Amirul Mukminin Sayyidina Ali berkata:
لَوْ كُنَّا لاَ نَرْجُوْ جَنَّةً وَلاَ نَخْشَى نَارًا وَلاَ ثَوَابًا
وَلاَ عِقَابًا، لَكَانَ يَنْبَغِيْ لَنَا أَنْ نَطْلُبَ مَكَارِمَ
اْلأَخْلاَقِ، فَإِنَّهَا مِمَّا تَدُلُّ عَلَى سَبِيْلِ النَّجَاحِ
(Apabila kita tidak mengharap surga dan tidak takut neraka, dan tidak
mengharap pahala dan siksa, maka sepatutnya kita mencari akhlak yang
mulia. Karena akhlak mulia dapat menunjukkan kepada kita jalan
keselamatan).
Agama Islam memiliki dua dasar dalam melakukan perbuatannya dalam
sehari-hari, maka dasar akhlak tasawuf juga berasal dari dua sumber itu,
yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Dinyatakan dalam hadits Nabi Sholallohu
'Alaihi Wasallam
عَنْ اَنَسٍ ابْنِ مَالِكٍ قَالَ النَّبِىُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَكْتُمْ
بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ.
“Dari Anas bin Malik berkata: Bersabda Nabi SAW: telah ku tinggalkan
atas kamu sekalian dua perkara yang apabila kamu berpegang pada keduanya
maka tidak akan tersesat yaitu kitab Allah dan sunnah RosulNya”.
Dengan demikian diketahui bahwa dasar-dasar atau pegangan orang Islam
adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang mana orang yang melakukan
syariat-syariat islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka orang
itu tidak akan merasa rugi.
Ahklak merupakan suatu sifat-sifat baik dan buruknya manusia.
Mempelajari ahklak merupakan cara seorang muslim untuk menjaga sikapnya.
Kata akhlak secara etimologi berasal dari kata al-akhlaaqu yang
merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluqu yang berarti tabiat,
kelakuan, perangai, adat kebiasaan atau khalqun yang berarti kejadian,
buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak itu berarti perangai,
tabiat atau sistem perilaku yang dibuat.Dengan mengetahui mana ahklak
yang baik dan buruk kita dapat memahami bagaimana cara bersikap kita
sehari-hari. Rasulullah saw merupakan tauladan akhlak kita sebagai
seorang muslim. Akhlak rasulullah merupakan akhlak yang paling sempurna.
Firman Alloh Subhanahu Wata'ala
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sungguh engkau (Muhammad) berada di atas tataran akhlak yang tinggi, agung.”(Al Qur’an, Al-Qalam 68:4)
Profil akhlakuk karimah sudah terdapat pada diri Rasulullah SAW untuk
kita jadikan contoh dan suri tauladan. Allah SWT berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“ Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat suri tauladan yang baik bagimu “ (Q.S Al-Ahzab [33] : 21)
Dalam beberapa riwayat di sebutkan, dari Abu Hurairah radiallahu "anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan
akhlak yang saleh (baik).” (HR. al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381
al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273) dan at-Tarikhul Kabir
(7/188), al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/613), al-Qudha’i dalam Musnad
asy-Syihab (no. 1165), Ibnu Abi ad-Dunya dalam Makarimul Akhlaq (no. 13)
dan lain lain).
Pada sebagian riwayat:
لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Ketika ummul mu'minin Aisyah radiallahu "anha di tanya tentang akhlaknya
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka beliau menjawab:
كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Rasulullah n adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Dan banyak lagi dalil dalil yang menunjukan akan ketinggian akhlak Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Dan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. diutus oleh Allah untuk mengajari akhlak yang paling mulia kepada manusia.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah ia yang memiliki
akhlak terbaik. Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik
akhlaknya kepada pasangannya.” (Hadits riwayat Tirmidzi)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ
قَائِمِ اللَّيْلِ صَائِمِ النَّهَارِ
Dari ‘Aisyah – semoga Allah meridhainya – berkata, “Aku mendengar Nabi –
shallallaahu ‘alaihi wassalaam – berkata, sungguh orang-orang yang
beriman dengan akhlak baik mereka bisa mencapai (menyamai) derajat
mereka yang menghabiskan seluruh malamnya dalam sholat dan seluruh
siangnya dengan berpuasa.” [Musnad Imam Ahmad]
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ
أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ
لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ
Abu Darda’ meriwayatkan: Aku mendengar Nabi Muhammad saw berkata, “Tak
ada yang lebih berat pada timbangan (Mizan, di hari Pembalasan) dari
pada akhlak yang baik. Sungguh, orang yang berakhlak baik akan bisa
setara dengan mereka yang berpuasa dan sholat.” (Hadits riwayat
al-Tirmidzi)
Akhlak tepuji sangatlah tinggi kedudukannya dimata Allah swt, bahkan
meskipun seseorang lemah dalam beribadah, namun akhlaknya mulia maka
kedudukannya lebih tinggi dari pada orang yang pandai beribadah tapi
akhlaknya buruk.
Dalam haditsnya beliau bersabda:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال : لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم
فَاحِشاً وَلاَ مُتَفَحِّشاً وَكَانَ يَقُوْلُ : إِنَّ مِنْ خِيَارُكُمْ
أَحْسَنُكُمْ أًخْلاَقاً رواه البخاري.
Dari Abdullah bin Amru berkata: Nabi tidak pernah berbuat keji
sendiri tidak pula berbuat keji kepada orang lain. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya termasuk sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
akhlaknya” (HR Bukhari)
Terpesona dengan akhlak Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
Telah banyak kisah-kisah yang kita baca dan dengar yang bisa kita ambil
pelajaran yang sangat agung, tentang menusia-manusia terbaik umat ini
dari kalangan sahabat-sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, dan
orang orang yang mengikuti mereka dengan baik, bahkan para malaikat
sekalipun, tentang keteladanan mereka di dalam meraih kecintaan kepada
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. diantara kisah kisah tersebut:
1. Kecintaan malaikat Jibril dan Mikail ‘alaihimas salam kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
بِشْرٍ وَأَبُوْ أُسَامَةَ عَنْ مِسْعَرٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَعْدٍ قَالَ:
رَأَيْتُ عَنْ يَمِينِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَنْ شِمَالِهِ يَوْمَ أُحُدٍ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا ثِيَابُ بَيَاضٍ
مَا رَأَيْتُهُمَا قَبْلُ وَلاَ بَعْدُ يَعْنِي جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
عَلَيْهِمَا السَّلاَم
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr dan Abu Usamah dari Mis’ar
dari Sa’d bin Ibrahim dari Bapaknya dari Sa’d dia Radhiyallahu’anhu
berkata: Di hari terjadinya perang Uhud, aku melihat dua orang
berpakaian putih-putih. Masing-masing berada di kanan dan kiri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang aku tidak pernah melihat
keduanya sebelum dan sesudah itu. Mereka ialah Jibril dan Mikail
‘alaihimas salam. (Shahih Muslim 2306)
و حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ
عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنَا سَعْدٌ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُ
يَوْمَ أُحُدٍ عَنْ يَمِينِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَنْ يَسَارِهِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا ثِيَابٌ بِيْضٌ يُقَاتِلاَنِ
عَنْهُ كَأَشَدِّ الْقِتَالِ مَا رَأَيْتُهُمَا قَبْلُ وَلاَ بَعْدُ
Dan telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Manshur telah mengabarkan
kepada kami Abdus Shamad bin Abdul Warits telah menceritakan kepada kami
Ibrahim bin Sa’adtelah menceritakan kepada kami Sa’d dari Bapaknya dari
Sa’d bin Abu Waqqash Radhiyallahu’anhu, dia berkata: Sungguh aku
melihat pada hari terjadinya perang Uhud dua orang laki-laki berpakaian
serba putih. Masing-masing berada di kanan dan di kiri beliau. Keduanya
ikut berperang dengan gagah berani. Aku tidak pernah melihat keduanya
sebelum dan sesudah itu.(Shahih Muslim 2306)
2. Kecintaan mailaikat penjaga gunung terhadap Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya dia pernah bertanya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah Anda pernah melewati
(merasakan) suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari perang Uhud?”.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ
مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ
يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ
فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا
وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا
بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ
فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا
رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ
بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ
ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ
أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ
مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
"Sungguh aku banyak merasakan gangguan (perlakuan jahat) dari kaummu.
Dan gangguan paling berat yang datang dari mereka adalah ketika kejadian
pada hari Al-Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abdi
Yalil bin ‘Abdi Kulal namun dia tidak mau memenuhi keinginanku. Lalu aku
pergi dengan wajah sedih, aku tidak sadar kecuali aku telah berada di
Qarnu ats-Tsa’aalib. Aku mengangkat kepalaku ternyata aku berada di
bawah awan yang menaungiku, dan ternyata di atasnya ada Jibril
‘alaihissalam, lalu dia memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah
mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan apa bantahan mereka kepadamu. Dan
Dia (Allah) telah mengutus kepadamu Malaikat penjaga gunung, untuk kamu
perintahkan sesuai kehendakmu terhadap mereka. ” Kemudian Malaikat
penjaga gunung memanggilku, lalu memberi salam kepadaku kemudian
berkata, “Wahai Muhammad, apa yang kamu inginkan katakanlah. Jika kamu
ingin aku akan timpakan kepada mereka dua gunung Akhsyab (niscaya akan
aku lakukan).” Maka Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ” Tidak
(aku tidak ingin itu), akan tetapi aku berharap kepada Allah bahwa akan
terlahir dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah Allah
semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR.
Al-Bukhari no. 3059 dan Muslim no. 4754 dan redaksi ini ada dalam Shahih
al-Bukhari).
3. Kecintaan Abu tholib kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
Diriwayatkan dari Al Fadhl bin Sahl Abul Abbas Al A’raj Al Baghdadi ia
berkata, Abdurrahman bin Ghazwan Abu Nuh menuturkan kepadaku, Yunus bin
Abi Ishaq mengabarkan kepadaku, dari Abu Bakr bin Abi Musa, dari Abu
Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, ia berkata:
خَرَجَ أَبُو طَالِبٍ إِلَى الشَّامِ ، وَخَرَجَ مَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَشْيَاخٍ مِنْ قُرَيْشٍ ، فَلَمَّا
أَشْرَفُوا عَلَى الرَّاهِبِ هَبَطُوا ، فَحَلُّوا رِحَالَهُمْ , فَخَرَجَ
إِلَيْهِمُ الرَّاهِبُ وَكَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ يَمُرُّونَ بِهِ , فَلَا
يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ وَلَا يَلْتَفِتُ ، قَالَ : فَهُمْ يَحُلُّونَ
رِحَالَهُمْ فَجَعَلَ يَتَخَلَّلُهُمُ الرَّاهِبُ حَتَّى جَاءَ فَأَخَذَ
بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : هَذَا
سَيِّدُ الْعَالَمِينَ , هَذَا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ يَبْعَثُهُ
اللَّهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ، فَقَالَ لَهُ أَشْيَاخٌ مِنْ قُرَيْشٍ :
مَا عِلْمُكَ ؟ فَقَالَ : إِنَّكُمْ حِينَ أَشْرَفْتُمْ مِنَ الْعَقَبَةِ
لَمْ يَبْقَ شَجَرٌ وَلَا حَجَرٌ إِلَّا خَرَّ سَاجِدًا ، وَلَا
يَسْجُدَانِ إِلَّا لِنَبِيٍّ , وَإِنِّي أَعْرِفُهُ بِخَاتَمِ
النُّبُوَّةِ أَسْفَلَ مِنْ غُضْرُوفِ كَتِفِهِ مِثْلَ التُّفَّاحَةِ ،
ثُمَّ رَجَعَ فَصَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا فَلَمَّا أَتَاهُمْ بِهِ وَكَانَ
هُوَ فِي رِعْيَةِ الْإِبِلِ , قَالَ : أَرْسِلُوا إِلَيْهِ , فَأَقْبَلَ
وَعَلَيْهِ غَمَامَةٌ تُظِلُّهُ ، فَلَمَّا دَنَا مِنَ الْقَوْمِ
وَجَدَهُمْ قَدْ سَبَقُوهُ إِلَى فَيْءِ الشَّجَرَةِ ، فَلَمَّا جَلَسَ
مَالَ فَيْءُ الشَّجَرَةِ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : انْظُرُوا إِلَى فَيْءِ
الشَّجَرَةِ مَالَ عَلَيْهِ ، قَالَ : فَبَيْنَمَا هُوَ قَائِمٌ عَلَيْهِمْ
وَهُوَ يُنَاشِدُهُمْ أَنْ لَا يَذْهَبُوا بِهِ إِلَى الرُّومِ ، فَإِنَّ
الرُّومَ إِذَا رَأَوْهُ عَرَفُوهُ بِالصِّفَةِ فَيَقْتُلُونَهُ ،
فَالْتَفَتَ , فَإِذَا بِسَبْعَةٍ قَدْ أَقْبَلُوا مِنَ الرُّومِ
فَاسْتَقْبَلَهُمْ ، فَقَالَ : مَا جَاءَ بِكُمْ ؟ قَالُوا : جِئْنَا إِنَّ
هَذَا النَّبِيَّ خَارِجٌ فِي هَذَا الشَّهْرِ , فَلَمْ يَبْقَ طَرِيقٌ
إِلَّا بُعِثَ إِلَيْهِ بِأُنَاسٍ , وَإِنَّا قَدْ أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ
بُعِثْنَا إِلَى طَرِيقِكَ هَذَا ، فَقَالَ : هَلْ خَلْفَكُمْ أَحَدٌ هُوَ
خَيْرٌ مِنْكُمْ ؟ قَالُوا : إِنَّمَا أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بِطَرِيقِكَ
هَذَا ، قَالَ : أَفَرَأَيْتُمْ أَمْرًا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِيَهُ
هَلْ يَسْتَطِيعُ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ رَدَّهُ ؟ قَالُوا : لَا ، قَالَ :
فَبَايَعُوهُ وَأَقَامُوا مَعَهُ ، قَالَ : أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ
أَيُّكُمْ وَلِيُّهُ ، قَالُوا : أَبُو طَالِبٍ فَلَمْ يَزَلْ يُنَاشِدُهُ
حَتَّى رَدَّهُ أَبُو طَالِبٍ ، وَبَعَثَ مَعَهُ أَبُو بَكْرٍ بِلَالًا
وَزَوَّدَهُ الرَّاهِبُ مِنَ الْكَعْكِ وَالزَّيْتِ
“Abu Thalib pergi ke Syam dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pergi
dengannya bersama dengan pembesar-pembesar kaum Quraisy. Ketika mereka
menjumpai seorang rahib, mereka singgah dan berhenti dari perjalanan
mereka. Lalu seorang Rahib pun keluar menemui mereka. Padahal biasanya
pada waktu-waktu sebelum itu, rahib tersebut tidak pernah keluar dan
tidak peduli ketika mereka melewatinya.
Abu Musa berkata; “Lalu mereka meletakkan perbekalan mereka, kemudian
Rahib itu membuka jalan hingga mereka sampai di hadapannya. Lalu ia
memegang tangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamsambil berkata:
“Anak ini akan menjadi penghulu semesta alam, anak ini akan menjadi
Rasul dari Rabbul ‘Alamin yang akan di utus oleh Allah sebagai rahmat
bagi seluruh alam”.
Maka pembesar Quraisy berkata: “Dari mana Anda tahu hal itu?”. Rahib
menjawab: “sebenarnya semenjak kalian tiba di ‘Aqabah, tidak ada
bebatuan dan pepohonan melainkan mereka bersimpuh sujud, dan mereka
tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi. Selain itu, aku juga dapat
mengetahui dari stempel kenabian yang berada di bagian bawah tulang
rawan bahunya yang mirip seperti buah apel”.
Kemudian Rahib itu kembali ke dalam dan menyiapkan makanan. Ketika Rahib
mendatangi rombongan, Nabi sedang berada diantara unta-unta. Rahib itu
berkata: “tolong utuslah beberapa orang untuk menjemputnya dari sana”.
Maka kemudian Nabi datang dengan dinaungi sekumpulan awan di atas
beliau. Ketika Rahib mendekati rombongan, ia temukan mereka tengah
berebutan mencari naungan dari bayang-bayang pohon. Anehnya ketika Nabi
duduk, justru bayang-bayang pohon itu menaungi beliau. Kontan si Rahib
mengatakan: ‘coba kalian perhatikan, bayang-bayang pohon justru
menaunginya’.
Abu Musa berkata, ketika sang rahib berdiri menghadap rombongan, ia
memberi peringatan agar rombongan tidak meneruskan perjalanan ke Romawi.
Sebab jika mereka melihatnya, tentu mereka akan mengetahuinya dengan
tanda-tandanya itu, dan mereka akan membunuhnya’. Ketika sang rahib
menoleh, ternyata ada tujuh orang yang baru datang dari Romawi dan
menemui rombongan. Rahib bertanya kepada mereka: ‘apa yang membuat
kalian datang kemari?’. Rombongan itu menjawab: ‘Begini,kami berangkat
karena ada seorang nabi yang diutus bulan ini. Oleh karena itu tak ada
rute jalan lagi melainkan pasti diutus beberapa orang untuk mencarinya.
Dan kami diberi tahu bahwa ia akan ditemui di rute ini’. Si rahib lantas
bertanya: ‘Apakah dibelakang kalian ada rombongan lain yang lebih baik
dari kalian?’. Mereka menjawab: ‘hanya kami yang diberi tahu bahwa ia
akan ditemui di rute ini’. Si rahib bertanya lagi: ‘Menurut kalian, jika
Allah berkeinginan untuk memutuskan sesuatu adakah orang yang dapat
menolaknya? Mereka berkata: ‘Tentu tidak ada’. Selanjutnya rombongan
dari Romawi itu berbaiat kepada si rahib dan tinggal bersamanya.
Rahib bertanya: ‘Saya nasehatkan kalian untuk berpegang pada Allah,
namun siapa walinya anak ini?’. Rombongan Quraisy menjawab: ‘Abu
Thalib’. Si rahib tiada henti-hentinya menasehati Abu Thalib hingga ia
mau mengembalikan Nabi ke Mekkah. Abu Bakar juga memerintahkan Bilal
untuk menemaninya, sedangkan si rahib memberinya bekal berupa kerupuk
dan minyak”
Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’-nya (3583), Al
Hakim dalam Al Mustadrak (4167), Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah
(386), Ibnu ‘Asakir dalamTarikh Dimasyqi (811), Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannaf-nya (35852), dan beberapa huffadz yang lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
لما توفى النبي صلى الله عليه وسلم واستُخلف أبو بكر وكفر من كفر من العرب
قال عمر : يا أبا بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : أمِرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله ، فمن قال لا إله
إلا الله عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ؟ قال أبو بكر :
والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة ، فإن الزكاة حق المال ، والله لو
منعوني عناقا كانوا يؤدونها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم لقاتلتهم
على منعها . قال عمر : فو الله ما هو إلا أن رأيت أن قد شرح الله صدر أبي
بكر للقتال فعرفت أنه الحق
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar
menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata:
‘Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk
memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah,
barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali
dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?’
Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan
antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta.
Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal
mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah
aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi
orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran‘”
Begitu tegas dan kerasnya sikap beliau sampai-sampai para ulama berkata:
نصر الله الإسلام بأبي بكر يوم الردّة ، وبأحمد يوم الفتنة
“Allah menolong Islam melalui Abu Bakar di hari ketika banyak orang
murtad, dan melalui Ahmad (bin Hambal) di hari ketika terjadi fitnah
(khalqul Qur’an)”
Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang menemani Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam di gua ketika dikejar kaum Quraisy Allah
Ta’ala berfirman,
ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
“Salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu
dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya
Allah beserta kita”” (QS. At Taubah: 40)
As Suhaili berkata: “Perhatikanlah baik-baik di sini Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berkata ‘janganlah kamu bersedih’ namun
tidak berkata ‘janganlah kamu takut’ karena ketika itu rasa sedih Abu
Bakar terhadap keselamatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sangat
mendalam sampai-sampai rasa takutnya terkalahkan”.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, Abu Bakar berkata kepadanya:
نظرت إلى أقدام المشركين على رؤوسنا ونحن في الغار فقلت : يا رسول الله لو
أن أحدهم نظر إلى قدميه أبصرنا تحت قدميه . فقال : يا أبا بكر ما ظنك
باثنين الله ثالثهما
“Ketika berada di dalam gua, aku melihat kaki orang-orang musyrik berada
dekat dengan kepala kami. Aku pun berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai
Rasulullah, kalau di antara mereka ada yang melihat kakinya, mereka akan
melihat kita di bawah kaki mereka’. Rasulullah berkata: ‘Wahai Abu
Bakar, engkau tidak tahu bahwa bersama kita berdua yang ketiga adalah
Allah’”
Ketika hendak memasuki gua pun, Abu Bakar masuk terlebih dahulu untuk
memastikan tidak ada hal yang dapat membahayakan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Juga ketika dalam perjalanan hijrah, Abu Bakar terkadang
berjalan di depan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, terkadang di
belakangnya, terkadang di kanannya, terkadang di kirinya.
Abu Bakar Ash Shiddiq menginfaqkan seluruh hartanya ketika Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan sedekah, Umar bin Khattab
Radhiallahu’anhu berkata:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نتصدق ، فوافق ذلك مالاً فقلت :
اليوم أسبق أبا بكر إن سبقته يوما . قال : فجئت بنصف مالي ، فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : ما أبقيت لأهلك ؟ قلت : مثله ، وأتى أبو بكر بكل ما
عنده فقال : يا أبا بكر ما أبقيت لأهلك ؟ فقال : أبقيت لهم الله ورسوله !
قال عمر قلت : والله لا أسبقه إلى شيء أبدا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk
bersedekah, maka kami pun melaksanakannya. Umar berkata: ‘Semoga hari
ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar’. Aku pun membawa setengah dari
seluruh hartaku. Sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya:
‘Wahai Umar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Kujawab: ‘Semisal
dengan ini’. Lalu Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bertanya: ‘Wahai Abu Bakar, apa yang
kau sisakan untuk keluargamu?’. Abu Bakar menjawab: ‘Ku tinggalkan bagi
mereka, Allah dan Rasul-Nya’. Umar berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan
bisa mengalahkan Abu Bakar selamanya’” (HR. Tirmidzi)
Ajaran Akhlak Dalam Islam
Ajaran islam secara umum mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan
batiniah, ajaran yang bersifat batiniyah nanti akan menimbulkan hati
mareka menjadi keras. Dengan demikian unsur kehidupan tasawuf mendapat
perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam yaitu As-Sunnah,
Al-Qur’an serta praktek kehidupan nabi dan para sahabatnya, antara lain
Al-Qur’an menerangkan tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai
dengan tuhan .
Hal itu difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ
فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ
يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ( المائدة : 54)
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersifat
lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersifat keras pada orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela, itulah karunia Allah, diberikanNya kepada siapa
yang dikehendakiNya dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi maha
mengetahui “. (Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54)
Allah juga memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan
diri dan selalu memohon ampun kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya
dari-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً
عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ
النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (التحريم :
8)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surge yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang beriman bersama dengan dia, sedangkan cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mengatakan, “ Ya
Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya Engkau
Mahakuasa atas segala sesuatu”. (Q. S. At Tahrim [66] :8).
Orang yang berakhlak berarti ia berilmu, tapi ilmu itu tergantung orang
yang memilikinya, ada yang baik dan ada yang buruk. Berarti akhlak
sangat berkaitan dengan ilmu. Apabila memiliki ilmu yang baik, maka
kemungkinan besar orang itu bisa berbuat kebaikan atau berakhlak dengan
baik.
Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan tentang keutamaan orang yang berilmu,
salah satunya dalam surat Ali-Imran:18 yang artinya,” Allah bersaksi
bahwasannya tidak ada tuhan melainkan Dia (Allah), yang menegakkan
keadilan.para malaikat dan orang-orang berilmu (juga ikut bersaksi).
Tiada tuhan melainkan Dia, yang maha perkasa lagi maha bijaksana” (QS.
Ali-Imran:18).
Akhlak Kepada Kedua Orang Tua
Sesungguhnya Al Quran itu tidak akan berdialog dengan akal kecuali
apabila ada ingin mengingatkan akan hakikat ilmiah dan pikiran semata.
Namun apabila Al Quran hendak beridialog dengan perasaan yang
tersembunyi dalam jiwa, maka Al Quran akan memakai sarana penggambaran
dan deskripsi, lalu meletakkannya dalam khayalan pembaca dan
pendengarnya, ibarat kaca paling bening yang mampu memantulkan gambar
yang kita inginkan dengan lebih jelas dan nyata.
Bisa jadi Al Quran memaparkan gambaran ini ke dalam jiwa kita hanya
dengan satu kata atau dengan beberapa ayat, sesuai dengan kondisi,
artikulasi dan konteks pembicaraan.
Perhatikanlah beberapa ayat, di antaranya;
- Al Israa’ : 23-24
- وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا (23)
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu menetapkan bahwa janganlah kamu menyembah melainkan
kepadaNya, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak. Jika sampai salah
seorang mereka itu atau keduanya telah tua dalam pemeliharaanmu (berusia
lanjut), maka janganlah engkau katakan kepada keduanya “ah”, dan
janganlah engkau bentak keduanya, dan berkatalah kepada keduanya
perkataan yang mulia.” (23) “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya
dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah, “Hai Tuhanku, kasihanilah
keduanya, sebagaimana mereka telah memeliharaku waktu kecil”. (24)
Ayat ini berdialog dengan akal manusia, memerintahkan manusia agar tidak
beribadah kepada selain Allah, berbakti kepada kedua orang tua, tidak
menyakitinya dengan kata ataupun perbuatan, namun agar perintah-perintah
ini bisa dilaksanakan dengan baik, maka ia butuh ketundukan hati pada
Allah yang harus digerakkan, sekaligus juga penerimaan akal sehat
terhadap perintah ini, lalu di kata apakah Allah tumbuhkan dan gerakkan
perasaan hati yang tunduk tersebut?
Rahasia jawabannya adalah ada di kata عِنْدَكَ “indaka.” Seandainya kata
ini dihilangkan, maka hilanglah faktor terbesar yang memiliki pengaruh
dalam hati, satu kata namun penuh dengan segudang perasaan yang
mempengaruhi jiwa manusia, karena ayat ini memberikan gambaran kepada
pembaca dan pendengarnya kondisi kedua orang tuanya yang sudah beranjak
tua dan lemah, kemudian kedua orang tua itu hidup nyaman dalam naungan
kasih dan sayangnya, setelah dulunya ia dalam naungan kasih dan sayang
kedua orang tuanya.
Lihatlah bagaimana Allah menggugah rasa empati dan kasih sayang yang ada
dalam jiwa seorang anak dengan gambaran yang diletakkan di depan
matanya, tanpa memakai sarana petunjuk, arahan dan peringatan akal
pikiran. Seandainya gambaran itu digantikan dengan ungkapan peringatan,
ancaman atau semisalnya, maka akan ada pembatas antara akal dengan
persepsi jiwa akan gambaran yang cukup menyakitkan itu, dan jauhlah
arahan moral itu dari pengaruh kejiwaan yang diinginkan.
Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, kita diharuskan untuk
menyembah hanya kepadaNya. Kita dilarang berbuat yang tidak baik kepada
orang tua, bahkan untuk berkata “ah” saja kita dilarang. Saat orang tua
kita sudah berusia lanjut, mereka membutuhkan kita (sebagai anak) untuk
merawat mereka dengan penuh kasih sayang seperti mereka saat merawat
kita dari kecil hingga sekarang. Diwajibkan bagi kita untuk berdoa
kepada Allah SWT dan meminta kepadaNya untuk kebahagian mereka di dunia
maupun di akhirat.
- Al Ahqaaf : 15
- وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي
ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami telah perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada
ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan kepayahan dan
melahirkannya dengan kepayahan (pula). Dia mengandungnya sampai masa
menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila anak itu mencapai dewasa
dan mencapai usia empat puluh tahun, dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah
aku petunjuk supaya aku mensyukuri nikmatMu yang Engkau anugerahkan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat mengerjakan amal
saleh yang Engkau meridhainya, dan berilah kebaikan kepadaku (juga) pada
keturunanku. Sesungguhnya aku taubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)”.
Uraian: Ayat ini menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang tua,
karena suatu hari nanti kita pun akan menjadi orang tua yang mana akan
memiliki keturunan, maka hendaknya kita bertaubat dan mensyukuri atas
apa yang dianugerahkan Allah SWT pada kita dan selalu mengerjakan amal
sholeh seperti yang telah di perintahkan Allah SWT. Serta tak lupa juga
kita berdoa kepada-Nya, agar kita dan keturunan-keturunan kita selalu
diberi kebaikan oleh Allah.
Akhlak Kepada Sesama Manusia
- Adh Dhuhaa : 9-1
- (9) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
- وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10)
- وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
“Maka ada pun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau hinakan.” (9)
“Dan terhadap orang yang minta (bertanya) maka janganlah engkau hardik.”
(10) “Dan dapun nikmat Tuhanmu, maka beritakanlah.” (11)
Uraian: Kita sebagai sesama manusia janganlah saling menghina dan
mengolok-olok karena kita semua adalah ciptaan Allah SWT dan bila kita
mendapat suatu nikmat dari Allah, hendaknya kita berbagi kepada yang
lain.
- Al Balad : 12-16
- وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12)
- فَكُّ رَقَبَةٍ (13)
- أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14)
- يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15)
- أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ (16)
“Dan tahukah engkau apa jalan yang mendaki itu?” (12) “Melepaskan
perbudakan.” (13) “atau memberi makan pada hari kelaparan” (14)
“terhadap anak yatim yang sekerabat” (15) “atau orang miskin yang
kepayahan.” (16)
Uraikan: Maksud dari ayat tersebut menjelaskan bahwa jalan mendaki
adalah jalan yang merajuk pada perbuatan yang baik atau terpuji, atau
dijalan yang baik dijalan Allah. Perbuatan konsep “mendaki” dalam ayat
ini membebaskan perbudakan (hamba sahaya), memberi makan pada hari
kelaparan (dimana seseorang atau suatu kaum tengah kekurangan dalam segi
pangan dalam waktu yang singkat atau panjang), terhadap anak yatim yang
sekerabat (mengasuh/memelihara anak yatim dan tidak menghardiknya,
serta merawat mereka dengan penuh keikhlasan didasari pada ridha
illahi), atau orang miskin yang kepayahan (memberi bantuan pada orang
yang tidak mampu dalam segi finansial). Bisa ditarik kesimpulan mendaki
disini adalah sesuatu yang membantu dalam jalur kebaikan yang merangkul
orang-orang yang dalam belenggu kesusahan.
- Al Insaan : 8-11
- وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
- إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
- إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا
“Mereka (di dunia) memberi makan yang dikasihinya kepada orang miskin,
anak yatim, dan orang-orang tawanan.” (8) “(Mereka berkata), “Hanyasanya
kami memberi makan kepada kamu karena mengharap keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dan tidak (pula) terima kasih dari kamu.” (9)
“Sesungguhnya kami takut kepada Tuhan kami pada hari yang sangat
bermasam muka.”” (10) “Maka Allah melindungi mereka (orang-orang mukmin)
dari kesusahan di hari itu dan memberikan kepada mereka kesegaran dan
kegembiraan.” (11)
Uraian: Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa dalam memberikan
pertolongan terhadap orang dalam kesulitan harus didasari ridha Allah
SWT dan tidak menharapkan balasan orang lain atau ria terhadap apa yang
telah kita perbuat hanya untuk menarik simpati khalayak. Kita harus
takut akan Allah memberikan balasannya dihari akhir bagi orang-orang
yang ria terhadap perbuatannya. Sesungguhnya Allah akan memberikan suatu
kemudahan bagi orang-orang mukmin dijalan kebaikan.
Akhlak Bertetangga
- An Nisaa’ : 36-37
- وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ
ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ
كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)
- الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ
مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
عَذَابًا مُهِينًا (37)
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun, dan berbuat baiklah untuk ibu bapak, kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan budak-budak
kamu. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong lagi
membangga-banggakan diri.” (36) “(yaitu) orang-orang yang kikir dan
menyuruh orang lain berlaku kikir, dan menyembunyikan apa yang diberikan
Allah kepadanya dari karunia-Nya. Dan kami menyediakan bagi orang-orang
kafir azab yang menghinakan.” (37)
Uraikan: Kita dilarang mempersekutukan Allah terhadap apapun, Tuhan
hanya satu yaitu Allah. Sebagai makhluk sosial yang diciptakan Allah,
hendaknya kita menjalin tali silahturahmi dengan baik kepada keluarga,
teman, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga, musafir dan
budak-budak. Saat bersosialisasi itu kita tidak boleh ria terhadap
mereka karena apa yang kita dapat semua itu dari datangnya dari Allah
SWT dan Allah telah menyiapkan azab bagi orang-orang kafir yang
mempunyai kelakuan bertolak belakang dengan itu.
Bergaul Dengan Sesama saudara Muslim dengan Akhlak Yang Baik
Sebagai agama yang penuh kasih sayang sesama manusia khususnya terhadap
sesama muslim yang disebutkan saling bersaudara satu sama lainnya
mutlak dilandasi dengan akhlak yang baik, dimana akhlak yang baik
mempunyai keutamaan dalam Islam. Dan Islam memerintahkan kepada umatnya
untuk berakhlak yang baik dalam melakukan pergaulan, sesuai dengan
hadits yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi rahimahullaah ta’ala dari
Abu Dzar radhyallaahu’anhu :
سنن الترمذي ١٩١٠: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي
ثَابِتٍ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقِ
اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا
أَبُو أَحْمَدَ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبٍ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ مَحْمُودٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ
عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ عَنْ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَحْوَهُ قَالَ مَحْمُودٌ وَالصَّحِيحُ حَدِيثُ أَبِي ذَرٍّ
Sunan Tirmidzi 1910: dari Abu Dzar ia berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku: "Bertakwalah kamu kepada
Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah setiap keburukan dengan
kebaikan yang dapat menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan
akhlak yang baik." Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih.
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam telah pula memerintahkan kepada
umat Islam agar memperlakukan orang dengan akhlak yang b aik,
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad rahimahullaah
ta’ala dalam Musnad beliau dari Mu’adz radhyallaahu’anhu :
مسند أحمد ٢٠٩٨٤: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبِ
بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ عَنْ مُعَاذٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا
مُعَاذُ أَتْبِعْ السَّيِّئَةَ بِالْحَسَنَةِ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ
فَقَالَ وَقَالَ وَكِيعٌ وَجَدْتُهُ فِي كِتَابِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَهُوَ
السَّمَاعُ الْأَوَّلُ قَالَ أَبِي وَقَالَ وَكِيعٌ قَالَ سُفْيَانُ
مَرَّةً عَنْ مُعَاذٍ
Musnad Ahmad 20984: dari Mu'adz bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam bersabda padanya; "Hai Mu'adz! Ikutilah keburukan dengan
kebaikan niscaya akan menghapusnya dan perlakukan orang dengan akhlak
yang baik."
Sesama Muslim Saling Bersaudara
Islam telah mensyari’atkan bahwa orang-orang yang beriman yang dalam hal
ini adalah orang orang muslim sesungguhnya satu sama lain saling
bersaudara . Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya agar memperbaiki hubungan antara sesama saudaranya. Hal
ini ditegaskan Allah ta’ala dalam firman –Nya :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(QS.Al Hujuraat : 10)
Di dalam ayat lain disebutkan pula Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ
نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا
حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ
لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.( QS.Ali Imran: 103 )
Ayat Allah itu membawa suatu petunjuk kepada kita bahwa orang beriman
itu saling bersaudara satu sama lain tidak saling bermusuhan dan
bersatu dalam islam.