Kamis, 19 November 2020

Sejarah dan Legenda Di Banyumas

 

Sejarah Berdirinya Kabupaten Banyumas

Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.

Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).

Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.

Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.

Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Petambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.

Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.

Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu fitnah maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta (Kyai Ageng Mranggi) dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.

Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.

Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA.

Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah “KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN”.


KISAH SAKA GURU DAN PEMINDAHAN PENDOPO SI PANJI

Masyarakat Banyumas sangat mengenalPendopo Si Panji, Pendopo Kabupaten Banyumas yang sampai saat ini masih kokoh berdiri megah di kota Purwokerto dan menjadi ‘’Pujer” (pusat) Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Hingga saat ini Pendopo Si Panjimasih dikeramatkan, khususnya pada salah satu tiang sebelah barat yaitu soko guru (tengah) selalu diberi sesaji agar semua kegiatan yang belangung di Pendopo Si Panji dapat berjalan lancar tanpa ada gangguan. 

Kisah-kisah misteri sering terdengar dariPendopo Si Panji yang diboyong dari kota Banyumas ke Purwokerto dengan memutar ke Pantura, tidak melewati (nglangkahi) Sungai Serayu. Kabupataen Banyumas didirikan pada tahun 1852 ole Kyai Adipati Wargautama IIyang juga disebut sebagai Bupati Banyumas Idan dikenal sebagai Kyai Adipati Mrapat. Dalam perjalanan sejarah, Adipati Yudongoro (Bupati Banyumas VII / 1708 – 1743) memindahkan pusat Kabupaten Banyumas agak ke sebelah timur dengan sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut Pendopo yang dikenal dengan Pendopo Si Panji.

Dalam sejarahnya, Pendopo Si Panji sering memunculkan keanehan dan cerita mistis, misalnya pada tanggal 21-23 Februari 1861, kotaBanyumas dilanda banjir bandang / Blabur Banyumas,  karena meluapnya Sungai Serayu. Puluhan pengunsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas (atap) Pendopo Si Panji. Setelah air bah surut, ternyata Pendopo Si Panji tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat tiangnya (saka guru). Posisi Pendopo juga tidak bergeser sedikitpun padahal bangunan disekitarnya roboh karena diterjang banjir setinggi lebih dari 3,5 meter.

Misteri lain, ketika Pendopo akan dibangun, semua sesepuh dan tokoh masyarakatBanyumas supaya menyumbangkan calon saka guru Pendopo maupun bahan bangunan yang lain. Semua tokoh masyarakat telah memenuhi permintaan sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehinga ia dipangil untuk menghadap Adipati Yudonegoro II untuk dimintai keterangannya. Ki Ageng Somawangi menghadap memenuhi panggilan sang Adipati. Untuk menebus kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru Pendopo yang ia ciptakan dari “tatal” dan pontongan-potongan kayun yang berserakan disekitar komplek pembangunan itu. Hal itu tidak disambut baik oleh sang Adipati, bahkan diangap suatu perbuatan yang “pamer kadigdayan”. Akibatnya ia malah dituduh akan “menjongkeng kawibawan” (mengambil alih kekuasaan) Sang Adipati.

Atas tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng Somawangi marah, segera meningalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati sangat tersingung dan menyuruh prajuritnya untuk menangkap Ki Ageng Somawangi yang dianggap “ngungkak krama” (membangkang) itu. Namun karena kesaktiannya, ia dapat lolos dari upaya penangkapan. Konon tongkat saktinya ditancapkan di suatu tempat dan berubah wujud menyerupai Ki Ageng Somawangi. Sontak para prajurit menganiaya Ki Ageng Tiruan.

Ki Ageng Somawangi melanjutakan pelarian menyimpang dari jalan raya, menerobos melalui jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang dikenal dengan Desa Somawangi Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Desa dimana Ki geng Somawangi menerobos untuk menghindari kejaran Prajurit Banyumas, kemudian diberi nama “Panerusan”. Dengan demikian diketahui bahwa ada saaat awal pembangunan Pendopo Si Panji sempat menimbulkan ontran-ontran tokoh Banyumas itu.

Masyarakat Banyumas mempercayai bahwasanya salah satu tiang utama (saka guru)Pendopo Si Panji yang dikeramatkan, berasal dari hutan belantara di hulu Sungai Serayu. Dari cerita yang berkembang, kayu yang telah digunakan sebagai tiang itu ingin kembali lagi ke hutan yang sangat angker itu. Sampai saat ini saka guru yang masih kokoh itu katanya ada penunggunya berupa sosok ular dan seorang kakek berjenggot panjang.

Setelah ada penggabungan KabupatenBanyumas dengan Kabupaten Purwokerto tahun 1936 atau prakarsa Adipati Arya Sudjiman Gandasubrata (Bupati Banyumas XX), pada Bulan Janauari 1937 Pendopo Si Panjidipindahkan dari Banyumas ke Purwokerto. Berdasarkan suara gaib dan petunjuk dari para sesepuh Banyumas dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemindahanPendopo Si Panji yang keramat itu tidak melewatiSungai Serayu, tetapi melewati pantai utara Jawa (Pantura), Semarang ke barat, Bumiayu, Ajibarang, kemudian sampai ke Purwokerto.

Ada beberapa hal yang menjadikan Pendopo Si Panji dipindah ke Purwokerto. Ada sasmita bahwa kelak kota Purwokerto akan maju pesat dan menjadi kota perdagangan dan pusat pemerintahan. Pemindahan pendopo sebagai simbol pengakuan betapa kota Banyumas sulit bekembang, karena tidak ada jalur kereta api, lahan kota sempit, dan akses ke laur tidak berkembang. Maka saat itu pun kota Banyumassepi dan sulit berkembang. Hal ini membuktikan apa yang diperkirakan oleh Bupati Sudjiman Gandasubrata itu benar.

Untuk mengenang kebesaran Pendopo Si Panji, Pemda Kabupaten Banyumas telah membangun “dulpilkat” pendopo di bekas berdirinya Pendopo Si Panji. Namun tidak sesuai dengan aslinya bahkan terkesan lebih mewah dari Pendopo Si Panji yang ada diPurwokerto.

Dari rangkaian sejarah, ternyata sejak pembangunannya sudah ada aura mistis dan pertentangan tokoh, pernah menjadi pengungsian puluhan penduduk yang naik ke atas pendopo dan tidak ada kerusakan saat banjir bandang. Perjalanan sejarah selanjutnya pendopo yang keramat ini tidak mau melewatiSungai Serayu dan di arak lewat Semarang (Pantura) hingga ke kota Purwokerto. Suatu hal aneh yang sampai saat ini belum terkuak adalah alasan mengapa pemindahanyya tidak boleh melewati Sungai Serayu, tetapi harus melewati ratusan kilometer memutar Jawa Tengah. 

Dalem Kadipaten


Di dalam kompleks Kadipaten terdapat Museum Wayang. Musium ini mengoleksi berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia, khususnya Jawa. Musium ini merupakan salah satu tujuan wisata budaya.

Sekitar 300 meter di belakang Pendopo terdapat Kelenteng Boen Tek Bio yang merupakan kelenteng tertua di Kabupaten Banyumas. Keberadaan kelenteng ini turut melengkapi pesona wisata religi di wilayah ini

Adapun Sumur Mas yang menjadi objek jelajah kali ini terletak di bagian belakang Dalem Kadipaten, Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas atau sekira 20 kilometer dari Purwokerto, pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas. Dari nama Sumur Mas inilah asal-usul nama daerah Banyumas (air emas, bhs.Jawa). 

Sumur Mas

Sejauh ini tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana Sumur Mas itu dibuat. Tidak ada bukti otentik yang menyebutkannya. Berdasarkan tutur masyarakat, sumur itu dipercaya sudah ada sebelum berdirinya Kabupaten Banyumas. Uniknya, sumur ini hanya berdiameter beberapa sentimeter saja. Diameternya tak sebanding dengan diameter sumur pada umumnya.

“Sumur itu dibuat oleh orang-orang yang pertama kali menempati Banyumas. Mereka membabat hutan untuk dijadikan hunian. Mereka juga membuat sumur untuk keperluan sehari-hari,” 

“Sejak itulah tempat ini ramai dihuni orang. Mungkin pada masa itu air Sumur Mas hanya untuk keperluan biasa. Tidak ada yang mengeramatkan,” 

“Dulu memang ada cerita warna air sumur itu terlihat memancar seperti cahaya emas. Warnanya bersinar kekuningan, “ 
Bisa juga dulunya sumur itu merupakan sumur satu-satunya yang dimanfaatkan penduduk yang paling awal menempati Banyumas. Atau mungkin mereka yang memanfaatkan air sumur itu memperoleh kegemilangan hidup, karir dan jabatan tinggi dan lain-lain, yang kemudian disimbolkan dengan istilah emas (keemasan).
Lebih jauh dikatakan, diameter sumur yang hanya beberapa sentimeter ini menimbulkan pertanyaan bagaimana orang-orang di zaman dulu memanfaatkan air sumur ini.

“Orang ini ingin menjadi wakil rakyat dan dia sudah terpilih 2 kali,” katanya sambil menunjuk salah satu nama diantara ribuan nama yang ada.
Lebih jauh dikatakan, orang-orang terkenal (publik figur) yang datang, baik itu politisi, artis, dan lain-lain, biasanya tidak mau menulis buku tamu. Tetapi juru kunci cukup mengenali beberapa sosok tokoh publik tersebut karena sering melihatnya di televisi.

Dikisahkan sumur mas adalah sumur keramat meski begitu, dia tidak mengetahui secara persis apa yang menyebabkan sumur itu menjadi pilihan bagi orang-orang yang mengingkan karir dan jabatan.

Panembahan Kalibening dan Sumur Pesucen 

Makam Panembahan Kalibening yANG SERING DISEBUT MAKAM MBAH KALIBENING ATAU MAKAM KALIBENING, MERUPAKAN MAKAM TUA YANG BERADA DI PERBUKITAN DESA DAWUHAN, DI KECAMATAN DAN KABUPATEN BANYUMAS. JIKA DITARIK GARIS LURUS, MAKAM PANEMBAHAN KALIBENING INI BERJARAK SEKITAR 600 METER DARI TEPIAN KALI SERAYU.

Sedikit ke atas dari Makam Panembahan Kalibening terdapat Sumur Pasucen yang airnya luar biasa bening tanpa cela. Sumur Pasucen sepertinya lebih tepat disebut sebagai Umbul Pasucen, karena merupakan mata air aktif yang airnya terus menerus keluar dan meluap melewati batas atas dindingnya.

Ada pula Pendopo dan Museum Kalibening, yang pelatarannya menjadi tempat parkir ketika saya berkunjung. Namun Museum Kalibening hanya dibuka sekali setahun pada saat bulan Maulud, bertepatan dengan ritual jamasan pusaka peninggalan Panembahan Kalibening berupa keris, tombak, dan kayu berbentuk dan berukir naga, serta pusaka lainnya.

Parkir Makam Panembahan Kalibening berada sekitar 5 km dari Alun-alun Banyumas, arah ke Barat, melewati Makam R. Joko Kaiman sekitar 300 meter, belok ke kanan di pertigaan, lalu ke kiri mengikuti jalan. Jalan menanjak tajam sekitar 200 meter sebelum parkir, ketemu pertigaan, 30 meter ke kiri adalah halaman parkir pendopo. Lurus ke atas adalah trap-trapan undakan ke Makam Panembahan Kalibening.

Tepat sebelum tanjakan terakhir itu terdapat papan tengara rumah Kuncen Makam Panembahan Kalibening. Setelah memberitahu kuncen bernama Ardja Semita yang ternyata umurnya sudah sepuh, 

Pendopo tradisional cantik yang berada tepat di depan Museum Kalibening, dengan empat soko guru dan pilar-pilar penunjang. Pada blandar terdapat torehan aksara berbunyi “Keblat papat gapuraning praja”, kiblat empat gapuranya negri.

Jika saja lantai pendopo yang kotor itu rajin dibersihkan, akan sangat nyaman untuk duduk-duduk atau rebahan di lantai pendopo untuk meluruskan punggung. Bangku satu-satunya yang ada di pendopo lebih sebagai meja karena bisa patah jika diduduki. Lama menunggu, dan tidak bisa duduk nyaman di pendopo, saya pun melangkah lebih dulu ke pertigaan di bawah undakan.

Cungkup Makam Panembahan Kalibening juga terlihat sudah renta dan terkesan agak kumuh. Jika saja tembok tempat menempel tulisan “Mbah Kalibening” itu dibongkar dan dibuat pendopo terbuka, sengnya diganti sirap, dan tiang-tiangnya ditegakkan dengan baik, cungkup ini akan terlihat jauh lebih cantik karena bangunan utamanya sudah cukup bagus, hanya perlu dicat ulang.

Pohon besar tinggi di belakang cungkup Makam Panembahan Kalibening selain memberi keteduhan dan menambah nuansa tua tempat ini, juga menguatkan aura magis makam, tentu bagi yang mempercayainya atau yang bisa bisa merasakannya.

Masih ada makam lain di kompleks tersebut yang sudah kuno diantaranya makam Panembahan padhang..

Serta sumur pesucen yang Di keramat kan dan yang disebut sebagai cikal bakal Banyumas. 

HARI SABTU PAHING "NAAS"

Tragedi Sabtu Pahing ternyata menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, bahkan dalam perjalanan Sejarah Banyumas sampai saat ini diyakini oleh sebagian warga Banyumas dan sekitarnya bahwa hari itu menjadi hari naas dan menghindari untuk bepergian jauh, mendirikan bangunan rumah, mbarang gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga keperluan besar lainnya seperti penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.

Tragedi yang sangat memilukan ini menimpaAdipati Warga Utama I, sepulangnya dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi cerminan betapa seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak hanya mendengar laporan sepihak.

Adipati Warga utama I beserta para pengiringnya dalam perjalanan pulang dari Kasultanan Pajang menempuh jalan pintas yang tidak bisa dilewati umum. Itulah makanya sulit sebenarnya para Tumenggung melacak perjalanannya. Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang Adipati memerlukan singgah ke beberapa Demang dan Lurah dari Kadipaten yang dilewatinya.

Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru tentang pemerintahan pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para Demang dan Lurah yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak diantaranya yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindera mata hasil kerajinan setempat.

Sementara itu, perjalanan pulang KI Adipati telah menginjak hari ke tujuh, hari Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal Kabupaten Kebumen. Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya singgah dan beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya terdiri atas rumah induk dan balai yang tidak searah dengan rumah induk yang biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).

Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang hati. Jamuan makan siang segera dihidangkan, salah satu lauknya yaitu “Pindang Banyak” (Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung atau kluwak). Selagi Ki Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan siang, tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung pertama) yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.

Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung pertama tidak sampai hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur putih) kesayangan Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah meronta-ronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan menimpa Ki Adipati.

Firasat buruk juga telah dirasakan juga oleh Ki Adipati, karena ada hal-hal aneh yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih ada seorang Tumenggung yang menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama sabar menunggu sampai Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan tampak olehnya seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya dengan cepat menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya seraya berseru :”Jangan bunuh……”

Maka demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati Warga Utama I yang sedang menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam dengan keris Pusaka Keraton Pajang. Semua yang ada di pendopo itu geger dan gugup. Ki Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya. Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung pembunuh itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti melawan Sang Prabu junjungannya.

Sementara Ki Adipati Menahan sakit, para pengiring dan seisi rumah berusaha menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua. Menyaksikan peristiwa berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua jatuh pingsan. Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia tidak bersalah. 

Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak supaya Ki Adipati Warga Utama I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan isyarat itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
Kedua Tumenggung saling berpelukan menangis, terharu dana sedih. Kepada para pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua Tumenggung iru menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki Adipati sebenarnya tidak bersalah. Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab Kanjeng sultan Hadiwijaya sendiri.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan serak dan tersendat-sendat sempat meninggalkan pesan terakhir kepada keluarga (keturunan) yang ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada Kanjeng Sultan….anak cucuku jangan sampai mengalami naas seperti aku…ingat-ingat..,jangan sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian pada hari Sabtu Pahing, apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan pindang banyak (angsa) serta jangan membangun atau bertempat tinggal di rumah “Bale Malang".
Sama sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang bersasal dari Banyumas sekalipun bukan trah Ki Adipati Warga Utama I, terutama oleh angkatan tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.

Menjelang dini hari tibalah rombongan usungan jenazah di suatu pegunungan yang sebagian besar masih berupa hutan. Mereka beristirahat sambil menyalakan api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin dan untuk menerangi lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai kenang-kenangan , tempat dimana mereka beristirahat ini diberi nama “Lawang Awu” (perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).

Lepas Dhuhur rombongan sudah sampai diWirasaba yang disambut dengan isak tangis para putra, para sentana, dan para kerabat dekat almarhum. Rakyat Wirasaba menyambut dengan duka nestapa. Untuk beberapa jam jenazah disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi kesempatan para kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.

Berdasarkan keputusan musyawarah keluarga serta para pejabat Kabupaten, almarhumah dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok Kabupaten Banjarnegara, disebelah selatan sungai Serayu. Di tembok (sebelah timur) makam Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki Adipati dalam bahasa jawa sebagai berikut

 :”Ki Adipati Wargohutomo I Ing Wirasabane kaleres dinten Setu Pahing dipun sedani utusanipun Sultan Pajang (1548 – 1586), pinuju lenggah wonten Bale Malang ing Dusun Bener, Distrik Ambal (Kebumen) jalaran kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling serap.Ki Adpati kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II ketelah Ki Adipati Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.

Maknanya dalam bahasa Indonesia :”KI Aipati Wargohutomo I, pada hari Sabtu Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang (Sulatan Hadiwijaya) yang memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang berada di Balemalang di desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena dituduh telah berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti oleh putra menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan)".

Makam Adipati Warga Utama I kini telah dipugar oleh Pemda Kabupaten Banjarnegara dan para pencintanya, disekitarnya telah dajadikan pekuburan umum yang dikeramatkan banyak orang. Pada setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon banyak pengunjung yang bersemedi (nyepi) di dalam makam dengan berbagai ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Makam Adipati Warga Utama I di tatah Wirsaba, tetapi secara administratif Klampok, KabupatenBanjarnegara, tapatnya di desa Pekiringan. Makam yang dikeramatkan ini juga banyak dikunjungi oleh pezairah yang ingin mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari tertentu. Keramaian makam ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan yang tekah dibakar.

Seandainya Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau melakukan konfirmasi lebih dulu atas penuturan Demang Banyureka perihal status Rara Sukartiyah, putri Adipati Wirasaba yang dikatakan sudah bersuami dan tidak “suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti itu. Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi Sabtu Pahing”. Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis tersebut sangat di perhatikan agar jangan sampai menimpa anak cucu dan generasi mendatang. Sebagian masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku dengan hari Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan agama dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”.

POHON TEMBAGA DAN BANYUMAS

Pohon Tembaga - Pohon tersebut di Kabupaten Banyumas tinggal satu batang, yakni berada di kompleks Makam Tembaga Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas. Pohon itu umurnya sudah ratusan tahun dan berkaitan erat dengan lahirnya Kabupaten Banyumas. Sebab dari babat Banyumas yang dipakai sebagai salah satu pendukung untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Banyumas, pohon tembaga yang ditanam di dekat Kali Banyumas merupakan pohon yang ditanam oleh Adipati Mrapat ketika hijrah dari Wirasaba.

Sesampai di sebuah kawasan yang disebut sebagai hutan Mangli, sang adipati menanam pohon yang disebut pohon tembaga. Pohon ini tampak seperti pohon biasa, namun demikian bila anda cermati lebih dekat secara langsung pohon ini mempunyai warna yang khas coklat kekuningan layaknya logam tembaga.
Pohon ini merupakan “prasasti” hidup sejarah Banyumas, karena menurut babad dan cerita sejarah Banyumas dari sini titik tonggak sejarah dimulainya / dibangunnya Kabupaten Banyumas . 

Pohon ini terletak di daerah yang pertama kali dibangun sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas di hutan Mangli daerah Kejawar dan sekarang terletak di Desa Kalisube Grumbul Mangli, Kecamatan Banyumas. Menurut penelitian, maka hutan Mangli daerah Kejawar sebagai tempat pertama dibangunnya pusat pemerintahan Adipati Wargo Oetomo II (Djoko Kahiman / Adipati Mrapat) setelah meninggalkan Wirasaba.

Menurut riwayat yang juga dipercayai masyarakat, beliau menerima wisik supaya pergi ke suatu tempat tumbuhnya pohon Tembaga. Di hutan Mangli inilah diketemukan pohon Tembaga yang dimaksud ; yaitu di sebelah Timur pertemuan sungai Pasinggangan dan sungai Banyumas. Kemudian mulailah dibangun tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan dengan dibiayai oleh Kyai Mranggi Semu di Kejawar.

Ketika sedang sibuk-sibuknya membangun pusat pemerintahan itu, kebetulan pada waktu itu ada sebatang kayu besar hanyut di sungai Serayu. Pohon tersebut namanya pohon Kayu Mas yang setelah diteliti berasal dari Desa Karangjambu  (Kabupaten Purbalinga), sekarang sebelah timur  Wirasaba. 

Anehnya kayu tersebut terhenti di sungai Serayu dekat lokasi pembangunan pusat pemerintahan. Adipati Marapat tersentuh hatinya melihat kejadian tersebut, kemudian berkenan untuk mengambil Kayu Mas tersebut untuk dijadikan Saka Guru. Karena kayu itu namanya Kayu Mas dan hanyut terbawa air (banyu), maka pusat pemerintahan yang dibangun ini kemudian diberi nama Banyumas (perpaduan antara air (banyu) dan Kayu Mas).

PENAMAAN CURUG CIPENDOK

Nama Curug Cipendok bermula dari legenda yang masih berkaitan dengan sejarah Perang Diponegoro. Perang ini merupakan perang lima tahun (1825-1830) antara Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Perang yang dimenangkan Belanda itu membuat seluruh wilayah kerajaan Surakarta termasuk wilayah Dulangmas, meliputi Kedu, Magelang, Banyumas berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial. Perjanjian tersebut tertuang dalam perjanjian Dulangmas.

Salah satu wilayah Banyumas yaitu Ajibarang, saat itu dipimpin oleh seorang Wedana bernama Raden Ranusentika. Pada saat itu diberi tugas untuk melakukan kerja rodi, berupa pembukaan hutan belantara di sekitar lereng Gunung Slamet untuk dijadikan area perkebunan. Sudah delapan bulan lamanya beliau memimpin pembukaan hutan di lereng Gunung Slamet, namun belum juga mendapatkan hasil. Senantiasa terjadi keanehan, pada saat pohon-pohon selesai ditebang, esoknya tubuh lagi seperti semula. Seolah-olah seperti belum pernah ditebang sama sekali. Kejadian ini terjadi berulang-ulang, sehingga membuat bingung dan pusing Raden Ranusentika.

Karena baru kali ini menemukan permasalahan yang aneh, maka kemudian Raden Ranusentika berdoa dan bermohon kepada Tuhan dengan cara bertapa beberapa saat. Karena merasa belum mendapat petunjuk juga, beliau kemudian menyudahi bertapanya. Sembari mengusir kegundahan dan mencari jalan keluar, Raden Ranusentika pergi memancing ikan di dekat air terjun. Di tengah-tengahnya memancing, tiba-tiba beliau merasa kailnya seperti ditarik-tarik oleh ikan yang besar, sampai-sampai gagang pancingnya melengkung.

Namun alangkah terkejutnya, saat pancingnya ditarik bukannya ikan yang didapat, melainkan sebuah barang mirip cincin yang merupakan pendok atau cincin warangka keris yang bersinar kuning keemasan. Ketika didekatkan, tiba-tiba Raden Ranusentika bisa melihat banyak sekali makhluk halus yang berada di hutan yang telah ditebang habis. Mereka semua yang selama ini menggagalkan pekerjaan Raden Ranusentika.

Atas usulan Raden Santa, seorang kepala pekerja, air terjun dimana Raden Ranusentika menemukan pendok keris, dinamakan Curug Cipendok. Berasal dari kata curug yang berarti air terjun dan pendok atau warangka keris.

KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN

Begalan atau rampok yang terdengar menyeramkan,  dalam kebudayaan tradisional Banyumasan hanyalah merupakan nama kesenian  yang bukan hanya menyajikan  hiburan semata, tetapi sudah menjadi “sesaji” ritual bagi masyarakat banuumas yang mempercayainya. Kesenian ini tumbuh di wilayah eks Karesidenan Banyumas (Banyumas, Purbalingga, Banjarnrgara, dan Cilacap). Masyarakat Banyumas yang kini nbermukim di Jakarta,Semarang, Surabaya, dan kota0kota besar lainnya masih mempercayai begalan sebagai pelengkap upacara pernikahan.

Begalan umumnya dilaksanakan oleh pihak orang tua Pengantin putri  yang baru pertama kali melaksanakan “mbarang gawe” (hajatan). Maka tidak heran jika group-grpu kesenian Begalan lebih sering pentas diluar Banyumas dari pada di wilayah Banyumas sendiri.

Seni begalan sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sejarah seni begalan yang berakar dari budaya Banyumasan telah mengalami pasang surut, bahkan generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak mengerti atau buta sama sekali dwengan kesenian begalan.

Ada beberapa versi seni begalan namun yang banyak ditulis dalam sejarah dan riwayat Banyumas menyatakan bahwa saeni begalan ada sejak jaman Adipati Wirasaba yang ketika itu mengawinkan anak (putri) yang bernama Dewi Sukesi dengan putri sulung dari dari adipati Banyumas yang berbama Pangeran Tirtakencana, ada yang menyebut terjadi pada abad ke 19.

Dari perkembangan dan pasang surutnya seni begalan, diketahui bahwa begalan adalah suatu jenis kesenian yang merupakan rangkaian upacara perkawinan di daerah Banyumas dan sekitarnya. Biasanya dilakukan apabila pasangan pengantin terdiri dari anak bungsu dan anak sulung, terutama kalau yang bungsu atau sulung dari piohak perempuan. Menurut kepercayaan masyarakat banyumas, seni begalan merupakan syarat “krenah” yangh harus dilakukan apabila menjodohkan anaknya, merupkan syarat yang penting.

Sebagian masyarakat Banyumas juga ada yang berpendirian, tidak setiap mengawinkan anaknya harus menggelar seni begalan. Ada keyakinan begalan juga mirip ruwatan. Seni begalan bukan semata-mata merupakan suatu hiburan atau pertunjukan belaka sebab dalam aksi dan dialognya berisi ajaran atau tuntunan dan ular-ular yang ditujukan kepada mempelai berdua. Sarana begalan seperti ilir, ukusan, kendil, padi, serta berbagai peralatan dapur lainnya mengandung makna tertentu. Biasanya para pelaku begalan menjelaskan makna peralayan begalan satu-persatu, yang semuanya mengandung permohonan/doa kepada sang maha kuasa agar mempelai berdua dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan sakinah warohmah dan mawahdah yang dalam bahasa begalan disebut keluarga langgeng “Kaya Mimi lan Mintuna, nganti Kaken-kaken Ninen-ninen”.

Pada mulanya pelaku seni begalan tidak dibayar, bahkan lebih cenderung menolong, semata-mata merupakan tradisi ruwatan agar upacara pernikahan dapat berjalan lancar. Keturunan warga Banyumas yang ada diluar daerah bahkan harus bersusah payah mencari group begalan  yang berlualitas.. Dari kbiasaan ditanggap inilah yang kemudian seni begalan masuk ke rahan entertainment dan memasang tarif yang cukup besar dalam setiap pementasan.
Begalan bewrasala dari kata begal dan akhiran an, artinya perampasan atau tindak perampokan di tengah jalan. 

Maka kesenian begalan adalah suatu atraksi yang menggambarkan seseorang yang sedang membawa barang bawaan kebutuhan hidup, kemudian dirampok di tengah jalan. Dengan diiringi genhing-gendhing khas Banyumasan mereaka melakukan diaek serta pesan moral yang diselingi banyolan, sindiran, sekaligus petuah kepada para penontonnya. Gendhing yang dipilih biasanya bernada dinamis dana suasana riang untuk menghidupkan suasana.

Ketika suara genghing berhenti, mulailah para pembegal memperkenalkan diri dan terjadi dialog. Seperti layaknya tukang begal, maka ada adegan pertengkaran dan adu mulut, sambil menjelaskan arti dan makna barang bawaan yang semuanya dikemas dalam “brenong kepang”(semacam pikulan). Masyarakat yang mernonton biasanya mengharapkan momentum berebut benda yang ada di brenong kepang. Mereka percaya jika dapat merebut/mendapatkan benda-benda-begalan akan mendapat berekah.

Dalam perkembangannya seni begalan dianggap bertentangan dengan agama (Islam), karena jika tujuannya hanya untuk mengusir roh jahat makalebih afdol jika cukup dengan membaca doa bersama agar mempelai berdua dapat selamat dan bahagia.

Perkembangan lebih lanjut, begalansemakin surut peminatnya seiring dengan perubahan jaman. Untuk melestarikan seni tradisional ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata belum lama ini telahg menyelenggarakan seminar tentang begalan. Dinbudpar juga terus menggali, melestarikan, mengembangkan dan memberdayakan potensi pariwisata dan kebudayaan dalam rangka mewujudkan Banyumas sebagai kawasan cagar budaya, agar generasi muda dapat lebih tertarik memahami seni begalan, tidak hanya sebatas “krenah” dalam upacara pernikahan. 


Demikian lah sedikit sejarah yang ada di Banyumas 

Padjang


Kerajaan Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Komplekskeratonnya pada zaman ini tinggal tersisa berupa batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang -Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.

Nama negeri Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut kitab Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu dari Wikramawardhana /Damarwulan (raja Majapahit selanjutnya).

Berdasar naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang melegenda menyebut bahwa Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.

Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), bahwa nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan bahwa putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Dadaliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara dari Pengging yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.

Atas jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Prabu Andayaningrat.(Handoyoningrat) 

Berdasarkan silsilah Prabu Handoyoningrat masih keturunan dr Prabu Citrosomo Pengging.

Kerajaan Pajang
Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Muslim Demak  di daerah Pasisir.

Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung (Ayah Sunan Kudus) saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak . Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.

Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak oleh Sunan Kudus. Peristiwa tersebut penuh dengan teka teki karena Kyai Ageng Pengging sebagai pejabat yang gigih dan ulama yang taat.

Putranya yang Maskarebet yang dikenal dengan julukan Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.

Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana dengan berbagai riwayat percintaan yang penuh kontroversi dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. 

Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali danKlaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.

Sepeninggal Sultan  Trenggana tahun 1546, selanjutnya Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin) naik takhta. 

Namun Sultan Prawoto kemudian tewas dibunuh utusan sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.

Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Sultan Trenggana) sekaligus pewaris Demak. Adipati Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Dengan taktik peperangan yang di skenario oleh Ki Juru Martani.

Adipati Hadiwijaya selanjutnya menjadi pewaris takhta Demak. Pada masa kepemimpinan Hadiwijaya ini, ibu kota Demak dipindahkan ke Pajang.

Perkembangan
Pada awal berdirinya atau pada tahun 1549, bahwa wilayah Pajang yang terkait eksistensi Demak pada masa sebelumnya, hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggana.

Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen (Sunan Giri ke 2) Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya.

Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.

Peran Wali Songo

Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.

Sepeninggal Sultan  Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, Raja baru pengganti Trenggana. Karena Sunan Kudus yang menyarankan Haryo Penangsang untuk membunuh Sunan Prawoto.

Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. 

Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram (Alas Mentaok) sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.

Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus. Sepeninggal Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri. Peristiwa ini sebagai langkah politik atas kekalahan Murid kesayangan Sunan Kudus (Haryo Penangsang).

Dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus (putra Sunan Kudus) yang mana Sunan Kudus sejatinya telah meninggal tahun 1550.

Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Penangsangtahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.

Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. 

Hal ini disebabkan karena Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.(yang terkenal dengan istilah kuno Wiratuya Sunan Giri).

Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. 

Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. DaerahMataram di bawah pimpinan Sutawijaya semakin hari semakin maju dan berkembang.

Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram disebabkan Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang terkait hukum buang ke Semarang oleh Sultan Hadiwijaya kepada sang tumenggung. Atas kesalahan Raden Pabelan yang berani mendatangi (apel) Putri Sekar Kedhaton (Putri Sultan)  

Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram, meskipun pasukan Pajang berjumlah lebih besar. 


BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG

Aspek Sosial Budaya

Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi  lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.

Aspek Ekonomi

Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.

Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.

Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.

Aspek Politik

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo.  Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai  para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi  sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan,  tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang  menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang  berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,  Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi  Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.


Keruntuhan

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, terjadilah persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan akibat kemelut tersebut. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin dengan keadaan Pajang Pangeran Benowo berniat minta bantuan Mataram. 

Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua. Karena kedekatan tersebut diantara keduanya tidak pernah ada rasa benci dan dendam.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.

Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Sang Pangeran Benowo lebih memilih untuk berjuang di agama dan dakwah. Hingga akhirnya menetap di Pegandon Kendal dengan bergelar Sunan Abinawa 

Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Sutawijaya.

Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati. Julukan Panembahan Senopati itu sejak peperangan Pajang Jipang yang oleh para prajurit Pajang di elu2kan dengan sebutan Panembahan Senopati. Hal itu lantas di kokohkan oleh Sultan Hadiwijaya dengan selalu memanggil dengan kalimah kasih sayang (Ananda Senopati) 

Daftar Raja Pajang

Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
Arya Pangiri atau Ngawantipura
Pangeran Benawa atau Prabuwijaya.
Pangeran Gagak Bening. 

Dimasa Gagak Bening Pajang bersekutu dengan Pati memberontak pada Mataram. Dan akhirnya di Bumi hangus kan sampai hanya tersisa reruntuhan yang bisa kita lihat sekarang ini.

 

Sejarah Syaikh Siti Jenar

  (سيد حسن ابن صالح الحسيني)

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, wilayah Cirebon. Beliau mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit dari Sunan Giri (Muhammad 'Ainul Yaqin)

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad  Syah (Parameswara). Saat itu Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi (Datuk Kahfi) bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. 

Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya

2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,

3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara

4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

Kitab-Kitab Tashowwuf yang dipelajari oleh Siti Jenar muda Dari Sayyid Kahfi adalah 
Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, 
Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, 
Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, 
Kitab Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, 
Kitab Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, 
Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, 
Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan 
Kitab Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan.

Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: 
Syaikh Muhammad Abdullah Burhanpuri, 
Syaikh Ali Fansuri, 
Syaikh Hamzah Fansuri, 
Syaikh Syamsuddin Pasai, 
Syaikh Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dan pada saat Sunan Giri memberikan julukan pada Sayid Abdul Jalil dengan nama Siti Jenar itu dikarenakan Sayid Abdul Jalil dalam posisi duduk di atas tanah yang berwarna kuning.

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. 
Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. 
Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

Pengejawantahan Manunggaling Kawulo Gusti adalah tentang ke fana an manusia yang bisa Baqo' dengan ketauhidan yang kuat.
Ketika fana nya manusia akan langgeng setelah adanya kematian. 
Itulah divinisi rashowwuf ajaran Syaikh Siti Jenar.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. 

Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. 

Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. 
Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. 

Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.
Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. 
Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong !!!!
Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. 

Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. 
Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. 
Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat.
Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali dan para ulama]

2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak sampai pada Diponegoro]

3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar dan Kejawen]

Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. 

Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.

 

Raden Djoko Katuhu


Diceritakan Raden Haryo Baribin dan beberapa abdinya yang setia melarikan diri dari Kerajaan Majapahit, demi mendengar sang kakak, yaitu Prabu Brawijaya V memerintahkan orang untuk membunuhnya. 

Prabu Brawijaya V merasa khawatir karena Raden Haryo Baribin sangat disegani di kalangan istana. Dia takut kalau-kalau pada suatu ketika adiknya ini akan merebut tahtanya.

Dalam pelariannya, sampailah Raden Baribin di kerajaan Pajajaran yang kala itu diperintah oleh Prabu Siliwangi (Prabu Lingga Wastu ) Mendengar berita kedatangan adik raja Majapahit tersebut, Prabu Siliwangi memberikan suaka kepada Raden Haryo Baribin. Hingga pada akhirnya Raden Haryo Baribin menetap dan dinikahkan dengan Dewi Retna Pamekas, putri dari Prabu Siliwangi.

Dari pernikahannya ini, Raden Haryo Baribin dikaruniai tiga orang putra dan seorang putri. 
Putra pertama, yaitu Raden Jaka Katuhu, dikemudian hari menjadi bupati Wirasaba (wilayah Purbalingga) 
Putra kedua, yaitu Raden Banyak Sasra, wafat diusia muda dan meninggalkan putra yang masih kecil, Raden Jaka Kahiman. 
Putra ketiga, Raden Banyak Kumara, dan 
Putri keempat, Rara Ngaisah, 
dikemudian hari dijadikan istri oleh Kiai Ageng Mranggi Kejawar. Dialah yang membesarkan kemenakannya, Jaka Kahiman, yang ditinggal wafat oleh ayahnya.

Raden Jaka Kahiman inilah yang pada masanya, dianggap sebagai bupati Banyumas, yang menurunkan bupati-bupati 12 keturunan.

Kisah Raden Djoko Katuhu

Di ceriterakan asal usul R.Jaka Katuhu dan R.Paguwon (Adipati Wirahudaya) yang saat itu menjadi Adipati I di Kadipaten Wirasaba I (abad ke 15). 
R Jaka Katuhu putera sulung R Harya Baribin Pandhita Putera, dan menjadi menantu Prabu Linggawastu karena dikawinkan dengan puteri tunggalnya, Dewi Retna Pamekas. 

R Jaka Katuhu meninggalkan Kraton Pakuan Parahyangan untuk berkelanan ke tanah Jawa dan akhirnya sampai di desa Buwara; Disana dijadikan anak angkat Ki Lurah Buwara yang tidak memiliki keturunan
Raden Jaka Ketuhu yang semula menyamar sebagai seorang peminta-minta. Karena merasa iba, maka pemuda itu lalu disuruh tinggal dirumah Kiai Gede Buara dipedukuhan itu.

Raden Jaka Ketuhu adalah Putera sulung Raden Beribin memerintahkan kepada Jaka Ketuhu agar pergi mengembara pergi ke timur serta mengabdi kepada siapa saja yang mau menerimanya. Sesampainya wilayah Kadipaten Wirasaba ia dapat diterima mengabdikan diri kepada Kiai Gede Buara.

Setiap hari ia bekerja di tegalan membantu Kiai Gede Buara menanam berbagai macam tanaman yang bisa menghasilkan termasuk karang kitri.
Tetapi aneh, tiap pulang kerumah, Jaka Ketuhu tidak mau berjalan bersama-sama Kiai Gede Buara. Ia selalu pulang belakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan dibatin Kiai Gede Buara, sehingga ia ingin mengetahui apa sebab musababnya.

Pada suatu sore Kiai Gede Buara terpaksa mencoba menyelidikinya. Sementara itu tampaklah ditelaganya api yang berkobar. Dan apa yang dilihatnya? Raden Jaka Ketuhu tiba-tiba meloncat masuk kedalam kobaran api tersebut. 

Tentu saja perbuatan itu membuat hati Kiai Gede Buara menjadi cemas Namu kecemasan itu tiba-tiba keheranan, karena beberapa saat kemudian Raden Jaka Ketuhu keluar dari kobaran api , dan tubuhnya tampak lebih bercahaya bagaikan emas dua pulu karat.

Bekas tegalan yang digarap Kiai Gede Buara itu hingga sekarang terkenal dengan sebutan “Cibuek”. Luasnya kurang lebih satu setengah hektar. Diatasnya tumbuh 25 dapuran bamboo dari berbagai macam jenis. Sementara orang masih menganggap , dukuh Cibuek itu sangat keramat. Lokasinya disebelah timur desa Majatengah kecamatan Kemangkon, dan merupakan tanah perdikan (tanah yang tidak dipungut pajak).

R.JaKa Katuhu membantu perluasan ladang pertanian Ki Lurah Buwara, dengan membakar daun/ranting sehingga tjahaya membumbung memancar keudara terlihat dari kadipaten Wirasaba; 

Kanjeng Adipati Wirahudaya pun menyelidiki dan memanggil Ki Lurah Burawa & Jaka Katuhu, dan akhirnya  diketahuilah asal usul Jaka Katuhu; 
Sehingga Adipati Wirahudaya berkeinginan mengangkat putera R.Jaka Katuhu karena di tidak dikarunia keturunan hingga usia tuanya. 

Ketika tiba waktunya Pisowanan Ageng di Kratom Majapahit, Adipati Wirahudaya sedang menderita sakit. Maka diutuslah R Jaka Katuhu untuk mewakili menghadap Prabu Brawijaya V, menghaturkan upeti kepada Sri Baginda; 

Keberangkatannya ke Majapahit diantar oleh Patih Wirasaba, Raden Bawang, dan adik Sang Adipati. 
Pada saat menghadap Sang Prabu Brawijaya V, ditanyakan asal usul R Jaka Katuhu, karena yang bertanya adalah Raja yang sekaligus uwaknya maka ia terus terang bahwa ia adalah putera R Harya Baribin Pandhita Putera, menantu Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana  dari Kraton Pakuan Parahiyangan di tanah Pasundan. 

Mendengar nama R Harya Baribin, Sang Prabu terkejut dan tidak mengira bahwa Jaka Katuhu ternyata putera adik kandungnya sendiri. R Baribin melarikan diri pada masa Prabu Brawijaya V menjadi Raja Majapahit, ia difitnah oleh beberapa punggawa kraton yang akan merebut kekuasaaan, sehingga diperintahkan ditangkap; Fitnah itu dari kelompok Patih Majapahit saat itu. Fitnah tsb. yang akhirnya terbokngkar kedoknya; sehingga Sang Prabu Brawijaya V menyesal asal tindakannya terkena provokasi.

Raden Jaka Katuhu kasengkakaken ing ngaluhur (kembali diangkat derajatnya sebagai bangsawan Kraton) dan dibait'an menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirahutama. Selain dihadiahi seorang isteri bernama Putrisari salah satu puteri Mahapatih Majapahit; Dan dijinkan memperluas wilayah Kadipaten Wirasaba sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di wilayah Kedu.

Kisah Raden Jaka Kahiman mendapatkan Keris Kyai Gajah Endro
 

Pada suatu hari, Prabu Linggakarang dari Kerajaan Bonokeling, ingin menguji kesaktian Prabu Brawijaya V. Diutusnya seorang patih bernama Ki Tolih ke Majapahit. Ki Tolih pun berangkat dengan mengendarai seekor burung besar (sejenis garuda) yang dinamai burung Mahendra. Dan bersenjatakan keris ligan (tanpa sarung.) (keris Kyai Gajah Endro) 

Pada waktu itu, Prabu Brawijaya mempunyai firasat yang tidak baik. Dia memerintahkan untuk menutup semua sumur dan mata air di Majapahit. Tetapi, ada satu sumur yang tidak di tutup, yaitu sumur di daerah kepatihan yang dijaga oleh Raden Arya Gajah.

Sesampainya di Majapahit, burung Mahendra kehausan. Setelah mencari kesana kemari, sampailah mereka di sumur yang terletak di kepatihan. Begitu burung Mahendra hendak minum dari sumur tersebut, tiba-tiba dihadang oleh Raden Arya Gajah dan dibunuh. Ki Tolih pun ditangkap.

Ketika Ki Tolih akan diadili dihadapan raja, tiba-tiba kuda milik Prabu Brawijaya terlepas dan memberontak. Tidak ada seorangpun yang dapat menangkapnya. Melihat itu, Ki Tolih memohon untuk membantu asalkan ia diberi tali kekang burung Mahendra Prabu Brawijaya mengijinkan dengan syarat bila berhasil, Ki Tolih akan dibebaskan dan diangkat menjadi pembesar Majapahit. Tetapi bila gagal, dia akan dihukum mati.

Dan benar saja, begitu kuda raja, yang dinamai Kiai Joyotopo, melihat tali kekang burung Mahendra di tangan Ki Tolih, langsung jinak kembali. Prabu Brawijaya masih belum begitu saja mempercayai Ki Tolih. Dilepasnya seekor singa buas. Ternyata singa itu pun langsung jinak begitu melihat tali kekang tadi.

Sesuai janji Prabu Brawijaya, Ki Tolih dibebaskan, tetapi dia menolak menerima hadiah dan jabatan. Dia memilih menetap di Majapahit. Permintaan Ki Tolih dikabulkan. Keris miliknya pun, yang tanpa sarung, juga dikembalikan pada Ki Tolih.

Setelah beberapa lama menetap di Majapahit, Ki Tolih berniat memesan sarung (wrangka) untuk kerisnya. Dia pergi ke daerah Banyumas dan menemui seorang ahli keris, Kiai Mranggi Kejawar.

Kiai Mranggi Kejawar, yang tak lain adalah ayah angkat Raden Jaka Kahiman, menyanggupi membuat sarung untuk keris Ki Tolih. Namun tiba-tiba keris itu hilang saat diserahkan kepada Kiai Mranggi Kejawar. Mereka berdua terperanjat. Kemudian Ki Tolih mengatakan bahwa mungkin keris itu memang bukan haknya.

Pada saat yang bersamaan, Raden Jaka Kahiman yang sedang dalam perjalanan dari Wirasaba menuju Kejawar, ke rumah orang tua angkatnya, untuk memberitahukan rencana pernikahannya dengan putri Adipati Wirasaba. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyelinap di ikat pinggangnya. Ternyata itu adalah sebilah keris tanpa sarung. Dia sangat keheranan.

Sesampainya di Kejawar, Kiai Mranggi dan Ki Tolih yang masih ada di sana terheran-heran melihat Jaka Kahiman datang memakai keris tanpa sarung yang ternyata keris milik Ki Tolih.

Ketika ditanyakan oleh Ki Tolih, apakah Jaka Kahiman menyukai keris tadi, Jaka Kahiman mengatakan kalau dia amat suka dengan keris itu, tetapi tidak mau memilikinya karena bukan haknya.

Ki Tolih dengan ikhlas memberikan keris itu kepada Jaka Kahiman dan berpesan agar dipakai pada saat upacara pernikahannya.

Demikianlah, Raden Jaka Kahiman selain sebagai seorang yang “terpilih”, dia adalah seorang yang jujur dan baik hatinya.

 

Babad Wono Wilotikto


Pun Winejang rinaras kidung, lamlaming bawana ari, manoni jagad kang endah, andamel sengseming pangeksi.

Pisowanan Agung ing Dahana Pura nagari, ingkang lenggah ing dampar kencono inggih Sang Maha Prabu Sri Aji Jaya Baya kukuwung tejo kuwangwang arsa miyak sasmiteng rat inggih titisipun Sang Hyang Suman, kaering dening para widodoro-widodari soho para Dorandoro-Dorandari, ing ngarsaing Sang Aji sami pada moro sebo, ing ngayun putra kinasih Sang Adipati Mulwapati inggih Rahadyan Anglingdarma, soho putri kang kawuri Sang Maha Ratu Angin-angin, sawingkingipun katon Maha Patih Rahadyan Daha saha Patih Dalem Rahadyan Daka, katah para narendra ing Nuswantara kang sami angrawuhi, katingal saking jaman Kala Kukila : Sang Maha Prabu Radite, Sang Maha Prabu Tumpak Saniscara, Sang Maha Prabu Anggara, saking jaman Kala Tirta : Maha Prabu Selo Argo, saking jaman Kala Wisesa : Maha Prabu Batara I’Kling, saking jaman Kala Sakti : Susuhunan Amangkurat Agung, soho tasih katah narendra gung Binatoro saking pinten-pinten jaman.

Para punggawa saha sedoyo nayaka praja kang nderek pisowanan ngantos luber dumugi alun-alun kedaton Dahana Pura. Ing pambikaning Rembag Sri Aji nimbali keng putra inggih Raden Anglingdarma soho keng putu Maha Prabu Batara I’Kling soho Amangkurat Agung kang pun lenggahi dening Wahyu Erocokro. Amergi sampun ngancik dawahing janji kedah wangsulipun Wilwatikta kang dek ing nguni katitipaken dening tiyang monco.

Sang Aji sanget anggenipun anggadang Raden Anglingdarma supados inggal nuntuni dening para putu kang wonten ing tlatah emperan Wilwatikta, para putra kang kaemong dening Susuhunan Amangkurat Agung, Rahadyan Anglingdarma sigra ngestokaken dawuhing Sang Aji lajeng nyuwun preso dening Susuhunan Amangkurat Agung, saksampunipun pun jarwaaken dening susuhunan Amangkurat Agung, Raden Anglingdarma nyuwun keng rayi inggih Maha Ratu Angin-Angin supados dedemitan ambiyantu dening para putra momonganipun Amangkurat Agung.

Dereng rampung anggenipun rembagan katungka rawuhipun Ditya Kala Gatika kang kautus dening Sang Hyang Batara Kala, Ki Patih Ditya Kala Gatika kaderekaken poro wadyabala saking Kahyangan Pasetran Gondolayu. Rawuhipun Sang ndiyu nyuwun mekso supados Ni Mas Angin-Angin mboten mbiyantu poro putu ing Arcapada anggenipun mbikak jatining Nuswantara, salang surup anggenipun rembag dumugi sulaya, Ditya Kala Gatika kagebag mundur dening Rahadyan Angingdarma, Wadyabala saking Kahyangan Pasetran Gondolayu bosah-baseh pun gebug kaliyan Raden Daka, Sang Kala Gatika lajeng wangsul makahyangan kaering dening para wadyabalanipun lepas saking ponang pandulunipun Raden Anglingdarma.

Lajeng amrepegi keng Rayi Ni Mas Angin-Angin, sacekaping rembag Raden Anglingdarma soho keng Rayi jengkar mring ndalem Wonocatur, rawuhipun narendra kekalih punsungkemi punprepegi dening Endang Juwiri soho Dewi Kadita, ing rembagan saking ndalem Wonocatur sampun pun tata anggenipun miwiti jumedulipun Wilwatikta.

Ing emperan nagri Wilwatikta kang sampun dipun sabda mboten saget sumewo (melihat) Wilwatikta, Ki Lurah Tunggul Jati Jaya Amongrogo soho Ki lurah Sepuh paring pitedah dening para putra supados enggal miwiti miyak jatinipun ardi Lalakon kang wonten ing tlatah Magadha, para putra kang ngadep inggih Sang Mayangga Seta, Sang Sasratama Aji, Sang Maheswara, Sang Subrata.

Poro putra lajeng ngempalaken poro sanak kadang angginipun miyak jatinipun Lalakon, sasampunipun rame ngantos monco nagari Ditya Kala Gatika soho Ditya Kala Srenggi angrasuk dening putranipun Ditya Kala Kendi, soho Ditya Kala Jantaka supados angreridu lakuning poro trah jayeng katon anggenipun mbikak jatining Nuswantara.

Sumewo menawi bakal wonten perang brubuh kang andadosaken katah kawulo ing sukuning Kacu Mas Lalakon bakal dados bebantening pasulayan, para jayengkaton dipun timbali keng eyang Amangkurat Agung miwiti mbikak alamipun kajimanipun Ni Mas Pagedongan supados saget trewaca sumewo kaliyan poro kawulo kang gesang ing emperanipun Wilwatikta. Ing dinten Radite Kasih poro putra siogo nampi rawuhipun keng eyang Amangkurat Agung, kang rawuh ngasta pawarta bab urut-urutanipun miyak jatining Nuswantara, poro putra sendiko dawuh lajeng miwiti nuntuni tata cara anggenipun ngawuningani pratandanipun wontenipun Wonocatur ing Segoro Kidul.

Dereng sangkep anggenipun nuntuni sampun bade dipun rebat kaliyan anak putunipun Ditya Kala Gatika kang nyamar dados tiyang Kadipaten Ngastrali soho Kadipaten Kalinggis kang drabeki anggenipun dados tiyang kang miwiti nemu Kadipatenipun Ni Mas Pagedongan, tanpa mangertos sampun dipun plesetaken kaliyan Tumenggung Surenggono saking Seganten Kidul, dados mboten bakal nemu utawi sumewo papanipun Kedaton Wonocatur.

Sak sampunipun bade dipun rebat bab Wonocatur, Rahadyan Anglingdarma paring pitedah dening Sang Mayangga Seta supados miwiti nuntuni tata cara miyak jatining Wilwatikta, amargi Wilwatikta bade kawiyak saksampunipun rawuhing Sang Hyang Batara Kaneka Putra.

Ditya Kala Kendi soho Ditya Kala Jantaka sanget ajrih menawi kawiyakipun Wilwatikta, lajeng andamel gara-gara supados Mayangga Seta sakadang mboten saget miyak kawontenanipun Wilwatikta, agenging gara-gara amargi Sang Hyang Batara Kala ugi duka amargi bakal mboten gadah kang saget pun tadah kalamangsa, agengipun gara-gara andamel gugrukipun ponang ardi, Bumi gonjeng langit miring.

Ing kahanan kados mekaten Hyang Brojomusti inggih putra pembayun Batara Indra sigra angrasuk nunggal raga kaliyan Mayangga Seta, Sang Sela Argo nitis dumateng Subrata, Hyang Rawi manunggil dumateng sang Sasratama, Hyang Jandun Wacana manunggil dening Maheswara, anglajengaken miyak Wilwatikta, Kusuma taruna tama mbek suci ngupaya wening linawuran.

Dening Gusti, wus mantun dennya piningit, kinen nyapih sami, sigra nindakake pikolehing Gusti, angrabaseng perang tanpa wadya bala, parandene wadyabalaning mboten kaeksi, pun dombani dening luhur, katungka rawuhipun ngasto lintang kemukus kang dawa ngalu-alu pitung dinten pitung ndalu.

Rawuhing Sang Kaneka Putra damel ajrihing para ndiyu, poro drubikso sigra wangsul mring dangkaneki ing Pasetran Gondolayu, andamel cetha. Rawuhnya sang Batara, parmaning jroning papan piningit, mila miwiti mbikakipun tratag rambat, kang limunan sansaoyo dangu kaeksi ing pandulu, kumenyar prapdiptanira, amadangi sajagad ageng, sumarmaning tan lestantun, hamemayu harja harjanti Nuswantara wangsul kados dek ing nguni.



Artinya 



Seperti yang telah dinubuatkan selaras lagu, bumi yang sedap dipandang, menyaksikan semesta yang indah, menakjubkan siapapun yang melihatnya.

Pertemuan besar di Negara Dahana Pura, yang duduk di singgasana ialah Sang Maha Prabu Sri Aji Jaya Baya yang diselimuti sinar pelangi (aura), membuka isyarat semesta, dialah titisan Sang Hyang Suman, diiringi para widadara-widadari dan para darandara-darandari. Di hadapan Sang Aji telah hadir menghadap, yang di muka adalah putra terkasih Sang Adipati Mulwapati yaitu Rahadyan Anglingdarma, juga anak perempuan bungsunya Sang Maha Ratu Angin-Angin. Di belakangnya tampak Mahapatih Rahadyan Daha dan Patih Rahadyan Daka. Banyak para narendra di Nuswantara juga hadir, tampak dari jaman Kala Kukila : Sang Maha Prabu Radite, Sang Maha Prabu Tumpak Saniscara, Sang Maha Prabu Anggara. Dari jaman Kala Tirta : Sang Maha Prabu Selo Argo, dari jaman Kala Wisesa : Maha Prabu Bathara I’Kling, dari jaman Kala Sakti : Susuhunan Amangkurat Agung, juga masih banyak nerendra luhur penguasa jagad dari berbagai jaman.

Para punggawa dan semua pejabat Negara menghadiri pertemuan sehingga meluap hingga alun-alun kedaton Dahana Pura. Pada saat menyampaikan sambutannya, Sri Aji mengundang sang putra, Raden Anglingdarma dan juga sang cucu Maha Prabu Bathara I’Kling, serta Amangkurat Agung, yang kesemuanya dinaungi Wahyu Eracakra. Sebab sudah waktunya janji kembalinya Wilwatikta, yang pada masa lalu dititipkan pada orang manca (asing).

Sang Aji sangat mengharapkan Raden Anglingdarma secepatnya menuntun para anak turun yang tinggal di tepi Wilwatikta, para putra yang diasuh oleh Susuhunan Amangkurat Agung. Rahadyan Anglingdarma segera menjalankan perintah Sang Aji, kemudian meminta penjelasan dari Amangkurat Agung. Setelah mendapatkan penjelasan cukup dari Amangkurat Agung, Rahadyan Anglingdarma meminta adiknya yaitu Maha Ratu Angin-Angin, membantu secara rahasia para putra asuhan Amangkurat Agung.

Belum selesai pisowanan terhelat, terganggu oleh kedatangan Ditya Kala Gatika yang diutus oleh Sang Hyang Batara Kala. Ki Patih Ditya Kala Gatika datang dihantar para bala pasukan Kahyangan Pasetran Gandalayu. Kedatangan sang raksasa ini untuk memaksa Ni Mas Angin-Angin agar tidak membantu para anak turun di Arcapada sehingga menyingkap tabir sejatinya Nuswantara. Terjadi kesalahpahaman dalam musyawarah, sehingga menjadi perselisihan. Ditya Kala Gatika dipukul mundur oleh Rahadyan Anglingdarma. Para bala pasukan Kahyangan Pasetran Gandalayu cerai berai di hajar oleh Raden Daka. Sang Kala Gatika dan bala pasukannya berhasil menyelinap kemudian melarikan diri kembali ke kahyangan.

Setelah bertemu sang adik, Rahadyan Anglingdarma dan Ni Mas Angin-Angin bersepakat untuk pulang ke Kedaton Wonocatur. Kehadiran mereka berdua disambut hormat oleh Endang Juwiri dan Dewi Kadita. Di Kedaton Wonocatur mereka mempersiapkan kemunculan kembali Wilwatikta.

Di tepian negari Wilwatikta yang telah disabda tak mampu melihat Wilwatikta, Ki Tunggul Jati Jaya Amongraga dan Ki Lurah Sepuh memberi petunjuk pada para putra supaya segera memulai menyingkap sejatinya Gunung Lalakon yang ada di wilayah Magadha. Para putra yang menerima petunjuk adalah Sang Mayangga Seta, Sang Sasratama Aji, Sang Maheswara, Sang Subrata.

Para putra segera mengumpulkan para sahabat untuk menyibak sejatinya Lalakon. Setelah hal ini menjadi tersohor hingga manca negara, Ditya Kala Gatika dan Ditya Kala Srenggi merasuk pada anaknya, Ditya Kala Kendi dan Ditya Kala Jantaka supaya mengganggu dan mempersulit upaya para trah jayeng katon dalam menyibak jati diri Nuswantara.

Menyadari bakal terjadi pertumpahan darah yang akan membuat jatuh banyak korban masyarakat di kaki Kacu Mas Lalakon, para jayeng katon diminta menghadap sang kakek, Amangkurat Agung. Mereka diperintahkan menyibak tabir alam rahasia Ni Mas Pagedongan, supaya jelas tampak oleh masyarakat yang tinggal di pinggiran Wilwatikta. Di hari Radite Kasih (Minggu Kliwon), para putra bersiap menyambut kehadiran sang eyang, Amangkurat Agung, yang akan datang membawa pesan perihal runtutan menyibak jati diri Nuswantara. Para putra siap melaksanakan perintah dan segera memulai menyebar berita dengan tata cara yang dituntunkan, untuk memberikan tanda keberadaan Wonocatur di Segara Kidul (Laut Selatan).

Belum lengkap upayanya, sudah akan direbut haknya oleh keturunan Ditya Kala Gatika yang menyamar menjadi orang-orang dari Kadipaten Ngastrali dan Kadipaten Kalinggis yang mengaku berhak menemukan Kadipaten Ni Mas Pagedongan, namun mereka tak mengetahui telah dikecoh oleh Tumenggung Surenggana dari Laut Selatan, sehingga tak akan mungkin menemukan Kedaton Wonocatur.

Setelah peristiwa hampir diperebutkannya Wonocatur, Rahadyan Anglingdarma memberi petunjuk kepada Sang Mayangga Seta untuk memulai menyibak sejatinya Wilwatikta, dikarenakan Wilwatikta akan tersingkap setelah kedatangan Sang Hyang Batara Kaneka Putra.

Ditya Kala Kendi dan Ditya Kala Jantaka sangat khawatir apabila Wilwatikta tersingkap, lalu mereka membuat onar dan reka daya kepada Mayangga Seta dan sahabat-sahabatnya, agar mereka gagal menyibak Wilwatikta. Kekacauan membesar dengan kemarahan Batara Kala, yang juga murka karena kehilangan korban untuk dimangsa. Kekacauan besar ini hingga merontokkan gunung, mengguncang bumi dan memiringkan langit.

Dalam keadaan seperti itu, Hyang Brajamusti yaitu putra sulung Batara Indra segera merasuk dalam raga Mayangga Seta, Sang Selo Arga merasuki Subrata, Hyang Rawi merasuk Sasratama, Hyang Jandun Wacana merasuk Maheswara. Mereka bersatu padu menjalankan tugas menyingkap tabir Wilwatikta. Para ksatriya berhati suci berjuang sepenuh diri.

Oleh Gusti, setelah usai disembunyikan, segera dilepaskan (disapih), segera menjalankan tuntunan dari Sang Maha Pencipta, maju berperang tanpa pasukan, bala tentaranya tak tampak, dikawal oleh para leluhur, kehadirannya membawa lintang kemukus (komet) yang panjang sekali hingga tujuh hari tujuh malam.

Kehadiran Sang Kaneka Putra membuat gentar para raksasa jahat, para pembawa malapetaka kembali ke muasalnya di Pasetran Gondolayu. Membuat keadaan tenang. Hadirnya Sang Batara, di tempat yang tersembunyi (sakral), mulai tersingkap tratag rambat (penghubung), yang tersembunyi rahasia semakin dapat disaksikan mata lahir, cemerlang sinarnya, menerangi semesta, kesedihan tidak selamanya, membangun kembali dengan sempurna keselarasan dan kejayaan Nuswantara seperti sedia kala dan sepanjang masa.

Hamemayu harja harjanti Nuswantara…

Hayu…hinayu…hinayu-hayu Nuswantara !!!

Dirgayur hayu kintu sang anurat…

katon nyata tan netra

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...