Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Akhlaq


Amirul Mukminin Sayyidina Ali  berkata: 

لَوْ كُنَّا لاَ نَرْجُوْ جَنَّةً وَلاَ نَخْشَى نَارًا وَلاَ ثَوَابًا وَلاَ عِقَابًا، لَكَانَ يَنْبَغِيْ لَنَا أَنْ نَطْلُبَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ، فَإِنَّهَا مِمَّا تَدُلُّ عَلَى سَبِيْلِ النَّجَاحِ

(Apabila kita tidak mengharap surga dan tidak takut neraka, dan tidak mengharap pahala dan siksa, maka sepatutnya kita mencari akhlak yang mulia. Karena akhlak mulia dapat menunjukkan kepada kita jalan keselamatan).

Agama Islam memiliki dua dasar dalam melakukan perbuatannya dalam sehari-hari, maka dasar akhlak tasawuf juga berasal dari dua sumber itu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Dinyatakan dalam hadits Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam

عَنْ اَنَسٍ ابْنِ مَالِكٍ قَالَ النَّبِىُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ.

“Dari Anas bin Malik berkata: Bersabda Nabi SAW: telah ku tinggalkan atas kamu sekalian dua perkara yang apabila kamu berpegang pada keduanya maka tidak akan tersesat yaitu kitab Allah dan sunnah RosulNya”.

Dengan demikian diketahui bahwa dasar-dasar atau pegangan orang Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang mana orang yang melakukan syariat-syariat islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka orang itu tidak akan merasa rugi.

Ahklak merupakan suatu sifat-sifat baik dan buruknya manusia. Mempelajari ahklak merupakan cara seorang muslim untuk menjaga sikapnya. Kata akhlak secara etimologi berasal dari kata al-akhlaaqu yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluqu yang berarti tabiat, kelakuan, perangai, adat kebiasaan atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak itu berarti perangai, tabiat atau sistem perilaku yang dibuat.Dengan mengetahui mana ahklak yang baik dan buruk kita dapat memahami bagaimana cara bersikap kita sehari-hari. Rasulullah saw merupakan tauladan akhlak kita sebagai seorang muslim. Akhlak rasulullah merupakan akhlak yang paling sempurna.

Firman Alloh Subhanahu Wata'ala 

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sungguh engkau (Muhammad) berada di atas tataran akhlak yang tinggi, agung.”(Al Qur’an, Al-Qalam 68:4)

Profil akhlakuk karimah sudah terdapat pada diri Rasulullah SAW untuk kita jadikan contoh dan suri tauladan. Allah SWT berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“ Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat suri tauladan yang baik bagimu “ (Q.S Al-Ahzab [33] : 21)

Dalam beberapa riwayat di sebutkan, dari Abu Hurairah radiallahu "anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).” (HR. al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381 al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273) dan at-Tarikhul Kabir (7/188), al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/613), al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1165), Ibnu Abi ad-Dunya dalam Makarimul Akhlaq (no. 13) dan lain lain). 

Pada sebagian riwayat:

لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Ketika ummul mu'minin Aisyah radiallahu "anha di tanya tentang akhlaknya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka beliau menjawab:

كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

“Akhlak Rasulullah n adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Dan banyak lagi dalil dalil yang menunjukan akan ketinggian akhlak Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Dan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. diutus oleh Allah untuk mengajari akhlak yang paling mulia kepada manusia.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah ia yang memiliki akhlak terbaik. Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya kepada pasangannya.” (Hadits riwayat Tirmidzi)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ قَائِمِ اللَّيْلِ صَائِمِ النَّهَارِ

Dari ‘Aisyah – semoga Allah meridhainya – berkata, “Aku mendengar Nabi – shallallaahu ‘alaihi wassalaam – berkata, sungguh orang-orang yang beriman dengan akhlak baik mereka bisa mencapai (menyamai) derajat mereka yang menghabiskan seluruh malamnya dalam sholat dan seluruh siangnya dengan berpuasa.” [Musnad Imam Ahmad]

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ

Abu Darda’ meriwayatkan: Aku mendengar Nabi Muhammad saw berkata, “Tak ada yang lebih berat pada timbangan (Mizan, di hari Pembalasan) dari pada akhlak yang baik. Sungguh, orang yang berakhlak baik akan bisa setara dengan mereka yang berpuasa dan sholat.” (Hadits riwayat al-Tirmidzi)


Akhlak tepuji sangatlah tinggi kedudukannya dimata Allah swt, bahkan meskipun seseorang lemah dalam beribadah, namun akhlaknya mulia maka kedudukannya lebih tinggi dari pada orang yang pandai beribadah tapi akhlaknya buruk.

Dalam haditsnya beliau bersabda:

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال : لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم فَاحِشاً وَلاَ مُتَفَحِّشاً وَكَانَ يَقُوْلُ : إِنَّ مِنْ خِيَارُكُمْ أَحْسَنُكُمْ أًخْلاَقاً رواه البخاري.

 Dari Abdullah bin Amru  berkata: Nabi  tidak pernah berbuat keji sendiri tidak pula berbuat keji kepada orang lain. Beliau bersabda: “Sesungguhnya termasuk sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR Bukhari)

Terpesona dengan akhlak Nabi shalallahu 'alaihi wasallam

Telah banyak kisah-kisah yang kita baca dan dengar yang bisa kita ambil pelajaran yang sangat agung, tentang menusia-manusia terbaik umat ini dari kalangan sahabat-sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, dan orang orang yang mengikuti mereka dengan baik, bahkan para malaikat sekalipun, tentang keteladanan mereka di dalam meraih kecintaan kepada Rasulullah  shalallahu 'alaihi wasallam. diantara kisah kisah tersebut:

1. Kecintaan malaikat Jibril dan Mikail ‘alaihimas salam kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ وَأَبُوْ أُسَامَةَ عَنْ مِسْعَرٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَعْدٍ قَالَ:
رَأَيْتُ عَنْ يَمِينِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ شِمَالِهِ يَوْمَ أُحُدٍ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا ثِيَابُ بَيَاضٍ مَا رَأَيْتُهُمَا قَبْلُ وَلاَ بَعْدُ يَعْنِي جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ عَلَيْهِمَا السَّلاَم

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr dan Abu Usamah dari Mis’ar dari Sa’d bin Ibrahim dari Bapaknya dari Sa’d dia Radhiyallahu’anhu berkata: Di hari terjadinya perang Uhud, aku melihat dua orang berpakaian putih-putih. Masing-masing berada di kanan dan kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelum dan sesudah itu. Mereka ialah Jibril dan Mikail ‘alaihimas salam. (Shahih Muslim 2306)

و حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنَا سَعْدٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُ يَوْمَ أُحُدٍ عَنْ يَمِينِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ يَسَارِهِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا ثِيَابٌ بِيْضٌ يُقَاتِلاَنِ عَنْهُ كَأَشَدِّ الْقِتَالِ مَا رَأَيْتُهُمَا قَبْلُ وَلاَ بَعْدُ

Dan telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Abdus Shamad bin Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’adtelah menceritakan kepada kami Sa’d dari Bapaknya dari Sa’d bin Abu Waqqash Radhiyallahu’anhu, dia berkata: Sungguh aku melihat pada hari terjadinya perang Uhud dua orang laki-laki berpakaian serba putih. Masing-masing berada di kanan dan di kiri beliau. Keduanya ikut berperang dengan gagah berani. Aku tidak pernah melihat keduanya sebelum dan sesudah itu.(Shahih Muslim 2306)

2. Kecintaan mailaikat penjaga gunung terhadap Nabi shalallahu 'alaihi wasallam

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah Anda pernah melewati (merasakan) suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari perang Uhud?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

"Sungguh aku banyak merasakan gangguan (perlakuan jahat) dari kaummu. Dan gangguan paling berat yang datang dari mereka adalah ketika kejadian pada hari Al-Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal namun dia tidak mau memenuhi keinginanku. Lalu aku pergi dengan wajah sedih, aku tidak sadar kecuali aku telah berada di Qarnu ats-Tsa’aalib. Aku mengangkat kepalaku ternyata aku berada di bawah awan yang menaungiku, dan ternyata di atasnya ada Jibril ‘alaihissalam, lalu dia memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan apa bantahan mereka kepadamu. Dan Dia (Allah) telah mengutus kepadamu Malaikat penjaga gunung, untuk kamu perintahkan sesuai kehendakmu terhadap mereka. ”  Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku, lalu memberi salam kepadaku kemudian berkata, “Wahai Muhammad, apa yang kamu inginkan katakanlah. Jika kamu ingin aku akan timpakan kepada mereka dua gunung Akhsyab (niscaya akan aku lakukan).” Maka Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,  ” Tidak (aku tidak ingin itu), akan tetapi aku berharap kepada Allah bahwa akan terlahir dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bukhari no. 3059 dan Muslim no. 4754 dan redaksi ini ada dalam Shahih al-Bukhari).

3. Kecintaan Abu tholib kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam

Diriwayatkan dari Al Fadhl bin Sahl Abul Abbas Al A’raj Al Baghdadi ia berkata, Abdurrahman bin Ghazwan Abu Nuh menuturkan kepadaku, Yunus bin Abi Ishaq mengabarkan kepadaku, dari Abu Bakr bin Abi Musa, dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, ia berkata:

خَرَجَ أَبُو طَالِبٍ إِلَى الشَّامِ ، وَخَرَجَ مَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَشْيَاخٍ مِنْ قُرَيْشٍ ، فَلَمَّا أَشْرَفُوا عَلَى الرَّاهِبِ هَبَطُوا ، فَحَلُّوا رِحَالَهُمْ , فَخَرَجَ إِلَيْهِمُ الرَّاهِبُ وَكَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ يَمُرُّونَ بِهِ , فَلَا يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ وَلَا يَلْتَفِتُ ، قَالَ : فَهُمْ يَحُلُّونَ رِحَالَهُمْ فَجَعَلَ يَتَخَلَّلُهُمُ الرَّاهِبُ حَتَّى جَاءَ فَأَخَذَ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : هَذَا سَيِّدُ الْعَالَمِينَ , هَذَا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ يَبْعَثُهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ، فَقَالَ لَهُ أَشْيَاخٌ مِنْ قُرَيْشٍ : مَا عِلْمُكَ ؟ فَقَالَ : إِنَّكُمْ حِينَ أَشْرَفْتُمْ مِنَ الْعَقَبَةِ لَمْ يَبْقَ شَجَرٌ وَلَا حَجَرٌ إِلَّا خَرَّ سَاجِدًا ، وَلَا يَسْجُدَانِ إِلَّا لِنَبِيٍّ , وَإِنِّي أَعْرِفُهُ بِخَاتَمِ النُّبُوَّةِ أَسْفَلَ مِنْ غُضْرُوفِ كَتِفِهِ مِثْلَ التُّفَّاحَةِ ، ثُمَّ رَجَعَ فَصَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا فَلَمَّا أَتَاهُمْ بِهِ وَكَانَ هُوَ فِي رِعْيَةِ الْإِبِلِ , قَالَ : أَرْسِلُوا إِلَيْهِ , فَأَقْبَلَ وَعَلَيْهِ غَمَامَةٌ تُظِلُّهُ ، فَلَمَّا دَنَا مِنَ الْقَوْمِ وَجَدَهُمْ قَدْ سَبَقُوهُ إِلَى فَيْءِ الشَّجَرَةِ ، فَلَمَّا جَلَسَ مَالَ فَيْءُ الشَّجَرَةِ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : انْظُرُوا إِلَى فَيْءِ الشَّجَرَةِ مَالَ عَلَيْهِ ، قَالَ : فَبَيْنَمَا هُوَ قَائِمٌ عَلَيْهِمْ وَهُوَ يُنَاشِدُهُمْ أَنْ لَا يَذْهَبُوا بِهِ إِلَى الرُّومِ ، فَإِنَّ الرُّومَ إِذَا رَأَوْهُ عَرَفُوهُ بِالصِّفَةِ فَيَقْتُلُونَهُ ، فَالْتَفَتَ , فَإِذَا بِسَبْعَةٍ قَدْ أَقْبَلُوا مِنَ الرُّومِ فَاسْتَقْبَلَهُمْ ، فَقَالَ : مَا جَاءَ بِكُمْ ؟ قَالُوا : جِئْنَا إِنَّ هَذَا النَّبِيَّ خَارِجٌ فِي هَذَا الشَّهْرِ , فَلَمْ يَبْقَ طَرِيقٌ إِلَّا بُعِثَ إِلَيْهِ بِأُنَاسٍ , وَإِنَّا قَدْ أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بُعِثْنَا إِلَى طَرِيقِكَ هَذَا ، فَقَالَ : هَلْ خَلْفَكُمْ أَحَدٌ هُوَ خَيْرٌ مِنْكُمْ ؟ قَالُوا : إِنَّمَا أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بِطَرِيقِكَ هَذَا ، قَالَ : أَفَرَأَيْتُمْ أَمْرًا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِيَهُ هَلْ يَسْتَطِيعُ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ رَدَّهُ ؟ قَالُوا : لَا ، قَالَ : فَبَايَعُوهُ وَأَقَامُوا مَعَهُ ، قَالَ : أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ أَيُّكُمْ وَلِيُّهُ ، قَالُوا : أَبُو طَالِبٍ فَلَمْ يَزَلْ يُنَاشِدُهُ حَتَّى رَدَّهُ أَبُو طَالِبٍ ، وَبَعَثَ مَعَهُ أَبُو بَكْرٍ بِلَالًا وَزَوَّدَهُ الرَّاهِبُ مِنَ الْكَعْكِ وَالزَّيْتِ

“Abu Thalib pergi ke Syam dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pergi dengannya bersama dengan pembesar-pembesar kaum Quraisy. Ketika mereka menjumpai seorang rahib, mereka singgah dan berhenti dari perjalanan mereka. Lalu seorang Rahib pun keluar menemui mereka. Padahal biasanya pada waktu-waktu sebelum itu, rahib tersebut tidak pernah keluar dan tidak peduli ketika mereka melewatinya.
Abu Musa berkata; “Lalu mereka meletakkan perbekalan mereka, kemudian Rahib itu membuka jalan hingga mereka sampai di hadapannya. Lalu ia memegang tangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamsambil berkata: “Anak ini akan menjadi penghulu semesta alam, anak ini akan menjadi Rasul dari Rabbul ‘Alamin yang akan di utus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam”.
Maka pembesar Quraisy berkata: “Dari mana Anda tahu hal itu?”. Rahib menjawab: “sebenarnya semenjak kalian tiba di ‘Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan melainkan mereka bersimpuh  sujud, dan mereka tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi. Selain itu, aku juga dapat mengetahui dari stempel kenabian yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang mirip seperti buah apel”.
Kemudian Rahib itu kembali ke dalam dan menyiapkan makanan. Ketika Rahib mendatangi rombongan, Nabi sedang berada diantara unta-unta. Rahib itu berkata: “tolong utuslah beberapa orang untuk menjemputnya dari sana”. Maka kemudian Nabi datang dengan dinaungi sekumpulan awan di atas beliau. Ketika Rahib mendekati rombongan, ia temukan mereka tengah berebutan mencari naungan dari bayang-bayang pohon. Anehnya ketika Nabi duduk, justru bayang-bayang pohon itu menaungi beliau. Kontan si Rahib mengatakan: ‘coba kalian perhatikan, bayang-bayang pohon justru menaunginya’.
Abu Musa berkata, ketika sang rahib berdiri menghadap rombongan, ia memberi peringatan agar rombongan tidak meneruskan perjalanan ke Romawi. Sebab jika mereka melihatnya, tentu mereka akan mengetahuinya dengan tanda-tandanya itu, dan mereka akan membunuhnya’. Ketika sang rahib menoleh, ternyata ada tujuh orang yang baru datang dari Romawi dan menemui rombongan. Rahib bertanya kepada mereka: ‘apa yang membuat kalian datang kemari?’. Rombongan itu menjawab: ‘Begini,kami berangkat karena ada seorang nabi yang diutus bulan ini. Oleh karena itu tak ada rute jalan lagi melainkan pasti diutus beberapa orang untuk mencarinya. Dan kami diberi tahu bahwa ia akan ditemui di rute ini’. Si rahib lantas bertanya: ‘Apakah dibelakang kalian ada rombongan lain yang lebih baik dari kalian?’. Mereka menjawab: ‘hanya kami yang diberi tahu bahwa ia akan ditemui di rute ini’. Si rahib bertanya lagi: ‘Menurut kalian, jika Allah berkeinginan untuk memutuskan sesuatu adakah orang yang dapat menolaknya? Mereka berkata: ‘Tentu tidak ada’. Selanjutnya rombongan dari Romawi itu berbaiat kepada si rahib dan tinggal bersamanya.
Rahib bertanya: ‘Saya nasehatkan kalian untuk berpegang pada Allah, namun siapa walinya anak ini?’. Rombongan Quraisy menjawab: ‘Abu Thalib’. Si rahib tiada henti-hentinya menasehati Abu Thalib hingga ia mau mengembalikan Nabi ke Mekkah. Abu Bakar juga memerintahkan Bilal untuk menemaninya, sedangkan si rahib memberinya bekal berupa kerupuk dan minyak” 

Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam ‎Jami’-nya (3583), Al Hakim dalam Al Mustadrak (4167), Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah (386), Ibnu ‘Asakir dalamTarikh Dimasyqi (811), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (35852), dan beberapa huffadz yang lain.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

لما توفى النبي صلى الله عليه وسلم واستُخلف أبو بكر وكفر من كفر من العرب قال عمر : يا أبا بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمِرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله ، فمن قال لا إله إلا الله عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ؟ قال أبو بكر : والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة ، فإن الزكاة حق المال ، والله لو منعوني عناقا كانوا يؤدونها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم لقاتلتهم على منعها . قال عمر : فو الله ما هو إلا أن رأيت أن قد شرح الله صدر أبي بكر للقتال فعرفت أنه الحق

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata: ‘Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran‘”

Begitu tegas dan kerasnya sikap beliau sampai-sampai para ulama berkata:

نصر الله الإسلام بأبي بكر يوم الردّة ، وبأحمد يوم الفتنة

“Allah menolong Islam melalui Abu Bakar di hari ketika banyak orang murtad, dan melalui Ahmad (bin Hambal) di hari ketika terjadi fitnah (khalqul Qur’an)”

Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang menemani Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam di gua ketika dikejar kaum Quraisy Allah Ta’ala berfirman,

ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا

“Salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita”” (QS. At Taubah: 40)

As Suhaili berkata: “Perhatikanlah baik-baik di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  berkata ‘janganlah kamu bersedih’ namun tidak berkata ‘janganlah kamu takut’ karena ketika itu rasa sedih Abu Bakar terhadap keselamatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mendalam sampai-sampai rasa takutnya terkalahkan”.

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, Abu Bakar berkata kepadanya:

نظرت إلى أقدام المشركين على رؤوسنا ونحن في الغار فقلت : يا رسول الله لو أن أحدهم نظر إلى قدميه أبصرنا تحت قدميه . فقال : يا أبا بكر ما ظنك باثنين الله ثالثهما

“Ketika berada di dalam gua, aku melihat kaki orang-orang musyrik berada dekat dengan kepala kami. Aku pun berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, kalau di antara mereka ada yang melihat kakinya, mereka akan melihat kita di bawah kaki mereka’. Rasulullah berkata: ‘Wahai Abu Bakar, engkau tidak tahu bahwa bersama kita berdua yang ketiga adalah Allah’”
Ketika hendak memasuki gua pun, Abu Bakar masuk terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada hal yang dapat membahayakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Juga ketika dalam perjalanan hijrah, Abu Bakar terkadang berjalan di depan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, terkadang di belakangnya, terkadang di kanannya, terkadang di kirinya.

Abu Bakar Ash Shiddiq menginfaqkan seluruh hartanya ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan sedekah, Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نتصدق ، فوافق ذلك مالاً فقلت : اليوم أسبق أبا بكر إن سبقته يوما . قال : فجئت بنصف مالي ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما أبقيت لأهلك ؟ قلت : مثله ، وأتى أبو بكر بكل ما عنده فقال : يا أبا بكر ما أبقيت لأهلك ؟ فقال : أبقيت لهم الله ورسوله ! قال عمر قلت : والله لا أسبقه إلى شيء أبدا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka kami pun melaksanakannya. Umar berkata: ‘Semoga hari ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar’. Aku pun membawa setengah dari seluruh hartaku. Sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya: ‘Wahai Umar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Kujawab: ‘Semisal dengan ini’. Lalu Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bertanya: ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Abu Bakar menjawab: ‘Ku tinggalkan bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya’. Umar berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selamanya’” (HR. Tirmidzi)

Ajaran Akhlak Dalam Islam 

Ajaran islam secara umum mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah, ajaran yang bersifat batiniyah nanti akan menimbulkan hati mareka menjadi keras. Dengan demikian unsur kehidupan tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam yaitu As-Sunnah, Al-Qur’an serta praktek kehidupan nabi dan para sahabatnya, antara lain Al-Qur’an menerangkan tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai dengan tuhan . 

Hal itu difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ( المائدة : 54)

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersifat lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersifat keras pada orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela, itulah karunia Allah, diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi maha mengetahui “. (Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54)

Allah juga memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan selalu memohon ampun kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (التحريم : 8)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surge yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia, sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mengatakan, “ Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”. (Q. S. At Tahrim [66] :8).


Orang yang berakhlak berarti ia berilmu, tapi ilmu itu tergantung orang yang memilikinya, ada yang baik dan ada yang buruk. Berarti akhlak sangat berkaitan dengan ilmu. Apabila memiliki ilmu yang baik, maka kemungkinan besar orang itu bisa berbuat kebaikan atau berakhlak dengan baik. 

Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan tentang keutamaan orang yang berilmu, salah satunya dalam surat Ali-Imran:18 yang artinya,” Allah bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan melainkan Dia (Allah), yang menegakkan keadilan.para malaikat dan orang-orang berilmu (juga ikut bersaksi). Tiada tuhan melainkan Dia, yang maha perkasa lagi maha bijaksana” (QS. Ali-Imran:18).

Akhlak Kepada Kedua Orang Tua 

Sesungguhnya Al Quran itu tidak akan berdialog dengan akal kecuali apabila ada ingin mengingatkan akan hakikat ilmiah dan pikiran semata. Namun apabila Al Quran hendak beridialog dengan perasaan yang tersembunyi dalam jiwa, maka Al Quran akan memakai sarana penggambaran dan deskripsi, lalu meletakkannya dalam khayalan pembaca dan pendengarnya, ibarat kaca paling bening yang mampu memantulkan gambar yang kita inginkan dengan lebih jelas dan nyata.

Bisa jadi Al Quran memaparkan gambaran ini ke dalam jiwa kita hanya dengan satu kata atau dengan beberapa ayat, sesuai dengan kondisi, artikulasi dan konteks pembicaraan.

Perhatikanlah beberapa ayat, di antaranya;

- Al Israa’ : 23-24

- وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) 
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu menetapkan bahwa janganlah kamu menyembah melainkan kepadaNya, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak. Jika sampai salah seorang mereka itu atau keduanya telah tua dalam pemeliharaanmu (berusia lanjut), maka janganlah engkau katakan kepada keduanya “ah”, dan janganlah engkau bentak keduanya, dan berkatalah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (23) “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah, “Hai Tuhanku, kasihanilah keduanya, sebagaimana mereka telah memeliharaku waktu kecil”. (24) 


Ayat ini berdialog dengan akal manusia, memerintahkan manusia agar tidak beribadah kepada selain Allah, berbakti kepada kedua orang tua, tidak menyakitinya dengan kata ataupun perbuatan, namun agar perintah-perintah ini bisa dilaksanakan dengan baik, maka ia butuh ketundukan hati pada Allah yang harus digerakkan, sekaligus juga penerimaan akal sehat terhadap perintah ini, lalu di kata apakah Allah tumbuhkan dan gerakkan perasaan hati yang tunduk tersebut?

Rahasia jawabannya adalah ada di kata عِنْدَكَ “indaka.” Seandainya kata ini dihilangkan, maka hilanglah faktor terbesar yang memiliki pengaruh dalam hati, satu kata namun penuh dengan segudang perasaan yang mempengaruhi jiwa manusia, karena ayat ini memberikan gambaran kepada pembaca dan pendengarnya kondisi kedua orang tuanya yang sudah beranjak tua dan lemah, kemudian kedua orang tua itu hidup nyaman dalam naungan kasih dan sayangnya, setelah dulunya ia dalam naungan kasih dan sayang kedua orang tuanya.

Lihatlah bagaimana Allah menggugah rasa empati dan kasih sayang yang ada dalam jiwa seorang anak dengan gambaran yang diletakkan di depan matanya, tanpa memakai sarana petunjuk, arahan dan peringatan akal pikiran. Seandainya gambaran itu digantikan dengan ungkapan peringatan, ancaman atau semisalnya, maka akan ada pembatas antara akal dengan persepsi jiwa akan gambaran yang cukup menyakitkan itu, dan jauhlah arahan moral itu dari pengaruh kejiwaan yang diinginkan.

Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, kita diharuskan untuk menyembah hanya kepadaNya. Kita dilarang berbuat yang tidak baik kepada orang tua, bahkan untuk berkata “ah” saja kita dilarang. Saat orang tua kita sudah berusia lanjut, mereka membutuhkan kita (sebagai anak) untuk merawat mereka dengan penuh kasih sayang seperti mereka saat merawat kita dari kecil hingga sekarang. Diwajibkan bagi kita untuk berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadaNya untuk kebahagian mereka di dunia maupun di akhirat. 

- Al Ahqaaf : 15 

- وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ 

“Dan Kami telah perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan kepayahan dan melahirkannya dengan kepayahan (pula). Dia mengandungnya sampai masa menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila anak itu mencapai dewasa dan mencapai usia empat puluh tahun, dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk supaya aku mensyukuri nikmatMu yang Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat mengerjakan amal saleh yang Engkau meridhainya, dan berilah kebaikan kepadaku (juga) pada keturunanku. Sesungguhnya aku taubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)”. 

Uraian: Ayat ini menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karena suatu hari nanti kita pun akan menjadi orang tua yang mana akan memiliki keturunan, maka hendaknya kita bertaubat dan mensyukuri atas apa yang dianugerahkan Allah SWT pada kita dan selalu mengerjakan amal sholeh seperti yang telah di perintahkan Allah SWT. Serta tak lupa juga kita berdoa kepada-Nya, agar kita dan keturunan-keturunan kita selalu diberi kebaikan oleh Allah.

Akhlak Kepada Sesama Manusia 


- Adh Dhuhaa : 9-1

- (9) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
- وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10) 
- وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)

“Maka ada pun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau hinakan.” (9) “Dan terhadap orang yang minta (bertanya) maka janganlah engkau hardik.” (10) “Dan dapun nikmat Tuhanmu, maka beritakanlah.” (11)

Uraian: Kita sebagai sesama manusia janganlah saling menghina dan mengolok-olok karena kita semua adalah ciptaan Allah SWT dan bila kita mendapat suatu nikmat dari Allah, hendaknya kita berbagi kepada yang lain. 

- Al Balad : 12-16
- وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) 
- فَكُّ رَقَبَةٍ (13) 
- أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) 
- يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15) 
- أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ (16)

“Dan tahukah engkau apa jalan yang mendaki itu?” (12) “Melepaskan perbudakan.” (13) “atau memberi makan pada hari kelaparan” (14) “terhadap anak yatim yang sekerabat” (15) “atau orang miskin yang kepayahan.” (16) 

Uraikan: Maksud dari ayat tersebut menjelaskan bahwa jalan mendaki adalah jalan yang merajuk pada perbuatan yang baik atau terpuji, atau dijalan yang baik dijalan Allah. Perbuatan konsep “mendaki” dalam ayat ini membebaskan perbudakan (hamba sahaya), memberi makan pada hari kelaparan (dimana seseorang atau suatu kaum tengah kekurangan dalam segi pangan dalam waktu yang singkat atau panjang), terhadap anak yatim yang sekerabat (mengasuh/memelihara anak yatim dan tidak menghardiknya, serta merawat mereka dengan penuh keikhlasan didasari pada ridha illahi), atau orang miskin yang kepayahan (memberi bantuan pada orang yang tidak mampu dalam segi finansial). Bisa ditarik kesimpulan mendaki disini adalah sesuatu yang membantu dalam jalur kebaikan yang merangkul orang-orang yang dalam belenggu kesusahan. 

- Al Insaan : 8-11 

- وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا 
- إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا 
- إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا 
فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا

“Mereka (di dunia) memberi makan yang dikasihinya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang-orang tawanan.” (8) “(Mereka berkata), “Hanyasanya kami memberi makan kepada kamu karena mengharap keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak (pula) terima kasih dari kamu.” (9) “Sesungguhnya kami takut kepada Tuhan kami pada hari yang sangat bermasam muka.”” (10) “Maka Allah melindungi mereka (orang-orang mukmin) dari kesusahan di hari itu dan memberikan kepada mereka kesegaran dan kegembiraan.” (11)

Uraian: Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa dalam memberikan pertolongan terhadap orang dalam kesulitan harus didasari ridha Allah SWT dan tidak menharapkan balasan orang lain atau ria terhadap apa yang telah kita perbuat hanya untuk menarik simpati khalayak. Kita harus takut akan Allah memberikan balasannya dihari akhir bagi orang-orang yang ria terhadap perbuatannya. Sesungguhnya Allah akan memberikan suatu kemudahan bagi orang-orang mukmin dijalan kebaikan. 

Akhlak Bertetangga

- An Nisaa’ : 36-37 

- وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36) 
- الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (37) 

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah untuk ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan budak-budak kamu. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri.” (36) “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berlaku kikir, dan menyembunyikan apa yang diberikan Allah kepadanya dari karunia-Nya. Dan kami menyediakan bagi orang-orang kafir azab yang menghinakan.” (37) 

Uraikan: Kita dilarang mempersekutukan Allah terhadap apapun, Tuhan hanya satu yaitu Allah. Sebagai makhluk sosial yang diciptakan Allah, hendaknya kita menjalin tali silahturahmi dengan baik kepada keluarga, teman, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga, musafir dan budak-budak. Saat bersosialisasi itu kita tidak boleh ria terhadap mereka karena apa yang kita dapat semua itu dari datangnya dari Allah SWT dan Allah telah menyiapkan azab bagi orang-orang kafir yang mempunyai kelakuan bertolak belakang dengan itu.

Bergaul Dengan Sesama saudara Muslim dengan Akhlak Yang  Baik

Sebagai agama yang  penuh kasih sayang sesama manusia khususnya terhadap sesama muslim yang disebutkan saling bersaudara satu sama lainnya mutlak dilandasi dengan  akhlak yang baik, dimana akhlak yang baik mempunyai keutamaan dalam Islam. Dan Islam memerintahkan kepada umatnya untuk berakhlak yang baik dalam melakukan pergaulan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi rahimahullaah ta’ala dari Abu Dzar radhyallaahu’anhu :

سنن الترمذي ١٩١٠: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ مَحْمُودٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ مَحْمُودٌ وَالصَّحِيحُ حَدِيثُ أَبِي ذَرٍّ

Sunan Tirmidzi 1910: dari Abu Dzar ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku: "Bertakwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah setiap keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan akhlak yang baik." Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih.

Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam telah pula memerintahkan kepada umat Islam agar memperlakukan orang  dengan akhlak yang b aik, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad rahimahullaah ta’ala  dalam  Musnad beliau dari Mu’adz radhyallaahu’anhu :

مسند أحمد ٢٠٩٨٤: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ عَنْ مُعَاذٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ أَتْبِعْ السَّيِّئَةَ بِالْحَسَنَةِ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
فَقَالَ وَقَالَ وَكِيعٌ وَجَدْتُهُ فِي كِتَابِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَهُوَ السَّمَاعُ الْأَوَّلُ قَالَ أَبِي وَقَالَ وَكِيعٌ قَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً عَنْ مُعَاذٍ

Musnad Ahmad 20984: dari Mu'adz bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda padanya; "Hai Mu'adz! Ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya akan menghapusnya dan perlakukan orang dengan akhlak yang baik."

Sesama Muslim Saling Bersaudara

Islam telah mensyari’atkan bahwa orang-orang yang beriman yang dalam hal ini adalah orang orang muslim sesungguhnya satu sama lain saling bersaudara . Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya  agar memperbaiki hubungan antara sesama saudaranya. Hal ini ditegaskan Allah ta’ala dalam  firman –Nya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(QS.Al Hujuraat : 10)

Di dalam ayat lain disebutkan pula Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.( QS.Ali Imran: 103 )

Ayat Allah itu membawa suatu petunjuk kepada kita bahwa orang beriman  itu saling bersaudara satu sama lain tidak saling bermusuhan  dan bersatu dalam islam.

 

Penjelasan Tentang Tanggung Jawab Manusia



حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."(Sahih Bukhari)

Manusia adalah makhluk yang paling mulia di sis Allah SWT. Manusia memiliki keistimewaan yang menyebabkannya berbeda dengan makhluk yang lain, karena padanya terdapat, akal, daya berpikir, kalbu, dan nafsu. Oleh karena itu, ia menjadi makhluk yang menerima taklif, memiliki ikhtiar dan iradah.

Manusia sebagai makhluk individual artinya manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya (baik jasmani maupun rohani). Sedangkan dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak dapat memisahkan diri dari lingkungannya, karena dirinya terikat dan butuh terhadap masyarakat. Selain makhuk individual dan sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Dengan demikian, manusia harus mempertanggung jawabkan dirinya dihadapan Tuhan, baik secara individual, sosial, maupun sebagai makhluk Tuhan.

Tanggung jawab manusia terhadap dirinya muncul sebagai akibat keyakinan terhadap suatu nilai. Demikian pula tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya, kesadaran atas keyakinan dan ajaran-Nya, larangan dan perintah-Nya. Rasa tanggung jawab inilah yang akan memanusiakan manusia, dan mengantarkan manusia pada Tuhannya. Namun, jika tanggung jawab ini diabaikan, maka akan semakin terperosok dalam kebinatangannya hingga tidak lagi mengenal lagi nilai-nilai manusia.

Alloh S‎ubhanahu Wata'ala Berfirman;

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)
 
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS An-Naml: 93)
 
Ayat tersebut memaparkan sebuah landasan dan kaidah umum yang menyangkut hubungan Allah Swt dengan manusia lewat firman-Nya, Allah Swt tidak berkehendak memaksa manusia untuk beriman kepadanya, tapi Allah menginginkan manusia memilih akidah dan ajaran atas kehendak dan pilihan mereka sendiri. Tapi karena manusia tidak memilih agama dan akidah yang satu, mereka memiliki beragam agama dan kepercayaan. Meski demikian, Allah Swt telah memberikan sarana yang dapat menjadi petunjuk bagi manusia, yaitu petunjuk fitrah dan akal yang berasal dari dalam diri manusia dan para nabi dan kitab suci. Manusia dapat memilah antara kebenaran dan kebatilan lewat sarana tersebut.
 
Allah Swt tidak akan menghalangi orang-orang yang memilih jalan kesesatan dan berpaling dari jalan kebenaran. Demikian juga, orang-orang yang memilih jalan kebenaran, Allah akan membantu mereka meniti jalan yang benar ini. Perlu diketahui bahwa kehendak dan kebebasan untuk memilih ini bukan berarti bentuk penistaan atas tanggung jawab. Manusia harus bertanggung jawab atas apa yang mereka pilih. Manusia tidak dipaksa untuk memilih sesuatu. Setiap orang berhak menentukan pilihannya; baik itu jalan kebenaran atau kesesatan. Tapi tanggung jawab, pahala dan siksa tetap pada posisinya.
 
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di antara Sunnah Ilahi adalah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihan dan mereka juga bebas memilih jalan hidupnya masing-masing.
2. Semua perbuatan dan tingkah laku manusia baik itu kecil atau besar akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat.
 
Firman Alloh Ta'ala
 
وَلَا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (94) وَلَا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (95)
 
Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (QS An-Naml: 94)
 
Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS An-Naml: 95)

Ayat ini menjelaskan tentang haram dan pentingnya sumpah dan janji. Allah Swt berfirman, penyalah gunaan ajaran-ajaran sakral agama seperti sumpah untuk kepentingan dunia akan berdampak pada melemahnya keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap agama dan akan menyebabkan mereka menyimpang dari jalan kebenaran. Orang-orang yang telah menghalangi manusia dari jalan kebenaran akan mendapat kesulitan dan masalah pertama mereka di dunia. Mereka juga akan mendapat siksa yang pedih di Hari Kiamat. Oleh sebab itu, jangan menjual nama Allah sebagai sumpah untuk memperoleh kepentingan dunia dan materi di dunia.
 
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian dosa dapat menjadi pendorong untuk melakukan dosa-dosa lain. Kita harus mengenal dosa-dosa tersebut guna mencegah merebaknya perbuatan dosa itu di tengah masyarakat.
2. Setiap perbuatan yang bertujuan melemahkan pondasi agama harus kita cegah, meski perbuatan itu tergolong kecil.
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (96)
 
Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS An-Naml: 93)
 
Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang runtuh imannya karena godaan harta dan dunia. Mereka juga mempermainkan nilai-nilai suci agama dan menjual akhirat yang kekal dengan dunia yang bersifat sementara. Allah berfirman, mungkin saja perbuatan tersebut akan memenuhi keinginan duniawi mereka, tapi bukankah kalian mengetahui bahkan kalian tidak hidup kekal di dunia ini. Dan apa yang telah kalian peroleh juga akan hilang begitu cepat. Padahal, jika kalian melakukan transaksi dengan Allah, perbuatan baik kalian akan terjaga dan kekal di sisi-Nya.
 
Namun semua mengetahui bahwa meninggalkan perbuatan haram dan merasa cukup dengan hal-hal yang halal dibutuhkan kesabaran dan kemampuan menahan diri. Orang-orang yang mampu menahan diri dari perbutan haram, mereka tidak diberikan balasan biasa, tapi Allah akan memberikan balasan terbaik untuk mereka.
 
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketabahan untuk menjaga janji-janji dengan Allah Swt dan menjauhi perbuatan haram, merupakan perbuatan yang sulit dan harus siap melawan hawa nafsu. Namun ketabahan dan kesulitan ini akan mendatangankan kebahagiaan dan kesuksesan di akhirat.
2. Allah Swt adalah sebaik-baik pembeli manusia. Dia akan membeli barang yagn sedikit dengan harga yang sangat tinggi dan menjadikan manusia sukses.


Ada sebuah hadits yang selalu menjadi alas perbincangan dalam masalah kepemimpinan. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar sebagai berikut:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." (HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy,IV/6, hadits no. 2751 dan HR Muslim, Shahîh  Muslim, VI/7, hadits no. 4828)

Salah satu syarah (penjelasan atas hadits tersebut menyatakan bahwa sejak penghujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Sebagian sosiolog menyatakan bahwa terjadinya gejala semacam itu memiliki beberapa sebab. Menurut pendapat mereka, ada dua penyebabnya utamanya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral (Moral Hazard). Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tidak ber-‘kuasa’ lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (Great Leader) seperti pada masa-masa silam.

Kenyataan ini dikeluhkan – misalnya — oleh seorang sosiolog Barat, Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang sangat kontroversial, “Leadershipis Dead: How Influence is Riviving it” (Kepemimpinan Telah Mati: Bagaimana Pengaruh yang Merupakan Inti Kepemimpinan Bisa Dihidupkan Kembali). Dikatakan olehnya, bahwa para pemimpin di masa sekarang ini lebih banyak menuntut, bukan memberi, menikmati, bukan melayani, dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.

Dalam Fikih Politik Islam, prinsip akhlak terpuji (mabda’ al-akhlâq al-karîmah) yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan para pemimpin adalah “kemaslahatan umat”. Dikatakan dalam kaedah fikih: tasharruf al-imâm`alâ al-ra`iyyah manûthun bi al-mashlahah(tindakan pemimpin atas rakyat seharusnya selalu terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan rakyat yang dipimpinnya, bukan – justeru — untuk kebaikan diri dan kelompoknya.

Kaedah ini diturunkan dari prinsip akhlak kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w., seperti yang disebutkan di dalam al-Quran.

Ada tiga karakteristik (panduan akhlak) kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. berdasarkan Firman Allah,

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).

Pertama, azîzun ‘alaihi mâ ‘anittum (berat dirasakan oleh Nabi s.a.w. – sebagai pemimpin — penderitan orang lain yang dipimpinnya). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.

Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan untuk memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi penderitaan orang yang tengah mengalami kesulitan.

Kedua, harîshun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain merasa tenang, aman, nyaman, nikmat dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa yang dipimpinnya meraih kemajuan.

Tugas pemimpin, antara lain — memang sudah seharusnya — menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, raûfun rahîm (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad s.a.w. adalah juga pengasih dan penyayang.

Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasulullah s.a.w. itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik.

Sabda Rasulullah s.a.w.,

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ.

“Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap (kebaikan) kasih-sayang darinya.” (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Jarir bin Abdullah, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, halaman 12, hadits nomor 6013)

Dalam sejarah  kehidupan manusia, telah muncul istilah kepemimpinan sejak Nabi Adam di turunkan kemuka bumi ini.pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan.

Begitu juga sejak awal agama islam berkembang, Nabi Muhammad selain sebagai  seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama islam tetapi juga seorang kepala negara dan kepala rumah tangga. paling tidak dalam catatan sejarah kenabian yang terdokumentasi dalam hadits-hadits yang tetap terjaga dan masih bisa digunakan sampai saat ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.

“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya” .Meskipun yang di pimpin hanyalah diri sendiri tetap akan di minta pertanggung jawaban nantinya dan setiap pemimpin itu adalah pelayan masyarakat karena ia harus memenuhi segalanya apa yang di inginkan rakyat dalam hal kebaikan bersama dan rakyatpun mempunyai keterbatasan dalam hal mematuhi pemimpin.

Tanggung Jawab Kepada Allah SWT.

Pertanyaan yang selalu membayangi kehidupan manusia ialah dari mana asala kita? untuk apa kita diciptakan? siapa pencipta alam semesta ini? apa yang diinginkan sang pencipta dari ciptaannya?. Mungkin saja sebagian orang dikarenakan kelalaian, ketidak tahuan, pembangkangan, dan pemberontakan mengabaikan panggilan fitrahnya hingga tidak mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Namun sudah selayaknya sebagai rasa terima kasih, manusia mimiliki tanggung jawab mencari dan mengenal penciptanya. Atas dasar ini, ada beberapa tanggung jawab yang dipikul manusia, diantaranya adalah;

a. Makrifatullah (Mengenal Allah).

Makrifah adalah mengenal hakekat atau menemukan jalan menuju hakekat. Dan puncak hakekat itu sendiri adalah Dzat Allah SWT. Sebagaimana imam Ali as berkata;

معرفة الله سبحانه اعلى المعارف

“Pengetahuan tentang Allah adalah pengetahuan yang paling tinggi”

Pengetahuan semacam ini akan mensucikan dan memberiskan diri manusia, bahkan sampai pada pengesahan Allah SWT. Sebagaimana imam Ali as mengatakan;

من عرف الله توحّد

“Barangsiapa yang mengenal Allah, ia akan men-tauhidkan-Nya”.

من عرف كفّ

“Barangsiapa yang mengenal Allah, dirinya akan terjaga”.

Rasulullah Saw juga mengatakan;

من عرف الله و عظّمه منع فاه من الكلام و بطنه من الطعام و عنّى نفسه بالصيام و القيام

“Barangsiapa yang mengenal Allah dan mengagungkan-Nya, mulutnya akan tercegah (dari perkataan keji) dan perutnya akan tercegah dari makanan (haram), serta memberatkan dirinya dengan puasa dan sholat malam”.

Sebaliknya al-Quran mengecam orang-orang yang taklid buta, tanpa punya dasar pengetahuan yang benar. Sebagaimana firman-Nya;

و من الناس من يجادل في الله بغير علم و يتبع كل شيطان مريد كتب عليه انه من تولّاه فانه يضلّه و يهديه الى عذاب السعير

“Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu dan hanya mengikuti para setan yang sangat jahat. Telah ditetapkan bahwa siapa yang berkawan dengan dia, maka dia akan menyesatkannya, dan membawahnya ke azab neraka”.

b. Taat dan Penghambaan Pada Allah.

Manusia makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia wajib taat dan menghambakan dirinya pada Tuhan. Penghambaan berati penyerahan diri sepenuhnya pada Allah, dan itu merupakan perwujudan tanggung jawab Allah SWT. Akan tetapi penghambaan tanpa makrifat mustahil terealisasi, karena penghambaan buah dari makhrifat.

Sebagaimana Quran membagi manusia pada mukmin dan kafir, hidayat dan dhalal, taat dan membangkang, muwahid dan musyrik, alim dan jahil, mukmin dan fasiq, muslih dan mufsid berdasarkan penghambaan pada Allah SWT. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman;

و من يطع الله و رسوله و يخش الله و يتّقه فأولئك هم الفائزون

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”.

Dalam hadits mi’raj, Allah juga menjelaskan kepada Rasulullah tentang hakekat penghambaan dengan menyebutkan 7 sifat, yakni;

يا احمد! ها تدري متى يكون (لي) العبد عابدا قال لا يا ربّ قال اذا اجتمع فيه سبع خصال: ورع يحجزه عن المحارم، و صمت يكفّه عمّا لا يعنيه، و خوف يزداد في كل يوم من بكائه، و حياء يستحى مني في الخلاء، و اكل ما لابدّ منه و يبغض الدنيا لبغضى لها، و يحب الاخيار لحبى لهم

“Ya Ahmad! Apakah kamu tahu kapan seorang hamba menjadi seorang ‘abid’, Rasul menjawab, ‘tidak ya Allah’. Lalu Allah SWT berkata ketika 7 sifat ada padanya; Sifat wara’ yang mencegahnya dari hal-hal yng diharamkan, Sifat diam yang tidak berbicara hal yang tidak penting, Sifat takut yang setiap harinya membuat ia bertambah menangis, Sifat malu padaku meskipun dalam kesendirian, makan yang tidak ada jalan lain, membenci dunia dikarenakan Aku membencinya, mencintai orang-orang baik dikarenakan Aku menyukainya”.

c. Cinta Ilahi

Cinta dalam bahasa Arab, antara lain, disebut hubb atau mahabbah. Kedua kata ini mengandung arti cinta sepenuh hati, tulus, penuh komitmen dan ketaatan. Orang yang mencintai Allah berarti selalu menghadirkan Allah dalam hati, pikiran dan amal perbuatannya. Buah dari makrifat dan penghambaan diri adalah kecintaan yang tulus pada Allah SWT.

Energi cinta Ilahi melahirkan rasa ikhlas dan tidak berat hati dalam beribadah, komitmen kuat untuk berbuat yang terbaik semata-mata mengharapkan ridha-Nya. Mahabbah yang sejati hanya menomorsatukan cintanya kepada Allah, tidak kepada diri sendiri, orang tua, atau orang lain. Sebagaimana imam Ja’far Shodiq as berkata;

لا يمحض رجل الايمان بالله احب اليه من نفسه و ابيه و امّه و ولده و اهله و ماله و من الناس كلهم

“Tidak ada seorang yang tulus keimanannya kecuali Allah SWT lebih ia cintai dari dirinya, ayahnya, ibunya, anaknya, keluarganya, dan hartanya serta seluruh manusia”.

 Sebagaimana dalam surat at-Taubah ayat 24 Allah SWT menjelaskan dengan gamblang hasil dari cinta ilahi. Bahwa mencintai Allah akan menafikan selain-Nya.

d. Berprasangka Baik Kepada Allah.

Berprasangka baik kepada Allah merupakan ibadah hati yang mulia. Sikap ini tidak hanya berpengaruh secara lahiriah saja, bahkan berpengaruh besar pada hati, akal dan pikiran manusia. Seorang mukmin tidak akan berprasangka buruk kepada Allah SWT. Ia selalu memanggil-Nya dengan penuh cinta dalam keadaan apapun. Sebagaimana al-Quran menggambarkan getaran cinta seorang mukmin ketika mendengar nama-Nya;

انما المؤمنون الذين اذا ذكر الله وجلت قلوبهم

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya”.

Sebaliknya Allah SWT mengecam orang-orang yang berprasangka buruk kepada-Nya, dan memanggilnya dengan sebutan nifaq dan syirk, sebagaimana firman-Nya;

ويعذّب المنافقين و المنافقات و المشركين و المشركات الظانين بالله ظنّ السوء

“Dan ia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan juga orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah SWT”.

Baik sangka kepada Allah dan terhadap janji kasih sayang, kemurahan, rahmat, dan inayah-Nya adalah salah satu tanda keimanan, sekaligus perantara keselamatan dan kebahagiaan. Rasulullah Saw berkata, “Tiada seorang hamba bersangka baik terhadap Allah, melainkan Allah akan berlaku terhadapnya sebagaimana yang ia sangkakan”.

Dalam hadits lain imam Ali bin Musa as berkata, “Berbaik sangkalah terhadap Allah! karena Allah SWT (dalam hadis qudsi) berfirman, “Aku ada dalam sangka baik hamba-ku yang beriman! jika ia berbaik sangka terhadap-Ku, aku berlaku baik terhadapnya. Jika ia berburuk sangka terhadap-Ku, Aku berlaku buruk terhadapnya”.

Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri

Setiap manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggung jawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas. Dengan demikian, setiap orang islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa di dasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Maka dari itu setiap manusia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Tanggung jawab terhadap diri sendiri yaitu menentukan kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Sehingga dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. Menurut sifat dasarnya manusia adalah mahluk yang memiliki rmoral, tetapi manusia juga merupakan makhluk yang pribadi. Makhluk pribadi adalah manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, cita-cita sendiri, dan sebagai perwujudan dari pendapat, perasaan dan angan-angan itu manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan, kekeliruan, baik yang sengaja maupun yang tidak. Tanggung jawab terhadap diri sendiri di antaranya, jujur terhadap diri sendiri, menjaga kesehatan dan kesejahtraan mental dan fisik, menjaga keseimbangan hidup, mengenali kekuatan  dan kelemahan diri, menilai diri secara rutin, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak diri sendiri, menjaga seluruh yang terdapat dalam diri, serta menggunkan anggota tubuh sesuai dengan kegunaannya.

Tanggung Jawab Pemimpin Negara

Seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyat dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat, maka ia harus bisa menjaga dan melaksanakan amanat tersebut, jika tidak ia tidak akan merasakan harumnya surga, apalagi merasakan kenikmatan menjadi penghuni surga.

حـديث معقـل بن يسـار عن الحسـن أنّ عبيد الله بن زيـاد عـاد معقل بن يستار في مـرضه الّذي مـات فيه ,فقـال له معقل : اني محـدّثك حـديثـا سمعته من رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم . سمعت رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم يقول : مـامن عبد استرعـاه الله رعـيّة فـلم يحـطّهـا بنصيحة الاّ لم يجـد رائحة الجـنّة ( أخرجه البـخـاري في كتب الأحـكـام, بـاب من استرعي رعـيّة فـلم ينصـح )

"Al-hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma'qal ibn Yasar R.A ketika ia sakit yang menyebabkan kematianya, maka Ma'qal berkata kepada Ubaidilah Ibn Ziyad "aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadith yang telah aku dengar dari Rasulullah SAW, aku mendengar nabi bersabda: tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik maka Allah tidak akan merasakan kepadanya harumnya surga". (dikeluarkan oleh imam Bukhori dalam kitab Hukum bab orang yang diberi amanat kepemimpinan).

Seorang pemimpin bukanlah manusia yang bebas berbuat dan memaksakan kehendaknya dan kemauanya terhadap masyarakat, tetapi seorang pemimpin adalah orang yang bisa mengayomi masyarakat, bisa memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat sebagaimana Firman Allah SWT:

واحـفض جنـاحك لمن اتبعـك من المؤمنين (الشعـراء :‎215)

Artinya : Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dan kaum mukminin (Al-Syuara' : 215).

Seorang pemimpin wajib memiliki hati yang melayani atau akuntabilitas (accountable). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan kepada Allah kelak di akhirat nanti. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Oleh karena itu pemimpin mempunyi tanggung jawab yang sangat besar bagi bangsa ataupun organisasi yang dipimpin, baik itu di dunia ataupun di akhirat nanti.

Tanggung Jawab Terhadap Keluarga

Setiap muslim wajib bertanggung jawab terhadap keluarganya, suami memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak istri dan anak-anaknya, begitupun sebaliknya seorang istri mempunya keharusan untuk memelihara suami dan anak-anaknya. Islam memberikan tanggung jawab yang begitu agung kepada keluarga baik dia seorang ayah maupun ibu untuk memberikan pendidikan, pengetahuan, dakwah dan bimbingan kepada anggota keluarga. Pembinaan yang demikian inilah yang akan menyelamatkan dan memberikan penjagaan kepada diri dan keluarga sebagaimana perintah Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”( Q.S.at-Tahrim/66:6).

Seorang suami wajib melindungi, memelihara dan menjaga keluarganya dengan pendidikan dan akhlak yang mulia serta memberi nafkah. Nafkah  yaitu harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Quran.

Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Seorang istri juga mempunyai keharusan untuk menjaga suami dan anak-anaknya dari hal-hal yang melanggar syariat islam, serta memelihara harta dan kehormatan keluarga sebagaimana yang di ajarkan oleh agama islam.

Q.S.Luqman/31:12-19

وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)

Artinya: ”Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(12) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”(13) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(14) Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15) Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.(16) Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).(17) Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(18) Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.(19)”.(Q.S.Luqman/31:12-19).

Pengertian Anak dan Hakikatnya Bagi Orangtua

Secara etimologi dapat diartikan anak yang sudah berumur enam tahun.Secara terminologi anak adalah masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan yakni kira-kira usia dua tahun sampai saat anak matang secara seksual.

Sedangkan hakikat anak bagi orangtua adalah:

1) Anak adalah Amanah.

Anak merupakan amanah dari Allah Swt yang diberikan kepada setiap orangtua,anak juga buah hati,anak juga cahaya mata,tumpuan harapan serta kebanggaan keluarga.Anak adalah generasi mendatang yang mewarnai masa kini dan diharapkan  dapat membawa kemajuan dimasa mendatang.Anak juga merupakan ujian bagi setiap orangtua sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :

    وَاعْلَمُواأَنَّمَاأَمْوَالُكُمْ أَوْلَادُكُمْوَفِتْنَةأَنَّوَهُعِندَ اللَّهَ أَجْرٌعَظِيمٌ     

Artinya :”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar.” (QS.al-Anfal ayat 28).
            
 Ayat tersebut diatas,menjelaskan salah satu ujian yang diberikan Allah kepada orang tua adalah anak-anak mereka.Itulah sebabnya setiap orangtua hendaklah benar-benar bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan Allah Swt sekaligus menjadi batu ujian yang harus dijalankan.Jika anak yang di didik mengikuti ajaran Islam maka orangtua akan memperoleh ganjaran pahala yang besar dari hasil ketaatan mereka.
           
Namun,fenomena yang ada menunjukkan masih banyak orangtua yang tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.Masih banyak anak-anak yang tidak memperoleh haknya dari orangtua mereka seperti;hak mendapatkan perawatan dengan penuh kasih sayang,hak memperoleh pendidikan yang baik dan benar,hak menerima nafkah yang halal dan baik,dan sebagainya.

Surah Al-Anfal/8:27

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman,janganlah kalian mengkhianati (amanat) Allah dan Amanat Rasul,dan janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang diamanatkan kepada kalian,sedangkan kamu mengetahui”. (Q.S. al-Anfal/8:27)
                                                         
Surah An-Nisa/4:09

Artinya:”Dan hendaklah takut (kepada Allah daripada melakukan aniaya kepada anak-anak yatim) oleh orang-orang (yang menjadi penjaganya), yang jika ditakdirkan mereka pula meninggalkan anak-anak yang daif (yatim) di belakang mereka, (tentulah) mereka akan merasa bimbang terhadap (masa depan dan keselamatan) anak-anak mereka; oleh itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang betul (menepati kebenaran)”. (Q.S.an-Nisa/4:09)

2) Anak adalah Batu Ujian Keimanan Orangtua.

Anak adalah sumber kebahagiaan keluarga.Tetapi disisi lain ia pula merupakan batu ujian keimanan.Sebagaimana dijelaskan dalam Surah al-Anfal/8:28:

عَظِيمٌ جْرٌأَ عِندَ اللَّهَ   فِتْنَةٌ وَاعْلَمُواأَنَّمَاأَمْوَالُكُمْأَوْلَادُكُمْوَأَنَّوَهُ   

Artinya:”Dan ketahuilah,bahwa harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah (batu ujian keimanan) dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar.”(QS. al-Anfal/8:28)26

3) Anak adalah Makhluk Independen.

Yang dimaksud dengan makhluk independen dalam hal ini adalah ciptan Allah yang berdiri sendiri,memiliki takdir tersendiri  dan merupakan individu tersendiri yang terlepas dari individu lain termasuk kedua orangtuanya sekalipun.

Orangtua memang berkewajiban merawat,mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Namun perlu disadari bahwa mereka adalah makhluk independen,dimana para orangtua tidak berhak memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka.Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an Surah al-Mu’minun/23:12-14:

 * مّكِينٍ  قَرَارٍ فِي نُطْفَةً جَعَلْنَاهُ ثُمّ * طِينٍ مّن  سُلاَلَةٍ مِن  الإِنْسَانَ  خَلَقْنَا لَقَدْوَ
 فَكَسَوْنَا عِظَاماً الْمُضْغَةَ فَخَلَقْنَا مُضْغَةً لْعَلَقَةَ ا فَخَلَقْنَا عَلَقَةً لنّطْفَةَ ا خَلَقْنَا ثُمّ
الْخَالِقِينَ أَحْسَنُ اللّهُ فَتَبَارَكَ آخَرَ خَلْقاً أَنشَأْنَاهُ  ثُمّ لَحْماً الْعِظَامَ

Artinya:”Dan sesungguhnya kami (Allah) telah menciptakan manusia (Adam) dari saripatih tanah.Kemudian kami jadikan manusia (berikutnya) dari air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim ibu).Kemudian air mani itu kami ciptakan menjadi segumpal darah,dari segumpal darah kami ciptakan menjadi segumpal daging,dari segumpal daging kami ciptakan menjadi tulang-belulang,lalu kami jadikan tulang-belulang yang terbungkus daging itu sebagai makhluk tersendiri. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (al-Mu’minun/23:12-14)

Kata Khalqun Akhar dalam ayat di atas maksudnya sekalipun anak dilahirkan orangtua,namun pada hakikatnya dia merupakan individu yang berbeda dengan siapapun, termasuk kedua orangtuanya.Bahkan dia juga memiliki takdir tersendiri yang belum tentu sama dengan kedua orangtuanya.

4) Anak Sebagai Sumber Kasih Sayang.

Surah Al-Furqan/25:74

إِمَامًا لِلْمُتَّقِينَ  وَاجْعَلْنَا أَعْيُ قُرَّةَ  وَذُرِّيَّاتِنَا أَزْوَاجِنَا مِنْ لَنَا هَبْ رَبَّنَ يَقُولُونَ  وَالَّذِينَ

”Dan orang-orang yang berkata,”ya Tuhan kami,anugerakanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Furqan/25:74)

5) Anak Sebagai Pelestari Pahala

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”‎ (HR. Muslim no. 1631)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...