Minggu, 24 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Sodomi


‘Sodomi’ dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai : (1) pencabulan dng sesama jenis kelamin atau dng binatang; (2) sanggama antar manusia secara oral atau anal, biasanya antar pria; semburit.

Wikipedia yang mengutip dari artikel What is Sodomy-nya Brendan I. Koener memberikan definisi : istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks "tidak alami" yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.

Islam mengharamkan secara mutlak hubungan seks (suami-istri) via anal/dubur berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah.
Dalil Al-Qur’an‎
Allah ta’ala berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haidl itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكلوها وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أصحابُ النَّبِيِّ [النبيَّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ} حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ". فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ، فَقَالُوا: مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدع مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ! فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَير وعبَّاد بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَالَتْ كَذَا وَكَذَا، أَفَلَا نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا، فَاسْتَقْبَلَتْهُمَا  هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا، فَسَقَاهُمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجدْ عَلَيْهِمَا.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila ada seorang wanita dari mereka mengalami haid, maka mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau pula serumah dengan mereka. Ketika sahabat Nabi Saw. menanyakan masalah ini kepadanya, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh). Ketika berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan, "Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksudnya Nabi Saw.), tidak sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan kami, melainkan ia pasti berbeda dengan kami mengenainya." Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad ibnu Bisyr, lalu keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh dengan mereka (wanita-wanita yang sedang haid)?" Mendengar itu roman muka Rasulullah Saw. berubah hingga kami menduga bahwa beliau sangat marah terhadap Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya pulang, dan mereka berpapasan dengan hadiah yang akan diberikan kepada Rasulullah Saw. berupa air susu. Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika keduanya sampai di hadapan Rasulullah Saw., maka beliau memberinya minum dari air susu itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah Saw. tidak marah terhadapnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu Zaid ibnu Salamah. 

Firman Allah Swt.:
{فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ}

Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: Lakukanlah segala sesuatu (dengan mereka) kecuali nikah (bersetubuh).
Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang berpendapat bahwa boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan,‎

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ مِنَ الْحَائِضِ شَيْئًا، أَلْقَى عَلَى فَرْجِهَا ثَوْبًا

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi Saw.:Bahwa Nabi Saw. apabila menginginkan sesuatu dari istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau menutupi farjinya dengan kain.‎

قَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ -يَعْنِي ابْنَ عُمَرَ بْنِ غَانِمٍ -عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ -عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غُرَاب: أَنَّ عمَّة لَهُ حَدَّثَتْهُ: أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ قَالَتْ: إِحْدَانَا تَحِيضُ، وَلَيْسَ لَهَا وَلِزَوْجِهَا فِرَاشٌ إِلَّا فِرَاشٌ وَاحِدٌ؟ قَالَتْ: أُخْبِرُكِ بِمَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَخَلَ فَمَضَى إِلَى مَسْجِدِهِ -قَالَ أَبُو دَاوُدَ: تَعْنِي مَسْجِدَ بَيْتِهَا -فَمَا انْصَرَفَ حَتَّى غَلَبَتْنِي عَيْنِي، وَأَوْجَعَهُ الْبَرْدُ، فَقَالَ: "ادْنِي مِنِّي". فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ. فَقَالَ: "اكْشِفِي عَنْ فَخِذَيْكِ". فَكَشَفْتُ فَخِذِي، فَوَضَعَ خَدَّهُ وَصَدْرَهُ عَلَى فَخِذِي، وحنَيت عَلَيْهِ حَتَّى دَفِئَ وَنَامَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Umar ibnu Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Imarah ibnu Garrab, bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan kepadanya hadis berikut: Bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r.a., "Salah seorang dari kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mempunyai ranjang kecuali hanya satu buah ranjang." Siti Aisyah mengatakan, "Aku akan menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Pada suatu hari Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku (menggilimya), lalu beliau keluar ke musalanya (masjid yang ada di dalam rumah Siti Aisyah). Aku tidak ke mana-mana hingga mataku terasa mengantuk, dan ternyata Nabi Saw. merasa kedinginan, lalu ia berkata, 'Mendekatlah kepadaku!' Aku menjawab, 'Aku sedang haid.' Nabi Saw. bersabda, 'Bukalah kedua pahamu.' Maka aku membuka kedua pahaku, lalu beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku mendekapnya hingga ia merasa hangat dan tidur'."

Tentang firman Allah ta’ala : ‘Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ ; maka tidak dijelaskan tempat mana yang diperintahkan Allah, karena hanya menggunakan lafadh ‘haitsu’ (حَيْثُ). Namun, yang dimaksud tempat tersebut adalah farji berdasarkan keterangan dua ayat :
a.    Firman Allah ta’ala  (فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ)‘Maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu sebagaimana kamu kehendaki’(QS. Al-Baqarah : 223); dimana kalimat ‘datangilah’ bermakna jima’, sedangkan‘tempat bercocok-tanammu’ menjelaskan makna mendatangi yang diperintahkan dengannya adalah tempat menanam benih anak yaitu nutfah (sperma). Bukan dubur, karena ia bukan tempat untuk meletakkan benih anak sebagaimana diketahui.
b.    Firman Allah ta’ala (فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ) ‘Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu’ (QS. Al-Baqarah : 187); karena maksud kalimat ‘apa yang telah ditetapkan Allah untukmu’ adalah (mendapatkan) anak – menurut pendapat jumhur. Dan ia adalah pendapat Ibnu Jariir, dan ia telah menukil hal itu dari Ibnu ‘Abbaas, Mujaahid, Al-Hakam, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashriy, As-Suddiy, Ar-Rabii’, dan Adl-Dlahhaak bin Muzaahim. Telah diketahui bahwa cara mendapatkan anak hanyalah bisa dilakukan dengan jima’ pada farji. Jadi, farji (wanita) itulah objek yang diperintahkan Allah untuk berjima’ padanya. Dengan demikian, jelaslah maksud firman Allah ta’ala : ‘Maka sekarang campurilah mereka’ yaitu melakukannya pada tempat diharapkannya anak, yaitu farji, bukan yang lainnya [lihat :Adlwaaul-Bayaan oleh Asy-Syinqithiy, 1/92].
Sebagian ulama ada yang mengartikan firman Allah ta’ala : ‘maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ ; adalah tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian untuk menjauhinya karena adanya kotoran yang bersifat sementara, yaitu farji. Hal itu dijelaskan oleh kalimat sebelumnya 

(هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ) 
‘Haidl itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci’. Telah diketahui bahwa mendatangi tempat kotoran itu tidak diperbolehkan. Pengertian ini sesuai dengan kaidah :
النهي عن الشيء أمر بضده
“Larangan tentang sesuatu mengkonsekuensikan perintah pada kebalikannya”.
Oleh karenanya, kalimat (أَمَرَكُمُ اللَّهُ) ‘yang diperintahkan Allah kepadamu’ adalah konsekuensi dari larangan yang ada pada kalimat (وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) ‘dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci’; yang keduanya kembali pada objek yang sama, yaitu farji [baca selengkapnya :Adlwaaul-Bayaan, 1/95].
Allah ta’ala juga berfirman :
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” [QS. Al-Baqarah : 223].
Kalimat (أَنَّى شِئْتُمْ) pada ayat di atas juga menjadi jelas maknanya – dengan bahasan sebelumnya - , yaitu dilakukan dengan mendatangi/menjimai tempat bercocok tanam (= tempat diharapkannya anak) dengan posisi apapun yang dikehendaki laki-laki. Apakah wanita (istrinya) dalam keadaan terlentang, miring, telungkup, atau yang lainnya. Terkait dengan hal itu, ada beberapa riwayat yang menguatkan makna itu sebagaimana disebutkan di bawah :
حدثنا قتيبة بن سعيد، وأبو بكر بن أبي شيبة، وعمرو الناقد. (واللفظ لأبي بكر) قالوا: حدثنا سفيان عن ابن المنكدر. سمع جابرا يقول: كانت اليهود تقول: إذا أتى الرجل امرأته، من دبرها، في قبلها، كان الولد أحول. فنزلت: {نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم}.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan ‘Amru An-Naaqid (lafadhnya adalah milik Abu Bakr); mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibnul-Munkadir, ia mendengar Jaabir berkata : “Orang-orang Yahudi dulu berkata : ‘Apabila seseorang mendatangi kemaluan istrinya dari arah belakang, anak yang kelak akan lahir bermata juling. Maka turunlah ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’”.
Pada riwayat lain di jalur An-Nu’maan bin Raasyid, dari Az-Zuhriy, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir terdapat tambahan:
إن شاء مجبية، وإن شاء غير مجبية. غير أن ذلك في صمام واحد
“Apabila dia ingin dapat dari depan atau belakang, asalkan dari tempat yang satu (yaitu farji)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1435].
أَخْبَرَنَـا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى قِرَاءَةً، أنبأ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مَـالِكُ بْنُ أَنَسٍ، وَابْنُ جُرَيْجٍ، وسفيان بن سعيد الثوري، أن محمد بن المنكدر حدثهم، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،"أَخْبَرَهُ أَنَّ الْيَهُودَ , قَالُوا لِلْمُسْلِمِينَ: مَنْ أَتَى امْرَأَةً وَهِيَ مُدْبِرَةً، جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ، فَأَنْزَلَ اللَّـهُ تَعَالَى: ﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ﴾, قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي الْحديث: فَقَال َرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي الْفَرْجِ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa secara qira’at : Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Maalik bin Anas, Ibnu Juraij, dan Sufyaan bin Sa’iid Ats-Tsauriy : Bahwasannya Muhammad bin Al-Munkadir ‎telah menceritakan kepada mereka, dari Jaabir bin ‘Abdillah yang telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada kaum muslimiin : “Barangsiapa yang mendatangi istrinya dari arah belakang, anaknya nanti (yang lahir) akan juling. Maka Allah ta’ala pun menurunkan ayat : “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Ibnu Juraij berkata dalam hadits tersebut : “Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Boleh dari arah depan ataupun belakang, jika itu pada farjinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 2133; shahih].
حدثنا يحيى بن غيلان ثنا رشدين ثنا حسن بن ثوبان عن عامر بن يحيى المعافري حدثني حنش عن بن عباس قال : أنزلت هذه الآية { نساؤكم حرث لكم } في أناس من الأنصار أتوا النبي صلى الله عليه وسلم فسألوه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم آتها على كل حال إذا كان في الفرج
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ghailaan : Telah menceritakan kepada kami Risydiin : Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Tsaubaan, dari ‘Aamir bin Yahyaa Al-Mu’aafiriy : Telah menceritakan kepadaku Hanasy, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Ayat ini (‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam’) diturunkan terkait dengan sekelompok orang dari kaum Anshaar yang mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ayat tadi, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Datangilah bagaimanapun caranya asalkan pada farjinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/268; hasan lighairihi].

حدثنا عبد بن حميد حدثنا الحسن بن موسى حدثنا يعقوب بن عبد الله الأشعري عن جعفر بن أبي المغيرة عن سعيد بن جبير عن بن عباس قال جاء عمر إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله هلكت قال وما أهلكك قال حولت رحلي الليلة قال فلم يرد عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قال فأوحي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الآية { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } أقبل وأدبر وأتق الدبر والحيضة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, dari Ja’far bin Abil-Mughirah, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : ‘Umar datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah binasa”. Beliau bertanya : “Apa yang membuatmu binasa ?”. ‘Umar berkata : “Aku telah mengubah arah tungganganku semalam‎”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya sedikitpun. Lalu, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223). Beliau bersabda : “Boleh dari arah depan ataupun belakang, namun hindarilah dubur dan (berjima’) pada waktu haidl” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2980; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy3/196 dan Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 4/435, serta dishahihkan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’ 6/319].
Dalil As-Sunnah
Terdapat banyak hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menjimai istri pada duburnya. Di antaranya :
حدثنا عفان ثنا وهيب ثنا عبد الله بن عثمان بن خثيم عن عبد الرحمن بن سابط قال : دخلت على حفصة ابنة عبد الرحمن فقلت انى سائلك عن أمر وأنا استحي ان أسألك عنه فقالت لا تستحي يا بن أخي قال عن آتيان النساء في أدبارهن قالت حدثتني أم سلمة ان الأنصار كانوا لا يجبون النساء وكانت اليهود تقول انه من جبى امرأته كان ولده أحول فلما قدم المهاجرون المدينة نكحوا في نساء الأنصار فجبوهن فأبت امرأة ان تطيع زوجها فقالت لزوجها لن تفعل ذلك حتى آتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فدخلت على أم سلمة فذكرت ذلك لها فقالت اجلسي حتى يأتي رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم استحت الأنصارية ان تسأله فخرجت فحدثت أم سلمة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ادعى الأنصارية فدعيت فتلا عليها هذه الآية { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } صماما واحدا
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit, ia berkata : Aku masuk menemui Hafshah binti ‘Abdirrahman, lalu aku berkata : “Aku mau menanyakan kepadamu yang sebenarnya aku malu untuk menanyakan kepadamu”. Hafshah berkata : “Jangan malu wahai saudaraku”. Aku berkata : “(Yaitu tentang) mendatangi wanita dari arah belakang”. Hafshah menjawab : “Telah menceritakan kepadaku Ummu Salamah bahwasannya orang-orang Anshaar tidak menelungkupkan wanita mereka saat berjima’ (yaitu tidak menjimai mereka dari arah belakang). Dan adalah orang-orang Yahudi mengatakan bahwa barangsiapa yang menelungkupkan istrinya (= menjimai dari arah belakang), maka anaknya yang lahir nanti bermata juling. Lalu, datanglah orang-orang Muhaajiriin ke Madinah yang menikahi wanita-wanita Anshaar, lalu mereka menelungkupkan istrinya saat menjimainya. Para wanita Anshaar itu enggan mentaati permintaan suami mereka itu. Mereka (para istri) berkata kepada suaminya : “Jangan kalian melakukannya hingga aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia pun kemudian masuk menemui Ummu Salamah dan menyebutkan permasalahan itu kepadanya. Ummu Salamah berkata : “Duduklah, hingga Rasulullah s‎hallallaahu ‘alaihi wa sallam datang”. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang, wanita Anshaar itu malu untuk bertanya kepada beliau dan keluar. Maka Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun bersabda : “Panggillah wanita Anshaar tadi”. Ia pun dipanggil dan Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat ini kepadanya ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’. Beliau bersabda : ‘Asalkan pada satu lubang (yaitu farjinya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/305; hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 44/220].
حدثنا سفيان قال ثنا يزيد بن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن عمارة بن خزيمة بن ثابت عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أن الله لا يستحي من الحق لا تأتوا النساء في أدبارهن
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Abdillah bin Usaamah bin Al-Haad, dari ‘Ammaarah bin Khuzaimah bin Tsaabit, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Allah tidaklah malu dalam menerangkan kebenaran.Janganlah kalian mendatangi istri kalian pada dubur mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy no. 436; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 36/189].
أخبرنا النضر نا حماد بن سلمة حدثني حكيم الأثرم عن أبي تميمة الهجيمي عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من أتى كاهنا فصدقه بما يقول أو أتى حائضا أو أتى امرأة في دبرها فقد بريء مما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah : telah menceritakan kepadaku Hakiim Al-Atsram, dari Abu Tamiimah Al-Hujaimiy, dari Abu Hurairah radliyallaahu ta’alaa ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :“Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, atau mendatangi (menjimai) wanita yang haidl atau mendatangi wanita pada duburnya, sungguh ia telah berlepas diri dari apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih no. 482; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 7/68-70 no. 2006].

Ijma’
Al-Maawardiy rahimahullah mengatakan bahwa pengharaman mendatangi istri pada duburnya merupakan ijma’ para shahabat :
لأنه إجماع الصحابة : روي ذلك عن علي بن أبي طالب وعبدالله بن عباس وابن مسعود وأبي الدرداء
“Karena ia (pengharaman mendatangi istri pada duburnya) merupakan ijma’ shahabat. Diriwayatkan hal itu dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, Ibnu Mas’uud, dan Abud-Dardaa’” [Al-Haawiy, 9/319].
Atsar
حدثنا عبد الاعلى عن سعيد عن قتادة عن أبي أيوب عن عبد الله بن عمرو قال : هي اللوطية الصغرى .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Sa’iid, dari Qataadah, dari Abu Ayyuub, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Ia adalah perbuatan liwath kecil” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/363; shahih].
أخبرنا معمر عن بن طاوس عن أبيه قال سئل بن عباس عن الذي يأتي امرأته في دبرها فقال هذا يسائلني عن الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang orang yang mendatangi istrinya pada duburnya. Maka ia berkata : “Orang ini menanyakan kepadaku tentang kekafiran” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 20953; shahih].
أخبرنا هناد بن السري عن وكيع عن الضحاك بن عثمان عن مخرمة بن سليمان عن كريب عن بن عباس قال لا ينظر الله يوم القيامة إلى رجل أتى بهيمة أو امرأة في دبرها
Telah mengkhabarkan kepada kami Hanaad bin As-Sariy, dari Wakii’, dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaimaan, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Allah tidak akan melihat pada hari kiamat laki-laki yang mendatangi (menjimai) binatang atau wanita pada duburnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa, 5/320-321 no. 9002; shahih]‎.
حدثنا هدبة حدثنا همام عن قتادة قال حدثني عقبة بن وساج عن أبي الدرداء قال : وهل يفعل ذلك إلا كافر.
Telah menceritakan kepada kami Hudbah : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Uqbah bin Wasaaj, dari Abud-Dardaa’, ia berkata : “Tidak ada orang yang melakukannya kecuali orang kafir” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/210; shahih].
عن معمر عن الزهري قال سألت بن المسيب وأبا سلمة بن عبد الرحمن عن ذلك فكرهاه ونهياني عنه
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnul-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan tentang perbuatan itu, maka ia membencinya dan melarangku terhadapnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 20955; shahih].
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا فَهُوَ مِنْ الْمَرْأَةِ مِثْلُهُ مِنْ الرَّجُلِ ثُمَّ تَلَا { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّهُ } أَنْ تَعْتَزِلُوهُنَّ فِي الْمَحِيضِ الْفَرْجَ ثُمَّ تَلَا { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَائِمَةً وَقَاعِدَةً وَمُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً فِي الْفَرْجِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muusaa, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, ia berkata : "Barangsiapa menggauli isterinya pada duburnya, maka ia termasuk wanita yang semisalnya dari kalangan laki-laki”. Kemudian ia membaca ayat : Dan mereka bertanya kepada kamu tentang haidl, maka katakanlah ia itu kotoran, maka jauhilah wanita-wanita yang tengah haid, dan jangan kalian dekati mereka hingga mereka suci, dan apabila mereka telah suci, maka datangilah mereka dari arah yang Allah subhanallahu wa ta'ala perintahkan kepada kalian (QS. Al-Baqarah : 223) : “Yaitu, hendaklah kalian jauhi kemaluan mereka ketika sedang haid”. Kemudian ia membaca ayat : Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian, maka datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian (QS. Al-Baqarah : 223) :“Yaitu, baik berdiri, duduk, dari arah depan atau dari arah depan asalkan pada farjinya"[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1135; shahih].
أخبرنا عثمان بن عمر ثنا خالد بن رباح عن عكرمة { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم }  قال إنما هو الفرج
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Rabbaah, dari ‘Ikrimah tentang ayat : ‘Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian, maka datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian’, ia berkata : “Hanyalah yang dimaksud akan hal itu adalah farjinya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1124; shahih].
أخبرنا محمد بن يزيد ثنا يونس بن بكير حدثني بن إسحاق حدثني أبان بن صالح عن طاوس وسعيد ومجاهد وعطاء إنهم كانوا ينكرون إتيان النساء في أدبارهن ويقولون هو الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Bukair : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku Abaan bin Shaalih, dari Thaawus, Sa’iid, Mujaahid, dan ‘Athaa’ : Bahwasannya mereka semua mengingkari perbuatan mendatangi wanita pada duburnya, dan mereka berkata : “Ia adalah kekufuran” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1146; hasan].
Catatan Penting
1.      Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
حدثنا أحمد بن داود، قال : أخبرنا يعقوب بن حميد، قال : ثنا عبد الله بن نافع عن هشام بن سعد عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد : أن رجلا أصاب امرأته في دبرها فأنكر الناس ذلك عليه وقالوا : أتعزبها فأنزل الله عز وجل نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُم ْ
قال أبو جعفر : فذهب قوم إلى أن وطء المرأة في دبرها جائز واحتجوا في ذلك بـهذا الحديث وتأولوا هذه الآية على إباحة ذلك 
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Daawud, ia berkata : Telah mengkhabar kepada kami Ya’quub bin Humaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, dari Hisyaam bin Sa’d, dari Zaid bin Aslam, ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Sa’iid : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada dubur-nya. Maka orang-orang mengingkari hal itu dan berkata : “Apakah engkau menjauhinya ?”. Lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’.
Abu Ja’far berkata : “Sekelompok orang berpendapat bahwa mencampuri istri pada duburnya diperbolehkan, dan mereka berhujjah dengan hadits ini serta menta’wilkan ayat ini tentang kebolehannya” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 3/40].

2.      Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata :
أخبرنا ابن عبدالحكم قراءةً قال: سمعت الشافعيُّ يقول: ليس فيه-يعني إتيان النساء في الدبر- عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في التحريم والتحليل حديثٌ ثابت
“Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Abdil-Hakam secara qira’at, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Tidak ada padanya – yaitu permasalahan mendatangi wanita pada duburnya – dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pengharaman dan penghalalannya hadits yang tsaabit” [Aadaabusy-Syaafi’iy, hal. 217].

3.      Beberapa ulama menyebutkan bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma membolehkan perbuatan tersebut berdasarkan riwayat :
حدثني يعقوب قال حدثنا هشيم قال أخبرنا ابن عون عن نافع قال : كان ابن عمر إذا قر ئ القرآن لم يتكلم قال فقرأت ذات يوم هذه الآية : (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) فقال : أتدري فيمن نزلت هذه الآية ؟ قلت : لا. قال : نزلت في إتيان النساء في أدبارهن
Telah menceritakan kepadaku Ya’quub, ia berkata : Telah mencertakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata : Adalah Ibnu ‘Umar apabila dibacakan Al-Qur’an tidaklah berkata-kata. Pada suatu hari aku membaca ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’, maka ia berkata : “Apakah engkau tahu kepada siapa ayat ini diturunkan ?”. Aku berkata : “Tidak tahu”. Ia berkata : “Ayat ini diturunkan berkaitan tentang orang yang mendatangi istrinya pada ‘dubur’ mereka” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy 4/403-404 no. 4326; shahih].
Al-Imam Al-Bukhaariy menyebutkan riwayat senada sebagai berikut :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ لَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ فَأَخَذْتُ عَلَيْهِ يَوْمًا فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ حَتَّى انْتَهَى إِلَى مَكَانٍ قَالَ تَدْرِي فِيمَ أُنْزِلَتْ قُلْتُ لَا قَالَ أُنْزِلَتْ فِي كَذَا وَكَذَا ثُمَّ مَضَى وَعَنْ عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنِي أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ { فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَالَ يَأْتِيهَا يأتها في..... َ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr bin Syumail : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata : Adalah Ibnu ‘Umar apabila dibacakan Al-Qur’an tidaklah berkata-kata hingga selesai. Pada suatu hari aku mengambil mushhaf untuknya, lalu ia membaca Al-Baqarah hingga selesai dengan hafalannya. Lalu ia berkata : “Tahukah kamu tentang apa surat ini turun?”. Aku menjawab : “Tidak”. Ia berkata : “Surat ini turun tentang ini dan itu”. Kemudian dia pergi.‎
Dan dari ‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar tentang ayat :‘istri-istrimu adalah ladang bagimu maka datangilah ladang-ladangmu kapan saja sesuai yang kamu sukai’(QS. Al-Baqarah : 223), maka Ibnu Umar berkata : “Yaitu mendatanginya pada….” [Shahih Al-Bukhaariy no. 4526-4527].
Tidak ada keterangan dalam riwayat Al-Bukhaariy menyebutkan dubur. Akan tetapi, Abu Qilaabah menambahkan lafadh dalam jalur ‘Abdush-Shamad : “Pada duburnya (في الدبر)” [Tafsir Ath-Thabariy, 4/406 no. 4331]. Abu Qilaabah adalah seorang yang tsiqah, sehingga riwayat tersebut shahih.
Namun ada riwayat lain yang ‘bertentangan’ dengan riwayat shahih di atas :
أخبرنا الربيع بن سليمان قال نا أصبغ بن الفرج قال نا عبد الرحمن بن القاسم قال قلت لمالك إن عندنا بمصر الليث بن سعد يحدث عن الحارث بن يعقوب عن سعيد بن يسار قال قلت لابن عمر إنا نشتري الجواري فنحمض لهن قال وما التحميض قال نأتيهن في أدبارهن قال أو أو يعمل هذا مسلم فقال لي مالك فأشهد على ربيعة لحدثني عن سعيد بن يسار أنه سأل بن عمر عنه فقال لا بأس به
Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ashbagh bin Al-Faraj, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Maalik : “Sesungguhnya ketika kami di Mesir, Al-Laits bin Sa’d menceritakan hadits dari Al-Haarits Ya’quub, dari Sa’iid bin Yasaar, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya kami membeli beberapa budak wanita dan kami melakukantahmiidl kepada mereka’. Ibnu ‘Umar berkata : ‘Apa itu tahmiidl ?’. Sa’iid berkata : ‘Kami mendatangi/menjimai mereka pada duburnya’. Ibnu ‘Umar berkata : ‘Uf, uf, mungkinkah itu dilakukan oleh seorang muslim ?‎. (‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim berkata : ) Lalu Maalik berkata (setelah mendengar ceritaku) : ‘Aku bersaksi atas Rabii’ah, ia telah menceritakan kepadaku, dari Sa’iid bin Yasaar bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang hal tersebut, lalu Ibnu ‘Umar berkata : ‘Tidak mengapa dengannya’” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8979; shahih].
Ada beberapa faedah yang dapat kita petik dari riwayat An-Nasaa’iy di atas. Dua kemungkinan atas perkataan Ibnu ‘Umar yang membolehkan mendatangi wanita pada duburnya : 
Pertama, ada kemungkinan bahwa orang yang mendengar perkataan Ibnu ‘Umar tersebut salah dalam memahami (= salah paham)‎.‎ ‎
Kedua, ada kemungkinan bahwa Ibnu ‘Umar keliru dalam memahami sebab turunnya ayat lalu berpendapat tentang kebolehan, kemudian ia rujuk setelah mengetahui nash-nash pelarangannya.
Kemungkinan pertama dikuatkan oleh riwayat berikut :
أخبرنا علي بن عثمان بن محمد بن سعيد بن عبد الله بن نفيل قال نا سعيد بن عيسى قال نا المفضل قال حدثني عبد الله بن سليمان عن كعب بن علقمة عن أبي النضر أنه أخبره أنه قال لنافع مولى عبد الله بن عمر قد أكثر عليك القول أنك تقول عن بن عمر إنه أفتى بأن يؤتى النساء في أدبارها قال نافع لقد كذبوا علي ولكني سأخبرك كيف كان الأمر إن بن عمر عرض المصحف يوما وأنا عنده حتى بلغ { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يا نافع هل تعلم ما أمر هذه الآية إنا كنا معشر قريش نجبي النساء فلما دخلنا المدينة ونكحنا نساء الأنصار أردنا منهن مثل ما كنا نريد من نسائنا فإذا هن قد كرهن ذلك وأعظمنه وكانت نساء الأنصار إنما يؤتين على جنوبهن فأنزل الله تعالى { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم }
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin ‘Utsmaan bin Muhammad bin Sa’iid bin ‘Abdillah bin Nufail, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Mufadldlal, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Sulaimaan, dari Ka’b bin ‘Alqamah, dari Abun-Nadlr bahwasannya ia telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa ia pernah berkata kepada Naafi’ maulaa Ibni ‘Umar : “Banyak perkataanmu yang beredar bahwasannya engkau berkata dari Ibnu ‘Umar bahwa ia (Ibnu ‘Umar) berfatwa tentang pembolehan mendatangi wanita dari duburnya”. Naafi’ berkata : “Sungguh mereka telah berdusta terhadapku. Akan tetapi akan aku khabarkan kepadamu bagaimana perkara yang sebenarnya. Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah membaca mushhaf untuk hapalannya pada suatu hari, dan waktu itu aku ada di sisinya. Hingga ia sampai pada ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223). Ia berkata : ‘Wahai Naafi’, apakah engkau mengetahui apa sebab ayat ini diturunkan ?. Sesungguhnya kami masyarakat Quraisy biasa mendatangi para wanita dengan posisi menungging. Maka ketika kami datang ke Madinah dan menikahi wanita Anshaar, kami ingin dari mereka seperti apa yang kami inginkan dari wanita-wanita kami (yang menjimai dengan posisi menungging). Namun ternyata mereka tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai perkara yang besar. Wanita Anshaar itu biasa didatangi dari arah depan/terlentang. Maka Allahta’ala menurunkan ayat : Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8978; hasan].
Dalam riwayat sebab turunnya ayat di awal bahasan ini telah disebutkan para shahabat dulu (sebelum datang ke Madinah) biasa mendatangi istri mereka dari arah belakang, namun pada farjinya. Anggapan orang Yahudi bahwa anak yang juling itu akan lahir jika didahului persenggamaan dari arah belakang, tidak mungkin dipahami bahwa persenggamaan itu dilakukan pada dubur si wanita (sebab itu tidak akan melahirkan anak).
Itulah yang dimaksud Ibnu ‘Umar dalam riwayat di atas. Maka, perkataan Ibnu ‘Umar ‘pada duburnya’, maksudnya adalah mendatangi mereka dari arah dubur mereka (yaitu dari arah belakang), namun tetap pada farjinya. Riwayat An-Nasaa’iy (no. 8978) di atas lebih terperinci daripada riwayat sebelumnya (yang berisi ‘pembolehan’), sehingga penunjukan (dilalah) hukumnya lebih kuat.
Kemungkinan kedua ditunjukkan dari perkataan ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri atas diri Sa’iid bin Yasaar. Perkataan Maalik bahwa Sa’iid bin Yasaar pernah diberi fatwa Ibnu ‘Umar bahwa hal itu tidak mengapa, dan kemudian di lain waktu ia membeli budak dan melakukan perbuatan itu lalu ia pun dicela Ibnu ‘Umar karenanya; menunjukkan pelarangan itu adalah datang kemudian.
Namun apapun itu, membawa pendapat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa akan pelarangan mendatangi wanita pada duburnya lebih kuat karena berkesesuaian dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallami – sementara ia dikenal sebagai salah seorang shahaba yang sangat kuat ittiba’-nya kepada Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan para shahabat yang lainnya.‎

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وهذا إسناد صحيح ونص صريح منه بتحريم ذلك، فكل ما ورد عنه مما يحتمل ويحتمل فهو مردود إلى هذا المحكم
“Sanad ini shahih dan seagai nash yangsharih (jelas) darinya (Ibnu ‘Umar) tentang pengharaman hal itu. Setiap riwayat yang datang darinya yang membolehkan atau mengandung kemungkinan membolehkan, maka ia tertolak berdasarkan hukum ini” [Tafsiir Ibni Katsiir].
4.      Ada beberapa nukilan dari beberapa kitab ulama kita yang menyebutkan Maalik bin Anas membolehkan menjimai wanita dari duburnya pada kitab As-Sirr. Juga dikuatkan dengan riwayat yang dinukil Ibnu Hajar :
وَرَوَى عبد الرَّزَّاقِ عن مَعْمَرٍ قال: لو أَنَّ رَجُلًا أَخَذَ بِقَوْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ في اسْتِمَاعِ الْغِنَاءِ وَإِتْيَانِ النِّسَاءِ في أَدْبَارِهِنَّ، وبقول أَهْلِ مَكَّةَ في الْمُتْعَةِ وَالصَّرْفِ، وَبِقَوْلِ أَهْلِ الْكُوفَةِ في الْمُسْكِرِ كان شَرَّ عِبَادِ اللَّهِ
“’Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, ia berkata : ‘Seandainya ada seseorang yang mengambil pendapat penduduk Madiinah tentang pembolehan mendengarkan nyanyian dan mendatangi wanita pada duburnya, pendapat penduduk Makkah tentang pembolehan (nikah) mut’ah dan sharf, serta pendapat penduduk Kuufah tentang minuman memabukkan; maka ia menjadi hamba Allah yang paling jelek‎” [At-Talkhiish, 3/398].
Sisi pendalilannya : Jika disebut penduduk Madiinah, maka penghulu mereka di jaman itu adalah Maalik bin Anas. Ma’mar bin Raasyid termasuk kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang selevel dengan Maalik bin Anas rahimahumallah. Ada kemungkinan pendapat penduduk Madiinah itu juga merupakan pendapat Maalik bin Anas.‎

Ibnul-Haajib rahimhullah berkata :
ويحل كل استمتاع إلا الإتيان في الدبر، ونسب تحليله إلى مالك في كتاب (السر) وهو مجهول. وعن ابن وهب: سألت مالكاً وقلت: إنهم حكوا عنك أنك تراه، فقال: معاذ الله، وتلا {نساؤكم حرث لكم} وقال: لا يكون الحرث إلا في موضع الزرع
“Dan dihalalkan setiap kesenangan kecuali mendatangi (menjimai) istri pada duburnya. Adapun penisbatan tentang pembolehannya dari Maalik (bin Anas) dalam kitab As-Sirr adalah majhuul(tidak diketahui). Dari Ibnu Wahb : Aku pernah bertanya kepada Maalik, dan aku berkata kepadanya : ‘Sesungguhnya mereka menghikayatkan darimu bahwasannya engkau berpendapat membolehkannya’. Maka ia berkata : ‘Ma’aadzallaah’. Lalu ia membaca ayat :‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam’. Ia berkata : ‘Tidaklah disebut ladang kecuali ia tempat (ditumbuhinya) tanaman” [Jaami’ul-Ummahaat, 1/261].
Hal yang sama dinukil oleh Al-Qurthubiy rahimahullah :
وقال مالك لابن وهب وعلي بن زياد لما أخبراه أن ناساً بمصر يتحدثون عنه أنه يجيز ذلك ، فنفر من ذلك ، وبادر إلى تكذيب الناقـل فقال : كذبوا عَليَّ ، كذبوا علي ، ثم قال : ألستم قوماً عرباً ، ألم يقل الله تعالى : نِسَاؤُكُمْ حَرْثُُ لَكُمْ وهل يكون الحرث إلا في موضع المنبت ؟ !
“Telah berkata Maalik kepada Ibnu Wahb dan ‘Aliy bin Ziyaad ketika keduanya mengkhabarkan kepadanya bahwa orang-orang Mesir mengatakan darinya (Maalik) bahwa ia telah membolehkannya. Maka ia terkejut akan hal itu dan cepat-cepat mendustakan orang yang menukil. Maalik berkata : ‘Mereka telah berdusta atas namaku, mereka telah berdusta atas namaku’. Kemudian melanjutkan : ‘Bukankah kalian termasuk bangsa ‘Arab ? Tidakkah Allah ta’ala telah berfirman :Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam (QS. Al-Baqarah : 223). Bukankah yang disebut ladang itu tempat yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan ?” [Tafsir Al-Qurthubiy, 3/94-95].
Ibnul-Haaj rahimahullah berkata :
وعن عبدالرحمن بن القاسم أن شرطي المدينة دخل على مالك بن أنس رحمه الله تعالى فسأله عن رجل رفع إليه أنه قد أتى امرأته في دبرها ، فقال مالك : " أرى أن توجعه ضرباً فإن عاد إلى ذلك ففرق بينهما
“Dan dari ‘Abdurrahman bin Al-Qaasim : Bahwasannya petugas keamaan/polisi kota Madiinah masuk menemui Maalik bin Anas rahimahullahu ta’ala, lalu bertanya kepadanya tentang seseorang yang diajukan kepadanya dimana ia telah mendatangi istrinya pada duburnya. Maka Maalik berkata : “Aku berpendapat agar kalian menghukumnya dengan deraan. Jika ia mengulangi perbuatan itu, ceraikanlah antara keduanya” [Al-Madkhal, 2/196-197].
Dan ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri – sebagai periwayat kitab As-Sirr – mengatakan bahwa Maalik membenci perbuatan tersebut [At-Talkhiish, 3/398].
Perkataan yang ‘adil dalam hal ini adalah : Maalik bin Anas kemungkinan memang pernah mengatakan kebolehannya, namun kemudian ia rujuk dan kemudian tidak membolehkannya karena nampak baginya hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan hal itu. Wallaahu a’lam.
Tinjauan Fiqh dan Medis
Islam telah mengharamkan menjimai farji yang dapat menimpakan penyakit seperti ketika haidl dan nifas, dan ini sifatnya tidak permanen/sementara. Maka menjimai tempat yang pada asalnya sarang kotoran dan penyakit lebih ditekankan lagi, karena kotoran yang ada pada lubang dubur ini sifatnya permanen. Ini adalah dalil akal yang tidak terbantahkan.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
اتفق أهل العلم على أنه يجوز للرجل إتيان زوجته في قبلها من جانب دبرها ، وعلى أي صفة شاء، أما الإتيان في الدبر فحرام ، فمن فعله جاهلاً بتحريمه نُهِىَ عنه ، فإن عاد عُزِّرَ
“Para ulama sepakat bahwasannya diperbolehkan bagi seorang laki-laki mendatangi istrinya pada farjinya dari arah belakang, dengan gaya apapun yang ia suka. Adapun mendatangi pada duburnya, maka haram. Barangsiapa yang melakukannya karena ketidaktahuan akan keharamannya, ia dilarang darinya. Namun jika ia mengulanginya, ia dihukum” [Syarhus-Sunnah, 9/196].
Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata :
فأباح موضع الحرث والمطلوب من الحرث نبات الزرع فكذلك النساء الغرض من إتيانهن هو طلب النسل لا قضاء الشهوة وهو لا يكون إلا في القبل فيحرم ما عدا موضع الحرث ولا يقاس عليه غيرة لعدم المشابهة في كونه محلا للزرع وأما حل الاستمتاع فيما عدا الفرج فمأخوذ من دليل آخر وهو جواز مباشرة الحائض فيما عدا الفرج
“Allah hanya membolehkan tempat bercocok tanam, dan yang dicari dari tempat bercocok tanam adalah tumbuhnya tanaman. Begitu pula wanita, bahwa tujuan menjimai mereka adalah untuk mencari keturunan, bukan sekedar pemenuhan syahwat saja. Maka hal itu tidaklah terjadi kecuali dilakukan pada farji. Maka Allah mengharamkan melakukannya selain dari tempat bercocok tanam itu. Tidak ada qiyas padanya terhadap selainnya karena memang tidak ada persamaan dalam keadaannya sebagai tempat tanaman. Adapun mencari kesenangan (istimtaa’) pada selain farji, maka itu diambil dari dalil yang lain, yaitu diperbolehkannya mencumbui/mempergauli (mubaasyarah) wanita haidl selain pada farjinya‎” [Subulus-Salaam, 3/187].
Apa yang dilarang Allah ta’ala dan Rasul-Nya ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas pelarangan mendatangi/menjimai wanita pada duburnya pasti mengandung hikmah, baik ia kita ketahui ataupun tidak. Telah banyak penelitian para ahli, baik muslim maupun kafir, yang menjelaskan perilaku menyimpang ini.
Other risk factors associated with increasedanal-cancer risk included gay or bisexual orientation among men, a high number of lifetime sexual partners and a history of receptive anal sex. The study also suggested that the overall increase in anal cancer rates might be partially attributable to an increase in the average number of lifetime sexual partners and an increase in the number of people engaging in anal sex, particularly among women.
Among the female control group studied, 21.5 percent had reported practicing anal sex, a significant increase from a previous case-control study by Daling and colleagues, published in 1987, in which 11 percent of female controls had reported ever having anal sex. Similarly, 40 percent of the women in the control group of the current study reported having five or more lifetime sexual partners as compared to 9 percent of the female control group in the 1987 study.
"It could be that sexual practices have changed, but it also could be that people are just more likely to discuss their sexual behavior these days," Daling said. "However, I suspect that increased incidence of anal intercourse among both men and women is most likely to be the primary cause behind the rise in anal cancer." 
The anal sphincter muscle is not anatomically designed to comfortably admit external objects--it is designed to relax and stretch when stimulated internally by rectal fullness from stool.  The automatic reflex is for it to contract and tighten when pressure is applied externally.  So relaxation of the sphincter for external penetration is learned over time because otherwise it is very uncomfortable, and must only be done with gentle continual pressure, and lots and lots of lubricant. The risks, even with gentle insertion, are laceration of the anal tissue, and rectal mucosa, resulting in pain, bleeding, and difficulty passing stool comfortably. 
Any presence of blood can potentially expose the insertive partner to bloodborne STDs like Hep. B, Hep. C, and HIV.  In addition, exposure to stool can result in urethral infections in a male insertive partner.
The receptive partner is at more risk for contracting STDs if there is trauma (even microscopic) to the anus or rectum due to the potential presence of virus in semen, if ejaculation takes place in the rectum.  Human papilloma virus also is likely to be spread anally due to this trauma to the anal and rectal tissue, and some of the most difficult persistent HPV infections we see are chronic anal warts, both external and internal to the anal sphincter and they are exceptionally difficult to treat, often requiring surgery to remove.
Aside from the traumatic and infectious risks, there is the risk of sphincter tone (tightness) loss over time due to repeated dilation for insertive intercourse.  Many receptive partners experience stool incontinence (leaking of stool or poor control) when they have anal sphincter tone decrease.  This, needless to say, is very bothersome and uncomfortable and has to be surgically corrected if it becomes chronic.
Lastly, there is increased risk of spreading gastrointestinal pathogens through anal contact--whether it is bacterial infections like salmonella or E. Coli, or parasitic infections like Giardia

Penjelasan Pentingnya Menutupi 'Aib


Akhir akhir ini banyak isu yang berkembang di masyarakat tentang berbagai isu dan fitnah. Serta banyaknya orang-orang islam yang sengaja mencari kesalahan orang lain dan menyebarkan isu aib dan kesalahan orang lain. 
Apalagi dalam nuansa politik yang berkembang saat ini. Banyak tokoh Agama yang terbuai dan melupakan ajaran Al-Qur'an dan As-Sunah demi kepentingan pribadi dan golongan.
Ikwaniyal kirom!!!‎
Sebagai Masyarakat Islam hendaknya kita lebih mengedepankan ajaran Agama dalam menyikapi berbagai isu politik yang ada di sekitar kita, agar jangan sampai tindakan dan ucapan kita membawa kita terjerumus dalam lingkaran dosa dan kesalahan yang akan membuat kita malu Di hadapan Alloh pada Yaumil Qiyamah kelak.
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Hujuraat : 12].

Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
قال المفسرون : التجسس : البحث عن عيب المسلمين وعوراتهم؛ فالمعنى : لا يبحث أحدكم عن عيب أخيه ليطلع عليه إذ ستره الله.
“Para ahli tafsir berkata : Kata ‘tajassus’ maknanya mencari-cari aib dan kekurangan/kelemahan dari kaum muslimin. Sehingga maknanya ayat itu adalah : Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari aib saudaranya dan berupaya menampakkannya, padahal Allah menutupinya” [Zaadul-Maasir, 7/471; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 3/1404 H].
Larangan yang ada dalam ayat di atas juga dikatakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا "
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah: Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Hammaam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling mencari-cari kejelekan (tahassus), saling memata-matai (tajassus), saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian, wahai hamba-hamba Allah, orang-orang yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6064].

Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhir”[QS. An-Nuur : 19].

Pada ayat di atas Allah ta’ala menjelaskan bahwa menyebarkan satu kemunkaran (baik dari jenis perkataan atau perbuatan) agar beredar di kalangan mukminiin, merupakan sifat orang-orang yang mendapatkan ancaman Allah ta’ala akan ‘adzab.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وهذا تأديب ثالث لمن سمع شيئا من الكلام السيئ، فقام بذهنه منه شيء،وتكلم به، فلا يكثر منه ويشيعه ويذيعه، فقد قال تعالى: { إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا } أي: يختارون ظهور الكلام عنهم بالقبيح، { لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا } أي: بالحد، وفي الآخرة بالعذاب ، { وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ } أي: فردوا الأمور إليه تَرْشُدُوا.
“Ini merupakan pelajaran ketiga, bagi siapa saja yang mendengar sesuatu dari perkataan yang buruk, lalu dengan pikirannya tergambar sesuatu yang akan diucapkannya; maka janganlah ia bergegas memperbanyak dan menyiarkannya. Allah ta’ala telah berfirman :‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman’ ; yaitu : mereka menginginkan agar perkataan itu nampak dengan buruk. ‘bagi mereka azab yang pedih di dunia’ ; yaitu dengan hukuman hadd.‘dan di akhirat’; yaitu dengan adzab” [Tafsir Ibni Katsiir, 6/29].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
والمراد : إشاعةُ الفَاحِشَةِ على المؤمن المستتر فيما وقع منه ، أو اتُّهِمَ به وهو بريء منه
“Maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji seorang mukmin yang berusaha menutupi aib yang ada pada dirinya tersebut, atau menuduh seorang mukmin dengan satu kekejian yang ia berlepas diri darinya (tidak melakukannya)” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hadits no. 36].
عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال : القَائلُ الفَاحِشَةَ ، والذِي يُشيعُ بِها فِي الإثمِ سَواءٌ.
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang menyebarkannya; dalam dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 234].
Dalam riwayat lain, ia berkata :
القائل الفاحشة والذي يسمع في الإثم سواء
“Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang setia mendengarkannya, dalam hal dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 553; Husain Salim Asad berkata : ‘Para perawinya tsiqaat’].
Kekejian adalah satu hal yang diingkari jiwa. Fithrah manusia tidak menginginkan satu kekejian tersebar, apalagi yang bersumber dari dirinya. Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 13, Muslim no. 45, Ahmad 3/176, dan yang lainnya].
Lantas, bagaimana bisa seorang mukmin senang merelakan telinganya setia mendengarkan kefasikan dan menjadikan mulutnya fasih menyebarkannya ?
Maka, sangat dipahami jika seseorang pun akan mendapatkan kesetaraan dosa jika turut ambil saham menyebarkan kekejian ke telinga-telinga manusia – sebagaimana dikatakan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Karena, menyebarkan berita kekejian merupakan faktor tersebarnya kekejian itu sendiri.
Janganlah kita mencari-cari aib/kesalahan orang lain yang berusaha menutupi aib/kesalahannya itu. Allah ta’ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [QS. Al-Hujuraat : 12].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
قال المفسرون: التجسس البحث عن عيب المسلمين وعوراتهم فالمعنى: لا يبحث أحدكم عن عيب أخيه ليطلع عليه إذ ستره الله
“Para pakar tafsir berkata : at-tajassus adalah mencari-cari aib dan aurat/kelemahan kaum muslimin. Maka, makna ayat tersebut adalah : Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari kesalahan saudaranya yang telah Allah tutupi, untuk ia tampakkan” [Zaadul-Masiir, 7/471].
Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita melalui sabdanya :
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإِيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين، ولا تتبعوا عوراتهم، فإِنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته، ومن يتبع اللّه عورته يفضحه في بيته.
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya ! Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin. Jangan pula kalian mencari-cari aib/kesalahan mereka. Karena, sesungguhnya orang yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan cari-cari aib yang ada pada dirinya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, maka Allah akan ungkap aibnya tersebut meskipun ada di dalam rumahnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4880‎].
Mencari-cari aib seorang muslim tanpa maslahat syar’iy adalah ciri-ciri orang munafik, sebab beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya’.
Mari kita perhatikan kisah menarik Maa’iz dan Hazzaal berikut ini :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : أتى رجل رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في المسجد، فناداه فقال: يا رسول الله، إني زنيت، فأعرض عنه حتى ردد عليه أربع مرات، فلما شهد على نفسه أربع شهادات، دعاه النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (أبك جنون). قال: لا، قال: (فهل أحصنت). قال: نعم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (اذهبوا به فارجموه).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Ia memanggil beliau dan berkata : “Wahai Rasulillah, sesungguhnya aku telah berbuat zina”. Mendengar itu beliau berpaling darinya, hingga orang tersebut mengulangi sampai empat kali. Ketika ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammemanggilnya dan bersabda : “Apakah engkau gila ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Apakah engkau telah menikah ?”. Ia menjawab : “Ya, pernah”. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Bawalah pergi orang ini”. Lalu para shahabat merajamnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6820].
عن نعيم بن هزال : أن هزالا كان استأجر ماعز بن مالك وكانت له جارية يقال لها فاطمة قد أملكت وكانت ترعى غنما لهم وان ماعزا وقع عليها فأخبر هزالا فخدعه فقال انطلق إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبره عسى ان ينزل فيك قرآن فأمر به النبي صلى الله عليه وسلم فرجم فلما عضته مس الحجارة انطلق يسعى فاستقبله رجل بلحى جزور أو ساق بعير فضربه به فصرعه فقال النبي صلى الله عليه وسلم ويلك يا هزال لو كنت سترته بثوبك كان خيرا لك
Dari Nu’aim bin Hazzaal ia berkata : Hazzaal pernah menyewa Maa'iz bin Maalik dan ia memiliki seorang budak wanita bernama Fathimah yang ia miliki. Budak wanita ini bertugas menggembala kambing milik mereka dan Maa'iz pun menyetubuhinya. Maa'iz memberitahukan hal itu kepada Hazzaal, kemudian Hazzal mengelabuhinya dan berkata : “Pergilah ke Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beritahukan pada beliau (tentang hal yang kau alami). Mudah-mudahan turun Al-Qur’an berkenaan denganmu”. (Setelah ia menghadap dan menceritakan apa yang telah ia lakukan, sebagaimana hadits sebelum ini‎), lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar dirajam. Saat dirajam dan terkena hantaman batu, Maa'iz berusaha lari kemudian seseorang mengejarnya dengan membawa tulang dagu onta atau tulang betis onta, kemudian dipukulkan ke Maa'iz hingga mati. Setelah itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :"Celaka kau hai Hazzal, seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu"[Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/217; Al-Arna’uth berkata : “Shahih li-ghairihi”].
Ibnu Hajar berkata :
قال الباجي المعنى خيرا لك مما أمرته به من إظهار أمره وكان ستره بأن يأمره بالتوبة والكتمان كما أمره أبو بكر وعمر وذكر الثوب مبالغة أي لو لم تجد السبيل إلى ستره الا بردائك ممن علم أمره كان أفضل مما أشرت به عليه من الإظهار
“Telah berkata Al-Baajiy : Makna (perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :‘seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu’) adalah lebih baik bagimu daripada engkau suruh ia untuk menjelaskan perkaranya (kepadaku). Adapun anjuran untuk menutupinya adalah dengan menyuruhnya bertaubat dan menyembunyikan aib yang telah dilakukannya sebagaimana yang telah diperintahkan Abu Bakr dan ‘Umar (sebelum Maa’iz menghadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Penyebutan ‘baju’ adalah ‎mubaalaghah, yaitu seandainya engkau tidak mendapatkan jalan untuk menutupinya kecuali (menutupinya) dengan pakaianmu dari orang yang mengetahui perkaranya, maka itu lebih utama/baik daripada yang telah engkau sarankan kepadanya untuk menampakkannya” [Fathul-Baariy, 12/125].
فقال (الشافعي) أحب لمن أصاب ذنبا فستره الله عليه أن يستره على نفسه ويتوب واحتج بقصة ماعز مع أبي بكر وعمر وقال بن العربي هذا كله في غير المجاهر فاما إذا كان متظاهرا بالفاحشة مجاهرا فاني أحب مكاشفته والتبريح به لينزجر هو وغيره
“Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Aku senang seandainya orang yang berbuat dosa yang kemudian Allah menutupi dosanya tersebut (sehingga tidak diketahui orang lain); agar juga menutupinya dan bertaubat (kepada Allahta’ala)’. Beliau (Asy-Syaafi’iy) berhujjah dengan kisah Maa’iz bersama Abu Bakr dan ‘Umar. Ibnul-‘Arabiy berkata : ‘Semuanya ini berlaku untuk selain orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan. Adapun bagi orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan/kekejian, maka lebih senang untuk mengungkapkannya dan menghukumnya agar ia merasa jera dan menjadi pelajaran bagi yang lain” [idem].
Apa yang dikatakan oleh Ibnul-‘Arabiy rahimahullah  di atas didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كل أمتي معافى إلا المجاهرين، وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملاً، ثم يصبح وقد ستره الله، فيقول: يا فلان، عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربه، ويصبح يكشف ستر الله عنه
“Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang terang-terangan melakukan dosa. Dan sesungguhnya diantara terang-terangan (melakukan dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata : 'Wahai Fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’, padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].
Jika dosa seberat zina saja (asal tidak dilakukan secara terang-terangan) kita dianjurkan untuk menutupinya, bagaimana pula hal yang lebih rendah daripada itu ?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ومن ستر مسلما ستره الله يوم القيامة
“Barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2442, Muslim no. 2580, dan yang lainnya.
Semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga kita dari kemaksiatan dan membuka hati kita untuk bertaubat kepada-Nya….

Allah ta’ala telah memberikan janji akan menutupi aib-aib kita kelak di hari kiamat jika kita menutupi aib-aib saudara kita di dunia.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: " لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan‎: Telah menceritakan kepada kami Wuhaib‎: Telah menceritakan kepada kami Suhail‎, dari ayahnya‎, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba yang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2590].
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair: Telah menceritakan kepada kami Al-Laits‎, dari ‘Uqail‎, dari Ibnu Syihaab: Bahwasannya Saalim‎ telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh mendhaliminya dan tidak boleh pula menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2442].
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هِشَامٍ الدَّسْتَوَائِيِّ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ مُحْرِزٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِابْنِ عُمَرَ: كَيْفَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي النَّجْوَى؟، قَالَ: سَمِعْتُهُ، يَقُولُ: " يُدْنَى الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَضَعَ عَلَيْهِ كَنَفَهُ، فَيُقَرِّرُهُ بِذُنُوبِهِ، فَيَقُولُ: هَلْ تَعْرِفُ؟، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ أَعْرِفُ، قَالَ: فَإِنِّي قَدْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَإِنِّي أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ، فَيُعْطَى صَحِيفَةَ حَسَنَاتِهِ، وَأَمَّا الْكُفَّارُ وَالْمُنَافِقُونَ، فَيُنَادَى بِهِمْ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ "

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb: Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim‎, dari Hisyaam Ad-Dastawaa’iy‎, dari Qataadah‎, dari Shafwaan bin Muhriz‎, ia berkata : Ada seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Bagaimana engkau mendengar keterangan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang bisikan ?”. Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar beliau bersabda : “Pada hari kiamat seorang mukmin akan didekatkan di sisi Rabbnya ‘azza wa jalla sampai diletakkan tutup atas dirinya kemudian Allah pun meminta pengakuannya atas dosa yang telah dilakukannya. Allah berfirman : ‘Apakah kamu mengetahuinya?’. Maka dia menjawab : ‘Benar wahai Rabbku, aku telah mengetahuinya.’ Maka Allah berfirman : ‘Sesungguhnya Aku telah menutupi dosamu ketika di dunia danpada hari ini Aku berikan ampunan atasnya kepadamu’. Maka diberikan kepadanya lembaran catatan amal kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka mereka akan dipanggil di hadapan orang banyak dengan seruan : ‘Mereka itulah orang-orang berdusta atas nama Allah’.” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2768].
Tidakkah kita ingin masuk dalam golongan orang yang beruntung tersebut ya ikhwan ?.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa mencari-cari aib orang lain itu sama dengan usaha untuk merusaknya/membinasakannya.
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّمْلِيُّ، وَابْنُ عَوْفٍ، وَهَذَا لَفْظُهُ، قَالَا: حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ "،
Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Muhammad Ar-Ramliy dan Ibnu ‘Auf– ini lafadhnya (Ibnu ‘Auf) - , mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Firyaabiy, dari Sufyaan, dari Tsaur, dari Raasyid bin Sa'id, dari Mu’aawiyyah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika kalian berusaha mencari-cari kesalahan manusia, maka sesungguhnya kalian telah merusak/membinasakan mereka atau hampir-hampir saja kalian merusak/membinasakan mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4888].

Dalam Fathul-Waduud disebutkan (penjelasan hadits di atas) :
أَيْ إِذَا بَحَثْت عَنْ مَعَائِبِهِمْ وَجَاهَرْتهمْ بِذَلِكَ ، فَإِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى قِلَّة حَيَائِهِمْ عَنْك فَيَجْتَرِئُونَ عَلَى اِرْتِكَاب أَمْثَالهَا مُجَاهَرَة
“Yaitu : Bila engkau mencari-cari aib-aib mereka dan engkau menyebarkannya, niscaya hal itu akan mengurangi rasa malu mereka kepadamu yang menyebabkan mereka akan semakin berani melakukan kejahatan serupa secara terang-terangan”
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنَا ضَمْضَمُ بْنُ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، وَكَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، وَعَمْرِو بْنِ الْأَسْوَدِ، وَالْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، وأبي أمامة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Amru Al-Hadlramiy: Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy‎: Telah menceritakan kepada kami Dlamdlam bin Zur’ah‎, dari Syuraih bin ‘Ubaid‎, dari Jubair bin Jufair‎, Katsiir bin Murrah‎, ‘Amru bin Al-Aswad‎, Al-Miqdaam bin Ma’dikarib, dan Abu Umaamah, dari Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :“Sesungguhnya seorang amir jika ia mencari-cari hal-hal yang mencurigakan (kekeliruan) rakyatnya, maka ia telah merusak mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4889‎].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :‎
معنى ذلك عندنا أن الله قد أمر عباده بالستر وأن لا يكشفوا عنهم ستره الذي سترهم به فيما يصيبونه مما قد نهاهم عنه لم سواهم من الناس............ وكان الأمير إذا تتبع ما قد أمر الله بترك تتبعه، امتثل الناس ذلك منه، وكان في ذلك فسادهم.
“Makna hadits tersebut menurut kami adalah bahwa Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk menutupi dan tidak menyingkap apa-apa yang telah Allah tutupi yang menimpa mereka dari apa yang telah dilarang bagi mereka, kepada orang lain…. Seorang pemimpin apabila mencari-cari sesuatu yang Allah larang untuk mencari-carinya, maka orang-orang akan meniru perbuatannya itu sehingga dengan hal itu akan merusak (keadaan) mereka” [Syarh Musykiilil-Aatsaar, 1/86 & 88].

Bahkan, perintah menutupi kesalahan ini bukan hanya untuk menutupi kesalahan orang lain, tapi juga menutupi kesalahan diri sendiri. Perhatikan beberapa riwayat berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا، وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ وَالْأَسْوَدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَالَجْتُ امْرَأَةً فِي أَقْصَى الْمَدِينَةِ، وَإِنِّي أَصَبْتُ مِنْهَا مَا دُونَ أَنْ أَمَسَّهَا، فَأَنَا هَذَا فَاقْضِ فِيَّ مَا شِئْتَ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: لَقَدْ سَتَرَكَ اللَّهُ لَوْ سَتَرْتَ نَفْسَكَ، قَالَ: فَلَمْ يَرُدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا، فَقَامَ الرَّجُلُ، فَانْطَلَقَ فَأَتْبَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا دَعَاهُ، وَتَلَا عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَف وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَق، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، هَذَا لَهُ خَاصَّةً؟، قَالَ: بَلْ لِلنَّاسِ كَافَّةً "
Telah menceritakan kepada Yahyaa bin Yahyaa, Qutaibah bin Sa’iid‎, dan Abu Bakr bin Abi Syaibah - lafadhnya adalah milik Yahyaa – , Yahyaa berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami; sedangkan yang lain berkata : Telah menceritakan kepada kami : Abul-Ahwash‎, dari Simaak‎, dari Ibraahiim‎, dari ‘Alqamah‎ dan Al-Aswad‎, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menggauli seorang wanita di pelosok Madiinah dan aku telah melakukan segala sesuatu kecuali jima’. Maka, aku datang menyerahkan diriku untuk dihukum sesukamu”. Ketika mendengar hal itu, ‘Umar berkata : “Sungguh Allah telah menutupinya seandainya engkau menutupi kesalahanmu itu”. (Ibnu Mas’uud berkata :) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak menjawab sedikitpun. Lalu laki-laki itu pun berdiri hendak pergi. Setelah ia pergi, Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Lalu Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepadanya ayat : ‘Dan dirikanlah shalat pada pagi dan petang dan pada sebagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat’ (QS. Huud : 114). Kemudian ada seorang laki-laki yang bangkit dan berkata : “Wahai Nabiyullah, apakah ayat ini hanya diperuntukkan padanya ?”. Beliau menjawab : “Tidak, bahkan untuk seluruh manusia” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2763].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang dikatakan ‘Umar bin Al-Khaththaab agar orang tersebut menutupi kesalahannya sehingga tidak meneruskan perkaranya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ أَخِي ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah: Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d‎, dari anak saudara laki-laki Ibnu Syihaab‎, dari Ibnu Syihaab, dari Saalim bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seluruh umatku akan diampuni kecuali Al-Mujaahiruun (orang-orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan). Dan termasuk di antara Al-Mujaahiruun itu adalah orang yang telah melakukan perbuatan jahat di malam hari, lalu Allah menutupi aibnya itu keesokan harinya. Namun ia kemudian berkata : ‘Wahai Fulaan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’. Allah telah menutupi aibnya, namun ia sendiri yang telah menyingkapnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6069].
Mari kita perhatikan riwayat-riwayat yang ternukil dari sebagian shahabat tentang sikap mereka yang tidak mau mencari-cari dan menyelidiki aib-aib orang lain dan berupaya untuk menutupinya (jika menemukannya) :
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُتْبَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: " إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ، فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ، وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ، وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Naafi’: Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib‎, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Humaid bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf‎: Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Utbah ‎berkata : Aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththaab ‎radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dahulu orang-orang melakukan dosa, akan disingkap kesalahannya itu dengan perantaraan wahyu. Akan tetapi saat ini, wahyu telah terputus. Maka, kami hanya menghukum kalian terhadap apa-apa yang nampak dari amal-amal kalian. Barangsiapa yang menampakkan kebaikan, kami akan mempercayainya, dan kami tidak akan mengusik segala yang tersembunyi darinya. Allah lah yang akan menghisab apa-apa yang tersembunyi darinya. Namun barangsiapa yang menampakkan kejahatan, maka kami tidak akan mempercayainya meskipun ia berkata : ‘Sesungguhnya apa yang ia inginkan dalam hatinya adalah kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2641].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ زُرَارَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّهُ حَرَسَ لَيْلَةً مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَبَيْنَا هُمْ يَمْشُونَ شَبَّ لَهُمْ سِرَاجٌ فِي بَيْتٍ، فَانْطَلَقُوا يَؤُمُّونَهُ، حَتَّى إِذَا دَنَوْا مِنْهُ، إِذَا بَابٌ مُجَافٍ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ فِيهِ أَصْوَاتٌ مُرْتَفِعَةٌ وَلَغَطٌ، فَقَالَ عُمَرُ وَأَخَذَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ: " أَتَدْرِي بَيْتُ مَنْ هَذَا؟، قَالَ: قُلْتُ: لا، قَالَ: هُوَ رَبِيعَةَ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ، وَهُمُ الآنَ شُرَّبٌ، فَمَا تَرَى؟ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَرَى قَدْ أَتَيْنَا مَا نَهَانَا اللَّهُ عَنْهُ، نَهَانَا اللَّهُ فَقَالَ: وَلا تَجَسَّسُوا فَقَدْ تَجَسَّسْنَا " فَانْصَرَفَ عَنْهُمْ عُمَرُ وَتَرَكَهُمْ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Mush’ab bin Zuraarah bin ‘Abdirrahmaan, dari Al-Miswar bin Makhramah‎, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf : Bahwasannya ia pernah berjaga malam bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab. Ketika mereka berdua keliling, mereka melihat sebuah lampu sedang menyala dari dalam rumah. Lalu mereka mendekati rumah tersebut. Ketika mereka mendekat, mereka pun mendapati pintu rumah tersebut terbuka tanpa ada seorang pun di sana, sedangkan dari dalam rumah terdengar suara yang sangat gaduh. Berkata ‘Umar – sambil memegang tangan ‘Abdurrahmaan - : “Tahukah engkau rumah siapakah ini ?”. ‘Abdurrahmaan menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Ini adalah rumah Rabii’ah bin Umayyah bin Khalaf. Mereka sekarang  sedang minum khamr. Apa pendapatmu ?”. ‘Abdurrahmaan berkata : “Aku pikir kita sedang mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Allah telah melarang kita dengan firman-Nya : ‘Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan (tajassus) orang lain” (QS. Al-Hujuraat : 12). Dan sekarang ini kita telah mencari-cari kesalahan (tajassus) orang lain”. Setelah mendengar perkataan itu, ‘Umar pergi dan meninggalkan mereka [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/231-232 no. 18943; shahih].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أُتِيَ ابْنُ مَسْعُودٍ، فَقِيلَ: هَذَا فُلَانٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: " إِنَّا قَدْ نُهِينَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَلَكِنْ إِنْ يَظْهَرْ لَنَا شَيْءٌ نَأْخُذْ بِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb‎, ia berkata : (Pada suatu hari) didatangkan seseorang kepada Ibnu Mas’uud. Dikatakan kepadanya : “Fulan ini jenggotnya telah dibasahi oleh khamr. ‘Abdullah (bin Mas’uud) berkata : “Sesungguhnya kita dilarang untuk mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus). Akan tetapi jika telah nampak/jelas buktinya, maka kami akan menghukumnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4890].
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ حَرْبِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ زُيَيْدِ بْنِ الصَّلْتِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ، يَقُولُ: " لَوْ أَخَذْتُ شَارِبًا لَأَحْبَبْتُ أَنْ يَسْتُرَهُ اللَّهُ، وَلَوْ أَخَذْتُ سَارِقًا، لَأَحْبَبْتُ أَنْ يَسْتُرَهُ اللَّهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Harb bin Syaddaad‎, dari Yahyaa bin Abi Katsiir‎, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan‎, dari Zubaid bin Ash-Shalt‎, ia berkata : Aku mendengar Abu bakr Ash-Shiddiiq berkata : “Seandainya aku dapati seorang peminum khamr, sungguh aku ingin agar Allah menutupinya. Dan seandainya aku dapati seorang pencuri, sungguh aku pun ingin agar Allah menutupinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 9/467; hasan].
عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، أَنَّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ أَخَذَ سَارِقًا، ثُمَّ قَالَ: أَسْتُرُهُ لَعَلَّ اللَّهَ يَسْتُرُنِي "
Dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah‎: Bahwasannya ‘Ammaar bin Yaasir pernah menangkap seorang pencuri, kemudian berkata : “Aku menutupi kesalahannya, semoga Allah menutupi kesalahanku” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 10/226 no. 18929; hasan].
Riwayat-riwayat di atas menggambarkan kepada kita bahwa para shahabat adalah orang yang sangat sayang kepada manusia sehingga berupaya menutupi segala aib dan kesalahan; padahal diketahui mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat tegas dalam membasmi kemunkaran.
Dan inilah yang dilakukan oleh Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ الْهَيْثَمِ الْعَاقُولِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، سُئِلَ عَنِ " الرَّجُلِ يَسْمَعُ حِسَّ الطَّبْلِ وَالْمِزْمَارِ، وَلا يَعْرِفُ مَكَانَهُ؟ فَقَالَ: وَمَا عَلَيْكَ؟ وَقَالَ: مَا غَابَ فَلا تُفَتِّشْ عَلَيْهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Kariim bin Al-Haitsam Al-‘Aaquuliy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) ditanya tentang seseorang yang mendengar tabuhan kendang dan tiupan seruling, namun tidak diketahui dari mana asal suaranya. Abu ‘Abdillah berkata : “Lantas, ada urusan apa denganmu ?”. Lalu beliau melanjutkan : “Sesuatu yang tidak kamu lihat, maka jangan kamu cari-cari/selidiki sebabnya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar, hal. 49; shahih].
Adakah kita melakukan seperti yang di atas ?
Seringkali di antara kita masih ada yang sok pingin tahu urusan orang dengan membuka-buka arsip orang. Ada pula orang yang bersusah payah pingin menemukan kesalahan orang lain melalui berbagai media. Kita senang aib kita tersimpan, sementara mulut kita lancar mengumbar aib orang….. Tidak terasa nikmat pembicaraan jika belum memakan bangkai saudara….
Sebagai ulasan terakhir saya nukilkan penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah tentang sebagian hikmah menutup aib dan kesalahan :
قال ابن بطال: في الجهر بالمعصية استخفاف بحق الله ورسوله وصالحي المؤمنين، وفيه ضرب من العناد لهم، وفي الستر بها السلامة من الاستخفاف، لأن المعاصي تذل أهلها، ومن إقامة الحد عليه إن كان فيه حد ومن التعزير إن لم يوجب حدا، وإذا تمحض حق الله فهو أكرم الأكرمين ورحمته سبقت غضبه، فلذلك إذا ستره في الدنيا لم يفضحه في الآخرة، والذي يجاهر يفوته جميع ذلك،
“Ibnu Baththaal berkata : ‘Salah satu dampak negatif akibat tersiarnya kemaksiatan adalah diremehkannya hak-hak Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang shalih dari kalangan orang-orang yang beriman. Penyebarluasan hal ini juga merupakan satu bentuk pembangkangan terhadap mereka. Adapun jika seseorang menutupi satu kemaksiatan, maka hal itu akan lebih menjaga dari dilecehkannya hak-hak Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang shaalih, karena pada hakekatnya segala bentuk kejahatan akan menyebabkan kehinaan bagi pelakunya. Kemaksiatan itu mungkin menyebabkannya terkena hukuman had atau ‎ta’zir jika kejahatannya tidak sampai mewajibkan hukum had, dimana pelanggaran yang dilakukan semata-mata pelanggaran terhadap hak Allah, sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah dan kasih sayang-Nya melebihi amarah-Nya. Untuk itu, barangsiapa yang menutupi kesalahan/aib di dunia, niscaya Allah tidak akan menampakkan kesalahannya/aibnya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang menampakkannya, niscaya ia akan kehilangan janji Allah itu (dan Allah akan menampakkan semua kesalahannya/aibnya di akhirat)…..” [Fathul-Baariy, 10/487].
Yang sepatutnya dilakukan oleh seorang mukmin/mukminah yang berakal adalah berbicara yang mengandung kemanfaatan. 
Seandainya itu tidak sanggup ia lakukan, hendaklah ia diam.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ "
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bicara yang baik (bermanfaat) atau diam”.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...