Rabu, 25 November 2020

Sejarah Kedaleman Nagara Tengah


Nama Nagaratengah sudah ada sejak jaman Kerajaan Galuh Hindu, ketika kerajaan berbentuk federasi. Mahaprabu Galuh membagi kerajaan yang salah satu diantaranya adalah Kerajaan Galuh Nagaratengah yang diperintah oleh Prabu Agung Danumaya dengan jumlah rakyat mencapai ± 1000 orang. Kemudian dilanjutkan oleh Prabu Wangsa Dedaha, lalu oleh Prabu Agung Ranggakusumah. 
Ketika Cipta Sanghyang Permana naik tahta sebagai Mahaprabu Galuh, ibukota kerajaan (dayeuh) pindah ke Nagaratengah. Letak ibukota antara sungai Cihapitan dan Cibodas (Sayung Desa Karanglayung) Kemudian penggantinya adalah Mahaprabu Cipta Permana (sebelumnya berdiam di Cimaragas) yang sudah memeluk agama Islam dan membagi kerajaan menjadi 6 Kerajaan kecil (Kadaleman). Selanjutnya,  Kadaleman Nagaratengah dibangun pada 1583 oleh Pangeran Aria Panji Subrata.

RADEN ARIA PANDJI SUBRATA.

Kadaleman Nagara Tengah didirikan sekitar tahun 1583 M, yang menjadi Dalem I adalah RADEN ARIA PANDJI SUBRATA. Pusat kadaleman berada sebelah timur Sungai Cihapitan di Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya sekarang.

Batas Wilayahnya sebagai berikut :
- Sebelah Barat                   :     Daerah Cisangkir Cibeureum.
- Sebelah Selatan                :     Daerah Sukakerta
- Sebelah Timur                  :     Galuh ( Batu Gajah )
- Sebelah Utara                   :     Sungai Citanduy.

Yang sekarang menjadi Kecamatan Cineam, Kecamatan Cimaragas, Kecamatan Langkap Lancar, Manonjaya dan sebagian wilayah yang ada di Kecamatan Cibeureum. Banyaknya Rumah atau Tugu se-kadaleman Nagara Tengah waktu itu sekitar 200 rumah.

Raden Aria Pandji Subrata ( Dalem I ) dalam mengatur dan mengurus kadaleman Nagara Tengah di bantu oleh RADEN ANGGANAYA KUSUMAH yang di kenal dengan sebutan ‎DALEM NAYA KUSUMAH, yang mempunyai putra :

1- RADEN ANGGAMALANG.
Raden Anggamalang adalah seorang Kyai yang pertama menyebarkan Agama Islam di wilayah Nagara Tengah. Terpilih menjadi Penghulu dan sebagai Hakim Leuwi Panereban. Sesudah meninggal dimakamkan di Pasir Abas sekarang Dusun Cikanyere dan Astananya di Dusun Darmasari ( Cidarma ) Desa Madiasari Kecamatan Cineam.
2- RADEN ANGGAPRAJA.

Raden Anggapraja adalah seorang Jaksa di Galuh, pindah menjadi Jaksa di Kadaleman GaraTengah, setelah Kadaleman Galuh dan Nagara Tengah disatukan.
Makamnya di Nangerang dusun Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam.‎

3- RADEN SUTADIWANGSA.

Raden Sutadiwangsa adalah seorang Bendahara Kadaleman khusus bagian ternak. Apabila ada rakyat yang Seba kepada Dalem berbentuk hewan seperti Kambing, Kerbau atau Sapi oleh Dalem terus diserahkan kepada Bendahara bagian ternak. Tempat Pemakamannya di Sumbang Situ Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam.‎
 
4- RADEN TJANDRA KUSUMAH.‎

Raden Tjandra Kusumah adalah seorang Sekretaris ( Juru Serat ) di Kadaleman Nagara Tengah, mempunyai binatang peliharaan Kera Hitam yang biasa disebut LUTUNG.
Binatang peliharaan tersebut mendiami sebuah pohon besar ( Kiara ) yang berada di atas tempat keluarnya mata air, yang sekarang disebutCilutung. Bukit tempat pemakamannya disebut Cilutung yang sekarang ada diwilayah Dusun Sukabakti Desa Ciampanan Kecamatan Cineam.
‎‎
5- RADEN SUTAPRIA.

Raden Sutapria berkelana ke luar daerah Kadaleman Nagara Tengah yaitu ke daerah Kawasen. Menikah dengan Putri Dalem Kawasen, membuat menara Mesjid Agung yang kemudian dipindahkan menjadi Munara Mesjid Agung Manonjaya sekarang.

Pendopo Kadaleman, Mesjid Agung dan bangunan lainnya pada waktu itu tidak ada yang terbuat dari tembok tapi hanya dari kayu yang atapnya terdiri dari daun alang-alang, daun tepus yang dilapisi ijuk.

Budaya Kadaleman Nagara Tengah belum bisa untuk membuat tembok dan genting. Mesjid-mesjid banyak yang dibangun diseluruh wilayah Kadaleman. Pada waktu itu untuk menentukan hari yang dipakai sebagai Hari Raya Agama Islam, Penghulu Kyai Anggamalang menggunakan Hisab – Ruýat. Untuk menentukan hal-hal lain seperti menanam padi di huma ( Tegalan ) karena waktu itu belum ada sawah, untuk membuat rumah, pindah rumah, menikahkan dan lainnya, untuk menghitung tanggal dipergunakan Tahun Syaka.

Tahun Syaka dengan tahun Hijriah umumnya berbeda 1 hari. Umpamanya tahun Hijriah tanggal 15 maka tahun Syaka baru tanggal 14.
Pada waktu itu untuk menyebarkan Agama Islam sulit sekali, karena wilayah Galuh termasuk Nagara Tengah baru pindah Agama dari luar ke Agama Islam. Untuk me’ma’murkan rakyat, Dalem Nagara Tengah memerintahkan untuk menanam padi, wijen, jagung, kapas dan yang lainnya.

Di Nagara Tengah sudah ada yang disebut Jaksa, akan tetapi Ilmu kejaksaannya belum ulung ( Mahir ) kalau ada orang atau rakyat yang diperkarakan oleh jaksa diserahkan kepada Dalem kemudian oleh Dalem diserahkan kepada Hakim Kyai Anggamalang. Supaya diyakinkan berdosa atau tidaknya seseorang.

Tempat menghukum dilaksanakan diLeuwi Panareban Sungai Cikembang. Sekarang sekitar Jembatan Cikembang antara Cineam dan Manonjaya.

Daerah leuwi Panareban oleh orang Nagara Tengah dianggap keramat tidak boleh diganggu seperti mencari ikan.

Cara menghukum orang yang dianggap bersalah, disuruh menyelam di leuwi Panareban sekuat-kuatnya, kalau tidak kuat pasti muncul ke permukaan air. Yang menyaksikan dapat melihat orang yang dihukum tersebut, apabila berdosa pada kulit muka dan bagian kulit pundak menjadi hitam setelah kembali ke permukaan air.
Kemudian oleh Hakim ditanya akan mengaku mempunyai dosa atau tidak. Biasanya orang tersebut langsung mengaku, kalau sudah mengaku oleh Hakim disuruh menyelam kembali, apabila muncul kepermukaan air kulit muka dan pundaknya bersih kembali seperti semula.
Kalau orang yang dihukum tidak berdosa, biasanya disuruh menyelam sampai 3 kali ( Nista, Maja, Utama ). Apabila muncul ke permukaan air tetap saja kulit muka dan pundaknya bersih.

Hakim Kyai Anggamalang sebelum melaksanakan hukuman biasa berdoá dahulu kepada Yang Maha Kuasa ( Maha Agung  ), seumpama oraang tersebut mempunyai dosa minta ada ciri-ciri seperti yang disebut diatas. Serta Kyai Mujasmedi (Berdoá ) dengan duduk diatas batu dipinggir Leuwi Panareban, maksud menentukan dosa seseorang bukan atas kemauannya sendiri tapi atas perintah Kanjeng Dalem Nagara Tengah.
Batu tempat duduk tadi disebut Batu Darma yang sekarang masih ada di pinggir Sungai Cikembang dibawah Jembatan Sungai Cikembang.
Peninggalan : Batu Darma
Sasakala Cineam

Kyai / Penghulu / Hakim Leuwi Panareban ( Raden Anggamalang ) mempunyai putra 7 yaitu :
1.      Kyai Kapi Ibrahim
2.      Kyai Abdul Rokhaniah
3.      Raden Bakhorah
4.      Raden Malaganata
5.      Raden Ria Winata
6.      Dalem Sumur
7.      Nyi Raden Sisi Leri

Kemakmuran di wilayah Kadaleman Nagara Tengah tiap tahun terus meningkat.

Dalem I Raden Aria Pandji Subrata meninggal, dimakamkan di sebelah utara Sungai Cihapitan dekat dengan pohon Gembor yang oleh masyarakat sekitar disebut Dalem Gembor. Sedangkan Isterinya dimakamkan di bukit pinggir Jalan antara Sindangrasa meuju Sungai Cihapitan yang dikenal dengan Nyi Raden Dalem Cempaka karena di dekat makamnya banyak terdapat pohon Cempaka. Kedua makam tersebut sekarang ada di Dusun Sindangrasa Desa Ciampanan Kecamatan Cineam.‎

DALEM II  RADEN ARIA PANTJI KUSUMAH

Sesudah meninggal Dalem Ke I maka di Kadaleman Nagara Tengah diangkat Putra Dalem Raden Aria Pantji Kusumah sebagai Dalem Ke II. Dalem yang Ke 2 dalam usaha memakmurkan rakyat sekitarnya memerintahkan kepada bawahannya supaya mempunyai pandai besi untuk membuat perkakas pertanian sekaligus untuk membuat perkakas perang.

Dalem mendatangkan peralatan untuk pandai besi dari Galuh ( Banjar ). Pandai besi itu di tempatkan si daerah Sayung / Cibodas yang disebut ‎Pasir Cidomas. Sesudah ada pandai besi masyarakat petani Nagara Tengah mudah sekali mempunyai perkakas pertanian karena s itu petani bisa tambah luas lahan pertaniannya, rakyat Nagara Tengah menjadi Nanjung ( Makmur).

Para petani yang berterimakasih kepada pandai besi yang akhirnya dikenal dengan sebutan Dalem Pananjung yang artinya seorang Dalem yang membuat nanjung ( Makmur ) kepada rakyat dan Negara. Setelah meninggal Dalem Pananjung dimakamkan di Cibodas, sekarang berada di Dusun Pananjung Desa Karanglayung Kecamatan Karangjaya.‎

GUNUNG PUTRI‎

Jaman Kadaleman seorang Dalem biasanya mempunyai isteri lebih dari 1, isteri ke 2, ke 3, dan lainnya disebut Selir atau Parekan. Dalem Nagara Tengah menempatkan isteri Parekan di suatu Bukit yang berada di sebelah Selatan Kadaleman. Putri atau Isteri Parekan kalau disiang Hari kegiatannya membuat Kanteh dari kapas, sesudah jadi Kanteh di celup oleh kulit akar mengkudu atau sejenis tanaman yang disebut ‎Kitarum terus di kukus lalu di jemur, sesudah kering Kanteh tersebut terus ditinun.

Bukit bekas kediaman Puteri atau isteri Parekan tersebut yang sekarang dinamakan Gunung Putri yang berada di Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam.
OLAH RAGA UJUNGAN
Olah Raga Ujungan merupakan olah raga seni beladiri yaitu Saling Hantam dengan perkakas sebuah rotan yang panjangnya 1 sikut yang sasarannya pada kepala, tetapi pada waktu latihan olah raga seni bela diri ujungan kepalanya memakai Tudung atau semacam topi yang terbuat dari kulit kerbau di dalamnya dilapisi sabut kelapa atau daun pisang yang sudah tua, maksudnya agar tidak terlalu sakit apabila mengenai kepala. Tutup kepala tersebut dinamakan Balakutak.

Tempat Olah raga Ujungan tersebut di sebuah Bukit yang disebut Gunung Hujung,sekarang berada di Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam. Rakyat harus bisa olah raga tersebut maksudnya untuk jaga diri kalau sewaktu-waktu ada peperangan.

Hubungan dengan Kadaleman lain erat sekali baik denagn  para Dalem yang ada di wilayah Galuh, maupun yang ada diluar seperti : Sukakerta, Sunia Wenang wilayah Sumedang.

Agama Islam selain oleh Kyai Anggamalang juga di bantu oleh Kyai Kapi Ibrahim, Kyai Abdul Rokhaniah di bantu juga oleh Kyai Kapiyudin dalm mengembangkannya. Banyak rakyat dari Kadaleman lain yang pindah kedaerah Kadaleman Nagara Tengah.
Peninggalan : Makam Kyai Abdul Rokhaniah ( Putra Raden Anggamalang )
Di Komplek Kadaleman Nagara Tengah
Pinggir Jalan Cihapitan Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam.‎
Ada seorang Kyai yang lolos dari daerah Sumedang, tidak sepengetahuan Dalem Sumedang menuju ke Daerah Nagara Tengah, oleh Dalem Nagara Tengah di tempatkan di pinggir Sungai Cikembang pada Tegalan yang banyak pohon Haur ( Pohon Bambu yang berwarna kuning ). Tempat itu yang dinamakan Haur Seah.
Kyai tersebut mendirikan sebuah Pesantren. Banyak yang datang ke Pesantren tersebut untuk menjadi Santri. Nama Kyai itu dikenal Kyai Raga Sumingkir, tidak disebut nama aslinya karena lolos dari daerah Sumedang. Raga nya Menyingkir supaya selamat dari  marabahaya.
Sesudah meninggal dimakamkan di sebuah Bukit yang dikenal Makam Kyai Raga Sumingkir. Tempat tersebut termasuk daerah Dusun Sindangkarsa Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.‎

Supaya Jalanya Pemerintahan lebih lancar Dalem Raden Aria Pandji Kusumah mengangkat seorangKepala Cutak setingkat Wedana yang ditempatkan di Janggala. Raden Pandji Wulung ( Dalem Pandji Wulung )  yang dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Daerahnya sekarang berada disekitar Kecamatan Cidolog dan Cimaragas. Kegemaranya yaitu adu ayam ( Sabung Ayam ). Mempunyai 2 Ayam Jago, 1 ekor bulunya kebiru-biruan ( Kulawu Sentul ) pada telapak kakinya ada sisik yang dinamakan Sisik Batu Lapak. Satunya lagi berbulu Jalak Harupat, pada jari kaki sebelah bawah ada sisik yang disebut ‎Sisik Batu Rante. Tempat Sabung Ayam pada sebuah Bukit yang disebut Panyambungan dan sekarang menjadi suatu Daerah yang disebut Lembur Panyawungan.
Kepala Cutak apabila di Kadaleman Sukakerta disebutnya Umbul.‎

Dalem yang ada di wilayah Galuh semuanya menerima surat dari Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo Angabehi Sutawijaya Sultan Mataram maksudnya :
1.      Semua Dalem dengan rakyatnya yang ada di wilayah Galuh harus secepatnya masuk Agama Islam.
2.      Semua Dalem yang berada di wilayah Galuh harus tunduk kepada Mataram, kalau tidak mau tunduk akan di hancurkan dengan Penyerbuan.

Sultan Mataram kala itu membuat surat bukan hanya kepada Dalem yang ada di wilayah Galuh saja tapi semua Kadaleman yang ada di Tatar Sunda.
Sang Adipati Panaekan yang menjadi Dalem Galuh segera mengirim surat ke semua Dalem yang ada di wilayah Galuh dan tetangga Kadaleman seperti : Sukakerta dan lainya untuk bermusyawarah yang bertempat di Galuh.

Waktu itu menulis surat hanya pada daun lontar memakai pisau Janggut kemudian dimasukan kedalam 1 ruas bambu terus ditutup supaya tidak kena air apabila hujan. Ruas bambu pakai Tali Slendang seperti orang kalau mau menyadap aren. Tapi sudah ada juga yang ditulis pada kulit yang tipis dengan tinta gentur untuk alat tulisnya memakai lidi Aren yang biasa menyatu dengan ijuk, untuk menyimpanya masih ruas bambu. Pada waktu yang sudah ditentukan semua Dalem yang diundang sudah datang ke Galuh, terus bermusyawarah membahas hal surat dari Sultan Mataram dengan kesimpulan sebagai berikut :
-          Isi surat nomor 1 tidak jadi khawatir karena semua sudah masuk Agama Islam.
-          Isi surat nomor 2, semua Dalem menolak tidak setuju harus tunduk dan harus Ulum Kumawuh ( ngirim seba ) tiap tahun atau Caos Upeti kepada Sultan Mataram.


Oleh karena kemauan Sultan Mataram ditolak, tentu akan marah supaya tidak terjadi Peperangan di dalam Kadaleman masing-masing harus membuat Penjagaan. Kebetulan ada 1 Sungai yang akan dijadikan sebagai tempat penjagaan serangan Mataram yaitu Sungai Cijolang, dan kalu perlu Jalan selatan pada sebrangan Sungai Citanduy dan Ciseel harus dijaga kemungkinan serangan Mataram ada yang memakai Jalan selatan yang datangnya ke Kawasen. Untuk Kadaleman Kawasen disarankan jangan ikut menjaga pada sebrangan Sungai Cijolang tapi jaga saja pada Sebrangan Sungai Citanduy dan Ciseel.
Yang terpilih menjadi Pemimipin penjagaan di sebrangan Sungai Cijolang adalah Sang Adipati Panaekan Dalem Galuh. Sesudah musyawarah selesai semua Dalem kembali ke Kadalemannya masing-masing.

Sekembalinya dari musyawarah di Galuh, Dalem Nagara Tengah waktu itu Raden Aria Pandji Kusumah bermusyawarah di Kadaleman yang isinya “supaya menyiapkan rakyat sebagai Prajurit Perang yang banyaknya 40 orang lengkap dengan senjatanya / peralatannya seperti : Gobang, Tombak, Tombak Cagak, Rantai besi dan lainya”. Untuk menyiapkan orang sebanyak itu sangat sulit karena orang yang dianggap mampu masih terbatas. Peralatan / perkakas perang dibuat oleh Pandai besi yang ada di Pasir Cidomas Sayung / Pananjung. Kadaleman Nagara Tengah waktu itu belum mempunyai prajurit tapi dipilih rakyat yang sekiranya mampu untuk menuju tempat peperangan.

Sampai pada waktu yang sudah ditentukan rakyat Nagara Tengah yang sebanyak 40 orang berangkat, dipimpin oleh Kapetengan Jagabaya menuju ke sebrangan Sungai Cijolang. Yang akan menjaga dari semua Kadaleman sudah berkumpul Sang Adipati Panaekan sebagai pimpinan sudah tiba. Yang akan menjaga oleh sang Adipati tempatnya dibagi-bagi serta dinasehati, dikomando maju dan mundurnya kalau sudah terjadi peperangan. Waktu itu Prajurit Mataram yang memakai Jalan Selatan sudah bertemu dengan Pasukan kawasen yang sedana menjaga, terjadilah peperangan antara Mataram dan Kawasen. Tetapi peperangan tidak seimbang Prajurit Mataram terlalu banyak untuk dilawan oleh pasukan Kawasen. Pasukan Kaasen terus mundur tapi oleh prajurit Mataram terus dikejar sehingga tidak ada kesempatan untuk melaporkan kejadian pada Dalem Galuh.

Prajurit Mataram cepat menyebrang Sungai Ciseel menuju Kadaleman. Kadalem Kawasen dikurung Prajurit Mataram, Punggawa cepat lapor ke Dalem bahwa seluruh Kadaleman telah terkepung sehingga Dalem Kawasen tidak bisa lolos. Meskipun Pasukan Kawasen sedikit Dalemnya nekad untuk tidak menyerah, mau melawan membela rakyat dan Negara. Dikarenakan waktu itu Prajurit Mataram terlalu banyak serta sudah tabah dalam peperangan akhirnya Dalem Kawasen kalah dan gugur. Sesudah menyerbu Kadaleman Kawasen terus prajurit Mataram menuju Kadaleman Galuh dengan maksud yang sama. Setelah sampai di Kadaleman Galuh terjadi juga peperangan. Menurut perkiraan Sang Adipati Panaekan yang menjadi pemimpin perang pasukan Galuh tidak akan kuat untuk melawan prajurit Mataram yang lebih lengkap peralatan perangnya. Oleh sang Adipati Panaekan semua pasukan Galuh yang terdiri dari : Pasukan dari Kadaleman Galuh, Pasukan dari Kadaleman Nagara Tengahdan Pasukan Sukaketa dikomando untuk mundur meskipun diteruskan tidak ada harapan untuk menang. Pasukan Galuh mundur menuju ke seberlah barat. Pasukan Mataram mengejar tapi tidak sampai karena  terhalang oleh pegunungan yang disebut Daerah Randegan Banjar. Sejarah bekas berhenti ( Narandeg ) pasukan Mataram.

Pasukan Galuh dengan yang lainya lari menuju barat menyebrangi Sungai Cimuntur sedangkan Pasukan Nagara Tengah – Sukakerta menyebrangi Sungai Citanduy terus maju ke arah barat daya melewati daerah Batu Gajahyang sudah termasuk wilayah Nagara Tengah. Terus menuju barat sampai disebuah tempat dan beristirahat karena kecapean. Daerah tersebut sekarang dinamakan Lembur Goler sebelah barat Cimaragas dan Beber. Sejarah  bekas istirahat ( Ngagoler ) yang pulang dari peperangan. Sesudah istirahat dan bermalam esok harinya semua pasukan Nagara Tengah meneruskan perjalanan maju ke sebelah barat sampai di simpangan, belok ke sebelah selatan menebrangi Sungai Cikembang melewati Ranca Batu menuju Kadaleman Nagar Tengah. Sedangkan Pasukan Sukakerta terus maju ke arah barat sampai ke satu tempat, waktu itu banyak yang terluka parah oleh pasukan Mataram dan banyak juga yang meninggal waktu beristirahat di daerah tersebut. Mayatnya dikubur di daerah tersebut yang sekarang namanya Pasir Batang Karena tempat tersebut dahulunya dipakai mengubur Pasukan Sukakerta yang meninggal sepulangnya dari peperangan melawan Pasukan Mataram ( jadi Babatang ). Yang masih kuat semuanya kembali menuju ke Kadaleman.

Pasukan Nagara Tengah yang dipimpin oleh Kapetengan Jagabaya sudah sampai di Kadaleman terus lapor kepada Dalem bahwa semua yang kembali itu oleh Dalem Galuh yang menjadi Pimpinan perang disuruh untuk mundur sebab meskipun terus-terusan melawan tidak mungkin kuat karena pasukan Prajurit Mataram lebih banyak dan perkakas perang lebih lengkap. Diberitakan bahwa prajurit Mataram akan menjalankan serbuan-serbuan ke setiap Kadaleman malahan Kanjeng Dalem Galuh juga mau mengungsi ( Mubus ).

Raden Aria Pandji Kusumah Dalem Nagara Tengah setelah mendengar laporan dari Kapetengan Jagabaya waktu itu juga terus memerintahkan supaya mengadakan persiapan untuk mengungsi. Besok semua harus meninggalkan Kadaleman karena kemungkinan prajurit Mataram segera menyerbu Kadaleman Nagara Tengah. Kira-kira sekitar menjelang pajar ada utusan dari Kepala Cutak Janggala melaporkan bahwa prajurit Mataram sudah memasuki wilayah Nagara Tengah, rakyat Janggala semuanya sudah mengungsi ke sebelah selatan Sungai Ciseel yang dipimpin oleh Mbah Jagadalu, bekas mengungsi rakyat Janggala dinamakan Panyingkiran masuk wilayah Desa Jelegong Kecamatan Cidolog sekarang.

Dalem Nagara Tengah terus memerintahkan supaya meninggalkan Kadaleman, waktu itu juga semua rakyat berangkat. Diperjalanan turun hujan yang sangat lebat sekali, tapi rakyat Nagara Tengah terus meneruskan perjalanan karena takut terkejar oleh prajurit Mataram. Sesampainya di Sungai Cikembang keadaaan air sungai meluap sekali tidak mungkin segera bisa disebrangi.

Penghulu bersama Kyai yang lainya beserta rakyat yang ikut mengungsi melaksanakan Shalat Hajat meskipun dalam keadaan hujan. Tidak lama kemudian hujan reda. Dari sebelah barat ada sebatang balok kayu besar kelihatanya terbawa arus air tersangkut pada pohon Loa yang sebelahnya lagi tersangkut rumpun bambu yang berada di pinggir Sungai Cikembang. Balok kayu tersebut ( Catang ) dipergunakan untuk menyebrang. Yang pertama menggunakan batang kayu untuk menyebrang adalah Penghulu / Kyai yang terus diikuti smua rakyat dan semuanya selamat. Perjalanan untuk mengungsi dilanjutkan kembali.

Prajurit Mataram tidak lama kemudian sampai di Kadaleman Nagara Tengah tapi ternyata sudah tidak ada siapa-siapa. Prajurit Mataram terus menyusul rakyat Nagara Tengah sampai di pinggir Sungai Cikembang, lalu menyebrang menggunakan balok kayu bekas menyebrang rakyat Nagara Tengah secara berebut maksudnya supaya bisa nyebrang. Tapi caranya tidak seperti rakyat Nagara Tengah satu persatu melainkan secara bergerombol yang akhirnya balok kayu tersebut tidak kuat menahan dan tenggelam terbawa arus air. Prajurit Mataram sebagian besar terbawa arus dan hanya sebagian kecil yang selamat. . Rakyat Nagara Tengah sesudah menyebrangi Sungai Cikembang meneruskan perjalanan ke arah barat sampai pada suatu tempat yang disebut Lembur Tembong Gunung, disana beristirahat karena waktu sudah sore.
Rakyat Nagara Tengah waktu istirahat banyak yang memegang telapak kaki dan jari-jarinya ternyata licin dan berbau amis lalu semua rakyat yang menyebrang menggunakan balok kayu tadi memegang kakinya ternyata sama, ternyata yang dipakai menyebrang di Sungai Cikembang oleh rakyat Nagara Tengah bukan balok kayu tapi seekor belut besar ( Lubang ).

Dalem Nagara Tengah waktu itu terus ikrar : “bahwa kita semua yang sudah menyebrang dengan belut besar bersumpah 7 turunan tidak akan memakan daging lubang sebab sudah menolong kepada kita semua sehingga bisa selamat tidak terkejar oleh musuh”. Yang bersumpah untuk tidak memakan daging lubang 7 turunan waktu itu adalah sekitar Tahun 1596 M.

Prajurit Mataram oleh orang Nagara Tengah disebut Bajo yaitu yang ngejarnya terus menerus. Rakyat Nagara Tengah ke esokan harinya maju ke arah selatan ke Daerah Harjawinangun dari situ terus ke arah barat disana ada hutan yang disebut ‎leuweung Dungus. Semuanya istirahat di hutan tersebut sambil berdoa yang dipimpin oleh Kyai, tak lama kemudian datang segerombolan ‎Menjangan ( Mencek ),  hutan tersebut selain dipakai untuk istirahat sekaligus tempat persembunyian rakyat Nagara Tengah semuanya dikelilingi oleh menjangan tersebut sambil makan rumput. Tidak ketahuan dari kejauhan ada prajurit Mataram lewat hutan tersebut. Tidak disangka bahwa hutan yang dilewatinya dipakai bersembunyi rakyat Nagar Tengah sebab dikelilingi oleh menjangan. Prajurit Mataram tidak mendekati daerah hutan itu sehingga rakyat Nagara Tengah selamat. Lalu Dalem ikrar lagi : “Dari waktu sekarang kita semua yang ada di hutan Dungus bersumpah untuk tidak memakan daging menjangan sebab sudah menyelamatkan dari bahaya”.

Dalem Nagara Tengah mengungsi sampai ke perbatasan Galunggung ( Singaparna ) disana ada bangunan kecil yang diatas atapnya tumbuh sejenis tanaman yang merambat yang dinamakan Oyong. Bangunan tersebut tertutup sekali oleh daun tanaman tersebut. Dari kejauhan seolah-olah tidak kelihatan ada bangunan, disana rakyat Nagara Tengah berteduh didalamnya sebab hari itu cuacanya panas sekali. Disana tidak lupa Kyai berdoa kepada yang Maha Kuasa minta supaya diselamatkan dari kejaran musuh. Tidak jauh dari bangunan tersebut ada prajurit Mataram lewat dan tidak menyangka pada rimbunan pohon oyong tersebut dipakai bersembunyi rakyat Nagara Tengah disangkanya hanya rimbunan oyong saja. Prajurit Mataram tidak mau mendekati tempat itu sehingga rakyat Nagara Tengah selamat. Sejak waktu itu orang Nagara Tengah mengucapkan sumpah tidak akan makan oyong sebab telah menyelamatkannya.

Dalem Nagara Tengah meneruskan perjalanan mengungsinya belok sebelah utara masuk ke wilayah Tawang, suatu waktu Dalem merasa kecapean terus beristirahat disuatu bangunan ( Saung Huma ), bangunan tersebut berada di tempat yang terbuka malahan berada di pinggir jalan. Dalem istirahat dan memerintahkan kepada Kyai untuk berdoa, setelah selesai berdoa datang segerombolan burung Perkutut ( Tikukur ) hinggap pada atap bangunan dan pagar halaman sambil sambil berkicau. Prajurit Mataram yang sedang mengejar ngejar Dalem Nagara Tengah maksudnya mau menyusul ke tempat bangunan tersebut tapi dari kejauhan kelihatan pada atap bangunan dan pagarnya banyak burung perkutut, sehingga menyusul akhirnya tidak jadi sebab disangkanya bangunan tersebut tidak ada penghuninya. Sejak itu pula orang Nagara Tengah mengucap sumpah tidak akan makan daging perkutut.

Berdasarkan kejadian kejadian tersebut orang Nagara Tengah timbul 4 macam sumpah :
- Satu              :   Sumpah tidak akan memakan daging belut besar ( Lubang ) sampai 7 turunan
- Dua               :   Sumpah tidak akan memakan daging menjangan ( Mencek )
- Tiga              :   Sumpah tidak akan memakan oyong
- Empat           :   Sumpah tidak akan memakan daging burung perkutut ( Tikukur )
Sumpah tersebut hanya berlaku sampai 7 ( tujuh ) turunan.

Prajurit Mataram kembali tapi yang menggantikanya belum datang, semua Dalem yang dikejar kejar ada kesempatan untuk bermusyawarah dan berkumpul di Ci Haur sekarang ada di daerah Panumbangan Ciamis. Sesudah bermusyawarah kesimpulannya semua Dalem bersepakat untuk takluk kepada Mataram maksudnya supaya rakyat tidak jadi korban peperangan dan menurut catatan Catur Rangga bahwa kita semua harus mengalami menjadi jajahan Mataram. Selanjutnya semua Dalem membuat surat terus mengutus seorang utusan untuk mengirimkan surat ke Sultan Mataram yang isinya menyatakan Takluk.
Sesudah sampai di Mataram terus yang menjadi utusan menemui Kanjeng Sultan sambil menyerahkan surat lalu diterima oleh Sultan dan dibaca oleh Sekretaris ( Juru serat ) Kesultanan didepan Sultan Mataram. Utusan tadi oleh Sultan disuruh kembali serta seluruh Dalem harus kembali ke Negaranya masing-masing. Sedangkan surat piagam dan perjanjian harus mengirim Caos Upeti nanti dikirimkan kemudian.‎
Nagara Tengah mengalami perang dengan Mataram pada akhir tahun 1595 M dan dikejar kejar Mataram awal Tahun1596 M.
Dalem Nagara Tengah dikejar kejar oleh Mataram selama setengah Tahun lebih. Ketika semuanya kembali ke Kadaleman keadaan di Kadaleman sudah berbeda sekali dengan keadaan sebelum ditinggalkan. Bangunan yang ditinggalkan banyak yang rusak seperti : Atap bocor, dimakan rayap. Selanjutnya datang surat dari Sultan Mataram ke semua Kadaleman menetapkan diantaranya Nagara Tengah jadi bawahan Mataram tiap tahun pada bulan Suro ( Muharam ) harus mengirim Caos Upeti kepada Mataram. Caos upeti dari Nagara Tengah yang sangat penting sekali adalah tanduk Kijang.

Dalem Galuh Sang Adipati Panaekan oleh Sultan Mataram diangkat menjadi Bupati – Wedana, sedangkan Dalem yang lainya disebut Bupati – Lurah. Hampir setiap bulan Dalem Nagara Tengah suka berburu Kijang yang tanduknya dikumpulkan untuk Caos Upeti ke Sultan Mataram. Waktu Dalem Nagara Tengah berburu Kijang ke sebelah barat Gunung Kakapa dekat Cipinaha ( Batas Kadaleman Nagara Tengah dan Sukakerta ). Waktu itu apabila ada kijang yang diburu oleh orang Nagara Tengah lari masuk ke Daerah Sukakerta tidak boleh terus dikejar oleh orang Nagara Tengah. Begitu juga sebaliknya. Disebuah bukit Dalem Nagara Tengah membuat tempat peristirahatan disebelah timur hulu sungai Cipinaha, tempat itu sekarang masuk ke wilayah Desa Cisarua Kecamatan Cineam.

Nyi Raden Gedeng Nagara Putri Dalem Nagara Tengah Raden Aria Pandji Kusumah mau mandi di tempat pemandian di pinggir Sungai Cipinaha sendirian. Mandinya memakai rupa-rupa alat pembersih ( Pamesek ) yang terbuat dari daun-daunan yang berbau wangi.
Kebetulan pada waktu itu Dalem Sukakerta juga sedang berburu ke sebelah barat Cipinaha sampai ke Sungai Cipinaha melihat bubuk pamesek terbawa air. Dalem Sukakerta terus menelusuri Sungai tersebut menuju ke tempat pemandian yang ada di pinggir Sungai Cipinaha. Dari kejauhan terlihat ada seorang istri sedang mandi, oleh Dalem disiulan lalu istri itu menjerit ketakutan.
Dalem Nagara Tengah terkejut mendengar putrinya menjerit, lalu didekati kelihatan di sebelah bawah tempat pemandian ada seorang pria berdiri yang tiada lain adalah Dalem Sukakerta lalu oleh Dalem Nagara Tengah disapa dan dibawa ke tempat peristirahatan. Dalem Sukakerta kepada Dalem Nagara Tengah bersujud meminta maaf bahwa putrinya sampai mendadak menjerit merasa takut oleh dirinya, lalu oleh Dalem Nagara Tengah di maafkan.

Nyi Raden Gedeng Nagara tertarik oleh Dalem Sukakerta mempunyai nama asli  Entol Wiraha, mereka akhirnya menikah. Dalem Sukakerta Tahun 1598 M mempunyai putra yang bernama Wira Wangsa yang menjadi Dalem terakhir di Sukakerta sebelum pindah ke Sukapura.

Dalem Nagara Tengah terus memajukan perekonomian rakyat, pandai besi di Cidomas terus ditingkatkan. Dalem Nagara Tengah kalau berburu kijang biasanya ke sebelah barat Kadaleman. Ada sebuah hutan yang terkelilingi oleh Sungai Cihapitan dan Sungai Ciriri. Di dalam hutan tersebut ada seekor kijang jantan yang dinamakan si Wulung. Kijang tersebut menjadi pengasuh kijang-kijang yang lainya. kalau diburu atau di tombak tidak mempan dan bisa menghilang, kadang-kadang suka bersembunyi ke dalam Goa Batu Kapur yang ada di atas Sungai Cihapitan. Goa tersebut namanya Goa Wulung ( Guha Wulung ) sebab suka dipakai bersembunyinya kijang yang disebut si wulung. Disebelah barat hutan itu terdapat dataran hulu sungai (Wahangan ) yang dihapit oleh bukit yang bermuara ke Sungai Ciriri. Di sebelah timur daerah tersebut terbendung oleh batu besar yang datar sehinggaairnya menjadi dalam ( Leuwi ). 

Dari tempat itu keluar mata air yang besar meskipun musim kemarau panjang airnya tidak surut dan kalau musim hujan airnya tidak keruh / kotor. Mata air itu biasa dipakai tempat minum kijang dari mana-mana. Kijang datang mencari air ( Neang Cai ) maksudnya untuk minum di mata air itu, malahan si Wulung juga suka datang minum di tempat itu. Pada batu besar ada 2 telapak kaki si Wulung yang depan sebab si Wulung apabila minum tempatnya tidak berpindah pindah. Kalau ada kijang yang sakit atau luka sedang diburu atau tersangkut kena batu kalau sudah minum dan berendam di tempat itu sembuh kembali. Sebelah utara dari tempat keluarnya mata air tadi ada bukit luas dan datar, tanahnya subur, rumputnya hijau dan banyak terdapat kijang oleh Dalem Nagara Tengah Raden Aria Pandji Kusumah mata air dan bukit itu di beri nama Cineang sebab banyak kijang datang mencari air.

Daerah itu yang sekarang dinamakan Cineam tepatnya di Kampung Cineam Rt 15 Rw 05 Desa Cineam Kecamatan Cineam.

Peninggalan. Pusaka Cineam
Leuwi Cineang ( Leuwi Tempat Kijang Mencari Air Minum )
( Sekarang Tepatnya Kolam Bapak Juada )

Tanduk Kijang hasil buruan dari Cineang biasa di pakai oleh Dalem Nagara Tengah untuk membayar Caos Upeti pada Sultan Mataram. Hutan tempat berburu kijang Dalem dibuat Kebun Kijang diberi nama Hutan Wanalapa. Daerah itu disebelah utara Sungai Ciriri, di sebelah timur dan sebelah selatan Sungai Cihapitan, di sebelah barat dataran Sungai Cipinang, sekarang hutan tersebut jadi daerah Wanalapa, Cikanyere, Negla barat, dan Negla timur.

Untuk menjaga keamanan kebun kijang supaya tidak keluar dari hutan tersebut di pagar, Dalem Nagara Tengah mengangkat Jagabaya yang disebut Dalem Citatah. Tempat kediamanya sebelah barat kebun kijang tersebut tidak jauh dari Sungai Ciriri. Dalem Citatah mempunyai sumur di pinggir Sungai Ciriri pada batu hasil menata dan airnya keluar dari sela-sela batu. Setelah meninggal dimakamkan di Daerah yang sekarang bernama Dusun Mekarmulya Desa Cineam Kecamatan Cineam.

Sultan Mataram Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo Angabehi Sutawijaya Tahun 1601 M diganti oleh Mas Djolang dengan gelar Panembahan Hanyokrowati. Nagara Tengah masih tetap bawahan Mataram. Tahun 1602 M Kyai Anggamalang diganti oleh Kyai Kapi Ibrahim. Anggamalang masih tetap jadi Hakim Leuwi Panareban, kediamanya sebelah selatan leuwi Panareban yang di sebut Cidarma. Oleh karena di Nagara Tengah belum ada Jaksa yang Mahir perkara hukuman, masih tetap memakai Hakim Adat ditenggelamkan di leuwi Panareban. 

Penghulu Raden Kyai Kapi Ibrahim mempunyai putra 6 :
1.      Kyai Kapi Ibrahim II
2.      Raden Nursajim
3.      Kyai Kapiyudin
4.      Raden Nursamid
5.      Raden Anggawinata
6.      Mas Kalimudin

Penghulu dengan Kyai terus menyebarkan Agama Islam di daerah Kadaleman Nagara Tengah. Pada waktu itu kalau memerlukan Al’Quran sangat susah untuk mendapatkanya, harus mencari ke Cirebon, Banten, Demak, ada yang sampai ke Surabaya. Tahun 1611 M Raden Aria Pandji Kusumah meninggal dimakamkan di Nagara Tengah dekat pusat Kadaleman ( Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam ).

Dalem III Raden Aria Kusumah

Sebagai penggantinya adalah Raden Aria Kusumah ( Dalem Nagara Tengah ke III ) sepeninggalnya Raden Aria Pandji Kusumah ( Dalem ke II ) oleh Raden Aria Kusumah ( Dalem ke III ) cara-cara mengurus Negara diteruskan terutama masalah pertanian untuk kemakmuran rakyat, jadi Kadaleman Nagara Tengah tetap subur makmur sehingga tidak merasa susah apabila harus membayar Caos Upeti kepada Sultan Mataram karena brang yang diperlukan semuanya ada.

Penyebaran Agama Islam oleh Penghulu dan Kyai dilaksanakan dengan menggunakan Seni Terbang, Angklung, dan Dog-dog. Sebagai alat penghibur anak-anak kalau digusaran dan sunatan, diramaikan supaya merasa gembira sehingga anak-anak yang belum digusaran atau di sunat menjadi tertarik. Jaman dahulu anak perempuan biasa di gusaran, kalau anak laki-laki di gusaran dan disunat
Kegiatan olah raga ujungan masih terus dilaksanakan tempatnya di Gunung Hujung. Tiap tahun biasa memilih orang yang terkuat dari rakyat Kadaleman. Pandai besi di Sayung terus berjalan supaya petani mudah mendapatkan perkakas pertanian, pertukangan kayu supaya mudah mendapatkan perabotnya seperti : baliung, tatah, pasak besi dan lainya. waktu itu belum ada yang disebut sugu, gergaji, atau rimbas.
Untuk mejaga keamanan Negara Kadaleman Dalem mengangkat Jagabaya Dalem Paganjuran yang ditempatkan di sebelah selatan kedeiaman Kyai Raga Sumingkir. Dalem Paganjuran setelah meninggal dimakamkan di daerah yang sekarang bernama Kampung Sindang Karsa Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Dalem Paganjuran

Untuk memajukan daerah Dalem Aria Kusumah mengangkat Kepala Cutak / Wedana yang disebut Dalem Sumur. Dinamai Dalem Sumur karena mempunyai Sumur yang airnya bersih sekali, meskipun kemarau panjang sumur tersebut tidak pernih kering. Rakyat banyak yang menggunakan Sumur tersebut.

Dalem Sumur mempunyai putra 7 yaitu :
1.      Raden Kertamanggala
2.      Raden Dipamerta
3.      Raden Padamanggala
4.      Raden Kyai Alinudin
5.      Raden Wirakusumah
6.      Raden Raksakusumah
7.      Raden Puspa Santana ( Raden Derpa Santana )

Raden Puspa Santana ( Raden Derpa Santana ), menjadi Petinggi Cinangsi Rajadatu.

Dalem Sumur setelah meninggal dimakamkan didaerah yang sekarang disebut Dusun Pusaka Mukti ( Pecahan dari Dusun Garunggang ). Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Dalem Sumur

Tahun 1613 M Sultan Mataram diganti oleh Sultan Agung, Nagara Tengah masih tetap jadi bawahan Kesultanan Mataram. Tiap tahun masih harus membayar Caos Upeti.

Pada waktu itu yang jadi bawahan Kesultanan Mataram ada sebagian yang keadaan Kadalemannya sengsara sekalipun hanya untuk membayar Caos Upeti. Tidak seperti Kadaleman Nagara Tengah yang subur makmur. Raden Aria Kusumah ( Dalem Nagara Tengah ke III ) meninggal dan dimakamkan di Cilutung, (sekarang disebut Kampung Sukabakti yang sekarang sebagai pecahan dari Kampung Sindangrasa Desa Ciampanan Kecamatan Cineam.

Peninggalan: Makam Raden Aria Kusumah ( Dalem ke III )
Merupakan Dalem Terakhir di Kadaleman Nagara Tengah


GARATENGAH

Menurut perintahnya dari Sang Adipati Panaekan yang menjadi Penasehat Dalem ( Sesepuh ) di wilayah Galuh sesudah meninggal Dalem Raden Aria Kusumah ( Dalem III ) di Nagara Tengah tidak boleh mengangkat lagi Dalem, karena Kadaleman Galuh akan disatukan dengan Kadaleman Nagara Tengah.

Untuk pusat Kadaleman akan di tempatkan di Nagara Tengah, maksudnya supaya ringan dalam membayar Caos Upeti kepada Kesultanan Mataram karena Galuh waktu itu perekonomiannya sedang ada kemunduran. Untuk membereskan segala hal kepada Sultan Mataram Sang Adipati Panaekan yang bertanggungjawab. Mendengar rencana Sang Adipati Panaekan orang Nagara Tengah merasa tidak enak sebab yang akan menjadi Dalem bukan orang Nagara Tengah tapi dari Galuh, sedangkan pusat Kadaleman akan di tempatkan di Nagara Tengah. Keadaan Kadaleman Nagara Tengah meskipun Dalem sudah meninggal keadaanya subur makmur repeh rapih serta aman ( Hirup Gusti Waras Abdi ). Timbul kehebohan-kehoban antara rakyat Nagara Tengah dengan rakyat Galuh.
Sang Adipati Panaekan berusaha supaya jangan terjadi berontak dengan saudara sampai ada kejadian yang menjadi korban jiwa.usahanya Sang Adipati Panaekan Rakyat bisa reda terus aman.

Tahun 1618 M Sang Adipati Panaekan pindah dari Galuh ke Nagara Tengah, mulai waktu itu Nagara Tengah disebut Garaterngah. Di Galuh tidak ada lagi Dalem, wilayah Kadaleman Garatengah jadi luas sebab Galuh disatukan dengan Nagara Tengah. Sang Adipati Panaekan masih tetap jadi Bupati Wedana sebagai Penasihat Dalem di Wilayah Galuh. Sang Adipati Panaekan mempunyai dua pengiring yaitu :
1.      Raden Pandji Boma
2.      Ki Bagus Kalintu

Tempatnya disebuah bukit sebelah utara Sungai Cikembang. Sang Adipati mempunyai Pasanggrahan untuk tempat berhenti kalau mengadakan perjalanan dari Galuh ke Garatengah atau dari Garatengah ke Galuh. Kalau kita melihat dari pesanggrahan tersebut ke sebelah utara terlihat dari sebuah tempat yang sekarang disebut Panenjoan.

Sebelah bawah Pesanggrahan ada semacam kolam kecil yang airnya jernih sekali meskipun kemarau panjang airnya tidak kering.
Sebelah selatan Sungai Cikembang, diatasnya ada sebuah rawa ( Ranca ) kecil ditengahnya ada sebuah batu, ranca itu disebut Ranca Batu. Sebelah atas ranca tersebut ada sebuah Kampung yang disebut Ranca Batu. Kampung tersebut kemudian disebut Ranca Datu. (  Pada bulan Oktober 1923 dipakai sebagai nama Desa yang disebut Desa Rajadatu.


Sang Adipati Panaekan biasa suka berburu kijang sampai ke muara Sungai Cigerentel ( Pamarican ), ke Sungai Ciseel, sebelah selatan Ciparay. Temapat berburu kijang Sang Adipati Panaekan disebut hutan (Leuweung Panaekan ). Waktu itu yang menjadi Jaksa di Galuh ialah Raden Anggapraja orang NagaraTengah. Tahun 1618 pindah ke Garatengah jadi Jaksa. Leuwi Panareban tempat menghukum du bubarkan tidak dipakai lagi untuk mencari orang yang berdosa, ikannya bisa diambil. Kyai Anggamalang sejak itu berhenti tidak jadi Hakim Leuwi Panareban lagi.

Kyai Anggamalang sesudah berhenti jadi Hakim Leuwi Panareban kediamanya tidak memilih pindah ke Garatengah tapi tetap di Cidarma. Sesudah meninggal dimakamkan pada sebuah bukit yang tanahnya merah yang disebut Pasir Abang. Di  Kampung Cikanyere waktu itu ada seorang penyadap Aren namanya Abas, orang tersebut kalau mencari kayu bakar tidak berani sampai ke bukit yang tanahnya merah tersebut malahan oleh Abas orang lain pun tidak diperbolehkan untuk mengambil kayu bakar pada bukit itu. Yang akhirnya Pasir Abang tersebut diberi nama Pasir Abas.

(-Tahun 1915 ke Kecamatan Cineam ada seorang Kalasir ( Yang biasa menetapkan nomor – persil dan nama Blok tanah ), oleh orang Cikanyere Pasir Abang diusulkan supaya diberi nama Blok Pasir Abas.
-Sejak itu Bukit ( Pasir ) yang dipakai Makam Raden Kyai Anggamalang disebut Pasir Abas.)

Sang Adipati Panaekan mempunyai isteri 3 dan mempunyai putra 11, diantara isteri yang ada di daerah Kertabumi yaitu Kakanya Dalem Kertabumi. Oleh Sang Adipati Panaekan isteri yang di Kertabumi tidak kebagian waktu ( Kilir ). Oleh sebab itu dia marah dan minta tolong kepada Dalem Kertabumi supaya Suaminya ( Sang Adipati Panaekan ) di bunuh karena sudah tidak pernah datang ( kilir ). Semula Dalem Kertabumi idak mau menerima dan tidak bersedia disuruh untuk membunuh Sang Adipati Panaekan, karena oleh kakanya terus-terusan diminta akhirnya Dalem Kertabumi menyanggupi untuk membunuhnya.

Pada suatu waktu Sang Adipati Panaekan kembali dari daerah Galuh menuju ke Garatengah sesampainya di Sungai Citanduy pada penyebrangan ada Dalem Kertabumi yang sengaja mencegat Sang Adipati Panaekan.

Dalem Kertabumi tidak berpikir lagi setelah melihat bahwa yang mau menyebrang itu Sang Adipati Panaekan langsung saja ditusuk memakai keris. Sang adipati Panaekan rubuh dan meninggal, mayatnya dan keris dihanyutkan ke Sungai Citanduy dan nyangkut di Muara Sungai Cimuntur. Kemudian dimakamkan diBojong Galuh Karang Kamulyan Ciamis.

Kedua pengiring Sang Adipati Panaekan terus berangkat ke Garatengah melaporkan bahwa di Sungai Citanduy SangAdipati Panaekan ada yang membunuh menggunakan keris. Raden Pandji Boma dan Ki Bagus Kalintu bersama Rakyat Garatengah berangkat menuju ke tempat yang dipakai membunuh Sang Adipati Panaekan, sampai ke tempat yang dituju mayatnya sudah tidak ada hanyut di Sungai Citanduy. Bekas Pesanggrahan Sang Adipati Panaekan bersama pengiringnya sekarang oleh masyarakt di anggap sebagai keramat. Pasir itu akhirnya jadi Kampung yang diberi nama Lembur Panaekan sampai sekarang. Tepatnya di Kampung Panaekan Desa Ancol Kecamatan Cineam. Terdapat yang disebut sebagai Paesan atau Astana Sang Adipati Panaekan.

Tahun 1625 Dalem Garatengah diganti oleh Raden Dipati Imbanagara. Dalem itu oleh Sultan Mataram ditunjuk dijadikan Bupati Wedana, jadi penasihat Dalem diwilayah Galuh menggantikan Sang Adipati Panaekan.

Dipati Imbanagara mempunyai isteri bernama Nyi Gedeng Adi Larang ( Putra Sunan Bandu Jaya )Sumedang larang, Sumedang. Mempunyai putra 2 bernama :
1.      Mas Bongsar atau Raden Jayanagara ( Raden Yogaswara )
2.      Raden Angganata

Dipati Imbanagara mendapat perintah dari Sultan Mataram untuk mengusir Kompeni / Belanda yang akan menjajah Pulau Jawa, yang markasnya di Yogyakarta. Dari Garatengah tidak dipinta prajurit, yang diperintah harus mengirimkan prajurit hanya dari Dalem Dipati Ukur. Tetapi dari Garatengah juga ada yang mau ikut berangkat ke medan perang yaitu Tumenggung Wirasuta ( Tahun 1628 – 1629 ).

Sesudah sampai pada waktu yang ditentukan yaitu Tahun 1628 Dalem Dipati Imbanagara disuruh untuk menyiapkan perbeklan dan dikirimkan ke daerah Tawang yang sekarang menjadi Kota Tasikmalaya. Kemudian pada Tahun 1629 mengirim kembali perbekalan tapi diperjalanan dirampok ( Dikaraman ) oleh Kompeni banyak yang dibakar maksud Belanda supaya prajurit Sultan Mataram tidak mempunyai perbekalan ( Makanan ).

Sesudah Sultan Mataram ( Sultan Agung ) perang melawan kompeni di yogyakarta Dalem Dipati Ukur mempunyai maksud ingin melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Mataram, kepada Belanda tidak mau takluk terus mengajak Dalem Garatengah sampai ke Dalem yang ada di Sumedang untuk ikut denganya.
Dalem Garatengah setuju lepas dari bawahan Sultan Mataram, kemauan Dipati Ukur supaya cepat-cepat mengadakan pemberontakan, tapi maksudnya sudah tercium dan ketahuan oleh Sultan Mataram bahwa Dipati Ukur dan Dipati Imbanagara malah mengajak Dalem Sumedang akan mengadakan pemberontakan pada Sultan Mataram. Sultan Mataram sangat marah kepada Dipati Ukur dan kepada Dipati Imbanagara, terus memerintahkan prajurit dan para ponggawanya supaya Dipati Imbanagara dihukum mati dipenggal lehernya dan kepalanya dibawa ke Mataram, sebab Dipati Imbanagara mau berontak ke Mataram.

Utusan yang diperintah oleh Sultan Mataram sudah berangkat menuju Garatengah. Sampai di daerah Garatengah, waktu itu Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke wilayah kampung-kampung yang ada disebelah utara Sungai Citanduy, dia tidak menyangka bahwa akan dihukum mati oleh utusan dari Mataram.

Utusan Mataram menanyakan kepada Patih dimana Dipati Imbanagara oleh Patih dijawab bahwa Dalem Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke Daerah Galuh. Tidak lama kemudian utusan Mataram terus menyusul dan bertemu dengan Dipati Imbanagara. Utusan Mataram tidak berpikir panjang lagi bahwa yang bertemu itu adalah Dipati Imbanagara langsung dibunuh pada waktu itu juga lehernya dipenggal, kepalanya ditempatkan pada Endul yang akan di setorkan ke Sultan Mataram. Sedangkan badanya tergeletak di tempat itu bersimbah darah. Utusan Mataram langsung pulang membawa kepala Dalem Imbanagara.

Patih Garatengah bermusyawarah dengan Jagabaya Paganjuran maksudnya mau menyusul takut Dalem Dipati Imbanagara ketahuan oleh utusan Mataram, padahal kenyataanya Dalem Dipati Imbanagara waktu itu sudah terbunuh.

Patih dan Dalem Paganjuran berangkat menyusul utusan dari Mataram dikarenakan dari Garatengah menyusulnya terlambat sehingga utusan Mataram sudah pergi, jalanya ke sebelah utara Sungai Citanduy. Dari kejauhan terlihat oleh orang Garatengah bahwa yang didepanya itu adalah utusan Mataram terus dikejar maksudnya mau merebut Endul yang dipakai untuk menyimpan kepala Dipati Imbanagara. Utusan Mataram hanya sedikit sedangkan orang Garatengah yang mengejar jumlahnya banyak lantaran dibantu oleh rakyat dari Kampung yang dilewatinya.

Orang Garatengah yang dipimpin oleh Jagabaya Dalem Paganjuran terus mengejar, sudah diketahui bahwa utusan Mataram akan terkejar langsung saja kepala Dalem Dipati Imbanagara dilemparkan ke Sungai Citanduy sedangkan Endulnya dibawa mau disetorkan ke Mataram.

Utusan Mataram kabur tidak berani melawan orang Garatengah yang begitu banyak. Utusan Mataram setelah sampai terus melapor ke Sultan bahwa pekerjaanya telah dilaksanakan. Dipati Imbanagara ketemunya di daerah Galuh. Ditempat itu dibunuhnya, kepalanya dimasukan pada Endul, karena dari Galuh ke Mataram sangat jauh sudah barang tentu kepala Dipati Imbanagara akan bau, berdasarkan musyawarah utusan langsung saja dilemparkan ke Sungai Citanduy supaya jangan ketemu oleh rakyat Galuh dan orang Garatengah. Sebagai saksi ini saja Endul bekas membawa kepala Dipati Imbanagara yang masih ada rambut sedikit yang menempel pada darah sampai kering. Laporan utusan Mataram diterima oleh Sultan.

Kemudian setelah utusan Mataram pergi kepala Dipati Imbanagara yang di lemparkan ke Sungai Citanduy oleh orang yang biasa menyelam ( Palika ) dicari sampai ke dasar Sungai Citanduy tapi tidak ketemu. Lama kelamaan air di Sungai Citanduy tercium bau busuk (Biuk ), sehingga nama Sungai tempat mencari kepala Dipati Imbanagara diberi nama ‎Leuwi Biuk.

Sedangkan badan Dipati Imbanagara disimpan ditempat yang luas dan terbuka ( Lenglang ) tempat itu sekarang dinamakan ‎Bolenglang. Peristiwa itu terjadi pada Tahun 1636. jenajah Dipati Imbanagara yang tanpa kepala dimakamkan disuatau tempat yang kemudian diberi nama ‎Gegembung yang artinya Badan Tanpa Kepala.

Daerah tersebut ada disebelah timur Kota Ciamis sekarang. Setelah Diapati Imbanagara meninggal sementara Pemerintahan di Kadaleman Garatengah dijalankan oleh Patih Raden Wiranagara. Pada waktu itu yang berhak untuk menggantikan Dalem Dipati Imbanagara adalah Mas Bongsar tapi usianya baru 13 tahun, sehingga diwakilkan kepada Patih.

Patih Raden Wiranagara mempunyai maksud untuk menjadi Dalem, timbul kebencian pada Mas Bongsar yang mempunyai hak jadi Dalem menggantikan ayahnya.

Nyi Geseng Adi Larang ibunya Mas Bongsar sudah mengetahui bahwa putranya dibenci oleh Patih. Lalu menyuruh salah seorang pegawai Kadaleman supaya Mas Bongsar harus segera diungsikan dari Garatengah tapi tanpa sepengetahuan orang lain. Pada suatu waktu kebetulan cuaca cerah dan terang bulan Mas Bongsar oleh pegawai itu malam hari dibawa lolos ke suatu tempat yang disebut Lembur Pawindan dan dititipkan kepada seorang petani yang tinggi ilmunya ( Jembar Pangabisa ) yang di butuhkan oleh semua rakyat.

Mas Bongsar harus diakui anak, namanya juga sementara harus diganti, serta dipinta untuk dididik Agama Islam dan menulis Tulisan Jawa. Semua keadaan di Kadaleman garatengah oleh pegawai tadi kepada petani tadi diterangkan supaya dimengerti dan petani itu harus bisa memegang segala rahasia. Mas Bongsar di Pawindan dididik berbagai macam ilmu jikalau dikemudian hari ada kemungkinan harus memimpin Kadaleman. Petani yang didiami Mas Bongsar, dia adalah orang Galuh yang masih keturunan Raden Galuh, keturunanya masih dekat dengan Dipati Imbanagara. Kurang lebih 3 tahun lamanya Mas Bongsar diungsikan ke Pawindan.

Ke Garatengah datang utusan Mataram menanyakan Mas Bongsar masih hidup atau sudah meninggal, kalau masih hidup dimana sekarang, kalau sudah meninggal dimana kuburanya. Sultan Mataram ingin mengetahui apabila masih hidup Mas Bongsar mau diangkat jadi Dalem garatengah menggantikan Bapaknya.

Sebab dari bukti – bukti yang dikumpulkan kemudian, akhirnya Mataram menyadari kekeliruanya dan timbul penyesalan karena Dipati Imbanagara ternyata sama sekali tidak bersalah, dan menyadari bahwa Dipati Imbanagara menjadi korban pitnah yang tidak pernah dilakukanya.

Patih mendengar dari utusan Mataram bahwa Mas Bongsar akan di angkat jadi Dalem Garatengah merasa menyesal sekali sebab cita-cita ingin menjadi Dalem tidak akan terlaksana. Waktu itu oleh Patih dijawab, bahwa Mas Bongsar sudah 3 Tahun lamanya lolos dari Garatengah tidak tahu kemana perginya, dicari kemana mana tidak ketemu. Padahal Patih itu tidak pernah memerintahkan rakyat harus mencari Mas Bongsar.

Patih dan utusan dari Mataram terus menemui Ibu Mas Bongsar, menanyakan kemana lolosnya, sekarang ada dimana, ini ada utusan dari Mataram maksudnya ingin membuktikan Mas Bongsar masih ada di Garatengah, kalau tidak ada kemana perginya harus dicari sampai ketemu kalau masih hidup oleh Sultan mau dijadikan Dalem di Garatengah sebagai pengganti Ayahnya.

Ibunya Mas Bongsar mendengar perkataan utusan Mataram kaget dengan rasa gembira bercampur dengan rasa takut. Gembira karena putranya mau diangkat jadi Dalem, sedangkan was-was nya takut putranya ditelaspati ( Dibunuh ) seperti Ayahnya. Akhirnya Ibunya Mas Bongsar berkata kepada Patih dan utusan Mataram, tunggu paling lama 1 minggu akan mengutus pegawai Kadaleman barangkali ketemu mau dicari apabila masih ada. Terus Ibunya mengutus pegawai untuk menjemput Mas Bongsar serta menjelaskan maksud dan tujuan utusan dari Mataram, malah harus bersama-sama Petani yang didiaminya untuk mengantarkan ke Garatengah. Selanjutnya pegawai Kadaleman berangkat ke Pawindan mau menjemput Mas Bongsar, sampai di Pawindan kebetulan Mas Bongsar sedang ada. Pegawai memberi tahu maksud dijemput itu karena ada utusan dari Kanjeng Sultan Mataram oleh pegawai itu dijelaskan ke Mas Bongsar dan kepada Petani yang didiaminya maksud dan tujuan sehingga harus pulang dahulu ke Garatengah.


Mas Bongsar mendengar perkataan pegawai sebagai utusan Ibunya sama perasaan seperti Ibunya tadi, gembira bercampur rasa takut. Gembira karena akan diangkat jadi Dalem sedangkan rasa takut ( was-was ) kemungkinan akan dibunuh seperti ayahnya. Pegawai kembali dari Pawindan bersama Mas Bongsar dan petani yang didiaminya, sampai di Garatengah oleh Ibunya dirangkul ditangisi karena rasa rindu. Sesudah rasa kerinduan terkabul dengan disaksikan oleh utusan dari Mataram, oleh Patih, dan oleh Jagabaya Dalem Paganjuran bahwa betul-betul  Mas Bongsar yang datang, Putra Dipati Imbanagara Dalem Garatengah.

Mas Bongsar oleh utusan Mataram diberi tahu bahwa dia bakal diangkat oleh Sultan Mataram jadi dalem garatengah. Kemudian utusan Mataram memberi tugas kepada Patih, kepada Jagabaya Dalem Paganjuran serta kepada rakyat menitipkan Mas Bongsar untuk dijaga, karena takut ada yang menganiaya, siapa saja yang berani menganiaya kepada Mas Bongsar kata utusan Mataram bahwa Sultan Mataram akan menjatuhkan hukuman serta keluarga yang menganiaya bakal disuruh untuk pergi dari wilayah Garatengah (Ditundung ). Sesudah beres memerintah, utusan Mataram kembali sesampainya di Mataram langsung melapor ke Sultan bahwa Mas Bongsar masih ada dalam keadaan hidup di Garatengah. Semua laporan utusan diterima oleh Sultan serta kemudian utusan Mataram disuruh berangkat kembali ke Garatengah maksudnya membri tahu kepada Mas Bongsar, Patih, dan Jagabaya dalem Paganjuran dan Ibunya bahwa Mas Bongsar harus ikut ke Mataram swekarang juga mau diangkat jadi Dalem. Ibunya menyiapkan persiapan perbekalan yang sekiranya cukup untuk dijalan sampai kembali ke Garatengah. Sampai waktu yang telah ditentuka Mas Bongsar, utusan Mataram, Patih, petani Pawindan, Jagabaya Dalem Paganjuran, berangkat menuju Mataram dengan membawa segala perbekalan yang disimpan pada tempat yang disebut Sumbul. Sampai di Mataram utusan melapor kepada Sultan bahwa Mas Bongsar sudah terbawa dan sampai.

Kanjeng Sultan Mataram sudah mengetahui Mas Bongsar sampai di Mataram terus menasehati dan berbicara bahwa dia akan di lantik dan diangkat jadi Dalem Garatengah. Waktu itu juga Mas Bongsar diangkat oleh Sultan Mataram menjadi Dalem Garatengah, sekitar Tahun 1639 waktu itu Mas Bongsar baru berumur 13 Tahun. Sesudah selesai pelantikan Mas Bongsar jadi Dalem Garatengah oleh Sultan Mataram semuanya kembali ke Garatengah, dan diperjalanan selamat tidak ada halangan apa-apa. Selama menjadi Dalem Mas Bongsar sama sekali belum dapat melaksanakan tugas sebagai mana mestinya. Ia terus menerus dikhianati oleh anak buahnya sendiri, terutama oleh Patih. Sehingga ia pernah mengalami penderitaan pahit. Akan tetapi cobaan yang bertubi-tubi itu selalu dapat diatasinya. Kemudian hari akhirnya pihak Mataram berhasil membongkar kedok si penghianat kepada Mas Bongsar. Orang yang selama ini berkhianat tidak lain adalah Patih Wiranagara sendiri yang pernah menjadi perwalian atas nama Mas Bongsar ( Patih yang pernah bercita-cita ingin menjadi Dalem di Garatengah ). Patih Wiranagara ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum keputusan hukuman itu dijalankan Mas Bongsar yang berbudi Luhur itu menyatakan pemberian maafnya kepada Patih Wiranagara. Sikap Luhur Mas Bongsar itu telah menimbulkan kekaguman Sultan Mataram. Patih Wiranagara hukumanya hanya disuruh pergi dari wilayah Garatengah oleh Mas Bongsar. Oleh karena itu Sultan Mataram ( Sultan Agung ) berkenan memberikan gelar kehormatan kepadanya yaitu Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara atau yang disebut Raden Yogaswara. Nama Imbanagara sendiri dipakai menjadi nama Kadaleman atau Kabupaten yang diperintah oleh Mas Bongsar.

Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara ( Mas Bongsar ) setelah menjadi Dalem perwalianya sementara diserahkan kepada Jagabaya Dalem Paganjuran, setelah dewasa menikah dengan putra Rangga Gempol dari Sumedang yang bernama Nyi Ayu Ibariah. Setelah 5 Tahun jadi Dalem Garatengah mempunyai maksud untuk memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah, dikarenakan kalau mengadakan hubungan ke tetangga Kadaleman menjadi susah jalanya ( Belot jalan ) ditambah sudah ada 2 kali kejadian 2 Dalem yang mati dibunuh yaitu Sang Adpati Panaekan dan Dipati Imbanagara.

Kemudian mengadakan musyawarah di Kadaleman Garatengah kesimpulanya mupakat, terus Mas Bongsar melaporkan maksud dan tujuanya ke Sultan Mataram meminta ijin akan memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah. Oleh Sultan Mataram diberi ijin malah di beri petunjuk serta diberi saran kalau mau pindah bagaimana kalau ke Kertajaga Binangaun. Mas Bongsar terus kembali dari Mataram sambil melihat-lihat daerah yang akan dijadikan sebagai Pusat Kadaleman yaitu daerah Kertajaga Binangun. Mau membuktikan keadaan tempat di kertajaga cocok atau tidaknya untuk dijadikan pusat Kadaleman. Tetapi setelah dibuktikan kurang cocok sebab masih rumit jalan. ( Belot ). Terus berangkat dengan pengiringnya menuju daerah ‎Pataruman ( Banjar ). Terlihatnya cocok sekalai kalau Pataruman dijadikan Pusat Kadaleman Garatengah, untuk hubungan dengan Kadaleman tetangga mudah tidak rumit jalan. Namun sayang keadaan tanahnya masih terlalu lembah, masih sering kebanjiran dari sungai Citanduy dan luas daerah rawa-rawanya.

Kalau waktu itu banjar dijadikan pusat Kadaleman, yang mendiami rawa-rawa yang terkenal dengan nama Nyi Dewi Mayang Cinde akan mengakibatkan semua orang terjangkit penyakit Demam yang mendiami tempat itu. Oleh orang tua yang disebut Nyi Dewi Mayang Cinde itu jaman sekarang disebut Nyamuk Malaria yang bisa menimbulkan dan menularkan penyakit Demam Malaria.

Mas Bongsar kemudian mencari tempat kesebelah utara Sungai Citanduy mencari tempat bekas pada waktu mengungsi. Diaerah tersebut beristirahat dan bermalam, tidak lama kemudian mendapat petunjuk dari yang Gaib bahwa harus menuju ke salah satu tempat yang disebut Barumaysebelah selatan Gunung Ardilaya sebelah utara Sungai Citanduy.

Petunjuk itu oleh Mas Bongsar dilaksanakan, sampai di Barumay terus tempat itu ditelusuri kenyataan tempat tersebut cocok sekali kalau dipakai sebagai Pusat Kadaleman Garatengah.
Sekembalinya ke Garatengah terus bermusyawarah dengan rakyat merencanakan pemindahan Pusar Kadaleman Garatengah ke Barumay, segala keperluan dibarumay sudah dipersiapkan. Kemudian pada hari Selasa Kliwon tanggal 14 Mulud Tahun 1564 Syaka, Tanggal 12 Bulan Juni Tahun 1642 M Kadaleman Garatengah dipindahkan ke Barumay (Imbanagara ).

Sementara waktu ada di Barumay masih disebut dengan nama Kadleman Garatengah. Kemudian Sultan Mataram merubah nama Kadaleman harus diganti jangan Garatengah, hasil mupakat semua Kadaleman Garatengah namanya diganti menjadi Kadaleman Imbanagara. Sejak itu Cineang ada dibawah Kadaleman Imbanagara. Membawa nama Dalem Dipati Imbanagara sebagai penghormatan.

GERET TENGAH

a. -Kadalemanya disebut : Nagaratengah
     Jaman Dalemnya         : 1. Raden Aria Pandji Subrata ( Dalem I )
                                               Tahun 1583 – 1591 M.
                                           2. Raden Aria Pandji Kusumah ( Dalem II )
                                               Tahun 1591 – 1611 M.
                                          3. Raden Aria Kusumah ( Dalem III )
                                              Tahun 1611 – 1618 M.
b. -Kadalemanya disebut  :Garatengah
Setelah Galuh disatukan dengan Nagaratengah dan Pusat Kadalemanya berada di Nagaratengah. Yang memimpin Kadaleman yaitu :

1.  Sang Adipati Panaekan ( 1618 – 1625 M )
2.  Diapti Imbanagara ( 1625 – 1636 M )
3. Mas Bongsar ( Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara – Raden Yogaswara )
Tahun 1636 M.

c. -Kadalemanya disebut : Geret tengah
Setelah Kadaleman Garatengah pindah ke Imbanagara Tahun 1642 M, Oleh Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara ( Raden Yogaswara ). Bekas Kadaleman Nagaratengah – Garatengah yang sampai sekarang disebut Geret tengah.

Di Geret tengah setelah kepindahan Pusat Kedaleman ke Imbanagara suasananya menjadi sepi karena penghuninya banyak yang pindah dari tempat itu. Seperti diantaranya Raden Malangganata ( Embah Malang ), dan Kyai Kapi Ibrahim II pindahnya ke daerah Tembong Gunung Harjawinangun ) daerah Manonjaya sekarang.
Kyai Kapi Ibrahim dan Kyai Kapiyudin serta Raden Anggawinata pindahnya ke daerah yang disebut Wanalapa sekarang.
Kyai Kapiyudin membuat Pesantren disebelah utara Sungai Cihapitan. Setelah meninggal Kyai Kapiyudin dimakamkan di daerah Kembang Gadung Kampung Negla Desa Cijulang Kecamatan Cineam berdekatan dengan Makam Kyai Kapi Ibrahim.
Peninggalan : Makam Kyai Kapi Ibrahim dan Kyai Kapiyudin

Putra penghulu Kyai Abdul Rokhaniah yang bernama Raden Subakerta dan Isterinya Nyi Raden Tiru setelah Ayahnya meninggal dari Geret Tengah pindah ke daerah yang disebut Babakan sekarang.
Setelah meninggal Raden Subakerta dan Nyi Raden Tiru dimakamkan di Lebak Lipung masuk Dusun Kertaharja Desa Ciampanan Kecamatan Cineam sekarang.
Peninggalan :  Makam Raden Subakerta ( Putu Kyai Anggamalang )
Peninggalan : Makam Nyi Raden Tiru ( Mantu Kyai Abdul Rokhaniah )

Sedangkan saudara Raden Subakerta yang bernama Raden Subamanggala tidak ikut pindah ke babakan tapi pindah ke daerah Cisangkir wilayah Cibeureum.

Di Geret Tengah tidak ada ciri-ciri bekas Negara seperti Arca atau Tembok bekas Pendopo sebab bukan bekas Kerajaan. Tapi hanya bekas Kadaleman bangunanya tidak ada yang terbuat dari tembok tapi waktu itu membuat Kadaleman dari Kayu.

===========================================

Setelah itu di Imbanagara yang memimpinya bukan Dalem lagi tetapi menjadi Bupati Galuh. Tanpa didampingi oleh Wali, peristiwa yang bersejarah itu dalam perkembangan Kabupaten Ciamis dengan wilayah kekuasaanya sekarang. Sehubungan dengan itu pula berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain Hari Jadi Kabupaten Ciamis jatuh pada Tanggal 12 Juni Tahun 1642.

Tahun 1815 adalah masa pemerintahan Bupati Wiradi Kusumah yang waktu itu pernah terjadi pemindahan ibukota Kabupaten Galuh dari daerah Imbanagara ke Cibatu Ciamis

Sedangkan perubahan Nama Galuh menjadi Ciamis dilakukan pada Tahun 1916 oleh R.T.G. Sastrawinata yang pada waktu itu berkedudukan sebagai Bupati Galuh yang ke 16 dan memerintah sekitar Tahun 1914 – 1935M.‎

 

Selasa, 24 November 2020

Kabuyutan Nagara Tengah


Nama Nagaratengah sudah ada sejak jaman Kerajaan Galuh Hindu, ketika kerajaan berbentuk federasi. Mahaprabu Galuh membagi kerajaan yang salah satu diantaranya adalah Kerajaan Galuh Nagaratengah yang diperintah oleh Prabu Agung Danumaya dengan jumlah rakyat mencapai ± 1000 orang. 

Kemudian dilanjutkan oleh Prabu Wangsa Dedaha, lalu oleh Prabu Agung Ranggakusumah.  Ketika Cipta Sanghyang Permana naik tahta sebagai Mahaprabu Galuh, ibukota kerajaan (dayeuh) pindah ke Nagaratengah. Letak ibukota antara sungai Cihapitan dan Cibodas (Sayung Desa Karanglayung) Kemudian penggantinya adalah Mahaprabu Cipta Permana (sebelumnya berdiam di Cimaragas) yang sudah memeluk agama Islam dan membagi kerajaan menjadi 6 Kerajaan kecil (Kadaleman). 

Selanjutnya,  Kadaleman Nagaratengah dibangun pada 1583 oleh Pangeran Aria Panji Subrata. jarak lk. 25 km  dari pusat kota Tasikmalaya, luas 3 Ha,  berbagai situs yang ada :      

1. Desa Nagaratengah 

a.  Dusun Mekarsari Di dusun ini terdapat  BCB yang merupakan milik Idi Sukandi berupa pedang dan  rangkanya, serta gelang kuningan dengan ukuran sebagai berikut: - Pedang : Panjang   : 59 cm Panjang tangkai : 11 cm Bahan  : logam besi  Pada tangkai pedang terdapat simbol berbentuk elips dari bahan  kuningan berukuran diameter      panjang 3 cm dan diamter pendek 2 cm, di permukaaannya terdapat hiasan berupa garis-garis    -    Gelang: Diameter logam   : 1,3 cm  Diameter gelang    :  8,5 cm Warna :  kuning kemerahan  Bahan   :  logam perunggu     

b. Dusun Ciwarulang  

Di dusun ini terdapat makam keramat yang biasa disebut sebagai Makam Dayang Kancana, akan tetapi kondisi makam sudah mengalami perubahan karena adanya penembokan dan sudah tidak dapat dikenali bentuk aslinya.    

c. Dusun Tanjungsari (Nyengkod)   

Di dusun ini terdapat suatu punden berundak yang terdiri dari tiga teras. Di teras atas terdapat dua makam Islam yang dikelilingi tembok persegi empat. Di sudut timur laut, dari bangunan tersebut terdapat satu menhir dari batuan andesit, dan di bagian kakinya menempel batu altar berbentuk segitiga. Adapun ukuran menhir tersebut adalah tinggi 57 cm, lebar 28 cm dan tebal batu 16 cm.  Situs ini juga dikenal sebagai makam Garatengah.                  

Di dalam bangunan tembok terdapat jirat makam Makam Kyai Abdul Rohaniah yang telah ditata ulang, panjang 270 cm, lebar 190 cm. Disebelah timurnya terdapat jirat makam istri beliau (Dewi Pertala) juga sudah ditata ulang    berukuran panjang 230 cm, lebar 160  cm. Vegetasi yang tumbuh di punden ini adalah pohon kiara, rotan, aren, beringin, petai, singkong dan padi.  Sekitar 50 m kearah sebelah timur terdapat komplek makam yang sudah mengalami penataan ulang. Di lingkungan makam ini terdapat jirat makam Makam    Pangeran Aria Panji Kusumah berukuran panjang 350 cm, lebar 190 cm, dan jirat makam istrinya yang bernama Ratna Ayu Gading Pangrungu berukuran panjang 280 cm, lebar 170 cm. Kedua jirat tersebut berada pada suatu struktur persegi empat yang berukuran panjang 560 cm, lebar 630 cm. 

Di area yang sama sekitar 100 m kearah selatan terdapat aretfak nisan perkembangan dari bentuk gada berukuran tinggi 56 cm, lebar 23, tebal 9 cm. Komplek makam dengan luas 140 m2 ini berada di sebelah barat meander sungai Cihapitan yang mengalir dari barat ke-timur. Tanaman yang tumbuh di lingkuan makam ini di antaranya bungur, pukih/nam-nam, aren, kodoya, nyatuh.   

Sedangkan di Blok Garatengah masih terdapat beberapa lokasi yang diduga merupakan situs di antaranya  
a. Dipuncak Gunung Putri, informasi dari masyarakat terdapat hamparan batu         berbentuk persegi empat dan dikenal sebagai makam seorang Putri. 
b. Di puncak Gunung Ujung, diinformaskani terdapat makam  
c. Di Gunung Gajah, oleh masyarakat informasikan dipakai sebagai tempat pemujaan. 
d. Nanggerang, diinformasikan oleh masyarakat terdapat makam Jaksa Anggapraja yang oleh masyarakat populer disebut sebagai Mbah Jaksa. 
e. Sumbang Situ, diinformasikan di puncak nusa Sumbang Situ terdapat makam R Sutadiwangsa. 
f. Di areal perkebunan karet PT. Wiria Cakra tepatnya di lereng Gunung Celeng diinformsikan terdapat Batu Celeng dan Batu Lumpang yang oleh masyarakat dikenal sebagai kawah.    

1. Desa Ciampanan    

Di dusun  Sukabakti ini tepatnya di Blok Barunay teridentifikasi adanya tiga (3) tinggalan arkeologi, yaitu    

1) di sebelah timur muara sungai Ciriri terdapat makam Islam yang sudah ditata ulang (dibentuk kembali) dan dikenal sebagai makam Nyi Dalem Campaka, jirat makam berupa hamparan batu berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 760 cm, lebar 500 cm.   

2) Sekitar 100 m ke-arah timur dari makam ini terdapat makam Pangerang Aria Panji Subrata, seorang raja Islam pertama di Galuh Nagaratengah. Jirat makam berupa hamparan batu dan sebagian sudah longsor, dan sekitar 80 m dari makam ini kearah timur terdapat sumber air (sumur) yang dinamai Cikabuyutan.    

3) Sekitar 100 meter dari sungai ciriri ke-arah utara terdapat situs Batu Goong. Di situs ini terdapat batu berlobang atau batu Goong yang berukuran panjang 6,75 meter, dan tinggi 2,40 meter. 

Di permukaan batu ini terdapat dua lobang  yang bervariasi ukurannya diameternya. Masing-masing berdiameter 61 cm dengan kedalaman lobang 51 cm, dan  lobang ke dua berdiameter 36 cm dan kedalaman 22 cm. Lebih kurang 10 meter arah selatan dari batu Goong ini ditemukan gelang kaki yang terbuat dari perunggu, di dusun yang sama tepatnya di Blok Cilutung,  Dusun Sukabakti terdapat fitur makam makam Raden Adipati Aryadikusumah bersama Istri dan putranya  Sukmabuwana Mangkunagara. 

Beliau adalah raja Islam ke-3 di Nagaratengah atau raja ke-6 dari kerajaan Hindu Nagaratengah. Jirat berupa hamparan bau andesit, berukuran panjang 610 cm, lebar 650 cm. Di lingkungan makam ini banyak tumbuh pohon beringin dan pinang. Sedangkan di Blok Baranuya terdapat makam Pangeran Arya Panji Subrata (belum didokumentasi) 2. Desa Cineam   Di Dusun Mekarmulya, Desa Cinean terdapat makam Dalem Citatah (Jagabaya Hutan Wanalapa).

Informasi yang diperoleh dari Djotong (alm), melalui Agus Mulyana (Mas Agus), bahwa Dalem Citatah adalah petugas menjaga keamanan hutan larangan yang pada masa lampau dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan kijang. Jirat makam berbentuk persegi dengan ukuran panjang 430 cm dan lebar 230 cm, serta terletak pada kordinat 07o23’43,6” Lintang Selatan dan 108o21’43,5” Bujur Timur dan ketinggian 291 di atas permukaan laut. Vegetasi yang tumbuh di lokasi ini berupa beringin, kiteja, dan  enau di samping perdu.                                                   

3. Desa Cikondang   

Di Dusun Mekarjaya, Desa Cikondang teridentifikasi adanya dua situs tinggalan tradisi megalitik yang pertama disebut sebagai Situs Prebu Sukajaya, berupa dua kelompok hamparan batu dan masing-masing hamparan batu terdapat menhir di atasnya. Hamparan batu sebelah selatan berukuran (290 cm x 240 cm), terdapat 2 menhir yang  diberi nama Tuan Dago Jawa dan masing-masing berukuran tinggi 81 cm, diameter 27 cm posisi roboh, dan satu menhir lainnya dalam keadaan patah berukuran tinggi 58 cm, dan diamter 20 cm. Sedangkan hamparan batu sebelah utara (140 cm x 100 cm), juga terdapat dua menhir di atasnya, oleh masyarakat dikenal sebagai menhir Prabu Siliwangi. Menhir pertama pada posisi sebelah selatan berukuran tinggi 34 cm, diameter  19 cm, dan menhir kedua berada 47 cm disebelah utaranya berukuran tinggi 40 cm dan diamter 17 cm. Situs ini terletak pada kordinat 07o25’29,2” Lintang Selatan,  108o20’37,9”Bujur Timur dan ketinggian 397 m di atas permukaan laut. Di atas situs ini tumbuh pohon bungur dan enau.

Situs kedua adalah Situs Dalem Sareupeun yang oleh masyarakat dikenal sebagai Paniisan Dalem Saripin. Situs ini terletak di Dusun Mekarjaya tepatnya  blok Candi. Di situs ini terdapat 6 batu berjajar yang mengarah dari timur ke barat dan sebuah  batu  berukuran panjang 66 cm lebar 15 cm tinggi 24 cm, melintang 21 cm disebelah utara batu berbentuk prisma segitiga. Dari arah timur batu pertama berukuran panjang 62 cm lebar 18 cm tinggi 13 cm. Ke arah barat dari batu pertama dengan jarak 36 cm terdapat batu kedua panjang 80 cm lebar 17 cm tinggi 18 cm, selanjutnya dengan jarak 37 cm terdapat batu ke-tiga  berbentuk prisma segitiga dengan ukuran  panjang 55 cm lebar 33 cm tinggi 23 cm. Batu ke-empat berjarak 13 cm ke arah barat dari batu prisma  berukuran panjang 75 cm lebar 14 cm tinggi 13 cm. 47 cm kearah barat dari batu keempat terdapat batu kelima berukuran panjang 68 cm lebar 18 cm tinggi 7 cm. dan 42 cm Ke arah barat  dari batu kelima terdapat batu keenam dengan ukuran panjang 46 cm lebar 30 cm tinggi 23 cm..                                               

Selanjutnya di Dusun Sukahurip, tepatnya di Kampung Ciodeng di rumah Bapak Saleh (81 tahun) tersimpan satu (1) lumpang batu berukuran tinggi 20 cm, diameter permukaaan 24 cm kedalaman lumpang 15 cm, diameter dasar 16 cm, tebal lumpang  3 cm. Di Kampung yang sama tepatnya di ladang penduduk ditemukan fragmen alu berbahan batuan andesit, satu serpih dan satu buah fragmen yang menyerupai download drama korea kapak terbuat dari bahan batuan rijang.  Di desa yang sama tepatnya Dusun Cigalagah diinformasikan adanya  makam Arya Suntya Gagah.   

4. Desa Rajadatu 

Di Dusun Pusakamukti, Desa Rajadatu diidentifikasi adanya makam Dalem Sumur (Raden Wijayakusumah) dan istrinya bernama Ma Amanah. Jirat makam berupa hamparan batu berbentuk persegi dengan ukuran panjang 440 cm, lebar 280 cm., sedangkan jirat Ma Amanah berukuran panjang 160 cm lebar 90 cm. Jarak antara kedua makam  220 cm. Makam ini terletak pada koordinar 07o22’20,4” Lintang Selatan dan 108o21’54,7” Bujur Timur dengan ketinggian 273 m di atas permukaan laut.    

Selanjutnya di desa yang sama tepatnya di Dusun Paganjuran terdapat jirat makam berukuran panjang 630 cm lebar 170 cm bembujur arah selatan-utara dan dikenal sebagai makam Panglima Dalem Paganjuran. Di atas jirat ini berdiri 3 menhir masing-masing berukuran: menhir pertama pada posisi sebelah selatan berukuran tinggi 48 cm, diameter 15 cm., dan 57 cm ke arah timur terdapat menhir kedua dengan ukuran tinggi 65 cm, diameter 25 cm.    Selanjutnya dalam jirat yang sama sekitar 450 cm ke-arah utara terdapat menhir ketiga tinggi 45 cm diameter 15 cm. Di sisi sebelah selatan ditemukan sebuah fragmen batu lumpang, dan ditengah-tengah sisi sebelah timur jirat juga ditemukan fragmen batu dengan dua buah lobang lumpang. Situs ini terletak pada posisi kordinat 07o22’.49,6” Lintang Selatanm 108o.22’.39,0” Bujur Timur  dengan ketinggian 262 m di atas permukaan laut.   

5. Desa Madiasari 

Di Kampung Cikanyerem, Desa Madisari terdapat Situs Pasir Abas. Pada areal situs ini terdapat petilasan Prabu Siliwangi dan Kyai Abdul Anggamalang serta batu angkat yang disebut Kyai Angkat Junjung, di samping itu juga terdapat makam Kyai Patra Karangtengah dan Satria Anom Pajajaran. Petilasan Prabu Siliwangi dan Kyai Abdul Anggamalang merupakan hamparan batu yang berukuran panjang 270cm,lbr 100m. 

Di atas hamparan batu ini terdapat 2 menhir, menhir pertama sebelah utara beukuran tinggi 27 cm lebar 30 cm dan tebal 14 cm, sedangkan menhir kedua disebelah selatan tinggi 40 cm lebar 35 cm tebal 15 cm, jarak antara kedua menhir ini 65 cm. Di sebelah utara petilasan ini terdapat Batu Angkat yang terletak di atas hamparan batu berbentuk lingkaran dengan  diameter 170 cm dan sisi selatan hamparan batu ini terdapat batu altar.                              

Sedangkan Batu angkat mempunyai ukuran panjang 55 cm lebar 27 cm tebal 15 cm. Di sebelah timur petilasan ini terdapat makam Kyai Patra Karangtengah dan disebelah baratnya terdapat makam Satria Anom Pajajaran dengan ciri tipe nisan bundar pipih yang mempunyai kemiripan dengan nisan makam di Ciomas Sumedang.   Selanjutnya di Desa yang sama tepatnya di Kampung Cidarma terdapat makam yang oleh masyarakat dikenal sebagai makam Kyai Abdul Anggamalang. Jirat makam berbentuk  persegi panjang dengan ukuran panjang 490 cm lebar 210 cm. Di sisi timur laut jirat ini terdapat 2 menhir berhimpitan dengan ukuran: menhir sebelah barat tinggi 27 cm lebar 19 cm tebal 9 cm, menhir sebelah timur tinggi 37 cm lebar 24 cm tebal 19. Situs sudah mengalami penataan ulang.   

6. Desa Cijulang 

Di Kampung Cirantai, Dusun Sindangsari, Desa Cijulang tepatnya di dinding sebelah timur sungai Cigoang dekat Leuwi Bunut terdapat arca Ganesa tipe Polynesia yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Batu Surabima, di desa yang sama diperoleh informasi adanya Goa Wulung di Kampung Warunglegok. Makam Kembang Gadung yang dikenal sebagai makam Kyai Kapi Ibrahim, dan batu lumpang dan makam Pancuran Mas yang terletak di dipuncak Ciwanasakit.    

7. Desa Sirnajaya (Kecamatan Karangjaya) Di Dusun Awiluar, 

Desa Sirnajaya terdapat situs  Gunung Payung, dan di situs  ini ditemukan beberapa  tinggalan budaya di antaranya:   

a. Batu Langkoban  

Batu Langkoban terletak pada koordinat 07o27’55” Lintang Selatan dan  108o23’40,1” Bujur Timur dengan ketinggian  674 meter di atas permukaan laut. Batu langkoban berukuran panjang 21 meter, tinggi 15 meter. Batu ini membentuk ceruk gua dengan luas sekitar 56 m2. Sekitar 130 cm dari ceruk gua terdapat lumpang batu yang terpahat pada sebuah batu besar berukuran . tinggi 120 cm batu lumping tersebut  terpahat pada batu yang berukuran dan diameter  55 cm. 
                                                                              
b. Batu Pangasahan 

Batu Pangesahan  terdiri dari 17 garis, yang terpahat pada sebuah batu yang berukuran panjang 5 meter, dengan tinggi 1,40 meter. Garis terpanjang berukuran 35 cm dan garis terpendek berukuran 15 cm. Batu Pangesahan terletak pada koordinat S 07. 28.00,1, E 108.23.27,4, dengan ketinggian 736 meter diatas permukaan laut. c. Tangga batu Tangga batu pertama, berdiameter 30 cm,dan tinggi 20 cm. Tangga batu kedua, berdiameter 50 cm, tinggi 30 cm. Tangga ketiga sampai delapan terpahat pada sebuah batu besar berukuran tinggi 170 cm, lebar 160 cm.    d. Ki Jagaberok Ki Jagaberok terletak pada koordinat S 07.28.03,1 dan E 108.23.21,2 dengan ketinggian 699 meter di atas permukan laut. Ki Jagaberok bebentuk dolmen yang terletak di atas dua batu, Batu besar berukuran panjang 150 cm dan tinggi 90 cm.    

Lebih kurang 40 cm dari dolmen terdapat menhir dengan ukuran tinggi 35 cm dan lebar 16 cm.  Lebih kurang 250 meter dari Ki Jagaberok terdapat beberapa situs terletak pada satu area dengan luas lebih kurang 1500 m2. Area tersebut terletak pada koordinat S 07. 28.01,4, E 108 23 17,6 dengan ketinggian 744 di atas permukaan laut. Adapun situs-situs yang terdapat pada area tersebut diantaranya:  Lingga terletak di atas batu datar yang  berukuran tinggi  75 cm dengan diameter 25 cm, sedangkan batu datar berdiameter 80 cm dan tinggi 15 cm. Lebih kurang 15 meter dari Lingga terdapat makom Sang Hyang Gumulung Putih dan makom istrinya bernama Nyi Ratu Gumulung Putih.  Pada kedua makam tersebut terdapat menhir.   

Menhir pada makom Sang Hyang Gumulung Putih berukuran tinggi  26 m, lebar 14 cm dan tebal  11 cm, Sedangkan menhir Nyi Ratu Gumulung Putih beukuran tinggi 29 cm, lebar 14 cm, dan tebal 11 cm. Jarak kedua maom 165 cm. Lebih kurang 10 meter dari Makom Sang Hyang Gumulung Putih terdapat Batu Gelang  dengan ukuran panjang 280 cm, lebar 240 cm dan masyarakat menamakan situs lumbung. Lebih kurang 5 meter dari Batu Gelang terdapat makom Siti Munigar. Pada makam tersebut terdapat menhir dengan ukuran tinggi 20 cm, diameter 12 cm. Sedangkan panjang jirat makam260 cm dan lebar 180 cm. Sepintas batu pada makam terlihat seperti kubur batu.Lingkungan area situs terdapat pohon  dara wolong, kakaduan, hirung, kiara, jejambuan, kisegel, harupat.          

Kemudian lebih kurang 100 meter dari area situs di atas, terdapat situs sumur Cikahuripan. Pada situs ini terdapat 1 jolang yang berukuran panjang 60 cm, lebar 32 cm, kedalaman 15 cm. Selain itu disekelilingnya tersebar 18 buah dakon. Dakon yang terbesar berdiameter 20 cm dengan, kedalaman 17 cm. Sedangkan dakonn terkecil berdiameter 5 cm dengan kedalaman 8 cm. Jolang dan dakon terpahat pada sebuah paparan batu. Sumur Cikahuripan terletak pada koordinat S.07.28.00,2 E.108.23.17,7 dengan ketinggian 729 m diatas permukaan laut.  

Desa Karanglayung 

Tepatnya di Dusun Pananjung terdapat makam Mpu Dalem Pananjung. Menurut informasi alm.Djotong yang pernah disampaikan kepada Agus Mulyana (Mas Agus) bahwa Mpu Dalem Pananjung adalah seorang Pandai Domas yang didatangkan dari Galuh (Banjar Patroman) pada masa awal pemerintahan Pangeran Panji Kusumah Raja Galuh Nagaratengah yang ditugaskan membuat senjata pusaka untuk keperluan perkakas perang dan alat-alat pertanian serta pertukangan. Sesudah ada Mpu, Nagaratengah menjadi makmur (nanjung), para petani bertambah luas lahan garapannya. Karena telah berjasa membuat makmur rakyat dan negara, digelari Dalem Pananjung, situs tersebut terletak pada koordinat S.07.25.14,8 E.108.23.06,2 dan terletak pada ketingian 305 m diatas permukaan laut.  

 

Menjaga Ekosistem Alam Ajaran Leluhur


Sumpah pamangmang ni lebu ni paduka haji i Sunda irikita kamung hyang kabeh pakadya umapala ikan i sanghyang tapak ya patyanantaya Kamung hyang dentat patiyasiwak kapalanya cucup uteknya belah dadanya inum rahnya rantan ususnya wekasaken pranantika i sanghyang kabeh tawat hana wwang baribari shila irikang lwah i sanghyang tapak apan iwak pakan prannahnya kapangguh i sanghyang Maneh ka liliran pakanya katake dlaha ning dlahaPaduka haji i sunda Umade maka kadarmaning samangkana wekawet paduka haji i sunda sanggum nti ring kulit kata kamanah ing kanang i sanghyang tapak makatepa lwah watesnya i hulu sanghyang tapak i hilir mahingan irikan Umpi ing wungkal gde kalihi wruhhanta kamung hyang kabeh 

Kalimat di atas adalah penggalan dan prasasti Sang Hyang Tapak di Sungai Cicatih Sukabumi. Prasasti berpenanggalan 952 tahun Caka itu bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Nama lengkap sang Prabu adalah Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. 

Beliau adalah Raja di Kerajaan Sunda. Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) Saka (1030 -1042 M). Dalam prasasti itu, Raja Sunda Sang Prabu Sri Jayabupati memerintahkan dan bersumpah agar rakyatnya menjaga dan memelihara wilayah Kabuyutan Sang Hyang Tapak. Segenap kekuatan gaib dipanggil dan diperintahkan untuk menghukum barang siapa yang berani merusak dan mengambil ikan di wilayah kabuyutan, dengan ancaman siapa pun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya sebagai hukuman. 

Namun barang siapa yang menjaga dan mengindahkan perintah tersebut akan mendapat anugerah yang cukup, sandang, pangan, dan papan. Sumpah dengan hukuman yang sangat berat tersebut yang diucapkan oleh Raja Sunda, lengkapnya tertera pada prasasti keempat, terdiri atas dua puluh baris. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya). Menjadi bukti nyata bahwa sang Raja sangat teguh dalam menjaga kelestarian wilayah yang disebut dengan kabuyutan.

Kabuyutan dalam arti di sini adalah merujuk pada suatu tempat yang dikeramatkan, tempat yang mempunyai pantangan, dan merupakan tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wilayah kabuyutan bisa berupa bangunan yang dikeramatkan atau wilayah dan lahan bersungai yang ditumbuhi pepohonan. Kabuyutan di Jawa Barat misalnya wilayah Sang Hyang Tapak di Sukabumi dan Kanekes di kecamatan Leuwidamar Banten, Kabuyutan Ciburuy di Bayongbong, Kabupaten Garut. 

Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yaitu sebagai sacred place atau devasasana; tempat pemuka kerajaan, pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutan-lah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Hindu di tatar Sunda. 

Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Astana Gede di Kawali adalah contoh kabuyutan berupa situs seluas lima hektare dengan kekayaan peninggalan sejarah di mana terdapat prasasti, susunan batu dan lingga, ma-kam kuno, berbagai jenis pepohonan, dan tetumbuhan. Di wilayah yang asri dan rapat oleh pepohonan itu terdapat mata air Cikawali yang konon airnya tidak pernah kering walaupun di musim kemarau. 

Dalam mengelola hutan, masyarakat Baduy di Kanekes menjadi contoh yang baik bagaimana manusia menjaga alam, termasuk dengan menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Bagi masyarakat Baduy, hutan memegang peran penting kehidupan dan mata pencaharian. 

Keberadaan masyarakat Baduy menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Pajajaran waktu itu. 

Pengolahan tanah dilakukan sesedikit mungkin tanpa mengubah kontur tanah. Di hutan tertentu, pengolahan tanah untuk pertanian hanya untuk hal substansial bertahan hidup saja tanpa dikomersialkan untuk perda-gangan. Bahkan hewan ternak berkaki empat pun dijaga untuk masuk ke wilayah hutan yang ditabukan. Hal tersebut untuk mencegah agar bekas injakan dan kebutuhan makanan atas daun-daunan ternak tersebut tidak mengganggu kelestarian hutan. 

Para raja leluhur Sunda dahulu menjaga wilayah kabuyutan dengan sumpah dan perintah yang tegas bahkan dengan hukuman mati bagi siapa yang mengganggu dan merusaknya. Tidak hanya Prabu Jayabhupati yang sangat tegas dalam menghukum perusak wilayah kabuyutan. Dalam prasasti Kebantenan III terdapat supata atau perintah dari Sang Prabu Sri Baduga sebagai berikut: ”Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. 

Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa, aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.” Kita sadari bahwa selain sebagai warisan sejarah, kabuyutan sendiri ditinjau dari sisi sumber daya alam adalah tempat yang perlu kita jaga dan kelola sebagai tempat untuk konservasi air, pelestarian hutan, dan habitat satwa. Apakah Bandung memiliki tempat kabuyutan? 

Tanpa adanya prasasti pun kita harus bisa mengetahui bahwa kabuyutan untuk Kota Bandung adalah tempat-tempat di mana hutan perlu dilestarikan, sungai yang perlu kita jaga kebersihannya, dan situ yang perlu kita jaga debit airnya. Saat ini dapat kita lihat, hujan lebat yang mendera Bandung dalam satu dua hari saja telah mampu membuat perumahan dan jalan-jalan digenangi air dengan ketinggian yang memprihatinkan. Ironisnya apabila musim kemarau, air sulit didapatkan di mana-mana. 

Kita sejak kecil telah belajar bahwa penyebab banjir di musim hujan adalah rusaknya hutan, hilangnya danau sebagai penampung air, dan mampetnya sungai-sungai akibat sampah. Namun dari musim hujan ke hujan berikutnya, masalah yang sama masih kita hadapi disitu-situ saja. Banjir, kekeringan, dan rusaknya kawasan hutan diatasnamakan oleh pembangunan. Barusan di hari Minggu yang cerah ini saya pergi ke daerah Bandung ke punggungan bukit-bukit dekat Gunung Manglayang di Bandung Timur. 

Saya tercengang melihat betapa pembangunan perumahan dan alih guna lahan telah merambah ke pegunungan dimana seharusnya daerah tersebut dilestarikan sebagai daerah resapan air dan hutan lindung. Betapa air kan melimpah ruah membanjiri kota Bandung dengan kondisi gunungnya yang sudah luar biasa rusak ini. Sangat diharapkan pemerintah dapat secara tegas menetapkan wilayah dimana perlu kita lestarikan dan kita jaga. 

Apabila raja dahulu menetapkan hukuman mati bagi perusak dan pengganggu kabuyutan, setidaknya pada zaman sekarang ini sanksi yang tegas berupa hukuman denda dan kurungan dapat diterapkan agar ditaatinya hukum bagi perusak alam. Kalau bukan pemerintah yang membuat aturan lalu siapa lagi? 

Selain itu kesadaran warga. Sekali lagi masalah kesadaran. Kapankah kita akan sadar? 

Leluhur kita sendiri telah menetapkan, melarang, dan memerintahkan agar kita menjaga kawasan kabuyutan yang terbukti berfungsi sebagai penjaga kelestarian sumber daya alam, yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan kelangsungan hidup anak cucu kita di kemudian hari. Apa yang kita lakukan sekarang ternyata hanya membuat alam semakin marah, akibat kelalaian kita sendiri.‎

 

Kabuyutan Astana Gede Kawali


Astana Gede peninggalan masa kerajaan Galuh sekitar abad ke – 14 Masehi yang merupakan tempat suci pemerintahan sunda Galuh di Kawali pada zaman dahulu Astana Gede bernama Kabuyutan Sanghyang Lingga Hiyang ( Astana = Makam dan Gede = Besar ). Yaitu makam Adipati Singacala sebagai Raja Kawali tahun 1643 – 1718 M keturunan Sultan Cirebon yang menganut agama Islam. Raja – raja Kwali terdahulu masih menganut Agama Hindu. Jadi di konflek itu ada peninggalan Hindu.

Sebagai pusat pemerintahan raja – raja yang pernah bertahta adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa yang dikenal Sang Lumanghing Kiding. Prabu Raga Mulya ( Aki Kolot ) Prabu Lingga Buana gugur pada Peristiwa Babat. Rahyang Niskala Wastukencana yang meninggalkan beberapa prasasti dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Watukencana.

Lokasi Astana Gede sebelah utara 27 km dari Kab. Ciamis, di dusun Indrayasa Desa Kawali Kec. Kawali Kab. Ciamis. Luas wilayah area Astana Gede adalah 5 Ha. Di sekelilingnya rimbun dengan pepohonan letaknya di kaki gunung Sawal yang di sekelilingnya ada sungai. Keadaan situs merupakan hutan lindung yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras.menurut temuan arkeologi bila di lihat dari tinggalan budayanya kawali merupakan kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah klasik dan periode Islam.

Bentuk budaya yang terjadi diperkirakan mulai dari tradisi megalitik punden berundak, lumpang batu, menhir, yoni, ke tradisi klasik ( prasasti ) berlanjut ke tradisi Islam di tandai dengan adanya makam kuno. Adapun Mata Air Cikawali tak pernah surut.

Benda – benda peninggalan sejarah purbakala sebagai warisan budaya memiliki fungsi dan peran penting di berbagai bidang terutama budaya. Sebagai perlindungan terhadap cagar budaya pemerintah mengeluarkan UU yang di sebut UU Cagar Budaya no. 5 tahun 1992, salah satu pasal 26 : “ Barang siapa yang sengaja merusak Benda Cagar Budaya dan Situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan benda cagar budaya dan situs tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 di pidana dengan penjara selama – lamanya 10 tahun atau denda setinggi – tingginya 100 juta ”.

Situs Astana Gede Kawali di samping sebagai taman Cagar Budaya dan sebagai Objek Wisata Budaya juga merupakan objek ilmu pengetahuan. Peneitian di Astana Gede mulai dilakukan pada zaman  Belanda, tetapi lebih menitikberatkan pada prasasti rangka pembangunan cungkup. Tahun 1993 Tim Puslit Arkenas dan Balar Bandung mengadakan pendataan arkeologis. Hasilnya menunjukkan bahwa situs Astana Gede Kawali berasal dari masa prasejarah, klasik dan Islam, seperti yang telah disebutkan di muka. 

Sedangkan yang pertama menemukan adalah Thomas Raffles pada tahun 1817 diteruskan oleh Gubernur Jenderal Dumer Van Twiest tahun 1853, prioderik tahun 1855, Brumund tahun 1867, Tuan Veth tahun 1896, Pleyte tahun 1911, De Haan tahun 1912 dan dipugar oleh Puslit Arkenas tahun 1984 s / d tahun 1985 sedangkan pemagaran oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala dari Banten pada tahun 1992 s / d 1993 dan yang pernah mengekakavasi dari BALAR dan SUAKA.

Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan Kabuyutan Kawali, kabupaten Ciamis, Jawa Barat, terutama pada prasasti "utama" yang bertulisan paling banyak (Prasasti Kawali I). Adapun secara keseluruhan, terdapat enam prasasti. Kesemua prasasti ini menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga). Meskipun tidak berisi candrasangkala, prasasti ini diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14 berdasarkan nama raja.
 
Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya seperti naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana, penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur di Bubat.

Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada disebelah utara atau 27 km dari ibu kota kabupaten Ciamis letaknya berada dikaki gunung sawaldisebelah selatan sungai cibulan, yang mengalir dari barat ke timur, disebelah timur berupa parit kecil dari sungai cimuntur yang mengalir dari sebelah utara ke selatan, sebelah utara sungai cikadongdong dan sebelah barat sungai cigarunggang. 

Kedaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras diantaranya termasuk familia meliceae, lacocarpceae, euphorbiaceae, sapidanceae dan lain-lain, tanaman palawija, rotan, salak, cengkih dll.

Raja-Raja Galuh yang berpusat di Kawali

1.      Kawali sebagai pusat kerajaan Sunda Galuh
a.       Ratna Umi Lestari (1333-1340 M)
Beliau adalah Putri Lingga Dewata raja Sunda Galuh ke XXI, yang kawin dengan Prabu Sang Ajiguna Linggawisesa. Menjadi raja Sunda Galuh ke XXII dengan pusat pemerintahan di Kawali, kratonnya di sebut surawisesa. Mereka mempunyai 3 anak
1.      Ragamulya
2.      Dewi Kiranasari
3.      Prabu Suryadewata yang menurunkan raja-raja di Talaga (Majalengka)

b.      Prabu Ragamulya (Sang Aki Kolot) (1340-1350 M)
Putra pertama sebagi raja Sunda Galuh ke-23 berpusat di Kawali. Beranak 2 yaitu Linggabuana & Bunisora
c.       Prabu Linggabuana (Prabu Banyakwangi) (1350-1357)
Putra pertama Ragamulya sebagai raja Sunda Galuh ke-24 menikah dengan Dewi Laralinsing da beranak 3 yaitu: Diah Pitaloka, Wastukencana, Ratna Parwati.
d.      Sang Bunisora (Batara Resi Guru Jampang) (1357-1371 M)
Terkenal dengan Mangkubumi Suradhipati sebagai raja sunda galuh ke 25 menikah dengan Dewi Laksmiwati, beranak 4
1.      Giri Dewata menikah dengan Ratna Kirana Putri Ratu Carbon Girang
2.      Bratalegawa menikah dengan Wanita Gujarat
3.      Ratu Banawati
4.      Ratu Mayangsari menikah dengan Wastukencana.
5.      Prabu Niskala Wastukencana (1371-1475 M)
Menjadi raja sunda galuh ke 26 (104 thn) 114 pada masa inilah prasasti-prasasti yang ada di astana Gede Kawali. Di makamkan di Nusa Larang (Situ Lengkong). Menikah dengan Larasarkah putri Resis susuk lampung. Beranak 1 yaitu Haliwungan.
6.      Ningrat Kencana (Dewa Niskala) 1475-1484 M
Sering disebu Prabu Anggalarang dalam babad cirebon dan berselisih dengan kakaknya susuk tunggal Raja Sunda berpusat di Bogor.


Penguasa dan Bupati Kawali

1.      Prabu Jayadiningrat (1484-1528)
Saudara Prabu siliwangi sepeninggal beliau Kawali diberikan kepada adiknya tapi tidak seibu sedangkan adik yang satu lagi bernama Kusumalaya/anjar kutamanggu memilih pergi ke talaga untuk menolong putri talaga yang bernama sibarkencana yang bingung karena ayanya talaga Manggung ada yang membunuh
2.      Pangeran Dungkut (lungkut) 1528-1575 M
Putra raja kuningan yang bernama Lanangbuana bersaudara dengan putri Mayang Kuning dan Masang Sari. Menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti Jayaningrat setelah menyerbu Cirebon tetapi kalah di medan perang Gunung Gundul Palimanan.
3.      Pangeran Bangsit (1575-1592 M)
Disebut juga Mas Palembang, putra Pangeran Dungkrut, beranak 2 yaitu Endang Satwika dan Mahadikusumah yang melanjutkan pemerintahan menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama islam di kawali.
4.      Pangeran Mahadikusumah/Apun di Anjung
Putra Pangeran Bangsit. Putri pertama Adi Dampal kedua Apun Emas istrinya Hariang Natabaya putri ketiga Tanduran di Anjung.
5.      Pangeras Usman
Menikah dengan putri Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah). Pangeran Usman punya ide agar tempat pemujaan hindu yaitu situs kawali di jadikan pemakaman beliau dan beliau yang pertama di makamkan di situs kawali. Kemudian diteruskan oleh Adipati Singacala yang membongkar punden berundak untuk dijadikan makam sehingga terkenal dengan “Sanghyang Lingga Hyang”
6.      Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M)
Putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit menjadi menantu Pangeran Usman karena menikah dengan Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman.
Beranak 3. 1. Satia Meta 2. Bayu Nagasari 3. Nyi Mas Bumi
Mulai saat ini sebutan Pangeran di ganti dengan sebutan Dalem, karena Kawali sudah berbentuk kabupaten. Dimakamkan situs Kawali atas keinginanya agar Punden Berundak tampat pemujaan hindu dibongkar dan dijadikan makamnya.
Sehingga orang datang ke situs kawali bukan memuja kepada berhala tapi datang ke makam beliau, inilah salah satu taktik penyebaran islam di daerah Kawali yang di dorong oleh mertuanya, sehingga di kenal dengan Astana Gede.

Prasasti

Situs Astana Gede di Kawali. Letak persisnya di kaki Gunung Sawal di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, sekitar 27 km di utara ibukota Kabupaten Ciamis. Dalam kompleks situs seluas 5 hektar ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah berupa punden berundak, menhir, prasasti, dan makam-makam kuno bercorak Islam.

Keberadaan situs ini ‘ditemukan’ oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang kemudian membukukan berbagai hasil penelitiannya di Pulau Jawa – termasuk tentang prasasti Kawali – dalam bukuHistory of Java (1817).

Sejumlah penelitian kemudian dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, di antaranya oleh Duymaer van Twist (juga seorang gubernur jenderal periode 1851-1856), Friederik (1855), K.F. Holle (1867), J. Noorduyn (1888), Pleyte (1911), dan de Haan (1912). Penelitian oleh bangsa Indonesia di antaranya oleh Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990).

Berdasarkan prasasti (tanpa angka tahun) yang bertuliskan aksara dan bahasa Sunda kuno itu dapat diketahui tentang seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) yang berkedudukan di Kawali dengan keratonnya yang dinamakan Surawisesa. Kompleks situs Kawali ini berada tidak jauh dari lokasi Alun-alun Keraton Surawisesa dahulu.

Selain peninggalan Niskala Wastu Kancana, situs Kawali juga memiliki peninggalan berupa sebuah kolam kecil berukuran sekitar 10 meter persegi.  Kolam kecil ini sebetulnya merupakan sumber mata air yang bernama Cikawali. Konon dari nama kolam inilah nama daerah Kawali berasal. Ada juga sebuah menhir dengan tinggi sekitar 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm.

Berdampingan dengan menhir ini terdapat lumpang batu berbentuk segitiga. Jenis batu pada menhir ini konon hanya ditemukan di dua tempat saja di Jawa Barat, satu lainnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. Warga setempat menyebut menhir ini dengan nama Batu Pangeunteungan. Sejumlah menhir lainnya terserak secara acak di kawasan ini, sebagian sudah disusun kembali hingga menyerupai bentuk nisan, sebagian lainnya mungkin sudah hilang.

Peninggalan bercorak Islam dapat ditemukan pada makam Raja Kawali, Adipati Singacala (1643-1718), yang terletak di puncak punden berundak di tengah kompleks situs. Panjang makam ini 294 cm. Selain itu, masih ada sekitar 10 makam lainnya yang tersebar di situs ini.

Berikut ini tentang enam prasasti dan keterangannya serta situs lainnya

Prasasti Kawali I
Terbentuk dari bahan batu andesit, bentuknya segi empat tidak beraturan, letak melintang dari arah utara ke selatan, bidang tulisan terbagi atas 10 garis yang digoreskan secara sejajar dengan jarak antara 6 – 7 cm. Dalamnya goresan 3 – 4 mm.

Isi
Nihan Tapa Wa lar nu si ya mulia tapa ( k ) bhana parebu raja wastu mangadeg de kuta kawali nu mahayuna kadatuan surawisesa nu marigi sa kuliling dayoh nu najur sakala desa aya ma nu pandori pakena gawe rahayu pakon hobol jaya di buwana.

Terjemahan
Inilah tanda bekas beliau yang mulia prabu raja wastu yang memerintah di kota kawali yang memperindah keraton surawisesa, yang membuat parit sekeliling ibu kota yang memakmurkan seluruh desa semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.

Prasasti Kawali II
Bentuknya menyerupai sandaran arca, segi lima beraturan, ukuran tinggi 115 cm, lebar bawah 70 cm.

Isi
Aya manu nosi gya kawali ini pakena kerta bener pakon na ( n ) jor na juritan.

Terjemahan
Semoga ada yang menghuni dayeuh kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.

Prasasti kawali II berisi suatu harapan untuk orang – orang yang mendiami daerah kawali yang karena keamanannya merupakan suatu syarat untuk menang dalam peperangan.

Prasasti Kawali III
Berbentuk segi lima tidak beraturan, letaknya melintang ke arah selatan – utara dengan ukuran panjang kanan 75 cm, panjang kiri 55 cm, lebar bawah 60 cm, lebar atas 113 cm, lebar tengah 111 cm pada bidang atas terdapat tulisan dan tanda – tanda yang terdiri atas sepanjang kaki dan telapak tangan kiri, di atas telapak tangan dan kaki terdapat goresan – goresan dan ada tulisan di sebelah kiri bidang – bidang persegi berbunyi angana ada juga yang mengartikannya dengan angana artinya sendiri. Namun ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa tulisan itu di artikan datang, menghampiri.

Ada pendapat yang mengemukakan bahwa tempat itu merupakan tempat wastu kencana dalam merenungi dirinya. Hal ini sejalan dengan arti tulisan anggana artinya sendiri.

Batu tapak merupakan tempat kegiatan wastu kencana melakukan tafakur, sebagaimana yang selalu di perintahkan oleh Bunisora Suradipati. Sementara itu lambang kotak – kotak pada batu tapak tersebut ada yang mengartikan sebagai perlambangan, diartikan lima buah segi empat / kotak yang letaknya sejajar diartikan sebagai panca indera. Sedangkan kesembilan bidang segi empat yang letaknya melintang di artikan sebagai lubang – lubang yang ada pada tubuh manusia.pendapat lain mengemukakan bahwa kotak – kotak pada batu prasasti III ini merupakan sebuah kalender / kolenjer yang digunakan untuk menghitung hari yang dianggap baik. Sedangkan telapak kaki dan tangan diartikan sebagai kekuasaan.

Prasasti IV
Letak prasasti iniberupa batu yang terdiri tegak dengan bagian bawahnya masuk ke dalam tanah. Tingginya dari permukaan 120 cm. Aksara yang digoreskan sebanyak 6 buah yang menjadi 6 baris.
Transkripsi       : Sang hyang Lingga Hiyang
Terjemahan      : Sang hiyang lingga Hiyang

Menurut Dirman Surachmat, mungkin lingga perwujudan dari arwah nenek moyang. Meurut cerita rakyat, batu tersebut disebut pula sebagai batu penyandungan yang digunakan sebagai alat untuk mengukur perasaan bagaimana pusingnya nyandung ( berisi lebih dari satu ) kalau tidak sanggup, pusingnya sama dengan mengelilingi batu itu sebanyak 7 keliling sambil tidak bernafas. Oleh sebab itu jangan coba – coba beristri lebih dari satu kalau seandainya tidak mampu, sebab hanya akan memusingkan diri sendiri.

Prasasti V
Berbentuk menhir tingginya sama dengan prasasti IV hanya sedikit lebih langsing dan lebih lonjong. Agak condong ke belakang dan bagian yang masuk ke dalam tanahnya lebih dalam.
Transkripsi       : Sanghyang lingga bimba
Terjemahan      : Sanghyang lingga bimba

Menurut cerita rakyat, batu menhir yang bertuliskan sanghyang lingga bimba ini disebut sebagai batu panyandaan ( tempat bersandar setelah melahirkan selama empat puluh hari ). Tujuannya adalah agar orang yang melahirkan tersebut segera pulih kembali.

Prasasti VI
Prasasti ke – 6 merupakan prasasti yang baru ditemukan setelah berselang hampir 200 tahun, yang kebetulan penemunya adalah kuncen  saat ini yakni Bapak Sofar Pada tahun 1995 di kedalaman 50 – 60 cm.

. Prasasti ini sama seperti prasasti yang lainnya ditulis dalam huruf sunda kuno banyaknya 6 baris tetapi tidak memiliki angka tahun, bentuknya segi empat tidak beraturan, ukuran panjang 72 cm, lebar 62 cm, letaknya tidak jauh dari lokasi prasasti I jaraknya 4 meter ke arah utara. Berikut adalah isi ( tulisan ) prasasti VI :

“ ini perti ( n ) gal nu atis –ti rasa ayama nu nosi dayoh iwo ulah batenga bisi kakereh ”

Terjemahan : “ ini pening –galan dari orang berilmu semoga ada yang menghuni kota ini jangan banyak tingkah bisa celaka ”.

Batu Palinggih ( Pamuruyan )

Terletak 6 meter sebelah barat daya pintu masuk, berbentuk batu datar dan berimpit. Di  sebelah selatan berdiri lempengan batu datar dengan tinggi sisi kanan 94 cm,sisi kiri 88 cm, lebar sisi bawah 40 cm, lebar sisi atas 57 cm.

Masyarakat menyebutnya sebagai batu kursi, mungkin karena bentuknya seperti kursi, ada pula yang menyebutnya sebagai batu pamuruyan yang digunakan sebagai tempat menyimpan sesajen ( pada zaman dulu ). Pendapat lain mengemukakan bahwa batu Palinggih tersebut dulunya digunakan sebagai tempat pelantikan raja.

Menhir adalah salah satu peninggalan sejarah berbentuk batu, dan diantara peninggalan – peninggalan ini memiliki 2 menhir.

Menhir. I
Letaknya 4 meter dari batu tapak. Menhir ini berukuran tinggi 70 cm, lebar 24cm, tebal 16 cm, sedangkan di sisi utara berbentuk polos dengan lebar sisi bawah 30 cm, tinggi 50 cm.

Menhir. II
Terletak 4 meter di sebelah tenggara menhir I, terbuat dari batu andesit yang berbentuk batu berdiri dengan ukuran tinggi 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm. Menempel di sisi utara berupa lumpang batu berpenampang segi tiga.

Ukuran sisi bawah 22 x 22 cm, bagian mulutnya 35 x 35 cm. Ada keistimewaan dari lumpang batu ini, yaitu memiliki kemampuan menyerap air dari dalam tanah, sehingga airnya tidak pernah surut. Jenis batu ini baru ada dua yang berhasil ditemukan di Jawa Barat, yaitu di Astana Gede Kawali dan si situs Gunung Sembung Cirebon. Menurut cerita rakyat batu ini disebut sebagai batu pangeunteungan tempat bercermin. Arti filsafat dari cermin / ngeunteung ini adalah bahwa kita harus senantiasa bercermin pada diri sendiri, jangan sampai lupa diri.

Mata Air Cikawali

Kawali ialah kolam kecil yang luasnya antara 9 – 10 meter persegi, kolam ini merupakan sumber mata air yang tidak pernah kering sepanjang tahun termasuk ketika musim kemarau, letak kolam ini berada di sebelah barat, jaraknya 300 meter dari kompleks Astana Gede.

Diceritakan bahwa asal mula mata air cikawali ini adalah berawal dari peristiwa Ajar Sukaresi ketika kesaktiannya diuji oleh Bondan serang Raja Galuh. Pada suatu hari Bondan memanggil Ajar Sukaresi ke kraton dan Bondan sengaja mendandani istrinya dengan cara menyimpan kuali di perut Naganingrum dengan maksud agar dikira mengandung kemudian Ajar Sukaresi disuruh untuk menerka apakah bayi yang dikandung oleh Naganingrum itu bayi laki – laki atau perempuan. Kemudian Ajar Sukaresi menerka bahwa bayi yang ada dalam kandungan Naganingrum adalah bayi laki – laki. Tiba – tiba Bondan tertawa dan mengejek Ajar Sukaresi, Bondan mengatakan bahwa Ajar tertipu, dan Naganingrum tidak sedang mengandung yang diperutnya hanya kuali. Namun Ajar Sukaresi menyuruh membuka perut Naganingrum, lalu Bondan membukanya dan ternyata benar Naganingrum sedang mengandung, lalu kuali itu ditendang oleh Bondan jauh sekali sampai di selapanjang lalu tempat jatuhnya kuali itu sekarang dinamakan Balong Kawali atau mata air kawali.  

Makam yang ada di Astana Gede Kawali

1.      Makam Adipati Singacala
Terletak pada puncak pundek berundak, panjangnya 294 cm.
2.      Makam Anjung Sari
Anjung sari merupakan Istri dari Adipati Singacala
3.      Makam Baya Nagasari
Merupakan putra dari Adipati Singa Cala
4.      Makam Pangeran Usman
Makam Pangeran Usman hanya diberi tanda Batu, dan Panjangnya sekitar 5 M.
5.      Makam Cakra Kusumah
Yaitu pengajar Al-Qur’an pada zaman Adipati Singacala
6.      Makam Eyang Sancang, adalah petugas keamanan zaman Adipati Singacala.
7.      Makam Satya Meta (Darma Wulan)
8.      Makam Angga Direja (Kuncen Astana Gede ke- 1)
9.      Makam Yuda Praja (Kuncen Astana Gede ke-3)
10.  Makam Sacapraja (Kuncen Astana Gede Ke-4)
11.  Makam Sang surya Wiradikusumah

Sekelumit tentang Masuknya Islam di Kawali

Penyusun sadar, bahwa tujuan observasi ini pada intinya ialah lebih dititik beratkan mengenai perkembangan masuknya agama Islam di wilayah Kawali. Akan tetapi, hasil yang kami peroleh baik dari nara sumber yakni Bapak Sofar “Kuncen sekaligus penemu prasasti ke VI” beliau menuturkan bahwa “mengenai proses masuknya Islam di Kawali, belum diketahui secara pasti, dan masih disesilik mengenai kepastiannya” Akan tetapi tutur beliau pula, yang menjadi catatan sejarah, bahwa masuknya Islam di wilayah Kawali ini khususnya, penyebarnya itu ialah Pangeran Utsman yang tadi kita lihat makamnya yang ukurannya panjang sekitar 5m. Itu menggambarkan batapa besarnya jasa beliau terutama dalam menyebarkan Islam, dan mungkin pula pada watu itu masih ada orang yang berdedeg tinggi seukuran tersebut.

Pangeran Usman adalah utusan Cirebon yang bertugas menyebarkan Islam di Kawali dan didukung oleh Adipati Singacala, Raja Kawali.


PERISTIWA PERANG BUBAT/PASUNDAN BUBAT

Peristiwa bubat terjadi ketika masa pemerintahan Prabu Maharaja Lingabuwana raja Sunda-Galuh ke-24. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh sumpah palapa Mahapatih Gajah Mada, yang berhasrat menaklukan raja-raja se-Nusantara. Isi sumpah palapa tersebut adalah, “kalau sudah mengalahkan nusantara, akan makan palapa. Kalau dapat mengalahkan, seram, tanjung pura, Haru, Palang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku akan makan palapa”.

Pada waktu itu kerajaan Sunda-Galuh tidak takluk kepada Majapahit, oleh sebab itu dengan segala daya upaya Mahapatih Gajah Mada ingin sekali menaklukannya namun tak kunjung berhasil.

Ada peristiwa di luar dugaan Gajah Mada, pada waktu itu Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk mencintai wanita sunda yaitu putri Diah Pitaloka Putri dari Linggabuana Raja Sunda-Galuh ke-24 yang belum berhasil ditaklukan Kerajaan Majapahit, namun Hayam Wuruk berniat mempersuntingnya.

Dalam kidung sunda disebutkan bahwa, Raja Daha, dan Raja Kahuripan bertanya kepada Hayam Wuruk tentang perasaannya kepada Putri Sunda. Raja Majapahit menjawab, Hamba sudah berketetapan hati tentang gambar sang putri jelita, apabila ada yang menghalangi, ia akan menjadi musuhku, lawanku berperang, apabila aku mati, ia pun akan menemaniku.

Semua pembesar Kerjaan setuju dengan keinginan Raja, seperti: Para Mentri dan Para pembesar kerajaan lainnya, namun Gajah Mada tidak setuju sekali. Semua orang menjadi heran, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa demikian pula penjaga dan pelayan peribadi Raja. Mereka semua tegang dan merasa tercekam dan bertanya-tanya dalam hatinya masing-masing, apa gerangan yang dikehendaki oleh Mahapatih Gajah Mada.

Sang Patih Gajah Mada ternyata mempunyai pandangan sendiri tentang kebijakan negaranya, ia mengemukakan alasan-alasannya kepada Hayam Wuruk, bahwa rencana raja Sunda pergi ke bubat hanya akan menyulitkan Majapahit dan menurunkan wibawa Raja oleh sebab itu Gajah Mada yang akan pergi sendiri ke Bubat untuk menyampaikan Raja Sunda. Semula Hayam Wuruk tidak setuju, tetapi ia tidak mau berselisih paham dan akhirnya saran Gajah Mada diterimanya.

Gajah Mada meneruskan keterangan tentang kebijakan kerajaan kepada Raja Majapahit, dan kemungkinan-kemungkinan tindakan pihak Raja Sunda yang dapat merugikan Majapahit yaitu, Gajah Mada takut kehilangan wibawa terutama citra Majapahit karena raja sunda tidak mau takluk kepadanya.

Sementara itu raja Majapahit tidak paham akan siasat buruk yang dilakukan oleh  Gajah Mada. Oleh sebab itu ia mengikuti saran Gajah Mada untuk menunggu utasan dari Bubat datang ke Majapahit sekitar empat atau lima hari lagi.

Berita bahwa Gajah Mada tidak setuju apabila Raja Majapahit datang ke Bubat, sampai juga ke pihak Sunda. Akhirnya raja Sunda mengirimkan empat orang utusan dibawah pimpinan Patih Rakean Manti Unus. Ketika utusan bertemu dengan Patih Gajah Mada, terjadilah perselisihan. Sementara itu pendeta istana berusaha melerai pertengkaran itu, tetapi tidak berhasil.

Mereka saling menuduh, seperti tertera dalam “Kidung Sunda”. Patih Rakean Mantri Unus menjawab perkataan pendeta, hamba menjunjung kata-kata sang pendeta, seperti air hidup menyegarkan badan putra. Tuanku sang pendeta, tujuan raja ke Jawa untuk mengantarkan putri karena ingin membesarkan hati menantu, yaitu sang raja ini, namun patih Gajah Mada hanya menimbulkan perpecahan. Patih Gajah Mada tidak menerima tuduhan itu.

Akhirnya peperangan tak terelakan lagi, peperangan antara pihak Sunda dan Majapahit. Raja Sunda tidak mau menyerahkan putrinya sebagai persembahan, dan lebih baik gugur dengan cara terhormat. Disuruhnya istrin dan putrinya pulang ke Sunda, tapi mereka tidak mau.

Persiapan perang sudah sangat ramai. Pasukan Sunda sudah siap, demikian pula pasukan Majapahit. Sementara itu Gajah Mada mengusulkan kepada Raja Hayam Wuruk untuk mengirimkan utusan ke Raja Sunda di Bubat.

Mungkin mereka takut berperang dan mati, hal itu dapat dihindari dengan jalan mempersembahkan putri raja sebagai tanda takluk kepada Rasja Sunda.

Hal ini ditolak mentah-mentah oleh Raja Sunda, malahan menentang raja Majapahit untuk segera ke Bubat.

Setelah utusan Majapahit melaporkan hal ini kepada Raja Hayam Wuruk, maka Raja sangat marah dan menyuruh Mentri-mentrinya untuk bersiap-siap menggempur pihak Sunda, tetapi di cegah oleh Gajah Mada, mereka harus menyusun siasat terlebih dahulu.

Siasat pertama Gajah Mada tidak berhasil, banyak pihak Majapahit yang mengalami kekalahan. Namun setelah Gajah Mada sendiri terjun ke dalam peperangan ia berhasil membunuh Patih Anepaken, maka setelah itu perkelahian terjadi satu lawan satu. Pasukan Sunda akhirnya kalah dan hancur begitupun Raja Sunda.

Ia di bela oleh putrinya dan permaisurinya yang bunuh diri karena ingin mengikuti ayah dan suaminya ke alam baka.

Korban dari Sunda 93 orang sedang dari pihak Majapahit sebanyak 3748 orang, Gajah yang mati 14 ekor sedang kuda 27 ekor dan ini terjadi pada tahun 1357 M.

Setelah perang berakhir dan semua pihak dari Sunda telah gugur, Raja Majapahit menjadi sangat terpukul dan menderita. Ia sangat meratapi putri sunda, sampai akhirnya ia jatuh sakit dan wafat.

Raja Daha, Raja Kahuripan dan Pendeta-pendeta istana mengadakan pembicaraan dengan maksud untuk menilai kembali apa yang menyebabkan malapetaka di Majaphit disebabkan karena ulah Patih Gajah Mada.

Akhirnya semua berunding untuk menggempur dan mengepung Gajah Mada di kediamannya yang megah, karena Patih Gajah Mada terkenala sebagai hartawan. Ketika sampai dikediaman Gajah Mada pasukan Majapahit segera mengepungnya. Gajah Mada telah tahu saat kepergiannya telah tiba, kemudian ia menampakan diri berdiri di halaman setelah itu lalu menghilang entah kemana.  

Pesona Kawali

“Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun (UU No.5 tahun 1992).Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang”.

Pada saat ini Kawali hanyalah sebuah kota kecamatan, tetapi keberadaannya telah terukir dalam sejarah sejajar dengan kota Bogor sebagai ibu kota kerajaan Padjadjaran.Di Cagar Budaya Astana Gede terdapat peninggalan sejarah yaitu berupa prasasti,yang merupakan cikal bakal kerajaan pajajaran yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kencana. Astana Gede Kawali dikenal sebagai komplek peninggalan sejarah dan budaya masa Iampau, yaitu pada masa kerajaan Galuh sekitar abad ke-13 Masehi. Pesona dari Cagar Budaya Astana Gede Kawali ini mulai dilirik dan dikelola oleh BP3 Banten tahun1985.

Astana Gede Kawali merupakan pusat pemerintahan kerajaan Sunda-Galuh.Raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa,yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding,kemudian Prabu Ragamulya atau Aki Kolot,setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat,Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana. Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada sebelah utara atau 27 km dari ibukota Kabupaten Ciamis,yakni di Dusun lndrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Apabila ditempuh dengan kendaraan baik motor ataupun mobil lamanya sekitar 45 menit.Keadaan jalan cukup baik karena sudah mengalami pengaspalan,sehingga tidak sulit dijangkau.


Konsep Tentang Jagad Raya Dalam Lontar Sunda

Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli, Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.

Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.
Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.

Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi, seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.

Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya berbeda.

Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam. 
Dalam ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam cenderung didasarkan pada urutan kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). Alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala). 

Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu 
(1) kembali ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan 
(2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).

Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan. Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam dunia.

Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi derajatnya.

Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan pertanyaan, “Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?” (Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).

Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala), 

“Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita,” 

(Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat mahapandita).

Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa, 

“Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa.” 

(Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).

Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.

Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.

Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.
Nasihat pendeta utama yang lain adalah 

“Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk ngajalanan,” 

(Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang). 
Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).

Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.

Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan, kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri. Rumusannya adalah, 

“Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap aing.” 

(Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlalu berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).

“Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen.” 

(Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).

Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga, 

“Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati tan hana urip.” 

(Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).

Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri dengan ciri-cirinya,
 
“Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata.” 

(Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).

Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika, 

“Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui.” 

(Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).

Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...