Rabu, 25 November 2020

Hukum Puasa Rojab


Tidak ada puasa Rajab secara khusus, dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara khusus. Semua riwayat yang memerintahkan puasa Rajab dan menjelaskan keutamaannya adalah riwayat Dhoif (lemah) dan Maudhu (palsu). Tidak ada pula Shalat khusus dibulan Rajab, Zakat khusus, Haji, khusus, Umroh khusus, Ziaroh kubur khusus dan doa khusus. Semuanya adalah amalan-amalan yang tidak dilandaskan dalil yang bisa diterima sehingga tidak dapat diamalkan.

Rajab adalah nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan Hijriyyah yang terletak diantara bulan Jumada Ats-Tsaniyah dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab memiliki 15 nama lain yaitu; Al-Ashomm (الأصم), Al-Ashobb (الأصب), Rojm (رجم), As-Syahru Al-Harom (الشهر الحرام), Al-Harom (الحرم), Al-Muqim (المقيم),Al-Mu’alla (المعلى), Al-Fard (الفرد), Munshilu Al-Asinnah (منصل الأسنة), Munshilu Al-Al (منصل الآل),  Munazzi’u  Al-Asinnah (منزع الأسنة),  Syahru Al-‘Atiroh (شهر العتيرة), Al-Mubro (المبرى), Al-Mu’asy-‘isy (المعشعش), dan Syahrullah (شهر الله). Istilah puasa Rajab yang berkembang di masyarakat, bermakna puasa khusus di bulan Rajab yang dianjurkan berdasarkan sejumlah riwayat yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam yang menerangkan keutamaannya.

Masalahnya, tidak ada satupun riwayat (yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam)  tentang keutamaan puasa bulan Rajab yang legal secara syar’I sehingga hukum puasa Rajab bisa dikatakan Sunnah/Mandub. Contoh riwayat bermasalah yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut;

عن عمرو بن الأزهر، عن أبان ابن أبي عياش عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” من صام ثلاثة أيام من رجب كتب الله له صيام شهر، ومن صام سبعة أيام من رجب أغلق الله سبعة أبواب من النار، ومن صام ثمانية أيام من رجب فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة، ومن صام نصف رجب كتب الله له رضوانه، ومن كتب له رضوانه لم يعذبه، ومن صام رجب كله حاسبه الله حسابا يسيرا “.(رواه أبو القاسم السمرقندي في فضل رجب)

Dari ‘Amr bin Al-Azhar dari Aban bin Abi ‘Ayyasy dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan baginya pahala puasa selama sebulan penuh. Barang siapa berpuasa tujuh hari di bulan Rajab , maka Allah akan menutup tujuh pintu neraka. Barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab , maka Allah akan membuka delapan pintu surga untuknya. Barang siapa berpuasa separuh bulan di bulan Rajab , maka Allah akan menuliskan keridhaanNya untuknya. Barang siapa yang Allah menuliskan keridhaanNya untuknya, maka Allah tidak akan menyiksanya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab  sebulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang ringan”. (H.R.Abu Al-Qosim As-Samarqondi)

Problem pada riwayat di atas adalah adanya perawi yang bernama Aban bin Abi ‘Ayyasy, karena dia adalah seorang perawi yang Dhoif .Syu’bah berkata tentang Dhoif nya Aban dengan perkataannya: “aku lebih menyukai berzina daripada mengambil Hadist  dari Aban”. Ahmad, An Nasa’i dan Ad Daruqutni berpendapat bahwa Aban itu matruk (ditinggalkan). Selain itu ada pula perawi bernama ‘Amr bin Al Azhar dalam Hadist tersebut. Ia adalah perawi yang dikenal sering memalsukan Hadist. An Nasai berkata bahwa Amr bin Al Azhar adalah matruk (ditinggalkan). Yahya ibnu Ma’in juga mendustakannya.

Contoh riwayat lain yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut;

حدثنا هيثم بن خلف نا الحسن بن شوكر ثنا يوسف بن عطية الصفار عن هشام بن حسان عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يتم صوم شهر بعد رمضان إلا رجب وشعبان. (مجمع الزوائد) رواه الطبراني في الاوسط وفيه يوسف بن عطية الصفار وهو ضعيف

Kami diberitahu oleh Hitsam bin Kholaf, kami diberitahu oleh Al-hasan bin Syaukar, kami diberitahu oleh Yusuf bin ‘Athiyyah As-Shoffar, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan puasa selama sebulan penuh setelah Ramadhan kecuali puasa Rajab  dan Sya’ban. (H.R.At-Thobaroni)

Problem pada riwayat diatas adalah perawi yang bernama Yusuf Bin ‘Athiyyah As-Shoffar. Yahya bin Ma’in mengatakan “Laisa bissyai'” (orang yang tidak bisa dianggap apa-apa). ‘Amr bin ‘Ali mengatakan; “Katsirul Wahm wal Khotho’ (banyak tidak teliti dan banyak salah), Al-Juzajani mengatakan; “Laa Yuhmadu haditsuhu” (hadisnya tidak terpuji), Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengatakan; lemah hadisnya, Bukhari mengatakan; Munkarul hadits, An-Nasai dan Abu Bisyr Ad-Dulabi mengatakan; Matrukul Hadits, Ibnu Hajar menilai; Matruk. Karena itu, riwayatnya tergolong hadis Dhoif.

Bahkan bisa dikatakan bahwa seluruh riwayat yang menerangkan keutamaan bulan Rajab tidak ada satupun yang Shahih atau Hasan sekalipun. Semua riwayat tentang keutamaan bulan Rajab hanya dua kualitasnya; jika tidak Dhoif (lemah), maka Maudhu (palsu). Ibnu Hajar Al-Asqolani telah mengumpulkan semua riwayat tentang anjuran puasa Rajab dalam kitabnya yang bernama

تَبْيِيْنُ الْعَجَبِ بِمَا وَرَدَ فِيْ شَهْرِ رَجَبَ

(Menjelaskan rasa heran mengenai nash yang datang tentang bulan Rajab)

dan membagi riwayat-riwayat yang ada hanya menjadi dua yaitu; riwayat-riwayat Dhoif dan riwayat-riwayat palsu.

Dengan demikian tidak ada syariat puasa Rajab dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara  khusus karena riwayat-riwayat yang dijadikan dalil semuanya tidak sah digunakan sebagai hujjah.

Tidak bisa mengatakan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah berdasarkan anjuran umum puasa Tathowwu (sunnah) secara mutlak atau anjuran puasa di bulan bulan (4 bulan suci dalam islam, yaitu; Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Hal itu dikarenakan yang jadi persolan dalam pembahasan ini adalah isu mengkhususkannya, bukan sekedar melakukan puasa sunnah pada waktu tertentu. Ketika Syara’ menganjurkan puasa Tathowwu’ secara mutlak selain bulan Ramadhan, lalu ada seorang mukallaf yang berpuasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya, maka tidak bisa dikatakan bahwa hukum puasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya hukumnya sunnah berdasarkan keumuman hadis anjuran puasa Tathowwu’. Penjelasan yang lebih  tepat; tidak ada anjuran puasa Rabu khusus karena tidak ada dalil yang menunjukkan, dan yang ada hanyalah Nash umum tentang anjuran puasa Tathowwu yang boleh dikerjakan pada hari Rabu, Selasa, Ahad, dll.  Lagipula mengkhususkan ibadah haruslah dinyatakan dengan Nash karena Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melarang mengkhususkan puasa dan shalat pada hari Jumat padahal Nash-Nash yang memerintahkan puasa sunnah dan shalat malam bersifat mutlak sehingga bisa dilakukan di waktu kapanpun.

Tidak bisa pula berargumen bahwa riwayat Dhoif tentang anjuran puasa Rajab  bisa dipakai dalam kapasitas dalil untuk Fadhoil Amal. Hal itu dikarenakan isu yang dibahas disini adalah pembahasan hukum Syara, yakni membahas apakah hukum puasa Rojab sunnah ataukah tidak. Pembahasan hukum syara adalah hukum Ashl (induk) bukan Fadhoil Amal yang hanya dijadikan penguat terhadap hukum induk yang sudah mapan.

Ulama yang membolehkan hadis Dhoif dijadikan dasar Fadhoil Amal mensyaratkan cukup ketat dalam penggunaannya yaitu;

Pertama; ada nash Ashl/induk yang tidak diperdebatkan lagi keshohihannya tentang amal yang dijelaskan dalam Hadist Dhoif.

Kedua; Hadist Dhoif tersebut bukan Hadist yang terlalu Dhoif.

Ketiga; dalam mengamalkannya tidak boleh disertai keyakinan bahwa Rasulullah SAW mengucapkannya.

Pada kasus puasa Rajab, tiga syarat ini telah dilanggar semua.

Lebih dari itu, ada riwayat Mursal yang menunjukkan ketidak sukaan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam terhadap puasa Rajab. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

عن زيد بن أسلم قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم رجب فقال : ” أين أنتم من شعبان “.( مصنف ابن أبي شيبة)

Dari Zaid bin Aslam dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang puasa Rajab. Maka beliau menjawab, “di mana kalian dari bulan Sya’ban?”. (H.R. Ibnu Abi Syaibah)

Ketidaksukaan  Sejumlah Shahabat Terhadap Puasa Rajab Khusus

Ada sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Shahabat-Shahabat besar tidak suka dilakukan puasa Rajab secara khusus. Diantara mereka adalah Abu Bakar. Dalam majmu’ Al-Fatawa disebutkan;

وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَرَأَى أَهْلَهُ قَدْ اشْتَرَوْا كِيزَانًا لِلْمَاءِ وَاسْتَعَدُّوا لِلصَّوْمِ فَقَالَ : ” مَا هَذَا فَقَالُوا : رَجَبٌ فَقَالَ : أَتُرِيدُونَ أَنْ تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ ؟ وَكَسَرَ تِلْكَ الْكِيزَانَ” ( مجموع فتاوى ابن تيمية)

Abu Bakar masuk, dia melihat keluarganya telah membeli gelas-gelas untuk air dan mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Maka dia berkata, “apa ini?!”. Mereka menjawab, “Rajab ”. Dia berkata, “apakah kalian menginginkan untuk menyamakan Rajab  dengan Ramadhan?”. Lalu beliaupun memecah gelas-gelas itu. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)

Termasuk pula Umar bin Khattab. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (2/  513)

عن خرشة بن الحر قال : ( رأيت عمر يضرب أكف المترجبين حتى يضعوها في الطعام ويقول : كلوا فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية ) (أحمد)

Dari Kharasyah bin Hurr dia berkata, “aku melihat Umar memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab  hingga mereka meletakkan tangan-tangan mereka pada makanan. Umar berkata, ‘makanlah karena Rajab hanyalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyyah”.

Demikian pula Abdullah bin ‘Umar. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

حدثنا وكيع عن عاصم بن محمد عن أبيه قال كان ابن عمر إذا رأى الناس وما يعدون لرجب كره ذلك (مصنف ابن أبي شيبة)

Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Ashim bin Muhammad dari ayahnya dia berkata, “apabila ibnu Umar melihat orang-orang dan apa yang mereka persiapkan untuk puasa Rajab  maka beliau membenci hal itu”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)

Demikian pula Abu Bakrah, Imam Ahmad meriwayatkan;

عن أبى بكرة : ( أنه دخل على أهله وعندهم سلال جدد وكيزان فقال : ما هذا ؟ فقالوا : رجب نصومه فقال : أجعلتم رجب رمضان ؟ ! فأكفا السلال وكسر الكيزان) (أحمد في إرواء الغليل)

Dari Abu Bakrah bahwasanya dia masuk menemui keluarganya dan di sisi mereka terdapat keranjang-keranjang baru dan gelas-gelas. Beliau berkata, “apa ini?”. Mereka menjawab, “ Rajab, dan kami akan mempuasainya (berpuasa di dalamnya)”. Beliau berkata, “apakah kalian akan menjadikan Rajab seperti Ramadhan?” lalu beliau menumpahkan keranjang-keranjang itu dan memecahkan gelas-gelas tersebut.(H.R.Ahmad)

Demikian pula Anas bin malik. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

حدثنا وكيع عن يزيد مولى الصهباء عن رجل قد سماه عن أنس قال لا يكون اثنينيا ولا خميسيا ولا رجبيا. (مصنف ابن أبي شيبة)

Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Yazid maulanya As Shahba’ dari seorang lelaki, dia melihat Anas berkata, “janganlah kalian menjadi istnainiyyan, jangan pula kalian menjadi khumaisiyyan, dan jangan pula kalian menjadi Rujaibiyyan”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)

Riwayat Lemah Doa Terkait Bulan Rajab

Sebagian kaum muslimin mengamalkan doa terkait bulan Rajab yang diklaim diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Doa tersebut berbunyi;

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan

Klaim bahwa doa ini diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam didasarkan pada riwayat berikut;

حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَب قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ (أحمد) 

Kami diberitahu oleh Abdullah, kami diberitahu oleh Ubaidullah bin Umar dari Zaidah bin Abi Ar-Ruqaddari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik dia berkata, “nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk pada bulan Rajab  beliau berdoa, ‘ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab  dan Sya’ban dan berilah kami berkah di bulan Ramadhan’. Beliau menyebut malam jumat sebagai Gharra’ dan hari jumat sebagai Azhar.

Pada riwayat At Thabarani, lafadznya diungkapkan  sebagai berikut:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan

Hanya saja, klaim ini tidak boleh dilanjutkan karena riwayat diatas semuanya adalah riwayat Dhoif karena seorang perawi yang bernama Zaidah bin Abi Ar-Ruqod. Bukhari berkata dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir;

التاريخ الكبير (3/ 433)

زائدة بن ابى الرقاد، عن زياد النميري وثابت، منكر الحديث

Zaidah bin Abi Ar-Ruqod dari Ziyad An-Numairi dan Tsabit; Munkarul hadits

Abu Ahmad Al-Hakim menilai Zaidah dengan statemen; “haditsuhu laisa bil Qoim” (hadisnya tidak tegak), Annasai mengatakan; Munkarul hadits, Ibnu Hibban mengatakan; Dia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari perawi populer, Ibnu Hajar menilainya; Munkarul hadits.

Oleh kerena riwayatnya Dhoif, maka tidak boleh doa tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Sejauh-jauh yang bisa dilakukan hanyalah membaca doa tersebut dalam kapasitas doa buatan (Mashnu’), bukan doa Ma’tsur  (dinukil) dari Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam.

Atas dasar ini tidak ada puasa Rajab dan tidak ada anjuran melakukannya. Semua amalan khusus dibulan Rajab seperti shalat Roghoib, Zakat, Haji, umroh, Ziaroh kubur juga tidak dianjurkan. amalan-amalan shalih dibulan Rajab dikembalikan pada Nash-Nash umum tentang amalan tersebut dan diamalkan sebatas penunjukkan makna yang dinyatakan oleh lafadz Nash. Wallahua’lam.


Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
 
Madzhab Hanafi

Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:

في الفتاوي الهندية 1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه

“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
 
Madzhab Maliki

Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:

(والمحرم ورجب وشعبان ) يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم ) اه وفي الحاشية عليه : ( قوله : ورجب ) , بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة ) اه

“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitabal-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil(1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
 
Madzhab Syafi’i

Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),

قال الإمام النووي في المجموع 6/439 : ( قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم
الأشهر الحرم , وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم , قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ) اه

“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.

Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalamAsna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53),  Mughni al-Muhtaj (2/187),Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.

Madzhab Hanbali

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitabal-Mughni (3/53):

قال ابن قدامة في المغني 3/53  فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد : وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله … قال أحمد : من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا , يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ) اه

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”

Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’(3/118):

وفي الفروع لابن مفلح 3/118 : ( فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل : يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياما … وتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة , قال صاحب المحرر : وإن لم يله .

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
 
DALIL PUASA RAJAB

Dalil Mayoritas Ulama

Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:

Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah(2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):

قال ابن حجر كما في الفتاوى الفقهية الكبرى 2/53  ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام فإنه سئل عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في جوابه :نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى لما جاء في الأحاديث الصحيحة من الترغيب في الصوم مثل: قوله صلى الله عليه وسلم { يقول الله كل عمل ابن آدم له إلا الصوم } وقوله صلى الله عليه وسلم { لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك } وقوله { إن أفضل الصيام صيام أخي داود كان يصوم يوما ويفطر يوما } وكان داود يصوم من غير تقييد بما عدا رجبا من الشهور ) اه

“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi SAW: “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”

Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar(4/291):

وقال الشوكاني في نيل الأوطار 4/291 : ( وقد ورد ما يدل على مشروعية صومه على العموم والخصوص : أما العموم : فالأحاديث الواردة في الترغيب في صوم الأشهر الحرم وهو منها بالإجماع . وكذلك الأحاديث الواردة في مشروعية مطلق الصوم … ) اه

“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”
 
Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:

عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه : أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها )

Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(6/439): “Nabi SAW menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).

Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).

Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:

في سنن النسائي 4/201 : ( عن أسامة بن زيد قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان ) اه

“Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar(4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”

Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.

Dalil Madzhab Hanbali

Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan bulan Rajab.

Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus, didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).

Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.).

Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra[2/479], dan lain-lain).

Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Kesimpulan 

‎Sudah jelas dari semua dalil bahwa bulan Rajab adalah salah satu bulan yang mulia serta termasuk dari 4 bulan haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam). Sehingga tak ada seorang muslim yang beriman menolak atau menyangsikan kemuliaan bulan-bulan haram tersebut. Namun bulan Rajab tidak lebih utama dari pemuliaan bulan haram lainnya selain itu Islam juga memuliakan selain bulan Haram seperti bulan Sya’ban dan Syawal.

Maka puasa di bulan Rajab jelas ada dan boleh. Adalah salah jika menyatakan tidak ada puasa Rajab. Akan lebih salah lagi jika menyatakan haram berpuasa bulan Rajab. Yang benar adalah Rasulullah s.a.w. pernah berpuasa di bulan Rajab dan juga pernah tidak berpuasa di bulan Rajab. Mengkhususkan diri hanya berpuasa di bulan Rajab adalah makruh. Letak makruhnya bukan soal berpuasanya namun soal mengkhususkan hanya menghormati bulan Rajab saja sedangkan tidak menghormati bulan bulan lainnya dengan berpuasa sunnah juga. 

Adapun Rasulullah s.a.w. sesungguhnya pada semua bulan beliau berpuasa dan andaikan mau dilebihkan, maka dari semua kesaksian para sahabatn beliau s.a.w. paling banyak berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban dan bukan bulan Rajab  Juga tidak ada dasarnya meyakini tanggal tertentu atau haru tertentu di bulan Rajab. Yang benar adalah silakan berpuasa 2-3 hari di hari apa saja pada bulan Rajab sebagaimana berpuasa 2-3 hari di bulan haram lainnya. Puasa 2-3 hari ini berbeda dengan puasa senin kamis dan puasa ayamul bidh 3 hari tiap tengah bulan yang dilaksanakan pada semua bulan.

Adapun sikap memuliakan bulan Rajab tidak lantas dengan cara menerima begitu saja hadits-hadits yang berlebih-lebihan seperti terbebasnya dari penyakit, atau sama dengan puasa setahun penuh dan sholat malam setahun penuh atau akan disediakan telaga khusus di surga dll. Adapun kenyataannya hadits-hadits yang bombastis itu adalah hadits dla’if bahkan palsu. Orang yang melebih-lebihkan keutamaan bulan Rajab dengan membawakan hadits palsu sama buruknya dengan orang yang sama sekali menolak atau mengharamkan adanya puasa di bulan Rajab. Wallahua’lam.

 

Hukum Penjelasan Tentang Oral Seks


Sebelumnya mohon maaf kepada semua pembaca jika dalam pembahasan topik ini dan semisalnya didapatkan kata, kalimat atau ungkapan yang vulgar terkait aurot. Dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat tentu hal demikian tidak terpuji, namun dalam pembahasan hukum Syara’ tindakan tersebut bahkan diperlukan untuk menghindari keambiguan dan ketidak jelas hukum. Sejumlah ulama besar yang terhormatpun melakukannya. Misalnya Imam Malik, diriwayatkan beliau berkata;

كشاف القناع عن متن الإقناع (17/ 409

وَقَالَ ) الْإِمَامُ ( مَالِكُ ) بْنُ أَنَسٍ ( لَا بَأْسَ بِالنَّخْرِ عِنْدَ الْجِمَاعِ

“Imam Malik berkata; Tidak mengapa desahan/lenguhan panjang saat Jimak (Kassyaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol.18 hlm 409) ”

Imam Malik dengan segala kehormatan dan reputasi beliau sebagai Ulama panutan, tidak perlu merasa jatuh kehormatannya ketika berbicara tentang fikih hubungan suami istri sampai urusan yang sedetail ini. Desahan, jeritan tertahan, rintihan, lenguhan panjang dan yang semakna dengannya memang termasuk persoalan cabang dalam Fikih hubungan suami istri dalam Islam, dan beliau menyebutnya dengan lugas karena memang diperlukan untuk penjelasan hukum fikih.

Demikian pula Abu Hanifah. As-Syarbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj mengutip riwayat dialog antara Abu Hanifah dengan muridnya Abu Yusuf;

مغني المحتاج (12/ 68)

سَأَلَ أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنْ مَسِّ الرَّجُلِ فَرْجَ زَوْجَتِهِ وَعَكْسِهِ ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ أَجْرُهُمَا

“Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang menyentuh (untuk merangsang) kemaluan istrinya dan sebaliknya. Abu Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan saya berharap pahala keduanya besar” (Mughni Al-Muhtaj, vol.12hlm 68)

Demkian pula Mujahid ketika merekomendasikan bagaimana contoh cara bersenang-senang dengan istri saat istri dalam kondisi Haid. At-Thabari meriwayatkan;

تفسير الطبري (4/ 380)

عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب امرأته وهي حائض، قال:اطعن بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما لم يكن في الدبر أو الحيض

“Dari Laits beliau berkata; kami berdiskusi di dekat Mujahid tentang seorang lelaki yang mencumbu istrinya saat Haid. Mujahid berkata; “Tusukkan penismu di manapun yang engkau kehendaki diantara dua paha, dua pantat, dan pusar. Selama tidak di anus atau saat Haid” (tasfir At-Thobari, vol; 4 hlm 380)

Demikian pula As-Suyuthi yang disebut  mengarang kitab Fikih Jimak yang berjudul نواضر الأيك في معرفة النيك.  Di dalamnya, beliau berbicara begitu detail sampai tataran praktis dalam hal rekomendasi posisi, gerakan, tehnik mencapai puncak dsb. Judul yang beliau ambil saja memakai istilah An-Naik. An-Naik dalam bahasa Arab termasuk kata yang paling vulgar untuk menyebut hubungan suami istri. Jika bahasa indonesia punya kata-kata halus untuk berhubungan suami istri seperti bercinta, berhubungan intim, ML (serapan dari bahasa inggris), maka An-Naik  dari segi kevulgaran setara dengan istilah senggama atau bersetubuh. Jadi kira-kira terjemahan judul beliau adalah “Hijaunya pepohonan untuk mengenal ilmu senggama”

Memang fikih harus jelas, lugas, exactly, dan tidak ambigu. Fikih harus hitam-putih karena berbicara halal-haram yang berkonsekuensi pahala dan dosa. Membahas masalah fikih dengan cara yang samar-samar bisa malah membuat timbulnya problem baru, kesalahfahaman, ketidakjelasan, salah konsep, salah penerapan, dan akibat-akibat negatif lainnya. Oleh kerena hal itu, dimohon para pembaca memahami alas fikir ini, sehingga bisa memaklumi jika dalam pembahasan yang menyentuh aurot seperti yang kita angkat pada topik ini, ditemukan ungkapan-ungkapan vulgar yang diperlukan untuk penjelasan hukum.

Oral seks yang  dilakukan pasangan sah secara Syar’i, hukumnya  Mubah tanpa ada keberatan baik  oral seks  yang berupa Fellatio maupun Cunnilungus, dilakukan untuk pemanasan sebelum berhubungan seks (foreplay), mencapai ejakulasi/orgasme, maupun sekedar kesenangan, selama kemaluan dibersihkan dari najis dan dalam pelaksanaan tidak sampai menelan benda najis secara sengaja. Semuanya dihukumi  mubah dan pasangan sah bisa memilih untuk melakukannya atau  tidak. Jika hal tersebut dipandang bagian kenikmatan, maka  silakan melakukan, tetapi jika  malah dipandang membuat tidak nyaman maka  silakan menghindari. Semuanya menjadi pilihan pasangan, karena hukum mubah bermakna kebebasan untuk memilih antara melakukan ataukah tidak.

Oral seks (الجنس الفموي/ الجنس عن طريق الفم/الجنس الشفوي/الجماع الفموي) adalah aktivitas  mencium,mengecup, menjilat, mengulum,  menghisap, dan mempermainkan kemaluan pasangan memakai mulut, lidah, gigi atau kerongkongan dengan tujuan merangsang atau mencapai klimaks (ejakulasi/orgasme). Dalam istilah kontemporer, aktivitas menghisap penis lelaki oleh seorang wanita disebut dengan istilah Fellatio sementara aktivitas menghisap clitoris wanita oleh seorang lelaki disebut dengan istilah Cunnilingus. Umumnya orang melakukan oral seks untuk kepentingan pemanasan (foreplay) sebelum berhubungan seksual, atau dinikmati sebagai  intercourse/senggama sebagai salah satu tehnik mencapai klimaks (ejakulasi atau orgasme).

Dalam kajian budaya, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara Afrika menghindarinya karena dianggap tabu, kotor, menghambat perkembangbiakan, dan tidak natural. Taoisme menganggap oral seks malah dikaitkan dengan keyakinan spiritual membuat umur panjang. Adapun dalam budaya Barat saat ini, oral seks dianggap biasa dan secara luas dipraktekkan sebagaimana seks bebas yang juga dianggap biasa.

Oral seks dihukumi Mubah berdasarkan dua argumentasi berikut;

Pertama; Syara’ membolehkan Istimta’/الاستمتاع (bersenang-senang/berlezat-lezat/bernikmat-nikmat) kepada pasangan yang sah dalam bentuk  umum dan mutlak tanpa batasan, dan hanya dikecualikan dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan oleh Nash.

Dalil yang menunjukkan bolehnya Istimta’ secara mutlak tanpa batasan adalah Nash-Nash berikut;

{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ} [البقرة: 187]

Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka (Al-Baqoroh; 187)

Dalam ayat di atas pasangan suami istri diumpamakan seperti pakaian. Suami menjadi pakaian istri dan istri menjadi pakaian suami. Ungkapan ini adalah kinayah intimnya relasi  suami istri dan kedekatannya yang maksimal sehingga bersenang-senang model apapun selama dalam batas-batas Syariat diizinkan. Suami boleh menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan  istri dengan cara dan model apapun, sebagaimana istri boleh menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan suami dengan cara dan model apapun.  Bersenang-senang itu tidak dibatasi hanya dalam Jimak saja, namun berlaku pula pada jenis menikmati tubuh yang lain. Jadi ayat ini menjadi dalil atas bolehnya Istimta’ pasangan suami istri yang bersifat umum dan mutlak tanpa batasan.

Secara khusus, Istimta’ berupa kontak seksual dibolehkan dengan gaya dan posisi apapun. Allah berfirman;

{نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} [البقرة: 223]

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (Al-Baqoroh; 223)

Artinya, mensetubuhi istri  pada kemaluannya boleh dilakukan dengan cara apapun baik terlentang, miring, duduk, berdiri, bersujud, rukuk, dll. Ayat ini menegaskan kebolehan saling menikmati bagi suami istri dengan cara apapun yang diinginkan.

Dalam hadis riwayat Bukhari dijelaskan kebolehan Istimta’ dengan mencium mulut dan menghisap ludah istri. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 17)

مُحَارِبٌ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ

تَزَوَّجْتُ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَزَوَّجْتَ فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا فَقَالَ مَا لَكَ وَلِلْعَذَارَى وَلِعَابِهَا

فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ فَقَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا جَارِيَةً تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ

Muharib berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah radliallahu ‘anhuma berkata; aku telah menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya padaku: “siapa wanita yang kamu nikahi? Kujawab; aku menikahi seorang janda.” Beliau bersabda: “Kenapa tidak dengan seorang gadis, dengan segenap air ludahnya?” Lalu aku pun menuturkan hal itu pada Amru bin Dinar, lalu Amru berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padaku: “(Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.” (H.R.Bukhari)

Ungkapan

“Kenapa tidak dengan seorang gadis, dengan segenap air ludahnya?”

Maknanya adalah mencium dan mengecup bibir istri sembari menghisap ludahnya dengan maksud bersenang-senang. Lafadz

“(Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.”

malah lebih umum lagi menjelaskan kebolahan bersenang-senang secara mutlak tanpa pembatasan. Karena lafadz “(Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.” Bisa diberlakukan pada jenis kontak fisik apapun yang bersifat bersenang-senang, sehingga mencakup  aktivitas memegang, meraba, mengelus, meremas,menggelitik, mengecup,  mencium, menjilat, menghisap, mengulum, menggigit ringan,  dan sebagainya. Karena itu Hadis ini menguatkan kebolehan Istimta’ secara mutlak tanpa batasan bagi suami istri.

Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakaukan Istimta’ saat Istrinya Haid dengan kontak kulit yang diungkapkan dalam riwayat dalam bentuk umum dan mutlak. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 499)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ

Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang Haid.” (H.R.Bukhari)

Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersenang-senang dengannya melalui kontak kulit tanpa menerangkan jenis kontak kulit apa yang terlarang. Hal ini menguatkan bahwa hukum asal Istimta’ bagi suami istri adalah mubah dengan cara apapun selama tidak ada dalil yang melarang.

Rekomendasi Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada lelaki yang ingin bersenang-senang dengan istri sementara istri dalam keadaan Haid lebih jelas lagi dalam menerangkan kebolehan Istimta’ secara mutlak. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (1/ 107)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إِذَا حَاضَتْ مِنْهُمُ امْرَأَةٌ أَخْرَجُوهَا مِنَ الْبَيْتِ وَلَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُشَارِبُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِى الْبَيْتِ فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ (وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِى الْمَحِيضِ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « جَامِعُوهُنَّ فِى الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ غَيْرَ النِّكَاحِ »

Dari Anas bin Malik bahwa orang-orang Yahudi apabila seorang isteri mengalami Haid maka mereka mengeluarkannya dari rumah, dan tidak makan bersamanya, tidak minum bersamanya, dan tidak menggaulinya di rumah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal tersebut; kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu Haidh.” Hingga akhir ayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bergaullah dengan mereka di rumah danlakukan segala sesuatu selain bersenggama.” (H.R.Abu Dawud)

Lafadz

“lakukan segala sesuatu selain bersenggama”

menunjukkan izin tegas bersenang-senang secara umum dan mutlak dengan cara apapun yang inginkan. Lafadz ini bermakna kebolehan Istimta’ secara umum dan mutlak tanpa batasan dan hanya boleh dibatasi oleh dalil yang jelas yang menunjukkan pengecualian itu.

Di zaman shahabat, ada riwayat bagaimana Shahabat tidak mengingkari  Istimta’ yang dilakukan dengan mengulum dan menghisap payudara istri. Imam Malik meriwayatkan;

موطأ مالك (4/ 0)

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ

إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ

Dari Malik dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernah menghisap payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa penyusuan.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.” (H.R.Malik)

Semua riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Syara membolehkan Istimta’ bagi pasangan suami istri secara mutlak dan bersifat umum tanpa pembatasan. Kebolehan Istimta’ tersebut juga tidak membatasi apakah dilakukan dengan tangan, hidung, mulut, lidah, gigi, telinga, leher,  ,payudara, pantat,  betis, kaki dll. Oleh karena itu, kebolehan itu tidak boleh dibatasi kecuali dengan pembatasan yang dinyatakan oleh Nash. Artinya, Selama tidak ada Nash yang melarang, semua jenis cara Istimta’ diizinkan sehingga hukumnya mubah berdasarkan dalil umum kebolehan Istimta’ tersebut.

Pengecualian yang dinyatakan Nash atas kebolehan Istimta’ mutlak tersebut hanyalah dua cara; yakni mensetubuhi istri saat Haid dan mensetubuhi istri pada dubur/anusnya. Dalil yang menunjukkan haramnya mensetubuhi istri saat Haid adalah ayat berikut;

{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ} [البقرة: 222]

Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu Haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  (Al-Baqoroh; 222)
Dalil haramnya mensetubuhi istri pada duburnya diantaranya adalah hadis berikut;

مسند أحمد (16/ 157)

عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا

Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di dubur.” (H.R.Ahmad)

Adapula larangan mensetubuhi istri dalam momen-momen tertentu seperti saat puasa Ramadhan dan saat Haji sebelum Tahallul.

Nash-Nash pengecualian ini saja yang layak dan boleh dijadikan pembatas keumuman dan kemutlakan kebolehan Istimta’. Selain selain hal-hal yang dinyatakn oleh Nash, maka Istimta’ kembali pada hukum umum kemubahannya dan tidak bisa diharamkan. Semua  jenis Istimta’ yang dilarang telah diterangkan oleh Syara’ dan tidak ada yang luput tidak diterangkan karena Islam sudah turun dengan sempurna dan Allah menegaskan bahwa tidak ada yang diluputkan dari penjelasan hukumnya. Allah berfirman;

{ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ } [الأنعام: 38]

Tiadalah Aku alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab  (Al-An’am; 38)

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan seluruh Nash-Nash yang dipaparkan sebelumnya tentang kebolehan Istimta’ secara mutlak, oral seks hukumnya mubah karena termasuk keumuman Istimta’ yang dimubahkan dan tidak termasuk pengertian mensetubuhi istri saat Haid atau mensetubuhi istri pada duburnya. Oral seks dengan maksud mencapai ejakulasi atau orgasme atau sekedar bersenang-senang hukumnya mubah berdasarkan keumuman mubahnya Istimta’.

Kedua (yakni argumentasi kedua mubahnya oral seks); Syara’ memerintahkan  mengawali Jimak dengan pemanasan (foreplay).

Dalam kitab-kitab fikih yang membahas adab Jimak, telah disepakati sunnahnya melakukan pemanasan sebelum melakukan kontak seksual. Pemanasan yang dimaksud di sini adalah aktivitas saling merangsang sebagai persiapan dan pengkondisian agar Jimak berlangsung dengan penuh kenikmatan dan menyenangkan.  Secara dalil, sebenarnya tidak ada dalil khusus yang Shahih dan Marfu’ yang memerintahkan dilakukan pemanasan sebelum Jima’. Namun secara fakta, pemanasan memang diperlukan karena jika diabaikan maka pihak wanita akan kesakitan dan merasa tidak nyaman padahal suami diperintahkan syara mempergauli istri dengan baik. Karena itu, sunnahnya pemanasan sebelum jimak termasuk keumuman perintah mempergauli istri dengan baik seperti dalam ayat;

{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [النساء: 19]

Dan bergaullah dengan mereka ma’ruf (An-Nisa; 19)

Dan juga hadis’

سنن الترمذى – مكنز (14/ 53، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ

“Dari Aisyah; beliau berkata; Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik bagi istrinya (H.R.At-Tirmidzi)

Atsar yang ditemukan berkaitan sunnahnya foreplay ini, disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Ibnu Qudamah menulis;

المغني (16/ 46)

 رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { لَا تُوَاقِعْهَا إلَّا وَقَدْ أَتَاهَا مِنْ الشَّهْوَةِ مِثْلُ مَا أَتَاك ، لِكَيْ لَا تَسْبِقَهَا بِالْفَرَاغِ .

“Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; janganlah engkau menjimakinya kecuali  dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks”

Cara merangsang sebagai pemanasan sebelum Jimak ini tidak dibatasi dengan cara tertentu atau anggota badan tertentu. Oleh karena itu, mubah hukumnya merangsang dengan tangan, leher, payudara, punggung, betis, gesekan tubuh, termasuk mulut. Merangsang dengan mulut bisa dilakukan dengan mencium, mengecup lembut,  menghisap, mengulum, dan menjilat. Daerah yang menjadi obyek rangsangan mulut juga tidak dibatasi. Rangsangan dengan mulut boleh diterapkan pada bibir, leher, payudara, perut, pinggang, termasuk kemaluan. Dari sini, oral seks sebenarnya tidak ada bedanya dengan merangsang anggota tubuh yang lain memakai mulut. Oleh karena itu oral seks dari sisi ini, yakni disyariatkannya pemanasan sebelum Jimak, hukumnya mubah karena termasuk uslub (teknik) melaksanakan tuntunan syara, yakni melakukan foreplay sebelum berhubungan seks.

Catatan Kritis Terhadap Pendapat Yang Mengharamkan Oral Seks

Berikut ini akan dipaparkan sejumlah argumentasi yang dijadikan dasar untuk mengharamkan oral seks dengan disertai ulasan terhadap argumentasi tersebut.

Diantara argumentasi yang dipakai untuk mengharamkan oral seks adalah;

Pertama; Surat Al-Baqoroh ayat; 222. Allah berfirman;

{فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ} [البقرة: 222]

Apabila mereka telah Suci, maka campurilah mereka itu “Min Haitsu Amarokumullah”-dari sisi yang diperintahkan Allah- (Al-Baqoroh; 222)

Dari ayat diatas difahami bahwa Allah memerintahkan mensetubuhi istri ditempat yang diperintahkan, yaitu kemaluan. Oleh karena itu oral seks hukumnya haram karena mensetubuhi istri bukan pada tempat yang diperintahkan.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Makna lafadz  “Min Haitsu Amarokumullah” bukanlah perintah mensetubuhi istri pada kemaluannya. Artinya, tekanan makna dalam ayat ini bukan perintah mensetubuhi istri pada kemaluannya. Makna lafadz “Min Haitsu Amarokumullah” adalah; setubuhilah istri dalam kondisi yang suci, karena itulah kondisi yang diperintahkan Allah mengingat Allah hanya memperbolehkan mensetubuhi istri dalam kondisi suci dan melarang mensetubuhi istri dalam kondisi Haid. Konteks ayat tersebut yang berbicara tentang haramnya mensetubuhi istri saat Haid menguatkan pemaknaan ini. Apalagi lanjutan ayat berikutnya menerangkan bahwa Allah menyukai orang –orang yang bersuci. Jadi, pemaknaan lafadz “Min Haitsu Amarokumullah” lebih tepat difahami ; mensetubuhi istri saat suci, yakni berhenti dari Haid dan mandi Janabah. Lagi pula, seandainya tekanan maknanya adalah berbicara “lokasi” ditempatkannya kemaluan, seharusnya lafadznya Fii Haitsu, bukan “Min Haitsu Amarokumullah”. Penggunaan lafadz  Min Haitsu menunjukkan bahwa Syara tidak memaksudkan menekankan perintah menyetubuhi pada kemaluan istri, tapi tekanannya adalah pada kondisi istri, yaitu kondisi suci dari Haid. Dalam Tafsir Jalalain dinyatakan;

تفسير الجلالين (1/ 231)

مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّه” بِتَجَنُّبِهِ فِي الْحَيْض وَهُوَ الْقُبُل وَلَا تَعْدُوهُ إلَى غَيْره

“Min Haitsu Amarokumullah, yakni; dengan menjauhinya  saat Haid yakni pada kemaluannya dan jangan melampaui pada yang lebih dari itu (Tafsir Al-Jalalain; vol.1 hlm 231)

Al-Farro’ juga menyatakan dalam Ma’ani Al-Qur’an;

معانى القرآن للفراء (1/ 128)

{فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ} ولم يقل: فى حَيْثُ، وهو الفرج. وإنما قال: من حيث كما تقول للرجل: اِيت زيدا من مأتاه من الوجه الذى يؤتى منه.
“Fa’tuhunna Min Haitsu Amarokumullah. Allah tidak mengatakan Fi Haitsu yang bermakna farji/kemaluan tetapi mengatakan Min Haitsu seperti  ucapan Anda kepada seseorang; datangilah zaid dari waktu/tempat/hal kedatangannya, yakni dari sisi yang di didatangi darinya” (Ma’ani Al-Qur’an. Vol 1, hlm 128)

Lagipula, dengan asumsi bahwa penafsiran lafadz “Min Haitsu Amarokumullah”yang dimaknai perintah mensetubuhi pada kemaluan diterima, maka pemahaman  ini belum cukup untuk mengharamkan oral seks mengingat Istimta’ secara mutlak hukumnya Mubah sehingga para Fuqoha membolehkan usaha mencapai ejakulasi dengan paha, payudara, pantat atau kocokan tangan istri. Padahal seharusnya jika cara pemahaman seperti yang disebutkan dalam argumen pertama pendapat yang mengharamkan oral seks diikuti, seharusnya usaha mencapai ejakulasi dengan jepitan plus gesekan payudara, paha, dan pantat, atau kocokan tangan istri semuanya juga dihukumi haram karena bermakna mensetubuhi istri bukan pada “tempat yang diperintahkan Allah/kemaluannya”. Pemahaman ini tidak dapat diterima karena mencapai ejakulasi dengan jepitan payudara, paha, pantat, atau kocokan tangan istri semuanya dihukumi Mubah.

Kedua (yaitu argumentasi kedua yang dipakai pendapat yang mengharamkan oral seks);Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah tidak pernah saling melihat kemaluansebagaimana dinyatakan dalam riwayat berikut;
سنن ابن ماجه (1/ 217)

عن عائشة

 : – قالت ما نظرت أو ما رأيت فرج رسول الله صلى الله عليه و سلم قط

“Dari Aisyah beliau berkata; Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sama sekali” (H.R.Ibnu Majah)

” ما أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا من نسائه إلا متقنعا، يرخي الثوب على رأسه، وما رأيته من رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا رآه مني “.

“Tidaklah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam menggauli seorangpun dari istri-istrinya kecuali dalam keadaan memakai selubung, beliau melabuhkan kain pada kepalanya. Dan aku tidak pernah melihat milik Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana beliau tidak pernah melihat milikku” (H.R.Abu as-Syaikh)

Oral seks jelas akan melihat kemaluan pasangan, dan ini bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sehingga dihukumi haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Riwayat diatas tidak bisa dijadikan dalil karena tidak shahih. Riwayat pertama Dhoif, karena salah satu perawinya Majhul (tidak dikenal) yaitu maula Aisyah, sementara riwayat kedua malah Maudhu (palsu) karena salah seorang perawinya yang bernama Muhammad bin Al-Qosim Al-Asadi adalah seorang pendusta.

Lagipula, riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat shahih yang menjelaskan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah mandi bersama dalam satu bejana. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 499)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ

Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang Haid.” (H.R.Bukhari)

Ketiga; oral seks sama dengan menjimaki dubur wanita. Karena mensetubuhi dubur haram, maka oral seks juga haram karena bisa diqiyaskan.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Oral seks tidak bisa disamakan dengan mensetubuhi dubur karena mulut bukan dubur dan tidak bisa disamakan dengan dubur. Mulut adalah tempat masuk makanan, dubur untuk pelepasan. Mulut adalah tempat masuk makanan yang suci, sedangkan dubur adalah  tempat keluar benda najis

Lagipula, Qiyas yg Syar’i harus ada illat (penyebab hukum)nya. Illat pun juga harus Syar’i dan digali dari Nash, tidak boleh ditetapkan dengan akal. Larangan jimak dubur tidak ada Illatnya sama sekali sehingga tdk bisa diqiyaskan dengan yg lain.

Keempat; tidak ada riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan para Shahabat melakukan oral seks sehingga oral seks termasuk bid’ah yang hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Tidak adanya riwayat tidak bermakna tidak dilakukan. Karena riwayat tidak mungkin menampung semua kejadian hidup suatu generasi secara mendetail, apalagi hal-hal yang terlalu teknis yang sudah tercakup dalam pengertian Nash-Nash umum. Lagipula, tidak boleh memahami bahwa apa yang tidak dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat maka hal itu langsung dihukumi haram. Perbuatan baru tidak haram, selama masih tercakup dalam kandungan lafadz Nash yang dinyatakan dalam bentuk umum, mutlak dan garis-garis besar. Orang yang membiasakan membaca Quran setelah shalat shubuh misalnya, tidak boleh perbuatannya dihukumi haram dengan alasan tidak ada riwayat bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan shahabat melakukannya. Membiasakan membaca Al-Quran setelah shubuh diizinkan secara syar’i karena ada Nash yang memerintahkan membaca Al-Quran dalam bentuk umum dan mutlak yang tidak dibatasi waktunya. Latihan baris-berbaris dalam rangka persiapan jihad tidak bisa diharamkan dengan alasan tidak ada riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan,  karena Nash yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan jihad dinyatakan dalam bentuk umum sehingga mencakup semua persiapan menuju ke arah sana. Demikianlah seterusnya. Abu Bakar menulis Quran dalam satu Mushaf, Utsman menyeragamkan mushaf dan memerintahkan  pembakaran semua mushaf selain mushaf utsmani, dll semua adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam namun diizinkan secara syar’i karena didasarkan oleh Nash-Nash yang dinyatakan secara umum dan mutlak.

Boleh jadi juga akan ditemukan kesulitan jika berusaha mencari riwayat lugas bagaimana generasi awal umat ini meremas payudara, menjilat ketiak, mengulum pubis dll karena hal ini terlalu teknis dan tidak perlu. Karena itu alasan bahwa tidak ditemukannya riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan oral seks adalah alasan yang belum cukup kuat untuk mengharamkan oral seks.

Kelima; melakukan oral seks termasuk melampaui batas karena mencari pemuasan selain pada kemaluan istri atau budak sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat berikut;

{وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ } [المؤمنون: 5 – 7]

5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,

6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.

7. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun; 5-7)

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Ayat tersebut belum cukup dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan oral seks, karena maksud  ayat tersebut adalah celaan kapada orang yang mencari pemuasan dari selain istri, misalnya dengan cara berzina atau yang semakna dengannya. Adapun oral seks, aktivitas ini justru mencari pemuasan dari istri sehingga tercakup dalam pengertian menjaga kemaluan memakai istri yang didukung oleh Nash2 kebolehan Istimta’ yang bersifat mutlak tanpa pembatasan. Jika Istimta’ yang berupa Jimak diizinkan secara Syar’i,  maka Istimta’ dengan cara oral seks lebih utama dimubahkan karena oral seks lebih ringan daripada Jimak.

Keenam; oral seks itu menjijikkan,menghinakan manusia dan memalukan karena kotor dan  hewanpun tidak ada yang melakukan. Mulut adalah suci, yang digunakan untuk berdzikir dan membaca Al-Quran, sehingga tidak pantas dibuat mengulum dan menjilati kemaluan.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Alasan kotor, jijik, hina, tidak pantas dilakukan dan semisalnya adalah perasaan subyektif manusia yang tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan status hukum syara. Perasaan jijik orang bisa saja berbeda-beda, tetapi hukum syara tetap satu. Biawak hukumnya halal, namun Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam merasa jijik sehingga tidak mau memakannya yang itu berbeda dengan Khalid yang sama sekali tidak merasa jijik sehingga memakannya. Air kencing unta barangkali sebagian orang merasa jijik meminumnya, namun sejumlah orang di zaman Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam meminumnya sebagai obat atas perintah Nabi. Wanita-wanita Anshor memandang jijik dan hina disetubuhi dengan gaya Doggy Style sehingga menolaknya, namun ternyata turun ayat yang mengoreksi bahwa gaya demikian boleh saja. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (6/ 68)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ

إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

{ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ }

أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; sesungguhnya Ibnu Umar semoga Allah mengampuninya, ia telah silap. Sesungguhnya terdapat sebuah kampong anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama kampong yahudi yang merupakan ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Dan mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang yahudi. Diantara keadaan ahli kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan satu cara yaitu dengan miring berhadapan, dan hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang anshar ini mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebut. Sementara orang-orang Quraisy menggauli isteri-isteri mereka dengan cara menelentangkan istri sesukanya dan menikmati mereka, dalam keadaan menghadap dan membelakangi serta dalam keadaan terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita anshar. Kemudian ia melakukan hal tersebut. Kemudian wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata; sesungguhnya kami didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! akhirnya tersebarlah permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. kemudian Allah ‘azza wajalla menurunkan ayat: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Yakni dalam keadaan menghadap (saling berhadapan), membelakangi dan terlentang, yaitu pada tempat lahirnya anak (farj). (H.R. Abu Dawud)

Umar juga merasa tidak enak ketika menjimaki istrinya dari belakang sehingga berkonsultasi dengan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, namun ternyata Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam membolehkan. Ahmad meriwayatkan;
مسند أحمد (6/ 101)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ

جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ

{ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ }

أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata; “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Beliau bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Umar menjawab; “Aku membalik tungganganku (yakni istriku) tadi malam.” Ibnu Abbas berkata; Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai itu. Ibnu Abbas melanjutkan; Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: (Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki) (lalu beliau mengatakan): “Bagaimana saja kamu kehendaki, dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan Haidl.” (H.R.Ahmad)

Alasan bahwa islam mencintai kebersihan, sementara oral seks itu kotor dan najis, juga kurang kuat, karena  peluang munculnya kotor saat bersenang-senang tidak  diharamkan dengan bukti foreplay yg mubah, padahal berpeluang mengeluarkan Madzi yang mengenai tubuh, bantal, selimut, kasur. dll.

Alasan  bahwa  lisan itu dipakai berdzikir dan membaca Al-Quran sehingga tidak layak berinteraksi dengan kemaluan juga kurang kuat, karena menghisap ketiak, payudara,pusar, punggung, telinga, dan mulut yang berpeluang gusinya berdarah hukumnya mubah.

Ringkasnya, perasaan manusia yang subyektif bukan standar halal-haram, dan tidak boleh dijadikan dalil untuk menentukan status keharaman sesuatu. Halal-haram hanya boleh ditetapkan dengan Nash, bukan perasaan subyektif manusia.

Statemen bahwa tidak ada hewan yang melakukan oral seks juga tidak benar, karena -dari sumber-sumber referensi dan realitas yang bisa disaksikan- kambing, primata, anjing hutan, kelelawar dan domba malakukan oral seks. Hanya saja oral seks yang dilakukan hewan bukan untuk bersenang-senang, namun pengkondisian aktivitas reproduksi biasa.

Ketujuh; Oral seks bisa membuat Madzi termakan, padahal memakan najis hukumnya haram. Jadi oral seks haram karena bisa membuat termakannya benda najis yang hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Mengharamkan oral seks dengan alasan peluang tertelannya benda najis tidak bisa diterima, karena tidak pasti, tidak sengaja, bisa dimuntahkan, atau dilindungi dengan kondom. Seorang suami yang mencium dan menghisap mulut istrinya yang berpeluang keluarnya darah dari gusinya, tidak bisa dilarang  dan diharamkan dengan alasan peluang termakannya darah yang najis. Peluang darah tertelan adalah hal yang tidak pasti, tidak sengaja, dan bisa dimuntahkan, sehingga hal ini tidak bisa menjadi dalil haramnya ciuman.

Lagi  pula syara membedakan tubuh yg terkena najis dan tubuh yang telah disucikan. Tubuh yang  terkena najis haram dipakai untuk shalat, namun jika disucikan maka tidak lagi tercela. Tersentuhnya mulut oleh  najis tidak ada bedanya dengan tersentuhnya tangan atau anggota tubuh yang lain oleh Madzi.

Kedelapan; oral seks termasuk Tasyabbuh (menyerupai) orang Kafir sehingga hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Menilai oral seks termasuk Tasyabbuh dengan orang Kafir sehingga hukumnya haram adalah penilaian yang belum bisa diterima karena maksud larangan Tasyabbuh adalah Tasyabbuh yang terkait dengan kekufuran, syiar dan adat-istiadat mereka yg bertentangan dengan Islam. Al-Ghazzi mendefinisikan Tasaybbuh dengan berkata;

“هو عبارة عن محاولة الإنسان أن يكون شبهَ المتشبَّه به وعلى هيئته وحليته ونعته وصفته، .(حسن التنبه لما ورد في التشبه (ق 2/2) (1/49).

Tasyabbuh adalah upaya seseorang agar menjadi mirip dengan yang ditiru dalam penampilan, perhiasan, sifat dan karakternya. (Husnu At-Tanabbuh Lima Waroda Fi At-Tasyabbuh, vol.1 hlm 49)

Jadi Tasyabbuh itu harus ada upaya/usaha sengaja untuk mengidentikkan diri dengan yang ditiru, bukan semata-mata melakukan perbuatan yang kebetulan sama. Fenomane fans-fans artis yang berusaha meniru gaya rambut, gaya berpakaian, gaya jalan, gaya berbicara artis yang diidolakan adalah contoh yang paling dekat dengan makna Tasyabbuh. Kesamaan melakukan perbuatan tidak bisa disebut Tasyabbuh jika tidak terealisasi sifat-sifat ini. Sistem Diwan dari Persia yang diadopsi Umar tidak bisa disebut Tasyabbuh dengan bangsa Persia yang Kafir karena tidak terkait kekufuran dan syiar-syiar yang bertentangan dengan islam. Terkait dengan hubungan seksual, yang tepat disebut Tasyabbuh adalah jika kaum muslimin ikut-ikutan bergaya seks bebas, merekam adegan intim, lalu menyebarkannya apalagi memkomersialkannya. Adapun oral seks, maka hal ini tidak termasuk ciri kekufuran suatu kaum, tetapi hanyalah teknik dan kreasi Istimta’, fore play, dan bersenang-senang.

Lagipula, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara Afrika konon juga “mengharamkan” oral seks. Jika cara penarikan kesimpulan Tasyabbuh pendapat yang mengharomkan oral seks diikuti, maka mengharamkan oral seks juga bisa difahami Tasyabbuh kepada romawi kuno dan kristen yang Kafir yang hukumnya haram.

Kesembilan; oral seks menyerupai hewan, sehingga hkumnya haram

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Mengharamkan oral seks dengan alasan menyerupai hewan tidak bisa diterima, karena gaya bersetubuh dari belakang yang diistilahkan di zaman sekarang dengan nama Doggy Style hukumnya mubah dan dilakukan shahabat-Shahabat Muhajirin termasuk Umar, padahal Doggy Style jelas menyerupai anjing dalam bersetubuh. Larangan-larangan menyerupai hewan seperti dinyatakan dalam hadis-hadis berikut;

سنن أبى داود – م (1/ 322)

 عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ. هَذَا لَفْظُ قُتَيْبَةَ.

Dari Abdurrahman bin Syibl dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika sujud) seperti binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil lokasi khusus di Masjid (untuk ibadatnya) sebagaimana unta menempati tempat berderumnya.” (H.R.Abu Dawud)

سنن ابن ماجه (3/ 139)

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لَا تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ

dari Ali ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hai Ali, janganlah duduk seperti duduknya anjing (dalam shalat). ” (H.R. Ibnu Majah)

صحيح البخاري (3/ 314)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Seimbanglah kalian salam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya.” (H.R.Bukhari)

صحيح مسلم (2/ 421)

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ

Dari Jabir bin Samurah dia berkata, “Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia adalah ekor kuda yang tidak bisa diam. Kalian tenanglah di dalam shalat.” (H.R.Muslim)

Semuanya terkait dengan perbuatan shalat, sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan perbuatan yang lain. Duduk seperti anjing saat buang air besar adalah alami dan hukumnya mubah, menderum seperti unta saat tiarap latihan militer demi kepentingan jihad juga mubah karena bagian dari persiapan Jihad.

Kesepuluh; oral seks itu tidak natural, menyimpang, keluar dari fitrah dan zalim sebagaimana orang makan pakai hidung, jadi hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Oral seks tidak bisa disebut penyimpangan karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa itu penyimpangan. Malah Nash-Nash Istimta’ dan perintah foreplay membuat oral seks termasuk cakupan makna kebolehannya. Alasan bahwa hal  itu tdk natural/menyimpang dari  fitrah tidak punya batasan dan standar baku yg didukung/digali dari Nash, sehingga argumen ini hanyalah  penilaian subyektif perasaan. Sama seperti perasaan tidak natural saat bersetubuh dengan gaya doggy style.

Kesebelas; oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq yang mulia sehingga hukumnya haram

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Alasan bahwa oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq yang tinggi sulit ditemukan batasannya, karena jimak dari belakang misalnya, secara perasaan bertentangan dengan adab yang tinggi karena menyerupai hewan, akan tetapi ternyata Nash jelas membolehkannya. Jadi alasan ini tidak boleh dijadikan dalil mengharamkan oral seks.

Keduabelas;  oral seks tidak  menghasilkan anak, tidak sesuai dengan maksud penciptaan syahwat, dan bisa membinasakan spesies  manusia sehingga hukumnya haram

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Argumentasi bahwa oral seks haram karena tidak sesuai dengan maksud diciptakannya syahwat dan kecenderungan berhubungan seks, yaitu untuk melestarikan spesies manusia, maka argumen ini tidak bisa diterima karena syara’ memubahkan berhubungan seksual semata-mata untuk bersenang-senang  meski  tanpa maksud untuk memperoleh keturunan sebagaimana tampak pada hadis Azl berikut;

صحيح مسلم (7/ 315)

عَنْ جَابِرٍ

أَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ لِي جَارِيَةً هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ فَقَالَ اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ

Dari Jabir bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam sambil bertanya; “Saya memiliki seorang budak perempuan yang bekerja melayani dan menyirami tanaman kami, saya sering mensetubuhinya, akan tetapi saya tidak ingin jika dia hamil.” Lantas beliau bersabda: “Jika kamu mau, lakukanlah azl/coitus interuptus/senggama terputus (H.R.Muslim)

Lelaki yang ingin mensetubuhi tetapi tidak ingin anak dalam hadis di atas jelas sekali tujuan persetubuhannya adalah sekedar berlezat-lezat dan bersenang-senang. Ternyata Nabi membolehkan, sehingga hadis ini menjadi dalil bahwa bersetubuh dengan maksud bersenang senang, termasuk oral seks dengan maksud bersenang-senang hukumnya mubah.

Lagipula, dalil keumuman bolehnya Istimta’ menunjukkan bahwa bersenang-senang suami istri tanpa niat punya anak hukumnya Mubah, sehingga oral seks termasuk di dalamnya. Fakta oral seks juga ada yang dimaksudkan hanya sebagai pemanasan sebelum berhubungan seksual sehingga argumen memusnahkan keturunan menjadi tidak relevan.

Ketigabelas; oral seks menimbulkan berbagai macam resiko penyakit seperti; herpes, kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada vagina, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, Shigella, Campylobacter, Chlamydia, Gonorrhea dan aids. Jadi, hal oral seks bisa menimbulkan Dhoror dan Dhoror diharamkan oleh islam.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Peluang terjdinya Dhoror karena dilakukannya suatu perbuatan tidak bisa dijadikan dalil mengharomkan suatu perbuatan. Orang  naik sepeda motor, makan mie, dan makan sate bisa terkena resiko penyakit, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil haramnya naik sepeda, makan mie dan makan sate. Dhoror yang membuat suatu perbuatan diharamkan harus bersifat pasti dan langsung, bukan sesuatu yang tidak pasti dan tidak langsung. Persetubuhan normalpun juga mengandung resiko seperti otot tertarik, punggung terluka, luka bakar, leher terkilir, lutut atau siku tersentak, memar bahu, lutut bengkok, terkilir di pergelangan tangan, terkilir di pergelangan kaki, jari bengkok,lecet dan memar, sakit otot dan persendian, lecet pada organ genital, dehidrasi, infeksi saluran kencing, sakit punggung, kerusakan urat syaraf, penglihatan terganggu, serangan jantung, penis patah, memadamkan hasrat yang bersifat alami, organ-organ tubuh yang alami menjadi lemah, dan hal-hal yang tidak alami menjadi kuat, daya tahan tubuh melemah, semangat menurun, gerakan tubuh berkurang, perut menjadi besar dan hati melemah, proses pencernaan di dalamnya menjadi tidak baik, sel darah menjadi rusak, urat-urat menjadi lemah, proses penuaan menjadi lebih cepat, keceriaan dan kewibawaan wajah menghilang, pandangan mata melemah, rambut menjadi tipis dan mudah rontok, bahkan dapat menimbulkan kebotakan dan darah membeku, membahayakan urat syaraf, menimbulkan gemetar dan gerakan yang lemah, serta membahayakan dada dan paru-paru. Termasuk pula resiko diserangnya berbagai penyakit kelamin seperti Syphilis, Gonorhe & Chlamiydia, Herpes, Infeksi Jamur, Bisul Pada Alat Kelamin, Kutu Kelamin, Hpv, Pid, Bv, Vaginistis, Aids, Keputihan, Kondiloma Akuminata, dll.  Namun resiko-resiko ini tidak bisa dijadikan dalil haramnya bersetubuh bagi suami istri.

Dengan demikian, semua argumentasi pendapat yang mengharamkan oral seks perlu ditinjau ulang dengan ulasan-ulasan yang telah dipaparkan diatas.

Adapun pendapat yang memakruhkan oral seks, maka pendapat ini sulit diikuti karena tidak ada dalil yang mendasarinya. Dalil yang dipakai tidak lebih perasaan jijik terhadap oral seks yang dikombinasi dengan kenyataan tidak ditemukannya Nash lugas yang mengharamkan oral seks. Perasaan jijik tidak bisa dijadikan standar penetapan hukum karena bersifat relatif dan bukan dalil Syara’

Statemen-Statemen Ulama Salaf  Yang menunjukkan Bahwa Oral Seks Hukumnya Mubah

Terdapat sejumlah ulama yang membahas fikih hubungan suami istri dan menyatakan statemen yang bisa difahami bahwa oral seks menurut mereka hukumnya mubah. Diantara mereka adalah Ashbagh, salah seorang ulama bermadzhab maliki. Al-Qurthubi menyatakan;

تفسير القرطبي (12/ 232)

قال ابن العربي. وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه

“Ibnu Al-‘Aroby berkata; Ashbagh salah satu ulama kami berkata; Boleh baginya (suami) menjilatnya (kemaluan istrinya) dengan lidahnya (Tafsir Al-Qurthubi, vol.12, hlm 232)

Termasuk pula Al-Milyabary. Beliau berkata dalam kitabnya Fathu Al-Mu’in;

فتح المعين (3/ 340)

يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها

“Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas menikmati dari istrinya selain lingkaran anusnya, meskipun (menikmati tersebut dilakukan) dengan menghisap Clitorisnya (Fathu Al-Mu’in, vol.3. hlm 340)

Diriwayatkan Imam Malik juga termasuk membolehkan. Ar-Ru’ainy berkata;

مواهب الجليل لشرح مختصر الخليل (5/ 23)

 روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه بلسانه

“Diriwayatkan dari Imam Malik bahwasanya beliau berkata; Tidak apa-apa melihat kemaluan saat Jimak” dan menambah dalam riwayat yang lain; serta menjilat kemaluan tersebut dengan lidahnya” (Mawahib Al-Jalil Li Syarhi Mukhtashor Al-Kholil, vol.5, hlm 23)

Termasuk pula Qodhi Iyadh. Al-Buhuti berkata;
كشاف القناع عن متن الإقناع (16/ 436)

قَالَ الْقَاضِي يَجُوزُ تَقْبِيلُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ قَبْلَ الْجِمَاعِ

“Al-Qodhi (Iyadh) berkata; Boleh mencium vagina wanita sebelum Jimak” (Kassyaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol 16 hlm 436)

Termasuk pula Al-Mirdawi, beliau berkata dalam Al-Inshof;
الإنصاف (8/ 27)

 ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم بلا إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة

“Tidak ada hak bagi istri memasukkan penis suaminya sementara suami dalam keadaan tidur tanpa izinnya, namun istri boleh merabanya dan menciumnya dengan syahwat” (Al-Inshof, vol 8 hlm 27)

Penutup

Demikianlah hukum oral seks. Sejumlah ulama kontemporer juga berpendapat mubahnya oral seks seperti Sa’id Romadhon Al-Buthi , Ali Jumu’ah , Salman Audah, Ahmad Al-Kurdy, Abdullah Al-Faqih, Mas’ud Shobri, Sabri Abdur Rauf, dan Musa Hasan Mayan. As-Syafii dalam Al-Umm menyinggung juga masalah oral seks, namun masih sulit diidentifikasi sikap beliau dalam hal ini. Dalam Al Umm dinyatakan;
الأم (1/ 37)

وَلَا نُوجِبُ الْغُسْلَ إلَّا أَنْ يُغَيِّبَهُ في الْفَرْجِ نَفْسِهِ أو الدُّبُرِ فَأَمَّا الْفَمُ أو غَيْرُ ذلك من جَسَدِهَا فَلَا يُوجِبُ غُسْلًا إذَا لم يُنْزِلْ

“Kami tidak mewajibkan mandi kecuali dia memasukkan kemaluannya kedalam farji atau anus. Adapun (memasukkan penis ke dalam) mulut atau yang lainnya dari tubuh istri, maka hal itu tidak membuat wajib mandi jika tidak mengeluarkan mani (Al-Umm, vol 1, hlm 37)

Adapun ulama yang mengharamkan, diantaranya adalah; Muhammad As-Sayyid Ad-Dusuqi, Kholid Al-Jundi,Sholih Al-Luhaidan, Ahmad bin Yahya An-Najmi, Ibnu Baz, dan Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry. Al-Albani bisa juga ditafsirkan termasuk kelompok ini dilihat dari penyerupaan beliau atas oral seks dengan perilaku hewan. Yusuf Qordhowi termasuk yang memakruhkan, sementara Abdullah bin Jibrin tidak berani mengharamkan, tetapi jijik terhadapnya.

‎Bagi seorang muslim, hukum manapun yang diikuti apakah mubah, makruh atau haram, hendaknya semuanya didasarkan pada hujjah dan memilih pendapat yang dipandang paling kuat yang lebih dekat pada kebenaran tanpa Taklid secara membuta.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...