Rabu, 25 November 2020

Hukum Memakai Emas


Diriwayatkan dari ibnu Laila, ia berkata, "Hudzaifah pernah ditugaskan di al-Mada'in. Pada suatu ketika ia meminta minum Dihqaan datang dengan membawa air dalam gelas yang terbuat dari perak. Hudzaifah melempar Dihqaan dengan gelas perak tersebut lalu berkata, "Sesungguhnya aku melemparnya karena ia sudah pernah aku larang namun masih saja ia lakukan. Sesungguhnya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda, 'Emas, perak, sutra, dan sutra dibaaj untuk mereka orang kafir di dunia dan untuk kalian nanti di akhirat'," (HR Bukhari [5632] dan Muslim [2067]).

Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azib radhiyallohu'anhu ia berkata, "Nabi sholallohu 'alaihi wasallam memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dengan tujuh perkara. Beliau menyuruh kami untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan, menolong orang yang teraniaya, membenarkan sumpah, menjawab salam dan mengucapkan tasymit atas orang-orang bersin. Beliau melarang kami memakai bejana perak, cincin emas, kain sutra, sutra dibaaj, kain qasy dan kain istibraq," (HR Bukhari [1239] dan Muslim [2066]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallohu'anhu dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam, "Bahwasanya beliau melarang memakai cincin dari emas," (HR BUkhari [5864] dan Muslim [2089]).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallohu'anhu bahwasanya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas, lalu beliau menanggalkannya dan membuangnya seraya bersabda, "Apakah salah seorang dari kalian ada yang berani dengan sengaja mengambil bara neraka lalu ia letakkan di tangannya?"

Setelah Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam pergi, kemudian dikatakan kepada laki-laki itu, "Ambil kembali dan manfaatkan cincinmu itu." Laki-laki itu berkata, "Demi Allah, selamanya aku tidak akan mengambil kembali apa yang tleah dibuang Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam," (HR Muslim [2090]).

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallohu'anhubahwasanya Nabi sholallohu 'alaihi wasallam melarang memakai pakaian yang bergaris sutra dan yang dicelup dengan warna kuning, memakai cincing emas dan membaca al-Qur'an ketika ruku'," (HR Muslim [2078]).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallohu'anhu bahwasanya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam pernah membuat cincin dari emas dan ketika memakainya beliau meletakkan bagian mata cincinnya di bagian telapak tangan. Maka orang-orang pun ikut membuat cincin seperti itu. Kemudian di saat duduk di atas mimbar, beliau menanggalkan dan bersabda, "Sesungguhnya aku dulu memakai cincin ini dan aku letakkan mata cincinnya di bagian telapak tangan." Lalu beliau membuang cincin itu dan kembai bersabda, "Demi Allah aku tidak akan memakai cincin ini selamanya." Maka orang-orangpun ikut membuang cincin mereka, (HR Bukhari [5868] dan Muslim [2091]).

Diriwayatkan dari Abu Tsa'labah al-Khusyani radhiyallohu'anhubahwasanya Nabi sholallohu 'alaihi wasallam melihat di tangan Abu Tsa'labah ada sebentuk cincin. Lalu beliau memukul-memukul cincin itu dengan sebatang tongkat yang ada di tangannya. Tatkala Nabi sholallohu 'alaihi wasallam lengah ia segera membuang cincin itu. Kemudian Nabi sholallohu 'alaihi wasallam kemblai melihat ke tangan Tsa'labah dan ternyata cincin itu sudah tidak ada lagi. Lantas Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Ternyata kami telah menyakitimu dan membuatmu rugi," (Shahih, HR Ahmad [IV/195]).

Diriwayatkan dari Salim bin Abi al-Ja'd dari seorang laki-laki kalangan kami dari suku asyja', ia berkata, "Rasululah sholallohu 'alaihi wasallam melihatku memakai cincin dari emas. Lalu beliau menyuruhku untuk membuangnya. Maka akupun membuangnya sampai sekarang ini," (Shahih, HR Ahmad [IV/260]).

Ada beberapa hadits lain dalam bab ini dari Umar, Imran, Abdullah bin Amr, Buraidah dan Jabir bin Abdillah radhiyallohu'anhu.

Kandungan Bab:

Hadits-hadits yang tercantum di bawah bab ini merupakan nash yang mengharamkan emas, khususnya cincin emas bagi kaum laki-laki.
Adapun hadits yang mencantumkan bahwa Nabi sholallohu 'alaihi wasallam memakai cincin emas adalah hadits yang mansukh.
Al-Baghawi berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah (57-58) sebagai komentar terhadap hadits Ibnu Umar radhiyallohu'anhu "Hadits mencakup dua perkara yang kemudian hukumnya berubah.

Memakai cincin emas, kemudian hukumnya berubah menjadi haram untuk kaum laki-laki.
Memakai cincin di sebalah kanan, kemudian pada akhirnya Nabi sholallohu 'alaihi wasallam memakainya di sebelah kiri.
Al-Hafid Ibnu Hajar berakta dalam kitabnya Fathul Baari (X/318), "Hadits Ibnu Umar merupakan bukti dimansukhkannya pembolehan memakai cincin apabila cincin tersebu terbuat dari emas."

3. Dibolehkan menjual cincin emas dan memanfaatkan hasis penjualannya. Oleh karena itu para sahabat berkata kepada laki-laki tersebut, "Ambil kembali cincinmu dan manfaatkanlah."

Apa Hikmah Pengharaman Memakai Emas bagi Laki-Laki?

Ketahuilah illat (sifat (alasan) yang tampak dan tetap yang dibangun diatasnya sebuah hukum) dalam hukum syariat bagi setiap orang mukmin adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata".(Al-Ahzab:36).

Maka siapapun yang bertanya kepada kami (Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali) tentang kewajiban sesuatu atau pengharamannya, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah. Kami katakan, "Alasan, illat, dalam hal ini adalah firman Allah atau sabda Rasul-Nya Shallallhu Alaihi wa Sallam, dan illat itu cukup bagi setiap mukmin. Maka dari itu ketika Aisyah radhiyallahu anha ditanya mengapa orang haidh itu harus mengqadha puasa dan tidak mengqadha sholat? Aisyah menjawab, "Itulah yang diperintahkan kepada kita, kita diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha sholat." Karena nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menjadi illat yang wajib bagi setiap mukmin. Tetapi tidak apa-apa jika manusia mencari illat lain dan mencari hikmah dari hukum-hukum Allah, karena hal itu akan menambah ketenangan dan akan menampakkan ketinggian syariat Islam, yang mana setiap hukum selalu disertai dengan illat-illat-nya. Di samping itu juga memungkinkan terjadinya kiyas jika illat hukum yang dinashkan itu bisa diterapkan pada masalah lain yang tidak dinashkan. Maka mengetahui hikmah syar'iyyah memiliki tiga faedah.

Alasan logisnya karena emas adalah perhiasan yang paling mahal bagi manusia dan tujuan pemakaiannya adalah untuk berhias dan berdandan, sedangkan laki-laki tidak diciptakan untuk kepentingan itu. Atau laki-laki bukanlah makhluk yang menjadi sempurna karena sesuatu yang lain, tetapi laki-laki sempurna dengan dirinya sendiri karena dia punya kejantanan dan karena laki-laki tidak perlu berhias untuk menarik orang lain.

Berbeda dengan wanita, karena wanita memiliki sifat kurang maka dia perlu sesuatu yang lain untuk menyempurnakan keindahannya dan karena wanita perlu berhias dengan berbagai macam perhiasan yang mahal, sehingga hal itu mendorong mereka mau bergaul dengan sesama wanita dan istri-istri yang lain. Maka dari itu diperbolehkan bagi wanita untuk berhias dengan emas dan tidak diperbolehkan bagi laki-laki. Mengenai wanita ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran."(Az-Zukhruf:18).

Dengan demikian jelaslah hukum syariat tentang haramnya memakai emas bagi laki-laki.

Larangan Mengukir Cincin dengan Ukiran Cincin Rasulullah Sholallohu 'alaihi wasallam

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallohu'anhuia berkata, "Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam menempa cincin dari emas kemudian beliau membuangnya. Setelah itu beliau menempa cincin dari perak dan mengukirnya dengan tulisan 'Muhammad Rasulullah', beliau bersabda, 'Jangan ada seorang pun mengukir cincinnya seperti ukiran cincinku ini'," (HR Muslim [2091]).

Dari Anas bin Malik r.a. bahwasanya Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam menempa cicin dari perak dan mengukirnya dengan tulisan, 'Muhammad Rasulullah' kemudian beliau berkata, "Sesungguhnya aku telah menempa cincin dari perak dan aku mengukirnya dengan tulisan Muhammad Rasulullah. Maka janganlah seorang pun mengukir cincinnya dengan tulisan tersebut," (HR Bukhari [5977] dan Muslim [2092]).

Kandungan Bab:

Haram hukumnya mengukir cincin dengan ukiran atau tulisan yang terdapat pada cincin Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam
Sebagian ahli ilmu membolehkannya bagi para khalifah, sultan dan para qadhi untuk mengukir cincin mereka dengan tulisan nama mereka.
Sebagian ahli ilmu memakruhkan ukiran cincin yang bertuliskan Asma' Allah karena khawatirkan akan dibawa ke tempat-tempat yang najis, seperti saat beristinja' dan lainnya. Hanya saja mereka mengatakan, "Jika tidak ada kekhawatiran demikian, maka tidaklah makruh, wallaahu a'lam."


Apa hukumnya seorang laki-laki memakai gelang dan kalung ? Mengingat aturan syar’i tidak diperbolehkan bagi laki-laki menyerupai perempuan.

Dengan demikian, sesuatu dikatakan tasyabbuh bin-nisa` atau bir-rijal (menyerupai laki-laki) apabila memang sesuatu dikhususkan untuk perempuan atau laki-laki. Sehingga jika laki-laki memakai sesuatu yang memang dikhususkan untuk perempuan maka termasuk tasyabbuh bin-nisa`, begitu juga sebaliknya apabila perempuan memakai sesuatu yang dikhusukan untuk laki-laki maka termasuk tasyabbuh bir-rijal. Kedua ‎tasyabbuh ini jelas dilarang dalam ajaran Islam.  

وَقَدْ ضَبَطَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ مَا يَحْرُمُ التَّشَبُّهُ بِهِنَّ فِيهِ بِأَنَّهُ مَا كَانَ مَخْصُوصًا بِهِنَّ فِي جِنْسِهِ وَهَيْئَتِهِ أَوْ غَالِبًا فِي زِيِّهِنَّ وَكَذَا يُقَالُ فِي عَكْسِهِ

“Ibnu Daqiq al-Id telah memberikan batasan tentang hal yang haram menyerupai wanita, yaitu sesuatu yang dikhususkan untuk wanita baik jenis maupun potongannya, atau umumnya merupakan perhiasaan mereka. begitu juga sebaliknya” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M, juz, 2, h. 374)

Dalam kitab al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab. dikatakan, mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafii mengatakan bahwa laki-laki boleh memakai cincin yang terbuat dari perak sesuai dengan ijma`. Adapun selain cincin perak yaitu perhiasan yang terbuat dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung maka hukumnya adalah haram dipakai oleh laki-laki sebagaimana ditetapkan oleh mayoritas ulama.

قَالَ أَصْحَابُنَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ خَاتَمُ الْفِضَّةِ بِالْاِجْمَاعِ وَأَمَّا مَا سِوَاهُ مِنْ حُلِيِّ الْفِضَّةِ كَالسِّوَارِ وَالْمُدَمْلَجِ وَالطَّوْقِ وَنَحْوِهَا فَقَطَعَ الْجُمْهُورُ بِتَحْرِيمِهَا

“Para ulama dari kalangan madzhab kami (madzhab syafii) berkata, boleh bagi laki-laki memakai cincin yang terbuat  dari perak sesuai dengan ijma` para ulama. Adapun selainnya yaitu perhiasan yang dibuat dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, kalung, dan sejenisnya maka mayoritas ulama menentapkan keharamannya”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)    

Namun menurut al-Mutawalli dan al-Ghazali boleh bagi laki memakai perhiasaan yang terbuat dari perak. Sebab, yang dilarang adalah menggunakan perkakas dari perak dan tasyabbuh dengan perempuan.

Sedang menurut pandangan kedua perhiasan seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak tidak dipandangan tasyabbuh dengan perempuan. Disamping itu juga bukan termasuk perkakas (al-awani). Artinya, perhiasan tersebut bukan monopoli kaum hawa. Sebab, yang diharamkan adalah memakai perkakas yang terbuat dari perak dan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan.  

وَقَالَ الْمُتَوَلِيُّ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْفَتَاوِى يَجُوزُ لِاَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي الْفِضَّةِ اِلَّا تَحْرِيمُ الْاَوَانِي وَتَحْرِيمُ التَّشَبُّهِ بِالنِّسَاءِ

“Al-Mutawalli dan al-Ghazali berkata dalam al-Fatawi-nya, boleh (bagi laki-laki memakai gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak) sebab keharaman yang terdapat dalam benda-benda yang terbuat dari perak itu sebatas perkakas dan adanya unsur penyerupaan dengan perempuan” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)    

Kedua pandangan ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Dan hasil kesimpulannya, beliau lebih cenderung menganggap bahwa pendapat pertama yang dipegangi mayoritas ulama adalah pendapat yang sahih. Alasannya yang dikemukakan oleh beliau adalah adanya tasyabbuh dengan perempuan yang jelas diharamkan.

وَالصَّحِيحُ الْاَوَّلُ لِاَنَّ فِي هَذَا تَشَبُّهًا بِالنِّسَاءِ وَهُوَ حَرَامٌ

“Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama karena dalam hal ini terdapat tasyabbuh dengan perempuan dan itu adalah haram”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)   

Dengan kata lain alasan yang digunakan pendapat pertama untuk mengharamkanya lebih menekankan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan. Artinya, dalam pandangan mereka perhiasan-perhiasan tersebut (gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung) dikhususkan untuk kalangan perempuan sehingga laki-laki tidak diperkenankan memakainya.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan :

ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا للادب وأنه من زى النساء لا للتحريم ولا أكره لبس ياقوت ولا زبرجد إلا من جهة السرف أو الخيلاء

“Saya tidak memakruhkan bagi laki-laki yang memakai mutiara, kecuali karena adab saja sebab itu merupakan hiasan wanita, tidak menunjukkan haram. Dan saya tidak memakruhkan memakai yaqut (ruby) dan permata, kecuali jika berlebihan dan sombong.” (Al Umm, 1/254. Darul Fikr).

Imam Asy Syaukani juga menyatakan kebolehannya, menurutnya tidak ada satu pun hadits shahih tentang pengharaman cincin perak, dan beliau (saw) juga menyebutkan “Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah dengannya sesuai selera,” sebagai penguat kebolehannya. (Nailul Authar, 1/67. 

قال أصحابنا يجوز للرجل خاتم الفضة بالاجماع وأما ما سواه من حلي الفضة كالسوار والمدملج والطوق ونحوها فقطع الجمهور بتحريمها وقال المتولي والغزالي في الفتاوى يجوز لانه لم يثبت في الفضة الا تحريم الاواني وتحريم التشبه بالنساء والصحيح الاول لان في هذا تشبها بالنساء وهو حرام

Berkata Para Pengikut Madzhab Syafi’i “Boleh bagi laki-laki memakai cincin perak dengan kesepakatan ulama sedang untuk perhiasan lainnya semacam gelang tangan, gelang lengan, kalung dsb menurut mayoritas ulama mengharamkannya.

Berkata al-Mutawally dan al-Ghozali “Boleh memakai perhiasan-perhiasan diatas yang terbuat dari perak karena yang diharamkan dalam barang yang terbuat dari perak sebatas barang-barang perkakas dan adanya unsure penyerupaan dengan wanita”

Namun yang shahih adalah pendapat pertama karena dalam masalah ini terjadi penyerupaan dengan wanita yang diharamkan.

Al-Majmu’ alaa Syarh al-Muhadzdzab IV/444

يجوز للرجل التختم بالفضة لما روى أنه (اتخذ خاتما من فضة) وهل له لبس ما سوى الخاتم من حلي الفضة كالسوار والدملج والطوق لفظ الكتاب يقتضي المنع حيث قال ولا يحل للرجال إلا التختم به وبه قال الجمهور وقال ابو سعيد المتولي إذا جاز التختم بالفضة فلا فرق بين الاصابع وسائر الاعضاء كحلي الذهب في حق النساء فيجوز له لبس الدملج في العضد والطوق في العنق والسوار في اليد وغيرها وبهذا أجاب المصنف في الفتاوى وقال لم يثبت في الفضة إلا تحريم الاواني وتحريم التحلي علي وجه يتضمن التشبه بالنساء –إلى أن قال- ويحرم علي النساء تحلية آلات الحرب بالذهب والفضة جميعا لان في استعمالهن لها تشبها بالرجال وليس لهن التشبه بالرجال هكذا ذكره الجمهور واعترض عليه صاحب المعتمد بأن آلات الحرب من غير ان تكون محلاة إما ان يجوز للنساء لبسها واستعمالها أو لا يجوز (والثانى) باطل لان كونه من ملابس الرجال لا يقتضى التحريم إنما يقتضي الكراهة ألا ترى انه قال في الام ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا للادب وانه من زى النساء لا للتحريم فلم يحرم زى النساء علي الرجال وإنما كرهه فكذلك حكم العكس

Boleh bagi laki-laki memakai cincin perak karena diriwayatkan bahwa baginda nabi memakai cincin dari perak, bolehkah baginya memakai perhiasan selain cincin semacam gelang tangan, gelang lengan, kalung dsb yang terbuat dari perak ? Redaksi Kitab mengarah pada tidak bolehnya seperti ungkapan Pengarang “Dan tidak boleh bagi laki-laki kecuali perhiasan cincin dari perak” Dan yang demikian juga pendapat mayoritas Ulama namun Abu Sa’id al-Mutawally menyatakan “Bila memakai cincin perak dihalalkan maka tidak dibedakan kehalalan memakainya baik terpakai dijemari atau anggauta tubuh lainnya sebagaimana kelegalan perhiasan emas bagi wanita, maka boleh bagi laki-laki memakai gelang lengan, kalung dileher, gelang ditangan dsb” dst……..

Syarh al-Wajiiz VI/28

(مسألة: ي): ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه في الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة، وتبعه الرملي في النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر، أو يغلب اختصاصه به في ذلك المحل الذي هما فيه.

Batasan penyerupaan yang di haramkan pada kasus penyerupaan orang laki-laki pada perempuan dan sebaliknya adalah apa yang diterangkan oleh Ulama Fiqh dalam kitab Fath aljawaad, Tuhfah, Imdaad dan kitab syun alghooroh. Imam Romli juga mengikutinya dalam kitab Annihaayah, Batasannya adalah

"Bila salah satu dari lelaki atau wanita tersebut berhias memakai barang yang dikhususkan untuk lainnya atau pakaian yang jamak di gunakan pada tempat tinggal lelaki dan wanita tersebut".
Bughyah Almustarsyidiin 604‎

Hukum Suami Minum Air Susu Istrinya

Mubah hukumnya  meminum air susu istri dengan sengaja, sebagaimana mubahnya menelan ludah, keringat, air mata, dan air mani  karena tidak ada dalil yang mengharamkan dan tidak termasuk najis. Meminum air susu istri hukumnya mubah, baik untuk  kepentingan Istimta’ (bersenang-senang), Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’ dan tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun, kecuali jika suami berusia kurang dari dari 2 (dua) tahun dan meminum minimal lima kali susuan. Jika aktivitas meminum tersebut dilakukan secara tidak  sengaja maka lebih jelas lagi kebolehannya.
Air susu wanita termasuk minuman yang halal karena tidak ada dalil yang mengharamkan. Ketiadaan dalil yang mengharamkan ini  menjadikan status air susu wanita menjadi minuman yang halal karena termasuk keumuman firman Allah;

{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا} [البقرة: 29]

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian (Al-Baqoroh; 29)

Air susu wanita yang dikonsumsi bayi tanpa ada celaan, cukup jelas menunjukkan status kehalalannya. Namun hal ini tidak bisa difahami bahwa air susu wanita hanya halal bagi bayi, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa minuman itu hanya bagi bayi. Juga tidak bisa difahami bahwa air susu wanita hanya boleh dikonsumsi selain bayi dalam kondisi darurat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa air susu wanita hanya boleh dikonsumsi dalam kondisi darurat. Mengkhususkan kebolehan memanfaatkan sesuatu atau membatasinya harus didasarkan dalil.

Air susu wanita juga bukan benda najis sehingga bisa diharamkan mengkonsumsinya dengan alasan kenajisannya. Bahkan, air susu wanita yang telah menjadi mayatpun tetap dihukumi suci.  Realitas air susu wanita yang diminum bayi dan dibenarkan syara’ sudah cukup jelas menunjukkan status kesuciannya. Syara’ juga tidak membagi air susu wanita menjadi dua kondisi: Jika diminum bayi statusnya suci, dan jika diminum selain bayi maka statusnya najis. Juga tidak ada pembedaan: Air susu wanita yang masih hidup adalah suci sementara air susu wanita yang telah mati dihkumi najis. Tidak ada pembedaan-pembedaan seperti ini dan tidak ada dalil yang menyatakannya, karena itu status air susu wanita tetap suci karena untuk menyatakan kenajisan sesuatu semuanya harus dinyatakan oleh dalil atau yang ditunjuk oleh dalil.

Oleh karena air susu wanita termasuk benda halal dan bukan benda najis, maka mubah hukumnya jika seorang lelaki meminum air susu dari istrinya sebagaimana mubahnya menelan ludah, keringat, air mata, atau air mani. Meminum air susu wanita  hukumnya mubah baik untuk  kepentingan Istimta’(bersenang-senang), Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’.  Terkait penggunaan air susu sebagai obat Ibnu Taimiyah berfatwa sebagai berikut;

الفتاوى الكبرى (3/ 162)

أَمَّا غَسْلُ عَيْنَيْهِ بِلَبَنِ امْرَأَتِهِ يَجُوزُ، وَلَا تَحْرُمُ بِذَلِكَ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ

“Adapun mencuci kedua mata dengan memakai air susu istri maka hal ini boleh, hal tersebut tidak membuat istri menjadi mahram (Al-Fatawa Al-Kubro, vol.3, hlm 162)

Jika seorang lelaki meminum air susu istrinya, maka tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun, misalnya sang suami statusnya menjadi anak susu dari istrinya, sehingga otomatis pernikahannya harus dibubarkan kerana suami telah menjadi mahromnya.  Tidak ada konsekuensi itu, karena agar berlaku hukum-hukumRodho’ah/persusuan, harus terealisasi dua syarat;

Pertama; Aktivitas menyusu minimal dilakukan lima kali susuan.

Artinya, aktivitas meminum susu yang cuma sedikit, atau cuma sekali-dua kali yang tidak sampai lima kali,  tidak dihitung sebagai aktivitas menyusu yang berkonsekuensi hukum. Dalil yang menunjukkan syarat minimal lima kali susuan adalah hadis berikut;

صحيح مسلم (7/ 352)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ

dari ‘Aisyah dia berkata: “Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (H.R.Muslim)

Hadis di atas menunjukkan bahwa mulanya jumlah minimal susuan yang berkonsekuensi hukum adalah sepuluh kali susuan. Kemudian hukum ini dinasakh menjadi lima kali susuan, dan berlaku terus hingga kini.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah sepuluh kali susuan, maka pendapat ini telah terbantahkan dengan hadis di atas, karena hadis di atas cukup lugas menjelaskan bahwa syarat minimal sepuluh susuan itu memang berlaku sebelumnya, namun hukum tersebut telah dinasakh sehingga tidak bisa dipakai lagi.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah tidak dibatasi, yakni sedikit atau banyak sudah berkonsekuensi hukum, atau mengatakan: Selama kadarnya sudah cukup membatalkan puasa maka sudah berkonsekuensi hukum, maka pendapat ini tertolak karena bertentangan dengan riwayat yang lugas dari aisyah di atas. Atsar-atsar yang menunjukkan sejumlah Shahabat berpendapat seperti ini lebih utama  ditinggalkan karena bertentangan dengan hadis shahih yang lebih dekat difahami sebagai hadis marfu’.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah tiga kali susuan dengan mendasarkan pada dalil seperti;

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ [سنن أبى داود 5/ 450]

Dari Aisyah r.ha dia berkata, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “satu atau dua susuan tidaklah bisa menjadikan mahram” (H.R.Abu Dawud)

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ دَخَلَ أَعْرَابِيٌّ عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِي فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي كَانَتْ لِي امْرَأَةٌ فَتَزَوَّجْتُ عَلَيْهَا أُخْرَى فَزَعَمَتْ امْرَأَتِي الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتْ امْرَأَتِي الْحُدْثَى رَضْعَةً أَوْ رَضْعَتَيْنِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَالْإِمْلَاجَتَانِ

[صحيح مسلم 7/ 346]

Dari Ummu Al Fadhl dia berkata, seorang arab masuk menemui nabi SAW sementara beliau berada dalam rumahku. Dia berkata, “wahai Nabiyullah, sesungguhnya padaku terdapat seorang wanita, lalu aku menikahinya. Istri pertamaku berkata bahwa dia telah menyusuinya dua kali susuan, maka beliau SAW bersabda,” satu susuan dan dua susuan tidaklah bisa menjadikan mahram”. (H.R.Muslim)‎

Dalil-dalil ini dan yang semakna dengannya belum kuat dipakai untuk menetapkan jumlah minimal adalah tiga kali susuan, karena maksud hadis di atas adalah menafikan jumlah susuan yang cuma sedikit dan tidak mencapai batas yang ditentukan syara’. Syara’ telah menjelaskan bahwa batasan minimal persusuan adalah lima kali susuan, karena itu Nash yang lugas ini lebih utama untuk dijadikan batasan, karena pemahaman Manthuq (makna ekslpisit) lebih kuat daripada Mafhum (makna implisit).

Jadi, agar berlaku hukum-hukum persusuan, maka jumlah susuan minimal harus lima kali susuan. Selama ini tidak terealisasi, maka hukum Rodho’ah/persusuan tidak berlaku.

Kedua: Yang meminum air susu usianya maksimal 2 (dua) tahun Hijriyyah.

Artinya, jika yang meminum air susu usianya 0- 2 tahun dalam hitungan tahun Hijriyyah, maka berlaku hukum-hukum persusuan. Jika yang meminum air susu tersebut berusia lebih dari dua tahun, maka sudah tidak berlaku lagi hukum persusuan. Syarat maksimal dua tahun ini didasarkan pada ayat berikut;

{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233]

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknyaselama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (Al-Baqoroh; 233)

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa persusuan yang sempurna itu dibatasi hanya sampai dua tahun saja. Hal ini menunjukkan, sesudah dua tahun tidak berlaku lagi hukum persusuan.

Yang menguatkan adalah hadis berikut;

سنن الترمذى (4/ 374)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ

dari Umu Salamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang membelah usus (mengenyangkan) pada payudara dan terjadi sebelum disapih.” (H.R.At-Tirmidzi)

Dalam hadis ini Rasulullah صلى الله عليه وسلم merangkum syarat persusuan yang berkonsekuensi hukum dalam satu ucapan. Ucapan yang berbunyi;

“kecuali (susuan) yang membelah usus (mengenyangkan)”

Ucapan ini bermakna jumlah  air susu yang sedikit tidak mempengaruhi hukum persusuan (misalnya setetes atau dua tetes). Harus terealisai  kuantitas tertentu yang disebut Rasulullah صلى الله عليه وسلم  sampai “membelah usus”,  maksudnya  jumlah yg mmpengaruhi pertumbuhan. Dalam Nash yang lain dijelaskan jumlah tersebut minimal 5 (lima) kali susuan.

Ucapan yang berbunyi;

“dan terjadi sebelum disapih“‎

Ucapan ini menjelaskan waktu menyusu yang  diperhitungkn. Nabi mensyaratkan sebelum disapih, maksudnya mulai  dari bayi lahir sampai maksimal bayi berusia 2 tahun, karena bayi disapih pada usia dua tahun. Jadi hadis ini menjelaskan dua syarat berlakunya hukum-hukum persusuan yang membuat aktivitas minum susu wanita berkonsekuensi hukum, yaitu: Minimal “membelah usus” (yakni  lima kali susuan), dan aktivitas menyusu tersebut dilakukan sebelum masa penyapihan (yakni sebelum usia 2 tahun).  Karena itu, hadis ini menguatkan kandungan ayat sebelumnya yang menjelaskan usia maksimal waktu menyusu adalah dua tahun.

Yang menguatkan lagi adalah hadis Bukhari berikut ini;

صحيح البخاري (16/ 51)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ فَكَأَنَّهُ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ كَأَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّهُ أَخِي فَقَالَ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّفَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ

dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menemuinya, sementara di tempatnya terdapat seorang laki-laki. maka seakan-akan air muka beliau berubah seakan-akan tidak menyukainya, maka Aisyah pun berkata, “Sesungguhnya ia adalah saudaraku.” Maka beliau bersabda: “Lihatlah siapakah saudara-saudara sesusuan kalian, karena susuan itu karena lapar.” (H.R.Bukhari)

Dalam hadis di atas, Rasulullah صلى الله عليه وسلم  mensyaratkan bahwa persusuan berkonsekuensi hukum jika aktivitas menyusu tersebut karena rasa lapar. Lafadz ini secara implisit memberi isyarat bahwa hanya aktivitas menyusu anak kecil saja yang berkonsekuensi hukum, karena orang dewasa tidak meminum susu wanita dengan didorong rasa lapar dan hanya anak kecil yang meminum air susu wanita dengan didorong rasa lapar untuk pertumbuhannya. Batasan anak kecil yang dinyatakan Nash adalah sampai usia penyapihan, yakni dua tahun. Karena itu hadis ini menguatkan batasan maksimal usia persusuan yang berkonsekuensi hukum yaitu dua tahun.

Fatwa-fatwa Shahabat juga menguatkan bahwa persusuan yang berkonsekuensi hukum hanyalah berlaku jika yang menyusu masih kecil, bukan orang dewasa. Diantaranya adalah fatwa Ibnu Mas’ud. Abdurrozzaq meriwayatkan;

مصنف عبد الرزاق (7/ 463)

عن ابي عطية الوادعي قال جاء رجل إلى بن مسعود فقال إنها كانت معي امرأتي فحصر لبنها في ثديها فجعلت أمصه ثم أمجه فأتيت أبا موسى فسألته فقال حرمت عليك قال فقام وقمنا معه حتى انتهى إلى أبي موسى فقال ما أفتيت هذا فأخبره بالذي أفتاه فقال بن مسعود وأخذ بيد الرجل أرضيعا ترى هذا إنما الرضاع ما أنبت اللحم والدم فقال أبو موسى لا تسألوني عن شيء ما كان هذا الحبر بين أظهركم

“Dari Abu ‘Athiyyah Al-Wada’iy beliau berkata; Seorang lelaki datang kepada Abdullah bin Mas’ud. Dia berkata: Aku bersama istriku, lalu air susunya pada payudaranya tertahan. Maka akupun menghisapnya, kemudian aku memuntahkannya. Lalu aku mendatangi Abu Musa dan aku menanyainya. Maka beliau berfatwa; Istrimu telah menjadi Mahrammu. Maka Ibnu Mas’ud bangkit dan kamipun bangkit bersamanya hingga mendatangi Abu Musa. Lalu Ibnu Mas’ud bertanya; Apa yang engkau fatwakan kepada orang ini? Maka Abu Musa memberitahu Ibnu Mas’ud apa yang telah difatwakannya. Maka ibnu Mas’ud berkata sambil menggamit tangan lelaki yang bertanya tadi: Apakah engkau memandang lelaki ini seperti bayi yang menyusu? Persusuan itu hanyalah yang menumbuhkan daging dan darah. Maka Abu Musa berkata: Janganlah kalian menanyai aku tentang sesuatu selama orang alim ini masih di tengah-tengah kalian (H.R.Abdurrozzaq)

Ibnu Mas’ud juga berkata sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud;

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَا رِضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ [سنن أبى داود 5/ 445]

Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “tidak ada (hukum) persusuan kecuali susuan yang mengokohkan tulang dan menumbuhkan daging”.

Termasuk pula Ibnu Umar. Malik meriwayatkan;

موطأ مالك – مكنز (4/ 228، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ لاَ رَضَاعَةَ إِلاَّ لِمَنْ أُرْضِعَ فِى الصِّغَرِ وَلاَ رَضَاعَةَ لِكَبِيرٍ.

dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bagi yang disusui sewaktu kecil. Tidak ada hukum penyusuan bagi orang yang sudah dewasa.” (H.R.Malik)

Termasuk pula Umar bin Khattab. Malik meriwayatkan;

موطأ مالك – مكنز (4/ 237، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَأَنَا مَعَهُ عِنْدَ دَارِ الْقَضَاءِ يَسْأَلُهُ عَنْ رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى كَانَتْ لِى وَلِيدَةٌ وَكُنْتُ أَطَؤُهَا فَعَمَدَتِ امْرَأَتِى إِلَيْهَا فَأَرْضَعَتْهَا فَدَخَلْتُ عَلَيْهَا فَقَالَتْ دُونَكَ فَقَدْ وَاللَّهِ أَرْضَعْتُهَا. فَقَالَ عُمَرُ أَوْجِعْهَا وَأْتِ جَارِيتَكَ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ رَضَاعَةُ الصَّغِيرِ

dari Abdullah bin Dinar berkata; “Ketika saya bersama Abdullah bin Umar di Kantor Pengadilan, ada seorang lelaki yang mendatanginya dan bertanya mengenai hukum menyusui orang dewasa. Abdullah bin Umar lalu menjawab; ‘Suatu ketika ada seorang lelaki mendatangi Umar bin Khattab dan berkata; ‘Saya memiliki seorang budak wanita yang selalu saya setubuhi, lalu isteriku dengan sengaja menyusui budak wanita tersebut. Maka ketika aku ingin menyetubuhi budak itu isteriku berkata; ‘Jangan kau lakukan, demi Allah aku telah menyusuinya’?” Lantas Umar berkata; ‘Hukumlah isterimu dan gaulilah budak perempuanmu, sebab persusuan itu untuk yang masih kecil.” (H.R. Malik)

Diriwayatkan bahwa pendapat meminum air susu wanita  hanya berkonsekuensi hukum jika dilakukan oleh anak kecil adalah pendapat Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, istri-istri Nabi (selain Aisyah), Asy-Sya’by, Ibnu Syubrumah, Al-Auza’y, Asy-Syafi’y, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur, dan Malik dalam satu riwayat. Menurut Ibnu Qudamah, pendapat ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Dalam Al-Mughni dinyatakan;

المغني (18/ 82)

فَإِنَّ مِنْ شَرْطِ تَحْرِيمِ الرَّضَاعِ أَنْ يَكُونَ فِي الْحَوْلَيْنِ وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ

“Diantara syarat pengharaman persusuan adalah di masa dua tahun. Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu (Al-Mughni, vol 18, hlm 82)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa waktu maksimalnya bukan dua tahun, tapi 30 bulan (dua tahun enam bulan), maka pendapat ini didasarkan pada pemahaman ayat berikut;

{وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15]

Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (Al-Ahqof; 15)

Yakni dengan memahami Haml dalam ayat tersebut bukan bermakna hamil, tetapi bermakna menggendong (mengasuh). Dengan pemahaman ini, berarti masa penyusuan sampai penyapihan memakan waktu tiga puluh bulan, bukan 2 tahun.

Catatan atas pendapat ini adalah: Makna Haml dalam ayat tersebut bermakan hamil, bukan menggendong. Karena jika diterjemahkan selain hamil maka maknanya akan bertentangan dengan ayat dalam surat Luqman berikut;

{ وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ } [لقمان: 14]

dan Aku perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun (Luqman; 14)

Dalam surat Al-Ahqof dijelaskan waktu penyapihannya adalah 30 bulan, sementara dalam surat Luqman dijelaskan waktu penyapihannya adalah dua tahun. Ini adalah kontradiktif. Karena itu lebih tepat memahami haml dalam surat Al-Ahqof di atas dengan makna hamil, sehingga bisa difahami waktu minimal hamil adalah 6 bulan, jika masa persusuannya dua tahun.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas termasuk yang memahami Haml dalam ayat di atas dengan makna hamil. Dalam Tafsir Al-Qurthuby dinyatakan;

تفسير القرطبي (16/ 193)

قال ابن عباس: إذا حملت تسعة أشهر أرضعت إحدى وعشرين شهرا، وإن حملت ستة أشهر أرضعت أربعة وعشرين شهرا

Ibnu Abbas berkata; Jika wanita mengandung 9 bulan, maka dia menyusui 21 bulan. Jika dia mengandung 6 bulan maka dia menyusui 24 bulan (Tafsir Al-Qurthuby, vol.16, hlm 193)

Demikian pula pemahaman Ali bin Abi Thalib. Dalam Tafsir Al-Qurthuby dinyatakan;

تفسير القرطبي (16/ 193)

روي أن عثمان قد أتي بامرأة قد ولدت لستة أشهر، فأراد أن يقضي عليها بالحد، فقال له علي رضي الله عنه: ليس ذلك عليها، قال الله تعالى: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً} وقال تعالى: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ} [البقرة: 233] فالرضاع أربعة وعشرون شهرا والحمل ستة أشهر، فرجع عثمان عن قول ولم يحدها

“Diriwayatkan bahwa Utsman dilapori seorang wanita yang melahirkan padahal usia kehamilannya hanya enam bulan. Maka beliau ingin menghukumnya dengan Hadd. Maka Ali berkata: Dia tidak seharusnya dihukum.  Allah berfirman; Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (Al-Ahqof; 15) dan juga berfirman: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (Al-Baqoroh; 233). Jadi, masa persusuan adalah 24 bulan, masa kehamilan bisa hanya 6 bulan”. Maka Utsmanpun mengoreksi pendapatnya dan tidak menghukumnya. (Tafsir Al-Qurthuby, vol.16, hlm 193)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa waktu maksimalnya adalah tiga tahun, maka pendapat ini lebih sulit dipertimbangkan karena  tidak ditemukannya dalil yang menjadi dasar.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada waktu maksimal, artinya hukum persusuan tetap berlaku baik yang meminum air susu adalah bayi dibawah dua tahun maupun di atasnya, bahkan masih tetap berlaku meski sudah dewasa, maka pendapat ini didasarkan pada hadis Sahlah binti Suhail berikut ini;

صحيح مسلم (7/ 355)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرَى فِي وَجْهِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْ دُخُولِ سَالِمٍ وَهُوَ حَلِيفُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ قَالَتْ وَكَيْفَ أُرْضِعُهُ وَهُوَ رَجُلٌ كَبِيرٌ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيرٌ زَادَ عَمْرٌو فِي حَدِيثِهِ وَكَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي عُمَرَ فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

dari Aisyah dia berkata; Sahlah binti Suhail datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya melihat di wajah Abu Hudzaifah (ada ketidaksukaan) karena keluar masuknya Salim ke rumah, padahal dia adalah pelayannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Susuilah dia.” Dia (Sahlah) berkata; “Bagaimana mungkin saya menyusuinya, padahal dia telah dewasa?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum sambil bersabda: “Sungguh saya telah mengetahuinya kalau dia telah dewasa.” Dalam haditsnya ‘Amru menambahkan; Bahwa dia telah ikut serta dalam perang Badr. Dan dalam riwayatnya Ibnu Abu Umar lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa. (H.R.Muslim)

Lafadz lain riwayat muslim berbunyi;

صحيح مسلم (7/ 358)

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ لِعَائِشَةَ إِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْكِ الْغُلَامُ الْأَيْفَعُ الَّذِي مَا أُحِبُّ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيَّ قَالَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ أَمَا لَكِ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُسْوَةٌ قَالَتْ إِنَّ امْرَأَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ سَالِمًا يَدْخُلُ عَلَيَّ وَهُوَ رَجُلٌ وَفِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْهُ شَيْءٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ

dari Zainab binti Ummu Salamah dia berkata; Ummu Salamah berkata kepada Aisyah; Kenapa laki-laki yang sudah baligh itu bebas masuk ke rumahmu, yang saya tidak suka jika dia masuk ke rumahku? (Humaid) berkata; Maka Aisyah menjawab; Kenapa kamu tidak mengambil teladan dari diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Dia melanjutkan; Sesungguhnya istri Abu Hudzaifah berkata; Wahai Rasulullah, Sesungguhnya Salim sering masuk (kerumahku) padahal dia (telah baligh) layaknya seorang laki-laki? (saya khawatir) jika pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Susuilah, supaya dia boleh menemuimu.” (H.R.Muslim)‎

Dalam hadis-hadis ini dan hadis yang semakna dengannya dikisahkan bahwa Salim menyusu pada Sahlah binti Suhail atas perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم , padahal Salim waktu itu sudah dewasa. Hal ini menunjukkan, tidak ada waktu maksimal untuk membuat hukum-hukum persusuan berlaku. Artinya, orang dewasapun, jika meminum air susu wanita maka wanita tersebut menjadi ibu susunya sehingga berlaku hukum kemahroman karena susu dan berlaku hukum-hukum persusuan lainnya.

Jawaban atas pendapat ini adalah sebagai berikut;

Memang benar Salim meminum air susu Sahlah binti Suhail pada saat sudah dewasa/baligh. Namun kasus Salim ini adalah bentuk kekhususan yang tidak bisa diberlakukan kepada kaum muslimin yang lain. Hal itu dikarenakan Salim adalah anak adopsi dalam keluarga suami istri Ahu Hudzaifah dan Sahlah binti Suhail. Mereka mengadopsi Salim saat masih kecil, dan belum turun ayat yang melarang kaum muslimin untuk mengadopsi anak. Lalu Salimpun tumbuh besar menjadi orang dewasa, sementara dia diposisikan seperti anak kandung Sahlah dan Abu Hudzaifah. Memahami kasus Salim sebagai syariat khusus untuk rumah tangga Abu Hudzaifah dan Sahlah adalah pemahaman istri-istri Nabi selain Aisyah. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (7/ 360)

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ أَنَّ أُمَّهُ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّهَا أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَقُولُ أَبَى سَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ أَحَدًا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَ وَاللَّهِ مَا نَرَى هَذَا إِلَّا رُخْصَةً أَرْخَصَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَالِمٍ خَاصَّةً فَمَا هُوَ بِدَاخِلٍ عَلَيْنَا أَحَدٌ بِهَذِهِ الرَّضَاعَةِ وَلَا رَائِينَا

dari Ibnu Syihab bahwa dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu ‘Ubaidah bin Abdullah bin Zam’ah bahwa ibunya yaitu Zainab binti Abu Salamah telah mengabarkan kepadanya, bahwa ibunya yaitu Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata; Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam enggan memberi kebebasan masuk rumah mereka bagi anak-anak yang telah dijadikan mahram karena susuan. Dan kami berkata kepada Aisyah; Demi Allah kami tidak melihat hal ini kecuali hanya sekedar Rukhshoh/keringanan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khusus untuk Salim, oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mahram kerena susuan yang boleh masuk ke rumah kami dan melihat kami. (H.R.Muslim)

Dalam riwayat Abu Dawud, lafadznya berbunyi;

سنن أبى داود – م (2/ 180)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَأُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ كَانَ تَبَنَّى سَالِمًا وَأَنْكَحَهُ ابْنَةَ أَخِيهِ هِنْدَ بِنْتَ الْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَهُوَ مَوْلًى لاِمْرَأَةٍ مِنَ الأَنْصَارِ كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَيْدًا وَكَانَ مَنْ تَبَنَّى رَجُلاً فِى الْجَاهِلِيَّةِ دَعَاهُ النَّاسُ إِلَيْهِ وَوُرِّثَ مِيرَاثَهُ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِى ذَلِكَ ( ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ) إِلَى قَوْلِهِ (فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ) فَرُدُّوا إِلَى آبَائِهِمْ فَمَنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُ أَبٌ كَانَ مَوْلًى وَأَخًا فِى الدِّينِ فَجَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو الْقُرَشِىِّ ثُمَّ الْعَامِرِىِّ – وَهِىَ امْرَأَةُ أَبِى حُذَيْفَةَ – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَكَانَ يَأْوِى مَعِى وَمَعَ أَبِى حُذَيْفَةَ فِى بَيْتٍ وَاحِدٍ وَيَرَانِى فُضْلاً وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِمْ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَكَيْفَ تَرَى فِيهِ فَقَالَ لَهَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَرْضِعِيهِ ». فَأَرْضَعَتْهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ فَبِذَلِكَ كَانَتْ عَائِشَةُ – رضى الله عنها – تَأْمُرُ بَنَاتِ أَخَوَاتِهَا وَبَنَاتِ إِخْوَتِهَا أَنْ يُرْضِعْنَ مَنْ أَحَبَّتْ عَائِشَةُ أَنْ يَرَاهَا وَيَدْخُلَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ ثُمَّ يَدْخُلَ عَلَيْهَا وَأَبَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَسَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَرْضَعَ فِى الْمَهْدِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَ وَاللَّهِ مَا نَدْرِى لَعَلَّهَا كَانَتْ رُخْصَةً مِنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- لِسَالِمٍ دُونَ النَّاسِ

dari Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta Ummu Salamah bahwa Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah bin Abdu Syams pernah mengangkat Salim sebagai anak, dan menikahkannya dengan anak saudaranya yaitu Hindun binti Al Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah, sementara Salim adalah mantan budak seorang wanita anshar, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat Zaid sebagai anak. Dahulu pada masa jahiliyah orang yang mengangkat seseorang sebagai anak, maka orang-orang memanggilnya dengan menisbatkannya kepadanya dan diberi warisannya hingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu mengenai hal tersebut: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” Kemudian mereka dikembalikan nasabnya kepada bapak-bapak mereka, sedangkan yang tidak diketahui ayahnya maka ia adalah seorang maula dan saudara seagama. Kemudian Sahlah binti Suhail bin ‘Amr Al Qurasyi Al ‘Amiri yang merupakan isteri Abu Hudzaifah datang dan berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami melihat Salim masih kecil, dan ia tinggal bersamaku dan bersama Abu Hudzaifah dalam satu rumah. Ia melihatku dalam keadaan memakai pakaian harian dalam rumah, sedangkan Allah ‘azza wajalla telah menurunkan wahyu yang engkau mengerti, maka bagaimana pendapat engkau dalam hal tersebut? Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Susuilah dia!” Lalu Sahlah menyusuinya lima kali susuan, maka Salim sama seperti anaknya sepersusuan. Oleh karena itu Aisyah memerintahkan anak-anak wanita saudari-saudarinya serta anak-anak wanita saudara-saudaranya agar menyusui orang yang ia ingin melihat serta menemuinya walaupun ia adalah orang dewasa sebanyak lima kali susuan, kemudian orang tersebut dapat menemuinya. Sedangkan Ummu Salamah dan isteri-isteri Nabi yang lain menolak memasukkan seseorang kepada mereka dengan persusuan tersebut kecuali menyusu pada saat masih bayi. Dan mereka berkata kepada Aisyah; demi Allah, kami tidak tahu, kemungkinan hal tersebut merupakan keringanan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Salim, bukan orang selainnya. (H.R.Abu Dawud)

Pendapat istri-istri nabi ini juga menjadi pendapat para Shahabat dan  Jumhur ulama. Pendapat jumhur ini lebih kuat, karena jika pendapat yang mengatakan tidak ada batasan waktu maksimal persusuan diikuti, maka pendapat tersebut bertentangan dengan Nash Al-Quran dan hadis yang jelas memberikan batasan sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Ulama-ulama yang berpendapat tidak ada batasan waktu maksimal persusuan diantaranya adalah Aisyah, Atho’, Dawud, Al-Laits, dan Ibnu Hazm.

Jadi, sekali lagi disimpulkan bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang  mengatakan waktu maksimal persusuan yang berkonsekuensi hukum adalah dua tahun, bukan 30 bulan, atau tiga tahun, atau tidak ada batasan waktu maksimal.

Patut dicatat, bahwa yang menjadi standar pengukuran adalah waktu dua tahunnya, bukan aktivitas penyapihannya. Artinya jika bayi disapih usia 3 tahun misalnya,  maka sejak usia 2 tahun  sudah  hilang hukum-hukum  persusuan. Jika di sapih pada usia 1 tahun, maka masih ada waktu satu tahun yang membuat hukum-hukum  persusuan berlaku.

Dasar ketentuan ini adalah karena Al-Quran menyebut standarnya adalah tahun, bukan aktivitas penyapihan. Allah berfirman;

{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233]

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (Al-Baqoroh; 233)

Ibnu Mas’ud juga berfatwa demikian. Malik meriwayatkan;

موطأ مالك (4/ 0)

عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ

dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernah menetek pada payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa dua tahun.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.”

Adapun hadis yang mengesankan bahwa standarnya adalah aktivitas penyapihan, misalnya riwayat Tirmidzi berikut;

سنن الترمذى (4/ 374)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ

dari Umu Salamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang membelah usus (mengenyangkan) pada payudara dan terjadi sebelum disapih.” (H.R.At-Tirmidzi)

Maka,maksud Fithom (penyapihan) dalam  hadis di atas adalah penyapihan dalam waktu dua tahun sebagaimana dalam Al-Qur’an dinyatakan  penyapihan dilakukan dalam usia 2 tahun. Artinya yang  dimaksud adalah waktunya bukan aktivitasFithomnya, karena ini adalah  jenis penyebutanTaghlib (umumnya).

Jadi, Jika seorang lelaki meminum air susu istrinya, maka tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun karena dua syarat yang disebutkan tidak terealisasi semuannya. Boleh jadi seorang lelaki telah meminum susu dari istrinya lebih dari lima kali, namun karena umumnya suami adalah sudah dewasa (berusia di atas dua tahun), maka hukum persusuan masih belum bisa diberlakukan. Dikecualikan jika suami memang berusia dibawah dua tahun. Dalam kondisi ini, jika jumlah susuannya sudah mencapai lima, maka berlakulah hukum-hukum persusuan. Istri dari suami bayi tersebut statusnya menjadi ibu susu, sehingga pernikahan menjadi rusak dan harus dibubarkan.

Adapun pendapat yang mengharamkan meminum air susu wanita dengan alasan bahwa air susu adalah bagian tubuh manusia, dan bagian tubuh manusia itu terhormat  yang haram dimanfaatkan, maka pendapat ini sulit diterima, karena alasan ini bukan dalil dan penilaian yang kurang tepat terhadap fakta air susu. Pendapat ini tertolak berdasarkan dalil keumuman mubahnya benda selama tidak  ada dalil yg mengharamkan. Pendapat ini juga tertolak berdasrakan fatwa Shahabat, karena  Shahabat tidak mencela lelaki yang  menghisap air susu istrinya dan menelannya. Malik meriwayatkan;

موطأ مالك (4/ 0)

 عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ

إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ

dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernah menetek pada payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa dua tahun.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.” (H.R.Malik)‎

Pendapat ini juga tertolak dengan kasus bayi yang memang secara alami menyusu, juga tertolak dengan  dalil bolehnya memaafkan kasus jinayat yang darinya digali; Mubah donor tubuh, juga tertolak dengan  fakta pemilik bagian tubuh yang boleh memanfaatkan bagian tubuhnya, sehingga bisa difahami bahwa  orang lain juga boleh memanfaatkannya jika bagian tubuh tersebut telah dipinjamkan, diberikan atau dibuang (seperti kuku, rambut misalnya),  juga tertolak dengan fakta Ruqyah memakai semburan ludah yang merupakan jenis intifa’ /pemanfaatan dengan ludah, juga tertolak dengan riwayat hadis keringat nabi yg dijadikan parfum.

Adapun pendapat yang memakruhkan  meminum air susu wanita dengan alasan hal tersebut termasukMukholafah Fithroh (bertentangan dengan fitrah), maka  pendapat ini juga sulit diterima karena hukum makruh harus ditetapkan dengan  dalil, bukan perasaan subyektif Mukallaf.

Atas dasar ini, Mubah hukumnya  meminum air susu istri baik disengaja maupun tidak, untuk  kepentinganIstimta’ (bersenang-senang), Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’ dan tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun. Wallahua’lam.

 

Hukum Onani Ataupun Masturbasi


Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) onani bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Arabnya adalah istimta’ atau adatus sirriyah. (Onani (matsurbasi) atau bahasa asinge ngiclik atau ngocok barange piyambak.‎
kata Onani dalam istilah bahasa Arab menggunakan kata Istimna yang artinya usaha untuk mengeluarkan sperma atau mani.) 

Menurut keterangan yang ada di Injil, istilah Onani berasal dari nama anak Judas yang bernama Onan. Ia disuruh olah ayahnya untuk menyetubuhi istri kakaknya, karena ia tidak berani dan birahinya telah memuncak sehingga Ia memuskan dirinya dengan mengelurkan sperma dengan tanganya sendiri sehinngga istilah Onani merupakan penisbatan terhadap Onan. ‎

Mengenal Istilah “الاستمناء”
Dalam bahasa Arab dikenal istilah “الاستمناء”, yaitu memaksa keluarnya mani. Atau secara istilah didefinisikan, “الاستمناء” adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jima’ (bersenggama/coitus) dan cara ini dinilai haram seperti mengeluarkan mani tersebut dengan tangan secara paksa disertai syahwat, atau bisa pula “الاستمناء” dilakukan antara pasutri dengan tangan pasangannya dan cara ini dinilai boleh (tidak haram).
Dalam kitab I’anatuth Tholibin (2:255) disebutkan makna “الاستمناء” adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jima’ (senggama), baik dilakukan dengan cara yang haram melalui tangan, atau dengan cara yang mubah melalui tangan pasangannya.‎
Istilah “الاستمناء” di sini sama dengan onani atau masturbasi.
Wasilah (Perantara) Onani
Onani bisa dilakukan dengan tangan, atau cara bercumbu lainnya, bisa pula dengan pandangan atau sekedar khayalan. Kita akan mengulas ketiga cara tersebut. Onani dengan bercumbu yang dimaksud adalah seperti dengan menggesek-gesek kemaluan pada perut, paha, atau dengan cara diraba-raba atau dicium dan tidak sampai terjadi senggama pada kemaluan. Pengaruh onani semacam ini sama dengan onani dengan tangan.

Onani adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama. 
Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:

1.  Hukum Haram

Madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi ,satu riwayat dari imam ahmad, yang diambil sebagai pendapat jumhur ahli ilmu, Syeikh Islam ibnu Taimiyah, sebagian besar ulama salaf, Ibnu Baz, Ibnu ustaimin, Albani, dan lain-lain, semuanya mengharamkan perbuatan Onani.

Adapun dalilnya adalah berdasarkan Firman Allah : 
 
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan Orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka mereka  sesungguhnya dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”(Q S Al mu’minun Ayat 5-7)

Dari ayat ini jelaslah dalilnya bahwa Allah SWT memuji orang-orang mukmin yang memelihara kemaluannya dari hal-hal yang di haramkan, kecuali terhadap istri dan Budaknya.

Maka mereka termasuk orang-orang yang dzalim, karena telah melampaui batas yang halal untuk berbuat yang haram, seperti halnya perbuatan Onani.

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, Juz : 5 halaman 458 mengatakan : “ Imam syafi’i dan pengikutnya telah mengambil dalil pengharaman Onani dengan ayat tadi ,yaitu “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri –istri mereka dan budak yang mereka miliki.”
Selanjutnya Ibnu Kastir berkata : Perbuatan onani tidak termasuk(diluar) dari keduanya, yaitu menggauli istri dan budaknya, sedang Allah berfirman: “Maka barang siapa mencari yang selain itu(menggauli istri atau budak), mereka itulah orang-orang yang melampui batas”. Mereka juga berdalil dengan firmannya:  “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”(An Nur 33).

1.       Ayat ini menjelaskan tentang pengharaman onani dari dua sudut :
Sesungguhnya Allah memerintahkan orang islam yang belum mampu kawin agar menjaga kesucian dirinya ” Walyastagfif “. Kalimat tersebut merupakan kalimat perintah. Dalam Ushul Fiqh, kaidah perintah menunjukan hukum wajib. Artinya, barang siapa yang belum bisa atau mampu kawin, diwajibkan baginya untuk menjauhi hal-hal yang menjerumuskan dirinya kedalam lembah kehianaan (kemaksiatan), semisal zina, homoseks, onani, dll.

2.       Allah tidak pernah berfirman tentang penghalalan onani bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan perkawinan, dan sebaliknya Allah justru memerintahkan untuk memelihara diri. Singkatnya, jika Allah membolehkan hamba-Nya beronani, niscaya Dia telah menjelaskan di dalam ayat Alqur’an. Surat An Nur ayat 33 di atas, yang menerangkan masalah perkawinan (bagi yang mampu), tidak menyebutkan solusi lain bagi yang tidak mampu kecuali dengan (diwajibkan) menjaga kesucian dirinya. Jadi, karena adanya dalil yang menerangkan tentang onani, serta adanya kalimat perintah tadi, yaitu”Walyasta’fif” maka dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram hukumnya.

Qurtubi menafsirkan surat An Nur ayat 33 sebagai berikut: “ Dan tatkala Allah tidak menentukan suatu perbuatan apapun yang pantas, kecuali dengan menikah  atau menjaga kesucian dir i(jika belum mampu), maka perbuatan yang selain itu hukumnya haram. Juga suatu pengecualian lagi yang di bolehkan, yaitu menggauli   budak wanitanya dalam firman Allah.”

 Jadi berdasarkan uraian diatas, onani haram hukumnya selain dari ayat Al Qur’an, mereka juga memakai dalil dari hadist, yang menerangkan bahwa onani itu haram”.
 
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“ Dari Abdullah bin Mas’ud Ra, ia berkata: Rasulullah  SAW  bersabda: ’’wahai generasi muda, barangsiapa diantara kalian sudah siap (mampu) menjalani hidup berumah tangga ( suami istri) maka kawinlah ! Sesungguhnya dibalik itu, pandangan mata dan kemaluan akan lebih terjaga dan terpelihara dari perbuatan maksiat dan barabg siapa belum mampu hendaknya  berpuasa. Karena  dengan puasa itulah dirinya akan terlindungi dari kemaksiatan”. (HR bukhori  Muslim)

Maksud dalil ini, bahwa Rasulullah SAW memberikan petunjuk kepada pemuda muslim, agar segera berumah tangga bagi yang sudah mampu dan supaya berpuasa bagi yang masih lemah.

Hanya sebatas itu yang disabdakan dan beliau tidak memberikan penjelasan  lebih rinci lagi tentang tindakan selain puasa. Dan kalaulah Rasulullah SAW membolehkan perbuatan onani, niscaya beliau akan menerangkannya. Ternyata  beliau tidak menjelaskannya. Maka kesimpulannya, onani adalah perbuatan yang diharamkan.

Sebagian ulama berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al hasan  Bin Arafah bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Allah SWT tidak memperdulikan tujuh manusia pada hari kiamat, tidak mensucikan, serta tidak mengumpulkan mereka bersama hamba-hambaNya  yang beriman. Merekalah yang pertama kali dimasukkan kedalam api neraka, kecuali jika mereka mau bertobat (tatkala hidupnya) dan barang siapa yang bertobat niscaya Allah akan memberi ampunan. Tujuh manusia tersebut adalah orang yang beronani , homoseks yang melakukan dan yang diperlakukan, pecandu Khame , pemukul kedua orang tuanya hingga keduanya mengeluh dan meminta tolong, orang yang sering menyakiti tetangganya sehingga orang-orang banyak yang melaknatnya, serta orang menzinai tetangganya .”

Akan tetapi hadist ini tergolong dhaif, Ibnu Katsir berkata: “ini adalah hadits ghorib. Isnadnya tidak diketahui ‘’
Ibnu hajar juga mendhoifkannya begitu juga Albani yang mendhoifkan hadits tersebut didalam kitab Irwaul Ghalil.

2.  Hukum Makruh

Para pengikut madzhab Hambali memberikan dalil tentang onani dengan menggunakan Qiyas. Mereka mengatakan: ‘’bahwa onani adala perbuatan mengeluarkan sperma dari badan, dan sperma itu sendiri adalah sebagian dari (isi) anggota badan, maka tentangnya tidak ada larangan (jaiz)adapun Qiyasnya bahwa perbuatan onani itu seperti perbuatan orang mengeluarkan darah dari bagian tubuhnya demi untuk kesembuhan penyakitnya.”

Hanya saja meskipun berpegang pada dalil yang demikian mereka tetap membenci perbuatan tersebut.

Juga riwayat dari Atho’ yaitu Madzhab Ibnu Hazm yang memakruhkan perbuatan onani Ibnu Hazm berkata: ’’Bahwa orang laki-laki dan perempuan yang menyentuh alat vital masing-masing menurut ijma’ para ulama hukumnya boleh (mubah). Maka pernuatan onani tersebut tidak ada hukum yang mengharamkannya sebagai mana firman Allah SWT: “….padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu…”(QS Al An’am 119).
 Dan karena Allah tidak menjelaskan bahwa perbuatan onani sebagai hal yang haram maka perbuatan itu merupakan /termasuk yang dibolehkan. FirmanNya:  ”Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu di bumi untuk kamu sekalian….” (QS Albaqarah 29).
Akan tetapi walaupun berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan onani tidak haram tapi kita tetap membencinya karena perbuatan itu tidak terpuji dan tergolong tidak sopan.

3.      Hukum Boleh (Mubah)

Hukum yang membolehkan  perbuatan onani ini berasal dari pendapat Al Hasan, Amr bin Dinar, Ziyad bin Abi Al ala’, dan ujahid. Al Hasan memberikan penjelasannya mengenai orang Laki-laki yang berbuat Onani sehingga keluar spermanya, Bahwa: ”Hal itu juga di lakukan tatkala peperangan”.

 Dari sini dapat di ambil suatu kesimpulan, Bahwa al Hasan Membolehkan perbuatan Onani berdasarkan yang pernah terjadi Didalam keadaan perang. Artinya perbuatan tersebut Di bolehkan jija dalam keadaan dalam sangat terpaksa dan mendesak.

Dari tiga pendapat tersebut diatas, ternyata yang lebih kuat argumentasinya adalah pendapat yang mengharamkan  perbuatan Onani. Kita simpulkan demikian karena Dalil naqli (nushus) yang di kemukakan sangatlah kuat, sedangkan Dalil Aqlinya khususnya yang berkenanaan dengan masalah kesehatan menurut Ilmu kedokteran sangatlah masuk akal.

Sedangkan pendapat yang memakruhkan atau membolehkan Onani (Mubah) sangatlah bertentangan dengan kebenaran, meskipun yang berpendapat demikian adalah Ulama’ yang terkenal jadi pendapat yang lebih benar (Arjah) dan sesuailah yang harus di ikuti.

Efek Samping Dari Onani

1.      Efek terhadap Rohani

Dapatlah di katakan Bahwa perbuatan Onani adalah suatu kemaksiatan. Bahkan lebih dari itu, mungkin juga bisa di katakan sebagai dosa besar. Maka hendaknya setiap muslim menginterpretasikan pada dirinya, bahwa sungguh luar biasa bahaya yang akan menimpa dirinya, karena perbuatan maksiat tersebut. Tentunya perbuatan onanipun akan mendatangkan musibah bagi pelakunya. Bagaimana tidak, sedangkan malapetaka dan bencana adalah di sebabkan adalah tersebarnya kemaksiatan.

Ibnu Qoyyim pernah berkata : “Setiap Musibah,bencana,nasib sial dan kekurangan,baik di dunia maupun di akhirat,penyebabnya adalah perbuatan dosa adan tidak melaksanakan perintah Allah.”

Lalu ia menambahkan : “Kemaksiatan adalah api yang membakar nikmat keseluruhan,seperti halnya,Api yang membakar kayu bakar.”

 Maka diantara bahaya yang di timbulkan oleh perbuatan Onani adalah berkurangnya hIdayah dan taufik Allah SWT; tidak stabilnya pemikiran, sehingga Ide-ide yang kemukakan selalu jauh dari kebenaran, Hati yang menjadi keras dan kasar,  akhlak semakin tidak terpuji, suka marah tidak banyak meridhoi (kurang ikhlas), dan sulit menerima Ilmu Agama.

Dapatlah kiranya berikut ini kita Kupas Dua(2) efek samping Dari perbuatan Onani di tinjau dari segi rohani.

1- Hilangnya sifat istiqomah (Berpegang teguh) pada agamanya yaitu islam. Sehingga, jika kita ingin tahu lebih jauh kenapa seorang pemuda sampai tidak memperdulikan agamanya lagi, maka kemungkinan ia akan menjawab (dalam Hati), Maka  ia akan tidak akan melepaskan kebiasaan Onani. Agar di ketahui selama dia belum bisa meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, selama itu pula Syetan akan terus menerus menggodanya, agar jauh dari saudara-saudaranya. Selanjutnya ia akan membenci dan berusaha menghindar berkumpul dengan mereka. Lantas terjerumuslah dia dalam gelora syahwat dan Musnah lah Dari dalam jiwanya sifat istiqomah terhadap agama. Hal ini terjadi karena ia menyendiri dan menasingkan diri dari orang-orang terdekat dan selalu memberikan bimbingan kepadanya.

2- Poin ini masih mempunyai hubungan dengan yang pertama bahwa kalaupun pelaku Onani tidak menyimpang dari agama secara keseluruhan, Ia tetap meremehkan dalam hal ketaatan beribadah, seperti adanya anggapan penting untuk shalat jemaah, shalat sunnah rawatib, puasa sunnah dan untuk ibadah lainnya. Maka berapa banyak ibadah yang di tinggalkannya? dan tidak menutup kemungkinan, Ia (pelaku) akan berani meninggalkan shalat wajib, tidak puasa ramadhan, apalagi membaca al Quran. Hal ini bisa terjadi karena perbuatan Onani tersebut telah menjadi lemah tidak mampu memarangi gelora syahwat sekaligus tidak berdaya memerangi syetan, dan tidak pula dapat mempertahankan dirinya, sehingga ia kalah dan tunduk di bawah perbuatan Onani. Hasan Basri berucap :” Sesungguhnya orang yang berbuat demikian(onani), hanyalah untuk mencari dosa dan meninggalkan bangun malamnya sehingga tidak beribadah”.

2.   Efek terhadap kesehatan

Bahaya Onani dari Sisi Kesehatan
Ejakulasi dini atau terlalu cepat selesai ketika melakukan hubungan seks yang sebenarnya. Ketika melakukan onani, biasanya orang cenderung melakukannya secara terburu-buru dengan harapan dapat segera mencapai orgasme. Cara onani yang terburu-buru ini akan membiasakan sistem syaraf untuk melakukan seks secara cepat ketika sedang bercinta. Dan hasilnya adalah ejakulasi dini.
Gairah seks yang lemah ketika sudah berumah tangga. Keinginan untuk melakukan hubungan seks kadang sangat rendah karena sudah terbiasa melakukan onani ketika masih muda.
Orang-orang zaman dulu menyebut onani yang berlebihan akan menyebabkan kebodohan karena selalu membayangkan hal-hal porno dan orientasi pikiran selalu negatif.
Badan jadi kurus dan lemah. Karena pikiran selalu negatif dan berpikir yang porno-porno membuat banyak energi yang terkuras. Hal ini menyebabkan badan menjadi kurus kering.
Sulit menikmati hubungan seks yang sebenarnya bersama wanita. Karena sejak remaja sudah terbiasa merasakan seks secara manual atau onani. Penis yang terbiasa dengan tekanan tertentu dari tangan menjadi tidak responsif terhadap rangsangan dari vagina.
Perasaan bersalah karena terlalu sering onani menimbulkan rasa minder dan tidak percaya diri di lingkungan sosial.
Bagi wanita muda yang senang masturbasi atau onani bisa merobek lapisan hymen keperawanannya.
Mengalami impotensi atau gagal ereksi ketika berhubungan. Orang yang melakukan onani sudah terbiasa menciptakan rangsangan yang bersifat mental berupa khayalan-khayalan, hal tersebut membuat penis tidak terbiasa dengan rangsangan fisik ketika berhubungan seks yang sebenarnya.
Jadi sering melamun dan pikiran selalu negatif membuat adaptasi sosial menjadi terbatas.
Tidak di ragukan lagi,bahwa perbuatan onanai akan memberikan dampak negative terhadap perkembanagan sebagian anggota badan,bahkan karena onani aka nada anggota badan yang tidak berkembang.

Ahli kedokteran telah menetapkan,bahwa onani dapat menimbulkan beraneka ragam sfek samping,antara lain:
a. Melemahkan alat kelamin sebagai sarana untuk berhubungan seksual, serta sedikit demi sedikit alat tersebut akan semakin melemah (lemas).

b. Akan membuat urat-urat tubuh semakin lemah, akibat kerja keras dalam beronani demi untuk mengeluarkan spermanya.
c.  Sangat mempengaruhui perkembangan alat vital, dan mungkin tidak akan tumbuh seperti lazimnya.
d. Alat vital tersebut akan membengkak, sehingga sang pelaku menjadi mudah mengeluarkan air maninya.

e. Meninggalkan rasa sakit pada sendi tulang punggung dimana air mani keluar darinya. Dan akibat dari sakitnya itu, punggung akan menjadi bungkuk.

f.  Menyebabkan anggota badan sering gemetaran, seperti di bagian kaki dsb.

g. Onani bisa menyebabkan kelenjar otak menjadi lemah, sehingga daya pikir menjadi semakin berkurang, daya faham menurun, dan daya ingat juga melemah.
h.  Penglihatan  semakin berkurang ketajamannya, karena mata tidak lagi normal seperti biasanya.

3.  Efek kejiwaan dan sosial

1. Ahli ilmu jiwa mengatakan: Sebenarnya, pemuda yang beronani itu juga merasakan bahwa dirinya sedang berbuat kesalalahan, dan dia pun tahu bahwa hal itu merupakan perbuatan dosa. Akan tetapi, dia slalu mengulanginya sebagai kebiasaan. Jadi nafsu pemuda yang bisa beronani tersebut, sedangkan hati menuntunnya dengan memberikan rasa berdosa dan resah, karena dia pun menyadari bahwa perbuatan itu melanggar ajaran-ajaran Allah SWT.

2. Perbuatan onani yang telah menjadi kebiasaan secara berlebihan, akan menyebabkan urat saraf tidak stabil lagi, kepercayaan diri menjadi sirna, dan penderitaan akan selalu menyendiri disebabkan rasa malu yang tertanam didalam jiwanya.

3.  Kesenangan selama beronani yang melampaui batas kewajaran akan menjadikan pemuda semakin kecanduan dalam berbuat. Hidup pun akan terus terbawa oleh arus perbuatan keji tersebut, yaitu sekedar untuk memuaskan hasrat nafsu birahi yang memuncak. Dengan kata lain, walaupun hati kecilnya ingin membebaskan dirinya dari belenggu syahwat yang menjeratnya, akan tetapi pada akhirnya perbuatan Onani tetap dia lakukan untuk memenuhi kelezatan dan kesenangan belaka, sehingga kebiasaan  tersebut mendarah daging dan menyatu dengan pelakunya.

Ibnu Qoyyim beucap : “Bahkan perbuatan onani itu hanyalah untuk mencari kemaksiatan tanpa adanya kenikmatan yang ia dapatkan, Sebenarnya pemuda yang melakukan perbuatantersebut hanyalah memperoleh rasa sakit, setelah bekerja keras mengeluarkan spermanya.”

Sebagaimana di lagukan Sya’irnya  Oleh Hasan bin Hani’ : “segelas air kau teguk hanya untuk kesenangan belaka, dan segelas yang lain adalah sebagai penawar (terhadap akibat kelezatan itu).”

4.  Pengobatan

Menikah‎
Dalam Bab ini merupakan inti penulisan artikel ini, bahwa sebagai Tujuan akhir penulis adalah untuk memecahkan permasalahnnya. Dikatakan demikian karena banyaknya pemuda yang tertimpa Musibah penyakit Onani ini yang tidak mengetahui Hukum dan mudharatnya (bahaya) yang di timbulkanya. Dan di harapkan pengetahuan yang benar tentang hukum dan akibat dari perbuatan tersebut, akan merupakan satu langkah untuk menuju kepada jalan keluar yang terbaik dari lingkaran penyakit syaitan itu.
Memang pemuda yang beronani pada umumnya belum mengetahui jalan keluar yang mampu melepaskan dirinya dari penyakit yang berbahaya tersebut, mereka tidak mengetahui  cara terbaik untuk memecahkan permasalahan yang berkenaan dengan gelora nafsu syahwat yang memuncak, sarana yang dapat digunakan untuk membantu menaklukkan syahwat syaitan tersebut sehingga dapat membebaskannya dari kebiasaan yang tercela itu kemudian setelah terbebas dari perbuatan onani pemuda tersebut akan merasakan nikmatnya iman dan kemantapan taqwanya dalam menetapkan islam sebagai agamanya, serta akan tumbuh dalam jiwanya gairah hidup baru dengan penuh antusias dalam mencari ridho Allah SWT.

Jalan keluar seperti itulah yang dibutuhkan oleh mereka yang dihinggapi penyakit onani. Untuk itu hendaknya setiap pemuda yang mengidap penyakit ini memperhatikan jalan keluar yang kami berikan, serta menggunakannya untuk pengobatan diri dengan disertai harapan semoga Allah memberi kemudahan baginya untuk melepaskan diri dari perbuatan onani tersebut , jalan keluar yang akan kami paparkan ini merupakan petunjuk dari Allah yang tertera dalam kitab suci AlQur’an dan hadist Rosulullah SAW.

 Adapun jalan keluar yang terbaik untuk memberantas kebiasaan yang buruk tersebut adalah kawin (Menikah), yang selain dianggap sebagai sarana terbaik untuk melampiaskan kebutuhan biologis, juga menghilangkan perasaan ingin selalu menyendiri. Rosulullah SAW menganjurkan kepada generasi muda agar segera menikah bagi yang sudah mampu .
Beliau bersabda: 

“Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian mampu menjalani hidup berumah tangga segeralah untuk kawin karena dengan demikian pandangan mata dan kemaluanmu akan lebih terjaga. Sedang yang tidak mampu diantara kalian hendaknya berpuasa sesungguhnya dengan puasalah dirimu akan terpelihara dari kemaksiatan .”

Solusi dari Onani
Para ulama memberi nasehat bagi orang yang sudah kecandu onani, hendaklah ia perbanyak do’a, rajin menundukkan pandangan dari melihat yang haram, dan rajin berolahraga untuk menurunkan syahwatnya. Namun jika ia dihadapkan pada dua jalan yaitu berzina ataukah onani, maka hendaklah ia memilih mudhorot yang lebih ringan yaitu onani, sambil diyakini bahwa perbuatan tersebut adalah suatu dosa sehingga ia patut bertaubat, memperbanyak istighfar dan do’a. 

Solusi yang bisa dirinci:
1- Banyak berdo’a dan bertaubat kepada Allah, untuk berhenti dari onani selamanya.
2- Harus memiliki tekad, kemauan, dan motivasi yang kuat dari diri sendiri.
3- Bergaullah dengan orang-orang yang alim, cerdas, sholeh, beriman, bertakwa. Hindarilah lingkungan pergaulan yang membawa Anda menuju “lembah maksiat” atau “dunia hitam” atau bergaul dengan orang yang hobi onani. Teman karib yang baik sangat berpengaruh pada seseorang ibarat seseorang yang berteman dengan penjual minyak wangi. Kalau tidak diberi gratis, kita bisa dapat bau harumnya secara cuma-cuma.
4- Sibukkan diri dengan beribadah terutama banyak melakukan puasa sunnah karena puasa akan mudah mengekang syahwat. Sibukkan diri pula dengan menjaga shalat berjamaah, shalat malam, berzikir, dan membaca Alquran serta melakukan hal bermanfaat seperti olahraga.
5- Jika Anda “hobi beronani”, berhati-hatilah atau waspadalah dengan kanker prostat! Sebab, hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Nottingham Inggris, menyatakan bahwa pria berusia antara 20-30 tahun yang “gemar beronani” memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker prostat. Juga, Sebanyak 34% atau 146 dari 431 orang yang terkena kanker prostat sering melakukan onani mulai usia 20 tahun. Sekadar tambahan, kanker prostat adalah penyakit kanker yang berkembang di kelenjar prostat, disebabkan karena sel prostat bermutasi dan mulai berkembang di luar kendali.
6- Hindari melihat tontonan, tayangan, gambar, video, yang “syur”, “aduhai”, atau porno, baik di internet, televisi, VCD, DVD, dsb. Hindari juga “bacaan dewasa”, “kisah panas”, atau “bumbu-bumbu seksual”.
7- Sadarilah bahwa onani hanya akan menghabiskan energi dan waktu Anda yang sebenarnya dapat Anda gunakan untuk melakukan hal-hal lainnya yang bermanfaat.
Tinggalkanlah onani dan tempuh cara yang halal, lalu ingatlah sabda Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam,
 
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
 
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)‎
Semoga bermanfaat untuk kaum muda dan bagi Orang tua yang seharusnya ikut mengawasi dan membimbing Putra-putri kita agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang tidak kita inginkan.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...