarkan zakatnya, maka dikeluarkan untuk itu terlebih dahulu.

2)      Belanja; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan dan pengurusan jenazah, seperti halnya untuk membeli kain kafan, upah penggali kuburan dan lain sebagainya.

3)      Hutang; jika mayat itu meninggalkan hutang, maka hutangnya mesti dibayar terlebih dahulu.

4)      Wasiat; jika mayat meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagaian dari harta peninggalannya diberikan kepada seseorang, maka wasiat inipun harus dilaksanakan.‎

Apabila keempat macam hak tersebut di atas ( zakat, biaya penguburan, hutang dan wasiat ), sudah diselesaikan semua, maka harta warisan yang selebihnya dapat dibagi-bagikan kepada ahli yang berhak menerimanya.‎

DEFINISI DAN PENGERTIAN WARISAN (FARAID)

Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts (الإرث) atau al-mirats (الميراث) secara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit). 

Secara etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu (a) tetap dan (b) berpindahnya sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-materi. 

Sedang menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta seorang (yang mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah ditentukan oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.

I. DALIL DASAR HUKUM WARIS

Hukum waris dalam Islam berdasarkan pada nash (teks) dalam Al-Quran sebagai berikut: 

- QS An-Nisa' 4:11-12

"يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَييْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ 

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (ayat 11). 

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sdsudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (ayat 12) 

- QS An-Nisa' 4:176

يَسْتَفْتُونَكَ قُلْ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنْ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu(tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah(yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

KEWAJIBAN AHLI WARIS KEPADA PEWARIS 

Sebelum harta dibagi, ahli waris punya kewajiban terdadap pewaris yang wafat sbb:

a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;"
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

*Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. 

SYARAT WARISAN ISLAM

Syarat waris Islam ada 3 (tiga) yaitu:

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing. 

RUKUN WARIS ISLAM
Rukun waris ada 3 (tiga) yaitu:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris.
3. Harta warisan.

NAMA AHLI WARIS DAN BAGIANNYA

Dari seluruh ahli waris yang tersebut di bawah ini, yang paling penting dan selalu mendapat bagian warisan ada 5 yaitu anak kandung (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu, istri, suami.
Artinya apabila semua ahli waris di bawah berkumpul, maka yang mendapat warisan hanya kelima ahli waris di atas.

Sedangkan ahli waris yang lain dapat terhalang haknya (hijab/mahjub) karena bertemu dengan ahli waris yang lebih tinggi seperti cucu bertemu dengan anak. 

Daftar nama ahli waris dan rincian bagian harta warisan yang diperoleh dalam berbagai kondisi yang berbeda.

BAGIAN WARIS ANAK LAKI-LAKI

Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah dibagikan pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-laki selalu mendapat bagian terbanyak karena keberadaannya dapat mengurangi bagian atau menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman) hak dari ahli waris yang lain. 

Dalam ilmu faraidh, anak laki-laki disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan diri sendiri) 

BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN 

- Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila (a) sendirian (anak tunggal) dan (b) tidak ada anak laki-laki. 
- Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu dan (b) tidak ada anak laki-laki. 
- Anak perempuan mendapat bagian asabah (sisa) apabila ada anak laki-laki. Dalam keadaan ini maka anak perempuan mendapat setengah atau separuh dari bagian anak laki-laki. (QS An-Nisa' 4:11)

BAGIAN WARIS AYAH

- Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. 
- Ayah Mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila ada keturunan pewaris yang laki-laki seperti anak atau cucu laki-laki dan kebawah.
- Ayah mendapat bagian asabah dan bagian pasti sekaligus apabila ada keturunan pewaris yang perempuan saja yaitu anak perempuan atau cucu perempuan dan kebawah. Maka, ayah mendapat 1/6 (seperenam) dan asabah.
- Ayah mendapat bagian waris asobah atau siswa apabila pewaris tidak memiliki keturunan baik anak atau cucu ke bawah.

*Yang terhalang (mahjub) karena ayah adalah saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu. Semua tidak mendapat warisan karena adanya Ayah atau Kakek.

BAGIAN WARIS IBU 

- Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) warisan dengan syarat (a) tidak ada keturunan pewaris yaitu anak, cucu, dst; (b) tidak berkumpulnya beberapa saudara laki-laki dan saudara perempuan; (c) tidak adanya salah satu dari dua masalah umroh.

- Ibu mendapat 1/6 (seperenam) apabila (a) pewaris punya keturunan yaitu anak, cucu, kebawah; (b) atau adanya dua saudara laki-laki dan perempaun atau lebih. 

- Ibu mendapat 1/3 (seperti) sisanya dalammasalah umaritain (umar dua) yaitu:
-- Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu), ibu 1/3 sisa (satu), yang lain untuk bapak (dua).
-- Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa 1/3 (satu), sisanya untuk bapak (dua).

*Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi bagian bapak karena keduanya sederajat dari awal dan supaya laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan. (QS An-Nisa' 4:11)

BAGIAN WARIS SUAMI (DUDA) 

- Suami atau duda yang ditinggal mati istri mendapat 1/2 (setengah) apabila istri tidak punya keturunan yang mewarisi yaitu anak laki-laki dan perempuan, cucu lak-laki dan kebawah, sedang cucu perempuan tidak menerima warisan.

- Suami mendapat 1/4 apabila ada keturunan yang mewarisi, baik mereka berasal dari hubungan dengan suami yang sekarang atau suami yang lain.

BAGIAN WARIS ISTRI (JANDA) 

- Istri atau janda yang ditinggal mati suami mendapat 1/4 (seperempat) bagian apabila tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan perempuan, cucu laki-laki dan kebawah. 
- Istri mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian apabila suami punya keturunan yang mewarisi baik dari istri sekarang atau istri yang lain. 
- Istri yang lebih dari satu harus berbagi dari bagian 1/4 atau 1/8 tersebut. (QS An-Nisa' 4:12)

BAGIAN WARIS KAKEK

- Kakek mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) adanya keturunan yang mewarisi; (b) tidak ada bapak.

- Kakek mendapat bagian asabah (siswa) apabila (a) mayit atau pewaris tidak punya keturunan yang mewarisi (anak kandung laki perempuan; cucu laki dan kebawah); (b) tidak ada bapak.

- Kakek mendapat bagian pasti dan asabah sekaligus apabila (a) ada keturunan yang mewarisi yang perempuan yaitu anak perempuan dan cucu perempuan anak laki (bintul ibni).

- Apabila ada bapak, maka kakek tidak mendapat apa-apa.

* Kakek yang mendapat warisan adalah yang tidak ada hubungan perempuan antara dia dan mayit seperti bapaknya bapak. Bagiannya seperti bagian warisnya bapak kecuali dalam masalah umariyataindalam kasus terakhir maka ibu bersama kakek mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta sedangkan apabila bersama ayah mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikannya bagian suami/istri.

BAGIAN WARIS NENEK 

- Nenek satu atau lebih mendapat 1/6 (seperenam) dengan syarat tidak ada ibu.

* Nenek terhalang (mahjub) alias tidak mendapat apa-apa apabila ada ibu.
* Nenek yang mendapat warisan adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya kakek dan keatas dari perempuan, dua dari arah ayah dan satu dari arah ibu.

BAGIAN WARIS CUCU LAKI-LAKI 

Cucu laki-laki dari anak laki-laki mendapat bagian warisan dengan syarat dan ketentuan berikut:

- Bagian yang didapat adalah sisa tirkah (peninggalan) setelah dibagi dengan ahli waris lain yang mendapat bagian pasti (ashabul furudh)
- Tidak ada anak dari mayit yang masih hidup. Kalau ada anak pewaris yang masih hidup, maka cucu tidak mendapat hak waris karena terhalang (mahjub) oleh anak.

BAGIAN WARIS CUCU PEREMPUAN ANAK LAKI (BANATUL IBNI) 

- Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) satu atau lebih mendapat bagian asabah apabila berkumpul bersama saudaranya yang sederajat yaitu cucu laki-laki dari anak laki (ibnul ibni)
- Bintul ibni mendapat 1/2 (setengah) apabila (a) tidak ada saudara laki-laki sederajat; (b) sendirian atau tidak ada bintul ibni yang lain; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan anak perempuan.
- Cucu perempuan dua atau lebih mendapat 2/3 (dua pertiga) dengan syarat (a) ada dua cucu perempuan dari anak laki atau lebih; (b) tidak ada ahli waris asabah (ibnul ibni - cucu laki dari anak laki) yaitu saudara laki-lakinya; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak laki dan anak perempuan.
- Cucu perempuan dari anak laki satu atau lebih mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila (a) tidak ada ahli waris asabah atau cucu laki-laki; (b) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak kecuali anak perempuan (binti) yang mendapat 1/2.

* Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) mendapat 1/6 apabila bersama anak perempuan yang mendapat 1/2 (separuh). Begitu juga, hukumnya cicit perempuan (bintu ibni ibni) bersama cucu perempuan (bintul ibni), dan seterusnya ke bawah.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI KANDUNG 

- Saudara laki-laki kandung mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat apabila (a) tidak ada anak laki-laki; (b) tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki; (c) tidak ada bapak; (d) tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat). Apabila ada para ahli waris ini, maka ia tidak mendapat warisan sama sekali karena terhalang (mahjub).

BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

- Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 (setengah) dengan syarat (a) sendirian alias tidak ada saudara perempuan kandung yang lain; (b) tidak ada saudara kandung laki-laki; (c) tidak ada bapak atau kakek; (d) tidak ada anak, atau cucu.

- Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu; (b) tidak ada anak / cucu; (b) tidak ada bapak atau kakek; (c) tidak ada saudara kandung.

- Mendapat bagian asabah (sisa) apabila (a) bersamaan dengan saudara kandung laki-laki; (b) bersamaan dengan anak perempuan. Lihat, QS An-Nisa' 4:176

- Tidak mendapat bagian (mahjub) apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI SEBAPAK 

- Saudara laki-laki sebapak mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat apabila (a) tidak ada saudara laki-laki kandung; (b) tidak ada anak laki-laki; (c) tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki; (d) tidak ada bapak; (e) tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat). 

BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN SE-BAPAK (SE-AYAH) - UKHTI LI ABI 

- Saudara perempuan se-bapak/se-ayah atau ukhti li abi mendapat bagian 1/2 (setengah) dengan syarat (a) sendirian alias tidak bersamaan dengan ukhti li abi yang lain; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya; (c) tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi; (d) tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu); (e) tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.

- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) mendapat bagian 2/3 (dua pertiga) dengan syarat (a) bersamaan dengan ukhti li abi yang lain; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya; (c) tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi; (d) tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu); (e) tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.

- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) bersamaan dengan saudara perempuan kandung (ukhti syaqiqah) satu yang mendapat bagian pasti; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara lakinya; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi (anak, cucu); (d) tidak ada orang tua (aslul waris) yang mewarisi dari pihak laki seperti ayah, kakek, dst; (e) tidak ada saudara kandung satu atau lebih.

- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian asabah dengan syarat (a) apabila bersama dengan ahli waris asabah yaitu saudara lakinya, maka yang laki mendapat dua kali lipat; (b) bersamaan dengan keturunan yang mewarisi dari pihak perempuan seperti anak perempuan.

*Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek, saudara kandung, maka Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) tidak mendapat bagian waris apapun. 

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SE-IBU - AKHI/UKHTI LI UMMI 

- Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst; (b) tidak ada orang tua laki-laki yaitu bapak, kakek, dst; (c) sendirian.

- Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian 1/3 dengan syarat (a) dua atau lebih; (b) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst; (c) tidak ada orang tua yang mewarisi dari pihak laki yaitu bapak, kakek, dst. (QS An-Nisa' 4:12).

AHLI WARIS DAN BAGIAN WARISAN

Dalam ilmu faraidh (faroidh) ada 2 istilah yang paling dikenal yaitu al-furudh al-muqaddarah (bagian yang ditentukan) dan asabah atau bagian yang tidak ditentukan.

A. Al-Fardhu al-Muqaddarah (Bagian yang ditentukan). 
Yaitu jumlah atau porsi bagian warisan yang ditentukan oleh syariah yaitu 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3 (sepertiga), 1/6 (seperenam).

B. Ashabah (At-Tanshib) 
Yaitu orang yang mendapatkan harta warisan yang belum ditetapkan atau ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu.

AHLI WARIS ADA 3 (TIGA) MACAM
Ahli waris ada 3 macam yaitu ashabul furudh yang memiliki bagian yang sudah ditentukan seperti 1/2, 1/3, 2/3, dst, ahli waris ashabh yang tidak memiliki bagian yang ditentukan dan ahli waris gabungan keduanya sesuai dengan kondisi dan situasi ada atau tidak adanya ahli waris yang lain.

AHLI WARIS ASHABUL FURUDH

(i) Ashabul Furudh/Dzawil Furudh saja yaitu Ahli waris dengan bagian tertentu yaitu ibu, saudara laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek dari ibu atau bapak, suami, istri.

AHLI WARIS ASHABAH

(ii) Ahli waris asabah saja artinya ahli waris yang menerima bagian sisa yaitu anak laki, cucu ke bawah, saudara laki kandung, saudara sebapak, anak saudara laki kandung, anak saudara laki sebapak ke bawah, paman kandung dari ayah (العم الشقيق), paman kandung dari ayah sebapak ( العم لأب) dan ke atas, anak laki paman kandung dari ayah (إبن العم الشقيق), anak laki paman dari ayah sebapak ( إبن العم لأب) dan ke bawah.

AHLI WARIS GABUNGAN FURUDH DAN ASHABAH

(iii) Ahli waris dengan bagian tertentu dan ashabah sekaligus atau salahsatunya yaitu bapak, kakek, (b) ahli waris ashabul furudh atau ashabah yaitu anak perepuan satu atau lebih, cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن) satu atau lebih, saudara perempuan satu atau lebih, saudara perempuan sebapak satu atau lebih.

AHLI WARIS ASHABUL/DZAWIL FURUDH DAN BAGIANNYA

Ahli waris dzawil furudh/ashabul furudh dan bagian-bagian yang telah ditentukan untuk mereka adalah sbb:

A. Bagian 1/2 (setengah) 
Ahli waris yang mendapat bagian 1/2 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Suami apabila istri tidak punya anak.
(ii) Anak perempuan apabila sendirian (anak tunggal) dan tidak ada anak laki-laki (alias saudara kandung).
(iii) Cucu perempuan dari anak laki ( بنت إبن) apabila sendirian serta tidak adanya anak perempuan atau ahli waris anak laki-laki.
(iv) Saudara perempuan kandung dalam situasi kalalah[1] dan sendirian serta tidak ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن).
(v) Saudara perempaun sebapak dalam situasi kalalah dan sendirian serta tidak adanya anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن), dan saudara perempuan kandung.

B. Bagian 1/4 (seperempat) 
Ahli waris yang mendapat bagian 1/4 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Suami apabila ada ahli waris anak laki-laki dari istri.
(ii) Istri apabila tidak ada anak laki-laki.

C. Bagian 1/8 (Seperdelapan)
Yaitu istri apabila ada ahli waris anak laki-laki.

D. Bagian 2/3 (Dua Pertiga)

Yang mendapat bagian 2/3 adalah ahli waris yang mendapat bagian 1/2 (setengah) apabila berkumpul lebih dari satu yaitu
(i) Dua anak perempuan atau lebih.
(ii) Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih.
(iii) Dua saudara perempuan kandung atau lebih
(iv) Dua saudara perempaun sebapak atau lebih.

E. Bagian 1/3 (Sepertiga)

Ahli waris yang mendapat bagian 1/3 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Ibu apabila tidak ada anak laki-laki dan saudara laki tidak lebih dari satu.
(ii) Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan yang seibu
apabla tidak ada anak laki dan tidak ada bapak/kakek dari pihak laki-laki.

F. Bagian 1/6 (Seperenam)

Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Bapak apabila ada anak laki-laki.
(ii) Kakek apabila ada anak laki-laki dan tidak ada ayah.
(iii) Ibu apabila ada anak laki-laki atau saudara laki yang lebih dari satu.
(iv) Nenek sebapak atau seibu apabila tidak ada ibu.
(v) Saudara laki atau saudara perempuan seibu apabila tidak ada salah satunya serta tidak adanya anak atau bapak/kakek dari pihak laki-laki.
(vi) Cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن) apabila bersamaan dengan anak perempuan yang mendapatkan bagian 1/2 serta tidak adanya cucu laki-laki dari anak laki (ابن الإبن).
(vii) Saudara perempuan sebapak apabila bersamaan dengan saudara perempuan kandung yang mendapat bagian 1/2 serta tidak adanya saudara laki sebapak.

AL-MAHJUB PENGHALANG AHLI WARIS MENDAPAT WARISAN 

Sebagian ahli waris terhalang haknya untuk mendapat warisan karena keberadaan ahli waris yang lain yang lebih tinggi kedudukannya. Mereka adalah sbb:

AHLI WARIS LAKI-LAKI

1. Cucu dari anak laki tidak mendapat warisan apabila ada anak laki-laki. 
2. Kakek tidak mendapat warisan apabila ada Bapak; kakek yang lebih dekat.
3. Saudara sekandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek (menurut beberapa pendapat).
4. Saudara laki-laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek (menurut beberapa pendapat); saudara laki-laki kandung; saudara perempuan kandung jika menjadi ashabah dengan anak perempuan.
5. Saudara laki-laki seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki atau perempuan; cucu laki atau perempuan dari anak laki-laki; bapak; kakek.
6. Anak saudara laki-laki kandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek; saudara laki kandung; saudara laki seayah, dan saudara perempuan kandung atau seayah jika menjadi ashabah.
7. Anak saudara laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 6, ditambah anak saudara sekandung.
8. Paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 7, ditambah anak saudara seayah.
9. Paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 8, ditambah paman kandung.
10. Anak paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah paman seayah.
11. Anak paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah anak paman kandung.
12. Pemilik yang membebaskan budak tidak mendapat warisan apabila ada Semua ashabah nasabiyah.

AHLI WARIS PEREMPUAN 

1. Cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; dua anak perempuan.
2. Nenek tidak mendapat warisan apabila ada ibu.
3. Saudara perempuan kandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek.
4. Saudara perempuan seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dan anak laki-laki; bapak; kakek; saudara laki kandung; saudara perempuan kandung jika menjadi ashabah dengan anak perempuan; dua saudara perempuan kandung, apabila saudara perempuan seayah tidak memiliki saudara laki.
5. Saudara perempuan seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki atau perempuan; cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki; bapak; kakek.
6. Mu’tiqah (perempuan pembebas budak) tidak mendapat warisan apabila ada semua ashabah nasabiyah.

PENGGUGUR HAK WARIS
Ada 5 (lima) faktor yang menyebabkan ahli waris tidak dapat mendapatkan warisan yaitu

1. Pembunuhan. Ahli waris membunuh yang mewarisi.
2. Beda agama.
3. Budak.
4. Ahli waris meninggal terlebih dahulu dari pewaris.
5. Mah}jub, yaitu hilangnya (terhijabnya) hak waris seseorang karena adanya ahli waris yang lebih kuat kedudukannya. Misal, cucu laki-laki tidak mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.

PERBEDAAN MAHJUB DAN MAHRUM

Persamaan kedua istilah tersebut adalah keduanya sama-sama bermakna terhalangnya ahli waris untuk mendapatkan warisan.

Perbedaaannya adalah kalau mahjub ahli waris tidak mendapat warisan karena adanya ahli waris yang lebih tinggi posisinya. Seperti cucu tidak mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.

Sedangkan mahrum ahli waris tidak jadi mendapat warisan karena ahli waris memiliki kecacatan hukum yang menyebabkan hilangnya haknya untuk mendapat warisan. Seperti membunuh pewaris, beda agama, dll.

DZAWIL ARHAM (KERABAT NON AHLI WARIS)

Dawil Arham (ذوو الأرحام) dalam istilah ahli fiqih adalah kalangan kerabat yang bukanAhli Waris Ashabul Furudh atau Ahli Waris Asabah ; baik laki-laki atau perempuan. Seperti, cucu laki-laki dari anak perempuan (waladul binti); cicit laki-laki dari anak perempuannya anak laki-laki (waladu bintil ibni), kakek dari ibu, anak saudara lelaki seibu (waladul akhi lil-ummi) dan anak saudara perempuan secara mutlak (waladul akhawat), anak perempuannya saudara lelaki (bintul akhi), paman seibu (al-amm li umm).

Detailnya ada 11 golongan Dzawil Arham yaitu:

1. Cucu dari anak perempuan (waladul banat) dan cicit dari anak perempuan (walad banat al-ibni) dan ke bawah.
2. Anak saudara perempuan (walad al-akhowat) baik kandung atau seibu.
3. Anak perempuan saudara laki-laki (banatul ikhwah) baik kandung atau sebapak.
4. Anak perempuan dari paman (banatul a'mam) kandung atau sebapak.
5. Anak saudara lelaki seibu (awlad al-ikhwah min al-umm) baik laki-laki atau perempuan.
6. Paman saudara ayah dari ibu (al-amm min al-umm) baik pamannya mayit atau paman bapaknya mayit atau paman kakeknya mayit.
7. Bibi saudara ayah (al-ammat) baik kandung atau sebapak atau seibu. Sama saja bibinya mayit, bibi bapaknya mayit, bibi kakek mayit ke atas.
8. Paman (akhwal) dan bibi (kholat) yakni saudara lelaki dan saudara perempuan ibu baik kandung atau sebapak atau seibu. Begitu juga paman dan bibi bapaknya mayit, paman dan bibi ibunya mayit, bibi kakeknya mayit ke atas sebelum bapak dan ibu.
9. Bapaknya ibu (abul umm) dan bapaknya abul umm, dan kakeknya abul umm ke atas.
10. Setiap nenek yang berkaitan dengan bapak di antara dua ibu seperti ibunya bapaknya ibu (umm abil umm), atau berkaitan dengan bapak yang lebih tinggi dari kakek seperti ibunya bapak bapak bapak mayit
11. Orang yang berkaitan dengan mereka di atas seperti bibinya bibi (ammatul ammah, kholatul kholah), bibi seibu (ammatul amm li umm) dan saudaranya dan pamannya seayah (ammuhu li abihi), bapak bapaknya ibu (abu abil umm) dan pamannya (ammuhu, kholuhu). 

MASALAH WARIS 

Ada sejumlah permasalahan dalam hukum waris yang terjadi dalam sejumlah kasus yang diperinci dalam uraian di bawah.


MASALAH UMARIYATAIN (UMAR DUA - العمريتين) 

Ada dua kasus yang disebut dengan umaroyatain atau gharawain di mana ibu mendapat 1/3 dari sisa jadi bukan 1/3 dari keseluruhan harta. Contoh kasus adalah sbb:

KASUS PERTAMA:

Seorang perempuan wafat dan ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu suami, ibu dan bapak. 

Dalam kasus ini, maka suami mendapat 1/2 (setengah harta), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa yakni 1/3 dari sisa yang setengah setelah diambil suami. Sedang bapak mendapat asabah (sisa).

KASUS KEDUA:

Seorang laki-laki wafat sedang ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu istri, ibu dan bapak.

Maka dalam kasus ini istri mendapat bagian 1/4 (seperempat), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa setelah diambil istri. Sedang bapak mendapat bagian seluruh sisanya (asabah).

PERBEDAAN ULAMA DALAM MASALAH UMARIYATAIN

Ada dua perbedaan besar tentang berapa bagian ibu dalam masalah Umariyatain ini sbb:

- Pendapat Zaid bin Tsabit dan Umar bin Khattab bahwa ibu mendapat bagian 1/3 (sepertiga) dari sisa. Pendapat ini didukung oleh jumhur (mayoritas) ulama.

- Pendapat Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas bahwa ibu mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta warisan.

ASAL ISTILAH: 

Asal dari istilah umariyatain atau gharawain. Disebut umariyatain karena yang memutuskan perkara ini pertama kali adalah Umar bin Khatab saat menjadi Khalifah Kedua. Disebut gharawain dari bentuk tunggal gharra' karena sangat populer seperti bintang (al-kawkab al-aghar' - الكوكب الأغر).

MASALAH KALALAH 

Kalalah adalah jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (QS An-Nisa' 4:176)

MASALAH AUL DAN RAD 

Dalam masalah waris adalah masalah yang disebut dengan aul dan radd. Uraiannya lihat rincian di bawah:

MASALAH AUL

Aul artinya bertambah, maksudnya bertambahnya asal masalah (kpk) dikarenakan jumlah bagian Ahlul furudhmelebihi jumlah asal masalah. 

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Contoh Aul: [1]
a.Asal masalah (kpk): 12
- suami -> 1/4 x 12 = 3/12
- 2 anak pr -> 2/3 x 12 = 8/12
- ibu -> 1/6 x 12 = 2/12
Jumlah 3+8+2 = 13/12 

Disebabkan jumlah bagian melebihi kpk, maka kpk dijadikan 13.
- Suami 3/12 dirubah menjadi 3/13 x 52.000=6000;-
- Dua anak pr 8/12 dirubah menjadi 8/13x52.000=6000;-
- Ibu 2/12 dirubah menjadi 2/13x52.000=4000;-

b. Asal masalah (kpk): 6
- suami -> 1/2x6=3
- ibu -> 1/6x6=1
- 2 sdr pr sekandung -> 2/3x6=4
Jumlah (3+1+4=8)8.

kpk 6 dijadikan 8
-Suami 3/6 dirubah menjadi 3/8x240.000=90.000;-
-Ibu 1/6 dirubah menjadi 1/8x240.000=30.000;-
-dua sdr pr sekandung 4/6 dirubah menjadi 4/8x240.000=120.000;-

MASALAH RADD

Rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.

Dengan kata lain, Apabila ada kelebihan harta warisan padahal semua ahli waris sudah mendapat bagian, maka kelebihan itu dikembalikan (radd) pada ahli waris yang ada; masing-masing menurut kadar bagiannya kecuali suami atau istri yang tidak mendapatkan bagian dari radd ini. Kelebihan harta hanya dikembalikan pada ahli waris lain selain suami atau istri. 

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

Syarat Terjadinya Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat yaitu (a) adanya ashhabul furudh; (b) tidak adanya 'ashabah; (c) ada sisa harta waris.

Penerima Bagian Pasti yang Bisa Mendapatkan Radd 

Penerima bagian pasti yang dapat menerima Radd ada 8 yaitu: anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, bu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, saudara laki-laki seibu

Keadaan Terjadinya Masalah Radd ada 4 (Empat) 

a. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri

Cra pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Contoh, (i) seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan. (ii) seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan

b. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri

Cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu.

c. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikan pokok masalahnya dari penerima bagian pasti yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala. Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.

d. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Contoh, Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.

Contoh riil masalah Radd dan Solusinya

(a) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah anak perempuan dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta. 

Cara Penyelesaian:

Bagian anak perempuan 1/2 (setengah) sedangkan ibu 1/6 (seperenam). Asal masalah adalah 6 (enam).

Anak Perempuan = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4

Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka solusi dengan radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Caranya sebagai berikut:

Anak perempuan = 3/4 x 40 Juta = Rp. 30.000 (tigapuluh juta)
Ibu = 1/4 x 40 Juta = Rp. 10.000 (sepuluh juta)

(b) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.
Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri = 1/4 x 12 = 3 
2 saudara = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9

Karena ada istri sedangkan istri tidak mendapakatkan bagian radd, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diberikan lebih dahulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi. Caranya sebagai berikut:

Bagian untuk istri = 3/12 x Rp. 40 Juta = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta).

Sisa warisan setelah diberikan pada istri adalah Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta) dibagi untuk 2 orang saudara laki-laki seibu dan ibu. Cara membaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :

2 Saudara = 4/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 20.000.000 (dua puluh juta)
Ibu = 2/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta)
Jumlah = Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta)

Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 10.000.000
2 sdr = Rp. 20.000.000
Ibu = Rp. 10.000.000
Jumlah = Rp. 40.000.000 (empat puluh juta)

Semua ashabul furudh dapat memperoleh bagian radd kecuali suami/istri. 

APABILA TIDAK ADA AHLI WARIS 

Apabila ahli waris yang tersebut di atas tidak ada, kepada siapa harta itu diberikan? Ada dua pendapat. Pendapat pertama, diberikan kepada Dzawil Arham atau kerabat nonahli waris , ini adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama termasuk Sahabat dan Tabi'in, madzhab Hanafi, Hanbali dan Syafi'i.[3] Namun, madzhab Syafi'i memberi syarat apabila tidak ada Baitul Mal (Kementerian Keuangan) yang mengatur soal ini. Apabila ada maka harus diberikan ke Baitul Mal. Pendapat kedua,Dzawil Arham tidak dapat warisan sama sekali walaupun ahli waris lain yakniAshabul Furud dan Ashabul Asabah tidak ada. Ini pendapat sebagian Sahabat seperti Zaid bin Tsabit dan Said bin Jubair serta madzhab Maliki dan Syafi'i apabila ada Baitul Mal yang mengatur.[4]

ASAL MASALAH DALAM HITUNGAN HARTA WARISAN

Dalam membagi warisan, maka diperlukan mencari asal masalah penyebutnya untuk memudahkan proses pembagian harta waris. Berikut istilah, dan rumus yang dipakai dalam mencari asal masalah.

ISTILAH RUMUS DALAM ASAL MASALAH

Berikut beberapa istilah tipe asal masalah yang dipakai oleh ulama faraidh:

A. TABAYUN

Tabayun adalah terjadinya dua angka yang dapat dikalikan secara langsung sehingga tidak terjadi pecahan, seperti antara 1/3 dengan 1/2 maka 3 x 2 = 6. Jadi, asal masalahnya adalah 6. Demikian juga antara 1/3 dengan 1/4, maka 3 x 4 = 12. Jadi, asal masalahnya adalah 12. Karena itu, antara 3 dengan 2 dan 3 dengan 4 disebut “ Tabayun” .

B. TADAKHUL

Tadakhul adalah mengambil angka yang terbesar dari salah satu bentuk ke-1 atau ke- 2, seperti 1/2 dengan 1/8 asal masalah adalah 8, karena kedua angka itu berada pada bentuk ke- 2. Hal sama terjadi antara 1/3 dengan 1/6 = 6, karena kedua angka tersebut berada pada bentuk ke-1. Demikian juga antara 1/2 dengan 1/4 yang menjadi asal masalah adalah angka penyebut terbesar yaitu 4, karena kedua angka itu berada pada bentuk ke-1.

C. TAMASUL

Tamasul adalah dua angka atau penyebutnya sama, karenanya cukup mengambil salah satu dari penyebutnya. Misal antara 1/3 dengan 2/3, maka untuk asal masalahnya 3, karena penyebut sama. Demikian juga antara ½ dengan ½, asal masalahnya ada 2.

D. TAWAFUQ

Tawafuq adalah dua penyebut sama hasil perkaliannya setelah dibagi dua dan dikalikan dengan penyebut satu sama lainnya. Misalnya bilangan 1/6 dengan 1/8. 6: 2 = 3 x 8 = 24 begitu juga 8 : 2 = 4 x 6 = 24 sehingga sama-sama menghasilkan 24. Demikian juga dengan 1/2 dengan 1/6. 2 : 2 = 1 x 6 = 6. 6 : 2 = 3 x 2 = 6. Cara ini disebut Tawafuq. Hasil perkalian itulah yang digunakan sebagai asal masalah untuk membagi harta.

CARA MEMBAGI HARTA WARIS DENGAN CARA ASAL MASALAH

1. Bila bilangan itu datang dari bentuk ke-1, maka asal masalahnya adalah bagian yang terkecil. Misalnya:
1/3 dengan 1/6 = 6
2/3 dengan 1/6 = 6

2. Bila ada angka ½ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 6. Misalnya
½ dengan 1/3 = 6
½ dengan 2/3 = 6
½ dengan 1/6 = 6

3. Bila ada angka ¼ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 12. Misalnya:
¼ dengan 1/3 = 12
¼ dengan 2/3 = 12
¼ dengan 1/6 = 12

4. Bila ada angka 1/8 bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 24. Misalnya:
1/8 dengan 1/3 = 24
1/8 dengan 2/3 = 24
1/8 dengan 1/6 = 28

MASALAH MUNASAKHAH

DEFINISI MUNASAKHO

Munasakhah dalam istilah waris Islam adalah أَنْ يَنْتَقِلَ نَصِيْبُ بَعْضِ الْوَرَثَةِ قَبْلَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِإِلَى مَنْ يَرِثُ مِنْهُ
Artinya: Berpindahnya bagian penerimaan ahli waris karena kematiannya sebelum pelaksanaan pembagian tirkah (yang seharusnya ia terima) kepada para ahli warisnya. (Yusuf Musa dalam Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, hlm. 371)

Atau, Berpindahnya bagian salah seorang ahli waris kepada ahli waris lain,karena mati sebelm pelaksanaan pembagian warisan. (Wahab Afifi dalam 103)

MUNASAKHAH ADA 2 MACAM

Munaasakhah itu mempunyai dua bentuk yaitu:

Munasakhoh tipe Pertama: 

Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal belakangan (kedua) adalah juga termasuk ahli waris yang meninggal dunia terdahulu (pertama).

Contoh kasus:

Pewaris meninggalkan harta warisan Rp900.000,00 (Sembilan ratus ribu rupiah). Ahli warisnya 4 anak kandung 2 anak laki-laki yaitu Hasan dan Husein, dan 2 anak perempuan, yaitu Alia dan Talia. Sebelum harta warisan dibagi kepada empat anak tersebut, Hasan wafat, sehingga ahli waris tinggal tiga yaitu Husein, Alia, dan Talia. Dalam kasus seperti ini pembagian cukup sekali saja. Uang tersebut dibagikan kepada ketiga orang tersebut dengan perbandingan 2:1:1 (ashabah bil ghair).
Dengan demikian,penerimaan masing-masing adalah:
1) Husein mendapat 2/4 x Rp900.000,00 = Rp450.000,00
2) Alia mendapat ¼ x Rp900.000,00 = Rp225.000,00
3) Talia mendapat ¼ x Rp900.000,00 = Rp225.000,00
Jumlah= Rp900.000,00

Seandainya si Hasan juga meninggalkan harta warisan sebesar Rp100.000,00 dan tidak mempunyai ahli waris selain ketiga saudara itu, maka harta pusaka peninggalan si Hasan di satukan dengan harta pusaka si mayit pertama hingga menjadi Rp 900.000,00 + Rp100.000,00 = Rp 1.000.000,00.

Apabila demikian, perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1) Husein mendapat 2/4xRp1.000.000,00 = Rp500.000,00
2) Alia mendapat 1/4xRp1.000.000,00 =Rp250.000,00
3) Talia mendapat 1/4xRp1.000.000,00 =Rp250.000,00

Munasakhah tipe Kedua: 

Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang meninggal belakangan (kedua) adalah bukan ahli waris dari orang yang meninggal terdahulu (pertama). Dalam hal ini, maka dilakukan pembagian warisan dua kali. Pertama pembagian warisan pewaris pertama, lalu dilakukan pembagian warisan pewaris kedua.

Contoh kasus:

Seorang lelaki bernama Jalal wafat. Ahli warisnya adalah dua anak kandung laki-laki dan perempuan bernama Riza dan Lina. Harta waris yang ditinggalkan sebesar Rp300.000,00. 

Sebelum dilakukan pembagian harta warisan kepada kedua anaknya Riza meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak perempuan (Mira), yakni cucu dari Jalal. Maka dalam hal ini, dilakukan dua kali tahap pembagian warisan.

Penyelesaian tahap pertama:
1. Anak laki-laki (Riza) = 2:2/3xRp300.000 = Rp 200.000
2. Anak perempuan (Lina) = 1 :1/3xRp300.000,00 = Rp 100.000
Jumlah =Rp300.000.

Penyelesaian tahap kedua:
Bagian Riza sebesar Rp200.000 dibagikan kepada ahli warisnya yaitu Mira (anak perempuan) dan Lina (saudara kandung perempuan), perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1. Anak perempuan (Mira) anak dari (riza) 1/2x2= 1
2. Saudari kandung (Lina) 2-1 = 1
Jumlah: = 2

Jadi bagian mereka masing-masing:
1. Anak perempuan (Mira) 1/2 x Rp. 200.000 = Rp. 100.000
2. Saudari (Line) 1/2 x Rp. 200.000 = Rp. 100.000

Wallohu A'lam‎

 

Sikap Seorang Istri Dalam Menghadapi Suami Yang Jahat


Watak manusia memang berbeda-beda. Ada yang ramah dan penyabar, dan ada pula yang pemarah dan berwatak keras. Jika suami punya watak keras dan pemarah, hendaknya seorang istri memaklumi dan memberitahu kepada kerabat dan tetangga agar memaklumi keberadaannya, serta berusaha untuk lebih mengedepankan pengabdian dan berpedoman pada Agama.

Pertama; Mari melihat ke bawah‎

Terkait dengan urusan dunia, sikap terbaik yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah selalu melihat ke bawah, bukan ke atas. Mendapat nikmat duniawi atau tertimpa kesusahan duniawi sikap terbaik adalah melihat ke bawah, karena jika seorang hamba mendapat nikmat lalu dia melihat ke atas, maka akan timbul ketidakpuasan dan iri hati, sementara jika mendapat kesusahan lalu melihat ke atas, maka akan timbul sikap keluh kesah dan meratapi nasib. Sikap-sikap semacam ini dicela syariat karena merupakan cermin kegagalan bersyukur dan ketidaksanggupan untuk bersikap tabah.

Jika seorang hamba mendapat nikmat sepeda motor, maka jangan melihat orang yang punya mobil, karena hal itu akan menimbulkan ketidakpuasan atas kepemilikan sepeda motor tersebut dan sikap iri hati atau malah dengki dengan pemilik mobil. Yang lebih tepat adalah melihat orang yang berjalan kaki, yang tidak sanggup membeli sepeda motor, karena sikap ini akan menimbulkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah dengan sepeda motor tersebut.

Jika seorang hamba diberi wajah pas-pasan, maka jangan melihat kepada orang  berwajah rupawan, karena itu bisa membuat iri hati dan meratapi nasib, tetapi lihatlah kepada orang  lebih buruk rupa, cacat permanen, atau ditimpa penyakit mengerikan tak tersembuhkan. Sikap ini akan menumbuhkan rasa syukur atas nikmat rupa wajah  yang diberikan Allah tersebut.

Demikian pula menghadapi suami yang kasar dan tajam lidah, lihatlah ke bawah. Lihatlah di sana bahwa diantara sekian banyak rumah tangga ada banyak para suami yang jauh lebih jahat dan kejam. Ada yang gemar  meludahi istrinya, memukul, menendang, bahkan menyetrika sampai membunuh. Lebih kejam lagi setelah dibunuh masih dimutilasi dan dibakar. Boleh jadi jika ibu menjadi istri dari suami jenis itu, saat ini ibu sudah tinggal nama saja karena telah berpindah ke alam baka. Yakinlah, bahwa sejahat-jahat suami, masih ada yang lebih jahat lagi. Sejahat-jahat suami, kejahatannya tidaklah sejahat fir’aun yang menyiksa sendiri istrinya; Asiyah. Fir’aun menyiksa istrinya dengan mengikat  tangan dan kakinya memakai empat tonggak, lalu memanggangnya di bawah sinar matahari, dan menindihkan batu penggilingan di atas dadanya sampai Asiyah menemui ajalnya. Seperti inilah cara bersikap yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam; melihat ke bawah, agar seorang hamba selalu bisa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan tidak meremehkan nikmat pemberianNya betapapun kecilnya nikmat tersebut. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (14/ 213)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Pandanglah orang yang berada dibawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, karena hal itu lebih layak  membuat kalian tidak meremehkan  nikmat Allah (H.R.Muslim)

Kedua; mari mengingat bahwa hidup ini adalahuntuk beramal

Jangan lupa bahwa semua yang dialami, yang dirasakan, yang didapatkan dan yang hilang, semuanya itu tidak lebih hanyalah “alat’ untuk menguji amal seorang hamba. Allah menjelaskan bahwa Dia menciptakan hidup dan mati adalah untuk menguji manusia. Allah berfirman;

{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا } [الملك: 2]

Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (Al-Mulk;2)‎

Semua pemberian dunia dari Allah  kepada seorang hamba adalah untuk dilihat bagaimana hamba tersebut beramal dengan cara yang diperintahkan Allah. Mobil, tanah, tabungan, suami, anak, kedudukan dan semua yang bersifat duniawi diberikan Allah untuk menguji apakah seorang hamba sanggup menggunakan dan semua pemberian itu untuk beramal shalih yang diridhai Allah atau tidak. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (13/ 286)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

dari Abu Sa’id Al Khudri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu manis. Dan sesungguhnya Allah telah menunjuk kalian sebagai Khalifah (dengan cara membuat kalian menguasainya) didalamnya. Kemudian Allah memperhatikan bagaimana kalian beramal (H.R.Muslim)‎

Kesusahan, kesedihan, kegalauan, kesengsaraan, keperihan, ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, dll yang muncul akibat berinteraksi dengan sesama hamba juga tidak lepas dari pesan amal. Semua perasaan yang muncul akibat berinteraksi dengan sesama hamba adalah bentuk ujian untuk menguji ketabahan. Allah berfirman;

{وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ} [الفرقان: 20]

Dan Aku jadikan sebahagian dari kalian cobaan bagi sebahagian yang lain. Bisakah kalian tabah? (Al-Furqon; 20)‎

Jadi, kalaupun Ibu susah, maka ingatlah bahwa Ibu bukan satu-satunya orang yang susah di dunia ini. Jika ibu merasa tersiksa, ingatlah bahwa ibu bukan satu-satunya orang yang tersiksa di dunia ini. Jika ibu merasa menderita ingatlah bahwa ibu bukan satu-satunya orang yang menderita didunia ini apalagi paling menderita. Allah tahu semua itu. Allah mengawasi semua gerak-gerik hambaNya. Tidak ada satupun yang luput dari pengawasan Allah di bawah kolong langit ini. Sehelai daun yang jatuh dari pepohonanpun Allah Maha mengetahui.

Ingatlah ibu, sesungguhnya di dunia ini ada jutaan orang menderita dan sengsara, tetapi tidak semuanya menjadi mulia disisi Allah.

Seorang hamba yang beriman, bisa menyulap penderitaan menjadi kemuliaan, empedu menjadi madu, dan luka menjadi ceria.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam harus dicaci, dimaki, dituduh sinting, difitnah, diusir, dan dihinakan sebelum beliau berhijrah ke madinah, dilu-elukan, dan dicintai milyaran orang dikalangan penduduk bumi. Nabi Yusuf harus dimasukkan dalam sumur oleh saudara-saudaranya, dijual sebagi budak, difitnah berzina dengan istri pejabat, dijebloskan ke dalam penjara sebelum diangkat menjadi bangsawan dan memperoleh kemuliaan Nubuwwah. Imam As-Sarokhsi dicemplungkan ke  dalam sumur sebelum mengarang kitab fikihnya yang terbesar Al-Mabsuth yang terdiri dari 30 juz, Hamka dipenjara sebelum akhirnya menerbitkan karya terbesarnya tafsir Al-Azhar,dst..semuanya adalah orang-orang yang diuji dengan kesusahan dan penderitaan, tetapi sanggup melewatinya dengan cantik  dan menjadi orang-orang yang mulia karena benar menyikapinya; yakni dijadikan sebagai medan amal.

Jangan sampai kita rugi dunia akhirat. Di dunia menderita, diakhirat juga rugi. Orang-orang yang tergolong kelompok ini adalah orang-orang yang menyikapi hidup tanpa iman dan tidak menjadikan cara penyikapannya sebagai amal. Tujuan hidupnya hanya memburu kebahagiaan duniawi tanpa peduli bagaimana membangun rumahnya di akhirat.

Pertanyaannya; Amal apakah yang bisa dilakukan seorang wanita jika kebetulan memiliki suami yang jahat? Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan ini harus diketahui terlebih dahulu hak suami atas istri menurut Allah dan RasulNya.

Ketiga; memahami hak suami atas istri menurut syariat.

Sesungguhnya syariat Islam menjadikan amal berbakti kepada suami sebagai amal utama bagi seorang wanita yang telah menjadi  istri dan terikat dalam ikatan pernikahan. Imam Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (4/ 85)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Dari Abdurrahman bin Auf berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan ta’at kepada suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya; ‘Masuklah kamu ke dalam syurga dari pintu mana saja yang kamu inginkan (H.R.Ahmad)

Dalam hadis di atas dijelaskan jika seorang wanita menunaikan hak Allah dengan melakukan Shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan dan menjaga kemaluannya, lalu menunaikan hak hamba dengan berbakti kepada suaminya, maka amal tersebut sudah cukup menjadi tiket untuk memasuki surga dari pintu manapun yang dikehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa amal berbakti kepada suami adalah amal terbesar seorang wanita, karena hak hamba yang wajib ditunaikan wanita adalah banyak seperti hak orang tua, hak kerabat, hak tetangga, hak fakir miskin, hak anak yatim,hak kaum muslimin dll. Namun diantara sekian hak hamba yang seharusnya ditunaikan seorang wanita, pelaksanaan salah satu hak hamba yaitu hak suami untuk ditaati ternyata sudah cukup untuk menjamin wanita masuk surga setelah dia menunaikan hak-hak Allah seperti shalat dan puasa.

Dalam hadis yang lain, Nabi juga mengajarkan kepada wanita bahwa suami adalah surga dan neraka istri. Artinya, jika seorang istri benar dalam memperlakukan suami, maka dia berhak mendapatkan surga, tetapi jika salah dalam memperlakukan suami maka dia layak dijebloskan ke dalam neraka. Imam Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (55/ 350)

عَنْ حُصَيْنِ بْنِ مِحْصَنٍ

أَنَّ عَمَّةً لَهُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا فَقَالَ لَهَا أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَأَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ قَالَ يَعْلَى فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ قَالَتْ مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ قَالَ انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Dari Husain bin Mihshan bahwa bibinya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan keperluannya, beliau lalu bertanya: “Apakah kamu memiliki suami?” Dia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Bagaimana sikapmu terhadapnya?” dia menjawab, “Aku tidak menunda-nunda (memenuhi kebutuhannya) kecuali karena aku sudah tidak mampu lagi.” Kemudian beliau bersabda: “Lihatlah di mana posisimu darinya karena sesungguhnya dia adalah Surga dan Nerakamu.(H.R.Ahmad)

Nabi menginformasikan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah wanita, dan sebab yang membuat mereka masuk neraka kebanyakan adalah karena kufur terhadap suami. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 50)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ‎

Dari Ibnu ‘Abbas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanitayang  kufur“. Ditanyakan: “Apakah mereka kufur terhadap  Allah?” Beliau bersabda: “ (tidak tetapi)Mereka kufur terhadap suami, dan kufir terhadapkebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: ‘aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu (H.R.Bukhari)

Begitu besarnya hak suami, sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengumpamakan seandainya beliau diizinkan memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain niscaya beliau akan memerintahkan seorang wanita bersujud kepada suaminya. Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (25/ 199)

عَنْ حَفْصٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ

كَانَ أَهْلُ بَيْتٍ مِنْ الْأَنْصَارِ لَهُمْ جَمَلٌ يَسْنُونَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْجَمَلَ اسْتُصْعِبَ عَلَيْهِمْ فَمَنَعَهُمْ ظَهْرَهُ وَإِنَّ الْأَنْصَارَ جَاءُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا إِنَّهُ كَانَ لَنَا جَمَلٌ نُسْنِي عَلَيْهِ وَإِنَّهُ اسْتُصْعِبَ عَلَيْنَا وَمَنَعَنَا ظَهْرَهُ وَقَدْ عَطِشَ الزَّرْعُ وَالنَّخْلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ قُومُوا فَقَامُوا فَدَخَلَ الْحَائِطَ وَالْجَمَلُ فِي نَاحِيَةٍ فَمَشَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ فَقَالَتْ الْأَنْصَارُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّهُ قَدْ صَارَ مِثْلَ الْكَلْبِ الْكَلِبِ وَإِنَّا نَخَافُ عَلَيْكَ صَوْلَتَهُ فَقَالَ لَيْسَ عَلَيَّ مِنْهُ بَأْسٌ فَلَمَّا نَظَرَ الْجَمَلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ نَحْوَهُ حَتَّى خَرَّ سَاجِدًا بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَاصِيَتِهِ أَذَلَّ مَا كَانَتْ قَطُّ حَتَّى أَدْخَلَهُ فِي الْعَمَلِ فَقَالَ لَهُ أَصْحَابُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ بَهِيمَةٌ لَا تَعْقِلُ تَسْجُدُ لَكَ وَنَحْنُ نَعْقِلُ فَنَحْنُ أَحَقُّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ فَقَالَ لَا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ قُرْحَةً تَنْبَجِسُ بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيدِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحَسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ

“Dari Hafs dari pamannya, Anas bin Malik berkata, “Ada sebuah keluarga dari kaum anshar yang memiliki seekor unta yang mereka gunakan untuk menyiram ladang, hanya saja unta tersebut tiba-tiba merasa sulit bagi kami untuk mejinakkannya dan mengelak dari kami untuk ditunggangi, maka orang-orang anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Nabi Allah! sesungguhnya ada seekor unta yang kami gunakan untuk menyiram ladang hanya saja tiba-tiba unta tersebut merasa sulit bagi kami untuk menjinakkannya dan mengelak dari kami untuk ditunggangi, padahal tanaman-tanaman serta pohon-pohon kurma kami dilanda kekeringan.” Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, “Berdirilah kalian “, lalu mereka berdiri, dan masuk ke dalam kebun sedangkan unta tersebut telah berada di sebuah tepi, maka Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam berjalan ke arahnya dan orang-orang anshar berkata: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya unta tersebut menjadi seperti anjing yang galak dan kami takut jika dia menerjang tuan”, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, “Saya tidak ada masalah dengan unta ini”, dan tatkala unta tersebut melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dia berjalan ke arah beliau Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kemudian jatuh dengan bersujud di depannya lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menyentuh ubun-ubunnya dan menjinakkannya dengan suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga beliau Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam mempekerjakan unta tersebut. Maka para sahabat berkata kepada beliau Shallallahu’alaihi wa Sallam: wahai Rasulullah sesungguhnya binatang ini tidak memiliki akal namun dia bersujud kepada Tuan sedangkan kita adalah manusia yang berakal maka kita lebih berhak untuk bersujud kepada Tuan, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak boleh seorang manusia bersujud kepada manusia, dan jikalau boleh seorang manusia bersujud kepada manusia niscaya saya akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya seorang suami memiliki luka dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengalirkan nanah atau darah kemudian sang istri menghadapinya hingga menjilatinya, maka hal itu belum memenuhi seluruh haknya kepadanya” (H.R.Ahmad)

Nabi memuji wanita yang selalu berusaha memperoleh ridha suaminya baik dalam keadaan zalim maupun dizalimi. An-Nasai meriwayatkan;

سنن النسائي الكبرى (5/ 361)

 عن عبد الله بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ألا أخبركم بنسائكم من أهل الجنة الودود الولود العؤود على زوجها التي إذا آذت أو أوذيت جاءت حتى تأخذ بيد زوجها ثم تقول والله لا أذوق غمضا حتى ترضى

“Dari Abdullah bin Abbas beliau berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; Tidakkah aku beritahu kalian tentang wanita-wanita kalian yang termasuk penghuni surga? Yang penyayang, subur, dan banyak memberi manfaat kepada suaminya…yang jika menyakiti atau disakiti dia datang lalu mengambil tangan suaminya kemudian berkata; demi Allah, aku tidak bisa tidur sebelum engkau ridha” (H.R.An-Nasai)

Sebaliknya beliau juga mencela wanita yang tidak bisa berterima kasih kepada suaminya dengan mengatakan bahwa wanita-wanita semacam itu tidak dilihat dan diperhatikan Allah. An-Nasai meriwayatkan;

سنن النسائي الكبرى (5/ 354)

عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا ينظر الله إلى امرأة لا تشكر لزوجها وهي لا تستغني عنه

“Dari Abdullah bin  ‘Amr beliau berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; Allah tidak melihat seorang wanita yang tidak bisa berterima kasih kepada suaminya padahal dia membutuhkan suami” (H.R.An-Nasai)‎
Nabi menjamin, jika seorang wanita benar dalam memperlakukan suaminya, lalu wanita tersebut mati dalam keadaan suaminya ridha kepadanya, maka wanita tersebut akan dimasukkan ke dalam surga. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى (4/ 388)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتْ الْجَنَّةَ

“dari Umu Salamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wanita manapun yang meninggal dan suaminya dalam keadaan ridha (kepadanya), niscaya dia masuk surga (H.R.At-Tirmidzi).”

Dengan besarnya hak yang dimiliki suami seperti ini maka wajarlah jika Islam memberikan hak memilih suami itu sepenuhnya kepada wanita. Siapapun tidak berhak mengintervensi pilihan suami seorang wanita, apalagi memaksanya. Jika seorang wanita  menikah karena dipaksa (meski oleh orang tuanya), maka syariat memberi  hak Khiyar (memilih) antara melanjutkan pernikahan atau membatalkannya. Ketidaktaatan seorang wanita kepada orangtuanya dalam hal memilih calon suami tidak tergolong kedurhakaan, dan malah jika ayah (yang menjadi wali wanita) menghalang-halangi wanita menikah dengan lelaki pilihannya maka ayah tersebut dianggap telah melakukan ‘Adhl (mempersulit pernikahan) yang diharamkan syariat, dan statusnya menjadi orang fasik yang ditolak persaksiannya dan gugur hak perwaliannya. Allah berfirman;
{فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 232]

Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat saling ridho di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. (Al-Baqarah;232)

Karena itu, dengan memahami paparan nash diatas bisa difahami bahwa hak suami adalah hak yang besar, dan amal utama seorang wanita yang telah berumah tangga adalah berbakti kepada suaminya. Seorang wanita bebas memilih siapapun yang akan jadi suaminya, tetapi jika sudah menikah dengan lelaki pilihannya, maka dia terkena tanggung jawab berbakti semaksimal mungkin kepada suaminya. Wanita sulit menyalahkan orang lain jika suami jahat yang ditemuinya adalah adalah hasil pilihannya sendiri.

Namun, masalahnya sekarang tentu bukan menyesali pilihan, kerena pernikahan sudah terjadi dan anak-anak telah lahir. Lebih bijaksana jika memahami bahwa suami yang jahat adalah bentuk ujian, dan ujian apapun yang dihadapi pasti berada diarea yang disanggupi karena Allah tidak pernah membebani hamba kecuali sekedar kesanggupannya, dan setiap jiwa akan mendapatkan sesuai yang diusahakannya.  Allah berfirman;

{ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ} [البقرة: 286]

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Al_Baqarah-286).‎

Selanjutnya, setelah mengetahui besarnya hak suami dan amal utama seorang wanita untuk berbakti, harus diketahui bekal utama untuk menjalankan amal tersebut yaitu; Shobr (ketabahan)

Keempat; menghadapi dengan Shobr

Harus difahami terlebih dahulu bahwa jahatnya pasangan tidak menunjukkan buruknya kita. Jahatnya pasangan juga tidak boleh menjadi alasan agar kita tidak menjadi shalih. Asiyah, suaminya jahat yaitu Fir’aun, tetapi Asiyah adalah wanita shalihah yang jelas dijamin masuk surga oleh Allah. Nabi Nuh istrinya Kafir, namun hal itu tidak menjadi alasan Nabi Nuh menjadi tidak shalih. Pasangan hidup tidak lebih hanya ujian hidup. Apa yang didapatkan itulah yang dihadapi.

Memang menjadi idaman setiap wanita untuk mendapatkan suami yang shalih, yang lembut, setia, pengertian, bertutur kata halus, berimu, membimbing, bertanggungjawab dan kriteria-kriteria ideal lainnya. Namun harus diingat, saat ini kita hidup di dunia, bukan di surga. Dunia adalah negeri ujian, bukan negeri pembalasan. Karena itu sebaik-baik suami tentu tetaplah ada celah kekurangannya, dan seburuk-buruk suami tentu tetaplah ada sisi kebaikannya. Setiap kali wanita bertemu dengan kondisi tidak ideal dalam rumah tangga yang menyusahkannya akibat perlakuan suami, maka sebaik-baik sikap adalah Shobr (tabah). Kesusahan yang dihadapi dengan Shobr karena semata-mata ingin memperoleh ridha Allah, akan menghapuskan dosa dan kesalahan seorang hamba. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (17/ 374)

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.(H.R.Bukhari)“‎

Terhapusnya dosa bermakna bersihnya diri. Bersihnya diri dan kesucian jiwa akan membuat seorang hamba dicinta Rabbnya. Jika seorang hamba sudah dicintai Rabbnya maka doanya akan didengar, kebutuhannya akan dipenuhi, dilindungi dari marabahaya, dan dibela jika disakiti. Boleh jdi juga dengan kedekatan kepada Allah seorang wanita bisa membuat keajaiban, yakni menjadi perantara suaminya menjadi orang shalih sebagaimana dirinya. Kisah-kisah keajaiban dalam rumah tangga semacam ini cukup banyak di masyarakat.

Jadi yang dilakukan bukan meratapi nasib dan menyesali diri, tetapi berbuat, beramal, dan beraksi semaksimal mungkin sebatas yang dimampui  dan kapasitas yang didapatkan. Asiyah istri Firaun adalah contoh terbesar seorang wanita yang berhasil beramal dengan benar, meskipun bersuamikan orang jahat. Asiah telah berhasil melewati episode hidup di dunia ini dengan sempurna dan telah dijamin masuk surga karena dengan sikap hidupnya yang benar. Hendaknya Asiyah ini benar-benar menjadi teladan. Allah berfirman;

{وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ} [التحريم: 11]
 
Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim (At-tahrim;11).‎

Namun, kadang-kadang persoalan dalam rumah tangga telah mencapai level berat sehingga sulit diselesaikan dengan baik. Karena itu Islam memberikan solusi talak. Hanya saja Allah membenci dan tidak menyukai talak meskipun memubahkannya. Talak hendaknya dijadikan solusi terakhir jika persoalan sudah tidak mungkin lagi diselesaikan dengan cara baik-baik.

Seorang wanita hendaknya juga perlu berhati-hati dalam meminta talak, karena meminta talak dengan alasan yang tidak benar adalah haram dan pelakunya diancam tidak bisa mencium baunya surga. Imam Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (45/ 360)

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

Dari Tsauban berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda; “Siapa pun wanita yang meminta talak pada suaminya tanpa alasan maka bau surga haram baginya.”(H.R.Ahmad)

Alasan yang benar meminta Tafriq (pemisahan ikatan pernikahan oleh Hakim) yang tidak haram adalah semisal suami tidak memberi nafkah, suami gila, suami impoten, suami terkena penyakit yang berbahaya jika hidup bersama dan semisalnya. Jika sekedar kasarnya ucapan, maka hal itu belum cukup untuk membolehkan wanita meminta Tafriq. Jadi, menyikapi dengan Shobr sebagaimana direkomendasikan adalah sikap yang paling bijaksana, terlebih lagi kondisi anak yang sudah tiga, perceraian  secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan psikologi anak. Mudah-mudahan Allah memberi Taufiq katabahan.

Wallohu A'lam‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...