Rabu, 25 November 2020

Hukum Vareasi Dalam Bacaan Al-Qur'an


Sejak masa diturunkan Al-Qur’an variasi bacaan sudah ada bahkan Rasulullah sendiri menyatakan hal itu. Namun demikian bukan berarti umat Islam boleh membaca seenaknya sesuai dialek dan kemauan mereka. Variasi bacaan tersebut telah ditetapkan sejak masa Rasulullah saw sehingga umat Islam mendapatkan keleluasaan dalam memahami teks Al-Qur’an dengan tetap memperhatikan bacaan yang sudah di akui kebenarannya oleh Rasulullah saw sendiri. ‎ ukan merupakan rekayasa dan ciptaan para imam. Hal ini dapat kita lihat dalam riwayat berikut ini :

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ - ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ - ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا (رواه مسلم : 1357 –صحيح مسلم –- بَاب بَيَانِ أَنَّ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ وَبَيَانِ مَعْنَاهُ - الجزء :4 – صفحة : 257 )

Ubay bin Ka’b, bahwa Nabi saw bersabda : Jibril datang kepadanya seraya berkata : Sesungghnya Allah menyuruhmu membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. Nabi bersabda : Saya minta ma’af dan ampunan kepada Allah, sesungghnya umatku tidak mampu untuk itu. Jibril datang untuk kedua kalinya seraya berkata : Sesungghnya Allah menyuruhmu membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf. Nabi bersabda : Saya minta ma’af dan ampunan kepada Allah, sesungghnya umatku tidak mampu untuk itu. Jibril datang untuk ketiga kalinya seraya berkata : Sesungghnya Allah menyuruhmu membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf. Nabi bersabda : Saya minta ma’af dan ampunan kepada Allah, sesungghnya umatku tidak mampu untuk itu. Jibril datang untuk keempat kalinya seraya berkata : Sesungghnya Allah menyuruhmu membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf yang manapun mereka membacanya maka sungguh bacaan itu benar. (HR.Muslim : 1357, Shahih Muslim, Bab Bayani Annal-Qur’an ‘alaa sab’ah ahruf wa bayaani ma’naah, juz 4, hal. 257)‎‎

Tidak mengapa mengkombinasikan berbagai variasi bacaan/Qiro’at Al-Qur’an yang Mutawatir pada saat Tilawah, tanpa membedakan apakah Tilawah tersebut di dalam Shalat ataukah diluar Shalat, dalam satu Rokaat ataukah dalam dua Rokaat asalkan kombinasi variasi Qiro’at tersebut dibaca dalam kapasitas Tilawah, bukan riwayat Qiro’at. Namun, jika kombinasi variasi Qiro’at tersebut membuat makna menjadi rusak, atau membuat adanya penambahan lafadz Al-Qur’an, maka yang demikian terlarang.‎

Al-Qur’an turun dalam tujuh huruf. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (15/ 391)
عنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bahwa Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma telah menceritakan kepadanya bahwa; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah membacakan padaku dengan satu huruf, maka aku pun kembali kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga berakhirlah dengan Tujuh huruf  yang berbeda).” (H.R. Bukhari)

Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan Al-Qur’an kepada para shahabat dengan tujuh huruf itu untuk memudahkan mereka dalam membaca, karena para shahabat terdiri dari berbagai macam kabilah yang mana dialek satu kabilah kadang berbeda dengan dialek kabilah yang lain.

Dengan adanya aktivitas penyebaran Al-Qur’an, periwayatan dan seleksi terhadap riwayat-riwayat bacaan Al-Qur’an maka para ulama merumuskan bahwa Qiro’at Al-Qur’an yang Mutawatir (yang tercakup dalam kandungan maka hadis bahwa Al-Qur’an turun dalam tujuh huruf) jumlahnya ada sepuluh yaitu Qiro’at Imam Nafi’ (wafat 169 H), Ibnu Katsir (wafat 120 H), Abu ‘Amr (wafat 154 H), Ibnu ‘Amir (wafat 118 H), ‘Ashim (wafat 127 H), Hamzah (wafat 156 H), Al-Kisa’I (wafat 189 H), Abu Ja’far (wafat 130 H), Ya’qub Al-Hadhromy (wafat 205 H), dan Kholaf Al-Bazzar (wafat 229 H).  Tujuh Qiro’at Imam yang pertama yaitu Qiro’at Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir , ‘Ashim, Hamzah, dan Al-Kisa’I disebut dengan istilah  Qiro’at Sab’ah/ اْلقِرَاآتُ السَّبْعَةُ (Qiro’at yang tujuh) sementara Qiro’at tujuh Imam ini ditambah tiga Imam sisanya yaitu Abu Ja’far, Ya’qub Al-hadhromy dan Kholaf Al-Bazzar disebut dengan istilah Qiro’at ‘Asyroh/ اْلقِرَاآتُ اْلعَشْرُ (Qiro’at yang sepuluh). Sepuluh macam Qiro’at ini boleh dibaca berdasarkan Qiro’at masing-masing Imam maupun dikombinasikan antara satu Qiro’at dengan Qiro’at yang lainnya.

Dalil yang menunjukkan bolehnya mengkombinasikan Qiro’at adalah hadis berikut ini:

صحيح مسلم (4/ 257)
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا

Dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sungai kecil  Bani Ghifar. Kemudian beliau didatangi Jibril ‘Alaihis salam seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan).” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan dua huruf.” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tiga huruf.” Beliau bersabda “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan mereka benar.” (H.R. Muslim)

Ucapan malaikat jibril yang disampaikan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan mereka benar.”

Ucapan tersebut menunjukkan yang jadi standar kebolehan membaca Qiro’at Al-Qur’an adalah pembuktian bahwa bacaan Qiro’at tersebut termasuk tujuh huruf. Selama bisa dibuktikan bahwa suatu Qiro’at memang benar didapatkan dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berarti Qiro’at tersebut termasuk tujuh huruf yang diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Jika suatu Qiro’at telah terbukti termasuk tujuh huruf maka membacanyapun bisa dibenarkan. Tidak ada syarat dalam Nash bahwa Qiro’at yang dibaca haruslah yang diriwayatkan satu jalur saja. Penegasan bahwa huruf manapun yang dipakai untuk membaca bisa dibenarkan menunjukkan bahwa mengkombinasikan bacaan Qiro’at termasuk bisa dibenarkan karena bermakna membaca Al-Qur’an dengan huruf-huruf yang diturunkan Allah.

Dalil yang menguatkan adalah hadis berikut ini;

صحيح البخاري (15/ 459)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ حَدِيثِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ
سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari hadits Al Miswar bin Makhzamah dan Abdurrahman bin Abd Al Qari` bahwa keduanya mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membacakan surat Al Furqan, maka aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan Huruf (cara bacaan) yang begitu banyak, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka aku pun ingin segera menyergapnya di dalam Shalat, namun aku menunggunya hingga selesai salam kemudian memukul bagian atas dadanya  seraya bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini padamu?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan padanya, “Kamu telah berdusta. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membacakan surat -yang telah aku dengar ini darimu- padaku.” Maka aku pun segera membawanya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan cara baca yang belum pernah Anda ajarkan padakku. Dan sungguh, Anda telah membacakan surat Al Furqan padaku.” Akhirnya beliau bersabda: “Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya bacaan yang telah aku dengan sebelumnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seperti inilah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau bersabda lagi: “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian beliau bersabda: “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: “Al Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf,  karena itu bacalah mana yang mudah darinya.”(H.R. Bukhari)

Sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

bacalah mana yang mudah darinya.”

Ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut lebih jelas lagi bahwa yang jadi standar adalah Qiro’at  yang mudah bagi seorang Mukallaf. Jadi, selama suatu Qiro’at telah bisa dibuktikan bahwa memang Qiro’at tersebut diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (tanpa memperdulikan Imam siapapun yang mengajarkannya) maka itu semua adalah Al-Qur’an dan seorang Mukallaf boleh memilih membaca dengan mencukupkan diri pada Qiro’at satu Imam, atau mengkombinasikan varisi bacaan berbagai Imam. Semuanya boleh karena tetap merealisasikan perintah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membaca Al-Qur’an dengan Qiro’at yang dipandang mudah bagi Mukallaf.

Tidak ada dalil dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyas yang memerintahkan agar terikat dengan Qiro’at salah satu Imam. Sudah diketahui bahwa di zaman Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak ada istilah Qiro’at Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dll..istilah-istilah tersebut muncul sebagai hasil proses perkembangan dan  kematangan ilmu-ilmu islam yang muncul untuk menjaga, memerinci, mengklasifikasi, mensistematisasi, dan memperdalam ajaran islam yang terpancar dari Al-Qur’an maupun  As-Sunnah. Di zaman Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk membaca Al-Qur’an hanya satu yang dibuktikan: Qiro’at tersebut diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , sebagaimana tampak pada peristiwa perselisihan antara Umar bin Al-Khatthab dan Hisyam bin Hakim bin Hizam, baik pembuktian itu dengan mengkonfirmasi langsung pada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ maupun dengan kepercayaan terhadap shahabat-shahabat besar yang mengajarkannya.‎

Sejarah para Imam Qiro’at dalam mempelajari ilmu Qiro’at dan mengajarkannya juga menunjukkan bahwa standar mereka dalam menerima Qiro’at dan membacanya adalah pembuktian bahwa Qiro’at tersebut memang berasal dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Setelah belajar pada puluhan guru, maka mereka menyimpulkan bacaan Qiro’at yang dipandang paling kuat riwayatnya kemudian baru diajarkan tanpa pernah ada fikiran terikat dengan Qiro’at guru tertentu. Riwayat belajat Imam Nafi’ misalnya menunjukkan hal tersebut. Adz-Dzahabi menulis;
سير أعلام النبلاء (7/ 337)

وَرَوَى: إِسْحَاقُ المُسَيِّبِيُّ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: أَدْرَكْتُ عِدَّةً مِنَ التَّابِعِيْنَ، فَنَظَرْتُ إِلَى مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ اثْنَانِ مِنْهُم، فَأَخَذتُهُ، وَمَا شَذَّ فِيْهِ وَاحِدٌ تَرَكتُهُ، حَتَّى أَلَّفْتُ هَذِهِ القِرَاءةَ.

“Ishaq Al-Musayyiby meriwayatkan dari Nafi’ beliau berkata: Aku sempat bertemu (untuk belajar Qiro’at) dengan sejumlah Tabi’in. Maka aku melihat Qiro’at yang disepakati oleh dua orang diantara mereka, lalu aku mengambilnya. Yang hanya diriwayatkan satu orang maka aku tinggalkan. Hingga aku menetapkan Qiro’at (yang aku ajarkan) ini” (Siyari A’lami An-Nubala’, vol 7 hlm 337)

Konon Imam Nafi’ belajar pada sekitar 70 Tabi’in. Tidak semua Qiro’at gurunya diambil. Penuturan beliau sendiri, Qiro’at yang beliau ambil adalah Qiro’at yang disepakati dua guru. Yang hanya diriwayatkan satu guru tidak diambil. Dengan model seleksi seperi inilah Imam Nafi’ menetapkan bacaannya yang kemudian terkenal dengan nama Qiro’at Imam Nafi’.

Kebolehan mengkombinasi variasi-variasi Qiro’at ini tidak membedakan apakah dilakukan di dalam Shalat maupun di luar Shalat, juga tidak membedakan apakah dilakukan dalam satu Rokaat ataukah dua Rokaat. Hal itu dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan kondisi antara di dalam Shalat ataukah di luar Shalat dan dalam satu Rokaat ataukah dalam dua Rokaat. Karena itu, ketentuannya  kembali ke hukum asal, yakni keumuman bolehnya membaca Al-Qur’an dalam tujuh huruf manapun yang dipandang paling mudah bagi Mukallaf.

Ibnu Taimiyah berkata;

الفتاوى الكبرى (2/ 186)

يَجُوزُ أَنْ يَقْرَأَ بَعْضَ الْقُرْآنِ بِحَرْفِ أَبِي عَمْرٍو، وَبَعْضَهُ بِحَرْفِ نَافِعٍ، وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي رَكْعَةٍ أَوْ رَكْعَتَيْنِ، وَسَوَاءٌ كَانَ خَارِجَ الصَّلَاةِ أَوْ دَاخِلَهَا

“boleh membaca sebagian Al-Qur’an dengan huruf (Qiro’at) Abu ‘Amr sementara sebagian yang lainnya dengan huruf (Qiro’at) Nafi’. Tidak dibedakan apakah hal tersebut dilakukan dalam satu Rokaat ataukah dua Rokaat, dan juga tidak dibedakan apakah dilakukan di luar Shalat ataukah di dalamnya ” (Al-Fatawa Al-Kubro, vol 2 hlm 186)

Ibnu Al-‘Aroby juga berkata dalam kitabnya Ahkamu Al-Qur’an;

أحكام القرآن لابن العربي (4/ 477)

 إذَا ثَبَتَتْ الْقِرَاءَاتُ ، وَتَقَيَّدَتْ الْحُرُوفُ فَلَيْسَ يَلْزَمُ أَحَدًا أَنْ يَقْرَأَ بِقِرَاءَةِ شَخْصٍ وَاحِدٍ ، كَنَافِعٍ مِثْلًا ، أَوْ عَاصِمٍ ؛ بَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْرَأَ الْفَاتِحَةَ فَيَتْلُو حُرُوفَهَا عَلَى ثَلَاثِ قِرَاءَاتٍ مُخْتَلِفَاتٍ ؛ لِأَنَّ الْكُلَّ قُرْآنٌ

Jika Qiro’at-Qiro’at telah terbukti (dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) dan (variasi-variasi) hurufnya telah terkontrol, maka tidak menjadi keharusan bagi seseorang  untuk membaca hanya dengan Qiro’at satu orang (Imam) saja, misalnya Nafi’ atau ‘Ashim. Bahkan boleh membaca Al-Fatihah lalu membaca huruf-hurufnya dengan tiga macam Qiro’at yang berbeda, karena semuanya adalah Al-Qur’an” (Ahkamu Al-Qur’an, vol 4 hlm 477)

Hanya saja, kebolehan mengkombinasikan berbagai variasi Qiro’at tersebut diikat syarat dalam kapasitas Tilawah, bukan riwayat. Jika pembacaan Qiro’at kombinasi tersebut dilakukan dalam kapasitas riwayat (meriwayatkan bacaan Qiro’at) maka hal tersebut hukumnya haram, karena termasuk dusta, yakni menisbatkan bacaan Qiro’at yang tidak pernah dimiliki Imam tertentu.

Namun, jika kombinasi Qiro’at tersebut merusak makna, maka hal tersebut hukumnya haram karena Al-Qur’an telah turun dengan makna yang sempurna. Jika kombinasi bacaan Al-Qur’an ternyata mengubah makna, maka bacaan tersebut tidak bisa disebut Al-Qur’an dan tidak bisa dikatakan bacaan yang bersifat Tauqifi. Sebagai contoh misalnya bacaan dalam ayat surat Al-Baqoroh berikut ini;

{فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ} [البقرة: 37]

“maka Adam menerima dari Robbnya kalimat-kalimat” (Al-Baqoroh; 37)

Ayat dalam surat Al-baqoroh di atas, menurut Qiro’at ‘Ashim dibaca dengan merofa’kan lafadz Adam/ آدَم (mendhommahkan huruf terakhirnya) dan menashobkan lafadz Kalimat/ كَلِمَات(mengkasrotainkan huruf terakhirnya) . Namun, menurut Qiro’at Ibnu Katsir, ayat di atas dibaca dengan menashobkan lafadz Adam/ آدَم (memfathahkan huruf terakhirnya) dan merofa’kan lafadz Kalimat/ كَلِمَات (mendhommatainkan huruf terakhirnya) sehingga menjadi dibaca;

{فَتَلَقَّى آدَمَ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٌ} [البقرة: 37]

“maka kalimat-kalimat dari Robbnya mendapati Adam” (Al-Baqoroh; 37)

Jika variasi bacaan-bacaan ini dikombinasikan, dengan cara  lafadz Adam/ آدَم dibaca dengan Rofa’ dan lafadz Kalimat/ كَلِمَات juga dibaca dengan Rofa’ sehingga ayatnya menjadi berbunyi;

{فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٌ} [البقرة: 37]

Atau dikombinasikan dengan cara lafadz Adam/ آدَم dibaca dengan Nashob dan lafadz Kalimat/ كَلِمَات juga dibaca dengan Nashob sehingga ayatnya menjadi berbunyi;

{فَتَلَقَّى آدَمَ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ} [البقرة: 37]

Maka kombinasi seperti ini menjadi terlarang karena jelas merusak makna. Bahasa Arab tidak bisa mentoleransi I’rob seperti itu karena bermakna menjadikan dua lafadz sama-sama sebagai Fa’il (pelaku) atau Maf’ul bih (obyek penderita).

Termasuk juga terlarang jika kombinasi tersebut membuat adanya penambahan lafadz Al-Qur’an. Misalnya ayat dalam surat Al-Fatihah berikut ini;

{مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الفاتحة: 4]

“yang menguasai hari pembalasan” (Al-Fatihah; 4)

Lafadz malik/ مَالِكِ  menurut Qiro’at ‘Ashim, Al-Kisai, Ya’qub Al-Hadhromy dan Kholaf Al-Bazzar dibaca dengan memunculkan Alif (ada Maddnya), namun Qiro’at Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah dan Abu Ja’far membaca dengan membuang Alif sehingga menjadi;

{مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الفاتحة: 4]

Jika dua Qiro’at ini dikombinasikan dengan membaca dua-duanya dalam satu ayat, misalnya membaca;

{مَالِكِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الفاتحة: 4]

Maka cara kombinasi seperti ini terlarang karena bermakna menambahi lafadz Al-Qur’an sehingga tidak bisa disebut Al-Qur’an. Dikecualikan jika pembacaan tersebut untuk maksud mengajar atau belajar, bukan Tilawah. Jika dimaksudkan untuk mengajar atau menghafal dalam konteks belajar, maka hal tersebut boleh sebagai salah satu uslub/teknik mengefektifkan aktivitas belajar- mengajar.

Ibnu Al-Jazary berkata dalam kitabnya An-Nasyr Fi Al-Qiro’at Al-‘Asyr;

النشر في القراءات العشر (1/ 30)

إن كانت إحدى القراءتين مترتبة على الأخرى فالمنع من ذلك منع تحريم كمن يقرأ ( فتلقى آدم من ربه كلمات ) بالرفع فيهما أو بالنصب آخذا رفع آدم من قراءة غير ابن كثير ورفع كلمات من قراءة ابن كثير ونحو ( وكفلها زكريا ) بالتشديد مع الرفع أو عكس ذلك ونحو ( أخذ ميثاقكم ) وشبهه مما يركب بما لا تجيزه العربية ولا يصح في اللغة ، وأما ما لم يكن كذلك فإنا نفرق فيه بين مقام الرواية وغيرها ، فإن قرأ بذلك على سبيل الرواية فإنه لا يجوز أيضاً من حيث إنه كذب في الرواية وتخليط على أهل الدراية ، وإن لم يكن على سبيل النقل بل على سبيل القراءة والتلاوة فإنه جائز صحيح وقبول لا منع منه ولا حظر وإن كنا نعيبه على أئمة القراءات العارفين باختلاف الروايات من وجه تساوي العلماء بالعوام لا من وجه أن ذلك مكروه أو حرام ، إذ كل من عند الله نزل به الروح الأمين على قلب سيد المرسلين تخفيفا عن الأمة ، وتهوينا على أهل هذه الملة ، فلو أوجبنا عليهم قراءة كل رواية على حدة لشق عليهم تمييز القراءة الواحدة وانعكس المقصود من التخفيف وعاد بالسهولة إلى التكليف

(dalam mengkombinasikan Qiro’at) Jika salah satu Qiro’at berefek bagi Qiro’at yang lain (mengubah makna), maka larangan terhadap Qiro’at demikian adalah larangan yang bersifat haram sebagaimana orang yang membaca ayat فتلقى آدم من ربه كلماتdengan merofa’kan lafadz آدم  dan كلمات atau menashobkan keduanya,dengan mendasarkan Qiro’at yang merofa’kan lafadz آدم   dari (Imam-Imam Qiro’at) selain Ibnu Katsir sementara merofa’kan lafadz كلماتdengan mengambil Qiro’at Ibnu Katsir. Juga seperti ayat وكفلها زكريا dengan mentasydidkan (huruf Fa’) disertai (I’rob) Rofa’ atau sebaliknya. Juga seperti ayat أخذ ميثاقكم dan semisalnya, yakni dengan kombinasi yang tidak bisa dibenarkan oleh bahasa Arab, dan tidak benar secara bahasa. Jika (kombinasinya) tidak demikian, maka kami membedakan antara konteks riwayat dan selainnya. Jika membaca (kombinasi) tersebut dalam konteks meriwayatkan (Qiro’at) maka hal itu juga tidak boleh karena hal tersebut termasuk kedustaan dan mengacaukan orang yang memahami ilmu ini.  Jika membaca (kombinasi) tersebut dalam konteks Tilawah maka hal itu boleh, sah dan diterima tidak ada yang melarang. Meskipun kami memandang tidak baik jika hal itu dilakukan Imam-Imam Qiro’at yang mengetahui perbedaan-perbedaan riwayat. Kritikan ini dari segi kesamaan para Imam tersebut dengan orang awam, bukan dari segi bahwa hal tersebut makruh atau haram. Karena semuanya berasal dari Allah yang diturunkan malaikat Jibril kepada hati Sayyidil Mursalin (Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) untuk meringankan umatnya dan memudahkan pemeluk Millah ini. Jika kami mewajibkan kepada mereka membaca Qiro’at setiap riwayat secara tersendiri, maka aktivitas  membedakan Qiro’at tersebut  akan menyusahkan mereka. Dengan demikian terjungkirlah maksud meringankan, dan yang mudah kembali menjadi susah” (An-Nasyr Fi Al-Qiro’at Al-‘Asyr, vol.1 hlm 30)
 ‎
Fathy Al- ‘Abidy telah membahas masalah ini secara lebih mendalam dalam karyanya yang hampir mencapai 500 halaman dan menjadi disertasi gelar doktoral beliau dengan judul الْجَمْعُ بِالْقِرَاءَاتِ الْمُتَوَاتِرَةِ . 

Pembacaan Dhomir dalam surat Al-Fath ayat 10

{إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا } [الفتح: 10]

Dhomir Huwa/هُوَ  dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan harokat Dhommah sebagaimana juga boleh dibaca dengan Harokat Kasroh. Dua-duanya adalah bacaan yang benar baik secara Ilmu Qiroat maupun ilmu bahasa Arab.

 Ayat yang disebutkan dalam lafadz lengkapnya adalah sebagai berikut;

{إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا } [الفتح: 10]

Sesungguhnya  orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah . tangan Allah di atas tangan mereka , Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Al-Fath;10)

Lafadz عَلَيْه dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan mendhommahkan huruf Ha’ (عَلَيْهُ) sebagaimana boleh juga dibaca dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ). Dua-duanya adalah bacaan yang benar karena keduanya adalah Qiroat yang Mutawatir. Bacaan dengan mendhommahkan huruf Ha’ (عَلَيْهُ) adalah Qiroat Hafsh dan Az-Zuhry, sementara bacaan dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ) adalah Qiroat Jumhur, yaitu Qiroat Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah, Al-Kisai, Abu Ja’far, Ya’qub Al-Hadhromy, dan Kholaf Al-Bazzar.

Hukum asal Qiroat adalah Tauqifi, artinya diperoleh berdasarkan riwayat. Allah berfirman;

{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ} [القيامة: 16 – 18]

16. janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya .

17. Sesungguhnya atas tanggungankulah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

18. apabila Aku telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyamah; 16-18)

Ayat di atas menjadi dalil bahwa bacaan/Qiroat Al-Quran adalah Tauqifi dan tidak boleh dikarang-karang. Allah memerintahkan kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam agar mengikuti bacaan malaikat Jibril, dan hanya mengikuti tanpa berkreasi. Bacaan tersebutlah yang diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada shahabat dan dan di ajarkan para shahabat kepada para Tabi’in demikian seterusnya hingga sampai ke zaman kita sekarang ini.

Hanya saja, tidak benar jika membayangkan bahwa variasi bacaan Al-Qur’an hanya satu. Variasi bacaan Quran itu banyak karena Al-Quran turun dalam tujuh huruf. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (15/ 391)

عنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bahwa Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma telah menceritakan kepadanya bahwa; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah membacakan padaku dengan satu huruf, maka aku pun kembali kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga berakhirlah dengan Tujuh huruf  yang berbeda).” (H.R. Bukhari)

Muslim juga meriwayatkan;

صحيح مسلم (4/ 257)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا

dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sungai kecil  Bani Ghifar. Kemudian beliau didatangi Jibril ‘Alaihis salam seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan).” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan dua huruf.” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tiga huruf.” Beliau bersabda “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan mereka benar.” (H.R.Muslim)

Kisah Qiroat Umar juga menunjukkan hal ini. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (15/ 459)

عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ حَدِيثِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ

سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari hadits Al Miswar bin Makhzamah dan Abdurrahman bin Abd Al Qari` bahwa keduanya mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membacakan surat Al Furqan, maka aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan Huruf (cara bacaan) yang begitu banyak, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka aku pun ingin segera menyergapnya di dalam shalat, namun aku menunggunya hingga selesai salam kemudian memukul bagian atas dadanya  seraya bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini padamu?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan padanya, “Kamu telah berdusta. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membacakan surat -yang telah aku dengar ini darimu- padaku.” Maka aku pun segera membawanya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan cara baca yang belum pernah Anda ajarkan padakku. Dan sungguh, Anda telah membacakan surat Al Furqan padaku.” Akhirnya beliau bersabda: “Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya bacaan yang telah aku dengan sebelumnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seperti inilah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau bersabda lagi: “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian beliau bersabda: “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: “Al Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf,  karena itu bacalah mana yang mudah darinya.” (H.R.Bukhari)

Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengan jelas menunjukkan bahwa Qiroat Al-Quran itu tidak hanya satu variasi, tetapi lebih dari satu dan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan umatnya membaca salah satu dari variasi-variasi Qiroat tersebut. Dengan adanya fakta sejarah pengumpulan Al-Quaran dan periwayatannya maka para ulama merumuskan tiga syarat agar sebuah Qiroat bisa diterima: a.sesuai dengan Mushaf Utsmani b.sesuai dengan bahasa Arab, dan c. sanadnya Shahih.

Berdasarkan hal ini, bisa ditegaskan kembali bahwa Lafadz عَلَيْه dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan mendhommahkan huruf Ha’ (عَلَيْهُ) sebagaimana boleh juga dibaca dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ) karena keduanya Qiroat yang Mutawatir. Yang semisal dengan ini ada dalam surat Al Kahfi. Allah berfirman;

{وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ} [الكهف: 63]

“Tidak ada yang membuatku lupa selain Syetan” (Al-Kahfi; 63)

Lafadz  أَنْسَانِيهُ  bisa dibaca dengan mendhommahkan “Hu” (أَنْسَانِيهُ) bisa juga dengan mengkasrohkannya  (أَنْسَانِيهِ).

Ibnu Mujahid berkata dalam kitabnya As-Sab’ah;

السبعة في القراءات (ص: 603)

قوله ومن أوفى بما عهد عليه الله 10  قرأ حفص عن عاصم عليه مضمومة الهاء وقرأ الباقون عليه بكسر الهاء وهو قياس رواية أبى بكر عن عاصم

 Firman Allah; ومن أوفى بما عهد عليه الله , Hafsh dari ‘Ashim membaca dengan mendhommahkan Ha’ dan Qurro’ yang lain membacanya dengan mengkasrohkan Ha’ dan bacaan ini adalah Qiyas Riwayat Abu Bakr dari ‘Ashim  (As-Sab’ah, hlm 603)

 Ini adalah penjelasan dari segi ilmu Qiroat.

Adapun penjelasan dari segi bahasa, maka Lafadz عَلَيْهُ dalam ayat tersebut asalnya adalah kata عَلى  dan هُوَ kemudian kata ini digabung sehingga menjadi عَلَيْهُ. Kata هُوَ  sendiri dalam bahasa Arab adalah kata yang tergolong kelompok Dhomir (kata ganti), yakni Dhomir untuk orang ketiga tunggal yang maskulin. Dhomir, dalam bahasa Arab ada dua macam; Dhomir Munfashil dan Dhomir Muttashil. Dhomir Munfashil adalah Dhomir yang berdiri sendiri, terpisah dari kata lain seperti أَنَا (saya), نَحْنُ (kami/kita), هُوَ (dia, maskulin, tunggal), dll. Dhomir Muttashil, adalah Dhomir yang bersambung/bergabung dengan kata lain seperti كَتَبْتُ (saya menulis), إِنَّنِيْ (sesungguhnya saya), كِتَابُهُ (bukunya). Jika dhomir berupa Dhomir Muttashil, maka dia tidak akan lepas dari tiga posisi yaitu a.Posisi Rofa’ (Nominatif, pelaku, subyek, inti kalimat dan yang semakna) b.Posisi Nashob (Akusitif, obyek penderita, dan yang semakna) dan c.Posisi Jarr (geminitif, kepemilikan, dan yang semakna dengannya). Lafadz عَلَيْهُ dalam ayat tersebut dalam kajian ilmu Nahwu/I’rob digolongkan sebagai Dhomir Muttashil posisi Jarr/Geminitif karena bersambung dengan salah satu Harf Jarr, yaitu lafadz عَلى

Hukum asal pengharokatan huruf Ha’ Dhomir adalah didhommah tanpa membedakan apakah Harokat huruf sebelumnya adalah Dhommah, Fathah, Kasroh, maupun Ya’ yang disukun. contoh;

هذا كِتاَبُهُ

Ini adalah bukunya

قَرَأْتُ كِتَابَهُ

Saya membaca bukunya

أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهُ

Saya memegang bukunya

غَضِبْتُ عَلَيْهُ

Saya marah kepadanya

Tampak pada contoh-contoh di atas huruf Ha’ pada kata kitabuhu, kitabahu, bikitabihu, dan ‘alaihu, semuanya didhommah dan itu adakah pengharokatan yang benar karena merupakan pengharokatan hukum asal.

Namun, jika harokat sebelum Ha’ Dhomir adalah Kasroh dan Ya’ yang disukun, maka yang lebih afdhol dan lebih baik (tetapi tidak harus) adalah mengubah harokat Dhommah menjadi Kasroh. Hal itu dikarenakan harokat Kasroh “senafas” dengan harokat Kasroh dan Ya’ yang disukun sehingga pengucapannya lebih ringan. Berbeda jika memilih harokat hukum asal, yaitu Dhommah. Harokat Dhommah jika dikombinasi dengan Kasroh atau Ya’ yang disukun terasa berat dilidah untuk mengucapkannya karena tidak “senafas”. Jadi pada contoh diatas, ungkapan;

أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهُ

Saya memegang bukunya

غَضِبْتُ عَلَيْهُ

Saya marah kepadanya

Afdholnya dibaca dengan;

أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهِ

Saya memegang bukunya

غَضِبْتُ عَلَيْهِ

Saya marah kepadanya

Sibawaih berkata;

الكتاب – لسيبويه (ص: 382، بترقيم الشاملة آليا)

باب ما تكسر فيه الهاء التي هي علامة الإضمار

اعلم أن أصلها الضم وبعدها الواو؛ لأنها في الكلام كله هكذا؛ إلا أن تدركها هذه العلة التي أذكرها لك. وليس يمنعهم ما أذكر لك أيضاً من أن يخرجوها على الأصل.

فالهاء تكسر إذا كان قبلها ياءٌ أو كسرة؛ لأنها خفية كما أن الياء خفية

Bab mengkasrohkan huruf Ha’ Dhomir

Ketahuilah, hukum asal (pengharokatan)nya adalah Dhommah yang disusul Wawu karena huruf Ha’ tersebut dalam semua ucapan demikian itu (cara mengucapkannya). Kecuali ada sebab yang saya sebutkan pada Anda. Namun mereka (orang-orang Arab) tidak terhalangi untuk membacanya keluar dari kaidah asal yang telah saya sebutkan. Huruf Ha’ dhomir dikasrohkan  jika didahului Ya’ (yang disukun) atau Kasroh karena Kasroh ringan sebagaimana Ya’ juga ringan (Al-Kitab, hlm 382)

Wallohu A’lam.‎

 

Hukum Membaca Sholawat Tasyahud dan Kalimah Sayyidina Dalam Sholawat


Sholawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah. Yang paling kuat dari segi sanad riwayatnya ada dua lafadz. Kami sebutkan riwayat hadisnya dan silakan diperhatikan Lafadz sholawatnya. 

Lafadz yang pertama;

صحيح البخاري (11/ 156)

 عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عِيسَى سَمِعَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ لَقِيَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ

أَلَا أُهْدِي لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِي فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

‘Abdullah bin ‘Isa dia mendengar ‘Abdur Rahman bi Abi Laila berkata; Ka’ab bin ‘Ujrah menemui aku lalu berkata; “Maukah kamu aku hadiahkan suatu hadiah yang aku mendengarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Aku jawab; “Ya, hadiahkanlah aku”. Lalu dia berkata; “Kami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya kami bershalawat kepada tuan-tuan kalangan Ahlul Bait sementara Allah telah mengajarkan kami bagaimana cara menyampaikan salam kepada kalian?”. Maka Beliau bersabda: “Ucapkanlah; ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALAA IBRAHIIM WA ‘ALAA AALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALI MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALAA IBRAHIIM WA ‘ALAA AALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIID” (Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahiim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia) “. (H.R.Bukhari)

Lafadz yang kedua;

صحيح البخاري (11/ 155)

عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَخْبَرَنِي أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُمْ

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari ‘Amr bin Sulaim Az Zuraqiy telah mengabarkan kepadaku Abu Humaid as-Sa’idiy radliallahu ‘anhu bahwa mereka berkata; “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya kami bershalawat kepada baginda?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ucapkanlah; ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMADIN WA AZWAAJIHI WA DZURRIYYATIHII KAMAA SHOLLAITA ‘ALAA AALI IBRAHIM WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMADIN WA AZWAAJIHI WA DZURRIYYATIHII KAMAA BAARAKTA ‘ALAA AALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIID” (Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad, istri-istrinya dan anak keturunannya sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada keluarga Ibrahim dan berilah barakah kepada Muhammad, istri-istrinya dan anak keturunannya sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia) “. (H.R.Bukhari)

Membaca Sholawat dalam shalat maupun diluar shalat bisa memilih salah satu lafadz dari dia lafadz ini. Bisa juga berganti-ganti sebagai variasi. Tidak dibedakan apakah saat Tasyahud Awal ataupun Tasyahud Akhir. Artinya bacaan Sholawat saat Tasyahud awal sama saja dengan bacaan Sholawat saat Tasyahud akhir.

Selain dua lafadz ini, adapula lafadz Sholawat yang lain yang dinyatakan Nash. Berikut ini kami deretkan lima lafadz yang lain.

صحيح مسلم (2/ 373)

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ

أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَالسَّلَامُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ

Dari Abu Mas’ud al-Anshari dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami sedangkan kami berada dalam majlis Sa’d bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata kepadanya, ‘Allah memerintahkan kami untuk mengucapkan shalawat atasmu wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara bershalawat atasmu? ‘ Perawi berkata, “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam hingga kami berangan-angan bahwa dia tidak menanyakannya kepada beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Katakanlah, ‘ALLOOHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD, KAMAA SHOLLAITA ‘ALAA AALI IBROOHIIMA WABAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALAA AALI IBROOHIIMA FIL’AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.” Ya Allah, berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberi shalawat atas keluarga Ibrahim, dan berilah berkah atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Ibrahim di dunia. Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.’ Dan salam sebagaimana yang telah kamu ketahui.” (H.R.Muslim)

مسند أحمد (3/ 331)

 عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكَ قَالَ قُلْ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari Musa bin Thalhah dari bapaknya berkata; aku bertanya; “Wahai Rasulullah, bagaimana cara bershalawat kepadamu?” beliau menjawab: “Bacalah: ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMADIN WA ‘ALA `ALI MUHAMMAD, KAMA SHALLAITA ‘ALA IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIID WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA `ALI MUHAMMAD, KAMA BARAKTA ‘ALA `ALI IBRAHIIM INNAKA HAMIIDUM MAJIID (Ya Allah berikanlah salam kesejahteraan kepada Muhammad dan kepada Keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berikan salam kesejahteraan kepada Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia, dan berikanlah keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluaga Muhammad sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia”. (H.R.Ahmad)

صحيح البخاري (19/ 442)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ

قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ

Dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata; kami bertanya; “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami bershalawat?” beliau menjawab: “Ucapkanlah; ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD ‘ABDIKA WARASUULIKA KAMAA SHALLAITA ‘ALAA IBRAAHIM WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAARAKTA ‘ALAA IBRAHIIM WA ‘ALAA AALI IBRAHIIMA (Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad hamba dan utusan-Mu sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahiim, dan berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Ibrahim, dan keluarga Ibrahim).” (H.R.Bukhari)

مسند أحمد (28/ 304)

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ حَتَّى جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ إِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا فِي صَلَاتِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ قَالَ فَصَمَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَحْبَبْنَا أَنَّ الرَّجُلَ لَمْ يَسْأَلْهُ فَقَالَ إِذَا أَنْتُمْ صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَقُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari Abu Mas’ud, Uqbah bin ‘Amr Al Anshari berkata; ada seorang laki-laki yang datang sehingga dia duduk di depan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, dan kami pada saat sedang berada di samping beliau. Lalu orang itu berkata; “Wahai Rasulullah, berkenaan ucapan salam terhadap anda kami telah mengetahuinya, lalu bagaimana kami harus mengucapkan shalawat atas anda saat kami shalat?.” (Abu Mas’ud, Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Radliyallahu’anhu) berkata; “Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam diam sampai kami berandai-andai jika si laki-laki tadi tidak menanyakannya.” Lalu beliau bersabda: “Jika kalian hendak mengucapkan salawat atasku, maka bacalah: ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD AN-NABIYIL UMI WA ‘ALA ALI MUHAMMAD. KAMA SHALLAITA ‘ALA IBRAHIM DAN KELUARGA IBRAHIM. WA BARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMAD AN-NABIYIL UMI KAMA BARAKTA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM FIL ‘ALAMIN INNAKA HAMIDUN MAJID (ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang tidak bisa membaca dan menulis dan keluarganya. Dan berilah berkah kepada Muhammad Nabi yang tidak bisa membaca dan menulis, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji dan Maha Agung), (H.R.Ahmad)‎‎

مسند أحمد (47/ 143)

عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bahwa beliau bersabda: “Ya Allah! Limpahkanlah kesejahteraan pada Muhammad, keluarganya, istri-istrinya dan keturunannya seperti engkau melimpahkan kesejahteraan kepada keluarga Ibrahim, Engkau Maha Terpuji lagi Mulia.” (H.R.Ahmad)

Sebagaimana dua lafadz sebelumnya, salah satu dari lima lafadz ini juga bisa dipilih untuk diamalkan dan dibiasakan saat membaca shalawat, atau dipakai semua dengan membacanya secara berganti-ganti dalam berbagai kesempatan shalat.

Adapun bacaan Shalawat pendek, yakni sekedar mengucapkan “ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD” pada saat melakukan Tasyahud Awal, maka sebagian ulama membolehkan berdasarkan keumuman ayat dalam Al-Quran, yaitu ayat yang berbunyi;

{إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا } [الأحزاب: 56]

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Al-Ahzab; 56).

Namun lafadz Sholawat yang pendek itu tidak disebutkan dalam riwayat, sebagaimana lafadz-lafadz Sholawat yang dipaparkan di atas. Lafadz Sholawat yang pendek itu jika dibaca tetap sah, namun yang lebih afdhol adalah membaca sholawat dengan lafadz yang diajarkan dalam riwayat.
Tambahan ‘sayyidina’ pada sholawat

Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan :
“Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.”
Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya. Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :
 “Berkata pengarang  kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”

Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.
Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :
1.      Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:‎
 “Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun.”
Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat.Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :

“Adapun sabda Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.

Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.

2.      Hadits Abu Sa’id, berkata :

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر

Artinya : Rasulullah SAW bersabda, Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.(H.R. Turmidzi)

Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas
Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara lain :

1.      Sabda Rasulullah SAW :

 لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ

Artinya : Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.

Jawab kita :

Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ سَادَ – يَسُوْدُ “ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “لاَ تُسَوِّدُوْنِي “ dan bukanlah dengan “ لاَ تُسَيِّدُونِي “ . Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :
”Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin."

Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.

Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.

2. Sabda Rasulullah SAW,


لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه

Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)

Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan. Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”

Jawab kita :
Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya,  ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain. Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan :
”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”‎

Dengan demikian, hadits ini tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat

3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :

أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل

Artinya : Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)‎

 Jawab kita :
Memperhatikan ujung hadits ini yang berbunyi,
“ Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku”

Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :

“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”

Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :

“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.

4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
(H.R. Bukhari)

Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula Rasulullah SAW pernah bersabda :
صلوا كما رأيتموني أصلي

Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat

Jawab kita :
Menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :     
  
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.

Artinya :  Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan  pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) 

Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :

“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.
           ‎
Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan zikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan “wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau dalam hadits Abu Daud ‎yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih

Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah

حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Bukahri22 ‎dan  Syafi’i

Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ”Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”.                             
Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :

a.  Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
b.   Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya  tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah zikir dalam shalat seperti  perkataan sayyidina dalam tasyahud.‎

5. Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.

Jawab kita :
Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab. Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan Rasulullah SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ: أَتُصَلِّي بِالنَّاسِ فَأُقِيمُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي الصَّلَاةِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ» قَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ؟ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ»

Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita." (H.R. Muslim dan Bukhari‎)

Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas, maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud.

Hakikat Gelar Sayyid
Kemudian, gelar ‘sayyid’ tidak hanya dikhususkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata sayyid bisa diberikan kepada para tokoh agama, diantaranya adalah para sahabat. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut beberapa sahabatnya dengan ‘sayyid’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hasan bin Ali bin Abi Thalib:

إِنَّ ابنِي هَذَا سَيِّدٌ

“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid (pemimpin).” (HR. Bukhari 2704)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada orang Anshar, untuk menghormati pemimpinnya, Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, ketika Sa’d datang, beliau menyuruh orang Anshar:

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُم

“Sambutlah pemimpin (sayyid) kalian.” (HR. Bukhari 3073 & Muslim 1768)

Kemudian, para sahabat juga menyebut sahabat lainnya dengan sayyid. Umar bin Khatab pernah mengatakan tentang Abu Bakr dan Bilal:

أَبُو بَكرٍ سَيِّدُنَا وَأَعتَقَ سَيِّدَنَا : يعني بلال بن رباح

“Abu Bakr sayyiduna, dan telah memerdekakan sayyidana, maksud beliau adalah Bilal bin Rabah.” (HR. Bukhari 3754)

jika demikian, sangat layak bagi kita untuk menyebut manusia yang paling mulia dengan ‘sayyiduna’.

Hadis Abdullah bin Syikkhir
Sahabat Abdullah bin Syikkhir mengatakan,

انطَلَقتُ فِي وَفدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقُلنَا : أَنتَ سَيِّدُنَا . فَقَالَ : السَّيِّدُ اللَّهُ . قُلنَا : وَأَفضَلُنَا فَضلًا ، وَأَعظَمُنَا طَوْلًا ( أَي شَرَفًا وَغِنًى ) . فَقَالَ : قُولُوا بِقَولِكُم أَو بَعضِ قَولِكُم ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيطَانُ

Saya pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Bani Amir. Kami sanjung beliau dengan mengatakan: “Anda adalah sayyiduna (pemimpin kami).” Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Assayidu Allah (Sang Pemimpin adalah Allah).” Lalu aku sampaikan: “Anda adalah yang paling mulia dan paling utama di antara kami.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenasihatkan: “Sampaikan perkataan kalian, dan jangan sampai setan membuat kalian menyimpang.” (HR. Abu Daud, 4806 dan dishahihkan Al-Albani)

Hadis ini tidaklah menunjukkan larangan menggunakan gelar ‘sayyidina’ untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena konteks ketika Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabat Abdullah bin Syikkhir adalah kekhawatiran beliau ketika pujian Abdullah bisa berlebihan, sehingga mengangkat beliau sebagaimana layaknya Allah. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengarahkan kata ‘sayyid’ untuk Allah. Dalam rangka mengingatkan mereka bahwa ‘as-sayid’ (pemimpin) mutlak hanyalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, janganlah kalian berlebihan dalam memujiku, sehingga kalian mengkultuskanku sebagai layaknya Tuhan.

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka untuk menyebut beliau dengan sayyid. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka untuk mengucapkan hal itu, sebagaimana yang beliau sabdakan: ‘Sampaikan perkataan kalian’ namun beliau melarang agar jangan sampai setan menyimpangkan mereka, sahingga mereka melebihkan gelar ‘pemimpin’ yang sifatnya khusus menjadi gelar ‘pemimpin’ yang berlaku mutlak. Karena kata ‘sayyiduna’ [pemimpin kami] adalah gelar kepemimpinan khusus yang dikaitkan dengan kata lainnya. Sementara ‘as-sayyid’ [Sang Pemimpin] adalah gelaran yang mutlak (dan itu hanya milik Allah).” (Al-Qoulul Mufid, 2/258).

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah disebutkan:
Kaum muslimin sepakat bolehnya memberikan gelar ‘pemimpin’ untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikannya sebagai tanda untuk Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.

As-Syarqowi mengatakan:

فلفظ ( سيّدنا ) علم عليه صلى الله عليه وسلم

Lafadz ‘sayyiduna’ adalah tanda untuk Nabi sh‎allallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah‎, 11:346)‎

Patut diketahui, bahwa bacaan shalawat tidak hanya bisa dibaca saat Tasyahud, tetapi juga bisa di bagian shalat manapun, misalnya saat bediri, sujud, duduk diantara dua sujud dll. Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut;

مسند أحمد (28/ 304)

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ حَتَّى جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ إِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا فِي صَلَاتِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ قَالَ فَصَمَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَحْبَبْنَا أَنَّ الرَّجُلَ لَمْ يَسْأَلْهُ فَقَالَ إِذَا أَنْتُمْ صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَقُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari Abu Mas’ud, Uqbah bin ‘Amr Al Anshari berkata; ada seorang laki-laki yang datang sehingga dia duduk di depan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, dan kami pada saat sedang berada di samping beliau. Lalu orang itu berkata; “Wahai Rasulullah, berkenaan ucapan salam terhadap anda kami telah mengetahuinya, lalu bagaimana kami harus mengucapkan shalawat atas anda saat kami shalat?.” (Abu Mas’ud, Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Radliyallahu’anhu) berkata; “Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam diam sampai kami berandai-andai jika si laki-laki tadi tidak menanyakannya.” Lalu beliau bersabda: “Jika kalian hendak mengucapkan salawat atasku, maka bacalah: ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD AN-NABIYIL UMI WA ‘ALA ALI MUHAMMAD. KAMA SHALLAITA ‘ALA IBRAHIM DAN KELUARGA IBRAHIM. WA BARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMAD AN-NABIYIL UMI KAMA BARAKTA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM FIL ‘ALAMIN INNAKA HAMIDUN MAJID (ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang tidak bisa membaca dan menulis dan keluarganya. Dan berilah berkah kepada Muhammad Nabi yang tidak bisa membaca dan menulis, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji dan Maha Agung) (H.R.Ahmad)

Dalam hadis di atas, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan bacaan shalawat yang dibaca saat Shalat, namun beliau tidak menentukan posisi tertentu kapan dibaca, sebagaimana beliau menentukan posisi berdiri untuk membaca Al-Fatihah. Oleh karena itu riwayat ini menunjukkan bahwa bacaan Shalawat bisa dibaca selain saat Tasyahud. Dalil yang menguatkan adalah hadis berikut;

سنن الترمذى (8/ 497)

عَنْ الطُّفَيْلِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا اللَّهَ اذْكُرُوا اللَّهَ جَاءَتْ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ قَالَ أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ

Dari Ath Thufail bin Ubai bin Ka’ab dari ayahnya berkata: Bila dua pertiga malam berlalu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam bangun lalu bersabda: “Wahai sekalian manusia, ingatlah Allah, ingatlah Allah, tiupan pertama datang dan diiringi oleh tiupan kedua, kematian datang dengan yang ada padanya, kematian datang dengan membawa segala kelanjutannya, kematian datang dengan membawa segala kelanjutannya.” Berkata Ubai: Wahai Rasulullah, aku sering membawa shalawat untuk baginda, lalu seberapa banyak aku bershalawat untuk baginda? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab: “Terserah.” Aku bertanya: Seperempat? Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam menjawab: “Terserah, jika kau tambahi itu lebih baik bagimu.” Aku bertanya: Setengah? Beliau menjawab: “”Terserah, jika kau tambahi itu lebih baik bagimu.” Aku bertanya: Dua pertiga?”Terserah, jika kau tambahi itu lebih baik bagimu.” Aku berkata: Aku akan menjadikan seluruh doaku untuk baginda. Beliau bersabda: “Kalau begitu, kau dicukupkan dari dukamu dan dosamu diampuni.” (H.R.At-Tirmidzi)

Menjadikan shalawat dengan kuantitas seperempat, separuh, duapertiga dan keseluruhan dari bacaan shalat menunjukkan bahwa bacaan Sholawat itu tidak dibatasi saat Tasyahud saja. Dengan demikian, riwayat ini menguatkan bahwa Shalawat bisa dibaca selain saat Tasyahud.

Wallohu  A’lam.

 

Hukum Seputar Jum'at


Shalat jum’at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama.  Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala  surah Al Jum'ah ayat 9.‎

يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
 
Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan kepadamu shalat jum'at, maka bergegaslah untuk mengingat Allah dan tinggalkan daganganmu.
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah adalah perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala juga melarang berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar seseorang tidak tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak wajib, tentu Allah Subhanahu wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158, Ibnu Qudamah)

Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah hadits yang secara tegas menunjukkan wajibnya shalat jum’at, yaitu hadits Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
 
 الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ الا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
 
Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah, kecuali atas empat (golongan) yaitu budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.‎

Hukum shalat jum'at bagi laki-laki
Maka berdasarkan hadits di atas jelas bahwa hukum shalat jumat bagi laki-laki adalah wajib dengan dilakukan secara berjamaah.

Hukum shalat jum'at bagi wanita‎

Dari hadits di atas pula, disimpulkan bahwa shalat jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat jum'at bersama imam shalat jum'at maka shalatnya sah sah saja.‎

Keutamaan Sholat Jum'at‎

Sholat Jum’at mempunyai banyak keutamaan, diantaranya adalah sebagai berikut :

1- Yang menghadiri sholat jum’at dengan memperhatikan adab-adabnya, maka akan dicatat setiap langkahnya sebagai amalan satu tahun yang mencakup pahala puasa dan bangun malam. Hal ini berdasarkan hadist Aus bin Aus ats Tsaqafi bahwasanya dia pernah mendengar Rosulullah saw bersabda :

من اغتسل يوم الجمعة وغسل وبكر وابتكر ودنا واستمع وأنصت كان له بكل خطوة يخطوها أجر سنة صيامها وقيامها

“ Barang siapa yang mandi hari jum’at dan menyuci ( kepalanya ), lalu bersegera dan bergegas, dan mendekati imam, dan mendengarkan khutbah serta diam, maka dia akan mendapatkan pada setiap langkahnya bagaikan pahala amalan satu tahun, termasuk pahala puasa dan pahala sholat malam. “ ( Hadist Shohih Riwayat Tirmidzi, Abu Dau, Ibnu Majah, Nasai )

2- Barang siapa yang bersegara datang ke masjid untuk melaksanakan sholat Jum’at seakan-akan dia telah bersedekah dan berkurban dengan kurban yang besar. Hal ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :

من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح فكأنما قرب بدنة و من راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشا أقرن ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة فإذا خرج الإمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر

“ Barang siapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian pergi ( ke masjid ) pada waktu yang pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor unta. Dan barang siapa yang datang pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor sapi. Dan barang siapa yang datang pada waktu yang ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Dan barang siapa yang datang pada waktu yang keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam. Dan barang siapa yang datang pada waktu yang kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan sebutir telur. Maka, jika imam telah keluar, malaikatpun bergegas untuk mendengarkan khutbah.” ( HR Bukhari dan Muslim )‎

3- Orang yang melakukan sholat Jum’at sesuai dengan adab-adabnya, maka Allah akan mengampuninya selama sepuluh hari. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah r.a, bahwasanya nabi Muhammad saw :

من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بينه وبين الجمعة وزيادة ثلاثة أيام ومن مس الحصى فقد لغا

“ Barang siapa yang berwudhu, lalu melakukannya dengan sebaik-baiknya, lalu datang untuk melakukan sholat jum’at, kemudian dia mendengar dan memperhatikan khutbah, niscaya akan diampuni dosa-dosa ( kecil ) yang dilakukannya antara jum’at itu dan jum’at berikutnya ditambah dengan tiga hari. Dan barang siapa yang bermain-main dengan kerikil, maka sia-sialah jum’atnya. “ ( HR Muslim )

Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah r.a lainnya, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :

الصلوات الخمس ، و الجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر

“ Sholat lima waktu, dan Jum’at yang satu ke Jum’at yang berikutnya serta satu Romadhan ke Romadhan yang berikutnya dapat menghapus dosa-dosa kecil, selama dosa-dosa besar dijauhi. “ ( HR Muslim )‎

Kepada siapa saja sholat Jum’at diwajibkan ?

Jawaban :

Sholat Jum’at wajib bagi setiap muslim, baligh, berakal, laki-laki dan merdeka. Dalilnya adalah hadist Thariq bin Syihab r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :

الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة : عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض

“ Sholat Jum’at itu sesuatu yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan : hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit. “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud )‎

Hukuman apa yang akan diterima bagi orang yang meninggalkan kewajiban sholat Jum’at ?

Jawaban :

Orang yang meninggalkan kewajiban sholat Jum’at dengan sengaja tanpa udzur syar’I, maka akan ditutup hatinya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :

لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين

“ Hendaklah orang-orang yang sering meninggalkan sholat Jum’at segera menghentikan kebiasaan mereka itu, atau Allah akan mengunci mati hati mereka sehingga mereka termasuk golongan orang-orang yang lemah “ ( HR Muslim )

Hal ini dikuatkan dengan hadits Abu Ja’ad ad-Damuri bahwasanya Rosulullah saw bersabda :

من ترك الجمعة ثلاث مرات تهاونا بها طبع الله على قلبه

“ Barang siapa meninggalkan Jum’at tiga kali karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci mati hatinya . “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasai,‎

Jumlah Jama'ah dalam Sholat Jum'at

Shalat  Jum’at wajib dilaksanakan secara berjama’ah. Dalilnya adalah Hadis Nabi;


عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ [سنن أبى داود 3/ 265]

Dari Thariq bin Syihab dari Nabi saw beliau bersabda;  (Shalat ) Jum’at adalah haq yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah  . (H.R.Abu Dawud)

Lafadz فِي جَمَاعَةٍ (secara berjama’ah  ) Cukup lugas menunjukkan bahwa diantara syarat sah Shalat  Jum’at adalah harus dilaksanakan secara berjama’ah. Jika Shalat  Jum’at dilakukan secara individu, maka Shalat  Jum’at tersebut tidak sah.

Namun, ketika dikatakan berjama’ah , maka hal ini tidak berarti harus terealisasi jumlah tertentu. Hal itu dikarenakan tidak ada Nash yang memerintahkan jumlah tertentu baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat maupun Qiyas. Karena itu jumlah berapapun asalkan terealisasi sifat Jama’ah  secara bahasa sudah cukup untuk membuat Shalat  Jum’at dipandang sah. Dengan demikian, peserta Shalat  Jum’at berjumlah 100 orang sah, 50 orang sah, 10 orang sah, 5 orang sah dst. Hanya saja disyaratkan jumlah minimalnya 3 orang, karena hanya dengan jumlah 3 orang saja sebuah kumpulan bisa disebut Jama’ah secara bahasa. Jumlah 2 orang tidak cukup, karena jumlah 2 bukanlah Jama’ah  secara bahasa.

Keabsahan Shalat  Jama’ah dengan makmum satu orang tidak bisa dijadikan dalil bahwa Jama’ah  itu minimal 2 orang, karena penyebutan  Jama’ah   dua orang pada Shalat  lima waktu, atau dua orang pada Shalat  sunnah didasarkan pada Nash Hadis, bukan pengertian secara bahasa. Jadi penyebutan Jama’ah   pada kasus Shalat  Jama’ah dengan makmum satu orang pada Shalat  5 waktu atau Shalat  sunnah adalah bentuk Takhsish (pengkhususan) pengertian  Jama’ah  secara bahasa.

Lafadz Jama’ah  dalam Hadis dimaknai secara bahasa, karena tidak ada makna Syara’  terhadap lafadz Jama’ah yang tepat dipakai dalam konteks ini , dan tidak ada pula makna istilah (urf). Berdasarkan kaidah Ushul Fikih, lafadz dalam Nash, jk tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i, dan tidak bisa dimaknai pula dengan makna Urfi/Isthilahi, maka lafadz Nash tersebut wajib dimaknai secara bahasa. Oleh karena lafadz Jama’ah   dalam Hadis  tersebut tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i atau Urfi, maka Hadis  tersebut harus  dimaknai dengan makna Jama’ah  secara bahasa. Makna Jama’ah  secara bahasa adalah jumlah 3 ke atas. Dengan demikian, Shalat  Jum’at wajib ditunaikan secara Jama’ah   dengan jumlah minimal peserta 3 ke atas.

Adapun riwayat yang menyatakan jumlah tertentu, yaitu 40 orang agar Shalat  Jum’at dipandang sah, misalnya riwayat yang berbunyi;

عن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كُنْتُ قَائِدَ أَبِى حِينَ كُفَّ بَصَرُهُ فَإِذَا خَرَجْتُ بِهِ إِلَى الْجُمُعَةِ فَسَمِعَ الأَذَانَ بِهَا اسْتَغْفَرَ لأَبِى أُمَامَةَ أَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ. فَمَكَثْتُ حِينًا أَسْمَعُ ذَلِكَ مِنْهُ فَقُلْتُ : إِنَّ عَجْزًا أَنْ لاَ أَسْأَلَهُ عَنْ هَذَا فَخَرَجْتُ بِهِ كَمَا كُنْتُ أَخْرُجُ فَلَمَّا سَمِعَ الأَذَانَ بِالْجُمُعَةِ اسْتَغْفَرَ لَهُ فَقُلْتُ : يَا أَبَتَاهُ أَرَأَيْتَ اسْتِغْفَارَكَ لأَسَعْدَ بْنِ زُرَارَةَ كُلَّمَا سَمِعْتَ الأَذَانَ بِالْجُمُعَةِ قَالَ : أَىْ بُنَىَّ كَانَ أَسْعَدُ أَوَّلَ مَنْ جَمَّعَ بِنَا بِالْمَدِينَةِ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى هَزْمٍ مِنْ حَرَّةِ بَنِى بَيَاضَةَ فِى نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ الْخَضَمَاتُ قُلْتُ : وَكَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ : أَرْبَعُونَ رَجُلاً . [السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي 3/ 176]

Dari Abdurrahman Bin Ka’b Bin Malik beliau berkata; aku adalah penuntun jalan ayahku pada saat beliau menjadi buta. Jika aku membawa beliau untuk Shalat  Jum’at lalu beliau mendengar Adzan maka beliau memintakan ampun untuk Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Maka selama beberapa saat aku mendengar hal itu dari beliau, kemudian aku bergumam; sesungguhnya sebuah kelemahan jika  aku tidak menanyakan hal ini kepada beliau. Maka aku keluar membawa beliau sebagaimana biasanya. Tatkala beliau mendengar Adzan Jum’at beliau memintakan ampun untuknya. Maka aku bertanya; Wahai ayah, kenapa engkau beristighfar untuk As’ad  bin Zurarah setiap kali engkau mendengar Adzan Jum’at? Beliau menjawab; wahai putraku, As’ad adalah orang yang pertama kali menyelenggarakan Shalat  Jum’at bersama kami sebelum kedatangn Rasulullah SAW  pada sebuah tanah rendah dari tanah tak berpasir milik Bani Bayadhoh di kawasan tempat berair yang bernama  Al- Khodhomat. Aku bertanya; berapa jumlah kalian waktu itu? Beliau menjawab; empat puluh lelaki.‎

Maka jumlah 40 yang disebutkan dalah riwayat di atas tidak lebih merupakan;

وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan)

Jumlah 40 orang itu tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan keabsahan Shalat  Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang menunjukkan bahwa jumlah 40 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi  syarat jumlah minimal. Hal ini sama saja dengan misalnya riwayat Rasulullah SAW  Shalat  Dhuhur secara berjamaah dengan Makmum sebanyak 30, lalu shalat  Ashar  dengan makmum 20, lalu Shalat  Maghrib dengan Makmum 50. Kita tidak bisa mengatakan bahwa syarat sah Jama’ah   Dhuhur jumlah minimal makmumnya 30, Ashar 20, dan Maghrib, 50 orang. Semua itu adalah peristiwa tertentu yang bersifat kebetulan yang tidak dimaksudkan sebagai syarat pengikat keabsahan sebuah ibadah. Jika jumlah orang dijadikan  syarat keabsahan sebuah hukum syara, maka hal itu harus dinyatakan dalil dalam bentuk syarat, bukan kejadian yag bersifat kebetulan. Misalnya syarat saksi zina minimal 4 orang, syarat saksi melihat hilal minimal 1 orang, syarat saksi nikah minimal 2 orang dst…semua jumlah dalam saksi ini dinyatakan dengan jelas dalam Nash dalam bentuk syarat yang mengikat, bukan kejadian yang diriwayatkan secara kebetulan.

Adapun hadis Jabir yang berbunyi

السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (3/ 177)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِى كُلِّ ثَلاَثَةٍ إِمَامًا ، وَفِى كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمُعَةٌ وَفِطْرٌ وَأَضْحًى

“Dari Jabir beliau berkata; Telah berlaku Sunnah bahwa setiap tiga (orang diangkat) seorang Imam, dan setiap empat puluh (orang) ke atas (dilaksanakan) shalat Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adha”

Maka hadis ini Dhoif (lemah) karena ada seorang perawi yang bernama Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman Al-Qurosyi. Al-Baihaqy mengatakan bahwa hadis seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah.

Lagipula, riwayat yang menyebutkan jumlah 40 itu terjadi sebelum Shalat  Juma’t diwajibkan. Karena Shalat  Jum’at baru diwajibkan setelah turunnya Surat Jumu’ah. Oleh karena riwayat yang menyebut 40 orang tersebut terjadi sebelum diwajibkannya Shalat  Jum’at, maka riwayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar mewajibkan jumlah tertentu untuk menentukan keabsahan Shalat  Juma’t. Tidak boleh menjadikan sesuatu yang tidak wajib sebagai dasar kewajiban yang wajib, karena hukum baru selalu menasakh (menghapus) semua hukum lama.

Termasuk pula riwayat yang dijadikan dalil bahwa peserta Shalat Jum’at minimal 12 orang seperti riwayat berikut;

صحيح مسلم (4/ 352)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ

بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ قَدِمَتْ عِيرٌ إِلَى الْمَدِينَةِ فَابْتَدَرَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَمْ يَبْقَ مَعَهُ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ

{ وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah suatu Kafilah dagang ke Madinah, maka para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergegas mendatanginya hingga tidak tersisa lagi orang yang bersamanya kecuali dua belas orang. Di antara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Maka turunlah ayat ini: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya.,.” (H.R.Muslim)

jumlah 12 yang disebutkan dalam  riwayat di atas juga tidak lebih;

وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan)

sehingga tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan keabsahan Shalat  Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang menunjukkan bahwa jumlah 12 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi  syarat jumlah minimal.

Jadi, tidak ada ketentuan jumlah tertentu yang menjadi syarat keabsahan shalat Jumat. Syarat yang jelas berdasarkan dalil terkait jumlah hanyalah syarat berjamaah, dan secara bahasa syarat tersebut terealisasi dengan jumlah minimal tiga orang. Namun pendapat jumlah minimal harus 40 orang adalah pendapat yang Islami, yang dikemukakan Mujtahid-Mujtahid berkelas seperti Assyafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya. Demikian pula pendapat minimal 12 orang seperti yang dianut madzhab Maliki. Karena itu sah secara Syar’i jika ada diantara kaum muslimin mengambil pendapat ini dalam kapasitasnya sebagai salah satu Ijtihad yang Syar’i. Wallohu A'lam

Bagaimana bila hari ied (Idul Fitri dan Idul Adha) jatuh atau bertepatan dengan hari Jumat? Apakah shalat jumatnya bisa gugur?
Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama:‎

Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
 
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” (HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
 
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: (1) budak, (2) wanita, (3) anak kecil, dan (4) orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
 
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
 
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)‎

Pendapat Kedua:

Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
 
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
 
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Asy Syaukani dalam As-Sailul Jaror (1: 304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (4: 492) mengatakan bahwa sanad hadits inijayyid (antara shahih dan hasan, pen.). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. 
Intinya, hadits di atas bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari seorang tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah, ia berkata,
 
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
 
“Ibnu Az-Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al-Khattab melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az-Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az-Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini. (Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1: 596, Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Kesimpulan Jika Ied Jatuh Pada Hari Jum'at

– Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
– Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
– Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
– Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim no. 878)
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al-A’laa dan Al-Ghasiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
– Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).

- Azan hendaklah dikumandangan di masjid-masjid yang diadakan shalat Jumat saja, tidak disyariatkan bagi yang melaksanakan shalat Zhuhur.

- Pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat dan shalat Zhuhur gugur bagi yang telah menghadiri shalat ied adalah pendapat yang tidak benar. Pendapat ini adalah pendapat yang nyleneh atau aneh (gharib) karena menyelisihi tuntunan, juga menggugurkan kewajiban tanpa dalil. Masa jadinya, shalat dalam sehari jadi empat waktu? Intinya, shalat Zhuhur tetap ada bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat ketika paginya telah menghadiri shalat ied‎.
Wallohu A'lam‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...