Selasa, 24 November 2020

Sejarah Kesultanan Kelantan Darunna'im


Kelantan Darul Naim merupakan salah satu negara bagian dari 14 buah negera bagian di Malaysia yang kaya dengan sumber alam. Mempunyai wilayah lebih kurang 14.922 km², terletak di timur laut Semenanjung Malaysia, berhadapan dengan Laut China Selatan, dan berbatasan dengan Thailand.

Sejarah awal Kelantan belum diketahui secara pasti. Catatan bangsa Eropa dan China yang ditulis pada masa lalu dapat dijadikan sebagai rujukan untuk memotret fakta dan gambaran tentang asal-usul keberadaan Negeri Kelantan. Berikut ini adalah catatan-catatan singkat yang dimaksud:

Berdasarkan catatan Claudius Ptolemy, ahli bumi dan ilmu falak berkebangsaan Yunani, dalam bukunya Geography of Eastern Asia yang ditulis pada abad ke-2 M, disebutkan nama tiga buah tempat, yaitu “Kole Polis”, “Primula”, dan “Tharra” yang terletak di pantai timur Semenanjung Melayu.

G. E. Gerini, peneliti berkebangsaan Italia, mengatakan bahwa “Kole Polis” terletak di Kelantan. Ia menganggap nama Kelantan adalah gabungan kata dari “Kolo” dengan kata “Thana” atau “Tanah”, hingga menjadi “Kolathana” atau “Kolamtanah” atau “Kolantan”.

Sejak abad ke-6 M, catatan-catatan sejarah China menyebut Kelantan dengan berbagai nama. Pada masa Kerajaan Liang (502-557 M), orang China menyebut “Tan-Tan”. Pada masa Kerajaan Tang (618-906 M), orang China menyebut “Tann-Tann”. Sedangkan pada masa Kerajaan Sung (960-1279 M), Kelantan disebut dengan kata “Chi-lan-chau” atau “Chi-lan-tan”. Pada awal abad ke-17 M, Kelantan disebut dengan “Ko-lan-tan” atau “Ku-lan-tan”.

Selain “Tan-Tan” atau “Tann-Tann”, ada sebuah negeri lagi yang disebut-sebut oleh orang-orang China, yaitu “Chit-tu” yang berarti Negeri Tanah Merah dan dikaitkan dengan Negeri Kelantan.

Berdasarkan letak geografisnya, sebagian ahli sejarah justru beranggapan bahwa Chit-tu (Tanah Merah) atau “Raktamrittika” adalah Kelantan itu sendiri. Seorang ahli sejarah Eropa, Paul Wheatley cenderung mempercayai bahwa Chit-tu itu terletak di Kelantan. Hal itu bermula dari sejarah Kerajaan Raktamrittika yang didirikan pada abad ke-6 M oleh Raja Gautama, putra Raja Kalahtana. Chit-tu pernah menjadi wilayah taklukan Kerajaan Funan. Pada tahun 1225 M, Kelantan pernah ditaklukan oleh Sriwijaya.    

Pada tahun1411 M (814 H), Negeri Kelantan mulai dipimpin oleh seseorang bernama Raja Kumar. Namun, pakar-pakar sejarah belum dapat menentukan darimana asal Raja Kumar. Hanya ada sebuah data yang menyebutkan bahwa Raja Kumar pernah menjalin hubungan dengan Raja China. Misalnya, pada tahun 1412 M, Raja Kumar menerima pemberian berupa kain-kain sutera dan surat puji-pujian dari Raja China.

Raja Kumar mangkat pada tahun 1418 M. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar Syah. Berdasarkan manuskrip Sejarah Melayu, Sultan Iskandar merupakan cucu Raja Culan, Raja Negeri Ganggayu atau Klang Kio yang terletak di hulu Sungai Johor. Ada sumber lain, misalnya buku karya Nik Mahmud Ismail, Ringkasan Cetera Kelantan, menyebut bahwa Raja Culan adalah Raja Negeri Perak. Belum ditemukan data yang pasti tentang bagaimana hubungan kekerabatan antara Raja Kumar dan Sultan Iskandar Syah. Demikian pula, belum ditemukan data yang menjelaskan bagaimana mulai masuknya Islam di Kelantan mengingat Sultan Iskandar Syah telah menganut agama Islam.

Sultan Iskandar Syah mangkat pada tahun 1465 M. Ia kemudian digantikan oleh Sultan Mansur Syah. Ada tiga versi sumber yang menyebutkan hubungan darah Sultan Mansur Syah dengan Sultan Iskandar Syah, yaitu: (1) Sejarah Melayumenyebut Sultan Mansur Syah adalah anak saudara sepupu Sultan Iskandar Syah; (2) Ringkasan Cetera Kelantan menyebut Sultan Mansur Syah adalah putra Sultan Iskandar Syah; dan (3) Sejarah Negeri-Negeri Melayu karya Haji Muhammad Sidi Haji Muhd Rasyid menyebut Sultan Mansur Syah adalah sepupu Sultan Iskandar Syah.  

Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah, Kelantan mencapai masa kejayaan. Ketika itu, Kelantan dikenal dengan hasil perekonomiannya. Nama Kelantan rupanya terdengar hingga ke Melaka (yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah). Pada tahun 1477 M, Sultan Mahmud Syah memerintah bala tentaranya untuk menyerang Kelantan. Sultan Mansur Syah mempunyai tiga orang anak, yaitu Raja Gombak, Unang Kening, dan Cubak. Sultan Mahmud Syah pada perkembangan selanjutnya ternyata justru menikahi putri Sultan Mansur Syah, Unang Kening. Sultan Mahmud Syah dan Unang Kening dikaruniai tiga orang anak, yaitu Raja Mah (putri), Raja Muzaffar (putra), dan Raja Dewi (putri). Raja Muzaffar yang lahir pada tahun 1505 M kemudian diketahui menjadi Sultan Perak I dengan gelar Sultan Muzaffar Syah (1528-1540 M). Setelah Sultan Mansur Syah mangkat pada tahun 1526 M, Raja Gombak menggantikan posisi ayahnya sebagai Sultan Kelantan ke-IV dengan gelar Sultan Gombak (1526-1584 M).

Sultan Gombak mangkat pada tahun 1584 M. Ia digantikan oleh cucunya yang kemudian dijadikan anak angkatnya, Raja Ahmad dengan gelar Sultan Ahmad. Sultan Ahmad menikah dengan Cik Banun, anak bungsu Seri Nara Diraja, seorang pembesar Kelantan, dan melahirkan seorang putri bernama Cik Wan Kembang. Ketika Sultan Ahmad mangkat pada tahun 1588 M, Cik Wan Kembang masih berusia 4 tahun. Sehingga, Raja Hussin, putra Raja Umar yang bergelar Sultan Ala Jalla Abdul Jalil Syah (Raja Johor, 1580-1597 M) diminta datang ke Kelantan dengan maksud agar dirinya bersedia menjadi Sultan Kelantan ke-VI dengan gelar Sultan Hussin. Ada sumber lain yang menyebutkan fakta lain bahwa diangkatnya Raja Hussin bukan lantaran diminta oleh para pembesar Kelantan, namun karena kondisi sejarah pada saat itu, yakni pada abad ke-16, Kelantan berada di bawah kekuasaan Johor.

Setelah Raja Hussin mangkat pada tahun 1610 M, Cik Wan Kembang yang sudah berumur dewasa diangkat sebagai Sultan Kelantan ke-VII (1610-1663 M). Cik Wan Kembang merupakan sultan perempuan pertama di Kelantan. Ketika memerintah, ia bertempat tinggal di Gunung Chinta Wangsa, Ulu Kelantan, yang jaraknya kira-kira 40 kilometer ke arah tenggara Kuala Krai. Letak pemerintahan yang strategis tersebut menyebabkan banyak pedagang dari dalam maupun luar yang mengunjungi Kelantan.

Pada masa pemerintahan Cik Wan Kembang, telah berdiri sebuah kerajaan kecil di bagian timur laut Kelantan, yaitu Kerajaan Jembal yang dipimpin oleh Raja Sakti (1638 M). Raja Sakti adalah anak angkat Raja Bersiung Kedah. Raja Sakti mangkat pada tahun 1649 M dan digantikan oleh putranya, Raja Loyor. Cik Wan Kembang memiliki hubungan yang baik dengan Raja Loyor. Cik Wan Kembang pernah mengambil Puteri Saadong, putri Raja Loyor, sebagai anak angkatnya yang kelak akan dijadikan penggantinya. Cik Wan Kembang mangkat pada tahun 1663 M. Sepeninggalan dirinya boleh dibilang sebagai masa berakhirnya pemerintahan keturunan Sultan Iskandar Syah. Kelantan kemudian diperintah oleh raja-raja Jembal (pada masa pemerintahan ini tidak digunakan istilah sultan).

Berbicara tentang Puteri Saadong, ketika masih hidup Cik Wan Kembang pernah menikahkan anak angkatnya itu dengan Raja Abdullah, sepupu Puteri Saadong sendiri. Puteri Saadong dan Raja Abdullah menetap di Kota Tegayong (Tanah Serendah Sekebun Bunga Cherang Tegayong), yang kemudian pindah ke Kota Jelasin di Kota Mahligai. Puteri Saadong pernah diculik oleh Panglima Tentera Siam bernama Phraya Decho untuk dibawa ke hadapan Narai Maharaja Siam (1656-1688 M). Tidak ketahui data yang jelas apa maksud penculikan tersebut. Ketika kembali ke Kelantan, Puteri Saadong pernah berselisih dengan suaminya, Raja Abdullah. Entah apa yang diperselisihkan. Dalam perselisihan tersebut, tanpa sengaja Raja Abdullah terkena cucuk sanggul Puteri Saadong. Raja Abdullah akhirnya meninggal. Sepeninggalan Raja Abdullah, Puteri Saadong mengangkat Raja Abdul Rahim, saudara Raja Abdullah, sebagai Sultan di Kota Mahligai.

Tidak banyak data yang menyebutkan masa pemerintahan Raja Loyor. Ia mangkat pada tahun 1675 M. Ia digantikan oleh adiknya, Temenggong Umar yang bergelar Raja Umar (1675-1719 M). Raja Umar memiliki lima orang putra-putri, yaitu Raja Kecil Sulung, Raja Ngah yang bergelar Raja Hudang, Raja Nah, Raja Sakti, dan Raja Pah. Setelah Raja Umar mangkat pada tahun 1719 M, Long Besar atau Long Bahar diangkat sebagai Raja di Jembal (1719-1733 M). Pengangkatan tersebut adalah atas permintaan putri sulu Raja Umar, Raja Kecil Sulung. Long Bahar adalah putra Raja Petani (Wan Daim) yang bergelar Datuk Pengkalan Tua yang pernah merantau ke Kelantan bersama ayahnya. Long Bahar menikah dengan Raja Pah, putri Sultan Omar.

Long Bahar mangkat pada tahun 1733 M. Ia digantikan oleh putranya, Long Sulaiman atau Wan Anom Long Nik dengan gelar Mas Kelantan. Long Sulaiman memiliki tiga orang putra-putri, yaitu Long Yunus,  Tuan Dewi, dan Tuan Kembang. Tuan Kembang menikah dengan Long Deraman, putra Tuan Senik Getting yang memerintah di Legeh. Pada tahun 1756 M, terjadi sebuah serangan misterius yang bermaksud ingin membunuh Long Sulaiman. Dalam serangan ini, Long Sulaiman meninggal. Ia kemudian diganti oleh sepupunya, Long Pendak, sebagai Raja Kubang Labu, sementara adiknya, Long Muhammad dilantik menjadi Raja Muda.

Pada tahun 1758 M, Long Pendak meninggal. Ia dibunuh oleh Long Deraman yang membalas dendam atas perbuatan Long Pendak. Long Pendak pernah membunuh isterinya sendiri dan juga adik Long Deraman, Tengku Tengah. Long Muhammad kemudian menjadi Raja di Kota Kubang Labu. Pada masa pemerintahannya, terjadi peperangan antara Long Muhammad yang dibantu oleh Long Deraman dengan Long Yunus yang dibantu oleh Long Gaffar, putra Raja Reman di Hulu Perak. Pada tahun 1762 M, Long Muhammad dan Long Deraman tewas dalam sebuah peperangan sengit. Akhirnya, Kerajaan Kubang Labu dapat dikuasai oleh Long Yunus. Sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa Long Gaffar, Long Yunus mengangkat Long Gaffar sebagai Perdana Menteri di Kelantan yang memerintah dari Jeram hingga ke Pasir Tumbuh.

Long Yunus memerintah Kelantan antara tahun 1775-1794 M. Ia dikenal sebagai pemimpin yang mampu menyatukan kembali seluruh wilayah Kelantan yang sebelumnya terpecah-pecah hingga menjadi ke dalam satu sistem pemerintahan saja.

Silsilah

Berikut ini adalah daftar silsilah sultan-sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Kelantan:

1- Raja Kumar (1411-1418 M)
2- Sultan Iskandar (1418-1465 M)
3- Sultan Mansur Syah (1465-1526 M)
4- Sultan Gombak (1526-1584 M)
5- Sultan Ahmad (1584-1588 M)
6- Sultan Hussin (1588-1610 M)
7- Cik Wan Kembang (1610-1663 M)
8- Raja Loyor (1649-1675 M)
9- Raja Umar (1675-1719 M)
10- Long Besar atau Long Bahar (1719-1733 M)
11- Long Sulaiman (1733-1756 M)
12- Long Pendak (1756-1758 M)
13- Long Muhammad (1758-1762 M)
14- Long Gaffar (1762-1775 M)
15- Long Yunus (1775-1794 M)
16- Sultan Muhammad (1794-1839 M)
17- Sultan Muhammad II atau Sultan Mulut Merah (1839-1886 M)
18- Sultan Muhammad III (1886-1900 M)
19- Sultan Muhammad IV atau Long Senik bin Long Kundur (1900-1920 M)
20- Sultan Ismail (1920-1944 M)
21- Sultan Ibrahim (1944-1960 M)
22- Sultan Yahya Petra (1960-1979 M)
23- Sultan Ismail Petra (1979 M-sekarang)

Periode Pemerintahan

Kesultanan Kelantan telah berdiri selama hampir enam abad lamanya. Dalam rentang sejarah yang begitu panjang, Kelantan pernah mengalami masa perpecahan. Hal itu bermula pada masa pemerintahan Cik Wan Kembang (1610-1663 M). Pada masanya, di dalam wilayah Kelantan mulai berdiri sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Jembal. Kelantan kemudian dikuasai oleh keturunan dari Patani yang merantau ke Kelantan, yaitu sejak masa pemerintahan Long Bahar. Pada masa Long Yunus, Kelantan mulai dapat bersatu kembali.

Dalam perkembangan masa modern, Kesultanan Kelantan menjadi salah satu bagian dari 14 negeri dalam federasi Kerajaan Malaysia. Kelantan yang juga disebut dengan nama Negeri Kelantan Dar`ul Naim kini dipimpin oleh Sultan Ismail Petra (sejak tahun 1979 M).

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Kelantan meliputi daerah-daerah berikut ini: Gua Musang (8,177 km2), Kuala Krai (2,277 km2), Jeli (1,318 km2), Tanah Merah (880 km2), Pasir Mas (569 km2), Machang (527 km2), Pasir Puteh (424 km2), Kota Bharu (394 km2), Bachok (279 km2), Tumpat (177 km2). Kesultanan ini terletak di sebelah timur laut Semenanjung Malaysia, berhadapan dengan Laut China Selatan, dan berbatasan dengan Thailand Selatan.

Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kesultanan Kelantan merupakan warisan sistem politik Melayu tradisional. Sultan merupakan penguasa tertinggi di Kesultanan Kelantan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, ia dibantu oleh tiga kelompok pembantu sultan, yaitu:

Kelompok kerabat sultan yang merupakan keturunan sultan itu sendiri.
Kelompok bangsawan yang bergelar syed, nik, dan wan.
Kelompok masyarakat biasa yang memegang jabatan tinggi di pemerintahan.
Tugas utama tiga kelompok pembesar kesultanan tersebut adalah menjalankan segala pekerjaan yang memang menjadi kewajibannya dan juga menjalankan apa yang menjadi perintah sultan. Tugas mereka meliputi hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat istana, pemerintahan, keuangan, kehakiman, keamanan, pertahanan, dan hubungan luar negeri. Salah satu fungsi utama kelompok kerabat sultan adalah melantik sultan yang akan memerintah.

Struktur dan sistem pemerintahan tersebut baru diterapkan pada akhir abad ke-18 M, yaitu pada masa pemerintahan Long Yunus (1775-1794 M). Long Yunus melantik putra-putranya sebagai berikut: Long Ismail (Raja Muda), Long Jenal (Bendahara), dan Long Tan (Temenggung). Sementara itu, sahabat karibnya, Long Ghafar dilantik sebagai mangkubumi dan panglima perang dengan gelar Tengku Seri Maharaja Perdana Menteri. Sebenarnya ada empat jabatan dan gelar lagi, yaitu Raja Bukit Pancor (yang dijabat oleh Long Yunus bin Long Yunus), Tengku Kota (Long Muda atau Tuan Dagang bin Long Yunus), Dato‘ Kaya Hulubalang (anak Penghulu Adas).

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II atau Sultan Mulut Merah (1839-1886 M), struktur pemerintah Kelantan mengalami perubahan dengan adanya tambahan jabatan atau gelar baru, sebagai berikut:

Sultan (Tuan Senik  Mulut Merah)
Sultan Dewa (Tuan Senik Kota atau Tuan Senik Penambang-baharu)
Hakim (Syed Jaafar-baharu)
Mufti (Tuan Abdul Rahman Muda bin Wan Othman-baharu)
Kadi (tidak diketahui datanya)
Perdana Menteri (Engku Limbat bin Long Jaafar)
Pembantu Menteri Besar (Nik Abdul Majid atau Wan Abdul Majid bin Wan Yusuf bersama Nik Yahya)
Juru Tulis Diraja atau Setiausaha Sultan (Wan Abdul Kadir)
Ketua Istiadat bergelar Dato Megat Mahkota  


Pada tahun 1845 M, terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan dengan terbentuknya jamaah Ahli Mensyuarat yang anggotanya adalah sejumlah pembesar kesultanan. Perubahan tersebut terjadi setelah Bandar Kota Bharu dan Istana Balai Besar dibangun setahun sebelumnya (1844 M). Berikut ini adalah tugas-tugas pemerintahan pada masa tersebut:

1. Tugas keuangan, yang diemban oleh:

Bendahara (gelar awalnya Tengku jika penyandangnya adalah keturunan sultan)
Seri Maharaja (gelar awalnya ditambah Tengku jika penyandangnya keturunan sultan)
Seri Pakerma Raja
Seri Akar Raja

2. Tugas peperangan, yang diemban oleh:

Temenggung Aria Pahlawan
Seri Nara Diraja
Laksamana
Seri Kelana Diraja

3. Tugas pemerintahan, yang diemban oleh:

Seri Paduka Raja
Seri Amar Diraja
Seri Setia Diraja
Seri Diraja

4. Hubungan luar negeri, yang diemban oleh:

Biji Sura
Biji Wangsa
Lela Utama
Lela Negara

5. Urusan dalam negeri, yang diemban oleh:

Kaya Perba
Kaya Pahlawan
Kaya Hulubalang
Kaya Perwira

6. Urusan istana, yang diemban oleh:

Seri Rakna Diraja
Bentara Guna
Penghulu Balai

7. Urusan keadilan dan kehakiman, yang diemban oleh:

Ketua Hakim (disandang oleh Hakim)
Kadi (bertanggung jawab terhadap masalah hukum atau syariat Islam)
Hakim (bertanggung jawab terhadap masalah di luar hukum Islam)

8. Penasehat sultan, yang diemban oleh:

Tengku Bendahara
Tengku Temenggung
Seri Paduka

Secara umum, gelar bagi seseorang yang akan menggantikan posisi sultan adalah Raja Muda. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad IV (Long Senik bin Long Kundur, 1900-1920 M), tepatnya pada tahun 1911,  gelar Raja Kelantan diadakan untuk menempati posisi sultan berikutnya. Namun pada tahun 1944 M, gelar tersebut dihapus karena ada anggapan dari orang-orang di luar Kelantan bahwa gelar itu dimaksudkan untuk menggantikan posisi sultan yang sedang ada urusan ke luar kesultanan. Mareka menganggap bahwa istilah Raja Kelantan dan Sultan Kelantan adalah sama saja. Untuk mengatasi masalah tersebut, Tengku Ibrahim, putera kedua Sultan Ismail yang bergelar Raja Kelantan, naik menjadi Sultan Kelantan pada Juni 1944 M. Gelar seseorang yang akan menggantikan posisi sultan dikembalikan ke semula, yaitu Raja Muda.

Kehidupan Sosial-Budaya

Berdasarkan sensus tahun 2005, jumlah penduduk Kelantan Daru`l Naim berjumlah 1,373,173 jiwa, yang terdiri sebagai berikut: Gua Musang (80,167), Kuala Krai (97,836), Jeli (38,185), Tanah Merah (108,228), Pasir Mas (172,692), Machang (82,653), Pasir Puteh (111,001), Kota Bharu (425,294), Bachok (116,128), Tumpat (140,989). Bangsa Melayu merupakan penduduk mayoritas di Kelantan (95 %), sementara sebagian yang lain diisi oleh keturunan China (3,8 %), keturunan India (0,3 %), dan lain-lain (0,9 %).  Komposisi penganut agama-agama di Kelantan adalah: Islam (95 %), Buddha (4,4 %), Kristen (0,2 %), Hindu (0,2 %), dan penganut agama lainnya (0,2 %).

Perekonomian masyarakat Kelantan bersumber dari hasil pertanian dan industri. Secara umum, tanaman pertanian yang banyak ditanam oleh penduduk Kelantan adalah tanaman getah, kelapa sawit, dan padi. Sedangkan industri yang banyak dikerjakan masyarakat Kelantan adalah industri kayu, terutama kayu balak dan kayu gergaji.

Sejak masa lalu, Kesultanan Kelantan dikenal memiliki hubungan yang baik dengan Kesultanan Patani. Secara geografis, letak kedua kesultanan ini sangat berdekatan. Kelantan memiliki kebudayaan yang unik dan menarik yang merupakan bentuk asimilasi antara budaya Melayu, Islam, dan Siam. Di antara sebagian kebudayaan tersebut adalah berupa permainan rakyat, seperti Dikir Barat, Main Puteri, Mak Yong, dan sebagainya. Mak Yong dipengaruhi budaya Siam, Dikir Barat memiliki unsur-unsur keislaman, dan Main Puteri berasal dari budaya Hindu-Siam. Di samping itu, Kelantan mempunyai makanan tradisional yang khas dan berbeda dari negeri-negeri Melayu lainnya, seperti makanan Budu.

Hubungan Kelantan – Jawa Yang Dilupakan Oleh Sejarah

Kelantan dan Jawa bagi orang zaman moden ini, dua budaya ini nampak terlalu asing untuk ada kaitan antara satu sama lain. Seperti tidak pernah berketemu antara satu sama lain.

Namun sejarah yang dilupakan akan dibongkar kembali. Dahulu Kelantan dan Jawa mempunyai hubungan yang amat rapat. Sebelum pergi dengan lebih lanjut atau sebelum dikatakan merapu, sila kaji beberapa fakta:

1)   Keris kebesaran Sultan Kelantan bernama Keris Majapahit.

2)   Sebut wayang kulit, maka orang tahu ianya daripada  Kelantan, dan juga
 Jawa.

3)   Orang Kelantan sangat suka pakai kain batik Jawa. Sehingga   zaman tahun 60an, orang lelaki Kelantan menggunakan kain  batik Jawa sebagai semutar di atas kepala dan diikat pada pinggang. Inilah trade mark orang Kelantan. Kain batik Jawa merupakan pakan harian yang wajib.

4)   Ada banyak perkataan Jawa yang difahami oleh orang   Kelantan, tetapi tidak Difahami oleh orang Kuala Lumpur.

5)   Orang Kelantan mungkin tidak pernah bertemu orang Jawa  pada tahun 1960an-70an, tetapi mereka secara lisan dan tradisi amat anti orang Jawa.

Kelantan purba dikenali dengan gelaran Jawa Kotti yang bermaksud ‘TITIK JAWA’. Pada zaman yang paling awal dalam tahun Masehi, pusat penyebaran budaya Melayu dan Jawa berpusat di Kelantan. Ini kerana zaman dahulu kala Kelantan dikenali orang sebagai Jawa Kotti ( Jawa Point). Kalau menurut dalam “Ikhtisar Sejarah Kelantan” oleh Abdul Razak Mahmud (Ustaz Mat), Bab 2, muka surat 7 & 8, negeri Kelantan dikatakan bernama “Medang Kamulan”. Dalam History Of Java oleh Stamford Raffles muka surat 74, pada lebih kurang tahun 600 Masehi seorang lelaki bernama Aji Saka dari negara asing ( quote: Aji Saka from a foreign country) datang ke Jawa dan memerintah. Menurutnya Aji Saka dari Medang Kamulan.

” The controversy over the true location of Sri Wijaya arises because of the fact that after the death of Maharaja Sri Jayanaga around 692, during the mission to capture Jawa Island, Sri Wijaya seems to have been divided into two states. The eldest son Maharaja Dipang ruled over Amdan Negara, that is, the Malay Isthmus, probably Kelantan/Kedah. The second son, Maharaja Dhiraja, ruled the islands (Sumatera and other islands of the Indonesian archipelago), based at Palembang. After the division into east and west, the name of Sri Wijaya remained in Sumatera, but on the Malay peninsula, a poetic title emerged for the Kelantan/Kedah area, namely, Tanah Serendah Sekebun Bunga (Valley of Flower Garden Land). This title is still found in traditional performing arts such as Mak Yong dance, Wayang Kulit puppet theatre, etc. By 730 the capital of Sri Wijaya in Sumatera moved from Palembang, known as Langkapura, to Kota Mutajap near the river mouth of Jambi in Sumatera.

It is reasonable to speculate that some elements of the Sri Wijayan culture originated in Sumatera, but later spread to other parts of South East Asia from Kelantan/Kedah. Yawakoti meaning Jawa Point, is situated at Bukit Panau hill along the upper Kelantan river near Pergau; some believe this place to be from which Jawanese politics and culture spread out. Jawa Duipa, an ancient name for Kelantan means Tanah Jawa (“land owned by the Jawanese”), or Kawasan Jawa (“Jawanese area”).

Al Tabari states that the word Jawa or Jva was used more widely in ancient times. Jawa in those days meant “Jawanese culture” (i.e. Malay culture), including its centres on the Isthmus, as compared to now when Jawa only refers to Jawa Island in Indonesia. According to one tradition, the Jawanese moved down from Kemboja and spread out to the archipelago.”

Dalam bahasa Jawa asli, tiada perkataan GAJAH. Oleh itu Patih Gajah Mada ini sebenarnya agak misteri bagi ahli sejarah Jawa sendiri.

Gajah Mada is a mysterious historical figure. No historical records about his origin, there’s no tomb to commemorate his magnificent achievement.
He’s probably the only Majapahit historical figure quite unknown where he’s born and where he died. But his legacy, the unified archipelagic empire of Majapahit is quite is the testament of his ambition and genius vision, a bright politician and warrior. Majapahit as the ancient incarnation of modern Indonesia stay forever as inspirations, source of pride and dignity for Indonesian.

According to books and articles I’ve reads here’s the speculations about his origin:

” Using animal name as people name is quite common in ancient Java, Lembu Tal, Kebo Ijo, Kebo Anabrang, Mundingwangi Dikusumah, Ciung Wanara, Mahesa Cempaka, etc. Gajah (means elephant) is known in ancient Java, In Borobudur relief we can find the image of Elephant, probably back then there’s an original Javanese elephant sub-species, but if not it’s possible to import them from Sumatra, since ancient Indonesian ship quite reliable to transport large things. But Gajah is abundant in Sumatra up until now. So the speculations arose.

Gajah Mada probably Malayu or Srivijayan origin, but since young he serve Javanese Majapahit special forces (Bhayangkara, the royal guard).
This theory probably based after the congquest of Malayu by Singhasari. The Pamalayu expedition led by King Kertanegara conquer the court of Malayupura (now Jambi), part of Srivijayan empire that already weaken. Malayupura once stood as rival for Srivijaya before Srivijaya conquer it. Then as Srivijaya weaken, Malayu began to be more important and enjoy certain degree of independence.

This conquest (some says alliance, cause Kertanegara gave gift for the people of Malayu, a huge 6 metres statue made in Java, then transport it to Sumatra) brough many royalties (princess of Malayu like Dara Jingga and Dara Petak), scholars, Buddhist priest (Dharmaputras), artisans, warriors, etc, to Javanese courts. Gajah Mada vast knowledge about various kingdoms, islands, and area around archipelago probably due to Srivijayan knowledge, is he Malayu soldier, that’s why he really know his way when he launch naval attack to Srivijayan capital like he’s ever been there before.”

p/s : orang Jawa totok mengaku bahawa mereka tak tahu siapa Patih Gajah Mada ini, tetapi sombong tak mahu mengaku dia ni orang Kelantan.

Pateh Gajah Mada adalah anak dari Puteri Linang Cahaya anak perempuan Raja Kelantan. Ayah Pateh Gajah Mada pula ialah Syeikh Hussein Jamaluddin Al-Kubra. Syeikh Jamaludin Al-Kubra ini banyak melahirkan keturunan yang menjadi pemimpin dan Ulamak yang berpusat di Patani-Kelantan seterusnya tersebar Islam ke seluruh Kepulauan Melayu dan Jawa. Pada masa itu Patani-Kelantan dikenali sebagai Kerajaan Cermin kerana banyak ulamak berada di situ sehinggakan belajar agama Islam di Kota Mekah mesti sambung belajar di Patani-Kelantan. Patani-Kelantan diberi nama jolokan Kerajaan Cermin Mekah. Sebab itulah sehingga sekarang Kelantan digelar “Kelantan Negeri di bawah Serambi Mekah” dan kerajaan Islam PAS masih kukuh berkuasa. Orang Kelantan sejak lebih 800 tahun telah memilih Islam sebagai kehidupan mereka.‎

 

Kerajaan Daerah Rokan Hulu Riau


Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah:
– wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.
– wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kabun)

Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah.

Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. Diakuilah berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut sebagai landscape. Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat pengesahan dari pihak Belanda.

‎Kerajaan Rokan berdiri pada abad ke-14 M. Pusat kerajaan berada di Kota Lama, Rokan. Nama kerajaan diambil dari sebuah sungai yang mengalir di daerah tersebut, yaitu Sungai Rokan. Sungai Rokan merupakan salah satu sungai besar yang mengalir di bagian utara Riau daratan. Hingga saat ini, sungai ini masih memainkan peranan penting sebagi jalur perhubungan antara rakyat daerah pantai dan pedalaman.

Menurut suatu riwayat, kata Rokan berasal dari bahasa Arab rokana, artinya damai atau rukun. Konon, nama ini merupakan refleksi dari keadaan rakyat yang selalu rukun dan mementingkan kedamaian, baik dengan sesama penduduk negeri, maupun dengan orang luar negeri. Dari nama tersebut yang menunjukkan adanya pengaruh Arab, juga bisa disimpulkan bahwa, Kerajaan Rokan berdiri setelah Islam masuk ke kawasan tersebut.

Dalam sejarahnya, Rokan termasuk kerajaan yang cepat berkembang, berkat hasil rempah-rempah yang dimilikinya, dan juga relasi perdagangannya dengan negeri lain, seperti Malaka. Bahkan, Raja Malaka, Mahmud Syah menjalin hubungan kekerabatan dengan Rokan, dengan  memperistri putri Raja Rokan, dan menjadikannya sebagai permaisuri. Dengan demikian, hubungan antara Malaka dan Rokan jadi semakin erat.

Dari perkawinan Mahmud Syah dengan putri Raja Rokan, lahir kemudian seorang anak yang bernama Ibrahim. Setelah Mahmud Syah wafat, Ibrahim sempat menjadi raja di Malaka selama 1 tahun 5 bulan. Namun, Raja Ibrahim kemudian dibunuh oleh Raja Kasim Muhammad Syah, saudara seayah dari ibu asli Malaka.

Sejak Malaka dikalahkan Portugis, Kerajaan Rokan mengalami kemunduran, karena terus mendapatkan ancaman dari Aru dan Aceh bagian utara. Menurut sejarah, kehancuran Rokan akibat dari serangan Aceh. Namun, ketika Rokan menghilang, muncul kerajaan baru menggantikannya, yaitu Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar.

Setelah Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar lenyap, kemudian muncul  tiga kerajaan  lagi di bagian hilir Sungai Rokan, yaitu: Kerajaan Kubu dengan ibunegeri Teluk Merbabu; Kerajaan Bangko dengan ibunegeri Bantaian; dan Kerajaan Tanah Putih dengan ibunegeri Tanah Putih. Sementara di bagian hulu, muncul lima kerajaan yang diperintah secara turun-temurun oleh bangsawan raja. Limakerajaan tersebut adalah:

Kerajaan Tambusai, ibunegerinya Dalu-dalu,
Kerajaan Rambah, ibunegerinya Pasir Pengaraian,
Kerajaan Kepenuhan, ibunegerinya Koto Tengah,
Kerajaan Kunto Dar el-Salam, ibunegerinya Kota Lama,
Kerajaan Rokan, ibunegerinya Rokan IV Koto.


Slsilah raja Rokan belum diketahui secara pasti. Hanya saja, ada pendapat yang mengatakan bahwa, sebenarnya Raja Rokan adalah keturunan Sultan Sidi. Problem selanjutnya adalah, siapa dan dari mana Sultan Sidi ini juga tidak diketahui.

Struktur Pemerintahan

Dalam struktur pemerintahan, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Untuk berhubungan dengan kelompok suku di masyarakat, raja mengangkat seorang pembantu yang bergelar Datuk Bendahara. Diduga, susunan pemerintahan di wilayah Rokan terpengaruh oleh sistem yang berkembang di Minangkabau dan Mandailing.

Kehidupan Sosial Budaya

Masyarakat Rokan disusun atas kelompok-kelompok suku, dan setiap suku dikepalai oleh pucuk suku. Kepala dari semua pucuk suku dipegang oleh Datuk Bendahara. Datuk Bendahara mendampingi raja dalam kerapatan adat. Dalam kehidupan sehari-hari, sistem sosial budaya masyarakat setempat menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Minangkabau, dan dalam tataran tertentu, Mandailing.

Manuskrip milik perpustakaan Nasional Indonesia dengan nombor cod ML. 100. Berukuran 15.4 X 19.8 cm. Setiap halaman terdiri daripada 3-19 baris. Jumlah keseluruhan halaman manuskrip 58 halaman. Terdapat empat halaman yang kosong. Manuskrip di tulis dengan tulisan Jawi menggunakan dakwat hitam. Kertas ini tidak mempunyai klofon.

Isinya terdiri daripada empat bahagian (fasal). Bahagian pertama menceritakan tentang silsilah Raja Rambah, bahagian kedua silsilah Raja Mandang Kota Raja dan bahagian ketiga tentang silsilah Raja Kepenuhan dan Mandang Kota Raja.

Ada beberapa catatan tentang Silsilah kerajaan yang ada di wilayah Rokan Hulu, yang berdiri setelah runtuhnya Kerajaan Tua Rokan di Rantau Kasai.
Bekas Kerajaan inilah pada zaman Belanda yang disebut dengan Luhak disesuaikan nama kerajaannya.

Silsilah Kerajaan Tambusai :
Raja-raja di Kerajaan Tambusai
Raja I. Sultan Mahyudin Gelar Mohamad Kahar (850-951M)
Raja II. Sultan Zainal
Raja III. Sultan Ahmad
Raja IV. Sultan Abdullah
Raja V. Sultan Syaifuddin
Raja VI. Sultan Abdurahaman
Raja VII. Sultan Duli Yang Dipertuan Tua
Raja VIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja IX. Sultan Duli Yang Dipertuan Saidi Muhamil
Raja X. Sultan Duli Yang Dipertuan Sakti
Raja XI. Sultan Duli Yang Dipertuan Ngagap
Raja XII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja XIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Djumadil Alam (Abdul Hamid)
Raja XIV. Sultan Duli Yang Dipertuan Besar
Raja XV. Sultan Abdul Wahid (1864-1887)
Raja XVI.Sultan Zainal Abidin (1887-1916)
Raja XVII. Sultan Ahmad (Glr T. Muhamad Silung 1916)
Raja XVIII. Yang Dipertuan Tengku Muhammad Yudo
Raja XIX. Tengku Ilyas Gelar Tengku Sulung.

(disusun dari sumber tertulis Terombo Siri pegangan Raja Tambusai dalam memimpin kerajaan, disimpan oleh Haji Tengku Ilyas, Gelar Tengku Sulung Raja Tambusai XIX)
Raja I s.d ke-4 kedudukan di Karang Besar, Raja ke-5 Pindah ke Tambusai lalu ke Dalu-dalu, pada masa Raja VII Sultan Yang Dipertuan Tua dibentuklah Datuk Non Berempat : Datuk Bendaharo, Datuk Rangkayo Maharajo, Datuk Paduko Sumarajo, Datuk Paduko Majolelo
Raja XV Sultan Abdul Wahid, mendirikan Istana darurat di Rantau Binuang, setelah di nobatkan Sultan Mohammad Zainal Abidin sebagai raja XVI Tambusai berkedudukan di Istana II di Rantau Kasai
(sumber executive summary Sejarah Perjuangan Sultan Mohammad Dzainal Abidin menentang Kolonial Belanda di Rokan - Riau - Indonesia 1887-1916, oleh Pemdaprov Riau, BKS Pekanbaru 2006)

Silsilah Raja Rambah

Pada ketika itu Tambusai adalah Kerajaan terbesar di Rokan. Ia keturunan daripada Pagaruyung. Pada masa itu yang memerintah ialah yang di Pertuan Tua. Ia ada dua orang bersaudara, yang seorang perempuan bernama To’ Permaisuri. Yang Dipertuan Tua mempunyai tiga orang adik beradik, dua laki-laki dan seorang perempuan. Yang Perempuan bernama Siti Dualam, yang laki-laki Tengku Raja Muda dan Yang Dipertuan Akhir Zaman. Kemudian Tengku Raja Muda meminta kebenaran dari ayahndanya untuk mendirikan sebuah kerajaan sendiri. Setelah dipersetujui perjanjian maka Tengku Raja Muda pun dibenarkan membuka negeri. Isi perjanjian tersebut berbunyi begini:

“Pertama-tama apabila menaikkanlah pihak kami akan raja/kerajaan, melainkan raja Tambusyailah akan menaikkan kami hingga sampai kepada anak cucu kami. Dan kedia pabila putus raja yang kerajaan pihak kami yang pergi ini, melainkan raja Tambusyailah yang boleh menggantikannya. Ketiga janganlah berdengki aniaya antara dua pihak itu. Keempat apabila suku pihak yang di Tambusai masuk pihak kami, atau suku pihak yang kami /suku/ masuk pihak yang tinggal di Tambusyai, yang tidaklah boleh ditegah dan dilarang. Kelimaanya apabila pihak kami yang pergi itu tiada menurut adat pusaka, melainkan bolehlah ia pulang ke Tambusyai. Segala rakyat yang pergi itu, raja Tambusyai empunya rakyat yang tidak boleh ditegah dilarang. Keenam apabila mengikut raja kepada pihak yang pergi itu, melainkan segeralah memberitahu kepada Tambusyai, mengantarkan baju helat dan syahab muka, di Tambusyai demikian juga”.

Setelah dipersetujui perjanjian tersebut, maka Tengku Raja Muda di anugerahkan rakyat dan alat kebesaran. Kemudian Tengku Raja Muda pun membuka negeri di Kalu Batang Lubuk. Kerena negeri tersebut di rambah oleh orang Tambusai, maka negeri tersebutpun di namakan negeri Rambah.

Setelah Tengku Raja Muda mangkat di gantikan oleh anaknya bergelar Yang Dipertuan Besar. Kemudian setelah Yang Pertuan Besar mengkat diganti oleh Yang Dipertuan Jamalul Alam. Setelah Yang Dipertuan Jamalul Alam di ganti oleh Yang Dipertuan Sakti. Setelah Yang Dipertuan Sakti mangkat diganti oleh Yang Dipertuan Besar. Setelah yang Dipertuan Besar mangkat di ganti oleh Putera baginda yang bergelar Yang Dipertuan Besar (Marhum Galia). 

Silsilah Kerajaan Rambah :
Raja I. Yang Dipertuan Muda
Raja II. Yang Dipertua Besar
Raja III. Yang Dipertuan Djumadil Alam
Raja IV. Yang Dipertuan
Raja V. Yang Dipertuan Besar
Raja VI. Yang Dipertuan Besar
Raja VII. Yang Dipertuan Besar
Raja VIII. Yang Dipertuan Besar
Raja IX. YanG Dipertuan Besar Rambah
Raja X. Yang Dipertuan Djumadil Alam Sari 1901
Raja XI. Mohamad Syarif Yang Dipertuan Besar
Raja XII. Sultan Zainal Puan Kerajaan Rambah
Raja XIII. Sultan Mahmud Manjang
Raja XIV. Tengku Saleh Yang Dipertuan Besar Rambah.

Silsilah Raja Kepenuhan

Setelah Negeri Johor pecah kerana diserang musuh, Rajanya yang bernama Raja Purba masuk lari ke Rokan bersama sebelas orang panglima yang gagah-gagah dan sejumlah rakyat. Kemudian mereka mudik ke Kuala Batang Syasah. Setelah sampai di kuala sungai Rokan mereka tertarik pada tempat tersebut dan bermaksud untuk menetap di situ. Raja Purba pun menghantar utusan kepada Raja Tambusai yang bernama Raja Abdullah untuk meminta kebenaran tinggal dan membuat negeri di situ. Raja Tambusai setuju dan diberi kuasa hingga ke hilir Sungai tersebut, tetapi tetap di bawah naungan raja Tambusai. Kawasan tersebut diperintah berdasarkan peraturan (Teromba besar) yang berlaku dalam negeri Tambusai. Sebarang peraturan baru atau perubahan dari peraturan yang berlaku dalam negeri Tambusai harus dengan izin raja Tambusai. 

Pada mulanya Raja Tambusai mengaturkan orang-orang Raja Purba kepada tujuh suku, tetapi Raja Purba mahu dibahagi kepada sebelas suku berdasarkan sebelas panglima yang dibawa bersama. Kemudian sebuah perjanjian dipersetujui bersama yang berbunyi: 

“Dan barang siapa kami yang sebelas pihak serta kami segala raja-raja mengubahi ata ‘aturan adat dan pusaka yang datang daripada Raja Tambusai itu, dan lagi jikalau ada perkara yang di dalam kami yang tiada habis, melainkan hendaklah kami kabarkan melainkan kena hukumanlah kami daripada Raja tambusai serta akan sumpah setia yang diperbuat ini hingga sampai kepada anak cucu yang terkemudian kepada kami ini. Dan lagi tiadalah kami mengubahi segala-gala perkataan teromba besar yang pegangan Raja Tambusai itu adanya. Dan lagi jikalau barang siapa sekalian kami mungkir daripada segala padan janji ikat karangan yang diikrarkan dahulu itu, melainkan kena kutuk seribu siang dan seribu malam serta ditimpa daulat sultan Iskandar Zulkarnain dan tiada selamat selama-lamanya adanya”. 

Perjanjian ini terjadi pada tahun 2745 tahun zai. Setelah itu Raja Purba terus hilir. Setelah sampai di kuala Batang Syasah Raja Purba tertarik pada tempat tersebut dan mengambil keputusan untuk membuat negeri di situ, tetapi empat orang pembesarnya tidak setuju, mereka mahu membuat negeri di pulau berhampiran Kuala Sungai Rokan seperti rancangan awal. Tetapi Raja Purba tetap berkeras untuk membuka negeri di kawasan kuala Batag Syayah. Maka pecahlah mereka. Akhirnya sebelas pembesar (kerapatan) itu mengadap Raja Tambusai. Ketika mengadap Raja Tambusai tujuh suku setuju untuk membuka negeri di Kuala Batang Syasya mengikut raja mereka, sedangkan empat suku lagi tetap berkeras tidak mahu mengikut Raja Purba, mereka tetap mahu membuka negeri di hilir dari kuala Sungai Batang Syasa. Setelah berbincang dengan pembwsar sembilan suku di Tambusai, Raja Tambusai mengambil keputusan untuk memecahkan kumpulan tersebut. Tujuh suku membuka negeri di Kuala Batang Syasya mengikut raja mereka. Empat suku lagi dihantarkan oleh ke tujuh suku yang mengikut raja mereka untuk membuka negeri di Pulau ke hilir dari Kuala Sayasa. Kerana mereka di hantar oleh ke tujuh suku yang mengikut Raja Purba ke pulau tersebut maka di namakanlah pulau itu Pulau Antar. 

Sedang tujuh pembesar yang mengikut raja Purba pun membuat istana yang lengkap, rajanya enggan kerana tetap tidak mahu pindah dari rakit. Ia mahu dibuatkan sebuah rakit yang besar dan indah sebagai istana. Akhirnya dibuat sebuah rakit yang besar, lengkap dan indah sebagai istana Raja Purba. Tetapi setelah membuka negeri tersebut, raja Purba sebuk dengan hiburan dan bersuka ria sahaja. Makin lama makin lalai, lama-kelamaan ia zalim, habis semua perempuan sama ada gadis atau isteri orang diambilnya untuk memuaskan nafsu. Sehingga para pembesar tujuh suku menjadi marah, kehidupan rakyat menjadi miskin dan sentiasa dalam ketakutan. Akhirnya ketujuh pembesar tersebut berpakat dengan empat pembesar yang membuka negeri di Pulau Antar untuk menghadap Raja Tambusai. 

“Baiklah kita mupakat dengan kaum kita yang empat pihak yang didalam paulau Antar, sebarang mana mupakatkan dengan kaum kita yang empat pihak yang di dalam Pulau Antar, dan sebarang mana-mana mupakat yang baik boleh sama-sama kita mempahamkan daripada hukuman raja kita ini”.

Baiklah kita mudik ke hulu mengadap raja Tambusai supaya ia tahu akan hal kita ini, minta carikan adat pusakanya akan hal kita yang demikian ini”.

Mereka mengadap raja Tambusai dan meminta supaya dikenakan tindakan terhadap raja mereka sesuai dengan undang-undang (tambo besar) yang berlaku di negeri Tambusai dan meminta supaya Raja Purba di bunuh, tetapi Raja Tambusai menolak permintaan para pembesar tersebut. 

“Tiadalah sampai hemat kita akan merusak raja itu, kerana kita tua di dalam Luwa’ Rokan ini, lagipun kita pegang aturan yang dahulu-dahulu sampai sekrang ini, maka tiadalah sampai hemat kami yang demikian itu”…Maka habiskanlah dahulu mufakat dan kebulatan mereka sebarang mana-mananya kerana belumlah kita putuskan hukumannya, demikianlah adanya”.

Akhirnya para pembesar tersebut pergi ke Rokan Kiri dan berjumpa dengan raja Kuanta. Raja Kuanta setuju untuk membunuh raja Purba, tetapi dengan syarat jika berjaya membunuh Raja Purba segala harta yang di dalam istana rakit itu harus diserahkan kepada Baginda. 
“maka jawab Raja Kuanta kepada orang yang datang itu. “Dan jikalau begitu akan kelakuan raja itu yang tiadalah patut, maka tidaklah di dalam adat dan pusaka raja itu membuat yang demikian itu kepada mereka sekalian…”

“Adalah padan janji kita apabila mati raja mereka itu dengan sebab aku perbuat, maka hendaklah mereka pulangkan seisi rakit itu kepada yang demikian itu, tetapi yang patik pohonkan segala anak buah patik di dalam rakit itu boleh patik pulangkan sekalian kepada ibu bapanya” 

Para pembesar tersebut setuju tetapi perempuan yang diambil oleh Raja Purba harus diserahkan kembali kepada orang tua mereka.

Setelah kesepakatan diambil, maka Raja Kuanta dan pembesar tersebut pergi ke istana Raja Purba. Mula-mula mereka memutuskan tali pengikat rakit tersebut. Orang-orang yang di dalam istana rakit tersebut tidak sedar kerana mereka sebuk dengan menari dan bersuka ria. Sehingga istana rakit tersebut hanyut ke Teluk Rantau Kenawang. Di situlah Raja Kuanta membunuh Raja Purba. Semua barang dalam rakit itu diambil oleh Raja Kuanta dan perempuan yang diambil oleh Raja Purba dipulangkan kepada orang tuanya sesuai dengan perjanjian. 

Kemudian para pembesar pergi menyerah diri kepada Raja Tambusai dan meminta keluarga Tambusai untuk dijadikan raja di negeri Kepenuhan. Raja Tambusai menyerahkan adik perempuannya yang bernama To’ Permaisuri untuk menjadi raja di negeri Kepenuhan. Kemudian itu Yang Dipertuan Tua Pinang Awan meminang adik Raja Aru. Kemudian Yang Dipertuan Tua kahwin dengan adik Raja Aru itu yang bernama Baruni Tarligan. Tidak lama kemudian Raja Aru nikah pula dengan To’ Permaisuri.

Bila raja Aru itu, ia meninggalkan putera yang bergelar Datuk Negeri Tinggal. Kemudian mangkat Datuk Negeri Tinggal digantikan oleh anaknya Sultan Sulaiman. Mangkat Sultan Sulaiman di gantikan oleh puteranya Tuk Maruhum Kaya, kemudian diganti pula oleh anaknya Tuk Muruhum Sutan Makula, kemudian diganti oleh Tuk Muruhum Sutan Sulaiman.

Maruhum Akhir Zaman menjadi Raja di Tambusai isteri pertamanya adik Sutan Abdullah tidak beranak. Isteri keduanya mendapat dua orang anak Tengku Mansur dan Siti Jadah. Siti Jadah ibu kepada Tengku Muda yang menggantikan Maruhum Akhir Zaman.

Silsilah Kerajaan Kepenuhan :
Periode Awal
Raja I. Raja Purba
Raja II. To' Permaisuri
Raja III. Raja Aru
Raja IV. Datuk Negeri Tingga
Raja V. Maruhum Sultan Sulaiman
Raja VI. To' Maruhum kayo
Raja VII. To' Maruhum Sultan Makulah Yang Dahulu
Raja VIII. To' Sultan Makula Yang Dahulu 
Raja IX. To' Maruhum Sultan Sulaiman
Raja X. Sultan Makula
Raja XI. Sultan Sulaiman Yang Dipertuan Muda

Periode Kedua
Raja XII. Yang Dipertuan Besar (Yang Dipertuan Muda dari Pagaruyung)

Periode Ketiga
Raja XIII. Datuk Maruhum Merah Dada
Raja XIV. Tengku Muda Sahak
Raja XV. Montuo Muda (Mencong)
Raja XVI. Tengku Sultan Sulaiman.

Silsilah Kerajaan Rokan IV Koto
yang berdiri pada pertengahan Abad ke-14 sebagai berikut :

Raja I. Sultan Seri Alam 1340-1381
Raja II. Tengku. Raja Rokan 1381-1454
Raja III. Tengku Sutan Panglima Dalam 1454-1519
Raja IV. Tengku Sutan Sepedas Padi 1519-1572
Raja V. Tengku Sutan Gemetar Alam 1572-1603
Raja VI. Yang Dipertuan Sakti Mahyuddin (Raja Pertama dari Pagaruyung) 1603-1645
Raja VII. Yang Dipertuan Sakti Lahid 1645-1704
Raja VIII. Tengku Sutan Rokan (Pemangku) 1704-1739
Raja IX. Yang Dipertuan Sakti Selo 1739-1805
Raja X. Andiko Yang Berempat (Wakil) 1805-1817
Raja XI. Dayung Datuk Mahudun Sati (Pemangku) 1817-1837
Raja XII. Yang Dipertuan Sakti Ahmad 1837-1859
Raja XIII. Yang Dipertuan SaktiHusin 1856-1880
Raja XIV. Tengku Sutan Zainal (Pemangku) 1880-1903
Raja XV. Yang Dipertuan Sakti Ibrahim 1903-1942
Catatan dari Gazali pewaris Kerajaan Rokan IV Koto (juga salinan dari catatan sejarah Rokan IV Koto, sudah hilang aslinya)

Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar yang terletak kurang lebih 85 km, di sebelah selatan Pekanbaru ibu kota Provinsi Riau. Desa Kuntu termasuk desa tertua di Propinsi Riau yang syarat dengan lembaran. Dalam buku Sejarah Minangkabau terbitan Bathara Jakarta tahun 1970, di katakan bahwa Kuntu termasuk Wilayah Minangkabau Timur (Kerajaan Kuntu Timur).

Sejak abad ke-6 pedagang dari Gujarat India mengembangkan agama Budha di Kuntu. Ini dibuktikan dimana di Kota Tinggi (Sungai Sontan Kuntu) terdapat kuburan raja darah Putih (Gagak Jao) dengan batu nisan bertuliskan huruf Kawi yang belum bisa diartikan oleh penduduk setempat, pada masa inilah Permaisuri Raja Putri Lindung Bulan menyebut daerah ini dengan sebutan “Kuntu Turoba” yang berarti aku dari tanah tempatku berpijak.

Pada tahun 670-730 M, terdapat dua kerajaan besar yaitu Cina di timur (beragama budha Mahayana) dan Khalifah Muawiyah di barat (beragama islam) masing-masing hendak memonopoli perdagangan, menanamkan pengaruh ekonomi dan agama. Namun politik Muawiyah lebih berhasil dibanding Cina sehingga abad ke-8 agama islam (syi’ah) masuk dan berkembang di Kuntu.

Dakwah pengembangan islam terhenti selama 4 abad disebabkan Cina merasa terganggu kepentingan ekonomi dan pengembangan agamanya, maka Cina mengutus dua orang sarjana agama Budha yaitu: Wajaro Bodhi dan Amogha Bajra. Sejak saat itu, pedagang dari Arab dan Persi tidak datang lagi ke Kuntu Timur. Pada masa inilah apa yang diistilahkan “Apik Tupai, Panggang Kaluang” dimana pada saat itu penduduk kehilangan pedoman/tuntunan agama.

Pada permulaan abad ke-7 sesudah Rajendra Cola dari India Selatan berhasil melumpuhkan Sriwijaya. Maka raja Palembang bernama Aria Darma mengirim surat ke Muawiyah meminta dikirimkan Ulama/mubaligh. Menindak lanjuti permohonan raja Palembang tersebut, maka Khalifah Muawiyah mengutus Syekh Burhanuddin. Yang akhirnya sampai ke Kuntu untuk mengembangkan Islam Mazhaf syafi’i kurang lebih selama 20 tahun.

Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari aliran Kampar Kiri dan Kanan. Kesultanan Kuntu atau juga disebut dengan Kuntu Darussalam di masa lalu adalah daerah penghasil lada dan menjadi rebutan Kerajaan lain, hingga akhirnya Kesultanan Kuntu dikuasai oleh Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kini wilayah Kesultanan Kuntu hanya menjadi sebuah cerita tanpa meninggalkan sedikitpun sisa masa kejayaan, Kesultanan Kuntu kini berada di wilayah Kecamatan Kampar Kiri (Lipat Kain) Kabupaten Kampar.

Kuntu di masa lalu adalah sebuah daerah yang sangat strategis baik dalam perjalanan sungai maupun darat. Di bagian barat daya Kuntu, di seberangnya ada hutan besar yang disebut Kebun Raja. Di dalam hutan yang bertanah tinggi itu, selain batang getah, juga ada ratusan kuburan tua. Satu petunjuk bahwa Kuntu dulu merupakan daerah yang cukup ramai adalah ditemukannya empat buah pandam perkuburan yang tua sekali sehingga hampir seluruh batu nisan yang umumnya terbuat dari kayu sungkai sudah membatu (litifikasi). Salah satu di antara makam-makam tua itu makam Syekh Burhanuddin, penyiar agama Islam dan guru besar Tarekat Naqsabandiyah yang terdapat di Kuntu. Makam itu berada dekat Batang Sebayang. Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir 530 H atau 1111 M di Makkah dan meninggal pada 610 H atau 1191 M. Dengan peninggalannya yang ada sampai saat ini: Sebuah stempel dari tembaga bertuliskan Arab “Syekh Burhanuddin Waliyullah Qodi Makkatul Mukarramah” dan Sebilah Pedang, tongkat, sebuah kitab Fathul Wahab dan sebuah Khutbah. Sejak masuknya Syekh Burhanuddin di Kuntu mengembangkan islam Mazhaf Syafi’i, Islam Syi’ah yang datang sebelumnya ke Kuntu kehilangan kekuatan politik dan mundur pada tahun 1238 M.

Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.

Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al-Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu.

Silsilah Kerajaan Kuntodarussalam :

Raja I. Tengku Panglima Besar Kahar Yang Dipertuan Besar 1878-1885
Raja II. Tengku Syarif Yang Dipertuan Besar1885
Raja III. Tengku Ali Kasim Yang Dipertuan Besar 1895-1905
Raja IV. Tengku Ali Tandun Yang Dipertuan Besar 1905-1910
Raja V. Tengku Ischak Yang Dipertuan Muda 1910-1921
Raja VI. Tengku Ali Momad Tengku Panglima Besar 1921-1925
Raja VII. T. Kamaruddin Tengku Sultan Machmud 1925-1935
Raja VIII. Tengku Maali Tengku Pangeran 1935-1942

Keterangan diatas hanya yang bisa penulis kumpulkan. ‎

 

Sejarah Kerajaan Segati


Kerajaan Segati didirikan oleh Tuk Jayo Sati, cucu dari Maharajo Olang dari Kuantan. Lokasi kerajaan berada di hulu Sungai Segati, 15 km dari Negeri Langgam sekarang, di tepi Sungai Kampar. Pada awalnya, pusat kerajaan berada di Ranah Tanjung Bungo, Negeri Langgam sekarang. Kemudian, oleh putranya yang bernama Tuk Jayo Tunggal, pusat kerajaan dipindahkan ke Ranah Gunung Setawar, di hulu Sungai Segati.

Dalam perkembangannya, kemudian datang utusan dari Negeri Gunung Sahilan ke Segati membawa lada hitam. Raja Segati, Tuk Jayo Tunggal membeli lada tersebut dan menjualnya ke Kota Macang Pandak Kuantan. Sejak saat itu, perdagangan lada antara Segati dengan Kuantan mulai ramai dan berkembang. Perdagangan bertambah ramai, seiring dengan datangnya utusan dari Gunung Hijau (diduga Pagaruyung) yang menawarkan timah. Tuk Jayo Tunggal membeli timah ini dan memperdagangkannya di Bandar Sangar, Kuala Kampar. Setelah Tuk Jayo Tunggal meninggal, putranya, Tuk Jayo Alam naik tahta menggantikannya

Di masa Tuk Jayo Alam berkuasa, Kerajaan Segati yang berpusat di Negeri Ranah Gunung Setawar mencapai kejayaannya. Dalam relasi perdagangan antara Segati dengan Kuantan dan Sangar, berbagai komoditas diperdagangkan, seperti rempah-rempah, terutama cabe.

Perkembangan pesat Kerajaan Segati ternyata telah menimbulkan perasaan iri pada kerajaan tetangga, yaitu Gassib. Dengan dipimpin oleh Hulubalang Panglima Puto, Raja Gassib kemudian menyerang Kerajaan Segati dan dapat menguasai Negeri Ranah Gunung Setawar. Raja Segati, Datuk Jayo Alam melarikan diri ke hulu Sungai Segati. Di sini, raja dan para pengikutnya membangun negeri baru yang mereka sebut Negeri Segati. Disebut demikian, karena perbekalan raja ketika itu tinggal sekati lada. Oleh karena itu, negerinya dinamai negeri Segati. Dari Segati, raja kembali menyusun kekuatan dan menyerang Gassib yang menguasai negerinya. Dalam serangan tersebut, Datuk Jayo Alam berhasil merebut kembali Ranah Gunung Setawar, sementara hulubalang Gassib melarikan diri ke negeri asalnya. Walaupun Ranah Gunung Setawar telah dikuasainya kembali, namun, Datuk Jayo Alam tetap memerintah dari Segati, sehingga pusat kerajaannya tetap di sana.

Setelah Tuk Jayo Alam meninggal dunia, ia diganti oleh putranya, Tuk Jayo Laut. Dinamakan demikian, karena ia sering berlayar ke laut. Pada masa ini, perdagangan lada bertambah ramai. Tuk Jayo Laut digantikan oleh putranya, Tuk Jayo Tinggi, kemudian digantikan oleh Tuk Jayo Gagah. Tuk Jayo Gagah digantikan oleh Tuk Jayo Kolombai dan kemudian digantikan oleh Tuk Jayo Bedil. Tuk Jayo Bedil adalah raja yang pertama menggunakan bedil.

Pada masa Tuk Jayo Bedil, perdagangan dengan Malaka tak dapat lagi dilakukan, karena Malaka telah dikalahkan oleh bajak laut Peringgi (Portugis). Oleh karena itu, perdagangan hanya dilakukan dengan Kuantan melalui Negeri Ranah Koto Macang Pandak.

Pada waktu itu, datanglah utusan dari Tuk Sangar Raja Dilaut meminta bantuan untuk menyerang Peringgi di Malaka. Tuk Jayo Bedil menyetujui permintaan itu dan mengirimkan angkatan perangnya, dipimpin oleh Panglima Kuntu. Bersama Tuk Sangar Raja Dilaut, Panglima Kuntu menyerang Peringgi di Laut Simpang Empat, di Pulau Siapung Atas (Serapung). Saat itu, kedua panglima ini sangat terkenal dengan angkatan lautnya yang tangguh, yang menguasai Kuala Kampar. Setelah Tuk Sangar Raja Dilaut tua, beliau digantikan oleh putranya, Tuk Sangar Raja Dilaut Muda.

Berkaitan dengan Panglima Kuntu, ia ditarik kembali ke Segati, dan pasukan dipimpin oleh Orang Besar Segati yang berasal dari Gunung Hijau bersama dengan Sultan Peminggih. Di bawah pimpinan kedua hulubalang muda ini, banyak kapal Peringgi dikaramkan.

Bertahun-tahun kemudian, datanglah utusan dari Aceh. Karena penduduk Segati masih memeluk agama Hindu-Budha, maka Aceh menuntut agar Segati memeluk agama Islam. Tuntutan Aceh ini ditolak oleh Tuk Jayo Bedil. Dalam perkembangannya, Aceh terus melakukan ekspedisi untuk menaklukkan daerah pesisir timur Sumatra. Karena Segati adalah salah satu negeri yang memperdagangkan lada, Aceh menganggap perlu untuk menaklukkan Segati. Dengan alasan penyebaran agama Islam, Aceh kemudian menyerang dan menghancurkan Segati hingga rata dengan tanah.  Dalam proses serangan tersebut, ekspedisi Aceh menggunakan jalur sungai, dengan berperahu ke arah hulu Sungai Kampar. Ketika itu, pasukan Aceh melewati daerah kekuasaan Tuk Raja Sangar Dilaut di Sungai Kampar, namun, Tuk Sangar tidak menghalangi Aceh, sebab dianggap teman sejawat dalam memerangi Portugis. Selanjutnya, dengan leluasa, Aceh terus berlayar ke arah hulu Sungai Kampar dan langsung dapat menyerang Segati.

Tentu saja Segati bukan tandingan Aceh yang memiliki pasukan terlatih itu. Setelah bertempur selama beberapa hari, Segati dapat ditaklukkan dan diratakan dengan tanah. Pasukan Aceh selanjutnya melanjutkan serangan ke arah Siak di mana berdiri Kerajaan Gasib. Sebagaimana Segati, Gassib dapat ditaklukkan oleh pasukan Aceh.

Setelah Segati kalah, Tuk Jayo melarikan diri ke daerah Petalangan Napuh, kemudian terus ke Kuantan. Bekas-bekas penaklukan Aceh saat ini masih dapat kita jumpai dengan adanya tempat-tempat yang bernama Rencong Aceh, Pangkalan Aceh, dan Lubuk Aceh. Pada tahun-tahun berikutnya, di Segati didirikan negeri baru dengan nama Tambak, tak lama kemudian, lokasinya dipindahkan ke muara sungai dengan nama baru: Langgam.

Silsilah

Berikut ini silsilah raja yang pernah berkuasa di Segati, yaitu:

Tuk Jayo Sati
Tuk Jayo Tunggal
Tuk Jayo Alam
Tuk Jayo Laut
Tuk Jayo Tinggi
Tuk Jayo Gagah
Tuk Jayo Kolombai
Tuk Jayo Bedil

Periode Pemerintahan

Sepanjang sejarah Kerajaan Segati, sekurangnya telah berkuasa delapan orang raja. Namun, belum diketahui secara detail periode masing-masing raja tersebut. Kerajaan Segati ini sezaman dengan Kerajaan Aceh dan Malaka. Maka, bisa diperkirakan bahwa, kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-15 hingga ke-16 M.

Wilayah Kekuasaan

Segati hanyalah sebuah kerajaan kecil, dengan luas wilayah diperkirakan hanya mencakup beberapa desa yang ada di hulu Sungai Segati. Jika dibandingkan secara geografis, mungkin luas wilayahnya setara dengan luas kecamatan saat ini. Saat itu, Kerajaan Segati menguasai bagian hulu Sungai Segati, sekitar daerah Langgam sekarang.

Kehidupan Sosial Budaya

Masyarakat Segati menganut agama Budha, namun, tidak ada penjelasan bagaimana sikap relijiusitas masyarakat Segati saat itu. Untuk  memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bergantung dari sektor pertanian. Ketika kerajaan masih dalam keadaan jaya, masyarakat banyak juga yang aktif di sektor perdagangan. 

Bagaimana dengan tradisi tulis baca, ritual keagamaan maupun sisi sosial budaya lainnya? karena minimnya data sejarah, terutama peninggalan tertulis, maka agak sulit untuk menggambarkan secara detil mengenai kehidupan sosial budaya saat itu.

Kejatuhan Kerajaan Segati

Pada masa pemerintahan Tuk Jayo Bedil, perdagangan dengan Malaka tidak dilakukan lagi. ‎Hal ini disebabkan telah kalahnya Malaka atas bajak laut Peringgi ‎(Portugis). Oleh karena itu, Kerajaan Segati hanya melakukan perdagangan dengan Kuantan melalui Negeri Ranah Koto Macang Pandak. Pada waktu itu, datang seorang utusan Tuk Sanggar Raja Dilaut yang meminta bantuan Kerajaan Segati untuk menyerang Peringgi di Malaka. Tuk Jayo Bedil menyetujui permintaan tersebut dan mengirimkan angkatan perangnya yang dipimpin oleh ‎Panglima Kuntu. Dengan gabungan kekuatan dua kerajaan ini, terkenallah mereka dengan angkatan lautnya yang tangguh, yang menguasai Kuala Kampar. 

Setelah tua, Tuk Sanggar Raja Dilaut digantikan oleh Tuk Sanggar Dilaut Muda dan Panglima Kuntu dipanggil kembali ke Segati. Pemimpin pasukan digantikan oleh orang Besar Segati, yang berasal dari Gunung Hijau (Pagaruyung) yang bernama ‎Sutan Peringgih. Di bawah pimpinan kedua hulubalang (Panglima Kuntu dan Sutan Peringgih), banyak kapal Peringgi dikaramkan. Beberapa tahun kemudian, datanglah utusan dari Aceh. Utusan Aceh tersebut menuntut agar Segati memeluk agama Islam. Karena Segati sebagai salah satu negeri yang memperdagangkan lada, maka, Aceh merasa perlu menaklukan negeri Segati. Saat itu, penduduk Segati memeluk agama Hindu atau Budha. Namun, tuntutan tersebut ditolak oleh Tuk Jayo Bedil. Setelah bertempur selama beberapa hari, Kerajaan Segati dapat ditaklukan dan diratakan dengan tanah oleh Kerajaan Aceh. Setelah Segati kalah, Tuk Jayo Bedil melarikan diri ke daerah Petalangan Napuh, kemudian ke Kuantan. Bekas-bekas serangan Aceh masih dapat dijumpai dengan adanya tempat-tempat yang bernama Rencong Aceh, Pangkalan Aceh, dan Lubuk Aceh di Riau.‎

Sejarah Kerajaan Kandis (Mungkinkah Atlantis Yang Hilang????)


Kerajaan Kandis adalah kerajaan tertua yang berdiri di Sumatera, yang terletak di Koto Alang, masuk wilayah Lubuk Jambi,Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Diperkirakan berdiri pada tahun 1 SM.

Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.

Maharaja Diraja, pendiri kerajaan ini, sesampainya di Bukit Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna. 

Istana Dhamna Sebagai Pusat Kerajaan Kandis

Ratusan tahun sebelum Masehi Bukit Bakar mulai didatangi oleh Pendatang yang kurang jelas asal usulnya. Populasi penduduk makin lama makin berkembang, yang akhirnya memerlukan suatu aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang diperintah oleh Raja Darmaswara yang disingkat dengan Daswara. Raja Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan Temenggung serta Mentri Perdagangan. Darmaswara membangun sebuah istana yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana Dhamna.

Dhamna merupakan nama istana Kerajaan Kandis. Secara turun-temurun cerita/tombonya masih tetap ada disampaikan dari generasi ke generasi. Masyarakat Lubuk Jambi meyakini istana ini masih ada, namun tertimbun dan sudah tertutupi oleh hutan yang lebat, atau lenyap dari pandangan manusia. Dalam ceritanya lokasi Istana Dhamna ini pada pertemuan dua sungai.
Namun sampai saat ini belum pernah melakukan penelusuran ke lokasi yang dimaksud. Diyakini Istananya masih utuh karena peradaban Kandis sudah sangat maju, peralatannya terbuat dari emas, perak dan perunggu.

Cerita Istana Dhamna mirip dengan cerita Benua Atlantis yang pertama kali ditulis dalam sebuah dialogue karya Plato yang berjudul Timateus and Critias sekitar tahun 370 SM, disana dikatakan ada negeri subur, makmur, dan berteknologi maju. Negeri itu hancur karena bencana alam, Plato sendiri mendapat kisah ini dari penduduk Mesir, dan orang di Mesir menyebutnya Keftiu.

Atlantis itu artinya : Tanahnya Atlas – Negeri 2 pilar/tiang yang bisa diartikan sebagai negeri dengan pegunungan-pegunungan. Atlantis dikenal sangat subur, makmur, berteknologi tinggi, dengan kota berbentuk lingkaran/cincin yang tersusun daratan dan perairan secara berurutan, negeri ini disusun berdasarkan perhitungan matematika yang tepat dan efisien sehingga tertata dengan rapi dengan sebuah istana megah tepat di pusat kota sebagai pusat pemerintahan. Penduduk Atlantis terbagi dua, yang satu adalah turunan bangsa Lemuria yang berkulit putih, tinggi, bermata biru dan berambut pirangan, yang merupakan nenek moyang suku bangsa arya, sedang satunya lagi berkulit coklat/hitam, relatif pendek, bermata coklat, dan berambut hitam.

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang. Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Portugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu dan teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.

Dalam usaha mengemukakan pendapat berdasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan kekhilafan, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditantang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu.

Lenyapnya Negeri Atlas disebabkan karena peristiwa besar terjadi, yaitu terjadinya letusan besar dari dua gunung berapi (pilar) yang mengapit, yaitu Krakatoa dan Toba. Saking dahsyatnya seluruh bumi berguncang hebat sehingga menimbulkan tsunami yang maha dahsyat, lebih hebat dari pada tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004. Gunung krakatoa dan toba adalah gunung prasejarah yang berukuran sangat besar, gunung krakatoa sekarang dan danau toba adalah kaldera raksasa yang tercipta akibat letusan tersebut. Letusan gunung toba sampai saat ini belum tau pasti kapan terjadinya, namun letusan Karaktoa yang paling dahsyat diketahui terjadi pada tahun 1883 M (puncak letusan Krakatoa).

Istana Dhamna menurut tombo/cerita bukan tenggelam ke dasar lautan, akan tetapi diduga kuat tertimbun akibat abu vulkanik dari dua gunung yang bersamaan meletus. Lokasi Istana Dhamna tersebut adalah di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau. Apakah Istana Dhamna yang dimaksud oleh Plato sebagai Benua Atlantik? Suatu pertanyaan yang belum terjawab.

Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.

Ekonomi Kerajaan
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar,rotan, dan sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.

Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.

Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain di antaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.

Tidak diketahui secara pasti, kapan berdirinya Kerajaan Kandis. Yang pasti, kerajaan ini memang ada dan merupakan kerajaan tua yang keberadaannya mendahului Kuantan. Dalam kitab Negara Kertagama, terdapat nama-nama daerah di Sumatra yang termasuk dalam Kerajaan Majapahit. Kandis merupakan salah satu daerah yang disebut. Daerah-daerah lainnya yang disebut dan sekarang masuk wilayah Riau adalah Keritang (Indragiri Hilir), Siak, Kampar dan Rokan. Dari segi lokasi, ternyata kerajaan-kerajaan ini berada di sepanjang aliran sungai-sungai besar yang mengalir di Riau. Selain dari catatan sejarah dalam Negara Kertagama, bukti keberadaan Kerajaan Kandis ini dapat diketahui dari cerita-cerita rakyat.

Ibukota kerajaan Kandis diperkirakan berada di desa yang sekarang dinamakan Padang Candi, suatu tempat di pinggir Batang Kuantan (nama Sungai Indragiri di bagian hulu), di seberang Lubuk Jambi. Desa tersebut dinamakan Padang Candi, karena berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Kandis pada masa dulu. Di desa tersebut, masih bisa ditemukan reruntuhan bangunan dan batu bata kuno. Diduga, batu bata tersebut merupakan reruntuhan candi pemujaan. Oleh karena itu, desa tersebut kemudian dinamakan Padang Candi.

Kandis merupakan sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, karena daerahnya memang subur dan menghasilkan rempah-rempah, seperti lada. Tidak banyak yang dapat diketahui mengenai Kerajaan Kandis ini, apalagi setelah dikalahkan Jambi. Berkaitan dengan nama desa Lubuk Jambi, konon nama ini punya kaitan dengan peristiwa serangan Jambi ke Kandis. Ketika itu, pasukan Jambi melabuhkan perahu-perahunya di suatu lubuk (bagian sungai yang dalam), dan menjadikan lubuk tersebut pangkalan untuk menyerang Kandis. Selanjutnya, lubuk tersebut dinamakan masyarakat sebagai Lubuk Jambi. Tidak diketahui secara pasti, kapan serangan itu terjadi.

Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut, sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).

Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi (Sumatra Barat sekarang).

Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) dimana keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan. Kedua Tokoh inilah yang menjadi Tokoh Legendaris Minangkabau.

Setelah kerajaan Kandis mengalahkan Kerajaan Koto Alang, Kandis memindahkan pusat pemerintahannya ke Taluk Kuantan oleh Raja Darmaswara (tidak diketahui Raja Darmaswara yang ke berapa). Pemindahan pusat pemerintahan Kandis ini disebabkan oleh bencana alam (tidak diketahui tahun terjadinya) yang mengakibatkan Istana Dhamna hilang tertimbun tanah atau mungkin oleh perbuatan makhluk halus yang menghilangkan istana dari pandangan manusia.

Istana Dhamna yang hilang ini pernah diperlihatkan pada tahun 1984 kepada 7 (tujuh) orang Lubuk Jambi yang waktu itu mencari goa sarang layang-layang (walet) yang dipimpin oleh seorang guru Tharekat yang bergelar Pokiah Lunak. Mereka melihat istana itu lengkap dengan pagar batu disekelilingnya. Pada tahun 1986 untuk kedua kalinya pagar istana diperlihatkan kepada tiga orang yang sedang mencari rotan/manau. Berita penemuan Istana ini menyebar dan besok harinya banyak penduduk pergi ingin melihatnya, namun tidak ditemukan lagi. Begitulah sebagai bukti istana yang hilang yang bernama Istana Dhamna sebagai peninggalan sejarah Kerajaan Kandis, satu kerajaan yang tertua di Indonesia.
Pada tahun 1375 M Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketemenggungan dan beberapa orang lainnya hilir berakit kulim sebagai napak tilas pertama menelusuri negeri asal mereka melalui sungai keruh sesuai dengan peninggalan sejarah dari leluhurnya Dt. Perpatih Nan Sabatang yang pertama pindah ke Sumatra Barat. Dalam pelaksanaan hilir berakit tersebut banyak kesulitan karena sungai masih sempit banyak kayu dan akar yang menjuntai ke sungai, sehingga rakit sering tersangkut. Untuk mengelakkan halangan ini Dt. Perpatih Nan Sabatang selalu memerintahkan kuak-kan-tan, yang akhirnya Dt. Perpatih Nan Sabatang merubah nama Sungai Keruh menjadi Batang Kuantan yang berasal dari kata kuak-kan-tan.

Setelah mereka sampai di Kerajaan Kandis Dt. Perpatih Nan Sabatang menukar nama Kerajaan Kandis dengan Kerajaan Kuantan yang pada waktu itu kerajaan Kandis diperintah oleh tiga Orang Godang, yaitu Dt. Bandaro Lelo Budi dari Kari, Dt. Pobo dari Kopah dan Dt. Simambang dari Sentajo yang selanjutnya dikenal dengan Tri Buana. Pemerintahan dipegang oleh Orang Godang disebabkan karena terputusnya Putra Mahkota dari Raja Darmaswara.

Dt. Perpatih Nan Sabatang mengadakan pertemuan dengan ketiga Orang Godang tersebut serta menghadirkan pemuka masyarakat lainnya di Balai Tanah Bukik Limpato Inuman untuk memusyawarahkan persyaratan berdirinya satu Nagori di daerah Kuantan.
Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar kerajaan Kandis mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina belakang, dengan ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat berlabuhnya kapal Raja Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah mengalahkan Kandis, Raja Sintong beserta prajuritnya melanjutkan perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah. Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).

Memang, serangan Jambi tersebut telah meruntuhkan Kandis. Namun, Kandis tidak lenyap begitu saja, karena kemudian muncul Kerajaan Kuantan menggantikannya. Cerita mengenai ini tergambar dalam pantun yang masih dikenal di kalangan masyarakat Kuantan sampai sekarang, yaitu pantun Kandis-Kuantan. Dalam pantun tersebut tergambar bahwa, setelah Kerajaan Kandis runtuh, Kerajaan Kuantan berdiri menggantikannya.‎

Kisah berdirinya Kerajaan Kuantan bisa dirunut dari kisah perjalanan Sang Sapurba.

Pada tahun 1425 M Kerajaan Kuantan menerima tamu kehormatan yang berasal dari Kerajaan Chola dari India Selatan, yaitu Natan Sang Sita Sangkala dengan julukan Sang Sapurba. Sang Sapurba kawin di Semenanjung Malaka dengan Putri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Putri Lebar Daun dan mendapatkan anak empat orang yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka, Putri Candra Dewi dan Putri Bilal Daun. Sesampainya di Kerajaan Kuantan Sang Sapurba diminta oleh Dt. Bandaro Lelo Budi, Dt. Pobo dan Dt. Simambang menjadi raja di Kerajaan Kuantan. Sang Sapurba menerima tawaran tersebut.
Kerajaan Kuantan yang berpusat di Sintuo dibawah pemerintahan Sang Sapurba tidak banyak mencapai kemajuan. Peninggalan Raja Sang Sapurba hanya membuat danau Raja untuk pemeliharaan buaya di Paruso, membuat sumur dan kolam raja yang sampai sekarang masih ada bukti peninggalan Sang Sapurba tersebut. Disamping itu Sang Sapurba membunuh naga (ular) yang besar dengan keris Ganjar Iyas karena naga (ular) tersebut telah meresahkan masyarakat. Tempat mati naga (ular) tersebut diberi nama Punago artinya punah naga. Sedangkan Teluk Kuantan sekarang dijadikannya pelabuhan dagang.

Pada tahun 1435 M Sang Sapurba yang datang dengan Ceti Bilang Pandai di Kerajaan Kuantan mohon diri dan melanjutkan perjalanan ke hulu Batang Kuantan (Sumatra Barat sekarang atau Minangkabau) dan menuju Pagaruyung di Tanah Datar. Sepeninggal Sang Sapurba berdirilah kerajaan-kerajaan kecil di Kuantan dan hilang fungsi Orang Godang nan batigo yang membantu Sang Sapurba dalam kerajaan Kuantan.

Penyebaran keturunan kerajaan Kandis ke berbagai daerah di Sumatra ditandai dengan persamaan bahasa dengan bahasa orang Kuantan seperti ke Payakumbuh, Sibolga, Tapak Tuan, daerah Kampar, Jambi, Bengkulu dan daerah-daerah di Sumatra Barat.
Dalam perjalanannya untuk membangkitkan kembali bangsa Melayu, armada Sang Sapurba tiba di Bintan. Di sini, ia menikahkan putranya, Sang Nila Utama dengan putri raja Kerajaan Bintan. Selanjutnya, Sang Sapurba kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat daya untuk mencari tempat baru yang luas, di mana terdapat bangsa Melayu.

Akhirnya, armada Sang Sapurba sampai di muara sebuah sungai besar, yaitu Sungai Indragiri. Rombongan Sang Sapurba terus berlayar ke arah hulu Sungai Indragiri, hingga, suatu ketika, rombongannya kehabisan air, sementara air sungai masih terasa asin. Kemudian Sang Sapurba memerintahkan pengikutnya agar membuat lingkaran rotan seukuran perisai besar. Setelah rotan tersebut jadi, Sang Sapurba meletakkannya di atas permukaan air sungai yang asin, kemudian mencelupkan kakinya ke dalam lingkaran rotan tersebut. Tiba-tiba, air sungai yang semula asin berubah menjadi tawar. Konon, peristiwa tersebut terjadi di daerah Sapat, Indragiri Hilir. Rombongan Sang Sapurba mengambil perbekalan air secukupnya, kemudian kembali melanjutkan pelayaran menghulu Sungai Kuantan. Akhirnya, mereka sampai di pusat Kerajaan Kuantan di Sintuo. Pelabuhan yang dimiliki kerajaan ini sangat indah, terletak di dalam lingkaran lembah sebuah bukit. Di sana terlihat kapal-kapal para pedagang Cina dan India yang membawa berbagai barang dagangan untuk ditukar dengan emas.

Ketika Sang Sapurba datang, Kerajaan Kuantan tidak memiliki raja. Oleh sebab itu, kedatangan Sang Sapurba disambut gembira oleh rakyat Kuantan, baik para pembesar, pemuka masyarakat, maupun rakyat jelata. Kemudian, mereka sepakat mengangkat Sang Sapurba menjadi raja, dengan persyaratan, Sang Sapurba bersedia membunuh Naga Sakti Muna yang telah merusak ladang milik rakyat.

Sang Sapurba kemudian memerintahkan hulubalangnya, Permasku Mambang untuk membunuh sang naga dengan berbekal sundang (pedang modern) pemberian Sang Sapurba. Hulubalang Permasku Mambang berhasil membunuh naga tersebut, sehingga Sang Sapurba diangkat menjadi raja di Kuantan dengan gelar Trimurti Tri Buana. Dengan peristiwa ini, Kuantan kembali memiliki raja dan meneruskan warisan Kandis.

Periode Pemerintahan

Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kerajaan Kandis-Kuantan ini berdiri. Data yang ada sangat minim dan tidak mampu menjelaskan secara lebih detil mengenai kisah kerajaan ini. Namun, ada informasi yang menyebutkan bahwa, ketika Kuantan berdiri menggantikan Kandis, ibukota kerajaan yang semula di Padang Candi dipindahkan ke Sintuo, seberang Koto Taluk Kuantan sekarang ini.

Wilayah Kekuasaan

Daerah kekuasaan Kerajaan Kandis-Kuantan lebih kurang meliputi daerah Kuantan sekarang ini, yaitu mulai dari hulu Batang Kuantan, negeri Lubuk Ambacang sampai ke Cerenti.
Kehidupan Sosial Budaya‎

Berikut ini sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat di Kuantan. Negeri ini disebut juga Rantau Nan Kurang Esa Dua puluh. Di setiap desa, ada tanah yang disebut tanah koto. Tanah koto ini adalah tanah perumahan yang menjadi milik bersama seluruh warga negeri. Setiap koto dikelilingi oleh parit yang lebar dan dalam pada tiga bagian sisinya, sedangkan satu sisi lain biasanya langsung berbatas dengan Batang (sungai) Kuantan.

Di koto ini, terdapat rumah adat milik suku. Sementara tanah untuk perladangan,padang penggembalaan (padang rumput) untuk ternak, dan perkandangan terletak di luar koto. Setelah negeri berkembang dan menjadi ramai, banyak orang membuat rumah di tanah perladangan masing-masing. Dengan demikian, timbul banjar-banjar (dusun) baru. Semakin banyak penduduk suatu negeri, semakin banyak pula  banjarnya.

Dalam perkembangannya, penduduk asli yang awalnya berdiam jauh dari sungai Kuantan dan hidup dari peladangan kasang, kemudian pindah ke banjar-banjar yang baru didirikan tersebut, dan membiasakan diri dalam perladangan padi pada tanah tetap.

Dalam setiap banjar, terdapat empat suku, karena itu, tanah koto kemudian dibagi menjadi empat bagian. Pada tiap-tiap suku, terdapat empat orang pemangku adat, yaitu seorang penghulu sebagai kepala suku, seorang monti atau menti (menteri), seorang dubalang (hulubalang), dan seorang pegawai agama. Jadi, pemerintahan dalam suatu negeri di Rantau Nan Kurang Esa Dua Puluh terdiri dari enam belas orang, yang disebut dengan Orang Nan Enam Belas. Namun dalam rapat-rapat negeri, hanya penghulu saja yang berhak berbicara. Menti, Dubalang, dan pegawai agama hanya bertindak sebagai penasihat penghulu, yang hanya akan berbicara dalam rapat negeri atas permintaan penghulu masing-masing. Dalam rapat-rapat suku, ketiga orang pemuka adat tersebut memiliki kekuasaan dan hak yang sama dengan penghulu, karena masing-masing mengepalai atau mewakili sebagian dari suku.

Di koto terdapat balai penghulu yang dinamakan balai adat. Tempat tersebut merupakan tempat Penghulu Nan Berempat bersidang untuk memutuskan perkara-perkara, dan membicarakan kepentingan negeri keseluruhannya. Setelah agama Islam masuk, susunan pemerintahan seperti ini tetap dipertahankan. Oleh karena itu, hanya di koto-lah terdapat tempat orang melakukan salat Jumat dan salat hari raya. Memiliki balai dan masjid merupakan syarat mutlak bagi sebuah perkampungan agar dapat dipandang sebagai suatu negeri.

Di tiap-tiap banjar terdapat balai tua banjar, yaitu tempat keempat orang tua banjar bersidang membicarakan dan memutuskan perkara dan kepentingan banjar. Seorang tua banjar adalah wakil penghulu, tetapi tidak termasuk sebagai orang adat. Artinya, jabatannya tidak diwariskan menurut adat. Karena jumlah penghulu ada empat orang, maka tiap-tiap banjar pun memiliki empat orang tua banjar. Saat akan mengangkat orang tua banjar, penghulu harus berunding terlebih dulu dengan ketiga orang pemangku adat tersebut di atas.

Tiap-tiap negeri merupakan daerah otonom yang memiliki wewenang penuh,genting memutuskan, bebiang mencabiakkan. Artinya, memutuskan setiap masalah yang timbul dalam negeri. Pada mulanya di setiap negeri terdapat seorang gedang, seorang sekoto. Namun lama-kelamaan orang gedang seorang sekoto terdesak oleh adanya semangat demokrasi, sehingga fungsinya tidak lebih dari “orang tua” (penasihat penghulu) dan akhirnya hilang sama sekali. Seperti dikatakan sebelumnya, dalam setiap negeri hanya terdapat empat suku dan empat orang penghulu suku.

Dengan adanya orang gedang seorang sekoto tersebut, maka ada satu dari empat suku tersebut yang memiliki dua orang penghulu, yakni seorang penghulu suku dan seorang lagi orang gedang. Itulah sebabnya jabatan orang gedang tersebut lama-kelamaan hilang dengan sendirinya.

Untuk mengurus kepentingan bersama dengan negeri-negeri tetangga, maka diadakan federasi-federasi. Pada awalnya di Rantau Kuantan terdapat tiga federasi, antara lain sebagai berikut.

Empat Koto di Atas, terdiri dari negeri Sumpurago, Lubuk Ambacang, Koto Tuo, dan Sungai Pinang.
Lima Koto di Tengah, terdiri dari negeri Kari, Taluk, Simandolak, Siberakun, dan Sibuaya.
Empat Koto di Hilir, yaitu Pangian, Baserah, Inuman, dan Cerenti.
Federasi Empat Koto di atas dikepalai oleh seorang Orang Gedang bergelar Datuk Patih yang berkedudukan di Lubuk Ambacang. Federasi Lima Koto di Tengah dikepalai oleh Datuk Bendaro Lelo Budi, yang bertempat di Kari. Dan Federasi Empat Koto di Hilir dikepalai oleh Datuk Ketumanggungan yang bertempat tinggal di Inuman. Ketiga federasi tersebut membentuk federasi lagi, yaitu Konfederasi Rantau Kuantan atau Rantau Nan Kurang Esa Dua Puluh. Dinamakan demikian, karena selain terdiri dari tiga belas negeri yang tergabung dalam ketiga ferderasi tersebut, masih ada negeri-negeri lainnya yang tergabung dalam konfederasi tersebut. Empat negeri lainnya, yaitu Teluk Ingin, Toar, Gunung, dan Lubuk Tarontang yang membentuk satu federasi juga yang disebut Empat Koto Gunung atau Empat Koto di Mudik. Federasi ini berada di bawah pimpinan Datuk Bendaro.

Bukti-bukti Sejarah daerah Kuantan di Bawah Permukaan Laut

Bukti daerah Kuantan dibawah permukaan laut dimasa Sumatra bernama Pulau Perca diantaranya adalah:
Adanya tempat bernama Rawang Ojung (kapal kayu), ditempat ini dahulunya Ojung menjatuhkan sauh/jangkar (di Desa Pulau Binjai sekarang).
Adanya tempat bernama Rawang Ojung/Rawang Tekuluk (di Desa Sangau sekarang).
Ditemukannya fosil kerang laut di Sosokpan pada tahun 1982 oleh penduduk waktu menggali tanah membuat kebun. Dinamakan tempat ini dengan Sosokpan maksudnya ditempat ini dahulunya binatang menyosok/minum ke tepi pantai.
Adanya nama tempat bernama Sintongah di Desa Sangau, dimana Raja Sintong (Raja Sriwijaya) mengadakan ekspedisi ke Kerajaan Kancil Putih dan ditempat ini mereka menjatuhkan jangkar, sehingga tempat ini dinamakan Sintongah.
Pada tahun 2000 M ditemukan batu laut di daerah Cengar oleh seorang Mahasiswa Arkeologi dari Universitas Hasanudin Makasar.

Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Kandis:
Bekas penambangan emas yang disebut dengan tambang titah, artinya diadakan penambangan emas atas titah Raja Darmaswara. Lokasinya dikaki Bukit Bakar bagian timur yang lobang-lobang bekas penambangan telah ditumbuhi kayu-kayuan.
Adanya daerah yang bernama Muaro Tombang (Muara Tambang) yang terletak di sebelah hilir tambang titah.
Istana Dhamna yang berlokasi di Bukit Bakar (belum terungkap).

Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Koto Alang:
Adanya tempat yang disebut Padang Candi di Dusun Botung (Desa Sangau), menandakan Kerajaan Koto Alang menganut agama Hindu. Pada tahun 1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. Dilokasi tersebut ditemukan potongan-potongan batu bata candi.
Dilain tempat telah berulang kali diadakan penggalian liar dari situs Kerajaan Koto Alang tanpa diketahui maksud dan tujuan oleh penduduk dan tanpa sepengetahuan Pemangku Adat dan Pemerintah. Penggalian tersebut dilakukan dimana diperkirakan letaknya istana Koto Alang di Dusun Botung tersebut.
Pada tahun 1970-an banyak penemuan masyarakat yang mendulang emas seperti cincin, gelang, penjahit emas, dan mata pancing dari emas.
Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh disekitar Kerajaan Koto Alang.
Pada tahun 2007 dilakukan penggalian oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah. Pada penggalian sebelumnya mereka menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Adanya sungai yang mengalir dipinggir Padang Candi yang disebut dengan Sungai Salo yang berasal dari kata Raja Bukak Selo karena dikalahkan oleh Kerajaan Kandis.
Adanya tempat bernama Lopak Gajah Mati sebelah selatan Pasar Lubuk Jambi. Tempat itu merupakan tempat Gajah Tunggal mati dibunuh oleh Raja Koto Alang yang dibunuh dengan lembing sogar jantan. Disebut Gajah Tunggal karena gading gajah tersebut hanya satu sebelah kiri kepalanya. 

Gading tersebut telah dijual pada tahun 1976 karena tidak tahu nilai sejarahnya. Didalam kepala gajah ditemukan sebuah mustika yang sangat indah sebesar bola pimpong. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah Mati dinamakan dengan Batang Simujur, artinya mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.

Bukti Kerajaan Kancil Putih
Adanya ekspedisi Raja Sintong (Raja Sriwijaya) ke Kerajaan Kancil Putih, sehingga ada nama tempat Sintongah di Desa Sangau.

Demikianlah gambaran singkat tentang Pulau Atlas, Istana Dhamna, Kerajaan Kandis dan beberapa kerajaan yang pernah ada di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau (peta dan letak lokasinya dipegang oleh tim penelusuran peninggalan kerajaan Kandis yang dibentuk oleh Pemangku Adat Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal). Kalau Kerajaan Kandis ini Benua Atlantis yang dimaksud oleh Plato, berarti peninggalan Kerajaan Kandis termasuk warisan budaya dunia. Oleh karena itu partisipasi berbagai pihak (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemangku Adat dan masyarakat setempat) sangat menentukan dalam mengungkap kembali pusat peradaban dunia tersebut.

Ini hanyalah sebuah analisis pemikiran tanpa dasar ilmiah yang kuat, jadi sampai saat ini catatan tentang kerajaan Kandis sangat Minim, mungkin hanya terdapat dalam Kitab Negara Kertagama, mohon masukan dari yang lebih ahli, tentang Kerajan Kandis.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...