Dalam sejarah babad Tulungagung disebutkan bahwa nama Tulungagung
tidaklah timbul dengan tiba-tiba. Telah banyak musim silih berganti
berikut masa-masa yang dilampauinya, yang semuanya itu meninggalkan
kenangan-kenangan yang tersendiri di dalam lembaran riwayat terjadinya
Kota Tulungagung. Apa yang dapat kita kenang dari nama Tulungagung
dengan berbagai sejarah nya.
PERGURUAN PACET
Pada jaman pemerintahan Majapahit hubungan antara daerah pedalaman
sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak
dapat dikuasai. Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya
perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja,
karena selain mengajarkan ilmu, para guru umumnya juga merupakan mata
telinga daripada perguruan negara. Demikian juga hubungannya dengan
perguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin
oleh seorang sakti bernama Kyai PACET. Kyai Pacet mengajarkan ngeilmu
Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :
1. Pangeran Kalang dari Tanggulangin.
2. Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.
3. Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.
4. Kyai Kasanbesari tua-tua dari dukuh Tunggul.
5. Kyai Singotaruno dari dukuhPlosokandang.
6. Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono.
7. Pangeran Lembu Peteng putraMajapahit (termasuk murid baru).
Pada suatu hari Kyai Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para
murid-muridnya. Pada pertemuan itu selain memberikan wejangan-wejangan
ilmu, Kyai Pacet juga menceritakan bahwa diantara murid-muridnya ada
yang mendirikan paguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu
gurunya. Kyai KasanBesari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia
sendirilah yang mendirikan paguron sebagaimana kata sindiran yang telah
diucapkan dihadapannya dengan terus trang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Kasanbesari meninggalkan tempat pesamuan.
Dengan kepergian Kyai Kasanbesari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu
menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem
untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke
Bonorowo untuk tetap menjadi murid Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet
menunjuk kedua muridnya tersebut?karena ia mengerti bahwa Pangeran
Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai
Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai
Pacet berpesan pada murid-muridnya yang lain supaya mereka mau tetap di
Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan
mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar
gua adalah Pangeran Lembu Peteng.
KYAI KASANBESARI INGIN MEMYNUH KYAI PACET
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan
marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo
yaitu Pangeran Bedalem danPangeran Kalang dalam wawancaranya Pangeran
Bedalem mengatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai
Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia akan terus pulang ke Betak.
Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Kasanbesari
bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berotak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan membunuh Kyai Pacet.
Pada waktu Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk
ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi dengan tanpa diketahui oleh
pihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena
dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang
siap menerkamnya. Kyai Kasanbesaridan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar
dari gua dan lari tunggang-langgang. Konon, setelah kedua orang itu
melarikan diri maka Kyai Pacet memanggil Pangeran Lembu Peteng yang
berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang
bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa ia tadi telah
mendengar suara “GEMLUDUG”, dan setelah dilihatnya tampaj bahwa Kyiai
Pacet memegang cahaya yang kemudian diberi nama Kyai Gledhug, sedang
desa dimana Kyai bersemedi sampai sekarang bernama Gledhug.
Selesai bersemedi Kyai Pacet segera mengejar kedua oramg yang sedang
berlari itu. Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera
mengeluarkan ilmu kanuragannya dengan membanting buah kemiri yang
berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan
membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular besar. Kedua
bintang itu berkelai, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan
berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari
menderita kekalahan oleh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang.
Kyai Kasan besari terus berlari melarikan diri, sedang Kyai Pacet
bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke padepokan untuk mengerahkan
semua muridnya guna menangkap Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang.
Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh
Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya
dapat berjumpa dengan Kyaibesari dan Pangeran Kalang. Timbullah
peperangan yang ramai. Akhirnya Kyai Kasanbesari melarikan diri ke
Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pngeran Lembu
Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten
Betak. Pada waktu itu putera dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore
sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan
bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di ditu, karena Pangeran Kalang masih
pernah pamannya (saudara kandung ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke Tamansari untuk mencari
Pangeran Kalang. Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro
Kembangsore. Putri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi
disitu. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan
menyatakan asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran
Kalang yang sedang bersembunyi di Tamansari dapat mengintip dan
mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu
Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk
melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem.
Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi
sangat larah sekali, terus pergi ke Tamansari. Timbullah perang antara
Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat
meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar
oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan dir dari
peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah
Kyai Becak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Becak sedang
berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama
Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anaknya
tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu bermaksud untuk
meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama
Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “NGIDERI PARI”. Kyai Becak
tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi
perang. Kyai Becak kalah dan mati terbunuh. Besari terus pergi dengan
membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat
terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa. Oleh
sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari,
maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuh ayah mereka adalah
Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat
menemukannya. Terjadilah pertempuran. Banguntulak dan Dadaptulak kalah.
Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka
tempat di mana ia mati dinamakanBoyolangu. Sedangkan tempat dimana
Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran
Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem
menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu
bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu
Peteng yang lari bersama dengan Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang
beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem.
Pangeran Lembu Peteng dapat ditangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya di
buang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri.
Punakawan Pangeran Lembu Peteng yang telah mengasuhnya sejak kecil
memberitahukan hal tersebut kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera
mengirimkan utusan,ialah Adipati Trenggalek yang diikuti oleh bekas
punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Mojopahit.
Dalam perjalanan mereka bertemu dengan perwira Mojopahit bersama dengan
Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari
Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu
Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan peristiwa terbunuhnya Pangeran
Lembu Peteng. Setelah mengerti duduk perkaranya maka Perwira Mojopahit
bersama dengan Pangeran Suka tersebut ingin membuktikan tempat kejadian
itu bersama-sama dengan wadya balanya. Meskipun diadakan pengerahan
tenaga untuk mencarinya, namun jazad dari Pangeran Lembu Peteng tak jua
ditemukan. Sungai dimana jenazah Pngeran Lembu Peteng dibuang, oleh
perwira Mojopahit diberi nama Kali Lembu Peteng.
PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala
tentara Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan
selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri dengan
menceburkan diri ke sebuah kedung. Kedung tersebut lalu diberi nama
Kedung Bedalem. Oleh karena Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat
menggantikan Pangeran Bedalem adalah Pangeran Kalang.
Bala tentara Mojopahit disebar untuk mencri Kyai Besari. Putra Mojopahit
yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi pencarian ini kena
dirunduk oleh Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung hinga
meninggal dunia. Kedung ini lalu dinamakan Kedungsoko. Akhirnya Kyai
Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh karena
Kyai Besari tidak menyerah maka timbullah peperangan. Kyai Besari kalah
dan terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka Korowelang. Dukuh tersebut
oleh sang perwira dinamakan dukuhTunggulsari. Karena kecakapannya
menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang
perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat elar Patih Gajah
Mada.
PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA RORO INGGIT
Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan
oleh Rr. Inggit, adik dari Reta Mursodo janda almarhum pangeran
Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan retno
Mursodo tidak menyetujuinya. Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit
bersama dengan retno Mursodo meninggalkan Betak dan melarikan diri ke
Plosokandang. Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilagan
jejak, sehingga ia mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa
barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten Betak tetapi tidak mau
melapor, maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.
KYAI PLOSOKANDANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno, disebut
pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari Plosokandang. Pada suatu
hari ia bertemu dengan dua orang putri dari Kadipaten Betak, yang tak
lain adalah Rr, Inggit dan Retno Mursodo. Kedatangan putri Betak ini
sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu
mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh retno Mursodo diceritakan semua,
dan karena Kyai Singotaruno tidak berkeberatan melindunginya, meskipun
ia tahu bahawa tindakannya itu membahayakan dirinya.
Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya apakah Kyai
Singotaruno mempunyai tamu yang berasa dari Betak. Kyai Sin gotaruno
menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorangpun, tetapi Adipati Kalang
tidak percaya, dan ingin melihat ke belakang. Rr. Inggit dan Retno
Mursodo ketika mendengar hal itu segera berkemas dan melarikan diri ke
arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah
kepada Kyai Singotaruno. Ia dianggap salah dan dijatuhi hukuman gantung.
RORO INGGIT BUNUH DIRI
Oleh karena Rr, Inggit takut bila sampai di pegang oleh Adipati Kalang,
maka ia berputus asa dan terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Desa
tempat Rr. Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang dinamakan desa Beji.
Adapun Retno Mursodo terus melarikan ke gunung cilik.
mBOK RORO DADAPAN
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang melawan Kyai Besari, Rr.Kembangsore
dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia
menumpang pada seorang janda bernama mBok Rondo dadapan. mBok Rondho
mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko
Bodho terpikat oleh kecantika Rr. Kembangsore dan ingin sekali
memperistrinya, tetapi selalu ditolak dengan halus oleh Rr. Kembangsore.
Oleh karena Joko Bodho selalu mendesak maka pada suatu hari ketika mBok
Rondho sedang bepergian , asalkan Joko Bodho mau menjalani tapa mbisu
di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodho menyetujui perdyaratan
tersebut dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji ini tidak diketahui
oleh mBok Rondho Dadapan.
Rr. Kembangsore juga pergi ke gunung cilik, maka ketika mBok Rondho
pulang, ia mendapati rumah telah dalam keadaan sepi, dan ternyata
kosong. Ia pergi ke kesana-kemari dan memanggil-manggil kedua anak
tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya ditemukannya Joko Bodho
sedang duduk termenung menghadap ke arah bart. Dipanggilnya berulang
kali tidak mendapat jawaban, karena jengkelnya mBok rondho lupa dan
mengumpat “bocah diceluk kok meneng bae koyo watu”. Seketika itu juga
kaena sabda mBok Rondho, Joko Bodho berubah menjadi batu. mBok Rondho
menyadari atas keterlanjuran kata-katanya, maka ia lalu berharap; “besok
kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri nama gunung Budheg”.
RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Adipati Kalang mendengar bahwa di gunung cilik ada
seorang pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Yang menjadi
pendeta tersebut sebetulnya adalah Rr. Kembangsore. Selain menjadi
seorang pendeta ia juga menjadi seorang empu. Resi ini mempunyai dua
orang abdi kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO.
Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke kadipaten Betak
untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri
untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah
sebagai berikut! Kalau pusakanya ditikamkan ke sebuah pohon
beringindaunnya rontok dan pohonnya tumbang maka dialah pemenangnya.
Selanjutnya, bilamana resi Winadi yang kalah maka Resi bersedia tunduk
dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya jika resi yang menang dan pangeran
berkeinginan untuk memiliki pusaka miliknya maka pangeran harus pergi
sendiri ke Gunung cilik dan bila sudah mulai naik harus berjalan
jongkok, tidak boleh memandang wajah sang resi sebelum diperbolehkan.
Setelah cntrik mengerti akan tugas yang diberikan, berangkatlah ia.
Kecuali menugasi Sarwo, Resi Winadi juga memberi tugasSarwono untuk
masuk ke tamansari Betak dengan menyamar untuk mencabut sumbat ijuk yang
ada di tamansari. Adapun letaknya adalah di bawah batu gilang.
Setelah datang di Betak, cantrik Sarwo menhadap Adipati Kalang dan
mengutarakan maksudnya. Sang Adipati menanggapi dan menyetujuinya.
Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadu
kekuatannya. Pusaka Kadipaten Betak dicoba terlebih dahulu ke pohon
beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi apapun.
Sekarang giliran pusaka gunung cilik. Setelah ditikamkan, pohon
beringinpun langsung rontok dannya dan tumbang pohonnya.
Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka
tersebut. Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati Kalang bersedia
menyetujuinya. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo, dan diikuti oleh
beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke
Gunung Cilik.
Di tamansari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat lidi
segera mencari dan menemukan sabut tersebut. Sumbat segera dicabutnya,
dan seketika itu pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten
Betak-pun banjir dan terendam oleh air. Sarwono dapat menyelamatkan diri
dengan menaiki sebuah getek
DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
waktuSarwono sedang menghadap Resi Winadi, datanglah Ibunya Rr. Mursodo.
Maka saling berceritalah tentang riwayatnya masing-masing. Tak lupa
disebutkan pula tentang kematian Rr. Inggit yang dikarenakan Pangeran
Kalang. Mereka sangat gembira karena dapat bertemu kembali. Kemudian
datanglah Patih Mojopahit engan bala tentaranya yang ingin menyatakan
kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat itu tampak dari kejauhan
kedatangan dua orang. Yang seorang datang dengan berjalan jongkok dan
menyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh
cantrik Sarwo. Setelah dekat Sang Resi memerintahkannya supaya
memandangnya. Alangkah malu dan terkejutnya Pangeran Kalang. Karena yang
disembah-sembahnya tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu
bercampur takut Pangeran Kalang melarikan diri, yang kemudian dikejar
oleh tentara Mojopahit.
PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat
ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehinga pakaiannya hancur dan
badannya penuh dengan luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini
dinamakan CUWIRI. Meskipun telah terluka parah Pangeran Kalang masih
dapat melarikan diri, tetapi tertangkap lagi dan badannya
disembret-sembret oleh anak buah Patih Gajah Mada. Tempat tertangkap
untuk kedua kalinya ini dinamakan desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah
diapun bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya.
Tempat tersebut oleh patih Gajah Mada dinamakanKali Ngesong. Setelah
keadaan aman patih Gajah Mada kembali ke Majapahit.
Mayat Pangean Kalang yang berada di dalam song lama kelamaan terbawa
arus sampai ke timur sampai ke suatu tempat. Mayat (batang—bhs. Jawa)
tersangkut pada akar pohon yang menjulang ke sungai, sehingga sampai
sekarang tempat di mana ditemukannya mayat tersebut dinamakan
desaBatangsaren. Tidak lama kemudian mayat tersebut terbawa arus lagi
sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas pertapaan Rr. Kembangsore
hingga sekarang, menjadi tempat pesadranan.
ASAL MULA NAMA TULUNGAGUNG
Tulungagung berasal dari dua kata Tulung dan Agung. Kata Tulung mempunyai dua arti
Pertama : Tulung dalam bahasa Sanskerta artinya sumber air atau dalam bahasa Jawa dapat dikatakan Umbul.
Kedua : Tulung yang berarti pemberian, pertolongan atau bantuan.
Adapun "Agung" berarti besar.
Jadi lengkapnya Tulungagung mempunyai arti "Sumber air besar" atau "Pertolongan besar".
Menurut Mbah Wo, Juru Kunci Eyang Agung Tjokrokoesoemo, Wajak Kidul.
Meskipun sumber air dan pertolongan itu berlainan artinya, namun di
dalam sejarah Tulungagung keduanya tak dapat dipisahkan, karena
mempunyai hubungan erat sekali dalam soal asal mula terbentuknya daerah
maupun perkembangannya. Dahulu orang menyebutnya Kabupaten Ngrowo, ialah
sesuai dengan keadaan daerahnya yang kesemuanya tidak jauh letaknya
dari sungai. Misalnya : Gledug, Patjet, Waung, Tawing dll; Sebelum
dijadikan Kabupaten daerah-daerah itu dikuasai oleh para Tumenggung.
Dibawah perlindungan Kerajaan Mataram.
Mbah Wo menjelaskan dahulu daerah Ngrowo itu tidak seluas sekarang.
Semenjak Katemenggungan diubah kedudukannya menjadi kabupaten, maka
diperlukan adanya perluasan daerah. Tidak cukup hanya terdiri rawa-rawa
saja, tetapi membutuhkan pula daratan untuk kemakmuran masyarakatnya.
Bantuan-bantuan dari kabupaten sekitarnya sangat dibutuhkan. Ini terjadi
pada sekitar abad ke-19. Kabupaten Blitar menyumbang daerah Ngunut.
Kabupaten Ponorogo menyumbang daerah pegunungan Trenggalek. Sedangkan
Kabupaten Pacitan menyumbang daerah pantai selatan yaitu Ngrajun,
Panggul dan Jombok. Dengan demikian Kabupaten Ngrowo dahulu daerahnya
hingga Kabupaten Trenggalek. Bantuan berupa daerah tersebut merupakan
'pertolongan yang besar bagi pembentukan Kabupaten Ngrowo.
Sebelum dijadikannya kabupaten daerah-daerah tersebut dikuasai oleh para Tumenggung di bawah perlindungan kerajaan Mataram.
Bupati pertama hingga ke XI masih disebut Bupati Ngrowo. Baru pada tahun
1901 nama Ngrowo itu diganti dengan Tulungagung. Ketika itu yang
menjadi bupatinya R. T. Partowidjojo. Beliau yang menyelesaikan
perubahan nama tadi karena menjabat Bupati sejak tahun 1896 hingga tahun
1901. Demikianlah asal mula nama Tulungagung yang dahulu sering disebut
Kota Banjir. Tulungagung mengandung makna "Berasal dari Sumber air yang
besar” tetapi dengan usaha dan bantuan yang besar pula dapat memberi
pertolongan yang besar.
Nama-nama Bupati / Kepala Daerah yang memimpin Tulungagung sejak berdirinya Pemerintahan di Tulungagung
1. KYAI NGABEHI MANGUNDIRONO, Bupati Ngrowo di Kalangbret
2. TONDOWIDJOJO, Bupati Ngrowo di Kalangbret
3. R.M. MANGOENNEGORO, Bupati Ngrowo di Kalangbret
4. R.M.T. PRINGGODININGRAT, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1824-1830
5. R.M.T. DJAJANINGRAT, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1831-1855
6. R.M.A SOEMODININGRAT, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1856-1864
7. R.T. DJOJOATMOJO, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1864-1865
8. RMT GONDOKOESOEMO, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1865-1879
9. RT SOEMODIRJO, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1879-1882
10. RMT PRINGGOKOESOEMO, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1882-1895
11. RT PATOWIDJOJO, Bupati Ngrowo di Tulungagung 1896-1901
12. RT COKROADINEGORO, Bupati Tulungagung 1902-1907
13. RPA SOSRODININGRAT, Bupati Tulungagung 1907-1943
14. R. DJANOEISMADI, Kenchoo Tulungagung 1943-1945
15. R. MOEDAJAT, Bupati Tulungagung 1945-1947
16. R. MOCHTAR PRABU MANGKUNEGORO, Bupati Tulungagung 1947-1950
17. R. MOETOPO, Bupati Tulungagung 1951-1958
18. DWIDJOSOEPARTO, Kepala Daerah Tulungagung 1958-1960
19. KASRAN, Bupati Tulungagung 1958-1959
20. R. SOERYOKOESOEMO, Pd. Bupati 1959-1960
21. M. POEGOEH TJOKROSOEMARTO, Bupati/Kepala Daerah 1960-1966
22. R. SOENDARTO, Pd. Bupati/Kep.Daerah 1966-1968
23. LETKOL (U) SOENARDI, Bupati/Kepala Daerah 1968-1973
24. LETKOL INF. MARTAWISOEROSO, Bupati/Kepala Daerah 1973-1978
25. SINGGIH, Bupati/Kepala Daerah 1978-1983
26. DRS.MOH. POERNANTO, Bupati/Kepala Daerah 1983-1987
27. DRS. H. JAIFUDIN SAID,
28. Drs. BUDI SOESETYO Bupati Tulungagung 1999-2003
29. IR. HERU TJAHJONO, MM. Bupati Tulungagung 2003-2013
30. Syahri Mulyo, SE Bupati Tulungagung 2013-2018
Sejarah
Pada tahun 1205 M, masyarakat Thani Lawadan di selatan Tulungagung,
mendapatkan penghargaan dari Raja Daha terakhir, Kertajaya, atas
kesetiaan mereka kepada Raja Kertajaya ketika terjadi serangan musuh
dari timur Daha. Penghargaan tersebut tercatat dalam Prasasti Lawadan
dengan candra sengkala "Sukra Suklapaksa Mangga Siramasa" yang menunjuk
tanggal 18 November 1205 M. Tanggal keluarnya prasasti tersebut akhirnya
dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Tulungagung sejak tahun 2003.
Dari Ngrowo menjadi Tulungagung
Dahulu orang menyebutnya Kabupaten Ngrowo, ialah sesuai dengan keadaan
daerahnya yang berupa rawa-rawa. Lalu lintas perhubungan dilakukan
melalui sungai, terutama lewat sungai yang hingga sekarang masih disebut
sungai Ngrowo. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila letak
daerah-daerah yang disebut-sebut orang dalam sejarah maupun
cerita-cerita rakyat kesemuanya tidak jauh letaknya dari sungai,
misalnya : Gledug, Pacet, Waung, Ketandan, Tawing, dan lain-lain.
Sebelum dijadikan Kabupaten daerah-daerah itu dikuasai oleh para
Tumenggung di bawah perlindungan kerajaan Mataram.
Di daerah Ngrowo terdapat banyak sumber-sumber air. Diantara
sumber-submer itu yang termasuk besar atau agung airnya ialah tempat
dimana sekarang sudah menjadi alun-alun. Tempat di sekitar alun-alun ini
dinamakan Tulungagung yang berarti ada sumber air yang besar.
Dahulu daerah Ngrowo itu tidak seluas sekarang. Semenjak ketemenggungan
diubah kedudukannya menjadi Kabupaten, maka diperlukan adanya perluasan
daerah. Tidak cukup hanya terdiri dari rawa-rawa saja, tetapi
membutuhkan pula daratan untuk kemakmuran masyarakatnya.
Bantuan-bantuan dari Kabupaten sekitarnya sangat dibutuhkan. Ini terjadi
pada sekitar abad ke-19. Kabupaten Blitar menyumbangkan daerah Ngunut.
Kabupaten Ponorogo menyumbang daerah pegunungan Tranggalih atau
Trenggalek sekarang, sedang Kabupaten Pacitan memberikan daerah pantai
selatan, ialah Ngrajun, Panggul, Prigi, dan Jombok. Dengan demikian
Kabupaten Ngrowo dahulu daerahnya meliputi pula daerah Kabupaten
Tenggalek. Bantuan berupa daerah itu merupakan pertolongan yang besar
bagi pembentukan Kabupaten Ngrowo. Bupati pertama hingga ke XI masih
disebut Bupati Ngrowo. Baru pada tahun 1901 nama Ngrowo itu diganti
dengan TULUNGAGUNG. Ketika itu yang menjadi bupatinya R.T. Partowidjojo.
Beliau yang menyaksikan perubahan nama tadi karena menjabat Bupati
sejak tahun 1896 hingga tahun 1901.
Demikianlah asal mula TULUNGAGUNG yang hingga sekarang masih pula sering
disebut orang kota Banjir. TULUNGAGUNG mengandung makna “Berasal dari
SUMBER AIR YANG BESAR”, tetapi dengan usaha dan bantuan yang besar dapat
pula memberi pertolongan yang besar.
RIWAYAT TERJADINYA ALUN-ALUN TULUNGAGUNG
Semenjak daerah-daerah ketemenggungan digabungkan menjadi satu untuk
dibentuk suatu Kabupaten, maka Kota Ngrowo membutuhkan tempat kediaman
Bupati dan alun-alun. Pertama-tama dibangun di Kalangbret, kemudian di
Ringinpitu. Tetapi karena tidak adanya kesatuan pendapat dari para
Tumenggung, maka pembangunan di kedua tempat itu mengalami kegagalan.
Guna mengatasi hal ini diadakan pelaporan ke Mataram. Dari Kraton
kemudian diperoleh petunjuk berupa ilham, yang mana menyebutkan,
bilamana ingin membangun kota yang nantinya akan dapat langsung berdiri
dan menjadi tempat yang ramai dan daerahnya menjadi subur, supaya
memilih suatu tempat di sebelah utara Wajak. Di situ terdapat sumber air
yang besar. Sumber tersebut supaya disumbat, dan diantaranya ditanami
pohon beringin yang berasal dari Mataram.
Usaha penyumbatan sumber air yang besar itu tidaklah mudah. Oleh calon
Bupati dicarinyalah petunjuk dari seorang yang berilmu tinggi. Di desa
Tawangsari terdapat seorang Kyai sakti yang bernama CHOSIM alias ABU
MANSUR. Kyai Abu Mansur dimintai pertolongan untuk melaksanakan tugas
pembangunan alun-alun tersebut dan oleh beliau disanggupinya. Tindakan
pertama yang diambilnya ialah : Kyai Mansur membongkar tujuh batang
pohon beringin yang ditanam di desa Ringinpitu. Kemudian lalu dicarinya
persenjataan lain berupa seekor kerbau bule (kerbau yang putih warna
bulunya) untuk dipergunakan sebagai sasrahan. Bantuan senjata mistik
juga dijalankan, ialah dengan meminta kedatangan rooh halus yang menurut
cerita bernama DJIGANGDJOJO dan TJUNTANGDJOJO untuk menunggui
penyumbatan air tersebut. Setelah perlengkapannya dipersiapkan, maka
lalu diadakan pengerahan tenaga untuk mencari ijuk guna disumbatkan pada
mata air tersebut. Yang disuruh memadatkan sumber itu ialah kerbau bule
tadi, dengan cara menginjak-injak tanpa istirahat, sehingga karena
lelahnya sampai kehabisan tenaga dan mati, kemudian ditanam sebagai
sasrahan. Disamping itu juga dibuatkan urung-urung dan saluran yang
dapat mengalirkan air lewat Kali Jenes menuju ke sungai Ngrowo. Air
sudah tidak memancar lagi. Bibit pohon beringin yang berasal dari
Mataram ditanam, yang kemudian menjadi sebuah pohon yang rindang. Oleh
masyarakat setempat pohon yang tumbuh di tengah alun-alun itu diberi
nama RINGIN KURUNG, karena di sekelilingnya diberi pagar tembok. Ringin
itu tumbang, akibat angin besar sesudah jaman Jepang ialah pada tahun
1947.
Semenjak disumbatnya sumber air yang besar itu, maka lambat laun
rawa-rawa menjadi kering dan merupakan daerah subur. Pengeringan
rawa-rawa itu berarti pula suatu pertolongan besar bagi masyarakat
setempat, termasuk kota Tulungagung yang telah menjadi ramai seperti
sekarang ini.
Demikianlah sekedar riwayat tentang pembangunan Alun-alun Tulungagung.
BABAD – DEMUK.
Meskipun desa Demuk merupakan desa terpencil yang letaknya di dataran
pegunungan gamping dekat perbatasan Blitar Selatan, namun juga tak
ketinggalan turut menghiasi lembaran dari pada sejarah Kabupaten
Tulungagung.
Kalau orang menyebut nama Demuk, maka kesan pertama yang timbul
menggambarkan nama sebuah desa tempat orang sakti yang memiliki
kelebihan-kelebihan. Desa Demuk pada pertengahan abad ke-19 masih
berwujud hutan belukar yang tidak pernah diambah orang. Tak ada yang
berani mendekatinya. Karena sudah terkenal keangkerannya.
Boleh dikatakan dalam bahasa Jawa “Wingit”: “Jalma mara jalma mati, sato
mara sato mati’. Banyak cerita-cerita ajaib tumbuh di kalangan
masyarakat Tulungagung mengenai babadnya desa ini terutama yang
menyangkut keistimewaan dari pada penghuni pertama atau cikal bakal,
ialah Raden Mas Djajengkoesoemo. Nama ini hampir semua orang-orang tua
mengenalnya.
R.M. Djajengkoesoemo masih keturunan Raja Mataram (Hamengkubuwono II).
Beliau adalah putra R.M.T. Djajaningrat, Bupati Ngrowo yang ke-5. nama
kecilnya R.M. Moidjan. Sejak dari kanak-kanak sudah tampak jiwa
kepahlawanannya, dan bibit kebenciannya terhadap orang-orang Belanda.
Seringkali putera Bupati ini bertengkar dengan sinyo-sinyo dan bahkan
pada suatu ketika pernah ada seorang anak Belanda yang ditempelengnya
sampai jatuh pingsan. Ayahnya, ialah R.M.T. Djajaningrat kerap kali
merasa jengkel terhadap tindakan puteranya. Karena kenakalannya pernah
R.M.Moijan dihajar oleh sang ayah, dimasukkan dalam kolah berisi air
yang dicampur dengan tumbukan lombok rawit. Tetapi ternyata tidak
apa-pa. jangankan menangis, merasa pedih atau “wedangan” (bahasa Jawa)
pun tidak. Setengah orang mengatakan bahwa R.M.Moijan adalah anak kendit
(mempunyai jalur putih yang melingkar diatas pingganya).
Ini menandakan seorang anak yang memiliki kekebalan. Setelah dewasa
R.M.Moijan berganti nama R.M.Djajengkoesoemo. pada tahun 1644
R.M.Djejengkoesoemo R.M.Djajengkoesoemo sudah menjabat Wedono di kota
Tulungagung, lalu pindah ke Srengat (1849), kemudian ke Nganjuk (1851).
Tiga tahun kemudian menjabat Collecteur Berhbek lalu dipindah jadi
Wedono Distrik Gemenggeng. R.M.Djajengkoesoemo sangat memperhatikan
kebutuhan penduduk. Ini terbukti dengan usaha pembangunannya, ialah
ketika di Srengat membuat bendungan Pakel yang dapat menolong
penghidupan rakyat desa Pakel, Pucung, dan Majangan (Ketm. Ngantru).
Selain itu membangun rumah Kawedanan dengan merogoh sakunya sendiri.
Di Nganjuk juga membangun rumah, lantai dan pagar Kawedanan atas biaya
sendiri serta mengerjakan bendungan kali Lo, yang menggenangi kebun tebu
sampai menjadi sawah. Di Gemenggeng membangun rumah Kawedanan beratab
sirap dan memperbaiki bendungan Kedung Gupit-Paron yang sering kali
dadal, sampai menjadi kuta sekali.
Oleh sebab beliau sering berkecimpung dalam masalah pembangunan, maka
hubungannya dengan masyarakat menjadi lebih akrab, sehingga hampir
setiap orang mengenalnya.
Eratnya perhubungan ini lebih menjangkitkan jiwa kepatriotannya,
sehingga dimana saja namanya selalu disebut orang. Beliau termasuk
seorang yang berkeras hati dan pemberani, tetapi perasannya sangat
halus. Hal ini terbukti dengan terjadinya peristiwa Ngujang. Pada waktu
itu jembatan Ngujang sedang dalam keadaan dibangun. Kuli-kuli bekerja
dengan sibuknya.
Dalam perjalannya dari Nganjuk ke Tulungagung R.M.Djajengkoesoemo
tertarik kepada kesibukan pekerjaan-pekerjaan pembangunan, sehingga
terpaksa berhenti untuk melihatnya.
Diantara berpuluh-puluh kuli, terdapat beberapa kelompok orang yang
sedang beristirahat sambil duduk menikmati bekal yang dibawanya dari
rumah.
Kebelutan pada saat itu ada seorang petugas bangsa Belanda yang sedang
berkeliling mengadakan pengawasan. Mengetahui orang duduk sambil makan
itu ia marah-marah dengan membentak-bentak ia menyuruh orang-orang itu
bekraja kembali dan menaburkan pasir pada makanan kuli tersebut.
R.M. Djajengkoesoemo mengetahui semua kejadian itu. Beliau tak dapat
menabahkan hatinya. Tanpa pikir panjang pusakanya dihunus diacungkan
kepada petugas yang kasar itu. Karena pusaka itu sangat ampuh maka
petugas tadi tak dapat bergerak dan mati dalam keadaan tetep berdiri.
Keris pusaka itu bernama keris Kyai Semar Mesem yang sampai sekarang
masih disimpan oleh keturunan R.M. Djajengkoesoemo. Dengan terjadinya
peristiwa itu R.M. Djajengkoesoemo dipersalahkan, tetapi karena beliau
itu masih keturunan Raja, tidak dikenakan hukuman penjara, melainkan
diselong ke Demuk. Untuk ini beliau disuruh mengajukan permohonan babad
hutan kepada pemerintah Belanda. Surat keputusan berhenti dari jabatan
karena pensiun onderstand diberikan dan berlaku mulai tanggal 23-3-1880,
sedang surat ijin babat hutan Demuk diperolehnya pada tanggal 10
Oktober 1893.
Waktu berangkat beliau hanya membawa bekal uang f.0,25, dan mengerahkan
tenaga sebanyak 40 orang. Tiga pedukuhan yang dikerjakan ialah Puser,
Boto dan Kasrepan. Luas tanah yang dibabad kesemuanya ada 35 bau,
terdiri dari 9,75 bau untuk pekarangan, dan 25,25 bau untuk pagagan.
(Isin No. 755 tgl. 10 Oktober 1893). Ikut bertanda tangan sebagai Komisi
:
1. Kontroleur Ngrowo,
2. Wedono Distrik Ngunut, dan
3. Assisten Wedono Kalidawir.
Tanah tersebut tetap menjadi miliknya R.M. Djajengkoesoemo sampai
turun-temurun. R.M. Djajengkoesoemo wafat pada tanggal 9-12-1903 dan
dimakamkan di Demuk.
Sedang putranya bernama R.M. Argono Purbokoesoemo yang umumnya disebut
Raden Margono pernah menjabat Kepala Desa Puser. Cerita kesaktian masih
pula terdapat pada masa itu. Pernah ada seorang mantra klasir
mencobanya, ialah dengan sengaja meninggalkan topinya. Mantri ini lalu
suruhan orang untuk mengambilnya tetapi entah karena apa tidak kuat
mengangkat. R.M.Margono mengerti hal ini. Beliau segera mendekati topi
tersebut, lalu disemparnya dengan kaki. Topi melesat dan jatuh persis di
atas kepala mantri Klasir. Demonstrasi ini diketahui oleh para lid
Klasir, baik dari desa Demuk maupun desa sekitarnya, sehingga setelah
itu Mantri Klasir tak berani menonjolkan kelebihannya lagi.
R.M. Djajengkoesoemo oleh pejabat pemeritnah Belanda sangat disegani. Demikian pula keturunnya ialah R.M. Purbokoesoemo.
Ketika jaman perang kemerdekaan desa Demuk yang terpencil itu menjadi
ramai seperti kota, karena banyak orang datang untuk minta restu agar
untuk mendapatkan keselamatan di dalam masa perjuangan menghadapi musuh.
R.M. Poerbo ini mempunyai 9 orang putera dan salah seorang diantaranya
menjadi isteri Wedono pensiunan (R.P. Sajid) di Kediri, yang menyimpan
surat piagam maupun surat silsilah peninggalan Eyangnya. R.M. Poerbo
meninggal pada tanggal 26-6-1946 dan dimakamkan pula di dekat makam
ayahnya. Hingga sekarang desa Demuk merupakan desa yang bersejarah
sehingga di dekatnya didirikan Pos kemantren dan setelah diadakan
perubahan wilayah, masuk Kecamatan Pucanglaban.
DESA – PERDIKAN
Sebelum kita mengungkap tentang sejarah desa Perdikan yang berada di
dalam wilayah Kabupaten Tulungagung, maka untuk mendapatkan suatu
gambaran yang lebih luas, para pembaca kami ajak meninjau sepintas lalu
dalam garis besarnya tentang pengertian yang menyangkut persoalan tanah
perdikan, sehingga dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan yang
lebih positif dalam mengadakan penilaian selanjutnya.
ARTI KATA PERDIKAN
Nama “perdikan” asalnya dari perkataan Sanskerta “Mahardika” artinya
tuan, master, sieur. Dalam buku Ramayana sebutan mahardikan oleh para
pendeta, diartikan bebas dari hidup lahir. Sebagai seorang kawula sudah
dapat manunggal dengan Gustinya. Akan tetapi dalam dunia yang fana ini
banyak orang yang memakai kata merdika dalam pengertian “bebas untuk
berbuat sekehendak hatinya”.
ASAL DESA PERDIKAN
Desa Perdikan sudah ada sejak dari jaman agama Hindu di Jawa. Pada waktu
itu oleh raja telah diberikan anugerah kepada orang-orang atau
desa-desa tertentu, berupa kebebasan dari membayar pajak atau melakukan
wajib kerjanya terhadap raja atau Kepala Daerah.
HAK-HAK DARI DESA PERDIKAN
Kepada orang-orang atau desa-desa tersebut diberi hak istimewa oleh
raja, misalnya hak untuk memakai songsong kebesaran, memakai warna yang
ditentukan, dan sebagainya.
Pemberian hak atas tanah rupa-rupanya hanya untuk pembukaan hutan
belukar, tidak menyangkut tanah-tanah pertanian. Daerah perdikan itu
langsung di bawah kekuasaan Raja, tidak di bawah pangeran, adipati,
bupati, dan lain sebagainya.
Raja berhak untuk merubah adanya hak-hak istimewa itu dan juga berhak untuk mencabutnya.
ALASAN MEMBERIKAN HAK.
Yang biasanya menjadi alasan bagi Raja untuk memberikan hak-hak istimewa itu misalnya :
I. Untuk memajukan agama.
II. Untuk memelihara makam raja-raja atau bangsawan-bangsawan keturunannya.
III. Untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar dan masjid (di jaman Islam).
IV. Untuk memberi ganjaran kepada orang atau desa yang berjasa kepada
raja umpamanya yang menunjukkan kesaktiannya kepada raja pada saat yang
genting.
Secara demikian maka pegawai tinggi yang berjasa pun diberi pula
ganjaran. Oleh karena itu desa perdikan atau orang-orang yang dapat hak
istimewa tadi tidak di bawah perintah kepala daerah. Mereka politis
termasuk orang penting bagi raja, yaitu sebagai mata telinga raja dalam
daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat kerajaan.
Desa perdikan dapat digolongkan menjadi dua :
Pertama : Yang dibebaskan dari membayar pajak dan melakukan wajib kerja,
dengan dibebankan kewajiban untuk memelihara makam, memelihara
kepentingan agama, dan lain sebagainya.
Kedua : Yang dibebaskan dari kewajiban-kewajiban terhadap raja atau
kepala daerah, dengan ketentuan bahwa kewajiban-kewajiban haruslah
dijalankan guna kepentingan kepala desanya, yang dapat mempergunakannya
sebagai keuntungan sendiri atau untuk lain keperluan.
Adapun yang disebut “ desa perdikan” terdiri dari empat macam, ialah :
I. Desa Perdikan.
II. Desa Mutihan.
III. Desa Pakuncen.
IV. Desa Mijen.
I. Desa Perdikan : Adalah desa yang dibebaskan dari kekuasaan yang
tertentu, dari suatu beban dan kewajiban-kewajiban, yang semua itu harus
dipikul oleh rakyat di daerah biasa. Istilah perdikan, biasa berlaku
buat perseorangan dan dapat berlaku buat suatu daerah (desa) dengan
semua penduduknya.
Apabila segenap penduduk desa dibebaskan dari membayar pajak dan dari
melakukan wajib kerja buat raja atau kepala daerah di atas desa, maka
desa itu dinamakan desa “Perdikan”.
II. Desa Mutihan : Yang dinamakan desa Mutihan ialah desa yang
penduduknya terkenal sebagai orang alim, taat kepada pemerintah agama,
yaitu beribadat berpuasa dalam bulan Ramadhon dan menjalankan perintah
agama. Mereka menjatuhkan diri dari kesenangan-kesenangan lahir, yang
dikenal dalam masyarakat Jawa, seperti pukul gamelan di rumahnya, joged,
tayub, wayang, dan lain sebagainya. Orang tadi disebut “PUTIH”.
Dengan demikian maka guru agama dan santri-santri dibebaskan dari
pembayaran pajak dan wajib kerja, atau kewajiban-kewajiban itu dialihkan
untuk diberikan kepada kepala desa untuk kepentingan agama.
Begitulah maka di-ibu kota kabupaten dan dibanyak ibu kota Kawedanan
diadakan kampung Mutihan, yang biasanya dinamakan kampung Kauman.
III. Desa Pakuncen : Istilah mutihan atau keputihan juga dipakai bagi
mereka, yang diwajibkan memelihara makam para bangsawan atau makam-makam
yang dianggap keramat.
Orang-orang yang memikul kewajiban itu biasanya juga orang yang alim,
setidak-tidaknya ia harus dapat membaca Qur’an dan hafal ayat-ayatnya,
sebab ia dalam beberapa upacara harus dapat mengucapkan atau membaca
do’a.
Nama penjaga dan pemelihara makam tersebut disebut Pakuncen atau
juru-kunci (dari perkataan kunci, yaitu kunci dari pada rumah makam yang
dimuliakan).
IV. Desa –Mijen : Istilah Mijen tidak lagi dipakai di daerah “GOUVERMENT”. Perkataan Mijen asalnya dari istilah Piji.
Di Piji (Piniji) artinya di-ismewakan terpilih dari yang lain-lain.
Di daerah Swapraja oleh Susuhunan telah diadakan desa Mijen untuk guru agama, yang sangat dicintainya.
KEWAJIBAN BAGI DESA PERDIKAN.
Untuk memberi pembebasan pembayaran pajak antar wajib kerja kepada desa
atau orang perdikan yang wajib di-ingat adalah sebagai berikut :
Oleh (1). Tanah yang dimiliki / penduduk desa perdikan dilain desa haruslah dikenakan pajak bumi.
(2). Pembebasan dari pajak penghasilan hanya berlaku bagi penduduk desa
yang tetap, dan kalau penghasilannya didapat dari sesuatu perusahaan,
maka yang dibebaskan hanyalah pajak dari perusahaan, yang tempatnya
berada dalam wilayah desa perdikan saja.
(3). Pembebasan dari pajak rojokoyo hanya berlaku buat chewan milik
penduduk desa perdikan yang tetap atau milik orang perdikan, yang
dagingnya tidak untuk dijual.
(4). Siapa yagna tergolong penduduk tetap dari desa perdikan ditentukan oleh kepala daerah.
Dengan resolusi pemerintahan Ned. Ind. Ttgl. 24/5-1836 No. 12 ditetapkan
bahwa apabila kepala desa perdikan meninggal dunia, untuk penggantinya
harus diajukan calon-calon oleh pegawai pemerintah yang berkewajiban,
terutama dari anak lelaki atau keturunan lainnya. Jika ini tidak ada,
maka pencalonan itu dipilih dari sanak saudara yang paling dekat atau
dari para ulama ang terkemuka.
Dalam Regl. Tentang pemilihan kepala desa (Stbl. 1078 No. 27)
ditetapkan, bahwa kepala desa perdikan diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur Jendral.
SEJARAH DESA PERDIKAN, TAWANGSARI, WINONG DAN MAJAN.
Setelah sedikit banyak kita memiliki pengertian tentang kedudukan serta
persoalan pokok mengenai tanah perdikan, maka marilah kita ikuti sejarah
perkembangan tanah perdikan yang berada di dalam wilayah Tulungagung.
Sejak jaman penjajahan Belanda, Tulungagung memiliki tiga desa perdikan
ialah Tawangsari, Winong dan Majan. Desa-desa tersebut terletak di tepi
sungai Ngrowo masuk wilayah Kecamatan Kedungwaru.
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai asal usul
desa tersebut, di bawah ini kami sajikan sedikit keterangan tentang satu
dan lain hal yang ada hubungannya dengan pendirian serta
perkembangannya.
Mula pertama tiga desa itu tergabung jadi satu, dapat digolongkan
sebagai desa Mutihan, yang dipinpin oleh seorang Kyai bernama Abu
Mansur.
Abu Mansur berasal dari Ponorogo, murid dari Kyai Basyariah. Saudara
laki-laki menjadi Biskal di Bankalan Madura, sedang adiknya bernama Roro
Mirah.
Pada masa itu yang menduduki tahta kerajaan di Mataram adalah Paku
Buwono ke II (1742-1749). Seorang dari permaisurinya adalah Roro Mirah
adik dari pada Abu Mansur. Dengan demikian Abu Mansur termasuk ipar dari
pada Sang Raja.
Oleh sebab Abu Mansur mahir dalam bidang keagamaan maka ia mengajukan
permohonan untuk mendirikan pesantren. Tempat yang dipilihnya ialah desa
Tawangsari yang terletak di dekat sungai Ngrowo. Desa tersebut pernah
ditinjau oleh raja, dan ditanyakan kenapa kyai Mansur memilih daerah
itu, karena mengingat letaknya, dikhawatirkan akan mudah dilanda banjir.
Tetapi Kyai Mansur berpendapat, justru tempat yang dekat dengan air itu
memenuhi syarat untuk dijadikan tanah pertanian dan pesantren.
Pendirian masjid serta pesantren mendapat restu dari raja, Kyai Mansur
mendapatkan piagam, yang menyatakan Tawangsari dijadikan daerah perdikan
dan diserahkan turun-temurun kepada Kyai Abu Mansur .
Di samping itu untuk keselamatan daerahnya kyai Mansur diberi pinjaman
pusaka kraton yang bernama Kyai Banteng Wulung, tetapi bilamana sudah
temurun kepada buyut, diharapkan agar pusaka tersebut dikembalikan ke
Mataram.
Demikianlah secara singkat riwayat berdirinya desa perdikan Tawangsari.
Lama kelamaan pesantren tersebut menjadi ramai, dan kemudian didirikan
masjid lagi di Winong dan Majan dan masing-masing dipimpin oleh Kyai
Ilyas dan Chasan Mimbar, putra dan cucu kemenakan dari kyai Tawangsari.
Mulai saat itu Winong dan Majan dinyatakan berdiri sendiri dan
dinyatakan pula menjadi desa perdikan hinga saat ini. Yang diberi
wewenang untuk memimpin desa tersebut adalah kerabat dan keturunan dari
kedua kyai itu. Kyai Chasan Mimbar adalah keturunan Patih Mataram P.A.
Danuredjo yang kawin dengan Kanjeng Ratu Angger putera puteri dari Roro
Mirah yang menjadi Permaisuri Raja.
Pada jaman Jepang pusaka dari Tawangsari dikembalikan ke Kraton oleh karena Jepang sudah sampai waktunya pada turun buyut.
Yang menyerahkan ke Jogja ialah Eyang Pandji dari desa Maesan Kecamatan
Modjo (ia ada hubungan keluarga dengan Haji Chasan Mimbar).
Pusaka tersebut diterima oleh Hamengku Buwono ke IX. Konon menurut
ceritanya waktu pusaka itu masih di Tulungagung, desa Tawangsari tidak
pernah dilanda banjir besar.
Dalam usaha pembangunan alun-alun Tulungagung Kyai Abu Mansur juga tidak
sedikit jasanya. Beliau yang menyerahkan tenaga untuk penyumbatan
sumber air yang kemudian di atasnya ditanami pohon beringin (baca
sejarah pembuatan alun-alun). Kyai Abu Mansur meninggal dunia di Mekkah
ketika menunaikan ibadah haji
Situs situs bersejarah di Tulungagung
1. MUSEUM DAERAH KABUPATEN TUKUNGAGUNG.
Museum Dearah Kabupaten Tulungagung dibangun pada tahun 1996, berlokasi
di Jalan Raya Boyolangu KM 4, kompleks SPP/SPMA Tulungagung. Museum
dengan luas lahan 4.845 m2 dan luas bangunan 8 x 15m. Museum ini
difungsikan sebagai tempat menyimpan koleksi yang semula disimpan di
Pendopo Kabupaten yang selanjutnya direncanakan pengembangan
pembangunannya di komplek SPP/SPMA.
Museum merupakan tempat penyimpanan benda-benda koleksi yang bernilai
penting bagi sejarah dan kebudayaan bangsa. Selai itu merupakan sebuah
saran untuk memberikan informasi sebanyaknya kepada masyarakat mengenai
fungsi dan nilai suatu benda dalam kehidupan manusia. Benda-benda
koleksi Museum tidak hanya antik, alngka dan etnis, juga merupakan
rekaman perjalanan perdaban sebuah bangsa sehingga dapat dijadikan
sarana pendidikan bagi masyarakat.
Gagasan didirikannya MuseumDaerah Tulungagung dimaksudkan sebagai
wadah/tempat penyelamatan warisan budaya, tempat study dan rekreasi bagi
pelaja, mahasisw maupun bagi masyarakat luas. Museum Daerah Tulungagung
merupakan museum umum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti
material manusia dan lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai cabang
seni, disiplin ilmu dan teknologi. Dari berbagai jenis benda warisan
budaya yang disimpan sebagai koleksi Museum saat ini dapat dikelompokkan
sebagai koleksi arkeologi dan etnografi.
Koleksi arkeologi yang ada di Museum Daerah Tulungagung berupa
peninggalan benda bergerak berupa arca yang sebagian besar terbuat dari
abtu andesit dan sampai sekarang jumlah koleksinya sebanyak 100 buah
Koleksi etnografi juga teknologi tradisional berupa peralatan pertanian
dan perikanan yang mempunyai nilai sejarah bagi keberadaan kota
Tulungagung yang dulunya dikenal dengan Kadipaten Ngrowo.
PENDAHULUAN.
Pada dasarnya candi berasal dari katacandika grha, yang mempunyai arti
Rumah Dewi Candika. Dewi Candika ialah merupakan Dewi Maut, dewi yang
dipuja-puja oleh orang yang beragama Hindu pada jaman dahulu kala.
Secara umum candi di Indonesia merupakan kuburan para raja-raja.
Biasanya abu jenasah raja tersebut ditaruh disebuah batu perabuan yang
dinamai peripih. Peripih merupakan sebuah batu yang mempunyai sembilan
lubang. Sedangkan lubang yang berada ditengah berisikan abu jasad raja,
serta lubang-lubang yang berada disekelilingnya berisikan peralatan
upacara keagamaan Biasanya peralatan-peralatan tersebut yang dipuja
oleh sang raja semasa hidupnya. Akan tetapi walaupun Agama Islam sudah
masuk di Indonesia serta mengakulturasi kebudayaan, kita sebagai pewaris
sehendaknya masih melestarikan budaya peninggalan nenek moyang.
Melihat pengertian tersebut memang Candi sebenarnya adalah bangunan
untuk memuliakan orang yang telah wafat, khususnya untuk para Raja dan
orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan (dalam bahasa Kawi; ”Cinandi”) di
situ bukanlah mayat ataupun abu jenasah melainkan bermacam-macam benda,
seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang
disertai dengan saji-sajian. Sajian-sajian tersebut biasanya dinamakan
”Pripih”,dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja
yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya.
Mayat seorang Raja yang meninggal dibakar dan abunya dibuang atau
dihanyutkan ke laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara dan
upacara-upacara serupa ini nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan
antra waktu yang tertentu. Maksudnya ialah menyempurnakan roh agar dapat
bersatu kembali dengan dewa yang dahulu menitis menjelma di dalam sang
raja itu. Upacara terakhir adalah upacara ”sraddha”. Pada kesempatan ini
roh itu dilepaskan sama sekali dari segala ikatan keduniawian yang
mungkin masih ada dan lenyaplah penghalang untuk dapatnya bersatu
kembali roh itu dengan penitisnya. Sebagai lambang jasmaniah
dibuatkanlah sebuah boneka dari daun-daunan, yang disebut ”Puspasarira”.
Sebagai penutup upacara ”sraddha” maka ”puspasarira ini dihanyutkan ke
lautan.
Setelah sang raja lepas dari alam kemanusiaan dan menjadi dewa,
didirikanlah sebuah bangunan untuk menyimpan ”pripih”, tersebut di atas.
Pripih ini ditaruh dalam sebuah peti batu dan peti ini diletakkan dalam
dasar bangunannya. Disamping dibuatkanlah sebuah patung atau arca yang
mewujudkan sang raja sebagai dewa dan patung atau arca ini menjadi
sasaran pemujaan bagi mereka-mereka yang hendak memuja sang raja.
Candi sebagai semacam pemakaman hanya terdapat dalam Agama Hindu.
Candi-candi Agama Budha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka.
Di dalamnya tidak terdapatka peti ”peripih” dan arcanya tidak
mewujudkan seorang raja. Abu jenasah, juga dari para bhiksu yang
terkemuka, ditanam dis ekitar candi dalam bangunan ”stupa”.
Dengan demikian arca perwujudan yang melukiskan sang raja sebagi dewa
dan yang menjadi arca utama di dalam candi, umumnya adalah arca Siwa.
Kerap kali arca perwujudan ini berupa lambang siwa saja, yaitu ayng
berupa ”Lingga”. Ada juga kalanya arca perwujudan ini berupa Dewa Agama
Budha, tetapi dalam hal ini agamanya bukanlah Agama Budha yang
sesungguhnya melainkan ”Tantrayana”.
1. CANDI MIRIGAMBAR ATAU CANDI ANGLING DHARMA.
Situs bangunan Candi Mirigambar atau SAngling Dharma mempunyai Panjang
8,5 m, Lebar 7,7 m dan Tinggi 2,35 m. Candi ini terletak di Dusun
Mirigambar, Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol. Bahan Bangunan
Candi terbuat batu bata dan batu andesit, yang dibangun di atas areal
tangah dengan Panjang 28,5 m dan Lebar 19 m. Candi Mirigambar berpintu
masuk di sisi barat dengan tinggi dari kaki hingga atas (yang telah
rusak) adalah 110 m dan lebar tangga besar masuk 140 m.
Candi-candi di Jawa Timu, khususnya Candi Mirigambar lebih banyak
berfungsi untuk pemakaman sedangkan candi di Jawa Tengah untuk tempat
peribadatan. Pada sebagian batu Candi Mirigambar terdapat tulisan
singkat berupa angka tahun 1214 Saka dan 1310 Saka. Berdasarkan data ini
dapat dipastikan bahwa masa pembangunan dan penggunaannya berlangsung
pada akhir abad XIII hingga abad ke XIV. Melihat angka tahun tersebut
diperkirakan Candi Mirigambar merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit
yang keberadaanya sekarang memerlukan uluran tangan yang ahli dalam
berbagai disiplin ilmu untuk melestarikannya.
Pada tahun 1915 pernah diteliti bahwa Candi Mirigambar kondisi sangat
rusak dan memprihatinkan hingga saat ini. Keadaan sebagian candi sudah
runtuh, terutama bagian atap. Pintu masuk candi bagian barat dan
dilengkapi dengan pipi tangga. Pada semua sisi kaki candi dilengkapi
dengan relief-relief. Namun relief yang ada di sisi timur telah aus
dimakan usia. Sampai saat ini relief tersebut belum diketahui alur
ceritanya hanya umumnya menggambarkan tokoh manusia dan binatang. Di
sini perlu penanganan yang sangat serius untuk menjaga dan
melestarikannya, yang nanti dpat digunakan sebagai aset wisata budaya.
2. SITUS CANDI PENAMPE'AN ATAU CANDI ASMARA BANGUN.
Candi ini berada di tempat dataran tinggi, sebelah utara kota kabupaten
Tulungagung, tepatnya berada di Desa Geger, Kecamatan Sendang. Candi ini
juga terletak di sebelah selatan Gunung Wilis dengan ketinggian 974 m
di atas permukaan laut. Komplek candi tepat dikelilingi tumbuhan
perkebunan teh.
Candi ini merupakan sebuah candi berundak teras yang membujur barat ke
timur, yang terdiri dari 3 teras dengan ketinggian 9,74 m, yaitu :
TERAS I. Teras bawah sendiri adalah tempat berdirinya Prasasti Tinulad
(tulisan/bahasanya Jawa Kuno) yang diperkirakan 820 saka atau 898 M.
Menurut para ahli bahwa prasasti Tinulad merupakan suatu copyan prasasti
yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi penguasa raja.
Prasasti ini menyebutkan seorang Raja Putri bernama Mahesa Lalatan.
Di bawah Prasasti Tinulad, terdapat bangunan semacam altar yang disusun
dari batuan andesit berdenah lonjong, ukuran altar (Panjang 5 m, Lebar
2,5 m dan Tinggi 1,5 m). Di depan Prasasti Tinulad terdapat arca Bima
(yang sekarang sudah tidak ada kepalanya) dan terdapat dua (2) arca
Dwarapala, ayitu tokoh dua (2) arca tokoh wanita dan sebuah bola batu
(sudah tidak ada di tempat lokasi).
Selain itu ada Prasasti yang dipahat di atas tujuh (7) lempengan tembaga
inbi dikenal dengan Prasasti Sarwadharma, yang berangka tahun 1191 saka
dan dikeluarkan tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269 M dan dapat
diketahui pula bahwa kekunoan Candi Penampe'an, berhubungan dengan Tokoh
Kertanegara (tokoh yang mengubah upacara keagamaan serta segala upacara
agama yang mati dihidupkan kembali).
Teras II. Di teras ini hanya terdapat "makara Bermahkota", teras ini
tempat untuk menunggu, kemudian melalui sebuah tangga masuk di tengah
teras ke atas ketiga.
Teras III. Teras yang paling atas terdapat sebuah tangga masuk di tengah
yang menghubungkan teras ketiga dan kedua. Pada teras ketiga terdapat 3
buah bangunan yang berada di tengah tepat di depan tangga masuk candi
berupa candi induk yang berbentuk kura-kura dengan ukuran pan jang 9,70
m, lebar 4,90 m dan tinggi 1,10 m. Bangunan tersebut berbhan batu
andesit dan batu bata sebagai tulisannya.
Di bagian atas bangunan candi terdapat kura-kura raksasa yang pernah
juga ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 1382 saka dan sebuah arca
tokoh wanita dengan anka tahun 1116 saka. Selain itu juga diatasnya
candi induk terdapat sepasang arca naga bermahkota, kepala garuda,
sepasang kera, didepannya candi induk terdapat arca Dwarapala. Di
sebelah candi induk tepatnya di sebelah selatannya terdapat sebuah
relief hewan, seperti katak, celeng, macan dan lain-lain. Intinya semua
hewan yang ada pada hutan tersebut dan relief yang menggambarkan tiga
(3) gajah untuk membajak, tetapi sekarang relief tersebut sudah
dipindahkan ke museum trowulan-Mojokerto. Mayoritas arca-arca yang ada
di situs Candi Penampe'an sudah hilang dan lainnya telah diselamatkan
atau ditaruh di Museum Trowulan Mojokerto.
Candi ini dibangun diperkirakan pada masa Kerajaan Kadiri abad ke 10 M.
Namun kesejarahannsitus tersebut dapat dikenali melalui penemuan
prasasti. Dari komplek percandian ini dijumpai dua (2) jenis prasasti,
yakni prasasti yang dipahatkan pada batuan andesit dan lempengan
tembaga. Prasasti berbahan batuan andesit tersebut dikeluarkan oleh
Rakai Watukura tahun 820 saka, tokoh yang naik tahta Kerajaan Mataram
Kuno karena itu, diyakni memang meluaskan kekuasaan ke Jawa Timur.
Berkenaan dengan keberadaan prasasti tersebut, ada pendapat para ahli
yang mangatakan bahwa prasasti tersebut adalah sebuah prasasti Tinulad,
copyan prasasti yang pembuatannya lebih ditekankan pada unsur legitimasi
seorang Raja atau penguasa. Mereka yang menerima versi ini berkeyakinan
bahwa situs candinya tidaklah setua itu (abad X).
Prasasti dari Tembaga, diketahui bahwa kompleks kekunaan Candi
Penampe'an berhubungan dengan tokoh Kertanagara yang disebut sebagai
Narasimhamuti. Diceritakan pula bahwa Kertanagara mengubah upacara
keagamaan serta segala upacara agama yang mulai dihidupkan kembali. Hal
ini dikaitkan dengan acara Tantrayana yang dianut Kertanagara.
Prasasti Penampe'an yang dipahatkan di atas tujuh lempengan temabga yang
dikenal pula sebagai Prasasti Sarwadharmma itu berangka tahun 1191 saka
dan dikeluarkan tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1269. Di dalammnya
disebutkan pula pembagian kasta dalam kelompok-kelompok masyarakat
(Kasta).
Fungsi Candi tentu dihubungkan dengan masalah Pemujaan yang bersifat
Hindu, bila dihubungkan dengan penggambaran kura-kura yang melandasi
bangunan utamanya, seperti yang diketahui mitologi Hindu, kura-kura
adalah salah satu "awatara" Penjelmaan Wisnu. Begitu pula bila dikaitkan
dengan prasasti terbuat dari batuan andesit yang berukuran besar yang
terdapat dipercandian ini atau dapat pula dikatakan bersifat Tantris
(Buddha-Tantrayana) bila dihubungkan dengan isi prasasti lain yang
terdapat di sana yang berupa tujuh lempengan tembaga.
3. SITUS CANDI DADI.
Situs Bangunan Candi Dadi mempunyai Panjang 11 m, Lebar 14 m, Tinggi 6,5
m. Terdapat juga sumur dengan kedalaman 3,5 m dan diameter 3,5 m.
Lokasi Candi dadi berada di atas bukit pegunungan Wajak bagian selatan
dan Candi ini berbahan batu andesit, tanpa tangga (undak-undak) di atas
batu tersebut terdiri kaki candi dengan denah segi delapan. Bangunan
Candi Dadi diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Majapahit abad ke
13-14M. Secara data historis Candi Dadi ini belum ada sumber data
tertulis yang akurat, maka ini perlu penelusuran secara mendetail baik
data arkeologis data sumber sejarah.
Bangunan candi ini terdapat sumur, diduga sumur ini dipakai sebagai
tempat pengabuan pembakaran tokoh penguasa. Keletakkan pada puncak
sebuah bukit ini dihubungkan dengan anggapan masyarakat kuno bahwa
puncak gunung merupakan tanah suci. Sebagai sebuah tradisi yang
berlangsung sejak jaman prasejarah yang dipercaya bahwa arwah para
leluhur berada di sana. Masyarakat penganut budaya Hindu juga
memanfaatkan puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal ini
berkaitan dengan mitos keagamaan dalam Hindu menganggap bahwa tempat
bersemayamnya para dewa (Sang Hyang Widhi Wasa) Tuhan Yang Maha Esa
adalah tempat yang tinggi.
Sedang sifat keagamaan yang melatarbelakangi pendiriannya belum
diketahui (tidak ditemukannya data/sumber yang menunjang). Di sekitar
Candi Dadi terdapat juga Candi Butho, Candi Gemali (kedua candi
berbentuk batu andesit yang berbentuk seperti tempat berwudlu yang
menyerupai kepala naga yang memakai mahkota berukuran kecil. Ke-2 candi
ini hingga sekarang belum ada/tidak ada entah kemana
keberadaannya).Selain ke-2 Candi tersebut terdapat juga Candi Urug
(tidak ada/keberadaannya tidak ketahui).
Situs Bangunan Candi yang berada di atas bukit pegunungan yang indah dan
jika dikelola dengan baik serta sarana prasarana yang mendukung
diharapkan dapat digunakan sebagai aset wisata sangat bagus bagi
Kabupaten Tulungagung.
4. SITUS CANDI SANGGRAHAN (CANDI CUNGKUP).
Bangunan Situs Candi Sanggarahan atau Candi Cungkup, Panjang 12,60 m,
Lebar 9,05 m dan Tinggi 5,86 m. Lokasi Candi Sanggrahan dengan ukuran
luas 54m x 50 m, berada di Dusun Sanggrahan Desa Sanggrahan Kecamatan
Boyolangu. Candi ini berada pada teras atau undakan berukuran 51 m x
42,5 m, sedang pagar penahan undakan adalah batu setinggi 2 sampai 2,5m.
Candi Sanggrahan ini terbagi menjadi berapa bagian yaitu kaki, tubuh dan
atap. Fungsi utama Candi Sanggrahan sebagai tempat pemujaan, hal ini
didukung oleh keterangan lain yang menyebutkan bahwa Candi Sanggrahan
sebagai suatu atau sebuah tempat persinggahan sebelum diadakan upacara
sekar atai nyekar di candi Gayatri atau Candi Boyolangu.
Candi Sanggrahan diduga sebagai tempat yang digunakan untuk
beristirahatnya rombongan pembawa jenasah seorang Ratu Majapahit bernama
Tribhuana Tunggadewi Djajawisnuwardhana atau Gayatri yang bergelar
Rajapatni yang memerintah abad ke 13 M. Gayatri wafat 1330 M yang diduga
abu jenasahnya disimpan di Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.
Bangunan Candi Sanggrahan terbuat dari batu andesit (batu kali),
diperkirakan berdiri pada masa Kerajaan Majapahit abad 13. Bangunan
Candi terdiri atas 4 tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar
dengan arah hadap ke barat. Di tempat ini dulu terdapat 5 buah arca,
demi keamanan dari pencurian sekarang arca tersebut disimpan di Museum
Tulungagung. Candi Sanggrahan ini tidak dapat direkonstruksi lagi karena
kerusakannya yang sangat parah khususnya bagian atap, untuk itu perlu
perhatian dan pelestarian bagi pemerintah daerah dan masyarakat pada
umumnya. Untuk pengembangan dan pemberdayaan candi ini dapat digunakan
sebagai aset wisata budaya, maka perlu ada seperti gelanggang festival,
pasar seni, kafe tradisional dan gedung arsip dan dokumen yang
kesemuanya itu dibangun dalam lingkungan candi.
5. SITUS CANDI BOYOLANGU (CANDI GAYATRI).
Bangunan Sutus Candi Boyolangu atau Candi Gayatri, Panjang 11,40 M,
Lebar 11,40M, Panjang 2,30 M. Bangunan candi ini terdapat sebuah arca
Wanita Budha dan berapa umpoak batu besar, 2 umpak yang berangka 1231
Saka (1369 M) dan 1322 Saka (1389 M). Arca wanita Budha ini terbuat dari
batu andesit (batu Kali) yang berukuran tinggi 120 cm, lebar 112 cm dan
tebal 100 cm. Tiinggi Lapik arca 70 cm, lebar 168 cm dan tebal 140 cm.
Selain itu candi Gayatri yang berdenah segi empat dengan tangga masuk di
bagian barat, tersisa hanya baturannya berukuran 11,40 m x 11,40 m dan
ukuran penampik (tangga masuknya) 2,68 m x 2,68 m.
Situs Candi Boyolangu atau Candi Gayatri berada di tengah pemukiman
penduduk, di Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolang. Candi
ini ditemukan pada tahun 1914 dalam timbunan tanah oleh orang Belanda
(tidak disebutkan namanya siapa ?). Bangunan Situs Candi Boyolangu atau
Candi Gayatri dibangun masa Kerajaan Majapahit pada Pemerintahan Raja
Hayam Wuruk (1359-1389).
Situs Candi Boyolangu (Candi Gayatri) merupakan tempat pemuliaan dan
penyimpanan abu jenasah Gayatri atau Tribhuana Tunggadewi
Djajawisnuwardhana dengan gelar Rajapatni. Gayatri ini wafat pada tahun
1330 M. Dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan sebagai "Dhyani
Budha Wairacana", dengan sikap tangan "Dharma Cakra Muda" (sedang
mengajar atau berbicara). Melihat bangunan candi tersebut diperkirakan
sebagai tempat pemujaan, mengingat pada bangunan itu terdapat arca
Siwamahadewa, Arca Dewi Durga, Arca Nandi, Arca Dwarapala (Arca ini
telah dipindah ke MUSEUM Tulungagung).
Situs Bangunan Candi Boyolangu atau Candi Gayatri terbuat dari batu bata
yang tidak dapat direkonstruksi lagi karena kerusakannya yang sangat
parah untuk itu perlu perhatian dan pelestarian bagi pemerintah daerah
dan masyarakat pada umumnya. Untuk pengembangan dan pemberdayaan candi
ini dapat digunakan sebagai aset wisata budaya, maka perlu seperti
gelanggang festival, pasar seni, kafe tradisional dan gedung arsip dan
dokumen yang kesemuanya itu dibangun dalam lingkungan candi.
6. GUA SELOMANGLENG.
Situs Gua Selomangleng berada di Sanggrahan Kidul, Desa Sanggrahan,
Kecamatan Boyolangu. Kompelk Gua ini menempati areal kehutanan
lingkungan BKPH Kalidawir, merupakan lereng jurang Sanggrahan yang cukup
terjal. Pada bagian atas mulut Gua terdapat ukiran Kepala Kalla yang
berukuran besar, memenuhi hampir seluruh sisa bagian atas batu.
Gua pertama berada di bagian tanah yangrelatif datar, merupakan hasil
pengerukan terhadap sebuah bongkah batu besar (monolit) dengan bentuk
mulut persegi empat sebanyak dua buah. Gua pertama dihiasi dedngan
relief, sedangkan Gua kedua tidak memiliki relief. Lahan yang ditempati
bongkahan batu bergua tersebut mel;iptui areal seluas 29,5 m x 26 m.
Ukuran bagian dalam gua pertama adalah panjang 360 cm dan lebar 175 cm
dan dalam ceruk 380 cm.
Mulut gua itu menghadap ke arah barat. Relief dipahatkan pada panel di
dinding sisi timur dan utara. Hiasan itu menggambarkan bagian dari
cerita Arjuna Wiwaha, yakni ketika Indra memerintahkan bidadarinya untuk
menggoda Arjuna di gunung Indrakila. Digambarkan pula adegan ketika
bidadari menuruni awan dari khayangan ke bumi.
Gua kedua terletak di bagian selatan Gua pertama, pada bongkahan batu
ayng sama, tetapi pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Gua
pertama. Gua selatan ini menghadap ke selatan dan tidak memiliki hiasan
apapun didalamnya. Ukurannya adalah panjang 360 cm dan lebar 200 cm.
Beberapa meter di sebelah timur Gua tersebut, pada tempat yang lebih
tinggi dijumpai bongkahan batu lain. Pada bongkahan batu itu dipahatkan
kaki dan batur Candi berdenah perwsegi empat dengan ukuran panjang 490
cm dan lebar 475 cm. Candi berarah hadap ke barat dengan tinggi (dari
kaki hingga batur) 110 cm dan lebar tangga masuk disebalah barat adalah
140 cm. Dinding batur ini dihiasi palang Yunani berbingkai bujur
sangkar.
Secara khusus tidak dijumpai keterangan yang dapat dipakai untuk
mengenal lebih dalam lagi latar belakang sejarah situs tersebut.
Menghubungkan kesamaan relief yang terdapat di gua selomangleng dengan
yang dijumpai dipertirtaan jalatunda, A.J. Berbet Kempres menduga bahwa
situs tersebut dibuat dan digunakan pada akhir abad X. Sebaliknya,
berdasarkan cara pemahatan dan penataan rambut tokoh-tokohnya.
PENDAHULUAN.
Masuk dan berkembangnya Agama Islam di Nusantara menandai berakhirnya
dominasi Agama Hindu-Budha di Nusanatar, seperti halanya Agama Hindu,
Budha dan Islam juga bukan merupakan agama asli bangsa Indonesia. Proses
masuknya Agama Islam ke Indonesia melalui berbagai cara, diantaranya
lewat perdagangan, perkawinan, pendidikan/surau /pesantren, dan lewat
dakwa maupun lewat seni budaya.
Ramainya perdagangan antar bangsa di Indonesia mengakibatkan terjadi
akulturasi budaya, yaitu proses percampuran dua budaya yang berbeda,
menghasilkan kebudayaan baru tanpa meninggalkan budaya aslinya.
Akulturasi budaya Atap Tumpang Masjid dengan Atap Tumpang Meru. "Meru"
Dalam bahasa sansekerta artinya Gunung, persepsi budaya Hindu gunung
adalah "pelinggih" Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Masa Esa). Demikian
juga dalam budaya Hindu, bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat yang
dapat mendekatkan kepada Sang Pencipta. Wujud akulturasi budaya Atap
Tumpang Meru dengan Atap Tumpang Masjid yang terjadi di Masjid daerah
Tulungagung, diantaranya masjid :
1. MASJID MAJAN.
Lokasi berada di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru. Di desa Majan ini
pernah ada seorang ulama bernama KH. Khasan Mimbar yang pernah mendapat
tugas mengurus soal-soal Islam di Kabupaten Ngrowao. Tugas tersebut dari
Adipati Ngrowo I, Kyai Ngabei Mangoendirono, atas nama Keraton
Surakarta dalam bentuk surat dengan tulisan huruf arab tertanggal 16
Rabiul Akhir 1652 (1727 M).
KH. Khasan Mimbar dalam mengembangkan agama islam di Kabupaten Ngrowo
dengan mendirikan masjid Majan dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 22
m. Sebelah kiri masjid ada sebuah pendopo masjid di atas tanah seluas
10.000m2. Namun dlam perkembangan saat ini masjid ini sudah direnovasi
dengan ukuran menjadi lebar 35 m dan panjang 22m, akrena mengingat
waktunya yang sudah bertahun-tahun sehingga kondisi bangunan hampir
rusak sehingga kondisi bangunan perlu diperbaiki agar orang yang
menjalankan ibadah lebih tenang dan khusuk.
Peninggalan Masjid Majan yang amsih ada dan asli antara lain; Pusaka
Kyai Golok, Mimbar, Bedug dan kentongan. Takmir Masjid Majan sekarang
dipimpin olh Haji Samsuri dan penanggungjawab KH. Moch Yasin. (observasi
2007). Kegiatan tradisi yang masih dipertahankan, diantaranya; Pusaka
Kyai Golok setiap tanggal 12 Maulid diadakan ritual dengan membaca
Shalawatan dan Pusaka dilepas dari Waronkonya diangkat ke atas. Kemudian
juga setiap mengadakan Qaulnya KH. Moch Khasan Mimbar diadakan sema'an
Al-Qur'an, Istiqosah, Tahlil yang diikuti oleh beberapa jamaah dari
berbgai tempat.
2. MASJID WINONG.
Lokasi Masjid Winong berada di Desa Winong, Kecamatan Kedungwaru dengan
ukuran bangunan panjang 9 m dan lebar 9 m ditmabah dengan pendopo dengan
ukuran panjang 18 m dan lebar 9 m dengan biaya swadaya masyarakat.
Pendiri Masjid Winong adalah KH. Ilyas dengan peninggalan-peninggalan
yang masih ada dan asli antara lain; Mimbar, bedug.
KH. Ilyas meninggal dan dimakamkan di Desa Jeruk Wangi Pare, Kabupaten
Kediri. Di belakang Masjid Winong ada sebuah makam kuno yaitu Mbah
Langkir. Beliau pengikut Pangeran Diponegoro dan ikut melakukan
pemberontkan melawan Belanda 1826 M. Setelah perang Diponegoro berkahir
(1825-1830) dan Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, para
pengikutnya banyak yang melarikan diri diri ke desa-desa menghindari
kejaran Belanda. Salah satu pengikut itu adalah Mbah Langkir yang
melarikan diri ke Kadipaten Ngrowo yang menyamar sebagai rakyat biasa
dan mengajar ngaji di daerh Ngrowo. Mbah Langkir yang sekarang makamnya
di Desa Winong Kecamatan Kedungwaru dipercaya masyarakat Tulungagung
sebagai penyiar agama islam sejak tahun 1825 hingga 1835 M. Pada tahun
tersebut Kadipaten Ngrowo dijabat oleh Raden Mas Tumenggung Djayaningrat
Adipati ke-5 yang memerintah pada tahun 1831-1855 dengan pusat
pemerintahan di kalangbret.
3. MASJID TAWANGSARI.
Lokasi Masjid ini berada di Desa Tawangsari, Kecamatan Kedungwaru.
Masjid ini diduga ada sejak desa Tawangsari itu berdiri skitar abad ke
16-17 M. Melihat tanah Tawangsari merupakan tanah perdikan sejak awal
diperuntyukkan pesantren dan penyebaran agam, maka secara langsung
didirikan pula Masjid Tawangsari
Salah satu acara masjid yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh
keturunan Abu Mansur adalah tadarusan 2 juz, baik yang dilakukan pada
jum'at pagi maupun pada saat bulan Ramadhan. Disamping tadarusan ada
juga tradisi Shalawatan yang menurut keterangan salah seorang anggota
biasa diistilah dengan Shalawat Salalahu. Bahkan hingga masa Abu Mansur
VI Tahlil Rawatib, yakni Tahlil sebagaimana yang ada sejak jaman Kyai
Tegal Sari juga masih sempat diselenggarakan.
Selain tradisi tersebut keberadaan Masjid Tawangsari juga dijadikan
tempat menyelenggarakan berbagai bentuk kesenian, deianataranya
Gambusan, Terbangan, Jedor, Gendidngan, Orkes (keroncongan maupun yang
modern). Umumnya segala kesenian ini dimunculkan pada bulan maulid,
sehingga pada bulan Maulid biasanya Tawangsari ramai dengan berbagai
perayaan.
Tawangsari merupakan dulunya daerah perdikan mutihan dari Keraton
Surakarta kepada Abu Mansyur yang telah berjasa kepada Keraton Surakarta
dalam melawan Belanda tahun 1750 M. Setelah perjanjian Gianti 1755,
yang isinya diantaranya Mangkubhumi diangkat sebagai Raja di Yogyakarta
dengan gelar Sultan Hamengkubhuwono I. Hal ini tidak terlepas dari
perjuangan dan bantuan Kyai Basyariyah (Moh. Besari) dan murid-muridnya
dari Ponorogo Kyai Abu Mansur salah seorang murid Kyai Basyariyah,
mendapat tugas dari Mangkubhumi untuk menghidupkan jiwa perjuangan
melawan Belanda dengan cara mendidik masyarakat Tawangsari. Abu Mansur
mendirikan Pondok Pesantren untuk melatih beladiri dan belajar agama
islam. Setelah Abu Mansur meninggal, tawangsari dibagi 3 bagian,
masing-masing Desa Tawangsari dipimpin oleh Kyai Abu Yusuf (Abu mansur
II), Desa Winong dipimpin oleh Kyai Ilyas dan Desa Madjan dipimpin oleh
Kyai Khasan Mimbar.