Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Sifat Zuhud


Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannnya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.

Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.
Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,
 
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.

Al-Qur’an dipenuhi dengan anjuran zuhud terhadap dunia, berita akan kehinaan dunia dengan segala kekurangannya, keberakhirannya dan kesegeraan kebinasaannya, dan berisi tentang anjuran berhasarat kepada akhirat, berita akan kemuliaannya dan kekekalannya.

Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits

Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,
وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)
 
“Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌفِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُمُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِوَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Al-Hadid 57 : 20)

زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطيرالمقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومةوالأنعام والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله عندهحسن المآب

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Ali 'Imran 3 : 14)

من كان يريد حرث الآخرة نزد له في حرثه ومن كان يريدحرث الدنيا نؤته منها وما له في الآخرة من نصيب

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Asy-Syuuraa 42 : 20)

قل متاع الدنيا قليل والآخرة خير لمن اتقى ولا تظلمونفتيلا

“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”. (An Nisaa’ 4 : 77)

بل تؤثرون الحياة الدنيا والآخرة خير وأبقى

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (Al A'laa 87 : 16-17)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 5256)

Dari Mutharrif dari ayahnya radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau tengah membaca, “Bermegah-megahan telah melalaikanmu.” (QS. At Takaatsur: 1). Lalu beliau bersabda:

يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِي مَالِي قَالَ وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

“Anak cucu Adam berkata: ‘Hartaku, hartaku’.” Beliau meneruskan: “Hartamu wahai anak cucu Adam tidak lain adalah yang kau makan lalu kau habiskan, yang kau kenakan lalu kau usangkan atau yang kau sedekahkan lalu kau habiskan.” (HR. Muslim no. 5258)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ

“Manusia berkata, ‘Hartaku, hartaku, ‘ sesungguhnya hartanya ada tiga: yang ia makan lalu ia habiskan, yang ia kenakan lalu ia usangkan atau yang ia berikan (sedekahkan) lalu ia miliki, selain itu akan lenyap dan akan ia tinggalkan untuk manusia.” (HR. Muslim no. 5259)


Anas bin Malik radhiallahu anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Mayit diantarar (ke kuburan) oleh tiga hal, yang dua akan kembali sedang yang satu terus menyertainya. Dia diiringi oleh keluarganya, hartanya dan amalnya. Harta dan keluarganya akan kembali, sedang amalnya akan terus tetap bersamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6033 dan Muslim no. 5260)

Dari Amr bin Auf radhiallahu anhu dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ صَالَحَ أَهْلَ الْبَحْرَيْنِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ فَقَدِمَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِمَالٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ فَسَمِعَتْ الْأَنْصَارُ بِقُدُومِ أَبِي عُبَيْدَةَ فَوَافَوْا صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ فَتَعَرَّضُوا لَهُ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَآهُمْ ثُمَّ قَالَ أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَيْءٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ فَقَالُوا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَأَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus Abu Ubaidah bin Al Jarrah ke Bahrain membawa jizyahnya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membuat perjanjian damai dengan penduduk Bahrain, beliau mengangkat Al Ala` bin Al Hadاrami sebagai pemimpin mereka. lalu Abu Ubaidah datang membawa harta dari Bahrain dan kaum Anshar mendengar kedatangan Abu ‘Ubaidah lalu mereka shalat fajar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , seusai shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bergegas lalu mereka menghadang beliau, Rasulullah shallallahu alaihi wasallamtersenyum saat melihat mereka, setelah itu beliau bersabda: “Aku kira kalian mendengar bahwa Abu ‘Ubaidah datang membawa sesuatu.” Mereka berkata: Benar, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Bergembiralah dan berharaplah apa yang menggembirakan kalian, demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti halnya dibentangkan pada orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba mengejarnya sebagaimana mereka berlomba mengejarnya, lalu dunia membinasakan kalian seperti dia telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2924 dan Muslim no. 5261)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

“Pandanglah orang yang berada di bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu lebih akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim no. 5264)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu dia berkata:

أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang pundakku dan bersabda: ‘Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.” Ibnu Umar juga berkata; ‘Bila kamu berada di sore hari, maka janganlah kamu menunggu datangnya waktu pagi, dan bila kamu berada di pagi hari, maka janganlah menunggu waktu sore, pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5937)


Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الْأَمَلِ

“Hati orang tua masih akan tetap muda dalam dua perkara, yaitu: Mencintai dunia dan panjang angan-angan.” (HR. Al-Bukhari no. 5941)

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit, niscaya ia akan mengharapkan untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” (HR. Al-Bukhari no. 5956 dan Muslim no. 1737)


Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa dapat menjamin bagiku sesuatu yang berada di antara jenggotnya (mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Al-Bukhari no. 5993)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

“Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi (nafsu).”(HR. Al-Bukhari no. 6006)


Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu menuturkan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ

“Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya, neraka juga seperti itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6007)

Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ أَوْ بَعْضُ أَزْوَاجِهِ إِنَّا لَنَكْرَهُ الْمَوْتَ قَالَ لَيْسَ ذَاكِ وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ الْمَوْتُ بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّهِ وَكَرَامَتِهِ فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ وَأَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا حُضِرَ بُشِّرَ بِعَذَابِ اللَّهِ وَعُقُوبَتِهِ فَلَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَهَ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ وَكَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ

“Barangsiapa mencintai perjumpaan dengan Allah, Allah juga mencintai perjumpaan dengannya, sebaliknya barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allah, Allah juga membenci perjumpaan dengannya.” Kontan ‘Aisyah atau sebagian isteri beliau berkomentar ‘kami juga cemas terhadap kematian! ‘ Nabi lantas bersabda: “Bukan begitu maksudnya, namun maksud yang benar, seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah dan karamah-Nya, sehingga tak ada sesuatu apapun yang lebih ia cintai daripada apa yang dihadapannya, sehingga ia mencintai berjumpa Allah, dan Allah pun mencintai berjumpa kepadanya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada yang lebih ia cemaskan daripada apa yang di hadapannya, ia membenci berjumpa Allah, sehingga Allah pun membenci berjumpa dengannya.”(HR. Al-Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 4844)

Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
 
“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.” ‎Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
 
“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320‎)
Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia
Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3]Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar mengatakan,
 
الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
 
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”
Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullahmengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalahamalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karenazuhud sebenarnya adalah amalan hati.“
Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullahterhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.
Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”

Al Fudhail  bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”‎
Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.
Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,
 
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا
 
“Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502) ‎ Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.
‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.
Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.
Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.
Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. 
Pengertian Zuhud yang Amat Baik
Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,
 
أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ
 
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak
Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negerighoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …”
Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”

Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.
Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. 

Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,
 
أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
 
“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,
 
يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
 
“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.
Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini. Amiin

Penjelasan Tentang Tarian Shufy


Tarian, selain merupakan budaya orang Keraton, juga merupakan budaya orang-orang Shufiy.

Hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
 
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتْ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَرْقُصُونَ، وَيَقُولُونَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا يَقُولُونَ؟ " قَالُوا: يَقُولُونَ مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ
 
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad (bin Salamah), dari Tsaabit (Al-Bunaaniy), dari Anas, ia berkata : “Orang-orang Habasyah bermain-main dan menari-nari di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata : “Muhammad adalah hamba yang shaalih”. Maka Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang mereka katakan ?”. Mereka (para shahabat) berkata : “Orang-orang Habasyah berkata : ‘Muhammad adalah hamba yang shaalih” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/152].
Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim” [20/17].
Komentar :
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 1680 dari jalan Ahmad bin Hanbal.
‘Abdush-Shamad mempunyai mutaba’ahdari :
a.      Hudbah bin Khaalid; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 5780 dengan sanad shahih.
b.      Abu Salamah (Manshuur bin Salamah Al-Khuzaa’iy); sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaaq As-Sarraaj dalam Hadiits-nya no. 1765, dan dari jalannya Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 1681, dengan sanad shahih.
As-Sindiy rahimahullah mengatakan bahwa makna yazfinuun (يَزْفِنُونَ) adalah :
كيضرب، أي: يرقصون بالسلاح
 
“Seperti menghentakkan (mengacung-acungkan), yaitu menari/melompat-lompat dengan senjata” [Ta’liiq Al-Arna’uth terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad, 20/17].
Hudbah (tsiqah) dan Abu Salamah (tsiqah, tsabt, lagi haafidh) membawakan dengan lafadh :
 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَكَلَّمُونَ بِكَلامٍ لا يَفْهَمْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا يَقُولُونَ "؟ قَالُوا: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ

Dari Anas bin Maalik : Bahwasannya orang-orang Habasyah bermain-main/menari di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan perkataan yang tidak beliau pahami. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang mereka katakan”. Mereka (para shahabat) menjawab : “Muhammad adalah hamba yang shaalih” [lafadh milik Ibnu Hibbaan].
Apakah riwayat di atas pas dijadikan dalil orang-orang Shufiy untuk melegalkan tarian mereka ? Serta sebagai hujjah bagi Pencinta Maulid untuk goyangan Mereka????
Tentu tidak!!!!

Untuk memperoleh gambaran apa yang dilakukan oleh orang Habasyah tadi, kita perlu melihat riwayat-riwayat lain yang berkenaan dengan peristiwa tersebut.
 
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ "
 
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir,dari Hisyaam, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Orang-orang Habasyah sedang bermain-main/menari-nari (yazfinuun) pada hari ‘Ied di masjid. Lalu Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memanggilku, lalu aku letakkan kepalaku di atas pundak beliau untuk melihat permainan mereka, hingga aku sendiri yang berhenti dan berpaling melihat mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 892].
 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ الْحَبَشُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ، فَسَتَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا زِلْتُ أَنْظُرُ ......
 
Telah menceritakan kepada ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Orang-orang Haabsyah pernah bermain-main dengan tombak mereka. Lalu Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam menutupiku agar aku dapat melihat mereka.....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5190].
Jadi, kita ketahui bahwa yang dilakukan oleh orang-orang Habasyah itu adalah bermain perang-perangan dengan senjata mereka di masjid. Dari sini An-Nawawiy rahimahullah berkata :
 
فِيهِ جَوَاز اللَّعِب بِالسِّلَاحِ وَنَحْوه مِنْ آلَات الْحَرْب فِي الْمَسْجِد , وَيَلْتَحِق بِهِ فِي مَا مَعْنَاهُ مِنْ الْأَسْبَاب الْمُعِينَة عَلَى الْجِهَاد وَأَنْوَاع الْبِرّ
 
“Dan hadits tersebut terdapat dalil bolehnya permainan dengan senjata atau yang semisalnya dari alat-alat peperangan di masjid. Dan melekat padanya apa-apa yang terdapat dalam maknanya dari segala sebab yang membantu pelaksanaan jihad dan berbegai jenis kebaikan” [Syarh Shahiih Muslim]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
 
وَاسْتَدَلَّ قَوْم مِنْ الصُّوفِيَّة بِحَدِيثِ الْبَاب عَلَى جَوَاز الرَّقْص وَسَمَاع آلَات الْمَلَاهِي ، وَطَعَنَ فِيهِ الْجُمْهُور بِاخْتِلَافِ  الْمَقْصِدَيْنِ ، فَإِنَّ لَعِب الْحَبَشَة بِحِرَابِهِمْ كَانَ لِلتَّمْرِينِ عَلَى الْحَرْب فَلَا يُحْتَجّ بِهِ لِلرَّقْصِ فِي اللَّهْو ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
 
“Sekelompok orang dari kalangan shufiyyah berdalil dengan hadits dalam bab ini (yaitu hadits tentang orang-orang Habasyah) atas bolehnya menari/berjoget dan mendengarkan alat musik. Dan jumhur ulama mencelanya karena itu adalah dua hal tersebut berbeda tujuannya. Permainan orang-orang Habasyah dengan tombak mereka adalah untuk latihan/persiapan perang, tanpa bertujuan dengannya bermain menari-nari/berjoget” [Fathul-Baariy, 6/553].
Intinya, di situ tidak ada dalil atau pentunjuk legalitas tarian Shufiy.

Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
 
حَدَّثَنَا أَسْوَدُ يَعْنِي ابْنَ عَامِرٍ، أخبرنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ هَانِئِ بْنِ هَانِئٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنا، وَجَعْفَرٌ، وَزَيْدٌ، قَالَ: فَقَالَ لِزَيْدٍ: " أَنْتَ مَوْلَايَ "، فَحَجَلَ، قَالَ: وَقَالَ لِجَعْفَرٍ: " أَنْتَ أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي "، قَالَ: فَحَجَلَ وَرَاءَ زَيْدٍ، قَالَ: وَقَالَ لِي: " أَنْتَ مِنِّي، وَأَنَا مِنْكَ "، قَالَ: فَحَجَلْتُ وَرَاءَ جَعْفَرٍ
 
Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir : Telah mengkhabarkan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku, Ja’far, dan Zaid mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid : “Engkau adalah maulaku”. Lalu Zaid pun melompat-lompat karena gembira. Beliau berkata kepada Ja’far : “Engkau mirip denganku dan akhlaqku”. Maka ia (Ja’far) pun melompat-lompat di belakang Zaid. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu”. Lalu akupun melompat-lompat di belakang Ja’far [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/108].
Komentar :‎
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 744, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 10/226 dan dalam Al-Aadaab no. 921 dari jalan Israaiil.
Al-Arna’uth berkata :
 
إسناده ضعيف هانئ بن هانئ تقدم الكلام فيه رقم ٧٦٩ ومثله لا يحتمل التفرد ولفظ الحجل في الحديث منكر غريب
 
“Sanadnya lemah. Haani’ bin Haani’, telah berlalu pembicaraan tentangnya di hadits no. 769. Perawi semisal dirinya tidak diterima tafarrud-nya. Dan lafadh al-hajl(melompat) dalam hadits ini munkar ghariib” [2/213-214].
Ketika memberikan catatan kaki untuk hadits no. 769, Al-Arna’uth menjelaskan komentar para ulama tentang Haani’ bin Haani’. Berikut akan saya tuliskan keterangan tentangnya :
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Sa’d berkata : “Ia bertasyayyu’, munkarul-hadiits”. Ibnul-Madiiniy berkata : “Majhuul”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Haani’ bin Haani’, tidak diketahui. Para ahli hadits tidak memakai haditsnya karenajahaalatul-haal-nya dirinya”. Al-Baihaqiy berkata : “Haani’ bin Haani’ sangat tidak dikenal”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah” [lihat :Tahdziibul-Kamaal, 30/145 dengan catatanmuhaqqiq-nya; dan Ma’rifatuts-Tsiqaat2/325 no. 1883].
Tautsiq An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan ‘Ijliy belum kuat untuk mengangkat haditsnya, karena keberadaan jarh Ibnu Sa’d, Ibnul-Madiiniy, dan Asy-Syaafi’iy. Ia hanya diketahui meriwayatkan hadits dari ‘Aliy, dan darinya Abu Ishaaq As-Sabii’iy.
Al-Bazzaar rahimahullah berkata :
 
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُ أَحَدًا رَوَاهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَذَا الإِسْنَاد
 
“Hadits ini tidak aku ketahui seorang pun yang meriwayatkan dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan sanad ini” [Al-Bahr, no. 744].
Al-Baihaqiy rahimahullah telah mengisyaratkan ketidakvalidan riwayat ini dengan perkataannya :
 
هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ لَيْسَ بِالْمَعْرُوفِ جِدًّا، وَفِي هَذَا إِنْ صَحَّدَلالَةٌ عَلَى جَوَازِ الْحَجْلِ، وَهُوَ أَنْ يَرْفَعَ رِجْلا، وَيَقْفِزَ عَلَى الأُخْرَى مِنَ الْفَرَحِ، فَالرَّقْصُ الَّذِي يَكُونُ عَلَى مِثَالِهِ يَكُونُ مِثْلَهُ فِي الْجَوَازِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
 
“Haani' bin Haani' sangatlah tidak dikenal. Dalam hadits ini, seandainya shahih[2], terdapat dalil diperbolehkannya Hajl, yaitu mengangkat kaki dan melompati kaki yang lain karena gembira. Dan raqsh dan yang semisalnya juga diperbolehkan. Wallaahu a'lam” [selesai].
Ada jalan riwayat lain yang dibawakan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat (4/336) dengan sanad :
 
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ،
 
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya (Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib) : “.... (al-hadits)....”. [selesai].
Para perawinya tsiqaat, hanya saja mursal. Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib tidak pernah bertemu dengan kakeknya (‘Aliy bin Abi Thaalib).
Ada jalan riwayat lain yang panjang dibawakan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah (4/339) dengan sanad sebagai berikut :
 
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الْجَهْمِ بْنِ مَصْعَلَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْفَرَجِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَاقِدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَبِيبَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
 
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Ishaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Al-Jahm bin Mashla’ah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Farj, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waaqidiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Habiibah, dari Daawud bin Hushain, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : .....(al-hadits).... [selesai].
Ibnu Sa’d juga meriwayatkan dari jalan Al-Waaqidiy [Ath-Thabaqaat, 8/326].
Riwayat ini sangat lemah terutama dengan sebab Al-Husain bin Farj dan Al-Waaqidiy. Keduanya adalah perawi matruuk.
Ada juga riwayat lain yang panjang dibawakan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa(8/6) dengan sanad :
 
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ الْعَدْلُ، بِبَغْدَادَ، أنبأ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمِصْرِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، ثنا أَسَدُ بْنُ مُوسَى، ثنا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، حدَّثَنِي أَبِي، وَغَيْرُهُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ, قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: وَحَدَّثَنِي هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ، وَهُبَيْرَةُ بْنُ يَرِيمَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.......
 
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Husain bin Bisyraan Al-‘Adl di Baghdaad : Telah memberitakan kepada kami Abul-Hasan ‘Aliy bin Muhammad Al-Mishriy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Maryam : Telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Zakariyyaa bin Abi Zaaidah : Telah menceritakan kepadaku ayahku dan yang lainnya, dari Abu Ishaaq; telah berkata Abu Ishaaq : Dan telah menceritakan kepadaku Haani’ bin Haani’ dan Hubairah bin Yariim, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu : “....(al-hadits)...” [selesai].
Riwayat ini sangat lemah, terutama disebabkan oleh ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Maryam. Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
 
حدث عن الفريابي وغيره بالبواطيل ، له حديث ليس بمحفوظ فهو إما أن يكون مغفلا لا يدري ما يخرج من رأسه ، أو يتعمد فإني رأيت له غير حديث غير محفوظ
 
“ia meriwayatkan dari Al-Firyaabiy dan yang lainnya hadits-hadits bathil. Ia mempunyai hadits yang tidak mahfuudh. Hal itu bisa jadi disebabkan karena kelalaiannya sehingga tidak tahu apa yang keluar dari kepalanya, atau ia sengaja melakukannya. Sesungguhnya aku melihat ia mempunyai selain hadits itu, hadits-hadits yang tidak mahfuudh” [Al-Kaamil, 4/1568].
Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (no. 526 & 554) dan Ibnu Sa’d (3/25)  dengan sanad hasan dari Abi Ishaaq, dari Haani’ bin Haani’ dan Hubairah, dari ‘Aliy; tanpa lafadh al-hajl.
Pertanyaannya : Apakah riwayat Haani’ bin Haani’ dan riwayat mursal Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain dapat mengangkatnya menjadi hasan lighairihi ?.
Akan tetapi sebelum itu, maka perlu saya sebutkan bahwa Haani’ bin Haani’ serta mursal Muhammad bin ‘Aliy telah menyelisihi banyak perawi yang meriwayatkan hadits tersebut tanpa tambahan lafadh al-hajl (melompat). Di antaranya :
a.      Naafi’ bin ‘Ujair, dari ayahnya, dari ‘Aliy.
b.      Abu Ishaaq dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib.
c.      Al-Miqsam bin ‘Abbaas dari Ibnu ‘Abbaas.
d.      Dan yang lainnya.
Karena penyelisihihan ini, tambahan dari dua jalan lemah di atas tidak diterima. Tidak pula bisa menjadi hasan lighairihi dan dijadikan bagian ziyaadah lafadh. Oleh karena itu, tambahan lafadh/keteranganal-hajl di atas adalah munkar sebagaimana dikatakan Al-Arna’uth. Begitu pula yang dikatakan oleh Syaikh ‘Aliy Ridlaa ketika membahas hadits di atas.
Seandainya shahih, maka itu pun tidak bisa dijadikan dalil.

Kenapa ?. Karena loncat-loncatnya ‘Aliy, Ja’far, dan Zaid radliyallaahu ‘anhumadalah karena kegembiraan mereka. Tergambar jelas dalam riwayat. Sangat manusiawi, sama halnya ketika kita sangat gembira mendengar satu khabar, lalu kita meloncat-loncat kegirangan. Bisakah hal itu menjadi dalil (baca : dalih) yang jelas keabsahan tarian orang-orang Shufiy ?.
Ibnul-Jauziy Al Hanbali  rahimahullah berkata :
 
فالجواب أما الحجل فهو نوع من المشي يفعل عند الفرح فأين هو من الرقص
 
“Jawabnya adalah : Adapun al-hajl, maka ia adalah salah satu jenis dari (cara) berjalan, yang dilakukan ketika gembira. Lantas dimana hubungannya dengan ar-raqsh (tarian/joget) ?” [Talbiis Ibliis, hal. 230].
Lagi pula,.... seandainya pun dua hadits di atas dhahirnya menunjukkan bahwa para shahabat menari-nari seperti tari Serimpi – dan itu salah besar - , apakah bisa dikatakan bahwa taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas perbuatan mereka dijadikan sarana ibadah seperti orang Shufiy ?. Taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada sesuatu itu pada asalnya hanya menunjukkan perkara mubah saja. Ia menjadi dianjurkan atau masuk dalam lingkup ibadah yang dianjurkan/disunnahkan jika ada keterangan (baca : dalil) tambahan yang menunjukkannya. Dan untuk kasus di atas, tidak ada.

Hukum Tarian Menurut Empat Madzhab

Madzhab Syafi’iyyah.

Menurut para ulama Syafi’iyyah hokum Tarian adalah Mubah menurut pendapat yang mu’tamad, kecuali jika ada tarian goyangan patah-patahnya seperti yang dilakukan para bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan), maka hukumnya menjadi haram.

Imam ar-Ramli mengatakan :
 
( لا الرقص ) فلا يحرم ولا يكره لأنه مجرد حركات على استقامة واعوجاج ولإقراره صلى الله عليه وسلم الحبشة عليه في مسجده يوم عيد ، واستثناء بعضهم أرباب الأحوال فلا يكره لهم وإن كره لغيرهم مردود كما أفاده البلقيني بأنه إن كان عن رويتهم فهم كغيرهم وإلا لم يكونوا مكلفين ، ويجب طرد ذلك في سائر ما يحكى عن الصوفية مما يخالف ظاهر الشرع فلا يحتج به .نعم لو كثر الرقص بحيث أسقط المروءة حرم على ما قاله البلقيني ، والأوجه خلافه . (إلا أن يكون فيه تكسر كفعل المخنث ) بكسر النون وهذا أشهر وفتحها وهو أفصح ، فيحرم على الرجال والنساء ، وهو من يتخلق بخلق النساء حركة وهيئة ، وعليه حمل الأحاديث بلعنه ، أما من يفعل ذلك خلقة من غير تكلف فلا يأثم به

“ {Bukan Tarian} maka tidak haram dan tidak makruh, karena tarian itu hanyalah semata-mata gerakan berdasarkan kelurusan dan kebngkokan. Karena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengakui perbuatan Habasyah yang menari di dalam masjidnya di hari lebaran. Para ulama mengecualikan orang-orang shalih yang memiliki ahwal (suatu tingkatan keadaan tertentu dalam ilmu tasawwuf), maka bagi mereka tidak dimakruhkan. Walaupun dimakruhkan bagi selain mereka ditolak sebagaimana yang dikatakan al-Balqini bahwasanya jika dari riwayyat mereka, maka mereka seperti yang lainnya, jika tidak, maka mereka tidaklah dibebankan. Dan wajib menolak hal itu di dalam apa yang dihikayatkan oleh kaum shufiyyah yang secara dhahirnya bertentangan dengan syare’at, hal ini tidak boleh dibuat hujah. Ya, jika tarian ini banyak (sering) dilakukan dengan sekiranya dapat menjatuhkan kehormatan diri, maka hal itu menjadi haram sebagaima dikatakan al-Balqini, tapi pendapat yang lebih terarah adalah kebalikannya. {Kecuali jika ada goyangan patah-patahnya seperti perbuatan bencong}, maka hara bagi laki-laki dan perempuan.  Bencong (Mukhannits) adalah laki-laki yang berprilaku seperti prilaku wanita dengan gerakan yang lembut, kepadanyalah datang hadits laknat  atas mereka. Adapun orang yeng berprilaku seperti itu secara tabiat bawaannya, maka tidaklah berdosa “.
Syaikh Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan :
 
(والرقص ) بلا تكسر ( مباح ) لخبر الصحيحين { أنه صلى الله عليه وسلم وقف لعائشة يسترها حتى تنظر إلى الحبشة وهم يلعبون ويزفنون والزفن الرقص } لأنه مجرد حركات على استقامة أو اعوجاج وعلى الإباحة التي صرح بها المصنف الفوراني والغزالي في وسيطه وهي مقتضى كلام غيرهما وقال القفال بالكراهة وعبارة الأصل محتملة لها حيث قال والرقص ليس بحرام ( وبالتكسر حرام ولو من النساء ) لأنه يشبه أفعال المخنثين

“ {Dan ar-Raqsh/tarian} tanpa goyangan alay hukumnya mubah karena ada dalil dari dua sahih Bukhari dan Muslim, bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk Aisyah dengan menutupinya sehingga Aisyah bias melihat kepada Habaysah yang sedang bermain, berzafin dan menari “, karena hal itu hanyalah semata-mata gerakan kelurusan dan kebengkokan. Dan hukumnya mubah sebagaimana ditegaskan si mushannif al-Faurani dan al-Ghazali dalam kitab al-Wasithnya, itu juga ketentuan kalam lainnya. Al-Ghoffal mengatakannya makruh. Redaksi yang pertama kemungkinan asalnya makruh, dengan sekiranya ia berkata, “ Dan ar-Raqsh tidaklah haram (dan dengan goyangan alay maka hukumnya haram meskipun dari wanita) karena itu menyerupai prilaku para bencong “
Dalam Hasyiah al-Qolyubi dan Umairah disebutkan :‎

( لا الرقص ) قال ابن أبي الدم لو رفع رجلا وقعد على الأخرى فرحا بنعمة الله تعالى عليه إذا هاج به شيء أخرجه وأزعجه عن مكانه ، فوثب مرارا من غير مراعاة تزين فلا بأس به

“ {Dan bukan ar-Raqsh} Ibnu Abi ad-Dam mengatakan, “ Seandainya seseorang mengangkat satu kakinya dan duduk di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira dengan nikmat Allah Ta’ala, jika sesuatu mengobarkan hatinya, maka dia mengeluarkan kaki satunya dan menggoncangkannya dari tempatnya, lalu melompat beberapa kali tanpa memperhatikan perhatian manusia, maka itu tidaklah mengapa “.
Imam an-Nawawi mengatakan :

لا الرقص، إلا أن يكون فيه تكسر كفعل المخنث

“ (Dan tidak haram) ar-Raqhs (tarian) kecuali jika ada goyangan patahnya seperti perilaku bencong “.
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :

وأما الرقص فلا يحرم لفعل الحبشة له في حضرته مع تقريره عليه

“ Adapun ar-Raqsh maka tidaklah haram karena perbuatan Habasyah di hadapan Nabi disertai pengakuan Nabi kepadanya “.
Dalam fatwa beliau yang lain ketika ditanya tentang hokum tarian, beliau menjawab :
 
نعم له أصل فقد رُوى فى الحديث أنّ جعفر بن أبى طالب رضى الله عنه رقص بين يدى النبى صلّى الله عليه و سلّم لمّا قال له ” أشبهت خَلقى وخُلقى ” و ذلك من لذّة الخطاب و لم ينكر عليه صلّى الله عليه و سلّم

“ Ya, tarian memiliki dasar pijakannya. Sungguh telah diriwayatkan dala satu hadits bahwasanya Jakfar bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menari di hadapan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau bersabda, “ Engkau menyerupaiku dari rupa dan akhlakmu “. Hal itu karena merasakan lezatnya pembicaraan Nabi padanya dan Nabi pun tidak mengingkarinya…”.

Madzhab Hanbaliyyah.‎

Menurut ulama Hanabilah, ar-Raqsh hukumnya makruh jika bertujuan permainan, dan mubah jika ada hajat syar’iyyah.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang orang-orang shufi dan tarian mereka :‎

إنّ هؤلاء الصوفية جلسوا فى المساجد على التوكل بغير علم ” فقال الإمام أحمد ” العلم أقعدهم فى المساجد ” فقيل له ” إنّ همّتهم كبيرة ” قال أحمد ” لا أعلم قومًا على وجه الأرض أحسن من قوم همّتُهم كبيرة ” فقيل له ” إنّهم يقومون و يرقصون ” فقال أحمد “دعهم يفرحوا مع الله ساعة

“ Sesungguhnya mereka para shufi duduk di dalam masjid-masjid dengan tawakkal tanpa ilmu ?, maka imam Ahmad menjawab, “ Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka di masjid-masjid “. Ada juga yang bertanya, “ Semangat mereka besar sekali “, imam Ahmad menjawab, “ Aku tidak mengetahui suatu kaum di muka bumi ini yang lebih baik dari kaum yang semangatnya besar “. Lalu ditanya lagi, “ Sesungguhnya mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-nari “, maka imam Ahmad menjawab, “ Biarkan mereka bergembira sesaat bersama Allah “.
Al-Mardawi mengatakan :

وذكر في الوسيلة : يكره الرقص واللعب كله ، ومجالس الشعر

“ Disebutkan dalam al-Wasilah, : Dimakruhkan ar-Raqsh dan semua yang bersifat permainan dan majlis-majlis syi’ir “.
Al-Bahuti mengatakan :

( ويكره الرقص ومجالس الشعر وكل ما يسمى لعبا )  ذكره في الوسيلة لحديث عقبة الآتي ( إلا ما كان معينا على قتال العدو ) لما تقدم

“ Dan dimakruhkan ar-Raqsh dan majlis-majlis syi’ir dan semua yang dinamakan permainan. Telah disebutkan dalam al-Wasilah karena ada hadits Uqbah yang akan datang. Kecuali ar-Raqsh atau permainan yang membantu atas memerangi musuh, sebagaimana telah berlalu “.‎

Madzhab Malikiyyah.‎‎

Imam ash-Shawi mengatakan :‎

وأما الرقص فاختلف فيه الفقهاء ، فذهبت طائفة إلى الكراهة ، وطائفة إلى الإباحة ، وطائفة إلى التفريق بين أرباب الأحوال وغيرهم فيجوز لأرباب الأحوال ، ويكره لغيرهم ، وهذا القول هو المرتضى ، وعليه أكثر الفقهاء المسوغين لسماع الغناء ، وهو مذهب السادة الصوفية ، قال الإمام عز الدين بن عبد السلام : من ارتكب أمرا فيه خلاف لا يعزر لقوله عليه الصلاة والسلام : { ادرءوا الحدود بالشبهات } ، وقال صلى الله عليه وسلم : { بعثت بالحنيفية السمحة } ، وقال الله تعالى : { وما جعل عليكم في الدين من حرج } أي ضيق

“ Adapun ar-Raqsh, maka para ulama fiqih berbeda pendapat; sekelompok ulama menghukuminya makruh, sekelompok lainnya menghukumi mubah dan sekelompok ulama lainnya membedakannya di Antara orang-orang yang memiliki ahwal dan selainnya, maka hukumnya boleh bagi orang-orang yang memiliki ahwal dan makruh bagi selainnya. Inilah ucapan yang diridhai dan atas pendapat ini mayoritas ulama fiqih yang membolehkan nyanyian, dan inilah madzhab para sadah shufiyyah. Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata, “ Barangsiapa yang melakukan suatu perkara yang masih ada perbedaan pendapat di Antara ulama, maka tidak boleh dita’zir, karena Nabi bersabda, “ Hindarilah menghukum dengan perkara yang masih syubhat “, Allah juga berfirman, “ Allah tidak menjadikan kesempitan dalam agama “.‎

Madzhab Hanafiyyah.‎

Ibrahim al-Halbi al-Hanafi mengatakan :

وما ذكره البزازي من الإجماع عن تحريم الرقص محمول على ما إذا اقترن بشيء من اللهو كالدفِّ والشبَّابة ، ونحو ذلك ، أو بالتكسر والتمايل ، وأمَّـا مجرد الرقص فمختلف في حرمته

“ Dan apa yang telah disebutkan oleh al-Bazzaazi tentang adanya ijma’ keharaman ar-Raqsh, maka itu diarahkan jika disertai sesuatu yang bersifat permaianan seperti daff dan syabbabah atau dengan adanya goyangan (alay seperti bencong). Adapun hanya ar-Raqsh (tarian) semata, maka hukumnya ada perbedaan di Antara ulama “.‎

Ibnu Abidin mengatakan :

(قوله وكره كل لهو ) أي كل لعب وعبث فالثلاثة بمعنى واحد كما في شرح التأويلات والإطلاق شامل لنفس الفعل ، واستماعه كالرقص والسخرية والتصفيق وضرب الأوتار من الطنبور والبربط والرباب والقانون والمزمار والصنج والبوق ، فإنها كلها مكروهة لأنها زي الكفار

“ Ucapan : Dan dimakruhkan semua permaianan. Yakni semua permainan, tiga perkara itu bermakna satu sebagaimana dalam syarh at-Takwilat, dan memuthlakkannya mencangkup perbuatan itu sendiri. Mendengarkannya sama seperti ar-Raqsh (menari), ejekan, bertepuk tangan dan memetik senar mandolin, rabab, terompet dam simbal, maka semua itu hukumnya makruh karena itu hiasan kaum kafir “
Kesimpulan dari pendapat ulama fiqih :
Hukum ar-Raqsh (Tarian), para ulama berbeda pendapat; menurut madzhab Syafi’iyyah hukumnmya diperinci; jika tidak ada goyangan sebagaimana perilaku bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan), maka hukumnya boleh, jika ada maka hukumnya haram. Menurut madzhab Hanbaliyyah hukumnya makruh jika ada unsur permainanannya. Menurut madzhab Malikiyyah hukumnya diperinci. Menurut madzhab Hanafiyyah hukumnya makruh. Dan ada sebagian ulama yang menghukumi haram.
Ar-Raqsh masih dalam persoalan ijtihadiyyah furu’iyyah di Antara ulama, maka tidak sepatutnya terjadi perseteruan keras dalam hal ini.  

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata:

جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ

“Telah datang orang Habsyah menari pada hari raya di masjid. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilku dan aku meletakkan kepalaku di atas bahu Baginda. Aku menonton tarian mereka sehingga aku mengalihkan pandanganku dari mereka.”
Riwayat Muslim (892)
Kita lihat kenyataan pemahaman para ulama Ahlus sunnah tentang hadits tersebut berikut ini :‎

Imam An-Nawawi ketika mengomentari hadits tersebut beliau mengatakan :‎

ومعناه يرقصون وحمله العلماء على التواثب بسلاحهم ولعبهم بحرابهم على قريب من هيئة الرقص

“ Dan maknanya adalah mereka menari, para ulama mengarahkan maknanya terhadap melompat-lompat dengan senjata mereka dan permainan mereka dengan senjata, sesuai makna yang dekat dengan keadaan ar-Raqsh “.
AL-Qadhi Iyadh mengatakan :

فيه أقوى دليل على إباحة الرقص إذ زاد النبي صلى الله عليه وآله وسلم على إقرارهم أن أغراهم

“ Dalam hadits itu merupakan dalil terkuat atas diperbolehkannya ar-Raqsh (tarian), karena Nabi menambahi atas pengakuannya untuk terus melanjutkan perbuatan habaysah tersebut “.
Al-Imam al-Ghazali mengatakan :

والرقص سبب في تحريك السرور والنشاط ولو كان حراماً لما نظرت عائشة إلى الحبشة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وهم يزفنون

“ ar-Raqsh adalah penyebab di dalam menggerakan kegembiraan dan kesemangatan, seandainya haram, niscaya siti Aisyah tidak akan melihat kepada Habasyah tersebut bersama Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat mereka menari “.

Menjadi jelas bahwasanya menari (ar-Raqsh) di dalam masjid karena rasa gembira atas nikmat Allah hukumnya boleh, maka demikian pula di selain masjid diperbolehkan ketika merasakan gembira dalam hati atau mendapatkan kesan di hati (al-wajd) atas nikmatnya mengingat Allah ketika sima’ (mendengarkan nyanyian) yang Islami atau pun dzikir atau pun sholawat kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Munawi mengatakan :

حتى تعلم اليهود والنصارى الذين يشددون أن في ديننا أيها المسلمون فسحة ) قاله يوم عيد للحبشة وقد رآهم يرقصون ويلعبون بالدرق والحراب وفيه رخصة في النظر إلى اللعب أي إذا لم يكن ثم أوتار ولا مزمار

“ Hingga kamu mengetahui Yahudi dan Nashoro orang-orang yang keras bahwa dalam agama kami ada keringanan “, ucapan ini diucapkan oleh Habasyah di saat hari raya, Nabi melihat mereka dalam keadaan menari dan bermain dengan senjata. Dalm hal ini ada keringanan dalam melihat kepada permaianan yakni jika permainan itu tidak ada gitar dan suling “.‎

Imam as-Suyuthi ketika ditanya tentang kelompok shufiyyah ketika berkumpul dalam satu majlis dzikir lalu satu orang berdiri dalam keadaan berdzikir dan terus demikian sampai datang padanya suatu warid (keadaan membekas di hati). Apakah hal demikian itu terlarang ? maka beliau menjawab :
 
 لا إنكار عليه في ذلك. وقد سئل عن هذا السؤال بعينه شيخ الإسلام سراج الدين البلقيني فأجاب بأنه لا إنكار عليه في ذلك وليس لمانع التعدي بمنعه ويلزم المتعدى بذلك التعزير. وسئل عنه العلامة برهان الدين الأبناسي فأجاب بمثل ذلك وزاد أن صاحب الحال مغلوب والمنكر محروم ما ذاق لذة التواجد ولا صفا له المشروب إلى أن قال في آخر جوابه وبالجملة فالسلامة في تسليم حال القوم. وأجاب أيضا بمثل ذلك بعض أئمة الحنفية والمالكية كلهم كتبوا على هذا السؤال بالموافقة من غير مخالفة. أقول وكيف ينكر الذكر قائما والقيام ذاكرا وقد قال الله تعالى (الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم) وقالت عائشة رضي الله عنها كان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه، وإن انضم إلى هذا القيام رقص أو نحوه فلا إنكار عليهم فذلك من لذات الشهود أو المواجيد وقد ورد في الحديث رقص جعفر بن أبي طالب بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم لما قال له أشبهت خلقي وخلقي وذلك من لذة هذا الخطاب ولم ينكر ذلك عليه النبي صلى الله عليه وسلم فكان هذا أصلا في رقص الصوفية لما يدركونه من لذات المواجيد وقد صح القيام والرقص في مجالس الذكر والسماع عن جماعة من كبار الأئمة منهم شيخ الإسلام عز الدين بن عبد السلام.

“ Tidak boleh mengingkarinya. Syaikh Islam Sirajuddin al-Balqini pernah juga ditanya tentang pertanyaan ini, lalu beliau menjawab, “ Sesungguhnya tidak boleh mengingkari hal ini, dan bagi orang yang melarang dengan kesengajaannya, maka ia wajib dita’zir “. Al-‘Allamah Burhanuddin al-Abnasi pernah ditanya tentang ini, dan beliau menjawab sama seperti itu, dan menambahinya bahwasanya orang-orang yang memiliki ahwal itu terkalahkan / terkuasai, sedangkan orang yang mengingkarinya terhalang merasakan lezatnya tawajud (kesan hebat dalam hati) dan tak merasakan kenikmatan minuman itu “, sampai beliau berkata di akhir jawabannya, “ Kesimpulannya yang lebih selamat adalah serahkan keadaan mereka “. Sebagian ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah juga menjawab seperti itu, mereka semua menulis jawaban atas pertanyaan ini sama persis tanpa berlainan. Aku (Suyuthi) katakan, “ Bagaimana mengingkari dzikir dalam keadaan berdiri dan berdiri dalam keadaan berdzikir ? padahal Allah Ta’ala tela berfirman, “ Orang-orang yang berdizkir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan memiringkan lambung mereka “. Siti Aisyah juga berkata, “ Nabi selalu berdzikir dalam keadaan apapun “. Jika dalam berdiri itu ada tarian atau semisalnya, maka juga tidak boleh diingkarinya, karena hal itu disebabkan merasakan lezatnya penyaksian dan wajd. Telah datang dalam hadits, tarian Abu Jakfar bin Abi Thalib di hadapan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam karena ucapan Nabi padanya, “ Engkau menyerupai rupa dan akhlakku “. Hal itu karena merasakan lezatnya khithab dan Nabi tidak mengikari hal itu. Maka hal ini menjadi landasan dan dasar dalam tarian shufiyyah, karena mereka merasakan lezatnya wajd. Dan sungguh telah sah berdiri dan tarian di majlis dzikir dan sima’ dari para ulama besar di antaranya syaikh Islam Izzuddin bin Abdissalam “.
Imam Abdul Hayy al-Kattani mengatakan :
 
غاية الرقص عند القوم ذكر من قيام وهو مشروع بنص القرآن الكريم ﴿يذكرون الله قياما وقعودا﴾ والتمايل والاهتزاز منقول عن الصحابة فقد روى أبو نعيم عن الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى أنه قال: (كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا ذكروا الله تمايلوا كما تتمايل الشجرة بالريح العاصف إلى أمام ثم تراجع إلى وراء

“ Puncak makna ar-Raqsh menurut mereka (Shufiyyah) adalah berdzikir ketika berdiri, hal ini disyare’atkan dengan nash al-Quran, “ Mereka berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri dan duduk “. Bergerak dan bergoyang telah dinaqal dari sahabat Nabi. Sungguh Abu Nu’aim telah meriwayatkan dari Fudhail bin Iyadh rahimahullah, ia berkata, “ Dahulu sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam jika berdzikir kepada Allah Ta’ala mereka bergoyang seperti goyangnya pohon karena tertiup angin kencang ke depan kemudian kembali ke belakang “.

Imam al-Syafii rahimahullah Berkata:
خَلَّفْتُ بِبَغْدَادَ شَيْئاً أَحْدَثَتْهُ الزَّنَادِقَةُ، يُسَمُّونَهُ التَّغْبِيْرُ، يَشْغَلُوْنَ بِهِ عَنِ القُرْآنِ
 
Maksudnya: “Aku tinggalkan Baghdad dalam keadaan di sana ada suatu perbuatan yang direka-reka oleh kaum Zindiq, mereka namakannya sebagai ((al-Taghbir)), mereka menyibukkan diri dengannya daripada al-Quran”. [Siyar A'lam al-Nubala', 10/91, kata Muhaqqiq; Syeikh Syu'aib al-Arnauth: Sanad Khabar ini adalah ((SAHIH))].
Al-Imam al-Syafii rahimahullah mengingkari perbuatan Taghbir dan menyatakan bahawa ia dilakukan oleh kaum Zindiq yakni: Munafiq. Apakah maksud Taghbir ini?‎

Bahwasanya kasus taghyir di Baghdad dengan ar-Raqsh kaum thariqah saat ini berbeda dan tidak sama. Taghyir yang dilakukan kaum zindiq di Baghdad, adalah nyanyian-nyanyian yang bercampur dengan alat-alat malahi (yang melalaikan), sedangkan raqsh yang dilakukan segelintir (sebagian kecil) kaum shufi tidak seperti itu. Keadaan mereka sebagaimana keadaan yang dijelaskan oleh imam as-Suyuthi asy-Syafi’i di atas.
Jika ada berhujjah dengan ucapan imam asy-Syafi’i tersebut untuk mencela perbuatan shufiyyah secara keseluruhan, maka ini suatu hujjah yang dhalim. Karena faktanya imam asy-Syafi’i juga memuji dan menghormati kaum shufi, beliau pernah mengatakan :

فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح

فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
 
“ Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu.

Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “.
Ibnul Qayyim berkomentar tentang ucapan imam Syafi’I yang mendapat manfaat dengan berteman kepada kaum shufi :

يا لهما من كلمتين ما أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء الشافعي على طائفة هذا قدر كلماتهم

“ Aduhai sangatlah manfaat dan mencangkup dua kalimat tsb dan sangat menunjukkan atas tingginya semangat dan ketajaman pikiran org yang mengatakan dua kalimat tsb, dan cukuplah hal ini sebagai pujian imam Syafi’i pada mereka…”
Maka tidak mungkin imam Syafi’i menjuluki kaum shufi dengan kaum zindiq, jika kenyataannya beliau juga menghormati dan memuji kaum shufi.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri yang membolehkan tarian kaum shufi ketika ditanya :
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang orang-orang shufi dan tarian mereka :
 
إنّ هؤلاء الصوفية جلسوا فى المساجد على التوكل بغير علم ” فقال الإمام أحمد ” العلم أقعدهم فى المساجد ” فقيل له ” إنّ همّتهم كبيرة ” قال أحمد ” لا أعلم قومًا على وجه الأرض أحسن من قوم همّتُهم كبيرة ” فقيل له ” إنّهم يقومون و يرقصون ” فقال أحمد “دعهم يفرحوا مع الله ساعة

“ Sesungguhnya mereka para shufi duduk di dalam masjid-masjid dengan tawakkal tanpa ilmu ?, maka imam Ahmad menjawab, “ Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka di masjid-masjid “. Ada juga yang bertanya, “ Semangat mereka besar sekali “, imam Ahmad menjawab, “ Aku tidak mengetahui suatu kaum di muka bumi ini yang lebih baik dari kaum yang semangatnya besar “. Lalu ditanya lagi, “ Sesungguhnya mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-nari “, maka imam Ahmad menjawab, “ Biarkan mereka bergembira sesaat bersama Allah “.

Pengertian arti Roqsh

رقَص الشَّخصُ: اهتزّ وحرّك جسمه على أنغام الموسيقى أو الغناء

Maksudnya: “Roqoso al-Syakhs: menggerakkan badannya mengikut rentak muzik atau nyanyian”. [Mukjam al-Lughah al-'Arabiah al-Mu'asarah].‎

Jika kita merujuk Mukjam bahasa arab yang terdahulu kita akan dapati ianya membawa makna yang lebih luas; kata Imam Ibn Faris rahimahullah [w.395 H]:
الرَّاءُ وَالْقَافُ وَالصَّادُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى النَّقَزَانِ

Maksudnya: al-Ra’.dan al-Qaf. Dan al-Sod: Asal yang menunjukkan atas perbuatan melompat.[Maqayis al-Lughah, hal. 348]
Kata Imam al-Azhari rahimahullah:

رقص: قَالَ الليثُ: الرَّقْصُ والرَّقَصانُ، وَلَا يُقَال: يَرْقُصُ إلاّ لِلاَّعِب والإبلِ وَمَا سوى ذلكَ فإنهُ يُقَال يَقْفِزُ ويقفُزُ

Maksudnya: Raqoso: berkata al-Laits: al-Raqs dan al-Raqoson, tidak dikatakan: Yarqusu melainkan kepda orang yang sedang bermain dan unta, adapun selain keduanya disebut: Yaqfizu dan Yaqfuzu (yakni: melompat). 
Maksudnya kalimah Roqoso digunakan untuk menunjukkan perbuatan melompat atau bergerak secara pantas bagi orang yang sedang bermain suatu pemainan atau pergerakan yang dilakukan oleh Unta. Kata beliau juga:‎

وَقَالَ ابْن السّكيت: الرَّقْصُ مصدرُ رَقَصَ يَرْقُصُ رَقصاً؛ والرَّقَصُ ضربٌ من الْخَبَب وَهَذَا هُوَ الصَّحِيح.

Maksudnya: “dan berkata Ibn as-Sukait: al-Raqs: masdar bagi: Raqoso Yarqusu Raqsan; dan al-Raqs adalah sejenis pergerakan pantas dan inilah yang sahih”.

[rujuk: Tahzib al-Lughah; 8/284-285].
Kata Fairuz Abadi rahimahullah [w.817 H] dalam al-Qamus al-Muhit:

والرَّقْصُ والرَّقَصُ والرَّقَصَانُ، محركتين: الخَبَبُ، ولا يكونُ الرَّقْصُ، إلا للاَّعِبِ، والإِبِلِ، ولما سواهُ: القَفْزُ والنَّقْزُ.

Maksudnya: “al-Raqs dan al-Raqas dan al-Raqasan, berbaris: berjalan secara pantas, dan tidak digunakan al-Raqs melainkan untuk orang yang bermain suatu permainan dan untuk unta, adapuan untuk selain keduanya digunakan: al-Qafzu dan al-Naqzu”. [al-Qamus al-Muhit, hal.621]‎
 ‎
Berkata Ibn Manzur rahimahullah [w. 711 H]:‎

رقص: الرَّقْصُ والرَّقَصانُ: الخَبَبُ

Maksudnya: Raqoso: al-Raqs dan al-Raqasan: al-Khabab (yakni: perjalanan yang dilakukan secara pantas, bergerak secara pantas). [Lisan al-'Arab: 7/42].
Apa yang dikatakan oleh ulama ahli lughah memanglah benar, bahwa ar-Raqsh intinya adalah gerakan tubuh yang seimbang (pantas), sebagaimana dikatakan oleh imam al-Ghazali :‎

اعلم أن السماع هو أول الأمر ويثمر السماع حالة في القلب تسمى الوجد ويثمر الوجد تحريك الأطراف إما بحركة غير موزونة فتسمى الاضطراب وإما موزونة فتسمى التصفيق والرقص

“ Ketahuilah, bahwa : as-Sima’ / mendengar ialah : permulaan urusan. Dan pendengaran itu membuahkan suatu keadaan dalam hati, yang dinamai : kesannya (al-wajd). Dan kesannya itu membuahkan penggerakan anggota badan. Adakalanya dengan gerakan, yang tidak bertimbangan. Maka dinamai: kegoncangan. Dan adakalanya dengan bertimbangan. Maka dinamai: tepukan tangan dan tarian.”
Kemudian Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyanya juga membahas masalah al-wajd yang timbul dari sebab mendengarkan al-Quran maupun dzikir kepada Allah. Beliau menyebutkan banyak contoh dari para ulama yang mengalami keadaan al-wajd ketika mendengarkan al-Quran maupun dzikir kepada Allah, sehingga menimbulkan gerakan-gerakan cinta dan rindu kepada Allah Ta’ala dan ini disebut dengan ar-Raqsh. Keadaan ini terjadi bagi para pemilik tabiat atau sifat mulia seperti para nabi, shiddiq, sahabat dan para pembesar tabi’in. Inilah gambaran sebenarnya dari kaum shufi ketika terjadi ar-Raqhs.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan tentang makna Hajil :

وحجل بفتح المهملة وكسر الجيم أي وقف على رجل واحدة وهو الرقص بهيئة مخصوصة

“ Hajil dengan fatha huruf ha’nya dan kasrah jimnya artinya berdiri dengan satu kaki, dan itu adalah ar-Raqsh dengan keadaan tertentu “

 Imam al-Baihaqi mengatakan :‎

حجل: أن يرفع رِجْلا ويقفز على الأخرى من الفرح، فإذا فعله الإنسان فرحا بما آتاه الله تعالى من معرفته أو سائر نعمه فلا بأس وما كان فيه تثن وتكسّر حتى يباين أخلاق الذكور فهو مكروه لما فيه من التشبه بالنساء

“ Hajila adalah mengangkat satu kaki dan bergerak dengan satu kaki lainnya karena rasa gembira. Jika seorang manusia melakukannya karena gembira dengan apa yang telah Allah berikan berupa makrifah atau semua nikmatnya, maka tidaklah mengapa. Adapun hajil (gerakan) yang disertai goyangan seperti bencong sehingga menghilangkan prilaku kelakiannya, maka itu hukumnya makruh, karena menyerupai dengan wanita “.‎

Jelas dari keterangan al-Baihaqi bawasanya ar-Raqsh yang dimakruhkan  oleh beliau dan diharamkan oleh imam Muslim dan jumhur syafi’iyyah adalah ar-Raqsh (tarian) yang disertai adanya goyangan seperti goyangan wanita atau bencong. Sebagaimana penjelasan kami di awal.‎

Al-Qadhi Iyadh mengatakan :

وقوله فحجل أي قفز على رجل سرور أو فرحا كالرقص ويرفع الأخرى وقد يكون بهما معا

“ Dan ucapan; Fahajila artinya adalah bergerak secara pantas atas satu kaki dalam keadaan gembira dan senang seperti ar-Raqsh, dan mengangkat kaki satunya, terkadang dengan keduanya secara bersamaan “.‎
Dan bahwasanya menari (ar-Raqsh) di dalam masjid yang dilakukan Habaysah karena rasa gembira atas nikmat Allah hukumnya boleh, maka demikian pula di luar masjid diperbolehkan ketika merasakan gembira dalam hati atau mendapatkan kesan di hati (al-wajd) atas nikmatnya mengingat Allah ketika sima’ (mendengarkan nyanyian) yang Islami atau pun dzikir atau pun sholawat kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.  Dan ini juga merupakan qiyas cabang (far’u) kepada illat asalnya. Oleh sebab itu Ibnu Abi Ad-Dam mengatakan :
 
لو رفع رجلا وقعد على الأخرى فرحا بنعمة الله تعالى عليه إذا هاج به شيء أخرجه وأزعجه عن مكانه ، فوثب مرارا من غير مراعاة تزين فلا بأس به

“ {Dan bukan ar-Raqsh} Ibnu Abi ad-Dam mengatakan, “ Seandainya seseorang mengangkat satu kakinya dan duduk di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira dengan nikmat Allah Ta’ala, jika sesuatu mengobarkan hatinya, maka dia mengeluarkan kaki satunya dan menggoncangkannya dari tempatnya, lalu melompat beberapa kali tanpa memperhatikan perhatian manusia, maka itu tidaklah mengapa “.‎

Inilah esensi dari makna ar-Raqsh dalam beberapa majlis kaum shufi, yakni bergerak dengan gerakan yang bersumber dari al-wajd (kesan dalam hati) ketika mendengar suara lantunan dzikir, al-Quran maupun sholawat atau lainnya yang baik.‎

Tarian shufi yang sebagian kita lihat adalah percampuran seni dan budaya yang kemudian diarahkan untuk ‘sambil’ berdzikir dan mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Ini merupakan kreasi yang baik, asal tidak bercampur dengan sesuatu yang diharamkan syare’at

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan :

اختلف الناس في التواجد :هل يسلم لصاحبه؟ على قولين. فقالت طائفة: لا يسلم لصاحبه، لما فيه من التكلف وإظهار ما ليس عنده، وقوم قالوا: يُسلَّم للصادق الذي يرصد لوجدان المعاني الصحيحة. كما قال النبي عليه الصلاة والسلام: (ابكوا، فإن لم تبكوا فتباكوا). والتحقيق: أن صاحب التواجد إنْ تَكَلّفَهُ لِحَظٍّ وشهوة ونفس: لم يُسَلّم له. وإن تكلفه لاستجلاب حال، أو مقام مع الله: سُلِّمَ له. وهذا يُعرف من حال المتواجد، وشواهد صدقه وإخلاصه

“ Para ulama berbeda pendapat tentang tawajud (kesan yang mendalam di hati) apakah hal itu boleh dipercaya bagi pelakunya ? mereka ada dua pendapat. Berkata sebagian kelompok bahwa hal itu tidak dibenarkan karena bagi pelakunya karena yang demikian itu adalah pemaksaan perasaan dan menampakkan apa yang bukan ia rasakan. Kelompok lainnya mengatakan, hal itu dibenarkan bagi yang orang yang jujur yang mendapatkan dan merasakan wajd-nya makna-makna yang sahih, sebagaimana sbada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, “ Menangislah, jika tidak bias menangis, maka buatlah menangis “. Dan yang benar adalah sesungguhnya pelaku tawajud, jika dipaksa-paksakan dengan keuntungan nafsu dan syahwat, maka tidaklah dibenarkan. Dan jika dipakasakan karena adanya tarikan suatu keadaan atau maqam bersama Allah, maka hal itu dibenarkan. Dan ini bisa diketahi dari keadaan pelaku tawajud da nada kesaksian-kesaksian kejujuran dan keikhlasannya “.
Dan apa yang diharamkan ulama tentang ar-Raqsh yang disertai adanya takassur yakni goyangan yang menyerupai goyangan wanita, maka jelas ini haram hukumnya sebagaimana telah kami jelaskan di awal. Maka jika ar-Raqsh tidak ada takassur dan alat-alat malahi, maka hukumnya boleh terlebih jika ar-Raqsh muncul tanpa adanya takalluf sebab datangnya al-wajd atau tawajud.

Al-Allamah al-Kattani menafsirkan perkataan (حجل) dengan menari dalam keadaan tertentu. Sama seperti pendapat Ibn Hajar al-Asqalani.

Selain itu, diriwayatkan oleh Abu Naim, dari al-Fudhail bin ‘Iyadh RH berkata:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ذكروا الله تعالى تمايلوا يمينا وشـمالا كما يتـمايل الشـجر في يوم الريح العاصف إلى إمام ثم إلى وراء.

“Bahwa sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika berDzikir bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri seperti mana pokok bergoyang ditiup angin kencang ke hadapan kemudian ke belakang.” (al-Tartib al-Idariyah, Abd al-Hayy al-Kattani, 2/134)

Adapun pendapat ulama’ yang mengbolehkannya pula antaranya ialah

Al-Allamah Ahmad Zaini Dahlan tatkala disebut hadits dan nash berkenaan dengan Ja’far, mengambil hukum bahwa Rasulullah tidak mengingkari perbuatannya dan atas dasar inilah ia dijadikan sumber hujah bagi golongan sufi menari ketika merasai keseronokan dalam majlis Dzikir.
Syeikh ‘Attiyyah Saqar dalam kitabnya yang terkenal Fatawa min Ahsanil Kalam menyebut:
وقد قال المحققون ان الكذر كأية عبادة لا يقبل الا اذا كان خالصا لوجه الله لا رياء فيه ولا سمعة

“Sungguh telah berkata oleh segala ulama’ Muhaqqiq akan bahwasa dzikir itu seperti ayat ibadat, tak diterima melainkan apabila ia ialah bersih semata – mata karena Zat Allah, tiada jenis riak padanya dan tiada sum’ah.”

وكذلك اذا صحب الذكر أصوات صاخبة أو حركات خاصة تذهب الخشوع كان عبادة ظاهرية جوفاء خالية من الروح ومثل ذلك اذا كانت المجالس تؤذي الغير كالمرضى المحتاجين الى الراحة أو المشتغلين بمذاكرة علم أو عبادة أخرى اهـــ

“Demikian itu juga apabila bersama dzikir ini suara-suara yang berisik atau gerakan-gerakan yang tertentu yang menghilangkan akan khusyuk nescaya adalah ia ialah ibadat zahir serta sunyi dari ruh ibadat, dan seumpama demikian itu ialah apabila majlis-majlis ini ialah menyakiti orang lain seperti orang-orang sakit yang mmerlukan rehat atau orang-orang yang sibuk dgn muzakarah ilmu atau ibadat yang lain.”

Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi menyatakan di dalam Majalah al-Tasawwuf al-Islami:
 
إذا لم تجد فيه نصاً فالأمر على الإباحة لأن النهى على التحريم افعل ولا تفعل فهو على مطلق الإباحة وإذا كان التمايل صناعيا كان نفاقا وإذا كان التمايل طبيعيا كان وجداً لا سيطرة للإنسان عليه والذكر راحة نفسية وعلى كل حال فالذاكرون وإن تمايلوا فهم خير من الذين يتمايلون فى حانات الرقص

“Apabila tak dijumpai satu nash pun pada masalah ini maka perkara ini adalah boleh karena larangan atas mengharamkan itu ialah sighah if’al dan la taf’al, maka ia semata – mata boleh, dan apabila condong badan (bergerak) badan dibuat-buat nescaya adalah ia nifaq dan apabila condong tubuh itu dengan alami, maka ia adalah rasa batin, tidak boleh dibuat-buat perasaan tersebut, dan dzikir itu ialah kerehatan diri dan pada setiap kelakuan. Maka orang yang berdzikir itu sekalipun bergerak badan mereka itu, lebih baik dari mereka yang bergerak yakni bergerak – gerak mereka dalam tarian di kedai arak.”

Takhtimah

Selepas meneliti beberapa hujah dari dua aliran yang mengharamkan dan yang membenarkannya, kami berpendapat:

Pengharaman dzikir dalam keadaan menari adalah lebih kuat karena kaedah yang digunakan amat jelas.
Hadits yang digunakan untuk mengbolehkan dzikir dalam keadaan menari lebih bersifat menggambarkan berita gembira yang diperolehi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukannya mereka berdzikir saat itu. Ini adalah dua keadaan yang berbeda.
Begitu juga perlakuan itu adalah hanya beberapa orang sahabat saja, bukan keseluruhan dan ia tidak ada kena mengena dengan Dzikir.
Seterusnya mereka menggunakan perkataan tamayul yang memberi maksud menggoyangkan atau melenggokkan sedikit badan. Ia bukanlah seperti menari.

Kami juga berpendapat, maksud gerakan yang dibolehkan itu hanya gerakan yang kecil atau sedikit seperti kepala dihayun ke hadapan dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan sepertimana yang dilakukan oleh seseorang ketika asyik berdzikir. Maka, ini tidak menjadi masalah dan dibolehkan.
Hujah yang mengbolehkan itu telah dijawab oleh ramai ulama seperti nash-nash yang dikemukakan lebih bersifat umum dan bukan dimaksudkan secara khusus berdasarkan wajah istidlal yang digunakan.
Begitu juga kedudukan hadits seperti hadits Sayyidina Ali. Terdapat padanya dua illah. • Hani’ bin Hani’ dianggap jahalah dari segi halnya tau keadaannya. • Tadlis Ibn Ishaq al-Sabi’i. Justru hadits ini dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’ hadits.
Fatwa Sultan al-Ulama’ Izzuddin Abd al-Salam dan Ibn Qudamah al-Maqdisi begitu kukuh untuk menjadi penguat dan sandaran pengharaman dzikir dalam keadaan menari.
Dengan menekuni kedua-dua pendapat dan hujah, alangkah baik kita melandasi bahtera kehidupan kita terutamanya pengamalan ibadat ‘ala basirah dan mengikut hadyun nabawi karena sudah barang tentu mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Pada saat yang sama juga hendaklah kita melazimi dan membanyakkan dzikir sebagaimana galakan Islam itu sendiri melalui nash al-Qur’an dan hadits supaya kita berdzikir dengan sebanyak-banyaknya.

Syariat Islam tidak menyebut secara jelas dan terang tentang kebolehan tarian ketika berdzikir, baik dalam al-Qur’ann maupun Hadits. Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh mana-mana Rasul dan Nabi pun dan begitu juga mereka yang mengikut jejak langkah Rasulullah di kalangan sahabat. Atas asas inilah alangkah baiknya kita berpada dengan berDzikir bersungguh-sungguh sepertimana yang dilakukan di kalangan khalayak masyarakat kita ketika ini dengan menjaga adab dan tatasusilanya.

Tarian dzikir yang dilakukan oleh sebagian manusia penuh dengan keadaan yang kurang baik. Sementelahan lagi, ia membawa kepada tasyabbuh (penyerupaan) kepada penganut agama lain atau wanita dan kanak-kanak yang kecil begitu juga mencampur adukkan antara maksiat dan ibadat. Lebih dibimbangi lagi, sudah ada unsur muzik yang dimasukkan sama yang banyak melalaikan hati ketika berDzikir.

Alangkah lebih afdhol jika dalam berDzikir bershalawat dan ibadah Muamalah lainnya kita mengedepankan rasa Tawadhu' dan memakai Adab atau tatakrama sopan santun yang benar, demi mencapai kekhusyu'an dan menggapai Ridho Alloh dan Syafa'at Rosululloh SAW.

Akhir kalam, saya berdoa kepada Allah mudah-mudahan Allah menunjukkan kita kepada jalan keredhaan-Nya dan selamat dari sembarang maksiat. Amin.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...