Selasa, 24 November 2020

Sejarah Syaikh Hamzah Al-Fansuri


Kita tidak asing lagi denganSyekh Hamzal al-Fansuri. Beliau dikenal sebagai salah satu perlopor sastra melayu. Puisi-puisinya banyak diperbincangkan dan menjadi rujukan sastrawan-sastrawan setelahnya.

Syeikh Hamzah Fansuridiakui salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya (Abad 16 dan 17), sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.

Syeikh Hamzah al-Fansuri, kiranya namanya di Nusantara di kalangan Ulama dan Sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj. Faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain.

Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.

Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga. Ia berasal dari keluarga Fansuri, yang telah turun temurun berdiam di Fansur. Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri yang berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi”
Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu “wujud” dan “Syahr Nawi”. Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan (laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.
Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes, mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India, Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang kemudian dikembangkannya di Aceh.

Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkeh dan Madinah. Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT. Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab. Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab. Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya. Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel. Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda. Ar-Raniry menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis. Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.

Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dnegan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di Jawa. Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:
“asalnya manikan tiada kan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu"

Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh menguasai bahasa Jawa. Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke Kudus bukan sekedar bermakna simbolis. Drewes membantah pendapat diatas yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus. Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke Kudus.

Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.

Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia tasawuf yang sejati. Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.

Hamzah Fansuri telah berhasil mngukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan keislaman di dunia Islam. Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya.

Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut itthad.
Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan mereka. 

Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, ada pendapat yang menemukan makam beliau di Ujong Pancu Aceh, ada juga di subulussalam aceh, dan ada juga pendapat, makam Hamzah ada di Babul Ma'la, yakni komplek mpemakaman "elit" di Makkah. ia dibaringkan dalam satu komplek besama dengan Khatijah, Aishay, Fatimah dan keluarga nabi dan sahabatnya yang lain. ini disebabkan kebesaran dan pengaruhnya di Arab pada masa itu (abat XV).

Dari syair dan dari namanya sendiri sudah sekian lama berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri, ayah dari Abdur Rauf Singkel Fansuri. Pada ahli cenderung memahami dari syair bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahrmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahrmawi itu. Ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.

Kiranya namanya di Nusantara di kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Syeikh Hamzah Fansuri diakui seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya, sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di nusantara dari abadnya hingga ke abad kini. Dalam buku-buku sejarah mengenai Aceh namanya selalu diuraikan dengan panjang.

Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa. Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang intelektual yang berani dimasanya. Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktekl yoga yang sesat dan jauh dari amalan syari’at.

Karya-karyanya

Hamzah Fansuri menghasilkan karya tulis yang banyak, akan tetapi karya-karya tulisnya itu bersama karya-karya tulis Syamsuddin Sumatrani, dibinasakan (dibakar) berdasarkan perintah Sultan Iskandar Sani atau anjuran Huruddin al-Riniri, mufti dan penasehat agama di Istana Sultan tersebut
Di antara syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :

Syair Burung Pingai
Syair Dagang
Syair Pungguk
Syair Sidang Faqir
Syair Ikan Tongkol
Syair Perahu

Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain : 

Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
Syarbul ‘asyiqiin
Al-Muhtadi
Ruba’i Hamzah al-Fansuri

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana setempat, yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh R.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :

The Misticum of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968

Puisi-puisi penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian seperti, faqir, asyiq dan lain sebagainya. Tanda serupa ini kita jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Di antara tanda kesufian yang banyak ditemukan di dalam syair-syair Hamzah Fansuri ialah anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti Hamzah Miskin, Hamzah Gharib dan lain-lain.

Paradoks

Salah satu ciri penting yang melekat pada karya-karya penyair mistik atau sufistik sejak dahulu ialah ungkapan-ungkapan yang mengandung paradoks, dalam tradisi sufi bentuk-bentuk ungkapan paradoks muncul pertama kali dalam ucapan-ucapan teofani (yathiyat) bayazid, al-Hallaj, al-Miffaru, Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Di dalam syair-syairnya Hamzah Fansuri sering menampilkan ucapan-ucapan syathyat bayazid dan al-Hallaj, dua wira sufi yang diteladaninya. Ucapan-ucapan terkenal kedua sufi itu ialah “subhani!” (terpujilah daku) dan “Ana al-Haqq” (aku ialah kebenaran kreatif). Selain berfungsi memadatkan pengucapan puitik, kutipan ucapan syathiyat ini memberikan suasana ekstase atau kegairahan mistik dan juga untuk mengukuhkan tafsir sufistik penyair terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits qudsi yang terdapat di dalam bait-bait sebelumnya, misalnya di dalam ikatan-ikatan yang menggambarkan pengalaman fana penyair.

Sabda rusul Allah Nabi kamu
Lama’a Allah sekali waqtu
Hamba dan Tuhan menjadi satu
Inilah ‘arif bernama tahu
Kata Bayazid terlalu ali
Subhani maa’zamasha’ni
Inilah ilmu sempurna fani
Jadi senama dengan hayy al Baqi
Kata mansur penghulu asyiq
aitu juga empunyai nathiq
Kata ini siapa la’iq
Mengatakan diri akulah khaliq
Dengarkan dirimu hai orang yang kamil
Jangan menuntut ilmu yang bathil
Tiada bermanfaat kata yang jahil
Ana’al haqq mansur itulah washil
Hamzah Fansuri terlalu karam
Ke dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombaknya padam
Menjadi sultan pada kedua laman

Syeikh Hamzah Fansuri Sebagai Pembaharu

Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor bagi perkembangan kebudayaan Islam, sumbangannya sangat besar. Di bidang keilmuan Syeikh telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri.

Di samping itu Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruh estetika dan puitika yang diasaskan oleh Syeikh Hamzah Fansuri di dalam kesusasteraan Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20. Khususnya di dalam karya penyair pujangga baru seperti Sanusi Pane, dan Amir Hamzah, sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan 70-an danarto dan Sutardi Calzoum Buchiri berada di dalam satu jalur estetik dengan Syeikh Hamzah Fansuri.

Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat diingkari apabila kita mau berjujur. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua Franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan, di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700 kata ambilan dari bahasa Arab yang bukan saja memperkaya perbendaharaan kita bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya melayu.

Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya

Ajaran Wujudiyah

Peranan penting Syeikh Hamzah Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya. Salah satu karya penting dari Syeikh Hamzah Fansuri adalah Zinat al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit antara faham wahdatul wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Syeikh Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaharu melalui karya-karya Rubba al-Muhakkikina, Syair Perahu dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya

Sebagai seorang tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri pernah memperlihatkan dalam karya-karyanya bahwa Syeikh mempunyai hubungan dengan tasawuf yang berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Syeikh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16. Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh Hamzah Fansuri di dalam cinta (‘isyq) dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibnu ‘Arabi serta Iraqi untuk menopang pemikiran kesufiannya. Hubungan Syekh Hamzah Fansuri dengan para penulis jarang sekali memperoleh perhatian para sarjana tasawuf di Indonesia. Padahal selain Ibnu ‘Arabi pemikir sufi yang banyak memberi warna pada pemikiran wujudiyah. Syeikh ialah Fakhruddin Iraqi. Seringnya Syeikh menyebut dan mengutip lama’at lama’at karya Iraqi, memperlihatkan adanya perhatian istimewa antara pandangannya dengan pandangan Iraqi

Yang selalu disangga oleh orang tentang ajaran Hamzah Fansuri ialah karena faham “wahdatul wujud”, “hulul”, “ittihad” karenanya terlalu mudah orang-orang mengecapnya sebagai seorang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Ada orang yang menyangka bahwa beliau adalah pengikut faham syi’ah, ada juga yang mempercayai bahwa ia adalah bermadzab syafi’i di bidang fiqih, dalam pegangan tasawuf, beliau pengikut thariqat Qadiriyah yang dibangsakan kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani

Walaupun pemikiran wujudiyah telah berakar lama di dalam pemikiran para sufi sebelum abad ke13 seperti Hallaj, Imam al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, namun pemakaian istilah wahdatul wujud sebagaimana kita kenal sekarang ini bukan berasal dari Ibn ‘Arabi, istilah tersebut mula-mula dikemukakan oleh Qunawi setelah melakukan tafsir yang mendalam atas karya-karya Ibn ‘Arabi. Istilah Wahdatul Wujud (dari mana istilah wahdatul wujud berasal) dikemukakan untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuannya yang berbagai di alam fenomena (alam al-khalq). Tuhan sebagai dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaannya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian. Kalau tidak demikian maka dia bukan yang zakir dan yang batin, sebagaimana al-Qur’an mengatakan, dan kehampirannya kepada manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena manifestasi pengetahuannya berbagai-bagai dan memiliki penampakan zakir dan batin, maka di samping transenden dia juga immanen (tashbih). Dasar-dasar gagasan wujudiyah semacam inilah yang dikembangkan Iraqi.

Dikatakan bahwa Rahman merupakan perhimpunan sekalian ibarat, artinya hakikat dari sekalian ma’lumat (yang diketahui) yakni segala ciptaan-Nya. Tanpa rahman-Nya tak mungkin segala sesuatu itu memperoleh kewujudan, dan itulah sebabnya dikatakan bahwa wujud rahman-Nya merupakan hakikat segala barang ciptaan. Menurut Ibn ‘Arabi, sebelum bermulanya penciptaan, di dalam kesendiriannya Tuhan merenung dan melihat (syuhud) ke dalam dirinya dan tampaklah pengetahuannya yang tak terhingga dan masih merupakan perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfi), di dorong oleh cintanya terbitlah kehendaknya untuk dikenal, maka dia menciptakan dan dengan demikian dia dikenal. Ciptaan-Nya adalah pemakluman (ma’lumat) dari pengetahuannya yang melalui mereka Dia dikenal.

Zinat al-Wahidin

Kitab ini agaknya merupakan ringkasan ajaran wahdatul wujud yang telah diasakan oleh Ibn ‘Arabi, Sadruddin Qunawi, Fakhrudin Iraqi dan Abdul Karim al-Jilli. Di dalamnya diuraikan pula cara-cara mencapai makrifat menurut disiplin keruhanian tarekat Qadariyah. Ini tidak sukar dibuktikan karena di dalam syairnya Syeikh Hamzah Fansuri menyatakan bahwa telah dibaitkan di dalam tarekat tersebut di Shahr Nawi dan sekembalinya dari Makkah, Yerussalem, Baghdad, dan Gujarat, Syeikh bertambah masyhur sebagai ahli tasawuf dan guru keruhanian. Kitab ini disusun di dalam tujuh bab.

Bab V ini merupakan bab penting, sebab di dalamnya Hamzah Fansuri menguraikan prinsip-prinsip antologi wujudiyah, yaitu mengenai tajalli zat Tuhan. Hamzah Fansuri menerjemahkan tajalli sebagai ‘kenyataan’ dan penunjukkan, maksudnya penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam semesta dan isinya. Penciptaan secara menurun tersusun dari lima martabat, yaitu dari atas ke bawah, dari yang tertinggi ke yang terendah sesuai peringkat keruhanian dan luas sempit sifatnya, dari yang umum kepada yang khusus. Zat Tuhan disebut lata’ayyun, yakni tiada nyata. Di sebut lata’ayyun karena akal pikiran, perkataan, pengetahuan dan makrifat manusia tidak akan sampai kepadanya. Pandangan ini didasarkan pada hadits Nabi “tafakkaru fi khalq-i’l-laah-i wa laa tafakkaruu fii dzaat-i’l-laah” (pikirkan apa saja yang diciptakan Tuhan tetapi jangan pikirkan tentang zatnya.

Walaupun zat tuhan itu lata’ayyun namun dia ingin dikenal, maka dia mencipta alam semesta dengan maksud agar dirinya dikenal “kehendak supaya dikenal” inilah yang merupakan permulaan tajalli Ilahi. Sesudah tajalli dilakukan maka dia dinamakan ta’ayyun yang berarti “nyata”. Keadaan ta’ayyun inilah yang dapat dicapai oleh pikiran, pengetahuan dan makrifat.

Ta’ayyun zat Tuhan terbagi ke dalam empat martabat :

Ta’ayyun awwal, kenyataan Tuhan dalam peringkat pertama yang terdiri dari ilm (pengetahuan), wujud (ada), syuhud (melihat / menyaksikan) dan nur (cahaya). Dengan adanya pengetahuan maka dengan sendirinya Tuhan itu Alim (mengetahui atau maha tahu) dan ma’lum (yang diketahui). Karena dia itu wujud maka dengan sendirinya dia ialah yang mengada, yang mengadakan atau yang ada, karena cahaya maka dengan sendirinya dia adalah yang menerangkan (dengan cahayanya) dan yang diterangkan (oleh cahayanya).

Ta’ayyun tsani (dikenal juga dengan ta’ayyun ma’lum), kenyataan Tuhan dalam peringkat kedua, yakni kenyataan menjadi yang dikenal atau diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan menyatakan diri dalam bentuk yang dikenal atau yang diketahui, pengetahuan yang dikenal disebut al-ayan al-tsabitah, yakni kenyataan segala sesuatu. Al-A’yan al-tsabitah juga disebut Suwar al-Ilmiyah, yakni bentuk yang dikenal, atau al-haqiqah al-asyya, yakni hakikat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idlafi, yakni ruh yang terpaut.

Ta’ayyun tsalits, kenyataan Tuhan dalam peringkat ketiga ialah ruh manusia dan makhluk-makhluk.

Ta’ayyun rabi’ dan khamis, kenyataan Tuhan dalam peringkat keempat dan kelima adalah penciptaan alam semesta, makhluk-makhluk, termasuk manusia, penciptaan ini tiada berkesudahan dan tiada berhingga, ila mala nihayat-a lah-u.

Hamzah Fansuri menerjemahkan perkataan wajh sebagai zat, yaitu at yang telah ber-ta’ayyun. Adapun Tuhan itu mutlak, karena itu Ibn Arabi menyebut dia sebagai wajib al-wujud, yaitu wujud yang Qa’im sendirinya, sedangkan alam semesta disebut sebagai mumkin al-wujud, wujud yang mungkin atau nisbi karena adanya tergantung kepada wujud mutlak yaitu wajib al-wujud. Hamzah Fansuri memang mengikuti Ibn ‘Arabi, yang mengatakan bahwa wujud mutlak sebagai sebab hakiki dari segala kejadian merupakan wujud yang keberadaannya mutlak diperlukan, wajib al-wujud li dzatih.

Menurut Hamzah Fansuri alam semesta dan isinya berasal dari Allah, bukan dari ‘tiada’ pulang kepada ‘tiada’, tapi dari ada pulang kepada ada. Dengan ‘ada’ yang dimaksudkan ialah ‘pengetahuan’ atau ilmu Tuhan. Dia mengutip ayat al-Qur’an untuk menopang pendapatnya “innamaa amruhuu idzaa araada syai’an an yaquululahnu kunfa-yakuun” (sesungguhnya tatkala Dia berkehendak kepada sesuatu maka dia pun berkata, “jadilah kau!” maka segala sesuatu itu pun menjadi [tercipta].‎

Dengan menganalisis secara cermat istilah dan konsep kunci semacam itu, serta istilah dan konsep dalam bahasa Melayu dan melakukan perbandingan dengan istilah-istilah yang sama dengan bahasa Arab, Yunani, Persia, dan Sansekerta dalam karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri dan tokoh-tokoh lain yang serupa, dan periodesasi proses Islamisasi dan intensifikasi pandangan dunia Islam di kalangan masyarakat Melayu Indonesia melalui metafisika tasawuf, guna membumikan solusinya tersebut. Al-Attas menyediakan landasan teoritis dan langkah praktis. Pada daratan teoritis, ia dengan brilliant merekontruksi konsep metafisika, epistemologi, dan filsafat pendidikan Islam dengan merujuk pada tradisi pemikiran Islam dalam bidang kalam, filsafat, dan tasawuf.

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri merupakan awal kelahiran literatur Islam dalam bahasa Melayu, selain itu ia tercatat sebagai orang pertama kali memperkenalkan puisi dalam bentuk syair ke dalam sastra Melayu.

Beliau juga ulama pertama yang membawa Aceh atau Asia Tenggara ke faham Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang berasal dari Ibn Arabi. Hamzah Fansuri memang sering menunjukkan tasybih (kemiripan) antara Tuhan dengan alam ciptaan-Nya, tetapi ia tidak lupa menunjukkan Tanzih perbedaan esensial, antara keduanya. Oleh karena itu tidaklah tepat pagam wahdatul wujud Syeikh Hamzah Fansuri ini divonis sesat atau divonis sebagai paham pantheisme, seperti yang dipahami sebagian ahli atau ulama.

Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa. Bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahasa Melayu. Dan bahwa beliau menulis kitab-kitab tasawufnya memakai kitab-kitab bahasa Arab dan Farsi sebagai buku telaahnya. Keahliannya di bidang bahasa adalah hasil dari pengembaraannya yang jauh, dia pernah sampai ke berbagai negeri di Timur tengah utamanya Makkah dan Madinah. Negeri-negeri Nusantara yang pernah di jalaninya seperti Pahang, Kedah, Banten dan Jawa. Pengembaraannya adalah pengembaraan jasad dan rohani.

Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru
Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya. Karena itu, tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupuan sastra.
Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis didalam bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri.

‎Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian. Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetika.‎

 

Manaqib Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari


‎Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa,Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town,Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.‎


Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf.

Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.

Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniridan mendalami tarekat Qadiriyah.

Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.

Syaikh Yusuf adalah seorang ilmuwan, sufi, penulis, dan komandan pertempuran abad ke-17, Beliau adalah Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah keBanten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.

Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Pada masa hidupnya sampai sekarang, Syekh Yusuf al-Makassari dikenal pada empat negeri, yaitu Kesultanan Banten (Jawa Barat), Tanah Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan), Caylon (Srilanka) dan Cape Town (Afrika Selatan). Beliau adalah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Caylon dan Afrika Selatan. Malah beliau dianggap sebagai bapak pada beberapa kumpulan masyarakat Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis. Bagi warga Cape Town, Dia tidak hanya diakui sebagai ulama, namun juga pejuang bagi rakyat Afrika Selatan. Daerah tempat tinggal Syekh Yusuf di Cape Town diberi nama sebagai kawasan Macassar untuk menghormati tempat asalnya. Syekh Yusuf al-Makassari telah menjadi kebanggaan Islam pada masa kini. Beliau bukan lagi sekedar milik orang Bugis di Sulawesi Selatan, atau milik masyarakat Islam di Afrika Selatan dan Ceylon, tetapi beliau telah tercatat sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika Selatan) pada tahun 1994, dan sebagai pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan oleh Soeharto (Presiden RI) bulan November 1995. Penghargaan yang diberikan kepadanya karena perjuangan beliau semasa hidupnya, baik sebagai seorang pejuang atau mujahid dakwah maupun sebagai ulama atau tokoh cendekiawan Islam. Beliau selama hidupnya dianggap duri dalam daging oleh penjajah barat di Nusantara.

Menurut Lontara warisan kerajaan Kembar Gowa dan Tallo masa kelahiran Syekh Yusuf adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan. Ini berarti masa lahir beliau setelah dua puluh tahun pengislaman kerajaan kembar Gowa dan Tallo oleh seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang digelari dengan Datuk ri Bandang, Sebagai manusia biasa, ia dilahirkan ke persada bumi ini melalui seorang ayah dan seorang ibu. Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa.

Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun. banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong. (Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa, 12 Zulhidjah 1116 H.) Masih menjadi pertanyaan besar, di mana sesungguhnya jenazah Syekh Yusuf dimakamkan. Di masing-masing makam tersebut, masyarakat sekitar sangat meyakini jenazah Syekh Yusuf berada di makam setempat.

Seorang ulama besar tidak mungkin lahir dengan sendirinya, tanpa melalui tempaan-tempaan yang berat. Termasuk tempaan dalam mencari ilmu. Mengetahui guru-gurunya juga sebagai pemetaan jaringan ulama dan corak paham kegamaan yang dikembangkannya. Begitu juga dengan Syekh Yusuf :

Sejak agama Islam menjadi pengangan masyarakat di tanah Bugis, sistem pendidikan awal kepada anak-anak mereka adalah menyampaikan ayat-ayat al-Quran al-Karim melalui cara tradisional dalam pengajaran baca tulis al-Quran. Maka Syekh Yusuf al-Makassari pun tidak lepas dengan sistem itu. Sejak kecil beliau mulai diajarkan hidup secara Islam.

Beliau dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan dia berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.

Salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus pada waktu itu berada di Cikoang, yang saat itu merupakan perkampungan para guru-guru agama. Mereka adalah keluarga-keluarga sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW.  Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana yaitu Syeikh Jalaludin al-Aidit, selain itu beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan al-Quran melalui seorang guru mengaji yang bernama Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an.

Setelah fasih membaca al-Quran, beliau dibawa oleh orang tuanya ke pondok Pesantren Bontoala untuk menuntut ilmu-ilmu Islam dan ilmu alat, seperti Nahw, sarf, Balaghah, dan Mantiq. Pondok atau pusat pendidikan Bontoala yang didirikan pada tahun 1634, pada masa itu dipimpin oleh seorang ulama yang berasal dari Yaman yang bernama Syed Ba’Alawy bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-Allamah Tahir.

Setelah beliau menamatkan pelajarannya di pondok pesantren Bontoala, gurunya Syed Ba’ Alawy menyarankan kepadanya agar terus melanjutkan pengajian di pondok Cikoang. Ada beberapa tahun lamanya Syekh Yusuf belajar di pondok Cikoang di bawah bimbingan dan asuhan Syekh Jalaluddin. Karena kecemerlangan dan kecerdesan otaknya dalam mengikuti  pengajian, akhirnya beliau disarankan oleh gurunya untuk meneruskan pelajarannya di Jazirah Arabia. Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat untuk menuntut ilmu tidak padam oleh tawaran-tawaran kehidupan enak ala istana. Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah.

Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.

Tepat pada tanggal 22 September 1644 diusia 18 tahun Yusuf muda berangkat menumpang kapal melayu, dengan tujuan menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabiah terutama di Mekah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten,Dalam persinggahan inilah ia berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten, Disini dia bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir, Sultan kerajaan Banten pada masa itu.

Kemudian dia berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Yang lahir di Ranir Gujarat India, setelah dari Aceh lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama disana.

Negeri Yaman adalah persinggahan beliau pertama dan berguru kepada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy. Lalu ke kota Zubaid berguru kepada Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah Gurunya yang kedua ini adalah seorang muhaddits dan tokoh sufi, dan beliau lebih dikenal sebagai ulama Ahl  al-Sunnah  wa al-Jamâ’ah di negeri Yaman pada zamannya.

Musim haji pun tiba maka beliau berangkat ke Mekkah. Setelah menunaikan ibadah Haji maka beliau berangkat ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Sekaligus meneruskan pengajiannya di sana. Beliau berguru kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani. dan Hassan al-Ajamiy.

Dari situ Yusuf muda masih melakukan perjalanan studinya ke Negeri Syam (Damaskus) kepada Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi seorang tokoh dakwah dan ulama Sufi serta pakar hadits yang amat masyhur di zamannya, disini Syekh Yusuf mendapatkan predikat “Summa Cum Laude” bergelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. tercatat juga bahwa beliau mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah.

Disini terkesan beliau memiliki pengetahuan yang tinggi.  Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Untuk melengkapi pengalamannya, beliau melanjutkan perjalanan ke Istambul (Turki). Selepas beliau menimba banyak pengalaman di Istambul, beliau cenderung  kembali ke Mekah dan tinggal beberapa lama di sana. Di samping tujuan beribadah juga untuk mengkaji ulang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya selama dalam pengajian. Pada masa inilah beliau gunakan kesempatan mengajar kepada pelajar-pelajar yang berasal dari Nusantara dan memberi pengajian umum di masjid al-Haram pada musim haji kepada jamaah haji, terutama mereka yang berasal dari tanah Bugis (Sulawesi Selatan).

Di antara murid-murid beliau yang mendapat kepercayaan mengajarkan ilmu-ilmu yang diterimanya di Mekah ialah Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuang Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng. Mereka adalah berasal dari Sulawesi Selatan, dan mereka inilah yang menghidup suburkan tarekat Khalwatiyyah Syekh Yusuf di tanah Bugis.

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi. Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan. Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri. 

Pemikiran tasawuf yang ia kembangkan menegaskan peran tasawuf yang besar dalam pembentukan karakter keberagamaan Islam di nusantara. Beberapa ajarannya, yaitu Makna Tasawuf Hubungannya dengan Akidah, Konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud,Konsep Ma’rifat dan Haqiqat, Makna Zikrullah, Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang, Karamah, Mu’jizat dan Istidraj, dan Al-Insan al-Kamil, memberikan pengaruh besar dalam keberagamaan umat Islam di Nusantara.

Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah: (1) Kaifiyat al-munghi Wal Istbat (2) Safinat an-Najat (3) Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid (4) al-Barakat as-Sailaniyah (5) an-Nafhati as-Sailaniyah (6) Mathalib as-Salikin (7) Risalat Ghayah al-Ikhtisar.

Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon. Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzaliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer. Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah.  

Syekh Yusuf adalah seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam di Nusantara. Keluasan ilmu yang beliau peroleh melalui kontak ilmu pengetahuan dengan pusat-pusat keilmuan Islam telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya yang brilian adalah sebuah  warisan emas bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

Konsep-Konsep Tasawuf Syekh Yusuf al-Makassari

Makna Tasawuf dan Hubungannya dengan Akidah.

Syekh Yusuf al-Makassari dalam kajiannya tidak membedakan antara perkataan tasawuf dan suluk. Beliau menyatakan bahwa istilah tasawuf merujuk kepada kaedah pengalaman syariah semata-mata. Suluk pada hakikatnya adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pengalaman syariah Islam, yaitu ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Walau bagaimanapun istilah tasawuf biasa juga digunakan merujuk kepada hasil dari pada amal ibadah seseorang hamba. Panda‎ngan ini sesuai dengan makna tasawuf yang dikemukakan oleh al-Sya’rani dalam al-Tabaqat al-Kubra yang berbunyi sebagai berikut:

والتصوف إ نما هو زبدة عمل العبد بأ حكام الشر يعة ‏

Tasawuf adalah hasil amalan hamba terhadap hukum-hukum syari’ah.

Definisi tasawuf yang digunakan oleh Syekh Yusuf, di antaranya sebagai berikut:

الجد فى السلوك إ لى ملك الملوك . ‏

“ Bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Malik al-Muluk”. Di samping itu, definisi lain yang sering juga diungkapkan oleh beliau dalam tulisannya, ialah:

التصوف هو تجر بد القصد إ لى الله تعالى و آ خره هو التخلق با خلا قه سبحا نه     وتعال

Tasawuf ialah pemurnian qadas (niat) semata-mata kapada Allah, dan natijahnya ialah mengamalkan akhlak dengan akhlak Allah SWT. Juga ditemukan definisi  lain lagi, seperti berikut:

أ ول التصوف علم و أوسطه عمل و آخره مو هب

“Awal tasawuf adalah ilmu, pertengahannya amalan, dan akhirnya ialah pemberian”.

Dari definisi-definisi yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf bagi Syekh Yusuf al-Makassari adalah merupakan amalan yang sungguh-sungguh dalam menjalani al-suluk, yaitu usaha mendekatkan diri kepada Allah semata-mata mengharapkan rida-Nya. Dengan demikian, seorang hamba Allah dapat mencapai tarap yang mulia dengan memiliki sifat terpuji yang diridahi oleh Allah SWT melalui suluk atau tasawuf.

Dalam upaya menjalankan pengajaran dan dakwah Islam melalui tasawuf, Syekh Yusuf selalu mengaitkan tasawufnya dengan aqidah Islamiah. Pesan ajaran beliau dalam berbagai tulisannya, terutama dalam al-Nafhah al-Saylaniyyah, Zubdat al-Asrar dan Habi al-Warid, selalu dikaitkan perlunya seorang hamba yang memulai suluknya dengan mengesahkan aqidahnya. Maksudnya yang paling utama diperlukan dalam menjalani amalan tasawuf (suluk) adalah asas aqidah yang sahih. Jika aqidah itu benar dan kuat, maka amalan tasawuf akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Akan tetapi jika aqidah  rapuh dan tidak benar, jelas akan merusak amalan selanjutnya, karena asas aqidah yang tidak benar menjadikan seorang salik bisa terperangkap dalam ajaran sesat dengan tidak disadari.

Akidah yang benar, menurut pandangan Syekh Yusuf adalah akidah yang berdasarkan kepada ittiba’ al-Rasûl. Artinya apa yang patut diyakini oleh hamba terhadap Allah adalah sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari qiyamat dan qada dan qadar-Nya, mestilah didasarkan kepada kedua rujukan dasar tersebut. Selain al-Quran dan al-Sunnah, tiada jalan untuk menjadikannya sebagai landasan aqidah yang benar.‏

Dalam risalah al-Futuhat al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf memperincikan rukun tasawuf kepada sepuluh perkara, yaitu:

Pertama : tahrid al-Tauhid, yang bermaksud memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah mengikuti kandunagn surat al-Ikhlas. Di samping itu, dalam meyakini keesaan Allah, mesti dijauhi dari sifat tasybîh dan tajsîm.

Kedua : Faham al-Sima’i, yang bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syekh mursyid dalam menjalani pendekatan diri kapada Allah yang menuju  pada tuntutan Islam yang benar.

Ketiga : Husn al-‘Ishra, yang bermaksud memperbaiki hubungan silaturrahim dalam pergaulan (muasarah).

Keempat : Ithar al-Ithar, yang bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh.

Kelima : Tark al-Ikhtiyar, yaitu bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i’timad kepada ikhtiar sendiri.

Keenam : Sur’at al-Wujd, yang bermaksud memahami secara pantas suara hati nurani (wujudan) yang seiring kehendak al-Haq (Allah).

Ketujuh : al-Kahf  ‘an al-Khawâtir, yang bermaksud mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Kedelapan : Kathrat al-Safar, yang bermaksud melakukan perjalanan untuk mengambil i’tibar dan melatih ketahanan jiwa.

Kesembilan : Tark al-Iktisab, yang bermaksud tidak mengandalkan usahanya sendiri, akan tetapi ia lebih bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa setelah ia berusaha.

Kesepuluh : Tahrîm al-Iddihâr, yang bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukannya melainkan tumpuan harapannya hanyalah kepada Allah.

Konsep Tauhid dan Wahdat al-Wujud

Adapun konsep Syekh Yusuf tentang Tauhid al-Ilah, telah dirumuskan dalam risalah al-Nafhah, yaitu:

إ نه تعالى هو المو صوف بأ ية : ليس كمثله شى ء وسورة الأ خلاص.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala disifati dengan ayat al-Quran surat al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada suatu apapun yang menyerupai-Nya.

Dari pernyataan beliau di atas, jelas bahwa konsep Tauhid beliau tidak lepas dari konsep tauhid Ahl  al- Sunnah Wa al- Jamaah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Quranul Karim. Malah beliau menegaskan bahwa ayat-ayat di atas adalah merupakan dasar Tauhid yang sebenarnya yang mesti dipegangi dan diyakini. Beliau menyebutnya sebagai Um al-I’tiqâdât (induk dari keimanan).

Menurut Syekh Yusuf unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini sebagai orang yang menjalani suluk (pendekatan diri) di antaranya adalah:

Pertama : Tauhid al-Ahad, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud qadim (wujud tidak berpermulaan), qadim binafsih ( berdiri dengan sendirinya ), muqawwim lighairih (mengadakan selainnya). Sesungguhnya Allah tiada bermula wujud-Nya  dan tiada ujung-Nya, tiada serupa dengan-Nya, Dia adalah Maha Tunggal, tumpuan pengharapan, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak satupun yang menyerupai-Nya.

Kedua : Tauhid al-Af’al, ialah meyakini bahwa sesungguhnya Allah, Dialah pencipta segala sesuatunya, Dialah yang memberi daya dan kekuatan dalam melaksanakan semua urusan, apa yang dikehendaki oleh manusia tidak akan mungkin terjadi kecuali atas kemauan Allah jua, semua yang diinginkan oleh Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan mungkin terjadi.

Ketiga : Tauhid al-ma’iyyah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah senantiasa bersama hamba-Nya di manapun ia berada.

Keempat : Tauhid al-Ihatah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu‎

Konsep Ma’rifah dan Haqiqah

Dalam konsep ma’rifah dan haqiqah, beliau selalu menghubungkannya dengan dua istilah lain, yaitu syariah dan tariqah yang selalu disinggung secara bersamaan.

Beliau menguraikan keempat istilah itu dan kedudukannya masing-masing. Syariah ditafsirkan sebagai teori (nazariyyah), yaitu ilmu tentang tata cara melakukan ibadah kepada Allah mengikuti syariat Islam yang telah dikaji secara mendalam oleh ulama fiqh (fuqaha). Sementara tariqah ialah pelaksanaan (tatbiq) amal ibadah (syariah Islamiyyah) dengan penuh keikhlasan mengikuti bimbingan seorang mursyid yang dianggap berpengalaman dan memiliki ilmu yang luas tentang syariat Islam. Adapun ‎haqiqah , Syekh Yusuf menafsrkan sebagai suatu sikap yang sangat dalam (mauqif batiniy) ketika beribadah dengan bermusyahadah kepada al-Ma’bud (Allah). Sementara ma’rifah adalah suatu anugerah Ilahi (‘ata Ilahi) yang langsung dirasakan oleh mereka yang telah menjalani suluk mengikuti petunjuk syariah Islam dengan penuh keikhlasan dan sikap ihsan.‎

Makna Zikrullah

Menurut Syekh Yusuf ibadah zikir itu adalah wujud kesempurnaan ittiba (mengikuti) Nabi Muhammad SAW. Dan amat dianjurkan bagi mereka yang menjalani suluk (pendekatan diri) kepada Allah.‎

Menurut Syekh Yusuf, zikir ada tiga macam, 

(1) “la Ilaha Illa Allah”, dinamakan zikir orang-orang awam atau disebut pula zikir lisan atau lidah; “

(2) Allah-Allah”, zikir orang-orang khawas atau disebut zikir qalb atau hati; dan 

(3) “Huwa-Huwa”, yang dinamakan zikir khas al-khawas atau zikir sirr atau rahasia.

Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang.

Menurut Syekh Yusuf, apa saja yang ada selain Allah sebenarnya tidak ada. Wujud selain Allah hanyalah sebagai bayangan wujud yang berdiri dan memberi wujud bagi yang lain. Yang demikian itu adalah wujud al-Haq. Ia menggambarkan bahwa bayang-bayang seseorang itu bukan terwujud dengan sendirinya melainkan wujud karena adanya orang itu sendiri. Yang ada itu adalah orangnya saja, sekalipun bayangan itu terlihat dengan mata.‎

Karamah, Mu’jizat dan Istidraj.

Tentang karamah dan mu’jizat atau hal-hal yang luar biasa yang terjadi atas diri hamba (orang awam) dinamakan istidraj bukan keramah; apabila terjadi atas diri seorang saleh yang melaksanakan syariat berlebih-lebih, maka dinamakanlah karamah sebagai karunia dari Allah dan bila terjadi atas diri seorang nabi, dinamakan mu’jizat, akan tetapi bila terjadi sebelum kenabian dinamakan irhas.

Al-Insan al-Kamil

Manusia sempurna menurut Syekh Yusuf adalah manusia yang mengenal Allah dan sampai ke maqam makrifat, bukanlah manusia biasa atau binatang yang berbentuk manusia. Manusia sempurna yang ingat pada Allah dalam segala urusannya kapanpun dan di manapun ia berada, segala kehendaknya untuk Allah dan selalu disisi-Nya. Manusia sempurna itulah yang dipilih Tuhan untuk menampakkan diri-Nya, lalu diberikan-Nya berbagai macam sifat-Nya kepada manusia tersebut, seolah-olah hamba tersebut setelah berakhlak dengan akhlakullah, menjadi Dia dan menjadi Khalifah-Nya di bumi dan menyerupai-Nya, karena Allah telah menciptakan Adam untuk menjadikannya  khalifatullah di bumi. Manusia macam inilah yang menjadi rahasia-Nya.‎‎

“Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau.Syekh Yusuf al-Makassar (3 juli 1628-23 mei 1699)”

Syekh Yusuf yang lahir tanggal 3 juli 1628M di di Gowa Sulawesi Selatan dan wafat 23 mei 1699M di Sandvliet Cape Town, adalah seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam di Nusantara. Keluasan ilmu yang beliau peroleh melalui kontak ilmu pengetahuan dengan pusat-pusat keilmuan Islam telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya yang brilian adalah sebuah  warisan emas bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

Pemikiran tasawuf yang ia kembangkan menegaskan peran tasawuf yang besar dalam pembentukan karakter keberagamaan Islam di nusantara. Beberapa ajarannya, yaitu Makna Tasawuf Hubungannya dengan Akidah, Konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud,Konsep Ma’rifat dan Haqiqat, Makna Zikrullah, Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang, Karamah, Mu’jizat dan Istidraj, dan Al-Insan al-Kamil, memberikan pengaruh besar dalam keberagamaan umat Islam.‎

 

Manaqib Syaikh Muhammad Nafis Al-Banjari


Dalam deretan ulama Banjar, nama Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.

Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari (lahir di Martapura, Kesultanan Banjar, 1735 dan ‎meninggal di Kelua, 1812) ‎beliau adalah keturunan sultan kerajaan banjar dan nasabnya bersambung sampai ke Pangeran Suriansyah atau Pangeran Samudera ,sultan pertama Kerajaan Banjar . Beliau adalah salah seorang Ulama Banjar yang cukup dikenal sebagai tokoh sufi yang tegas dalam melawan segala bentuk penindasan.

Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang fikih, juga ahli dalam bidang tasawuf. Ia telah menulis sebuah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran tasawuf dengan judul Ad-Durrun Nafis. Kitab ini banyak didiskusikan dan diperdebatkan, karena materi-materinya yang dianggap kontroversi oleh para ulama fiqih.

Nasab Syaikh 

Syaikh  Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kusuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta'in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (Pangeran Samudera).

Kisah Perjalanan Syaikh 

Sejak muda beliau sangat cinta akan ilmu ,sehari hari digunakan beliau untuk menuntut ilmu agama baik itu ilmu tauhid,fiqih ,tasawuf maupun ilmu ilmu lainnya, sehingga kegemaran beliau ini membawa beliau melanglang buana mencari ilmu. Nafis melanjutkan pelajarannya ke Makkah, setelah belajar dasar-dasar keislaman di daerah kelahirannya. 

Mungkin dia belajar bersama Al-Falimbani dan Muhammad Arsyad dan para pelajar lainnya di Nusantara. Mereka memang punya guru-guru yang sama seperti As-Samani, Muhammad Al-Jauhari, Muhammad Siddiq. Dia juga belajar pada Abdullah bin Hijazi Al-Syarqawi, yang dua tahun lebih muda, Syaikh Al-Azhar, dan juga guru Dawud Al-Fatani. Al-Syarqawi merupakan ulama hadis terkemuka, yang menjadi isnad (sandaran) Muhammad At-Tirmasi, ulama hadis terkemuka kita, yang asal Tremas, Jawa Timur, yang tinggal dan meninggal di Makkah.

Muhammad Nafis mengikuti mazhab Syafi’i dan menganut ajaran kalam Asy’ari. Dia juga bergabung dengan beberapa tarekat seperti Qadiriyah, Syathariyyah, Naqshabadiyah dan Khalwatiyah. Nafis, seperti terungkap dalam “Durr An-Nafis” menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan, dan menolak faham determinisme fatalistik Jabariyyah yang berlawanan dengan kehendak bebas (Qadariyyah). Dia berpendapat bahwa kaum muslimin musti berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik dengan cara melakukan amal shalih (perbuatan baik) dan menghindari kejahatan (nahy ‘anil munkar). Penekanannya yang kuat akan aktivisme muslim ini menyebabkan bukunya kena pemberedelan Belanda. Pemerintah kolonial khawatir kitabnya itu akan mendorong kaum muslimin melancarkan jihad.

Tidak diketahui kapan persisnya Muhammad Nafis Al-Banjari balik ke Nusantara. Mungkin dia langsung pulang ke Kalimantan, tidak mampir-mampir dulu di tempat lain, sebagaimana, misalnya, Syekh Arsyad yang sempat ngendon dua bulan di Betawi seraya membetulkan arah qiblah sejumlah masjid di sini. Syekh memang diminta temannya, Abdurrahman Al-Batawi, agar tidak buru-buru pulang kampong. Tapi Syekh menggunakan waktunya yang relatif singkat itu untuk da’wah di kalangan muslim Betawi. Kembali ke tokoh kita. Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Setelah berada ditanah air dengan berbekal ilmu yang diperoleh beliau dari Tanah Suci Mekkah beliau berdakwah kebeberapa daerah di nusantara ini,untuk mangajak masyarakat mengESAkan ALLOH,karena keluasan  dan ketinggian ilmu beliau serta kegigihannya dalam berdakwah oleh masyarakat Sumatera beliau diberi gelar 'MAULANA AL-ALLAMAH AL-FAHHAMAH AL-MURSYID ILAA THARIQ AL-SALAMAH AS-SYEKH  MUHAMMAD NAFIS  IBN IDRIS IBN HUSEIN AL-BANJARI 
 (Tuan Guru yang sangat alim yang menunjukkan kejalan keselamatan Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari)

Sejarah Islamisasi di Kalimantan Selatan

Sebelum Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, boleh dibilang tidak ada upaya-upaya Islamisasi yang serius di Kalimantan. Tidak ada upaya yang serius yang dilakukan oleh para penguasa untuk memajukan kehidupan Islam. Usaha-usaha yang dilakukan para da’i keliling, juga tidak memperoleh kemajuan yang berarti.

Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatra Utara dan Aceh. diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran samudra beralih menggunakan  Islam sebagai dasar Negara pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Surian Syah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

Berbeda dengan syekh Muhammad Arsyad yang sepulang dari Makkah terus mengembangkan ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat Desa Dalam Pagar dan banyak mempunyai kesempatan menulis sejumlah kitab,
Datu Nafis atau Syekh Muhammad Nafis ini berkelana dari suatu daerah kedaerah lainnya sehingga beliau hanya sempat mengarang satu buah kitab yaitu Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah) kitab Ad durrun Nafis tersebut pada ,mulanya dikarang beliau karena permintaan dari teman temannya namun akhirnya banyak diminati dan tersebar keseluruh dunia dan membuat nama beliau menjadi harum,kitab Ad-Durun Nafis tersebut tidak saja dicetak atau diterbitkan didalam negeri,tetapi juga dicetak diluar negeri seperti ditemukan menurut urutan tahun adalah:

1.Terbitan thn 1313 H oleh Mathba'ah Al-Karimul Islamiah di Mekkah
2.Terbitan thn 1323 H oleh Mathba'ah Al-Miriah di Mekkah yang terbuat sebagai hamisy (tepi) Kitab Hidayatus Salikin Karya Syekh Abdus Shamad Al-Palembani
3.Terbitan thn1343 H oleh percetakan Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa Awladihi
4.Terbitan thn 1347 H oleh Darut Thaba'ah Al-Mishriyah Mesir
5.Terbitan Kedai Sulaiman Mar'i,Bashrah Sreet Singapore tanpa tahun
6 Terbitan Maktabah Sulaiman Mar'i wa Syirkahu Surabaya indonesia tanpa tahun
7.Terbitan Maktabah As-Saqafah tanpa tahun
8.Terbitan Maktabah Haramain Singapore tanpa tahun
9.Terbitan Ahmad Sa'ad bin Nabhan Surabaya tanpa tahun
10.Terbitan Maktabah salim Nabhan Surabaya tanpa tahun

Kitab yang berbahasa melayu ini merupakan kitab kecil dan tipis tetapi isinya sangat padat yaitu berisi ajaran Tauhid yang tinggi yang menjelaskan tentang ke ESA an ALLAH dari segi ZAT,SIFAT ASMA dan AF'AL tujuannya untuk melepaskan segala macam penyakit hati,tetapi kitab ini tidak bisa dipelajari oleh sembarangan orang, kecuali orang yang sudah mantap fiqih,tauhid dan ma'rifatnya,

Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dan Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. ‎ Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua,Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius yang dikeramatkan  di Kabupaten Tabalong,Kalimantan Selatan.

Ajaran Tasawuf Syaikh Muhammad Nafis

Ajaran tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (selanjutnya disebut Muhammad Nafis), dalam karya tulisanya Ad-Durun nafis, menimbulkan pendapat yang pro dan kontra di kalangan masyarakat muslim. Sehingga ajaran tasawuf itu sangat menarik kita ketengahkan dalam tulisan ini.

Berdasarkan pengakuan Muhammad Nafis sendiri, sebagaimana tersurat dalam karya tulisnya Ad-Durrum Nafis, dia menyatakan bahwa dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid al-Baghdadi. Diketahui bahwa Junaid al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh sufi penganut aliran tasawuf Sunni, maka dengan demikian bisa diketahu bahwa Muhammad Nafis mengaku sebagai penganut aliran Tasawuf Sunni. Namun, jika diamati dari literatur (kitab) yang ia gunakan menulis karya tulisnya tersebut, dapat diketahu bahwa ajaran tasawufnya adalah memadukan antara lairan tasawuf Sunni dengan aliran tasawuf filosofis, karena dari literatur )kitab) yang ia gunakan tersebut ada yang beraliran tasawuf Sunni, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali dan al-Qusyairi, dan ada pula yang beraliran tasawuf filosofis, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Ibn’Arabi dan al-Jili.

Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang Tuhan, nampaknya sama dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh tentang Allah karena manusia bersifat finit (terbatas), sedangkan Allah bersifat infinit (tidak terbatas). Muhammad Nafis sama pendapatnya dengan Al-ghazali dan Ibn’arabi bahwa kunhi (hakikat) wujud Allah itu tidak bisa diketahui melalui akal dan panca indra dan dugaan. Kita hanya wajib mengetahui bahwa Allah itu ada, Esa dan Uluhiyah-Nya, tanpa pengetahuan tentang hakikatnya, karena hakikat dzat Tuhan itu mungkin dikenal oleh siapapun.

Muhammad Nafis dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh makhluk-Nya, maka Allah ber-tajalli (menampilkan) diri-Nya didalam Nur Muhammad yang merupakan asal kejadian. Proses penampilan Tuhan ini menghasilkan fenomena sebagai manifestasi dan dzat Allah itu sendiri, maka yang sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu Tuhan itu sendiri, sedangkan selain Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan dengan wujud Allah. Mengenai penampilan diri Tuhan ini, nampaknya Muhammad Nafis, sama dengan teori Wahdatul wujud Ibn’Arabi dan Al-Jili.

Konsep Muhammad Nafis tentang Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan bahwa dzat Tuhan meliputi sifat, asma’ (nama-nama), dan Afal-Nya, karenanya, hubungan masing-masing sangatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’), dan perbuatan (Af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya, namun, semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, masing-masing saling berhubungan. Adanya dzat sekaligus menunjukkan adanya sifat, nama-nama (asma), dan perbuatan (af’al). Masalah ini menjadi inti dari ajaran muhammad Nafis mengenai tauhid (pengesaan) dalam memandang sifat, nama-nama (asma), perbuatan (af’al), dan dzat Allah Ta’ala sebagai proses upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Mengenai sifat Tuhan, Muhammad nafis mengatakan bahwa sifat itu adalah diri yang disifati, dan ia bukan merupakan tambahan pada dzat, dan bukan pula sesuatu yang melekat pada dzat. Dengan demikian, menurut dia, bahwa ALlah Mahakuasa denga dzatNya, maha mendengar dengan dzatnya, Maha melihat dengan dzatnya, dan maha berkata-kata dengan dzatnya, bukan dengan selain dzatnya.

Muhammad Nafis tidak mengakui adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-iradat, al-asma, al-bashr, dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut dia, yang dmikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma (nama-nama) Allah semata-mata Al-Quran menyebutkan sebagai asma (nama-nama) Allah. Lebih jauh ia menegaskan, bahwa jika Allah itu bersifat berarti Allah itu tidak dikenal, sebab sesuatu yang disifatkan itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih dikenal dari segala yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal diri-Nya. Allah tidak bersifat dalam pengertian seperti itu. Kalau Allah dikatakan bersifat (memerlukan sifat) untuk mengenalkan dirinya kepada makhluknya, maka itu berarti mereduksi (mengurangi) ke Mahakuasaan Allah. Dalam hal ini nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.

Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tetang sifat Tuhan tadi, nampaknya sama dengan pandangan aliran Mu’tazilah yang menafik sifat Allah. Tetapi, justru dia melontakan kritiknya terhadap aliran Mu’tazilah. Menurut dia walaupun pandangan aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat tidak lain adalah dzat Allah sendiri, dan tidak menanbah keberadaan dzat Allah, namun, menurutnya, pandangan aliran Mu’tazilah itu adalah bidah dan fisik, karena tidak wajar pandangan seperti itu diberikan kepada Allah Yang Mahatinggi.

Ajaran Muhammad Nafis tetang sifat dan asma’ (nama-nama), terlihat adanya kemiripan dengan pandapat Ibn’Arabi. Bagi Ibn’Arabi, asma’ (nama-nama) Tuhan itu adalah asensinya dalam suatu aspek atau aspek lain yang tidak terbatas ; ia adalah suatu “bentuk” terbatas dan pasti asensi Tuhan. Adapun sifat itu tidak lain adalah nama Tuhan yang dimanifestasikan di dalam dunia ekternal ini.

Sebagaimana Muhammad Nafis yang hanya mengakui keberadaan asma’ (nama-nama) Tuhan, tidak mengakui keberadaan sifat-sifatnya, Ibn’Arabi juga meyakini bahwa sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksestensi dan wujud entitas didalam esensi Tuhan, sifat-sifat tersebut haruslah dipahami bahwa itu hanya metafor (semu) saja, bukan dalam pengertian sebagai tambahan atas esensi.

Tentang penciptaan, aliran Ahlus Sunnah, termasuk al-Ghazali menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam langsung dari tidak ada, Al-Farabi dan Ibn Sina alam diciptakan dengan cara emansi (pelimpahan). Sedangkan menurut Ibn Arabi alam ini ada melalui proses tajalliyat. Teori Ibn arabi ini mempengaruhi Al-Jili. kemudian teori ini dikembangkan oleh seorang sufi dari gujarat, Muhammad Ibn Fadullah ia kembangkan tori tajalli itu menjadi tujuh tahapan yang dikenal dengan istilah martabat tujuh. Berikutnya teori ini mempengaruhi dua tokoh sufi di Aceh, Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin Pasai. Ajaran ini nampak sekali menunjukkan ajaran tasawuf wahdatul wujud.

Muhammad Nafis tentang penciptaan ini nampak sekali dia terpengaruh oleh teori martabat tujuh tersebut. Hal ini tergambar pada pendapatnya yang menyatakan bahwa penampilan dzat itu melalui tujuh martabat dari hadrat al-Sarij, yaitu hadrat dzat semata-mata. Menurut dia, penampilan dzat ialah dzat-Nya menjelma tirun berjenjang yang disebutnya dengan martabat tajalli dan tanzil. Dalam teori ini nampaknya dia memandang segala ciptaan itu adalah bayangan diri yang maha Mutlak (Allah), jadi benar-benar wujud hanya satu, yaitu Allah semata.

Menurut Muhammad nafis, Nur Muhammad itu adalah awal dari segala kejadian. Kalau dibandingkan dengan teori kejadian dikalangan filosof Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang menyatakan bahwa awal kejadian adalah akal pertama, maka jelas sekali persamaan kedua teori ini dalam prinsif. Namun, dari sisi fungsinya jauh berbeda.

Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah al-Insanul Kamil, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran tasawuf ibn arabi dan Al-Jilli. Mereka mengaitkan ajarannya tentang manusia dengan ajaran tentang Tuhan dan penciptaan.

Manusia menurut dia adalah mikrokosmus karena padanya tercermin dengan sempurna segala nama-nama ketuhanan dan hakikat-hakikat yang lahir pada alam raya. Manusia disebut Al-Insanul Kamil, karena manusia yang hanya mampu mengaktualisasikan atribut-atribut Tuhan secara sempurna. Dan Al-Insanul Kamil menurut mereka adalah orang-orang yang mampu mencapai peringkat ma’rifat, sehingga terhimpun pada dirinya sifat jala (kemuliaan) dan sifat jamal (keindahan).

Menurut Muhammad Nafis, bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dia harus berpandangan bahwa alam semesta ini fana’, dan hakikatnya tidak ada, yang ada hanya wujud Allah. Wujud Allah meliputi segala sesuatu. Allah tidak ada persamaannya dengan sesuatu. Tidak ada maujud pada hakikatnya hanya Allah. Fana’ segala perbuatan hamba pada perbuatan Allah, fana’ segala nama hamba pada nama Allah, fana’ pula segala sifat-sifat hamba pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba pada dzat Allah. Segala apapun yang ada pada makhluk ini fana’ dan (dugaan) semata. Apabila dia melakukan pandangan seperti ini, pada saatnya dia akan merasa fana’ dalam lautan ahadiyah wujud Allah, yang tidak ada tandingannya. Pada saat itu tidak terlihat olehnya amal dirinya, tidak dirasakannya bahwa dirinya sendiri yang dapat mencapai peringkat ini, tidak pula diketahuinya wujud mutlak. Perasaannya berkelana tanpa disadarinya karena hanyut bersama Nur Ilahi yang dipandangnya.

Untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Muhammad Nafis, seseorang harus melalui beberapa peringkat sebagai berikut :

Pada peringkat pertama dia harus berpandangan tawhidul afal, yaitu memandang bahwa perbuatan hakiki hanya perbuatan Allah, sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang sirna di dalam perbuatan Allah yang hakiki, bagaimana sirnanya cahaya lampu didalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Muhammad Nafis tentang perbuatan ini sama dengan pendapat Ibn’Arabi.

Pada peringkat ini, seseorang sufi sudah mampu memfanakan perbuatannya didalam perbuatan allah yang maha hebat. Dengan dicapainya peringkat tawhidul af’al ini, sufi akan memperoleh hasil/buah dari perjuangannya dalam upaya mendekati tujuan yang didambakannya.
Peringkat kedua untuk mendekatkan diri kepada Allah menurut Muhammad nafis adalah orang mampu berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya, maka hakikat nampun hanya nama Allah, karena semua nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Cara pandang pada peringkat tawhidul asma’ ini adalah memandang semua nama yang banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah. dan diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...