Kamis, 19 November 2020

Sejarah Kalibanger


Kabupaten Probolinggo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini dikelilingi oleh Gunung Semeru, Gunung Argopuro, dan Pegunungan Tengger. Kabupaten Probolinggo mempunyai semboyan "Prasadja Ngesti Wibawa". Makna semboyan tersebut adalah “Dengan rasa tulus ikhlas (bersahaja, jujur, bares) menuju kemuliaan”.

Ketika seluruh Wilayah Nusantara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Patih Gajah Mada telah dapat mewujudkan ikrarnya dalam Sumpah Palapa, menyambut keberhasilan ini, Raja Hayam Wuruk berkenan untuk berkeliling negaranya. Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 M (1281 Saka).

Menyertai perjalanan bersejarah ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata, Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini. Masyarakatnya ramah,tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketenteraman dan kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan, membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.

Ketika rombongan tamu agung ini hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga. Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.

PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO

Kerajaan Singasari (1222-1292)

Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana) tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara. (1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun, wanua, kuwu, hingga watekmasih belum muncul di wilayah Probolinggo.
Status wilayah Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lamajang.

2. Masa Majapahit

Pada masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan), yang menurut Negara Kertagama di bawahNatha (Gubernur) Nagarawardhani, dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.

Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M.

Yang menarik dari Kakawin itu adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo, Prapanca mencatat nama-nama desa dan kuwu. Nama Banger, Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi, Sajabung, dan Pabayeman. Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka Bajranaparamitapura.

Ketika rombongan raja meninjau sebuah komunitas keagamaan mandhala di daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis. “Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger” nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal yaitu Prapanca

Dalam upaya mendekatkan diri dengan rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi, Mangunharjo, Wiroborang).

Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359 Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.

Sejalan dengan perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman. Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.

Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.

3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)

Kerajaan Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada 1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih Majapahit, yang pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari Sengguruh.

Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan, Malang dan Probolinggo.

Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.

Supit Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan, pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.

4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)

Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit dengan ibukota Panarukan (1600 M).

Pada masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.

Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang. Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.

Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas, Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang, Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing, Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu : Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.

5. Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII

Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi kerajaan ini juga mencakup Probolinggo.

Kemudian (1717) Pasuruan kembali melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada di tangannya.
Surapati dan para putra dan cucunya, yang menggantikannya tetap menjadi orang Bali, memeluk Hindu, bersumpah untuk selalu menentang Kompeni dengan segala cara. Dengan Blambangan mereka berhubungan baik; saling mengikat perkawinan dan persahabatan. Raja-raja Blambangan bersama dengan Surapati menjadi ancaman bagi Kompeni. Orang-orang Blambangan hanya ingin melepaskan diri dari pengaruh Bali.

6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII

Pada Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun 1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota), negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan berdasarkan struktur yang ada.


Pada masa Pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati). Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger, keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya, terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun 1768, terus mengembara/lelono.

Sebagai pengganti Kyai Djojolelono, kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat, Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat dianggap sebagai makam keramat.

Di bawah pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat). Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean belakang Masjid Jami.
 
Masa Emas Kali Banger

Kali Banger merupakan sungai utama di Probolinggo. Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900 M. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo.Di sungai ini, kapal-kapal pedagang China bahkan dari pulau Madura bisa masuk hingga ke tengah Kota Probolinggo.

Ini menunjukkan Kali Banger bisa menjadi jalur strategis, Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonnomian yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”. Kira-kira wilayah itu sekarang berada di pasar Baru kota Probolinggo.

Nama “Banger” sebagai nama wilayah Kabupaten Probolinggo dipakai sebagai kebanggaan nama daerah, sejak jaman Majapahit tahun 1365 hingga 1770 masa pemerintahan Bupati Jayanegara. Sehingga setidak-tidaknya selama ± 405 tahun, nama “Banger” selalu terpatri dan mengisi dokumen-dokumen perjalanan sejarah Kabupaten Probolinggo masa lalu, hingga melegenda sampai sekarang. Selama masa Kerajaan Majapahit, hingga jaman penjajahan kumpeni VOC, sebelum Masa Bupati Jayanegara, semua catatan sejarah tentunya mencatatnya sebagai nama “Banger”. Sehingga dapat disimpulkan semasa pemerintahan Wangsa Djajalelana selama kurun waktu empat, s/d lima keturunan (1679 – 1770), nama “Banger” sebagai kebanggaan daerah yang mempunyai sungai kecil, dengan letaknya yang sangat strategis mengalir di tengah kota sebagai sentral perniagaan perekonomian ketika itu menjadi daerah yang cukup diperhitungkan.

Terbukti dalam catatan sejarah dari laporan-laporan VOC penguasa daerah timur selama itu selalu menyebutnya laporan dari “Bupati Banger“. Pada jaman Bupati Djajalelana I yang terprediksi memerintah tahun 1679 s/d 1697, nama “Banger “ diabadikan untuk nama putera pertamanya yaitu “Mas Bagus Banger”. Selain itu pada saat itu pula sering terdengar nama “Kanjeng Banger”, yang konon berselisih dengan Panembahan Meru dari Tengger. masa pemerintahan bupati Jayanegara keturunan dari kasepuhan Surabaya, nama “Banger” dirubah menjadi “Probolinggo”, asal kata dari “Probo” artinya “Sinar”, sedangkan “Linggo” artinya “Badan” atau “Tugu” sebagai tanda peringatan.

Dalam pada itu masih sejaman dengan perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, kita ketemukan adanya nama desa Wirolinggo, (dalam peta) di selatan desa Pangger (Randupangger), dan Maniklinggo nama Blambangan lama.
Mungkinkah perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, terilhami oleh nama-nama itu, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan tgl. 12 Nopember 2005, situs sungai/kali “Banger” saat ini panjangnya ± 6,4 km. Hulu sungai terdapat di DAM Air Desa Pakistaji, sedangkan muara sungai terdapat di Desa Mangunharja, dukuh Tajungan sebelah timur DOK pelabuhan menuju ke laut lepas.

Situs Sungai Banger tidak berfungsi untuk mengairi sawah, karena tidak ada cakupan baku sawah, sehingga berfungsi sebagai Drainase (saluran pematusan / pembuagan air non irigasi). Bila diurutkan dari arah selatan Sungai Banger / Kali Banger bersumber dari dua tempat, sebelah barat dari sumber air Andi, sedangkan di sebelah timur dari sumber air bedungan Kedunggaleng, melewati bendugan Kedungmiri, bendungan Sukun, bendungan Randu, bendungan Gladakserang. Di kelurahan Jrebeng, dan Kanigaran sungai pecah menjadi dua (2), di sebelah barat namanya tetap sungai Banger, sedangkan di sebelah timur bernama sungai Pancor.

Probolinggo Menjadi Tanah Partikelir

Pada masa pemerintahan/kekuasaan Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels, yang terkenal dengan pemerintahan tangan besinya, mengada-kan perubahan-perubahan dalam pemerintahan. “Sejak masa Kerajaan Mataram hingga kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi aset bernilai tinggi bagi para penguasa pulau Jawa dan digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual sebagai tanah partikelir demi melancarkan pembuatan jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer – Panarukan”

 Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada bangsa asing. “Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta dolar. Ini, dan beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif  di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah cukup lama sehingga sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya, yang akan berakibat separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya, taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh tuannya)”

Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di sebelah Selatan Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.

Gemeente (Kota) Probolinggo

Pada masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17, Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo) pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal 1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan kota  (Stbl. 1928 No.500).

Sejak tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen (di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester (Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929 Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester (Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan diganti L. Noe.

Pemerintah Kota Probolinggo Di Awal Indonesia Merdeka

Pemerintah penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka, berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli 1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip, Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari 1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 )

Sejarah Kalibanger


Kabupaten Probolinggo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini dikelilingi oleh Gunung Semeru, Gunung Argopuro, dan Pegunungan Tengger. Kabupaten Probolinggo mempunyai semboyan "Prasadja Ngesti Wibawa". Makna semboyan tersebut adalah “Dengan rasa tulus ikhlas (bersahaja, jujur, bares) menuju kemuliaan”.

Ketika seluruh Wilayah Nusantara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Patih Gajah Mada telah dapat mewujudkan ikrarnya dalam Sumpah Palapa, menyambut keberhasilan ini, Raja Hayam Wuruk berkenan untuk berkeliling negaranya. Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 M (1281 Saka).

Menyertai perjalanan bersejarah ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata, Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini. Masyarakatnya ramah,tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketenteraman dan kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan, membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.

Ketika rombongan tamu agung ini hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga. Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.

PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO

Kerajaan Singasari (1222-1292)

Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana) tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara. (1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun, wanua, kuwu, hingga watekmasih belum muncul di wilayah Probolinggo.
Status wilayah Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lamajang.

2. Masa Majapahit

Pada masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan), yang menurut Negara Kertagama di bawahNatha (Gubernur) Nagarawardhani, dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.

Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M.

Yang menarik dari Kakawin itu adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo, Prapanca mencatat nama-nama desa dan kuwu. Nama Banger, Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi, Sajabung, dan Pabayeman. Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka Bajranaparamitapura.

Ketika rombongan raja meninjau sebuah komunitas keagamaan mandhala di daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis. “Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger” nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal yaitu Prapanca

Dalam upaya mendekatkan diri dengan rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi, Mangunharjo, Wiroborang).

Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359 Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.

Sejalan dengan perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman. Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.

Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.

3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)

Kerajaan Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada 1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih Majapahit, yang pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari Sengguruh.

Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan, Malang dan Probolinggo.

Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.

Supit Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan, pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.

4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)

Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit dengan ibukota Panarukan (1600 M).

Pada masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.

Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang. Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.

Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas, Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang, Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing, Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu : Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.

5. Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII

Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi kerajaan ini juga mencakup Probolinggo.

Kemudian (1717) Pasuruan kembali melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada di tangannya.
Surapati dan para putra dan cucunya, yang menggantikannya tetap menjadi orang Bali, memeluk Hindu, bersumpah untuk selalu menentang Kompeni dengan segala cara. Dengan Blambangan mereka berhubungan baik; saling mengikat perkawinan dan persahabatan. Raja-raja Blambangan bersama dengan Surapati menjadi ancaman bagi Kompeni. Orang-orang Blambangan hanya ingin melepaskan diri dari pengaruh Bali.

6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII

Pada Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun 1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota), negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan berdasarkan struktur yang ada.

Pada masa Pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati). Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger, keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya, terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun 1768, terus mengembara/lelono.

Sebagai pengganti Kyai Djojolelono, kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat, Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat dianggap sebagai makam keramat.

Di bawah pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat). Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean belakang Masjid Jami.
 
Masa Emas Kali Banger

Kali Banger merupakan sungai utama di Probolinggo. Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900 M. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo.Di sungai ini, kapal-kapal pedagang China bahkan dari pulau Madura bisa masuk hingga ke tengah Kota Probolinggo.

Ini menunjukkan Kali Banger bisa menjadi jalur strategis, Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonnomian yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”. Kira-kira wilayah itu sekarang berada di pasar Baru kota Probolinggo.

Nama “Banger” sebagai nama wilayah Kabupaten Probolinggo dipakai sebagai kebanggaan nama daerah, sejak jaman Majapahit tahun 1365 hingga 1770 masa pemerintahan Bupati Jayanegara. Sehingga setidak-tidaknya selama ± 405 tahun, nama “Banger” selalu terpatri dan mengisi dokumen-dokumen perjalanan sejarah Kabupaten Probolinggo masa lalu, hingga melegenda sampai sekarang. Selama masa Kerajaan Majapahit, hingga jaman penjajahan kumpeni VOC, sebelum Masa Bupati Jayanegara, semua catatan sejarah tentunya mencatatnya sebagai nama “Banger”. Sehingga dapat disimpulkan semasa pemerintahan Wangsa Djajalelana selama kurun waktu empat, s/d lima keturunan (1679 – 1770), nama “Banger” sebagai kebanggaan daerah yang mempunyai sungai kecil, dengan letaknya yang sangat strategis mengalir di tengah kota sebagai sentral perniagaan perekonomian ketika itu menjadi daerah yang cukup diperhitungkan.

Terbukti dalam catatan sejarah dari laporan-laporan VOC penguasa daerah timur selama itu selalu menyebutnya laporan dari “Bupati Banger“. Pada jaman Bupati Djajalelana I yang terprediksi memerintah tahun 1679 s/d 1697, nama “Banger “ diabadikan untuk nama putera pertamanya yaitu “Mas Bagus Banger”. Selain itu pada saat itu pula sering terdengar nama “Kanjeng Banger”, yang konon berselisih dengan Panembahan Meru dari Tengger. masa pemerintahan bupati Jayanegara keturunan dari kasepuhan Surabaya, nama “Banger” dirubah menjadi “Probolinggo”, asal kata dari “Probo” artinya “Sinar”, sedangkan “Linggo” artinya “Badan” atau “Tugu” sebagai tanda peringatan.

Dalam pada itu masih sejaman dengan perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, kita ketemukan adanya nama desa Wirolinggo, (dalam peta) di selatan desa Pangger (Randupangger), dan Maniklinggo nama Blambangan lama.
Mungkinkah perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, terilhami oleh nama-nama itu, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan tgl. 12 Nopember 2005, situs sungai/kali “Banger” saat ini panjangnya ± 6,4 km. Hulu sungai terdapat di DAM Air Desa Pakistaji, sedangkan muara sungai terdapat di Desa Mangunharja, dukuh Tajungan sebelah timur DOK pelabuhan menuju ke laut lepas.

Situs Sungai Banger tidak berfungsi untuk mengairi sawah, karena tidak ada cakupan baku sawah, sehingga berfungsi sebagai Drainase (saluran pematusan / pembuagan air non irigasi). Bila diurutkan dari arah selatan Sungai Banger / Kali Banger bersumber dari dua tempat, sebelah barat dari sumber air Andi, sedangkan di sebelah timur dari sumber air bedungan Kedunggaleng, melewati bendugan Kedungmiri, bendungan Sukun, bendungan Randu, bendungan Gladakserang. Di kelurahan Jrebeng, dan Kanigaran sungai pecah menjadi dua (2), di sebelah barat namanya tetap sungai Banger, sedangkan di sebelah timur bernama sungai Pancor.

Probolinggo Menjadi Tanah Partikelir

Pada masa pemerintahan/kekuasaan Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels, yang terkenal dengan pemerintahan tangan besinya, mengada-kan perubahan-perubahan dalam pemerintahan. “Sejak masa Kerajaan Mataram hingga kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi aset bernilai tinggi bagi para penguasa pulau Jawa dan digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual sebagai tanah partikelir demi melancarkan pembuatan jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer – Panarukan”

 Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada bangsa asing. “Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta dolar. Ini, dan beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif  di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah cukup lama sehingga sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya, yang akan berakibat separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya, taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh tuannya)”

Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di sebelah Selatan Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.

Gemeente (Kota) Probolinggo

Pada masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17, Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo) pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal 1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan kota  (Stbl. 1928 No.500).

Sejak tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen (di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester (Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929 Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester (Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan diganti L. Noe.

Pemerintah Kota Probolinggo Di Awal Indonesia Merdeka

Pemerintah penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka, berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli 1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip, Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari 1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 )

 

Sejarah Berdirinya Pasuruhan


Sejarah Kabupaten Pasuruan bermula dari Peradaban Kerajaan Kalingga atau Ho Ling yang diperintah oleh  seorang Raja bernama Sima. Pada Tahun 742 - 755 Masehi,  Ibu Kota Kerajaan Kalingga  dipindahkan ke wilayah timur oleh Raja Kiyen yaitu daerah  Po-Lu-Kia-Sien yang ditafsirkan Pulokerto. Pulokerto adalah salah satu nama desa di wilayah Kecamatan Kraton Kabupaten Pasoeroean.

Setelah masa kejayaan Kalingga berakhir muncullah KerajaanMataram Kuno dibawah kekuasaan Dinasti Sanjaya Tahun 856 Masehi dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan, diantara keturunan raja Dinasti Sanjaya yang telah banyak meninggalkan beberapa prasasti baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah adalah Raja Balitung. Kemudian pada Tahun 929 seorang Raja dari keluarga lain memerintah yaitu Mpu Sindok yang telah menggeser pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dengan ibu kota kerajaan  Tawlang identik dengan nama Desa Tembelang di daerah Jombang. Selama memerintah Mpu Sindok telah mengeluarkan lebih dari dua puluh prasasti diantaranya Prasasti yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol yang menyebutkan Mpu Sindok memerintahkan agar rakyat Cungrang yang termasuk wilayah bawang, dibawah langsung Wahuta  Tungkal untuk menjadi sima (tanah perdikan). Substansi dalam prasasti ini dikonfersikan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan Hari Jum’at Pahing, tanggal 18 September 929 Masehi.

Dalam era jaman Majapahit dari Abad XII sampai Abad XIV  Masehi nama Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan  tertulis dalam Kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca. Pasoeroean dari segi kebahasaan dapat diurai menjadi pa-soeroe-an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh. 

Sesudah Kerajaan Majapahit berangsur surut berdirilah kerajaan Islam diantaranya Kerajaan Demak Bintoro, Kerajaan Giri Kedaton, Kerajaan pajang dan Kerajaan Mataram.

Pada era  Pasoeroean dalam kekuasaan Kerajaan Giri sekitar Abad  XIV sampai XVI  salah satu peninggalan utama adalah daerah Sidogiri. Berdasarkan sejarah lisan bahwa daerah inilah awal Sunan Giri meletakkan dasar-dasar dakwah dengan membuka langgar sekaligus tempat ngaji yang kemudian dinamakan Sidogiri.

Pada masa Kerajaan Demak Abad Ke XV,   Pasoeroean memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam. Bahkan Adipati Pasoeroean berhasil memperluas  kekuasaannya sampai Kediri. Pasoeroean dibawah Kerajaan Pajang  tidak lama karena pada Tahun 1616ketika Sultan Agung bertahta Kerajaan Mataram berhasil merebut wilayah Pasoeroean. 

Perkembangan selanjutnya Pada saat  Amangkurat I memegang kekuasaan   diangkatlah  Kyai Darmoyuda menjadi wedana Bupati Pasuruan. Wilayah Pasoeroean dibawah kekuasaan Amangkurat I banyak pergolakan untuk memisahkan diri dari Kerajaan Mataram bahkan pada saat Untung Suropati berkuasa di Pasoeroean upaya itu sangat kuat sehingga mataram dibantu Kompeni  Belanda berupaya mengembalikan wilayah Pasuruan masuk kekuasaan Kerajaan Mataram.

Perkembangan selanjutnya  pada masa Kolonial Belanda berdasarkan Staatblad 1900 No 334 tanggal 1 Januari 1901dibentuklan KabupatenPasoeroean yang wilayahnya berbatasan dengan madura, laut hindia, sebelah barat dengan residen Kediri dan Surabaya.

Setelah melakukan kajian yang utuh dan menyeluruh terhadap fakta Sejarah Kabupaten Pasuruan, maka diperoleh lima kriteria pokok dalam penetapan hari jadi yang disepakati oleh masyarakat KabupatenPasoeroean yaitu :

1.   Adanya periode sejarah tertua,

2.   Bukti tertulis dan peninggalan yang tertua,

3.   Pemukiman yang tertua,

4.   Struktur pemerintahan tertua dan bersifat indonesia-sentris.

5.   Menunjukkan kebanggaan pada peradapan lokal,

Maka diperoleh  hari kelahiran Kabupaten Pasoeroean berdasarkan PRASASTI CUNGRANG / SUKCI  yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol maka Kabupaten Pasoeroean Lahir pada Hari Jum’at Pahing tanggal 18 September 929 M.

Dan atas dasar pertimbangan perjalanan sejarah inilah, maka diundangkan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2007 tentang Hari Jadi Kabupaten Pasuruan yang menetapkan  tanggal 18 September sebagai Hari Jadi Kabupaten Pasuruan dan diperingati setiap tahun di wilayah Kabupaten Pasuruan.
 
Letak Kota Pasuruan beradadi tepi pantai Utara Jawa Timur dan merupakan Kota Kuno setingkat kota bersejarah lainnya. Pada jaman kerajaan Airlangga disebut Paravan, selain itu disebut Kota Gembong, karena di tengah kota Pasuruandilaluisungai Gembongdengan pelabuhannva antar pulau.

Sejarah Kota Pasuruan dapat dirinci sebagai berikut:

Tahun 1671 – 1686, Pasuruan dibawah Pemerintahan Bupati Onggo Djojo yang berasal dari keturunan Kyai Brondong, yang kemudian mendapatkan perlawanan dari Untung Suropati. melarikandiri ke Kota Surabaya.

Tahun 1686 – 1706, Pasuruan dibawah Pemerintahan Djoko Untung Suropati dengan gelar Adipati Wironegoro.

Tahun 1706, sebagai akhir kekuasaannya menghadapi perang dengan VOC di Bangil dan beliau mengalami lukaberathinggameninggal yang sampai kini makamnya tidak diketahui tempatnya, namun yang bisa diketahui adanya petilasan berupa gua sebagai tempat persembunyian sewaktu dikejar tentara VOC di Pedukuhan Mancilan Desa Pohjentrek Kecamatan Purworejo Kotamadya Pasuruan.

Tahun 1707- 1743, Putera Djoko Untung Suropati yang bernama Rahmat menggantikan kedudukan ayahnya dan meneruskan perjuangannya sampai gugur dalam pertempuran melawan VOC Kerajaan Belanda.

Tahun 1743, Darmoyudo IV bernama Wongso Negoro Niti Negoro sebagai pengganti Rahmat, sejak saat itulah VOC dapat menguasai pantai Utara pulau Jawa termasuk Pasuruan.

VOC menganggap kota Pasuruan sebagai Kota Bandar karena keberadaan pelabuhannya untuk sarana transportasi perdagangan, akhirnya Belanda mengadakan kegiatan perekonomian dengan mendirikan PabrikGuladisekitar Pasuruan yang sampai sekarang masih nampak kegiatannya Pabrik Gula Kedawung.

Pada saat itu pula wilayah Pasuruan meliputi: Kabupaten/KotamadyaMalang, Kabupaten/Kotamadya Probolinggo dan Kabupaten Lumajang.

Juli 1916, dibentuknya Staatgementee Van Pasuruan. Bukti lain bahwa sejarah Kota Pasuruan yang dianggap kota penting oleh ahli Belanda.

Tahun 1926, ditetapkannya sebagai Pelabuhan Pasuruan Stbl. 1926 Nomor 521 dengan perubahan Stbl. 1926 Nomor 426.

14 Agustus 1950, sejak tanggal ini dinyatakan Kota Pasuruan sebagai Daerah Otonom yang terdiri 19 Desa dalam 1 Kecamatan.

21 Desember 1982, Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 Kecamatan dengan 19 Kelurahan dan 15 Desa. Dalam kurun waktu 1990 sampai 1994/1995 Kotamadya Pasuruan dikatagorikan sebagai Kota Sedang.

Tahun 1686, Kerajaan Belanda dengan kekuasaan VOC nya ingin menguasai wilayah Pasuruan yaitu wilayah yang disebutkan di atas.

Tahun 1743, Belanda menguasai Pasuruan bersama kepentingannya.

Tahun 1835, telah mendirikan bengkel-bengkel dan pabrik-pabrikgula termasuk pusat penelitian yang pada saat itu disebut PROOF STATION VAN JAVA dan sekarang berubah nama menjadi PUSAT PENELITIAN PERKEBUNANGULA INDONE­SIA (P3GI).

Tahun 1865, Selain itu Belanda (VOC) mendirikan pula bengkel-bengkel untuk menunjang kelancaran operasional pabrik, bernama DE BROMO.

Tahun 1971, DE BROMO berubah nama PN BOM A yang tergabung didalamnya PT BOMABISMAINDRA. Peninggalan lainnya setelah adanya penjajahan Belanda(VOC) adalah:

Pelabuhan Pasuruan sebagai pelayaran interinsuler/pelabuhan rakyat antar pulau.

Bangunan kuno yang mempunyai sifat arsitektur barat campur Jawa kuno, sebagai tempat tinggal pekerja Belanda.

 

Sejarah Lumajang


Bumi LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA RAHARJA".

PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.

Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA.

Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain :
Prasasti Mula Malurung
Naskah Negara Kertagama
Kitab Pararaton
Kidung Harsa Wijaya
Kitab Pujangga Manik
Serat Babat Tanah Jawi
Serat Kanda

Dari Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975 dan ber-angka tahun 1177 Saka (1255 Masehi) diperoleh informasi bahwa NARARYYA KIRANA, salah satu dari anak Raja Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan Singosari, dikukuhkan sebagai Adipati (raja kecil) di LAMAJANG(Lumajang). Pada tahun 1255 Masehi, tahun yang merujuk pada pengangkatan NARARYYA KIRANA sebagai Adipati di Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai dasar penetapan Hari Jadi Lumajang (HARJALU).

Dalam Buku Pararaton dan KIDUNG HARSYA WIJAYA disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya atau Kertarajasa dalam mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan. Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara dan ditempatkan di Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat sebagai Rakyan Mapatih.

 Pengangkatan Nambi sebagai Mapatih inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan di Majapahit. Apalagi dengan munculnya Mahapati(Ramapati) seorang yang cerdas, ambisius dan amat licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Suro, dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.

Nambi yang mengetahui akan maksud jahat itu merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya(Arya Wiraraja) sedang sakit, maka Nambi minta izin kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah Wiraraja meninggal pada tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke Majapahit, bahkan membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu pasukan Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.

Pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA yang ditulis oleh Prapanca menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh dongeng belaka.

Di tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara terdapat bangunan mirip candi, berlubang tembus, terdapat CANDRA SENGKALA yang berbunyi "TRUSING NGASTA MUKA PRAJA" (TRUS=9, NGASTA=2, MUKA=9, PRAJA=1). Bangunan ini merupakan tetenger atau penanda, ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu pada tahun 1929. Lumajang dinaikkan statusnya menjadi REGENTSCAH otonom per 1 Januari 1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT KERTO ADIREJO, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah Kabupaten Probolinggo).

Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949, Lumajang dijadikan sebagai basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.

Nama-nama seperti KAPTEN KYAI ILYAS, SUWANDAK, SUKERTIYO, dan lain-lainnya, baik yang gugur maupun tidak, yang dikenal atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa yang dengan meneruskan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan bekerja secara tulus, menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan bersedia berkorban demi kemajuan Lumajang Tercinta.

Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990

 Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.

1. KRT KERTODIREJO ( 1928 - 1941 )
2. R. ABU BAKAR  ( 1941 - 1948 )
3. R. SASTRODIKORO  ( 1948 - 1959 )
4. R. SUKARDJONO ( 1959 - 1966 )
5. N.G. SUBOWO ( 1966 - 1973 )
6. SUWANDI ( 1973 - 1983 )
7. KARSID ( 1983 - 1988 )
8. H.M. SAMSI RIDWAN ( 1988 - 1993 )
9. TARMIN HARIYADI ( 1993 - 1998 )
10. Drs.H. ACHMAD FAUZI ( 1998 - 2003 )
11. Drs.H. ACHMAD FAUZI - H. HARTONO, SH, S.Sos ( 2003 - 2008 )
12. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2008 - 2013 )
13. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2013 - 2018 )


Wisata Kabupaten Lumajang komplet, mulai dari pantai, air terjun, sampai gunung. Ada juga pura alias tempat ibadah. Juga danau atau ranu. Juga ada situs peninggalan jaman Arya Wiraraja. Kabupaten Lumajanglumayan padat, dihuni oleh satu jiwa jiwa, mendiami wilayah seluas 1.790 km persegi. Saat ini dipimpin oleh Bupati Sjahrazad Masdar.

Lumajang punya batas selatan Samudera Hindia; dan salah satu zona yang disebut dengan Daerah Tapal Kuda di Jawa Timur. Disebut tapal kuda karena emang mirip ladam alias tapal kuda. Batas utara adalahKabupaten Probolinggo. Batas timurKabupaten Jember. Batas barat adalahKabupaten Malang. Di batas barat laut ada Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, dengan puncaknya Gunung Bromo (2.392 m) dan Gunung Semeru (3.676 m). Batas timur laut adalah ujung barat Pegunungan Iyang.

Warga Lumajang umumnya adalah etnis Jawa dan Madura, dan mayoritas muslim. DiPegunungan Tengger KecamatanSenduro (terutama di daerah Ranupane, Argosari, dan sekitarnya), terdapat masyarakat Tengger beragama Hindu dan punya bahasa khas. Di Senduro ada  bangunan mirip pura, yang kadang-kadang di buat tempat persembahan apabila ada hari besar umat Hindu. Apabila hari biasa biasanya pura tersebut dijadikan sebagai tempat pariwisata.

Bagian timur yang rendah menjadi daerah favorit wisata pantai, seperti Pantai Watu Pecak, Pantai Bambang, Watu Godeg dan Watu Gedeg. Di lingkaran pegunungan Semeru terdapat daerah piket nol yang menjadi puncak tertinggi di lintas perbukitan selatan berdekatan dengan Goa Tetes yang eksotis. Di Daerah Sumber Mujur juga terdapat Kawasan Hutan Bambu di sekitar mata air Sumber Deling yang merupakan kawasan pemuliaan dan pelestarian aneka jenis tanaman bambu yang menjadi habibat bagi kawanan kera dan ribuan kelelawar(keloang). Terdapat juga sebuah tempat wisata mata air suci dan pura watu klosot di Pasrujambe yang menjadi kawasan tujuan wisata bagi peziarah Hindu dari Bali. Ketinggian daerah Kabupaten Lumajangbervariasi dari 0-3.676 m dengan daerah yang terluas adalah pada ketinggian 100-500 m dari permukaan laut 63.405,50 Ha (35,40 %) dan yang tersempit adalah pada ketinggian 0-25 m dpl yaitu 19.722,45 Ha atau 11,01 % dari luas keseluruhan Kabupaten.

Situs Biting adalah bekas ibu kota Arya Wiraraja. Selain itu Lumajang juga punya situs prasejarah di Kandangan (Kecamatan Senduro), Situs Watu Lumpang di Dusun Watu Lumpang, Kecamatan Gucialit, Candi Agung di Kecamatan Randu Agung, Situs Tegal Randu di Kecamatan Klakah, Situs Candi Gedong Putri di desa Klopo Sawit Kecamatan Candi Puro. Situs-situs ini sampai sekarang masih berserakan dan meminta perhartian lebih intens karena ancaman alaman dan ulah tangan manusia.

Wisata Situs Biting
 

Situs Biting merupakan situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon, Sukodono. Situs ini peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan seluas sekitar 135 hektar. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter. Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km.

Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan “Ketonon” atau terbakar.

Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama “Benteng” karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh Pada tahun 1995 di Kawasan Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak peninggalan Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.

Advokasi Pelestarian oleh Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) Pada tahun 2010 berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya. Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni. Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah

Sejarah Nganjuk


Dari berbagai sumber sejarah diketahui bahwa, disekitar tahun 929 M, di Nganjuk, tepatnya di Desa Candirejo Kecamatan Loceret, telah terjadi pertempuran hebat antara prajurit Pu Sendok, yang pada waktu itu bergelar Mahamantri I Hino (Panglima Perang) melawan bala tentara Kerajaan Melayu/Sriwijaya.

Sebelumnya pada setiap pertempuran, mulai dari pesisir Jawa sebelah barat hingga Jawa Tengah kemenangan senantiasa ada dipihak bala tentara Melayu. Kemudian pada pertempuran berikutnya, di daerah Nganjuk, bala prajurit Pu Sendok memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Kemenangan ini tidak lain karena Pu Sendok mendapat dukungan penuh dari rakyat desa-desa sekitarnya. Berkat keberhasilan dalam pertempuran tersebut, Pu Sendok dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Sri Maharaja Pu Sendok Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa.

Kurang lebih delapan tahun kemudian, Sri Maharaja Pu Sendok tergugah hatinya untuk mendirikan sebuah tugu kemenangan atau Jayastamba dan sebuah Candi atau Jayamerta. Dan terhadap masyarakat desa sekitar candi, karena jasa- jasanya didalam membantu pertempuran, oleh Pu Sendok diberi hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status sima swatantra :ANJUK LADANG”. Anjuk berarti tinggi, atau dalam arti simbolis adalah : mendapat kemenangan yang gilang gemilang; Ladang berarti tanah atau daratan. Sejalan dengan perkembangan zaman kemudian berkembang menjadi daerah yang lebih luas dan tidak hanya seke­dar sebagai sebuah desa.

Sedangkan perubahan kata “ANJUK” menjadi Nganjuk, karena proses bahasa, atau merupakan hasil proses perubahan morfhologi bahasa, yang menjadi ciri khas dan struktural bahasa Jawa. Perubahan kata dalam bahasa Jawa ini terjadi karena : gejala usia tua dan gejala informalisasi, disamping adanya kebiasaan menambah konsonan sengau “NG” (nasalering) pada lingga kata yang diawali dengan suara vokal, yang menunjukkan tempat. Hal demikian inilah yang merubah kata “ANJUK” menjadi “NGANJUK”.

Angka tahun yang tertera pada prasasti Candi Lor adalah tanggal 12 bulan Caitra tahun 859 Caka atau bertepatan dengan tanggal 10 April 937 M. Kalimat yang menunjuk angka tahun tersebut berbunyi : “SWASTI QAKAWARSATITA 859 CAITRAMASA TITHI DWADASIKRSNAPAKSA”. Yang jika diterjemahkan, kurang lebih berbunyi : Selamat Tahun Saka telah berjalan 859 Tahun Pertengahan pertama bulan Caitra tanggal 12″.

Berdasarkan kajian dan analisis sejarah inilah, maka tanggal 10 April 937 M disepakati sebagai hari Jadi Nganjuk, selanjutnya dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nganjuk Nomor : 495 Tahun 1993 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.

Sejarah Candi Lor & Tradisi Masyarakat Sekitar     

Candi Lor merupakan salah satu peninggalan dari dinasti Isyana yang didirikan oleh Mpu Sendok yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Medang kamulan. Sebelum Mpu sendok mendirikan kerajaan ini. Mpu sendok merupakan raja dari kerajaan mataram kuno. Sebelumnya, mataram kuno pusat kerajaannya berada di jawa tengah, namun karena ada beberapa faktor yang salah satunya adalah ancaman bencana alam dari gunung merapi. Maka, kerajaan ini dipindahkan ke  Jawa Timur yang kemudian di beri nama kerajaan Medang Kamulan. Kata medang merupakan nama lain dari Mataram sedangkan Kamulan berasal dari kata mula yang artinya yang awalnya.

Kemudian Mpu sendok pun mendirikan sebuah tugu di Anjuk ladang  dan punden berundak-undak sebagai tanda keberhasilannya yang kemudian disebut candi lor.Candi ini melambangkan perjuangan Mpu Sendok dalam melawan musuhnya dari Melayu yang akhirnya dimenangkan oleh Mpu Sendok. Mpu Sendok juga berjasa kepada masyarakat sekitar yang pada masa itu terbelit pajak. Mpu Sendok kemudian mampu membebaskan rakyat Anjuk Ladang dari pemaksaan pembayaran pajak. Mpu Sendok hanya meminta kepada rakyat Anjuk ladang merawat Jayastamba, yang merupakan tugu kemenangan Mpu Sendok atas Melayu. 

Hari kemenangan tersebut jatuh pada tanggal 10 April, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Nganjuk. Meskipun dijadikan sebagai salah satu  pariwisata kabupaten Nganjuk, masyarakat sekitar masih banyak yang menggunakan candi ini sebagai sarana upacara adat,ritual, dan lain sebagainya. Masyarakat sekitar Nganjuk jugamasih menghargai nilai-nilai budaya serta warisan sejarah tempat tinggal mereka sendiri dengan cara  ikut serta menjaga candi ini agar tetap lestari dan bisa dijadikan objek wisata yang indah dan diminati banyak orang.

Nganjuk pada masa Belanda 

Sejarah pemerintahan kabupaten Pace sangat sulit diungkapkan. Karena kurangnya data yang dapat menjelaskan keberadaannya. Demikian pula halnya dengan mata rantai hubungan antara kabupaten Pace dengan kabupaten Berbek. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan tentang sejarah pemerintahan kabupaten Nganjuk dimulai dari keberadaan kabupaten Berbek bahwa Berbek, Godean, Nganjuk dan Kertosono merupakan daerah yang dikuasai belanda dan kasultanan Yogyakarta, sedangkan daerah Nganjuk merupakan mancanegara kasunanan Surakarta.

Timbul pertanyaan, apakah keempat daerah tersebut mempunyai status sebagai daaerah kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati (Raden Tumenggung) atau berstatus lain? Dari silsilah keturunan raja negeri bima, silsilah Ngarso Dalem Sampean Dalem ingkang Sinuwun Kanjeng Sulatan Hamengkubuwono1 atau asal usul Raden Tumenggung Sosrodi-Ningrat Bupati Nayoko Wedono Lebet Gedong Tengen Rajekwesi dapat diperoleh kesimpulan bahwa memang benar daerah-daerah tersebut pada waktu itu merupakan daerah kabupaten. 

Adaoun penguasa daerah Berbek dan Godean dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Raja bima mempunyai seoarang putra, yaitu: Haji Datuk Sulaeman, yang kawin dengan putri Kyai Wiroyudo dan berputra 4 (empat) orang yaitu;
-Nyai Sontoyudo
-Nyai Honggoyudo
-Kyai Derpoyudo
-Nyai Damis Rembang
2.Nyai Honggoyudo berputra:
-Raden Ayu Rongso Sepuh
-Raden Ayu Tumenggung Sosronegoro
-Raden Ngabei Kertoprojo
-Mas Ajeng Kertowijoyo
3.Raden Tumenggung Sosronegoro I,Bupati Grobongan, mempunyai putra sebanyak 30(tiga puluh) orang, antara lain:
-Raden Tumenggung Sosrodiningrat I (putra I)
-Reden Tumenggung Sosrokoesoemo I (putra VII)
-Raden Tumenggung Sosrodirjo (putra ke XXIII)
4.Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I adalah Bupati Berbek (sebelum pecah dengan Godean) Berputra sebanyak 19 (sembilan belas) orang, antara lain :
-RMT Sosronegoro II(putra ke-2)
-RT. Sosrokoesoemo II (putra ke-11).

Menurut pengamatan  ketika RT Sosrokoesoemo I meninggal dunia, telah digantikan adiknya, yakni RT Sosrodirdjo sebagai Bupati Berbek. Setelah itu Berbek di pecah menjadi dua daerah, yaitu berbek dan godean. RT. Sosrodirdjo tetap memimpin daerah Berbek, sedangkan Godean dipimpin oleh keponakannya yaitu RMT. Sosronegoro II (putra kedua dari RT Sosrokoesoemo I). selanjutnya, menurut perkiraan, setelah kedua bupati tersebut surut/pension, kabupaten Berbek yang dipimpin oleh RT. Sosrokoesoemo II (Putra ke-11 dari RT.Sosrokoesoemo I).

Tentang kabupaten Nganjuk dan Kertosono belum dapat diungkapkan lebih kauh, karena dalam perkembangan selanjutnya kedua daerah tersebut bergabung manjadi satu dengan daerah Berbek, yang diperkirakan terjadi sebelum tahun 1852. Adapun bupati Nganjuk sekitar tahun 1830 adalah RT.Brotodikoro, sedangkan bupati Kertosono adalah RT. Soemodipoero.

Nganjuk Sekitar Tahun 1830

Perjanjian Sepreh, pada tanggal 3 juli 1830 atau tanggal 12 bulan suro tahun 1758, telah diadakan suatu pertemuan di Pendopo Sepreh oleh Raad Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden untuk mengatur daerah-daerah mancanegara kesunanan Surakarta atau kesultanan Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari persetujuan antara Neterlandsch Gouverment dengan yang mulia saat itu akan ditempatkan dibawah pengawasan dan kekuasan Nederlandsch Gouverment.

Keesokan harinya, pertemuan tersebut telah menghasilkan “Perjanjian Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengurus daerah-daerah kraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara. Apabila dicermati, ternyata salah satu dari 23 Bupati yang telah ikut menandatangani perjanjian tersebut adalah raden Tumenggung Brotodikoro, regency van Ngandjoek. Mengapa demikian hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bahwa yang mengikuti pertemuan di Pendopo Sepreh hanyalah bupati-bupati mancanegara dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, sedangkan bupati Berbek dan bupati Kertosono, sebagaimana diuraikan dimuka, adalah merupakan bupati dari daerah-daerah yang telah dikuasai dan mulai tunduk dibawah pemerintah belanda jauh sebelumnya.

Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak adanya Perjanjian Sepreh 1830, atau tepatnya tanggal 4 juli1830, maka semua kabupaten di nganjuk (Berbek, Kertosono dan Nganjuk ) tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment.

Nganjuk Setelah Perjajian Sepreh, pada tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dau bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang telah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah keratin.

Dari hasil konperensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tetang rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan bahwa:

Pertama: Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri dari dua residensi, yaitu Residensi Kediri dan Residensi Madiun

Kedua: Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-distrik Blitar, Trenggalek, kampak dan yang lebih timur sampai dengan batas-batas dari Malang; baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik juga akan diatur kemudian. 

Ketiga: Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten :Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-dastrik Blitar, trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timuar sampai dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari Kabupaten-kabupaten maupun Distrik-distrik juga akan diatur kemudian. Sebagai realisasinya, pada kurun waktu empat bulan kemudian ditetapkanlah Resolusi No 10 Tanggal 31 Desember 1830, yang berisikan tentang pelaksanaan dari Skep. Tanggal 31 Agustus 1830 tersebut di atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam isi Resolusi tersebut, khususnya pada bagian keempat, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

Keempat: juga sangat disayangkan, dari Skep, tanggal 31 Agustus Y1. La. No 1 terpaksa disetujui (diperkuat) dua Residensi dalam kabupaten-kabupaten:

a.Residensi Madiun dalam kabupaten - kabupaten:
Madiun
Poerwo-dadie
Toenggoel
Magetan
Gorang-gareng
Djogorogo
Tjaruban
b.Residensi Kedirie dalam kabupaten - kabupaten:
Kedirie
Nganjoek
Berbek
Kertosono

Dari hasil pengamatan kedua dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa setelah penyerahan pengawasan dan kekuasaan atas daerah-daerah mancanegara oleh Suhunan dari surakarta dan Sultan dari Yogyakarta kepada pemarintah Hindia Belanda, maka pemerintah Hindia Belanda telah menerapkan tiga wilayah pemerintahan yaitu:Kabupaten Ngandjoek, kabupaten Berbek dan kabupaten Kertosono.

Tentang para penjabat Bupati dari ketiga kabupaten tersebut , ditetapkan dengan akte Komisaris Daerah-daerah yang telah diambil alih, yang ditandatangani di Semarang 16 juni 1831, oleh van Lawick van Pabst, dengan tiga personalia Bupati sebagai berikut :

Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo sebagai Bupati Berbek
Raden Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Nganjuk dan
Raden Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati Kertosono

Penetapan pejabat-pejabat Bupati tersebut bersamaan dengan penetapan pejabat Bupati yang lain dalam Residensi kedirie: Bupati Kedirie Raden Mas Toemenggoeng Ario Djojoningrat; Bupati Ngrowo – Radeen DIpati Djajengningrat; Bupati Kalangbret – Radeen Toemenggoeng Mangoondikoro; dan Bupati Srengat Radeen Ngabey Mertokoesoemo.

Air terjun Sedudo 

Dibalik Mitos Air Terjun Sedudo Nganjuk
Kaya rempah-rempah, Bisa jadi Obat Awet Muda

Banyak yang menyakini jika air terjun Sedudo mampu membuat awet muda siapa saja yang mandi disana. Ada apa dibalik mitos itu?

Jika kita mendengar wisata air terjun Sedudo yang terletak di Desa Ngliman Kec Sawahan, akan selalu muncul dibenak kita jika air terjun ini mempunyai banyak khasiat, salah satunya adalah menjadi obat awet muda. 

Hal ini banyak diyakini masyarakat sekitar, juga masyarakat diluar Nganjuk. Terbukti jika wisata air terjun ini tak pernah sepi dari pengunjung. Baik yang hanya sekedar ingin menikmati pemandangannnya yang indah, atau memang sengaja ingin membuktikan mitos yang banyak berkembang itu.Namun tak banyak yang tahu apa yang menyebabkan air terjun yang berada di Kab Nganjuk bagian selatan itu mempunyai mitos seperti ini. 

Kalangan sejarah menilai,mitos ini berdasar atas sejarah terbentuknya air terjun itu dan kajian ilmiah. Ada sejarah dan perkiraan secara ilmiah tentang mitos itu. Dari tinjauan sejarah, saat itu air terjun Sedudo dibuat oleh salah satu tokoh warga sekitar bernama Sanak Pogalan.

Ia merupakan petani tebu yang harus menelan kecewa dari peenguasa jaman itu. Karena kekecewaannya inilah, ia kemudian menjadi yang mukim pertama disekitar sumber air terjun Sedudo. Dalam tapanya, ia berniat untuk menenggelamkan Kota Nganjuk dengan membuat sumber air yang sangat besar.

’’Dia bersumpah untuk menenggelamkan desanya itu. Dan dibuatlah sumber air yang sangat besar,’’ Karena kesucian Sanak Pogalan inilah, sebagian warga meyakini jika sumber air terjun Sedudo, mengandung beberapa khasiat, salah satunya menjadi obat awet muda.

Selain tentang sejarah, ia juga menduga jika secara ilmiah khasiat obat awet muda dari air terjun Sedudo ini bisa diraba. Pada jaman kerajan dulu, ada tokoh bernama Kyai Curigonoto yang sengaja mengasingkan diri di atas lokasi air terjun.

Dalam pengasingannya itu, Kyai Curigonoto berniat untuk menjadikan hutan itu sebagai kebun rempah-rempah. Karena menganggap jika tanah hutan, bisa menjadi mediayang sangat bagus untuk mengembangkan rempah-rempah yang saat itu menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kyai Curigonoto lantas meminta Raja Kerajaan Kediri untuk mengirim rempah-rempah ke tempat pengasingannya itu. Namun, tak begitu jauh dari tujuannya, tiba-tiba gerobak-gerobak yang mengangkut rempah-renpah itu terguling diantara sumber air terjun Sedudo. ’’Lalu rempah-rempah ini tumbuh subur hingga memenuhi hutan yang menjadi tempat sumber air terjun Sedudo,’’.Sehingga, air yang mengalir keair terjun Sedudo banyak mengandung rempah-rempah itu.’’Secara otomatis, rempah-rempah ini mampu menjadi obat yang multi khasiat, salah satunya adalah memmbuat wajah tampak bersih. Sehingga kelihatan awet muda,’’ 

Mitos ini juga dijunjung tinggi oleh Pemkab Nganjuk sendiri. Buktinya, setiap bulan Syuro, Pemkab Nganjuk menggelar ritual ‘Siraman’. Dimana akan banyak masyarakat Nganjuk yang mandi bersama di lokasi wisata air terjun ini. ’’Memang budaya siraman ini menjadi agenda tahunan Pemkab Nganjuk. Selain untuk menarik wisatawan, juga untuk melestarikan budaya yang sudah ada ratusan tahun silam itu,

Air terjun Singokromo

Air Terjun Singokromo memang masih perawan dan alami sehingga harus berjalan kaki melewati jalan setapak di dalam hutan untuk mencapainya. Sejumlah warga memilih untuk merayakan libur panjang ini di Air Terjun Singokromo.

Puncak Gunung Wilis di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menyimpan sejuta pesona alam yang luar biasa. Selain memiliki Air Terjun Sedudo, di balik gunung tersebut ada air terjun lain yang tidak kalah indah. Namanya Air Terjun Singokromo yang masih perawan dan sangat alami.

Air Terjun Singokromo merupakan satu dari 10 deretan air terjun yang ada di puncak Gunung Wilis. Letaknya lebih tepat di Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Kondisi air terjun ini masih sangat alami dan belum tersentuh pembangunan pemerintah sedikitpun. Tak heran, jalan menuju objek wisata satu ini hanya berupa jalan setapak dengan menuruni lembah di dalam hutan.

Namun, Anda tak perlu khawatir. Rasa lelah setelah berjalan kaki sejauh 1 kilometer akan terobati setelah sampai di bawah air terjun. Ya, selain indah, air terjun setinggi lebih dari 50 meter ini memang benar-benar masih perawan dan sangat alami. Sejumlah pengunjung memilih mengisi hari libur Tahun Baru mereka di Air Terjun Singokromo karena belum terlalu banyak tangan manusia yang menjamah dan mengotorinya.

“Tempatnya masih bersih, sejuk, alami. Udaranya masih enak,” kata Arifin, salah seorang pengunjung.

Sesuai namanya, singo berarti “singa atau harimau” dan kromo berarti “kawin”, dahulunya air terjun ini merupakan tempat yang dikenal angker. Jarang ada manusia yang berani datang karena merupakan tempat berkumpul dan kawinnya harimau di lereng Gunung Wilis.

Berbagai mitos dan kepercayaan mistis terhadap air terjun ini juga masih sangat lekat hingga sekarang. Terbukti, setiap malam bulan purnama banyak warga yang masih mendatangi air terjun ini untuk mengambil airnya karena diyakini ampuh untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sementara, bagi yang belum memiliki jodoh, dengan mandi Air Terjun Singokromo juga dipercaya akan segera bertemu dengan jodohnya.

“Masih banyak yang ritual di sini, terutama setiap malam bulan purnama,” tutur Tulus, juru kunci Air Terjun Singokromo.

Anda boleh percaya atau tidak, tapi itu merupakan keyakinan yang sampai kini masih melekat bagi sebagian masyarakat. Namun, terlepas dari hal tersebut, Air Terjun Singokromo merupakan satu dari sepuluh deretan air terjun yang ada di puncak Gunung Wilis. Dua di antaranya sudah bisa dijangkau wisatawan, seperti Air Terjun Sedudo dan Air Terjun Singokromo. 
Sementara delapan air terjun lainnya hanya bisa dijangkau oleh warga Desa Ngliman dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Itupun lokasinya berada di puncak gunung dengan area sekeliling masih sangat curam, seperti Air Terjun Segunting, Air Terjun Banyuselawe, Air Terjun Banyuiber, Air Terjun Cagak, Air Terjun Selanjur, Air Terjun Jeruk, Air Terjun Banyupait, dan Air Terjun Cemoro Kandang.

Berikut adalah legenda asal usul Air Terjun Sedudo

Pada zaman kerajaan Kediri, sang raja memiliki seorang putri yang mempunyai penyakit aneh seperti cacar namun sangat menjijikan bagi yang melihatnya, akhirnya oleh sang raja yang tidak lain ayahnya sendiri putri tersebut di suruh untuk berobat ke sebuah padepokan yang berada di daerah Pace. Pemilik padepokan sekaligus teman dari raja ini disuruh menyembuhkan dan menyembuyikan identitas sang putri dari rakyat sekitar. Akhirnya setiap pagi putri di mandikan di air terjun Roro Kuning untuk menyembuhkan penyakit sekaligus pada pagi hari air terjun roro kuning belum dipakai oleh rakyat sekitar.

 Kian hari penyakit putri berangsur – angsur sembuh, paras cantiknya kian terlihat kembali, anak dari pemilik padepokan tersebut mulai mengetahui siapa si putri ini. Bahwa si putri tersebut adalah anak dari raja Kediri yang sedang berobat di padepokan milik ayahnya. Akhirnya kedua anak dari pemilik padepokan tersebut mengejar hati dari putri kerajaan Kediri.

 Pada akhirnya ketiga insan tersebut merajut cinta, namun cerita barulah bermulai ketika si putri tersebut sembuh dari penyakitnya. Akhirnya sang raja dari kerajaan Kediri menjodohkan putri tersebut dengan calon pilihan sang ayah yang tidak lain adalah raja dari kerajaan Kediri, lalu kedua anak dari pemilik padepokan tesebut patah hati berat. Akhirnya sampai berbulan - bulan kedua anak tersebut mengurung diri di sebuah kamar, hingga suatu ketika mereka keluar dari kamar dengan sikap yang berubah total. Dulu yang begitu ramah dengan orang sekitar kini kedua anak tersebut tidak memiliki sopan santun sama sekali terhadap orang lain semenjak peristiwa tesebut.

Karena sikap yang dimiliki oleh kedua anaknya, akhirnya membuat pemilik padepokan tersebut yang tidak lain adalah ayahnya sendiri mengutus kedua anak tersebut bersemedi untuk melupakan jalinan kasih dengan putri kerajaan Kediri, namun sebelum melakukan semedi kakak beradik ini mengucapkan sebuah ikrar sang adik tidak akan pernah sopan santun lagi kepada orang lain sedangkan sang kakak akan selalu hidup melajang.

Sang kakak bertapa di sebuah air terjun tertinggi maka dari itu air terjun yang berada paling tinggi di namakan air terjun Sedudoyang artinya “Sing mendudo” atau dalam bahasa Indonesia artinya “yang melajang”, sedangkan adiknya bertapa di air terjun SingoKromo yang artinya “Sing Ora Kromo” atau dalam bahasa Indonesia artinya “yang tidak memiliki sopan santun”. Letak dari air terjun SingoKromo berada di bawah airSedudo. Nama dari kedua air terjun tersebut di ambil dari janji mereka sewaktu akan melakukan semedi dulu.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...