Sabtu, 28 November 2020

Penjelasan Tentang Wasiat Rosululloh SAW



‎‎
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ 
وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ 
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ 
‏مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّار.

Kata wasiat itu berasal dari bahasa arab, terambil dari kata was-sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dan sebagainya. Adapun pengartiannya menurut istilah syariah ialah pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang akan meninggal dunia berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.
Selain masalah pembagian harta, wasiatpun terkadang menjadi perdebatang antar ahli waris dari orang yang meninggal dunia. Apakah itu adil? Dia bukan siapa-siapa kita? Dia tidak pernah berjasa untuk kita? Kapan wasiat itu dilakukan? Apakah dia berhak mendapatkanya, bagian kita nanti menjadi kurang?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan diatas, mari kita melihat beberapa ayat qur'an dan hadits nabi terkait permasalahan wasiat.

Didalam Al Qur’an disebutkan didalam firman Allah swt :

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
 
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An Nisaa : 12)

Wasiat Rosululloh Tauhid Jadi Prioritas Utama

Bukti bahwa dakwah tauhid yang seharusnya jadi prioritas adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ,

إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ـ وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله ـ فإن هم أطاعوك لذلك، فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن هم أطاعوك لذلك: فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم، فإن هم أطاعوك لذلك فإياك وكرائم أموالهم، واتق دعوة المظلوم، فإنه ليس بينها وبين الله حجاب

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah –dalam riwayat lain: kepada tauhidullah-. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka kamu jauhilah harta mulia mereka. Takutlah kamu terhadap doa orang yang terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dan Allah” (H.R Bukhari 1395 dan Muslim 19)

Dalam hadist ini terdapat pelajaran tentang tahapan dalam berdakwah, yakni memulai dari yang paling penting kemudian baru yang lainnya. Inilah jalan dakwah para rasul, mereka memulainya dengan dakwah kepada kalimat Laa ilaaha ilallah, karena hal ini merupakan pokok dan asas bangunan agama seseorang. Jika telah kokoh syahadatLaa ilaaha ilallah, maka memungkinkan dibangun di atasanya perkara yang lainnya. Adapun jika syahadatnya belum kokoh, maka tidak bermanfaat amal yang lainnya. Tidak mungkin Engkau memerintahkan manusia shalat sementara mereka masih musyrik, Engkau juga tidak bisa memerintahkan puasa, shodaqoh, menyambung silaturahmi sementara mereka masih menyekutukan Allah, karena Engkau tidak meletakkan asas yang pertama.

Hal ini berbeda dengan kondisi para dai hari ini yang tidak memperhatikan tentang dakwah terhadap syahadat Laa ilaaha ilallah. Mereka mengajak manusia untuk meninggalkan riba, bergaul dengan baik sesama manusia, berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, dan permasalaha yang lain, namun mereka tidak mengingatkan tentang perkara tauhid dan tidak memperhatikannya seolah-olah ini bukan sesuatu yang wajib. Bagaimana pun mereka susah payah berjuang namun amalan mereka tidak bermanfaat sehingga mereka memperkokoh pondasi dan pokok yang mendasari  perkara-perkara agama yang lain berupa hukum-hukum, sholat, zakat, haji, dan sebaginya. 

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ {108}

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf:108)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala ‎memerintahkan Nabi-Nya untuk memberitahukan kepada manusia tentang penjelasan manhaj (metode berdakwah) para nabi dan pengikutnya, yakni berdakwah kepada Allah di atas dasar ilmu.  Hal ini menunjukkan barang siapa yang tidak mengajak kepada Allah di atas ilmu maka dia bukanlah pengikut Nabi yang sejati walupun dia seorang fakih yang berilmu.‎
Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat    
         
Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.

Wasiat akan pentingnya persatuan dan tercelanya perpecahan
Dengan   sabdanya: “sesungguhnya bapak kalian adalah bapak yang satu (dari keturunan Adam alaihi wasallam).

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar-Ruum ayat 31-32)

Dan Allah ta’ala juga berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Âli ‘Imrân, 3: 103),

Wasiat mengingatkan bahwa kemulyaan manusia bukan terletak apakah ia orang arab atau non arab, apakah ia orang kulit putih atau hitam tetapi kemulyaan akan di raih dengan ketakwaan”

Dengan sabdanya: tidak ada kelebihan bagi orang yang berkulit merah atas orang yang berkuli hitam, dan tidak ada kelebihan atas orang yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah kecuali dengan takwa.
Dan Allah ta’ala juga menegaskan di dalam Al Qur’an 

يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَـكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَـرَفُواْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللَّهِ أَتْقَـكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(al hujurot 13)

Wasiat akan bahaya ta’ashub atau fanatik golongan, kesukuan, madzhab dan lainnya dalam sabdanya:
 
لاَ فَضْلَ بَيْنَ الْعَرَبِ وَ اْلأَعْجَمِ إِلاَّ بِاالتَّقْوَى

Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang asing kecuali takwa

Oleh karena itu rasulullah shalaullahu ala’ahi wasallam pernah marah kepada kaum muhajirin dan anshar ketika salah satu di antara dua kelompok itu hampir hampir berperang karena adanya fanatik golongan sebagimana di sebut dalam sebuah riwayat ‘Amr bin Dinar rahimahullah dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu,ia berkata:
 
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ الأَنْصَارِىُّ يَا لَلأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِىُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ  

”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada salah satu peperangan, Lalu ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar. Maka orang Anshar tadi pun berteriak:‘Wahai orang Anshar (tolong aku).’ Orang Muhajirin tersebut pun berteriak:‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.’ Mereka berkata:‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’ Beliau bersabda:‘Tinggalkan hal itu, karena hal itu adalah buruk.’” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)‎

Wasiat Rasulullah untuk kembali kepada Al qur'an dan As Sunnah

Di antara wasiat Rasullah terpenting juga adalah suruhan agar umat islam kembali kepada Al Qur'an dan sunnah dalam setiap permasalahan hidup dan kehidupan umat manusia karena tidak ada perkara baik atau buruk , atau perkara yang bisa mengantarkan manusia kedalam sorga dan terhindar dari api neraka kecuali sudah di jelaskan di dalam Al qur'an dan Sunnah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat:

وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ، فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ - رواه مسلم

“Kuwariskan kepadamu sekalian suatu pedoman hidup, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya yaitu Al Qur`an. Kalian semua akan ditanya mengenai diriku, lalu bagaimana nanti jawab kalian?" mereka menjawab: "Kami bersaksi bahwa Anda benar-benar telah menyampaikan risalah, Anda telah menunaikan tugas dan telah memberi nasehat kepada kami." Kemudian beliau bersabda sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan menunjuk kepada orang banyak: "Ya, Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah (HR.Muslim)

Dalam riwayat yang lain:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Dan juga dalam riwayat yang sangat masyhur  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat

عَن العِرْبَاض بنِ سَارِيَةَ رضي الله عَنْهُمَا قالَ: وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَوعِظَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ، وذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كأنَّها مَوعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فأوْصِنا، قال: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، وَإنِّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اِخْتْلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Dari Irbadh bin Sariyah radaullahu a’nhu. berkata: Rasulullah shalaullahu a’alahi wasallam. pernah memberi peringatan kepada kami yang membuat hati bergetar dan mata berlinang. Kami lalu berkata, “Ya Rasulullah, seolah-olah itu peringatan perpisahan. Maka dari itu, berilah kami wasiat.” Beliau bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian seorang budak. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sesudahku, lalu melihat perselisihan yang banyak, maka kalian wajib berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk; gigitlah ia dengan gigi geraham; dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru yang diada-adakan sebab semua bid’ah (perkara baru yang diada-adakan) adalah kesesatan (HR Ahmad, Abu Dawud Ibn Majah, at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata: hadis hasan shahih).

Ada lima poin dalam dua hadits ini yang sangat penting yang merupakan kewajian setiap muslim di antaranya:

Wasiat untuk kembali kepada Al qur'an dan sunnah, 

Hal ini sebagaimana terkandung dalam firmanNya:

‎فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’ : 59]
Allah ta’ala juga berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. قُلْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ فإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Katakanlah, “Taatilah oleh kamu Alloh dan Rosul, jika kamu berpaling (dari ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya) maka sesung guhnya Alloh tidak mencintai orang-orang yang ka fir.” (QS. Ali Imron : 31-32)

Rosululloh shalaillahu a’laihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kalamulloh (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Sunnah), sejelek-jelek perkara adalah yang baru (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.
Dan tidak ada manusia setelah Nabi shalaullahu a’laihi wasallam yang paling meruju’ kepada Al Qur’an dan As Sunnah melainkan para sahabat dan hal ini telah di buktikan lewat sejarah yang telah di cacat para ulama, maka contoh lah mereka karena setiap kebaikan dengan mencontoh salaf dan setiap keburukan karena mencontoh kholaf (orang-orang belakangan)
Imam Ibnu Khuzaimah (wafat 311 H) berkata:

إِنَّ الدِّيْنَ الاتِّبَاعُ

“Sesungguhnya agama (asasnya) adalah ittiba’ (mengikuti al-Qur’an dan Sunnah,).” (Lihat al-Faqih wa al-Mutafaqqih kar. Al-Khotib al-Baghdadi: 1/388) Al-Izzi bin Abdussalam رحمه الله berkata:

                        السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي اتِّبَاعِ الرَّسُولِ صلي الله عليه وسلم

“Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah dalam mengikuti (Fatawa al-lzzi ibn Abdissalam hlm. 319, 353)

Wasiat untuk takwa kepada Allah ta'ala. 

Takwa artinya mewujudkan wiqayah (perisai) diri dari kemurkaan dan azab Allah ta'ala dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Umar radaullahu a’nhu pernah bertanya kepada seorang sahabat yang lain bernama Ubai bin Ka’ab makna taqwa. Lalu Ubai bertanya kepada Umar :“Adakah engkau pernah melalui satu jalan yang berduri? Jawab Umar: “Ya”. Tanya Ubai lagi: “Apakah yang kamu lakukan untuk melalui jalan tersebut?” Jawab Umar : “Aku melangkah dengan waspada dan berhati-hati”. Balas Ubai : “Itulah yang dikatakan taqwa”.
Menurut Ibnu Abbas : “Al-Muttaqin (yakni orang-orang bertaqwa) ialah orang-orang beriman yang memelihara diri mereka dari mensyirikkan Allah dan beramal dengan senantiasa menta’atiNya”.
Menurut Hasan al-Basri : “Orang-orang bertaqwa ialah orang-orang yang memelihara diri dari melakukan perkara yang diharamkan Allah dan mengerjakan apa yang difardhukan Allah ke atas mereka”
        
Wasiat untuk mendengar dan menaati pemimpin.
Rasul shalaullahu a'laihi wasallam. menegaskan pesan ini: “meski yang memimpin (menjadi amir) kalian adalah seorang budak”. Padahal seorang budak, secara syar’i tidak boleh dijadikan pemimpin. dan Sabda Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam,"...Mendengar dan taat..."Maksudnya, adalah mendengar apabila mereka berbicara dan menaati apabila mereka memerintahkan sesuatu. Dalam sebuah riwayat:‎
Wahai manusia bertakwalah kepada Allah hendaklah mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian seorang budak yang cacat selama tegak pada kalian kitabullah azza wajall

Allah ta'ala telah memerintahkan kepada hamba hambanya  untuk menta'ati penguasa.
 
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِيالأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ
مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). ( An Nisaa 83)‎

Allah Ta’ala berfirman,

ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
 إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَة.
 
"Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (HR. Al-Bukhari no. 7144; dan Muslim no. 1839).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,‎‎

مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَنْ يَعْصِنِيْ فَقَدْ عَصَى اللّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ.‎‎

“Barangsiapa taat kepadaku berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada amir (yang Muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir, maka ia bermaksiat kepadaku.” (Muttafaq Alaih).

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَر

“Dan barangsiapa yang berbaiat kepada seorang pemimpin (penguasa) lalu bersalaman dengannya (sebagai tanda baiat) dan menyerahkan ketundukannya, maka hendaklah dia mematuhi pemimpin itu semampunya. Jika ada yang lain datang untuk mengganggu pemimpinya (memberontak), penggallah leher yang datang tersebut.” (HR. Muslim no. 1844).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّة

“Siapapun yang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tak disukainya, hendaklah ia bersabar terhadapnya, sebab siapa yang memisahkan diri sejengkal dari jama’ah lalu dia mati, kecuali dia mati seperti mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari no. 6531 , Muslim no. 3438)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّة

“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan tak mau bergabung dgn jama’ah kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 3436)

 Wasiat untuk kembali kepada manhaj para sahabat terkhusus khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Khulafaur Rasyidin yang disepakati oleh para ulama adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallâh ‘anhum, dan ini adalah kandungan ayat At-Taubah 100:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
 وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.(At Taubah 100)

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرا

“Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’ : 115)

Dan Rasulullah shalaullahu a’laihi wasallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik baik manusia adalah kurunku (generasiku), kemudian orang yang datang setelah mereka, kemu dian orang yang datang setalah mereka“. (HR. Muslim no. 6635)

Wasiat Terjaganya darah, harta dan kehormatan‎

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ : إنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ، وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِي بَنِي سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ‎

Dari Jabir bin Abdillah ra, bahwasanya Rasulullah Shalaullahu a’lahi wasallam berkhutbah dalam Haji Wada’, "Wahai manusia sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini. Ketahuilah, semua yang berbau Jahiliyah telah dihapuskan di bawah undang-undangku, termasuk tebusan darah masa jahilijyah. Tebusan darah yang pertama-tama kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi'ah bin Harits yang disusukan oleh Bani Sa'ad, lalu ia dibunuh oleh Huzail. Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya (HR. Muslim)

Dalam wasiat Nabi shalaullahu a'lahi wasallam ini ada lima wasiat penting di antaranya:

Wasiat akan terjaganya darah seorang muslim, dimana tidak halal bagi seorang muslim untuk menumpahkan darah muslim yang lainnya kecuali dengan hak.

Dan Allah ta’ala berfirman:   
                          
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
 وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.(Al maidah 32)

Rasulullah bersabda :

ان اول ما يحكم بين العباد فى الدماء
Kasus yang pertama diadili di hadapan Allah pada hari kiamat ialah masalah darah (pembunuhan)”( Hadits riwayat Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah dan Turmudzi).‎

 إجتنبوا السبع الموبقات وعدد منها قتل النفس التى حرم الله الا بالحق

Rasulullah bersabda : “Jauhilah olehmu tujuh hal yang merusak”. Kemudian Rasulullah menghitungnya satu per satu, dan salah satu diantaranya ialah : “Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shalaullahu a'alahi wasallam bersabda :

 من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة, وان ريحها يوجد من مسيرة أربعين عاما

"Barangsiapa yang membunuh kafir dzimmy, ia takkan cium baunya surga, sedangkan bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun”( Hadits riwayat Bukhari).

 من قتل قتيلا من أهل الذمة لم يرح رائحة الجنة وان ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما

"Barang siapa membunuh seorang kafir dzimmy, tak dapat mencium baunya surga. Dan sesungguhnya bau surga itu dapat dicium dalam jarak perjalanan empat puluh tahun”( Hadits riwayat Imam Ahmad).

Islam mengecam keras pembunuh orang Islam dan ia akan mendapat hukuman yang paling berat besok di hari kiamat. Allah berfirman  mengenai orang yang membunuh orang Islam:

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. 4 : 93).

 من حمل علينا السلاح فليس منا

“Barangsiapa mengangkat senjata kepada kita dia bukan termasuk golonganku”( Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim).

 سباب المسلم فسوق وقتاله كفر

“Mencaci orang muslim adalah perbuatan kefasikan, dan membunuhnya adalah perbuatan kufur”.( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim ) dan banyak lagi dalil dalil yang mengharamkan pertumpahan darah atau pembunuhan.

‎Wasiat akan terjaganya harta seorang muslim, di mana tidak halal bagi seorang   muslim untuk merampas harta muslim yang lainnya kecuali dengan hak, Pesan ini sesungguhnya menegaskan dari firman Allah Ta’ala :

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
 
Dan janganlah kaliam memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang bathil. Dan janganlah pula kalian membawa urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan cara yang dosa sedangkan kalian mengetahui.

Contoh-contoh perbuatan memakan harta secara bathil:
1.  Suap-menyuap (sogok-menyogok)
2.  Tipuan dalam jual-beli
3.  Riba
4.  Merampas yang bukan haknya
5.  Dusta dalam muamalah
6.  Menunda-nunda pembayaran hutang, padahal dia sudah mampu membayarnya
7.  Sumpah palsu untuk meyakinkan orang
8.  Mengurangi timbangan dan takaran dan lain-lain.

Wasiat akan terjaganya harga diri atau kehormatan seorang muslim, di mana tidak halal bagi seorang muslim untuk merobek kehormatan seorang muslim lainnya

Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu, bahwa beliau Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)

Dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah ‎Shallallahu ’alaihi  Wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu ’alaihi ‎wasallam berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad 3/351)

Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya)

‎Wasiat melarang riba yang merupakan dosa besar yang biasa di lakukan oleh orang orang jahiiyyah dan salah satu riba di zaman itu adalah ribnya Abas bin Abdul Muthallib.
Catatan:
Abas bin Abdul Muthallib merupakan salah seorang paman beliau, yang dahulu melalukan praktek riba jahiliyah. Praktek riba jahiliyah terjadi pada masa tersebut khususnya ketika memasuki masa dagang, baik pada musim dinging (as-syita’) maupun pada musim panas (as-shaif). Pada kedua masa tersebut umumnya masyarakat Arab berdagang ke Syam dan Shan’a (Yaman), untuk waktu yang cukup lama. Kebiasaan mereka pada waktu tersebut adalah terjadi transaksi pinjam meminjam diantara mereka untuk modal perdagangannya. Dan salah satu “tempat peminjaman” yang poluler pada masa tersebut adalah meminjam ke Abas bin Abdul Muthallib paman Rasulullah Shalaullahu a’alahi wasallam. 

Pada masa tesebut, ketika orang meminjam kepada Abas bin Abdul Muthallib serta berjanji akan mengembalikan pinjamannya sepulang dari perjalanan dagangnya (berkisar dua atau tiga bulanan), maka ia harus mengembalikan uang yang dipinjamnya persis sejumlah sejumlah pinjamannya, tidak kurang dan tidak lebih. Namun apabila pada waktu yang telah disepakati si peminjam tidak bisa mengembalikannya dan minta ditangguhkan pembayarannya, maka barulah pada saat terebut dikenakan tambahan (baca ; bunga) atas hutangnya tersebut. Atau dengan kata lain, pada saat tersebut, pinjaman tidak dikenakan bunnnga apabila si peminjam dapat mengemblikan hutangnya tepat waktu. 

Namun apabila pada waktu yang telah ditentukan tidak bisa mengembalikan, barulah dikenakan bunga. Dan ternyata praktek seperti ini disebut oleh Rasulullah Shalaullahu a’alahi wasallam sebagai riba jahiliyah. Itulah sebabnya beliau mengemukakan bahwa, “Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya.”

Allah ta'ala telah berfirman akan bahaya riba:
 
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون  

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamakaan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah ta'ala kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (Al-Baqarah: 275)‎

Dalam hadits, Rasulullah shalaulahu a'alahi wasallam juga mengemukakan :
 
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: (( لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ )) (رواه مسلم)

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (( اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ )) (متفق عليه)
 
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamakaan Allah ta'ala kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).

Dan Secara ringkas tentang bahaya riba adalah:
1.   Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (Al baqoroh : 275).
2.   Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (Al baqoroh  : 275).
3.   Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (Al Baqoroh : 278 – 279).
4.   Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
5.   Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah ta’ala. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
6.   Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
7.   Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah  bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Wasiat agar tidak tidak mengikuti tatacara orang-orang jahiliyyah baik orang-orang musyrikin atau orang-orang kafirin

Allah ta'ala berfirman:

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْل

"Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya’ ;

syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika mengomentari ayat: (Hal ini) merupakan larangan yang bersifat mutlak dalam hal penyerupaan terhadap mereka (orang kafir). Larangan ini juga khusus menyerupai mereka dalam hal kerasnya hati, sedangkan kerasnya hati termasuk di antara buah kemaksiatan” (Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim, 1/290).

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

"Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.” (HR. At-Tirmidzi no. 2695)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031)

Wasiat Rosululloh  untuk berbuat baik kepada istri

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ  فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
 
Dari Jabir bin Abdillah ra, bahwasanya Rasulullah shalaullahu a’lahi wsallam berkhutbah dalam Haji Wada’ Kemudian jangalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas (HR.Muslim).

Dalam wasiat ini ada anjuran untuk para suami untuk memberikan haknya terhadap istri istrinya, dan hal ini kandungna dari firman Allah ta’ala:

 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ 
 
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nissa : 34)‎

Dan kandungan sabda rasulullah shalaullahu a’laihi wasallam:

عن ابن عمرَ رضي اللَّهُ عنهما عن النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « كُلُّكُمْ راعٍ، وكُلُّكُمْ مسئولٌ عنْ رعِيَّتِهِ ، والأَمِيرُ رَاعٍ ، والرَّجُلُ راعٍ علَى أَهْلِ بَيْتِهِ ، والمرْأَةُ راعِيةٌ على بيْتِ زَوْجِها وولَدِهِ ، فَكُلُّكُمْ راعٍ ، وكُلُّكُمْ مسئولٌ عنْ رعِيَّتِهِ » متفقٌ عليه .

Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam Beliau bersabda : “Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang peguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang istri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Wasiat Rosululloh agar berhati-hati dari jerat tipu daya setan
Dari sulaiman bin 'amr bin Al Ahwash dari bapaknya ia berkata: aku mendengar Rasulullah shalaullahu a'laihi wasallam berwasiat ketika haji wada' di hadapan manusia:

أَلَا وَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ مِنْ أَنْ يُعْبَدَ فِي بِلَادِكُمْ هَذِهِ أَبَدًا وَلَكِنْ سَتَكُونُ لَهُ طَاعَةٌ فِيمَا تَحْتَقِرُونَ مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَسَيَرْضَى بِهِ

Ketahuilah sesungguhnya syetan telah putus asa untuk disembah di negeri kalian ini selamanya, namun akan terjadi ketaatan kepadanya dalam amal perbuatan yg kalian remehkan sehingga dia akan ridla kepadanya. (HR. Tirmidzi no. 2085)

Dalam wasiat ini terkandung beberapa poin penting di antaranya:

Wasiat Nabi shalaullahu alaihi wasallam agar berhati hati dari setan dan mengingatkan bahwa setan tidak akan berhenti untuk menggoda dan menyesatkan bani adam sampai kiamat di bangkitkan.‎
Kehebatan para sahabat di zamannya bahwa setan putus asa untuk membuat makar terhadap mereka.

Wasiat Rosululloh anjuran persaudaraan

أَيّهَا النّاسُ اسْمَعُوا قَوْلِي وَاعْقِلُوهُ تَعَلّمُنّ أَنّ كُلّ مُسْلِمٍ أَخٌ لِلْمُسْلِمِ وَأَنّ الْمُسْلِمِينَ إخْوَةٌ فَلاَ يَحِلّ لِامْرِئٍ مِنْ
أَخِيهِ إلاَّ مَا أَعْطَاهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ فَلاَ تَظْلِمُنّ أَنْفُسَكُمْ

Wahai manusia, dengarkan ucapanku dan pahamilah, ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap muslim adalah saudara muslim yang lain, dan sesungguhnya kaum muslimin adalah bersaudara. Seorang mukmin diharamkan mengambil harta yang lain tanpa izin dan keridloan dari pemiliknya, dan janganlah sekali-kali berlaku dzalim.(HR.Muslim)

Dan sesungguhnya satu-satunya Ikatan yang benar dan kokoh yang bisa mengikat umat Islam sebagai umat yang bersaudara adalah Ikatan Akidah Islam yang benar yang sesuai dengan Al Qur’an dan sunah sesuai dengan pemahaman para salafushalih karena darinya termaktub persaudaraan yang agung, bahwa setiap muslim adalah saudara muslim yang lain.

Namun meski demikian  ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak bisa diingkari yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan manusia dalam keadaan senantiasa berselisih pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:

وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. ” (Hud: 118)

Hal ini juga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. ” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2778 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Hikmah dari ketetapan bahwa umat ini akan senantiasa berselisih, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

                                                             وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةًوَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah akan menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlombalah berbuat kebajikan. ” (Al-Maidah: 48)

Wasiat Rosululloh Tentang Maksimalnya Waris

 وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ : قُلْت يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَنَا ذُو مَالٍ ، وَلَا يَرِثُنِي إلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ ، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي ؟ قَالَ : لَا قُلْت : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ؟ قَالَ : لَا قُلْت : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ؟ قَالَ : الثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إنَّك إنْ تَذَرْ وَرَثَتَك أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Dan dari Sa’d Bin Abi Waqqash r.a. beliau berkata: Saya berkata:,” Ya Rasulullah saya orang yang mempunyai harta yang banyak (kaya) dan tidak ada orang yang mewarisi saya kecuali seorang anak perempuan. Apakah saya sedekahkan dua pertiga hartaku? Nabi menjawab: jangan! lalu saya bertanya lagi: Apakah saya sedekahkan separuhnya?, Beliau menjawab, jangan! Saya bertanya lagi: Apakah saya sedekahkan sepertiganya? Beliau bersabda: sepertiga itu. Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan mereka melarat yang akan meminta-minta kepada orang. (Muttafaq Alaih).‎

HUKUM YANG BISA DIAMBIL

Adapun hukum yang bisa diambil dari hadits ini adalah adanya larangan wasiat lebih dari sepertiga itu bagi orang yang mempunyai ahli waris. Dan batas ketentuan ini telah disepakati oleh  para ulama (ijmak ulama).  Akan tetapi, masih menjadi perselisihan dalam hal apakah sepertiga itu paling baik, atau paling sedikit?.‎

Ibnu Abbas, Imam Syafi’i dan sekelompok ulama lainnya mengatakan, bahwa yang lebih baik adalah kurang dari sepertiga berdasarkan sabdanya: “bahwa sepertiga itu, banyak”.

Sedangan menurut Imam Malik, dalam hal  orang yang berwasiat itu tidak mempunyai ahli waris, maka dia disamakan dengan orang yang punya ahli waris, tidak baik baginya lebih dari sepertiga itu. Ulama al-Hadawiyah dan ulama Hanafiyah membolehkan wasiat harta seluruhnya. Dan itu berasal dari pendapat Ibnu Mas’ud. Seandainya ahli waris itu membolehkan wasiat lebih dari sepertiga, maka wasiat itu sah dan berlaku karena mereka ahli waris itu menggugurkan hak mereka sendiri. Demikian pula pendapat mayoritas ulama.

Asbab al-wurud dari hadits ini sudah begitu jelas yaitu tentang seorang sahabat Rasul SAW yang bernama Sa’d bin Khaulah dalam keadaan sakit pada waktuhaji wada’. Kemudian Rasul menjenguknya, lalu Sa’d menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Ini menurut riwayat Az-Zuhri. Ada yang mengatakan bahwa hadits ini turun sewaktu penaklukan kota Mekah. Ini menurut riwayat At-Tirmidzi dan Uyainah.

Hadits ini adalah termasuk hadits shohih karenamarfu’ kepada Nabi dan sanadnya sudah sambung (muttashil).‎

Wasiat Rosululloh Tentang Hablumminalloh dan Hablumminannas‎

Kita mungkin pernah mendengar istilah ulama menyebut “Jawami’ul Kalim”.Istilah itu memiliki makna: bahasa yang singkat, namun punya makna yang sangat mendalam. Hal inilah yang sering kita jumpai dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya dalam hadits berikut,

عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ ” [رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]

“Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah ‎Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan (keburukan). Dan pergauilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih).

Dalam hadits di atas, terkandung 3 wasiat Nabi yang sangat penting, baik hubungan manusia kepada Allah maupun hubungan manusia ke sesama manusia.

1. Perintah Takwa dimana pun kita berada

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ

Nabi tidak hanya memerintahkan takwa semata, namun bertakwa dimana pun kita berada, baik di tengah keramaian maupun di sunyi bersendirian. Inilah takwa yang sebenar benarnya, dan takwa yang paling berat.

Sebagaimana kata Imam Syafi’i rahimahullah

وقال الشافعي : أعزُّ الأشياء ثلاثة : الجودُ من قِلَّة ، والورعُ في خَلوة ، وكلمةُ الحقِّ عند من يُرجى ويُخاف

Imam Syafii mengatakan, “Perkara yang paling berat itu ada 3, dermawan saat memiliki sedikit harta, meninggalkan hal yang haram saat sendirian dan mengatakan kebenaran saat berada di dekat orang yang diharapkan kebaikannya atau ditakuti kejahatannya” (Jami’ Ulum wa Hikam 2/18).

Ketika seorang bersendirian, menyepi tanpa ada yang mengetahui, maka hal itu akan mendorongnya untuk lebih mudah bermaksiat. Kecuali ia sadar betul bahwa Allah senantiasa mengawasinya, dan rasa takutnya menjadi lebih besar sehingga ia tidak berani melakukan kemaksiatan.

Contoh mudah adalah orang yang sedang berpuasa. Ketika berada di khalayak ramai, ia menahan diri dan mengaku berpuasa. Namun ketika bersendirian, ia diam-diam berpuka puasa. Hal ini tidak akan terjadi kecuali ia memiliki rasa takut yang besar kepada Allah.

2. Segera lakukan amal shalih

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَ

Hadits di atas menjelaskan perintah untuk bersegera melakukan kebaikan tatkala terjerumus dalam keburukan. Tidak seperti anggapan sebagian orang, jika sudah terciprat, maka tercebur sekalian saja biar basah. Hal ini adalah anggapan yang sangat keliru. Bahkan hadits yang mulia ini menjelaskan perintah untuk segera bertaubat. Karena taubat adalah bagian dari amal shalih yang paling mulia dan harus disegerakan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Hadits di atas juga menerangkan bahwa perbuatan baik yang dilakukan, akan menghapuskan dosa. Tentunya dosa yang terhapus hanyalah dosa kecil, karena dosa besar hanya terhapus jika pelakunya benar-benar telah bertaubat.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضاَنُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat 5 waktu, dari Jumat ke Jumat selanjutnya, serta Ramadhan ke Ramadhan adalah sebagai penghapus dosa di antara waktu itu, selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233).

Sehingga jelaslah bahwa yang dihapus hanyalah dosa kecil saja. Oleh karena itu, ketika seorang muslim terjerumus dalam dosa dan maksiat, maka wajib baginya untuk segera bertaubat dan melakukan amal shalih.

3. Akhlak Mulia kepada manusia

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Wasiat yang terakhir adalah perintah untuk berakhlak yang mulia kepada sesama manusia. Setelah 2 wasiat di atas menyebutkan perintah yang berhubungan antara Allah dan manusia. Contoh gampang dalam berakhlak mulia adalah senyuman yang diiringi wajah yang berseri dan bertegur sapa ketika bertemu.

Oleh karena itu, Rasulullah mengkaitkan antara akhlak dengan iman yang sempurna. Dimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi No. 2612, ia berkata: Hadits Shahih).

Bahkan dalam hadits lain juga disebutkan bahwa orang yang paling dekat dengan Rasulullah pada hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya. Orang yang memiliki akhlak mulia, tidak hanya dicintai oleh Rasulullah, namun ia akan dicintai oleh manusia yang lainnya.‎

Sebagai penutup dan nasihat untuk diri sendiri, maka jagalah 3 wasiat yang berharga ini. Wasiat yang di dalamnya terdapat hablumminallah dan hablumminannas. Sehingga kita dapat menjadi insan yang dicintai oleh Allah, Rasulullah dan manusia.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ الْمَسَاكِيْنِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ وَتَرْحَمَنِيْ، وَإِذََا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِيْ غََيْرَ مَفْتُوْنٍ، وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ إِلَى حُبِّكَ.

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu".

Wallohu A'lam Bisshowab

 

Penjelasan Tentang Mursyid Dan Tawassul


Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).

Sabda Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam 

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيْعٍِ أخْبَرَنَا أبِيْ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ سَالِمٍِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ أنَّهُ اِسْتَأ ْذَنَ النَّبِيَّ صلعم فِى الْعُمْرَةِ فَقَالَ أَيْ أُخَيَّ اَشْرِكْنَا فِى دُعَائِكَ وَلاَ تَنْسَنَا

Menceritakan kepada kami Sofian bin Waki’, mengabarkan kepada kami Bapakku dari Sofian, dari `Ashim bin Ubaidillah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar bin Khattab, bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab pada waktu minta ljin kepada Nabi SAW untuk melaksanakan ibadat Umrah, maka Nabi bersabda : “Wahai saudaraku Umar, ikut sertakan aku/hadirkan aku,pada waktu engkau berdo’a nanti, dan jangan engkau lupakan aku”. (Hadits ini adalah hadits Hasan Sahih). (HR. Abu Daud dan Turmuzi).

Demikian pula menurut riwayat Saidina Abu Bakar r.a. dan Saidina Ali r.a. menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa mereka tidak pernah lupa, tetapi selalu teringat kepada Rasulullah pada setiap melaksanakan ibadat bahkan sampai pada waktu di kamar kecil. Rasulullah membenarkan apa yang telah mereka alami itu.‎

Pengertian Kedudukan mursyid atau pemimpin peramalan dalam suatu tarikat menempati posisi penting dan menentukan. Seorang mursyid bukan hanya memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah dan pergaulan sehari-hari supaya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam maksiat seperti berbuat dosa besar atau dosa kecil, tetapi juga memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ dan melaksanakan amal-amal sunnah untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Disamping memimpin yang bersifat lahiriah tersebut, seorang mursyid adalah juga pemimpin kerohanian bagi murid-muridnya, menuntun dan membawa murid-muridnya kepada tujuan tarikat guna mendapatkan ridla Allah SWT. Oleh sebab itu seorang mursyid pada hakikatnya adalah sahabat rohani yang sangat akrab sekali dengan rohani muridnya yang bersama-sama tak bercerai-cerai, beriring- iringan, berimam-imaman melaksanakan zikrullah dan ibadat lainnya menuju ke hadirat Allah SWT. 

Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi persahabatan rohaniah ini tetap berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah seorang telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah sederetan duduknya dengan para wali Allah yang saleh. 

As Syekh Muhammad Amin Al Kurdi dalam bukunya yang terkenal “Tanwirul Qulub” menjelaskan bahwa seorang murid/salik dalam usahanya menuju ke hadirat Allah SWT yang didahului dengan tobat, membersihkan diri rohani, kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh haruslah mempunyai Syekh yang sempurna pada zamannya, yang melaksanakan ketentuan syariat berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadis, dan mengikuti peramalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW secara berkesinambungan yang diteruskan oleh para ahli silsilah sampai pada zamannya. 

Seorang mursyid yang silsilahnya berkesinambungan sampai dengan Nabi Muhammad SAW, haruslah mendapatkan izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Dengan demikian seorang mursyid haruslah telah mendapatkan pendidikan yang sempurna, sudah arif billah, seorang wali yang mendapat izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Seorang murid/salik yang bertarikat tanpa Syekh maka mursyidnya adalah syetan. (Amin Al Kurdi, 1994 : 353). Artinya : “Orang yang tidak mempunyai Syekh Mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.” Mursyid itu bukan wasilah, tapi Mursyid itu adalah pembawa wasilah atau hamilul wasilahatau wasilah carrier,menggabungkan wasilah itu kepada wasilah yang telah ada pada rohaniah Rasulullah SAW. 

Sebagai pemimpin rohani mursyid mempunyai sifat-sifat kerohanian yang sempurna, bersih dan kehidupan batin yang murni. Mursyid adalah orang yang kuat sekali jiwanya, memiliki segala keutamaan, dan mempunyai kemampuan makrifat. Mursyid merupakan kekasih Tuhan. Secara khusus mendapat berkah daripada-Nya, dan sekaligus menjadi pembawa wasilah dari hamba kepada Tuhannya. Pada dirinya terkumpul makrifat sempurna tentang syariat Tuhan, mengetahui berbagai penyakit rohani dan tahu cara pengobatannya. Sebagai kekasih Allah, Mursyid mendapat anugerah kemampuan untuk mendatangkan maunah-maunah atau karamah-karamah. Syekh Mursyid dalam melaksanakan tugasnya mempunyai predikat-predikat sesuai dengan tingkat dan bentuk pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. 

Predikat-predikat itu dapat saja terkumpul dalam diri satu orang atau ada pada beberapa orang. Predikat itu antara lain : 

(1) Syaikh al-Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam tarikat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum Tuhan, sehingga dari syekh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total. 

(2) Syaikh al-Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti. 

(3) Syaikh at-Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka. 

(4) Syaikh al-Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan. 

(5) Syaikh at- Talqin, adalah guru kerohanian yang membantu setiap individu anggota tarikat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang. 

(6) Syaikh at-Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dalam suatu lembaga tarikat. Tempat tinggal syekh biasanya disebut Zawiyah, dan di tempat itu dia dibantu oleh para khadam dalam menjalankan tugasnya.

Dalam pandangan ilmu tasawwuf guru mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk manusia ketingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi Al-quran telah tertanam dalam dirinya.  Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti karena guru mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.

Guru Mursyid sebagai Keharusan Rasional

Ia adalah seorang guru yang mendapatkan Nur Ilahi sehingga ia dapat dikatakan sebagai guru mursyid, dan kata mursyid tersebut dapat diartikan sebagai nur ilahi.

نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ

Cahaya diatas cahaya. Tuhan akan menuntun cahaya-Nya. Siapa yang dikehendaki-Nya (Qs. An-Nur; 35)

Jadi hakikatnya mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk kedalam rumah wujud barulah ia memiliki wujud. Dan mursyid itu tidaklah banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai lubang sehingga kelihatannya banyak namun pada hakikatnya hanya satu. Dan untuk dapat bermanfaat dalam mendekatkan diri dengan Allah maka nur tersebut harus dimasukkan kedalam jiwa (bukan kedalam akal dan pikiran).
Memasukkan Nur Ilahi kedalam diri tentu tidaklah mudah, harus ada metodologinya, dan metodologi tersebut ada dalam tarekatullah yang hak dan harus melalui petunjuk seorang guru yang mursyid, (setelah itu barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan) karena guru mursyid adalah kholifah rosul yang mampu mengajarkan segala sesuatu yang telah diwariskan oleh Rasul yang secara historis dan dalam konteks ilmiah mewarisi Nur Ilahi secara langsung dari Rasulullah saw.

Rasulullah SAW bersabda :

كن مع الله فإن لم تكن مع الله كن مع من مع الله فإنه يصيلك الى الله

“Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah” (H.R. Abu Daud).‎‎

Keutamaan Berguru

Salah satu fungsi dan sifat guru adalah menyebarluaskan bimbingan batin kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam persoalan-persoalan hukum dan syariat, ini adalah posisi (maqom) yang agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada orang-orang pilihan diantara makhluk-Nya, orang-orang pilihan ini dapat mempengaruhi pemikiran dan kehidupan batin manusia. Mereka menerangi ummat dengan pengetahuan batin dan membantu mereka untuk memperhalus jiwa dan perjalanan batinnya, maka menjadi kewajiban manusia untuk mengikuti dan menyatukan dirinya dengan mereka melalui bimbingan yang disediakannya, sehingga mencegah manusia agar tidak terjerumus kedalam lubang keinginan-keinginan intuitif dan kecenderungan terhadap penyelewengan-penyelewengan batin.

Mursyid adalah orang yang menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan spiritual, dan dipercaya untuk mengemban tugas pembimbingan spiritual,   ia adalah saluran kasih sayang Allah yang mengalir kepadanya berkat pancaran suprasensible (diatas jangkauan indera). Al-quran mengkhususkan kondisi jabatan imam dengan pernyataan;

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (As-Sajdah; 24)

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(Al Anbiya; 73)

يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
 
(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (Al-Isra ; 71)

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al Baqarah; 124)

Kesimpulannya ayat-ayat tersebut mengidentifikasikan bahwa imamah/khalifah adalah ikatan ilahiyah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah yang dalam hal ini keturunan Ibrahim as. Tidak diragukan lagi bahwa hamba Allah yang paling sempurna diantara keturunan Ibrahim as. adalah Nabi Muhammad saw., dan para imam yang ma’sum/mahfudz,  sehingga mereka dianggap sebagai imam yang diberi kepercayaan dengan tugas bimbingan batin dan pengetahuan Ladunny.

Syaikh Abu Yazid Al-Bustomi memberikan pandangannya tentang kewajiban berguru

قَالَ أَبُو يَزِيْدِ البُسْطَامِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ (وَقَالَ) أَبُو سَعِيْدٍ مُحَمَّدٍ الْخَادَمِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَيَكُوْنُ مُسَخَّرَةً لِلشَّيْطَانِ(خزينة الأسرار ص 189)

"Abu Yazid Al Bustomi berkata: barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah syetan. Dan berkata Abu Sa'id Muhammad Al Khodami: barang siapa yang tidak memiliki guru maka ia akan di tundukkan oleh syetan."

Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).


WASILAH dan ROBITOH
Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan robitoh dalam suatu tarekat pada waktu melaksanakan zikir dan ibadah menempati posisi penting dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarekat pasti bermursyid, berwasilah dan merobitohkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadah, Allah SWT. Berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maa-idah 35)
‎‎
Dalam Kamus al Munjid dikatakan :

اَلْوَسِيْلَةُ مَا يَتَقَرَّبُ إلىَ الْغَيْرِ

“Wasilah adalah sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain.”

Ibnu Abbas menegaskan :

اَلْوَسِيْلَةُ هِيَ الْقَرَابَةُ

“Wasilah adalah suatu pendekatan “

Dalam Tafsir Ibnu Katsir II :52-53 pada waktu menafsirkan QS Al Maidah :35 , menyatakan :


اَلْوَسِيْلَة هِيَ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا إلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ

“Wasilah itu ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”

Syekh Sulaiman Zuhdi pada waktu menafsirkan QS.Al Maidah:35 menyatakan :

اَلْوَسِيْلَةُ عَامٌُ لِكُلِّ مَا يَتَوَصَلُ بِهِ إلَ الْمَقْصُوْدِ وَالنَّبِيُّ صلعم اَقْرَبُ الْوَسَا ئِلِ إلىَ اللهِ تَعَالىَ ثُمَّ تَوَائِبُهُ صلعم مِنَ الْمُسْتَكْمِلِيْنَ الْوَاصِلِيْنَ إلىَ اللهِ تَعَالىَ فِيْ كُلِّ قَرْنٍِ

“Pengertian umum dari wasilah adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kita kepada suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad SAW adalah wasilah yang paling dekat untuk sampai kepada Allah SWT, kemudian kepada penerusnya-penerusnya yang Kamil Mukammil yang telah sampai kepada Allah SWT yang ada pada tiap-tiap abad atau tiap-tiap masa”

Dalam ilmu balaghah dikenal istilah “Majaz Mursal :

مِنْ إطْلاَقِ الْمَحَلِّ وَإرَادَةِ الْحَال

artinya menyebut wadah, sedangkan sebenarnya yang dimaksud adalah isinya. Disebutkan pula Nabi Muhammad sebagai wasilah, tetapi yang dimaksud sebenarnya adalah Nuurun ala nuurin yang ada pada rohani Rasulullah SAW.

Wasilah itu ialah :

نُوْرٌُ عَلىَ نُوْرٍِ يَهْدِاللهُ لِنُوْرِهِ مَنْ يَشَآءُ

“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki “(QS An-Nur :35).

Wasilah itu telah ditanamkan ke dalam diri rohani Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW yang merupakan sentral penghubung antara Rasulullah SAW dan ummatnya menuju kehaderat Allah SWT.
Para Sahabat dan ummat Rasulllah SAW harus mendapatkan wasilah ini di samping menerima Alquran dan As-Sunah.
Bahwa Adam pun sebagai bapak manusia berwasilah kepada Nabi Muhammad Saw sebelum lahir, untuk diterima taubatnya, karena ia telah melanggar perintah Allah yaitu supaya tidak memakan buah khuldi sewaktu ia dengan istrinya berada di surga. Karena melanggar larangan itulah mereka dikeluarkan dari surga. Ia mengakui segala kesalahannya di hadapan Allah.

لَمَّا اقْتَرَفَ اَدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ يَا رَبِّ أَسْئَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاَّ غَفَرْتَ لِى فَقَالَ الله ُتَعَالَى يَا اَدَمَ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ اَخْلُقْهُ قَالَ يَا رَبِّ لَمَّا خَلَقْتَنِى رَفَعْتُ رَأْسِى فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْباً لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَعْلِمْتُ اَنَّكَ لَمْ تَضِفْ اِلَى اَسْمَائِكَ اِلاَّ اَحَبُّ الْخَلْقِ اِلَيْكَ فَقَالَ الله ُتَعَالَى صَدَقْتَ يَا اَدَمَ اِنَّهُ َلاَحَبُّ الْخَلْقِ اِلَيَّ وَاِذَا سَئَلْتَنِى بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتَكَ فَهُوَ اَخِرُ اْلاَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِيَتِكَ

Tatkala nabi Adam mengakui kesalahannya, dia berkata “Wahai Tuhan, saya mohon kepada-Mu bihaqqi (dengan kebenaran) Muhammad Saw, ampunilah dosaku!.” Allah berfirman, “Adam, bagaimana mungkin anda mengenal Muhammad, padahal ia belum Ku-jadikan?” Adam menjawab, “Wahai Tuhan, sesungguhnya tatkala Engkau menciptakan aku, kuangkat kepalaku, maka kulihat di atas tiang-tiang Arasy bertulis   لا اله الا الله  محمد رسول اللهmengertilah aku bahwa Engkau tidak menyandarkan sesuatu kepada nama-Mu, melainkan orang yang paling dikasihi makhluk.” Allah pun berfirman pula, “Benar anda Adam, sesungguhnya Muhammad Saw itu paling kasih sayang kepada-Ku. Apabila anda memohon dengan berkat kebenarannya, maka sesungguhnya Ku-ampuni dosamu. Dan kalaulah tidak karena Muhammad, tidaklah Ku-jadikan anda dan dia adalah nabi yang terakhir dari keturunanmu.” (HR. al Baihaqi, al Hakim dan at Thabrani)

Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Muththalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا ، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ

Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan. (HR. Bukhari 2/27)

Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Lalu lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya:Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:

اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku …. [HR. Ahmad ( 4/138), at-Tirmidzi (5/569), Ibnu Majah (1/441), Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/313) dia mengatakan hadis ini sanadnya sahih, dan disepakati oleh adz Dzahaby)

Mayoritas Ahli Fiqh (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah yang akhir, dan Hanabilah) membolehkan tawassul dg nabi saw, baik saat beliau hidup maupun sesudah beliau wafat.‎ Al Qashtalani meriwayatkan bahwa Imam Malik membolehkan juga, ketika ditanya kemana menghadap saat berdo’a, ke kiblat atau ke kubur Rasulullah SAW? Maka Imam Malik menjawab:

وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ

Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada nabi saw) maka Allah akan menolong engkau. Dan Imam Nawawi juga berpandangan seperti ini.

Tawassul Kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala Dengan Doa Orang yang Shalih Yang Masih Hidup.

Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakinim keshalihan dan ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan penmgetahuan tentang al-Qur’an serta as-Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar mendoakan dirinya kepada Allah supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan, seperti :

P e r t a m a , hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ‎radlyallhu’anhu :

صحيح البخاري ٩٥٨: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَاإِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ جُمُعَةٍ مِنْ بَابٍ كَانَ نَحْوَ دَارِالْقَضَاءِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُفَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا ثُمَّ قَالَ يَارَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعْتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَيُغِيثُنَا فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَاللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا قَالَ أَنَسٌ وَلَا وَاللَّهِ مَانَرَى فِي السَّمَاءِ مِنْ سَحَابٍ وَلَا قَزَعَةً وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ سَلْعٍمِنْ بَيْتٍ وَلَا دَارٍ قَالَ فَطَلَعَتْ مِنْ وَرَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُالتُّرْسِ فَلَمَّا تَوَسَّطَتْ السَّمَاءَ انْتَشَرَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ فَلَاوَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا الشَّمْسَ سِتًّا ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ ذَلِكَ الْبَابِفِي الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُفَاسْتَقْبَلَهُ قَائِمًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُوَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُمْسِكْهَا عَنَّا قَالَ فَرَفَعَ رَسُولُاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَاعَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِالشَّجَرِ قَالَ فَأَقْلَعَتْ وَخَرَجْنَا نَمْشِي فِي الشَّمْسِ
قَالَ شَرِيكٌ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَهُوَ الرَّجُلُ الْأَوَّلُ فَقَالَ مَاأَدْرِي

Shahih Bukhari 958: dari Anas bin Malik bahwa ada seorang memasuki masjid pada hari Jum'at dari pintu yang menghadap Darul Qadla' (rumah 'Umar bin Al Khaththab). Saat itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berdiri menyampaikan khutbah, orang itu lalu berdiri menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda telah habis dan jalan-jalan terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan buat kami!" Anas bin Malik berkata, "Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: "Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan." Anas bin Malik melanjutkan, "Demi Allah, sebelum itu kami tidak melihat sedikitpun awan baik yang tebal maupun yang tipis. Juga tidak ada antara tempat kami dan bukit itu rumah atau bangunan satupun. Tiba-tiba dari bukit itu tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan itupun menyebar lalu turunlah hujan." Anas bin Malik berkata, "Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian pada Jum'at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk kembali dari pintu yang sama sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang beridiri menyampaikan khutbahnya. Orang itu lalu berdiri menghadap beliau seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan pun terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menahan hujan dari kami!" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: "Ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami saja dan jangan membahayakan kami. Ya Allah turunkanlah di atas bukit-bukit, dataran tinggi, jurang-jurang yang dalam serta pada tempat-tempat tumbuhnya pepohonan." Anas bin Malik berkata, "Maka hujan pun berhenti. Lalu kami keluar berjalan-jalan di bawah sinar matahari." Syarik berkata, "Aku bertanya kepada Anas bin Malik, 'Apakah laki-laki tadi juga laki-laki yang pertama? ' Dia menjawab, 'Aku tak tahu'."

K e d u a , hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radlyallahu’anhu:

صحيح البخاري ٩٥٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَامُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُالْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَاللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَبِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

Shahih Bukhari 954: dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a, "Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan hujan."

Seorang mukmin dapat pula minta didoakan oleh saudaranya untuknya seperti ucapannya, “ Berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan kesemalatan bagiku atau memenuhi permintaanku “. Dan yang serupa dengan itu . Sebagaimana Rasulullah ‎shalallahu’alaihi wa sallam meminta kepada seluruh umatnya untuk mendoakan beliau, seperti bershalawat kepada beliau setelah azan atau memohon kepada Allah agar beliau diberikan wasilah, keutamaan dan kedudukan yang terpuji yang telah dijanjikan oleh-Nya. Sebagaimana hadits sebagai berikut :‎

سنن أبي داوود ٤٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُوَهْبٍ عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ وَحَيْوَةَ وَسَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ عَنْكَعْبِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِبْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْالْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّىعَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍمِنْ عِبَادِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ اللَّهَلِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةُ

Sunan Abu Daud 439: dari Abdullah bin Amru bin Al-'Ash, bahwasanya dia pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kalian mendengar muadzin mengumandangkan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya kemudian bacalah shalawat untukku, karena sesungguhnya orang yang membaca shalawat sekali untukku, maka Allah akan menganugerahkan sepuluh shalawat (rahmat) kepadanya, lalu mohonlah kepada Allah Azza wa Jalla Washilah (kedudukan yang tinggi) untukku. Karena washilah itu suatu kedudukan yang tinggi dalam surga, yang tidak pantas kecuali bagi seseorang di antara hamba hamba Allah Ta'ala, dan saya berharap semoga sayalah yang akan menempatinya. Barangsiapa yang memohonkan wasilah kepada Allah untukku, niscaya dia akan mendapat syafaat.‎
Doa yang dimaksud adalah doa sesudah azan yang diajarkan oleh Nabi‎

صحيح البخاري ٥٧٩: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَاشُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِعَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَيَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِآتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِيوَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Shahih Bukhari 579: dari Jabir bin 'Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berdo'a setelah mendengar adzan: ALLAHUMMA RABBA HAADZIHID DA'WATIT TAMMAH WASHSHALAATIL QAA'IMAH. AATI MUHAMMADANIL WASIILATA WALFADLIILAH WAB'ATSHU MAQAAMAM MAHMUUDANIL LADZII WA'ADTAH (Ya Allah. Rabb Pemilik seruan yang sempurna ini, dan Pemilik shalat yang akan didirikan ini, berikanlah wasilah (perantara) dan keutamaan kepada Muhammad. Bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji sebagaimana Engkau telah jannjikan) '. Maka ia berhak mendapatkan syafa'atku pada hari kiamat."

Sesungguhnya masih banyak lagi dalil-dalil al Qur’an maupun al Hadits ataupun perbuatan para sahabat yang melaksanakan amalan, do’a dengan berwasilah. Kiranya kuranglah bijaksana kalau kita paparkan satu demi satu karena amat banyak dan panjangnya dalam buku yang amat terbatas ini. Kiranya cukup jelas dan gamblang sekali dalil-dalil, alasan-alasan tersebut untuk membatalkan anggapan kalangan orang-orang yang melarang berwasilah secara mutlak, baik berwasilah kepada orang hidup maupun berwasilah kepada orang yang sudah mati. Dengan demikian batal pulalah anggapan kalangan orang-orang yang melarang berwasilah kepada selain Rasulullah Saw.
Perbuatan dan ucapan para sahabat, khulafaurrosyidin menjadi hujjah dalam masalah hukum agama dan keagamaan. Sabda Rasulullah Saw:

اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ فَاِنَّهُمَا حَبْلُ اللهِ الْمَمْدُوْدُ مَنْ تَمَسَّكَ بِهِمَا فَقَدْ تَمَسَّكَ بِالْعَرْوَةِ الْوثْقَى لانْفِصَامَ لَهَا
 
Ikutilah oleh kamu dua orang sesudahku Abu Bakar dan Umar. Sesungguhnya kedua orang tersebut adalah tali Allah yang dipanjangkan. Barang siapa yang berpegang teguh kepada keduanya, niscaya dia berpegang teguh kepada tali yang kuat yang tidak akan terputus. (HR. Thabrani)‎

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ

Hendaklah kamu ikuti sunahku dan sunah khulafaurrosyidin yang selalu mendapat hidayah dari Allah. (al Hadits)
Berwasilah (Tawassul) yang dilarang ‎

‎Tawassul dengan hak makhluk‎
Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan :
P e r t a m a , bahwa Allah subhanahu wa ta’ala, tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justeru sebaliknya Allah lah yang menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya. Sebagaimana firmannya :
 
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنشُرَكَائِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَلِكُم مِّن شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّايُشْرِكُونَ
 
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. ( QS. Ar Ruum : 40)
Orang yang ta’at berhak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah karena anugerahdab nikmat bukan karenab alasan setara sebagaimana makhluk dengan makhluk yang lain.
K e d u a , hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut dan ada tidak kaitannya dengan orang lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara yang asing yang tidak ada kaitannya anta dirinya denganhal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya samasekali.
Adapun hadits yang berbunyi : “ Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon… “hadits ini dha’if sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
TAWASSUL SYIRIK

Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
 
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَانَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيمَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar ( QS.Az-Zumar : 3 )
Tawassul dengan meminta doa kepada orang mati tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayity sudah tidak bisa berdoa seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena Umar bin Khattab radlyallahu’anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radlyallahu’anhu dan para sahabat yang bersama mereka, juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan, bertwassul dan meminta syafaat kepada orang yang masih hidup, seperti kepada Abbas bin Abdul Muthalib dan Yasid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul,meminta diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad ‎shalallahu’alaihi wa sallam, baik di kuburan beliau ataupun dikuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti dengan orang masih hidup.
 
صحيح البخاري ٩٥٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَامُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُالْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَاللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَبِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

Shahih Bukhari 954: dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a, "Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan hujan."
Mereka menjadikan al-‘Abbas ‎radlyallahu’anhu sebagai pengganti dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi bertwassul kepada Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam sesuai dengan yang disyari’atkan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk datang ke kubur Nabi shalallahu’alahi wa sallam dan bertwassul melalui beliau, jika itu memang hal itu dibolehkan. Mereka (para sahabat) meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan bukti tidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, baik meminta doa maupun syafa’at kepada mereka . Seandainya meminta doa atau syafa’at, baik kepada orang mati atau maupun yang masih hidup itu sama saja, tentu mereka tidak berpaling dari Nabi ‎shalallahu’alaihi wa sallam kepada orang yang lebi rendah derajatnya ( dalam hal ini al-‘Abbas bin Muthalib. 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاء وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاءوَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang ma ti. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar ( QS.Faathir : 22 )‎

Bai'at‎

Bai’at adalah pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis) seorang yang memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan (makrifat) Allah melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan khusus secara jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw. Bai’at, talqin, pemberian ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur Ridwan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Ketika itu para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini dilukiskan dalam Al-Quran:

لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا ﴿الفتح:١٨

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk  agama Islam serta bagi yang berkeinginan menunaikan pekerjaan-pekerjaan (perintah) agama. Di antara bai’at yang ada waktu itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada Rasulullah Saw.‎

Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan beragama.‎

Ada yang memiliki persepsi keliru bahwa bai’at hanya dilakukan di saat peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya ketika menghadapi kaum kafir Mekah. Padahal asbabun nuzul (sebab turunnya) kedua ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya bai’at dan tidak ada penjelasan bahwa bai’at hanya dilakukan pada saat peperangan saja. Kebijakan syari’at bai’at dilakukan pada setiap zaman untuk membangun kepemimpinan.‎

Makna Bai’at

Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun [بايع – يبايع - بيعة]. Asalnya sama dengan baayi’un (transaksi)‎. Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggung jawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.

Bai’at lebih merupakan pernyataan komitmen spiritual secara formal di depan mursyid untuk menjalani hidup yang benar dan lurus. Bai’at dapat menjadi terapi kaget (shock theraphy) menuju untuk hijrah kepada susasana batin yang baru dan memberikan motivasi berkomitmen dalam kehidupan yang benar. D‎ari akar kata tersebut diketahui bahwa kata  bai’at pada mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu transaksi jual beli antara dua pihak. Kesepakatan itu biasanya dilakukan dengan berjabatan tangan. Istilah ini kemudian berkembang sebagai ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian  antara dua pihak secara umum.‎

Bai’at di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan pengisian kembali (recharging ) energi spiritual dari mursyid. Namun perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan santo atau lembaga pastoral yang dapat atas nama Tuhan memberikan pengampunan dosa terhadap jamaah. Fungsi mursyid sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hanya berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercayai salik. 
Hak dan Kewajiban

Hak Imam (Mursyid) adalah ditaati. Kewajibannya membimbing pengikutnya kepada jalan yang lurus. Jalan yang lurus merupakan anugerah besar yang hanya dibawa oleh orang-orang pilihan-Nya. Dan anugerah tersebut bukan berasal dari manusia atau makhluk-Nya.

Anugerah atas manusia pilihan Allah tersebut adalah Kenabian dan Kerasulan, di dalamnya terdapat kepemimpinan. Termasuk di dalamnya adalah Al-’Ulama, pewaris Nabi yang melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya.

Orang-orang pilihan Allah tersebut membawa panji-panji Ilahiyyah yang berisi kebijakan yang lurus dalam menggapai Keridhaan Allah SWT.

Hak Murid adalah dipimpin, dibimbing, diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Posisi Mursyid adalah sebagai konsultan yang menampung persoalan atau problematika muridnya. B‎anyak cara orang untuk memperoleh ketenangan dan sekaligus motivasi untuk menggapai rasa kedekatan diri dengan Allah. Salah satu di antaranya ialah menyatakan komitmen spiritual kepada Allah di depan atau melalui mursyid yang dipilih. Jika pada suatu saat mengalami krisis spiritual, ia merasa sangat terbantu oleh kehadiran sahabat spiritual yang berfungsi sebagai konsultan spiritualnya. Murid memiliki hak untuk bertanya terhadap persoalan yang belum (tidak mampu) dipecahkannya.

Kewajiban murid adalah Sami’na wa Atho’na. Tidak ada pilihan melainkan bersikap taat dan turut perintah. Hal ini disebabkan karena telah terbangun keimanannya kepada Mursyid yang telah dipilih Allah dan diyakini mendapatkan mandat Ilahiyyah yang membawa kebijakan Allah SWT. Modal itulah yang melandasi sikap Sami’na wa Atho’na. Sikap ini bukan taqlid yang dilakukan tanpa dilandasi ilmu pengetahuan, tapi didasarkan atas kesadaran dan keimanan.

Adanya hak dan kewajiban ini membuktikan konsep keadilan kepemimpinan dalam Islam. Keadilan inilah yang mendekatkan diri kepada nilai ketaqwaan.

Kelak akan ada pengikut yang melaknat pemimpinnya, sebagaimana yang diinformasikan dalam Al-Quran:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿الأحزاب: ٦٧﴾

Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

Istilah Bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkanBai’at sering digunakan dalam Fiqh Siyasah (Politik Islam).

Bagian pengabdian seorang Utusan baik kalangan Nabi atau penerusnya adalah sebagai pendidik (mu’allim) umatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ﴿الجمعة: ٢﴾

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Bai’at juga disebut juga dengan Ijazah. Ijazah mengandung arti memberikan suatu amalan atau wirid (kepada murid). Dalam kebijakan Al-Idrisiyyah Al-Islamiyyah, ketiga istilah ini (Bai’at– Talqin dan Ijazah) dipadukan dalam satu kesatuan. Bai’at mengandung kesepakatan terhadap kepemimpinan yang di dalamnya mengandung pendidikan atau pengajaran sekaligus adanya pemberian amalan (wirid).

Wiridan dalam Ijazah mesti dilakukan oleh setiap murid untuk mengikat batin, agar tercipta kelangsungan bimbingan dari seorang Guru kepada murid-muridnya. Karena bimbingan Islam tidak dibatasi waktu dan tempat. Kapanpun dan di manapun bimbingan (tarbiyyah) ruhiyyah bisa dirasakan. Seorang murid mesti memiliki daya juang (mujahadah) untuk mendapatkan hubungan tarbiyyah berjalan dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan awrad (formula dzikir) yang diterimanya.

Apabila seorang Mursyid dengan tanggungjawabnya senantiasa memperhatikan keselamatan dan kebahagiaan murid-muridnya di dunia dan akhirat, dan Allah memberikan kekuatan berupa Nur Ilahi-Nya, kemudian muridnya melakukan mujahadah dalam awrad ijazahnya maka akan tersambunglah hubungan tersebut.

Firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ﴿الفتح: ١٠﴾

Bahwasanya orang-orang yang bersumpah setia kepada kamu sesungguhnya mereka bersumpah setia kepada Allah. Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.‎

Terjemah bebas: Barang siapa yang membatalkan janji (tidak komitmen) atas sumpah setianya maka sesungguhnya dia telah membatalkan perjanjian pada dirinya sendiri, tidak pada Allah, Rasul dan para Khalifahnya. Alias yang rugi di pihak dirinya sendiri. Sebaliknya barang siapa yang sungguh-sungguh pasca bai’at, ijazah dan talqin dengan mencurahkan seluruh pikiran, ingin memperbaiki diri, masuk ke dalam bimbingan yang paripurna maka Allah berjaniji akan memberikan kepadanya pahala yang agung.

Inilah ajaran syari’at yang sangat penting untuk membangun kecerdasan umat, tapi sayang sekali sebagian besar umat Islam tidak memahami makna syari’at ini. Sehingga kebanyakan mereka tidak dalam kapasitas terbimbing. Orang yang berbai’at akan mendapatkan kekuasaan dari Allah SWT berdasarkan ungkapan Yadullaaha fawqo aydiihim. Karena orang yang berbai’at kepada Petugas Allah berarti berbai’at kepada Allah. Allah secara langsung membimbing, memberikan kekuatan, meneguhkan atasnya. Kekuasan dan Kekuatan Allah di atas kekuasaan dan kekuatan manusia.

Ketika berbai’at, seseorang akan mendapatkan keridhaan-Nya, dosa-dosanya ditolerir sejalan dengan ungkapan laqod rodhiyallaahu [sungguh Allah telah meridhai]. ‎Seorang yang sering membuat jengkel orang tua dengan berbagai kelakuan buruknya, ketika mendapatkan ridha dari orang tuanya, maka orang tuanya akan melupakan segala apa yang telah dilakukan oleh anaknya itu. Sebaliknya jika seseorang sedang merasa benci seseorang, maka ia lupa akan segala kebaikannya. Yang dilihat adalah sisi buruknya saja. Jika ia seorang suami yang sedang dibenci, akan berubahlah wajah suaminya yang sebelumnya kelihatan ganteng menjadi buruk rupa.

Seorang Mursyid bertugas (ibadah) melakukan bimbingan, mencurahkan pikiran dan strategi, membuat berbagai metodologi dan inovasi, supaya kebijakan yang dibawanya bisa direspon dan diamalkan oleh murid pada khususnya dan umat pada umumnya. Tanggung jawab seorang Mursyid itu begitu besar, karena berupa Risalah Al-Islamiyyah yang pernah ditawarkan kepada seluruh makhluk lain sebelum manusia, mereka tidak sanggup memikulnya.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿الأحزاب: ٧٢﴾

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,

Tanggung jawab seorang Mursyid bersifat internal dan eksternal. Skalanya sangat luas. Sedangkan seorang murid minimal mempertanggungjawabkan dirinya masing-masing. Kewajiban yang diistiqamahkan akan menghasilkan kualitas diri yang baik. Bahkan diharapkan menjadi hamba pilihan.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ... إلخ ﴿آل‌عمران: ١١٠﴾

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

Supaya menjadi suri tauladan bagi manusia, sebagai kewajiban internal dan eksternal. Murid yang telah berbai’at, mendapatkan bimbingan lahir batin, wawasan keislaman yang luas, pendalaman dan penghayatan tentang agama, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, serta menjadi contoh di hadapan umat manusia.

Pada umumnya manusia memiliki cita-cita yang pendek, sedangkan pribadi yang berkualitas (khoyro ummah) memiliki visi jauh ke depan, cita-cita yang tinggi, harapan jangka panjang hingga kepada kebahagiaan di kehidupan yang kekal.

Ijazah adalah proses pembentukan diri. Formula dzikir yang diberikan saat menerima Ijazah, bai’at atau talqin bisa berubah (mengalami inovasi) sesuai kondisi zamannya. Perubahan tersebut adalah bagian dari kebijakan Allah yang dinamis. Allah senantiasa melakukan Perbuatan-Nya (Fa’-’aalul limaa yuriid). Sebagai murid mesti memanfaatkan waktu dalam mewujudkan penghambaan diri kepada-Nya. Waktu menurut filsafat ibarat air mengalir yang tidak pernah berhenti. Waktu terus bergulir seiring pergerakan matahari dan bulan. Waktu tidak akan berhenti apalagi mundur. ‎

Semoga Bermanfaat 
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...