Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Perubahan Nasib


]لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ[

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya; mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(QS ar-Ra’du [13]:11).

Makna Global

Manusia senantiasa dijaga oleh malaikat. Amal manusia dicatat oleh malaikat yang menyertainya, Raqib dan Atid. Karena semua amal manusia dicatat oleh malaikat dan manusia diberi pilihan, maka ketika seseorang atau masyarakat berada dalam kondisi buruk, mereka diperintahkan untuk melakukan perubahan. Begitu pula sebaliknya, kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. akan berganti menjadi malapetaka jika mereka mengubahnya. Perubahan yang terjadi diinformasikan oleh Allah Swt. hanya akan terjadi jika dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, baik ke arah baik maupun ke arah buruk. Ketika suatu masyarakat hendak berubah maka masyarakat itu sendirilah yang harus memperjuangkan dan melakukan perubahan, bukan yang lain.

Di samping itu, bukan hanya mereka sendiri yang harus melakukan perubahan, apa yang harus diubah pun dijelaskan dalam ayat ini. Allah Yang Mahatahu menegaskan bahwa yang harus diubah itu adalah segala sesuatu yang terkait dengan apa yang hendak diubah tersebut dan yang meniscayakan terjadinya perubahan. Pangkal dari semua itu adalah pemahaman (mafâhim).  Artinya, untuk mengubah suatu keadaan harus dilakukan perubahan mafâhim. 

Jika suatu masyarakat hendak mengubah sistem ekonomi kapitalis menjadi ekonomi Islam haruslah dilakukan perubahan pemahaman dalam diri mereka tentang kebobrokan ekonomi kapitalis sekaligus pemahaman tentang kewajiban menerapkan ekonomi Islam dan pemahaman tentang apa dan bagaimana sistem ekonomi Islam. Demikian juga untuk mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam; pemahaman jahiliah yang berkaitan dengan pemikiran, perasaan, dan sistem aturan sebagai pembentuk masyarakat harus diubah dan diganti menjadi pemahaman yang berdasarkan Islam.

Manusia adalah persoalan yang tidak habis-habisnya untuk didiskusikan. Persoalan filsafat yang paling mendasar saat ini adalah persoalan tentang manusia itu sendiri. Siapa manusia? Kapan dan mengapa dia ada? Bagaimana seharusnya manusia yang sempurna? Semua pertanyaan itu terus menjadi persoalan manusia yang dikaji dalam berbagai perspektif psikologis, sosiologis, biologis, dan kajian-kajian lainnya.

Dalam berbagai aliran psikologi, seperti psikoanalisa (klasik) Sigmund Freud, memandang perilaku manusia banyak dipengaruhi masa lalu, alam tak sadar, dorongan-dorongan biologis yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian tak heran bila psikonalisa menganggap hakikat manusia adalah buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani. Sementara aliran behavioral atau perilaku menganggap manusia pada hakikatnya adalah netral, baik-buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan perlakuan yang dialami. Lain halnya dengan aliran humanistik yang memiliki asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya dan karena itu aliran ini memandang menusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri.
Banyak hal yang membedakan antara konsepsi Islam dengan semua teori-teori psikologi. Islam dalam memandang manusia tidak bersifat deterministik, sebagaimana aliran psikoanalisa, juga tidak semata-mata membentuk kepribadian melalui lingkungan (behavioral), juga tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk mengikuti seluruh keinginan pribadinya (humanistic). Akan tetapi Islam memberikan kemuliaan kepada manusia sebagai makhluk yang paling mulia, yaitu pengganti kedudukan Tuhan di muka bumi. Manusia juga memiliki bentuk yang terbaik dari seluruh makhluknya dan mempunyai kekuatan untuk merubah sendiri kondisi dirinya. Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjelaskan tentang ini.

1. Manusia Sebagai Khalifah.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (al-Baqarah: 30)

Manusia sebagai khalifah Allah fil ardhi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan manusia mengelola serta mendayagunakan apa yang ada di bumi, untuk kepentingan hidupnya. Dengan demikian hal ini berarti ia diberi kepercayaan untuk mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui seluk-beluk bumi, atau paling tidak punya potensi untuk mengetahuinya.

Kedudukan manusia sebagai khalifah atau pengganti Allah di muka bumi dikritisi oleh malaikat karena mereka – manusia – mempunyai potensi untuk membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi Allah menegaskan bahwa malaikat belum mengetahui tentang manusia, lalu manusia menunujukkan kemampuannya untuk menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan ini, yang berarti juga kemampuan untuk berinisiatif, dengan demikian manusia tidak hanya berpotensi merusak akan tetapi juga memiliki potensi untuk berbuat kebaikan.

Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan tanggungjawab moral manusia kepada Allah yang harus menjadi tantangan bagi manusia untuk mewujudkan perannya untuk menjadi penguasa di muka bumi dengan membawa misi Ilahi. Allah memberikan keistimewaan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran, dan kebebasan untuk berkehendak. Semua penjelasan di atas, menjadi model kepercayaan diri bahwa ia merupakan makhluk yang paling istimewa dari seluruh makhluk lainnya dan akan mewujudkan tata sosial yang bermoral di atas dunia sesuai dengan tujuannya di dunia yaitu ibadah.

2.Manusia Sebagai Makhluk Terbaik.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin: 4) 

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya. setiap manusia yang dilahirkan di bumi adalah makhluk terbaik di antara ratusan juta pesaing lainnya yang akan lahir ke muka bumi.

Setiap orang yang lahir ke muka bumi akan berjuang berlomba-lomba menghadapi ratusan juta pesaing lainnya untuk sampai ke tempat tujuan (ke tuba faloppi atau oviduk) untuk dapat mencapai induk telur. Dengan tak kenal lelah mereka berenang beberapa milimeter untuk melewati perjalanan yang penuh dengan mortalitas yang tinggi. Dalam perjalanan sperma menuju indung telur ini hanya beberapa ribu yang dapat menyelesaikan perjalanan dan dari ribuan ini hanya satu sperma yang akan berhasil memasuki telur dan membuahinya. jika manusia menyadari kejadian ini dengan memperhatikan dan mengambil ibroh dibalik kejadian tersebut, sudah seharusnya setiap individu merasa bangga akan dirinya dan memiliki kepercayaan diri karena merupakan makhluk terbaik dan terpilih di antara ratusan juta lainnya untuk menjalankan amanah sebagai khalifah Allah.

Ayat berikut yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan proses penciptaan dengan menunjukkan tentang proses penciptaan manusia:

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.(at-Thariq: 5-7)

Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ia merupakan bukti kebenaran dalam ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia senantiasa dijaga dan diperhatikan oleh Allah. Hal ini mengingat bahwa "air yang memancar" adalah salah satu benda cair yang tidak ada terlukis atau terbentuk di dalamnya pelbagai peralatan yang mengandung fungsi kehidupan, seeperti yang aa dalam berbagai anggota tubuh. Namun, "cairan ini" ternyata dapat tumbuh menjadi suatu makhluk yang sempurna, yaitu manusia yang penuh dengan kehidupan, akal dan persepsi, serta memiliki potensi untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi. Pembentukan dan penentuan kadar masing-masing komponen yang ada padanya, serta penciptaaan pelbagai anggota tubuh yang di dalamnya ditanamkan potensi tertentu, sehingga dengan itu ia mampu melaksanakan fungsinya, kemudian ditambah lagi dengan akal serta daya persepsi: semua itu tidak mungkin dibiarkan tanpa ada "penjaga" yang mengawasi serta mengaturnya yaitu Allah.

Atau ayat ini dapat bermakna sebagai penegas ayat sebelumnya: "apabila telah engkau ketahui bahwa setiap jiwa pasti ada pengawasnya maka wajib atas setiap manusia untuk tidak menelantarkan dirinya sendiri." Wajiblah ia berpikir tentang kejadian dirinya serta bagaimana awal mula kejadiannya. Agar ia dapat menyimpulkan bahwa Allah yang kuasa menciptakannya sejak pertama kali, pasti kuasa pula untuk membangkitkannya lagi kelak. Kesadaran seperti itu akan mendorong dirinya untuk melakukan amal-amal saleh dan berperilaku sebaik-baiknya, serta menjauhkan diri dari pelbagai jalan kejahatan. Sebab mata Sang Pengawas tak lengah sedikitpun. Kesadaran seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk mengetahui hakikat dirinya agar mampu melakukan tindakan sesuai apa yang diperintahkan oleh sang penciptanya.

3. Manusia Sebagai Makhluk Perubah
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merampas nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan maksiat. Ini dapat terjadi pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman kepada Allah sukses dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan dalam diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari kaum mereka. Ayat ini tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan dosa tidak akan mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah melakukan dosa. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah orang-orang yang saleh itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila banyak terjadi kerusakan dalam masyarakatnya semua ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk berubah menuju kebaikan atau keburukan. Dominasi manusia yang memiliki nilai negatif terhadap orang-orang saleh yang tidak mampu berbuat apa-apa akan berakibat semuanya terkena musibah atau bencana yang melanda kaum tersebut.

Manusia Dituntut Untuk Berusaha

Nabi melarang para sahabat untuk mendalami masalah takdir, beliau berkata:

وَإِذَا ذَكَرَ (أَصْحَابِي) اَلْقَدْرَ فَأَمْسِكُوْا -الطبراني-.

“Jika sahabatku menyebut perkara takdir, maka hentikanlah mereka (membahas takdir)”

Ada dua hal yang perlu kita bicarakan mengenai takdir Allah, yaitu:

Pertama: Takdir merupakan rahasia Allah.

Oleh karena itu tak satupun manusia dalam dunia ini yang mampu mengetahui jangka nyawanya atau ajal kematiannya, di mana akan mati? (di kampung sendiri ataukah di luar kampung, di negara sendiri ataukah di luar negara), tatkala mati dalam keadaan apa?

Apakah kematiannya disebabkan oleh karena sakit, kecelakaan, atau mati biasa. Begitu juga halnya dengan rezki yang diperoleh, berapa banyak jumlahnya?. Bahkan Rasulullah Saw tidak sanggup menembusi hal-hal ghaib tersebut termasuk takdir ilahi. Disebutkan di dalam al-Qur’an:

قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ -الأنعام: 50-.

“Katakanlah:”Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:”Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat”. Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”.

Kerahasiaan ini ditegaskan dalam firman Allah:

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ -الأنعام: 59-.

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”

Dalam masalah ajal kematian, Allah telah menegaskan dalam firmanNya:

إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ -لقمان: 34-.

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Kedua: Perubahan Takdir.

Kalau saya katakan bahwa takdir boleh berubah, kemungkinan besar banyak yang tidak setuju dan merasa heran dan bertanya “kok takdir boleh berubah?” bukankah dalam riwayat penciptaan manusia, bahwa ketika masih dalam rahim ibu, tatkala usia kandungan telah mencapai umur 40 hari, Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menulis catatan. Di antaranya adalah mengenai ajal, rezeqi dan kehidupan baik dan buruk. Bukankah ini takdir Allah yang sudah ditetapkan dan akan di bawa dalam kehidupan seseorang sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut?.

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau saya uraikan definisi Qada dan Qadar.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR. Kemudian Takdir tersebut terbagi kepada dua bagian iaitu: Qada Mubram dan Qada Mu’allaq.

1) Qada Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku. Semua manusia pasti akan menghadapinya, ingin atau tidak, mahu atau tidak mahu, senang ataupun tidak, setiap orang pasti akan menjumpainya, sebab hal tersebut tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. Sebagai contohnya adalah perkara kematian. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ -الأنبياء: 35 -.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.

Jadi masalah kematian merupakan perkara yang pasti dihadapi oleh setiap manusia. Karena ia merupakan suatu kepastian maka dinamakan sebagai Qada Mubram. Oleh karena itu Allah tegaskan jenis Qada ini dalam surah ar-Ra’ad, ayat: 11:

{وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ -الرعد:11-.

“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

Rasulpun pernah bersabdah tentang jenis Qada ini:

(إِنَّ رَبِّي قَالَ: يَا مُحَمَّدْ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ) -مسلم-

“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang sanggup menolaknya”.

2) Qada Mu’allaq: Adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri, Qada ini yang telah disampaikan oleh Allah kepada Malaikat dan disimpan olehnya, jenis Qada ini telah ditegaskan oleh Allah ta’ala:

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ -الرعد: 11-.

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang mampu merubah nasib dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu agama memberikan dua syarat utama untuk mengubah takdir, yaitu dengan cara memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim.

Dalam kaitannya dengan perubahan umur manusia, para ulama berselisih faham tentang bolehkan berubah atau tidak?, bolehkan dipanjangkan atau dikurangkan?. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber hukum yang secara zahir dari al-Qur’an yang menyatakan dengan jelas bahwa umur seseorang tidak akan ditambah ataupun dikurangkan, yaitu firman Allah:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ -الأعراف: 34-.

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (kematian); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.

Di samping ayat tersebut, terdapat juga hadits yang secara zahir menjelaskan bahwa doa dan silaturrahim dapat memanjangkan umur seseorang, dan mampu melapangkan rezqinya. Hadits tesebut adalah

(لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ، وَلاَ يُزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ) -الترمذي-

“Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah kecuali doa”.

Oleh karena itu, doa’ dalam Islam sangat digalakkan dan Allah menjanjikan akan menerima doa seseorang mukmin yang betul-betul mengharap diterima doanya, firman Allah:

(وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ) -المؤمنون: 60-.

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).

Ayat ini dapat dipahami lebih mendalam bahwa doa disyariatkan dalam Islam pada dasarnya untuk merubah nasib seseorang, sebab apalah gunanya seseoarang berdoa kalau ia tidak mengharap perubahan dari Allah. Baik perubahan umur dengan dipanjangkan umurnya, atau mengharap rezki dengan meminta ditambahkan rezkinya.

(مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثْرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ) -البخاري-

“Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturrahim”.

Kalau dicermati dan direnungkan, memang Allah dalam kenyataan ayat 34 pada surah al-A’raf di atas tidak akan merubah ajal seseorang, tapi perlu diketahui takdir yang dibagi kepada setiap insan itu bukan hanya satu takdir, melainkan ada beberapa takdir.

Sudah menjadi bahasa umum bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sempurna dan yang akan menjadi khalifah di bumi ini. Semua apa yang ada di bumi ini oleh Allah di peruntukkan untuk manusia. Binatang, tumbuh-tumbuhan, air, api, tanah, udara, barang tambang dan lain sebagainya semua untuk memenuhi kebutuhan manusia selama ada di bumi. Artinya bahwa Allah di dalam menciptakan sesuatu ada maksud dan tujuan yang terkandung di dalamnya. Baik itu yang masih bersifat rahasia-belum ditemukan, maupun yang sudah ditemukan dan diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Demikian pula Allah di dalam menciptakan manusia dilengkapi dengan anggota badan itu pun ada maksud dan tujuannya. Di dalam menciptakan manusia Allah melengkapi dengan dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki dan satu mulut.Tujuannya supaya manusia lebih Banyak Belajar melalui penglihatan (mata) dan pendengaran (telinga) serta lebih Banyak Berusaha dan Berjuang dengan tangan dan kaki-nya. Dan Allah memberikan satu mulut pada manusia agar tidak hanya banyak bicara, mengeluh dan meratapi nasib hidup.

Dari apa yang saya sampaikan diatas tentunya amat sangat sungguh memalukan apabila kita sebagai muslim masih sering mengeluh, meratapi nasib, menghiba, berharap belas kasihan, meminta-minta, mengemis, dan minta gratisan kepada sesama manusia yang lain. Jangan menghinakan diri, jangan menistakan diri dan jangan merendahkan diri sendiri dengan hal-hal tersebut. Berpantang bagi seorang muslim untuk melakukan hal-hal tersebut.

Angkat derajat kemulian dan harga diri dengan bekerja keras, berusaha dan berjuang tanpa menyerah sampai akhir hayat dikandung badan atau sampai ajal menjemput. Disaat seseorang mampu untuk sukses dan berhasil untuk meraih kesuksesan itulah nilai dari sebuah harga diri dari setiap pribadi yang mau berusaha dan berjuang.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)

Dari ayat di atas Allah memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kita untuk menentukan nasib kita sendiri sesuai dengan norma dan ajaran agama, norma sosial serta norma susila. Karena sebenarnya kita sendiri-lah yang paling bertanggung jawab atas hidup dan nasib kita. Bukan karena faktor lingkungan, keadaan, kondisi, ekonomi, orang lain, orang tua, saudara, takdir, nasib dan lain sebagainya. Semua hal-hal di atas tidak bisa dijadikan alasan atau pun kambing hitam atas kegagalan yang terjadi. Semua kembali pada diri kita sendiri.

Ayat diatas sangat relevan dengan kondisi waktu dan zaman seperti sekarang ini, yaitu tentang “Perubahan”. Sekarang ini dengan perkembangan teknologi informasi di segala bidang yang meliputi ekonomi, finansial, keuangan, politik dan keamanan menyebabkan iklim perubahan di suatu daerah dan negara menjadi begitu sangat pesat dan cepat.

Ingat, tumbuhan dan binatang purbakala yang sudah punah adalah korban dari perubahan ekosistem yang ada di bumi pada saat itu. Tumbuhan dan binatang purbakala tersebut mati dan punah karena tidak bisa berubah atau ber-evolusi.

Sama halnya dengan manusia, jika kita tidak mampu mengikuti arus perubahan seperti waktu sekarang ini atau perubahan dari waktu ke waktu tentunya kita akan tergilas dan tertindas yang akhirnya kita hanya menjadi korban perubahan jaman dan hanya sebagai penonton atas keberhasilan serta kesuksesan orang lain.

Untuk merubah nasib hidup di dalam ayat diatas Allah sudah menegaskan bahwa kita-lah yang paling bertanggung jawab untuk terjadinya perubahan atas hidup kita untuk saat ini maupun hidup kita di masa depan. Bukan orang lain, kondisi atau pun situasi. Dan tidak ada perubahan yang terjadi secara instan atau secara tiba-tiba, semuanya perlu proses.

Dan dari ayat diatas jika ingin merubah nasib bisa dijabarkan sebagai berikut :

Merubah Pola Pikir, ubah pola pikir yang tidak baik seperti berangan-angan dan berandai-andai dengan pola pikir yang kreatif.
Merubah Mental, ubah mental miskin, mental gratisan, meratapi nasib, menghiba meminta belas kasihan dengan mental bahwa segala sesuatu yang di peroleh harus dari hasil jerih payah dan dari kristalisasi keringat, bukan dari hasil pemberian tanpa usaha. Tanamkan rasa malu dan gengsi apabila mendapatkan sesuatu dari hasil meminta-minta, menghiba, belas kasihan dan mengemis.
Merubah Perilaku, perilaku ogah-ogahan, malas, menunda-nunda waktu dan buang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting harus diubah menjadi perilaku atau perbuatan yang cekatan dan produktif.
Menunda-nunda waktu sama halnya dengan menunda perubahan nasib hidup, keberhasilan dan kesuksesan. Sementara waktu terus berjalan tanpa perduli siapa kita dan apa yang akan terjadi pada kita.

Dengan merubah ke tiga hal tersebut insha Allah dengan berjalannya waktu Allah akan mengangkat derajat kemuliaan kepada nasib yang lebih baik dalam hal ekonomi, finansial dan keuangan yang lebih mapan dan berkah.

Di dalam sebuah usaha dan perjuangan hidup untuk merubah nasib hidup tentunya sangat wajar apabila ada halangan dan rintangan berupa masalah. Justru masalah-lah yang selama ini menjadikan pembelajaran untuk menemukan solusi di dalam usaha dan perjuangan merubah nasib hidup. Itu bagi yang mau belajar dan selalu mau mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapi. Bagi yang tidak mau belajar dan mencari solusi tentunya akan semakin terpuruk dan tenggelam dengan masalah yang sedang dihadapi.

Dengan adanya masalah akan membentuk seseorang menjadi pribadi yang kuat, tangguh,mandiri dan tahan banting di dalam setiap menghadapi tantangan kehidupan. Itu-lah tujuan ayat tersebut diatas diturunkan oleh Allah. Agar setiap muslim bisa menjadi pribadi yang kuat, tangguh, mandiri dan tahan banting di dalam setiap menghadapi tantangan kehidupan dan tantangan zaman. Kuncinya setiap mengalami dan menghadapi masalah sikapilah dengan Fokus pada Solusi bukan fokus pada masalah. Dan di dalam mencari solusi harus terencana, terarah dan terukur.

Selain dengan ikhtiar lahir diatas sertakan juga ikhtiar batin dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara meningkatkan kwalitas ibadah. Tidak ada keberhasilan dan kesuksesan yang berkah dan abadi tanpa disertai aspek spiritual berupa ikhtiar batin. Karena hanya dengan Ridho Allah semata sebuah keberhasilan dan kesuksesan untuk merubah nasib hidup bisa terjadi. Aamiin…‎

Pada permasalahan lain, misalnya penyakit, dalam satu riwayat disebutkan bahwa, penyakit dan obat merupakan takdir ilahi.

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ رِقًى نَسْتَرْقِيْهَا وَدَوَاءٌ نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةٍ نَتَّقِيْهَا، هَلْ تَرُدٌّ مِنْ قَدْرِ اللهِ شَيْئًا ؟ قَالَ: هِيَ مِنْ قَدْرِ اللهِ -الترمذي-.

“Ya Rasulallah bagaimana pandangan engkau terhadap Ruqyah-ruqyah yang kami gunakan untuk jampi, obat-obatan yang kami gunakan untuk mengobati penyakit, perlindungan-perlindungan yang kami gunakan untuk menghindari dari sesuatu, apakah itu semua bisa menolak takdir ALLAH ?Jawab Rasulullah saw : Semua itu adalah (juga) takdir ALLAH”.

Satu riwayat juga disebutkan bahwa tatkala Umar bin Khattab dan rombongannya melakukan perjalanan ke suatu tempat di Syiria, dan beliau tiba-tiba dikabarkan bahwa tempat yang dituju sedang dilanda penyakit wabak, (penyakit menular), kemudian Umar bermusyawarah dengan rombongan untuk mencari jalan keluar (way out ), lantas Umar dan rombongan sepakat untuk membatalkan perjalanan tersebut dan kembali ke Madinah, kemudian salah seorang sahabat yang bernama Abu Ubaidah tiba-tiba memprotes keputusan Umar yang tidak ingin melanjutkan perjalanan:

فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْجَرَّاحِ: أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: “لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا يَا أَبَا عُبَيْدَةَ – وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُ خِلاَفَهُ – نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ”.

Abu Ubaidah bin al-jarrah berkata““Apakah kita hendak lari menghindari taqdir Allah?” Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu taqdir Allah dan menuju taqdir Allah yang lain”.

Hadits ini memberikan gambaran jelas bahwa takdir itu bukan hanya satu melainkan berbilang.

Untuk mengakhiri bahasan ini saya sebutkan suatu kisah, di mana pada suatu hari malaikat Izra`il, malaikat pencabut nyawa, memberi kabar kepada Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan minggu depan akan dicabut nyawanya. Namun ternyata setelah sampai satu minggu nyawa si Fulan belum juga mati, sehinggalah Nabi Daud bertanya, mengapa si Fulan belum mati-mati juga, sementara engkau katakan minggu lepas bahwa minggu depan kamu akan mencabut nyawanya.

Izra`il menjawab, “ya betul saya berjanji akan mencabut nyawanya, tapi ketika sampai masa pencabutan nyawa, Allah memberi perintah kepadaku untuk menangguhkannya dan membiarkan ia hidup lagi untuk 20 tahun mendatang, Nabi Daud bertanya, mengapa demikian?, Jawab Izra`il: orang tersebut sangat aktif menyambung silaturrahim sesama saudaranya. Karena itu Allah memberikan tambahan umur selama 20 tahun kepadanya.

Jadi sebagai kesimpulan, semua peristiwa, kejadian dan keadaan yang telah dan yang akan kita hadapi, semuanya di dalam pengetahuan dan pengamatan serta kekuasaan Allah, yang tidak terbelenggu, tidak diikat dan tidak dibatasi oleh masa.

Takdir ada yang boleh berubah dan ada yang tidak akan berubah, yang boleh berubah dikenal dengan istilah Qada Mu’allaq, yaitu takdir yang bergantung dan bersayarat, sementara takdir yang tidak akan berubah dinamakan sebagai Qada Mubram, yaitu takdir yang pasti berlaku pada diri seseorang.

Adapun langkah untuk merubah takdir (nasib) yang mu’allaq adalah sebagai berikut:

1) Berusaha, yaitu dengan melakukan aksi terhadap apa saja yang diinginkan terjadi perubahan atasnya.

2) Berdo’a, yaitu memanjatkan harapan kepada Allah terhadap maksud yang diinginkan diqabulkan olehNya.

3) Tawakkal, yaitu menunggu keputusan, hasil daripada usaha dan doa yang diminta.
Setelah hal di atas dilakukan, maka kita tinggal menunggu ketentuan Allah yang disebut dengan (takdir). Dan untuk menambahkan keyakinan kita terhadap perubahan takdir mu’allaq, ada baiknya kita renungi bersama ayat di bawah ini:

يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ -الرعد: 39-

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)”.

Untuk ayat lauhu al-Mahfuzh itu, juga ada dukungan ayatnya. WS: 6: 59:
 
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
 
"Dan Dia memiliki kunci2 keghaiban yang tidak diketahuinya kecuali oleh Dia. Dan Dia tahu apa-apa yang ada di darat dan lautan. Dan tidak jatuh satu daunpun kecuali Dia mengetahuinya. Dan tidaklah sebuah biji -yang jatuh- di kegelapan bumi dan tidak pula yang basah dan kering, kecuali sudah ada ada di kitab yang nyata (lauhu al-mahfuzh)."
 
Coba renungkan, betapa lembutnya Tuhan membimbing kepahaman kita akan maksud ayatNya yang berbunyi "sudah ada di Lauhu al-mahfuzh itu" i tu. SEmua dari awal sudah dikatakan bahwa semua itu diketahuiNya. Apa saja yang terjadi di dunia ini diketahuiNya. Lalu Setelah itu Ia mengatakan ada di kitab lauhu al-mahfuzh. Dengan demikian dapat dipahami dengan jelas, bahwa maksud dari kitab lauhu al-mahfuzh itu adalah IlmuNya, bukan ketentuanNya akan nasib manusia.
 
Bisa2nya pengetahuan ini dimaknai dengan ketentuanNya? Padahal puluhan ayat atau ratusan, yang memberikan makna bahwa manusia ini berikhtiar dan tidak dipaksa, atau kalau berbuat satu atom saja kebaikan atau keburukan akan dimintai tanggung jawab olehNya, atau diwanti-wantinya supaya tidak masuk neraka, atau diwajibkannya ini dan itu, atau dilarangnya berbuat ini dan itu dts. Semuanya itu sangat jelas bahwa lauhu al-mahfuzh itu bukan ketentuanNya, akan tetapi ilmuNya.
 
Jadi, Allah sudah tahu apapun yang terjadi sekarang dan akan datang itu, sebelum tercipatanya alam ini sendiri.
 
Tetapi ingat, bahwa pengetahuanNya dan kepastian benarnya ilmuNya tentang perbuatan manusia itu, bukan ketentuanNya. Karena Ia tahu bahwa si Fulan itu akan berbuat taat atau tidak pada jam tertentu itu, atau akan kawin dengan si fulan atau tidak pada tahun itu, atau ia akan berusaha dan berdoa lalu doanya dikabulkan atau tidak  dst semuanya dan semuanya itu, diketahuiNya lengkap dengan ikhtiar dan pilihannya. Jadi, Tuhan bukan hanya tahu si fulan itu akan shalat pada waktu jam 13.00, tgl 17, bukan 8, tg 2011 itu DENGAN IKHTIARNYA SENDIRI.
 
Jadi, kebenaran ilmuNya, tidak melahirkan determinisme, karena diketahuiNya dengan ikhtiar masing-masing makhlukNya.
Yang ayat ke tiga ini juga seperti itu. Lauhu al-mahfuzh itu adalah ilmuNya tentang semua hal. Yakni pengetahuan yang tidak berubah dan sudah akhir. Tetapi di tingkatan yang lebih bawah, yakni yang juga dikenal Qadha' dan Qadr, atau Tingkatan Penghapusan dan Penetapan yang dikehendaki, adalah tingkatan ilmu yang di bawahnya yang biasanya dibawa oleh para malaikat pengurus alam semesta ini.
 
Misalanya si Fulan itu murtad. Maka Tuhan menetapkannya masuk neraka. Yakni menetapkan melalui malaikat yang menuliskan bahwa dosa itu adalah dosa besar yang memestikan masuk neraka. Tetapi kalau besoknya atau seminggu Setelah, ia taubat, maka Tuhan merubah ketentuan ke nerakanya itu menjadi ke surga. Tentu Sekalilagi melalui malaikat pencatat amal yang menghapus ketentu sebelumnya yang ke neraka, dengan ketentuan berikutnya yang ke surga.
 ‎
Inilah yang dimaksud penetapan atau penghapusan ketentuan2 sesuai dengan kehendakNya.
 
Nah, semua asal-usul atau liku2 di makam qadha' dan qadr itu sampai pada pilihan dan hasil akhirnya, semua sudah diketahui di makam yang lebih atas yaitu di makam lauhu al-mahfuzh itu.
 
Jadi, ayat ini juga tidak bisa dijadikan Sebagaidalil penasiban manusia. Dan bahkan sebaliknya, justru dalil bagi ikhtiar manusia itu sendiri. Karena sangat tidak masuk akal kalau perubahan2 atau penetapan-penetapan itu diartikan Sebagai penentuan atau pengencelan nasib manusia. Karena, akhirnya betul-betul Tuhan itu seperti pegang remot kontrol, lalu menyetel-nyetel kita mau kemana saja.
 
Keyakinan seperti ini pasti ditentang fitrah dan semua orang waras. Karena, saling ributnya mereka dalam perbedaan pendapat dll-nya, saling hujat dan hukum lwt pengadilan, adanya surga neraka sendiri  dst. merupakan dalil yang lebih terang dari matahari bahwa manusia tidak dikontrol pakai remot oleh Tuhan. Karena kalau disetir Tuhan, maka sudah semestinya dunia ini sepi dari segala macam pertengkaran, perebutan, peperangan, pertandingan, pengadilan .dst. Karena semuanya akan menuntut Tuhan, bukan lawan permasalahannya itu.‎

Penjelasan Tentang Etika Berkomunikasi


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَمَحَااَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِيْنَا هُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِيْنَا هُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِيْنِاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوِى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّ بُهُ

“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” (HR. Muslim)
Lidah merupakan organ tubuh yang paling mulia setelah hati, kedudukannya ibarat juru bicara. Lidah juga merupakan organ tubuh yang selalu lunak, lembut, dan senantiasa basah. Mencermati letak dan susunan anatomi lidah, paling tidak ada tiga fungsi, yaitu indera pengecap, sebagai organ pencernaan dan organ pembentuk huruf (organ komunikasi).‎

Lidah tersusun dari otot-otot dan dipermukaannya dilapisi lapisan epitelium yang banyak mengandung kelenjar lendir. Selain itu terdapat reseptor pengecap berupa kuncup. Kuncup pengecap dapat membedakan empat macam rasa yaitu rasa manis, pahit, asin, dan asam. Kuncup rasa manis lebih banyak terdapat di ujung lidah. Kuncup rasa asam lebih banyak terdapat di tepi depan kiri kanan lidah. Kuncup rasa asin banyak terdapat di tepi belakang kiri kanan lidah dan kuncup rasa pahit banyak terdapat di pangkal lidah. Oleh karena itu, rasa pahit obat selalu terasa di pangkal lidah.

Dalam proses pencernaan makanan, lidah berperan sebagai organ yang bertugas menghantar makanan yang telah dikunyah gigi bisa masuk ke dalam tenggorokan. Bayangkan jika kita tidak memiliki lidah, mungkin kita akan kesulitan menelan makanan. Enzim amilase yang terdapat di kelenjar ludah sangat dibutuhkan dalam proses pencernaan karbohidrat dalam makanan kita. Itulah lidah salah satu komponen tubuh yang sangat penting bagi kehidupan kita. Selain itu lidah merupakan alat utama bagi manusia untuk berkomunikasi.

Berbicara adalah sesuatu yang kita butuhkan dalam melakukan komunikasi sehari-hari. Melalui rutinitas pertukaran kata yang begitu sering dilakukan, terkadang kita lupa akan nilai-nilai luhur yang menjadi patokan bagi orang yang berkeyakinan. Dalam kutipan berikut, ditulis ulang beberapa dalil pengingat yang dapat menuntun kita dalam menjaga omongan kita. Walaupun banyak hal dirasa tidak mengejutkan, tidak ada salahnya kiranya untuk mengulas sejumlah dalil penuntun yang baik ini. Beberapa point pemeliharaan pembicaraan baik untuk diperhatikan seperti: menghindari umpatan, menghindari penggunaan kata-kata kotor, menghindari membuka aib orang dan diri sendiri,  menghindari terlalu banyak menyanjung seseorang karena dapat membuat yang bersangkutan lupa diri, dsb.

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam ayat lain disebutkan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah juga berfirman.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]

Begitu juga firman Allah Ta’ala.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]
Pembicaraan dalam bahasa Al-Quran dinamai kalam. Dari akar kata yang sama terbentuk kata lain dalam bahasa Arab yang berarti luka. Ini menjadi peringatan bahwa kalam juga dapat melukai. Bahkan, luka yang diakibatkan lidah bisa lebih parah dari pada oleh pisau. ”Anda menawan apa yang akan diucapkan, tetapi begitu terucapkan maka andalah yang menjadi tawanannya.”

Hendaknya semua pembicaran selalu dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
 
لاَ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia”.(QS. An-Nisa [4]: 114).

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

”dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” (QS. Al Mu’minun [23]: 3)

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari 6018 Muslim 47)

Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar. Tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu pelan. Ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
عَنْ عَائِشَةَ رَحِمَهَا اللَّهُ قَالَتْ كَانَ كَلاَمُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَلاَمًا فَصْلاً يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ.

Dari Aisyah rahimahallaahu, beliau berkata: “Bahwasanya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu perkataan yang jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud 4839) .‎

Jangan membicarakan segala yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu di dalam hadisnya menuturkan : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
 
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar”. (HR. Muslim)

Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
أنا زعيم بيت في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقا، وبيت في وسط الجنة لمن ترك الكذب وإن كان مازحا

“Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud).

Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Radhiallaahu ‘anha. telah menuturkan:
 
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُحَدِّثُ حَدِيثًا لَوْ عَدَّهُ الْعَادُّ لَأَحْصَاهُ

“Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya”. (Muttafaq’alaih).

Tidak diulang-ulang kecuali untuk memberikan tekanan makna, karena “Sebaik-baik ucapan adalah yang singkat dan membawa arti, dan seburuk-buruk ucapan adalah yang panjang dan membosankan.”
Abdullah bin Mas’ud ra., memberi nasehat kepada masyarakatnya setiap hari Kamis. Ada seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman, saya berharap engkau memberi nasehat kepada kami setiap hari.” Beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya yang menghalangiku untuk itu karena aku tidak suka membuat kalian bosan.” Selanjutnya ia berkata,‎

وَإِنيِّ أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ كَمَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةً السَّآمَةَ عَلَيْنَا . متفق عليه

Aku selalu memilih waktu untuk kalian dalam memberi nasehat, sebagaimana Nabi saw, memilih waktu untuk kami dalam memberi nasehat karena khawatir membuat jenuh atas kami. (Muttafaq ‘alaih)

Dari ‘Ammar bin Yasir ra berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 

إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيْلُوْا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا اْلخُطْبَةَ . رواه مسلم
 
Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khuthbah, merupakan bukti kemantapan pemahamannya. Maka panjangkan shalat dan pendekkan khutbah! (HR. Muslim)

Menghindari perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ‎

” seorang mu’min itu bukanlah pencela atau pengutuk atau yang keji pembicaraannya”.. (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab al Mufrad).

Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu ‘anhu disebutkan:
 
وإن أبغضكم إلي وأبعدكم مني يوم القيامة الثرثارون، والمشتشدقون والمتفيهقونز قالوا: يا رسول الله، ما المتفيهقون؟ قال: المتكبرون

“Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi).

Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”. (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.
Jangan memonopoli pembicaraan. Berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan dan kekeliruan pembicaraan orang lain, karena hal tersebut dapat mennyebabkan kebencian, permusuhan dan pertentangan.
Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman
 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan). (QS. Al-Hujurat [49]: 11).‎‎
Larangan banyak bicara

Kita dilarang banyak bicara antara lain berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

Hadits dari Ibnu Umar:
 
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي

Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Janganlah kalian banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah, karena banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah membuat hati menjadi keras, dan orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang berhati keras.”  [HR Tirmidzi]‎

Hadits dari Al Mughirah ia berkata:
عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَأْدِ الْبَنَاتِ وَعُقُوقِ الْأُمَّهَاتِ وَعَنْ مَنْعٍ وَهَاتِ وَعَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengubur anak perempuan hidup-hidup, durhaka kepada ibu, tidak memberi tapi mau menerima, banyak bicara, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta”.[HR Ad-Darimi]

Hadits dari Abu Umamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَيَاءُ وَالْعِيُّ شُعْبَتَانِ مِنْ الْإِيمَانِ وَالْبَذَاءُ وَالْبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنْ النِّفَاقِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي غَسَّانَ مُحَمَّدِ بْنِ مُطَرِّفٍ قَالَ وَالْعِيُّ قِلَّةُ الْكَلَامِ وَالْبَذَاءُ هُوَ الْفُحْشُ فِي الْكَلَامِ وَالْبَيَانُ هُوَ كَثْرَةُ الْكَلَامِ مِثْلُ هَؤُلَاءِ الْخُطَبَاءِ الَّذِينَ يَخْطُبُونَ فَيُوَسِّعُونَ فِي الْكَلَامِ وَيَتَفَصَّحُونَ فِيهِ مِنْ مَدْحِ النَّاسِ فِيمَا لَا يُرْضِي اللَّهَ

“Sifat malu dan al ‘iyyu adalah dua cabang dari cabang-cabang keimanan. Sedangkan Al Badza` dan Al Bayanadalah dua cabang dari cabang-cabang kemunafikan.” Abu Isa berkata; Ini adalah hadits Hasan Gharib. Ia berkata, Al ‘Iyy adalah sedikit bicara dan Al Badza`adalah kata-kata yang keji, sedangkan Al Bayan adalah banyak bicara seperi para khatib-khatib yang memperpanjang dan menambah-nambahkan isi pembicaraan guna memperoleh pujian publik dalam hal-hal yang tidak diridlai Allah. [HR Tirmidzi]

Hadits dari Abu Hurairah:
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah meridlai kalian karena tiga perkara dan membenci dari kalian tiga perkara. Meridhai kalian jika: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, kalian berpegang teguh terhadap tali agama Allah secara bersama-sama dan saling menasehati terhadap orang yang Allah beri perwalian urusan kalian. Membenci kalian jika; Banyak bicara, menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya.” [HR Malik]

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.

Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi

Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”

Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda.

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”

Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz.

يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ

“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.

Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “ Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering saya dapati baik amalan-amalannya”.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi.

بِحَسْبِ امْرِيْ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ كُلٌ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda.

فَإِنَّ دِمَا ئَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُم حَرَامٌ، كَحُرمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِ كُمْ هَذَا في شَهْرِ كُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَارًا، ثُمّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”

Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِشْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لآَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا 

“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”

Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.

إِذَا مَاتَ الْإنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثٍ ...

“Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”

Beliau berkata, “Orang yang mebukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdaasrkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits.

مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً

“Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.

إِنَّاللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”
Takhtimah

Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi). ‎

Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.

Komunikasi sangat berpengaruh terhadap kelanjutan hidup manusia, baik manusia sebagai hamba, anggota masyarakat, anggota keluarga dan manusia sebagai satu kesatuan yang universal. Seluruh kehidupan manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Dan komunikasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas berhubungan dengan  sesama. Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Dengan pengertian demikian, maka komunikasi Islam menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam,dan cara (how),dalam hal ini tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika).
Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak (ihsan).Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.

Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yaitu:
1.      Qaulan Sadida (perkataan yang benar, jujur)
 
QS. An Nisa ayat 9
 
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
 
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraannya)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (qaulan sadida)”.

2.      Qaulan Baligha (tepat sasaran, komunikatif, to the point, mudah dimengerti)
 
QS. An Nisa ayat 63
 
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا
 
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”.

3.      Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik)
 
QS. Al Ahzab ayat 32
 
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
 
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.”

4.      Qaulan Karima (perkataan yang mulia)
 
QS. Al Isra’ ayat 23
 
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perktaan yang baik”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa kita diperintahkan untuk mengucapkan perkataan yang baik atau mulia karena perkataan yang baik dan benar adalah suatu komunikasi yang menyeru kepada kebaikan dan merupakan bentuk komunikasi yang menyenangkan.

5.      Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut)
QS. Thaha ayat 43-44
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
 
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun karena benar-benar dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”.
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layinaberarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. DalamTafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut,“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)

6.      Qaulan Maysura (perkataan yang ringan)

QS. Al Isra’ ayat 28
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلا مَيْسُورًا
 
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah”.

Sesungguhnya komunikasi merupakan bentuk dari kehidupan manusia. Dalam proses komunikasi hendaklah kita memperhatikan etika-etika dengan baik agar komunikasi tersebut bisa berjalan dengan lancar dan efektif. Dengan harapan apa yang disampaikan mudah diterima dan mendapat respon yang baik pula. Etika-etika tersebut antara lain: dengan perkataan yang benar, mulia, lemah lembut, ringan dan mudah dimengerti.
Islam sebagai agama yang sempurna mengajarkan dengan sangat detail bagaimana komunikasi yang baik. Hal tersebut bisa kita lihat di al-quran dan hadits.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...