Senin, 23 November 2020

Sejarah Majalengka dari Masa Kerajaan Talaga


Kabupaten Majalengka, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Majalengka. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat.
Kabupaten Majalengka terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Majalengka. Kantor Bupati terletak di Pendopo, selatan dari Alun-alun Majalengka berdekatan dengan Masjid Agung Al Imam.

Melacak jejak Kerajaan (Ketumenggungan) Talaga, juga sejarah Kabupaten Majalengka dan (sebelumnya) Kabupaten Maja. Tadinya masih ragu-ragu dengan keberadaan Kabupaten Maja dan Sindangkasih versus Majalengka. Dengan pelacakan itu, yakin seyakin-yakinnya (berdasarkan fakta sejarah) apa yang saya gali benar adanya, yakni bahwa Kabupaten Majalengka baru ada sejak adanya Kabupaten Maja (1819). Perubahan Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka (1840) sekaligus pula mengukuhkan keyakinan tidak ada perubahan nama Kerajaan Sindangkasih menjadi Kerajaan Majalengka (zaman Pangeran Muhammad). Juga bahwa kota Majalengka baru ada sejak ibu kota Kabupaten Maja dipindahkan dari Maja ke bagian wilayah Sindangkasih, serempak dengan penamaan wilayah Sindangkasih tersebut (khusus yang jadi ibu kota) dengan nama Majalengka seperti nama kabupatennya.

Nama “maja lengka” berasal dari nama kuno yang dipakai (sinonim) untuk menyebut “maja pahit” atau “maja langu.” Maja lengka artinya maja pahit, buah maja yang pahit, karena ada juga buah maja yang manis (maja legi). Lengkit (leng dalam lengkap) artinya sama dengan pahit atau langu. Maja yang pahit itu berenuk (Crescentia cujete). Maja yang manis (maja legi atau maja batu atau Aegle marmelos) bisa dimakan dijadikan sirup, maja yang pahit (berenuk) tidak bisa dimakan, tapi biasa digunakan untuk obat malaria (sebelum kina ditemukan Junghuhn).

Dalam bahasa Sansekerta buah maja itu disebut  “bilva”, sementara pahit disebut “tikta” (lihat kamus Inggris-Sansekerta online). Kata “bilva”  itu berubah jadi “wilwa” dalam tuturan Indonesia-Jawa; majapahit = wilwatikta. Bilva= bael = buah dari Bengali, India. Bilva (bael) sendiri itu maja legi (buah maja yang manis).‎
Zaman Kerajaan  Talaga
Hasil temuan dan audiensi dengan berbagai tokoh termasuk keluarga keturunan Talaga yang tersebar di berbagai tempat di Jawa Barat serta barang-barang bersejarah yang tersimpan di Museum Talaga, Majalengka tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Talaga di masa silam.

Kerajaan Talaga hingga saat ini belum dapat dipastikan letak keratonnya,berdiri dimana dan pertama kali dimana di bangunnya, masih belum jelas. Akan tetapi dari sebuah hikayat yang diperoleh penulis, kerajaan ini dibangun oleh Prabu Batara Gunung Picung putra Prabu Darma Rehe, saudara dekat Prabu Angga Larang yang mendirikan Kerajaan Pajajaran dan terkenal dengan nama Prabu Munding Sari.    

 Anda yang terlahir di abad ini tentu tidak akan mengenal Prabu Batara Gunung Picung,baik itu untuk mengabdi maupun hanya sekedar berguru kepandaian kepadanya. Tapi bila anda penasaran, berjalanlah sekitar 1 km ke arah selatan kota Talaga. Anda akan menjumpai sebuah bukit berbatu dengan nama Gunung Picung.  Di gunung ini terdapat beberapa makam,diantaranya makam Prabu Batara Gunung Picung yang berputrakan Sunan Cungkilak

Lalu Sunan Cungkilak berputrakan Sunan Benda dan bercucukan Sunan Ponggang Sang Romahyang .           Selanjutnya penerus Kerajaan Talaga setelah  Sunan Ponggang Sang Romahyang  dipegang putranya bernama Prabu Darma Suci yang berputra Begawan Resi Garasiang dan Prabu Darma Suci 2 atau lebih dikenal Sunan Talaga Manggung.     

Prabu Darma Suci 2 menampuk pimpinan kerajaan sekitar abad ke 13,karena kakaknya Begawan Garasiang lebih memilih menjadi seorang pandita daripada menjadi raja. Hingga saat ini di belahan selatan kota Majalengka, Jawa Barat di kaki Gunung Ciremai terdapat sebuah dusun bernama Dusun Garasiang Desa Giri Mulaya Kecamatan Banjaran.
Resi Garasiang dikaruniai seorang putri bernama Ratu Mayang Karuna. Ia menikah dengan putra  tua Prabu Munding Sari yaitu Prabu Guru Gantangan atau dengan nama lain Prabu Mundingsari Ageung.   

Dari hasil perkawinannya itu dikarunia seorang anak laki-laki, Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Pucuk Umum Talaga

Sementara Prabu Darma Suci 2, adik kandung Resi Garasiang berputrakan Raden Panglurah dan Nyi Mas Simbar Kancana, orang-orang  kerajaan Galuh lebih senang menyebutnya Nyai mas Ratu Patuakan.      

Di sekitar puncak Gunung Ciremai, tepatnya di kawasan Pegunungan Gegerhalang terdapat beberapa makam yang belum dikenal, namun di kawasan tersebut terkesan ada tanda -  tanda bekas kehidupan di masa silam. Terutama di kawasan Gunung Pucuk antar lain terdapat nama Prabu Pucuk Umum. Wilayah ini berada di sebelah timur Situ Sangiang atau belahan selatan Gunung Ciremai perbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan.

Terhadap situs ini, pemerintah belum melakukan pendataan apalagi peneletian. Padahal, sangat diperlukan untuk mengungkap tentang keberadaan Kerajaan Talaga yang merupakan leluhur warga Majalengka. Di samping itu, juga merupakan aset budaya negara yang perlu dibuka dan dilestarikan.
Pemerintahan Batara Gunung Picung‎
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, beliau adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka.Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agam yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu.Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana.Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu.Raja berputera 6 orang yaitu :- Sunan Cungkilak - Sunan Benda - Sunan Gombang - Ratu Panggongsong Ramahiyang- Prabu Darma Suci- Ratu Mayang Karuna Akhir pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.

Pemerintahan Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu berkembang dengan pesat (abad ke-XIII), nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui.Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi.Pada abad XIIX Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni:- Bagawan Garasiang - Sunan Talaga Manggung

Pemerintahan Sunan Talaga Manggung 
Tahta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang,.namun beliau sangat mementingkan Kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini selain kepindahan beliau dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Pemerintahan Sunan Talaga Manggung 
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap beliau yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat.Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya.Beliau berputera dua, yaitu :- Raden Pangrurah - Ratu Simbarkencana Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu tidur.Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan dianugrahi 8 orang putera diantaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.

Pemerintahan Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih.Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan oleh puteranya Sunan Parung.

Pemerintahan Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja.Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.

Pemerintahan Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan Prabu Pucuk Umum.Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageung merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan.

Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang) melahirkan 6 orang putera yaitu :- Prabu Haurkuning - Sunan Wanaperih - Dalem Lumaju Agung- Dalem Panuntun - Dalem Panaekan Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam.Beliau sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasaannya, seperti halnya :Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walagsuji;Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja;Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulur.Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.

Pemerintahan Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam.Beliau berputera 6 orang, yaitu :- Dalem Cageur - Dalem Kulanata - Apun Surawijaya atau Sunan Kidul- Ratu Radeya - Ratu Putri - Dalem Wangsa Goparana Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Sarngsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager.Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Subang.  kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga. Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernma Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu - Dipati Suwarga-Mangunjaya - Jaya Wirya - Dipati Kusumayuda - Mangun Nagara - Ratu Tilarnagara Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu :- Pangeran Dipati Wiranata- Pangeran Secadilaga atau pangeran Haji Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran SecanataEyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962; pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam.

Kerajaan Hindu Terakhir di Majalengka

Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Masehi di Desa Sindangkasih 3 Km dari kota Majalengka ke selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Siliwangi, yang masih teguh memeluk Agama Hindu.
Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah masuk agama Islam. Adanya ratu di daerah Majalengka adalah bermula untuk menemui saudaranya di daerah Talaga bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka – Talaga, ratu mendengar bahwa daerah tersebut sudah masuk Islam. Sehingga mengurungkan maksudnya dan menetaplah Ratu tersebut di Sindangkasih, dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Pemerintahannya sangat baik, terutama masalah Pertanian diperhatikannya juga Pengairan dari Beledug-Cicuruj-Munjul dibuatnya secara teratur. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan isterinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi Rambut kasih tetap memeluk agama Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti tahun 1490.
Abad XVI Agama Islam Masuk Daerah Majalengka

Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk Agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, Majalengka. Penyebaran agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain antaranya: Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Penuntun Semua di Maja. Pangeran Suwarga di Talaga yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Putera Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi.
Tahun 1650 Majalengka masuk pengaruh Mataram karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu II atau Sunan Girilaya.

Pengaruh Sultan Agung Mataram Abad XVII

Tahun 1628 Tumenggung Bahureksa diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Dengan bantuan pasukan-pasukan dari daerah-daerah manapun masalah logistiknya, juga pendirian logi-logi banyak didirikan di Jatiwangi, Jatitujuh dan Ligung.
Besar pengaruhnya Mataram terhadap daerah Majalengka, dimana pula banyak orang Mataram yang tidak sempat lagi ke asalnya, dan akhirnya menetap di Majalengka.

Abad ke-XVII merupakan juga bagian dari pada peristiwa pertempuran Rangga Gempol yang berusaha membendung pasukan Mataram ke wilayah Priangan. Hal ini perlu diketahui bahwa wilayah Priangan akan diserahkan kepada V.O.C. (tahun 1677). Pasukan Rangga Gempol mundur ke Indramayu dan Majalengka. Hubungan sejarah Sumedang yang menyatakan bahwa Geusan Ulun merupakan penurun para Bupati Sumedang. Majalengka waktu itu masuk kekuasaan Sunan Girilaya, katanya menyerahkan daerah Majalengka kepada Sunan tersebut sebagai pengganti Putri Harisbaya yang dibawa lari dari Keraton Cirebon ke Sumedang. Tahun 1684 Cirebon diserahkan Mataram kepada V.O.C. maka otomatis Majalengka masuk Daerah V.O.C.
Masa Penjajahan Belanda dan Penghapusan Kekuasaan Bupati Abad XVIII
Tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda, pada tahun 1706 pemerintah kolonial menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur untuk seluruh Priangan. Olehnya para Bupati diberikan wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada pemerintah Belanda. Paksaan penanaman kopi di daerah Maja, Rajagaluh, Lemahsugih berakibat banyak rakyat jatuh kelaparan.

Majalengka pada Abad XIX

Tidak saja tanam paksa kopi, Pemerintah Hindia Belanda pun memaksa rakyat untuk menanam lada, tebu dan lain-lain tanaman yang laku di pasaran Eropa untuk pemerintah Kolonial tersebut. Berakibat fatal bertambah berat beban rakyat, sengsara maupun kelaparan terjadi dimana-mana.

Tahun 1805 pemberontakan Bagus Rangin dari Bantarjati menentang Belanda, pertempuran pecah dengan sengitnya di daerah Pangumbahan. Kekuatan 10.000 orang dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda.±Bagus Rangin 12 Juli 1812 sebagai Pahlawan Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Kali Cimanuk dekat Karangsambung. Waktu itu Gubernur Hindia Belanda Henrck Wiesel (tahun 1804-1808) kemudian dilanjutkan Herman Willem Daendels (tahun 1808-1811) dan tahun 1811-1816 kemudian Thomas ST, Raffles.

Pemerintah Baru di Majalengka

Dengan bisluit Gubernur Jendral tanggal 5 Januari tahun 1819 berdirilah Keresidenan Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, Raja Cola, Bangawan Wetan, Maja dan Kuningan. Selanjutnya Kabupaten Maja atau Kabupaten Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Majalengka sejak tahun 1819 sampai sekarang (tahun 2002) telah mengalami 22 kali masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Daerah.

RIWAYAT MAJALENGKA SEPANJANG CERITERA

Di bawah ini diutarakan secara singkat beberapa ceritera tentang riwayat asal mula terjadinya “Majalengka”, pendirinya, serta makna atau kata “Majalengka” itu sendiri.
Arti kata dari sesuatu nama tempat atau orang, bagi orang barat adalah dipandang tidak penting. Meraka lazim mengatakan “What is an name”. Tetapi orang timur nama bukan sekedar nama. Nama dipandang memiliki arti, dasar dan tujuan tertentu.
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan: “In a name is everythings” dalam warna bersemayam aneka warna dan benda. Demikian pula “Majalengka” sebagai suatu nama dari suatu Daerah, sesuatu tempat, atau sesuatu kota. Nenek moyang atau para leluhur tidak akan demikian saja memberi nama tanpa dasar yang mendalam dan tanpa tujuan tertentu yang luhur bagi kelanjutan keturunannya.

Bagi orang timur tentang nama mempunyai “Latar Belakang” yang khas demikian pula dengan “Majalengka” itu.
POHON “MAJA” JADI “LANTARAN”
Alkisah diceritakan, bahwa kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH (kini hanya sebuah desa terlatak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar kota).
Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Dari mana asalnya ratu itu tidak diceritakan. Namanya ialah RATU NYI RAMBUTKASIH (setegah orang mengatakan NYI AMBET KASIH). Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.
Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton”. Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih Mukti yang berarti “karya serta Bahagia”.

Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah “Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya kalu serasa dengan ubi jalar jenis “nikrum” yang dibakar (“dibubuy” Sunda).

Sementara itu antara 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang Guru Besar Islam yaitu wali bernama SYARIF HIDAYATULLAH atau SUNAN GUNUNG JATI. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama PANGERAN MUHAMMAD untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas menyebarkan agama Islam.
Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya bernama NYI SITI ARMILAH yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.
Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal” telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu.

Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat itu.
Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada lagi. Maka pada saat itu dari Pangeran Muhammad keluarlah ucapan “Maja Langka” (bahasa jawa) artinya “Maja tidak ada”.

Dengan peristiwa itu, Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Untuk itu Pangeran Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu kini bernama “Margatapa”.
Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya (Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.
Pada suatu ketika Nyi Siti Armilah, dapat bertemu dengan Nyi Rambutkasih, suatu pertemuan antara seorang pemeluk dan penyebar agama Islam dengan seorang pemeluk dan fanatik terhadap agama Hindu.
Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran Nyi Siti Armilah untuk memeluk agama Islam. Nyi Siti Armilah berusaha keras untuk menginsafkan Nyi Rambutkasih sampai-sampai pada kalimat:
“Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya”.
Nyi Rambutkasih dengan tegas membalas: “Aku seorang Ratu pelindung rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati”.‎
“jika demikian halnya” jawaban Nyi Siti Armilah, “makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati ?”.
bersama dengan ucapan Nyi Siti Armilah ini, lenyaplah “diri (jasad) Nyi Rambutkasih Ratu Sindangkasih itu dari dunia fana ini tanpa meninggalkan bekas kuburannya (“ngahiang” Sunda).
Orang sekarang hanya mendapatkan beberapa “patilasan” bekas-bekas Nyi Rambutkasih semasa memerintah yang sampai sekarang masih dianggap “angker” seperti sumur “Sindangkasih”, sumur “Sunjaya”, sumur “Ciasih” dan batu-batu bekas bertapa yang terdapat dalam kota dan sekitarnya.

Nyi Siti Armilah selanjutnya terus menetap di Kerajaan Sindangkasih ini menyebarkan agama Islam sampai wafat dan jenzahnya dimakamkan dipinggir kali Citangkurak, dimana tumbuh pohon “BADORI” sesuai dengan amanatnya, dimana konon ditegaskan, bahwa dekat kuburannya itu dikemudian hari akan menjadi tempat tinggal Penguasa yang memerintah Majalengka, yang mengatur pemerintahan daerah maja yang langka itu.
Demikian makam Nyi Siti Armilah terletak dibelakang gedung Kabupaten Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Embah Gendeng Badori.

Setelah peristiwa Nyi Rambutkasih “ngahiang” itu, maka banyak penyebar-penyebar agama Islam dari Daerah Cirebon dan Mataram datang ke daerah Kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama jadi Majalengka itu.
Yang terpenting diantaranya ialah: Embah Haji Salamodin, berasal dari Mataram yang diutus oleh Sunan Gunung Jati supaya menyebarkan agama Islam dan mendirikan Pesantren. Tempatnya di Babakanjawa dan dimakamkan di sini, Putera Sultan Agung, berasal dari Mataram salah seorang murid Sunan Gunung Jati yang mendapat gelar Dalem Panungtun/Panungtung, karena pada ketika itu berakhirlah riwayat Budha di Majalengka, dan karena beliaulah yang menuntunnya ke ajaran agama Islam. Dimakamkan di Girilawungan, Embah Wiranggalaksana, berasal dari Tubang dimakamkan di Samojaopat, Majalengka-kulon.
Ceritera “ngahiangnya” Nyi Rambutkasih ini demikian mendalamnya sehingga merupakan “legenda” bagi rakyat asli Majalengka, dan terhadap kesaktiannya seta “masih adanya” itu merupakan suatu mythos, suatu kepercayaan yang masih melekat dengan kuatnya.
Hal ini disebabkan karena sering terjadinya ada orang-orang yang “kawenehan” yaitu bertemu dengan mendadak tanpa diketahui lebih dahulu dari mana datangnya dan tidak mengenal sebelumnya dengan ujud seorang Wanita di malam hari yang menamakan dirinya Nyi Rambutkasih. Adakalanya orang-orang menjadi kesasar atau gila, atau sakit dan sebagainya. Yang menurut kepercayaan karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih itu.

Dibalik itu, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan yang amat kuat, bahwa selama Nyi Rambutkasih “ngageugeuh” Majalengka, dan orang-orangnya tetap berlaku baik dan jujur maka Sindangkasih Sugih Mukti itu pasti akan teralami pula pada waktu-waktu yang mendatang. Kebalikannya jika tidak, maka Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka. Wallohu, alam bisawab.

INGAT AKAN ASAL PERMULAN PENCEGAH PERANG SAUDARA

Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha, konon putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Putera Galuh itu menurut riwayat namanya SUNAN UNDUNG, telah diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam ke jurusan barat daya.
Diantara tugas itu telah termasuk kewajiban mengajak adiknya dikerajaan Galuh yang masih saja memeluk agama Budha.
Kedua saudara yang masing-masing berlainan agama itu telah bertemu di suatu tempat yang agak tinggi menyerupai gunung yang terletak di daerah hutan Sindangkasih yang kini disebut orang GIRILAWUNGAN yang berarti gunung tempat bertemu dan berhadapan-hadapan.‎

Putera Galuh itu masing-masing mempertahankan keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluknya, sehingga pertarungan yang bagaimanakah kenyataannya? Tengah kedua saudara itu bertengkar, maka tiba-tiba mereka akan ingat akan “purwadaksina” ingat kepada asal permulaannya, bahwa mereka itu kedua-duanya adalah saudara, dan ingat akan adanya hubungan bathin kekeluargaan dan keturunan yang menjadikan mereka. Setelah mereka berdua ingat akan hal itu, maka perang saudara yang akan meletus itu, tidak sampai terjadi, kedua-duanya kembali damai. Mereka sadar tak ada manfaatnya mempertengkarkan agama.
Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata-kata media lengka artinya “ditengah-tengah eling kepada asal permulaan”.
Demikian “madia-lengka” berubah dibunyikan menjadi Majalengka.
Wallahualam.
“”LANGKAH” SITI ARMILAH
Pada saat Pangeran Muhammad beserta isterinya Nyi Siti Armilah melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di kerajaan Sindangkasih dan mengajak Nyi Ratu Rambutkasih untuk memeluk agama Islam, maka sebagian orang menceriterakan asal mula terjadinya Majalengka itu agak berlainan.
Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah Hutan Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka mula-mula menemukan pohon itu terletak di suatu daerah pegunungan yang sekarang disebut maja (ibukota kecamatan Maja). Nyi Siti Armilah mendapat amanat suaminya untuk langsung menundukkan Nyi Ratu Rambutkasih yang bertahta di Sindangkasih agar berganti memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan perjalanan menempuh hutan rimba itu, Nyi Siti Armilah diberi ayam jantan oleh suaminya. Konon ayam jantan itu namanya Si Jalak Harupat. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya sampai nanti berkokok.
Kokok ayam tadi akan menandakan bahwa tempat yang akan dituju telah tercapai. Demikianlah si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti dengan langkah-langkah Nyi Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat berkokok tepat di stuatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang menjadi kota Majalengka.
Pada saat itulah Siti Armilah menamakan tempat yag dituju bukan Sindangkasih tetapi “Maja alengka” sebagai peringatan baginya yang mula-mula dari “maja melangkahkan kakinya sampai ditempat yang ditujunya”. Wallahualam
.
ANTARA “ADA DAN TIADA”
Ada pula ceritera orang yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu lain lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat. Tersebutlah seorang Sunan Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram ia tetap mempertahankan daerahnya (daerah Majalengka sekarang) bebas dari penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan timbulnya amarah Sultan. Sultan Agung Mataram segera mengirimkan 40 orang hulu balang merebut daerah Sunan Jebug melihat gelagat yang tidak enak ini Sunan Jebug bersepakat dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.
Sebelum 40 orang hulu balang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan patilasan saja. Begitulah ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba di daerah ini maka tak seorang pun yang dapat menemukan dimana Sunan Jebug dan Senopati Endang Capang bersembunyi. Akhirnya seorang diantara hulubalang itu berseru: “Madia Langka”. Antara ada dan tiada. Dikatakan tiada memang tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada patilasan berkas-berkasnya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi Majalengka. Wallahualam.
NEGARA “TENGAH”
Pihak lain tidak mengutarakan asal mula terjadinya Majalengka. Tetapi hanya mengupas kata Majalengka setelah meninjau dari segi-segi tertentu. Rakyat pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut “Buana Panca Tengah” yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya Pulau Jawa. Dihubungkannya dengan ceritera Ramayana dan Kerajaan Alengka yang diartikan “Negara”. Adapun “maja” diartikan “madia” bukan nama pohon tetapi “tengah”. Kenyataan “tengah” itu ditinjau dari segi-segi: Ilmu Bumi, letak daerah Majalengka ini di tengah-tengah antara pegunungan dan pedataran, Pemerintahan, terletak di tengah-tengah kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran), Ilmu Bangsa-Bangsa, rakyat daerah ini berada di tengah-tengah suku Jawa dan suku Sunda, Kebudayaan, Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.
Demikian katanya, Majalengka adalah “Negara Tengah”, dalam segala hal termasuk golongan “pertengahan”, tidak pernah menonjol dan meninggi luar biasa, dan sebaliknya pula belum pernah ketinggalan dan menurun sampai paling terbelakang. Dalam segala hal selalu “siger-tengah”.
Sesungguhnya masih terdapat beberapa buah lagi ceritera-ceritera yang meriwayatkan terjadinya Majalengka, demikian pula kupasan-kupasan mengenai tafsiran arti kata Majalengka dan nama-nama pendirinya pun berbeda-beda. Bolehlah mempercayainya, dan tiada larangan untuk menolaknya. Tetapi tiada perlu untuk dijadikan bahan pertengkaran, karena selama riwayat aslinya belum diketemukan dan diketahui umum, semua itu hanya sekedar pembantu sekedar panawar bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat nama daerah tempat tumpah darahnya, sebelum memaklumi yang sebenarnya.
Dari ringkasan-ringkasan riwayat yang berbeda-beda itu dapat dikatakan bahwa, “Majalengka” adalah nama yang diwariskan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu.
Suatu nama yang diberikan untuk menandai suatu daerah yang mengandung nilai-nilai lahir dan nilai-nilai bathin.
Begitu pula halnya dengan Sindangkasih yang mempunyai riwayat lebih luas daripada Majalengka, kedua macam nilai dan unsur lahir dan batin-pun dimilikinya.
Unsur lahir menunjukkan, sejak dulu kala, daerah ini memang masyhur akan kesuburan tanahnya dan kemakmuran rakyatnya.
Unsur batin menyatakan, bahwa nenek moyang pun adalah orang-orang yang memeluk agama menurut zamannya serta keyakinannya. Dalam mempertahankan keyakinan, ditempuhnya jalan yang bijaksana, menghindari perang saudara antara sesama ummat manusia.
Terletaklah tugas dan kewajiban di pundak para keturunannya untuk memelihara warisan nenek moyang ini dengan sebaik mungkin, agar supaya daerah ini dengan modal unsur lahir batin tadi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat umumnya, sehingga dapat merasakan nikmatnya hidup bahagia dan sentosa dengan meratakan keadilan dan kemakmuran yang turun-temurun.‎

Keadaan alam Kota Majalengka
Geologi‎
Menurut keadaan geologi yang meliputi sebaran dan struktur batuan, terdapat beberapa batuan dan formasi batuan yaitu Aluvium seluas 17.162 Ha (14,25%), Pleistocene Sedimentary Facies seluas 13.716 Ha (13,39%), Miocene Sedimentary Facies seluas 23,48 Ha (19,50%), Undiferentionet Vulcanic Product seluas 51.650 Ha (42,89%), Pliocene Sedimentary Facies, seluas 3.870 Ha (3,22%), Liparite Dacite seluas 179 Ha (0,15%), Eosene seluas 78 Ha (0,006%), Old Quartenary Volkanik Product seluas 10.283 Ha (8,54%). Jenis-jenis tanah di Kabupaten Majalengka ada beberapa macam, secara umum jenis tanah terdiri atas Latosol, Podsolik, Grumosol, Aluvial, Regosol, Mediteran, dan asosianya. Jenis-jenis tanah tersebut memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kesuburan tanah dalam menunjang keberhasilan sektor pertanian.

Morfologi‎
Keadaan morfologi dan fisiografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya, dengan distribusi sebagai berikut :

Morfologi dataran rendah yang meliputi Kecamatan Kadipaten, Panyingkiran, Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Jatitujuh, Kertajati, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding dan Palasah. Kemiringan tanah di daerah ini antara 5%-8% dengan ketinggian antara 20-100 m di atas permukaan laut (dpl), kecuali di Kecamatan Majalengka tersebar beberapa perbukitan rendah dengan kemiringan antara 15%-25%.
Morfologi berbukit dan bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh dan Sukahaji sebelah Selatan, Kecamatan Maja, sebagian Kecamatan Majalengka. Kemiringan tanah di daerah ini berkisar antara 15-40%, dengan ketinggian 300-700 m dpl.
Morfologi perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Talaga, sebagian Kecamatan Sindangwangi, Cingambul, Banjaran, Bantarujeg dan Lemahsugih dan Kecamatan Cikijing bagian Utara. Kemiringan di daerah ini berkisar 25%-40% dengan ketinggian antara 400-2000 m di atas permukaan laut.‎

 

Sejarah di Pulau Bawean Gresik


Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 80 Mil atau 120 kilometer sebelah utara Gresik. Secara administratif sejak tahun 1974, pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur di‎mana tahun sebelumnya sejak pemerintahan kolonial pulau Bawean masuk dalam wilayah Kabupaten Surabaya. Belanda (VOC) masuk pertama kali ke Pulau ini pada tahun 1743.‎

Bawean memiliki 2 kecamatan yaituSangkapura dan Tambak. Jumlah penduduknya sekitar 70.000 j‎iwa yang merupakan pembauran beberapa suku yang berasal dari pulau Jawa, Madura, Kalimantan ‎Sulawesi dan Sumatera termasuk budaya dan bahasanya. Penduduk Bawean kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau petani selain juga menjadi pekerja diMalaysia dan Singapura, sebagian besar di antara mereka telah mempunyai status penduduk tetap di negara tersebut, selain di kedua negara itu penduduk bawean juga menetap di Australia d‎an Vietnam. E‎tnis mayoritas penduduk Bawean adalah Suku Bawean, dan suku-suku lain misalnya Suku Jawa, Madura, Bugis,Mandar,Mandailing,Banjar. ‎danPalembang.

Bahasa pertuturan mereka adalah bahasa Bawean. Bukannya bahasa Madura seperti yg dimaklumkan sebelum ini. Di Malaysia dan Singapura, penyebutan suku ini berubah menjadi Boyan. Mereka menyebut diri mereka orang Boyan, m‎aksudnya orang Bawean.‎

Tokoh yang berasal dari Pulau Bawean yaitu Pahlawan Nasional Harun Thohir, Yahya Zaini, Syekh Zainuddin dan beberapa lagi yang keturunan bawean seperti Noh Alam Shah, Mahali Jasuli. ‎Datuk Aziz Sattar.‎

Kata Bawean berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti ada sinar matahari. Menurut legenda, sekitar tahun 1350 s‎ekelompok pelaut dari Kerajaan Majapahitterjebak badai di Laut Jawa dan akhirnya terdampar di Pulau Bawean pada saat matahari terbit.

Nama BAWEAN muncul pada abad ke 13, nama ini di berikan oleh Prajurit Majapahit (salah satu kerajaan terbesar di nusantara) yang berlabuh di bawean setelah kapalnya terkena badai dan menyebutnya BAWEAN yang di bahasa sansakerta berarti matahari terbit. Berdasarkan manuskrip yang ada di sangkapura, pulau bawean ini sebelumnya dikenal dengan sebutan Pulau Majdi karena bentuknya bundar seperti uang logam.

sebelum islam masuk ke pulau bawean, masyarakat bawean menganut paham animisme ( penyembah roh dan kekuatan gaib), hal ini bisa di telusuri dari cerita adu kesaktian antara Maulana Omar Mas’od VS Raja Babileono। Raja babileono seorang penyihir animisme yang sakti mandraguna

Namun berkat pertolongan Allah SWT Omar Mas’od bisa mengalahkan raja babileono।Ada juga yang menyebut BAWEAN = babi jadian, babian ===> ini hanyalah masalah pronounciation, karena bahasa bawean mendapat unsur pengaruh dari bahasa madura dimana huruf W dibaca menjadi B। terkenal cerita bahwa Raja Babileono adalah seorang raja yang gemar memelihara babi dan mempunyai ternak babi yang banyak sekali
sehingga raja Babileono dikenal juga dengan sebutan Raja Babi। pada masyarakat animisme memelihara babi sudah menjadi biasa, bahkan hewan babi itu juga disembelih dijadikan makanan । seperti pada masyarakat Dayak di Borneo yang masih memelihara.‎

Dalam kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa pulau ini bernama Buwun sedangkan dalam catatan Serat Praniti Wakya Jangka Jaya Baya penduduk Bawean bermula pada tahun 8 Saka dimana sebelumnya pulau ini tidak berpenghuni, Pemerintah Koloni Belanda dan Eropa pada abad 18 menamakan pulau ini dengan sebutan Lubeck,Baviaan,Bovian,Lobok Awal abad ke-16 tepatnya pada tahun 1501 agama Islam masuk ke Bawean yang dibawa oleh Sayyid Maulana Ahmad Sidik atau yang dikenal dengan nama Maulana Umar Mas'ud atau Pangeran Perigi sekaligus menjalankan tata pemerintahan di Pulau Bawean selanjutnya Pulau Bawean di pimpin oleh keturunan Umar Masud seperti Purbonegoro, Cokrokusumo dan seterusnya hingga yang terakhir Raden Ahmad Pashai. Pada tahun 1870-1879 Pulau Bawean menjadi Asistent Resident Afdeeling dibawah Resident Soerabaya pada masa inilah Pulau Bawean di bagi menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak yang di pimpin oleh seorang Wedana dengan Wedana terakhir bernama Mas Adi Koesoema ( 1899-1903).


Bawean merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh pulau-pulau lain yang lebih kecil seperti Pulau Gili Barat, Pulau Gili Timur, Pulau Noko, Pulau Selayar, Pulau Nusa. Di Pulau Bawean terdapat dua Kecamatan, 30 desa dan sekitar 143 dusun (kampung). Dua kecamatan itu adalah Kecamatan Sangkapura yang terdiri dari 17 desa iaitu Pulangasih Sungairujing, Terta, Dissallam, Desa Sawahmulya, Kota Kusuma, Sungaiteluk, Patar Selamat, Gunung Teguh, Baliktetus, Daun, Kebun Teluk Dalam, Sidogedung Batu, Lebak, Pudakit Timur, Pudakit Barat, Komalasa, Suwari dan Deka-Tagung.
Kecamatan Tambak pula meliputi Desa Tambak, Teluk Jati, Dedawang(dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk, Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuh Teluk dan Kepuh Legundi.

Kesenian Bawean
Senjata tradisional orang Bawean adalah pedang. Pedang digunakan oleh Raja Bawean pada zaman dahulu seperti yang ada di Desa Kumalasa, dan Pendekar Pokolan menggunakan pedang dan pisau sebagai senjatanya. Pada zaman sekarang terkenal juga dengan Celurit kerana ada pengaruh dari Madura, bukan hanya di Bawean tapi di Jawa Timur celurit menjadi senjata khas. Seni pertahanan diri orang bawean adalah dinamakan ''POKOLAN",merupakan salah satu aliran pencak silat di nusantara. Pencak Silat yang ada di Jawa Timur dan Madura berasal dari pokolan Bawean. Pokolan Bawean seolah-olah seperti Silat Cekak Ustaz Hanafi di Malaysia tapi pokolan Bawean lebih mematikan, teknik pukulan tangan dengan cara menekuk jari tangan (orang bawean menyebutnya'Nyotok'/ 'Sotok'). Tidak digenggam seperti karate. Ini berfungsi untuk mematahkan tulang rusuk lawan. Pokolan Bawean kini berkembang di Singapore (Pencak Pokolan Bawean). Kesenian tradisional Bawean umumnya terpengaruh budaya Melayu dan Islam. Sebut saja seni balas pantun yang akrab di sebut Mandiling oleh orang Bawean ada juga Budaya khas orang Bawean yaitu"Makabin-kabin", ini adalah pernikahan adat orang Bawean yang dirayakan 7 hari 7 malam.

Islam Di Pulau Bawean
Bukan Maulana umar Mas'ud yang pertama menyebarkan Islam ke Bawean, ada Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim) yang lebih dulu menyebarkan Islam di Pulau Majedi (Bawean), kemudian ada Waliyah Zainab bersama suaminya Pangeran Seda Laut. Kemudian barulah Maulana Umar Mas'ud. Pada permulaan abad ke XVI (kira-kira tahun 1501 Masehi) datanglah ke Pulau Bawean seorang bernama Maulana Umar Mas'ud (nama asalnya adalah Pangeran Perigi). Beliau adalah cucu dari Sunan Derajat (Sayid Zainal Alim), iaitu anak yang kedua dari Susuhunan Mojoagung (Putera Sayid Zainal Alim yang tertua). Maulana Umar Mas'ud datang ke Pulau Bawean dari Pulau Madura. Beliau datang ke Madura bersama saudaranya yang bernama Pangeran Sekara. Pangeran Sekara ini menetap di Madura serta beristeri di sana ( di Arosbaya), sedangkan Pangiran Perigi (Maulana Umar Mas'ud) keluar dari Madura menuju ke arah utara sehingga sampai di Pulau Bawean dan mendarat di sebuah desa yang sekarang bernama Kumalasa. Konon menurut cerita, beliau datang ke Bawean dari Madura dengan menaiki seekor ikan. Pada mulanya setelah tiba di Pulau Bawean, Maulana Umar Mas'ud tidak langsung mengajarkan dan menyiarkan agama Islam, tetapi pertama yang beliau lakukan ialah bergaul dengan penduduk setempat dengan ramah tamah sehingga dalam pergaulan itu sudah tidak ada perasaan bahawa beliau adalah orang asing. Pergaulan beliau dengan orang-orang sekitar dusun yang beliau tumpang sangat erat sekali, sehingga semua orang yang beliau kenal menaruh kepercayaan kepada beliau. Apa lagi di dusun itu sudah lebih dahulu datang seorang muslim, namun kedatangannya tidak bermaksud dan tidak berfungsi sebagai mubaligh.
Tidak berapa lama kemudian Maulana Umar Mas'ud mendapat berita bahawa Pulau Bawean diperintah oleh seorang Raja yang menganut faham animisme. Raja itu sangat dipatuhi oleh rakyatnya sehingga rakyatnya pun mengikut kepercayaan yang dianuti Rajanya. Setelah Maulana Umar Mas'ud mendengar berita yang demikian itu, maka berangkatlah beliau menuju dusun Panagi, tempat kedudukan Raja Babileono memerintah. Maksud beliau mengunjungi Raja itu ialah akan mencari kebenaran berita yang diperolehinya. Dan apabila memang benar demikian, beliau akan mengajak dan menyeru Raja tersebut kepada Agama Islam. Kerana beliau berkeyakinan, apabila Raja itu nanti mahu memeluk Agama Islam, maka semua rakyatnya akan mengikuti pula. Al-kisah, setelah Maulana Umar Mas'ud tiba di Dusun Panagi dan berjumpa dengan Raja Babileono, benarlah berita yang beliau peroleh, bahwa Raja itu berkepercayaan Animisme.
Dalam pertemuan itu Maulana Umar Mas'ud dengan penuh kebijaksanaan mengajak dan menyuruh Raja memeluk Agama Islam. Ajakan dan seruan beliau ditolak oleh Raja dan sampai berulang-ulang Maulana Umar Mas'ud menyatakan maksudnya itu tetapi selalu ditolak oleh Raja. Akhirnya Raja Babileono mengajukan tentangan kepada Maulana Umar Mas'ud, bahawa beliau harus mengadu sakti dan kekuatan dengan Raja serta dengan syarat, bahawa siapa yang kalah harus tunduk dan patuh kepada yang menang. Tantangan dan syarat tersebut diterima oleh Maulana Umar Mas'ud. Kemudian ditentukan waktunya serta tempat diselenggarakannya adu sakti dan kekuatan itu. Pada waktu yang telah ditentukan maka berkumpullah semua pembantu Raja Babileono beserta rakyatnya yang ingin menyaksikan adu sakti dan kekuatan tersebut di sebuah lapangan yang sudah ditentukan pula. Raja dan Maulana Umar Mas'ud juga sudah berada di tengah-tengah lapangan. 

Sebagaimana lazimnya dengan keadaan kehidupan pemimpin-pemimpin masa dulu, demikian pula halnya dengan apa yang terjadi antara Raja Babileono dengan Maulana Umar Mas'ud. Adu sakti dan kekuatan yang terjadi antara keduanya berjalan demikian: Dengan kesaktian dan kekuatan ilmu batinnya, Raja Babileono merebahkan pohon kayu yang sangat besar tanpa alat dan bantuan sesiapapun. Raja mempersilakan Maulana Umar Mas'ud supaya menegakkan kembali pohon kayu yang sudah rebah itu. Semua yang hadir menunggu apa yang akan dilakukan oleh Maulana Umar Mas'ud dalam usahanya menegakkan kembali pohon itu. Maulana Umar Mas'ud berjalan dengan tenang menghampiri dan mendekati pohon besar yang tumbang itu dan menyapu sebahagian batang pohon tersebut dengan tangannya kemudian pohon itu bergerak dan tegak kembali seperti sediakala. Sekarang sampai giliran Maulana Umar Mas'ud. Beliau mengambil dan menghela seekor kerbau ke tengah-tengah lapangan. Kerbau itu beliau rebahkan dengan tongkat yang dibawanya. Setelah itu beliau mempersilakan Raja Babileono mengangkat dan membangunkan kerbau tersebut. Raja Babileono menghampirinya dan kemudian berusaha mengangkat dan membangunkannya. 

Usaha Raja sia-sia belaka. Berbagai cara dan kekuatan yang dia dilakukan, namun usahanya itu tidak membawa hasil sama sekali. Raja dipersilakan meminta bantuan para pembantunya oleh Maulana Umar Mas'ud untuk mengangkat dan membangunkan kerbau itu, tetapi usaha bantuan itu pun sia-sia juga. Akhirnya karena Raja Babileono sudah tidak berdaya lagi untuk mengangkat dan membangunkan kerbau tersebut sekali pun sudah dibantu pula oleh para pembantunya, maka Maulana Umar Mas'ud datang menghampiri kerbau itu dan dengan tongkatnya beliau mengangkat dan membangunkannya. Gemparlah keadaan sekitar tempat adu sakti dan kekuatan tersebut, kerana kekalahan yang diderita oleh Raja Babileono. 

Melihat kejadian semacam itu Raja Babileono tidak dapat menahan marah dan rasa malu akan kekalahannya dan ditambah pula harus tunduk dan patuh kepada Maulana Umar Mas'ud, sebagaimana persyaratan yang sudah dibuat, maka Raja Babileono menghunus pedangnya menyerang Maulana Umar Mas'ud. Tetapi dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, Maulana Umar Mas'ud dengan cepat dan tangkas menepis serangan itu, sehingga karena kerasnya tangkisan dan pukulan tongkat Maulana Umar Mas'ud yang mengenai pedang Raja, maka pedang itu berbalik. mengenai diri Raja Babileono sendiri. Beliau pun akhirnya meninggal dunia. Mayat Raja Babileono kemudian dibuang orang ke dalam laut. Dan dari situlah Maulana Umar Mas'ud menyebarkan Islam.
Makam Maulana Umar Mas'ud terletak tepat di Belakang Masjid Baiturrahman (Alun-alun) Kecamatan Sangkapura Bawean, dan nama beliau juga diabadikan menjadi sebuah nama Yayasan di Pulau Bawean.‎

Pemakaman Bersejarah di Bawean

Di pulau Bawean diyakini terdapat 99 gunung. Dari gunung sebanyak itu terdapat banyak sekali petilasan dan makam bersejarah.‎

Diantara makam-makam tersebut seperti makam Maulana Umar Masud, makam panjang di Tinggen, makam Purbonegoro, makam Waliyah Zainab, makam Jujuk Campa, makam Cokrokusumo dan makam-makam lain.
Jika makam-makam bersejarah tersebut dikelola dengan baik akan memberikan mamfaat baik secara batin (spiritual) maupun secara zahir (ekonomi).
Hal-hal teknis untuk mengelolah makam tersebut seperti perawatan makam, dirikan suatu bangunan yang unik atau mihrab di atasnya seperti makam-makam parawali lainnya. Disamping itu, tentu harus memberikan penerangan akan sejarah setiap tokohnya.
Pemberian catatan atau informasi tentang perjalanan hidup sang tokoh semasa hidupnya kepada para pengunjung. Selain itu, menyediakan tempat yang agak luas yang memungkinkan pengunjung bisa melakukan tirakat di sekitar makam tersebut.
Jika tempatnya indah bersih dan menarik serta ditunjang oleh pancaran sirr makam wali tersebut maka masyarakat umum, para pecinta spiritual dan ahli kebatinan akan berdatangan dari segala penjuru negeri.

Kubur Mas Bawang
Kubur Mas Bawang secara administratif terletak di Desa Teluk Dalam Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Kubur tokoh ini berada di tengah pekuburan umum Desa Teluk Dalam yang terletak di sisi Utara lapangan sepak bola.
Kubur atau makam tokoh ini nampak menonjol ditengah pekuburan umum. Pemberian bangunan berupa cungkup beratap seng yang menaungi kubur tokoh Mas Bawang dan kubur pendamping lainnya merupakan pembeda dari makam kebanyakan. Cungkup kubur tersebut tidak memiliki dinding pada keempat sisinya.
Di bagian luar cungkup terdapat pagar batu berbahan batu kali. Batu kali itu tertata meninggi hingga satu meter. Uniknya, dinding itu tidak menggunakan semen sebagai perekatnya. Pagar batu tersebut berdenah empat persegi panjang dengan lebar 5 M, panjang 13 M dengan tinggi 1 M.
Yang juga menarik dari kompleks kubur Mas Bawang ini adalah ditemukannya batu-batu nisan berbentuk gada dan berbagai hiasan di sekitar kubur tokoh.

Makam Jirat
Makam tokoh ini menjadi satu dengan empat makam lainnya. Letaknya di dalam cungkup. Makam Jirat tersebut juga menggunakan bahan batu kali yang tidak dibentuk dan di tata meninggi tanpa perekat.
Areal di dalam jirat tersebut lebih tinggi di bandingkan lantai halaman di dalam kompleks pagar. Jirat tersebut berdenah empat persegi panjang dengan memiliki ukuran panjang 323 cm dan lebar 173 cm dengan tinggi dari halaman kubur 24 cm.

Makam Embhe Rambheje
Secara administratif berada di wilayah Dusun Suwaritimur, Desa Suwari, Kecamatan Sangkapura. Letak makam tokoh ini di halaman belakang Masjid Suwari Timur yang dikelilingi desa. Untuk menuju ke lokasi kubur ini dari jalan lingkar Bawean yang melalui Desa Suwari, masuk melalui jalan desa yang telah diperkeras dengan beton cor sejauh 30 meter melalui desa. Diujung jalan masuk kita akan sampai ke Masjid Suwari Timur.
Makam Embhe Rambheje dikelilingi kuburan masyarakat Dusun Suwari Timur. Namun pekuburan ini saat ini telah tidak dipergunakan lagi. Makam Embhe Rambheje akan terlihat mencolok ditengah kuburan lainnya. Fitur sebagai pembeda dengan makam lainnya adalah ada pagar batu yang melingkari kubur ini.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Suwari, tokoh Embhe Rambheje adalah merupakan tokoh pembawa Agama Islam di desa tersebut. Melalui peran tokoh ini masyarakat Suwari akhirnya menjadi pemeluk Agama Islam. Sebagai tokoh yang mengajarkan syariat Islam, Embhe Rambheje juga mendirikan masjid Suwari Timur yang kini berada dalam satu kompleks dengan makam beliau.

Makam Kuna di Tambak
Makam atau Kubur kuna yang dimaksud di sini terletak ditepi jalan lingkar Bawean yang berhimpit dengan garis pantai. Secara administratif lokasi makam ini termasuk dalam wilayah administrasi Desa Pekalongan Kecamatan Tambak. Makam kuna ini berada di tengah pekuburan umum Dusun Tunjung Desa Pekalongan.
Saat ini makam kuna ini telah diberi bangunan cungkup dengan menggunakan kontruksi beton dengan atap asbes tanpa dinding yang merupakan bangunan baru. Jirat kuburnyapun telah ditinggikan dengan batako dengan lapisan semen. 
Keberadaan kubur kuna ini di Bawean baru ramai di bicarakan orang sejak tahun 1995-an. Menurut keterangan masyarakat sekitar, pada awalnya masyarakat sekitar dan Bawean pada umumnya kurang memperhatikan keberadaan kuburan tersebut. Namun seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang dari Jawa ke makam tersebut, maka mulai berkembanglah cerita tentang keberadaan kuburan tokoh tersebut.
Berdasarkan keterangan peziarah dari Jawa yang kami temui di lokasi kuburan ini, menyatakan bahwa kuburan tersebut merupakan kuburan tokoh Sunan Bonang, salah seorang dari wali songo yang ada di tanah Jawa.
Menurut peziarah tersebut Sunan Bonang meninggal dan dikuburkan dilokasi ini dalam upaya beliau menyiarkan Agama Islam. Namun setelah diketahui oleh para santri dan pengikutnya yang berada di Tuban, mereka bermaksud untuk memindahkan kuburan Sunan Bonang dari lokasi di Bawean ke Kota Tuban.
Dalam upaya tersebut santri dan pengikut dari Tuban, tidak sepenuh niatan mereka berhasil dilaksanakan, karena yang berhasil dipindahkan hanyalah kain kafannya saja. Sedangkan jasadnya tidak bisa dipindahkan dari Bawean. Namun sebagian peziarah dari Jawa yang datang ke Bawean menyebutkan bahwa kubur Sunan Bonang memang di Bawean. Namun kubur tersebut bukan yang berada di Kecamatan Tambak ini. Melainkan berada di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura yang di Bawean dikenal dengan Jujuk Tampo.
Peninggalan arkeologi yang menarik disekitar kuburan di Bawean ini adalah ada 4 buah nisan bergaya bentuk gada dan 2 buah berbentuk pipih yang menggunakan bahan batu andesit. Meskipun kuburan tersebut hanya dikenal sebagai kuburan para santri tokoh utama di kompleks ini, gaya bentuk nisannya merupakan peninggalan arkeologi yang cukup langkah khususnya wilayah Bawean yang masih wilayah Kabupaten Gresik itu.

Kubur KH Fahruddin
Kubur tokoh ini di pekuburan umum Dusun Pakalongan Temor Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Kubur ini tidak memiliki bangunan cungkup.
Tidak seperti umumnya kuburan Islam, pada kubur tokoh ini tidak ditemukan unsur nisan yang biasanya didirikan dalam struktur jirat yang mengelilinginya. Pada kubur ini hanya ditemukan struktur jirat yang menggunakan bahan fosil karang.
Pada bagian kepala dan kaki kuburan, bentukan jiratnya meninggi dengan pola bangun setengah lingkaran menyerupai gunungan.

Makam KH Khatib
Makam KH Khatib berada di tengah pekuburan umum Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Makam ini tidak memiliki bangunan cungkup dan terkesan tidak berbeda dengan kuburan umumnya yang ada ditempat tersebut. Jirat dan nisan kuburnya telah direhab oleh pihak keluarga yang kini dilapisi dengan keramik modern.
Berdasarkan cerita tutur yang ada di masyarakat Bawean, tokoh ini merupakan orang pertama yang membawa dan mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama 'di Pulau Bawean.
Beberapa kalangan dari pemimpin wilayah NU Jawa Timur menyatakan bahwa KH Khatib merupakan salah seorang kyai yang masa hidupnya sejaman dengan KH Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. Bersama Hasyim Asy’ari, beliau aktif sebagai salah seorang perintis pendiri Nahdlatul Ulama '.

Makam Waliyah Zainab
Makam ini terletak di Desa Diponggo Kecamatan Tambak Pulau Bawean, di kaki bukit yang jaraknya dari pantai sekitar 350 M. Kubur ini di halaman belakang masjid Desa Diponggo yang konon katanya masjid ini didirikan oleh Waliyah Zainab.
Cungkup kubur ini telah direhab oleh masyarakat setempat yang saat ini berdinding tembok dengan kontruksi beton cor beratap genteng. Jirat kubur sebagai unsur yang masih merupakan peninggalan arkeologi, menggunakan bahan batu kapur Gresik yang dibentuk persegi empat.
Jirat kubur ini bentuknya mengesankan adanya kesamaan dengan beberapa jirat kubur yang ada di Gresik meskipun dalam bentuk dan ornamen yang jauh lebih sederhana.
Tokoh Waliyah Zainab menurut cerita yang berkembang di Bawean adalah merupakan istri kedua dari Sunan Giri yang bernama Dewi Wardah. Dewi Wardah merupakan putri Sunan Bungkul di Surabaya yang diperistri berkat penemuan buah delima oleh Sunan Giri dalam sebuah sayembara.
Namun Dewi Wardah merasa kurang bahagia menjadi istri kedua dari Sunan Giri, sehingga ia memilih untuk menetap di Bawean sebagai kader penyiar Agama Islam.

Kubur Jujuk Tampo
Kubur ini terletak di Dusun Tampo Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean Kabupaten Gresik. Kubur tokoh yang bernama Jujuk Tampo ini berada diatas sebuah struktur batu alam yang ditata sedemikian rupa berbentuk meninggi dengan 3 buah teras undakan. Pada setiap inti undakan memiliki bidang datar yang cukup luas, di teras ketiga teratas ditemukan dua buah kuburan dengan dua pasang nisan yang salah satunya dikenal dengan kubur Jujuk Tampo.
Hingga saat ini tidak ditemukan data yang bisa menerangkan tentang identitas sang tokoh yang dikubur ditempat tersebut secara valid. Keterangan warga setempat hanya menceritakan tentang kejadian proses meninggalnya sang tokoh Jujuk Tampo. Meninggalnya tokoh Jujuk Tampo adalah akibat dibunuh oleh orang dari Desa Patar Selamat yang menuduh Jujuk Tampo sebagai pencuri sapi milik warga Patar Selamat yang hilang. Karena tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, seluruh warga Patar Selamat dikutuk agar tidak berziarah ke kuburan beliau. Bila ada warga Patar Selamat yang melanggar sumpah tersebut, maka di Bawean akan terjadi hujan deras dalam beberapa hari.
Tidak adanya data arkeologi dan sejarah yang bisa menjelaskan tokoh yang dikubur dengan julukan Jujuk Tampo tersebut telah pula melahirkan cerita baru yang menghubungkan Jujuk Tampo dengan Laksamana Ceng Hoo? Saya sendiri tidak menemukan data tentang hubungan diantara keduanya setelah saya baca buku yang baru terbit di tahun 2008 ini. Bukankah intuisi tidak termasuk dalam metodologi ilmu.

Makam Mbhe Ghuste
Makam Mbeh Ghuste berada di punggung bukit yang termasuk dalam wilayah Desa Komalasa Kecamatan Sangkapura. Kubur tersebut merupakan kuburan tunggal yang disekelilingnya berupa semak belukar. Untuk menuju lokasi kuburan tokoh ini dari jalan Desa Komalasa yang telah bisa dilalui kendaraan bermotor, kita masih harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang terjal berbatu ditengah semak belukar yang tinggi.
Makam Mbeh Ghuste tidak memiliki bangunan cungkup. Sebagai penanda keberadaan kuburan ini. Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Desa Komalasa, Mbeh Ghuste dikenal sebagai salah seorang kader Agama Islam yang awal di Desa Komalasa Pulau Bawean. Selain itu tokoh ini dikenal sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengobati penyakit. Konon lebih dari 41 macam penyakit yang bisa diobati oleh tokoh ini. Namun keterangan lebih jauh tentang asal dan masa hidup tokoh tersebut tidak ditemukan dalam cerita tutur maupun data sejarah.

Makam Mbhe Rato
Kubur ini berada di pekuburan umum Desa Dheun yang terlentak di tepi jalan lingkar Pulau Bawean. Keletakan tersebut menjadikan kuburan ini sangat mudah untuk di kunjungi. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Dheuneler, Desa Dheun Kecamatan Sangkapura.
Berdasarkan cerota tutur yang berkembang di masyarakat Dheun, disebutkan bahwa tokoh Mbhe Rato saat hidupnya merupakan pemimpin atau penguasa lokal yang sekarang seperti kepala desa di wilayah Dheun.

Makam Jujuk Neisela
Makam Jujuk Neisela ini berada di lokasi yang hingga kini masih sangat sulit untuk didatangi. Keletakan kubur ini yang berada di punggung gunung dengan akses jalan yang hanya berupa jalan setapak pencari rumput yang sangat jarang di lalui, menyebabkan kesulitan untuk menenukan lokasi kubur ditengah rimbun semak-semak. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Bhelibhekeler, Desa Balikterus Kecamatan Sangkapura, yang keletakan desanya berada dibagian tengah Pulau Bawean yang berbukit-bukit. Makam ini tanpa dilengkapi dengan bangunan cungkup.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Bawean, khususnya di Desa Balikterus, menyebutkan bahwa tokoh Jujuk Neisela merupakan salah seorang khadam atau pembatu Waliyah Zainab atawa Dewi Wardah yang meninggal dalam perjalanan pengungsi sebelum akhirnya Waliyah Zainab menetap di Desa Diponggo.

Makam Purbonegoro
Letak makam Purbonegoro berada di kaki bukit Malokok yang termasuk dalam wilayah Desa Gunungteguh Kecamatan Sangkapura. Lokasi kuburan Purbonegoro merupakan pekuburan umum untuk masyarakat sekitar lokasi dan lokasi penguburan bagi mereka yang masih memiliki hubungan darah atau keturunan Purbonegoro.
Untuk menuju kelokasi kuburan ini cukup mudah karena keletakannya yang masih berada dalam kawasan kota Kecamatan Sangkapura.
Halaman cungkup kubur Purbonegoro yang merupakan kaki bukit Malokok dibuat berundak lima. Setiap undakan diberi dinding talud yang menggunakan batu koral yang dibentuk persegi empat panjang tanpa diberi perekat. Empat dinding talud terbawa, saat ini hampir seluruh bagiannya sudah tertimbun tanah. Sedangkan dinding talud teratas yang sekaligus terhubung dengan pagar, hingga kini masih dapat teramati walaupun pada banyak bagiannya telah runtuh.
Kondisi bangunan cungkup tersebut dalam kondisi rusak berat. Didalam bangunan cungkup pertama tersebut terdapat 2 buah bangunan cungkup kedua dan 7 buah kuburan. Cungkup kedua yang berada didepan pintu masuk cungkup pertama merupakan cungkup kedua kubur Purbonegoro. Kedua cungkup kubur tersebut menggunakan bahan kontruksi kayu yang meskipun kini dalam kondisi rusak berat dan fragmentaris, namun masih menampakkan kemegahan bentuk dan hiasannya.
Begitupula dengan jirat dan nisan kubur yang lainnya, juga menggunakan bahan kayu dengan pola hias yang kompleks yang kini dalam kondisi rusak berat. jirat kubur Purbonegoro menggunakan bahan kayu dengan pola hias suluran bunga teratai yang memenuhi hampir seluruh bidang badan jirat yang berundak dua.
Nisan ini memiliki hiasan antefik pada keempat sudut pinggangnya. Sisi pinggir nisan diberi hiasan suluran tumbuhan yang mengelilingi bingkai persegi lima. Di dalam bingkai segi lima sisi dalam nisan terdapat kaligrafi yang menyebutkan wafatnya Panembahan Adi pada hari senin, Tanggal 11 Jumadil Akhir Tahun Alif. Sedangkan pada sisi luar nisan di dalam bingkai segi lima diberi hiasan suluran tumbuhan yang memenuhi bidang. Nisan ini memiliki ukuran lebar 23 cm, tebal 17 cm, tinggi 47 cm dengan jarak antar nisan sejauh 122 cm.
Berdasarkan data lisan dan sejarah yang ada di Bawean, Purbonegoro merupakan keturunan Umar Mas'ud yang menjadi penguasa ke-enam dengan gelar pangeran yang pemerintahannya berlangsung antara tahun 1720-1747 M. Data sejarah dan lisan tersebut berbeda dengan inskripsi yang tertulis di nisan.


Makam Syech Maulana Umar Mas'ud
Tokoh Umar Mas'ud yang dalam tradisi lisan dan tulis masyarakat Bawean dikenal sebagai penyebar Agama Islam di Bawean, terletak di dalam kompleks Masjid Jamik Sangkapura yang konon masjid tersebut didirikan oleh Umar Mas'ud. Secara administratif kubur ini termasuk kedalam wilayah Desa Kotakusuma Kecamatan Sangkapura yang menempati lokasi di sisi Barat Alon-alon kota Kecamatan Sangkapura.
Kubur Umar Mas'ud berada di sisi belakang kompleks Masjid Jamik dengan pagar pembatas yang menyatu dengan pagar masjid. Sebuah cungkup yang telah direnovasi dan kini cungkup tersebut berdinding tembok semen baru menaungi dua buah kuburan, yakni kubur Umar Mas'ud beserta istrinya.
Nisan kuburan yang kini terpasang pada jirat merupakan nisan baru yang menggunakan bahan kayu jati. Sedangkan dua pasang nisan asli dari dua buah kuburan tokoh ini masih tersimpan di dalam bangunan cungkup dalam kondisi utuh dan baik.
Tokoh Umar Mas'ud dalam sejarah Paulau Bawean dikenal sebagai tokoh penyiar agama Islam yang datang ke Bawean dan mengalahkan penguasa Bawean dikala itu yang bergelar Raja Babi sebagai raja Kerajaan Lubek dalam sebuah duel. Setelah berhasil mengalahkan Raja Babi yang seketika itu meninggal dunia, Umar Mas'ud mengangkat dirinya sebagai penguasa Pulau Bawean dan memindahkan pusat kekuasaan dan pemerintahannya dari Panagih di Desa Lebak ke Bengko Dhelem yang kini berada di Dusun Dejebheta Desa Sawahmulya.
Dimasa pemerintahannya ini Umar Mas'ud mendirikan Kota Sangkapura dengan konsepsi kota Islam Jawa yang diadaptasi dengan kondisi geografis setempat. Bentuk adaptasi konsepsi tata kota Islam Jawa tersebut nampak dari penempatan keraton pusat pemerintahan yang di Bawean dikenal dengan Bengko Dhelem di sisi Utara Alon-alon dan pasar di sisi Selatan Alon-alon. Sedangkan masjid Jamik tetap berada di sisi Barat dari Alon-alon.
Pemerintahan Umar Mas'ud di gantikan oleh anak keturunannya pada saat beliau wafat pada tahun 1630M yang kehilangan kedaulatannya sehubungan dengan naiknya kembali kekuatan pemerintah di tanah Jawa pasca Majapahit.

Makam Cokrokusumo
Menurut wilayahnya, makam Cokrokusumo masuk dalam Desa Sungaiteluk Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Lokasi makam ini berada ditepi persimpangan jalan kecamatan yang telah beraspal, sehingga kuburan ini cukup mudah untuk di kunjungi. Kubur Cokrokusumo yang bagi masyarakat Sangkapura juga dikenal dengan nama Congkop Naghesare, dikelilingi oleh kompleks pekuburan besar yang terpisahkan oleh jalan kecamatan yang melintas ditengahnya.
Di dalam bangunan cungkup kubur ini terdapat beberapa kuburan tua. Tiga buah kuburan dari tokoh utama yang ada di dalam cungkup kubur ini diberi bangunan cungkup kedua. Cungkup kubur Cokrokusumo berada di bagian tengah yang diapit oleh dua cungkup lainnya.
Kaligrafi yang tertulis pada bagian sisi dalam nisan, memiliki isi yang berbeda antara nisan kepala dan nisan kaki. Kaligrafi pada nisan kepala berisi wafatnya Kanjeng Rahadian Tumenggung Purba Negara pada tanggal 29 Ramadhan 1235. Sedangkan pada nisan kaki menyebutkan wafatnya Kanjeng Rahadian Tumenggung Panji Cokrokusumo pada tanggal 29 Ramadhan 1285 Hijriyah.
Berdasarkan data sejarah yang ada di Pulau Bawean, tokoh Cokrokusumo merupakan keturunan Umar Mas'ud yang kemudian bertahta pada Bawean pada Tahun 1747 sampai 1789 M. ia kemudian menjadi penguasa ke lima sejak Pulau Bawean direbut oleh Umar Mas'ud yang sekaligus menjadi penyiar Agama Islam di Pulau Bawean  setelah mengambil alih kekuasaan dari raja animisme.


Riwayat terjadi nya Danau Kastoba
Danau Kastoba Merupakan Danau yang  Terletak di Desa Paromaan Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik Jawatimur yang berada di puncak ketinggian dan berada di tengah-tengah Pulau Putri Bawean. Dengan prasarana jalan setapak dan melewati keindahan rimbunan pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun.di tempat ini terdapat spesies satwa langka aneka serangga yang takkan mungkin sama jenisnya dengan serangga di pelosok negeri, sehingga lokasi ini mempunyai daya tarik luar biasa dan sulit dibandingkan dengan obyek wisata lainnya dan merupakan kenyamanan tersendiri bagi para pecinta alam.

Alkisah, pada zaman dahulu, Pulau Bawean masih bernama Pulau Majeti. Di tengah-tengah Pulau Majeti terdapat pohon besar dan anggun, tetapi rindang sehingga kalau seseorang berdiri di bawahnya akan dapat menjangkau sebagian daun pohon tersebut. Kala itu Pulau Majeti diperintah oleh Ratu jin yang berwibawa. Semua mahluk di daerah kekuasaanya tunduk kepadanya, baik mahluk halus maupun mahluk kasar.

Ratu jin di Pulau Majeti sangat termashur dan dikenal oleh Ratu-Ratu jin yang lain di Nusantara, ini karena di daerah kekuasaan Ratu Jin Majeti terdapat “pohon sakti” yg tdk dimiliki oleh ratu jin lain di mana pun di kepulauan Nusantara ini. Yang tiada lain adalah pohon besar dan rindang ditengah Pulau Majeti itu.

Karenanya dalam waktu tertentu, Ratu jin selalu mengubah kebijaksanaanya demi menyelamatkan pohon tersebut. Ratu juga ingin sekali melestarikan pohon kebanggaanya itu. Maka dipanggillah beberapa jin pengawal kerajaan. “wahai pengawalku!” “Ya Ratu!” “Coba kau jemput burung gagak jantan yg sedang berada di Pantai Ria,Desa Dekat Agung dan burung gagak betina yg ada di Pantai Mayangkara, Desa Ponggo!” “Hamba laksanakan Ratu!.” Demikian jawab pengawal kerajaan sembari menundukkan tubuhnya dan terus berangkat untuk memanggil ke dua burung gagak tersebut.

Setelah keduanya datang menghadap Ratu, maka sang Sang Ratu jin berkata… “Hai, Gagak! kamu berdua akan mendapat tugas baru yg berat, tetapi sangat mulia! bersediakah engkau?” “Dengan senang hati, Ratu” sembah kedua gagk itu. “Bagus. Memang hanya engkaulah yg dpt mlksanakan amanat ini. Apalagi selama ini kalian telah mengerjakan tugas-tugas kerajaan dengan sangat baik n berhasil” “Tugas gerangan apakah itu, Ratu?” tanya kedua gagak itu. “Begini. Engkau berdua sudah waktunya untuk mengetahui keadaan ini, karena engkau telah menjadi pegawai kerajaan berjabatan tinggi. Tapi, sebelumnya saya ingatkan janganlah kalian membocorkan “rahasia kerajaan” ini.” titah Ratu penuh harap, kemudian melanjutkan. “Kerajaan kita mempunyai pohon istimewa yg terdapat ditengah-tengah pulau ini.

Berkat pohon itulah kerajaan kita termashur dan disegani oleh kerajaan lainya. Segala bagian pohon itu amat berguna bagi kehidupan!” “oh ya?” sambung kedua gagak itu. “Akarnya, batangnya, dan rantingnya sebagai tumbal bencana alam, dan bahaya lain. Sehelai daunnya saja, bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan sgt ampuh daya sembuhnya. Bunganya juga dapat untuk kekebalan pemiliknya” “Hai, sakti amat!” “Nah, kewajibanmu sekarang adalah menjaga pohon itu serta bagianya. Berjagalah dengan disiplin atas segala gangguan dan ancaman,baik dari luar atau dari dalam kerajaan. waspadalah selalu ke udara,ke laut atau ke darat.

Jika ada mahluk asing yg mencurigakan, segeralah hubungi dan lapor pd penjaga istana” Kedua pohon gagak itu tidak menjawab, hanya memperhatikan dengan seksama instruksi-instruksi Ratunya. Betapa berat tugas yg dipikulnya. Namun mereka cukup bangga karena mendapat kepercayaan dan kehormatan dari Tuannya.

Hingga pada suatu hari, burung gagak menjumpai seorang pemuda buta yang sedang tertatih-tatih dan berusaha mencari obat demi kesembuhan kesua matanya. Melihat hal yang demikian sang gagak merasa iba dan kasihan kepada pemuda tersebut dan melanggar janji mereka kepada ratu jin.

“wahai pemuda buta, ambil daun pohon besar ini dan usapkan ke kedua matamu yang buta. Maka kau akan dapat melihat lagi”, kata gagak kepada pemuda buta tersebut. Akhirnya pemuda itu mnuruti perinah si gagak dan pemuda itu langsung sembuh, kedua matanya dapat melihat secara normal.

Ratu jin mendengar berita tersebut kemudian marah lalu mencabut pohon besar dan sakti yang berada di tengah-tengah Pulau bawean itu. Bekas dari cabutan pohon besar itulah kemudian menjadi sumber dan membentuk danau. Hingga saat ini danau itu masih asri, rindang dan tentunya masih ada kesan mistisnya. Danau itu terkenal dengan nama Danau Kastoba. ‎

 

Sejarah Sunan Bejagung Tuban



Nama Sunan Bejagung adalah Sayyid Abdullah Asy’ari bin Sayyid Jamaluddin Kubro.Menurut keterangan dari Syekh Abu Al-Fadl (Mbah Ndol), beliau adalah adik Sayyid Maulana Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel atau kakek Sunan Bonang).Sayyid Abdullah Asy’ari bermukim di Bejagung Tuban, setelah wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding (2 Km kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut Sunan Bejagung.

Silsilah Sunan Bejagung dengan urutan Nabi Muhammad adalah sebagai berikut:

Nabi Muhammad SAW,
Siti Fatimah Az-Zahro’ (istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib),
Sayyid Husain,
Sayyid Ali Zainul Abidin,
Sayyid Muhammad Al-Baqir,
Sayyid Ja’far Shodiq,
Sayyid Ali A1 ‘yroidii,
Sayyid An-Naqib Ar- Rumi,
Sayyid Isa An-Naqib Al-Bashori,
Sayyid Achmad Muhajir Al-Faqih Al-Muqoddam,
Sayyid Ubaidillah,
Sayyid Alawi,
Sayyid Muhammad,
Sayyid ‘Alawi,
Sayyid Ali Kholi’ Qosam,
Sayyid Muhammad Shodiq Murrobath,
Sayyid Abdul Malik,
Sayyid Abdullah Khan,
Sayyid Ahmad Syah,
Sayyid Jamaluddin Al-Husaini/ Sayyid Jamalludin Kubra/ Sayyid Jumaddil Kubro,
Sayyid Abdullah Asy’ari (Sunan Bejagung, Tuban).
Sayyid Abdullah Asy’ari bermukim di Desa Bejagung, Sunan Bejagung Lor Tuban, setelah wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding (2 Km kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut Sunan Bejagung.
Kalau Anda berkunjung ke Tuban, jangan lupa berziarah ke makam Sunan Bejagung. Memang, situs ini tak sepopuler makam Sunan Bonang. Tapi, jangan salah, selain mulai ramai dikunjungi, situs ini juga dikeramatkan orang. Mengapa?
Makam Sunan Bejagung atau Syech Abdullah Asy’ari terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding. Sebuah tanah perdikan wilayah Kabupaten Tuban yang kering dan berbatu. Dari pusat kota yang digelari Bumi Ronggolawe itu hanya berjarak sekitar satu kilometer arah selatan, atau berada dalam satu jalur dengan objek wisata pemandian Bektiharjo.
Situs wisata religi ini dikeramatkan orang lantaran semasa hidupnya Sunan Bejagung dikenal sebagai penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram. Konon, hanya Sunan Bejagung yang mampu melaksanakan tugas itu. Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam shalat.
Legenda tersebut hingga kini masih hidup dan dipahami sebagai salah satu kelebihan ulama kelahiran Hadrah Maut atau sekarang disebut Yaman itu.
Akses jalan menuju dua kompleks pemakaman yang disebut Bejagung Lor (utara) dan Bejagung Kidul (selatan) kini sudah beraspal hotmix.
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban-Bojonegoro. Sebuah jalur alternatif pada jurusun yang sama ketika jalur Tuban-Surabaya atau jalur bawah mengalami kemacetan.
Menurut KH Dr Abdul Matin SH, penyusun Babad Sunan Bejagung, pada awalnya tidak ada istilah Bejagung Lor dan Kidul. “Karena memang Sunan Bejagung hanya ada satu yakni Syech Maulana Abdullah Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang juga pengasuh Ponpes Sunan Bejagung. Diruntut secara garis dzurriyah, Kiai Matin termasuk keturunan ke-12 sunan yang semasa hidupnya dikenal santun dan lemah lembut itu.

Pangeran Kusumo Hadiningrat ‎

Sebutan dua nama berbeda itu, papar Kiai Matin, berawal dari kedatangan Pangeran Kusumo Hadiningrat atau Pangeran Sudimoro ke perdikan Bejagung atas perintah Syech Jumadil Kubro untuk memperdalam ilmu ketauhidan kepada Syeh Asy’ari. Karena wara’i-nya, lantas putra keempat Prabu Brawijaya atau Prabu Hayam Wuruk ini dijadikan menantu oleh Sunan Bejagung untuk menikahi salah seorang putrinya, Nyai Faiqoh.
Dalam perjalanannya, putra mahkota Majapahit yang meninggalkan gemerlap cahaya istana dan memilih menjadi santri Sunan Bejagung akibat konflik perebutan kekuasaan antara dua bersaudara Pangeran Wirabumi dan Putri Kusuma Wardani, kemudian berganti nama menjadi Hasyim Alamuddin atau yang kemudian lebih dikenal dengan gelar santrinya Pangeran Penghulu.
“Perdikan Bejagung Kidul inilah yang dulu menjadi pusat penyebaran agama Islam dengan segala aktifitas pesantrennya yang dilakukan oleh Syech Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang dikenal balaghah membedah berbagai kitab kuning dan pernah menakhodai NU Tuban sebagai Rais Tanfidziyah selama dua periode beruntun itu.
Dijelaskan Kiai Matin, karena memiliki kemampuan yang dianggap sudah setara dengan Sunan Bejagung, akhirnya seluruh tugas dakwah di Kasunan Bejagung diserahkan kepada Pangeran Penghulu. Itu adalah sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan Sunan Bejagung kepada putra mantunya.‎

Setelah semua tugas dakwah diserahkan kepada menantunya, kemudian Sunan Bejagung memilih uzlah (pindah) ke perdikan Bejagung Lor sampai akhir hayatnya. “Secara tradisi setiap peziarah yang akan melakukan rialat di makam Sunan Bejagung harus dimulai dari makam Bejagung Kidul terlebih dulu. Meski secara personal status maqam kewaliannya lebih tinggi dari Bejagung Lor,” kata Kiai Matin.‎

Apa yang dilakukan Sunan Bejagung ini mengikuti jejak dan ibarat Rasulullah s.a.w. ketika memiliki menantu Sayyidina Ali. Sabda Rasulullah: ana madinatul ilmu wa Aliyyu babuha. Faman arodal Madinah faya’tiha min babiha (saya ibarat kotanya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Maka barangsiapa akan menuju kota henaklah melalui pintu kota).
Sunan Bejagung yang terlahir dengan nama Maulana Abdullah Asy'ari adalah salah satu putra dari  Sayyid Jamaluddin Al Kusaini Al Kubro atau Syech Jamaludin Kubro yang kemudian kesohor dengan panggilan Syech Jumadil Kubro. Keturunan yang melahirkan generasi Wali Songo bersama kakak kandungnya Syech Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi yang kelak lebih populer disebut Syaikh Maghribi atau Sunan Gresik.
Keduanya memilih Tuban sebagai rumah terakhir setelah mengemban misi dakwah menyebarkan Islam di Kadipaten (sekarang kabupaten) Tuban dari ayahandanya Syech Jumadil Kubro pasca meredupnya kejayaan kerajaan Pasai.
Dan di bumi Tuban itu pula jasad keduanya disemayamkan, sehingga bumi kabupaten ini kondang dengan sebutan Bumi Wali.
Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi (Sunan Gesik) dimakamkan di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, lima kilometer arah timur kotaTuban.
Sedangkan Syech Asy’ari disemayamkan di tlatah Bejagung, tempat semasa hidupnya melakukan dakwah dengan senjata kelembutan dan kebersahajaan. 

Dibalik Karomah Sunan Bejagung‎

Penyebaran Agama Islam di kabupaten Tuban tidak terlepas dari peran seorang ulama besar bernama Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung Lor). Syekh Abdullah As’ari mengemban misi dakwah, menyebarkan agama Islam ke tanah Jawa dari ayahandanya yang bernama Syekh Maulana Ibrahim Asmara bin Sayyid Jamaludin Al Khusaini Al Kubra atau tersohor dengan sebutan Syekh Jumadil Kubra.
Pasca meredupnya kerajaan Pasai pada abad ke-14 Masehi, empat orang ulama besar melakukan siar agama Islam ke tanah Jawa. Salah satunya adalah Syekh Abdullah As’ari. Beliau memilih Tuban sebagai tempat singgah dan menyebarkan Agama Islam sampai beliau wafat. Kemudian beliau di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Satu kilometer ke arah selatan dari pusat kota Tuban.
Semasa dakwah yang dilakukan Sunan Bejagung di Tuban, ada beberapa situs-situs bersejarah, peningalan Sunan Bejagung Lor. Sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Salah satu peninggalan Sunan Bejagung Lor adalah masjid yang berada di komplek makam bagian depan. Bagian tempat imam masjid dan ruang tengah masjid merupakan konstruksi asli sejak Masjid Agung Sunan Bejagung Lor didirikan pada tahun 1314 Masehi. Masjid ini juga merupakan tempat yang dikeramatkan orang, lantaran biasanya masjid ini digunakan untuk melakukan sumpah pocong.
Meskipun kebiasaan tersebut dilarang oleh juru kunci, tetapi anggapan masyarakat yang melandasi kepercayaan tersebut tidak dapat dihilangkan. Ritual sumpah pocong yang dilakukan di masjid ini, rata-rata dilakukan oleh masyarakat dan peziarah karena menerima suatu tuduhan dan fitnah. Untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan dan fitnah tersebut maka dilakukan sumpah pocong. Setelah  ritual sumpah pocong itu, akan terlihat mana yang salah, dan mana yang benar antara kedua belah pihak. Sesuai dengan sumpah yang diajukan berdasarkan fitnah dan tuduhan tersebut.
Selain itu, ada situs berupa dua Cungkup Penadzaran yang mengapit jalan setapak menuju makam Sunan Bejagung Lor. Biasanya cungkup ini digunakan warga sekitar atau peziarah untuk mewujudkan nadzarnya. Berupa penyembelihan kambing atau lembu di tempat tersebut. Sebagai media sedekah kepada sesama umat manusia. Jika melakukan penadzaran di cungkup tersebut, maka para penadzar cukup menyediakan bumbu dapur lengkap, beras untuk dijadikan tumpeng, dan hewan yang disembelih. Seluruh proses dan persiapan penadzaran dilakukan Oleh Mrebot(pembantu juru kunci) mulai dari menyembelih, memasak, sampai mengundang warga sekitar untuk kenduren di tempat tersebut.
Proses penadzaran dilakukan ditempat itu, karena dikhawatirkan kalau prosesnya dilakukan di tempat lain, darah dan tulang hewan yang disembelih berserakan dimana-mana. Prosesi penyembelihan dan memasak hewan nadzar dilakukan di Cungkup itu, maka para Mrebot telah siap untuk mengelola dan mengumpulkan segala sisa-sisa upacara penadzaran, dijadikan satu kemudian dikubur di sekitar kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor.
Karena upacara ritual penadzaran yang dilakukan di Cungkup Penadzaran ini kerap dilakukan, ditambah lagi karena Sunan Bejagung Lor gemar bersedekah, maka di zaman dulu ketika Sunan Bejagung Lor masih menjadi Modin di kawasan perdikan Bejagung, warga dilarang untuk menjual nasi. Sebagai wujud penghormatan kepada para penadzar yang melakukan penadzaran di tempat tersebut. Wujud rasa hormat masyarakat, terhadap petuah Sunan Bejagung Lor dan para penadzar,  diwujudkan oleh masyarakat dengan tidak menjual nasi di sekitar Padepokan Sunan Bejagung Lor.
Sampai sekarang, kepercayaan masyarakat Bejagung dan sekitarnya masih ada. Dan petuah itu melekat pada pemikiran masyarakat tersebut. Hal itu terbukti bahwa sampai saat ini tidak ditemukan kedai warung nasi di sekitar makam Sunan Bejagung. Baik di makam Sunan Bejagung Lor*.  Maupun di Makam Sunan Bejagung Kidul*. Yang ada hanyalah warga yang menjual lontong tahu. Pemikiran masyarakat, baik yang melakukan penadzaran  untuk mewujudkan hajatnya, ataupun masyarakat yang tidak berani berjualan nasi, masih terjaga sampai sekarang. Mitos yang beredar di masyarakat, bahwa kalau menjual nasi, pada malam harinya warung tersebut akan didatangi harimau putih.
Ada yang unik di area kompleks makam Sunan Bejagung Lor. Yaitu bangunan gapura yang kecil, rendah, dan sempit. Bangunan gapura-gapura tersebut tak lazim dengan bangunan gapura pada umummya. Biasanya bangunan gapura di tempat manapun terkenal dengan sebuah benteng pintu masuk yang megah, tinggi, kokoh, dan besar. Di padepokan Sunan Bejagung Lor (sekarang menjadi kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor) tidak seperti itu. Bangunan gapura yang kecil, rendah, dan sempit mengisyaratkan kepada seluruh santrinya untuk senantiasa menunduk. Dalam artian untuk selalu menjaga kesopanan berperilaku, kesantunan dalam berbahasa, tawaduk, dan mawas diri. Apa yangdipasemonkan oleh Sunan Bejagung Lor dapat dibuktikan dengan gelagat seseorang dengan menunduk. Orang ketika menunduk, pasti saat berbicara, berperilaku lebih sopan dan santun, dibandingkan dengan orang yang berbicara membusungkan dada dan mengadah ke atas. Itulah salah satu ajaran Sunan Bejagung Lor Yang terkenal dengan kelembutan dan kebersahajaan.
Di sebelah Selatan makam Sunan Bejagung Lor juga terdapat sebuah situs yang dikeramatkan.  Tidak kalah penting dan estetis dengan situs-situs lainnya. Situs yang  berada di sebelah selatan makam Sunan Bejagung Lor tersebut berupa sumur Wali yang usianya ribuan tahun. Kedalamannya mencapai 40 meter. Sumur tersebut dibuat Sunan Bejagung Lor, karena melihat tanah perdikan yang diamanahkan oleh Adipati Tuban kepada Sunan Bejagung Lor, tanahnya  kering kerontang, terjadi kekeringan, dan warga kesulitan pengadaan air. Maka muncul inisiatif sang wali untuk membuat sebuah sumur di tanah tandus. Dengan memohon ridho Allah SWT. Akhirnya sang wali mendapatkan petunjuk untuk membuat sumur di sebelah selatan padepokannya. Pembuat sumur tersebut tidak lain adalah santrinya sendiri yang bernama Mbah Pamor. Beliau merupakan salah satu santri Sunan Bejagung Lor yang paling setia kepada sang wali Allah Sunan Bejagung Lor. Selain kesetiaanya, beliau juga taat beribadah kepada Allah SWT.
Dengan izin Allah, sumur yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tidak pernah kering walaupun terjadi kekeringan di musim kemarau panjang. Selain tidak pernah kekeringan dan digunakan untuk  kebutuhan sahari-hari oleh warga sekitar, air sumur tersebut  juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kegunaan seperti menyembuhkan penyakit gatal-gatal, penyakit dalam yang tak terdeteksi oleh medis, pengasihan, dan keselamatan. Selain itu juga sebagai sarana untuk mewujudkan nadzar orang tua kepada anak. Apabila orang itu bernadzar, anak sembuh dari sakit, maka kewajiban orang tua adalah memandikan anak tersebut di sumur wali, guna memenuhi nadzarnya tersebut.
Untuk penyembuhan penyakit dalam, air sumur tersebut tidak usah dimasak atau dicampur dengan air lain. Air tersebut dapat dikonsumsi secara langsung, tetapi sebelum meminum air tersebut disunahkan membaca kalimat syahadat dan salawat nabi sebanyak tiga kali. Jika air diminum di tempat tersebut, maka ada juru bantu (Mrebot) yang menjelaskan prosedur yang harus dilakukan para peziarah dalam mengunjungi sumur Wali tersebut.

 Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan oleh para peziarah ketika berkunjung ke sumur wali tersebut. Pertama, harus membeli bunga terlebih dulu. Bunga yang dibeli, kemudian diserahkan kepada panitia penyelenggara pengambilan air sumur yang ditugaskan oleh juru kunci makam. Kedua, memberikan infaq seikhlasnya, bersamaan dengan pengambilan air tersebut. Ketiga,air yang telah diambil, dicampur dengan bunga, sebelum air tersebut dimanfaatkan oleh para peziarah. Pencampuran  dilakukan oleh panitia (Mrebot). Kalau untuk perantara menyembuhkan penyakit dalam, air tersebut diminum dan diusapkan pada bagian yang sakit. Sambil membaca kalimat Syahadat dan Salawat Nabi tiga kali.
Pengambilan air yang dilakukan oleh paraMrebot tergolong cukup unik. Karena pengambilannya menggunakan pemintal gulungan tali, penumpu, dan poros. Diputar seperti halnya pemintal benang yang digunakan pengrajin batik Gedog, yang ada di kecamatan Kerek. Pengambilan dilakukan oleh para Mrebot dan tidak bisa diwakilkan oleh siapapun. Hal itu terbukti, bahwa orang yang menjadi Mrebot rata-rata sudah berusia lanjut.
Mengunjungi sumur wali tersebut juga menentukan dan memilih hari yang dianggap paling baik. Menurut kepercayaan pengunjung dan masyarakat sekitar, hari Kamis Pon Malam Jumat Wage merupakan hari yang paling istimewa untuk mengunjungi sumur Wali tersebut. Pemilihan hari Jumat Wage dilandasi dari sebuah peristiwa di masa lalu. Ketika sang sunan menjadi Modin. Kebiasaan-kebiasaan sang sunan mengadakan pertemuan-pertemuan penting dengan para pejabat kerajaan atau ketika sedang mengadakan pengajian di Padepokan pada malam Jumat Wage, secara rutin. Dengan dasar kebiasaan ini, para peziarah sampai sekarang mempercayai bahwa hari Kamis Pon malam Jumat Wage merupakan hari istimewa untuk mengunjungi Padepokan atau Kasunanan Bejagung (sekarang menjadi kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor).
Hal itu juga melandasi pemikiran para masyarakat setempat dan para peziarah untuk berziarah ke makam Sunan Bejagung Lor. Biasanya hari Kamis Pon malam Jumat Wage, para peziarah berjubel di makam Sunan Bejagung Lor. Bahkan ada yang menginap di makam tersebut sambil berdoa kepada Allah SWT. Dan melalui karomah Sunan Bejagung Lor atau Kidul, berharap hajat yang dimiliki para peziarah dapat terkabul, dijauhkan dari mara bahaya. Kepercayaan yang menganggap hari Kamis Pon malam Jumat Wage adalah hari paling istimewa, masih ada dan melandasi pemikiran masyarakat dalam mengunjungi makam Sunan Bejagung Lor dan makam Sunan Bejagung Kidul.

Penyulut Pelita dan Muadzin Masjidil Haram
Beberapa karomah yang  lain yang dimiliki oleh Sunan Bejagung Lor, dikeramatkan orang, lantaran semasa hidupnya Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung Lor) dikenal sebagai penyulut pelita (lampu) dan muadzin di Masjidil Haram. Setiap sore menjelang Adzan Magrib, Sunan Bejagung Lor  pergi ke Masjidil Haram, Makkah. Konon, hanya Sunan Bejagung  Lor lah yang mampu melaksanakan tugas itu. Dan, yang menajubkan lagi, manakala memasuki waktu salat Isya, Sunan bejagung sudah kembali  berada di tengah ratusan santrinya dan menjadi imam salat Isya di masjid Agung Sunan Bejagung.
Sebagai seorang wali, sekaligus juga sebagai penyulut pelita di Masjidil Haram, Sunan Bejagung Lor juga pernah digoda oleh Jin. Ketika Sunan Bejagung  Lor hendak melakukan perjalanan haji menuju Masjidil Haram, beliau ditipu oleh Jin yang menjelma menjadi santrinya. Jin yang berwujud santrinya tersebut sanggup mengantarkan dan menggendong Sunan Bejagung Lor dari Bejagung sampai Masjidil Haram. Sunan Bejagung Lor menyetujui penawaran santrinya yang berwujud Jin tersebut. Sesampai di samudra, Sunan Bejagung Lor dijatuhkan ke dalam samudra. Kemudian beliau ditolong oleh ikan Meladang. Ikan tersebut kemudian membawa Sunan Bejagung Lor sampai ke pesisir pantai Jeddah, Hadrah Maut (Saudi Arabia). 

Dari peristiwa dijatuhkannya Sunan Bejagung Lor  ke samudra oleh santrinya yang berwujud Jin, terdapat pantangan bagi masyarakat bejagung dan sekitarnya. Terutama keturunan lansung dari Sunan bejagung Lor. Setelah sampai di Saudi Arabia, Sunan Bejagung Lor berpesan kepada anak cucu, masyarakat Bejagung dan sekitarnya, tidak boleh memakan ikan Meladang (ikan yang berbentuk pipih, kulitnya halus seperti kulit manusia).  Karena ikan tersebut telah menyelamatkan Sunan Bejagung Lor ketika dijatuhkan santrinya yang berwujud Jin ke samudra. Dan ikan tersebut telah membawa Sunan  Bejagung Lor ke tepi Pantai Hadrah Maut. Barang siapa yang melanggar pantangan tersebut, maka orang yang memakan ikan Meladang dengan sengaja, akan menderita penyakit buras (sejenis penyakit gatal-gatal dan timbul bisul di seluruh tubuh). Penyakit buras tersebut tidak ada obatnya secara medis. Jika menginginkan kesembuhan, harus mandi air sumur Wali yang berada di sebelah selatan komplek makam Sunan Bejagung Lor. Sampai sekarang, baik keturunan, masyarakat Bejagung, dan sekitarnya tidak ada yang berani melanggar pantangan tersebut.

Siti Garit dan Watu Gajah

Pangeran Sudimoro, putra mahkota kerajaan Majapahit yang tidak ingin menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan kerajaan Majapahit dan berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari Guru Ilmu Syariat , Tarekat, Hakikat, dan Marifat. Sesuai dengan petunjuk Syekh Jumadil Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejaung Lor). Setelah sampai di Tuban, beliau bertemu dengan Sunan Bejagung Lor. Kemudian Pangeran Sudimoro mengaji kepada beliau. Sampai menjadi orang Alim.

Ketika pangeran Sudimoro masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Prabu Hayam wuruk berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa putranya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka Prabu Brawijaya IV memerintahkan Patihnya bernama Gajah Mada dan bala tentaranya untuk mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro)  pulang ke Majapahit.

Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap kepada Sunan Bejagung Lor. Meminta perlindungan dan bantuan Sunan Bejagung  untuk menolak keinginan Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab Pangeran Sudimoro ingin tetap menekuni ilmu Agama Islam. Kehendak Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh Sunan Bejagung Lor.

Selanjutnya Sunan Bejagung menggaris tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung. Berbentuk segi empat mengitari kasunanan Bejagung. Agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung. Ketika mahapatih Gajah Mada yang  tersohor dengan ilmu BaratKetiga dan bala tentara Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di kasunanan Bejagung. Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke kasunanan Bejagung. begitu juga dengan mahapatih Gajah mada yang terkenal dengan ilmunya Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau). Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal dengan nama Siti Garet. 

Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat melihatnya. Selain itu, Siti Garet merupakan tempat untuk bersembunyi para pejuang ketika dikejar-kejar tentara Belanda. Kalau  pejuang masuk kasunanan tersebut, para tentara Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena pandangannya terhalang oleh kabut. Selain itu, adanya Siti Garet juga mempengaruhi pandangan para pejabat negara dan kerajaan. Apabila pejabat negara telah lancang masuk ke Kasunanan Bejagung – memiliki niat yang tidak baik, maka pejabat negara tersebut dalam waktu dekat akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang pandangan tersebut masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan para pejabat negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya pasukan dan pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan ketika akan menjemput Pangeran Kusumo / Pangeran Sudimoro/pangeran Pengulu.

Pasukan-pasukan Majapahit dan bala tentara gajah akhirnya terhenti di sebelah selatan Kasunanan. Salah seorang santri melapor kepada Sunan bahwa di sebelah selatan Kasunanan Bejagung  banyak pasukan Gajah dari Majapahit. Sunan mengatakan,  tidak gajah tetapi batu. Seketika itu semua gajah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya pasukan gajah tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah(Batu Gajah). Letaknya di sebelah Barat Laut kantor Kecamatan Semanding.

Pangeran Sudimoro yang terkenal rajin mengaji dan alim, kemudian diberikan gelar Pangeran Pengulu/Syekh Hasyim Alamuddin (sekarang dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul) oleh sunan Bejagung Lor. Akhirnya, diambil menantu oleh Sunan Bejagung Lor dan ditetapkan menjadi penerus di Kasunanan Bejagung. Semenatara Sunan Bejagung Lor Uzlah (berpindah tempat) di sebelah utara Kasunanan.
Ikan Dodok dari Daun Waru

Setelah seluruh  pasukan gajah dari Majapahit menjadi batu, para pasukan Majapahit kembali dan Lapor kepada Prabu Hayamwuruk.Bahwa semua pasukan Gajah kerajaan Majapahit menjadi batu di Tuban. Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada Patih Gajah Mada(terkenal dengan ilmu Barat Ketigo). Untuk menguji sampai sejauh mana ilmu Sunan Bejagung Lor.

Maha Patih Gajah Mada berangkat tanpa bala tentara menuju pesisir utara Kadipaten Tuban, ia menyamar dan menggunakan nama Barat Ketiga(suatu nama ilmu tinggi yang dimilikinya). Ia mengaduk air laut Tuban sampai keruh. Dan berpura-pura mencari ikan Dodok. Setelah diketahui oleh Sunan Bejagung Lor, Barat ketiga ditanya Sunan Bejagung Lor, jawabannya bahwa Barat Ketiga sedang mencari ikan dodok, karena adiknya hamil dan ngidam ingin makan ikan Dodok.

Akhirnya Sunan Bejagung mengambil lontar dan membuat timba. Barat Ketiga diperintahkan untuk mengambil daun waru. Setelah timba/tempayan lontar tersebut diisi dengan air dan daun waru dimasukkan kedalam timba. Seketika itu daun waru menjadi ikan Dodok. Kejadian ini diingat oleh Masyarakat Bejagung. Bahwa sampai sekarang apabila mengadakan kenduri atau sedang bersih desa selalu menggunakan lauk ikan Dodok.
Maja Agung

Barat Ketiga ingin menguji lagi Kesaktian Sunan Bejagung Lor. Ia  pergi ke perdikan Bejagung. Setelah berada di ladang Sunan Bejagung, ia menggoyang pohon Kelapa. Sunan Bejagung bertanya, “untuk apa menggoyangkan pohon Kelapa?”  Barat Ketigo menjawab bahwa ia haus. Sunan Bejagung berkata, “Kalau digoyang keras yang muda ikut jatuh dan tidak bisa dimanfaatkan buahnya.”  Akhirnya Sunan Bejagung Lor mengambil buah kelapa dengan cara merebahkan  pohon kelapa dengan cangkul. Barat Ketigo dengan mudah mengambil buah kelapa yang sudah tua, tanpa merusak kelapa yang masih muda. Kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak berdiri seperti semula.

Dia  kagum atas kesaktian Sunan Bejagung Lor. Tetapi ia masih belum puas, setelah ia meminum air kelapa, ia pura-pura masih haus. Ingin minum air yang banyak. Setelah kepura-puraannya itu disampaikan kepada Sunan Bejagung Lor, kemudian Kanjeng Sunan berkata,“Kalau demikian, tunggu di sini, saya ambilkan air.” Tidak lama kemudia Sunan Bejagung Lor mengambil air, dimasukkan ke dalam buah Maja kecil (disebut Mojo berduri). Melihat ulah Sunan Bejagung Lor yang aneh tersebut, Barat Ketigo tertawa karena air sedikit dimasukkan ke dalam buah Maja yang dibelah menjadi dua bagian. Ia menganggap mana mungkin air dalam buah Maja dapat menghilangkan rasa haus. Ternyata setelah air itu diminum,  air yang ada di dalam Maja tersebut masih utuh dan tidak habis-habis. Sehingga buah Maja tersebut disebut Mojo Agung. Kemudian dari peristiwa tutur mulut ke mulut berubah menjadi Beja Agung, kemudian menjadi Bejagung. Dijadikan nama desa Bejagung. Selain itu juga dipakai sebagai sebutan nama lain syekh Abdullah As’ari.

Akhirnya Barat Ketigo merasa kalah sakti dan menyatakan menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Sampai meninggal dunia ia tetap menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Setelah ia wafat dimakamkan di perbatasan Desa Bejagung-Prunggahan Kulon, sampai sekarang terkenal dengan sebutan Makam Panjang.

Makam Panjang

Makam atau petilasan di Kabupaten Tuban berjumlah ratusan, salah satunya yang luput dari khalayak adalah yang dipercaya sebagai Barat Ketigo/Patih Gajah Mada, Patih semasa Kerajaan Majapahit, terletak di Desa Bejagung Kecamatan Semanding, Tuban.
Dalam perjalananya sejarah Kabupaten Tuban merupakan daerah lintasan, maupun tempat singgah para penyebar keyakinan maupun punggawa kerajaan pada masanya, namun tak sedikit yang wafat di tlatah Tuban dengan meninggalkan bukti fisik berupa makam atau petilasan yang sampai saat ini masih diziarahi oleh sebagian masyarakat. Salah satunya adalah yang dipercaya sebagai makamnya Barat Ketigo Atau Patih Gajah Mada.

Menurut versi masyarakat sekitar yang dipercaya turun temurun sampai sekarang. Saat sosialnews.com mengunjungi makam tersebut, kondisinya nampak terawat dengan baik dan bersih. Menurut Mbah Siram (80 th), warga setempat mengatakan, ”Makam tersebut memang sengaja tidak ada bangunan penutup atau lebih dikenal dengan cungkup, karena memang tidak mau dibangun seperti itu, jadi makam tersebut terbuka seperti makam lain di sekitarnya.”

Makam yang terletak di bawah pohon randu alas besar, diameter dua rengkuhan tangan orang dewasa tersebut, persis berada di paling pinggir barat komplek makam umum Islam Desa Bejagung Kidul. Pada malam-malam tertentu terutama malam Jum’at Pahing, beberapa orang mengunjunginya untuk berdo’a. Makam yang terletak kurang lebih berjarak 3 km dari pusat kota dan 500 m, arah barat laut makam Sunan Bejagung Kidul, mudah dijangkau dari pusat Kota Tuban.

Konon cerita yang berkembang di masyarakat saat Patih Gajah Mada diutus Raja Mojopahit untuk mencari Ikan Bader Bang Sisik Kencono (ikan bader warna merah bersisikkan emas) untuk kepentingan sang Raja, alkisah sampailah di pantai Tuban dan sempat bertemu dengan Sunan Bejagung Kidul, dalam pertemuan tersebut sempat mengadu kesaktian namun sang Patih Gajah Mada merasa kalah sakti, sehingga beliau merasa terheran-heran, karena beliau yang merasa orang paling sakti di Nusantara dikalahkan oleh sosok sederhana. Hal itu disadari saat Patih Gajah Mada meminta minum, Sunan Bejagung Kidul mengambil buah kepoh (mangga) yang kering lalu diisi air dan diberikan kepada Patih Gajah Mada, lantas diminumnya. Air tak habis-habis, meskipun rasa haus Patih sudah hilang, semestinya habis sekali teguk karena tempatnya kecil.

Dalam satu sumpahnya beliau Patih Gajah Mada suatu saat akan kembali ke wilayah Tuban, dan diceritakan meninggal lalu dimakamkan di wilayah sekitaran makam Sunan Bejagung Kidul, makam panjang 3 m tersebutlah yang dipercaya Makam Barat Ketigo Atau Patih Gajah Mada.

Keberadaan makam tersebut kebenaran hakikinya tergantung masing-masing individu masyarakat, bahwa Barat Ketigo atau Gajah Mada adalah Patih dari Kerajaan Mojopahit menganut agama Hindu Budha, tapi makam yang ada tersebut selayaknya makam Islam yang membujur utara-selatan. Namun demikian dapat menjadi salah satu kunjungan ziarah, dalam melihat jejak para pendahulu dan mendokumentasikan dalam rangkaian sejarah Nusantara di wilayah Tuban, karena ketokohannya dalam menpersatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya .‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...