Sabtu, 21 November 2020

sejarah Mbah Asnawi

منقيب شيخ الحج اسناوي القدسي.

Kudus adalah daerah yang terkenal dengan nama kota Kretek dan kota Santri dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) dengan rentetan historisitas yang berpusat pada kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak). Hal ini ditengarai dari inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab Masjid al-Aqsha Menara Kudus.

Di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus inilah, di Komplek Makam Sunan Kudus, hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan untuk berziarah, maupun santri yang niat tabarrukan agar diberi kemudahan dalam berbagai urusan. Di antara deretan nisan di komplek makam tersebut, terdapat makam KH Raden Asnawi. Salah seorang ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati. Yang hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram.

Kelahiran Beliau

Pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran lahir seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Ayu Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah Sulangsih di desa Damaran Tempat tinggal Mbah Sulang begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak pembarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan. 

H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konfeksi. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.

Sejak kecil, Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut ajaran-ajaran Islam. Selain itu, Ahmad Syamsyi juga diajarkan berdagang sejak dini. Kemudian semenjak usia 15 tahun, pada kisaran tahun 1876 M. orang tuanya memboyong ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana H Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang. 

Keinginannya mencetak putra sholih mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu. Selain mengaji di Tulungagung, Ahmad Syamsi kemudian melanjutkan mengaji kepada KH. Irsyad Naib Mayong, Jepara. 

Masa Mudanya

Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulung Agung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.

Pergantian Nama dan Mengajar Agama

Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, KHR. Asnawi mulai mangajar dan melakukan tabligh agama. 

Kira-kira umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR. Asnawi juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu KHR. Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya. 

Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan Ahlussunnah Waljama’ah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KHR. Asnawi).

Sebagaimana lazimnya, sebutan Kiai ini tidaklah muncul begitu saja, atau dedeklarasikan dalam sebuah peristiwa, namun ia diperoleh melalui pengakuan masyarakat yang diajarkan agama secara berkesinambungan sejak KHR. Asnawi berumur 25 tahun. Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, KHR. Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR. Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat shalat Shubuh. 

Secara khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan diTajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam.

Kegiatan tabligh KHR. Asnawi untuk menyebarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. 

Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih. Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan “Shalawat Asnawiyyah.”  Selain itu karya Asnawi sepertiSoal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri),Syi'ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya juga tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat ini.

Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh. Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Mukim Di Tanah Suci

Semula beliau tingal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempat di kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R. Maskub Kudus. Selama bermukim di tanah suci, disamping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para Ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. 

Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. 

Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. 

Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH.R.Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu). 

Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH.Asnawi Kudus. 

Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh. 

Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Kalau malam para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.

Huru-Hara Kudus

Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. 

Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge. Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan grobak dorong (songkro). Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu. Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. 

Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH.R.Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH.AhmadKamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.

Selama Dalam Penjara

Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus pada setiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jamaah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat menterjemahkan kitab jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.

Sesudah Keluar Dari Penjara

Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. 

Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus. Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut Patbelasan, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Juga setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri). 

Disamping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan, antara lain:Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus.Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus.Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadlan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman MenaraKudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau saya menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).

Kegemarannya

Pada masa hidupnya beliau sangat gemar melakukan: Silaturrahim, baik di tempat yang dekat maupun yang jauh, baik terhadap orang tua maupun terhadap yang lebih muda. Amar ma’ruf nahi mungkar, terhadap siapapun terutama terhadap keluarganya asal terdapat hal-hal yang kurang baik apalagi terhadap hal yang nyata-nyata melanggar syara’. Beliau tidak segan-segan memberikan peringatan atau teguran. Ringan tangan bila diundang, asal undangan yang tidak melanggar syara’. Setiap tahunnya asal undangan tiada udzur, beliau pasti hadir dalam upacara Maulud Nabi yang diselengarakan oleh Sayid Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta. Pernah beliau berpesan: “Apabila ada orang yang minta pertolongan dan ada kemampuan untuk memenuhi, laksanakanlah permintaan itu, sebab Allah akan menolongmu”. Selalu memberi nasehat, baik kepada siapa saja terutama kepada anak dan cucunya. Kalau nasehat (pidato) suaranya lantang, sekalipun pahit, keras dan tegas sesuai dengan ajaran syariat di telinga tetapi manis dirasa.

Perjuangannya

Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH.A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. 

Pada zaman awal revolusi kemerdekaan terutama pada masa menjelang agresi ke-1, beliau mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan doa surat Al-Fil. Tidak sedikit para pemuda-pemuda kita yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan untuk minta bekal ruhaniyah kepada beliau sebelum berangkat ke medan pertahanan di Genuk, Alastuo dan lain-lain. 

Oleh Bupati Kudus, Raden Surbakah pernah beliau dimintai untuk menempati pendopo Kabupaten sebagai tempat pengajian dan itu dipenuhi sehingga Bapak Bupati pindah. Majelis pengajian umum yang masih berjalan sampai sekarang ini ialah Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan majelis Pitulasan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Pondok Pesantrennya masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.

Keluarga Almarhum

Sesudah pergi haji yang pertama beliau menikah dengan putri KH. Abdullah Faqih Langgar dalem Kudus bernama Mudasih dan dianugrahi dua orang putra: 1. HM. Zaini mempunyai 5 orang anak. 
2. Masy’ari mempunyai 2 orang anak. 

Pada waktu bermukim di Mekah beliau menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah (janda almarhum Syeh Nawawi Banten) dan dianugrahi tiga orang anak: 

1. HM. Zuhri mempunyai 5 orang anak
2. H. Azizah ( istri KH. Saleh Tayu ) mempunyai 5 orang anak.
3. Alawiyah, mempunyai 6 orang anak 

Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916, beliau dinikahkan dengan anak keponakan Khatib Khair di Kudus bernama Subandiyah tetapi tidak tidak dianugrahi anak hingga wafat. Sesudah itu kemudian nikah dengan ibu Muthi’ah mempunyai 2 anak: Siti Budur dan K. Mufadh. Beliau juga pernah menikah dengan Ibu Munijah Damaran dan tidak dikaruniai anak. Sewaktu beliau wafat meninggalkan 3 orang istri, 5 orang anak, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).

KH. R. Asnawi Pulang Ke Rahmatullah

Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang ke rahmatullah. KH.R.Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun

Kepulangan ulama besar Kudus ke rahmatullahini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KHR. Asnawi masih masih nampak segar bugar ketika turut bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta. 

Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya, Nyai Hj. Hamdanah, kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. 
Dan dua kalimat syahadat(syahadatain/Asyhadu an laa ilaaha illallah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya kerahmatullah. 

Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang ditelephon oleh HM. Zainuri Noor.

 

Manaqib Mbah Munawwir Krapyak


KH. M. Munawwir adalah putra KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashari. Dahulu, ada seorang ulama pejuang, KH. Hasan Bashari namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari bin BPH Sandiyo (Mbah Nur Iman) ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghafalkan Kitab Suci al-Quran namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhah dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah Swt. mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.

Begitu pula anak beliau, KH. Abdullah Rosyad, selama 9 tahun riyadhah menghafalkan al-Quran, ketika berada di Tanah Suci Makkah, beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hafal al-Quran adalah anak-cucunya.‎

‎KH. Abdullah Rosyad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah KH. M. Munawwir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khadijah (Bantul).

Masa Belajar KH. M. Munawwir

Guru pertama beliau adalah Ayah beliau sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes al-Quran, Sang Ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.

KH. M. Munawwir tidak hanya belajar qira’at (bacaan) dan menghafal al-Quran, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari para ulama di masa itu, diantaranya;
• KH. Abdullah (Kanggotan – Bantul)
• KH. Kholil (Bangkalan – Madura)
• KH. Shalih (Darat – Semarang)
• KH. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)‎

Setelah itu, pada tahun 1888 M. beliau melanjutkan pengajian al-Quran serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (dua Tanah Suci), baik di Makkah al-Mukarramah maupun di Madinah al-Munawwarah. Adapun Guru-guru beliau di sana antara lain;
• Syaikh Abdullah Sanqara
• Syaikh Syarbini
• Syaikh Mukri
• Syaikh Ibrahim Huzaimi
• Syaikh Manshur
• Syaikh Abdus Syakur
• Syaikh Mushthafa
• Syaikh Yusuf Hajar (Guru beliau dalam qira’ah sab’ah)

Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah,tepatnya di Rabigh,beliau berjumpa dengan seorang tua yang tidak beliau kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang hafidz al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab: “Insyaa-Allah.” Menurut KH. Arwani Amin (Kudus), orang tua itu adalah Nabiyullah Khadhir As.

KH. M. Munawwir ahli dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan al-Quran). Dan salah satunya adalah qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Berikut inilah Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Munawwir sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu dari:
1) Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, dari
2) Syaikh Isma’il, dari
3) Syaikh Ahmad ar-Rasyidi, dari
4) Syaikh Mushthafa bin Abdurrahman al-Azmiri, dari
5) Syaikh Hijaziy, dari
6) Syaikh Ali bin Sulaiman al-Manshuriy, dari
7) Syaikh Sulthan al-Muzahiy, dari
8) Syaikh Saifuddin bin ‘Athaillah al-Fadhaliy, dari
9) Syaikh Tahazah al-Yamani, dari
10) Syaikh Namruddin ath-Thablawiy, dari
11) Syaikh Zakariyya al-Anshari, dari
12) Syaikh Ahmad al-Asyuthi, dari
13) Syaikh Muhammad ibn al-Jazariy, dari
14) Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mishri asy-Syafi’i, dari
15) Al-Imam Abi al-Hasan bin asy-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-‘Abbasi al-Mishri, dari
16) Al-Imam Abi Qasim asy-Syathibi, dari
17) Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
18) Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
19) Al-Hafidz Abi ‘Amr ad-Daniy, dari
20) Abi al-Hasan ath-Thahir, dari
21) Syaikh Abi al-‘Abbas al-Asynawiy, dari
22) ‘Ubaid ibnu ash-Shabbagh, dari
23) Al-Imam Hafsh, dari
24) Al-Imam ‘Ashim, dari
25) Abdurrahman as-Salma, dari
26) Sadatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, dari
27) Rasulullah Muhammad Saw. dari
28) Robbul ‘Alamin Allah Swt. dengan perantaraan Malaikat Jibril As.

Beliau menekuni al-Quran dengan riyadhah, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah riyadhah membaca al-Quran selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya.

Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

Akhlaq KH. M. Munawwir

KH. M. Munawwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah Rawatibnya. Shalat Witir beliau tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat Isyroq (setelah terbit matahari), shalat Dhuha dan shalat Tahajjud.

Beliau mewiridkan al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau sudah hafal, seringkali beliau tetap menggunakan Mushaf. Bahkan kemanapun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid al-Quran tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah beliau mewiridkan al-Quran semenjak berusia 15 tahun. Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan al-Quran, dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara Masjid) untuk bertawajjuh kepada Allah Swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni;
1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
5. Nyai Khadijah (Kanggotan – Yogyakarta)

Begitulah KH. M. Munawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqamah dan wibawa, dengan berkah al-Quran al-Karim. Orang hafal al-Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertakwa kepada Allah, dan shalat Tarawih dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya.

Begitu besar pengagungan beliau terhadap al-Quran, sampai-sampai undangan Haflah Khatmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang Mushaf al-Quran selalu dalam keadaan suci dari hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Munawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghafalkan al-Quran 23,5 juz.

Setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut. Juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan kopyah atau sorban maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan tiap hari Jum’at.

Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.

Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya. Jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.

Walau beliau termasuk dalam Abdi Dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan shalawat-shalawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis sore. Tiap berziarah, beliau membaca surat Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca shalawat Nariyyah 4.444 kali atau surat Yasin 41 kali.

Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, beliau mengajar al-Quran kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau, baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata: “Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.”

Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.

Sebagai layaknya seorang ulama, KH. M. Munawwir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari para ulama lain, diantaranya;
1) Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah
2) KH. Sa’id (Gedongan – Cirebon)
3) KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
4) KH. R. Asnawi (Kudus)
5) KH. Manshur (Popongan)
6) KH. Siroj (Payaman – Magelang)
7) KH. Dalhar (Watucongol – Magelang)
8) KH. Ma’shum (Lasem)
9) KH. R. Adnan (Solo)
10) KH. Dimyati (Tremas – Pacitan)
11) KH. Idris (Jamsaren – Solo)
12) KH. Abbas (Buntet – Cirebon)
13) KH. Siroj (Gedongan – Cirebon)
14) KH. Harun (Kempek – Cirebon)
15) KH. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)
16) Para Kyai dari Jombang dan Pare
17) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX
18) B.R.T. Suronegoro
19) KH. Asy’ari (Wonosobo) yang merupakan teman semasa belajar di Tanah Suci.

Selain dikunjungi, beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap para ulama yang lain, seperti kepada KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.

Beliau juga mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi anggota JEMANGAH, yakni jama’ah shalat tetap yang terdiri dari 41 orang ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.

Dakwah KH. M. Munawwir

Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan al-Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.

Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil.

Konon, KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

KH. M. Munawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca surat Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.

Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena haibah, wibawa beliau.

Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. M. Munawwir adalah Kitab Suci al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian surat an-Nas sampai surat an-Naba’, baru kemudian surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas.

Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap mampu oleh beliau diperintahkan: “Ajarkanlah ilmu fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik kitab fiqh maupun tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca di hadapan beliau. jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya.

Adab (Tata Krama) dalam pengajian al-Quran sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh KH. M. Munawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarattubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah Saw. secara lengkap.

Banyak diantara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran al-Quran pada khususnya. Misal;

1. KH. Arwani Amin (Kudus)
2. KH. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
4. KH. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
6. KH. Noor (Tegalarum – Kertosono)
7. KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
8. KH. Murtadha (Buntet – Cirebon)
9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
10. KH. Abu Amar (Kroya)
11. KH. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
12. Kyai Syathibi (Kiyangkongrejo – Kutoarjo)‎
13. KH. Anshor (Pepedan – Bumiayu)‎
14. KH. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
16. Haji Mahfudz (Purworejo)‎
17. KH M Aminuddin (Benda Sirampog)

Untuk para Mutakharrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.

Karomah KH. M. Munawwir

KH. Abdullah Anshar (Gerjen – Sleman) mengetahui beliau wafat, maka menangislah ia serta mengatakan tak kerasan lagi hidup di dunia tanpa beliau. Setelah pulang ke rumah, KH. Abdullah langsung menyusul pulang ke Rahmatullah.

KH Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon. Ketua Umum PBNU) dikala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan jelas bunyi “R”. Namun setelah minum air bekas cucian tangan beliau, langsung dapat membaca “R” dengan jelas.

Kala mengajar, biasanya beliau sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, beliau langsung bangun dan mengingatkannya.

Saat baru berusia 10 tahun, beliau berangkat mondok kepada KH. Cholil di Bangkalan, Madura. Sampai di sana, saat akan dikumandangkan iqamat, KH. Cholil tidak berkenan menjadi imam shalat seraya berkata: “Mestinya yang berhak menjadi imam shalat adalah anak ini (yakni KH. M. Munawwir). Walaupun ia masih kecil tetapi ahli qira’at.”

Sewaktu awal di Tanah Suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghapalkan al-Quran. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari).

Dan masih banyak lagi karomah KH. M. Munawwir yang lainnya.

Maqalah KH. M. Munawwir

1) Sebuah hadits riwayat Abi Hurairah Ra. bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda: “Wahai Abu Hurairah, pelajarilah al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain. Tetaplah engkau seperti itu hingga mati. Sesungguhnya jikalau kamu mati dalam keadaan seperti itu, malaikat berhaji ke kuburmu sebagaimana kaum mukminin berhaji ke Baitullah al-Haram.”

2) Sebuah sya’ir: “Semua ilmu termuat di dalam al-Quran – Hanya saja orang-orang tak mampu memahami seluruh kandungannya.”

3) “Jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, maka bacalah surat Yasin.”

4) “Kalau mengaji al-Quran, maka kajilah sampai khatam, supaya menjadi orang mulia.”

5) “Waktu luang yang tidak digunakan untuk nderes al-Quran adalah kerugian yang besar.

6) “Setelah seseorang hafal al-Quran, maka haruslah ia Tidak suka omong kosong dan tidak menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja mencari dunia.”

7) “Wahai putera dan menantuku yang mempunyai tanggungan al-Quran, apabila kalian belum lancar benar maka jangan sampai merangkap apapun baik berdagang ataupun lainnya.”

8) “Orang hafal al-Quran berkewajiban memeliharanya, maka dari itu jangan melakukan hal-hal -termasuk menuntut ilmu- yang tidak fardhu, sekiranya dapat menyebabkan hafalannya hilang.”

9) “Kalau kamu tidak mengaji qira’at sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin Kudus.”

10) “Buah al-Quran adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.”

11) Beliau berkata kepada KH. Basyir: “Marilah uzlah seperti saya, guna mengajarkan al-Quran. Kalau kita memikirkan harta dunia, maka akan binasalah al-Quran nanti.”

12) Beliau berkata kepada putri beliau, Nyai Hindun: “Orang hafal al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarat, insya-Allah menjadi orang shalihah.”

13) Beliau tidak mengijinkan santri-santrinya menjadi Pegawai Negeri Pemerintah Penjajah pada waktu itu.

14) Beliau menyampaikan apa yang pernah diterima dari guru beliau, KH. Cholil Bangkalan: “Apabila hidayah tiba, permusuhan pun musnah. Jadilah engkau bagaikan Air, dibutuhkan oleh siapa dan apa saja. Jika tidak begitu, maka jadilah seperti Batu, tidak ada bahaya maupun manfaat (secara aktif –red). Janganlah engkau laksana Kalajengking, siapa melihat maka ia pun takut.”

15) “Seyogyanya engkau hadiahkan berkah surat al-Fatihah kepada segenap kaum muslimin yang masih hidup, lebih-lebih diwaktu tertimpa marabahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya. Sebagaimana guru saya KH. Cholil pernah mengajarkan (di nomor 16).”

16) Beliau menyampaikan apa yang disampaikan guru beliau, KH. Cholil: “Teman-teman sekalian, jikalau engkau menghadiahkan berkah surat al-Fatihah jangan hanya kepada muslimin yang sudah meninggal saja, tetapi juga yang masih hidup, syukurlah jika kepadaku juga. Sebab Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: ‘UDDA NAFSAKA MIN AHLIL QUBUUR (anggaplah dirimu termasuk ahli Qubur).”

17) “Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohonlah Kesejahteraan (‘Aafiyah).”

18) “Kelak di akhir jaman, Shin akan menguasai seluruh daerah.”

19) Sebuah sya’ir: “Aku tak bisa mendapatkan kembali apa yang telah meninggalkan diriku, baik dengan LAHFA (kalau), dengan LAITA (seandainya), ataupun dengan LAU-INNI (andaikan saya).”

20) “Selama saya masih hidup, puteraku yang lelaki selalu saya suruh memakai kopyah. Sedangkan yang perempuan segera saya carikan jodoh, tak usah menunggu orang lain yang datang melamarnya.”

Wafat dan Penerus KH. M. Munawwir

Sebagaimana manusia pada umumnya, KH. M. Munawwir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur.

Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan surat Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.

Akhirnya, beliau KH. M. Munawwir wafat ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dikala beliau menghembuskan nafas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca surat Yasin belum hadir.

Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan – Solo), KH. R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau KH. Ma’shum (Suditan – Lasem).

Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat kaum muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.

Jenazah KH. M. Munawwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca al-Quran.

Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan Klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan Pesantren.

Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci al-Quran dengan segala konsekuensinya.

Almarhum KH. M. Munawwir berwasiyat, agar keluarga melanjutkan perjuangan Pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan Pesantren dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai yakni;

1) KH. R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Disamping menangani pengajian al-Quran, beliau juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada 1 Januari 1968.

2) KH. R. Abdul Qadir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal al-Quran dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yang disponsori oleh KH. R. Abdul Qadir, dibantu KH. Mufid Mas’ud (menantu KH. M. Munawwir), Kyai Nawawi (menantu KH. M. Munawwir) dan Hasyim Yusuf dari Nganjuk.
 Ada 2 sistem yang ditempuh di Madrasatul Huffadz. 
Pertama, adalah Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut kepada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz. 
Kedua, adalah Sistem Jama’ah Mudarasah, yakni seorang santri disuruh menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas berhenti dan dilanjutkan oleh santri yang lain, demikian sampai khatam 30 juz. 

Untuk mentashhih kembali hafalan santri-santri yang sudah khatam, maka diharuskan melakukan ‘Ardhah secara Musyafahah sampai tiga kali khatam. Untuk menguji kelancaran hafalan, adalah dengan dibacanya suatu ayat oleh Kyai dan santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula ditanyakan kepada santri tentang letak ayat tersebut dalam surat apa, halaman berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi. Seperti itulah seluk beluk menghafalkan al-Quran di Madrasatul Huffadz saat itu. Setelah hafal seluruh al-Quran, maka selama 41 hari dilanjutkan Mudarasah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali juga. KH. R. Abdul Qadir wafat pada 2 Februari 1961.

3) KH. ‘Ali Ma’shum (menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj. Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943. Beliau adalah perintis dan pengasuh pengajian kitab-kitab selepas KH. M. Munawwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam rangka menimba ilmu. Dalam penyelenggarannya, beliau menerapkan beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan Sistem Kuliyah, yang masing-masing dilengkapi dengan Pengajian Sorogan (individual). Adapun Pengajian Sorogan ini, beliau berlakukan dengan model Semi-Otodidak, yakni dengan ditentukannya suatu kitab oleh KH. ‘Ali Ma’shum untuk dikaji seorang santri. Tiap sore hari, santri tersebut harus menghadap beliau untuk membaca kitab. 

Dalam hal ini, santri harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca maupun menela’ah maknanya, baik dengan bertanya maupun berdiskusi dengan rekan dan kitab yang sudah ada maknanya. Sedangkan KH. ‘Ali Ma’shum cukup menyimak bacaan santri sambil mengajukan beberapa pertanyaan, dan membenarkan jika ada kesalahan membaca maupun memahami isinya. Dengan sistem ini, beliau maupun santri telah banyak menghemat waktu serta membuahkan hasil yang memuaskan lagi cermat. KH. ‘Ali Ma’shum wafat pada 1989.

Demikianlah estafet kepemimpinan Pesantren terus bergulir, semakin berkembang seiring bertambahnya usia, baik dalam metode maupun corak Pesantren, namun tak lepas dari sentuhan khas salafiyahnya. Dan tentunya, tetap berkonsentrasi pada misi awal yang dirintis Sang Muassis (Pendiri), yakni membumikan al-Quran, memasyarakatkan al-Quran dan meng-al-Qur'an kan masyarakat. ‎

 

Manaqib Syaikhul Hajj Arwany Amin Alquds


Selain dikenal dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga dikenal sebagai Kota Religius atau lebih medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota Santri. Pasalnya, banyak di antara santri yang menuntut ilmu di kota yang kharismatik yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di antara sekian banyak ulama di kota Kudus banyak ulama di kota Kudus yang menjadi tauladan bagi masyarakat adalah beliau al-Maghfurlah KH. M. Arwani Amin.

Sekitar lebih 100 meter di sebelah selatan Masjid Menara Kudus, tepatnya di Desa Madureksan, Kerjasan, dulu tersebutlah pasangan keluarga shaleh yang sangat mencintai al-Qur’an. Pasangan keluarga ini adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH. Amin Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon terutama di kalangan santri, karena beliau memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal, yaitu toko kitab al-Amin. Dari hasil berdagang inilah, kehidupan keluarga mereka tercukupi.

Yang menarik adalah, meski keduanya (H. Amin Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun mereka sangat gemar membaca al-Qur’an. Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh orang kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-Qur’an sekalipun.

Kelahiran KH. M. Arwani Amin Said

KH. M. Arawani Amin Said dilahirkan pada hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5 Rajab 1323 H bertepatan dengan 5 September 1905 M di kampung Kerjasan Kota Kudus Jawa Tengah. Ayah beliau bernama H. Amin Said dan ibunya bernama Hj.Wanifah.

Sebenarnya nama asli beliau adalah Arwan, akan tetapi setelah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama namanya diganti menjadi Arwani. Dan hingga wafat beliau dikenal memiliki nama lengkap sebagai KH. M. Arawani Amin Said dan panggilan akrabnya adalah Mbah Arwani Kudus.

Arwan adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Kakaknya yang pertama seorang perempuan bernama Muzainah. Sementara adik-adiknya secara berurutan adalah Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhak dan Ulya. Dari kedua belas ini, ada tiga yang paling menonjol, yaitu Arwan, Farkhan dan Ahmad Da’in, ketiga-tiganya hafal al-Qur’an.

Dari sekian saudara KH. M. Arwani Amin, yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in. Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius, karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwan yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.

Arwan kecil hidup di lingkungan yang sangat taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya adalah salah satu ulama besar di Kudus, yaitu KH. Imam Haramain. Sementara garis nasabnya dari ibu, sampai pada pahlawan nasional yang juga ulama besar Pangeran Dipenegoro yang bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.

Kehidupan Keluarga KH. M. Arwani Amin

Ayahanda Mbah Arwani yaitu H. Amin Said adalah seorang kiyai yang cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat disekitar beliau tinggal. Meskipun ayah dan bunda beliau tidak hafal al-Qur’an, namun tempat tinggal beliau dikenal sebagai rumah al-Qur’an, karena setiap pekan mereka selalu mengkhatamkan al-Qur’an.

Istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Naqiyul Khud. Beliau menikah pada tahun 1935 M dimana pada saat itu status beliau adalah seorang santri dari pondok pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Ibu Naqi adalah putri dari H. Abdul Hamid, seorang pedagang kitab. Tokonya sekarang masih ada,bahkan semakin berkembang. Beliau memiliki empat orang anak yaitu Ummi dan Zukhali Uliya (meninggal saat masih bayi) serta KH. M. A. Ulin Nuha Arwani dan KH. M. A. Ulil Albab Arwani.

Masa Menuntut Ilmu KH. M. Arwani Amin Said

KH. M. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak kecil hanya mengenyam pendidikan di madrasah dan pondok pesantren. Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Salah satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah KH. Abdullah Sajad.

Setelah sudah semakin beranjak dewasa, akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama Islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke pesantren itu, talah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya menjadi gurunya (masyayikh).

Adapun sebagian guru yang mendidik KH. M. Arwani Amin diantaranya adalah KH. Abdullah Sajad (Kudus), KH. Imam Haramain (Kudus), KH. Ridhwan Asnawi (Kudus), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur (Solo), KH. M. Munawir(Yogyakarta) dan lain-lain.

Kepribadian KH. M. Arwani Amin Said

Selama berkelana mencari ilmu baik di Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok KH. M. Arwani Amin sering dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu memunculkan rasa sayang di hati para kiainya.

Beliau hidup di lingkungan masyarakat santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan agama. Oleh karena itu wajar saja jika beliau tumbuh menjadi seorang yang memiliki perangai halus, sangat berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai solidaritas yang tinggi, rasa setia kawan dan suka mengalah tapi tegas dalam memegang prinsip.

Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu mengembara dari pesantren ke pesantren. Tidak kurang dari 39 tahun hidup beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke kota yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu Kudus. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan diakhiri di Pesantren Popongan Solo.

Sekitar tahun 1935, KH. Arwani Amin pun melaksanakan pernikahan dengan salah satu seorang putri Kudus, yang kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah Sajad. Perempuan sholehah yang disunting oleh beliu adalah ibu Naqiyul Khud.

Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul Khud ini, KH. M. Arwani Amin diberi dua putrid dan dua putra. Putri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua putri beliau ini menginggal dunia sewaktu masih bayi.

Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH. M. Arwani Amin dalam mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah KH. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan KH. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu khadam KH. M. Arwani Amin yang kemudian dijadikan sebagai anak angkatnya.

Perjuangan KH. M. Arwani Amin Said

Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali sekitar tahun 1942 di Masjid Kenepan Kudus yaitu setamat beliau nyantri dari pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini santri-santri beliau kebanyakan berasal dari luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit santri beliau semakin bertambah banyak dan bukan hanya dari Kudus dan sekitarnya, tapi ada yang berasal dari luar propinsi bahkan dari luar pulau Jawa. Kemudian beliau membangun sebuah pondok pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an yang berarti Sumber al-Quran. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1393 H/1979 M.

KH. M. Arwani Amin meninggalkan sebuah kitab yang diberi nama Faidh al-Barakat fi as-Sabi’a Qira’at.

Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan Thariqat Naqsabandiyah Kholidiah yang pusat kegiatannya bertempat di mesjid Kwanaran. Beliau memilih tempat ini karena suasana di sekeliling cukup sepi dan sejuk. Disamping itu tempatnya dekat perumahan dan sungai Gelis yang airnya jernih untuk membantu penyediaan air untuk para peserta kholwat. KH. M. Arwani amin juga pernah menjadi pimpinan Jam’iyah Ahli ath-Thariqat al-Mu’tabarah yang didirikan oleh para kyai pada tanggal 10 Oktobrr 1957 M. Dan dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang nama tersebut diubah menjadi Jam’iyyah Ahl ath-Thariqat al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).

Kelebihan KH. M. Arwani Amin Said

KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan senantiasa berjamaah meskipun dalam keadaan sakit. Kebiasaan tersebut sudah beliau jalani sejak berada di pesantren.

Sewaktu masih belajar Qiraat Sab’ah pada KH. Munawir di Krapyak yang pelajarannya dimulai pada pukul 02.00 dinihari sampai menjelang Shubuh beliau sudah siap pada pukul 12.00 malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran dimulai beliau manfaatkan untuk melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut tetap berlanjut setelah beliau kembali dan bermukim di Kudus.

Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00 WIB dan bangun pukul 21.00 WIB. Kemudian dilanjutkan melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi kira-kira selama satu sampai dua jam kemudian bangun lagi untuk melaksanakan sholat dan dzikir, begitu setiap malamya sehingga bila dikalkulasi beliau hanya tidur dua sampai tiga jam setiap malamnya

KH. M. Arwani Amin Said dikenal oleh msyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang wali,beberapa santrinya mengatakan bahwa KH.Arwani Amin memiliki indra keenam dan mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak terlihat.

Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Dimana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal.

Selain barokah orantuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama.

Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu.

Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari H. Abdul Hamid bin KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri.

Anak Didik KH. M. Arwani Amin Said

Ribuan murid telah lahir dari pondok yang dirintis KH. M. Arwani Amin tersebut. Banyak dari mereka yang menjadi ulama dan tokoh. Sebut saja diantara murid-murid KH. M. Arwani Amin yang menjadi ulama adalah:

1) KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
2) KH. Hisyam (Kudus)
3) KH. Abdullah Salam (Kajen)
4) KH. Muhammad Manshur
5) KH. Muharror Ali (Blora)
6) KH. Najib Abdul Qodir (Jogja)
7) KH. Nawawi (Bantul)
8) KH. Marwan (Mranggen)
9) KH. A. Hafidz (Mojokerto)
10) KH. Abdullah Umar (Semarang)
11) KH. Hasan Mangli (Magelang)

KH. M. Arwani Amin Said Berpulang ke Rahmatullah

Dengan keharuman namanya dan berbagai pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan ta’dzim atas kealimannya, beliu wafat pada taggal 25 Rabiul Akhir tahun 1415 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober tahun 1994 M dalam usia 92 tahun (dalam hitungan Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus.

Wasiat Mbah Arwani 

1. Dadi wong sing iso syukur (Jadi orang harus bisa bersyukur).

2. Nek ngaji jo dipekso sing penting usaha (Kalau belajar jangan terlalu dipaksakan, yang penting usaha).

3. Jo ngejar cepet, ngejaro lanyah (Jangan mengejar cepatnya, tapi kejarlah penguasaan).

4. Eleng, cobone wong dewe-dewe (Ingat, cobaan seseorang itu sendiri-sendiri).

5. Saben dino dungakno kyaimu (Setiap hari doakanlah guru/kyaimu).

6. Jo cepet sambat kabeh neng kene cobo (Jangan mudah mengeluh, semua mengalami cobaan).

7. Maqamku diziyarahi (Makamku ziarahilah).

8. Jo kakean guyon (Jangan kebanyakan bergurau).

9. Nek ibadah sing istiqomah (Kalau beribadah istiqamahlah).

10. Sholate sing ati-ati (Shalatnya yang hati-hati).

11. Nek hajat sing ati-ati (Kalau berhajat yang hati-hati).

12. Sing eman karo wong tuwo (Yang murah hati terhadap orangtua).

13. Jo podo sembrono (Jangan mudah tergesa-gesa).

14. Sopo gelem obah bakal mamah (Siapa yang mau bergerak jangan takut tidak makan).

15. Aku wekas karo sliramu: wiwit mongso iki sliramu saben-saben deres supoyo tartil. Mergo senejan mung setitik nanging tartil iku luwih utama lan manfaat tinimbang olih akeh nanging ora tartil. (Aku berpesan kepadamu: mulai sekarang setiap kali kamu ‘deres’ supaya ‘tartil’. Karena meskipun dapat sedikit tapi tartil itu lebih utama dan bermanfaat daripada dapat banyak tapi tidak tartil).

16. Mulo wiwit saiki dibiasaaken sing tartil senejan mung olih sa’juz rong juz sedino. Pengendikane sohabat Abdulloh bin Abbas mengkene “La an aqro-a surotan urottiliha ahabbu ilayya min an aqro-al qur-aana kullahu” (Makanya mulai dari sekarang dibiasakan yang tartil walau hanya dapat satu atau dua juz sehari. Sabda sahabat Abdullah bin Abbas begini: “Jika aku membaca satu surat dengan tartil adalah lebih aku sukai daripada membaca keseluruhan al-Quran.”).

17. Kejobo iku sing wis kelakon tur nyoto, yen kulinone deres tartil iku sa’mongso-mongso kepengin deres rikat temtu biso. Nanging sebalike yen biasane deres rikat bahayane iku yen deweke dikon deres tartil temtu ora biso jalan. Mulo sliramu yen ati-ati yen deres. Cukup semene wasiatku. (Selain itu hal yang sudah nyata, jika terbiasa deres tartil sewaktu-waktu ingin deres cepat tentu bisa. Tapi sebaliknya jika terbiasa deres cepat bahayanya jika disuruh deres tartil tentu tidak bisa jalan. makanya kamu hati-hati kalau deres. Cukup sekian wasiatku). (Tanda tangan beliau).

Keterangan:

“Nderes” adalah kegiatan santri untuk menjaga hafalan al-Qurannya dengan cara mengulang-ulang setiap hari secara kontinyu, atau istilah Arabnya; Muraja’ah atau Takrir.
“Tartil” adalah cara membaca al-Quran sesuai dengan tata aturan Tajwid beserta memperhatikan Makharijul Ahruf, sehingga tidak terjadi kesamaran kata ataupun hilangnya kata-kata tertentu dalam bacaan. Dan membaca tartil ini relatif susah bila dilafalkan dengan tempo cepat dan harus pelan.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...