Sabtu, 21 November 2020

Peran Pesantren Lirboyo dari Masa ke Masa


Kediri mendapat julukan "kota santri", karena saking banyaknya pondok pesantren yang ada di daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang terkenal dan terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo. Berikut ini sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo yang kini telah berusia satu abad lebih.
 
Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo.  Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Mertoyudan Magelang Jawa Tengah.
 
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
 
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan  alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim)  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
 
Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang 
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.
 
Santri Perdana dan Pondok Lama

Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernama Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.
 
Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.
 
Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.
 
Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap  sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.
 
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. 

Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M.  Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
 
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
 
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. 

Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.
 
Lembaga Pendidikan di Ponpes Lirboyo

Dengan model pembelajaran pesantren tradisional para kiyai penerus KH Abdul Karim telah berhasil mendidik puluhan ribu santri yang berilmu yang mumpuni sejak 1910 sampai sekarang. Pesantren Lirboyo sekarang dihuni oleh 13.000 ribu santri lebih yang terdiri dari 9 unit yakni PP HM Al Mahrusiyyah, PP Putri Hidayatul Mubtadi-aat (P3HM), PP Haji Ya’qub (HY), PP Haji Mahrus HM ANTARA, PP Putri Tahfizhil Qur’an (P3TQ), PP Putri Hidayatul Mubtadi-aat Al-Qur’aniyyah (HMQ), PP Darussalam, PP Murottilil Qur’an (PPMQ), PP Salafiy Terpadu Ar-Risalah.

Kesembilan unit tersebut berada di bawah pondok induk Lirboyo, kiyai sepuh KH Anwar Mahrus yang berada dalam satu komplek dengan luas area 19 hektare. Sedangkan Yayasan Pendidikan Islam Tribakti (YPIT) berada di luar komplek, namun tidak jauh dari PP Lirboyo. Di samping itu Lirboyo juga memiliki lembaga otonom yang diberi kewenangan mengambil kebijakan membuat manajemen secara terpisah.

SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN

PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI

Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya  Madrasah Hidayatul  Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim, kemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah  yang baru lahir itu diberi nama “Hidayatul Mubtadi-ien”

Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehinggabeliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah).

Tujuan berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien

1.      Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.

2.      Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.

3.      Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.

Kendala-kendala dalam tahun-tahun pertama

Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri  untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.

Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925 sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :

1.      Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal

2.      Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain

Setalah mandek selama dua tahun tepatnya  tahun 1931 M. sampai tahun 1933M.        KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan5 Sen setiap bulan.

Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir(persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.

Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.

Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-iensemenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas  tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. 

Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmenurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.

Setelah Merdeka

Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.

Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ienmengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).

Masa pembenahan kurikulum

Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin  oleh Bapak Ilham Nadzir.

Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.

Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.


Perkembangan terakhir

Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien setelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.

Visi :

Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin


Misi :

Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama dalam berbagai kondisi.

 
PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA
 
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH. 
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.

Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.
 
Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan  rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.
 
Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon 

Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia  itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .
 
Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun  menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang  lebar. 

Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945 dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. 

Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura  untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya. 
 
Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo.
 
Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun.
 
Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.
 
Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh.  Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri.

Sejarah para Pendiri Ponpes Lirboyo 

KH Abdul Karim

KH. Abdul Karim lahir tahun 1856 M di desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Manab adalah nama kecil beliau dan merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melalang dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau berangkat bersama sang kakak (Kiai Aliman).

Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di desa Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setalah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu beliau melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya beliau nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, beliau kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu pesantren besar di pulau Madura, asuhan Ulama’ Kharismatik; Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.

Pada usia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian ilmu di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada akhirnya KH. Hasyim asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai Sholeh dari Banjarmelati Kediri, pada tahun1328 H/1908 M.

KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo.

Kemudian pada tahun 1913 M, KH. Abdul karim mendirikan sebuah Masjid di tengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa ta’allum bagi santri.

Secara garis besar KH. Abdul karim adalah sosok yang sederhana dan bersahaja. Beliau gemar melakukan Riyadhah; mengolah jiwa atau Tirakat, sehingga seakan hari-hari beliau hanya berisi pengajian dan tirakat. Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya -sebelumnya beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920-an kondisi kesehatan beliau sudah tidak memungkinkan, namun karena keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.

Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala beliau menderita sakit, beliau masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Akhirnya, pada tahun 1954, tepatnya hari Senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH. Abdul Karim berpulang ke rahmatullah, beliau dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.

KH. MARZUQI DAHLAN

KH. Marzuqi Dahlan lahir tahun 1906 M, di Desa Banjarmelati, sebuah desa di bantaran barat Sungai Brantas, Kota Kediri. Beliau putra bungsu dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Di bawah pengawasan langsung kakeknya (KH. Sholeh Banjarmelati) Gus Zuqi kecil menerima pengajaran dasar-dasar Islam seperti aqidah, tajwid, fiqh ubudiyah, dll. Pernah satu waktu, sang ayah (Kyai Dahlan) meminta agar Gus Zuqi kembali ke kampung halaman (Pondok Pesantren Jampes) guna menuntut ilmu langsung di bawah asuhan ayah kandung sendiri. Gus Zuqi bersedia, namun beberapa saat kemudian Gus Zuqi kembali ke Banjarmelati.

Ketika Gus Zuqi beranjak muda, beliau pindah menuntut ilmu Di Lirboyo, di bawah asuhan KH. Abdul Karim yang merupakan paman Gus Zuqi. Di sinilah kemampuan berpikir Gus Zuqi semakin terasah, sehingga dalam waktu yang singkat beliau dapat menyerap berbagai ilmu keagamaan. Usai dari di Lirboyo, Gus Zuqi meneruskan pengembaraan di pelbagai pondok pesantren diantaranya; Pondok Pesantren Tebu Ireng asuhan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, asuhan KH. Zainuddin, Pondok Pesantren Bendo Pare asuhan Kyai Khozin, cukup lama beliau mondok di Pare hingga berusia 20-an tahun. Selanjutnya beliau kembali ke kampung halaman untuk belajar langsung ke KH. Ihsan Al-Jampasy, sang kakak yang juga pengarang kitab Shirojut Tholibin. Sebuah kitab monumental dalam bidang tasawuf.

KH. Marzuqi Dahlan menikah dengan Nyai Maryam binti KH. Abdul Karim dan berdomisili di Lirboyo tahun 1936 M. Meski telah menikah, semangat beliau dalam mengaji tidak pernah luntur, hal ini merupakan salah satu amanat yang disampaikan KH. Abdul Karim kepada beliau, sesaat usai aqad nikah berlangsung, hingga himmah beliau untuk tetap mendidik santri terus terjaga dan sangat istiqomah.

Pada tahun 1961 M, Nyai Maryam berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan beliau untuk selama-lamannya. Namun untuk menghapus kedukaan yang berlarut-larut, keluarga menikahkan KH. Marzuqi Dahlan dengan Nyai Qomariyah yang tak lain adalah adik bungsu Nyai Maryam. Sosok KH. Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja, hal ini terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewah dan perlente. Padahal saat itu beliau sudah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. 

Ketika bepergian dan atau berziarah ke makam-makam Auila’ disekitar Kediri, KH Marzuqi Dahlan lebih sering bersepeda. Bukan hanya kendaraan, kediaman beliaupun terbilang sangat sederhana, yakni berdindingkan anyaman bambu, hingga pada tahun 1942 M barulah kediaman beliau berganti dengan tembok.
Pada Tahun 1973 M KH. Marzuqi Dahlan menunaikan Ibadah haji. Dua tahun setelah menunaikan ibadah haji, kondisi beliau mulai terganggu, sebab usia beliau memang sudah sepuh. Namun meski demikian, semangat beliau untuk memimipin Pesanten Lirboyo tetap terjaga, hingga pada bulan syawal pada tahun 1975, beliau jatuh sakit dan harus dirawat di RS. Bayangkara, Kediri. Dua minggu lamanya beliau dirawat. 

Karena tidak ada perubahan yang menggembirakan, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pulang KH. Marzuqi Dahlan ke kediaman beliau, hingga pada hari Senin Tanggal 18 Nopember 1975 M beliau dipanggil sang pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintainya.

KH. MAHRUS ALY

KH. Mahrus Aly lahir di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH. Aly bin Abdul Aziz dan Hasinah binti Kyai Sa’id, tahun 1906 M. Beliau adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak tinggal di tanah kelahiran. Sifat kepemimpinan beliau sudah nampak saat masih kecil. Sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarga. Beliau diasah oleh ayah sendiri, KH. Aly dan sang kakak Kandung, Kyai Afifi. Saat berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah, asuhan Kyai Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni. Selain itu KH. Mahrus Aly juga belajar silat pada Kyai Balya, ulama jawara pencak silat asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal inilah KH. Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M.

Di tahun 1929 M, KH. Mahrus Aly melanjutkan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah asuhan KH. Kholil. Setelah 5 tahun menuntut ilmu di pesantren ini (sekitar tahun 1936 M) KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni KH. Mahrus Aly berniat tabaruqan di Pesantren Lirboyo. Namun beliau malah diangkat menjadi Pengurus Pondok dan ikut membantu mengajar. 

Selama nyantri di Lirboyo, beliau dikenal sebagai santri yang tak pernah letih mengaji. Jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk tabarukan dan mengaji di Pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren Watu congol, Muntilan, Magelang, asuhan Kyai Dalhar dan juga pondok pesantren di daerah lainnya seperti; Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Sarang dan Lasem, Rembang.
KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Namun karena alimnya kemudian KH. Abdul Karim menjodohkan dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab, tahun 1938 M. Pada tahun 1944 M, KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman di sebelah timur Komplek Pondok. 

Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan meneruskan tambuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Di bawah kepemimpinan mereka berdua, kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo. Santri berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti).
KH. Mahrus Aly ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan ini nampak saat pengiriman 97 santri pilihan Pondok Pesantren Lirboyo, guna menumpas sekutu di Surabaya, peristiwa itu belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di sekitar Kediri.
KH. Mahrus Aly mempunyai andil besar dalam perkembangan Jamiyyah Nahdlatul Ulama, bahkan beliau diangkat menjadi Rais Syuriyah Jawa trimur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU pada tahun 1985 M.
Senin, 04 Maret 1985 M, sang istri tercinta, Nyai Hj. Zaenab berpulang ke Rahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama diderita. Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam kedukaan. Banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya. Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 mei 1985 M, kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo, Surabaya. Delapan hari setelah dirawat di Surabaya dan tepatnya pada Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985 M, KH. Mahrus Aly berpulang Ke Rahmatullah. Beliau wafat diusia 78 tahun.

 

Manaqib KHR Abdul Fattah Mangunsari Tulungagung


Dalam bahasa Jawa ada pepatah “Kacang ora ninggalne lanjaran”. Sifat, jasmaniyah dan prilaku anak biasanya tidak jauh berbeda dengan sifat, jasmaniyah dan prilaku yang dimiliki orang tuanya. Kadang – kadang sifat, jasmaniyah dan prilaku anak itu diwarisi dari ibunya dan kadang dari ayahnya. Demikianlah yang terjadi pada sosok KHR. Abdul Fattah, pendiri pondok pesantren Al- Fattah Mangunsari Tulungagung, mempunyai daya juang yang tinggi sebagimana yang dimiliki ayah dan ibunya. Perjuangan dan pengabdian KHR. Abdul Fattah dalam menegakkan Agama Islam dapat dilihat pada buku “Wiroh KHR. Abdul Fattah”.

KHR. Abdul Fattah lahir pada Kamis Pon, 11 Syawal 1290 H/ 1872 M di Mangunsari Kedungwaru Tulungagung. Wafat pada hari Selasa Pon, 3 Robiul Akhir 1372 H ( 29 Nopember 1954 M) dan dimakamkan di barat masjid pondok Mangunsari, sehari setelah meninggalnya, pada hari Rabu Wage, 4 Robiul Akhir 1372 H (30 Nopember 1954 M).

Dari garis ayahnya, KHR. Abdul Fattah putra KH. Hasan Tholabi Mangunsari Tulungagung. Beliau keturunan ke 14 dari Sayyid Nawawi (Sunan Bayat/ Sunan Pandanaran/ Ihsan Nawawi, Solo) dan keturunan Rasulullah Saw ke 31. Sedangkan ibunya bernama Nyai Dokhinah, buyutnya Prawiro Projo, patih Ponorogo ke 5. Nama asli KHR. Abdul Fattah adalah Muhammad Ma’ruf. Sebenarnya nama Abdul Fattah itu adalah nama kecil teman akrabnya dari Popongan Jawa Tengah. Beliau berdua sangat akrab ketika masih belajar di pondok pesantren Jamsaren Solo. Untuk melestarikan hubungan tersebut beliau berdua saling tukar nama semenjak pergi menunaikan ibadah haji sebagi rukun Islam ke lima.

KHR. Abdul Fattah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu agama Islam yang diperoleh dari berbagai ulama. Beliau belajar ilmu tauhid kepada KH. Imam Bahri, PP Mangunsari, Pace Nganjuk. Belajar ilmu tasawwuf kepada K. Zaenuddin, PP Mojosari, Loceret Nganjuk. Belajar ilmu Fiqh kepada KH. Zaenuddin, PP Cempaka, Brebek Nganjuk. Belajar ilmu tafsir kepada KH. Idris, PP Jamsaren Solo. Belajar ilmu Hadits kepada KH. Hasyim Asy’ari, PP Tebuireng Jombang. Belajar ilmu Nahwu (Gramatika) kepada KH. Kholil, Bangkalan Madura. Belajar Al Qur’an kepada KH. Munawir, PP Krapyak Yogyakarta. Dan belajar berbagai bidang ilmu agama Islam kepada KH. Sayyid Zein dan KH. Mahfudz At- Turmusy di Masjidil Haram Makkah Saudi Arabia. Waktu yang dihabiskan KHR. Abdul fattah untuk belajar berbagai ilmu agama Islam di berbagai pondok pesantren tersebut selama 24 tahun.

Pada masa penjajahan Jepang, ulama- ulama di Tulungagung banyak yang ditangkap oleh Jepang. Diantaranya adalah KHR. Abdul Fattah (Mangunsari), Kyai Syarif (Majan), Kyai Mustaqim (Kauman) dan lainnya. Mereka disiksa dengan berbagai macam penganiayaan; dipukul, disetrum listrik, dimasukkan ke kandang ular, ditenggelamkan ke dalam bak air, disulut dengan api rokok dan berbagai penyiksaan lainnya. Mereka tetap tabah menjalani penyiksaan di dalam tahanan Jepang. Tidak henti- hentinya mereka selalu membaca kalimat thoyyibah; subhanallah, astaghfirullah, masya-Allah, la haula wala quwwata illa billah dsb. KHR.Abdul Fattah ditahan Jepang jam 8 pagi. Di dalam tahanan selama 9 bulan. Pulang dari tahanan hari Senin dan Selasanya sudah mulai mengajar santri- santrinya.

Karomah KHR. Abdul Fattah.

Karomah adalah keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba- hambanya yang dekat dengan Allah dan selalu digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kebalikan dari karomah adalah istijrod, yaitu kelebihan yang dimiliki hamba Allah yang jauh dari Allah dan biasanya selalu digunakan untuk tujuan- tujuan yang tidak baik. KHR. Abdul Fattah adalah termasuk hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu beliau mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah :

1. Setiap hari Senin dan Jum’at beliau biasanya membaca sholawat dziba’ rotibul hadad, tahlil dan dzikir bersama- sama dengan santri . Pada suatu ketika, setelah melakukan amal- amalan bersama santri, beliau membagi makanan dan minuman yang dipersiapkan sendiri. Yang membuat para santri heran adalah nasi yang disediakan hanya satu belanga dan satu kendi minuman, namun nasi dan minuman tersebut bisa mencukupi hadirin yang jumlahnya ratusan dan itupun masih tersisa.

2. Pada suatu hari Kyai Khobir bercerita: Kyai Khobir dan bapak Wardud mengantarkan makanan beserta lauk pauknya ke tempat KHR. Abdul Fattah. Beliau hanya mengambil setengah dari makanan yang dihidangkan dan yang setengah lagi disuruh membawa pulang. Setelah sampai di rumah, ternyata makanan yang tadinya tinggal separo kembali utuh seperti semula.

3 Menurut cerita H. Tholhah Josermo (Surabaya), disaat KHR. Abdul Fattah bermukim di pondok Mangunsari Pace Nganjuk, pada suatu malam Kyai Imam Bahri (ayah gus Mundir) melihat cahaya yang bersinar cemerlang dari kamar KHR. Abdul Fattah yang sedang tidur di dalamnya. Akhirnya disaat itu pula KHR. Abdul Fattah dibaiat sebagai thoriqoh kholwatiyah oleh Kyai Imam Bahri, pimpinan pondok Mangussari Pace Nganjuk.

4. Pada suatu hari ada orang melihat KHR. Abdul Fattah sedang sholat Jum’at di masjid Tawangsari, namun orang lain bercerita melihat beliau, pada hari Jum’at yang sama, sholat Jum’at di masjid tiban Sunan Kuning Macanbang Gondang. Sehingga keberadaan beliau tersebut menjadi pembicaraan para santri pondok.

5. KH. Hasyim Asy’ari Jombang (waktu itu sebagai Rois Akbar PB NU) ingin menemui KHR. Abdul Fattah yang sedang berkhalwat. Sebelumnya menemui Kyai Siroj untuk menanyakan bagaimana cara menemui KHR. Abdul Fattah. Oleh Kyai Siroj diminta menulis di sabak (papan kecil untuk menulis) nama dan keperluannya kemudian dimasukkan lewat pintu tempat berkhalwat. Jika KHR. Abdul Fattah berkenan menerima biasanya sabak diambil dan diberi jawaban “Salam dan doa semoga maksud dan tujuan dikabulkan dan diridhoi Allah”, dan jika belum berkenan menerima sabak tidak diambil. Ternyata sabak tidak diambil, kemudian KH Hasyim Asy’ari kembali meneruskan perjalanannya bersilaturrahmi kepada Kyai Zarkasyi dan Gus Qomaruddin Kauman Tulungagung. 

Diwaktu yang sama, KHR Abdul Fattah menemui Gus Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari) di Jombang menyatakan ingin menemui ayahnya. Dikatakan oleh Gus wahid bahwa ayahnya pergi ke Tulungagung ingin bersilaturrahmi kepada Gus Ma’ruf (nama asli KHR. Abdul Fattah). KHR. Abdul Fattah tidak bersedia masuk rumah, tapi istirahat di masjid menunggu sampai KH. Hasyim Asy’ari datang dari Tulungagung. Selang beberapa waktu yang ditunggu datang dan menceritakan kisah perjalanannya dari Tulungagung. KHR. Abdul fattah menjawab: “Sebetulnya yang harus datang aku kepada Kyai, bukan malah kyai datang kepadaku”.

Jasa- jasa KHR. Abdul Fattah

1. Penemu Makam Bedalem.

KHR. Abdul Fattah sebagai perintis dan pelopor penggalian benda bersejarah, terutama makam- makam kuno. Beliaulah yang menemukan dan menggali makam Bedalem Campurdarat yang didalamnya dimakamkan pejuang- pejuang Islam, yaitu Pangeran Benowo, Raden Patah dan Dampu Awang. 

Setelah ditemukan makam Bedalem beliau menyuruh Kyai Maklum untuk merawat makam dan mempelopori dakwah Islamiyah di Campurdarat. Disamping itu beliau juga mendirikan Masjid Di Bedalem.

 

Menapak Jejak Pesantren Sidogiri


Pondok Pesantren Sidogiri berada di Desa Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur. Telp. (0343) 420444 Fax. (0343) 428751 Email: sidogiri@gmail.com

Adapun penduduk di sekitar Pondok Pesantren Sidogiri terdiri dari suku Jawa dan suku Madura dengan jumlah yang hampir sama. Kehidupan ekonomi penduduk di sekitar Pondok Pesantren Sidogiri tergantung pada pertanian, sedangkan kehidupan keagamaan relatif baik, karena pengaruh positif dari Pondok Pesantren Sidogiri yang berdiri kurang lebih 200 tahun yang lalu. 

SELAYANG PANDANG PONDOK PESANTREN SIDOGIRI 

Luas areal Pondok Pesantren Sidogiri kurang lebih 8 (delapan) hektar, terdiri dari 3 (tiga) hektar di Selatan sungai dan kurang lebih 5 (lima) hektar di Utara sungai. 

Dari luas areal tersebut digunakan sebagai berikut: 
1. Masjid, Surau dan Langgar sebagai sarana tempat ibadah
2. Gedung Pemondokan sebagai tempat tinggal santri
3. Gedung Madrasah sebagai sarana utama pendidikan
4. Perpustakaan
5. Perkantoran yang meliputi : Kantor Pusat Pondok, Kantor Madrasah, dan Kantor tempat keperluan administrasi dan pelayanan santri
6. Beberapa unit gedung, antara lain gedung untuk Kopotren, Kantin sebagai sarana penyuplai semua kebutuhan santri sehari-hari
7. Dua unit bangunan Balai kesehatan, sebagai sarana bagi santri yang memerlukan perawatan, baik rawat inap maupun rawat jalan
8. Balai Tamu yang berbentuk gedung tempat pertemuan wali santri dengan putra-putrinya saat berkunjung ke pondok
9. Dapur umum, Kamar mandi umum
10. Lain-lain, seperti Gudang, Ruang Auditorium, Ruang Makan, dan sebagainya. 

Semua bangunan tersebut di atas, termasuk kategori bangunan baru atau telah direnovasi menjadi bangunan baru. 

Sedangkan yang masih mempunyai nilai arkeologis antara lain adalah: 

Beberapa bentuk Nisan pada makam yang terletak di belakang masjid, dimakam tersebut disemayamkan para Masyayikh Sidogiri terdahulu.

Surau (bagian lama) yang diperkirakan dibangun pada jaman Kyai Bahar.

Bedug yang terletak pada surau, belum diketahui secara pasti kapan dibuat dan oleh siapa pembuatnya. Menurut wujud benda dimaksud sudah mempunyai umur sekitar 100 (seratus) tahun lebih.

Bentuk tata ruang dan bangunan di Pondok Pesantren Sidogiri terdiri dari : Bangunan-bangunan Induk seperti : Surau, Masjid, Rumah para Pengasuh (tempat tinggal / tidak satu tempat), Madrasah dan lain-lain terletak di sebelah Utara sungai, kondisinya cukup padat; perencanaan lama. 

Bangunan sebelah Selatan sungai antara gedung satu dengan yang lainnya cukup jauh, masih memungkinkan adanya perancangan baru.

Sejarah Sidogiri

Sidogiri sebagai titik awal perjuangan 
Sebagaimana halnya dengan latar belakang berdirinya Pondok Pesantren yang lain, yaitu: tempat untuk mendidik para Santri yaitu dengan diasramakan, dimana para santri dapat belajar dan bertempat tinggal ditempat tersebut. 

Sentral untuk pendidikan, khususnya Keagamaan tersebut dimaksudkan juga sebagai pusat syiar Agama Islam, tentunya pada saat didirikannya Pondok Pesantren Sidogiri, latar belakang sebagai agama yang relatif masih baru perlu untuk lebih mengakar pada masyarakat. 

Mengingat bahwa pendirian Pondok Pesantren Sidogiri pada saat itu adalah atas amanat penguasa Giri Pesantren kepada Sayid Sulaiman, oleh sebab itu latar belakang didirikannya Pondok Pesantren ditempat baru di wilayah Pasuruan adalah untuk membentuk sentral kekuatan sebagai antisipasi terhadap tantangan syiar Islam, yang dibangun dengan model perwilayahan. 

Sayid Sulaiman adalah ulama besar yang membuka hutan di suatu wilayah kurang lebih 7 (tujuh) kilometer disebelah Barat Kota Pasuruan. Didaerah yang baru dibuka tersebut didirikanlah sebuah Pondok Pesantren yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Sidogiri. 

Sayid Sulaiman dalam mendirikan Pondok Pesantren tersebut adalah membawa amanat dari penguasa Giri Pesantren yang pada waktu itu adalah seorang Raja sekaligus Ulama yang merupakan keturunan dari Sunan Giri di Gresik.

Secara singkat riwayat Sayid Sulaiman adalah putra dari Sayid Abdurrahman (Cirebon), dan ibunya bernama Syarifah Khodijah yang merupakan puteri bangsawan, yaitu puteri Sultan Banten. Konon menurut penuturan, bahwa Syarifah Khodijah masih keturunan Rasulullah, cucu R. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati) dan dimakamkan dibelakang Swadesi, Bangil. 
Dari pasangan (cicit dari Sayid Abu Bakar Ba Syaiban dan putera sulung Sayid Umar ini) dengan pasangannya Syarifah Khodijah, melahirkan Sayid Sulaiman dan puteranya yang lain yaitu Sayid Abdurrahim (terkenal dengan Mbah Arif, Segoropuro Pasuruan) dan Sayid Abdul Karim. 

Pengaruh dan kemahiran berdakwah Sayid Sulaiman muda membuat penjajah Belanda menjadi khawatir, oleh sebab itu setelah menginjak dewasa Sayid Sulaiman pindah dan tinggal di Krapyak , Pekalongan, Jawa Tengah. 

Disini beliau menikah dan mempunyai empat orang putera yaitu: Hasan, Abdul Wahab, Muhammad Baqir dan Ali Abbas. Beberapa tahun kemudian beliau pulang ke tempat neneknya, yaitu : Sayid Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati di Cirebon. 

Setelah dari Cirebon, beliau mengembara ke Solo, Surabaya, dan nyantri ke Ampel. Setelah nyantri di Ampel, beliau pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Semendi di Segoropuro. Selanjutnya, Sayid Sulaiman diambil menantu gurunya yaitu Mbah Semendi, dinikahkan dengan puteri kedua Mbah Semendi. 

Sesuai dengan catatan bahwa Sayid Sulaiman wafat dalam perjalanan dipanggil oleh Raja Mataram (Surakarta) Paku Buwono dan dimakamkan di Mojoagung. pada tanggal 26 September 1766. 

Dari catatan perjalanan Sayid Sulaiman dan penerusnya sampai sekarang, dapatlah digali dan diperoleh berbagai peristiwa penting, antara lain: 

Misi dan amanat Raja Ulama Giri dari Gresik untuk membuka Pondok Pesantren di wilayah baru, yang selanjutnya disebut Sidogiri. 
Pengembaraan Sayid Sulaiman ke berbagai daerah, antara lain : Pasuruan, Pekalongan, Cirebon, Solo, Surabaya, Pasuruan, Cirebon dan kembali ke Pasuruan.
Dan Sayid Sulaiman menjabat sebagai penasehat Raja (Adipati) Untung Suropati (Wiro Negoro) di Pasuruan.

Sidogiri dibabat oleh seorang Sayyid dari Cirebon Jawa Barat bernama Sayyid Sulaiman. Dia adalah keturunan Rasulullah dari marga Basyaiban.

Ayahnya, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin 'Umar Basyaiban al 'Alawi yang datang dari Qosam Hadhramaut, adalah seorang perantau dari negeri wali, Tarim Hadramaut Yaman. Sedangkan ibunya, Syarifah Khodijah, adalah putri Sultan Banten  Keturunan Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, dari garis ibu, Sayyid Sulaiman merupakan kerabat dari Keturunan Sunan Gunung Jati.

Sayyid Sulaiman membabat dan mendirikan pondok pesantren di Sidogiri dengan dibantu oleh Kiai Aminullah. Kiai Aminullah adalah santri sekaligus menantu Sayyid Sulaiman yang berasal dari Pulau Bawean.

Konon pembabatan Sidogiri dilakukan selama 40 hari. Saat itu Sidogiri masih berupa hutan belantara yang tak terjamah manusia dan dihuni oleh banyak makhluk halus. Sidogiri dipilih untuk dibabat dan dijadikan pondok pesantren karena diyakini tanahnya baik dan berbarakah.

Tahun Berdiri

Terdapat dua versi tentang tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri yaitu 1718 atau 1745. Dalam suatu catatan yang ditulis Panca Warga tahun 1963 disebutkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri didirikan tahun 1718. Catatan itu ditandatangani oleh Almaghfurlahum KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, dan KA Sa’doellah Nawawie pada 29 Oktober 1963.

Dalam surat lain tahun 1971 yang ditandatangani oleh KA Sa’doellah Nawawie, tertulis bahwa tahun tersebut (1971) merupakan hari ulang tahun Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-226. Dari sini disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1745. Dalam kenyataannya, versi terakhir inilah yang dijadikan patokan hari ulang tahun/ikhtibar Pondok Pesantren Sidogiri setiap akhir tahun pelajaran.

Panca Warga

Selama beberapa masa, pengelolaan Pondok Pesantren Sidogiri dipegang oleh kiai yang menjadi Pengasuh saja. Kemudian pada masa kepengasuhan KH Cholil Nawawie, adik dia KH Hasani Nawawie mengusulkan agar dibentuk wadah permusyawaratan keluarga, yang dapat membantu tugas-tugas Pengasuh.

Setelah usul itu diterima dan disepakati, maka dibentuklah satu wadah yang diberi nama “Panca Warga”. Anggotanya adalah lima putra laki-laki KH Nawawie bin Noerhasan, yakni:

1. KH Noerhasan Nawawie (wafat 1967)

2. KH Cholil Nawawie (wafat 1978)

3. KH Siradj Nawawie (wafat 1988)

4. KA Sa’doellah Nawawie (wafat 1972)

5. KH Hasani Nawawie (wafat 2001)

Dalam pernyataan bersamanya, kelima putra Kiai Nawawie ini merasa berkewajiban untuk melestarikan keberadaan Pondok Pesantren Sidogiri, dan merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan asas dan ideologi Pondok Pesantren Sidogiri.

Majelis Keluarga

Setelah tiga anggota Panca Warga wafat, KH Siradj Nawawie mempunyai gagasan untuk membentuk wadah baru. Maka dibentuklah organisasi pengganti yang diberi nama “Majelis Keluarga”, dengan anggota terdiri dari cucu-cucu laki-laki KH Nawawie bin Noerhasan.

Rais Majelis Keluarga pertama sekaligus Pengasuh adalah KH Abd Alim Abd Djalil. Sedangkan KH Siradj Nawawie dan KH Hasani Nawawie sebagai Penasehat.

Anggota Majelis Keluarga saat ini adalah:

1. KH A Nawawi Abd Djalil (Rais/Pengasuh)

2. d. Nawawy Sadoellah (Katib dan Anggota)

3. KH Fuad Noerhasan (Anggota)

4. KH Abdullah Syaukat Siradj (Anggota)

5. KH Abd Karim Thoyib (Anggota)

6. H Bahruddin Thoyyib (Anggota)

Urutan Pengasuh

Keberadaan Panca Warga dan selanjutnya Majelis Keluarga, sangat membantu terhadap Pengasuh dalam mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam mengelola Pondok Pesantren Sidogiri sehingga berkembang semakin maju.

Tentang urutan Pengasuh, terdapat beberapa versi, sebab tidak tercatat pada masa lalu. Dalam catatan yang ditandatangani KH A Nawawi Abd Djalil pada 2007, urutan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sampai saat ini adalah:

1. Sayyid Sulaiman (wafat 1766)

2. KH Aminullah (wafat akhir 1700-an/awal 1800-an)

3. KH Abu Dzarrin (wafat 1800-an)

4. KH Mahalli (wafat 1800-an)

5. KH Noerhasan bin Noerkhotim (wafat pertengahan 1800-an)

6. KH Bahar bin Noerhasan (wafat awal 1920-an)

7. KH Nawawie bin Noerhasan (wafat 1929)

8. KH Abd Adzim bin Oerip (wafat 1959)

9. KH Abd Djalil bin Fadlil (wafat 1947)

10. KH Cholil Nawawie (wafat 1978)

11. KH Abd Alim Abd Djalil (wafat 2005)

12. KH A Nawawi Abd Djalil (2005-sekarang)

Kegiatan PPS
Kegiatan di PPS dibagi menjadi dua macam, yaitu kegiatan Ma’hadiyah dan kegiatan Madrasiyah. Kegiatan Ma’hadiyah adalah kegiatan yang harus diikuti seluruh santri yang mukim di PPS. Sedangkan kegiatan Madrasiyah adalah kegiatan yang harus diikuti seluruh santri yang mukim di PPS dan murid yang sekolah dari rumah walinya, sesuai dengan tingkatan madrasah masing-masing.

KEGIATAN MA’HADIYAH

Kegiatan ini dimulai pukul 03.30 (setengah empat dini hari) sampai pukul 00.00 waktu istiwa’, yang tentunya diselingi waktu istirahat. Jenis kegiatan Ma’hadiyah yang ditetapkan oleh Pengurus bermacam-macam, sesuai dengan tingkatan santri. Jenis kegiatan tersebut sebagaimana berikut:

1. Tahajud dan Witir Bersama

Kegiatan ini harus diikuti seluruh santri dan dimulai pukul 03.30 wis (setengah empat dini hari). Pada waktu ini semua santri dibangunkan dari tidur, kecuali santri yang mukim di Daerah J (dibangunkan pukul 04.00). Setelah mandi/berwudhu, seluruh santri harus melaksanakan salat Tahajud dan Witir.

Untuk murid kelas VI Ibtidaiyah, murid Tsanawiyah, dan anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah-nya, kegiatan ini bertempat di masjid, dibawah pengawasan Kepala Bagian Ubudiyah dan bawahannya. Setelah itu, dilanjutkan dengan membaca Asma’ul Husna bersama, dengan dipimpin seorang santri yang ditunjuk.

Sedangkan untuk kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah, kegiatan ini bertempat di Daerah, di bawah pengawasan Pengurus Daerah. Kemudian dilanjutkan dengan membaca wirid-wirid mu’tabaroh, dipimpin Ubudiyah Daerah dan stafnya.

2. Salat Subuh Berjamaah

Salat berjamaah Subuh ini bertempat di masjid bagi murid kelas VI Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah-nya. Sedangkan murid kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah bertempat di Daerah.

3. Takrar Nazham Kegiatan ini khusus untuk murid kelas I sampai V Ibt dan murid Isti’dadiyah. Bertempat di Daerah masing-masing, di bawah pengawasan Ta’limiyah Daerah dan stafnya.

4. Jam Belajar

Kegiatan jam belajar ini dibagi dua, pagi dan malam. Bertempat di Daerah. Yaitu pagi setelah salat Subuh s/d pukul 06.00, dan malam pukul 09.00 s/d 10.00. Untuk jam belajar setelah Subuh, pada hari-hari tertentu diisi pengajian kitab oleh Kepala Kamar masing-masing, dengan materi yang telah ditetapkan oleh Pengurus Daerah.

5. Salat Dhuha Berjamaah

Kegiatan ini untuk murid kelas I sampai IV Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah. Waktunya pukul 06.30 s/d 06.45 pagi, dan bertempat di Daerah. Kegiatan ini khusus santri yang bermukim di selain Daerah K, L, dan H, kecuali pada hari Jumat. Setiap hari Jumat, salat Dhuhah berjamaah diganti musyawarah di Daerah.

Kemudian setiap hari Selasa, sebelum pelaksaan salat Dhuha berjamaah, diisi khataman al-Quran. Khusus di Daerah I, kegiatan salat Dhuha berjamaah ini harus diikuti oleh seluruh santri dari semua tingkatan.

6. Pengajian Kitab Kuning

Pengajian kitab kuning ada yang diasuh langsung oleh Kiai/Pengasuh, dan ada yang dibacakan guru-guru yang telah ditunjuk Kepala Bagian Ta’limiyah dengan persetujuan Ketua III PPS.

Pengajian kitab kuning oleh Pengasuh adalah kegiatan inti atau pokok di PPS, bertempat di Surau H dan harus diikuti seluruh santri yang tergolong 
(1) anggota Kuliah Syariah non guru (telah lulus Tsanawiyah dan selesai tugas mengajar di luar PPS, tapi tidak bersekolah di Aliyah), 
(2) guru yang sedang tidak bertugas, dan 
(3) murid Aliyah.

Sedangkan santri tingkat Tsanawiyah, Ibtidaiyah, dan Isti’dadiyah sangat dianjurkan untuk mengikuti pengajian yang diasuh oleh Pengasuh. Materi pengajian kitab kuning oleh Pengasuh biasanya adalah kitab Ihya’ Ulūmiddīn, Shahīh Bukhāri, Fathu al-Wahhāb, I’ānah ath-Thālibīn (pagi); Tafsīr Jalālain (sore); dan Jam’u al-Jawāmi’ (malam).

Sementara itu, mengikuti pengajian kitab yang dibacakan guru-guru, hanya bersifat anjuran bagi semua santri yang ingin mengikutinya. Tempatnya di ruang-ruang MMU atau Daerah, waktunya setelah pengajian al-Qur’an Magrib. Materi pengajian kitab kuning oleh guru-guru adalah kitab-kitab kecil dalam bidang Fikih, Akhlak, Tasawuf, Nahwu, dll.

7. Musyawarah

Di PPS, kegiatan musyawarah kitab kuning untuk anggota Kuliah Syariah diselenggarakan setiap malam, pukul 09.00 s/d 10.00. Tempatnya di ruang-ruang MMU. Khusus malam Selasa, musyawarah dilaksanakan pukul 08.00 s/d 10.00.

Sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah, sesuai dengan ketentuan Daerah dan kelasnya, musyawarah dilaksanakan pada Selasa pagi pukul 05.30 s/d 07.00, bertempat di ruang MMU. Dan bagi santri kelas V & VI Ibtidaiyah serta V, VI, dan VII Isti’dadiyah dilaksanakan pada Jumat pagi pukul 06.00 s/d 07.00, bertempat di Daerah.

Selain itu, kegiatan musyawarah ada yang diistilahkan dengan musyawarah gabungan antar Daerah, bagi kelas III Tsanawiyah. Musyawarah ini membahas masalah waqi’iyah (kejadian di masyarakat). Dilaksanakan setiap Jumat pagi pukul 07.30 s/d 09.45 dan bertempat di Daerah sesuai urutannya. Begitu pula dengan kelas II & III Tsanawiyah, ada musyawarah gabungan Jumat Pagi, tapi bertempat di ruang MMU.

8. Salat Dhuhur & Ashar Berjamaah

Kegiatan ini untuk murid Ibtidaiyah dan Isti’dadiyah, dimulai pukul 12.20 s/d 12.45. Bertempat di Daerah untuk kelas I sampai V, dan bertempat di masjid untuk kelas VI.

9. Salat Maghrib Berjamaah

Kegiatan ini bertempat di masjid untuk kelas VI Ibtidaiyah, murid Tsanawiyah, dan semua anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah-nya. Sedangkan kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah bertempat di Daerah.

10. Mengaji al-Quran

Mengaji al-Quran harus diikuti oleh seluruh santri selain kelas VI Ibtidaiyah & III Tsanawiyah, setelah salat Maghrib berjamaah. Kegiatan ini diselenggarakan setiap malam, selain malam Selasa dan malam Jumat.

Kegiatan mengaji al-Quran bertempat di Daerah untuk anggota Kuliah Syariah dengan cara tadarus. Bertempat di kamar-kamar Daerah untuk kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah. Dan bertempat di ruang-ruang MMU untuk kelas I & II Tsanawiyah. Untuk Ibtidaiyah dan Tsanawiyah dipandu oleh seorang mu’allim (guru mengaji).

Selain itu, bagi murid kelas III Tsanawiyah harus mengaji al-Quran di pagi hari pukul 06.05 s/d 06.30, selain Selasa dan Jumat, dengan cara tadarus. Tempatnya di Daerah. Tadarus ini bagi santri selain warga Daerah K, L, dan H yang harus mengikuti kursus bahasa Arab dan Inggris (pukul 06.15 s/d 07.15), selain hari Selasa dan Jumat. Untuk Daerah K, L, dan H, tergantung pengaturan waktu oleh Pengurus Daerah-nya masing-masing.

11. Baca Salawat

Kegiatan ini dilaksanakan setiap malam untuk kelas VI Ibtidaiyah dan III Tsanawiyah, bertempat di masjid setelah pelaksanaan salat Maghrib berjamaah. Khusus malam Selasa, ditambah dengan kelas I dan II Ts. Kegiatan baca shalawat pada malam Selasa juga dilaksanakan di Daerah, yang harus diikuti oleh kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Isti’dadiyah. Setelah baca shalawat pada malam Selasa itu, diadakan penerangan/ceramah.

12. Kursus Pengkaderan Ahlusunah wal Jamaah (Annajah)

Kursus Annajah ini khusus murid Tsanawiyah, sesuai dengan tingkatan kelas. Tujuannya untuk pemantapan akidah Ahlusunah wal Jamaah dan pelatihan calon Guru Tugas. Dilaksanakan pada malam-malam tertentu pada pukul 09.00 s/d 10.00, dengan jadwal dan tempat yang telah diatur oleh Kepala Bagian Ta’limiyah.

13. Baca Burdah

Kegiatan ini dilakukan bergantian setiap malam, sesuai dengan urutan Daerah yang ditetapkan Pengurus. Pembacaan Burdah ini dilakukan dengan dua cara, Burdah keliling dan Burdah di Daerah.

Burdah keliling dibaca sambil mengelilingi komplek pesantren oleh semua santri tingkat Tsanawiyah, yang berbaris dua-dua, sepuluh jejer dari depan membaca Ayat Kursi. Sedangkan Burdah di Daerah dibaca bersama di Daerah, dengan seorang pemandu yang telah ditunjuk oleh Pengurus.

Kegiatan ini dilaksanakan pukul 11.30 s/d 12.00 malam, kecuali bagi Daerah J & I. Untuk Daerah J, pelaksanaannya setelah salat Subuh berjamaah, bertempat di Daerah. Dan untuk Daerah I, pelaksanaannya setelah Tahajud dan Witir bersama, juga bertempat di Daerah.

14. Baca Diba’

Pembacaan Diba’ dilaksanakan setiap malam Jumat, pukul 07.30 s/d 08.30 malam. Bertempat di masjid untuk anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah. Dan bertempat di Daerah untuk tingkat Isti’dadiyah, Ibtidaiyah, dan Tsanawiyah. Pembacaan Diba’ ini dipimpin oleh santri yang telah ditunjuk oleh Pengurus.

15. Gerak Batin

Kegiatan ini bertempat di masjid, diikuti seluruh santri sesuai urutan Daerah-nya. Waktunya sama dengan pembacaan Burdah, yaitu pukul 11.30 s/d 12.00 malam. Gerak batin ini diisi dengan membaca Munjiyat yang diakhiri dengan membaca Hizbul-Futuh.

16. Jaga/Ronda Malam

Yang harus melaksanakan jaga atau ronda malam ini hanya santri yang berada di tingkat Tsanawiyah, setiap malam empat anak dari setiap Daerah. Waktunya pukul 12.00 s/d 03.00, dengan cara berpindah-pindah dari satu pos jaga ke pos jaga yang lain.

17. Baca Munjiyat

Waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah Jumat sore, pukul 05.00 s/d 06.00. Bertempat di Daerah.

18. Baca Ratibu al-Haddad Pembacaan wirid ini hanya dilaksanakan oleh santri kelas I sampai V Ibt dan murid Isti’dadiyah, dengan dipandu oleh Ubudiyah Daerah. Pelaksanaannya setelah salat Subuh berjamaah, bertempat di Daerah.

19. Baca Surat Kahfi

Semua santri harus mengikuti kegiatan ini setelah salat Subuh berjamaah hari Jumat. Bertempat di Daerah.

20. Olahraga

Kegiatan ini diikuti semua santri, bertempat di lapangan PPS dengan dipimpin oleh seorang pemandu yang telah ditunjuk oleh Pengurus. Waktu pelaksanaannya setelah salat Subuh berjamaah, dengan mengikuti jadwal yang telah ditentukan untuk masing-masing Daerah, kecuali Daerah I.

Untuk Daerah I, olahraganya juga dilaksanakan setelah salat Subuh berjamaah, tapi bertempat di lapangan desa Sidogiri. Cara olahraga, berlari keliling lapangan tiga kali. Setelah olahraga, belajar bersama di Daerah.

21. Tahfizh al-Qur’an

Kegiatan ini dikhususkan bagi santri yang berminat menghafal al-Qur’an, bertempat di Daerah A lantai dua. Tahfizh al-Qura’n ini hanya diperuntukkan bagi tingkat Tsanawiyah ke atas. Untuk Ibtidaiyah dan Isti’dadiyah, hanya santri yang hafal al-Qur’an 10 juz lebih yang boleh masuk Tahfizh al-Qur’an.

Sedangkan kegiatannya, menyetor hafalan ke Pembina setiap hari, pukul 06.00 s/d 07.30 pagi, setelah Ashar s/d pukul 05.00 sore, dan setelah salat Isya’ s/d 09.00 malam. Pada hari Selasa, mulai pukul 07.30 pagi sampai selesai menyetor ke wakil Pembina di dalem. Pada hari Selasa pukul 08.00 s/d 09.00 pagi dan Jumat pukul 10.00 s/d 11.30 siang takrar silang antar sesama anggota. Selain itu, latihan fashahah (kefasihan) dan murattal (membaca tartil) dilaksanakan setiap malam Selasa setelah salat Maghrib sampai Isya’.

KEGIATAN MADRASIYAH

1. Masuk Sekolah

Waktu masuk sekolah berbeda-beda sesuai dengan tingkatan madrasah, dan bertempat di ruang-ruang MMU yang telah ditentukan. Untuk tingkat Isti’dadiyah dilaksanakan pukul 07.30 pagi s/d 10.50 siang, dengan istirahat satu kali (08.50 s/d 09.15 pagi). Sedangkan tingkat Ibtidaiyah dilaksanakan pukul 07.30 pagi s/d 12.10 siang, dengan istirahat dua kali (08.50 s/d 09.15 pagi dan 10.35 s/d 10.50 siang).

Untuk tingkat Tsanawiyah dilaksanakan pukul 12.20 siang s/d 05.00 sore. Sedangkan tingkat Aliyah pukul 12.40 s/d 05.00 sore. Tsanawiyah dan Aliyah istirahatnya dua kali.

2. Musyawarah Kelas

Musyawarah ini membahas pelajaran-pelajaran di kelas, dengan jadwal yang telah ditentukan oleh pimpinan madrasah. Waktu pelaksanaannya sesuai dengan tingkatan madrasah. Untuk Isti’dadiyah dilaksanakan pada pukul 10.50 s/d 12.00 siang. Untuk kelas I, II, dan III Ibtidaiyah dilaksanakan pada pukul 05.10 s/d 05.45 sore. Untuk kelas V & VI Ibtidaiyah dilaksanakan pada pukul 07.30 s/d 08.45 malam. Dan untuk tingkat Tsanawiyah dilaksanakan pada pukul 10.10 s/d 11.15 malam.

3. Mengaji al-Quran Kegiatan ini harus diikuti oleh seluruh murid LPPS (dari Luar Pondok Pesantren Sidogiri) pada waktu kegiatan olahraga madrasah, sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh pimpinan madrasah.

4. Pembinaan Baca Kitab

Bagi santri yang mukim di PPS, kegiatan ini dilaksanakan setiap malam Selasa. Sedangkan bagi murid LPPS dilaksanakan di rumah pembinanya, sesuai dengan tempat dan waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan madrasah.

5. Kursus Ilmu Jiwa dan Didaktik Metodik

Kursus ini merupakan kegiatan ekstra kurikuler bagi murid Tsanawiyah pada malam-malam tertentu. Waktu pelaksanaannya pukul 09.00 s/d 10.00 malam, dengan jadwal dan tempat yang telah diatur oleh pimpinan madrasah. Kursus Ilmu Jiwa (Psikologi) untuk kelas II Tsanawiyah, sedangkan Didaktik Metodik (Ilmu Pendidikan) untuk kelas III Tsanawiyah.

6. Olahraga

Kegiatan ini dilaksanakan pada hari-hari tertentu, sesuai jadwal dari pimpinan madrasah. Kegiatan ini sama dengan masuk sekolah, karena dilaksanakan pada jam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM). Yaitu pada jam pertama untuk tingkat Ibtidaiyah, dan pada jam terakhir untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Jenis olahraga bagi murid Ibtidaiyah dan Tsanawiyah adalah kasti, sedangkan bagi murid Aliyah adalah voli. Untuk murid Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, berangkat dan pulang olahraga dilakukan dengan berbaris. 

Demikian sejarah Pesantren Sidogiri yang Agung dan mempertahankan Tradisi Salaf.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...