Selasa, 24 November 2020

Perang Shiffin Sebagai Awal Fitnah Perpecahan


Perang Shiffin (Arab: وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak diSyria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 Hijriah.

Perang Shiffin telah dikabarkan Rasulullah n dalam sabdanya,

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ

“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah” dari sahabat Abu Hurairah)

Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana diterangkan oleh para ulama—adalah sahabat Ali bersama barisannya dari penduduk Irak dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan  bersama barisannya dari penduduk Syam.

1- Berita gaib dari Rasulullah n ini benar-benar terwujud sebagai salah satu mukjizat beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat para sahabat masih hidup).
2- Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di tepian sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang antara penduduk Irak di barisan sahabat yang mulia Sayidina  Ali bin Abi Thalib dan penduduk Syam di barisan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah kaum muslimin yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin, bahkan dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara Shiffin. Semoga Alloh merahmati mereka.

Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimunculkan pula dari sebuah peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum muslimin itu dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela generasi terbaik, tanpa memahaminya dengan pemahaman salaful ummah.

Mereka menuduh Mu’awiyah  berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi Thalib  dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali dan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali dan kaum Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah pemberontak sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?

Sejarah fitnah dari kaum Munafik terhadap Kholifah

Ketika terjadi fitnah pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra., Abdulah
bin Saba’ (seorang yahudi yang pura-pura masuk islam) dan kaumnya mendatangi Ali bin Abi Thalib ra. dan kemudian memprovokasinya untuk menggantikan Utsman bin Affan ra. Namun Ali bin Abi Thalib ra. menolak provokasi tersebut bahkan kemudian membunuh sebagian pengikut
Abdullah bin Saba’ namun Abdullah bin Saba’ sendiri berhasil melarikan ke Mesir.

Ketika berada di Mesir dia bertemu dengan beberapa kaum munafiquun untuk merencanakan suatu makar yang hebat. Kemudian dengan pengaruhnya, Abdullah bin Saba’ berhasil membuat opini tentang keburukan pemerintahan Utsman bin Affan ra di Madinah. sehingga beberapa orang kaum muslimin terpengaruh oleh cerita yang‎ disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ tersebut.

Setelah dirasakan banyak kaum muslimin yang terpengaruh olehnya maka Abdullah bin Saba’ berangkat ke madinah beserta rombongannya menuju Madinah. Sesampainya di Madinah Abdullah bin Saba’ dan rombongannya membuat fitnah yang besar terhadap Khalifah Utsman bin Affan.

Saking hebatnya fitnah itu karena juga disebarkan oleh rombongan Abdullah bin Saba’ yang besar jumlahnya maka sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum terpengaruh oleh ucapan kaum munafiquun tersebut sampai – sampai putra Khalifah pertama yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq mendatangi Khalifah Utsman bin Affan ra. dengan marah dan menarik jenggotnya.

Dan pada puncaknya kaum munafiquun dan sebagian kaum muslimin yang baik yang terprovokasi oleh ucapan Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya mengepung rumah Khalifah Utsman bin Affan ra. kemudian membunuhnya.

Setelah meninggalnya Sayidina  Utsman bin Affan ra. maka kaum munafiquun dan sebagian sahabat serta kaum muslimin yang lain membai’at Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah berikut. Kemudian munculah fitnah yang menyebabkan sahabat terpecah belah yaitu tentang hukuman bagi para pembunuh Sayidina  Utsman bin Affan ra.

Sahabat radhiyallahu’anhum terpecah menjadi 2 kubu yaitu kubu Ali bin Abi Thalib ra. dan kubu ‘Aisyah ra., Mu’awiyyah ra., Thalhah ra., Zubair ra dan lainnya.
Kubu ‘Aisyah ra dan sahabat lainnya menuntut disegerakannya hukuman qishas bagi pembunuh Utsman bin Affan ra. Namun Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. menundanya karena 2 ijtihad, pertama negara dalam keadaan kacau sehingga perlu ditertibkan dahulu dan yang kedua pembunuh Sayidina Utsman bin Affan ra. sebagian adalah munafiquun dan sebagian lagi kaum muslimin yang baik yang termakan provokasi, maka Ali bin Abi Thalib ra. membutuhkan kepastiannya.


Namun ‘Aisyiah ra., Thalhah ra., Zubair ra., dan sahabat nabi yang lain tetap
pada ijtihadnya yaitu menuntut Ali bin Abi Thalib ra untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra.

Akhirnya setelah masing – masing sahabat Nabi tersebut membawa pasukan dan siap untuk berperang, lalu kemudian Ali bin Abi Thalib ra. sepakat dengan pihak ‘Aisyah ra. dan menyetujui untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra. Rupanya kesepakatan Ali dengan kubu ‘Aisyah ra. membuat gerah kaum munafiquun yang dipimpin oleh Abdullah bi Saba’

Pada malam harinya (Perang Jamal berlangsung pada malam hari) kaum munafiquun menyusup ke barisan sahabat Thalhah ra. dan Zubair ra. dan melakukan penyerangan mendadak. Karena merasa diserang maka kubu Thalhah ra. dan Zubair ra. Balas menyerang ke pasukan Ali bin Abi Thalib ra dan perang besar pun tak terhindarkan. Perang ini disebut Perang Jamal dan berakhir dengan kemenangan Ali bin Abi Thalib ra. dan meninggalnya 2 orang sahabat yang dijamin masuk surga yaitu Thalhah ra. dan Zubair ra.

Sahabat Mu’awiyyah ra. yang pada waktu itu masih menjadi Gubernur di Damaskus menggerakan pasukannya menuju Madinah dengan tuntutan yang sama yaitu menyegerakan mengqishas pembunuh Utsman bin Affan ra.

Karena keadaan yang semakin kacau Ali bin Abi Thalib ra. tidak dapat memenuhi
tuntutan tersebut lalu terjadilah perang yang berikutnya yang dikenal dengan
nama Perang Shiffin yang berakhir dengan gencatan senjata meskipun pada waktu itu Ali bin Abi Thalib ra. hampir memenangkan pertempuran tersebut. Lalu Mu’awiyyah ra. kembali ke Damaskus dan tetap menolak membaiat Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah (Lalu sebagian kaum muslimin membai’at Muawiyyah ra. sebagai Amirul Mukminin)

Dan pada itu negara Islam terbagi 2 yaitu Ali bin Abi Thalib ra di Madinah dan Mua’wiyyah ra. di Damaskus. Pada kondisi tersebut ada sebagian kecil kaum muslimin yang tidak puas kepada keduanya, dan kaum muslimin yang tidak puas kepada Ali ra. dan Mu’awiyyah ra. mereka membentuk firqah baru (inilah firqah pertama dalam Islam, disusul Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyyah, Qadariyyah, Jabariyyah dan lain sebagainya) yang disebut sebagai Khawarij dan mereka mengkafirkan kedua sahabat nabi tersebut.

Lalu kaum Khawarij mengutus pembunuh kepada keduanya, namun qadarullah hanya Ali bin Abi Thalib ra yang terbunuh, sedangkan percobaan pembunuhan terhadap Mu’awiyyah ra. dapat digagalkan.

Kaedah Penting tentang Perselisihan para Sahabat

Disini terdipat tiga hal yang telah disepakati oleh ahlu ilmi dan ahlu tahqiq dari kalangan Ahlussunnah yang mengcounter usaha pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh orang-orang sesat tentang perpecahan yang terjadi di zaman zahabat tentang khilafah Ali,

Pertama, Perselisihan yang terjadi antara mereka bukanlah dalam hal khilafah, tidak ada seorangpun diantara orang yang berbeda pendapat dengan Ali menyerang otoritas kekhilafahannya dan bahkan tak seorang pun mengklaim dirinya lebih berhak menyandang khilafah daripada Ali.

Kedua, Perbedaan mereka hanyalah pada apakah mengqishah para pembunuh Utsman itu disegerakan atau ditunda terlebih dahulu, namun mereka semua sepakat bahwa hal itu harus ditunaikan.

Ketiga, Meskipun mereka berselisih, tak seorangpun diantara mereka mencela kualitas keagamaan masing-masing dari mereka. Setiap pihak melihat dirinya sebagai seorang mujtahid dengan mengakui keutamaan masing-masing dalam agama Islam dan persahabatan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ketiga poin ini diindikasikan oleh riwayat-riwayat yang shahih. Diantaranya riwayat yang menjelaskan hakikat perbedaan antara sahabat yang melepaskan mereka dari tuduhan orang Syiah dan zindik. 
Ketiga poin ini merupakan perkara yang paling penting untuk membantah orang Syiah dan zindiq tersebut. Seorang penuntut ilmu syar’i hendaknya mempelajari hal ini beserta dalil-dalilnya. Kepada pembaca kami paparkan dalil-dalil tentang itu,

Kaedah Pertama, perselisihan yang terjadi antara mereka tidak terkait dengan khilafah, tak seorang pun diantara orang yang menyelisihi Ali ingin merebut kekhilfahan itu, bahkan tidak ada yang mengklaim bahwa dirinya lebih mulia dari Ali.

Dalil terkuatnya adalah persetujuan semua sahabat untuk membaiat Ali radhiyallahu anhusetelah terbunuhnya Utsman, yang diantara mereka ada Thalhah dan Zubair. Dalil tentang itu merupakan dalil yang shahih.
Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tarikh­nya dari Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Ali bin Abu Thalib), ia berkata, “Dulu saya bersama ayahku ketika Utsman dibunuh, ia berdiri dan masuk ke dalam rumahnya. Beliau juga didatangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka berkata, ‘Sesungguhnya beliau (Utsman) ini telah dibunuh dan manusia butuh seorang Imam, dan kami tidak mendapati seorangpun yang lebih berhak memegang jabatan ini, tidak ada yang lebih dahulu dari as-sabiqun al-awwalun dan tidak ada yang lebih dekat dari Rasulullah kecuali engkau’, beliau menjawab, ‘Jangan kalian lakukan itu, saya menjadi wazir lebih baik daripada saya menjadi amir’ mereka balik menanggapi, ‘Tidak, Demi Allah, kami tidak akan lakukan itu hingga kami membaiatmu’, Ali kembali menjawab, ‘Kalau begitu di Masjid. Jangan sampai baiatku ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh juga terjadi kecuali atas keridhaan kaum Muslimin’.
Salim bin al-Ja’d berkata, Abdullah bin Abbas berkata, ‘Saya tidak menyukai bila ia mendatangi Masjid, khawatir orang berbuat kerusuhan dan menentangnya, namun ia enggan kecuali dilakukan di Masjid, ketika ia masuk, seluruh sahabat Muhajirin dan Anshar juga masuk dan kemudian membaiatnya. Melihat itu manusia yang lain turut membaiatnya’.”

Dari Abu Basyir al-Ba’idi, ia berkata, “Ketika Utsman dibunuh saya berada di Madinah. Para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi Ali. Mereka berkata, ‘Wahai Abul Hasan, kemarilah kami baiat Anda’, ia menjawab, ‘Saya tidak menginginkan itu untuk mengurus kalian, tapi saya sama dengan kalian. Siapa yang kalian pilih saya ridha dengannya, demi Allah, pilihlah’ mereka balik menjawab, ‘Kami tidak akan memilih selainmu’.”

Riwayat tentang ini sangatlah banyak. Sebagiannya dinukil oleh Ibnu Jarir dalam tarikhnya. ‎Semua itu menunjukkan baiat sahabat terhadap Ali radhiyallahu anhu dan kesepakatan mereka termasuk Thalhah dan Zubair untuk membaiatnya sebagaimana yang terdapat pada riwayat-riwayat tadi secara gamblang.
Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair membaiat mereka secara terpaksa, tidak diragukan lagi bahwa ini tidaklah shahih. Riwayat yang shahih justru sebaliknya.

At-Thabari meriwayatkan dari Auf bin Abi Jamilah, ia berkata, “Saya bersaksi bahwa saya mendengar Muhammad bin Sirin berkata, sesungguhnya Ali mendatangi Thalhah dan berkata ‘Julurkanlah tanganmu wahai Thalhah, saya akan membaiatmu’ Thalhah menjawab, ‘Anda lebih berhak, Andalah amirul mukminin, julurkanlah tangan Anda’ Ali menjulurkan tangannya kemudian dibaiat oleh Thalhah”

Dari Abdu Khair bin al-Khaiwani ia menghadap Abu Musa, ia berkata, “Wahai Abu Musa, apakah dua orang ini –Thalhah dan Zubair- termasuk orang yang membaiat Ali?, ia menjawab, ‘Iya’."

Sebagaimana dalil ini menegaskan batilnya apa yang diklaim tentang keterpaksaan mereka berdua membaiat Ali, Imam al-Muhaqqiq, Ibnul Arabi menyebutkan bahwa ini juga tidak pantas bagi mereka berdua, tidak juga pantas bagi Ali, beliau berkata,
“Jika dikatakan bahwa mereka berdua –Thalhah dan Zubair- berbaiat secara terpaksa kami katakan, Demi Allah! Sungguh tidak mungkin Ali memaksa mereka berdua, mereka berbuat sesuai dengan apa yang mereka inginkan, jika seandainya mereka berdua terpaksa maka itupun tak berpengaruh. Karena dengan adanya satu atau dua orang yang membaiat sudah cukup dan siapa yang berbaiat setelah itu wajib mengikuti yang pertama, meskipun pada waktu itu dia terpaksa secara syar’i. Walaupun mereka berdua tidak berbaiat, itu tidak berpengaruh pada mereka dan tidak pula pada baiat kepada khalifah.

Adapun orang yang berkata bahwa tangan yang membaiat itu tangan lumpuh dan dengan sebab itu baiatnya tidak sempurna maka itu adalah prasangka dari orang yang berkata bahwa Thalhah merupakan orang yang pertama membaiat, padahal tidak seperti itu.

Jika disebut seperti itu maka Thalhah sendiri sudah mengatakan, “Saya sudah membaiat dengan ketetapan hati”, kami katakan, riwayat ini dilemahkan oleh orang yang ingin mengubah القفا menjadi قفى, sebagaimana الهوىdirubah menjadi هوي. Itu adalah bahasa Hudzail bukan bahasa orang Quraisy. ‎oleh sebab itu hal ini merupakan kebohongan yang tidak tertata.

Adapun perkataan mereka, “يد شلاء tangan yang lumpuh” kalaupun benar, tidak ada kaitan mereka padanya. Karena sebuah tangan dilumpuhkan dalam penjagaan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam namun Rasulullah menyempurnakan urusan tangan itu. Berlindung dengan tangan itu dari segala yang tidak disukai. Perkaranya pun selesai dan takdirpun dijalankan setelah itu menurut ketentuannya.”

Begitu juga dengan Muawiyah radhiyallahu anhu. Beberapa riwayat yang shahih menyebutkan bahwa perselisihannya dengan Ali radhiyallahu anhu hanya tentang mengqsishah pembunuh Utsman, Muawiyah tidak merongrong kekhilafahannya, bahkan sebaliknya beliau mengakuinya.

Dari Abu Muslimn al-Khaulani, beliau tiba sedang orang-orang yang bersamanya menuju Muawiyah, mereka berkata, “Anda merongrong Ali ataukah Anda bersikap seperti dia?”,Muawiyah menjawab, “Tidak! Demi Allah, sungguh saya tahu bahwa beliau lebih mulia dari saya. Lebih berhak memegang jabatan khilafah daripada saya, tapi bukankah kalian tahu bahwa Utsman dibunuh secara zalim, sedangkan saya sepupunya dan penuntut darahnya? Karena itu, datangilah beliau, katakan kepadanya agar segera menyerahkan pembunuh Utsman kepadaku, setelah itu saya tunduk padanya. Datangilah Ali, ajaklah beliau berbicara dengan kalian.” Namun Ali tidak menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya.

Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Dizil melalui sanadnya yang sampai ke Abu Darda’ dan Abu Umamah radhiyallahu anhum, “Mereka berdua menemui Muawiyah, ‘Wahai Muawiyah, atas alasan apa Anda memerangi lelaki ini (Ali)?, Demi Allah, beliau lebih dahulu masuk Islam daripada Anda dan ayah Anda, lebih dekat kepada Rasulullah daripada Anda, lebih berhak memegang tampuk kekhilafahan daripada Anda!’ Muawiyah menjawab, ‘Saya memeranginya karena menuntut darah Utsman karena beliau tidak mau mengqishah para pembunuh Utsman. Menghadaplah kalian berdua kepadanya dan katakan, ‘Segeralah tumpas para pembunuh Utsman’ niscaya saya adalah orang pertama yang membaiatnya dari penduduk Syam’.”

Riwayat tentang ini yang sangat masyhur di kalangan para ulama menunjukkan bahwa Muawiyah tidaklah merongrong kekhilafahan Ali radhiyallahu anhuma, karena itu para ahli tahqiq dari kalangan ahli ilmu menulis masalah ini dan menetapkan kesimpulan ini.

Imam al-Haramain, al-Juwaini berkata,“Sesungguhnya Muwaiyah, meskipun beliau memerangi Ali, tapi beliau tidaklah mengingkari imamahnya, dan tidak pula mengklaim imamah itu untuk dirinya. Yang beliau inginkan hanyalah menuntut para pembunuh Utsman dengan sangkaan bahwa ijtihad beliau benar, padahal salah.” 

Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Diantara keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah tentang peperangan-peperangan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhuma adalah bahwa Muawiyah tidak merongrong kekhilafahan Ali dengan adanya ijma’ bahwa ijtihad yang benar berada pada pihak Ali sebagaimana yang telah lalu. Olehnya, musibah perselisihan (peperangan) tersebut bukanlah disebabkan karena Muwaiyah ingin menuntut khilafah. Namun musibah perselisihan (peperangan) tersebut mencuat karena Muwaiyah dan orang-orang yang bersamanya menuntut Ali agar menyerahkan para pembunuh Utsman kepada mereka, dimana Muawiyah merupakan sepupu Utsman. Namun begitu, Ali tetap enggan.”

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata, “Muawiyah tidaklah mengklaim dirinya sebagai khalifah, tidak berbaiat kepada Ali ketika memeranginya, tidak memerangi Ali dengan anggapan bahwa dirinya seorang khalifah dan tidaklah pula beliau berhak sebagai khalifah. Justru beliau mengakui kekhilafahan Ali. Pengakuan Muawiyah terhadap kekhilafahan Ali diketahui oleh orang yang bertanya kepada beliau. Semua kelompok mengakui bahwa Muawiyah tidak sepadan dengan Ali untuk memegang kekhilafahan. Dan tidak boleh bagi Muawiyah menjadi khalifah meskipun peluang mengguling kekhilafahan Ali  terbuka. Karena keutamaan Ali dan tiga pendahulunya (Abu Bakar, Umar dan Utsman) dalam hal ilmu, agama, keberanian dan segala keutamaan bagi mereka itu jelas dan sangat dikenal.”

Dengan semua ini menjadi pastilah bahwa tidak seorang pun sahabat ingin merebut kekuasaan Ali radhiyallahu anhu baik yang menyelisihinya maupun selainnya. Dengan ini pula klaim orang Syiah ini  bahwa para sahabat saling berebut kekuasaan adalah batil, demikian juga tentang perpecahan umat.

Sikap Ahlus Sunnah dalam Perang Shiffin

Tidak diragukan, Perang Shiffin adalah ujian berat bagi kaum muslimin saat itu dan yang sesudahnya hingga hari kiamat.

Perang Shiffin, dalam tarikh Islam ibarat pedang bermata dua yang sangat tajam. Siapa yang berhati-hati memegangnya, ia akan selamat dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi, siapa yang gegabah dan menzalimi dirinya dalam mencerna dan menyikapinya, pedang itu akan berbalik menusuk dadanya, merobek jantungnya hingga dia terkapar, binasa, dan terempas badai fitnah sembari membawa kemurkaan Allah, Rabbul ‘Alamin.

Bagaimana seorang muslim menyikapi Perang Shiffin? Jawaban atas pertanyaan ini adalah: Wajib bagi seorang mukmin mengikuti bimbingan Rasulullah SAW dan menyusuri jejak para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam menyikapi fitnah Shiffin.

Allah berfirman,
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)

Ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menegaskan bahwa salah satu akidah yang dengannya seorang berbenteng dari terpaan fitnah adalah menahan diri membicarakan persengketaan yang terjadi di antara 
para sahabat.

Sesungguhnya, apa yang ditegaskan dan disepakati oleh salaf adalah bagian dari wasiat Rasulullah n dalam banyak sabda beliau. Di antaranya,
 
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
 
“Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri kalian (dari mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani  dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34]) 

Demikian pula sabda beliau,

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menandingi satu mud sedekah mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim)

Inilah adab yang diajarkan oleh Allah lkepada kita dalam bersikap terhadap para sahabat Rasulullah SAW. Kita tidak berkata tentang mereka selain kebaikan dan kita selalu mendoakan mereka.
Allah lberfirman,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)
Suatu saat, al-Imam Ahmad ditanya tentang apa yang terjadi antara dua sahabat mulia, Ali dan Mu’awiyah . Beliau pun menjawab dengan membacakan firman Allah.

“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 141)
Benar, mereka adalah kaum yang telah berlalu membawa amalan-amalan yang menyebabkan Allah l ridha. Mereka telah mencurahkan segala kemampuan untuk kebaikan Islam. Adapun kesalahan yang terjadi pada diri mereka adalah hal yang bisa terjadi, karena tidak ada seorang sahabat pun yang maksum. Hanya saja, Allah l telah mengampuni dan meridhai mereka semua.

Alasan Wajibnya Menahan Diri Membicarakan Fitnah antara Sahabat

Kewajiban menjaga diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat adalah prinsip Ahlus Sunnah yang sangat mendasar. Siapa yang melanggar prinsip ini, ia telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. 

Ada beberapa sebab yang mendasari kewajiban menahan diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat termasuk Perang Shiffin, peperangan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah di antaranya,


1. Rasulullah n memerintahkan kita untuk diam dan menahan diri ketika sahabat-sahabat Rasul SAW dibicarakan.


Rasulullah  bersabda,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا


“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])


2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi ketakwaan dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu maupun amal.

Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua kelompok yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah  kafir. Adapun Rafidhah mengafirkan Mu’awiyah. Padahal dengan tegas Rasulullah n menyifati kedua kelompok itu dengan keimanan. Demikian pula, salaf bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum muslimin. Perhatikan sabda beliau,
دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ

“Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin).” (HR. al-Bukhari)


3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan, seperti pencelaan terhadap para sahabat Rasul.

Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu, hendaknya pintu ini ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok syariat adalah saddu adz-dzari’ah, menutup jalan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan.

4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah disusupi kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan musuh-musuh Islam.
Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kenyataan ini tentu membuat seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh jadi, ia membangun sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas berita yang dusta atau lemah sehingga rusaklah agamanya.

5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari zaman kita. Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya dari fitnah yang terjadi, bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu 
secara detail.

Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan kemerdekaan misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh dari masa kita, tahun 60-an. Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa dengan detail adalah perkara yang rumit. Lalu apa pendapat Anda tentang sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas abad silam, dalam keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke dalamnya?

Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi dengan akidah yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu diikuti dengan melihat penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta selalu menimbang berita dengan timbangan dan kaidah ulama.

Akhir Peperangan

Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul n puluhan tahun silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”

Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Musa al-‘Asy’ari dari pihak Ali bin Abi Thalib. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih.

Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah. Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Ali bin Abi Thalib terus menyibukkan diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah n hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.

Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan  & Keutamaan Mu’awiyah 

Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji.8 Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali  menggantikan posisi ayahandanya.

Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yang sebelumnya berselisih.

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan. 

Terwujudlah berita Rasulullah  tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.
Al-Hasan  berkata,

وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَباَ بَكْرَةٍ قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ n يَخْطُبُ جَاءَ الْحَسَنُ، فَقَالَ النَبِيُّ n: إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، وَلَعَلَ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مَنْ الْمُسْلِمِينَ.

Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557)

Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah wan Nihayah 8/122)

Syubhat Terkait dengan Perdamaian al-Hasan bin Ali dan Mu’awiyah 

Lembaran tarikh yang sangat indah ini dikotori oleh para pendengki kebaikan dari kalangan Rafidhah dan yang semisalnya dengan tuduhan keji kepada al-Hasan. Mereka mengatakan bahwa al-Hasan terpaksa melakukan perdamaian karena dikhianati para pengikutnya. Digambarkan bahwa pasukan al-Hasan meninggalkan beliau sehingga terpaksa ia memberikan kekhilafahan kepada Mu’awiyah.

Tidak, demi Allah. Perdamaian yang diberikan oleh al-Hasan adalah karena kedalaman ilmu dan ketakwaan beliau yang luar biasa. Ilmu dan ketakwaan seorang yang telah ditetapkan sebagai pemimpin para pemuda surga.
Beliau memberikan perdamaian untuk menjaga darah kaum muslimin dan untuk meninggikan kalimat Allah, bukan karena takut. Terwujudlah sabda Rasul  bahwa al-Hasan adalah sayyid (pemuka).

Riwayat al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak mempertegas keadaan sesungguhnya dari perdamaian al-Hasan dengan Mu’awiyah. Al-Hasan  berkata,

قَدْ كَانَ جَمَاجِمُ الْعَرَبِ فِي يَدِي يُحَارِبُونَ مَنْ حَارَبْتُ وَيُسَالِمُونَ مَنْ سَالَمْتُ، تَرَكْتُهَا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى وَحَقْنَ دِمَاءِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ 

“Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang yang ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan kepada orang yang aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi mengharap wajah Allah dan mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad ….” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini sahih menurut syarat Syaikhain dan disepakati oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”)

Kesimpulan dan Hakikat Penting yang Harus Dimengerti
Ahlus Sunnah meyakini bahwa sahabat tidaklah maksum. Akan tetapi, keutamaan, ibadah, dan istighfar mereka, serta sebab-sebab lainnya menjadikan dosa mereka gugur terpendam dalam lautan kemuliaan.
Mu’awiyah  sama sekali tidak bermaksud mencabut ketaatan kepada Ali atau merebut tampuk kekhilafahan. Beliau hanya berijtihad menunda bai’at hingga ditegakkan qishash. Beliau pun tidak menyangka bahwa ijtihad tersebut mengakibatkan terjadinya peperangan besar yang memakan banyak korban.

Perang Shiffin sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Ali maupun Mu’awiyah. Dua sahabat yang mulia berijtihad dengan ijtihad yang mereka pandang paling baik bagi kaum mukminin.

Dengan demikian, mereka semua mendapatkan pahala dari ijtihad mereka sesuai dengan sabda Rasulullah n, “Yang benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya.”

Abu Bakr Ibnu Abid Dunya berkata, “Abbad bin Musa bercerita kepadaku, Ali bin Tsabit al-Jazari berkata kepadaku, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Umar bin Abdul Aziz, beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n فِي الْمَنَامِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ جَالِسَاهُ عِنْدَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَجَلَسْتُ، فَبَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ إِذْ أُتِيَ بِعَلِيٍّ وَمُعَاوِيَةَ، فَأُدْخِلَا بَيْتًا وَأُجِيفَ الْبَابُ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ عَلِيٌّ وَهُوَ يَقُولُ: قُضِيَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ. ثُمَّ مَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ وَهُوَ يَقُولُ: غُفِرَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ.

Aku melihat Rasulullah  dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan Ali dan Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan ditutuplah pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali seraya berseru, “Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang lama keluarlah Mu’awiyah seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.”
Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya, bahkan mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah.
Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya,

Sa’d bin Abi Waqqash  berkata ketika diajak berperang,

لاَ أُقَاتِلُ حَتَّى يَأْتُونِي بِسَيْفٍ لَهُ عَيْنَانِ وَلِسَانٌ وَشَفَتَانِ يَعْرِفُ الْكَافِرَ مِنَ الْمُؤْمِنِ

“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi.)


Dua Kelompok yang Bertikai Adalah Kaum Mukminin
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah  di atas. Hadits yang lebih tegas menunjukkan bahwa kedua pasukan adalah kaum mukminin, adalah hadits Abi Bakrah  tentang keutamaan al-Hasan bin Ali. Rasulullah bersabda,

إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
 
“Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin) dan Allah akan mendamaikan dengan sebab ia dua kelompok besar dari kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 6692 – 2557)
Perang di antara mukminin mungkin terjadi sebagaimana firman Allah l,
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah keduanya.” (al-Hujurat: 9)
Dua golongan besar kaum muslimin bersatu pada 41 H, yang dikenal sebagai ‘Amul Jama’ah (tahun persatuan), atas jasa al-Hasan bin Ali, cucu Rasulullah, pemimpin pemuda ahlul jannah.

 

Pengertian Tentang Ulama' Salaf


Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in)."

Pemimpin Salafush Shalih Adalah Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil.” (Al-Fat-h: 29). 
Allah Ta’ala telah memadukan antara ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya SAW, dengan berfirman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (An-Nisaa’: 69). 
Allah menjadikan ketaatan kepada Rasul shalallahu'alaihi wassalam merupakan konsekuensi dari ketaatan kepada Allah Ta’ala.  Firman-Nya, “Barangsiapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”( An-Nissa’: 80).
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa ketidaktaatan kepada Rasul dapat menggugurkan dan membatalkan amal perbuatan seseorang. Firman-Nya, ““Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 33). 
Dan Dia melarang kita melanggar perintah Rasul shalallahu'alaihi wassalam.  Firman-Nya, “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul_nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisaa’: 14)
 
Allah Ta’ala menyuruh kita agar menerima apa yang diperintahkan  oleh Rasulshalallahu'alaihi wassalam dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Allah Ta’ala befirman: “.....Apa yang diberkan Rasul kepadamu maka terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah! Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7).
 
Allah Ta’ala memerintahkan kita agar mengangkat beliau shalallahu'alaihi wassalamsebagai hakim (penengah) dalam segala aspek kehidupan kita dan mengembalikan semua hukum kepada hukum dan peraturan beliau. Allah shalallahu'alaihi wassalamberfirman :
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perakara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65). 
Allah Ta’ala sudah menyampaikan kepada kita bahwa Nabi-Nya shalallahu'alaihi wassalam adalah sosok suri teladan dan contoh terbaik; dimana konsekuensinya adalah beliau harus diikuti dan diteladani. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiaman dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzaab: 21) 
Allah menyertakan keridhaan-Nya bersamaan dengan keridhaan Rasul-Nyashalallahu'alaihi wassalam, sebagaimana firman-Nya:
“....Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya, jika mereka adalah orang-orang yang mukmin.” (At-taubah: 62). 
Allah pun menjadikan tindakan mengikuti Rasul-Nya shalallahu'alaihi wassalam sebagai tanda kecintaan kepada-Nya. Firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31). 
Oleh karena itu, rujukan Salafush Shalih ketika terjadi perselisihan adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya SAW, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala :“.....Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’ : 59). 
Sebaik-baik Salaf  setelah Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam adalah para Sahabat, yaitu mereka yang telah mengambil agamanya dari beliau shalallahu'alaihi wassalamsecara benar dan penuh keikhlasan, seabagaimana Allah Ta’ala telah menjelaskan sifat mereka dalam Kitab-Nya yang mulia, dengan firman-Nya, “Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (Al-Ahzaab: 23). 
Kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, dari tiga generasi pertama yang dimuliakan, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW tentang mereka, “Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini (yaitu generasi para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a).
Oleh karena itu, para Sahabat dan Tabi’in itulah yang lebih berhak untuk diikuti daripada lainnya, dikarenakan kejujuran mereka dalam keimanan, dan keikhlasan mereka dalam beribadah merekalah penjaga (kemurnian) ‘aqidah, penlindung syari’at dan pelaksanaannya baik secara perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memilih mereka untuk menyebarkan agama-Nya dan menyampaikan Sunnah Rasul-Nya shalallahu'alaihi wassalam.
Nabi shalallahu'alaihi wassalam bersabda, “.... Ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di dalam Neraka kecuali satu golongan.” Lalu para Sahabat bertaanya: ‘Wahai Rasulullah, siapa dia? Beliau menjawab: ‘Yaitu mereka berada apa yang telah  ditempuh olehku dan Sahabatku.’” (Shahih Sunan at Tirmidzi oleh Imam al-Albani). (HR. At-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ no. 5343). 
Bagi siapapun yang mendikuti jejak Salafush Shalih dan berjalan di atas manhaj mereka di semua zaman dinamakan: “Salafi” dinisbahkan kepada mereka, dan sebagai pembeda antara dia dengan orang-orang yang menyelisihi manhaj Salaf  dan mengikuti selain jalan mereka.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan kami masukkan ia ke adalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa’: 115).
Oleh karena itu, seorang Muslim sudah seharusnya untuk merasa bangga dengan penisbatan dirinya kepada mereka (Salafush Shalih).
Lafazh “Salafiyyah” menjadi sebutan pada penerapan metode Salafush Shalih dalam mengambil (ajaran) Islam, memahami dan Mengamalkannya. Dengan demikian, maka pengertian “Salafiyyah” itu ditunjukkan kepada orang-orang yang berpegang teguh sepenuhnya terhadap al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah shalallahu'alaihi wassalamdengan pemahaman Salaf.
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya...”

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” 

Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. 

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian."

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa' (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa' (orang-orang asing).” 

Sedangkan makna al-Ghurabaa' adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa', beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa':

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia."

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”

Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya,

Imam asy-Syafi’i  (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.” 

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ashhaabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat."

Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. 
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma  berkata ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran: 106]

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.”
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf رحمهم الله, di antaranya:

1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah  (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan : “...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhum hingga pada masa sekarang ini...”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.

Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:

1. Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya.

2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.

3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.

Saat ini marak orang belajar Al Qur’an dan Hadits. Hafal Al Qur’an 30 Juz dsb.
Cuma yang jadi masalah adalah adakah mereka belajar memahami Al Qur’an dan Hadits sebagaimana para Ulama Salaf dulu? Ini penting agar Al Qur’an dan Hadits tidak cuma di kerongkongan. Jangan sampai karena pemahamannya keliru, akhirnya keluar dari Islam laksana anak panah lepas dari busurnya.

Pembunuh Khalifah Ali, Abdurrahman bin Muljam itu adalah seorang Hafiz Al Qur’an. Namun karena pemahamannya sempit, dia bunuh salah satu sahabat dan juga sepupu dan juga menantu Nabi: Ali bin Abi Thalib.

Oleh karena itu pemahaman Al Qur’an dan Hadits sebagaimana ulama2 terdahulu itu penting. Jangan cuma Al Qur’an dan Hadits tok. Oleh karena itu Kitab Fiqih para Imam Mazhab, Kitab Sifat 20, Kitab Tafsir Al Qur’an seperti Tafsir Ibnu Katsir, Jalalain, dan kitab kuning mu’tabar lainnya harus dipelajari. Sebab dari situlah kita bisa memahami Al Qur’an dan Hadits sebagaimana para ulama Salaf memahaminya.

Hadis riwayat Ali ra., ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia yang terbaik. Mereka membaca Alquran, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, secepat anak panah meluncur dari busur. Apabila kalian bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka berpahala di sisi Allah pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.1771)

سيخرج في آخر الزمان قوم أحدث الأسنان سفهاء الأحلام

“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

يخرج قوم من أمتي يقرئون القرآن يحسبون لهم وهو عليهم لاتجاوز صلاتهم تراقيهم

“Suatu kaum dari umatku akan keluar membaca Al Qur’an, mereka mengira bacaan Al-Qur’an itu menolong dirinya padahal justru membahayakan dirinya. Shalat mereka tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka.” (HR. Muslim)

Dalil-dalil Yang Menunjukkan Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih

a. Dalil Dari Al Qur’anul Karim

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’alaberfirman,

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100]

Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-Nya bagi siapa yang mengikuti jalan mereka.

b. Dalil Dari As-Sunnah

1. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ ، وَيَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ، وَيَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim (2533))

2. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang haditsiftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan), beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ألا إن من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين وسبعين ملة، وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين، ثنتان وسبعون في النار، وواحدة في الجنة، وهي الجماعة

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”

[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah(I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. LihatSilsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-204)]

Dalam riwayat lain disebutkan:
ما أنا عليه وأصحابي

Artinya, “Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343)]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para SahabatnyaRadhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).

3. Hadits panjang dari Irbad bin SariyahRadhiyallahu ‘anhu, RasulullahShallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

Artinya:

“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” [Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (1184, 2549)]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallammengabarkan kepada ummat agarmengikuti sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup sepeninggal beliau disaat terjadi perpecahan dan perselisihan.

c. Dari perkataan Salafush Shalih

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,

“اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ”

Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.”(Al-Bida’ Wan Nahyu Anha (hal. 13))

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوا أَفْضَلَ هَذِهِ الْأُمَّةِ، أَبَرَّهَا قُلُوبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللَّهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَإِقَامَةِ دِينِهِ، فَاعْرَفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوهُمْ فِي آثَارِهِمْ، وَتَمَسَّكُوا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَدِينِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيمِ.

Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))

Imam Al Auza’i rahimahullah berkata,

“العلم ما جاء عن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فما كان غير ذلك فليس بعلم”

Artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/29))

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’alasenantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...