Jumat, 27 November 2020

Penyakit Tho'un (Wabah)


Ada sebagian kecil kaum muslimin percaya bahwa wabah atau penyakit menular tidak ada. Hal ini mereka dasarkan pada hadits:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ النَّبيُّ : لاَ عَدْوَى, وَلاَ طِيَرَةَ , وَأُحِبُّ الْفَأْلَ الصَّالِحَ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak ada penyakit menular dan thiyarah (merasa sial dengan burung dan sejenisnya), dan saya menyukai ucapan yang baik”.

Hal ini tentu kelihatannya bertentangan dengan kenyataan yang ada di mana kita melihat banyak sekali wabah dan penyakit yang menular, wabah ini bahkan bisa merenggut nyawa sekelompok orang dengan cepat.

Perlu diketahui ada dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa Islam juga mengakui adanya wabah penyakit menular.

Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit”.

Dan Sabda beliau,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”.

Maka kompromi hadits ini:maksud dari hadits pertama yang menafikan penyakit menular adalah penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya, tetapi menular dengan kehendak dan takdir Allah. Berikut keterangan dari Al-Lajnah Ad-Daimah

العدوى المنفية في الحديث هي: ما كان يعتقده أهل الجاهلية من أن العدوى تؤثر بنفسها، وأما النهي عن الدخول في البلد الذي وقع بها الطاعون فإنه من باب فعل الأسباب الواقية.

Wabah yang dinafikan dari hadits tersebut yaitu apa yang diyakini oleh masyarakat jahiliyah bahwa wabah itu menular dengan sendirinya (tanpa kaitannya dengan takdir dan kekuasaan Allah). Adapun pelaranan masuk terhadap suatu tempat yang terdapattha’un (wabah menular) karena itu merupakan perbuatan preventif (pencegahan).

Hal ini diperkuat dengan hadits bahwa Allah yang menciptakan pertama kali penyakit tersebut. Ia tidak menular kecuali dengan izin Allah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat tiba-tiba semua onta tersebut terkena kudis, maka beliau bersabda:

فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ؟

“Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama ?”

Maksud tujuan penulisan ini adalah supaya lebih sabar dalam melewati musibah atau supaya lebih tidak terlalu sering mengaduh pada kekurangan atau dalam hal yang kurang menyenangkan didalam hati. Karena musibah yang kita alami sekarang ini ini terhitung kecil jika dibandingkan dengan musibah-musibah yang terdahulu, Wabah Tho’un.

Memang belum jelas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Wabah Tho’un, akan tetapi dalam As-Shahih, Imam Muslim (Radliallaahu ‘anh), meriwayatkan sedikit penggambaran tentang Wabah Tho’un, beliau meriwayatkan dari Abdulloh bin Maslamah (Abdurrahman Al-Haritsy) sarat dengan perawinya bahwa Rosul Saw pernah bersabda:

الطاعون آية الرجز ابتلى الله عز وجل به ناسا من عباده فإذا سمعتم به فلا تدخلوا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تفروا منه

Wabah Tho’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Alloh Azza Wajall yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah Tho’un, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika Tho’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah  dalam kitabnya Zaadul Ma'aad (IV/37) berkata, "Tha'un adalah sejenis wabah penyakit. Menurut ahli medis, thaun adalah pembengkakan kronis dan ganas, sangat panas dan nyeri hingga melewat batas pembengkakan sehingga kulit yang ada di sekitarnya bisa berubah menjadi hitam, hijau, atau berwarna buram dan cepat bernanah. Biasanya pembengkakan ini muncul di tiga tempat: Ketiak, belakang telinga, puncak hidung dan disekitar daging lunak."

Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa Wabah Tho’un itu semacam Wabah penyakit Kolera yang sangat, hingga tidak ada satu dokterpun yang mampun menjumpai obat yang mujarab untuk kesembuhannya. Wallahu a’lam

Abu al-Hasan al-Mada’ini berkata, “Penyakit-penyakit Tha’un yang masyhur dan paling besar dalam Islam ada lima: Tha’un Syirawaih di Madain pada masa Rasulullah [Shallallahu 'alaihi wasallam] pada tahun keenam hijrah. Kemudian Tha’un ‘Amwas pada masa Umar bin al-Khaththab [radiyallahu 'anhu], yang mewabah di Syam, yang menyebabkan 25 ribu orang mati di sana. Kemudian Tha’un pada zaman Ibnu az-Zubair pada bulan Syawwal tahun 69 yang menyebabkan kematian selama tiga hari, yang dalam setiap harinya 70 ribu orang mati. Pada saat itu 83 anak (dikatakan dalam riwayat yang lain, 73 anak) Anas bin Malik mati, dan 40 anak Abdurrahman bin Abi Bakrah mati. Kemudian Tha’un Fatayat pada Syawwal tahun 87. Kemudian Tha’un pada tahun 131 di bulan Rajab, dan semakin parah pada bulan Rama-dhan, dan terhitung di perkampungan al-Mirbad dalam setiap harinya terdapat seribu jenazah, kemudian mereda pada bulan Syawwal. Sementara Tha’un di Kufah terjadi pada tahun 50, di mana al-Mughirah bin Syu’bah meninggal.” Inilah akhir pernyataan al-Mada’ini.

Ibnu Qutaibah menyebutkan dalam kitabnya, al-Ma’arif dari al-Ashma’i tentang jumlah Tha’un yang mirip dengan hal ini, dan di dalamnya terdapat penambahan dan pengurangan. Ia mengatakan, “Disebut dengan Tha’un Fatayat, karena mula-mula ia me-nyerang para gadis di Bashrah, Wasith, Syam dan Kufah. Disebut juga Tha’un al-Asyraf, karena menyebabkan kematian banyak orang mulia.” Ia melanjutkan, “Tha’un sama sekali tidak pernah berjangkit di Madinah dan Makkah.”

Bab ini cukup luas. Apa yang kami sebutkan tadi untuk mengingatkan yang sengaja aku tinggalkan. Aku telah menyebut pasal ini secara lebih luas daripada ini di awal buku Syarah Shahih Muslim. Wabillahi at-Taufiq.

Tha’un disadari sebagai wabah yang menggelisahkan masyarakat Rasulullah saw ketika itu. Jika suatu wabah berjangkit dalam suatu wilayah, maka ‎kebijakan Nabi adalah melakukan isolasi, yaitu orang luar tidak boleh masuk ke wilayah epidemi dan sebaliknya orang yang berada di wilayah itu tidak boleh keluar ke daerah lain. Demikian sabda Nabi Muhammad saw.:

ااذا سمعتم با لطاعون با رض فلا تد خلوا ها واذا وقع با ر ض وانتم بها فلا تخرجوا منها (رواه الترمذى عن سعيد)

Artinya;

Jika kamu mendengar tentang tha’un di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya (tempat itu). Apa bila kamu  (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka janganlah kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Sa’id).

Pernah di suatu saat daerah luar Madinah terjangkit wabah tha’un (pes, sampar, atau penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman  yang mengelupaskan kulit  – mungkin seperti wabah gudik, bengkoyok, atau secara umum penyakit kulit). Rasulullah melarang siapa pun yang terkena kedua jenis penyakit itu (tha’un dan al-masih) masuk ke kota Madinah. Demikian sabda Nabi: . . . la yadkhulu al-Madinata al-masihu wala ath-tha’un ( . . . Tidak boleh masuk ke Madinah bagi yang terjangkit oleh al-masih dan tha’un  – H.R.al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Tha’un Sebagai Kotoran (ar-Rijsu) Sekaligus Rahmat

Dalam hadis yang panjang, Rasulullah mengatakan: . ath-tha’un rijsun ..  (. . .tha’un itu adalah kotoran . . . H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid) dan berfungsi sebagai siksa atau penyakit (‘azab). Beliau bersabda:

– – – انه كا ن عذ ا با يبعثه الله على من يشاء فجعله الله رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطعون فيمكث فى بلده صا برا يعلم انه لم يصيبه الا ما كتب الله له الا كا ن مثل اجر االشهيد (رواه البخارى  عن عائشه)

Artinya:

. . . Bahwa ada suatu ‘azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang yang Ia kehendakinya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah bagi seseorang yang tertimpa tha’unkemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu dengan sabar dan ia menyadari bahwa tha’un itu tidak akan menimpa kecuali telah ditetapkan Allah, kecuali ia memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid (H.R. al-Bukhari dari ‘Aisyah).

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahawa  penduduk yang wilayahnya terkena wabah dan tidak boleh keluar dari wilayah itu supaya mereka bersabar. Penyakit itu tidak akan menular kepada orang kecuali atas kehendak Allah. Pahala orang yang sabar (tidak keluar dari wilayahnya) memperoleh pahala sepadan orang mati syahid, (2) Perwujudan rahmat dalam kasus ini adalah bersabar. Orang sabar berada dalam lindungan Allah (inna-llaha ma’a ash-shabirin)

Meninggal Karena Terkena Tha'un

1.Penyakit Thâ’un.

عن حفصة حَفْصَةُ بِنْتُ سِيرِينَ قَالَتْ قَالَ لِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَحْيَى بِمَ مَاتَ قُلْتُ مِنْ الطَّاعُونِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Dari Hafshah Binti Sîrîn, ia berkata ,””Anas Bin Mâlik telah berkata kepadaku,”Apa penyebab kematian Yahya Bin Abî ‘Amrah?aku menjawab : “Oleh (penyakit)Tha’un”, lalu ia berkata : Rasulullah Saw bersabda:”Thâun penyebab mati syahid bagi setiap muslim”.

Takhrij Hadits.
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa orang ahli hadits yaitu ;
1.Imam Bukhari, dalam Kitab Al-Thib, Bab Mâ Yudzkar Fi-th-Tha’ûn, hadits No 5291.
2.Imam Thayâlisiy 2113
3.Imam Ahmad 3/150

Derajat Hadits 
Shahih
Keterangan 
Thaun adalah penyakit yang mematikan dan menular dengan cepat sehingga apabila di sebuah tempat terjangkit wabah penyakit thaun memerintahkah mengisolasi tempat tersebut.

Penulis belum bisa memastikan maksud dari penyakit thaun terebut, dalam buku-buku terjemahan sering diterjemahkan dengan kolera dan campak, namun penulis kurang setuju dengan terjemahan tersebut karena melihat berbagai penjelasan para ulama tentang penyakit tersebut, berikut ini penjelasan para ulama yang dimuat oleh Imam Ibnu Hajar;

1.Menurut Al-Khalil : Tha’un adalah wabah penyakit yang menular
2.Menurut Ibnu Atsir : Adalah wabah penyakit yang dapat mencemarkan udara, kemudain dapat merusak daya tahan/kekbalan dan tubuh manusia.
3.Qâdhi Iyâdh : Thaun pada asalnya adalah luka atau borok yanterdapat pada tubuh.Sedangkan Wabah adalah penyakit yang merata menimpa manusia.Wabah dianamakan thaun karena sama-sama dapat membinasakan
4.Ibnu Abdil Barr : Thaun adalah borok atau bisul yang muncul pada ketiak atau kuli yang sensitif namun terkadang bisul itu keluar pada tangan dan pada jemari.
5.Al-Mutawalli menjelaskan : Thaun itu hampir sama dengan kusta atau lepra, orang yang terkena thaun seluruh anggota tubuhnya membusuk kemudian dagingnya berjatuhan
6.Al-Ghazali : Memebengkaknya seluruh tubuh karena tersumbatnya aliran darah disertai dengan demam atau mengalirnya darah kepda kakiatau tangan kemudian membengkak dan memerah, terkadang bagian terkadang tubuh itu membusuk.
7.Imam Nawawi : Thaun adalah Borok atau bengkak yang terasa sangat sakit, borok itu keluar dengan rasa panas yang membakar, yang menyebabkan menghitam daerah sekitarnya, atau membiru atau memerah ..(Fathul Bari 16: 349)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْنَا أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Dari Aisyah Ra, sesungguhnya ia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang thâun? Maka Nabi Saw menceritakan kepadanya : “Sesungguhnya thâ’un itu siksaan yang Allah Swt kirimkan kepada yang Ia kehendaki.Kemudian Allah Swt menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman.Tidak ada seorangpun hamba yang terkena thâ’un, lalu ia tetap tinggal di negrinya sambil bersabar, dan dia yakin bahwa tidak akan menimpa kepadanya kecuali yang telah Allah tuliskan baginya, maka ia akan mendapatkan ganjaran mati syahid

Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh ;
1.Imam Bukhari, dalam Kitab Al-Thib, Bab Ajri-sh-Shâbir Fi-th-Thâ’ûn, hadits No 5293
2.Imam Baihaqi(3/376)
3.Imam Ahmad(6/64,145,252)

عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي الشُّهَدَاءُ وَالْمُتَوَفَّوْنَ بِالطَّاعُونِ 
فَيَقُولُ أَصْحَابُ الطَّاعُونِ نَحْنُ شُهَدَاءُ فَيُقَالُ انْظُرُوا فَإِنْ كَانَتْ جِرَاحُهُمْ كَجِرَاحِ الشُّهَدَاءِ تَسِيلُ دَمًا رِيحَ الْمِسْكِ فَهُمْ شُهَدَاءُ فَيَجِدُونَهُمْ كَذَلِكَ

Dari ‘Uthbah Bin Abd Al-Sulamiy, dari Nabi saw beliau besabda : Orang-orang yang mati syahid dan mati karena penykit thâ’ub datang (pada hari kiyamat).Orang-orang yang mati karena penyakit Thaun itu berkata : “Kami adalah syuhada (mati syahid)”.Lalu ada yang berkata: “Perhatikan dulu oleh kamu(wahai para malaikat)!Jika luka mereka seperti lukanya orang-orang yang mati syahid, (yaitu) darahnya mengalir namun baunya seperti minyak kesturi, maka mereka adalah para syuhada (orang-orang yang mati syahid).Maka mereka (para malaikat) itu mendapatkan mereka (yang mati karena tha’un) seperti para syuhada.

(Hadits hasan, HR. Imam Ahamd dalam kitab Musnad No 16993.Thabrani dalam Mu’jam Kabir 12/54, No 13739, Derajat hadits Syeikh Al-Bani menilai hadits tersebut hasan karena banyak syawahidnya.(Ahkâmu Al-Janaiz,halaman 52)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِيقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Syuhadaa’ (orang-orang yang mati syahid) itu ada lima, “orang mati karena terkena penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat lain, Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ طَلَبَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا أُعْطِيَهَا وَلَوْ لَمْ تُصِبْهُ

“Siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkan syahid, maka ia akan diberikan pahala (syahid), meskipun ia tidak mendapatkannya.”[HR. Imam Muslim]

Imam Thabaraniy mengetengahkan sebuah riwayat dari Jabir bin ‘Utaik, bahwa Rasulullah saw bersabda:

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Syahid ada tujuh macam selain gugur (terbunuh) di jalan Allah; orang yang mati karena penyakit lepra adalah syahid. Orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena penyakit bisul perut adalah syahid; orang yang mati terbakar adalah syahid; orang yang mati karena tertimpa bangunan atau tembok adalah syahid; dan wanita yang gugur disaat melahirkan (nifas).”[HR. Imam Thabaraniy]

Di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Thabaraniy juga dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صُرِعَ عَنْ دَابِّتِهِ فَهُوَ شَهِيـْدٌ

“Siapa saja yang mati karena terlempar dari kendaraannya, ia adalah syahid.”[HR. Imam Thabaraniy]


Imam Thabaraniy juga meriwayatkan sebuah hadits, dengan sanad shahih, dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi saw bersabda:

مَـنْ تَرَدَّي مِنْ رُؤُوْسِ الْجِبَالِ, وَتَأْكُلُهُ السِّبَاعُ, وَيَغْرِقُ فِى الْبَحْرِ لَشَهِيْـدٌ عِنْدَ اللهِ

“Siapa saja yang mati karena jatuh dari puncak gunung, atau dimangsa bintang buas, atau tenggelam di laut, maka ia syahid di sisi Allah swt.”[HR. Imam Thabaraniy]

Dalam sebuah riwayat yang dikisahkan oleh Imam Abu Dawud dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Siapa saja yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya, maka ia mati syahid.”[HR. Imam Abu Dawud]

Imam Nasaiy juga mengetengahkan sebuah hadits shahih dari Suwaid bin Muqarrin, bahwasanya Nabi saw bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَظْلَمَتِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh karena tidak ingin didzalimi, maka ia adalah syahid.”[HR. al-Nasaiy, hadits ini shahih]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Imam Daruquthniy telah menshahihkan Sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar:

مَوْتُ الْغَرِيْبِ شَهَادَةٌ

“Kematian gharib (orang yang terasingkan) termasuk syahid.”
Menurut Ibnu al-Tiin, semua keadaan di atas merupakan kematian yang telah ditetapkan Allah sebagai keutamaan bagi umat Mohammad saw. Sebab, Allah swt akan mengampuni dosa-dosa mereka dan menambah pahala mereka hingga mencapai martabat syahid. Hanya saja, menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, derajat atau martabat mereka tidaklah sama dengan syahid jenis pertama.

Terdapat hadits yang bahwa orang yang meninggal karna sakit perut termasuk syahid. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” 

Di dalam Shahih Muslim juga diriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bertanya:

مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ

“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.”

Apakah setiap sakit perut pasti mati syahid? Apa bedanya dengan mati syahid di peperangan?

Syaikh prof. Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan,

مرض البطن هو إسهال شديد عن تخمة أو فساد مزاج، بسبب الفضول التي تصيب المعدة من أخلاط لزجة تمنع استقرار الغذاء فيها، فإن للمعدة خملا كخمل المنشفة، فإذا علقت بها الأخلاط اللزجة أفسدتها وأفسدت الغذاء الواصل إليها، قاله في فتح الباري: باب دواء المبطون. وقد ثبت في الصحيحين عن أبي هريرة عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: (( المبطون شهيد والمطعون شهيد )) إلخ. والمراد له أجر شهيد، لكنه لا يعامل معاملة الشهيد في الدنيا،  فإنه يغسل ويكفن ويصلى عليه بخلاف شهيد المعركة، فإنه يدفن بثيابه ولا يغسل ولا يصلى عليه، على المشهور عند العلماء، والله أعلم.

Sakit perut yang (dimaksud) adalah mencret (diare) yang parah karena  (salah) pencernaan atau campuran rusak (makanan dan enzim perncernaan) karena adanya sisa-sisa (bahan yang tidak dibutuhkan pencernaan) yang mempengaruhi lambung berupa campuran. Campuran ini bisa mengganggu kestabilan makanan di dalam perut. Lambung itu stabil (tidak bergerak cepat) kita serupakan sebuah serbet (yang stabil). Apabila campuran mengganggunya maka akan merusak juga makanan yang sampai ke lambung.

Dalam kitab Fathul Bari  terdapat Bab: obat sakit perut dan terdapat hadits dalam shaihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau  bersabda,

“Orang yang karena sakit perut adalah syahid, Orang yang karena sakit perut adalah syahid”

Yang dimaksud di sini adalahbaginya pahala mati syahid. Akan tetapi mayatnya tidak diurus sebagaimana orang mati syahid (orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan dan dikafani).  Maka jasadnya tetap dimandikan, dikafani dan dishalatkan berbeda dengan syahid di medan peperangan maka ia dikubur dengan pakaian syahidnya di dunia, tidak dimandikan, tidak dishalatkan sebagaimana pendapat yang masyhur di kalangan ulama.

BOLEH MEMBERITAHUKAN KEPADA PARA SAHABAT DAN KAUM KERABAT MAYIT TENTANG KEMATIANNYA, NAMUN DIMAKRUHKAN MENGUMUMKANNYA

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Hudzaifah [radiyallahu 'anhu], ia mengatakan 
إِذَا مُتُّ، فَلاَ تُؤْذِنُوْا بِيْ أَحَدًا، إِنِّيْ أَخَافُ أَنْ يَكُوْنَ نَعْيًا، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ.

“Jika aku mati, janganlah memberitahukan kepada seseorang tentang kematianku. Sesungguh-nya aku khawatir bila itu menjadi na’y (pengumuman kematian), karena aku mendengar Rasulullah [Shallallahu 'alaihi wasallam] melarang na’y.” At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Mas’ud [radiyallahu 'anhu], dari Nabi [Shallallahu 'alaihi wasallam], beliau bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالنَّعْيَ، فَإِنَّ النَّعْيَ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ.

“Jauhilah na’y; karena na’y merupakan perbuatan Jahiliyah.”

Dalam suatu riwayat, dari Abdullah, namun dia tidak menyatakannya marfu‘. At-Tirmidzi mengatakan, “Ini lebih shahih daripada yang marfu’. Namun, at-Tirmidzi mendhaifkan kedua riwayat tersebut (baik yang marfu‘ maupun yang mauquf).

Kami meriwayatkan dalam ash-Shahihain,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ، نَعَى النَّجَاشِيَّ إِلَى أَصْحَابِهِ.

“Bahwa Rasulullah[Shallallahu 'alaihi wasallam] mengumumkan kematian an-Najasyi kepada para sahabatnya.”

Kami meriwayatkan dalam ash-Shahihain,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ فِيْ مَيِّتٍ دَفَنُوْهُ بِاللَّيْلِ وَلَمْ يَعْلَمْ بِهِ: أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُوْنِيْ بِهِ؟
 
“Bahwa Nabi[Shallallahu 'alaihi wasallam] mengatakan tentang mayit yang mereka kuburkan pada malam hari, semen-tara beliau tidak mengetahuinya, ‘Mengapa kalian tidak memberitahuku tentang kematiannya ?’.”

Para ulama muhaqqiqun dan mayoritas sahabat kami serta selain mereka berpendapat, “Dianjurkan memberitahukan kepada keluarga mayit, kerabatnya dan kawan-kawannya berdasarkan dua hadits ini. Mereka berpendapat bahwa na’y (mengumumkan kematian) yang dilarang hanyalah na’y model jahiliyah. Kebiasaan mereka ialah jika orang mulia dari mereka mati, maka mereka mengirim utusan kepada kabilah-kabilah yang ada seraya mengatakan, “Na’aya fulan!” Atau, “Na’aya al-Arab!” Yakni bangsa Arab binasa karena kematian si fulan, dan pengumuman ini disertai teriakan dan tangisan.

Pengarang al-Hawi dari kalangan sahabat kami menyebutkan dua aspek dari saha-bat kami mengenai dianjurkannya memberitahukan kematian si mayit dan menyiarkan kematiannya lewat seruan dan pengumuman: Sebagian dari mereka menganjurkan hal itu untuk mayit asing dan kerabat dekat, karena hal itu dapat memperbanyak orang yang akan menshalatinya dan mendoakannya. Sementara sebagian yang lain berpendapat, hal itu dianjurkan untuk mayit yang asing dan tidak dianjurkan untuk selainnya. Aku kata-kan, “Pendapat yang dipilih ialah dianjurkan secara mutlak, jika hanya sekedar pengumuman.”

Kesimpulan

Dari berbagai kasus wabah yang menimpa pada zaman Islam generasi pertama ini dapat disimpulkan bahwa: (l) tha’un cukup menggelisahkan masyarakat generasi pertama Islam, (2) mereka berusaha supaya wabah tidak menjalar ke daerah lain secara luas. Kata kunci untuk usaha ini adalahlari dari takdir lama  kemudian mencari takdir baru.

Kesadaran Baru

Di balik kegelisahan supaya selamat dari wabah mengandung hikmah supaya umat Islam bisa mengendalikan wabah. Dalam dunia moderen, pengendalian wabah yang pelakunya adalah bakteri – dapat ditempuh antara lain:

Melemahkan daya (potensi) penimbulan penyakit bagi bakteri kepada manusia, sehingga manusia menjadi kebal terhadap bakteri tersebut. Pewerwujudannya adalah vaksinasi.

Melakukan bakteriofaga, yaitu mengadu domba sesuatu jenis bakteri dengan bakteri lain dengan harapan bakteri yang tidak membahayakan manusia bisa menumpas bakteri yang membahayakan manusia.

Melakukan bakteriolisis, yaitu membasmi bakteri dengan jalan proses pelarutan.
Memproduk bakteriosida untuk membasmi sesuatu bakteri yang tidak dikehendaki demi kesehatan manusia.

Keseluruhan prosedur di atas hanya dapat (untuk sementara ini) terlebih dulu ditempuh melalui metode eksperimen di dunia mikroskopik dan mikroskup elektron. Perintah eksperimen ini dapat dirujuk pada ayat berikut:

سنريهم اياتنا فى افا ق وفى ا نفسهم حتى يتبين لهم انه ا لحق اولم يكف بربك انه على كل شيئ شهيد

Artinya:

Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ? (Q.S. al-Fushilat/42:53).

Pengertian afaq adalah alam semesta (universa, the world). Dalam kajian moderen alam semesta mencakup:

Makro kosmos ( ‘alam al-kubra).
Mikro kosmos (‘alam ash-shughra).
Mikro biologi mencakup  mikro organisme dan mikrobe.

Ketiga dunia inilah yang oleh Allah dijadikan dijadikan media bagi manusia untuk melakukan eksperimen, pengamatan, dan  memanipulasi untuk menemukan konsep, teori, dan ilmu. Untuk disiplin ilmu analis hanya menelaah, dan melakukan eksperimen pada dunia mikrobiologi. Harapannya untuk menemukan tentang konsep, teori, dan ilmu yang ada kaitannya dengan bakteri dan secara praktis disebut bakteriologi.

Kode Etik Ilmu di Dalam Islam

Islam tidak membenarkan doktrin ilmu untuk ilmu (science for the science). Ilmu di dalam Islam memiliki misi untuk sesuatu di luar ilmu. Ilmu di dalam Islam, termasuk yang di luar ilmu (seni, art ), haruslah dijadikan instrumen beribadah kepada Allah atau perwujudan tauhid.

Kesimpulannya:

Larangan masuk ke daerah yang sudah terjangkit penyakit merupakan perintah untuk menjaga dan membentengi diri dan larangan untuk mendatangi perkara yang dapat mengakibatkan kebinasaan. Adapun larang keluar dari daerah tersebut merupakan perintah untuk bersikap tawakal, menyerah dan pasrah terhadap ketentuan Allah. 

Larangan masuk dan keluar dari daerah yang terserang wabah penyakit thau'un masih berlaku hingga saat ini dan teorinya masih dipakai disemua rumah sakit yang dikenal dengan ruang isolasi. Semua orang dilarang keluar masuk ke ruangan tersebut kecuali dokter dan perawat. Fungsinya untuk menghindari tersebarnya penyakit. Bab ini menunjukkan mukjizat dan kebenaran apa yang dibawa Nabi saw. Sebab cara pengobatan nabi tidak melalui penelitian.

Wallohu A'lam

 

Hukum Rokok


Kebiasan merokok di masyarakat kita sudah menjadi kebiasaan yang dianggap biasa, mungkin karena begitu banyaknya para perokok atau juga karena begitu banyaknya aktivitas merokok yang biasa kita jumpai disekitar kita sehingga merokok menjadi hal yang lumrah dan biasa saja. Dari kalangan pengusaha sampai karyawan dan buruhnya, dari mulai pejabat sampai rakyat jelatanya, dari kalangan intelektual sampai kalangan orang awamnya, dan dari kalangan tokoh agama sampai umatnya, mereka tidak lepas dari kebiasaan merokok. Lihat lah orang-orang yang ada disekitar kita, keluarga dan teman-teman kita, tetangga dan relasi kita, banyak diantara mereka adalah perokok maka begitu akrabnya kita dengan dunia rokok. Bahkan banyak yang menyebut Indonesia adalah surganya perokok karena begitu bebas dalam merokok.

Dalam bahasa Arab, rokok disebut dukhan (الدخان), tabagh (التبغ), tambak (التمباك), natan (التتن), sijarah (سيجارة). Sedangkan perbuatan merokok itu disebut dengan tadkhin (التدخين) yang berasal dari fi'il tsulasi mazid ruba'i dakhkhana yudakhkhinu tadkhinan (دخن يدخن تدخينا ). Penghisap rokok atau perokok disebut dengan mudakhkhin (المدخن)

Memang tidak ada dalil khusus dari Al-Quran maupun Sunah yang menunjukkan haramnya rokok, karena rokok belum dikenal di zaman Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, maupun zaman tabi’in. karena rokok baru dikenal didunia islam sekitar abad sepuluh hijriyah melalui barat. Meskipun tidak ada dalil khusus, kita tidak boleh tergesa-gesa menganggapnya halal atau haram berdasarkan kaidah: “ hukum asal dari setiap sesuatu itu boleh ” , karena kaidah ini berlaku apabila hal tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dan tujuan syariah.

Ketika kemunculannya para ulama berbeda pendapat mengenai hukum rokok, sebagian besar mengharamkan, sebagian lagi memakruhkan, dan sebagiannya menghalalkan dan tawaqquf. Mereka yang membolehkan rokok ketika itu lebih melihat kepada orangnya ketimbang rokoknya, mereka kurang memahami bahwa rokok dapat membahayakan kesehatan tapi menganggapnya hanya seperti minuman atau makanan yang dikonsumsi.

Diantara ulama yang mengharamkan adalah Syeikh Umar bin Abdur Rohman Al-Husaini Asy-Syafi’ie demikian pula Syeikh  Muhammad Fathullah bin Ali Al-Maghribi, Muhammad bin Shiddiq Az-Zubaidi Al-Hanafi, dan Syeikh ‘Amir Asy-Syafi’ie dimana beliau berkata :

الدخان المشهور إن أضر في عقل أو بدن فهو حرام، وضرره بين يشهد به الحس وما قرره الأطباء في الدخان بأنواعه

( rokok yang kita kenal jika membahayakan akal atau badan maka haram hukumnya, dan bahayanya sudah jelas disaksikan oleh kita dan di tetapkan para dokter mengenai rokok dengan segala jenisnya).

PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN ROKOK

DALIL HARAMNYA ROKOK

1. QS Al-A'raf 7:157

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. 

2. QS Al-Isra 17:26-27

وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيراً * إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً 

Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. 

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. 

Ayat lain yang sering diajukan dalil adalah QS An-Nisa' 4:29 dan Al-Baqarah 2:195.

3. Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Daruqutni, dll لا ضرر ولا ضرار
Artinya: Jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain.

4. Hadits riwayat Bukhari

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلْيُكرم ضيفه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو لِيصمت

Artinya: Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya tidak menyakiti tetangganya, menghormati tamunya, dan mengatakan sesuatu yang baik atau diam.
Alasan Pengharaman Rokok

Bahkan Asyaron Bilali berpendapat bahwa rokok haram karena tidak mengandung unsur gizi maupun obat, dan dilarang menjualnya dan menghisapnya karena termasuk khabaits ( benda-benda yang menjijikkan).

Ini benar, karena keharaman rokok bisa didasari dengan beberapa dalil.

Pertama : dari sisi penelitian kedokteran membuktikan bahwa rokok dapat menyebabkan bermacam-macam penyakit berbahaya seperti jantung, ginjal, kanker dan sebagainya, apalagi kalau dikonsusmsi oleh wanita hamil, maka lebih beresiko menyebabkan keguguran, walhasil seluruh dokter sepakat kalau rokok membahayakan kesehatan.

Kedua : agama Islam memerintahkan kita untuk menjaga harta benda dengan baik, rokok bertentangan dengan perintah itu, karena termasuk membuang harta, apalagi kalau sampai kecanduan, belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit-penyakit akibat rokok kalau dibandingkan pendapatan dari rokok maka jauh lebih besar.

قوله سبحانه: (وكلوا وا شربوا ولا تسرفوا ) الأعراف 31.

31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
[ Al-A'raf : 31]

Apabila larangan ini pada hal-hal yang mubah dan baik, maka apalagi kalau berkaitan dengan makanan atau minuman yang buruk dan membahayakan?

* قوله صلّى الله عليه وسلم :" إن الله كره لكم ثلاث قيل وقال ، وكثرة السؤال ، وإضاعة المال "

Artinya : Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam bersabda : " sesungguhnya Allah membenci tiga perkara atas kalian : mengatakan " katanya" , banyak bertanya, dan membuang harta "

Dan merokok termasuk membuang-buang harta tanpa faedah, dan termasuk hal yang mubadzir dan isrif yang dilarang dalam agama.

 قال صلّى الله عليه وسلم " لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه وعن
علمه ما فعل به وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن جسمه فيما أبلاه " ( الترمذي 2417، والدارمي 537)

Artinya : Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam bersabda : " tidak akan berpindah kaki seorang hamba hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmu apa yang dilakukan dengannya, tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan kemana dia belanjakan, dan tentang badannya untuk apa dia habiskan "

Ketiga : ada beberapa kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan pada keharaman rokok.

1- Allah menceritakan tentang NabiNya dalam firmanNya :

 {... يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث..} [الأعراف 157 ]

Artinya : “ Beliau memerintahkan mereka yang baik dan melarang dari yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk “ ( Al-A’raf: 157).

Cukuplah Allah mengharamkan sesuatu yang buruk atau berbahaya, sehingga bisa dimasukkan kedalamnya semua makanan atau minuman yang buruk dan berbahaya, sehingga ulama sepakat haramnya ganja dan semacamnya karena termasuk narkoba yang berbahaya.

Begitu juga termasuk rokok karena keburukan dan bahayanya, seandainya kita bertanya kepada seseorang tentang rokok : apakah bagus atau tidak ? maka dia akan menjawab bahwa rokok tidak bagus kecuali kalau berdasarkan hawa nafsu mereka menganggapnya baik, bermanfaat, kalau tidak merokok tidak bisa beraktifitas dengan baik, itu bukan jawaban yang sebenarnya.

2- Allah Ta’ala melarang kita membunuh diri dan menjatuhkan diri dalam kebinasaan ketika berfirman:

*قوله تعالى (ولا تلقوا بأيديكم الى التهلكة )

195. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
[ Al-Baqarah: 195]

 وقوله جل ثناؤه : (ولا تقتلوا أنفسكم )

29.  dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
[ An-Nisa: 29]

Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

dan mereka yang mengkonsumsi racun atau sesuatu yang membahayakan dirinya dan kesehatannya, tidak ragu lagi dia melemparkan dirinya dalam kebinasaan, dan rokok termasuk hal yang membinasakan karena bahaya yang telah disebutkan atas.

3- Allah melarang kita mengkonsumsi sesuatu yang melemahkan badan dan akal sebagaimana sabda Nabi shallawahu 'alaihi wasallam :

* أن النبيّ صلّى الله عليه وسلم نهى عن كل مسكر ومفتر ".

Merokok meskipun tidak memabukkan, tapi dapat melemahkan badan, karena kita dapati orang yang kecanduan lalu tidak mendapatkannya maka dia merasa pusing dan loyo badan dan pikirannya.

4- Bahwasanya manusia ketika menghisapnya nampak dalam gambaran yang buruk seperti setan yang membawa api di tangannya padahal Allah telah memuliakan anak adam dalam bentuk yang baik.

5-Allah Ta'alaa telah memerintahkan kepada kita untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut, sedangkan perokok justru merusakkannya, benarlah ketika mereka berkata : " rokok adalah siwaknya iblis"

6- mereka yang membolehkan rokok mengatakan: seandainya rokok diharamkan tentunya akan mengakibatkan banyak pengangguran baru karena tutupnya pabrik rokok, berarti berkurangnya pendapatan.
Ini adalah keliru, karena ketika rokok haram maka bekerja di pabrik rokok tentunya tidak diperbolehkan, demikian juga kita hendaknya percaya bahwa rizki di tangan Allah, apabila manusia berusaha mencari yang halal tentu akan dimudahkan rizkinya, tergantung keyakinan kita.

Adapun haramnya rokok mengurangi pendapatan, maka berapa biaya yang dikeluarkan akibat bahaya rokok ? jauh lebih besar. Dan berapa yang dikeluarkan untuk membeli rokok jika dibandingkan dengan jutaan orang yang mati kelaparan ? Hanya Allah yang Tahu.

Kesimpulan : rokok hukumnya haram karena bertentangan dengan kaidah syariah yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang lima maqashidu syariah yaitu menjaga agama, keturunan, akal, harta, dan jiwa.

Dan kesimpulan ini dikuatkan dengan fatwa-fatwa para ulama yang sholih, termasuk fatwa yang terakhir dikeluarkan oleh MUI. Semoga Allah melepaskan kita dari jeratan bahaya rokok.

Adapun pertanyaan kedua : yaitu hukum berjualan rokok, maka karena hukum rokok adalah haram, berjualan pun juga haram hasilnya, karena ketika Allah mengharamkan sesuatu Ia juga mengharamkan uang hasilnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam :

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : { إنَّ اللَّه حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ ، فَقِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ ؟ فَقَالَ : لَا ، هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ، ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ } .
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ ، وَأَبُو دَاوُد ، وَالنَّسَائِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ .وَأَصْلُهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

Dari Jabir bin Abdullah bahwa dia mendengar Nabi shallawahu 'alaihi wasallam bersabda : { sesungguhnya Allah mengharamkan menjual minuman keras , bangkai, babi, dan patung, lalu dikatakan kepada beliau : Ya Rasulullah bagaimana dengan lemak bangkai maka itu bermanfaat untuk menambal kapal dan meminyaki kulit dan untuk penerangan ? maka beliau berkata : tidak, itu haram kemudian Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam bersabda : Allah melaknat orang-orang yahudi ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya kemudian menjualnya dan mereka makan uangnya }. HR Imam Bukhari, Abu Dawud, Nasa'ie, dan Ibnu Majah.

Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, menghisap rokok hukumnya adalah haram. Di dalam Kitab Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’ disebutkan, ”Menghisab rokok hukumnya haram. Orang yang terlanjur menghisap rokok, ketika hendak masuk ke dalam masjid wajib membersihkan mulutnya untuk menghilangkan bau busuk mulutnya, dan untuk mencegah dlarar dan gangguan bau rokok bagi orang-orang yang sholat. Akan tetapi, menghisap rokok tidaklah membatalkan wudluk.” [Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, juz 7, hal. 282]

PENDAPAT ROKOK ITU MAKRUH / BOLEH

DALIL ATAS MAKRUH / BOLEH-NYA ROKOK

- Kaidah fiqih (الأصل فى الأشياء الاباحة segala sesuatu pada asalnya adalah mubah

ALASAN ULAMA ROKOK MAKRUH / BOLEH (MUBAH)

- Shaykh Hazim Abu Ghazalah, ulama Yordania, menganggap rokok itu makruh. Berikut fatwanya:

ان حكم الاسلام في التدخين ، لم يرد فيه نص قطعي ، في كتاب الله تعالى او سنة رسوله ، محمد صلى الله عليه وسلم ، وانما ورد قوله تبارك وتعالى «يحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث ، وكلمة الخبائث هنا كلمة عامة لا تشير الى الدخان بعينه ، وانما تشير الى ما ورد في النص من المحرمات ، كشرب الخمر والميسر ، والزنا ، والربا ، وغير ذلك.

لذلك لا نستطيع ان نحكم حكما قطعيا في تحريم الدخان ، او كراهيته التحريمية ، وانما ننصح اخواننا واخواتنا المدخنين ان يتركوا ، ويبتعدوا عن هذه النبتة الخبيثة

Artinya: Hukum Islam dalam soal merokok adalah tidak ada dalil eksplisit (qath'i) dalam Quran atau Sunnah (hadits) Nabi. Yang ada adalah firman Allah dalam QS Al-A'raf 7:157. Ayat ini sangat umum dan sama sekali tidak mengarah pada rokok. Ayat ini merujuk pada apa yang terdapat pada perkara-perkara yang diharamkan seperti minum khamr (minuman keras), judi, zina, riba, dan lain-lain.

Oleh karena itu, saya tidak bisa menetapkan hukum yang pasti untuk mengharamkan rokok, untuk menghukumi makruh tahrim. Saya hanya bisa menganjurkan saudara-saudara kita yang perokok agar meninggalkan kebiasaan buruk ini.

- Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang mengatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafi’ه bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah (الأصل فى الأشياء الاباحة) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Nah, karena tidak ditemukan dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka pengambilan hukumnya dengan istish-hab (kembali ke hukum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah.

Allamah Syaikh ’Ali al-Ajhuriy memiliki sebuah risalah (tulisan) yang membolehkan menghisap tembakau. Di dalam tulisan itu disebutkan bahwasanya orang yang memberi fatwa bolehnya menghisap tembakau bersandar kepada Imam empat madzhab. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

Ibnu ’Abidin menyatakan, ”Saya katakan, ”Ulama yang juga mengarang tulisan yang membolehkan menghisap tembakau adalah guru kami yang arif, ’Abdul Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu berjudul al-Shulhu bain al-Ikhwaan fi Ibaahat Syurb al-Dukhaan. Beliau telah menjelaskan dengan sangat baik masalah ini dalam karya-karyanya. Beliau mengkritik dengan sangat keras orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan tembakau. Sebab, keduanya (haram dan makruh) adalah hukum syariat yang harus disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hukum itu. Pasalnya, tidak terbukti bahwa tembakau itu memabukkan, melemahkan, atau membahayakan (dlarar). Tetapi justru terbukti bahwa ia memiliki beberapa manfaat. Hukum tembakau (rokok) masuk dalam kaedah ”al-ashl fi al-asyyaa’ ibaahah” (hukum asal dari benda adalah mubah). Sesungguhnya beberapa dlarar yang terkandung di dalamnya tidak menjadikan keseluruhannya haram. Madu bisa membahayakan orang yang terkena penyakit kuning akut. Seandainya Allah swt menetapkan keharaman atau kemakruhan tembakau, maka pastilah ada dalil yang menunjukkannya. Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus dinyatakan bahwa mubah adalah hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan diri) dalam masalah pengharaman khamer sebagai umm al-khabaaits (induk segala barang yang menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’, hingga turun nash qath’iy pada dirinya….” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

Di dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy disebutkan, ”Jika penguasa memerintahkan perkara-perkara mubah yang di dalamnya terdapat kemashlahatan bagi orang banyak, semacam menghisap rokok, maka, rakyat wajib mentaatinya.” [Haasyiyyah al-Bajiiramiy ’Ala al-Khaathib, juz 5, hal. 475]

Di dalam Fatawa al-Azhar, ’Abdurrahman Qaraa’ah menyatakan, ”Menghisap rokok tidak pernah terjadi di masa Nabi saw, Khulafaaur Rasyidin, shahabat, maupun tabi’in. Menghisap rokok terjadi pada masa-masa belakangan. Para ulama berpendapaty pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka mengharamkannya, dan sebagian lagi memakruhkan. Sebagian lagi memubahkannya. Saya (’Abdurrahman Qara’ah) menguatkan pendapat yang memakruhkannya…” [Fatawa al-Azhar, juz 5, hal. 499]

Adapun Hasanain Mohammad Makhluf menguatkan pendapat yang memubahkannya. Di dalam Fatawa al-Azhar, beliau menyatakan, ”Kami menyatakan; ketahuilah, sesungguhnya hukum menghisap rokok adalah hukum ijtihaadiy. Pendapat para fukaha dalam masalah ini tidaklah seragam. Yang benar menurut kami adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Radd al-Muhtaar; bahwa hukum menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang bersandar kepada imam empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya; seperti penuturan dari al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam tulisannya.” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]

Demikianlah, para fukaha kontemporer berselisih pendapat mengenai status hukum rokok. Ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; haram, makruh, dan mubah.

Lantas, mana pendapat rajih yang wajib kita ikuti? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui terlebih dahulu pandangan syariat Islam terhadap hukum asal benda, baru setelah itu hukum-hukum derivatifnya.

Hukum Asal Benda 

Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status hukum saja, yakni yakni halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan manusia ada lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. 

Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT: 

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-An’aam (6): 145) 

Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan oleh Allah swt, kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini. Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan hanya sebatas pada bangkai, darah yang mengalir, babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang disebutkan di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang bertaring dan berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya. 

Dengan demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. 

Di ayat lain, Allah SWT berfirman: 

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا 

”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” (Qs. al-Baqarah (2): 29 ) 

Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil yang memalingkan hukum asalnya (mubah)...” [Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 64] 

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ 

”Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" (Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada. 

Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami dua hal penting. 
الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم 

“Hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak dalil yang mengharamkan” 

Walhasil, semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya oleh Allah SWT, kecuali benda-benda tertentu yang diharamkanNya. 

Status Hukum Rokok 

Hukum Asal Rokok 

Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok adalah benda-benda yang berhukum mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih yang mengharamkan keduanya, baik dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam keadaan seperti ini; status hukum tembakau dan cengkeh harus dikembalikan kepada konteks hukum asalnya, yaknimubah. 

Jika benda-benda tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara bersama-sama atau terpisah, maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan demikian, produk yang menggunakan bahan baku tembakau, cengkeh, atau benda-benda mubah lainnya, mengikuti hukum bahan bakunya. Jika bahan bakunya berhukum mubah, maka produk olahannya juga berhukum mubah. Oleh karena itu, selama rokok dibuat dari bahan-bahan mubah, maka status hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh. 

’Allamah ’Abd al-Ghaniy An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan bahwa tidak ada satu pun dalil syariat yang mengharamkan ataupun memakruhkan rokok; juga tidak terbukti bahwa rokok itu memabukkan, melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum pada orang yang menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh karena itu, rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’ Ibaahah”. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266] 

Di dalam Kitab Fatawa al-Azhar, ”...Pendapat yang terpilih adalah yang pertama (hukum asal dari sesuatu adalah mubah). Pasalnya, seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Tahrir, menurut jumhur Hanafiyyah dan Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah hukum asal dari benda adalah mubah...” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]

Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus ada perincian lebih mendalam. 

Pertama , jika seseorang merokok, dan menyebabkan bahaya secara pasti pada dirinya (muhaqqah), maka orang tersebut dilarang merokok, dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata bagi dirinya. Sebab, jika benda mubah mengandung atau menimbulkan dlarar (bahaya) bagi individu tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti) bagi individu tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu; sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram. Udang misalnya, hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu, udang bisa mendatangkan bahaya (dlarar) yang bersifat muhaqqah. Dalam kondisi semacam ini; orang tersebut dilarang (haram) mengkonsumsi udang, dikarenakan telah terbukti bahaya udang bagi dirinya. Hanya saja, hukum asal udang tetaplah mubah, bukan haram. Sebab, adanya dlarar (bahaya) pada benda-benda mubah, tidaklah mengubah status kemubahan dari benda tersebut. [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459] Oleh karena itu, individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi udang semampang tidak menyebabkan dlarar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya. 

Ketentuan di atas didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Kitab Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di Hijr, beliau berhenti di sana. Pada saat itu, orang-orang meminum air dari sumur Hijr. Ketika, para shahabat sedang istirahat, beliau saw bersabda, ”Janganlah kalian minum dari air sumur Hijr, janganlah kalian berwudluk dengan airnya untuk sholat. Adonan roti apapun yang kalian buat dengan menggunakan airnya, berikanlah kepada onta, dan janganlah kalian memakannya sedikitpun. Dan janganlah seorang diantara kalian keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh temannya. Para shahabat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali dua orang laki-laki dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar untuk memenuhi urusannya, sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta miliknya. Adapun orang yang pergi untuk memenuhi urusannya, ia jatuh sakit. Sedangkan orang yang pergi untuk mencari ontanya, ia diterbangkan angin hingga terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’. Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ”Bukankah aku telah melarang kalian agar tak seorangpun diantara kalian pergi sendirian, kecuali disertai teman? Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh sakit ketika hendak bepergian, dan sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan laki-laki lain yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thai` menunjukkan kepada Rasulullah Saw ketika beliau Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam]

Berdasarkan riwayat ini dapat disimpulkan; perkara-perkara yang hukum asalnya mubah, jika di dalamnya mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah), maka perkara itu berhukum haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. Sebab, minum air dari sumur manapun, hukum asalnya adalah mubah, termasuk air sumur Hijr. Larangan nabi saw agar para shahabat tidak meminum airnya, tidak menggunakannya untuk berwudluk, dan untuk membuat adonan roti, dikarenakan air tersebut mengandung bahaya. Keluarnya seorang laki-laki di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara mubah. Adanya larangan dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada waktu malam di tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya (dlarar). Dengan demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan), jika perkara tersebut mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram (karena bahaya yang dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. 

Kedua , Bila dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya ada larangan dari Nabi Mohammad saw bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah masuk ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan dari keduanya. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda; 

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا 

”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami.” [HR. Imam Bukhari] 

Imam Bukhari juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: 

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي 

”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia memisahkan diri dari kami, atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia memisahkan diri dari masjid kami dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Sesungguhnya, Nabi saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya terdapat sayur-sayuran. Beliau mendapati bau dari sayuran itu. Lalu, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di sayuran itu. Lalu ia (perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk itu ke beberapa shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak suka memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Bukhari] 

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: 

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي 

”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian beliau saw mendapati bau. Lantas, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di dalam sayuran itu. Kemudian perawi berkata, ”Para mendekatkannya kepada sebagian shahabatnya. Tatkala beliau mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya, seraya berkata, ”Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Muslim] 

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang memakan bawang putih atau bawang merah mendekati masjid disebabkan karena baunya yang mengganggu orang lain. Dengan demikian, larangan Nabi saw disebabkan karena aroma atau bau menyengatnya; yang ini hal ini tentunya menganggu orang lain yang hendak beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini. Dalam hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya ia berkata: 

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا فَقَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ 

”Rasulullah saw melarang makan bawang mereka dan bawang bakung. Lalu, kebutuhan begitu mendesak kami, hingga akhirnya kami memakannya. Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa memakan tumbuhan ini, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu karenanya, begitu pula manusia.” [HR. Imam Muslim] 

Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: 

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ 

”Barangsiapa memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat merasa terganggu, sebagaimana anak Adam merasa terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim] 

Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;

إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ قَالَ ح و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ

”Wahai manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang menurutku tidak baik, yakni bawang merah dan bawang puti. Sungguh, dahulu aku melihat Rasulullah saw jika mendapati bau keduanya dari seseorang, beliau menyuruh orang itu keluar dari masjid. Karenanya, jika kalian ingin memakannya, hendaklah kalian memasaknya terlebih dahulu.” [HR. Imam Muslim] 

Berdasarkan hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa orang yang mengkonsumsi sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan berpotensi menganggu orang lain, semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas menyebarkan aroma atau bau menyengat yang sangat mengganggu orang lain. Atas dasar itu, seseorang makruh merokok di dalam masjid dikarenakan bisa mengganggu orang lain. 

Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh, berdasarkan riwayat-riwayat di atas. 

Ketiga, jika seseorang merokok, dan tidak menimbulkan dlarar yang bersifat muhaqqah pada dirinya, serta dilakukan di tempat atau komunitas yang tidak menganggu orang lain, maka status hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah kebolehan memanfaatkan benda-benda mubah. Selain itu, ’illat yang menyebabkan pengharaman rokok, yakni bahaya yang bersifat muhaqqah tidak terwujud pada orang tersebut; dan ia melakukan aktivitas di suatu tempat dan komunitas yang tidak terganggu oleh asap rokok. 

Kesimpulan Pendapat Hukum

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka lmelihat kenyataan bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau kalaupu membawa mudarat relatif kecil. Dianalogikan, bahwa kemudaratan merokok tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. 

Kedua; ulama sekarang cenderung mengharamkan merokok karena lebih melihat pada informasi mengenai hasil penelitian medis yang menyatakan bahaya rokok (berdampak besar) bagi kesehatan, khusunya menmbukan penyakit dalam. Apabila model penelitian medis semacam ini kurang dicermati, jika kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Lalu, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram.

Tapi bukankah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Lalu apakah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu terus dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya ?

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relative, dalam arti dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang dipastikan tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi hanya kadarnya kecil.

Keempat; jika merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Jika dalam kasus rokok dpat memberikan semangat bagi yang mengkonsumsinya, tentunya dalam kadar yang tidak berlebihan. Karena apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. 

Nah, itulah beberapa hukum terkait rokok, perbedaan pendapat dan pandangan dalam menghukumi rokok sudah diuraikan, lalu mau mengikuti pendapat yang mana ? penulis hanya bisa mengajak pembaca untuk dapat menakar sejauhmana dampak kemudharatan dan atau manfaatnya. ‎

Wallohu A'lam

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...