Sabtu, 23 Oktober 2021

Tahapan Pencucian Hati


‎Hati adalah sebuah intan permata yang menyimpan sejuta kemilau dan keindahan, dari hati yang bersih akan terpancar cahaya keimanan, cahaya kebenaran, cahaya kearifan yang penuh pesona. Dari hati yang bersih akan semburat kilau yang penuh kearifan, dari hati yang bersih akan keluar sejuta kebijaksanaan, hati yang bersih adalah permata dengan berjuta kilau pesona.

Bagaimana menjadikan hati yang bersih, agar kilaunya keluar dan mampu menerangi jalan kehidupan yang akan dilaluinya?

Kata hati, bahasa hati, gerak hati, tanya hati, kretegeng ati, banyak sekali istilah yang digunakan untuk berusaha mendefinisikan hati.‎

Apakah Hati itu?

Hati dalam bahasa Arab disebut al-qalbu, al-fu`adu,ash-shadru, dan albab. Disebut al-qalbu karena dua sebab. Pertama, merupakan pusat sesuatu seperti halnya Kota Mekah disebut Qalbul Ardli (pusat bumi) karena letaknya di tengah-tengah bumi. Kedua, karena sifatnya bolak-balik (dinamis) sebagaimana hadits Rasulullah saw.:

لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَشَدُّ انْقِلاَبًا مِنَ الْقَدَرِ إِذَا اجْتَمَعَتْ غَلْيًا

“Sungguh hati manusia itu lebih cepat bolak-baliknya daripada periuk ketika sedang sangat mendidih”(H.R. Ahmad).

Kedua, disebut al-fu`adu karena hati merupakan tempat bergolaknya pikiran, perasaan, dan keyakinan. Kata al-fu`adu ini bisa ditemukan dalam al-Quran Surat al-Isra ayat 36:

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawaban”

Berdasarkan ayat tersebut, hati sebagai tempat pikiran, perasaan, dan keyakinan akan diminta pertanggungjawannya. Apakah pikirannya, perasaannya dan keyakinannya benar? Apakah pikiran, perasaan dan keyakinannya tunduk patuh terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya?

Ketiga, dinamakan ash-shadru (dada secara non fisik), menurut Amir an-Najr,  karena merupakan tempat masuknya segala macam godaan nafsu, penyakit hati, dan juga hidayah Allah. Selain itu, ash-shadr juga merupakan tempat masuknya ilmu pengetahuan ke dalam diri manusia. Kata shadr itu sendiri seakar dengan kata akal.

Keempat, hati disebut albab. Kata albab merupakan bentuk plural (jamak) dari kata lubb yang berarti racun, akal, hati, inti dan sari. Dalam tasawuf, lubbberarti hati yang terdalam.

Tazkiyatul Qalbi (Membersihkan Hati)

Ini lebih ditekankan karena sebutan hati lebih familiar di telinga kita. Bahkan di kita pun terdapat kata sinonim hati yakni “kalbu” serapan dari al-qalbu. Lebih dari itu, inisiatif penggunaan kata al-qalbu ini disandarkan kepada sebuah hadits yang juga sudah familiar.

Hadits tersebut adalah:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ini terdapat segumpal daging. Jika dia (segumpal) baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah, bahwa dia adalah hati “. (H.R. Bukhari-Muslim).

Dalam hadits tersebut, hati dibahasakan oleh Rasulullah saw. dengan kata al-qalbu. Selain itu, kataal-qalbu digunakan oleh Allah ketika menginformasikan bahwa Allah lah yang telah menurunkan ketengan kepada hati-hati orang beriman. Oleh karena itu, saya pun menggunakan kata ini (al-qalbu) untuk istilah Tazkiyatul Qalbi.

Manusia dilengkapi oleh Allah dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua hal ini memiliki keperluan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan, minum, pelampiasan syahwat, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran. Rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang dan cinta.

Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih.

Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Rosulullah saw.

Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin menarik minat umat islam untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama ketika kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.

Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya :

Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela),
Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan
Tajalli (tersingkapnya tabir).

Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .

A. TAKHALLI

Takhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.

Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat.

Pertanyaannya adalah, apa saja hal-hal yang dapat mengotori hati? Merujuk pada hadits Rasulullah, yang mengotori hati adalah dosa dan maksiat. Maka, hal pertama agar hati kita bersih adalah bebaskan hati dari dosa dan maksiat. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ، صُقِلَ مِنْهَا قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَا قَلْبَهُ ، فَذَلِكَ الرَّانُ " قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia melakukan dosa, di hatinya ada noktah hitam. Jika ia bertobat, … dan meminta ampunan (istighfar), maka hatinya akan cemerlang  kembali. Namun jika bertambah dosanya, maka bertambah pulalah noktah tersebut. Itulah yang disebut ‘ran’. Allah swt. berfirman, ‘sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’ (Q.S. al-Muthaffifin [83]: 14)”. (H.R. Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah).

Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.

Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir.

Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan, dengan jalan sebagai berikut :

a. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna hakikinya.‎

b. Riyadhoh (latiahan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak menuruti keinginan hawa nafsuny tersebut.

Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (syahwat) yang negativ dengan mengganti sifat yang positive.

c. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang baik.

d. Mukhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn sifat-sifat yang jelek itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.

Setelah melaksanakan takhalli tindakan selanjudnya adalah mengisi tempat yang kosong itu dengan amal-amal yang saleh.yang digerakan oleh sifat-sifat yang terpuji, yang tumbuh dari hati atau dari rohani yang telah bersih tadi.‎

Firman Allah SWT :

وَنَفسٍ وَمَا سَوَّهَا فَاْ لهَمَهَا فُجُورهَا وَتَقوَىهَا قَدأفلَحَ مَن زَكَّهَآ وقد خَابَ مَن دسَّهَا

Arinya :    Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).maka allah menghilhamkan ‎kepada jiwa itu (jalan). Kefasikan dan ketaqwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Asy-Syams 91 : 7-10)

Mensucikan diri jasadi dan diri rohani harus simultan dan serentak. Dosa yang dilakun oleh jasadi, kita namakan dosa lahir, sedangkan dosa yang dilakukan oleh rohani kitanamakan dosa bbatin, sedangkan perbuatan itu sendiri kita namakan maksiat batin dan maksian lahir, karena itumensucikannya harus secara lahir dan batin.

1)      Mensucikan Diri Dari Dosa lahir

Maksiat lahir adalah segal perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang merusak diri sendiri atau orang lain, yang menimbulkan pengorbanan yan berbentuk benda, pikiran atau perasaan.

Pada garis besarnya ada 7 (tujuh)anggita badan manusia yang kalau dimanfaatkanuntuk kebaikan maka dia merupakan rahmat dan nikmat, tetapi kalau dilaksanakan untuk kejahatan maka dia merupakan kedurhakaan dan kekufuran. Ketujuh anggota itu adalah.

a.   Mata
Mata seharusnya digunkan untuk melihat alam ini sebagai bukti adanya tuhan, tidak untukmeliahat yang haram.

b.   Telinga
Telinga seharusnya digunakan untukmendengarkan ajaran-ajaran agama untuk memaslahatkan hidup didunia dan diakhirat, tidak mendengar sesuatu yang mendorong kepada maksiat.

c.   Mulut
Mulu seharudnya digunakan untuk perbuatan baik dan bermanfaat.Tidak untuk mengatakan perkataan-perkataan yang tidak baik, berdusta, dan seterusnya.

d.   Tangan
Tangan seharusnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat, bukan dipergunakan untuk merusak.

e.   Kaki
Kaki seharusnya digunakan untuk mencari rezki yang halal dan mengerjakan ibadah, tidak untuk mencari rezeki yang haram dan berbuat maksiat.

f.    Perut
Perut seharusnya diisi dengan makanan yang halal dan bai, tidak diisi dengan makanan yang haram, untuk berbuat maksiat.

g.   Kemaluan
Kemluan seharusnya digunakan untuk mencari keturunan melalui nikah, tidak digunakan untuk memuaskan syahwat dengan bezina dengan menghancurkan kehidupan bermasyarakat.

2)      Mensucikan Diri Dari Dosa Batin

Maksiat batin yang menimbulkan dosa batin adalah sanagt berbahaya, karena dia tidak terlihat dan berada pada diri manusia itu sendiri.Maksiat batin inilah yang menimbulkan dan membangkitkan maksiat lahir yang berbentuk kejahatan kejahatan, yang dilakukanoleh anggota-anggota badan lahir.Maksiat batin tumbuh dan berkembang oleh sebab jarang disucikan atau tidak pernah disucikan.

Syekh Amin Al-Kurdi mengatakan bahwa maksiat batin itu sebagai sifat-sifat yang tercelah dan itu merupakan najs-najis maknawiyah yang tidsk mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah swt sebelum disucikan.

Pusat dari segala sifat yang tercela tadi adalah hati nurani atau dari hati nurani manusia itu sendiri.

Cara mensucikan / memberantas maksiat batin yang menimbulkan dosa batin adalah dengan berzikir pada 7 (tujuh) tempat Latalf, yaitu : latifal qalbi, latifal ruh, latifal sir, latifatul khafi, latifatul akhfa, latifat nafsun natikah dan latifatul kullul jasad, cara berzikir pada latifah-latifah itu dan buahnya akan dijelaskan pada bagian zikir lataif.

Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit. Maka dari itu kita harus selalu berusaha menjauhkan atau mengkosongkan diri dari sifat-sifat kemakasiatan , sifat itu diantaranya :

1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)

Hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia, Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat. ‎

2. Tamak

Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah.

Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak. ‎

3. Ujub

Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub. ‎

5. Riya’‎

Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.

6. Takabur

Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.

7. Hasud

Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya.

Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.

8. Sum’ah

Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya.

Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin.

B. TAHALLI

Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .

Seorang yang terus menerus mengisi diri rohaninya dengan sifat sifat terpuji, yaitu dengan melaksanakan amalan-amalan shaleh, baik yang wajib maupun yang sunat, yang dilaksanakan dengan ikhlas, dengan perasaan syukur, penuh tawakal seraya mengharap ridha Allah swt, itu yang dinamakan Tahalli.

Tahalli secara harfiah berarti “menngisi” dan “menghiasi” diri atau menyibukan diri dengan sifat-sifat dan amal-amal terpuji yang digariskan dan ditetapkan dalam syariat Islam.

Pengisian diri rohani dengan sifat-sifat mahmudah dengan kegiatan-kegiatan ‘akhmalush shalihat’  adalah amat penting, karena kesibukan-kesibukan baru, yaitu kegiatan amal kebaikan . Inilah yang dinamakan Inabah.Iabah artinya kembali kejalan yang hak atau benar, mengganti kebiasaan yang buruk dengan kebiasaan yang baik.

Firman Allah swt :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90)

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.

Ayat ini menjadi dasar utama supaya kita berakhlakul karimah atau berakhlak mulia. Seorang yang berakhlak mulia. Merupakan manifestasi dari rohaninya yang bersih, bersih dari sifat-sifat yang tercela dan telah menerimah pancaran nurcahaya tuhan.

Nur Uluhiyah memancarkan nurul iman, Nurul Islam dan  nurul ikhsan.

Nurul Iman mengusir gelapnya kemusyrikan yang sekaligus menmpakan pancaran ikhlas berserah diri hanya kepada Allah swt.Mata hati dengan Nur Iman melihat kebenaran yang Hakiki yang dating dari Allah swt.

Nurul Ikhsan Islam mengusir gelaonya kekafiran dan kemaksiatan yang sekligus menampakan nur keimanan dan ketaatan. Dengan jalan ini melalui Nurluhiyah, seorang dapt melihat kebenaran yang hakiki yaitu mentauhidkan Allah swt.Nur ikhsan mengusir gelapnya kesamaan yang mendua kan Allah swt. Mata hati ketika itu melihat kebesaran yang hakiki, sehingga tampak olehnya Nur wujud allah swt.‎

Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.

Pada dasarnya jiwa manusia bisa  di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya. ‎

Tahalli adalah berbias dengan sifat-siaft Allah. Akan tetapi, perhiasan paling sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat pengambaan. Penghambaan adalah pengabdian penuh dan sempurna dan sama sekali tidak menampakan tanda-tanda keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias (tahalli) dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan menjadi tiada dalam pengatahuan Allah.

Tahalli juga dapat diartiakan sebegai semedi atau mediatasi secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah Tuhan. Tahalli merupakan segi fraksional yang dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka dari itu ada beberapa cara untuk menghiasi diri kita untuk memdekatkan diri pada Allah diantaranya : zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat.

1. Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkanmenurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin.

Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.

2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin.

Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya.

Pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin.‎

3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga half yaitu:
a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya
b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin.

Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan.

Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsure keharaman) tidak diperlukan lagi.

4. Tawakal
Tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram.

5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati.

6. Ridha
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.

7. Syukur
Ahmad Rifa’i menjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati.

Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta.

8. Ikhlas
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih.

Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan 17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah.

Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.

C. TAJALLI

Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.

Tajalli bermakna pecerahan atau penyingkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.

Tajalli adalah orang-orang yang telah melaksanakan takhalli dan tahalli secara baik dan sempurna dengan riyadhah dan mujahadah yang terus menerus, sehingga dia sampai kepada tingkat hakikat yang akhirnya menjadi kekasih Allah swt.

Sesungguhnya oarang yang telah sampai ketingkat tajalli tertinggi, dia telah melewati fase-fase, riyadhah dan mujahadah yang sungguh-sungguh dan terus menerus, sehingga kehidupannya selalu dalm keadaan muqabah yang terus menerus, akhirnya memperoleh musyahadah, lalu makrifat dan akhirnya fana fillah.

Orang yang fana fillah, tajali-lah baginya ‎Nur Uluhiyah, sehinggah dia mengetahui rahasia-rahasia yang ghaib, karena telah hilang sifat basyariyahnya yang menjadi hijab untuk dapat kasyaf.

Orang yang fana fillah hingga dia menjadi tajalli, adalah orang yang pada waktu itu sedang munajat beribadat kepada-nya, fana dan tajalli adalah kehendak Allah swt yang merupakan rahmat dan kerunia dari padanya.

Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adikuasa manusia. ‎

Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjupan. Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan .

a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya.

b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma`.

c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanapa hullul dzat-Nya.

d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang sempurna.

Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah. Dalam pada itu hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah yakni dalam wujud allah semata.‎

Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.” 

Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam yaitu sebagai berikut : ‎

a. Tajalli Zat, yaitu mukhasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli sifat Adz-Dzat, yaitu tampaknya sifat-siafat zat Allah sebagai sumber atau tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma Adz-Dzat, yaitu tampaknya hokum zat-Nya yaitu hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada didalamnya.

Pengertian hubungan makhluk dan Khalik disebut makrifat. Di sinilah letak perjalanan itu. Kalau sudah bisa menggapainya niscaya akan merasakan tajalli. Kalau sudah bisa merasakan tajalli akan takhalli, dan sebagainya sesuai kenaikan berzikir dalam makrifat. Tajalli itu artinya meraih kemuliaan di sisi Allah, atau keluhuran. Saat mencapai tingkatan itu, hati akan merasa sepi. Yaitu, sepi ing pamrih rame ing gawe. Namun yang sebenarnya, makna tajalli sangat luas. Ini bahasa tasawuf dalam tarekat. Kalau hati bisa meletakkan sepi selain Allah itu artinya akan menemukan satu takhalli. Yaitu satu kenikmatan, kelezatan, satu kemanisan karena bisa melepaskan semuanya selain Allah dan Rasul-Nya.

Syekh Abu Yazid busthami setiap membicarakan fana dan membicarakan baqa dan pada waktu yang bersamaan membicarakan adanya tajalli. Atau dengan kata lain, adanya fana baru adanya dengan adanya baqa atau adanya fana baru adanya dengan adanya tajalli.

a)      Tajalli Af’al
Tajalli Af’al (perbuatan) lenyapnya af’al seorang hamba dan  adanya hanya af’al  Allah swt. Af’al yang hakiki adalah af’al allah. Segala sesuatu yang ada ini pada hakikatnya adalah hasil af’al Allah, yang dilakukan oelah mahluknya merupakan sunnah tullah semata. Sunnah tullah yang merupakan sebab akibat.

Firman Allah swt :

وَ الله خَلَكُم وَمَا تَمَلُونَ

Padahal allah lah yang menciptkan kamu danapa yang kamu perbuat itu (Qs Ash Shafat 37 : 96)

b)      Tajalli Asma
Tajalli asma ialah fananya seorang hamba pada waktu ibadat atau munajat kepada salah satu atau beberapa dari asma Allah swt.

c)       Tajalli Sifat
Tajalli sifat adalah seseorang fana dengan sifat-sifat Allah yang maha sempurna.Seseorang yang fana filsifat secara haqqul yakin merasakan keagungan sifat-sifat Allah itu. Pengerian tajalli sifat hamper sama dengan pengertian tajalli asma’.

d)      Tajalli Zat
Tajalli Zat ialah fananya seseorang hamba kedalam zat yang wajibul wujud, sehingga terpancarlah Nur bahwa hanya Allah sajalah yang merupakan wujud yang mutlak.

Sesungguhnya proses takhalli, tahalli, tajalli itu, tidaklah hanya selesai satu tingkat atau satu tahap baru memasuki tingkat atau tahap selanjutnya. Pelaksanaannya  adalah bersama-sama, sesuai dengan riyadhah dan mujahadah yang dilaksanakan dan tergantung pula kepada rahmat dan karunia Allah swt.

Kisah Kyai Boyo Patih


Menurut warga setempat Makam Boyo patih adalah makam seorang Waliyulloh yang banyak berjasa menyebarkan ajaran Agama Islam di daerah Lamongan. Makam tersebut terletak di Desa Medang Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan tepatnya di tengah persawahan penduduk. Makam tersebut sangat di keramatkan oleh masyarakat Lamongan khususnya penduduk setempat. Di karenakan Jasanya sang Waliyulloh yang begitu besar serta karomahnya (kesaktian) yang luar biasa, masyarakat setempat biasa melakukan selametan setiap satu bulan sekali, Tradisi itu biasa di lakukan pada Hari Jum’at pon dari mulai pagi sampai malam. Pada waktu selametan tersebut sangat ramai para pengunjung baik dari daerah Lamongan, Gresik, Surabaya bahkan dari manca daerah. Tidak sedikit Pejabat yang datang ke tempat tersebut untuk ziarah dan berdo’a di makam tersebut.

Sebelum pintu masuk Makam terdapat sebuah jublangan (kolam) yang di percaya mampu menyembuhkan segalah macam penyakit kulit. Menurut Juru kunci makam sebut saja Abah Tholib (65) Suatu ketika ada seseorang yang mengalami gangguan pada kesehatanya, orang tersebut terkena penyakit kulit yang sudah lama tidak sembuh, berbagai macam obat serta medis sudah di coba tapi belum juga membuat penyakit orang itu sembuh. Akhirnya orang tersebut mendapat informasi tentang adanya makam dan kolam tersebut. Orang tersebut datang pada hari jum’at pon serta mengikuti selametan yang di gelar di area Makam Mbah Boyo Patih, di pandu oleh sang juru kunci makam orang tersebut melakukan do’a serta tawassul kepada Mbah boyo Patih. Sehabis berdo’a  dan melakukan ritual selametan orang tersebut pulang tidak berselang lama kurang lebih seminggu penyakit yang di derita orang tersebut mengering yang akhirnya sembuh. Kejadian yang sama juga di alami oleh seorang pemuda asal Desa Ngawen sebelah selatan Desa Medang, menurut sorang pemuda Hadi (26) menceritakan pernah suatu ketika temanya terkena sejenis penyakit cacar gatal-gatal di sertai nanah di tanganya serta tubuhnya, Hadi menyuruh temanya tersebut mandi di sungai makam Mbah Boyo Patih alhasil temanya tersebut tidak lama sembuh serta bekas luka gatalnya lama kelamaan menghilang tidak membekas. “Lukanya bernanah seperti cacar di sekitar tangan dan tubuhnya tapi Alhamdulillah sembuh”. Tutur Hadi. Menurut cerita masyarakat sekitar tidak sedikit orang yang sembuh penyakit kulitnya yang sudah datang ke makam Mbah Boyo Patih.

Sejarah Singkat Kyai Boyo Patih

Ada seorang putri cantik yang termenung di tepian pantai pesisir lamongan. Putri tersebut berasal dari desa Terbis yang juga termasuk daerah Lamongan, pada saat itu pula datanglah seorang pemuda tampan yang menghampirinya serta ingin mempersuntingnya menjadi istrinya. Putri tersebut mensetujui ucapan pemuda itu dan menikahlah mereka serta hidup bahagia, pernikahan itupun membuahkan anugrah yang sangat besar tidak hanya mereka hidup bahagia melainkan sang putri hamil dan akan segera mempunyai anak. Pemuda itu sangat bahagia, akan tetapi beliau tidak dapat menyambut kelahiran anaknya kelak karena sedang mengemban tugas untuk pergi dari lamongan.

Sebelum pergi dari Lamongan Pemuda tersebut berwasiat kepada sang istri.” Kelak anak kita akan lahir laki laki dan jangan kasih nama apapun kecuali nama Boyo Patih” kata pemuda kepada istrinya.

Putri terbis pun menuruti apa yang sudah di wasiatkan oleh sang suami. Tak lama dari kepergian suaminya akhirnya Putripun melahirkan seorang anak laki laki, anak tersebutpun di beri nama Boyo Patih. Dengan bergulirnya waktu Boyo Patihpun tumbuh besar sebagai pemuda yang tampan seperti ayahandanya. Sang ibupun memanjakanya, akan tetapi Boyo Patih bertekat ingin mencari ilmu kepada Sunan Giri di daerah Gresik. Boyo patih Berharap ibunya mau merestuinya, karena tekat anaknya yang begitu besar sang ibupun merestui kepergian anaknya untuk berguru kepada Sunan Giri. Boyo patih pun akhirnya pergi ke Gresik berniat mengaji dan nyantri di tempatnya Sunan Giri. Sunan Giri menyambut muridnya ini dengan senang hati tak lama pengabdianya menjadi murid, Sunan Giri memberi Tugas kepada Boyo Patih Untuk mengambil kerisnya yang bernama Korowelang yang sudah di pinjam oleh Mbok Rondo (Nyi Lurah) di daerah lamongan. Ini terjadi pada saat Penyebaran Islam Di nusantara Ketika para wali mulai aktif melakukan dakwanya di tanah jawa. Sekitar Tahun 1400-an ketika itu ada seorang Nyi lurah meminjam keris Sunan Giri untuk mencegah huru hara atau konfliksekaligus menjaga kewibawaanya di wilayah sekitar lamongan.

Kanjeng Sunan Giri pun memberikan kerisnya kepada Mbok rondo (Nyi lurah) tersebut dengan beberapa syarat, diantara syarat yang di berikan itu adalah tidak boleh di buat untuk hal kekerasan seperti membunuh  dan harus segerah di kembalikan kepada Kanjeng Sunan Giri tersebut secara langsung Setelah Tujuh Purnama. Akhirnya Nyi lurah tersebut berhasil mewujudkan cita –cita dan harapanya. Hari berganti hari tujuh purnama pun terlewatkan namun belum ada tanda- tanda Nyi lurah untuk mengembalikan Pusaka milik Kanjeng Sunan Giri, Hal ini membuat Gelisah Sang Kanjeng Sunan, khawatir terjadi penyalahgunaan atas pusaka tersebut, yang kemudian Sunan Giri mengutus Boyo Patih untuk Menemui Nyi Lurah untuk mengingatkan tentang pusaka keris Koro welang yang telah di di pinjamnya. Karena pengabdianya yang begitu besar kepada Gurunya, Boyo Patih pun melaksanakan apa yang sudah di titahkan oleh Sunan Giri. Berangkatlah Boyo Patih ke Lamongan untuk menemui Nyi lurah. Boyo Patih sangat faham daerah lamongan karena beliau juga lahir di daerah pesisir Lamongan yang sekarang di beri nama Paciran, Pada saat itu Wilayah lamongan masih terdiri dari alas (hutan) yang lebat yang mengapit kiri kanan jalan kecil yang menghubungkan antara Gresik dan Lamongan. Beliau tidak mengalami kesulitan dalam menghafal jalan untuk menuju ke Lamongan. Singkat cerita sampailah Boyo Patih ke kediaman Mbok rondo ( Nyi Lurah), beliau di sambut baik oleh Nyi lurah Sesampainya di lamongan. 

Boyo Patih menyampaikan apa yang telah di titahkan oleh Kanjeng Suna Giri, Namun Nyi lurah Tidak mau memberikan Keris pusaka Tersebut kepada Boyo Patih sebab Nuyi Lurah sudah janji pada Sunan bahwa dia sendiri yang akan datang sendiri untuk mengembalikan Keris pusaka kepada Kanjeng Sunan. Padahal Boyo Patih tersebut juga “merasa” di tugasi untuk mengambil keris pusaka kanjeng Sunan. Akhirnya Boyo Patih mengalah dan menunggu janji Nyi lurah, Boyo patih tidak pulang kepada Sunan berniat untuk memantau apa yang di lakukan oleh Nyi Lurah selama tujuh hari, Boyo Patih mulai curiga kalo Nyi Lurah tidak ada Niat untuk mengembalikan Keris itu dan memiliki niat buruk. Setelah di tunggu selama Tujuh hari Tujuh malam dan tidak ada tanda –tanda Nyi Lurah untuk mengembalikan  keris itu akhirnya Boyo Patih pun beraksi. Beliau khawatir tidak bisa mengemban amanat tentang apa yang sudah di perintahkan oleh Kanjeng Sunan Giri.

Karomah Sang Santri 

Boyo Patih  sangat banyak diantaranya bisa mnyerupai sesuatu yang beliau inginkan. Karena merasa tidak bisa mengemban amanat tugas yang di berikan oleh Kanjeng Sunan, Boyo Patih merasa ingin mengambil Keris tersebut dan berniat mengambil keris koro welang itu dari Nyi Lurah untuk di kembalikan langsung ke tangan Kanjeng Sunan. Pada pagi hari Nyi lurah sedang menyapu di pekarangan kediamanya, Boyo patih menyamar menjadi daun berharap bisa mengambil keris tersebut yang di selipkan di perut Nyi Lurah, yang akhirnya di ketahui oleh Nyi lurah, Boyo Patih pun bergegas melarikan  diri. Nyi lurah sangat sakti hinggah mampu mengetahui penjelamaan dari Boyo patih. Suatu ketika Boyo Patih pun menemukan kelemahan dari Nyi lurah, beliau sangat suka dengan kucing maka bergegaslah Boyo Patih menjelma menjadi kucing serta mendekat kepada Nyi lurah. Nyi lurah lengah serta tidak curiga sedikitpun karena sangat senangnya akan kehadiran kucing itu ( penjelmaan dari Boyo putih). Nyi lurah berniat untuk memelihara Kucing itu dengan kasih sayang di berinya makan serta di elus - elus kucing tersebut di pangkuan Nyi Lurah secara diam diam Kucing pejelmaan dari Boyo Patih itu mengambil Keris yang terselip di ikatan perut Nyi Lurah. Dan bergegas melarikan diri. Nyi lurah berteriak menyuruh anak buahnya untuk mengejar kucing yang sudah berubah menjadi Boyo Patih, Penduduk Sepontan ikut mengejar mengira Boyo patih adalah seorang Pencuri keris Nyi Lurah. Kejar mengejar ini berlangsung sangat jauh hingga mencapai daerah lamongan yang sekarang menjadi kota. Pada saat perbatasan antara pucuk dan babat Boyo patih sangat terpojok, sebuah pohon besar mengahalangi jalanya, Boyo Patih Pasrah dan berdo’a kepada Alloh minta pertolongan dan seketika itu anak buah NYi Lurah melemparkan anak tombak kepada beliau ternyata datang seekor kijang (rusa) yang menghalanginya dan menyelamatkanya hingga rusa tersebut terkena anak tombak yang di lemparkan oleh anak buah Nyi Lurah tersebut. Beliau bersyukur  kepada Alloh yang menyelamatkanya lewat perantara kijang tersebut serta berucap jangan sampai anak turunya memakan daging rusa. Boyo Patih pun bergegas pergi dan melanjutkan pelarianya sesampainya di daerah yang sekarang adalah Desa Medang Kecamatan Glagah beliau merasa terkepung tidak ada jalan keluar karena masa yang begitu banyak, Di tempat  itu terdapat Jublangan (kolam) yang akhirnya beliau menceburkan dirinya di dalam air kolam dengan berdo’a kepada Alloh supaya selamat dari kejaran masa tersebut. 

Karomah Boyo patih ternyata juga bisa bernafas di dalam air. Beliau masuk ke dalam rong (lubangan kecil rumah ikan lele) Masa yang begitu banyak menghampiri kolam tersebut dengan membawa obor aka tetapi tidak ada tanda tanda Boyo Patih di Tempat itu. Ketika masa curiga kalo Boyo patih ngumpet di dalam kolam itu beribu ribu ikan lele muncul ke permukaan air kolam, sehinggah tidak ada selah orang untuk menyebur ke air kolam tersebut, sehinggah membuat anggapan masa kalo saja Boyo Patih tidak ada di dalamnya. Kalau saja Boyo Patih ada di kolam itu beliau pasti meninggal karena terkena patil (senjata ikan lele) yang begitu banyak. Pergilah masa untuk kembali dan berhenti untuk melakukan pengejaran. Dan lagi lagi Boyo Patih bersyukur Karena Alloh telah menyelamatkannya dari kepungan massa lewat perantara ikan lele seketika itu beliau berucap anak turunya jangan ada yang memakan ikan lele karena ikan lele telah berjasa menyelamatkannya. Setelah masa pergi, Boyo Patih pun bergegas keluar dari kolam tersebut dan pergi ke Gresik untuk mengembalikan keris yang bernama Koro Welang itu kepada Kanjeng Sunan Giri. Boyo Patih mendapat gelar dari sang Sunan dengan nama “Sayyid Abd. Shomad”, Setelah pengabdianya yang begitu lama kepada Sunan Giri, Boyo Patih pun kembali ke daerah Lamongan untuk membabat alas mengajarkan agama Islam serta mendirikan desa-desa di antarnya adalah Desa Medang Tempat di mana beliau di selamatakan oleh ikan lele. 

Beliau juga di makamkan di tempat tersebut dan di muliakan oleh masyarakat dan penduduk setempat, bagi penduduk Lamongan yang masih ada keturunan dari Mbah Boyo Patih apabila melanggar memakan atau menjual ikan lele dia akan mengalami Gatal Gatal serta kulit melupas dan juga ada yang belang putih seperti kulit Ikan lele dan mungkin tidak bisa di sembuhkan oleh obat dan medis kecuali Datang ziarah ke Makam Waliyulloh Mbah Boyo Patih untuk Tawassul dan membasuh bagian yang sakit dengan air kolam makam Mbah Boyo Patih. Pantangan tersebut tidak berlaku bagi orang lamongan yag bukan asli keturunan Mbah Boyo Patih. Tapi meski begitu banyak orang dari luar lamongan yang sembuh dari penyakit kulitnya sehabis tawassul dan ziarah ke makam tersebut.

Legenda Gunung Pegat Lamongan


Pada zaman Raja Majapahit Raden Wijaya, Lamongan sudah menjadi daerah strategis. Dalam naskah riwayat hari jadi Lamongan, dijelaskan bahwa sudah terdapat jalan purbakala yang menghubungkan pusat kerajaan di Trowulan dengan Kambang Putih (pelabuhan Tuban) yang berada di pesisir utara.

Diduga jalan purbakala tersebut mulai dari Desa Pamotan yang berada di selatan, Garung, Kadungwangi, Sumbersari, Pasarlegi, Ngimbang, Bluluk, Modo, Dradah terus ke utara hingga Gunung Pegat dan berakhir di utara tepatnya di Desa Pucakwangi di Babat. Pada zamannya, jalan purbakala ini ramai dilalui para saudagar, punggawa praja, prajurit hingga rakyat jelata.

Kondisi ini berpengaruh terhadap majunya perkembangan masyarakat di wilayah Lamongan bagian barat ketimbang warga yang hidup di Lamongan bagian timur. Kehidupan teratur masyarakat ini dapat dibuktikan dengan ditemukan banyaknya batu prasasti dan petilasan kuno di sepanjang jalan purbakala ini.

Sejarah Awal Lamongan 
Terbentuknya Lamongan sebagai kabupaten tidak lepas dari santri kesayangan Sunan Giri II bernama Rangga Hadi, pemuda asal Desa Cancing, Ngimbang, Lamongan. Karena kecakapan ilmu agama yang dimiliki, Hadi ini lantas dipercaya untuk menyebarkan ajaran Islam ke barat Kasunanan Giri.

Berbeda dengan delapan wali lainnya, Sunan Giri dan Kasunanan Giri memiliki sistem monarki, sehingga putra dan keturunan Giri bisa menggunakan gelar Sunan Giri.

Dengan perbekalan, pengawalan dan seorang pembantu, Hadi berangkat melaksanakan perintah Sunan Dalem menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan. Rombongan penyebar agama Islam ini berangkat menyusuri Kali Lamong dengan naik perahu.

Perahu yang dinaiki Hadi akhirnya membawanya di sebuah tempat bernama Dukuh Srampoh, Pamotan, sebuah tempat yang berlokasi tidak jauh dari jalan purbakala Majapahit. Rombongan syiar Islam ini lantas melanjutkan perjalanan darat hingga sampai di Puncakwangi, yang sekarang masuk dalam desa di wilayah Babat.

Karena lokasi tersebut dianggap sesuai dengan pesan Sunan Giri, akhirnya Hadi mengabarkan bahwa dirinya sudah berada di tempat 'kali gunting' atau kali yang bercabang dua. Bertemunya hulu sungai-sungai kecil dari Desa Bluluk dan Modo yang mengalir ke hilir kali besar yang sekarang bernama Bengawan Solo.
Kedatangan Islam di daerah ini diterima cukup baik oleh masyarakat. Perkampungan Islam yang dibangun Hadi lambat laun berkembang cukup pesat. Namun di kemudian hari baru diketahui bahwa lokasi ini bukannya tempat dakwah yang dimaksud Sunan Giri II.

Seiring berkembangnya waktu, perjalanan syiar Islam Hadi berlanjut hingga Sunan Giri III. Karena keberhasilan sebelumnya dalam berdakwah, Hadi mendapat pangkat Rangga yang berarti pejabat.

Keberhasilan dan cara dakwah Rangga Hadi dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan, membuatnya dicintai masyarakat. Kemudian warga menyematkan julukan Mbah Lamong lantaran sifat mengasuh dan melayani masyarakat yang benar-benar membekas.

Dalam perkembangannya, wilayah Lamongan menjadi incaran penjajah Portugis yang ingin menguasai pantai utara dan menjajah pulau Jawa. Kemudian Sunan Giri memandang wilayah Lamongan sebagai lokasi strategis namun rawan karena dilalui oleh Bengawan Solo yang mampu dilayari kapal pedagang maupun kapal perang penjajah.
Dengan pertimbangan matang, akhirnya Sunan Giri IV (Sunan Prapen) mengumumkan wilayah kerangga Lamongan ditingkatkan menjadi kadipaten pada tanggal 26 Mei 1569, Rangga Hadi lantas diwisuda menjadi adipati Lamongan pertama yang diberi gelar Tumenggung Surajaya. Rangga Hadi sendiri wafat tahun 1607.

Pusara Rangga Hadi berada di sebelah utara Musala Mbah Lamong yang berada di tengah permukiman penduduk. Terdapat jalan penghubung antara musala dengan makam Rangga Hadi yang berada di bangunan terkunci. Sementara itu di kompleks luarnya juga terdapat sejumlah makam tanpa tulisan di nisan.

Lokasi musala berada di pojok persimpangan antara Gang Kali Lamong dan Gang Kali Wungu, Kelurahan Tumenggungan, Kecamatan Lamongan, Lamongan, Jawa Timur. Menurut penuturan salah satu warga sekitar, Kayah, makam Mbah Lamong hanya akan dibuka di waktu-waktu tertentu, termasuk saat hari jadi Kota Lamongan yang tanggal penetapannya mengacu pada wisuda Rangga Hadi.

"Memang kalau ramai-ramai ya saat hari ulang tahun Lamongan, Bupati sama pejabat-pejabat suka ke sini," terangnya saat berbincang dengan merdeka.com baru-baru ini.

Hal ini juga dibenarkan oleh Chambali, perangkat desa Kelurahan Tumenggungan yang ditemui merdeka.com terpisah. Menurutnya selain di hari ulang tahun Lamongan, makam Mbah Lamong juga akan dibuka saat malam Jumat.

"Biasanya Mbah Mirsad (juru kunci) ikut membantu peziarah mengantarkan doa untuk Mbah Lamong," terang Chambali saat ditemui di kantor kelurahan.

Makam Mbah Lamong ini memang masuk dalam situs sejarah yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Lamongan. Perawatan dilakukan secara berkala dari tahun ke tahun.

"Salah satu (situs yang dirawat) makam Tumenggung Surajaya, bupati Lamongan pertama. Dia disebut Mbah Lamong. Ini di zaman Sunan Giri, santrinya. Dia dari daerah Ngimbang, nyantri di Gresik. Setelah lulus dia menyebarkan ajaran Islam di barat, Lamongan," terang Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Lamongan Rudi Gumilar.

Legenda Gunung Pegat

Pada zaman kejayaan Kerajaan Majapahit, ada seorang Prawira sandi yang menikahi putri cantik yang bernama Ledung Sari. Sang Putri mempunyai permintaan jika mereka kelak jadi menikah ia ingin agar keduanya hidup dan membangun rumah tangga di pelosok pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk urusan perpolitikan. Permintaan sang putri Ledung Sari dikabulkan oleh Wira Sandi, namun Majapahit masih berharap walau ia jauh dari kerajaan Wira Sandi masih bisa menyempatkan diri untuk membantu dan memikirkan urusan kerajaan serta berbakti kepada Sang Prabu Raden Wijaya.

Setelah keduanya menikah, sepasang pengantin yang laki-laki ibarat Batara Kamajaya sedang yang perempuan bak Dewi Ratih lambang kecantikan dewa-dewi kayangan ini bermukim jauh dari kotaraja. Mereka berdua memilih lereng gunung Pucuk Wangi bagian selatan sebagai tempat membangun biduk rumah tangga, kearah barat daya dari pusat pemerintahan Majapahit. Kehidupan mereka berdua dihiasi warna-warni pelangi kebahagiaan, bahagia apa adanya, bahagia dengan alam yang telah dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Tanah yang subur, air yang jernih mengalir, dan hewan-hewan liar yang mencukupi kebutuhan hidup, bukan keserakahan dan nafsu tamak yang menghancurkan. harta benda bukan menjadi ukuran kebahagiaan, derajat serta pangkat tak lagi membius ambisi sepasang pengantin surga itu.

Dalam dagrasi kuning senja, puncak gunung Pucuk Wangi kelihatan cerah, udara  sepoi-sepoi menyegarkan, saat itu Ledung Sari sedang berada di rumah berhias menunggu sang suami pulang dari sawah. Setelah matahari hampir tenggelam Wira Sandi datang dari pintu depan. Ledung Sari menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang cerah sambil menyapa, suaranya halus merdu bagai dewi Wara Sembadra, “Monggo  langsung siram Kang Mas, meniko agemanipun gantos” ujar Ledung Sari sambil menyodorkan pakaian ganti untuk suami. “Ee lha dalah awak lungkrah sido dadi bungah, ngene iki diajeng” sambut Wira Sandi membalas ucapan istrinya.
 “Lha kenging nopo toh Kang mas ?”
“Ya mergo awakmu cah ayu, kang dadi pepujaning atiku, Sedino ra ketemu prasasat kadya sewindu” sambung Wira Sandi sambil mencubit dagu sang istri.
Sambil tersipu malu Ledungsari menuju dapur, mempersiapkan makan malam buat suaminya yang seharian bekerja disawah.

Begitulah hari-hari kebagiaan sepasang suami istri yang hidup dalam kesederhanaan, makan dari apa yang ditanam, minum dari air sumber yang banyak terdapat di dekat tempat mereka tinggal, kehidupan yang penuh dengan harmoni dan cinta antara makhluk Tuhan.

Sejenak kita tinggalkan lokasi tempat tinggal Wira Sandi dan istrrinya. Gunung Pucuk Wangi ternyata tidak hanya dihuni oleh manusia saja, namun disitu hidup juga beragam hewan bahkan juga bangsa lelembut atau siluman. Di puncak gunung Pucuk Wangi tepatnya di dalam gua hiduplah sepasang naga siluman. Namanya Naga Diahulu. Wujudnya seperti hewan ular dalam mitologi Cina namun berkepala dua. Satu di depan dan satunya lagi dibagian ekornya. Naga Diahulu mempunyai dua sifat, yang bagian kepala agak tumpul warna hitam putih memiliki sifat naga perempuan. Ia sering disebut sebagai naga Wiling, sedang yang bagian ekor kepalanya agak lonjong dikenal dengan nama naga Wilang dan ia bersifat sebagai naga jantan. Walau naga Diahulu memiliki mulut selebar pintu kandang ternak, namun mangsa naga ini adalah embrio dari janin (bakalan nyawa) seperti telur, janin, dan makhluk hidup yang masih berupa embrio. Naga Diahulu paling senang memangsa bakal jabang bayi manusia yang masih dalam rahim sang ibu.

Kembali ke setting dimana dua sejoli Wira Sandi dan Ledung Sari tinggal, ada siang ada malam dan waktu pun terus berjalan hingga suatu saat keluarga kecil itu kehabisan bahan makanan yang menghajatkan untuk pergi ke pasar. Babat adalah tempat terdekat yang menjadi tujuan mereka untuk berbelanja. Selain itu telah lama juga mereka tidak melihat keramaian manusia yang saling berinteraksi di tempat yang mempertemukan segala macam dan model manusia. Di tempat itu berbagai barang keperluan pun tersedia, garam dari laut, asam dari gunung, perkakas-perkakas rumah tangga dari kota semua tumplek blek di tempat yang disebut pasar. Setelah selesai berbelanja Wira Sandi mengajak istrinya untuk sarapan pagi disebuah warung makan.
“Diajeng ayo sarapan dhisik”
Mereka berdua masuk disebuah warung yang agak luas. Penjualnya seorang perempuan paruh baya, kulitnya hitam manis, wajah sumringah, grapyak semanak mempersilahkan Wira Sandi untuk mencicipi menu yang telah disediakan.
”Monggo pinarak….. ingkang sekeco, ngersakne nopo toh mas ?” sambut si pemilik warung.
“Sarapan mbak Yu” jawab Wira Sandi pendek.
“Dahar ngagem lawuh menopo ? meniko wonten dendeng banteng, ugi urang watang, meniko jangan lodeh sambel jeruk purut” ujar perempuan itu menawarkan aneka masakan yang ada diwarungnya.
Di pojok ruangan warung, terlihat tiga orang laki-laki berwajah sangar berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat memperhatikan Wira Sandi dan istrinya. Namun Wira Sandi tidak begitu memperhatikan. Setelah selesai makan Wira Sandi membayar kepada pemilik warung. Setelah selesai membayar Wira Sandi dan istrinya bergegas pulang, Wira Sandi memanggul belanja, sedang Ledung Sari berjalan di sampingnya. Mereka berdua berjalan lambat karena medannya yang menanjak. Siang itu langit tampak gelap, mendung hitam bergulung-gulung, di sudut-sudut cakrawala petir berkilat menyambar, tanda hujan akan segera turun. Wira Sandi kemudiaan berjongkok ke tanah dan mengambil sebongkah kecil tanah liat yang kering (brogalan) kemudian mengheningkan cipta memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,  
“Ojo pati ceblok banyu udan sakdurunge lemah sing tak gegem ceblok ning bumi pertiwi”‎

Tiba-tiba disebuah tikungan jalan yang sepi, melompatlah tiga orang  berwajah sangar menghadang jalannya Wira sandi. “Heh ! mandek bondho opo nyawa ?” bentak salah seorang dari manusia asing itu. Ledung sari kaget dan merangkul suaminya. “Kakang…kakang aku wedi !!!” 
Wira sandi segera tanggap bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang bermaksud jahat. ‎

Tiga orang berpenampilan sangar itu tertawa terbahak-bahak meledek Wira sandi.
“Hai ! tadi kau di pasar belum membayar !“
“Lha sudah kan, tadi saya mendapatkan uang kembali dari penjualnya” bela Wira Sandi
“Itu tadi kan membayar nasi, ini urusan pajak “
“Pajak Apa itu “ lanjut Wira Sandi heran.
“Ini urusan pajak belanja, pajak buat Negara”
“Sebentar-sebentar, Ki sanak ini siapa memang ?” Tanya Wira sandi
“Ha..ha..ha, ketahuilah, bahwa saya ini adalah pejabat Negara, sudah segera bayar, sebelum saya hukum kamu”.
Wira sandi bukan anak kemarin sore yang gentar akan gertakan, ia dengan tenang membalas ancaman itu dengan kata-kata ejekan.
 “Lha ! Pejabat Negara kok mengakali rakyat kecil, ohh…dasar kalian adalah manusia-manusia hina”.

Mitos Gunung Pegat

Musim besaran atau Idul adha, warga sekitar gunung pegat biasa penen ayam hitam. Loh kok bisa? well, bulan Dzulhijjah memang musimnya orang nikahan, dan mereka yang akan melaksanakan pernikahan dengan menyeberangi/ melewati jalan ini biasanya membuang “syarat” seeekor ayam hitam di bukit ini.
Mitos ini entah kapan ada, namun mitosnya biar temanten yang asalnya di utara dan selatan/ dipisahkan oleh bukit ini harus memberikan sesaji agar langgeng pernikahannya.

Gunung pegat sebenernya adalah bukit kapur yang dikepras untuk dibuat jalan, yang masih masuk dalam perbukitan Kapur kendeng utara Jawa yang membentang dari Gresik- Lamongan- Tuban-sampai Ke Blora.

Lewat jalan ini jika malam tentunya agak serem, karena melewati jalur hutan, namun dengan jalanan sekarang yang lebih halus dan lebar daripada tahun 2001-an yang lalu dan sering diperbaiki membuat kesan seram hilang.
Jalan ini terletak diantara jalur Babat- Jombang, kalau dari arah Jombang, letaknya sehabis melewati kota Kecamatan Ngimbang. kalau dari arah Babat, setelah Dradah, Kedungpring/Kalen Lamongan.‎

Dari Giri Kedhaton Ke Gunungsari


Giri Kedaton adalah sebuah “kerajaan” agama Islam di daerah Gresik, Jawa Timur s‎ekitar abad ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sebagai pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke daerah Maluku.

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang anggota Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama diPasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk membangun sebuah pondok pesantren di daerah ‎Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan sebuah pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sebagai pemimpin bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Meskipun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru untuk lepas dari kekuasaan Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit memang semakin berkurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang masih setia, yaitu Sengguruh, untuk menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri dari para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Sebagai negara yang merdeka, Giri belum mendapat pengakuan dari majapahit bahkan Majapahit mengadakan serangan ke Giri. Ketika Sunan Giri Prabu Satmoto masih hidup, penyerangnya balik masuk Islam. Dia adalah Jagat Mutaalim. Pada masa selanjutnya, Istana Giri Kedaton diserbu pasukan Terung yakni sisa-sisa laskar Majapahit, Sunan Dalem Wetan mengungsi ke Gummeno. Setelah musuh kembali pulang, Sunan Dalem kembali lagi ke Giri.
Dari sini timbul pertanyaan: Siapakah pengganti Sunan Giri (Prabu Satmoto). Dimanakah letak Istana mereka?.
1. Sunan Giri (1487-1506 M)
2. Sunan Dalem (1506 -1545 M)
3. Sunan Sedomargi (1545 -1548 M)
4. Sunan Prapen (1548 – 1605 M)
5. Panembahan kawis Guwo (1605-1614 M)
6. Panembahan Agug (1614 – 1638 M)
7. Panembahan Mas Winoto (1638- 1660 M)
8. Pangeran Puspohita (1660 – 1680 M)
9. Pangeran Wirayadi ()1680 – 1703 M
10. Pangeran Singanagoro (1703 – 1725 M)
11. Pangeran Singosari (1725 – 1743 M)

Suatu hal yang perlu dicatat pada kekuasaan tersebut bahwasannya Sunan Prapen membawa Giri ke puncak kebesarannya. Pengaruhnya sampai ke Indonesia Timur. Nama lain dari Sunan Prapen adalah ”Raden Fatihal”  berasal dari kata Patih I Halu. Gelar ini mengambil dari gelar putra mahkota kedua. Dalam tradisi Jawa sebelum Islam, Putra mahkota pertama bergelah Patih I Hino. Putra mahkota kedua bergelar Patih I Halu, dan Putra mahkota ketiga bergelar Patih I Sirikan. Memang benar, ketika Sunan Dalem Wetan meninggal dunia, Sunan Sedomargi sebagai anak lelaki pertama menggantikan sebagai sunan. Namun setelah Sunan Sedomargi meninggal, Sunan Prapen adik Sunan Sedomargi menggantikan menjadi Raja. Kebesaran Sunan Prapen ini berpengaruh sampai ke nusantara bagian timur, bahkan raja-raja Pajang dan Mataram minta restu ke Sunan Prapen untuk mendapatkan pengabsahan sebagai Raja Jawa.
Pada masa Panembahan Agung, Giri ditaklukan oleh Sultan Agung dari Mataram. Ketika Giri akan bangkit kembali dibawah pimpinan pangeran Puspohita (1660 – 1680), Mataram bersama dengan Belanda dan Dinasti Husein dari Terung berkerja keras dan berhasil menaklukan Giri. Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah ke Grissee. Pada saat itu, Grissee tempatnya berada di timur Istana Giri Kedaton, makanama ituberubah menjadi Dalem Wetan. Dalam bahasa Indonesia, wetan berarti timur, sedang dalem berarti Istana.

Secara teoritis, Zainal Abidin sebagai putra mahkota hidup berada di timur istana Giri Kedaton. Setelah Prabu Satmoto meninggal, Zainal Abidin bertahta di Istana Giri Kedaton di atas bukit.Ketika berkuasa, Zainal Abidin diserang oleh pasukan Terung yang dipimpin oleh Adipati Sengguruh sebagai sisa dari pasukan Majapahit hingga dia mengungsi ke Gumeno. Namun naas bagi pasukan Terung harus mengakui kegagahan Giri. Walaupun demikian, Istana Giri Kedaton pernah diduduki oleh pasukan Terung sehingga Zainal Abidin merasa enggan untuk kembali ke Istana Giri Kedaton. Untuk itu, dia memindahkan istananya ke Gunungsari, Tambakboyo, sebuah tempat sisi tenggara dari Dalem Wetan. 

Bagaimana perkembangan dari Gunungsari? Rupanya istana ini belum berkembang dengan baik karena masih banyak musuh yang mengincarnya sampai Zainal Abidin meninggal dunia. Uniknya istana pindah lagi ke Gunung Tambak Boyo. Istana Giri Tambakboyo ini merupakan zaman keemasan Giri era Sunan Prapen. Toponim penting yang tersisa adalah Tambak Boyo, Alun-alun, dan Pasar Gede. Ketika Sunan Prapen berkuasa, Istana Giri berada di Tambakboyo. Sekarang, tempat ini terletak di selatan Alun-alun Sidomukti, sedang Pasar Gede berada di barat Alun-alun.
Tata ruang pemukiman Giri, sebuah Hipotesa atau hasil penelitian di Giri, Jawa timur tahun 1982. Karya itu dimuat dalam Rapat Evaluasi hasil penelitian Arkeologi I 1982. Halaman 313 mengemukakan lapisan inti dan pendukung pemukiman Giri dengan nama-nama kuno sebagai berikut :
1.    Inti Pemukiman Giri : Kedaton, alun-alun, dan Pasar Gede.
2.    Sisi timur terdiri dari : Dalem Wetan, Kepandeyan, dan Tirman
3.    Sisi selatan terdiri dari :Punggawan, Kemodinan, dan Tambakboyo
4.    Sisi barat terdiri dari :Pedukuhan, Kebondalem, dan Kebonan
5.    Sisi utara terdiri dari : Jraganan, Kajen Kedahanan, dan Kawisanyar

Jika ditilik dari kebesaran masa keeasan Sunan Prapen, maka Alun-alun dan Pasar Gede dimunculkan pada masa Sunan Prapen sebagai pengguasa Giri keempat.. Sunan Giri Prabu Satmoto beristana di Giri Kedaton. Sunan Dalem Wetan beristana di Gunungsari, Sedang Sunan Sedomargi dan Sunan Prapen dimana?

Nampaknya ketika Sunan Dalem Wetan beristana di Gunungsari dan menghadap ke timur, putra mahkota pertama bernama Sunan Sedomargi dan Putra mahkota kedua bernama Sunan Prapen. Ketika sudah berumah tangga, Sunan Sedomargi berada di selatan Gunung Sari atau di sebelah kanan Istana Ayahnya, sedang Sunan Prapen berada di barat istana, atau belakang istana. Tempat ini bernama Tambakboyo. Jika benar demikkian, maka Gunung Tambakboyo itu berada di selatan Alun-alun. Maka tepatlah bila Istana Sunan Prapen ketika menjadi penguasa menghadap ke utara atau Laut Jawa, sedang tepat dimuka istananya terdapat Alun-alun dan Pasar Gede.

Rupanya pada masa Sunan Prapen ini, kota sedang diperluas. Perluasan pertama, bahwasannya makam Sunan Giri diberi cungkup yang bagus. Keduamemindahkan masjid dari Kabunan ke Giri Gajah, sedang masjid Kedaton digunakan tempat pendidikan pesantren, industri logam dan senjata diperbesar di Kepadeyan. Tempat pertahanan juga diperbesar dengan munculnya toponim Cumpleng tempat mengasah senjata. Perekonomian dikembangkan dengan munculnya Pasar Gede. Hubungan dengan dunia luar juga ditingkatkan dengan munculnya Sumur Jogo Tamu atau tempat istirahat tamu, dan ruang ruang makan para tamu juga ditempatkan pada posisinya yang tepat dengan nama “Telaga Dahar” di selatan Tambakboyo. Bahkan hubungan dengan luar pulau juga diperluas dan diberi tempat dengan nama Kemodinan dan Puhawang (bukan nama Punggawan seperti yang disebut oleh Nurhadi). Kemodinan berasal dari kata Kemudi (bukan modin). Puhawang adalah para juru mudi kapal. Nama Puhawang ini sebagai ruang untuk bertempat tinggal. Wilayah Kemodinan dan Puhawang dilengkapi dengan dua buah sumur.

Lugunya Saridin


Saridin utowo Syèh Jangkung yoiku tokoh kang ana ing Kabupatèn Pathi n‎alika ing jaman Wali Sanga. Jeneng Saridin pancèn ora kondhang ing donyo nanging ing laladan lor pesisir pulau Jawa (laladan Pathi, Kudus, Demak,Rembang) Saridin wis dadi legénda. Saridin iku wong kang sekti, nanging luguné ora ketulungan. Mulo saking luguné, nganti-nganti dhèwèké ora sadar karo kasektèné.

Syekh Jangkung Landhoh yaiku putrane Ki Ageng Pekiringan singjenenge Abdullah Asyiq Ibnu AbdulSyakur, dene ibune asmane Nyai Ageng Dewi Limaran. Ki Ageng lan Nyai Ageng mau suwe ora di anugrahi putra lanang, mula Ki Ageng lan Nyai Ageng lunga ngadhep dwijone yaiku Sunan Muria (Raden Umar Said). Tekan ing kana, Kanjeng Sunan Muria takon apa sing dikarepake Ki Ageng Pekiringan kaliyan Nyai Ageng. Sakloron mau banjur matur marang kanjeng Sunan nyuwun peyunjuk supaya diparingi momongan lanang. Sakwise kuwi, Kanjeng Sunan banjur maringi petunjuk supaya sakloron mau sabar lan nyeyuwun marang Gusti Allah supaya diparingi momongan. Sakwise diparingi petunjuk sakloron mau pamit. 

Tekan ing omah Nyai Ageng leren. Bengine, Nyai Ageng sare, ing turune kuwi Nyai Ageng oleh wangsit ditekani sawijining wong lanang gagah sing wis wanen rambute. Banjur Nyai Ageng nyritakake wangsite mau marang Ki Ageng, banjur diskusikake ngipine mau. Selang pirang dina, Nyai Ageng ngandhung sahingga gawe Ki Ageng lan Nyai Ageng bunggah banget amarga suwe ora diparingi anak lanang. 

Let suwe kandhungane mau gedhe banjur nglahirake “jabang bayi” lanang sing dijenengi “Syaridin”. Syaridin asale saka tembung Sah lan Ridho, sing artine sah lan entuk ridha saking Gusti Allah SWT. Sakwise nglairake Syaridin, ora suwe Nyai Ageng Kiringan sedha. Syaridin duweni sedulur wedok sing jenenge “Branjung”. Tilare Ki Ageng lan Nyai Ageng Kiringan, Syaridin oleh warisan tanah karombakyune Branjung. 

Salah swijining dina Syaridin sowan anaing omahe “Branjung” lan duweni kekarepan pengen ngedol tanahe kuwi kanggo nguripi anak bojone, nanging bojone Branjungora gelem tuku. Banjur Syaridin njaluk harta warisan tinggalanne bapake. Amarga kakange ora gelem tuku tanahe mau, sebidang tanah mau ana wit duren ( Duren Sawit,sing saiki dadi desa Duren Sawit) sing mung ana sak wit lan akeh wohe, mula dheweke njaluk bagiane. 

Kakang ipare gelem karo panyuwune Syaridin, nanging ana syarate yaiku yen woh duren kuwi tibane bengi kuwi dadi duweke Syaridin nanging yen esuk/awan kuwi dadi duweke Nyai Branjung. Amarga woh duren tibane bengi yen awan tibane mung sithik, saenggo kakang ipare mau nyamar dadi macan dadian nganggo kulit macan. Syaridin krasa, duren sing tiba kerep ilang saenggo Syaridin njaga lan gawe senjata saka “pikulan” sing dilincipi. 

Amarga penasaran, Syarindin ngendap-endap yen ana duren tiba lan nyedaki. Pas arep nyedhaki, Syaridin kaget amarga ana kewan gedhe kaya macan sing njupuki durene, mula ora mikir suwe Syaridin nombak kewan mau. 

Nanging bareng diparani, Syaridin kaget, amarga sing dadi kewan mau kakang ipare. Saka kadadean kuwi Syaridin dilaporake marang Bupati dening “Petinggi Miyono” banjur Syaridin diadili lan diukum di penjara. Ing salah sawijining dina dheweke ngomong marang Sipire/penjaga penjara “apa aku entuk mulih?”. “Ya, nek bisa” jawabe tukang sipir mau. 

Banjur Syaridin mulih, kebeneran ibune “Momok” lagi dirayu dening “Petinggi Miyono”supaya gelem nglayani nafsu birahine suweni Syaridin ning penjara. Ibune Momok ora gelem banjur diperkosa dening petinggi Miyono, ing wektu bareng, Syaridin teka. Bareng weruh Syaridin, petinggi Miyono mlayu kepingkel-pingkel. Saka kadadean kuwi, Syaridin nglaporake marang Bupati. Nanging Syaridin wis balik penjara sakdurunge Petinggi Miyono tekan Kabupaten Pati. Kadadean kuwi gawe jengkele Bupati, saenggo Syaridin diukum kanthi ukuman gantung. 

Banjur Syaridin diukum gantung dening Bupati. Supaya ora mlayu,dheweke dilebokake ning njero peti lan dipaku. Syaridin njaluk idin karo prajurit,”apa aku entuk ngrewangi?”takone Syaridin. “ Ya, nek bisa” jawabe prajurit. Banjur syaridin ngrewangi maku. Kadadean kuwi gawe jengkel para prajurit lan dheweke ngeyek para prajurit karo ngomong “apa aku bisa ngrewangi narik tali gantungan pas aku digantung mengko?”. “ Bisa, nek bisa.”jawabe prajurit. Banjur Syaridin digawa menyang tiang gantungan, nanging Syaridin beraksi meneh, malah ngrewangi masang lan narik taline. Sakwise tali ditarik, Syaridin melu narik mentalke salah siji prajurit nganti “semampir” lan saka kadadean kuwi asal mula dadine desa “Semampir”,

Syaridin banjur nutukkake malyu menyang ngetan lan tetep dikejar-kejar prajurit saka kabupaten Pati. Wiwit saka kuwi, Syaridin dadi buronan. Amarga dikejar-kejar prajurit terus, surasane kaya “keluk pedhut” banjur Syaridin mandheg sedhelok nyambi “ngeluk gegere” mula disabda iki bakal dadi dukuh “Ngeluk”. 

Suwene dadi buron, Syaridin atine ora tenang, banjur miwiti ngulandarane lan nglakoni tapa brata karo “lelaku” sing dibimbing dening guru spirituale yaiku Kanjeng Sunan Kalijaga. Wiwit kuwi Sunan Kalijaga maringijeneng “Jangkung” sing artine dijangkung utawa ditututineng ndi wae lungane lan mesthi maringi petunjuk sing disampekke lewat ati nuranine. 

Syaridin neruske ngulandarane sakwise bojone seda, lan putrane Momok dititipke karo mbakyune Branjung. Syaridin lunga ngulandara ing Rembang diteruske menyang wilayah Pati sisih kidul. Ana kana, Syaridin nemokake panggonan sing miturut dheweke kepenak yaiku ning ngisor wit beringin. 

Kesedhihane Syaridin ilang wiwit manggon ana kana, saengga Syaridin netep manggon ana kana lan gawe omah mirip masjid lan panggonan kuwi diwenehi jeneng Dukuh Landhoh. Setahun ana ing Landhoh, Syaridin bali neng Miyana. Syaridin banjur nerusake pangulandarane ing Kudus karepe arep golek guru. Syekh Jangkung banjur lunga menyang perguruan ing Kudus sing dipimpin dening Pangeran Kudus ( keturunan Sunan Kudus ). 

Syekh Jangkung ditampa ing perguruan kana. Sawijining dina Syekh Jangkung dikongkon kumpul bareng para santri “Murid Pesantren” Kudus, nanging Syekh Jangkung ora gelem ngaji. Seaben dina pegaweyane Syekh Jangkung ngiseni padasan, lan tawu ing selokan. Kadadean kuwi ngundhang perhatian, Pangeran Kudus banjur takon marang Syaridin “ apa selokan kuwi ana iwake?”. Syaridin njawab “ kabeh sing ana banyune kuwi mesthi ana iwake!”. Saknalika banjur Pangeran Kudus mrintah muride mriksa padasan, kendhi, bokor lan pungkasan kelapa (degan), kabeh ana iwake. 

Kadadean kuwi gawe Pangeran Kudus nggonduk lan rada emosi, banjur Syaridin ditakoni bab Syahadat. Syeh Jangkung ora gelem njawab. Ujug-ujug Syaridin menek wit kelapa nganti pucuk banjur nibakke awake nanging ora papa. Iku wangsulan bab Syahadat. Pangeran Kudus malah sang saya nesu, amarga dudu wangsulan kuwi sing dikarepake, nanging “ Syahadat : Asyhaduallaillaha illa ( L-Lah wa asyhadu anna Muhammada’r Rosulu ‘L-Laha sing artine “ aku bersaksi menika ora ana Gusti Pangeran kejaba Allah lan aku bersaksi menika Muhammad utusanipun Allah.” Hal kuwi dibantah Syekh Jangkung. Saknalika kuwi Syeh Jangkung dikongkon mulih dening Pangeran Kudus. 

Syekh Jangkung ora mulih ning asale, malah mertapa ana ing jero “Jumbleng”, kadadean kuwi gawe kagete wong akeh. Banjur kadadean kuwi dilaporake marang Pangeran Kudus. Para prajurit banjur diperintah ngepung jumbleng mau, saknalikaSyaridn metu, mlayu! Syaridin bisa lolos saka kejarane prajurit,akhire dheweke tutuk ing Wangan (kali cilik) banjur Syaridin adus.‎

Sejarah Kyai Ageng Kiringan


SYECH ABDULLAH ASYIQ IBNU MUHAMMAD ABDUL SYAKUR‎

Dalam berbagai tulisan termasuk jejak Walilullah di Pati nama Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan memang tidak ada yang menyinggungnya, bahkan dalam Web Kab Pati atau Dinas Pariwisata Pemprov Jateng, Nama Ki Ageng Kiringan tidak dimasukkan dalam obyek wisata religi di Kabupaten Pati. Padahal Ki Ageng Kiringan cukup dikenal di daerah Tayu dan jasanya sangat besar dalam menyebarkan Islam.‎

Menurut cerita tutur tinular, Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan  adalah putra dari Muhammad Abdul Syakur adalah murid sunan Muria yang ditugaskan untuk menyebarkan Islam di daerah Tayu dan sekitarnya.

Ki Ageng Kiringan mempunyai seorang isteri bernama Dewi Limaran dan mempunyai seorang putri bernama Sumiyem, yang lebih di kenal dengan Nyi Branjung. Ki Ageng dan Nyai Ageng sudah lama tidak di anugerahi putra laki-laki, maka Ki Ageng dan Nyai Ageng Kiringan pergi menghadap gurunya Sunan Muria (Raden Umar Said), untuk menyampaikan keinginannya agar dianugerahi seorang Putra laki-laki.‎

Kanjeng Sunan Muria memberikan nasehat kepada Ki Ageng dan Nyai Ageng agar bersabar, dan memohon kepada Allah SWT agar diberi putra laki-laki.

Setelah diberikan nasehat dan petunjuk oleh Sunan Muria, Ki Ageng dan Nyai Ageng pamit kembali ke Kiringan, malam nya Nyai Ageng bermimpi ditemui seorang laki-laki yang gagah dan sudah beruban. Lalu Nyai Ageng menceritakan mimpinya kepada Ki Ageng dan mendiskusikan mimpinya semalam.

Selang beberapa hari Nyai Ageng Kiringan mengandung, tentu saja disambut bahagia oleh keduanya yang memang mendambakan seorang anak laki-laki. Setelah sekian lama mengandung, Nyai Ageng melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama SARIDIN, yang berasal dari kata Syah dan Ridho, yang artinya mendapat Ridlo Allah SWT.

Memang cerita Saridin atau Syech Jangkung ini ada dua versi, salah satunya Saridin adalah putra Sunan Muria yang  dilarung ke sungai dan diangkat oleh Ki Ageng Kiringan sebagai anaknya.
Suatu ketika Sunan Bonang berkunjung ke Muria, sesampainya di padepokan Sunan Muria tidak ada, beliau sedang berkunjung ke Sunan Kudus, sambil menunggu Sunan Muria datang, Sunan Bonang meminjam kancip untuk membelah pinang guna berkinang menjadi dua bagian sama besar. Yang satu diberikan kepada Nyai Sujinah isteri Sunan Muria, yang satu dipergunakan sama Sunan Bonang.
Setelah beberapa lama menunggu, ternyata Sunan Muria tidak kunjung datang, akhirnya Sunan Bonang mohon diri untuk kembali pulang ke Lasem. Namun apa yang terjadi?? Setelah Sunan Bonang pergi, ternyata sesaat setelah kepergian Sunan Bonang, Nyai Sujinah langsung hamil 5 bulan. Dan setelah Sunan Muria datang beliau sangat terkejut, karena tiba2 isterinya hamil, akhirnya Sunan Muria marah dan menuduh Nyai Sujinah berzina dengan orang lain.
Akhirnya Nyai Sujinah diusir dari kasunanan Muria, dengan perasaan malu Nyai Sujinah pergi meninggalkan padepokan Muria. Hingga akhirnya Nyai Sujinah putus asa  dan memutuskan hendak bunuh diri  mencebur ke Sungai, beruntung tangannya dipegang oleh Kanjeng Sunan Kalijogo yang tiba-tiba datang dan selamatlah Nyai Sujinah.
Tidak berselang lama maka lahirlah si jabang bayi yang oleh Nyi Sujinah  di larung ke sungai dan ditemukan oleh Ki Ageng Kiringan atau Syech Abdullah Asyiq dan diangkat sebagai anak, lalu diberi nama SARIDIN atau Syech Jangkung.‎

Konon Saridin ini mempunyai kesukaan blayang atau berkelana, baik untuk mencari ilmu maupun untuk melakukan syiar terhadap Islam.

Mengenai kebenaran cerita ini, penulis kembalikan sepenuhnya kepada pembaca sekalian.

Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan sendiri makamnya terdapat di Dukuh Kiringan-Punden Rejo-Tayu, atau 30 Km dari Kota Pati arah jalan Tayu Jepara.

Diatas  pintu cungkup makam terdapat tulisan dalam huruf arab yang berbunyi :

”NGADEKE CUNGKUP MAKAM KIAGENG KIRINGAN BIN MUHAMMAD NEK DESO KIRINGAN, WULAN MUHARAM/SURO DINO SENIN TANGGAL 12 TAHUN 1304 MASEHI, TERANG KANG BANGUN SING NGUWATI BAGUS SALMAN BONGSO JIN”

DAN DIBAWAH TULISAN TERSEBUT TERDAPAT TULISAN HURUF ARAB KECIL YANG BERBUNYI :

”MONGSO SENTOLO CATUR KANG TUNGGAL”

Dan ada terusan sedikit yang tidak bisa terbaca termasuk oleh juru kunci makam Mbah Mahzum.

Makam Ki Ageng Kiringan sangat ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah, khususnya pada malam Jum’at, mereka bertawasul di Makam Ki Ageng Kiringan.

Banyak masyarakat dari berbagai daerah yang melaksanakan syukuran di Makam Ki Ageng Kiringan. Ini dilakukan bila keinginan atau do’a nya dikabulkan Allah SWT.

Khol dilaksanakan setiap tanggal  7 sd 9 bulan besar, biasanya ribuan peziarah dari berbagai penjuru datang berduyun-duyun ke Makam Ki Ageng Kiringan.

Sejarah Bedug Yang Berbunyi Sendiri

Konon dari cerita turun temurun, bedhuk Kiringan bunyi sendiri bila terjadi musibah sungai Kiringan terjadi banjir bandang.

Bunyi bedhuk Kiringan ini tidak hanya terdengan di sekitar dukuh Kiringan saja, tetapi juga sampai ke desa-desa disekitarnya. Masyarakat sendiri sampai sekarang mempercayai hal itu.

Di dalam bedhuk Kiringan sendiri terdapat sebuah piring kecil, namun sekarang kondisinya sudah pecah dan masyarakat sendiri tidak merawatnya.

Bahkan pernah ada orang yang datang ke Kirngan menemui juru kunci Makam Mbah Mahzum, yang menanyakan Bedhuk, Kentongan dan tongkat pegangan untuk khutbah Jum’at.

Barang2 tersebut akan diminta oleh orang tersebut, dan sebagai gantinya akan dipugarkan Masjid Kiringan sesuai permintaan, meskipun dengan biaya yang sangat besar. Namun permintaan tersebut langsung ditolak oleh juru kunci makam, karena masyarakat tidak berani menanggung akibatnya serta barang2 tersebut memang harus dijaga dan dilestarikan sebagai peninggalan Ki Ageng Kiringan.

Disamping keajaiban Bedhuk Kiringan, di masjid Kiringan juga terdapat sumur tua, dan sampai sekarang masih di jaga baik oleh  juru kunci makam dan juru kunci masjid.

Konon sumur tersebut dahulu air nya digunakan orang untuk melakukan ritual sumpah, tetapi oleh juru kunci Makam waktu itu KH IRSYAD (almarhum), tidak diperkenankan lagi orang melakukan sumpah di  Makam Ki Ageng Kiringan. Sumur tersebut menurut ceritera dibuat oleh murid Ki Ageng Kiringan yang bernama Abdul Rozaq atau yang lebih dikenal dengan Mbah Rozak, yang sekarang makamnya ada di Desa Jembul Wunut Kecamatan Gunung Wungkal atau tepatnya di Dukuh Gosari.

Dahulu tongkat yang digunakan saat khotib berkhutbah Jum’at jumlahnya ada 2 (dua) buah.

Namun waktu itu sungai Kiringan terjadi banjir bandang dan sampai mengikis dukuh Kiringan tinggal beberapa meter dibelakang masjid.   Dan bila terjadi banjir terus menerus tidak menutup kemugkinan tanah yang ada dibelakang masjid akan terus terkikis dan membahayakan masjid serta pemakaman yang ada di belakang masjid.

Maka suatu ketika terjadi banjir besar lagi yang sangat membahayakan keberadaan masjid, maka oleh Ki Ageng Kiringan diambilnya salah satu tongkat tersebut dan ditancapkan ditempat yang dilanda banjir.

Anehnya sewaktu tongkat ditancapkan ditanah, banjir yang semula akan menerjang masjid Kiringan, tiba-tiba pindah/bergeser ke selatan dukuh Kiringan. Lokasi bekas sungai tersebut, dinamakan Kali Tengah, yang artinya bekas tengah-tengah sungai yang menjadi areal persawahan yang sangat subur.

AKIBAT PEMINDAHAN TEMPAT WUDLU

 Dahulu didepan masjid Kiringan terdapat kolam/tempat wudlu yang dibangun oleh Ki Ageng Kiringan.

Kolam tersebut dialiri air dari sungai Kiringan yang dialirkan persis melalui tengah-tengah makam Kiringan. Waktu itu air yang mengalir tidak pernah surut meskipun kemarau sangat panjang. Dan kolam/tempat wudlu tersebut tidak pernah kekurangan air.

Tiba-tiba pengurus Masjid waktu itu berkeinginan untuk memindahkan tempat wudlu dari depan masjid ke samping masjid agar masjid dapat diperluas dan direhab lebih modern.

Anehnya sejak tempat wudlu dipindah dan air sungai Kiringan tidak dialirkan lagi ke kolam/tempat wudlu, sejak saat itu pula air sungai Kiringan kering dan tidak bisa untuk mengairi persawahan yang ada di desa Punden Rejo dan sekitarnya. Sawah-sawah yang dulunya sangat subur tidak kekurangan air, kini menjadi kering kerontang dan hanya bisa ditanami palawijo atau menjadi sawah tadah hujan. Masih banyak kejadian-kejadian penting lainnya yang tidak bisa kami tuliskan satu persatu.

SYECH ABDUL ROZAK  (MBAH ROZAK JEMBUL), MURID MBAH ABDULLAH ASYIQ

Mbah Dul Rozak,demikian masyarakat di desa Jembul Wunut kecamatan Gunung Wungkal  dan Ngablak Kecamatan Cluwak Pati  sering menyebutnya, nama aslinya Abdul Rozak Muhammad Abdullah, beliau berasal dari Bejagung Tuban Jawa Timur, yang konon masih mempunyai garis keturunan dengan Raden Khasan atau Raden Patah.

Dari daerah asalnya beliau hendak menuju Demak , sesampai di wilayah Kemaguhan sekarang Kropak beliau singgah dan menetap di Kropak hampir sepertiga dari hidupnya.

Sebenarnya beliau berkeinginan untuk berguru kepada Saridin atau Syech Jangkung, tapi oleh Syech Jangkung disarankan untuk berguru kepada ayahnya yaitu Syech Abdullah Asyiq atau Ki Ageng Kiringan.

Setelah melalui perjuangan yang berat akhirnya Abdul Rozak menemukan padepokan Ki Ageng Kiringan atau Syech Abdullah Asyiq di Dusun Kiringan-Punden Rejo.

Namun Rozak tidak langsung diterima sebagai murid, untuk sementara diterima sebagai abdi membantu pekerjaan sehari-hari. Meskipun sebagai abdi, Rozak menerima pekerjaan tersebut dengan ikhlas, sehingga akhirnya Rozak diterima sebagai murid Ki Ageng Kiringan.

Suatu ketika Ki Ageng Kiringan memerintahkan Rozak untuk membuat sumur, walaupun saat itu musim kemarau, pada tengah malam beliau berdo’a agar apa yang dikerjakan mendapat ridlo Allah SWT. Pada malam itu juga beliau keluar rumah serta memanjatkan do’a sekaligus menghentakkan kaki tiga kali.

Bersamaan itu juga sudah menjadi lubang sumur, akan tetapi belum keluar sumber airnya., sampai pagi harinya Ki Ageng Kiringan menemukan Rozak duduk bersila disamping sumur buatannya, sambil tetap berdo’a kepada Allah SWT.

Tiba2 beliau mengambil keranjang yang ada dirumah gurunya, untuk mengambil air dengan keranjang tersebut ke sungai. Keranjang tsb seperti timba saja, air yg diambil Rozak dari sungai dimasukkan ke sumur, yang akhirnya muncul sumber air di sumur tersebut.

Ada kemungkinan sumur yang dibuat oleh Mbah Rozak adalah sumur yang saat ini ada di dalam masjid Kiringan, yang airnya tidak pernah kering meskipun musim kemarau panjang.

Berkat ketekunannya, Ki Ageng Kiringan menjadikan Abdul Rozak sebagai murid kesayangan dan mengawinkan dengan seorang wanita bernama Ni Tambi, dan Abdul Rozak diberi tanah disebelah barat Kirngan atau yang sekarang disebut dukuh Kesambi.

Namun kebiasaan Abdul Rozak di Kropak tak bisa begitu saja beliau tinggalkan. Seni tayub masih menjadi kegemarannya, maka suatu ketika beliau datang ke Desa Giling untuk bergabung disana. Arak pun sempat diminumnya sehingga beliau mabuk sampai esuk harinya masih ada di desa Giling.

Karena beliau tidak bisa berjalan , maka beliau membuat sayembara pada siapa saja yang mampu menggendongnya maka akan diberi hadiah berupa tanah pelintahan yang ada di Ngablak. Dengan hadiah tsb sudah banyak orang yang berusaha menggendong beliau, namun tidak ada satu orangpun yang mampu, sehingga datanglah seorang yang dianggap danyang Giling yang bernama DROMO WONGSO. Ki Danyang ini yang sanggup menggendong Abdul Rozak sampai Ngablak dan berhak atas tanah pelintahan tersebut.‎

Namun pada suatu ketika Abdul Rozak menderita sakit, sampai tidak terasa sebelah kakinya terluka dan mengeluarkan nanah karena terlalu lama berbaring ditempat tidur tidak bisa jalan.

Setelah beliau dapat berjalan berganti penyakit yang dideritanya, yang semua keluar nanah kemudian menjadi borok yang semakin parah,sampai2 beliau mengeluarkan ultimatum “ Bagi siapa saja yang masih keturunan Ngablak, akan terlaknat bila minum arak”

Pernah diceritakan setelah Rozak mengeluarkan ultimatum, ada seseorang yang kebetulan melewati Ngablak hendak menjual arak, sesampai diwilayah Abdul Rozak, maka botol2 arak tersebut meledak semua.

Pada suatu saat Rozak akan membersihkan  borok pada kakinya di sungai, namun aliran sungai tersebut  mengalir di  hilir yang biasa dipakai untuk berwudlu Ki Ageng Kiringan. Karena menimbulkan bau yang kurang sedap pada air yang mengalir, maka Ki Ageng Kiringan menyarankan agar Abdul Rozak membersihkan boroknya di dekat pohon  Bendo yang katon (kelihatan), dan kelak dinamakan desa Bendokaton. Namun sungainya masih satu arah melewati Bangkol, Kiringan serta Tayu. Sehingga sangat menggangu aktivitas Ki Ageng Kiringan beserta murid-muridnya. Maka diutuslah salah satu murid untuk menemui Abdul Rozak agar Rozak mencuci boroknya di selatan desa Ngablak, yakni Jembul yang waktu itu masih termasuk wilayah Ngablak.

Akhirnya dengan susah payah Abdul Rozak menuju Jembul dengan bantuan isterinya. Dan beliau berhenti di sebuah sungai kecil atau Kalen (bhs Jawa) untuk membersihkan boroknya yang yg sudah mulai berdarah. Namun anehnya bau air yang dipakai untuk membersihakan borok tersebut baunya menjadi harum/wangi , maka oleh Abdul Rozak dinamakan “Kalen Kembang”.

Sakit yang diderita Abdul Rozak rupanya dibawa sampai beliau wafat, pada hari Ahad Wage bulan Dzul Qoidah beliau kembali pulang keharibaan Allah SWT untuk selama-lamanya.

Oleh karenanya bagi penduduk Jembul bila terserang borok pada kakinya besar kemungkinan ajalnya dekat . Hal ini kemungkinan bila si penderita  mengindap diabetes, atau sering disebut borok RITI. Marine yen Mati atau sembuhnya kalau sudah meninggal.

Tidak berselang lama Ni Tambi menyusul sang suami pulang ke Rahmatullah , keduanya dimakamkan di GOSARI secara berdampingan. Sampai sekarang banyak para peziarah dari luar daerah yang datang untuk bertawasul dimakam Mbah Rozak.‎

BERDIRINYA MASJID KIRINGAN‎

Sampai sekarang belum ditemukan literature atau bukti tentang berdirinya Masjid JAMI’ Kiringan, hanya cerita dari tutur tinular yang diperoleh oleh penulis.

Menurut riwayat Masjid Kiringan didirikan oleh Ki Ageng Kiringan atau Syech Abdullah Asyiq, sebagai pusat penyebaran Islam di daerah Tayu dan sekitarnya. Mengenai tahun berdirinya sampai sekarang belum diketemukan bukti-bukti otentiknya. Namun masjid Kiringan pernah mengalami beberapa kali pemugaran. Menurut almarhum Modin Kashuri, masjid Kiringan pernah dipugar di Jaman Lurah Ayahnya Mbah Wiryo Wiyoto pada tahun 1925 M.

Masjid Kiringan sebelum berdiri seperti sekarang ini, konon mengalami beberapa kali perpindahan, yang pertama akan didirikan di Desa Kedungbang persisnya di sebuah tempat dimana orang menyebutnya punden Pesigit, namun entah karena apa, tiba2 masjid tidak jadi dibangun di daerah tersebut.

Yang kedua Masjid Kiringan akan dibangun didekat sumber air yang sering disebut belik Kiring, namun ditempat ini Masjid tidak jadi didirikan juga. Akhirnya Ki Ageng Kiringan meminta petunjuk Allah SWT agar dapat mendirikan masjid dilokasi yang tepat. Tempat untuk bersemedi Ki Ageng Kiringan dalam merencanakan pendirian Masjid disebuah tanah lapang, yang sampai sekarang orang sekitar menyebut sawah Karang, artinya  tempat untuk mengarang dalam membangun masjid.

Dan Alhamdulillah Allah SWT mengabulkan permintaan Ki Ageng Kiringan, sehingga mendapatkan petunjuk dalam mendirikan masjid, yaitu sekitar 300 m arah selatan dari tempat beliau bersemedi.

Berdirinya Masjid Kiringan sendiri konon disertai datangnya angin kencang dan tidak diketahui asal usulnya. Dan tembok Masjid Kiringan terbuat dari batu bata dengan ukuran 40 X 25 cm dengan ketebalan sekitar 10 Cm. Bukti batu bata untuk pembuatan Masjid Kiringan sampai sekarang masih tersimpan beberapa biji dan bisa dilihat di Kiringan.

Saat ini Masjid Kiringan sudah dipugar lagi dan bentuknya lebih modern, tetapi tidak mengurangi keaslian nya, terakhir dilakukan pemugaran tahun 2011 M.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...