Rabu, 25 November 2020

Apa Salahnya Menangis??? Menangislah!!!


Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu membuat jiwa  manusia menjadi sadar.

Sedar akan kelemahan-kelemahan diri, disaat tiada lagi yang sanggup menolong dari kesusahan selain Allah Swt. Kesedaran yang membawa kepada manfaat dunia dan akhirat.

Bukankah hati manusia tidak pernah stabil?

Selalu berbolak – balik menurut keadaan yang dilalui.

Apabila seseorang menghadapi kebahagiaan, maka hatinya akan gembira. Dan saat dilanda musibah, banyak orang yang berputus asa lalu berpaling dari kebenaran.

Sebahagian orang menganggap menangis itu adalah sesuatu yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang.

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan sebuah kelembutan hati dan petanda kepekaan jiwanya terhadap peristiwa yang menimpa dirinya mahupun umatnya.

Isak tangis orang dewasa tidaklah sama dengan tangisan anak kecil. Menangis bukanlah aib, bukan pula pintu kesengsaraan. Terkadang tangisan dapat menghidupkan hati, menghapus kesalahan dan mendatangkan ampunan ar-Rohman. Dan jangan dikira tertawa atau menertawakan sesuatu adalah hal yang sepele. Apalagi yang menjadi bahan lelucon adalah syari’at Islam yang mulia. 

Dalam Islam, tertawa dan menangis ada rambu-rambu syar’inya, namun masih banyak saudara kita belum mengetahuinya. Benarlah bahwa hal-hal yang dianggap remeh oleh sebagian kalangan ternyata jika dikaji secara rinci merupakan hal yang perlu diwaspadai.

Menangis itu indah, sehat, dan simbol kejujuran. Pada saat yang tepat, menangislah sepuas-puasnya dan nikmatilah karena tidak selamanya orang bisa menangis. Orang-orang yang suka menangis sering kali dilabeli sebagai orang cengeng. Cengeng terhadap Sang Khalik adalah positif dan cengeng terhadap makhluk adalah negatif.

Orang-orang yang gampang berderai air matanya ketika terharu mengingat dan merindukan Tuhannya, air mata itu akan melicinkannya menembus surga. Air mata yang tumpah karena menangisi dosa masa masa lalu akan memadamkan api neraka.

Pernahkah anda seumur hidup menangis karena Allah? Menangisi dosa-dosa kita? Menangisi kelemahan kita di hadapan Allah? Kita tidak bisa tiba-tiba menangis karena Allah begitu saja, kita tidak bisa merencanakan tangisan ini, kita tidak bisa menangis sesuai keinginan kita. Akan tetapi tangisan ini, timbul karena takut kepada Allah, bergetar hatinya karena nama Allah disebut dan berguncang jiwanya ketika mengingat maksiat dan dosa yang ia lakukan, oleh karena itu inilah tangisan keimanan, tangisan kebahagiaan dan tangisan hanifnya jiwa.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yangberiman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhuberkata,

قال لي النبيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : ” اقْرَأْ علَّي القُرآنَ ” قلتُ : يا رسُولَ اللَّه ، أَقْرَأُ عَلَيْكَ ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ ؟ ، قالَ : ” إِني أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي ” فقرَأْتُ عليه سورَةَ النِّساء ، حتى جِئْتُ إلى هذِهِ الآية : { فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّة بِشَهيد وِجئْنا بِكَ عَلى هَؤلاءِ شَهِيداً } [ النساء / 40 ] قال ” حَسْبُكَ الآن ” فَالْتَفَتَّ إِليْهِ ، فَإِذَا عِيْناهُ تَذْرِفانِ)

“Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.”Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.”

Dari Haani’ Maula Ustman radhiallahu ‘anhu berkata,

كان عثمان إذا وقف على قبر ؛ بكى حتى يبل لحيته ! فقيل له : تذكر الجنة والنار فلا تبكي ، وتبكي من هذا ؟! فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” إن القبر أول منزل من منازل الآخرة ، فإن نجا منه ، فما بعده أيسر منه ، وإن لم ينج منه ؛ فما بعده أشد منه

“Utsman jika berada di suatu kuburan, ia menangis sampai membasahi jenggotnya. Dikatakan kepadanya, “disebutkan surga dan neraka engkau tidak menangis, tetapi engkau menangis karena ini?”. Beliau berkata, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “sesungguhnya kubur adalah tempat persinggahan pertama dari beberapa persingggahan di akhirat, jika ia selamat maka ia dimudahkan, jika tidak selamat maka tidaklah datang setelahnya kecuali lebih berat.

Tangisan itu, ada yang dicintai Allah, adapula yang tidak bernilai apa-apa, adapula yang dibenciNya.

Menangislah, tapi yang benar.

Semua orang mungkin pernah menangis, tapi untuk engkau kumohon, menangislah, tapi yang benar.

Orang menangis untuk alasan yang bermacam-macam. Bayi menangis karena lapar, haus, gatal, kesakitan, atau buang air.

Anak kecil menangis karena dipukul kawannya, dimarahi  ayahnya, keinginannya tidak dituruti, atau barangnya yang hilang.

Remaja menangis karena merasa dikhianati,ditinggalkan sendiri, keinginannya tidak tercapai, tambatan hatinya diambil orang, atau dikucilkan kawan.

Seorang gadis menangis karena nyeri haid, tidak diperhatikan ayahnya, menikah gagal, atau malu berkesangatan.

Seorang istri menangis karena bertengkar dengan suami, anak-anak yang nakal, hutang yang menumpuk, atau difitnah tetangga.

Seorang ibu menangis karena anaknya mati, rumahnya terbakar, tokonya dijarah orang, atau uang arisan hilang.

Seorang lelaki menangis karena istri selingkuh, anak yang durhaka, fitnah rekan sekerja, atau sakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh.

Orang bergembira juga bisa menangis. Menangis karena senang.  Mahasiswa lulus  ujian skripsi menangis, setelah bersemester-semester tidak kunjung lulus. Dua pasangan yang mandul menangis, ketika tiba2 mendapat berita dari dokter bahwa sang istri hamil. Seorang pria buruk rupa menangis karena lamarannya pada gadis pujaan hatinya yang cantik nan cerdas  diterima.

Semua orang mungkin pernah menangis, dengan alasan susah maupun gembira, tapi untuk engkau Demi Allah ,menangislah, tapi yang benar.

Orang menilai sebuah tangisan dengan penilaian yang bermacam-macam. Orang bilang jika bayi menangis, itu wajar, anak menangis itu biasa, perempuan menangis itu fitrahnya, lelaki menangis itu tanda cengeng, tapi aku ingin mengatakan kepadamu; sesungguhnya tangisan itu ada yang dicintai Allah, ada yang tidak bernilai apa-apa, dan ada pula yang benar-benar dibenciNya.

Tangisan yang dibenci Allah adalah tangisan yang disertai dengan ucapan lisan yang membuat Allah murka. Tangisan yang dibenciNya adalah tangisan yang disertai keluhan atas ketentuanNya. Tangisan yang yang dimurkaiNya adalah tangisan yang tidak ridha dengan takdirNya.

Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ اشْتَكَى سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ شَكْوَى لَهُ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ فَوَجَدَهُ فِي غَاشِيَةِ أَهْلِهِ فَقَالَ قَدْ قَضَى قَالُوا لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَبَكَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَأَى الْقَوْمُ بُكَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَكَوْا فَقَالَ أَلَا تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلَا بِحُزْنِ الْقَلْبِ وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ أَوْ يَرْحَمُ

صحيح البخاري [5 /59]

Dari Abdullah bin Umar beliau berkata; Sa’d bin Ubadah sakit, maka Nabi SAW datang membezuknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’d  bin Abi waqqash dan Abdullah bin Mas’ud. Tatkala Nabi masuk menemuinya, beliau mendapatinya berada dalam selimut keluarganya.  Nabi bertanya; “Apakah sudah wafat”?mereka menjawab: “Belum wahai Rasulullah”.. maka Rasulullah SAW menangis. Tatkala orang-orang melihat tangisan Nabi Saw mereka ikut menangis. Nabi bersabda; “dengarkanlah; sesungguhnya Allah tidak menyiksa dengan tetesan airmata, tidakpula dengan kesedihan hati, tetapi Dia menyiksa atau mengasihi  karena (sebab) ini –beliau sambil menunjuk lisannya–  (H.R.Bukhari)

Tangisan yang seperti inilah yang disebut dengan  Niyahah (ratapan) yang dicela keras dalam Islam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

صحيح مسلم [1 /207]

Dari Abu Hurairah beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda; ada dua hal yang ada pada orang-orang dimana keduanya dalah kekufuran; memfitnah nasab dan meratapi mayit (H.R.Muslim)

Tangisan yang tidak bernilai apa-apa adalah tangisan kesedihanmu  yang semata-mata mengeluarkan airmata karena urusan duniamu. Tangisan yang tidak bernilai apa-apa adalah tangisanmu ketika kehilangan orang yang engkau cintai, atau kehilangan barangmu, atau disakiti orang yang engkau kagumi, atau hal-hal yang semakna dengan ini. Engkau hanya semata-mata mengeluarkan airmata, tapi engkau menjaga lisanmu.

Tangisan yang dicintai Allah adalah tangisan ketika engkau sendiri, menyepi, tiada teman tiada kawan, tiada kekasih tiada handai taulan, lalu engkau mengingat Allah, lalu melelehlah airmatamu…..berlinanglah butiran-butiran halus bening dari sudut penglihatanmu, karena engkau merasa banyak dosa, banyak kesalahan, banyak maksiat dan Engkau takut akan murkaNya..

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ …. وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

صحيح مسلم [5 /229]

Dari Abu Hurairah; dari Nabi SAW; ada tujuh orang yang dinaungi Allah dalam naungannya di hari tidak ada naungan selain naunganNya (hari pengadilan)………dan seseorang yang mengingat Allah sendirian lalu meleleh kedua matanya. (H.R.Muslim)

Engkau menangis karena merasa selama ini tidak tahu diri…ketika berdoa kepadaNya banyak yang kau pinta, tapi ketaatan yang kau persembahkan asal-asalan.

Engkau menangis karena merasa  selama ini tidak konsisten dengan yang kau ucapkan..di luar berteriak tegakkan syariat dan jagalah ketakwaan, tapi saat sendiri kau turuti hawa nafsu tanpa malu..

Engkau menangis karena sepertinya selama ini sudah dapat ilmu banyak, tapi tidak ada yang diamalkan kecuali sedikit.

Engkau menangis karena sering berjanji kepad Allah “jika permohonanku ini dikabulkan, maka aku akan melakukan ini dan itu…” tapi tidak ada satupun yang dilakukan..kalaupun dilakukan itupun seenakknya.

Engkau menangis karena jika dihadapan si dia kau tampakkan kesalihan dan kelembutan, tapi jika sendiri kewajiban-kewajiban suci tidak ada yang kau buat peduli.

Jadi, menangislah tapi yang benar.

Orang memangis karena musibah, itu wajar tetapi jangan sampai lisan mengucapkan kata-kata yang menimbulkan murka.

Orang menangis karena musibah, sungguh indah jika disertai dengan Shobr (ketabahan).

Orang menangis saat sendiri mengingat Allah, adalah secantik-cantik jenis menangis. Tangisan inilah yang paling ikhlas,yang selamat dari Riya’, Sum’ah, dan ambisi dipuji manusia.

Menangislah, tapi yang benar.

Seorang sufi pernah mengatakan, jika seseorang tidak pernah menangis, dikhawatirkan hatinya gersang. Salah satu kebiasaan para sufi ialah menangis. Beberapa sufi mata dan mukanya menjadi cacat karena air mata yang selalu berderai.

Tuhan memuji orang menangis. "Dan, mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk." (QS Al-Isra' [17]:109). Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, "Jika kalian hendak selamat, jagalah lidahmu dan tangisilah dosa-dosamu."

Ciri-ciri orang yang beruntung ialah ketika mereka hadir di bumi langsung menangis, sementara orang-orang di sekitarnya tertawa dengan penuh kegembiraan. Jika meninggal dunia ia tersenyum, sementara orang-orang di sekitarnya menangis karena sedih ditinggalkan.

Tampaknya, kita perlu membayangkan ketika nanti meninggal dunia, apakah akan lebih banyak orang mengiringi kepergian kita dengan tangis kesedihan atau dengan tawa kegembiraan.

Jika air mata kerinduan terhadap Tuhan tidak pernah lagi terurai, apalagi jika air mata selalu kering di atas tumpukan dosa dan maksiat, kita perlu segera melakukan introspeksi. Apakah mata kita sudah mulai bersahabat dengan surga atau neraka.

Menangislah tapi yang benar

Bagaimana kita bisa bangga menisbatkan diri sebagai muslim yang beriman, tetapi kita tidak pernah merasa takut kepada Allah, air mata mengering, seolah-olah merasa aman dengan maksiat dan dosa yang ia lakukan. Beginilah ciri seorang yang beriman (mukmin) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ » . فَقَالَ بِهِ هَكَذَ

“Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya.Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.

Ibnu Abi Jamrah rahimahulla menjelaskan hadits,

السبب في ذلك أن قلب المؤمن منور فإذا رأى من نفسه ما يخالف ما ينور به قلبه عظم الأمر عليه والحكمة في التمثيل بالجبل أن غيره من المهلكات قد يحصل التسبب إلى النجاة منه بخلاف الجبل إذا سقط على الشخص لا ينجو منه عادة

“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat.

وبكى معاذ رضي الله عنه بكاء شديدا فقيل له ما يبكيك ؟ قال : لأن الله عز وجل قبض قبضتين واحدة في الجنة والأخرى في النار ، فأنا لا أدري من أي الفريقين أكون

“Mu’adz radhiallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu.Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.

وخطب أبو موسى الأشعري رضي الله عنه مرة الناس بالبصرة : فذكر في خطبته النار ، فبكى حتى سقطت دموعه على المنبر ! وبكى الناس يومئذ بكاءً شديداً

Abu Musa al-Asya’ri radhyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam”.

وبكى الحسن فقيل له : ما يبكيك ؟ قال : أخاف أن يطرحني الله غداً في النار ولا يبالي

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”

Mata Menangis Tetapi Hati Berbahagia

Bagaimana tidak bahagia? Sementara air mata mengalir deras, ia bergumam, “akhirnya, akhirnya, akhirnya, mata ini menangis karena Allah? Bagaimana tidak bahagia, ia langsung teringat keutamaan menangis karena Allah.

Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يلج النار رجل بكى من خشية الله حتى يعود اللبن في الضرع

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya."

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إلا ظلُّهُ ….، ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّه خالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; …. dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).”

Dan sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam

عينان لا تمسهما النار ، عين بكت من خشية الله ، وعين باتت تحرس في سبيل الله

“Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah."

Bukan Menangis Terharu Atau Menangis Ramai-Ramai

Bukan menangis karena terharu melihat atau mendengar kejadian menyedihkan atau terharu bahagia, bukan ini yang dimaksud menangis karena Allah dalam hadits, karena orang kafir dan munafik juga menangis atau karena memang pembawaannya gampang menangis/melankolis. Menangis seperti ini adalah fitrah manusia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qurtubhi rahimahullah dalam tafsir ayat,

وأنّه هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى

“dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (An-Najm: 43)

Beliau berkata,

أي : قضى أسباب الضحك والبكاء ، وقال عطاء بن أبي مسلم : يعني : أفرح وأحزن ؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء

“Yaitu Allah menetapkan sebab-sebab tertawa dan menangis. Berkata Atha’ bin Abi Muslim, “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tertawa dan kesedihan bisa membuat menangis.”

Dan bukan juga menangis ramai-ramai sebagaimana acara muhasabah bersama(direncanakan acaranya), berkumpul bersama berdzikir kemudian menangis beramai-ramai. Karena bisa jadi tangisannya karena suasana dan menangis yang menular apalagi acaranya diiringi dengan lagu dan musik yang sendu.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa tangisan ada 10 jenis, salah satunya beliau jelaskan, “Tangisan muwafaqaah, yaitu seseorang melihat manusia menangis karena suatu perkara, kemudian ia ikut menangis bersama mereka sedangkan ia tidak tahu mengapa ia menangis, ia melihat mereka menangis maka ia ikut menangis.”

Lebih Sedih Karena Film Dan Drama Daripada Takut Kepada Allah

Ketika ayat Al-Quran dibacakan dan ketika membaca perjuangan para Nabi dan Sahabat membela Islam kita sulit menangis dan tersenth, akan tetapi ketika menonton film (notabenenya sandiwara) dan ketika membaca cerita fiktif kita menangis tersedu-sedu? Di mana keimanan kita?

Padahal kita tahu mereka hanyalah menangis yang berdusta dan berpura-pura, ini yang disebutkan oleh ulama ‎sebagai  ‎Al-Buka’ Al-Kadzib ”tangisan palsu”, sebagaimana tangisan saudara-saudara Nabi Yusuf Alaihissalam ketika mengadu kepada bapak mereka bahwa yusuf telah dimakan serigala. Sebagaimana diceritakan Al-Quran,

وجاؤوا أباهُمْ عِشَاءً يَبْكونَْ قَالُواْ يَا أَبَانَا إِنَّا ذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكْنَا يُوسُفَ عِندَ مَتَاعِنَا فَأَكَلَهُ الذِّئْبُ وَمَا أَنتَ بِمُؤْمِنٍ لِّنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ

“Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. Mereka berkata: “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” (Yusuf: 16-17)

Bahkan ini adalah  Al-buka’ Al musta’ar wal musta’jar alaihi  “tangisan bayaran” sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim, beliau berkata, “tangisan yang disewa yaitu tangisan orang yang meratap dengan upah (dibayar untuk menangisi tokoh besar agar terlihat banyak yang merasa kehilangan, pent). Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab, “ia menjual tetesan air mata dan menangis duka untuk orang lain.”

Bukan Sering Menampakkan Wajah Sedih

Akan tetapi seorang muslim tidaklah sering menampakkan kesedihan dan tangisannya di depan manusia kemudian dihiasi dengan wajah pucat-pasi (sebagaimana salah paham disangka inilah tawaddu). Seorang muslim ketika menyendiri ia berlinang air mata menikmati bermunajat dengan Allah dan ketika bertemu dengan manusia berwajah gembira dan ceria.

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”.

Bahkan salafus shalih menyembunyikan tangisan mereka dari manusia agar lebih ikhlas, contohnya pura-pura sedang pilek ketika menangis

Dari Bastham bin Huraits berkata,

كان أيوب السختياني يرق فيستدمع فيجب أن يخفي ذلك على أصحابه ، فيمسك على أنفه كأنه رجل مزكوم ،فإذا خشي أن تغلب عبرته قام
 
“Ayyub (Ayyub bin Abi Tamimah Al-Sikhtiyani) pernah merasa terenyuh dan airmatanya mulai mengalir. Namun dia berusaha menyembunyikannya dari para sahabatnya dengan memegang hidungnya seakan sedang pilek (dalam riwayat lain, sambil dia berkata, ‘Alangkah beratnya pilek ini’). Jika dia tidak sanggup menahan isak tangisnya, dia pun berdiri.”

Para Nabi Dan Orang Shalih Menangis Karena Allah

Para nabi dan orang-orang shalih menangis karena Allah, Allah Ta’alaberfirman,

أولئك الذين أنعم الله عليهم من النبيين من ذريه آدم وممن حملنا مع نوح ومن ذريه إبراهيم وإسرائيل وممن هدينا واجتبينا إذا تتلى عليهم آيات الرحمن خروا سجداً وبكياً

“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”(Maryam: 58)

Termasuk para malaikat dan penghuni langit, mereka takut kepada Allah. 

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

مررتُ ليلة أسري بي بالملأ الأعلى وجبريل كالحِلس البالي من خشية الله تعالى

“Ketika malam isra’, saya melewati penghuni langit dan malaikat Jibril, mereka seolah-olah seperti alas pelana yang tua-usang karena takut kepada Allah.”

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhudari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya malaikat Jibril berkata,

ما لي لا أرى ميكائيل ضاحكاً قط ؟ ” قال : ما ضحك ميكائيل منذ خلقت النار

“aku tidak pernah melihat Mikail tertawa sedikitpun, Mikail tidak pernah tertawa sejak diciptakan neraka”

Suka menangis karena Allah daripada segalanya

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,

لأن أدمع من خشية الله أحب إلي من أن أتصدق بألف دينار

“Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.

Ka’ab Al-Ahbar berkata,

لأن أبكى من خشية الله فتسيل دموعي على وجنتي أحب إلى من أن أتصدق بوزني ذهباً

“Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”

Menangislah yang benar!!!!

Wallohu A'lam

 

Tidak Boleh Sembarangan Nulis Lafal Jalalah


Hakikat tulisan bahasa sebenarnya adalah teknik mensimbolkan bunyi-bunyi bahasa yang memiliki makna. Tulisan dibuat agar gagasan/ide yang dikandung bahasa yang diucapkan secara lisan bisa didokumentasikan dan ditransfer lintas generasi  Tulisan adalah jenis kesepakatan komunitas, karena itu bentuk-bentuk tulisan dalam berbagai peradaban bisa berbeda-beda. Tulisan Arab  berbeda dengan Cina, India, Jawa, Eropa, dst.
Islam sendiri tidak pernah memerintahkan jenis tulisan tertentu yang mengikat kaum Muslimin agar tulisan tersebut dipakai ketika menulis. Tidak ada dalil dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang mewajibkan seorang Muslim terikat dengan tulisan tertentu. Tulisan Arab pun tidak lebih adalah uslub (teknik) mensimbolkan bunyi-bunyi bahasa Arab  yang memiliki makna yang merupakan hasil peradaban. Taqrir (sikap diam) Nabi terhadap tulisan Arab  adalah taqrir terhadap Uslub penulisan, bukan Taqrir untuk mewajibkan kaum Muslimin untuk memakai tulisan Arab  ketika mengungkapkan‎
bahasa. 

Nabi sendiri pernah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari tulisan Yahudi.

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ السُّرْيَانِيَّةَ

“Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata; Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku untuk belajar Assuryaniyyah (tulisan yahudi)” (HR. Attirmidzi)
Karena itu setiap Muslim tidak terikat untuk memakai tulisan Arab  dalam tulisan mereka, baik bahasa yang diungkapkan adalah bahasa Arab  maupun bahasa lokal (kecuali tulisan Al-Quran). Tiap-tiap Muslim boleh memakai tulisan apapun yang disepakati komunitas selama tidak mengandung mafhum (pemahaman) yang bertentangan dengan Islam. Jadi, boleh hukumnya menulis dengan tulisan Arab, Latin, India, Jawa, Cina, dll karena semua itu hanyalah teknik mengungkapkan/simbolisasi bunyi-bunyi bahasa.
Kata “4JJI” sendiri secara fakta digunakan oleh sebagian orang sebagai bentuk “kreasi” penulisan dalam SMS yang kemudian berkembang secara meluas. Penulisan tersebut sebenarnya adalah bentuk “keterpaksaan” ketika HP tidak mendukung font Arab, atau sebuah kesengajaan sebagai suatu karya seni. Belum bisa dipastikan siapa yang pertama kali membuat kreasi ini, meskipun desas-desusnya kreator tulisan ini adalah para aktivis pergerakan (harokiyyun).
Tidak bisa dikatakan bahwa lafadz “4JJI” dalam bahasa Indonesia tidak bermakna apa-apa, karena lafadz “4JJI” jika dibaca bunyinya “Empat-Je-je-El” bukan berbunyi الله /Allah. Tidak bisa dikatakan demikian. Karena tulisan adalah simbol-simbol bunyi bahasa yang bersifat ekslusif dan dimaknai berdasarkan kesepakatan komunitas, bukan orang yang diluar komunitas. Jika satu komunitas sepakat memaknai lafadz “i2” dengan makna “itu”, lafadz “s7” dengan makna “setuju”, lafadz “t4” dengan makna “tempat”, maka tidak ada hak bagi komunitas lain menyalahkan istilah tersebut. Karena istilah adalah alat komunikasi, dan komunikasi yang diperhatikan adalah unsur kesepahaman bersama.
Secara fakta, ada tulisan yang bentuknya sama tetapi dibunyikan dengan cara berbeda oleh komunitas yang berbeda sebagaimana ada tulisan yang sama dibunyikan dan diartikan secara berbeda oleh komunitas yang berbeda. Huruf “W” misalnya, dibunyikan orang Indonesia dengan bunyi “we”, sementara orang Inggris membacanya “dabelyuw”. Kata “alone” dibunyikan orang Inggris dengan cara mereka dan diartikan “sendirian”, sementara bagi orang Jawa kata tersebut bermakna “alangkah pelannya”. Jadi tidak cukup bahwa fakta kata “4JJI” tidak bisa dibaca Allah dalam bahasa Indonesia untuk melarang atau mengharamkan penggunaan kata tersebut. Tulisan adalah kesepakatan, sementara kata “4JJI” sudah dimaklumi bahwa kata ini berusaha meniru tulisan Arab  secara artistik untuk menggantikan lafadz الله.
Adapun klaim bahwa lafadz “4JJI” adalah singkatan dari “For Judas, Jesus, And Isa” maka ini adalah klaim yang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Belum ada studi yang lebih bertanggung jawab yang menganalisis berdasarkan kajian linguistik, sosial, budaya, antropologi, dan peradaban untuk membuktikan bahwa kata tersebut memang singkatannya demikian. Kreasi singkatan bisa saja liar. Kata “4JJI” mungkin juga dianggap singkatan dari “For Joko, Johan, and Indri’, atau “for Juminten Jijik Ih”, “For Dajjal” atau “For Jabbar (Yang Maha Perkasa, Jalil (yang maha Agung ) and Islam”. Melarang lafadz “4JJI” dengan alasan singkatan itu lebih terkesan paranoid dan mirip orang yang mengatakan “jangan beli laptop merek ACER karena ACER itu singkatan dari Agak Cepat Rusak”.
Namun terkait lafadz Allah, hendaknya seorang Muslim berhati-hati. Mengangungkan lafadz Allah adalah wajib. Islam mengharamkan segala sesuatu yang mengantarkan penghinaan/pelecehan terhadap lafadz Allah. Oleh karena itu, jika penggunaan lafadz “4JJI” secara fakta bisa dibuktikan merendahkan lafadz Allah, maka hendaknya seorang Muslim menghindarinya. 
Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ} [الأنعام: 108[
 
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki.

Yang semakna dengan ini adalah larangan mencaci orangtua orang lain yang menyebabkan orang lain mencaci orang tua kita:
 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
 
“Dari Abdulllah bin ‘Amr beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda: termasuk dosa yang paling besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya. Beliau ditanya; wahai Rasulullah, bagaimana (mungkin) seseorang melaknat kedua orangtuanya?. Beliau menjawab; seseorang mencaci ayah orang lain maka orang lain tersebut mencaci ayah pencaci dan ibunya” (HR. Bukhari) 
Atas dasar ini, menulis lafadz Allah dengan kata “4JJI” hukumnya mubah kecuali bisa dibuktikan secara fakta bahwa penggunaan kata tersebut berakibat merendahkan lafadz Allah atau bisa dibuktikan mengandung pemahaman Kufur. 

Berikut penjelasan Imam Abul Baqa’ al-Ukbari tentang asal usul  kata ‘الله’,

والأصل في الله الإلاه فألقيت حركة الهمزة على لام المعرفة ثم سكنت وأدغمت في اللام الثانيى ثم فخمت إذا لم يكن قبلها كسرة ورققت إذا كانت قبلها كسرة ومنهم من يرققها في كل حال، والتفخيم في هذا الاسم من خواصه

Asal kata ‘الله’ adalah al-ilah [arab: الإلاه] kemudian huruf hamzah di depan dibuang, kemudian lam pertama disukun dan dimasukkan ke lam kedua, lalu dibaca tebal (tafkhim) jika sebelumnya bukan kasrah, dan dibaca tipis (tarqiq) jika sebelumnya kasrah. Dan ada diantara mereka yang membaca tipis (tarqiq) dalam setiap keadaan.

Dan tafkhim (dibaca tebal) untuk kata ini, bagian dari kekhususan lafdzul jalalah. (at-Tibyan fi I’rab al-Quran, hlm. 2).

Contoh kata Allah yang dibaca tebal (tafkhim)

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Kita baca: qul huwa-llohu ahad, kata Alloh dibaca tebal.

Contoh kata Allah yang dibaca tipis (tarqiq)

Lillahu mulkus samawati        :   
        لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ

Haajaruu fillaahi                      :    
       هَاجَرُوا فِي اللَّهِ

Bagaimana cara penulisan ‘Allah’ yang benar?

Kata Allah termasuk salah satu dari sekian kata dalam bahasa arab yang menjadi kita dalam bahasa Indonesia

Mengingat huruf bahasa Indonesia dan huruf bahasa arab berbeda, masyarakat akan sangat kerepotan jika harus menuliskan kalimat ini dengan teks arabnya. Sehingga kita perlu melakukan transliterasi untuk menuliskan kata ini dengan huruf latin.

Karena itu, sebenarnya mengenai bagaimana transliterasi tulisan [اللَّهُ] yang tepat, ini kembali kepada aturan baku masalah transliterasi kata asing dalam bahasa kita. Bagi sebagian orang, baku itu bukan suatu keharusan. Yang penting masyarakat bisa memahami.

Sebagai catata, transliterasi kalimat bahasa asing, dibuat untuk membantu pengucapan kalimat asing itu dengan benar. Anda bisa bandingkan, transliterasi teks arab untuk masyarakat berbahasa inggris dengan transliterasi teks arab untuk orang Indonesia. Karena semacam ini disesuaikan dengan fungsinya, yaitu untuk membantu pengucapan kalimat arab tersebut dengan benar.

Dengan demikian, sebenarnya transliterari kata [اللَّهُ] tidak bisa diberikan penilaian benar dan salahnya tulisan. Karena tidak ada aturan yang disepakati di sana. Semua kembali kepada selera penulis. Misalnya ditulis Allah, Alloh, ALLOH atau ALLAH. Yang lebih penting adalah bagaimana cara pengucapannya yang tepat, sehingga tidak mengubah makna.
Wallahua’lam ‎

 

Hukum Membangun Pemakaman


Begitu banyak perilaku penyimpangan yang dilakukan umat hingga saat ini terkait masalah kubur ini. Ini jelas menyalahi petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan merupakan perilaku penentangan. Padahal yang seharusnya umat sikapi adalah rasa syukur karena telah diperbolehkan berziarah kubur yang pada awalnya amalan tersebut terlarang, bukannya malah menghiasinya, mengkultuskannya, bahkan beribadah kepadanya, na’udzu billahi min dzaalika. Anjuran menziarahi tersebut sebagaimana sabda beliau ‎shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Buraidah bin al-Hushaib radliyallahu ‘anhu,
 
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرْكُمْ الاَخِرَةَ. وَ لَتَزِدْكُمْ زَيَارَةُهَا خَيْرًا. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَ لاَ تَقُولُوا هُزُوَا.
 
“Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian berziarah kubur. (Sekarang) berziarahlah kubur. Sesungguhnya akan mengingatkan kalian kepada akhirat. Dan mengunjungi kuburan akan menambah kebaikan kepada kalian. Barangsiapa ingin berziarah kubur, silahkan melakukannya, akan tetapi janganlah kalian mengatakan perkataan yang bathil.” (HR. Muslim dan Nasa’i)
Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan anjuran yang ditekankan demi sebuah maslahat berupa ingatnya seorang muslim akan kematian, menyadarkan akan perkara kehidupan sesudah kematian, juga berfungsi untuk melembutkan hati yang keras akibat berjibaku dengan dunia beserta perhiasannya yang senantiasa melalaikan. 

Islam sebagai agama tidak hanya melulu mengajarkan berbagai hal yang bersifat ketuhanan (hablum minallah) yang menggambarkan relasi antara Allah sebagai Khaliq dan Manusia sebagai Makhluq. Tetapi juga masalah social (hablum minan nas), yang erat hubungannya dengan haqqul adami. Termasuk di dalamnya adalah tata cara merawat dan menggunakan tanah kuburan milik umum yang luasnya sangat terbatas sekali.

Hal ini sering kali di salah fahami oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap bahwa tanah kuburan milik umum yang di dalamnya terpendam jasad keluarganya, seringkali disalah artikan sebagai tanah milik keluarga. Entah karena merasa membayar ketika mengkuburkan atau karena tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat atau karena alasan lain. Oleh karena itu, seringkali ditemukan usaha untuk merenovasi (memperbaiki) batu nisan dan kijingnya ketika dianggap telah rusak atau usang. Seolah mereka lupa bahwa tanah kuburan itu adalah milik umum. Dan renovasi itu sebenarnya dapat menghalangi orang lain untuk menyemayamkan mayat di kuburan tersebut. Minimal mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan luas kuburan umum yang terbatas itu. Dengan kata lain, perwujudan batu nisan dan kijing yang permanen itu terlalu banyak memanfaatkan fasilitas umum.

Oleh karena itu wajar bila seorang kyai berwasiat pada anak cucunya, supaya kelak ketika mati dikubur di tempat umum tanpa menggunakan batu nisan apalagi kijing permanen. Baiknya kuburan itu ditandai saja dengan kayu supaya cepat rusak dan hilang di makan waktu. Agar kuburannya itu itu dapat digunakan untuk mengkubur orang lain lain lagi. Dengan demikian kyai itu tidak merasa mengambil atau menggunakan fasilitas umum dalam jangka waktu yang cukup lama. Pertanyaan yang muncul kemudian, babagaimana hukumnya memperbaharui nisan dan kijingnya dalam tanah kuburan umum?

Mengenai hal ini, Syamsudin ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj dan juga Syikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahab menerangkan bahwa, segala upaya yang dianggap menghalangi pemanfaatan fasilitas umum di larang oleh agama. Dalam hal ini, haram hukumnya memperbarui ataupun membuat perangkat kuburan yang permanen, karena dapat menghalangi orang lain mengkuburkan jenazah. Dengan catatan mayat yang ada dalam kubur itu telah rusak.  Para ahli berpendapat bahwa sebuah mayat dapat bertahan hingga 15 tahun hingga 25 tahun. Ada pula yang bertahan hingga 70 tahun, perbedaan ini berdasarkan pada perbedaan iklim suatu daerah tertentu.
Adapun keterangan dalam kitab Nihyatul Muhtaj adalah sebagai beikut:

أَمَّا بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ فَلاَ يَحْرُمُ النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لإِمْتِنَاعِ النَّاسِ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
 
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai dengan perkiraan para ahli yang sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk digali kembali, bahkan diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor) tanah di atasnya jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa menghalangi orang lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka menyangka (jenazah yang pertama) belum hancur”. (Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj,  (Mesir: Matba’ah Musthafa al-Halabi, 1357 H/1938 M), Jilid III, h. 40)

Adapun ibaroh dalam Fathul Wahhab adalah sebagai berikut:

أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.

“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) karena menyangka (jenazah yang semula) belum hancur” (Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab,  (Beirut: Maktabah Darul Fikr,  1422 H/2002 M),  Juz I, h. 118.)

Kuburan tidak boleh dibangun, baik dengan semen (cor) ataupun yang lainnya, demikian juga tidak boleh menulisinya. Karena ada hadist yang shahih dari Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam yang melarang membangun kuburan dan menulisinya.

Dari Amir bin Sa’ad bahwa Sa’ad bin Abu Waqqash radliyallahu ‘anhuberkata ketika ia sakit menjelang ajalnya,
أَلْحِدُوا لِيْ لَحْدًا, وَانْصِبُوا عَلَيَّ اللبِنَ نَصْبًا, كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم.
 
“Galilah lahad untuk kuburku dan dirikan/tancapkan batu bata dia atas kuburku sebagaimana yang diberlakukan pada kubur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)

 Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
 
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
 
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
 
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Karena hal itu termasuk bentuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga wajib mencegahnya.

Selain itu, menulis kuburan juga beresiko menimbulkan dampak atau konsekuensi berupa sikap ghuluwberlebihan dan sikap-sikap lain yang dilarang syar’iat. Yang dibolehkan adalah mengembalikan tanah galian lubang kubur ke tempatnya lalu ditinggikan sekitar satu jengkal sehingga orang-orang tahu bahwa di situ ada kuburan. Inilah yang sesuai sunnah dalam masalah kuburan yang dipraktekkan oleh Rasulullah ‎Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya radhiallahu’anhum.

Tidak boleh pula menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), tidak boleh pula menaunginya, ataupun membuat kubah di atasnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” (Muttafaqun ‘alaihi)

Juga berdasarkan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya dari sahabat Jundub bin Abdillah Al Bajali ‎radhiallahu’anhu, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam ketika lima hari sebelum hari beliau meninggal, beliau bersabda :

إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil (kekasih)-Nya sebagaimana Ia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seseorang dari umatku sebagai kekasihku, maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi dan orang shalih diantara mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), karena sungguh aku melarang kalian melakukan hal itu”
Bukankah Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dikijing?

Anda mungkin sering mendengar informasi ini. Dan info ini menjadi alasan utama untuk melegalkan praktek meninggikan kuburan, 

Ada beberapa jawaban untuk menegaskan bahwa kalimat ini adalah alasan yang salah,

Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikijing, tidak ditinggikan melebihi gundukan tanah normal. Itulah kondisi makam beliau yang ada di zaman sahabat. Saksi sejarah keterangan ini adalah riwayat dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصَبًا، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan dalam liang lahat, diletakkan batu nisan di atasnya, dan kuburannya ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu jengkal.

Persaksian lain disampaikan oleh Sufyan bin Dinar at-Tammar – seorang ulama tabiin –,

أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا

”Bahwa beliau melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk gundukan.” (HR. Bukhari 2/103).

Dalam riwayat lain, Sufyan at-Tammar mengatakan,

دخلت البيت الذي فيه قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فرأيت قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وقبر أبي بكر وعمر مُسنَّمةً

”Saya masuk ke rumah yang di dalamnya ada makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar dalam bentuk gundukan.” (HR. Ibn Abi Syaibah 11734).

Persaksian lain disampaikan oleh tiga ulama senior tabiin, Abu Ja’far, Salim murid Ibn Umar, dan al-Qosim bin Muhammad cucu Abu Bakr as-Shidiq. Mereka mengatakan,

كان قبر النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر، وعمر جثى قبلة نصب لهم اللبن نصبا، ولحد لهم لحدا

Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar berupa gundukan menyerong kiblat, diberi batu nisan, dan dimakamkan dalam liang lahat. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushanaf 11634).

Semua riwayat ini menggambarkan keadaan awal makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat tidak membuat kijing untuk makam beliau, tidak pula memberikan kubah di atasnya. Sementara kita sepakat, tidak ada manusia yang lebih mencintai nabinya, melebihi para sahabat ‎radhiyallahu ‘anhum.

Namun rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah membuat mereka menyalahi aturan. Karena kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ekspresikan dalam bentuk ittiba’ (mengikuti aturan) yang ditetapkan oleh Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah makna cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sesungguhnya.

Al-Qadhi Iyadh – seorang ulama syafiiyah – mengatakan,

فالصادق في حب النبي صلى الله عليه وسلم من تظهر علامة ذلك عليه وأولها: الاقتداء به واستعمال سنته واتباع أقواله وأفعاله وامتثال أوامره واجتناب نواهيه والتأدب بآدابه في عسره ويسره ومنشطه ومكرهه وشاهد

Orang yang jujur dalam mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan ciri mengikuti jejak beliau, terutama adalah dengan meneladani beliau, mengamalkan sunahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau contohkan, baik dalam keadaan susah maupun senang dan keadaan lapang maupun sempit. (asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24).

Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
 
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
 
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :

فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
 
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
 
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
 
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
 
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
 
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
 
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
 
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
 
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
 
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
 
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
 
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
 
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه 
 
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
 
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].‎
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :‎

مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
 
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].

Meletakkan batu nisan

‎Meskipun para ulama membenci penulisan di atas kubur secara mutlak, namun mereka membuat pengecualian (pembolehan) sebatas ada kebutuhan, misalkan hanya menuliskan nama orang yang wafat di atas kuburan agar kuburannya dikenali, bukan dalam kategori bermegah-megahan. Mengenai menuliskan sesuatu di makam, dimakruhkan kecuali jika dikarenakan luasnya kuburan atau banyaknya bebatuan di sekitar kuburan. Dimana dalam kondisi demikian dapatlah diterima untuk membuat tulisan nama di atas makam, sekedar mengenalinya. ‎

Pengambilan hukum ini diqiyaskan dari hadits berikut:

وَضْعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ الحَجَرَ عَلَى قَبْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan batu di atas kuburan Utsman bin Mazh’un” [HR. Ibnu Majah dalam Al-Jana’iz no. 1561, dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Al-Albani berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “hasan shahih”]

Hadits ini merupakan takhshiish bil qiyas dari keumuman larangan, kaidah ini dipakai oleh kebanyakan ulama. Hendaklah ia meminimalisir penulisan nama sebatas agar kuburan itu dikenali saja ketika dikhawatirkan kuburan itu hilang atau dilupakan. Mungkin dengan penulisan nama saja atau nomor makam tanpa penambahan bangunan dan semisalnya. Hal ini sesuai dengan kaidah,

مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِه

“Hal-hal yang diperbolehkan karena udzur, menjadi terlarang apabila udzur itu hilang”.

Apabila memungkinkan dengan batu atau yang lain agar dapat dikenali, maka tidak apa-apa. Semua itu adalah upaya untuk mencapai tujuan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kuburan Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu dalam haditsnya:

أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي

“Apakah kuburan saudaraku ini diberi tanda? Aku akan menguburkan bersamanya orang-orang yang wafat dari keluargaku” [HR. Abu Daud dalam Al-Jana’iz no. 3206, Al-Baihaqi no. 6843, dari hadits Al-Muthalib bin Abdillah bin Hanthab radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dihasankan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir(2/29), Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habiir (5/229) dan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (7/161)]

Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan:

ويستحب أن يجعل عند رأسه علامة من حجر أو غيره لأنالنبي صلى الله عليه وسلم دفن عثمان بن مظعون ووضع عندرأسه حجرا ولأنه يعرف به فيزار

Dianjurkan untuk menjadikan TANDA (nisan) DI POSISI KEPALA MAYIT, baik dari batu atau yg selainnya... Karena Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu menguburkan Sahabatnya Utsman bin Mazh'un, dan meletakkan batu (nisan) DI POSISI KEPALANYA... Dan karena hal itu menjadikan kuburannya dikenal, sehingga bisa diziarahi. (Kitab Majmu', karya Imam Nawawi, 5/296)
Imam Nawawi -rohimahulloh- juga mengatakan:
السنة أن يجعل عند رأسه علامة شاخصة من حجر أو خشبة أوغيرهما هكذا قاله الشافعي... والمعروف في روايات حديثعثمان حجر واحد والله أعلم
Sunnahnya adalah menjadikan TANDA (nisan) yg jelas DI POSISI KEPALA MAYIT, baik terbuat dari batu, atau kayu, atau benda lainnya. Itulah yg dikatakan oleh IMAM SYAFI'I... Yang ma'ruf dalam beberapa riwayat hadits (yg menerangkan tentang kuburan) Sahabat Utsman bin Mazh'un adalah dengan SATU BATU NISAN. wallohu a'lam. (Kitab Majmu', Karya Imam Nawawi, 5/298)
Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj

ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار ( و ) أن يوضع ( عند رأسه حجر أو خشبة ) أو نحو ذلك لأنه صلى الله عليه وسلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون صخرة وقال أتعلم بها قبر أخي لأدفن إليه من مات من أهلي رواه أبو داود وعن الماوردي استحباب ذلك عند رجليه أيضا

“Disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau (basah) di atas kuburan, begitu juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah dan tidak boleh bagi orang lain mengambilnya dari atas kuburan sebelum masa keringnya karena pemiliknya tidak akan berpaling darinya kecuali setelah kering sebab telah hilangnya fungsi penaruhan benda-benda tersebut dimana selagi benda tersebut masih basah maka akan terus memohonkan ampunan padanya. Dan hendaknya ditaruh batu, atau sepotong kayu atau yang semacamnya dekat kepala kuburan mayat karena Nabi Muhammad SAW meletakkan sebuah batu besar didekat kepala ‘Utsman Bin madz’un seraya berkata : “Aku tandai dengan batu kuburan saudaraku agar aku kuburkan siapa saja yang meninggal dari keluargaku” (HR. Abu Daud) , menurut Imam mawardy kesunahan meletakkan tanda tersebut juga berlaku di dekat kedua kaki mayat”
( Mughni Almuhtaaj I/364 )

Imam kita asy-Syafi`i meriwayatkan daripada Ibraahiim bin Muhammad daripada Ja'far bin Muhammad daripada ayahandanyabahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. telah menyiram (air) atas kubur anakanda baginda Ibrahim dan meletakkan atasnya batu-batu kerikil. Riwayat ini terkandung dalam "Musnad al-Imam al-Mu`adzhdzham wal Mujtahid al-Muqaddam Abi 'Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i r.a.", juzuk 1, halaman 215.

Maka perbuatan baginda inilah yang dijadikan dalil oleh para ulama kita untuk menghukumkan sunnat menjirus atau menyiram air ke atas pusara si mati diiringi doa agar Allah mencucurikan rahmat dan kasih sayangNya kepada almarhum/almarhumah. Amalan ini sudah sebati dengan masyarakat kita, walaupun sesekali ada yang mempertikaikannya. Pernah aku mendengar seseorang dalam ceramahnya yang berapi-api membid`ahkan amalan ini. Maaf maaf cakap, mungkin pengajiannya belum tamat agaknya, atau mungkin waktu tok guru sedang mengajar bab ini dia tertidur atau ponteng tak turun kuliyyah agaknya.

Pihak yang melakukannya pula ada yang hanya ikut-ikutan sahaja tanpa mengetahui hukumnya dalam mazhab yang kita pegangi. Ada yang melakukannya tetapi tidak kena caranya sehingga berubah hukumnya dari sunnat menjadi makruh. Untuk manfaat bersama, amalan menjirus air ke kubur dipandang SUNNAT dalam mazhab kita Syafi`i. Tetapi yang disunnatkan hanya dengan air semata-mata dan bukannya air mawar sebagaimana kelaziman sesetengah masyarakat kita. Menjirus air dengan air mawar dihukumkan MAKRUH kerana ianya merupakan satu pembaziran. Dan mutakhir ini, timbul tradisi yang tidak sihat, di mana penziarah, terutama dari kalangan berada, membuang duit untuk membeli jambangan bunga untuk diletakkan di atas pusara, persis kelakuan dan perlakuan penganut agama lain. Kalau dahulu, orang hanya memetik bunga-bungaan yang ditanamnya sendiri di sekeliling rumah seperti daun pandan, bunga narjis dan sebagainya yang diperolehi dengan mudah dan tanpa sebarang kos. Ini tidaklah menjadi masalah kerana boleh dikiaskan perbuatan Junjungan yang meletakkan pelepah tamar atas kubur. Tetapi menghias kubur dengan jambangan bunga yang dibeli dengan harga yang mahal, maka tidaklah digalakkan bahkan tidak lepas dari serendah-rendahnya dihukumkan makruh yakni dibenci Allah dan rasulNya dan diberi pahala pada meninggalkannya, seperti juga menjirus kubur dengan air mawar. Maka hendaklah dihentikan perbuatan menghias-hias kubur secara berlebihan, membazir dan membuangkan harta. Adalah lebih baik jika wang yang digunakan untuk tujuan tersebut disedekahkan kepada faqir dan miskin atas nama si mati, dan ketahuilah bahawa sampainya pahala sedekah harta kepada si mati telah disepakati oleh sekalian ulama tanpa ada khilaf.

Dalam "I`anatuth Tholibin" karya Sidi Syatha ad-Dimyathi, jilid 2, mukasurat 135 - 136 dinyatakan:-
 
و يسن أيضا وضع حجر أو خشبة عند رأس الميت،
لأنه صلى الله عليه و سلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون
صخرة، و قال: أتعلم بها قبر أخي لأدفن فيه من مات من أهلي.
و رش القبر بالماء لئلا ينسفه الريح،
و لأنه صلى الله عليه و سلم فعل ذلك بقبر ابنه إبراهيم.
راوه الشافعي، و بقبر سعد رواه ابن ماجه،
و امر به في قبر عثمان بن مظعون راوه الترمذي.
و سعد هذا هو ابن معاذ.
و يستحب ان يكون الماء طاهر طهورا باردا،
تفاؤلا بأن الله تعالى يبرد مضجعه.
و يكره رشه بماء ورد و نحوه، لأنه إسراف و إضاعة مال

Dan disunnatkan meletakkan batu atau kayu (nisan) di sisi kepala mayyit, kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. meletakkan sebiji batu besar (nisan) di sisi kepala (kubur) Sayyidina 'Utsman bin Madzh`uun, dan Junjungan bersabda: "Agar diketahui dengannya kubur saudaraku supaya aku boleh mengkebumikan padanya sesiapa yang mati daripada keluargaku". Dan (disunnatkan) menyiram (menjirus) kubur dengan air agar debu-debu tanah tidak ditiup angin dan kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. melakukan sedemikian pada kubur anakanda baginda Sayyidina Ibrahim sebagaimana diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi`i; Dan juga pada kubur Sa`ad (yakni Sa`ad bin Mu`aadz) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, dan Junjungan s.a.w. telah memerintahkan dengannya (yakni dengan menjirus air) pada kubur Sayyidina 'Utsman bin Madzh`uun sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi. Dan yang mustahab adalah air tersebut suci lagi mensucikan dan sejuk (air mutlak biasa, jangan pulak disalahfaham dengan air sejuk peti ais plak), sebagai tafa`ul (mengambil sempena) mudah-mudahan Allah menyejukkan kubur si mati (yakni menyamankan keadaan si mati di tempat perbaringannya dalam kubur tersebut). Danmakruh menyiram atau menjirus dengan air mawar atau seumpamanya kerana perbuatan tersebut adalah satu pembaziran dan mensia-siakan harta.
Begitulah ketentuan hukum menjirus kubur dengan air biasa dalam mazhab  asy-Syafi`i. Diharap sesiapa yang telah beramal, tahu yang amalannya itu adalah sebagai menurut perbuatan Junjungan Nabi s.a.w. dan hendaklah diharap pahala atas amalannya tersebut dengan niat mencontohi amalan Baginda.
Khotimah

Dengan demikian, yang diajarkan oleh Islam tentang kuburan, adalah meninggikannya sekitar satu jengkal dan meletakkan batu nisan sebagai tanda bahwa di tempat itu ada kuburan, hingga tidak terjadi penghinaan kepada kuburan seperti diinjak, diduduki, dijadikan tempat untuk membuang kotoran dan sebagainya. Adapun menembok dan mendirikan bangunan di atasnya adalah hal yang dilarang. Rasulullah SAW bersabda, "Rasulullah SAW melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan membangunnya." (HR. Muslim)
Kalau kita perhatikan, memang kebanyakan makam para tokoh memang ditembok tinggi. seperti maqam Al-Imam Asy-Syafi''i di Mesir.demikian juga Kuburan Imam al-Bukhari  pun ditinggikan. ‎As-Subki dmenyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol.
Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) juga dibuat menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah.‎
Dan demikian juga tokoh-tokoh islam lainnya, kubur mereka rata-rata dditinggikan dan  diberi tulisan. pengenal. Demikian juga kubur Abu Ayyub Al-Anshari, bahkan kubur Rasulullah SAW dan dua sahabat Abu Bakar dan Umar. 

Sebenarnya, tidaklah bijak kita terlalu meributkan masalah ini. Lagian, kan cuma makam, sama sekali tidak ada nilai ibadah ritualnya. Kalau pun ada nilainya, lebih kepada nilai sejarah dari perjuangan para ulama' yang telah dimakamkan tersebut. Jika memang kita menemui adanya praktik yang menyimpang dari ziarah kubur, praktik tersebutlah yang harus kita benahi.

Meskipun kita lebih cendrung memilih pendapat yang  membolehkan memberikan tanda kubur dengan adanya gundukan dan tulisan, tetapi kalau kita kembalikan kepada bentuk idealnya, mungkin yang paling ideal adalah seperti kubur para shahabat nabi di Makkah atau di Madinah. Semua makam jadi satu, tanpa nisan, tanpa tanda apapun. Yang ada cuma gundukan pasir dan tanah saja. 
Itu yang paling ideal, sebagai bentuk implementasi dari hadits-hadits yang tidak membolehkan adanya bangunan di atas kuburan. 
Wallahua’lam ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...