Sabtu, 21 November 2020

Sejarah Nabi Isa A.s dalam Alqur'an dan Injil


Matahari tampak akan tenggelam, angin pun bertiup sepoi-sepoi di sekitar pepohonan. Harum semerbak mulai memenuhi mihrab Maryam. Bau itu menembus jendela mihrab dan mengepakkan sayapnya di sekeliling gadis perawan yang khusuk dalam salat tanpa seorang pun mendengar suaranya. Maryam merasa bahwa udara dipenuhi dengan bau harum yang mengagumkan. Ia kembali melakukan salatnya dengan khusuk dan mengungkapkan syukur kepada Alloh SWT.

Seekor burung hinggap di jendela mihrab. Ia mengangkat paruhnya ke atas dan mengarahkan ke matahari serta mengepakkan kedua sayapnya lalu ia terjun ke air dan mandi di dalamnya. Kemudian ia terbang ringan di sekitamya. Maryam ingat bahwa beliau lupa untuk menyirami pohon mawar yang tumbuh secara tiba-tiba di tengah dua batu yang tumbuh di luar mesjid. Maryam menyelesaikan salatnya lalu ia keluar dari mihrab dan menuju pohon. Belum selesai beliau siap-siap untuk keluar sehingga para malaikat memanggilnya:

"Hai Maryam, sesungguhnya Alloh telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)." (QS. Ali 'Imran: 42)

Maryam berhenti dan tampak wajahnya yang pucat dan semakin bertambah. Mihrab itu dipenuhi dengan kalimat-kalimat para malaikat yang memancarkan cahaya. Maryam merasa bahwa pada hari-hari terakhir terdapat perubahan pada suasana ruhaninya dan fisiknya. Di tempat itu tidak terdapat cermin sehingga ia tidak dapat melihat perubahan itu. Tetapi ia merasa bahwa darah, kekuatan dan masa mudanya mulai meninggalkan tempatnya dan digantikan dengan kesucian dan kekuatan yang lebih banyak. Beliau menyadari bahwa ia sedang gugup. Beliau merasakan kelemahan manusiawi dan adanya kekuatan yang luar biasa. Setiap kali tubuhnya merasakan kelemahan, maka bertambahlah kekuatan dalam ruhnya. Perasaan yang demikian ini justru membangkitkan kerendahan hatinya. Maryam mengetahui bahwa ia akan memikul tanggung jawab besar.

"Dan (ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: 'Hai Maryam, sesungguhnya Alloh telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yong semasa dengan kamu)." (QS. Ali 'Imran: 42)

Dengan kalimat-kalimat yang sederhana ini Maryam memahami bahwa Alloh  SWT telah memilihnya dan menyucikannya dan menjadikannya penghulu para wanita dunia. Beliau adalah wanita terbesar di dunia. Para malaikat kembali berkata kepada Maryam:

"Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orangyang ruku." (QS. Ali 'Imran: 43)

Perintah tersebut ditetapkan setelah adanya berita gembira agar beliau meningkatkan kekhusukannya, sujudnya, dan rukuknya kepada Alloh SWT. Maryam lupa terhadap pohon mawar dan beliau kembali salat. Maryam merasakan bahwa sesuatu yang besar akan akan terjadi padanya. Beliau merasakan hal itu sejak beberapa hari, tetapi perasaan itu semakin menguat saat ini.

Matahari meninggalkan tempat tidurnya sementara malam telah bangkit sedangkan bulan duduk di atas singgasananya di langit dan di sekelilingnya terdapat awan-awan yang indah dan putih. Kemudian datanglah pertengahan malam dan Maryam masih sibuk dalam salatnya. Beliau menyelesaikan salatnya dan teringat pohon mawar itu lalu beliau membawa air di suatu bejana dan pergi untuk menyiramnya.

Pohon mawar itu tumbuh di antara dua batu di tempat yang tidak jauh dari mesjid yang hanya ditempuh beberapa langkah darinya. Tempat itu jauh dari jangkauan manusia sehingga tak seorang pun mendekatinya. Tempat itu sudah dijadikan tempat yang khusus bagi Maryam untuk melakukan salat di dalamnya atau beribadah. Maryam mendekati pohon mawar itu dan menyiramnya. lalu beliau meletakkan bejana, kemudian ia memikirkan pohon mawar itu di mana tangkainya semakin panjang pada dua malam yang dilaluinya.

Tiba-tiba, Maryam mendengar suara derap kaki yang mengguncang bumi. Beliau tidak mendengar suara kaki yang berjalan, tetapi beliau mendengar suara kaki yang menetap di atas batu serta pasir. Maryam merasakan ketakutan. Ia merasakan bahwa ia tidak sendirian. Ia menoleh ke sebelahnya namun ia tidak mendapati sesuatu pun. Kemudian kedua matanya mulai berputar-putar dan memperhatikan suatu cahaya yang berdiri di sana. Maryam gemetar ketakutan dan menundukkan kepalanya. Maryam berkata dalam dirinya, siapa gerangan orang yang berdiri di sana. Maryam memandang kepada wajah orang asing itu, dan menyebabkan ia gelisah. Wajah orang itu sangat aneh, di mana dahinya bercahaya lebih daripada cahaya bulan. Meskipun kedua matanya memancarkan kemuliaan dan kebesaran tetapi wajah orang itu justru menggambarkan kerendahan hati yang mengagumkan.

Pandangan pertama yang dilihat oleh Maryam kepada orang itu mengisyaratkan, bahwa orang itu memiliki kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Alloh SWT selama julaan tahun. Maryam bertanya kepada dirinya, siapa gerangan orang ini? Kemudian seakan-akan orang asing itu membaca pikiran Maryam dan berkata: "Salam kepadamu wahai Maryam." Maryam dibuat terkejut mendengar adanya suara manusia di depannya. Maryam berkata sebelum menjawab salamnya:

"Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa." (QS. Maryam: 18)

Maryam berlindung di bawah lindungan Alloh SWT dan ia bertanya kepadanya, "Apakah engkau manusia yang mengenal Alloh SWT dan bertakwa kepadanya?" Kemudian orang itu tersenyum dan berkata:

"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci." (QS. Maryam: 19)

Orang asing itu belum selesai menyampaikan kalimatnya sehingga tempat itu dipenuhi cahaya yang menakjubkan yang tidak menyerupai cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya lampu, cahaya lilin bahkan cahaya api. Di sana terdapat cahaya yang sangat jernih. Kemudian terngianglah di kepala Maryam kalimat: "Aku adalah seorang utusan Tuhanmu." Kalau begitu, dia adalah penghulu para malaikat, Ruhul Amin (Jibril) yang telah berubah wujud menjadi manusia.

Maryam mengangkat kepalanya dengan gemetar menahan luapan cinta. Jibril berdiri di depannya dalam bentuk manusia. Maryam memperhatikan kejernihan dahinya dan kesucian wajahnya. Benar apa yang diduganya bahwa Jibril memiliki kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Alloh SWT selama jutaan tahun. Kemudian Maryam mengingat kembali kalimat-kalimat yang diucapkan Jibril. Malaikat itu telah mengatakan bahwa ia adalah utusan Tuhannya, dan ia telah datang untuk memberi Maryam seorang anak laki-laki yang suci. Maryam ingat bahwa dirinya adalah seorang perawan yang belum tersentuh oleh seorang pun. Ia belum menikah dan belum dilamar oleh seseorang pun, maka bagaimana ia melahirkan anak tanpa melalui pernikahan. Pikiran-pikiran ini berputar-berputar di kepala Maryam lalu ia berkata kepada Jibril:

"Maryam berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorangpezina!" (QS. Maryam: 20)

Jibril berkata:

"Demikianlah Tuhanmu berfirman: 'Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputushan."' (QS. Maryam: 21)

Maryam menerima kalimat-kalimat Jibril. Tidakkah Jibril berkata kepadanya bahwa ini adalah perintah Alloh SWT dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti akan terlaksana. Kemudian, mengapa ia harus (ketika) melahirkan tanpa disentuh oleh seorang manusia pun. Bukankah Allah SWT mendptakan Nabi Adam tanpa seorang ayah dan seorang ibu? Sebelum diciptakannya Nabi Adam tidak ada pria dan wanita. Hawa diciptakan dari Nabi Adam dan ia pun diciptakan dari laki-laki, tanpa perempuan.

Biasanya manusia diciptakan melalui pasangan laki-laki dan perempuan; biasanya ia memiliki ayah dan ibu, tetapi mukjizat terjadi ketika Alloh SWT menginginkannya untuk terjadi. Kemudian Jibril meneruskan pembicaraannya:

"Sesungguhnya Alloh menggembirakan kamu (dengan kelahiran searangputra yang didptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Alloh), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh." (QS. Ali 'Imran: 45-46)

Keheranan Maryam semakian bertambah. Betapa tidak, sebelum mengandung anak itu di perutnya ia telahmengetahui namanya. Bahkan ia menhetahui bahwa anaknya itu akan berbicara dengan manusia saat ia masih kecil. Sebelum Maryam menggerakan lisannya untuk melontarkan pertanyaan lain, Jibril mengangkat tangannya dan mengerahkan udara ke arah Maryam. Kemudian datanglah hembusan udara yang bercahaya yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Maryam. Lalu cahaya tersebut ke jasad Maryam dan memenuhinya. Tak sempat Maryam melontarkan pertanyaan yang lain, Jibril yang suci telah pergi tanpa meninggalkan suara.

Udara yang dingin telah bergerak dan Maryam pun tampak menggigil. Maryam segera kembali ke mihrabnya. Ia menutup pintu mihrab dan ia tenggelam dalam salat yang khusuk dan ia pun menangis. Maryam merasakan kegembiraan, kebingungan dan kegoncangan serta kedamaian yang dalam. Kini, Maryam tidak lagi sendirian. Sejak Jibril meninggalkannya, ia merasakan bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia menggerakkan tangannya yang dipenuhi dengan cahaya, kemudian cahaya ini berubah di dalam perutnya menjadi anak, seorang anak yang akan menjadi kalimat Alloh SWT dan ruh-Nya yang diletakkan pada Maryam. Ketika anak itu besar, ia akan menjadi seorang rasul dan nabi yang ajarannya dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang.

Maryam di malam itu tidur dengan nyenyak dan ia bangun di waktu Subuh. Belum lama ia membuka kedua matanya sehingga ia dibuat terkejut ketika melihat mihrab dipenuhi dengan buah-buahan yang sebenarnya tidak lagi musim. Maryam heran melihat hal itu. Ia mulai mengingat apa yang telah terjadi padanya kemarin, yaitu bagaimana kejadian saat menyiram pohon mawar, bagaimana pertemuannya dengan malaikat Jibril, bagaimana Alloh SWT meniupkan kalimat-Nya padanya, bagaimana ia kembali ke mihrab, dan bagaimana tidurnya yang nyenyak. Maryam berkata kepada dirinya sambil melihat buah-buahan yang banyak: Apakah aku akan memakan sendirian buah-buahan ini. Kemudian ada suara dalam dirinya yang berkata: "Engkau tidak lagi sendirian wahai Maryam. Kini, engkau bersama Isa. Engkau harus makan dengan baik. Dan Maryam mulai makan.

Lalu berlalulah hari demi hari. Kandungan Maryam berbeda dengan kandungan umumnya wanita. Ia tidak merasakan sakit dan tidak merasa berat; ia tidak merasakan sesuatu telah bertambah padanya dan perutnya tidak membuncit seperti umumnya wanita. Alhasil, kehamilan yang dialaminya dipenuhi dengan nikmat yang baik. Datanglah bulan yang kesembilan. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Maryam tidak mengandung Isa selama sembilan bulan, tetapi ia melahirkannya secara langsung sebagai mukjizat.

Pada suatu hari, Maryam keluar ke suatu tempat yang jauh. Ia merasa bahwa sesuatu akan terjadi hari itu. Tetapi ia tidak mengetahui hakikat sesuatu itu. Kakinya membimbingnya untuk menuju tempat yang dipenuhi dengan pohon kurma. Tempat itu tidak biasa dikunjungi oleh seseorang pun karena saking jauhnya; tempat yang tidak diketahui oleh seseorang pun kecuali Maryam.

Tak seorang pun yang mengetahui Maryam bahwa sedang hamil dan ia akan melahirkan. Mihrab yang menjadi tempat ibadahnya selalu tertutup. Orang-orang mengetahui bahwa Maryam sedang sibuk beribadah dan tidak ada seorang pun yang mendekatinya. Maryam duduk beristirahat di bawah pohon kurma yang besar dan tinggi. Maryam mulai merasakan sakit pada dirinya, dan rasa sakit tersebut semakin terasa. Akhirnya, Maryam melahirkan:

"Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: 'Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan."(QS. Maryam: 23)

Rasa sakit saat melahirkan anak yang dialami wanita suci ini menimbulkan penderitaan-penderitaan lain yang segera menantinya. Bagaimana manusia akan menyambut anaknya ini? Apa yang mereka katakan tentangnya? Bukankah mereka mengetahui bahwa ia adalah wanita yang masih perawan? Bagaimana seorang gadis perawan bisa melahirkan? Apakah manusia akan membenarkan Maryam yang melahirkan anak itu tanpa ada seseorang pun yang menyentuhnya? Kemudian pandangan-pandangan keraguan mulai menyelimutinya. Maryam berpikir bagaimana reaksi manusia kepadanya dan bagaimana perkataan mereka terhadapnya sehingga hatinya dipenuhi dengan kesedihan. Belum lama Maryam membayangkan dan meminta agar ia dimatikan dan dilupakan, tiba-tiba anak yang baru lahir itu memanggilnya:

"Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu ahan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu rnelihat seorang manusia, maka katakantah: 'Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.'" (QS. Maryam: 24-26)

Maryam melihat al-Masih yang tampan wajahnya. Wajahnya tidak kemerah-merahan dan rambutnya tidak keriting seperti anak-anak yang lahir di saat itu, tetapi ia berkulit lembut dan putih. Anak itu diselimuti dengan kesucian dan kasih sayang; anak itu berbicara kepada Maryam agar ia menghilangkan kesedihannya dan meminta padanya agar menggoyangkan batang-batang pohon kurma supaya jatuh darinya sebagian buahnya yang lezat dan Maryam dapat memakan dan meminum darinya sehingga hatinya pun penuh dengan kedamaian serta kegembiraan dan tidak berpikir tentang sesuatu pun. Jika Maryam melihat atau menemui manusia, maka hendaklah ia berkata kepada mereka bahwa ia bernazar kepada Alloh SWT untuk berpuasa dan tidak berbicara kepada seseorang pun.

Maryam melihat al-Masih dengan penuh kecintaan. Anak itu baru dilahirkan beberapa saat tetapi ia langsung memikul tanggung jawab ibunya di atas pundaknya. Selanjutnya, ia akan memikul penderitaan orang-orang fakir. Maryam melihat bahwa wajah anak itu menyiratkan tanda yang sangat aneh. Yaitu tanda yang mengisyaratkan bahwa ia datang ke dunia bukan untuk mengambil darinya sesuatu, tetapi untuk memberinya segala sesuatu. Maryam mengulurkan tangannya ke pohon kurma yang besar. Belum lama ia menyentuh batangnya hingga jatuhlah darinya buah kurma yang masih muda dan lezat. Maryam makan dan minum dan kemudian ia memangku anaknya dengan penuh kasih sayang.

Saat itu, Maryam merasakan kegoncangan yang hebat. Silih-berganti ketenangan dan kegelisahan menghampirinya. Segala pikirannya tertuju pada satu hal, yaitu Isa. Ia bertanya-tanya dalam dirinya: Bagaimana orang-orang Yahudi akan menyambutnya, apa yang akan mereka katakan tentangnya, apa yang akan mereka katakan terhadap Maryam, apakah para pendeta dan para pembesar Yahudi percaya bahwa Maryam melahirkan seorang anak tanpa disentuh oleh seseorang pun? Bukankah mereka terbiasa hidup dengan suasana pencurian dan penipuan? Apakah seseorang di antara mereka akan percaya—padahal ia jauh dari langit—bahwa langit telah memberinya seseorang anak.

Akhirnya, masa pengasingan Maryam telah berakhir dan Maryam harus kembali ke kaumnya. Maryam kembali dan waktu menunjukkan Ashar. Pasar besar yang terletak di jalan yang dilalui Maryam menuju mesjid dipenuhi dengan manusia. Mereka sibuk dengan jual-beli. Mereka duduk berbincang-bincang sambil minum anggur. Belum lama Maryam melewati pasar itu sehingga manusia melihatnya membawa seorang anak kecil yang didekapnya. Salah seorang bertanya: "Bukankah ini Maryam yang masih perawan? Lalu, anak siapa yang dibawanya itu?" Seorang yang mabuk berkata: "Itu adalah anaknya." Mari kita dengar cerita apa yang akan disampaikannya. Akhirnya, orang-orang Yahudi mulai "mengepung" dengan berbagai macam pertanyaan: "Anak siapa ini wahai Maryam, mengapa engkau tidak mengembalikannya, apakah itu memang anakmu, bagaimana engkau datang dengan membawa seorang anak sedangkan engkau adalah gadis yang masih perawan?"

"Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina." (QS. Maryam: 28)

Maryam dituduh melakukan pelacuran. Mereka menyerang Maryam tanpa terlebih dahulu mendengarkan sanggahannya atau mengadakan penelitian atau membuktikan bahwa perkataan mereka memang benar. Maryam dicerca sana-sini dan ia diingatkan, bahwa bukankah ia seseorang yang tumbuh dari rumah yang baik dan bukanlah ibunya seorang pelacur? Lalu mengapa semua ini terjadi padanya? Menghadapi semua tuduhan itu, Maryam tampak tenang dan tetap menunjukkan kebaikannya. Wajahnya dipenuhi dengan cahaya keyakinan. Ketika pertanyaan semakin menjadi-jadi dan keadaan semakin sulit, maka Maryam menyerahkan segalanya kepada Alloh SWT. Ia menunjuk ke arah anaknya dengan tangannya. Maryam menunjuk Isa.

Orang-orang yang ada di situ tampak kebingungan. Mereka memahami bahwa Maryam berpuasa dari berbicara dan meminta kepada mereka agar bertanya kepada anak itu. Para pembesar Yahudi bertanya: "Bagaimana mereka akan melontarkan pertanyaan kepada seorang anak kecil yang baru lahir beberapa hari? Apakah anak itu akan berbicara di buaiannya" Mereka berkata kepada Maryam:

"Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?" (QS. Maryam: 29)

Berkata Isa:

"Sesungguhnya aku ini hamba Alloh, Dia memberiku al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadahu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. " (QS. Maryam: 30-33)

Belum sampai Isa menuntaskan pembicaraannya sehingga wajah-wajah para pendeta dari kalangan Yahudi dan para uskup tampak pucat. Mereka menyaksikan mukjizat terjadi di depan mereka secara langsung. Anak kecil itu berbicara di buaiannya; anak kecil yang datang tanpa seorang ayah; anak kecil yang mengatakan bahwa Alloh SWT telah memberinya al-Kitab dan menjadikannya seorang Nabi. Ini berarti bahwa kekuasaan mereka sebentar lagi akan hancur. Setiap orang dari mereka akan menjadi tidak berarti ketika anak kecil itu dewasa. Tak seorang pun di antara mereka yang dapat "menjual pengampunan" kepada manusia atau menghakimi mereka melalui pemyataan bahwa ia adalah wakil dari langit yang turun di bumi. Atau pernyataan, bahwa hanya dia yang mengetahui syariat.

Para pendeta Yahudi merasa akan terjadi suatu tragedi kepribadian yang akan datang kepada mereka dengan kelahiran anak kecil ini. Kedatangan al-Masih berarti mengembalikan manusia kepada penyembahan semata-mata kepada Alloh SWT. Ini berarti menghapus agama Yahudi yang sekarang mereka yakini. Perbedaan antara ajaran-ajaran Musa dan tindakan-tindakan orang-orang Yahudi menyerupai perbedaan antara bintang-bintang di langit dan lumpur-lumpur di jalan. Para pendeta Yahudi menyembunyikan kisah kelahiran Isa dan bagaimana ia berbicara di masa buaian. Mereka justru menuduh Maryam yang masih perawan dengan kebohongan yang besar. Mereka menuduh Maryam melakukan pelacuran, padahal mereka menyaksikan sendiri mukjizat pembicaraan anaknya di masa buaian.

Mula-mula cerita tentang itu mereka sembunyikan untuk beberapa saat. Meskipun demikian, berita tentang kelahiran Isa sampai ke Hakim Romawi, yaitu Heradus. Ia memimpin orang-orang Palestina dan orang-orang Yahudi dengan kekuatan pedang. Ia menakut-nakuti mereka dengan menumpahkan darah serta banyaknya mata-mata yang dimilikinya. Pada suatu hari, ia duduk di istananya dan meminum anggur. Lalu ia mendengar berita yang samar tentang kelahiran seseorang anak tanpa ayah; seorang anak yang dikatakan ia mampu berbicara saat masih di buaian, lalu ia menyampaikan pembicaraan yang menjurus pada ancaman terhadap kekuasaan Romawi. Kemudian bergetarlah kursi yang ada di bawah tubuh Heradus. Ia memerintahkan untuk diadakan suatu pertemuan mendadak yang dihadiri oleh para pengawalnya dan para mata-matanya. Pertemuan itu pun terlaksana. Heradus duduk dengan wajahnya yang hitam mengkilat, lalu ia memutarkan pandangannya ke arah mata-matanya dan bertanya: "Bagaimana berita anak kecil yang berbicara di buaiannya?"

Salah seorang kepala mata-mata berkata: "Tampak bahwa masalahnya tidak benar. Kami telah mendengar isu-isu sekitar anak kecil yang mereka katakan bahwa ia membuat mukjizat dengan berbicara saat ia masih belia. Lalu saya mengutus anak buahku untuk mencari kebenaran berita itu, tetapi mereka tidak menemukannya. Jelas bagi kami, bahwa berita itu dilebih-lebihkan." Kemudian salah satu anggota mata-mata raja berkata: "Aku telah mendapatkan bukti yang terpercaya bahwa tiga orang dari orang-orang Majusi datang di balik suatu bintang yang mereka lihat menyala di suatu langit dan bintang tersebut mengisyaratkan kelahiran anak kecil yang membawa mukjizat, yaitu anak kecil yang akan menyelamatkan kaumnya." Hakim berkata: "Bagaimana ia dapat menyelamatkan kaumnya dan kaum siapa yang diselamatkannya?" Salah seorang mata-mata berkata: "Anak buahku tidak mengetahuinya karena orang-orang pandai dari Majusi itu pergi dan tak seorang pun menemukan mereka."

Hakim berkata: "Bagaimana mereka dapat pergi dan bersembunyi lalu bagaimana cerita anak kecil ini? Apakah di sana ada persekongkolan untuk menentang Romawi?" Hakim melompat dari tempat duduknya ketika ia menyebut Romawi, dan ia mulai berbicara dengan keadaan emosi: "Aku menginginkan kepala tiga orang yang cerdik itu dan aku juga menginginkan kepala anak kecil itu. Dan aku menginginkan informasi yang lengkap. Sungguh masalah ini semakin samar hai orang-orang yang bodoh." Lalu kepala mata-mata berkata: "Barangkali ini hanya mimpi yang dibayangkan orang-orang Yahudi bahwa mereka melihatnya." Hakim berkata: "Sungguh kepala-kepala kalian semua akan terbang lebih cepat dari merpati jika kalian tidak mendatangkan cerita secara lengkap tentang anak ini. Kebingungan dan kekacauan apa yang aku rasakan! Pergilah kalian dari sini."

Anak buah Heradus dan para mata-mata pergi, sedangkan ia masih duduk memikirkan masalah tersebut. Tampaknya masalah itu sangat menggelisahkannya. Ia tidak peduli dengan kedatangan agama baru kepada manusia tetapi yang dipikirkannya adalah kekuasaan Romawi yang ia menjadi simbolnya. Kemudian Heradus menetapkan untuk memanggil pemuka orang Yahudi dan bertanya kepadanya tentang masalah ini. Para pengawalnya yang khusus memanggil orang Yahudi itu. Tidak beberapa lama orang Yahudi itu ada di depan hakim. Heradus berkata: "Aku ingin berbicara kepadamu tentang suatu masalah yang sangat menggelisahkanku." Pendeta Yahudi itu berkata: "Aku ingin mengabdi kepadamu."

Heradus berkata: "Aku mendengar berita-berita yang saling berlawanan tentang anak kecil yang bisa berbicara di masa buaiannya dan ia mengatakan bahwa ia akan menyelamatkan kaumnya. Maka bagaimana berita yang sebenarnya tentang itu?" Pendeta itu berkata—dan ia merasa bahwa pertanyaan itu sepertinya berupa jebakan yang tidak diketahuinya secara pasti: "Apakah tuan yang mulia peduli dengan agama Yahudi?" Heradus berkata dalam keadaan emosi: "Aku tidak peduli sedikit pun selain kekuasaan Romawi. Jawablah pertanyaanku wahai pendeta." Pendeta Yahudi itu telah melihat Isa berbicara di buaiannya. Ia memahami bahwa seandainya ia mengatakan itu, maka ia akan mendapatkan penderitaan pada dirinya, maka ia lebih memilih sedikit berbohong. Ia berkata kepada Heradus bahwa ia mendengar cerita itu tetapi ia meragukannya.

Heradus berkata: "Apakah benar agama kalian berbicara tentang kedatangan seorang penyelamat bagi rakyat kalian?" Pendeta berkata: "Ini benar wahai tuan yang mulai." Heradus berkata: "Apakah kalian mengetahui ini adalah persekongkolan menentang keamanan kerajaan Romawi? Apakah kalian menyadari ini adalah bentuk pengkhianatan?" Pendeta berkata: "Aku harap tuan membiarkan aku meluruskan suatu pemikiran yang sederhana. Berita tentang hal itu adalah berita yang kuno. Berita ini diyakini ketika rakyat menjadi tawanan di Bebel sejak ratusan tahun."

Heradus berkata: "Apakah memang di sana ada yang membenarkan berita ini? Sekarang, apakah kamu secara pribadi membenarkannya? Apakah engkau melihat anak kecil itu yang mereka katakan bahwa ia dilahirkan tanpa seorang ayah?" Pendeta itu berkata: "Apakah ada seorang yang percaya wahai tuan yang mulia jika dikatakan ada seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah. Ini adalah mimpi rakyat biasa."

Heradus berkata: "Tidak ada sesuatu yang mengusir tidur dari mata seorang penguasa selain mimpi-mimpi rakyat. Pergilah wahai pendeta dan jika engkau mendengar berita-berita, maka sampaikanlah kepadaku sebelum engkau sampaikan kepada istrimu." Belum lama pendeta itu pergi sehingga Heradus berpikir, bagaimana seandainya pendeta itu berbohong. Ia menangkap benang kebohongan pada kedua matanya. Ia mengetahui kebohongan ini karena ia sendiri sangat pandai berbohong. Kemudian bagaimana cerita tiga orang cerdik yang mereka mengikuti bintang? Apakah di sana terdapat persekongkolan menentang Romawi yang tidak diketahuinya?

Heradus berteriak di tengah-tengah pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk menangkap semua orang yang mendengar cerita ini atau ia akan melihat akibatnya. Mula-mula dia memerintahkan untuk mencari gadis perawan yang melahirkan anak itu dan membunuh setiap anak yang lahir di saat itu. Sementara itu, Maryam keluar dari Palestina menuju ke Mesir. Sebelumnya, pada suatu malam, datanglah kepadanya seseorang yang belum pernah dilihatnya dan orang itu menyampaikan salam kepadanya serta menyerukannya dan sambil berkata: "Bawalah anakmu wahai Maryam dan keluarlah menuju Mesir." Dengan nada ketakutan Maryam bertanya, "Mengapa? Bagaimana aku keluar menuju ke Mesir; dan bagaimana aku bisa mengenali jalan?" Orang asing itu menjawab, "Keluarlah engkau niscaya Allah SWT akan melindungimu. Sesungguhnya Hakim Romawi mencari anakmu dan ingin membunuhmu."

Maryam bertanya: "Kapan aku keluar?" Orang asing itu menjawab: "Sekarang juga. Janganlah engkau khawatir sedikit pun karena engkau keluar bersama seorang Nabi yang mulia. Semua nabi diusir oleh kaumnya dari negeri mereka dan rumah mereka. Demikianlah hukum kehidupan. Kejahatan selalu berusaha untuk menyingkirkan kebaikan tetapi pada akhirnya, kebaikan akan kembali menduduki singgasananya. Keluarlah wahai Maryam." Akhirnya, Maryam pun pergi menuju ke Mesir. Maryam melalui gurun Saina' bersama suatu kafilah yang menuju Mesir. Maryam berjalan membawa Isa di jalan yang sama yang pernah dilalui Nabi Musa di mana ditampakkan kepada Nabi Musa api yang suci dan beliau dipanggil dari sisi thur al-Aiman. Setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Maryam sampai di Mesir. Mesir yang dipenuhi dengan kebaikan, kemuliaan, kebudavaan klasik serta cuacanya yang stabil mempakan tempat yang terbaik untuk pertumbuhan Isa as.

Al-Masih tumbuh dan berkembang serta menjalani masa kecilnya di Mesir. Kemudian datanglah kepada Maryam orang asing yang telah memerintahkannya untuk meninggalkan Palestina. Kali ini, ia memerintahkannya untuk kembali ke Palestina. Orang asing itu berkata kepadanya: "Raja yang lalim telah mati, maka kembalilah bersama anakmu wahai Maryam. Telah datang kesempatan emas bagi Isa untuk menduduki singgasananya. Isa akan menjadi penyayang orang-orang fakir dan orang-orang yang benar. Kembalilah wahai Maryam." Maryam pun kembali. Dalam perjalanan Maryam melalui banyak mata air di sungai Jordania.

Isa pun tumbuh menjadi dewasa dan mencapai masa mudanya. Isa keluar dari rumahnya dan menuju tempat penyembahan kaum Yahudi. Saat itu bertepatan dengan hari Sabtu. Di sana tidak ada satu rumah pun dari rumah kaum Yahudi yang dapat menyalakan api atau memadamkannya pada hari Sabtu, atau mengambil buah di hari itu. Dilarang bagi seorang wanita untuk membikin adonan roti atau seseorang anak kecil mencuci anjingnya. Nabi Musa telah memerintahkan untuk menghormati hari Sabtu dan hanya mengkhususkanya untuk beribadah kepada Alloh SWT.

Terdapat hikmah di balik penghormatan hari Sabtu sehingga hari Sabtu menjadi hari yang sangat disucikan di kalangan orang-orang Yahudi. Mereka melaksanakannya dengan berbagai macam tradisi dan mereka mencurahkan segala konsentrasi mereka untuk menjaga hari Sabtu dan tidak meremehkannya. Sebab, mereka meyakini bahwa hari Sabtu adalah hari yang dijaga dari langit sebelum Alloh menciptakan manusia sebagaimana mereka percaya bahwa Bani Israil telah diberikan pilihan kepada satu jalur saja, yaitu menjaga hari Sabtu. Mereka bangga karena mereka dapat menjaganya meskipun hal itu menyebabkan mereka kalah di kancah peperangan atau mereka tertawan di tangan musuh. Bahkan saking ketatnya mereka mempertahankan kehormatan hari Sabtu sampai-sampai mereka menambah-nambahi berbagai macam larangan di hari Sabtu. Majelis kaum Yahudi menetapkan ratusan larangan yang tidak boleh dilakukan di hari Sabtu, seseorang dilarang untuk memakai gigi palsu di hari Sabtu. Seorang yang sakit dilarang untuk memakai perban atau memakai minyak di tempat yang sakit pada hari Sabtu atau memanggil dokter. Dilarang pula di hari Sabtu untuk menulis dua huruf abjad; dilarang juga untuk mempertahankan diri pada hari Sabtu; dilarang untuk panen dan belajar di hari Sabtu. Kemudian, bepergian di hari Sabtu diharuskan untuk tidak lebih dari dua ribu yard. Dilarang juga dihari Sabtu untuk membawa sesuatu ke luar rumah.

Jadi, banyaknya syariat, hukum serta larangan-larangan biasanya diikuti dengan banyaknya keburukan atau paling tidak membantu terciptanya keburukan. Setiap timbul suatu larangan, maka timbul bersamanya cara untuk menghindar darinya. Demikianlah, kehidupan kaum Yahudi dipenuhi dengan kemunafikan yang luar biasa di mana secara lahiriah mereka menampakkan penghormatan terhadap hari Sabtu, tetapi secara batiniah mereka berusaha menodai kehormatan dengan berbagai macam cara.

Meskipun kelompok Farisiun bertanggung jawab terhadap tugas pelaksanaan syariat dan mengawasinya dengan banyak mendapatkan jarninan-jaminan, maka kita akan melihat bahwa mereka siap untuk menciptakan berbagai rekayasa dan tipu daya yang memungkinkan mereka untuk menghindar dari hukum-hukum syariat di saat yang tepat. Saat yang tepat adalah saat di mana syariat-syariat tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka atau dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan mata pencaharian yang haram yang sudah siap masuk pada kantong mereka. Misalnya, terdapat kaidah syariat yang menetapkan perjalanan pada hari Sabtu tidak boleh melebihi dua ribu yard. Namun orang-orang Farisiun mengadakan walimah di mana mereka mengundang orang-orang untuk menghadiri acara tersebut pada hari Sabtu, padahal tempat diadakannya acara itu berjarak lebih dari dua ribu yard dari rumah mereka. Lalu, bagaimana mereka dapat melaksanakan hal tersebut? Sangat mudah sekali. Mereka meletakkan pada sore hari Sabtu sebagian makanan yang berjarak dua ribu yard dari rumah mereka lalu setelah itu mereka mendirikan suatu tempat tinggal di mana mereka dapat berjalan setelahnya dan menempuh dua ribu yard yang lain. Dari sini mereka dapat menambah jarak yang mereka inginkan. Begitu juga agar mereka menghindar dari larangan membawa sesuatu ke luar rumah pada hari Sabtu, maka mereka membuat tipu daya yang lain. Yaitu mereka mendirikan gerbang-gerbang pintu dan jendela di berbagai jalan sehingga seluruh kota seperti rumah besar yang dimungkinkan bagi mereka untuk membawa segala sesuatu dan bergerak di dalamnya.

Contoh lain yang menunjukan bagaimana orang-orang Yahudi mempermainkan syariat sedangkan mereka mengklaim menjaganya adalah, bahwa syariat Musa menetapkan agar seorang anak menginfaki kedua orang tuanya saat mereka menginjak usia tua dan membutuhkannya. Tetapi kaum Farisiun memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk lari dan menghindar dari tanggung jawab ini dengan suatu tipu daya yang sederhana. Ketika seorang anak dituntut oleh kedua orang tuanya untuk memberi nafkah, maka ia pergi ke para pendeta dan bersepakat kepada mereka untuk mewakafkan semua hartanya dan kekayaannya kepada haikal, yaitu tempat sembahan kaum Yahudi. Saat itu kedua orang tuanya tidak mampu mengambil sesuatu pun darinya. Ketika mereka berdua telah putus asa dan tidak lagi menuntut padanya untuk memberi nafkah, maka semua harta kekayaannya akan dikembalikan kepadanya oleh para pendeta, dengan catatan hendaklah ia memberikan bagian tertentu dari hartanya kepada para pendeta itu. Demikianlah yang terdapat dalam Injil Mata.

Di tengah-tengah suasana kebodohan pemikiran yang luar biasa ini, juga terdapat sikap keras kepala dan kejumudan berpikir yang mengelilingi kaum Yahudi. Terdapat tujuh tingkat kesucian dan dua puluh enam salat yang harus mereka lakukan saat mereka membasuh tangan sebelum memakan makanan, namun mereka menganggap bahwa meniadakan pembacaan salat-salat sebagai bentuk pembunuhan terhadap jiwa dengan cara bunuh diri dan tercegah dari kehidupan abadi. Demikianlah kekerasan sikap masyarakat Yahudi yang menunjukkan bahwa moral mereka telah rusak dan dipenuhi dengan kemunafikan yang tiada taranya.

Sementara itu, Isa berjalan menuju tempat beribadah. Orang-orang berjalan di sekelilingnya. Mereka tampak membanggakan pakaian-pakaian yang berwarna dan berharga sedangkan Isa berjalan dengan memakai baju putih dan menampakkan kezuhudannya. Rambut Isa tampak lembut yang mencapai kedua bahunya dan tampak ia basah terkena air awan yang menurunkan gerimis. Kemudian kedua kakinya berjalan di atas tanah sehingga tanah itu dipenuhi dengan bau harum yang tidak diketahui sumbernya. Baju yang dipakai oleh Isa terbuat dari bulu domba yang sangat sederhana dan kasar. Meskipun hari itu hari Sabtu, Isa memetik buah di suatu kebun dan mengambil dua buah yang beliau berikan kepada anak kecil yang fakir dan lapar. Tindakan semacam ini menurut kepercayaan Yahudi dianggap sebagai tindakan yang menentang agama Yahudi.

Isa mengetahui bahwa menjalankan agama yang hakiki bukan terletak pada ketaatan eksternal sementara hati jauh dari sikap rendah diri. Oleh karena itu, Isa mencabut buah dan memberikan makan kepada manusia pada hari Sabtu. Beliau menyalakan api untuk wanita-wanita tua sehingga mereka tidak mati kedinginan.

Isa sering mengunjungi tempat sesembahan orang Yahudi. Isa berdiri di dalamnya dan mengamati para pendeta dan manusia yang hilir mudik di sekitarnya. Sesampainya Isa di tempat sembahan, ia berdiri di dalamnya. Isa mengamat-amati apa yang ada di dalamnya. Dinding-dinding tempat beribadah itu terbuat dari kayu gahru yang memiliki bau yang harum. Di samping itu, terdapat kelambu-kelambu yang terbuat dari kain-kain yang mengagumkan yang dicampur dengan emas. Juga terdapat lampu-lampu yang terulur dari atap dan juga ada lilin-lilin yang memenuhi ruangan dengan cahaya. Meskipun demikian, kegelapan menyelimuti hati orang-orang yang ada di situ.

Nabi Isa berdiri cukup lama di tempat penyembahan itu. Setiap kali ia memutarkan wajahnya, ia mendapati para pendeta di sana. Terdapat dua puluh ribu pendeta. Nama-nama mereka tercatat dalam haikal. Mereka adalah kaum Waliyun yang memakai saku-saku yang besar yang di dalamnya ada kitab-kitab syariat. Sedangkan kaum Farisiun, mereka memakai pakaian yang lebar yang sisi-sisinya tertenun dengan emas. Mereka adalah pembantu haikal yang resmi dengan memakai baju-baju mereka yang putih. Adapun kaum Shaduqiyun adalah kelompok para pendeta aristokrat yang bersekutu dengan penguasa di mana mereka memperoleh kekayaan melalui persekutuan ini. Nabi Isa memperhatikan bahwa jumlah pengunjung haikalita lebih sedikit daripada jumlah para pendeta dan para tokoh agama. Tempat penyembahan itu dipenuhi dengan kambing dan merpati yang dibeli oleh para pengunjung tempat penyembahan itu. Mereka menyerahkannya sebagai kurban kepada Allah. Yaitu kurban yang disembelih di dalam tempat persembahan di atas tempat penyembelihan. Alhasil setiap langkah yang diayunkan oleh para pejalan di tempat penyembahan itu akan menghasilkan uang.

Di tempat penyembahan Yahudi itulah tersingkap hakikat kehidupan kaum Yahudi. Nilai satu-satunya yang disembah oleh manusia di zaman itu adalah uang. Jadi, kemewahan materi atau kekayaan adalah nilai satu-satunya yang karenanya manusia akan bergulat satu sama lain. Dalam hal itu, tidak ada perbedaan antara tokoh-tokoh pembawa ajaran syariat dengan manusia-manusia biasa. Kaum Shaduqiyun dan kaum Farisiun bekerja sama di antara mereka di dalam haikal itu seakan-akan mereka di dalam suatu pasar di mana mereka memanfaatkannya untuk diri mereka dengan terus mencari kurban-kurban di dalamnya. Seringkali kaum Shaduqiyun dan Farisiun berseteru dalam persoalan syariat dan hukum. Demikian juga, mereka berseteru dalam menentukan kurban yang harus mereka raih di haikal itu. Kaum Farisiun berpendapat bahwa hewan-hewan kurban itu harus dibeli dari harta haikal sedangkan kaum Shaduqiyun menganggap bahwa harta darihaikal adalah hak mereka. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa hewan kurban itu harus dibeli dengan jumlah tersendiri. Begitu juga kaum Farisiun mewajibkan untuk membakar hewan yang disembelih di atas tempat penyembahan, sedangkan kaum Shaduqiyun mereka mengambil hewan sembelihan ini untuk diri mereka sendiri.

Di dalam Talmud disebutkan bahwa kaum Shaduqiyun menjual merpati di toko-toko mereka yang mereka miliki. Mereka sengaja memperbanyak kesempatan-kesempatan yang diharuskan di dalamnya untuk mengorbankan burung-burung merpati sehingga harga seekor burung merpati saja mencapai beberapa Dinar. Melihat hal itu, salah satu tokoh Farisiun yaitu Sam'an bin Amlail mengeluarkan fatwa yang intinya mengurangi kesempatan-kesempatan yang diharuskan di dalamnya seseorang menyerahkan merpati sebagai kurban. Setelah itu, harga burung cuma mencapai seperempat Dinar. Pergulatan antara kedua kelompok itu mendatangkan pukulan berat bagi pemilik toko yang menyimpan burung merpati terutama anak-anak dari kepala pendeta.

Nabi Isa memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya; Nabi Isa melihat kaum fakir yang tidak mampu membeli hewan kurban sehingga mereka tidak mampu berkurban; Nabi Isa melihatbagaimana para pendeta memperlakukan mereka dan memangsa mereka seperti serigala yang buas. Nabi Isa berpikir di dalam dirinya, mengapa binatang-binatang itu mereka bakar lalu dagingnya menjadi asap di udara, padahal di sana terdapat ribuan kaum fakir yang mati kelaparan? Mengapa mereka mengira bahwa Allah SWT ridha ketika tempat penyembelihan dilumuri dengan darah, lalu hewan kurban itu dibawa ke rumah-rumah para pendeta dan toko-toko mereka untuk dijual? Mengapa orang-orang fakir banyak berhutang dan mengeluarkan banyak uang untuk membeli binatang-binatang kurban? Mengapa binatang-binatang kurban itu harus dimiliki dan hanya dirawat oleh para pendeta lalu apa yang mereka lakukan dengan uang-uang ini? Lalu, di manakah tempat orang-orang fakir di haikal itu? Bukankah hal yang aneh ketika seseorang memasuki rumah dengan keharusan membawa uang?

Nabi Isa pergi dari tempat penyembahan itu dan ia meninggalkan kota menuju gunung. Dada Nabi Isa dipenuhi dengan kecemburuan yang suci terhadap yang Maha Benar. Wajahnya tampak semakin pucat ketika melihat berbagai macam kejahatan memenuhi dunia. Nabi Isa berdiri di atas sebuah bukit dan beliau mulai melakukan salat. Tetesan-tetesan air mata mulai berlinang dari pipinya dan jatuh ke bumi. Nabi Isa mulai merenung dan menangis. Di sana terdapat bunga yang nyaris mati karena kehausan lalu ketika ia mendapatkan tetesan air mata al-Masih, maka bunga itu mekar kembali dan mendapatkan kehidupan. Tetesan air mata al-Masih menyelamatkannya, sebagaimana beliau akan menyelamatkan manusia dengan dakwahnya. Di malam yang penuh berkah ini pula, dua orang Nabi yang mulia meninggalkan bumi, yaitu Nabi Yahya dan Nabi Zakaria. Kedua Nabi itu dibunuh oleh penguasa. Sejak kepergian mereka berdua, bumi kehilangan banyak dari kebaikan. Pada malam itu juga, turunlah wahyu kepada Isa bin Maryam. Allah SWT memutuskan perintah-Nya agar ia memulai dakwahnya.

Nabi Isa menutup lembaran halus dari kehidupannya yaitu lembaran yang penuh dengan tafakur dan ibadah. Beliau memulai perjalanannya yang berat dan penuh tantangan serta penderitaan: beliau mulai berdakwah di jalan Allah SWT; beliau mulai membangun kerajaan yang tegak berdasarkan kerendahan hati dan cinta. Kerajaan yang penguasanya bertujuan untuk membebaskan dan menyucikan ruh. Kerajaan yang memancarkan sikap rendah diri dan cinta. Nabi Isa ingin menyelamatkan ruhani. Ajaran Nabi Isa berdasarkan keimanan terhadap hari kiamat dan kebangkitan. Nilai-nilai dan pemikiran tersebut tidak ditemukan dalam kehi-dupan orang-orang Yahudi.

Syariat Musa menetapkan pemberlakuan hukum qisas: barangsiapa yang memukulmu di pipi sebelah kananmu, maka pukullah pipi sebelah kanannya. Lalu bagaimanakah orang-orang Yahudi menerapkan hukum qisas tersebut? Jika yang dipukul mampu untuk menghancurkan rumah orang yang memukul, maka ia tidak perlu merasa puas hanya sekadar memukul pipi sebelah kanannya, namum jika ia tidak mampu, maka hendaklah ia memukul pipi sebelah kanannya. Namun boleh jadi hatinya dipenuhi dengan dendam karena ia tidak dapat menghancurkan rumahnya.

Jadi, kebencian adalah pelabuhan tempat bersinggahnya syariat Musa. Meskipun beliau adalah seorang Nabi yang merupakan cermin cinta Ilahi yang besar namun syariatnya kini berada di bawah kekuasaan hati-hati yang mati, yaitu hati-hati yang penuh dengan dendam dan kebencian. Lalu, apa yang dilakukan Nabi Isa terhadap semua ini? Allah SWT telah mengutusnya dan memperkuat Taurat yang dibawa oleh Musa sebagaimana Allah SWT menurunkannya kepada Musa. Jadi, seorang nabi tidak menghancurkan tugas nabi sebelumnya. Para nabi bagaikan satu mata rantai yang tujuannya adalah satu, yaitu menciptakan kesucian dan mempertahankan kebenaran serta mengesakan Allah SWT.

Kemudian apa yang dilakukan Nabi Isa terhadap syariat qisas cersebut? Yang jelas, tindakan yang dilakukkan oleh Nabi Isa murni dari ilham yang didapatnya dari Allah SWT. Nabi Isa mengem-balikan kaum kepada tujuan asli dari syariat. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada hikmah syariat yang asli. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada cinta. Nabi Isa tidak mengatakan sesuatu pun kepada orang yang memukul pipi sebelah kanannya. Nabi Isa tidak berusaha untuk memukul pipi sebelah kanannya. Al-Masih justru akan membalikkan pipi sebelah kirinya. Inilah syariat Nabi Isa yang tidak berbeda sedikit pun dengan syariat Nabi Musa. Ia merupakan kedalaman yang mengagumkan dari kedalaman syariat Nabi Musa. Nabi Isa ingin menetapkan kepada kaum di sekelilinginya tentang sesuatu yang penting. Nabi Isa ingin memberitahu mereka bahwa syariat bukan mengajari kalian untuk meletakkan dendam pada diri kalian lalu kalian memukul lawan kalian. Syariat yang hakiki adalah, hendaklah kalian menebar kasih sayang, pemaaf, dan cinta.

Terdapat banyak binatang-binatang buas di hutan. Binatang-binatang itu mencintai diri mereka sendiri. Mereka bermusuhan dan saling membunuh demi makanan dan minuman. Mereka memberikan makan kepada anak-anaknya. Perbedaan antara manu-sia dan binatang adalah perbedaan pada tingkat cinta. Hewan tidak akan mampu melampui derajat cintanya kepada makhluk yang lain. Atau dengan kata lain, hewan tidak dapat membagi cintanya kepada jenis yang lain. Sedangkan manusia mampu melakukan hal itu. Di situlah manusia mampu dapat mencapai kemuliaannya dan kemanusiaannya. Al-Masih memberitahu kaumnya bahwa manusia tidak akan menjadi manusia sempurna kecuali setelah ia mencintai orang lain sebagaimana ia mendntai dirinya sendiri.

"Aku mendengar bahwa dikatakan, hendaklah engkau mencintai orang yang dekat denganmu dan membenci musuhmu, sedangkan aku berkata kepada kalian, cintailah musuh kalian dan doakanlah orang yang melaknati kalian. Berbuat baiklah kepada pembenci kalian dan salatlah untuk orang-orang berbuat buruk kepada kalian." (Injil Mata).

Dakwah Nabi Isa datang dan menghapus syariat Nabi Musa dalam bentuk eksternal. Jika kita berusaha membandingkan dua syariat tersebut dalam bentuk yang sederhana, maka pada hakikat-nya dakwah Nabi Isa bertujuan untuk menghapus bid'ah yang dilakukan oleh kaum Farisiun dan Shaduqiun terhadap syariat Nabi Musa dan menunjukkan hakikat syariat ini dan tujuan-tujuannya yang tinggi. Di tengah-tengah masa materialisme yang sangat luar biasa dan dunia dipenuhi dengan penyembahan terhadap emas dan tersebarnya berbagai macam kejahatan, munculah dakwah al-Masih sebagai reaksi ideal yang menunjukkan ketinggian dan kesucian. Al-Masih mengetahui bahwa ia mengajak manusia untuk menciptakan perilaku ideal dalam kehidupan; Al-Masih menyadari bahwa dakwahnya penuh dengan idealisme tetapi idealisme ini sendiri pada saat yang sama merupakan solusi satu-satunya untuk mengobati kehidupan dari kesengsaraan dan penyakit-penyakit menular; Al-Masih mengetahui bahwa tidak semua manusia tidak mampu untuk mencapai puncak yang diisyaratkannya. Tetapi paling tidak, hendaklah setiap orang berusaha sedikit mendaki sehingga ia selamat.

Dakwah Nabi Isa terdiri dari kesudan yang mengagumkan; dakwah Nabi Isa bertujuan untuk menyelamatkan ruh atau dakwah yang dapat dianggap sebagai pedoman perilaku individu, bukan suatu system perincian-perincian tersebut dan hanya memfokuskan kepada sumber utama, yaitu ruh. Isa ingin raenghidupkan ruhani manusia dan membimbingnya untuk mencapai cahaya Sang Pencipta. Oleh karena itu, Isa datang dengan didukung oleh ruhul kudus. Ruhul kudus adalah Jibril. Kita tidak mengetahui bagaimana Alloh SWT memperkuat Isa dengan Ruh Kudus: apakah Jibril menemaninya dan menyertainya sepanjang pengutusannya? Jibril turun kepada nabi untuk menyampaikan risalah atau membawa mukjizat atau justru mendatangkan hukuman atas kaumnya, tetapi ia tidak bersama mereka sepanjang waktu. Oleh karena itu, apakah memang Jibril menemani Isa sehingga beliau diangkat ke langit?

Hampir saja hati menjadi tenang dengan tafsiran ini karena dalam kehidupan Nabi Isa terdapat sisi-sisi malaikat di mana beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa yang berupa mukjizat-mukjizat. Bahkan kemampuan beliau sampai pada batas menghidupkan orang-orang mati dengan izin Alloh SWT. Begitu juga, beliau memiliki kemampuan yang luar biasa di mana beliau dengan hanya meniupkan pada suatu tanah, maka tanah itu terbentuk menjadi burung dan ia terbang dengan izin Alloh SWT. Selain itu, Nabi Isa sama sekali tidak mendekati wanita sepanjang hidupnya sehingga beliau diangkat oleh Alloh SWT. Beliau tidak menikah. Ini juga sifat malaikat di mana kita saksikan bahwa sebagian para nabi yang diutus oleh Alloh SWT dan memiliki beberapa wanita bahkan kitab-kitab Yahudi menyebutkan bahwa jumlah istri-istri nabi mereka Sulaiman misalnya, mencapai seribu wanita.

Isa hidup dalam keadaan tenggelam dalam ibadah seperti anak dari bibinya, yaitu Yahya. Jika Yahya khusuk beribadah dan tinggal di gunung dan gurun bahkan dia menginap di gua, maka hal itu adalah hal yang alami baginya, sedangkan Isa hidup justru di tengah-tengah masyarakat kota. Persoalannya adalah, bukan hanya Isa tidak terkait hubungan dengan seorang wanita dan bukan hanya mukjizat-mukjizat yang diperolehnya yang luar biasa yang berhubungan dengan ruh, tetapi yang lebih dari itu adalah, bahwa beliau didukung oleh ruhul kudus sepanjang masa dakwahnya. Tentu itu adalah nikmat yang tak seorang pun dari para nabi sebelumnya diberi. Alloh SWT berfirman:

"(Ingatlah), ketika Alloh mengatakan: 'Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan roh kudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat, dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: 'Ini tidak lain hanya sehir yang nyata.' Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: 'Berimanlah kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.' Mereka nienjawab: 'Kami telah beiiman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).'" (QS. al-Maidah: 110-111)

Ayat-ayat tersebut menyebutkan lima mukjizat Nabi Isa. Pertama, bahwa beliau mampu berbicara dengan manusia saat beliau masih di buaian. Kedua, beliau diajari Taurat dan Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa telah tersembunyi dan telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh orang-orang cerdik dari kaum Yahudi. Ketiga, beliau membentuk tanah seperti burung kemudian meniupkannya lalu tanah itu menjadi burung. Keempat, beliau mampu menghidupkan orang-orang yang mati. Kelima, beliau mampu menyembuhkan orang yang buta dan orang yang belang. Terdapat mukjizat yang keenam yang disebutkan dalam Al-Qur'an al-Karim:

"(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: 'Hai Isa putra Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?' Isa menjawab: 'Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orangyang beriman.' Mereka berkata: 'Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.' Isa putra Maryam berdoa: 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya Aku ahan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.'" (QS. al-Maidah: 112-115)

Mukjizat yang keenam itu adalah turunnya makanan dari langit karena permintaan Hawariyin. Juga terdapat mukjizat yang ketujuh yang terdapat surah Ali 'Imran yaitu beliau diberi kemampuan melihat hal-hal yang gaib melalui panca inderanya meskipun beliau tidak menyaksikannya secara langsung. Oleh karena itu, beliau memberitahu kepada sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka:

"Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu benar-benar beriman. " (QS. Ali 'Imran:: 49)

Inilah mukjizat Nabi Isa yang ketujuh yang didahului oleh mukjizat kelahirannya yang sangat mengagumkan. Beliau lahir tanpa seorang ayah, lalu diikuti mukjizat berikutnya di mana beliau diangkat dari bumi ke langit ketika penguasa yang lalim berusaha menyalibnya. Barangkali pembaca akan bertanya-tanya: mengapa mukjizat-mukjizat seperti ini diperoleh oleh Nabi Isa? Kita mengetahui bahwa mukjizat adalah hal yang luar biasa yang Alloh SWT berikan kepada nabi-Nya. Tetapi pemberian itu menjadi sempuma jika mukjizat itu disesuaikan dengan keadaan zaman diutusnya nabi tersebut sehingga mukjizat itu sangat berpengaruh dalam jiwa kaum dan mampu menggoncangkan hati mereka dan menjadikan mereka berimana kepada pemilik mukjizat ini. Jadi, mukjizat menjadi suatu hal yang luar biasa. Oleh karena itu, Alloh SWT berkehendak agar mukjizat ini sesuai dengan zaman diutusnya nabi tersebut.

Jadi, setiap mukjizat yang dibawa oleh rasul selalu berlain-lainan. Nabi Saleh diutus di tengah-tengah kaum yang melihat bagaimana seekor unta yang melahirkan dari gunung atau mampu membelah batu-batuan gunung. Sedangkan Nabi Musa diutus di tengah-tengah kaum yang gemar memainkan sihir sehingga sihir mendapat tempat istimewa. Oleh karena itu, mukjizat yang dibawa oleh Nabi Musa bentuk lahirnya seakan-akan menyerupai sihir, tetapi pada hakikatnya ia justru menjatuhkan sihir. Mukjizat itu berupa tongkat yang menjadi ular dan kemudian ular itu memakan tongkat-tongkat para tukang sihir.

Lain halnya dengan Nabi Isa, beliau diutus di tengah-tengah kaum materialis yang mengingkari ruh dan hari kebangkitan. Mereka menduga bahwa manusia hanya sekadar tubuh tanpa ruh. Mereka adalah kaum yang meyakini bahwa darah makhluk adalah ruhnya atau jiwanya. Taurat yang ada di tangan Yahudi menyebutkan bahwa tafsir an-Nafst adalah darah. Disebutkan di dalamnya: "Janganlah engkau memakan darah dari tubuh manusia karena jiwa setiap tubuh adalah darahnya. "

Nabi Isa diutus di tengah-tengah kaum yang mereka disesatkan oleh falsafah yang dasarnya mengatakan bahwa penciptaan alam memiliki sumber pertama, seperti sebab dari akibat. Jadi, alam memiliki wujud yang mendahuluinya. Di tengah-tengah masa yang niaterialis ini, di mana ruh diingkari, maka secara logis mukjizat Nabi Isa terkait dengan usaha menunjukkan alam ruhani. Demikianlah Isa dilahirkan tanpa seorang ayah. Mukjizat ini cukup untuk membungkam kaum yang mengatakan bahwa alam memiliki sumber pertama. Jelas bahwa alam tidak memiliki wujud yang mendahuluinya. Kita berada di hadapan Sang Pencipta yang mengadakan sistem bagi segala sesuatu dan menjadikan sebab bagi segala sesuatu. Dia menjadikan proses kelahiran anak berasal dari hubungan laki-laki dan wanita, tetapi Pencipta ini sendiri menciptakan sebab-sebab dan sebab-sebab itu tunduk kepadanya sedangkan Dia tidak tunduk kepada sebab-sebab itu. Dengan kehendak-Nya yang bebas, Dia mampu memerintahkan kelahiran anak tanpa melalui ayah sehingga anak itu lahir. Dan, kelahiran Isa pun terjadi tanpa seorang ayah. Cukup ditiupkan ruh kepadanya:

"Lalu Kami tiupkan ke dalamnya (tubuhnya) roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Alloh) yang besar bagi semesta alam. " (QS. al-Anbiya': 91)

Kelahiran Isa membawa mukjizat yang luar biasa yang menegaskan dua hal: pertama, kebebasan kehendak Ilahi dan ketidak terkaitannya dengan sebab karena Dia adalah Pencipta sebab-sebab, kedua pentingnya ruh dan menjelaskan kedudukannya serta nilainya di antara kaum yang hanya mementingkan fisik sehingga mereka mengingkari ruh. Seandainya kita mengamati sebagian besar mukjizat Nabi Isa, maka kita akan melihatnya dan mendukung pandangan tersebut. Misalnya, mukjizat Nabi Isa yang mampu membentuk tanah seperti burung lalu beliau meniupkannya sehingga tanah itu menjadi burung. Mukjizat ini pun menguatkan adanya ruh. Semula ia berupa tanah yang bersifat fisik yang tidak dapat disifati dengan kehidupan tetapi ketika Nabi Isa meniupnya, maka segenggam tanah itu menjadi burung yang memiliki kehidupan, Sungguh sesuatu yang bukan fisik masuk ke dalamnya. Sesuatu itu adalah ruh. Ruh itu masuk ke dalam tanah sehingga ia menjadi burung. Jadi, ruh adalah nilai yang hakiki, bukan jasad atau fisik. Di samping itu, juga ada mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati. Bukankah ini juga menunjukkan adanya ruh dan adanya hari akhir atau hari kebangkitan. Orang yang mati telah ditelan oleh bumi di mana anggota tubuhnya telah hancur berantakan sehingga ia hampir menjadi tulang-belulang yang hancur lalu al-Masih memanggilnya dan tiba-tiba dia hidup kembali dan bangkit dari kematiannya.

Seandainya orang yang mati hanya berupa fisik sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi, maka ia tidak akan mampu bangkit dari kematiannya karena fisiknya telah hancur tetapi mayit itu mampu bangkit dari kematian. Jasadnya kembali hidup dan ia bangkit dari kuburannya serta berbicara. Jadi, ruh adalah nilai yang hakild. bukan fisik atau jasad. Kalau begitu, di sana terdapat hari kebangkitan dan hari kiamat. Hal ini bukanlah mustahil sebagaimana yang dikatakan orang-orang Yahudi, karena setelah kematian jasad menjadi tanah yang berterbangan di udara. Itu bukan mustahil tetapi mungkin-mungkin saja. Dalil dari hal itu adalah, kebangkitan orang-orang yang telah mati di hadapan mata kepala mereka sendiri. Nabi Isa telah menghidupkan mereka agar kaumya vakin bahwa kiamat fisik akan terjadi dari kematian dan itu adalah benar dan bahwa hari akhir adalah benar.

Juga terdapat mukjizat yang lain, yaitu beliau mampu memberi tahu kaumnya tentang apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka, tanpa terlebih dahulu beliau masuk ke rumah mereka atau dapat bocoran dari seseorang. Mukjizat ini menetapkan bahwa panca indera bukanlah nilai yang hakiki. Nabi Isa tidak melihat apa yang ada di rumah mereka tetapi ruhnya mampu untuk melihat dan berbicara atau memberitahu mereka. Jadi, ruhani adalah nilai yang hakiki, bukan fisik. Demikianlah mukjizat-mukjizat Isa datang untuk memberitahukan pentingnya ruh dan kebebasan kehendak Ilahi. Mukjizat-mukjizat Nabi Isa termasuk dari jenis propagandanya dan sesuai dengan tujuan risalahnya, yaitu dakwah untuk mendidik ruhani dan keimanan kepada hari kebangkitan dan hari kemudian, dan di sana ada kehidupan lain di mana seseorang yang berbuat baik akan dibalas kebaikannya dan orang yang berbuat buruk akan dibalas keburukannya.

Lalu, apakah mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati masih memberikan celah kepada para pengingkar akhirat untuk terus mengingkarinya atau memberikan ruangan kepada penentang hari kebangkitan untuk meneruskan penentangannya? Kami telah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi telah diracuni dengan pikiran ketidakpercayaan atau penentangan pada hari akhirat serta tidak beriman kepada hari akhir, maka menghidupkan orang-orang yang mati yang dibawa atau dikuasai oleh Isa menjadi suatu pukulan telak bagi mereka yang membuat mereka beriman, tetapi mereka masih menentang tanda-tanda kebesaran Alloh.

Nabi Isa menutup lembaran kehidupannya yang lembut dan dan ia mulai berdakwah di jalan Alloh. Beliau didukung oleh ruhul kudus dan mukjizat-mukjizat yang luar biasa. Al-Qur'an al-Karim menceritakan kepada kita bahwa esensi dakwah al-Masih tidak banyak berubah dari esensi dakwah para nabi sebelumnya, yaitu menyuarakan Islam yang intinya adalah menebarkan tauhid yang sempurna hanya serta menyerahkan diri kepada Alloh: "Sembahlah Alloh, Tuhanku dan Tuhan kalian."

Al-Qur'an memberitahu kita bahwa yang mengatakan kalimat tersebut adalah Isa. Kalimat tersebut adalah kalimat yang sama yang pernah disampaikan seluruh nabi, meskipun nama mereka, sifat mereka, mukjizat mereka, baju mereka, bahasa mereka, usia mereka, bentuk mereka, dan warna kulit mereka tidak sama. Mereka semua bersepakat untuk menyuarakan Islam dan hanya menyerahkan diri kepada Alloh SWT serta beriman bahwa Alloh SWT adalah Tuhan mereka dan Tuhan alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang setara dengan-Nya. Dia Maha Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.

Isa tidak mengatakan persoalan tauhid lebih banyak atau lebih sedikit dari apa yang pemah disampaikan oleh para nabi. Al-Qur'an datang kira-kira setelah lima ratus tahun dari pengangkatan Nabi Isa. Alloh SWT, melalui ilmu-Nya yang azali mengetahui apa yang terjadi di tengah-tengah kaum Masehi di mana mereka berselisih tentang hakikat Isa. Oleh karena itu, Al-Qur'an al-Karim berusaha menyingkap dialog mereka yang belum terjadi. Allah SWT berfirman:

"Dan (ingatlah) ketika Alloh berfirman: 'Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?' Isa menjawab: 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: 'Sembahlah Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu,' dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.'" (QS. al-Maidah: 116-117)

Al-Qur'an secara tegas mengatakan bahwa dakwah al-Masih adalah dakwah tauhid. Al-Qur'an ingin mengatakan bahwa al-Masih terlepas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya, yaitu tuduhan bahwa ia anak Tuhan atau ia justru tuhan itu sendiri. "Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: 'Sembahluh Alloh, Tuhanku, dan Tuhanmu."

Nabi Isa pergi berdakwah di jalan Alloh SMT. Inti dakwahnya adalah, bahwa tidak ada perantara antara Pencipta dan makhluk; tidak ada perantara antara seorang penyembah dan yang disembah. Alloh SWT menurunkan kitab Injil kepada Nabi Isa. Ia adalah kitab suci yang datang untuk membenarkan Taurat dan berusaha menghidupkan syariatnya yang pertama. Injil adalah cahaya, petunjuk, dan peringatan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi Isa ingin meluruskan tafsiran orang-orang Yahudi terhadap syariat di mana mereka menyampaikan tafsir dari syariat itu secara harfiah dan sesuai dengan kepentingan mereka. Nabi Isa menenangkan orang-orang yang yang menjaga syariat bahwa ia tidak datang untuk menghilangkan syariat, tetapi ia datang untuk menyempurnakannya dan menyelesaikan tugas para nabi. Namun Isa lebih menekankan pada penafsiran esensinya, bukan kepada bentuk lahiriahnya.

Nabi Isa memberi pengertian kepada orang-orang Yahudi bahwa sepuluh wasiat yang dibawa oleh Isa mengandung makna-makna yang lebih dalam dari apa yang mereka bayangkan. Wasiat yang keenam bukan hanya melarang pembunuhan materi, sebagaimana yang mereka pahami tetapi juga menyangkut penindasan dan usaha rnencelakakan orang lain. Sedangkan wasiat yang ketujuh bukan hanya melarang zina (dalam pengertian terjadinya hubungan antara laki-laki dengan perempuan melalui cara-cara yang tidak sah), tetapi zina berarti segala bentuk perbuatan yang menjurus kepada dosa. Misalnya, ketika mata diarahkan kepada lawan jenis disertai syahwat dan hasrat seksual, maka itu pun berarti zina. Nabi Isa berkata: "Sesungguhnya lebih baik bagi manusia untuk menghindarkan matanya dari sesuatu yang dapat menghancurkannya daripada ia harus hancur dengan mata itu sendiri. Syariat yang dibawa oleh Isa melarang untuk melanggar sumpah dan janji Nabi Isa memberi pengertian kepada kaumnya bahwa hendaklah mereka tidak melakukan sumpah palsu karena merupakan "kesalahan besar jika nama Alloh dibuat main-main di atas mulut-mulut manusia." (Injil Mata 21 sampai 48).

Dakwah Nabi Isa juga berbenturan dengan arus materialisme yang sangat mendominasi masyarakat saat itu. Oleh karena itu, beliau mengingatkan manusia dari perbuatan munaflk, pamrih, tamak, dan gila pujian. Begitu juga beliau mengingatkan mereka dari sifat rakus terhadap kekayaan dunia; beliau mengingatkan agar jangan sampai mereka menimbun harta di dunia. Yakni, hendak lah mereka tidak memfokuskan perhatian mereka pada urusan-urusan duniawi semata yang sifatnya tidak abadi. Tetapi hendaklah rnereka memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal yang bersifat samawi (ukhrawi) karena itu bersifat abadi.

Nabi Isa memberitahu kepada masyarakatnya agar mereka menjadi orang-orang yang teliti saat memilih gaya hidup mereka karena pada gilirannya akal mereka akan menjadi cermin darinya. Kecenderungan manusia itu terkait kuat dengan hatinya. Jika hati tertuju kepada cahaya langit, maka kehidupan manusia akan tampak bersinar tetapi jika hati tertuju pada kegelapan dunia, maka kehidupannya pun tampak gelap. Nabi Isa mengingatkan kaumnya dari sikap pamrih dan cinta dunia. Beliau mengajak mereka untuk teliti dalam memilih majikan yang mereka mengabdi kepadanya karena manusia tidak dapat mengabdi kepada dua majikan dalam satu waktu. Boleh jadi ia akan menjadikan harta sebagai majikannya, atau boleh jadi ia akan menjadikan Alloh SWT sebagai tuannya. Jika ia menyembah harta, maka berarti ia jauh dari penyembahan terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, hendaklah manusia menjauhi dunia, seperti makanan dan pakaian di mana mereka akan dikuasai oleh kegelisahan dan ketidaktenangan serta keraguan tentang penjagaan Alloh SWT kepada mereka. Alloh SWT telah berjanji untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya dalam kehidupan. Ketika timbul kegelisahan dan keraguan pada diri mereka, maka itu dikarenakan keraguan mereka terhadap penjagaan Alloh SWT dan ketidakpercayaan mereka kepada janji-janjinya dan rahmat-Nya serta bimbingan-Nya. Alloh SWT-lah yang menciptakan mereka dan Dia pula yang menjamin kehidupan mereka dan melindungi mereka. Bahkan Dia juga melindungi makhluk yang paling kecil urusannya seperti burung di langit dan kumbang-kumbang di kebun.

Nabi Isa memberitahu kaumnya bahwa hanya memperhatikan dunia adalah hal yang salah, yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Itu adalah sikap para penyembah berhala karena penyembah berhala tidak mengetahui apa yang lebih baik darinya, sedangkan orang-orang yang beragama mengetahui bahwa di sana terdapat bimbingan Ilahi yang mengajak mereka untuk percaya kepada Alloh SWT dan tidak begitu peduli dengan dunia. Alloh SWT mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka lebih daripada apa yang mereka ketahui; Alloh SWT akan melindungi mereka dan akan menjamin kehidupan mereka. Karena itu, yang layak bagi mereka adalah, hendaklah mereka memohon agar diberi kekuasaan Alloh SWT dan kebaikan dari-Nya. Yakni kehidupan ruhani dan apa yang dikandungnya dari kebahagiaan abadi.

Di samping itu, Nabi Isa menasihati mereka agar jangan terlalu pusing dengan kejadian-kejadian yang akan datang dan persoalan-persoalan esok hari karena esok hari sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jika kebutuhan dan penderitaan datang silih berganti, maka bantuan dan perlindungan Ilahi pun terus datang silih berganti. Dakwah Nabi Isa juga berbenturan dengan dualisme yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Kita saksikan sebagaimana mereka suka mendapatkan kebaikan yang ditujukan kepada diri mereka, maka mereka pun biasa untuk melakukan kejahatan kepada orang-orang lain. Demikianlah, kehidupan orang-orang Yahudi dicemari sikap dualisme ini. Nabi Isa mewasiatkan kepada manusia agar mereka memperlakukan sesama mereka sesuai dengan akidah yang mengatakan:"Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri"

Nabi Isa terus melangsungkan dakwahnya dan mengajak manusia untuk menyembah Alloh SWT serta tidak menyekutukan-Nya, sebagaimana beliau juga mengajak manusia untuk membersihkan dan menyudkan ruhani serta hati dan berasaha memasuki kerajaan langit. Dakwah Nabi Isa itu sangat memukul kalangan para pendeta Yahudi. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Nabi Isa bagaikan senjata yang siap menerpa wajah mereka dan menyatakan peperangan terhadap mereka serta menyingkap kedok kemunafikan mereka. Mula-mula pemerintahan Romawi tidak turut campur dalam masalah tersebut karena mereka melihat bahwa itu hanya sekadar perselisihan internal antara kelompok-kelompok Yahudi. Bagi mereka, selama orang-orang Yahudi sibuk dengan masalah mereka sendiri dan tidak peduli dengan kekuasaan, mereka pun tidak turut campur.

Kemudian para pendeta Yahudi mulai merancang suatu persekongkolan untuk menyingkirkan Isa. Mereka ingin mengusir Isa dan membuktikan bahwa Isa datang untuk menghancurkan syariat Musa. Syariat Musa memutuskan untuk merajam wanita yang berzina. Para pendeta Yahudi menghadirkan wanita yang salah yang berhak dirajam. Mereka berkumpul di sekeliling Isa dan bertanya kepadanya: "Tidakkah syariat menetapkan untuk merajam wanita yang bersalah?" Isa menjawab: "Benar," Mereka berkata: "Ini adalah wanita yang bersalah." Isa memandang wanita itu dan ia pun melihat para pendeta Yahudi. Isa mengetahui bahwa para pendeta Yahudi lebih banyak kesalahannya daripada wanita tersebut. Para pendeta itu menunggujawaban Isa. Jika ia mengatakan bahwa wanita itu tidak berhak dibunuh, maka berarti ia menentang syariat Musa, dan jika ia mengatakan bahwa ia berhak dibunuh, maka ia justru menghancurkan dirinya sendiri yang membawa syariat cinta dan toleransi. Nabi Isa memahami bahwa ini adalah persekongkolan. Beliau tersenyum dan wajahnya tampak bercahaya. Kemudian beliau melihat para pendeta Yahudi dan wanita itu sambil berkata: "Barangsiapa di antara kalian yang tidak memiliki kesalahan, maka hendaklah ia merajam wanita itu."

Suara beliau yang keras itu memecahkan keheningan tempat penyembahan. Beliau menetapkan peraturan baru yang berhubungan dengan hukum yang dijatuhkan kepada orang yang ber-buat salah. Hendaklah orang yang tidak berbuat salah menghukum orang yang salah dan tidak berhak seseorang pun dari kalangan manusia untuk menghukum orang yang bersalah jika ia sendiri bersalah, tetapi yang menghukumnya adalah Alloh SWT yang Maha Suci dan Maha Tinggi dan Alloh SWT adalah Maha Pengasih di antara yang mengasihi.

Nabi Isa keluar dari tempat penyembahan itu. Tiba-tiba, wanita itu mengejar dari belakangnya. Lalu wanita itu mengeluarkan dari pakaiannya satu botol dari minyak yang berharga. Ia berdiri di depan Isa dan menjatuhkan dirinya di atas kedua kaki Isa lalu menciumnya dan membasuhnya dengan minyak wangi dan air mata. Setelah itu, ia mengeringkan kedua kakinya dengan rambutnya. Bagi wanita itu, al-Masih mempakan harapan terakhir yang dapat menyelamatkannya. Lalu keluarlah dari belakang Isa seorang tokoh pendeta Yahudi. Ia berdiri menyaksikan pemandangan tersebut dan ia merasa kagum terhadap kasih sayang Isa. Isa melihat kepadanya dan bertanya; "Seorang kreditor yang memiliki dua orang debitor, salah satunya berhutang lima ratus dinar dan yang lain lima puluh dinar." Pendeta itu berkata: "Ya." Isa berkata: "Tak seorang pun dari mereka berdua yang merniliki uang yang cukup untuk melunasi uangnya. Lalu si kreditor memaafkan mereka dan membebaskan mereka dari hutang." Pendeta berkata: "Ya." Kemudian Isa bertanya: "Siapa di antara mereka yang paling senang kepada kreditor itu?" Pendeta menjawab: "Tentu yang berhutang lebih besar.'' Isa berkata: "Benar apa yang engkau ucapkan. Lihadah wanita ini. Aku telah masuk ke rumahmu tetapi engkau tidak memberikan kepadaku air agar aku dapat membasuh wajahku, tetapi wanita itu membasuh kedua kakiku dengan air mata lalu ia mengusapnya dengan rambut kepalanya. Begitu juga engkau tidak memberikan ciuman kepadaku tetapi wanita ini tidak merasa puas dengan hanya mencium kedua kakiku. Jadi, hatimu sungguh sangat keras tetapi hati wanita itu dipenuhi dengan rasa cinta. Maka barangsiapa yang banyak mencintai niscaya kesalahan-kesalahannya akan diampum." Kemudian Isa menoleh ke wanita itu dan memerintahkannya untuk bangkit dari tanah sambil berkata: "Ya Alloh, ampunilah wanita ini dan hilangkanlah kesalahan-kesalahannya."

Nabi Isa berusaha menyadarkan para pendeta Yahudi bahwa para dai yang menyeru di jalan Alloh  SWT bukanlah algojoalgojo yang bengis yang menerapkan hukum syariat tanpa melihat keadaan masyarakat yang bersalah, tetapi mereka datang dan membawa ajaran Alloh SWT yang merupakan ajaran yang penuh dengan rahmat kepada manusia. Jadi, rahmat adalah tujuan semua dakwah Ilahi ini. Bahkan diutusnya para nabi itu sendiri mengandung rahmat Alloh SWT terhadap kaum mereka.

Isa terus berdoa kepada Alloh SWT agar merahmati kaumnya. Beliau menyuruh kaumnya agar menyayangi diri mereka sendiri dan beriman kepada Alloh SWT. Kehidupan Nabi Isa menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam ibadah. Mu'tamar bin Sulaiman berkata, sebagaimana diri wayatkan Ibnu 'Asakir: "Nabi Isa menemui kaumnya dengan memakai pakian dari wol. Beliau keluar dalam keadaan tidak beralas kaki sambil menangis serta wajahnya tampak pucat karena kelaparan dan bibimya tampak kering karena kehausan. Nabi Isa berkata, "salam kepada kalian wahai Bani Israil. Aku adalah seseorang yang meletakkan dunia di tempatnya sesuai dengan izin Alloh SWT, tanpa bermaksud membanggakan diri. Apakah kalian mengetahui di mana rumahku?" Mereka menjawab: "Di mana rumahmu wahai Ruhullah?"

Nabi Isa menjawab: "Rumahku adalah mesjid, wewangianku adalah air makananku adalah rasa lapar, pelitaku adalah bulan di waktu malam dan salatku di waktu musim dingin di saat matahari terletak di timur, bungaku adalah tanaman-tanaman bumi, pakaianku terbuat dari wol, syiarku adalah takut kepada Tuhan Yang Maha Mulia, teman-temanku adalah orang-orang yang fakir, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang miskin. Aku memasuki waktu pagi dan aku tidak mendapati sesuatu pun di rumahku begitu juga aku memasuki waktu sore dan aku tidak menemukan sesuatu pun di rumahku. Aku adalah seseorang yang jiwanya bersih dan tidak tercemar. Maka siapakah yang lebih kaya daripada aku?"

Isa terus melakukan dakwahnya. Ia didukung oleh mukjizat dari Alloh SWT. Nabi Isa mampu membuat bentuk burung dari tanah kemudian ia meniupnya, maka tanah itu menjadi burung dengan izin Alloh SWT. Selain itu, ujung bajunya yang sederhana jika tersentuh orang yang sakit, maka orang itu akan sembuh. Bahkan jika Isa meletakkan tangannya di atas mata orang yang buta atau orang yang terkena sakit belang niscaya ia akan sembuh. Jadi, Nabi Isa didukung oleh mukjizat yang luar biasa. Bahkan beliau mampu menghidupkan orang-orang yang mati dari kuburan mereka sehingga mereka keluar dalam keadaan hidup dengan izin Alloh SWT.

Para ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa menghidupkan empat orang. Pertama, al-Azir yaitu temannya. Kemudian dua orang anak laki-laki dari seorang tua, dan seorang anak perempuan satu-satunya dari seorang ibu. Mereka adalah tiga orang yang mati di zaman Nabi Isa. Ketika orang-orang Yahudi melihat hal tersebut, mereka berkata: "Engkau menghidupkan orang-orang yang mati dan kematian mereka tidak lama .Barangkali mereka tidak mati tapi mereka sekadar mengalami keadaan tidak sadarkan diri atau mati suri. Lalu mereka meminta kepada Nabi Isa untuk membangkitkan Sam bin Nuh dari kematiannya.

Para ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa bertanya kepada mereka, "Di manakah kaum kuburan Sam bin Nuh?" Mereka keluar bersama Isa sehingga mereka mencapai kuburan. Lalu Nabi Isa berdoa kepada Alloh SWT agar menghidupkan orang yang mati di situ. Sam bin Nuh keluar dari kuburannya, dan rambut dikepala-nya tampak beruban. Isa berkata kepadanya: "Bagaimana rambut di kepalamu bisa beruban, sementara di zamanmu kau tidai. ada uban," Sam berkata: "Ya Ruhullah, aku mendengar engkau berdoa untukku lalu aku mendengar suara yang mengatakan, aku akan mengabulkan wahai Ruhullah. Aku mengira bahwa kiamat telah tiba. Karena takutnya kepada hal itu sehingga rambut di kepalaku beruban."

Apa pun yang dikatakan berkaitan dengan cerita itu yang menyebutkan tentang bagaimana Nabi Isa menghidupkan orang-orang yang mati, namun kita tidak mengetahui konteks Al-Qu'ran serta perincian-perincian yang menjelaskan hal tersebut. Alloh SWT hanya menyebutkan bahwa Isa menghidupkan orang-orang yang mati dengan izin-Nya. Kita percaya bahwa Nabi Isa mampu menghidupkan mereka tetapi kita tidak mengetahui apakah mereka mati kembali setelah dihidupkan atau mereka sempat menjalani kehidupan selama beberapa saat. Nabi Isa terus berjalan di jalan Alloh SWT. Beliau membuat bagi mereka apa yang disebut dengan hukum ruh. Beliau menaiki gunung dan para sahabat-sahabatnya berdiri di sekitarnya. Nabi Isa melihat orang-orang yang beriman kepadanya yang terdiri dari orang-orang yang fakir, orang-orang yang menderita, dan orang- orang yang sedih. Jumlah mereka sedikit sebagaimana lazimnya jumlah para pengikut nabi.

Gunung diliputi dengan awan tipis dan turunlah hujan gerimis. Isa mulai berbicara: "Sungguh beruntung bagi orang-orang miskin karena mereka memiliki kerajaan langit. Beruntunglah orang-orang yang sedih karena mereka akan menjadi orang-orang yang mulia. Beruntunglah yang diserahi amanat karena mereka akan mewarisi bumi. Beruntunglah orang-orang yang lapar dan haus karena mereka akan dikenyangkan. Beruntunglah orang-orang yang menyayangi karena mereka akan disayangi. Beruntunglah orang-orang yang bersih hatinya karena mereka akan melihat Alloh SWT. Beruntunglah orang-orang yang tertindas demi mempertahankan kebenaran karena mereka akan mendapatkan kerajaan langit. Kalian adalah garam bumi jika garam telah rusak, maka siapa gerangan yang dapat mengembalikannya menjadi garam kembali." Renungkanlah kedalaman ungkapan dari Nabi Isa, "kalian adalah garam bumi."

Garam adalah sesuatu yang memberikan rasa yang khusus dan tanpa garam makanan akan menjadi hambar. Yakni, tanpa orang-orang mukmin, maka cita rasa kehidupan terasa tidak bermakna; tanpa kehadiran orang-orang Muslim dan perbuatan mereka yang ikhlas terhadap Alloh SWT akan tampak kehidupan sangat berat dan tidak berarti. Di samping itu, kehadiran manusia sebagai khalifah Alloh SWT di muka bumi pun sia-sia, dan keagungan manusia sebagai hamba Alloh SWT pun tidak bermakna, dan pada gilirannya kehidupan akan dipenuhi dengan kejahatan dan keburukan.

Alloh SWT teiah mewahyukan kepada "garam bumi" agar mereka beriman kepada Nabi Isa. Alloh SWT berfirman:

"Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang setia: 'Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.' Mereka menjawab: 'Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).'"(QS. al-Maidah: 111)

Al-Hawariyin mengakui kebenaran ajaran Nabi Isa dan mereka menyatakan keislaman kepadanya, sebagaimana ratu Saba' mengakui kebenaran ajaran Nabi Sulaiman dan menyatakan keislaman padanya, dan sebagaimana semua para nabi menyatakan keislaman. Hakikat ajaran para nabi terbatas kepada pernyataan keislaman dan semua nabi menyeru kepada jalan tauhid dan jalan Islam. Islam dalam pandangan kami memiliki makna yang lebih dalam daripada tauhid. Pengakuan seseorang terhadap Alloh SWT dan keimanan akan keesaan-Nya dalam menciptakan makhluk tidak mencegah orang itu untuk berbuat dosa, sedangkan keislaman atau penyerahan hati dan anggota badan serta pemikiran kepada Alloh SWT merupakan suatu tingkatan sedikit lebih tinggi. Ini adalah tingkat kepatuhan orang-orang yang patuh dan puncak ketauhidan orang-orang yang bertauhid. Itu adalah keserasian antara tindakan dengan pikiran, yaitu usaha manusia untuk menghindari kesalahan dan memurnikan amal hanya untuk Alloh SWT. Al-Qur'an al-Karim memberitahu kita bahwa Alloh SWT menyampaikan wahyu kepada al-Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada Rasul-Nya Isa.

Marilah kita renungkanlah sejenak tentang wahyu Alloh SWT terhadap Hawariyin. Kita mengetahui bahwa Alloh SWT mewahyukan kepada manusia dan kepada makhluk-makhluk lainnya. Alloh SWT berfirman:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada lebah..." (QS. an-Nahl: 68)

Yang dimaksud dengan wahyu di sini adalah memberikan ilham kepada makhluk agar mereka menuju ke jalan fitrahnya yang telah Alloh SWT gariskan di atasnya sehingga mereka mencapai jalan kesempurnaan. Tidakkah Anda ingat tentang jawaban Nabi Musa terhadap pertanyaan Fira'un:

"Fir'aun berkata: 'Siapakah Tuhan kamu berdua wahai Musa. " (QS. Thaha: 49)

"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinsa petunjuk. " (QS. Thaha: 50)

Makna di sana dan di sini sama. Makna yang sama tersebut diterapkan kepada kaum Hawariyin di mana wahyu Alloh SWT terhadap mereka berupa pemberian ilham kepada mereka demi kebaikan mereka dan kebahagiaan mereka, dan wahyu ini tidak bertentangan dengan ikhtiar mereka dan usaha mereka serta keinginan mereka, bahkan tidak bertentangan dengan kebebasan mereka. Alloh SWT telah melihat hati mereka yang dipenuhi dengan kebaikan. Dia melihat mereka sebagai garam bumi, maka Alloh SWT mewahyukan kepada mereka agar beriman kepadanya dan rasul-Nya sehingga mereka pun beriman dan mereka pun bersaksi bahwa mereka orang-orang yang berserah diri atau Muslim.

Tampaknya kaum Hawariyin menyembunyikan keimanan mereka sehingga Isa merasakan kekufuran kaumnya semakin menjadi-jadi lalu Isa memanggil mereka: "Siapakah di antara kalian yang menolong aku menuju jalan Alloh SWT?" Allah SWT berfirman:

"Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah dia: 'Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan (agama) Alloh?' Para Hawariyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: 'Kamilah penolong-penolong (agama) Alloh. Kami beriman kepada Alloh; dan sahsikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi.'"(QS. Ali 'Imran: 52-53)

Nas Al-Quran menunjukkan bahwa Nabi Isa mengajak mereka untuk mengikuti Islam sehingga mereka pun berserah diri; nas Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Isa menyampaikan kabar gembira dengan kedatangan seorang rasul yang datang setelahnya yang bernama Ahmad. Dikatakan dalam Al-Qur'an:

"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: 'Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu, membenarkan kitab yang turun sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).' Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: 'Ini adalah sihir yang nyata.'" (QS. Shaff: 6)

Kita tidak mengetahui secara pasti kapan Nabi Isa menyampaikan kabar berita tentang kedatangan seorang rasul ini yang datang setelah masanya, yaitu Ahmad saw. Apakah kabar berita itu beliau sampaikan dipermulaan pengutusannya kepada manusia, atau apakah beliau menyampaikan kabar itu pada akhir masa dakwahnya dan sebelum beliau diangkat ke langit? Tetapi melihat konteks Al-Qur'an tampaknya kabar berita tersebut itu disampaikan di permulaan dakwahnya, sebagaimana firman-Nya: "Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: 'lni adalah sihir yang nyata.'"

Kata ganti (dhamir) dalam ayat tersebut kembali kepada Nabi Isa. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi Isa menyampaikan kabar gembira dengan datangnya Muhammad atau Ahmad ketika Alloh SWT mengutus kepada kaumnya. Kemudian terjadilah di hadapan Nabi Isa berbagai macam mukjizat yang luar biasa seperti penghidupan orang yang mati, peniupan tanah, dan sebagainya. Ketika Nabi Isa datang membawa bukti-bukti yang jelas ini, maka mereka menuduhnya bahwa ia membawa sihir. Nabi Isa mengetahui bahwa tuduhan semacam ini telah dialamatkan kepada sebagian besar para nabi sebelumnya. Beliau juga mengetahui bahwa nabi yang terakhir pun akan mendapatkan tuduhan yang sama. Oleh karena itu, nabi yang mulia itu tetap berdakwah di jalan Alloh SWT dan tidak peduli dengan tuduhan kaumnya yang mengatakan bahwa beliau membawa sihir.

Kemudian pertentangan antara Nabi Isa dan Bani Israil semakin meningkat. Mereka adalah orang-orang yang hatinya keras, yang membeku di hadapan kebenaran. Isa datang kepada mereka dan menghancurkan segala pemikiran mereka dan kehidupan mereka serta sistem mereka. Sesungguhnya dakwah Nabi Isa terfokus kepada kebenaran, kedamaian dan keadilan dan pada saat yang sama mengumumkan peperangan terhadap kehidupan orang-orang yang lalim yang telah menjauhi kebenaran. keadilan, dan kedamaian. Injil Mata menyebutkan melalui lisan Isa: "Jangalah kalian mengira bahwa aku membawa kedamaian ke muka bumi. Aku tidak datang hanya membawa kedamaian tetapi aku datang membawa pedang."

Kalimat tersebut menyiratkan hakikat yang penting dari hakikat dakwah para nabi. Para nabi adalah pejuang sejati di mana senjata yang mereka gunakan di medan peperangan beraneka ragam. tetapi mereka pada hakikatnya adalah pejuang. Mereka memulai peperangan mereka dengan satu pemikiran yaitu suatu tekad mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Alloh SWT. Pemikiran itu tentu berbenturan dengan kepercayaan akan tuhan-tuhan yang diyakini oleh manusia, baik tuhan-tuhan yang terbuat dari emas atau batu. Pemikiran itu sangat mengganggu ketenangan orang-orang yang lalim atau penguasa yang bengis serta sangat melawan kepentingan mereka, sehingga para raja dan para penguasa seperti biasanya bergerak menentang nabi kecuali orang yang mendapatkan petunjuk dari Alloh SWT. Para pembesar dari kalangan kaum nabi menentang nabi. Al-Mala' adalah para pembesar sebagaimana telah kami jelaskan dalam kisah Nabi Nuh dan sesudahnya. Kemudian Nabi terus melangsungkan peperangan mewujudkan tekadnya: Nabi meletakkan dasar peperangannya dengan menyampaikan ketuhanan Alloh SWT.

Setelah meneguhkan dasar yang kuat ini, Nabi menetapkan keadilan. Tak seorang pun berhak untuk menghinakan seseorang atau menjadikannya sebagai budak karena penghambaan hanya pantas ditujukan kepada Alloh SWT. Manusia adalah sama di antara mereka sehingga tidak berhak seseorang untuk memanfaatkan kekuatan manusia untuk membangun kejayaan pribadinya atau unruk memperkaya dirinya dengan merugikan orang lain, atau menghancurkan hak-hak mereka atau berbuat buruk terhadap mereka dalam berbagai bentuknya. Jadi, inti dakwah para nabi berarti mengganti dan mengubah sistem yang rusak yang didirikan oleh para pembesar kaumnya. Kalau begitu, ia adalah dakwah yang menyatakan peperangan dan karena itu seseorang nabi harus membava senjata. Setelah meneguhkan pemikiran tersebut, dimulailah peperangan. Seorang nabi menggunakan pedang. Ia berlindung di balik senjata dan senjata yang dimiliki oleh setiap nabi berbeda-beda.

Mula-mula seorang nabi tidak menggunakan senjata apa pun dalam peperangannya selain berusaha untuk membangkitkan akal. Lalu peperangan semakin meningkat sehingga nabi terpaksa untuk menggunakan senjata. Para musuh memaksanya untuk menggunakan senjata sehingga para nabi pun menggunakan senjata. Di sini setiap nabi mempunyai senjata yang berbeda-beda. Terkadang senjata seorang nabi berupa mukjizat yang dapat menghentikan langkah dan menghancurkan mereka seperti taufan (kisah Nabi Nuh) atau angin (kisah Nabi Hud), dan terkadang senjata para nabi adalah mukjizat yang membantunya untuk mengalahkan musuh-musuhnya secara pasti seperti ditundukkannya jin dan burung baginya (kisah Nabi Sulaiman) dan senjata nabi berupa mukjizat yang menyelamatkannya dari tipu daya musuh seperti berubahnya api menjadi sesuatu yang dingin dan membawa keselamatan (kisah Nabi Ibrahim) dan terkadang senjata nabi yang luar biasa yang memperkuat dakwahnya seperti menghidupkan orang-orang yang mati (kisah Nabi Isa) dan terkadang senjata nabi berupa pedang yang dipegang di tangannya saat ia melangsungkan peperangan dan mempertahankan dakwahnya (kisah Nabi Muhammad saw).

Jadi, senjata para nabi berbeda-beda, baik dalam bentuk kualitas maupun kapasitasnya. Alloh SWT mengetahui kondisi mereka lebih dari apa yang kita ketahui sehingga Alloh SWT sangat tepat ketika memilihkan senjata untuk setiap nabi. Dan tak seorang nabi pun yang tinggal di suatu tempat sementara ia tidak berjuang dan tidak bergerak dan tidak mengalami penderitaan dari kaumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan kadar kesabaran para nabi dan perjuangan mereka dalam menyampaikan dakwah di jalan Alloh SWT, mereka layak untuk mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Alloh SWT.

Isa bin Maryam telah menyampaikan bahwa beliau adalah seorang pejuang yang membawa senjata. Kata-katanya sendiri berusaha menghancurkan masyarakat yang keras, masyarakat yang bodoh. Masyarakat di zaman Nabi Isa berdiri di atas kesalahan, kesyirikan, kebohongan, kemunafikan, meterialisme, pamrih, kelaliman dan tidak ada kebebasan. Maka melalui kalimat-kalimatnya, Nabi Isa menghancurkan semua ini. Nabi Isa memberitahu kaumnya bahwa dakwahnya di jalan Alloh SWT bukan terfokus pada dakwah kedamaian tetapi dalam hal-hal tertentu dakwahnya pun berisi pernyataan perang. Sesuatu menjadi tidak bernilai ketika tidak berusaha dipertahankan oleh yang bersangkutan sampai tetes darah penghabisan. Timbulnya pemikiran-pemikiran, nilai-nilai dan prinsip-prinsip tidak hanya bersandar kepada idealismenya tetapi nilainya justru bersandar kepada usaha keras yang dikerahkan oleh para pembawanya dalam rangka mempertahankannya. Tanpa peperangan dan mengangkat senjata dakwah para nabi akan menjadi pemikiran-pemikiran yang sekadar idealisme yang tidak akan menghentikan seseorang pun dan tidak akan membangkitkan seseorang pun.

Kita mengetahui bahwa sebagian besar nabi berhadapan dengan kelompok besar dari masyarakat yang menentangnya dan berusaha memeranginya. Mula-mula mereka mengejeknya dan pada akhirnya mereka berusaha untuk membunuhnya. Kita mengetahui bahwa para nabi berusaha mati-matian untuk memperjuangkan kebenaran yang dibawanya. Melalui kisah para nabi, kita mengetahui bahwa bagaimana serangan masyarakat, para pembesar, dan para penguasa terhadap para nabi tetapi pada saat yang sama kita seakan-akan tidak melihat bagaimana serangan para nabi terhadap mereka. Penjelasan dari hal itu sangat mudah. Peperangan yang dibangkitkan oleh kebatilan atas para nabi didukung oleh alat-alat yang canggih dan sangat kuat di mana mereka memiliki berbagai macam sarana untuk menjatuhkan para nabi, sedangkan para nabi hanya menyandarkan kekuatan dari yang Maha Benar, yaitu Alloh SWT; kekuatan yang tidak berdasarkan pada sebab-sebab tertentu atau tidak peduli dengan tuduhan-tuduhan atau kegaduhan.

Para nabi hanya terus melangsungkan dakwahnya yang berdasarkan kepada usaha membangkitkan akal dan hati serta menvucikan ruh. Keteguhan sikap para nabi ini bagi musuh-musuh mereka merupakan problem yang besar. Dakwah nabi juga menjamah suatu keluarga di mana seorang ayah dapat beriman sementara seorang anak dapat menentang atau seorang anak dapat beriman sementara si ayah dapat menentang atau seorang istri beriman atau seorang suami kafir atau seorang suami beriman sementara si istri kafir. Perbedaan anak laki-laki dengan ayahnya dan seorang istri dengan suaminya menimbulkan permusuhan di dalam rumah-rumah. Dengan terjadinya hal ini, masyarakat bergerak untuk menentang nabi dan semakin meningkatkan tekanan-tekanan mereka kepadanya sehingga permusuhan dan kebencian mereka kepada nabi semakin meruncing. Mereka pun berusaha untuk melawan nabi itu yang bagi mereka telah memisahkan antara ayah dan anaknya atau ia datang untuk memisahkan seorang anak perempuan dari ibunya.

Kemudian seorang nabi meletakkan suatu undang-undang bagi orang yang mengikutinya, yaitu undang-undang pokok yang membatalkan undang-undang yang tidak sesuai dengannya. Undang-undang ini tampak dalam kalimat nabi: "pertama-tama cinta kepada Alloh dan kemudian cinta kepada nabi dan setelah itu cinta kepada sesama manusia." Makna-makna yang demikian ini tercermin secara jelas dari kalimat-kalimat Isa yang disampaikan oleh Injil Mata pada pasal ke-10.

Al-Masih berkata: "Janganlah engkau mengira bahwa aku datang membawa kedamaian di bumi, aku datang bukan hanya membawa kedamaian tetapi pedang. Aku datang untuk menjadikan seorang anak berbeda dengan ayahnya dan seorang anak perempuan berbeda dengan ibunya sehingga musuh seseorang justru terdapat pada keluarganya. Maka barangsiapa yang mencintai ibunya dan ayahnya lebih dari kecintaannya kepadaku, maka ia tidak berhak mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintai anak laki-lakinya dan perempuannya lebih dariku, maka ia tidak berhak mengikutiku. Meskipun kehidupannya tampak beruntung sebenarnya ia telah rugi, dan barangsiapa yang kehidupannya merugi karena aku, maka sebenarnya ia telah beruntung."

Penjelas Injil mengatakan: "Pemikiran orang-orang Yahudi tentang al-Masih adalah, ketika al-Masih datang, maka semua pengikutnya akan merampas kekayaan dan kejayaan di dunia ini lalu ia hanya memberi mereka ketenangan dan kedamaian. Ketika al-Masih datang, ia menjelaskan kepada para muridnya bahwa hal tersebut tidak benar, karena jika ia datang untuk memberikan kedamaian kepada para pengikutnya, maka mereka akan terancam kelaliman dan mereka akan mati karena tajamnya pedang. Maka hendaklah mereka tidak mengharapkan kedamaian tetapi peperangan; hendaklah mereka tidak mengharapkan keserasian tetapi perpecahan." Demikianlah masyarakat Yahudi terbagi menjadi dua kelompok: kelompok orang-orang yang fakir, orang-orang yang lemah dan orang-orang yang bersih hatinya bersama Isa, sedangkan kelompok mayoritas menentang Isa. Bahkan kelompok mayoritas kafir itu sering menyakiti Isa.

Injil Mata menceritakan penderitaan al-Masih pada pasal ke-11. Ia menceritakan bagaimana kemarahan al-Masih terhadap orang-orang yang tidak mengabdi kepada Yuhana (Yahya) dengan baik atau mengabdi kepadanya secara pribadi dengan baik. Injil Mata menguntip pernyataan Isa sebagai berikut: "Dengan apa aku menyerupakan generasi ini, Sesungguhnya mereka menyerupai anak-anak kecil yang duduk di pasar yang berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka sambil berkata: "Kami telah meniup seruling tetapi kalian tidak menari. Kami mengasihi kalian tetapi kalian tidak menangis." Yuhana telah datang dan tidak makan dan minum tetapi mereka mengatakan, sesungguhnya ia terkena setan. lalu datanglah seorang anak manusia yang makan dan minurn lalu mereka mengatakan, ia adalah seorang yang ahli makan dan ahli minum khamer."

Dokumen itu menunjukkan penderitaan al-Masih dan menyingkap peperangan yang akan dihadapinya. Penderitaan yang dialami oleh hati suci al-Masih adalah sebagai tindakan generasi tersebut di mana beliau diutus di dalamnya sebagai orang yang memberi petunjuk dan menyampaikan berita gembira tentang kerajaan langit. Beliau menyerupakan generasi Yahudi itu dengan anak-anak kecil yang duduk-duduk di pasar sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka sambil berkata: "kami telah meniup seruling tetapi kalian tidak menari. Kami berbelas kasih kepada kalian tetapi kalian tidak menangis." Al-Masih mengisyaratkan dengan pernyataan itu tentang apa yang diperbuat anak-anak kecil saat mereka bermain-main, di mana biasanya mereka meniru orang-orang yang besar saat mereka bergembira dengan menari-nari dan saat mereka sedih mereka menangis. Demikianlah mereka sangat cepat berubah antara bergembira dan sedih tanpa melalui pertimbangan dan kesadaran. Demikianlah keadaaan orang-orang Yahudi saat mereka mengabdi kepada Yahya, kemudian saat mereka mengabdi kepada al-Masih. Yahya telah datang kepada mereka dalam keadaan menangis, tidak makan dan tidak minum dari apa yang mereka makan dan yang mereka minum. Ia tidak bergaul dengan sembarangan manusia. Telah datang kepada mereka seorang nabi yang ahli ibadah tetapi kebanyakan mereka menolaknya dan mereka mengatakan bahwa ia terkena setan. Kemudian datang kepada mereka al-Masih di mana ia makan dan minum bersama pada acara walimah dan hari raya lalu mereka pun menolaknya dan mengatakan bahwa ia suka makan dan minum khamer padahal beliau adalah cermin terbesar dalam menghilangkan syahwat dan kesucian yang sempurna.

Alhasil, generasi itu adalah generasi yang main-main Iayaknya anak kecil. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mempengaruhi mereka dan mereka tidak mau bertaubat. Meskipun demikian, di sana terdapat kelompok kecil dari manusia yang terpengaruh dan bertaubat. Dokumen tersebut menunjukkan betapa beratnya penderitaan Isa di tengah-tengah generasi yang sezaman dengannya. Isa mengalami banyak penderitaan dalam menyampaikan dakwahnya. Isa banyak menderita di tengah-tengah kaum yang pikiran mereka belum matang. Mereka tak ubahnya seperti anak-anak kecil yang suka bermain-main. Kaum yang tak tergugah oleh kalimat-kalimat yang baik dan mereka tidak bergerak atau tersentuh ketika menyaksikan mukjizat-mukjizat yang luar biasa.

Alloh SWT kembali memperkuat Isa dengan mukjizat-mukjizat yang mengagumkan. Mukjizat di sini adalah senjata yang diberikan Alloh SWT kepada nabi-Nya agar nabi tersebut menjadi tenteram dan agar menambah keyakinan orang-orang yang beriman kepadanya, sedangkan bagi orang-orang kafir mukjizat tersebut justru menambah kekufuran mereka sehingga Alloh SWT memberikan pembalasan yang setimpal kepada kedua kelompok tersebut. Mukjizat yang Alloh SWT berikan kepada Isa bin Maryam yang lain adalah, Alloh SWT mengabulkan doa Hawariyin dengan menurunkan makanan dari langit. Alloh SWT berfirman:

"(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: 'Hai Isa putra Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?' Isa menjawab: 'Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.' Mereka berkata: 'Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.' Isa putra Maryam berdoa: 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada hami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.' Alloh berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.'" (QS. al-Maidah: 112-115)

Barangkali kita terheran-heran ketika memperhatikan perkataan Hawariyin, "wahai Isa bin Maryam, apakah Tuhanmu mampu?" Mungkin pertama-tama yang terlintas dalam pikiran kita berkenaan dalam ayat tersebut adalah, keraguan Hawariyin terhadap kekuatan atau kekuasaan Alloh SWT. Bagaimana hal itu mampu mereka laku-kan sedangkan mereka adalah murid-murid Isa yang beriman dan berserah diri kepada Alloh SWT? Berkaitan dengan tafsir ayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan, bahwa pertanyaan mereka 'apakah Tuhanmu mampu?' Yakni, berarti apakah Tuhanmu bisa? Kemudian mereka mencarikan alasan yang membenarkan perkataan Hawariyin itu dengan mengatakan bahwa pertanyaan itu dilontarkan saat mereka baru saja mengikuti Isa, sebelum mereka banyak mengetahui Alloh SWT. Oleh karena itu, Isa berkata dalam jawabannya terhadap pertanyaan mereka, bertakwalah kepada Alloh SWT jika kamu benar-benar orang mukmin. Yakni, janganlah kalian meragukan kekuasaan atau kekuatan Alloh SWT.

Qurthubi menampik tafsir ini. Hawariyin adalah para penolong Alloh SWT, sesuai dengan nas Al-Qur'an dan tentu tidak boleh bagi penolong Allah SWT untuk tidak mengetahui kekuatan-Nya, apalagi meragukan kekuasaan-Nya. Sebagian ulama mengatakan bahwa perkataan tersebut dikeluarkan orang-orang yang bersama Hawariyin yang berasal dari Bani Israil dan tidak seorang pun dari Hawariyin yang mengatakan demikian kecuali mereka hanya sekedar menukil perkataan tersebut. Ada pendapat lain lagi yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dibaca 'hal yastathi' rabbuka' tetapi dibaca 'hal tastathi' rabbaka' sebagaimana bacaan Aisyah dan sebagaimana dibaca oleh Nabi. Maknanya, "apakah engkau mampu menghadirkan kekuatan Tuhanmu terhadap apa yang engkau minta." Ada pendapat yang lain mengatakan ia dibaca 'hal tastathi' rabbaka', yakni "apakah engkau mampu untuk berdoa kepada Tuhanmu atau meminta-Nya."

Sebagian kaum sufi berpendapat bahwa kaum Hawariyin bukan tidak mengetahui kekuasaan Alloh SWT tetapi pertanyaan itu justru bersumber dari cinta kepada Alloh SWT dan keinginan menyaksikan kekuasaan Alloh SWT. Sikap mereka ini menyerupai dengan perbedaan tingkatan sikap Nabi Ibrahim as ketika beliau mengatakan:

"Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati?' Alloh berfirman: 'Apakah kamu belum percaya?' Ibrahim menjawab: 'Saya telah percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku.'" (QS. al-Baqarah: 260)

Oleh karena itu, kaum Hawariyin berkata: "Dan hati kami menjadi mantap," sebagaimana Nabi Ibrahim berkata: "Agar bertambah mantap hatiku." Inilah tafsir yang membuat kita puas dan membuat hati kita tenang. Nabi Isa menjawab pertanyaan mereka: 'Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.' Yakni, hati-hatilah kalian dengan banyak bertanya dan menguji Alloh SWT karena kalian tidak mengetahui apa yang boleh kalian minta untuk didatangkan bukti-bukti kekuasaan Alloh SWT. Perkataan Nabi Isa, jika kalian benar-benar beriman terfokus kepada apa yang dibawanya yang berupa mukjizat-mukjizat atau tanda-tanda kebesaran Alloh SWT. Nabi Isa bermaksud untuk mengatakan, sesungguhnya apa yang telah aku bawa dari mukjizat-mukjizat bagi kalian seharusnya sudah cukup membuat hati kalian mantap. "Mereka berkata: 'Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.'"

Kaum Hawariyin menjelaskan kepada Isa sebab pertanyaan mereka ketika beliau melarangnya. Jika Nabi Isa keluar, maka beliau diikuti lima ribu orang atau lebih. Sebagian mereka dari kalangan Hawariyin dan sebagian yang lain campuran di antara pengikutnya dan musuhnya. Dikatakan bahwa mereka berpuasa dan mereka tidak mempunyai makanan, lalu para pengikut berkata kepada kaum Hawariyin, "Tanyalah kepada Isa apakah ia mampu berdoa kepada Tuhannya sehingga diturunkan kepada kita makanan dari langit." Kemudian kaum Hawariyin pergi dengan membawa surat kaum itu kepada Isa. Ketika Isa meminta mereka untuk merasa cukup dengan mukjizat-mukjizat sebelumnya, mereka kembali melontarkan kebenaran permintaan mereka: 'Kami ingin memakan hidangan itu. Mereka adalah orang-orang yang lapar sementara mereka tidak mempunyai makanan. Dan supaya tenteram hati kami.

Hati kaum Hawariyin menjadi tenang seperti tenangnya hati Ibrahim. Dan para pengikut pun merasa hatinya tenang dan mengakui bahwa Isa adalah Nabi yang diutus untuk mereka. Dan hati musuh juga menjadi tenang karena mereka menyaksikan kebatilan mereka sehingga pilihan mereka untuk tidak mengikuti Isa berakibat pada suatu saat mereka akan dimintai pertanggung jawaban.

"Dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami. Yakni kami mengetahui bahwa engkau utusan Alloh. Dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu. Yakni, kami menyaksikan keesaan Alloh dan risalah dan kenabianmu. Dan bagi orang lain yang tidak menyahsikannya, maka kami akan menceritakan kepada mereka peristiwa yang terjadi."

Isa putra Maryam berdoa: 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turimnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kavii dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan Engkaulah Pembeti rezeki Yang Paling Utama.'

Ketika kaum Hawariyin bertanya kepada Isa bin Maram agar diturunkan makanan dari langit, maka Nabi Isa berdiri dan meletakkan pakaian dari kulit wol kemudian beliau melangkahkan kakinya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu beliau menundukkan kepalanya dalam keadaan khusuk dan tunduk kepada Alloh SWT. Kemudian beliau membuka matanya dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya bahkan mencapai dadanya dan berkata: 'Ya Tuhan kami, turunhanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit... Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu.

Lalu turunlah makanan besar dari celah dua awan: satu awan di atasnya satu awan di bawahnya. Saat itu manusia melihatnya. Nabi Isa berkata, "Ya Alloh jadikanlah makanan ini sebagai rahmat dan jangan menjadi fitnah." Lalu turunlah di depan Nabi Isa sapu tangan yang menutupinya kemudian Nabi Isa tersungkur dalam keadaan sujud yang diikuti oleh kaum Hawariyin. Mereka mendapati suatu bau yang harum yang belum pernah mereka temukan sebelumnya.

Nabi Isa berkata, "Siapakah di antara kalian yang paling ikhlas dan paling percaya kepada Alloh SWT agar ia membuka makanan itu sehingga kita bisa makan darinya serta berzikir kepada Alloh SWT atasnya serta bersyukur kepadanya." Kaum Hawariyin berkata: "Wahai Ruhullah sesungguhnya engkau lebih berhak daripada kami dalam hal itu.", maka Nabi Isa berdiri lalu beliau mengambil wudhu dan salat. Kemudian beliau banyak berdoa sambil duduk di sisi makanan itu dan membukanya. Tiba-tiba di atas makanan itu terdapat ikan yang lezat yang tidak ada durinya. Nabi Isa ditanya: "Wahai Ruhullah, apakah ini makanan dari dunia atau dari surga?" Nabi Isa menjawab: "Bukankah Tuhan kalian melarang kalian untuk bertanya pertanyaan semacam ini. Ia turun dari langit dan tidak ada makanan sepertinya di dunia dan ia bukan berasal dari surga tetapi ia adalah sesuatu yang Alloh SWT ciptakan dengan kekuasaan yang luar biasa di mana Dia cukup mengatakan "jadilah, maka jadilah."

Para mufasir berbeda pendapat sekitar bentuk makanan yang diturunkan kepada Isa, apakah itu ikan atau daging? Apakah roti atau buah-buahan? Kami memandang bahwa pembahasan-pembahasan ini kurang penting. Sesuatu yang paling penting yang perlu kita perhatikan adalah apa yang dikatakan oleh Nabi Isa, Sesungguhnya ia diciptakan oleh Alloh SWT dengan kekuasaan yang mengagumkan di mana Dia cukup mengatakan "Jadilah, maka jadilah ia."

Inilah hakikat makanan tersebut. Ia merupakan tanda-tanda kebesaran Alloh SWT yaitu suatu tanda yang Alloh SWT mengancam bagi siapa yang menentangnya Dia akan menyiksanya dengan azab yang belum pernah diterima oleh seseorang pun di dunia. Para ulama berbeda pendapat apakah makanan tersebut memang diturunkan atau tidak, tetapi menurut pendapat mayoritas dan ini yang benar makanan tersebut memang diturunkan, sesuai dengan firman Alloh SWT: "Aku akan menurunkan hidangan itu bagimu. "

Dikatakan bahwa ribuan pengikut Nabi Isa memakannya dan makanan tersebut tidak habis. Setiap orang yang buta ia sembuh dari butanya dan setiap orang yang belang ia sembuh dari belangnya akibat memakan hidangan itu. Alhasil, setelah menyantap makananitu, orang yang sakit sembuh dari penyakitnya. Maka hari turunnya makan itu dijadikan hari raya dari hari raya-hari raya kaum Hawariyin dan para pengikut Nabi Isa. Kemudian berita dan peristiwa turunnya makanan itu mulai hilang dan mulai dilupakan sehingga kita tidak menemukan beritanya hari ini di Injil-Injil yang mereka akui. Setelah peristiwa makanan yang Alloh SWT ceritakan dalam surah al-Maidah, Alloh SWT menunjukkan kepada kita sikap lain dari Nabi Isa bin Maryam. Alloh SWT berkata setelah menceritakan kepada kita tentang turunnya mukjizat makanan dari langit:



Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: 'Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah!' Isa menjawab: 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada rnereka kecuali apa yang Engkau tiepadaku (mengatakan)nya yaitu: 'Sembahlah Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu,' dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.' Allah berfirman: 'lni adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.' Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. " (QS. al-Maidah: 116-120)

Dengan ayat-ayat tersebut, Al-Qur'an menutup surah al-Maidah. Demikianlah konteks Al-Qur'an berpindah secara mengejutkan dari turannya makanan kepada sikap atau dialog antara Allah SWT dan Isa bin Maryam pada hari kiamat. Allah SWT bertanya pada hari kiamat: 'Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?'

Para ahli ilmu sepakat bahwa pertanyaan tersebut bukan bersifat pertanyaan mumi meskipun tampak dalam bentuk pertanyaan karena Allah SWT mengetahui apa yang dikatakan oleh Isa. Tentu yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah sesuatu yang lain. Ada yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud memberitahu Isa bahwa kaumnya telah mengubah ajarannya sepeninggalnya. Dan mereka telah mendapatkan fitnah. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud dari pertanyaan itu untuk mencela orang-orang yang mengubah akidah Nabi Isa setelah beliau tidak ada. Kami kira pertanyaan tersebut memuat dua makna dan mencakup makna yang lain.

Allah SWT ingin menyingkap dan memberitahu manusia dalam Kitab-Nya yang terakhir bahwa Nabi Isa terlepas dari berbagai macam tuduhan, dan apa saja yang dilakukan kaumnya sepeninggalnya. Konteks AI-Qur'an menunjukkan tentang peristiwa gaib yang belum terjadi meskipun akan terjadi pada hari kiamat. Oleh karena itu, Al-Qur'an menyampaikannya dalam bentuk fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau). Al-Qur'an menyampaikan berita gaib ini kepada penduduk dunia agar mereka mengetahui hakikat Isa bin Maryam.

Alloh SWT bertanya kepadanya dan Isa bin Maryam menjawab. Sebagai nabi besar, Isa tidak menjawab kecuali setelah ia mengatakan: 'Maha Suci Engkau ya Alloh.' Sebelum menjawab, Isa memulai dengan tasbih dan menyucikan Alloh SWT. Nabi Isa menampakkan kepatuhan dan ketundukan kepada kemuliaan Alloh SWT dan rasa takut terhadap azab-Nya. Qurthubi menyampaikan dalam tafsirnya:

"Ketika Alloh SWT berkata kepada Isa, apakah engkau berkata kepada manusia jadikanlah aku dan ibuku tuhan selain Alloh, maka Isa tampak gemetar terhadap perkataan itu sehingga ia mendengar rintihan dari tulang-tulangnya di dalam jasadnya lalu ia berkata: 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Tidak mungkin aku memutuskan sesuatu yang tidak aku miliki, yang diriku tidak dapat melakukannya. Aku hanya seorang hamba, bukan seorang yang disembah: Jika aku pernah mengatakannya maha tentulah Enghau telah mengetahuinya.

Demikianlah Nabi Isa menyampaikan jawabannya kepada Alloh SWT dan ia mengembalikan sesuatu kepada Allah SWT. Dan Alloh SWT Maha Mengetahui terhadap apa yang dikatakannya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.Yakni, Engkau mengetahui apa yang aku sembunyikan sedangkan aku tidak mengetahui apa yang engkau sembunyikan. Engkau mengetahui rahasiaku dan apa yang terlintas dalam hatiku dan aku tidak mengetahui apa yang Engkau sembunyikan dari ilmu gaib-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Hanya Engkau yang tahu terhadap hal-hal yang gaib. Hanya Engkau yang tahu terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah mereka setelah Engkau angkat aku dari bumi: 'Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau kepadaku (mengatakan)nya yaitu: 'Sembahlah Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu.'

Demikianlah kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Isa bin Maryam. Dia hanya mengajak manusia untuk hanya menyembah Alloh SWT dan tidak menyekutukan-Nya: Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka.

Sesungguhnya Engkau mengawasi mereka saat aku tinggal di tengah-tengah mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Al-Wafat dalam Kitab Allah mempunyai tiga bentuk: Pertama, wafat dalam pengertian kematian, sebagaimana firman Alloh SWT:

"Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya." (QS. az-Zumar: 42)

Yakni ketika tercabutnya ajal. Kedua, bahwa wafat adalah tidur, sebagaimana firman Alloh SWT:

"Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari. " (QS. al-An'am: 60)

Yakni yang menidurkan kalian. Ketiga, wafat berarti pengangkatan, sebagaimana firman Alloh SWT:

"Hai Isa, sesungguhnya Aku yang menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku. " (QS. Ali 'Imran: 55)

Demikianlah Isa terbebas dari apa yang mereka katakan dan apa yang mereka nisbatkan kepadanya. Isa mengumumkan bahwa dakwahnya tidak lebih dari sekadar ajakan untuk bertahuid dan tidak keluar dari kerangka Islam yang diakui oleh pengikutnya. Kemudian Isa kembali menyampaikan pembicaraannya dan meminta belas kasihan kepada Alloh SWT: Jika Engkau rnenyiksa mereka, makasesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Tidak seorang pun dari makhluk yang mempunyai kekuasaan di atas-Mu dan tidak ada Pencipta selain-Mu. Maha Suci Engkau dan tiada sekutu bagi-Mu dalam kerajaan dan kekuasaan. Pada akhirnya, mereka adalah hamba-Mu dan seorang hamba tidak memiliki apa-apa di hadapan tuannya kecuali kepatuhan: Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'

Isa tidak mengatakan jika Engkau mengampuni mereka, maka Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Jadi, jawaban Isa terfokus pada penyerahan diri dan kepatuhan serta tunduk kepada kemuliaan Alloh SWT dan kebesaran-Nya. Para pengikut Nabi Isa adalah hamba-hamba Alloh SWT yang patuh. Jika Alloh SWT berkehendak, maka Dia akan menyiksa mereka sesuai dengan siksaan yang layak mereka terima, dan jika Dia berkehendak, maka Dia akan mengampuni mereka karena Dia mengetahui karena mereka memang layak untuk mendapatkan ampunan. Dengan penyerahan yang mutlak ini, Isa menyampaikan jawaban atas pertanyaan Alloh SWT dan beliau berlepas diri dari apa yang dikatakan oleh kaumnya sepeninggalnya. Isa menyampaikan—pada awal pembicaraannya—bahwa hanya Alloh SWT yang patut disembah, dan pada akhir pembicaraannya Isa menyampaikan penyerahan dirinya kepada Alloh SWT. Allah berfirman: 'Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.

Alloh SWT memuji ketulusan Isa, dan karena dialog tersebut terjadi pada hari kiamat, Alloh SWT berfirman: "Hari ini adalah hari kiamat di mana orang-orang yang benar akan dapat mengambil manfaat dari kebenaran mereka di dunia. Kebenaran mereka di sana akan mereka temukan balasannya yang berupa rahmat di sini. "Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Alloh ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. "

Demikianlah balasan orang-orang yang benar, surga. Dan ada balasan yang lebih baik dari surga, yaitu kepuasan (ridha) seorang hamba terhadap Alloh SWT dan keridhaan Alloh SWT terhadap hamba. Pengertian kepuasaan seorang hamba adalah kegembiraannya terhadap penyembahan kepada Alloh SWT sedangkan pengertian keridhaan Alloh SWT terhadap hamba-Nya adalah rahmat yang diberikan-Nya kepada mereka: Itulah keberuntungan yang paling besar.' Setelah itu Alloh SWT, memberitahukan hakikat Isa dan seluruh nabi-Nya: "Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." Alloh SWT adalah Penguasa satu-satunya dan Dia Pencipta satu-satunya. Selain-Nya adalah hamba.

Isa terus melangsungkan dakwahnya sehingga kejahatan dan keburukan mengetahui bahwa singgasana mereka terancam hancur. Lalu pasukan keburukan bergerak untuk menangkapnya. Orang-orang Yahudi menyakitinya dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Isa dikatakan sebagai penyihir dan sebagai orang yang mengubah syariat dan mereka menisbatkan kekuatannya yang luar biasa kepada kekuatan setan. Ketika mereka tidak lagi memiliki tipu daya yang dapat melumpuhkan Nabi Isa dan mereka melihat orang-orang yang lemah dan orang-orang fakir berkumpul di sekitarnya, maka mereka mulai membikin suatu, makar. Mereka mempengaruhi orang-orang Romawi.

Mula-mula pemerintahan Romawi tidak turut campur karena menganggap bahwa perselisihan-perselisihan antara orang-orang Yahudi adalah perselisihan yang terjadi demi memperebutkan kepentingan sesama mereka. Lalu diadakanlah majelis Sanhadurim (yaitu majelis undang-undang tertinggi dari kalangan Yahudi). Mereka berkumpul untuk membuat persekongkolan demi menyingkirkan Isa. Persekongkolan itu mengambil bentuk yang baru.

Ketika orang-orang Yahudi tidak mampu memerangi Nabi Isa, mereka berpikir untuk membunuhnya. Mulailah para ketua pendeta Yahudi bermusyawarah untuk membuat suatu kesimpulan tentang cara yang mereka lakukan untuk menangkap Nabi Isa yang tidak menirnbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.

Ketika para kepala Yahudi bermusyarah, maka salah seorang dari murid al-Masih yang dua belas pergi kepada mereka, yaitu Yahuda al-Iskhriyutha. Ia berkata kepada mereka, "Apa yang kalian berikan jika aku berhasil menyerahkannya kepada kalian."

"Meja penghianatan telah digelar di antara mereka dan dimulailah perundingan. Orang-orang Yahudi berusaha mencari titik temu dan mereka sepakat untuk memberinya tiga puluh lempeng dari perak. Ini adalah harga yang biasa mereka lakukan untuk membeli seorang budak sesuai dengan syariat Yahudi." (penjelasan Injil Mata)

Selesailah konspirasi yang menetapkan untuk menangkap al-Masih dan kemudian membunuhnya. Dikatakan bahwa kepala pendeta Yahudi merobek-robek bajunya secara dramatis di suatu pertemuan agama dan ia berteriak, "sungguh Isa telah kafir." Pero bekan baju dalam tradisi orang-orang Yahudi dilakukan ketika mereka mendengar atau melihat sesuatu yang mengandung penghinaan terhadap Allah. Para pendeta Yahudi tidak memiliki kekuasaan untuk menetapkan hukum bunuh pada saat itu. Semua itu dilakukan oleh kekuasaan penguasa Romawai. Tetapi tampaknya mereka berhasil meyakinkan kekuasaan Romawi bahwa Isa telah membuat rencana untuk melengserkan kekuasaan Romawi atau mereka berhasil meyakinkan penguasa Romawi bahwa masalah yang mereka hadapi murni berkaitan dengan tradisi mereka dan keyakinan mereka. Kemudian mereka menyarankan agar penguasa tidak turut campur atas apa yang mereka tetapkan. Demikianlah konspirasi itu telah ditetapkan dan telah diputuskan bahwa Isa harus ditangkap dan kemudian disalib.

Empat Injil yang diakui oleh kalangan Masehi saat ini membicarakan tentang proses pembunuhan Isa di mana beliau disalib kemudian beliau bangkit dari kematiannya dan naik ke langit. Semua Injil ini sepakat tentang proses pengyaliban Isa dan kematiannya, sebagaimana mereka sepakat tentang tabiat Isa yang mengandung ketuhanan yang bercampur dengan tabiatnya sebagai manusia. Kami akan menyampaikan keyakinan orang-orang Masehi berkaitan dengan Isa sebagaimana diyakini oleh mayoritas kaum Nasrani saat ini, kemudian kami akan mengemukakan keyakinan Islam tentang Isa sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an al-Karim dan disampaikan oleh para ulama dan disebutkan dalam hadis. Setelah itu, kita akan membicarakan hal-hal yang perlu dibicarakan berkaitan hubungan antara kaum Muslim dan kaum Masehi serta kaitannya dengan akidah mereka.

Injil Mata mengatakan, "Isa ditangkap dan majelis Sanhadirummemutuskan bahwa ia harus dibunuh. Kemudian para anggota mejelis itu dari kepala-kepala para pendeta dan para tokoh mereka menghinanya dan mengejeknya serta berbuat aniaya terhadapnya bahkan mereka meludahi wajahnya dan menempelengnya. Sambil mengejek mereka berkata, "beritahukanlah wahai al-Masih siapa yang memukulrnu." Setelah itu al-Masih ditangkap dan ia ditetapkan untuk dibunuh.

Adalah sudah menjadi tradisi di kalangan orang-orang Romawi untuk mencambuk orang yang ditetapkan untuk dibunuh sebelum pelaksaan hukum tersebut. Oleh karena itu, para penguasa Romawi menetapkan agar al-Masih dicambuk terlebih dahulu. Sedangkan syariat Musa menetapkan agar cambukan itu tidak melebihi empat puluh kali, namun orang-orang Romawi tidak berhenti pada batasan ini bahkan mereka terus mencambuk korban dengan cambukan yang kejam dan terus-menerus sehingga punggung yang bersangkutan hampir saja patah dan napasnya nyaris tinggal sedikit. Setelah itu, mereka mulai melaksanakan hukum bunuh kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh tentara terhadap penyelamat kita. (Injil Mata 26)

Selesailah proses pecambukan, lalu penguasa Romawi menyerahkan Isa kepada tentara agar mereka menyalibnya. Kemudian para tentara membuat sesuatu hal yang bermaksud untuk menghibur. Mereka mencabut pakaian Isa yang dilumuri dengan darah yang ada luka di tubuhnya setelah proses pencabukan, lalu mereka memakaikan pakaian merah dengan maksud untuk mengejeknya. Para raja biasanya memakai pakaian merah. Mereka terus menghinanya. Mereka memakaikannya mahkota dari duri dan meletakkannya di atas kepalanya. (Injil Mata 26)

Akhirnya, mereka sampai pada suatu tempat yang bernama Jaljatsah, yaitu suatu tempat di luar pagar Ursyilim. Tradisi Yahudi menetapkan untuk memberi satu gelas khamer yang bercampur dengan minyak wangi bagi orang yang ditetapkan untuk dihukum mati sebelum pelaksanaan hukum. Ini dimaksudkan sebagai alat pembius untuk meringankan penderitaannya. Tetapi para tentara menentang tradisi ini dan mereka memberi al-Masih satu gelas dari cuka yang bercampur dengan sesuatu yang pahit." (Injil Mata 26)

Teks Injil mata mengatakan (cetakan tahun 1972) pada pasal kedua puluh tujuh: "Sehingga mereka sampai ke suatu tempat yang bernama Jaljatsah lalu mereka memberinya minuman keras yang bercampur dengan empedu agar ia meminumnya. Ketika ia merasakannya, ia enggan untuk meminumnya. Kemudian mereka menyalibnya. Kemudian mereka duduk di sana menjaganya dan meletakkan di atas kepalanya suatu tuduhan yang tertulis: Ini adalah Yasu', penguasa Yahudi. Mereka benar-benar menyalibnya bersama Yasim. Salah seorang dari keduanya di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Lalu orang-orang yang lewat di tempat itu mencelanya dan berkata, "wahai yang menghancurkan tempat sembahan dan yang membangunnya pada tiga hari, selamatkanlah dirimu dan jika engkau adalah anak Alloh, maka turunlah dari tempat penyaliban itu."

Demikianlah sebagian riwayat kaum Masehi tentang proses penyalipan serta penafsiran mereka berkaitan dengannya. Kami telah menukilnya tanpa memperhatikan tentang catatan yang terdapat dalam Injil Mata yang terbaru, yaitu ia merupakan catatan yang paling baik dalam bentuknya yang terkumpul dari ulama-ulama mereka dan tokoh-tokoh agama Masehi sehingga ia lebih mudah untuk dipahami dan lebih sederhana. Kami telah mengemukakan sebagiannya kepada Anda dalam halaman-halaman ini.

Sementara itu, dalam akidah Islam disebutkan suatu riwayat yang berbeda dengan riwayat yang ada dalam Injil-Injil yang terdapat sekarang, baik yang berhubungan dengan kehidupan akhir yang dialami oleh Isa maupun tabiat Isa yang merupakan sumber perselisihan setelah pengangkatannya. Al-Qur'an al-Karim menceritakan bahwa Alloh SWT tidak menghendaki Bani Israil untuk membunuh Isa atau menyalibnya tetapi Alloh SWT menyelamatkannya dari kekufuran mereka lalu mengangkatnya di sisi-Nya. Mereka tidak berhasil membunuhnya dan tidak berhasil menyalibnya tetapi ia diserupakan seperti orang-orang di antara mereka. Alloh SWT berfirman:

"Dan karena ucapan mereka: 'Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Alloh,' padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah arang yang diserupakan dengan Isa bagi meeha. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidah mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Alloh telah mengangkat Isa kepadanya." (QS. an-Nisa': 157-158)

Dan Alloh SWT juga berflrman:

"(Ingatlah), ketika Alloh berfirman: 'Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan karnu pada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir. " (QS. Ali 'Imran: 55)

Para ulama-ulama Islam sepakat atas hal itu dan mereka berselisih pendapat tentang cara beragumentasi terhadap apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sebagian mereka meyakini nas-nas Al-Qur'an saja yang menyebut tentang Isa al-Masih dan mereka tidak mendukungnya atau memperkuatnya dengan kitab-kitab lain selain Al-Qur'an. Kedua metode tersebut memiliki titik kekuatan tersendiri. Orang yang berpegangan dengan pendapat yang pertama mengatakan bahwa Nabi melarang untuk membahas kitab-kitab pegangan kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Bagi kaum itu agama mereka dan bagi kita agama kita dan hanya Alloh SWT yang akan memutuskan segala perselisihan di antara kita pada hari kiamat.

Sedangkan orang-orang yang berpegangan dengan cara yang kedua mengatakan bahwa larangan Nabi tersebut terjadi pada permulaan masa Islam di mana kaum Muslim sangat dekat dengan masa jahiliah. Nabi memerintahkan mereka agar tidak disibukkan dengan kitab-kitab lain selain kitab mereka, yakni Al-Qur'an. Yang demikian ini dimaksudkan agar mereka memiliki akidah yang kuat dan keyakinan mereka benar-benar tertanam dalam diri mereka, Tetapi ilmu dan pandangan ilmiah menetapkan bahwa seorang yang alim harus banyak menggali kitab-kitab kuno dalam rangka mengetahui kebenaran dan jika ia mendapati sesuatu yang sesuai dengan apa yang didapatinya dengan kebenaran, maka hatinya akan lebih merasa tenang dan damai. Berkaitan dengan kelompok yang pertama yang merasa cukup dengan Al-Qur'an, kita tidak menemukan perincian-perincian yang mendalam berkenaan dengan usaha penangkapan Isa, bagaimana proses pengangkatannya ke langit, di mana Isa diserupakan dengan salah seorang di antara mereka, bagaimana dia diserupakan dengan salah seorang di antara mereka. Alloh SWT telah menyerupakannya dengan salah seorang di antara mereka sedangkan Nabi Isa diangkat ke langit. Demikianlah penjelasan singkat mereka, tidak ada penambahan lagi. Sedangkan kelompok yang kedua, mereka melontarkan kisah secara lengkap. Mereka mengatakan bahwa Alloh SWT menyerupakan Isa dengan Yahuda. Yahuda ini adalah Yahuda al-Askhariyutha yang menurut Injil ia menjualnya kepada musuh-musuhnya dan menunjukkan kepada mereka tentang keberadaannya. Ia adalah seorang muridnya yang terpilih. Demikian ini sesuai dengan Injil Barnabas di mana disebutkan di dalamnya: "Ketika para tentara mendekat bersama Yahuda di tempat yang di situ terdapat Yasu', maka Yasu' mendengar kedatangan segerombolan orang yang menuju tempatnya. Oleh karena itu, ia segera pergi ke rumah dalam keadaan takut. Di dalam rumah itu terdapat sebelas orang yang tidur. Ketika Allah melihat bahaya akan mengancam hamba-Nya, maka Dia merintahkan Jibril, Mikail, dan Rafail (Israfil), serta Idril (Izrail) yang mereka semua adalah para utusan-Nya untuk mengambil Yasu' dari dunia. Lalu datanglah malaikat-malaikat yang suci di mana mereka mengambil Yasu' dari pintu yang dekat dengan arah selatan. Mereka membawanya dan meletakkannyadi langit yang ketiga dengan disertai para malaikat yang selalu bertasbih kepada Alloh selama-lamanya. Yahuda masuk secara paksa ke kamar yang di situlah Yasu' diangkat ke langit. Saat itu murid-murid sedang tidur semuanya, lalu Alloh mendatangkan keajaiban yang luar biasa di mana Yahuda berubah cara berbicaranya dan juga wajahnya. Ia sangat mirip sekali dengan Yasu' sehingga kami mengiranya Yasu'. Adapun ia (Yahuda) setelah membangunkan kami, ia mencari-cari di mana si guru berada. Oleh karena itu, kami merasa heran dan kami menjawab, "bukankah engkau wahai tuanku guru kami, apakah sekarang engkau telah melupakan kami?" Demikianlah kisah yang terdapat dalam Injil Barnabas. Alloh SWT berfirman:

"Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang Sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan." (QS. al-Maidah: 75)

Para ulama berkata, "Al-Masih dinamakan al-Masih karena ia mengusap bumi dan membersihkannya serta usahanya untuk menyelamatkan agama dari fitnah di zaman itu karena saking hebatnya kebohongan orang-orang Yahudi kepadanya dan bagaimana usaha mereka untuk menciptakan dusta padanya dan kepada ibunya as." Banyak ulama yang meriwayatkan tentang kesucian spiritual dari Nabi Isa. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau menceritakan tentang al-Masih sebagai berikut: "Isa melihat seorang lelaki yang mencuri lalu ia berkata: "Wahai si fulan apakah engkau mencuri?" Orang itu berkata: "Tidak, demi Allah aku tidak mencuri," Isa berkata: "Aku beriman kepada Alloh SWT dan pengelihatanku telah berbohong." Ini menunjukkan kesucian ruhani Isa di mana ia lebih memilih sumpah orang itu atas apa yang disaksikannya. Ia membayangkan bahwa orang tersebut tidak akan bersumpah dan membawa nama Alloh SWT yang Maha Besar lalu ia berdusta sehingga ia menerima pernyataannya dan ia kembali kepada dirinya sendiri sambil berkata: "Aku beriman kepada Alloh SWT, yakni aku mempercayaimu dan mataku telah berbohong karena engkau telah bersumpah." Ada riwayat lagi yang mengatakan bahwa suatu hari Nabi Isa berjalan bersama sahabatnya dan mereka melewati bangkai anjing yang busuk baunya, lalu sahabat-sahabat Isa sangat terpukul dan sangat menderita dengan bau anjing itu. Melihat sikap mereka, Isa berkata: "Lihatlah betapa putih giginya."

Isa ingin mengajari manusia bagaimana mereka menghadapi keburukan di mana Nabi Isa menekankan agar mereka lebih melihat kepada keindahan dan kebaikan. Dakwah Nabi Nabi Isa merupakan puncak dari ketinggian ruhani dan idealisme yang mengagumkan di mana Beliau lebih menekankan kebaikan daripada keburukan. Rasulullah berkata: "Semua para nabi adalah saudara, agama mereka satu sedangkan mereka dilahirkan dari berbagai macam ibu dan aku adalah manusia yang utama begitu juga Isa bin Maryam di mana tidak ada nabi setelahku dan sesudahnya." Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Islam sangat memberikan penghormatan kepada Isa yang sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu nabi ulul azmi yang besar. Islam menamakannya Rasulullah dan Kalimatullah yang telah diberikan kepada Maryam. Alloh SWT berfirman:

"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah hamu mengatakan terhadap Alloh kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Alloh dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Alloh dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: '(Tuhan itu) tiga.' Berhentilah dari ucapan itu. (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Alloh Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Alloh untuk menjadi Pemelihara. Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Alloh, dan tidak (pula enggan) malaikat malaikat yang terdekat (kepada Alloh). Barangsiapa yang enggan dari menyernbah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Alloh akan mengumpulkan mereka semua kepadanya. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Alloh akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Alloh akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari Alloh. "(QS. an-Nisa': 171- 173)

Ibnu Katsir berkata dalam Qhisasul Anbiya': Para pengikut Nabi Isa berselisih pendapat setelah Nabi Isa diangkat ke langit. Sebagian mereka mengatakan, di tengah-tengah kita ada hamba Alloh SWT dan rasul-Nya (Ariyus). Sebagian lagi mengatakan, dia adalah Alloh. Yang lain lagi mengatakan, dia adalah anak Alloh. Mereka berselisih pendapat tentang Injil yang menyebutkan berbagai kebo hongan di mana terdapat di dalamnya penambahan, pengurangan, dan pergantian. Al-Qur'an al-Karim telah membahas persoalan ketuhanan. Ia menjelaskan bahwa Alloh SWT Maha Suci dari segala sekutu dan anak dan segala hal yang menyerupai-Nya serta segala bentuk ingkarnasi, kejauhan, kedekatan dan pencapaian pandangan mata. Alloh SWT berfirman:

"Katakanlah: "Dia-lah Alloh, YangMahaEsa.'Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. " (QS. al-Ikhlash: 1-4)

Dan tentang Isa as Alloh berfirman: "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Alloh menciptakan Adam dari tanah, kemudian Alloh berfirman kepadanya: 'Jadilah' (seorang manusia), maka jadilah ia." (QS. Ali 'Imran: 59)

"Mereka (orang-orang kafir) berkata: Alloh mempunyai anah.' Maha Suci Alloh, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Alloh; semua tunduk kepadanya. Alloh Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya: 'Jadilah', lalujadilah ia." (QS. al-Baqarah: 116-117)

"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu putra Alloh' dan orang-orang Nasrani berkata: Al-Masih itu putra Alloh.' Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Mereka dilaknat oleh Alloh; bagaimana mereka sampai berpaling?" (QS. at-Taubah: 30)

Nas tersebut mengisyaratkan akidah orang-orang Mesir dan orang-orang seperti mereka dari umat-umat yang terdahulu di mana akidah mereka terfokus pada keyakinan penyaliban Isa, tentang tebusan dan kebangkitan Tuhan yang disembelih serta penentangannya terhadap para pengikutnya setelah kematiannya.

Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Alloh itu ialah al-Masih putra Maryam.' Katakanlah: 'Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendah Alloh, jika Dia hendak membinasakan al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?' Kepunyaan Allohlah kerajaan langit dan bumi dan apayang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dihehendaki-Nya. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Maidah: 17)

"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Alloh salah seorang dari yang tiga,' padahal sekali-kali tidak ada selain dari Tuhan YangEsa." (QS. al-Maidah: 73)

Demikianlah Al-Qur'an al-Karim menyebutkan sikap berbagai aliran yang saling berlawanan yang tumbuh setelah pengangkatan al-Masih. Al-Qur'an menjelaskan bahwa al-Masih adalah hamba Alloh SWT dan seorang rasul yang diutus kepada Bani Israil. Kata hamba dan rasul adalah kata yang sangat jelas artinya, adapun yang dimaksud dengan al-Kalimah dan ar-Ruh, maka kedua kata tersebut perlu dijelaskan. Kaum Muslim memahami bahwaal-Kalimah adalah petunjuk Allah SWT yang diberikan-Nya kepada Maryam sedangkan ar-Ruh adalah menunjukkan atau mengisyaratkan kepada Ruh Kudus, yaitu Jibril as. Allah SWT telah menguatkannya atau menguatkan Nabi Isa dengan ruh yakni Jibril:

"Dan (ingatlah) ketiha Aku dukung kamu dengan Ruhul Kudus." (QS. al-Maidah: 110)

Setelah mengemukakan keyakinan kaum Masehi tentang karakter Nabi Isa dan akhir dari kehidupannya dan setelah menjelaskan kebenaran yang Alloh SWT ceritakan kepada kita tentang karakter tersebut dan akhir dari kehidupan yang dialami oleh Nabi Isa, kita ingin mengetahui apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslim dalam hubungan mereka dengan orang-orang Masehi serta keyakinan mereka. Islam menetapkan atau menyampaikan nas-nas yang jelas yang mengkhususkan agama Masehi—di antara agama-agama yang lain—dengan kecintaan. Al-Qu'ran mengingkari ketuhanan al-Masih; ia juga mengingkari penyaliban dan tebusan dosa yang dilakukannya. Namun Al-Qur'an menegaskan dalam nasnya bahwa agama Nasrani merupakan agama yang lebih dekat kecintaannya kepada Islam. Alloh SWT berfirman:

"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.' Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri." (QS. al-Maidah: 82)

Alloh SWT memuji para pengikut al-Masih yang berjalan di atas petunjuknya. Alloh SWT berfirman:

"Dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah (keadaan tidak menikah dan mengurung diri di biara) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencarai keridhaan Alloh." (QS. al-Hadid: 27)

Tidak terdapat kontradiksi dari dua sikap tersebut. Pengingkaran Al-Qur'an terhadap ketuhanan al-Masih dan pengakuannya terhadap kecintaan kaum Nasrani serta pujiannya terhadap orang-orang yang mengikuti Nabi Isa mengandung makna lebih dari satu: Pertama, bahwa Masehi berdasarkan pada agama Tauhid dan sangat sulit bagi para pengikutnya untuk meninggalkan tauhid, dan hanya Alloh SWT yang mengakui hakikat apa yang terpendam dalam hati; kedua, dalam kalangan orang-orang Nasrani terdapat para pendeta dan para rahib yang tidak bersikap congkak di hadapan Alloh SWT tetapi mereka sangat patuh dan tunduk kepadanya; ketiga, sebagian pengikut Nabi Isa memiliki hati yang dipenuhi dengan kasih sayang dan rahmat. Tentu rahmat dan kasih sayang tersebut tidak tumbuh kecuali dari keimanan terhadap hari akhir. Alloh SWT telah menetapkan perintah-Nya kepada kaum Muslim agar mereka memperlakukan ahlul kitab dengan perlakuan yang mulia dan baik, sebagaimana Islam menjamin kebebasan untuk menentukan keyakinan pada setiap manusia. Alloh SWT berfirman:

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (QS. Yunus: 99)

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah." (QS. al-Baqarah: 256)

"Katakanlah: 'Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidah kita sembah kecuali Alloh dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Alloh. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Alloh).'" (QS. Ali 'Imran: 64)

Kita perhatikan bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang cara memperlakukan kaum Masehi sebagai individu sebagaimana ia berbicara tentang bagaimana kita memperlakukan keyakinan mereka. Sehubungan dengan kaum Masehi sebagai individu, kita menyaksikan ayat-ayat tersebut memerintahkan untuk membalas kecintaan yang mereka perlihatkan di mana nas tersebut dengan tegas mengatakan bahwa mereka lebih dekat kecintaannya kepada orang-orang yang beriman. Jika Alloh SWT yang menegaskan hal tersebut, maka orang-orang Muslim harus membalas kebaikan dan kecintaan yang ditunjukkan oleh kaum Nasrani. Adapun sehubungan dengan keyakinan mereka, di dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang melarang untuk memaksa manusia dalam bentuk apa pun. Alloh SWT berfirman:

"Dan katakanlah: 'Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir." (QS. al-Kahfi: 29)

Yang demikian itu, karena keimanan yang didahului dengan paksaan adalah bukan keimanan karena ia berarti mencabut ikhtiar atau kebebasan manusia, padahal itu adalah syarat dari keimanan. Dan barangkali inilah yang menunjukkan kesempumaan Islam dilihat dari sikapnya yang demikian indah. Kami kira tanpa kita harus memaksakan tafsiran kita kepada ayat-ayat tersebut dan memohon kepada Alloh SWT dari kesalahan dan kebodohan bahwa Islam dengan sikapnya itu ingin menjauhkan para pengikutnya dari kalangan awam dari perdebatan yang panjang dan melelahkan seputar keyakinan orang lain. Tentu perdebatan tersebut tidak akan berujung dan akan menjadi seperti debat kusir saja. Namun tugas tersebut hanya diemban oleh para ulama, di mana mereka membahas sebagaimana mereka kehendaki berbagai keyakinan-keyakinan keberagamaan, sedangkan orang-orang awam tidak diberi tanggung jawab dalam hal itu. Lagi pula, perselisihan antara keyakinan dan aliran-aliran di kalangan Masehi dan kalangan Yahudi jika melibatkan orang-orang awam, maka itu hanya memboroskan waktu dan hanya membuat lelah saja.

Islam akan kembali menjadi asing dan akan kembali menjadi asing seperti pertama kali terbit. Dalam suasana keasingan Islam yang pertama, orang-orang Muslim berhasil membangun suatu individu Muslim yang kokoh. Dan ketika bangunan tersebut telah selesai, maka sempurnalah pembangunan pemerintahan Islam. Kita tidak mendengar bahwa salah seorang di antara mereka terlibat dalam perdebatan yang sengit yang tidak berujung sekitar keyakinan orang lain. Sesungguhnya memberi petunjuk kepada orang lain sehingga orang tersebut engetahui jalan menuju Alloh SWT adalah perbuatan yang indah, tetapi hidayah tersebut didahului dengan tekad seseorang untuk memberikan petunjuk kepada dirinya sendiri. Seandainya orang-orang Islam membimbing mereka menuju jalan Alloh SWT niscaya Alloh SWT memberi petunjuk melalui mereka siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.

Al-Qur'an menetapkan dua mukjizat kepada Nabi Isa yang tidak disebutkan dalam kitab Injil: pertama mukjizat yang berupa pembicaraannya saat ia masih menyusui dibuaian. Dan yang kedua mukjizat makanan yang turun dari langit kepada kaum Hawariyin. Sebagaimana Al-Qur'an menetapkan kemuliaan yang diperoleh oleh Nabi Isa saat ia diselamatkan dari tangan-tangan jahat orang-orang Yahudi yang ingin menyiksanya atau membunuhnya sehingga Nabi Isa terselamatkan dan dia diangkat ke langit. Rasulullah saw mewasiatkan kepada sahabatnya agar mereka memperlakukan orang-orang Masehi dengan penuh kebaikan, bahkan beliau menikahi Maria al-Qibthiya. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang lelaki dari Bani Salim bin Auf yang bernama al-Hasin mempunyai dua orang anak yang masih Kristen, lalu ia masuk Islam dan bertanya kepada Rasulullah saw bagaimana seandainya ia harus memaksa kedua anaknya untuk memeluk Islam sedangkan mereka berdua menolak agama lain selain agama Masehi? Kemudian Alloh SWT menurunkan ayat yang berbunyi:

"Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam)." (QS. al-Baqarah: 256)

Ketika para utusan Najran dari kalangan kaum Masehi datang ke Madinah untuk berunding dengan Nabi, maka beliau memberi mereka setengah dari mesjidnya agar mereka dapat melaksanakan salat dengan cara mereka di dalamnya. Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri untuk melakukan salat kepada seseorang jenazah lalu dikatakan kepadanya bahwa ia adalah jenazah Yahudi. Kemudian Rasulullah menjawab: "Bukankah ia adalah manusia." Dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang mengganggu secara aniaya seorang Yahudi atau seorang Nasrani, maka aku akan jadi musuhnya pada hari kiamat." Terkadang kekuasaan akan langgeng meskipun disertai dengan kekufuran tetapi ia tidak akan abadi ketika disertai dengan kelaliman.

Para ulama Islam berselisih pendapat berkaitan dengan keadaan Nabi Isa setelah pengangkatannya. Mereka sepakat bahwa beliau tidak disalib tetapi Alloh SWT mengangkatnya di sisi-Nya. Tetapi ketika ia tidak disalib, maka bagaimana keadaannya setelah itu: apakah ia masih hidup, ataukah ia mati seperti matinya nabi yang lain? Mayoritas mengatakan bahwa Alloh SWT mengangkat Isa dengan fisiknya dan ruhnya di sisi-Nya. Mereka mengambil zahir dari firman-Nya:

"Tetapi Alloh mengangkatnya di sisi-Nya." (QS. an-Nisa': 158)

Juga sebagian hadis yang mendukung hal tersebut. Sementara itu, kelompok yang lain dari kalangan mufasirin, dan ini adalah kelompok yang minoritas, mereka mengatakan bahwa Nabi Isa hidup sehingga Alloh SWT mematikannya sebagaimana Dia mematikan nabi-nabi-Nya lalu Dia mengangkat ruhnya di sisi-Nya sebagaimana ruh para nabi diangkat, begitu juga ruh para shidiqin (orang-orang yang benar) dan syuhada. Mereka mengambil zahir firman-Nya:

"(Ingatlah) ketika Alloh berfirman: 'Hai ha, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir." (QS. Ali 'Imran: 55)

Kami sendiri lebih memilih pendapat yang pertama karena ia sangat sesuai—sebagai mukjizat yang luar biasa—dengan kelahiran Isa di mana kelahiran tersebut dipenuhi dengan mukjizat yang luar biasa, juga sesuai dengan kehidupannya dan kesuciannya. Jadi, kedua-duanya merupakan mukjizat yang luar biasa...

 

(mukjizat Nabi Muhammad)


معجزت النبي محمد صلى الله عليه واله وسلم


عمومی اصطلاح میں تو معجزات نبوی سے مراد حضرت محمد صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کے معجزات ہیں مگرمعجزہ کا کسی بھی نبی کے ہاتھ سے سرزد ہونا اس نبی کر معجزہ کہلائے گا۔یعنی نبی کے ہاتھ سے صادر ہونے والا ایسا کام جو دوسروں کی عقل کو عاجز کر دے اور اسکاکوئی توڑ پیش نہ کیاجاسکے اور نہ ہی اسکا کوئی جواب دیاجاسکےمعجزات نبوی ہونگے۔ معجزات نبوی کو کئی درجہ بندیوں میں تقسیم کر سکتے ہیں۔

نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کا سب سے بڑا معجزہقرآن پاک ہے۔جس میں آج تک کوئی تبدیلی نہیں آئی۔قرآن کے رموز واسرار پر کتابیں لکھی جا سکتی ہیں۔

قرآن کریم کی رو سےترميم
علماء کے مطابق قرآن کریم کی سورۃ القمر کی پہلی آیت میں نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کے معجزات کا ذکر ہے۔ یعنی شق القمر کا۔ کفار کے مطالبے پر نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے انگلی کے اشارے سے چاند کو دو ٹکڑے کر دیا تھا۔
روایات کے مطابقمعراج شریف کا سفر آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کا ایک شاندار معجزہ ہے۔آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم براق پرتشریف فرماہوئے اور بیت المقدس پہنچے وہاں سب انبیاءعلیھم السلام کی امامت کرائی، پھر ساتوں آسمانوں کی سیر اوراﷲ تعالی سے ملاقات کے بعد زمین پر تشریف لے آئے۔ لوگوں نے پوچھافلاں قافلہ جو مکہ اور بیت المقدس کے درمیان میں ہے کس جگہ تھا؟؟آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے جومقام بتایا قافلے نے واپسی پر اسی رات کو اس مقام پر قیام کی تصدیق کر دی۔
احادیث اور تاریخ کے مطابقترميم
احادیث اور تاریخ میں نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کی پیدائش سے وصال سے بہت سے معجزات درج ہیں۔

شق صدرترميم
نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کے قلب مبارک کو فر شتوں نے کئی بار آب زم زم سے دھویا۔ اسے واقعہ شق صدر کہا جاتا ہے۔

دیگر معجزاتترميم
نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کی دائی حلیمہ سعدیہ جب مکے آرہی تھیں تو انکا گدھا سب سے رک رک کر چل رہا تھا۔ دائی حلیمہ کے شوہر کو ڈانٹتے کہ گدھا تیز چلاؤ۔ جب یہ قافلہ واپس آ رہاتھا اور محسن انسانیت صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم دائی حلیمہ کی گود میں تھے تویہی مریل گدھا سب سے آگے بھاگتا تھا۔ نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کی برکت سے دائی حلیمہ کے قبیلے بنواسد میں جب یہ مبارک بچہ پہنچ گیا تو اس قبیلے کے جانوروں کے تھن ایسے ہوگئے جیسے جاگ گئے ہوں، برتن بھربھرکر دودھ جیسے امڈنے لگا۔دوسرے قبائل کے لوگ اپنے لڑکوں کو ڈانٹتے تھے کہ تم بھی وہیں جانور چراؤ جہاں اس گھرانے کے بچے چراتے ہیں، وہ لڑکے کہتے کہ وہیں تو چراتے ہیں لیکن دودھ اتنا نہیں نکلتا۔انہیں کیا معلوم یہ کسی گھاس یا خوراک کی وجہ سے دودھ نہیں نکل رہا بلکہ یہ تو معجزہ نبوی صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم ہے۔
نبی کریم صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کی پیشن گوئیاں بھی سچ ثابت ہوتی تھیں۔ایک بار آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کعبةاﷲ سے ٹیک لگائے بیٹھے تھے کہ ایک مسلمان نے اپنی کمر دکھائی جو کافروں کے تشدد کے باعث بری طرح جھلس کر زخمی ہو چکی تھی اس نے عرض کیا کہ ان کے لیے بددعا کیجئے۔آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم سیدھے ہو کر بیٹھ گئے اور ارشاد فرمایا کہ اﷲ تعالٰی کی قسم ایک وقت آئے گا کہ صنعا سے حضرموت(عرب کے دو کونے) تک سونے سے لدی پھندی ایک نوجوان عورت تن تنہا سفر کرے گی اور اسے سوائے خدا کے کسی کا خوف نہ ہوگا۔ حضرت سلیمان منصور پوری نے اپنی کتاب ”رحمة اللعالمین“میں ایسی کئی روایات کونقل کیا ہے جن میں کسی نوجوان خاتون کا ذکر کیاگیا ہے جو ایک شتر پر سوار ہو کر تن تنہا صنعا سے حضرموت تک گئی اور اسکے جسم پر سونے کے زیورات گویا لدے ہوئے تھے۔
ہجرت مدینہ کے سفر میں جب سراقہ بن مالک نے آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کوآن گھیراتوآپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے فرمایا سراقہ کیا حال ہوگا جب قیصر و قصرٰی کے کنگن تجھے پہنائے جائیں گے۔ دور فاروقی رضی تعالیٰ عنہ میں جب ایران فتح ہوا تو اس وقت کے بادشاہ لوگ اپنے ہاتھوں میں قیمتی دھاتوں کے کنگن پہنا کرتے تھے، اسی طرح کے کنگن ایران سے مدینہ لائے گئے تو حضرت عمر نے سراقہ بن مالک کو بلوا بھیجااس کے آنے پر اسے بادشاہ کے کنگن پہنائے گئے اور اسکے دونوں بازو کندھوں تک ان قیمتی کنگنوں سے بھر گئے۔
اسی سفر کے دوران جب آپ ام معبد کے خیمے میں پہنچے تو آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم سمیت پورے قافلے کوشدید بھوک لاحق تھی،اس خاتون کے ہاں ایک مریل بکری بندھی تھی۔آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے ارشاد فرمایا کہ ہمیں کچھ کھانے کو دو تو اس نے عرض کی کچھ میسر ہوتاتو مانگنے کی نوبت نہ آتی،اس بکری کے بارے میں استفسار ہوا توام معبد نے کہا اس میں دودھ کاکیاسوال یہ تو چلنے کے قابل ہی نہیں کہ ریوڑ کے ساتھ جاتی۔آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے اس بکری کی کمرپر اپنا دست مبارک پھیرا اور اس خیمے کاسب سے بڑابرتن لا کراس میں دودھ دوہنا شروع کیاگیا۔ مریل بکری جو چلنے سے قاصر تھی دست نبوی صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کے معجزے کے باعث اسکے تھنوں سے نکلنے والے دودھ سے وہ سب سے بڑا برتن لبالب بھرگیا۔
غزوہ احزاب جسے جنگ خندق بھی کہتے ہیں ،اس جنگ سے قبل جب خندق کھودی جارہی تھی توایک بہت بڑا اور سخت پتھر حائل ہوگیا، بہت زور لگایاگیالیکن نہ ٹوٹا۔تب آپ صلی الله علیہ وآلہ وسلم کو اطلاع کی گئی،آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم تشریف لائے اورکدال سے ایک ضرب لگائی، چنگاریاں نکلیں اور آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے فرمایا روم فتح ہوگیا، پھر دوسری ضرب لگائی چنگاریاں نکلیں اور آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے فرمایا ایران فتح ہوگیا پھر تیسری ضرب لگائی اور چنگاریاں نکلیں اور آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے فرمایا خدا کی قسم بحرین کے سرخ محلات میں اپنی آنکھوں سے دیکھ رہاہوں۔ بعد میں آنے والے دنوں میں روم اور ایران تو بہت جلد فتح ہوگئے اور روم کے بھی متعدد علاقے زیراسلام آگئے صرف قسطنطنیہ کا شہر باقی رہ گیا۔اس شہر کو فتح کرنے کے لیے اور نبی علیہ السلام کی پیشین گوئی پوری کرنے کے لیے کم و بیش چودہ بادشاہوں نے لشکر کشی کی اور آٹھ سو سال بعد قسطنطنیہ کا یہ شہر بھی اسلام کا زیرنگیں آ گیااور سچے نبی کی پیشین گوئی پوری ہو گئی۔
غزوہ خندق کے موقع پر جب سب نے پیٹ پر پتھرباندھ رکھے تھے تو ایک صحابی رضی اللہ تعالیٰ عنہ اپنے گھر گئےاور بکری کابچہ ذبح کیااور ساتھ ہی گھر والوں کومیسر آٹے سے روٹیاں پکانے کا کہ کر آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کے پاس حاضرہوئےاور کان مبارک میں عرض کی کہ سات آٹھ افراد کاکھانا تیار ہے تشریف لے آئیے، آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم ساٹھ ستر افراد کے ساتھ پہنچ گئے۔اس صحابی کے چہرے پر پریشانی کے آثار ہویدادیکھ کر آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے ارشاد فرمایا تھالی ہٹائے بغیرسالن نکالتے رہو اور اوپر سے رومال ہٹائے بغیر روٹیاں نکالتے رہواسی طرح اس سات آٹھ افراد کے کھانے کو ساٹھ ستر افراد نے سیر ہو کرتناول کیااور مہمانوں کے چلے جانے پر پہلے جتنا کھاناپھر بھی باقی دھراتھا۔
آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کے دست مبارک میں شفا تھی، غزوہ خیبر کے موقع پرجب حضرت علی رضی تعالٰی عنہ آنکھوں کی تکلیف میں مبتلا تھے تو آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے اپنا لعاب دہن ان آنکھوں میں لگادیااسکے بعد تاحیات حضرت علی رضی اللہ تعالیٰ عنہ ںکھوں کی تکلیف سے محفوظ رہے۔
ایک بار دودھ کے بھرے چھوٹے سے کٹورے میں آپ نے اپنی انگلیاں ڈالیں اور اس پیالے سے منہ لگاکرسب اصحاب صفہ نے دودھ پیااور پھر بھی اس پیالے میں اتنا ہی دودھ باقی تھا۔
آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے خود فرمایاکہ ایک پتھر مجھے سلام کیا کرتا تھا ۔
جانوروں کی زبان سمجھ لینا بھی آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم کا ایک معجزہ تھا،جب کچھ لوگ شرف ملاقات کے لئے حاضر خدمت ہوئے تو انکے اونٹ نے اپناسر لمبا کرکے تو قدمین شریفین پر رکھ دیااور اپنی زبان میں ڈکارا، آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم نے فرمایا یہ مجھ سے شکایت کررہاہے کہ تم اس سے کام بہت لیتے ہو کھانے کو کم دیتے ہو اور تشدد بھی کرتے ہو۔وہ لوگ کم و بیش دوماہ بعد اس اونٹ کو پھرلائے اور خدمت اقدس صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم میں پیش کرکے عرض کی اس دوران ہم نے اس سے کوئی کام نہیں لیااور صرف کھلایاپلایا ہے،آپ صلی اللہ علیہ وآلہ وسلم اس کی صحت دیکھ لیں اور اجازت ہو تو ہم اس سے کام لینا شروع کر دیں .

historia de los profetas islam


LA HISTORIA DE ADÁN


Allah creó la tierra en dos días, la sujetó con montañas que la equilibraran, y la hizo próspera. Después, a lo largo de cuatro días, la aprovisionó de víveres en cantidad suficiente para las necesidades de las criaturas que iban a vivir ahí. Tras ello, se dirigió al cielo, que era humo, y le ordenó, así como a la tierra: “Venid a Mí, de grado o a la fuerza”. Y le respondieron: “Acudimos a Ti obedientes“...

Después, Allah se asentó en majestad sobre el Trono, y sujetó el sol y la luna a cursos en órbitas que señaló para ellos. También creó a los ángeles que elogian Su grandeza, proclaman la gloria de Su inmensidad y le rinden una devoción pura.

Su Voluntad quiso entonces crear a Adán y a su descendencia para que habitaran la tierra y la poblaran. Informó a los ángeles de Su deseo, diciéndoles que iba a dar existencia a unas nuevas criaturas que trabajarían la tierra y circularían por ella libremente, y sus descendientes se instalarían en sus diferentes zonas, se alimentarían de sus productos y extraerían de sus entrañas los bienes que Él había guardado, y se sucederían los unos a los otros.

Los ángeles son criaturas que Allah ha purificado para consagrarlas por completo a Su servicio. Los ha colmado de bondades, les ha mostrado la vía en la que Él se satisface y los ha guiado en Su obediencia, de modo que jamás se apartan de lo que Allah quiere. Les resultó duro que Allah quisiera crear nuevos seres para Sí, creyendo que habían faltado a su deber o que alguno de ellos había cometido una falta, y acudieron a justificarse ante Su Señor y le dijeron: “¿Vas a crear a otros, cuando nosotros no hacemos sino glorificar Tu alabanza y proclamamos Tu misterio sin cesar? Aquellos que vas a crear se querellarán entre sí por los bienes de la tierra y se disputarán sus riquezas. Sembrarán la corrupción y harán correr la sangre, y sacrificarán vidas inocentes?”. Lo dijeron para justificarse y para apartar de sus corazones la confusión. Esperaban que Allah los designara como Sus representantes sobre la tierra por su primacía a la hora de reconocerlo como Señor de todas las cosas y porque su único instinto era el de obedecerle. La decisión de Allah les había trastornado, no por que dudaran de Su sabiduría sino pensando que había en ellos algún defecto. En sus palabras no había ninguna acusación ni con ellas pretendían denigrar al ser humano ni a su descendencia, pues los ángeles son criaturas cercanas a Allah, Sus servidores más dignos, y no ponen sus deseos por delante de los de Allah, y siempre actúan bajo Su inspiración.

La respuesta de Allah dio firmeza a sus corazones y suavizó sus costumbres. Él le dijo: “Yo sé lo que vosotros no sabéis. Conozco mejor que vosotros la sabiduría que hay detrás de Mi acto. Doy la vida a quien quiero, libremente. Hago reinar a las criaturas que elijo, y no por ningún merecimiento. Ya veréis lo que ahora escapa a vuestro entendimiento, lo que está oculto en el hombre. Cuando le haya dado forma y haya insuflado en él de Mi Espíritu, llevad la frente al suelo delante de él”.

Y fue así como Allah extrajo a Adán de la arcilla, de un barro maleable, semejante al que utiliza el alfarero, y sopló en él y la vida corrió por la nueva criatura, surgiendo un hombre completo. Allah ordenó entonces a los ángeles que se prosternaran ante él en signo de reconocimiento, y ejecutaron la orden que se les dio, salvo Iblis - o Shaytân, que es lo mismo-, que, arrastrado por el orgullo, prefirió desobedecer la orden de Allah. Allah le preguntó por el motivo de su rebelión: “¿Por qué no te prosternas ante lo que he creado con Mis propias Manos? ¿Es por orgullo? ¿Acaso te consideras un alto personaje?”.

Iblîs creía estar hecho de una materia más noble que Adán, pues había sido creado de fuego mientras que el hombre era de barro. Pensó que era superior, y que Adán no lo igualaba en rango. Iblîs le dijo a Allah: “Soy superior a Adán. Me has creado a partir del fuego y a él lo has sacado de la arcilla”. Con estas palabras, Shaytân gritaba en alto su rebelión y se declaraba desobediente. Rechazó la orden de Su Creador y se negó a llevar la frente al suelo ante lo que Allah había creado con Sus propias Manos. Fue el primer kâfir, el primer que se negó ante Allah.

 Allah lo castigó por su rebelión, diciéndole: “Abandona este lugar de felicidad, y seas lapidado y maldito hasta el Día de la Resurrección”. Entonces, Iblîs le pidió a Allah que le dejara vivir hasta el Fin del Mundo, y Allah se lo concedió: “Sea así. Vivirás hasta el límite fijado para el mundo”. Cuando hubo obtenido lo que quería, Iblîs, en lugar de volverse agradecido, se cerró aún más en su orgullo y quiso arrebatarle a Allah a los hombres, y dijo: “Puesto que has hecho que me pierda, yo cortaré Tu camino a los hombres, y los apartaré de Ti. Estaré a la derecha y a la izquierda de cada ser humano, iré por delante de él y detrás de él, y no encontrarás entre ellos a quien te reconozca”.

Allah expulsó a Shaytân de Su misericordia. Prolongó su vida y le dijo: “Ve por el camino que has escogido y sigue la senda del mal que quieras. Embauca con tus palabras a quien te escuche. Lanza contra los hombres a tus seguidores. Comparte con ellos sus riquezas y sus hijos. Les prometerás mentiras, les darás esperanzas falsas. Pero no te dejaré a solas con ellos, ni te doy poder sobre sus corazones. Aquellos que me prefieran, los que me consagren sus corazones, los que me sean fieles, serán liberados de ti, de tus mentiras y de tu sufrimiento. Sólo serán tuyos los que te elijan. Y con vosotros haré un fuego eterno”.

Los ángeles se habían prosternado ante Adán, cumpliendo con la orden de Allah y reconociendo con ello el alto rango del hombre en la creación. Pero Allah aún aumentó más la dignidad del ser humano haciéndolo partícipe del saber. Allah comunicó a Adán los nombres de todas las criaturas, es decir, le enseñó la diferencia que hay entre ellas y a relacionarlas con la habilidad del lenguaje, con lo que el hombre se convirtió en una criatura inteligente, capaz de razonar y enjuiciar. Allah puso las criaturas ante los ángeles, y, para ponerlos a prueba, les dijo: “Decidme los nombres de todos estos seres, si es que os creéis más meritorios que Adán”. Con ello, les mostraba la falta en ellos de una habilidad que sí había depositado en Adán y que lo hacía idóneo para ser el depositario de la ciencia y la sabiduría. El mérito de los ángeles reside en su fidelidad absoluta a Allah, derivada de su pureza innata, pero el mérito del hombre consistiría en hacerlo desde la conciencia, como elección suya en medio del saber, lo cual lo pondría por encima incluso del rango de los seres más puros al ser el resultado de un esfuerzo y una intención propia.

Los ángeles fueron incapaces de poner nombre a las criaturas. No pudieron encontrar la respuesta a la orden que Allah les había dado, y reconocieron su ignorancia, y le dijeron a Allah: “Tu Nombre sea elogiado. No sabemos más que lo que Tú nos has enseñado. Tú eres el Señor de la Ciencia y de la Sabiduría”.

Entonces, Allah se dirigió a Adán, y le ordenó que informase a los ángeles de los nombres de las criaturas, convirtiéndolo en maestro de los seres puros. Allah había depositado en el ser humano una capacidad única, el conocimiento vivo. A pesar de sus defectos, en comparación con los ángeles, había en él algo que lo ponía en situación de superioridad. Esa virtud del hombre es la más apreciada de Allah, y es la que dignifica al ser humano cuando convierte su inteligencia en guía por la vida. Gracias a ello, el hombre, cada ser humano, es califa, una criatura singular y única, la que mejor expresa la Grandeza e Inmensidad de su Señor.

Los ángeles se dieron cuenta entonces de que, a pesar de toda su pureza y de toda su devoción, en el hombre había un misterio que se les escapaba. Allah les dijo: “¿No os he dicho que sólo Yo sé los secretos que hay en los cielos y en la tierra, que Yo sé lo que decís y lo que os reserváis?”. Los ángeles reconocieron la dignidad del ser humano, y entendieron por qué Allah les había ordenado que llevaran la frente al suelo ante él, y se pusieron al servicio del hombre contra Iblîs.

 Allah hizo del Jardín del Paraíso el lugar de residencia de Adán y de su mujer, y le dijo: “Reconoce los bienes con los que te he favorecido. Yo te he creado, y te he hecho a mi gusto. He insuflado en ti de Mi espíritu, y he ordenado a los ángeles que se prosternen ante ti, y te he iniciado en parte de Mis conocimientos. Mira a Iblis: lo he expulsado de Mi misericordia y lo he maldecido en el momento en que se rebeló contra Mí. Y he aquí el Paraíso, que he hecho para que sea tu residencia. Si te aferras a Mí, recompensaré tus actos, y estarás eternamente en este Jardín. Pero si me traicionas serás abandonado a tu suerte, te expulsaré de Mi Casa, y te arrojaré al fuego. No olvides que Iblîs es tu enemigo y el de tu mujer, y está al acecho. Que no os haga salir del Jardín, pues fuera de él sólo conoceréis la miseria”.

Allah hizo entrega del Jardín a Adán y a su esposa, y declaró lícito para ellos todo lo que contenía, para que lo disfrutaran a su antojo. En el Jardín no pasarían hambre ni sed, ni calor ni frío, ni se avergonzarían por nada. Sólo les prohibió acercarse a uno de sus muchos árboles. Para que no se confundieran jamás, Allah les señaló claramente ese árbol. Allah les dijo que no comieran de los frutos de ese árbol, o de lo contrario se convertirían en criaturas perversas, y serían contados entre los que se han alejado de Allah. Allah les dijo: “Oh, Adán, permanece en el Jardín, tú y tu esposa, comed de sus frutos a vuestro gusto, pero no os acerquéis a este árbol pues con ello os pondrías al lado de los injustos. En este Jardín no conoceréis ni el hambre ni la desnudez, no tendréis sed ni probaréis la intemperie”.

Adán y su esposa habitaron en el Jardín, donde disfrutaron de todo lo que se puede desear. Caminaban sin preocupaciones entre sus árboles, descansaban a su sombra y recogían sus frutos. No sentían sed ni hambre, y lo que tomaban era por gusto. Y así estuvieron durante un tiempo, en el mayor de los goces.

Su felicidad produjo envidia en Iblîs. No podía soportar ver a Adán y a su esposa en ese estado de perfección, sobre todo a causa de haber sido expulsado del Jardín por su motivo. Adán había sido la causa de toda su degeneración y la desgracia en la que estaba condenado a vivir hasta el Fin del Mundo, y se propuso buscar su ruina. Por ello, decidió acercarse discretamente a Adán, y habló con él hasta convencerle de sus buenas intenciones asegurándole que solo quería darle buenos consejos. A Adán y a su esposa les dijo: “Vuestro Señor os ha prohibido ese árbol para evitar que os convirtáis en ángeles o seres inmortales”

Adán y su esposa se negaron a creer lo que Iblîs les decía, y entonces él pasó a utilizar juramentos y palabras seductoras. Les aseguró que sólo deseaba su bien, que no quería hacerles ningún daño, sino todo lo contrario, que deseaba verlos en un estado aún mejor. Insistió durante mucho tiempo, describiéndoles con todo detalle las ventajas que conseguirían comiendo del árbol prohibido, el estado superior al que accederían con ello. Tanto repitió Iblîs sus promesas que ellos cayeron finalmente en la trampa, y comieron lo que Allah les había prohibido comer. Resultó entonces que en ello no había nada bueno, sino todo lo contrario.

Habían seguido las órdenes de Shaytân, que era su enemigo, y habían desobedecido a Allah, que era su Creador. Allah les dijo: “¿No os había prohibido que comierais de ese árbol? ¿No os dije que Shaytân era vuestro peor enemigo?”.  Entonces se dieron cuenta de lo que habían hecho y lo lamentaron. Despertaron del olvido al que los había conducido Iblîs, y supieron que se habían alejado de Allah, causándose daño a sí mismos pues lejos de Allah solo hay miseria y frustración. Le dijeron a Allah: “Señor, nos hemos equivocado. Si no nos perdonas y no tienes piedad de nosotros, estaremos perdidos”. Pero Allah les respondió: “Salid de aquí, y sed enemigos unos de otros. En la tierra tendréis un asilo y ahí permaneceréis durante un tiempo”.

Allah aceptó a Adán y a su esposa, y les perdonó su falta. Sus corazones se purificaron de nuevo, y la esperanza de volver al Jardín guió su existencia sobre la tierra. A partir de entonces, el Jardín es algo que el hombre debe merecer, y lo conquista mejorando su carácter y actuando rectamente. Y desde entonces, cumpliendo Su promesa de estar al lado de los que Le eligen, Allah ha enviado a la tierra a Mensajeros suyos que recuerdan a los hombres la existencia de un buen camino y un mal camino, uno que los lleva de vuelta al Jardín de sus orígenes, y otro que los conduce al fuego de Shaytân.

Nuestra existencia en la tierra, por tanto, se extiende desde la expulsión en los principios de la creación hasta el Fin del Mundo, y nuestra experiencia en ella determina nuestro destino final en al-Âjira, la eternidad que viene después de la Resurrección. La vida en este mundo es la prueba a la que Allah nos somete: los más nobles eligen a Allah y se reencuentran con Él tras la muerte en el Jardín, y los que se dejan seducir por Shaytân y siguen sus sugestiones se alejan de Allah y se dirigen al Fuego que hay fuera de la misericordia del Único Creador.

LA HISTORIA DE LOS HIJOS DE ADÁN

El ciclo de la vida comenzó a tomar forma final cuando la esposa de Adán (Eva, Hawwâ) empezó a tener hijos. Una vez en la tierra, se iniciaron las penalidades y también las satisfacciones de los seres humanos; y, así, a pesar del dolor del parto, Adán y Eva recibían con alegría a sus hijos, destinados a poblar el mundo y continuar en el futuro lo que empezó en los primeros tiempos. Adán y Eva comprobaron cómo, de forma natural, sentían un profundo afecto hacia sus hijos e instintivamente los protegían.

Eva dio a luz dos parejas de gemelos: primero, a Caín (Qâbîl) y su hermana, y luego a Abel (Hâbîl) y su hermana. Los hermanos y hermanas crecieron bajo el ojo atento de sus padres hasta que alcanzaron la madurez, y se hicieron fuertes. Cuando estuvieron preparados para ello, comenzaron a trabajar para conseguir el sustento necesario. Caín se dedicó a la agricultura, mientras que Abel se hizo pastor y cuidaba los rebaños.

Una vez ya hombres, Caín y Abel experimentaron el deseo de tener esposa, pero vieron que sobre la tierra no había mujeres, y expusieron la cuestión a Adán. Adán decidió que cada uno de ellos tomara como pareja la gemela de su hermano. Pero aquí surgieron los problemas, pues la gemela de Caín era más bella que la de Abel, y el hermano mayor se consideró agraviado. Dijo que sólo aceptaría como esposa a su propia gemela.

Entonces, Adán propuso que cada uno de ellos realizara un sacrificio, y esperara la respuesta de Allah sobre el asunto. Caín ofreció trigo y lo quemó en el altar. Por su parte, Abel sacrificó uno de sus camellos. Allah eligió la ofrenda de Abel, y rechazó la de Caín, que se había rebelado contra la primera decisión de su padre. Cada hermano, pues, tuvo como esposa la gemela del otro, tal como Adán había recomendado al principio, pero en Caín comenzó a desatarse un gran odio hacia Abel. Ese odio lo iba hundiendo en la miseria y el infortunio, y sus cosechas fueron cada vez más pobres, la tierra se hacía árida y estéril para él, y su vida se hacía difícil.

El rencor y la envidia de Caín hacia Abel fueron creciendo con el tiempo. En cierta ocasión, lo amenazó diciéndole: “Te mataré, porque no puedo verte feliz mientras que yo estoy en la miseria. Estoy desesperado y me siento humillado, y tú eres feliz y estás lleno de esperanzas”. Abel le respondió: “Deberías buscar la razón de tu mal y curar tu enfermedad. Busca la vía que te saque de todas las miserias y vive en la paz, y la vida te sonreirá. Allah, fuente de todas las bondades, no acepta al que no le teme”.

Abel era un hombre dotado de inteligencia y de fuerza física considerable. Era de los que son dignos de confianza, de los que respetan el don de la sabiduría y reconocían sobre sí la primacía de Allah y de sus padres, buscando satisfacerles. Se entregaba a Allah, y Allah respondía a sus ruegos. Había aprendido de su padre que la vida es pasajera y que todo volverá a Allah después de la muerte para escuchar Su juicio, y se preparaba para ello realizando todo el bien que podía; y por eso, cuando escuchó a su hermano, en lugar de encolerizarse con él, le dio prudentes consejos. Pero sólo consiguió que la ira de Caín aumentase.

La envidia pudo más que los lazos que tiene que haber entre hermanos, y Caín se convirtió en un volcán de odio hacia Abel. Nada podía disuadirle, y se sentía cada vez más miserable y humillado, Aprovechó un momento de desatención, y mató a su hermano. La vida abandonó el cuerpo de Abel, y fue el primer ser humano en morir; y, además, murió asesinado por su propio hermano.

Cuando Adán echó en falta a su hijo menor, salió en su búsqueda, pero no lo encontraba. Preguntó a Caín, y este le respondió: “No sé dónde está. Yo no soy su protector”. Entonces, Adán adivinó lo que había pasado y una enorme tristeza se apoderó de él. Había perdido para siempre a su hijo, pero, a la vez, se apoderó de él una intensa piedad por Caín, el asesino, que también era hijo suyo. Decidió entonces callarse, y volvió apenado junto a Eva, sin saber qué hacer.

Caín se dio cuenta de que había cometido un crimen, que su acto era imperdonable, y se apoderaron de él la angustia y el desasosiego. Quiso esconder el cadáver de su hermano, pero no sabía cómo hacerlo. Lo cargó sobre sus espaldas, y buscó algún lugar apartado donde dejarlo para que nadie, ni Allah tan siquiera, lo vieran nunca. Llevó el peso del cuerpo de Abel durante mucho tiempo, y la fatiga empezó a desesperarlo. Además, la carne de su hermano empezó a pudrirse y el olor era insoportable.

Allah quiso entonces proteger la dignidad del cadáver de Abel. Hizo que dos cuervos se pelearan delante de Caín, y uno mató al otro. El cuervo vencedor se puso a cavar con su pico un agujero en el suelo, y a continuación enterró el cuerpo de su compañero. Caín aprendió así lo que debía hacer, pero se dio cuenta también de la maldad de sus actos. No había evitado que Allah supiera lo que había hecho, y Allah ahora le revelaba cómo dar sepultura a Abel, devolviéndolo a la tierra de la que el ser humano ha salido, y Abel quedaba con ello dignificado. Y todo ello, Allah se lo había enseñado en el comportamiento de un cuervo, que demostraba más nobleza y sabiduría que el propio Caín. Caín dijo: “Soy un miserable, aún más vil que un cuervo asesino, que me ha enseñado que debo enterrar a mi hermano”.

LA HISTORIA DE NOÉ

El pueblo de Noé (a.s.) adoraba a los ídolos desde los confines del tiempo. Tomando por tales, a aquellos ídolos a los cuales pedían el bien, y por los que creían expulsar el mal. Les confiaban todo en la vida, adjudicándoles diferentes nombres: Tandót Out, Souá e Iagouz, Tantót Yaquq y Nasr; aquellos que la ignorancia les inspiraba. Entonces Allah les envió a Noé (a.s.), hombre de palabra elocuente, moderado y paciente en extremo. Allah le había dotado con el poder de la convicción y la riqueza de argumentos. 

Noé (a.s.) transmitió a su pueblo el mensaje de Allah, aunque fue rechazado con desprecio. Les informó del castigo de Allah, a lo que ellos, se volverían sordos y ciegos. Intentó seducirlos anunciándoles la recompensa de Allah, pero con gestos arrogantes se taparon los oídos. Aun así luchó y discutió con ellos, volcando toda su paciencia en ellos, hasta que se le agotaron los argumentos y la paciencia. Pero la esperanza de que ellos pudieran acercarse a Allah persistía en él, cerrando su corazón al camino de la desesperación. Al contrario, perseveró en sus discursos, se empecinó en comunicar el mensaje de Allah haciéndolo de noche y día, en secreto y públicamente. 

Noé, (a.s.) conseguía atraer su atención al comunicarles el secreto de la existencia y el surgimiento de la creación:  “Una oscura noche en el cielo del zodíaco donde nada la luna, y el sol que brilla sobre la tierra, donde brotan los arroyos y germinan las plantas y los frutos. Todo ello habla claramente, y da pruebas innegables sobre la existencia del Uno, Único, Allah, y de un poder formidable y sin igual”.

Y de esta manera, Noé (a.s.) siguió su lucha, discutiendo y presentando pruebas que les convencieran, hasta que un pequeño grupo creyó en él y respondió a su llamada declarando verídico su mensaje.

En cuanto a aquellos a los que Allah había colocado un sello sobre sus corazones, la desgracia acaeció sobre ellos, y no se dejaron guiar. En su pueblo habían nobles acomodados en lo más alto de la sociedad que se unieron en connivencia, burlándose de él y menospreciando sus intenciones. Le dijeron: “No eres más que un mortal como nosotros y uno de los nuestros. Si Allah hubiese querido enviar a un mensajero, habría enviado a un rey. 

Nosotros lo habríamos escuchado, y respondido a su llamada. Sólo tienes por adeptos a la hez del pueblo, a los hombres de las profesiones más mediocres, y de las castas inferiores. Ellos se dejaron arrastrar sin llegar a reflexionar profundamente, sin pensar demasiado en sus actos, ni madurar sus ideas. Si verdaderamente fueras como dice esa gente, un buen augurio para los que nos han precedido; nosotros que somos más inteligentes y poseemos el don de la clarividencia y sabiduría espiritual, nos habríamos adelantado a tomarte como guía”.

La discusión y las controversias se encarnecieron, haciéndole a Noé (a.s.), las siguientes afirmaciones: “Noé, no nos parecéis ni tú ni tus camaradas, superiores a nosotros, ni en inteligencia, ni en perspicacia. No sois mejores administrando los bienes terrenales, y ni conocéis su fin; os tomamos más bien por impostores. 

Noé (a.s.) les respondió: “Qué pensaríais si me basara en una prueba irrefutable de mi Señor, con la que concediese su  gracia y misericordia y que confirmara mi mensaje; una prueba que ha permanecido oculta a causa de vuestra ceguera. Verdaderamente intentáis ocultar el sol a los necesitados y cubrís las estrellas de sus manos. Voy a obtener un poder y a imponéroslo para llevaros a creer en mi misión”. Respondieron: “Noé, si deseas para nosotros enseñarnos la buena dirección, y conducirnos al triunfo, si quieres para nosotros la victoria y el poder, entonces, abandona esos entresijos que has seguido. Aléjalos de tu grupo, prívales de tu protección. No podemos seguir su camino e imitarlos, nos resulta insoportable que se nos compare con ellos por sus creencias. ¿Cómo vamos a conformarnos con un din (el Islam), que iguala a nobles y obreros, reyes y gente común del pueblo”.

Noé (a.s.) contestó: “Este es un mensaje abierto y comprensible para todos. Es igual para el perezoso, el célebre, el insignificante, los ricos; y todos están al mismo nivel que los pobres, tanto jefes como sus súbditos. Suponed que accedo a vuestros caprichos y que los expulso para daros ese placer, ¿con quién podría contar para extender el mensaje de Allah y dar fuerza a su llamada?, ¿cómo puedo abandonar a las personas que lo sostuvieron, mientras que vosotros me abandonabais? Mis palabras se han vertido durante el camino en todos los corazones, aunque de vosotros no he recibido nada más que rechazo y negación de todo lo que invita a creer en Allah. Además, ¿cual sería mi actitud ante Allah hacia los que me siguieron, si me vuelven la espalda y buscan la discordia, si se quejan ante Allah de que les pagué su bondad con ingratitud y su caridad con la ignorancia? ¡Vosotros sois realmente un pueblo ignorante!.

Cuando la discusión tomó fuerza entre ellos, el espacio de desacuerdo se extendió, y con el cansancio perdieron la paciencia diciéndole entonces a Noé (a.s.): “¡Noé! Nos has contravenido con abundancia, danos ahora lo que nos prometes si eres de aquellos que dicen la verdad”. (Corán Hud-32)

Noé (a.s.), burlándose de ellos les dijo: “Sois exagerados en cuanto a ignorancia se refiere, y superáis el límite de la idiotez. ¿Quién soy yo  para traeros el castigo o preservaros del mismo?, no soy más que un ser humano como vosotros, a quien le ha sido revelado que no hay otra realidad que Allah. Tan solo debo comunicaros lo que se me ha ordenado, unas veces os acercará a la recompensa y otras os informará del castigo. Todas las cosas regresan a Allah, y si Él lo quiere, os guiará, y, si lo quiere, acelerará vuestro castigo. Si Él lo desea, trasladará vuestro castigo nada más que para agravarlo y volver vuestra desdicha más grande.

Los profetas han sido agraciados con la indulgencia hacia aquellos que obran con astucia; y de extrema paciencia en el esfuerzo que implica su lucha, que significa realizar a la perfección su misión. Allah, asimismo los dotó con la sabiduría y la resistencia, con el fin de que la gente no tenga ni argumentos, ni excusas  que oponer a Allah tras la llegada de los profetas.

Noé (a.s.), era uno de los profetas con más determinación. Él vivió entre los suyos 950 años, soportando su maldad, resistiendo sus burlas, acechando la menor luz de esperanza y esperando de su parte un signo de aceptación del Islam.

Pero los días pasaban y no hacia otra cosa que acrecentar  más su arrogancia y repulsión a su misión. El filo de la esperanza estaba a punto de romperse, y el futuro se presentaba oscuro.

Noé (a.s.) buscaba refugio en la cercanía de su Señor, pidiendo asilo y asistencia. Compadeciéndose de aquellos ante los cuales había sido impotente, y de los que no esperaba un punto de credulidad. Allah le reveló: “Que en lo sucesivo no tendría nuevas conversaciones, exhortándole a no lamentarse más por la conducta de su pueblo” (Hud.-36).

Noé (a.s.) entonces ejecutó la palabra de Allah, que era ley para él. Allah quería que nadie más creyera. Él les había impuesto un sello sobre sus corazones, cerrándolos herméticamente. Ellos no se plegaban a las pruebas presentadas y no se dejaban conducir por el mensaje revelado. Entonces Noé (a.s.) perdiendo la paciencia dijo: “Señor, no dejes subsistir sobre la tierra a ningún infiel, ya que si los dejaras, ellos extraviarían Tus asuntos y no engendrarían nada más que asuntos perversos e impíos (Corán Noé:26,27).

Allah le concedió su deseo y le revelo la construcción de un arca bajo Su supervisión y siguiendo Sus planes, además de que dejara de apiadarse de los incrédulos, ya que perecerían ahogados.

Entonces Noé (a.s.) se instaló en un lugar lejos de la ciudad, preparó las planchas de madera y las tuercas y se puso manos a la obra. Sin embargo, no pudo huir de las burlas y el sarcasmo de su pueblo.

 Algunos le decían: “¿O Noé, ayer pretendías ser  un mensajero y un profeta, cómo es que te has convertido en carpintero? Te has cansado de la profecía, o has sentido una cierta predilección por la carpintería?”.

Otros lo alternaron con burlas: “¿Cómo podrá tu buque navegar lejos por mares y ríos? Has preparado bueyes para  arrastrarlo, o cuentas con el viento para llevarlo?”.  Pero no tuvo en cuenta ya su sarcasmo, y continuó impasible ante sus burlas. Les dijo: “Hoy nos ridiculizáis, aunque no tardaremos en ridiculizaros a nuestra vuelta, pronto lo sabréis porque se prepara un castigo cruel en este mundo y un suplicio eterno reservado en el otro” ( Corán, Hud: 38-39).

Luego se volvió hacia el navío, montando las planchas, uniendo sus partes, hasta que el navío se construyó de tableros y tirantas de hierro. Noé (a.s.) entonces esperó 1a orden de Allah que le reveló: “El día de nuestro decreto llega a su ejecución, cuando nuestras señales aparezcan, ve sobre el arca, y embarca allí a todos aquellos de los tuyos que han creído, así como una pareja de cada especie, y espera de Mi una nueva orden”.

Entonces, las puertas del cielo se abrieron y las fuentes brotaron por toda la tierra. El nivel de agua alcanzó las colinas más altas, invadiendo todos valles y sus pendientes. Noé (a.s.) acudió al arca, llevándose con él lo que Allah le había pedido, como animales, personas y plantas. Y el barco zarpó: navegando y llegando a puerto con el nombre de Allah, unas veces balanceándose al ritmo de un viento ligero, y otras levantado por tornados. Las aguas se abrían para tragarse a los infieles y la espuma les servía de tumbas. Los incrédulos se encarnizaban contra la muerte, pero la muerte los acechaba. Combatían las olas, pero las olas los absorbían. Al final el agua los enterró como a un secreto el corazón.

Alzándose sobre el puente del navío, Noé (a.s.) vio a su hijo Kanaan, victima de su infortunio, había combatido a su padre desviándose de la creencias del mismo, y ahora luchaba contra las olas, intentando encaramarse a una montaña que lo salvara o una colina donde encontrar refugio. Pero la muerte lo acechaba, su ahogamiento estaba anunciado. El corazón de Noé (a.s.) se encogió, la compasión lo atenazó  y su amor y el cariño para sus hijos se desataron. El lo llamó, esperando que esta llamada alcanzara su corazón y conmoviera su fe, o al menos afectara a su sensibilidad para que renunciara a su extravío. Le dijo: “Donde vas hijo mio. Huyes de la decisión y la predestinación de Allah. Ven al barco como creyente, podrás reunirte con tu familia y salvarte, (O hijo mío, sube con nosotros. No permanezcas con los incrédulos) [ Corán, Hud-42 ].

Pero estas palabras no consiguieron tocar el alma de su hijo y no pudieron atravesar su corazón. Él se creía capaz de evitar el infortunio y de escapar al destino y dijo: “Déjame (me refugiaré sobre una montaña para escapar a las aguas) [ Corán, Hud-43 ].”

Noé (a.s.) encogido de dolor, vencido por la pena, le respondió: “Hijo mío, (Nadie escapará hoy al decreto de Allah, si no es por efecto de Su clemencia) [Corán Hud-43 ]."

 Pero una ola los separó, y no pudo ver más a su hijo, carne de su carne, corazón de su corazón. Un dolor insoportable lo poseyó, y volviéndose hacia Allah, refugio de todo afligido,  angustiado, solicitó: "(Señor, mi hijo es de los míos) [Corán Hud-45], Tu has prometido - y Tu promesa es justicia- que me salvarías, así como a los que creyeron de mi pueblo – Tu eres es el más justo de los jueces”.

Allah le reveló: “Noé, él no es de tu familia, ni de los más próximos de tu tribu. El ha sido victima de su mal destino, merece por ello ser llamado incrédulo. No puedo considerar que forma parte de tu familia sino a los que creyeron en ti y en tu mensaje, y que respondieron a tu llamada. Los de allí son tu verdadera familia, para la que prometí la salvación, y asegurarles una vida segura. (Ya que teníamos el deber de amparar a los creyentes) [Corán Rum-47 ]”.

En cuanto a él, que negó tu mensaje y desmintió la palabra de Allah, ya no forma parte de tu familia, y se excluye de tu intercesión, tanto si es cercano a ti por parentesco o genealogía, dirigiéndose seguramente hacia su muerte. Esta próximo al final ineludible, pero si él se refugia sobre una montaña donde toma asilo entre los suyos. Que esté en adelante en guardia a la hora de pedirme lo que no debes saber, o de discutir conmigo de lo que ignoras (Yo te he informado para no dejarte entre los ignorantes) [Corán Hud-46].”

Noé entonces consideró que la ternura le había desviado de la justicia y la piedad le había cubierto la razón. Tendría que tender las manos y alabar a Allah por la concesión con la que los había gratificado, a él y los creyentes de su pueblo, también por el final que los incrédulos habían sufrido. Entonces Noé (a.s.) se dirigió a su Señor, arrepintiéndose de su error, pidiendo refugio contra Su cólera. Él le dijo: "(Señor, perdóname si te he preguntado sobre aquello que no debo saber." Si no me perdonas y no me concedes Tu misericordia, estoy perdido) [ Corán  Hud-46 ]”.

 Una ola lo separó de su hijo, el cual se ahogó. Finalmente cuando la voluntad de Allah se realizó, el cielo se aclaró, y las aguas se retiraron, encallando el arca sobre el monte Joudy, entonces los que habían sobrevivido al diluvio dijeron: "lejos de nosotros queda la gente injusta". Entonces se le comunicó a Noé (a.s.): "Desembarca en paz, con aquellos que te han seguido de tu pueblo. Que la bendición os acompañe,  y que la protección de Allah os envuelva”.

LA HISTORIA DE HUD

El país de los 'Ad se hallaba en la región comprendida ente el Yemen y Omán. Allí vivieron durante un cierto periodo de tiempo con desahogo y saboreando bonanza de la vida. Allah les había gratificado con numerosos favores y beneficios. Ellos hicieron brotar arroyos, cultivaron la tierra, sembraron jardines y erigieron palacios. Además, Allah los había provisto de unos cuerpos vigorosos de  alta estatura; habían sido pues, favorecidos más que cualquier otro mortal.

Sin embargo, jamás se plantearon preguntarse sobre el secreto de la existencia, ni se molestaron en conocer el origen de sus dones, lo más equivoco que sus pensamientos pudieron albergar y donde creían sentían cómodos, era creando y adorando a sus ídolos. Los tomaban por dioses y ante ellos se postraban, frotándose los pies y la cara con la tierra. Les agradecían cada bien que recibían y acudían a pedirles socorro por todas las desgracias que sufrían. Además, sembraron el desorden sobre la tierra. Las mayores humillaciones e injusticias recaían sobre los más débiles y los ancianos.

Allah quiso entonces dirigir a los poderosos de entre ellos y concederles la fuerza a los más débiles, educar sus espíritus y suprimir los velos de la ignorancia que cubrían sus ojos. Con este fin, Allah decidió enviarles un profeta de entre los de su propia nación, para que pudiera hablarles en su mismo idioma y hacerse comprender. El debía guiarles hacia Allah y demostrarles la inutilidad de aquello a lo que adoraban, actuando con compasión y generosidad.

Hud (a.s.) había nacido en una de las familias nobles de los 'Ad, y se había hecho notorio cultivando su sabiduría con el derecho, siendo de carácter indulgente. Allah lo escogió para llevar su verdad confiándole su mensaje. Tal vez él pudiera guiar sus almas extraviadas hacia el camino recto.

Hud (a.s.) obedeció la orden de Allah y se encargó de Su misión, armándose de aquello con que un profeta puede armarse. Su determinación podía allanar montañas y su sabiduría era garantía de triunfo sobre los ignorantes. Se dedicó pues a criticar a sus ídolos y a envilecer su adoración. Él les decía: "Oh pueblo mío, ¿que son esas rocas que esculpís, podéis adorarlas y buscar en ellas refugio? ¿Que mal pueden causar ellas o en que os pueden favorecer atrayendo vuestra atención? ¿En qué pueden ser útiles o perjudiciales? No os aportan ningún bien y no pueden protegeros de ninguna desgracia. Subestimáis vuestra inteligencia y ponéis vuestro honor en entredicho. 

No hay más verdad que Allah, el único que debe ser adorado y que es digno de que os giréis hacia Él. Es Allah el que os ha creado y concedido la prosperidad. Solo Él puede haceros vivir o morir. Es Allah el que os hace reinar sobre la tierra y quien ha hecho crecer las cosechas, al igual que únicamente Él ha hecho de vosotros personas vigorosas. Igualmente a sido Él quien a bendecido vuestras fortunas. Creed en Él, y guardaros de corromper la verdad, o enorgulleceros ante Allah. Sufriréis entonces lo que el pueblo de Noé sufrió, no hace tanto tiempo de ello".

De esta forma Hud (a.s.) predicó entre su pueblo, esperando que sus palabras alcanzaran el fondo de sus corazones y esto les llevara a convertirse, o que sus palabras abrieran un camino hacia sus espíritus para que pensaran en el camino recto y los siguieran. Pero lo único que vio en ellos fue la pasividad de sus pasivas caras y ojos despavoridos.

Acababan de oír por primera vez en su vida ese discurso, sus palabras no les eran nada familiares y le contestaron: "Que significa tu discurso, es que divagas? ¿Como es que quieres que adoremos a Allah y no le asociemos nada. Nosotros adoramos a los ídolos por que ellos nos acercan a Él, y porque interceden en favor nuestro cerca de Él".

Entonces Hud (a.s.) les dijo: "Allah es uno y no tiene asociación, adorarlo exclusivamente a Él es el espíritu de su Dîn y su esencia, y constituye el corazón y el cerebro. Allah está próximo, tan solo a dos dedos de vosotros. En cuanto a las estatuas que adoráis y por las cuales creéis agradarle, para que por ellas os conceda sus favores, ellas no hacen más que apartaros de Allah, aunque penséis que ellas os acercan más. Vuestros ídolos son la prueba de vuestra ignorancia respecto de lo que pretendéis saber y comprender".

Entonces apartándose de Hud (a.s.) le replicaron: "Tu estas aturdido y aquejado de debilidad mental. Envileces nuestras adoraciones y criticas lo que hemos heredado de nuestros padres. ¿Qué haces entre nosotros? ¿Y qué te distingue de nosotros? Comes lo que nosotros comemos, y bebes como nosotros lo hacemos. Vives tu vida de la mismo manera que la nuestra. ¿Porqué Allah te eligió para difundir su mensaje? No eres más que un impostor".

Hud (a.s.) les respondió: "No estoy aquejado de debilidad mental al igual que no soy un idiota. He vivido entre vosotros mucho tiempo y jamás me habéis contradicho ni acusado de idiota. ¿Porqué os asombráis al ver llegar hacia vosotros a uno de los vuestros, encargado por Allah de advertiros y difundir su mensaje entre vosotros. Al contrario, lo que sería extraño, es que las gentes se perdieran sin un mensajero que les guiara, viviendo en un desorden completo, sin ninguna barrera moral. Sin embargo, no he todavía desesperado en cuanto a vuestra conversión, y aun puedo esperar con paciencia de entre vosotros más afrentas. Pensad razonablemente y descubrid por vosotros mismos la verdad. 

Descubriréis sin lugar a dudas que Allah es único en toda cosa y el origen del milagro del universo, de las criaturas extrañas, del giro de los astros o el brillo de las estrellas. Toda cosa posee un signo que indica que Allah es único. Entonces creed en Él e implorar su perdón. Él os enriquecerá desde el cielo con abundantes lluvias y acrecentará vuestras fortunas y poder con otras. No abandonéis la vida en esta tierra como rebeldes. Y sabed que después de vuestra muerte seréis resucitados. Quien ha hecho el bien, eso será en su provecho, y quien hizo el mal, será en su detrimento. Entonces aprestaros y preparaos para vuestro fin. Os he comunicado el mensaje del cual he sido encargado, no soy nada más que un advertidor exponiendo claramente las cosas".

Ellos le contestaron: "Sin duda unos de nuestros dioses ha deseado tu mal y a atacado tu razón trastornándote el espíritu. Divagas con palabras que no son verdaderas excepto para ti, y que no afectan nada más que a tu razón. Si no ¿qué ocurría por arrepentirse para que Allah envíe la lluvia, aumente nuestra fortunas o nos hagas más poderosos? ¿Cual es ese día de la resurrección donde pretendes que seamos resucitados después de que nuestros cadáveres se descompongan y pudran? ¡Está lejos lo que pretendes y prometes! Únicamente poseemos nuestras terrestres vidas, vivimos y luego morimos, no hay nada aparte del tiempo que pasa y nos destruye. Además, ¿cual es ese suplicio del que nos adviertes y quieres prevenir? No renunciaremos a la adoración de nuestros ídolos. Que se realicen entonces tus amenazas si de verdad eres sincero".
Cuando Hud (a.s.) percibió la obstinación en su contestación, les dijo: "Tomo a Allah por testigo de que he transmitido su mensaje sin negligencia alguna y que he luchado sin vacilar por temor alguno. He perseverado en su mensaje y en la lucha. No he temido ni vuestra fama ni vuestro poder. Podéis conspirar si queréis en mi contra. Yo me refugio en Allah, mi Señor y el vuestro. No existe ni una sola criatura que no viva por su magnificencia, mi Señor está en el buen camino".
Hud (a.s.) continuó con su misión, y las gentes de los 'Ad persistían en apartarse de él, hasta que un día, divisaron una nube gris en el cielo. La observaban mientras que otras acudían a mirarla. Exclamaron: "¡Es una nube que anuncia la lluvia! Por lo que se dispusieron a recibirla yéndose a preparar los campos, pero Hud les dijo: "Esta no es una nube que os vaya a aliviar, sino todo la contrario, es un viento que trae la venganza que habéis estimulado. Es un viento que traerá un gran sufrimiento. Entonces les embargo un gran miedo por el temor a la pérdida de sus animales, sus vidas y la integridad de sus viviendas.

Cuanto del viento los alcanzaba, los arrastraba y arrojaba lejos de los lugares en los que se encontraban, fueron entonces presa del terror y espantados, acudían a refugiarse en sus casas pensando que eso les salvaría. Pero la catástrofe se había generalizado y la desgracia a todos les llegó. El viento que arrastraba la arena del desierto duró siete noches y ocho días consecutivos,  aniquilando en su paso la nación de los 'Ad. Sus sombras y su recuerdo desaparecieron y no formaron más, parte de la historia (Y tu Señor no destruirá todas las ciudades mientras que sus habitantes quieran reformarse. Corán, Hud -117).
En cuanto a Hud (a.s.), sus compañeros y aquellos que creyeron en él. Todos se refugiaron cerca de Hud (a.s.), quedándose inmóviles mientras el viento alrededor de ellos silbaba y esparcía la arena. Permanecieron quietos y tranquilos, hasta que el viento amainó y la atmósfera volvió a estar en calma.
Después de todo esto, Hud (a.s.) se trasladó hacia Hadramut, donde permaneció el resto de su vida.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...