Rabu, 18 November 2020

Sejarah Kerajaan Sungai Lemau (Bengkulu)


Tersebutlah dalam sebuah kisah, pada mulanya yang memerintah di negeri Sungai Serut ini ialah seorang raja yang berasal dari Majapahit, namanya Ratu Agung. Sebagai cikal-bakal dari kerajaan Sungai Serut, konon ceritanya, Ratu Agung adalah jelmaan bangsa dewa dari Gunung Bungkuk yang mendapat tugas untuk mengatur bangsa manusia di bumi.

Adapun rakyat yang diperintahkan oleh Ratu Agung ialah rakyat Rejang Sawah. Rakyatnya berperawakan tinggi, tegap, dan besar melebihi ukuran manusia pada umumnya. Disamping itu, dibagian tulang sulbinya agak sedikit menonjol yang panjangnya sekitar satu jari. Oleh sebab itulah, rakyat Ratu Agung ini juga disebut oleh orang sebagai Rejang Berekor.

Sebagai jelmaan dewa dari Gunung Bungkuk, Ratu Agung tidak saja mampu memerintah dengan adil, bijak, dan penuh wibawa, tetapi juga telah berhasil membangun negeri Sungai Serut hingga menjadi negeri yang kaya dan makmur.

Sebuah istana yang sangat megah juga telah didirikan di mudik kuala Sungai Serut. Di singgasana yang amat megah inilah yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan juga tempat kediaman sang Ratu Agung bersama kerabat kerajaan dan ketujuh putra-putrinya, yang terdiri atas enam laki-laki dan seorang perempuan.

Anak yang pertama bernama Kelamba Api, yang juga dikenal dengan nama Raden Cili. Yang kedua bernama Manuk Mincur, dan yang ketiga bernama Lemang Batu. Yang keempat bernama Tajuk Rompong, yang kelima bernama Rindang Papan, yang keenam bernama Anak Dalam, dan yang ketujuh atau bungsu bernama Putri Gading Cempaka.

Si Bungsu nan Jelita.

Selanjutnya dikisahkan, bahwa negeri Sungai Serut kian lama kian Masyhur. Bahkan nama negeri Sungai Serut pun semakin harum di negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan manca lainnya. Terlebih lagi, keharuman nama negeri Sungai Serut ini disebabkan oleh putri bungsu yang bernama Putri Gading Cempaka yang kian hari kian tumbuh dan berkembang menjadi seorang remaja putri nan cantik jelita.

Meskipun belum menginjak usia dewasa, tetapi keelokan paras Putri Gading Cempaka ini sudah terlihat dengan jelas pada usia yang masih remaja. Kecantikannya sungguh tiada taranya, bagai bidadari yang turun dari kayangan. Karena kecantikannya yang sungguh tiada bandingnya, maka banyak putra dari kaum bangsawan yang berniat untuk mempersunting sebagai pemdamping hidupnya.

Akan tetapi karena saat itu si bungsu masih belum menginjak usia dewasa, maka semua pinangan yang datang menghadap Ratu Agung pun selalu ditolaknya dengan cara yang bijaksana.

Wasiat Sang Raja

Bulan telah berjalan silih berganti, tahun pun terus berlari, dan juga usia manusia semakin berkurang jatahnya. Yang semula masih kanak-kanak, kemudian menjadi remaja, meningkat dewasa dan kemudian menjadi tua. Begitulah hukum alam dari Sang Pencipta yang berlaku bagi makhluk ciptaan-Nya, tanpa kecuali bangsa manusia.

Demikian pula dengan sang Ratu Agung yang kian menua usianya. Pada suatu hari, Ratu Agung pun jatuh sakit karena dimakan usia yang memang sudah tua. Kian hari, sakit yang dideritanya pun tiada kunjung sembuh, bahkan kian bertambah parah saja.

Sebagai raja jelmaan dari dewa yang telah menjadi manusia, nalurinya masih kuat, bahwa ajalnya tak lama lagi akan tiba. Oleh sebab itu, sebelum ajalnya tiba, sang Ratu Agung nan bijaksana itu segera memanggil ketujuh putra-putrinya. Setelah ketujuh putra–putrinya itu berkumpul sujud di sekeliling ayahandanya, syahdan bersabdalah ayahanda dengan suara pelan penuh wibawa :”Duhai anakandaku semua, kini rasanya ayahanda tiadalah kuasa hidup berlama-lama. Sebelum Ayahanda meregang jasad melepas nyawa meninggalkan dunia nan fana, maka Ayahanda hendak menitipkan dua buah wasiat kerajaan ini kepada anakandaku semua.”

Mendengar sabda ayahanda sang Baginda Ratu Agung yang hendak sekarat itu, raut muka dari ketujuh putra-putrinya itu langsung lesu, memucat. Terlebih si bungsu Putri Gading Cempaka yang tak kuasa menahan gejolak emosi dalam batinnya. Dan perlahan-lahan berderailah air matanya mengucur membasahi kedua pipinya, meskipun belum tampak suara rintihan isak tangis yang keluar dari mulut mungilnya.

Ayahanda Baginda Ratu Agung pun lalu melanjutkan sabdanya. “Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketentraman di dalam negeri ini, maka Ayahanda berwasiat tahta kerajaan Sungai Serut ini kepada anakandaku Anak Dalam. Namun demikian Ayahanda berpesan hendaknya kalian semua tetap bersatu dalam suka maupun duka, dalam bahagia maupun derita.

Adapun wasiat yang kedua adalah, apabila terjadi sesuatu hal yang menimpa negeri Sungai Serut ini, dan negeri ini sudah tidak dapat lagi dipertaruhkan, maka hendaklah kalian semua menyingkir ke Gunung Bungkuk. Di Gunung Bungkuk itulah nanti datang seorang raja yang akan menjadi jodoh anakandaku Putri Gading Cempaka.”

Wasiat tahta Sungai Serut itupun kemudian diterima oleh Anak Dalam tanpa menimbulkan rasa iri hati pada saudara-saudaranya yang lebih tua. Bahkan semua saudara tuanya telah sepakat mendukung kedua wasiat ayahandanya, meskipun diliputi dengan suasana yang amat mengharukan serta menegangkan.

Kabut Duka Sungai Serut

Untung tak dapat diraih, nasib pun tak dapat ditolak. Begitulah kalau ajal manusia hendak sirna kembali ke pangkuan Illahi. Setelah ayahanda Putri Gading Cempaka memberikan wasiat kerajaannya kepada Anak Dalam, maka tak seberapa lama, wafatlah sang Baginda Ratu Agung, pendiri dinasti kerajaan Sungai Serut.

Melihat Sang Ayahanda Baginda Ratu Agung membisu membujur kaku, serta menutup mata, maka gemuruhlah isak tangis ketujuh putra-putrinya, yang membuat gempar seisi istana. Maka si bungsu Putri Gading Cempaka pun meratap sejadi-jadinya. Seakan si bungsu nan cantik jelita ini tak rela mengantar kepergian Ayahandanya Baginda Ratu Agung untuk selama-lamanya.
Demikian buah ratapan Putri Gading Cempaka :

“Ya ayahku ratu jujungan,
Tajuk mahkota lepas di tangan,
Malang sangat anak gerangan,
Seumur hidup mabuk kenangan,
Ayuhai ayahku ayuhai paduka ratu,
Tempat bergantung anakanda satu,
Sekarang anakanda tujuh piatu,
Tentu bercinta setiap waktu,
Ya ayahku raja bestari,
Anakanda piatu di dalam negeri,
Duduk bercinta setiap hari,
Pilu dan sedih menyerang diri.
Ya Ayahku yang amat kucinta,
Tempat bergantung ayah semata,
Sekarang patah sudahlah nyata,
Karam dunia pemandangan beta.
Aduhai ayahku aduhai gusti,
Meninggalkan anak sampailah hati,
Jadi sesalan tiada terhenti,
Kenang-kenangku sebelum mati.
Nyata anakmu berhati rindu,
Ayah tiada tempat mengadu,
Nasi dimakan rasa empedu,
Air serasa getah mengkudu.

Isak tangis yang tiada terperi itu meriuhkan seisi istana. Kemudian menggema dan menggetarkan seluruh rakyat di negeri Sungai Serut. Kini seluruh anak negeri telah dirundung kabut duka nestapa yang amat dalam, karena Baginda Ratu Agung nan amat dicintai oleh seluruh rakyatnya telah tiada lagi di dunia.

Gegap gempitalah segenap pejabat serta kerabat kerajaan, para sanak famili handai taulan, Bilal, Katib, Kadi, serta hamba kerajaan pun berdatangan serta menghatur sembah dihadapan ketujuh putra-putri kerajaan. Sementara tuan Putri Gading Cempaka terlihat masih meratapi jasad Ayahandanya yang telah terbujur kaku. Maka berkatalah salah seorang hamba kerajaan, “Ampun diperbanyak ampun, tuan Putri hari sudah tinggi, Ayah tuan harus dimandikan.

Anak Dalam lalu bertitahlah kepada salah seorang mamandanya: “Mandikanlah dengan segera Mamanda, supaya jasad ayahanda dapat segera kita makamkan.“ Maka segeralah jasad ayahanda Ratu Agung itupun dimandikan melalui upacara dengan penuh khitmad sebagaimana adat istiadat bagi raja-raja yang wafat pada zaman itu.

Anak Dalam Naik Tahta

Beberapa lama telah berlalu, kabut duka nestapa di negeri Sungai Serut perlahan lahan telah tersibak dengan sendirinya. Sang mentari pun telah memancarkan lagi keceriaannya meninggalkan kenangan lama yang teramat kelam. Maka segeralah Anak Dalam dinobatkan menjadi raja di Negeri Sungai Serut, menggantikan kedudukan Ayahanda Baginda Ratu Agung.
Sebagai anak yang sangat patuh dan berbakti kepada orang tuanya, maka sebelum menjadi raja di negeri Sungai Serut ini, Anak Dalam selalu teringat dan mematuhi apa yang telah dipesankan oleh almarhum ayahanda Baginda Ratu Agung.

Pesan ayahanda agar tujuh bersaudara tetap bersatu dalam suka maupun duka, bersama dalam derita maupun bahagia itupun selalu dipegang teguh oleh Anak Dalam. Terlebih terhadap si bungsu, adinda Putri Gading Cempaka yang sangat dicintai oleh kakanda Anak Dalam. Wasiat tahta yang telah diwariskan oleh almarhum Baginda Ratu Agung itu kepada Anak Dalam ternyata mampu dilaksanakan dengan sepenuhnya. 

Oleh sebab itulah raja Anak Dalam memerintah negeri Sungai Serut dengan adil dan bijaksana. Terbukti, bahwa negeri sungai Serut semasa dibawah pimpinan Anak Dalam itupun kemashyurannya tidak kalah pada masa Baginda Ratu Agung. Bahkan semakin terkenal karena si bungsu Putri Gading Cempaka kini telah beranjak dewasa dan banyaklah kaum putra bangsawan dari negeri manca yang ingin sekali meminangnya.

Pangeran Muda Aceh Terpikat

Konon berita tentang keelokan Putri Gading Cempaka yang tiada bandingnya itu telah tersebar di seluruh penjuru wilayah kerajaan manca, tanpa kecuali kerajaan Aceh. Tak pelak lagi, putra mahkota kerajaan Aceh pun sangat terpikat oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Timbulah dalam pikiran Pangeran Muda Aceh hendak pergi ke negeri Sungai Serut untuk meminang Putri Gading Cempaka. Ketika pikiran itu telah mengganggu dalam tidurnya, maka Pangeran Muda Aceh itupun segera memutuskan untuk segera menghadap ayahanda Baginda Sultan, memohon kebawah cerpu baginda hendak berangkat ke negeri Sungai Serut.

Tatkala Ayahanda Baginda Sultan melihat dari dekat guratan wajah anakanda Pangeran Muda yang penuh maksud dan asa itu, maka bertitahlah sang baginda : “Hai anakku, biji mata ayahanda, apa sebabnya maka anakanda datang dengan bermuram durja ini ? Adakah seorang dayang telah bersalah dalam melayani anakanda. Dayang dan inang pengasuh yang mana kali yang kurang melayani anakanda?”

Maka segeralah Pangeran Muda itu berlutut di hadapan Baginda, seraya bersembah diri. “Ya ayahanda baginda, tiadalah kiranya kekurangan suatu apa pada anakanda, dan tiadalah seorang jua pengiring anakanda yang salah melayani anakanda,” jawab Pangeran Muda.
“Kalau demikian adanya, giranglah sangat ayahanda mendengarkan perkataan biji mata ayahanda. Akan tetapi terangkanlah, hai anakku, agar ayahanda mengetahui apakah hajat anakanda datang bersembah dihadapanku ini?”

Ketika didesak perkataannya oleh baginda, maka berteranglah Pangeran Muda Aceh itu kepada ayahandanya. “Ya Baginda ayahanda, adapun anakanda datang kehadapan ayahanda, tiadalah lain hendak memohon restu dari Ayahanda, agar ayahanda memberikan izin kepada anakanda yang hendak pergi berlayar ke negeri Sungai Serut. Untuk meminang Putri Gading Cempaka yang telah menjadi tambatan hati hamba. Selain daripada itu, anakanda juga ingin mengetahui adat lembaga dari negeri lain, agar kelak anakanda dalam menggantikan ayahanda telah banyak menimba pengetahuan tentang segala suatu adat negeri lain.”

Setelah mendengar permintaan yang sungguh-sunguh dari Pangeran Muda itu, dengan sukacita Baginda memberikan izin kepadanya. Baginda segera memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan perbekalan dan segera menurunkan perahu yang terkalang dan beberapa perahu lain yang disertai dengan anak-anak muda secukupnya untuk mengiringnya. Pada keesokan harinya, bersamaan dengan terbitnya sang mentari dari ufuk timur, serta merta diiringi oleh kicauan burung yang terbang bebas menyongsong pagi nan cerah, maka berpamitanlah anak raja Aceh kepada Ayah-bundanya.

Pangeran Muda Aceh pun segera berangkat ke negeri Sungai Serut hendak meminang Putri Gading Cempaka, agar kelak dikemudian hari dapat menjadi permaisuri sebagai pendamping Pangeran Muda. Dengan disertai do’a restu dari ayah-bunda, maka Pangeran Raja Muda Aceh bersama segenap hulubalang pengiringnya naik kedalam perahu, dan siaplah berlayar meninggalkan daratan tanah rencong.

Asal Nama Bangkahulu 

(Ada versi berbeda asal kata bengkulu dari Legenda Bangkahulu, akan di publish lain kesempatan)
Setelah sekian lama mengarungi badai ombak lautan yang ganasnya tak terperikan baik disiang hari maupun dimalam hari, maka sampailah kiranya perahu rombongan Pangeran Muda Aceh memasuki perbatasan wilayah negeri Sungai Serut. Ketika perahu-perahu itu hendak memasuki wilayah negeri Serut, kebetulan air laut sedang dalam keadaan naik pasang. Oleh sebab itu, banyak kotoran, reba-reba serta empang-empang yang terbawa arus menghulu. Rombongan perahu Pangeran Raja Muda Aceh itupun terkejut melihat bayaknya empang menghulu yang mengganggu perahu-perahu mereka yang akan menepi. Maka berteriaklah orang-orang Aceh itu “Empang ka hulu! Empang ka hulu!”

Pangeran Raja Muda Aceh segera memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan empang-empang yang menghalangi perahu-perahunya. Tampaknya hati Pangeran Raja Muda Aceh itu sangat terkesan melihat pemandangan di wilayah ini, maka Pangeran Raja Muda Aceh itu lalu menitahkan kepada para hulubalangnya agar wilayah ini diberi nama Empangkahulu. Dan sejak saat itulah orang-orang kemudian menyebut negeri Sungai Serut dengan sebutan negeri Bangkahulu.

Tatkala perahu rombongan Pangeran Raja Muda Aceh itu sudah sampai di kualanya, maka dibongkarlah sauhnya, dan layar-layarnyapun digulung dan diturunkan. Sebagaimana adat kebiasaanya, maka rombongan Raja Muda Aceh itupun segera membunyikan meriam meriamnya sebagai tanda pemberitahuan akan kedatangan tamu dari negeri luar.

Perang Besar

Bunyi dentuman meriam itu cukup mengejutkan rakyat negeri Sungai Serut, tidak kecuali Anak Dalam. Maka segeralah Anak Dalam menitahkan anak-buahnya turun ke bawah untuk melihat adakah gerangan yang telah terjadi di negerinya itu. Tak seberapa lama kemudian, datanglah utusan dari anak raja Aceh yang memohon izin hendak menghadap Baginda Anak Dalam. Maka bersembahlah utusan anak raja Aceh itu seraya mengemukakan hajatnya, bahwa maksud kedatangan anak raja Aceh ke negeri Sungai Serut tiada lain adalah hendak meminang Putri Gading Cempaka. Sebagai seorang raja nan adil dan bijaksana, setelah mendengar penuturan dari utusan anak raja Aceh itu, 

Anak Dalam segera mengadakan mufakat kepada keenam saudara-saudaranya, terlebih kepada si bungsu Putri Gading Cempaka. Sementara itu, para utusan dari negeri Aceh dipersilahkan menunggu di luar istana barang sejenak. Tak seberapa lama, setelah diadakan mufakat diantara ketujuh saudara itu, kemudian disuruhnyalah utusan anak raja Aceh itu masuk menghadap Baginda Anak Dalam. Kemudian diberitahukan bahwa permohonan anak raja Aceh untuk meminang Putri Gading Cempaka tidak dapat di kabulkan.

Pangeran Raja Muda Aceh amat marah mendengar hasil laporan dari para utusanya, bahwa hajatnya hendak meminang Putri Gading Cempaka itu ditolak. Maka segeralah Pangeran Raja Muda Aceh itu memerintahkan para hulubalang dan seluruh anak-buahnya untuk menantang perang Baginda Anak Dalam.

Perang besar antara pasukan Baginda Anak Dalam dari negeri Sungai Serut dengan pasukan Pangeran Muda Aceh rupanya tidak dapat dielakkan. Genderang perang telah dibunyikan bertalu-talu oleh kedua belah pihak. Dan perang itupun terus berkobar sampai berhari-hari lamanya. Sudah banyak korban yang sudah berjatuhan, tetapi perang terus berkecamuk tak kunjung selesai.

Belum diketahui pihak yang menang maupun yang kalah, tetapi bangkai-bangkai manusia terus bergelipangan dimana-mana hingga menimbulkan bau yang tak sedap. Anak Dalam dan saudara-saudaranya pun semakin tak tahan mencium bau busuk dari bangkai-bangkai manusia yang bertumpuk-tumpuk akibat peperangan.

Teringat akan wasiat almarhum ayahanda Baginda Ratu Agung, maka Anak Dalam bersama keenam saudara-saudaranya segera memutuskan untuk menarik diri dan kemudian menyingkir ke gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama laskarnya yang masih hidup segera menarik diri kembali ke negeri Aceh dengan tangan hampa.

Pasirah Empat Petulai
Semenjak Anak Dalam beserta keenam saudaranya meninggalkan Sungai Serut atau Bangkahulu menuju Gunung Bungkuk, negeri ini dalam keadaan kacau. Rakyatnya menjadi tidak menentu lagi karena tidak ada lagi rajanya. Berita tentang keadaan negeri Bangkahulu yang telah ditinggalkan oleh rajanya itu rupanya terdengar di telinga keempat pasirah.

Adapun keempat pasirah itu masing-masing adalah : Pasirah Merigi, Pasirah Bermani, Pasirah Salupuh , dan Pasirah Jurukalung. Tidak seberapa lama, setelah mengadakan mufakat maka berangkatlah segera keempat pasirah itu dari Lebong balik bukit menuju negeri Bangkahulu hendak menjadi raja di sana.

Beberapa lama kemudian, keempat pasirah itu berhasil menduduki negeri Bangkahulu. Akan tetapi setelah berhasil menguasai negeri Bangkahulu, timbulah perselisihan diantara keempat pasirah itu. Adapun yang menjadi pokok permasalahan mereka itu adalah mengenai pembagian tanah sebagai wilayah kekuasaanya. Oleh karena itu masing-masing berkehendak untuk mendapatkan bagian tanah yang lebih besar, maka pertikaian pun tidak dapat dihindarkan.

Baginda Maharaja Sakti

Beruntunglah keempat pasirah itu, karena sebelum terjadinya jatuh korban diantara mereka, tiba-tiba munculah seseorang berperawakan tinggi tegap dengan pakaian kebesaranya diiringi oleh empat belas pengiringnya, mendamaikan perselisihan mereka. Keempat pasirah itupun segera menghentikan pertikaian dan menyambut kelimabelas tamunya dengan penuh suka cita .
Kemudian salah seorang pemimpin rombongan tamu itu memperkenalkan diri kepada keempat pasirah itu. ”Nama hamba ini adalah Baginda Maharaja Sakti. Adapun nama daripada negeri hamba adalah Sungai Terap di Alam Minangkabau. Empat orang diantara hamba ini adalah bergelar menteri sedangkan sembilan lainnya adalah anak buah hamba, dan seorang lagi adalah panakawan hamba”.

Setelah mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti itu, Keempat pesirah itu segera menjamu tamu agungnya. Baginda Maharaja Sakti pun segera melanjutkan ceritanya. ”Adapun pekerjaan hamba berjalan kelana ini karena titah oleh daulat tuanku Sultan Pagar Ruyung, Seri Maharaja Diraja. Hamba mendapat titah untuk melihat-lihat segala isi pulau Perca ini yang telah berada di bawah daulat di Pagar Ruyung.”
Setelah mendengar hal ikhwal cerita dari Baginda Maharaja Sakti, maka makin bertambah suka cita keempat pasirah itu. Keempat pasirah itu kemudian bersepakat memohon kepada Baginda Maharaja Sakti supaya menjadi raja dinegeri Bangkahulu.
Baginda Maharaja Sakti menjadi girang dan terharu mendegarnya. “Hamba terima permohonan tuan-tuan dengan senang hati. Sungguh permintaan tuan-tuan itu suatu gunung intan bagi hamba.

Memang sudah barang semestinya, bahwa tiap-tiap kampung itu tentu ada penghulunya, tiap luhak ada larasnya, tiap-tiap negeri ada rajanya. Sedangkan dinegeri tuan-tuan ini belum lagi berdiri kerajaan. Oleh karenanya, sudah barang sepatutnya bilamana tuan-tuan mencari seorang raja yang asli yang hendak menjadi raja di negeri ini, supaya segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana. Namun demikian, permintaan tuan itu mesti dihadapkan kepada daulat di Pagar Ruyung. Jika nanti diperkenankan oleh yang dipertuan Alam Minangkabau di Pagar Ruyung, sudah barang tentu Baginda Seri Maharaja Diraja akan menitahkan anak cucunya, atau kaum kerabatnya dari Pagar Ruyung ataupun dari Sungai Terap untuk menjadi raja disini dengan memakai segala adat kebesaran kerajaan cara Alam Minangkabau, dan memberi tanda keturunan kerajaan dari Sultan Seri Baginda Maharaja Diraja. 

Jikalau tuan-tuan memang bersungguh-sungguh hendak mendirikan kerajaan disini, maka sebaiknya tuan-tuan pergi menghadap daulat di Pagar Ruyung. Dan oleh karena pekerjaan hamba ini masih belum selesai, hamba mohon undur di hadapan tuan-tuan, sebab hamba hendak melanjutkan perjalanan hamba menuju selatan”.
Setelah berpamitan, Baginda Maharaja Sakti bersama rombongannya itu segera berangkat meninggalkan negeri Bangkahulu. Keempat pesirah itupun mengantarkanya dengan hati yang masghul.

Menghadap Istana Pagar Ruyung

Sepeninggal Baginda Maharaja Sakti, keempat pasirah itu lalu bermufakat untuk segera berangkat ke negeri Alam Minangkabau menghadap Seri Baginda Maharaja Diraja. Setelah terjadi kata sepakat, maka keempat pasirah segera berangkat ke Pagar Ruyung. Tak seberapa lama kemudian, sampailah mereka di negeri Pagar Ruyung. Keempat pasirah itu lalu menghadap Menteri Empat Balai terlebih dulu, dan setelah itu kemudian baru diterima daulat tuanku di Pagar Ruyung. Dihadapan Seri Baginda Maharaja Diraja, keempat pasirah itu bersembah diri, lalu menceritakan hal ikhwal keadaan di negeri Bangkahulu, serta mengemukaan maksud dan tujuan kedatangan mereka.

Mendengar persembahan keempat pesirah itu, Seri Baginda Maharaja Diraja amat bersukacita kemudian bertitah, “Hamba amat berkenan mendengar permintaan tuan-tuan hendak mendirikan kerajaan, tetapi siapakah yang akan menjadi raja di negeri tuan-tuan? Ataukah hamba yang akan menentukan orangnya”?.

Keempat pasirah itupun lalu menuturkan : “ Ya tuanku syah alam, mohon diampun, bilamana hamba-hamba ini diperkenankan, hamba hendak memilih tuanku Baginda Maharaja Sakti untuk menjadi raja di negeri hamba. Karena tatkala tuanku Baginda Maharaja Sakti datang dinegeri hamba, dengan penuh adil dan bijaksana beliau telah mendamaikan pertikaian diantara hamba berempat. Maka, kemudian hamba berempat bermufakat hendak menjadikan beliau menjadi raja di negeri hamba. Namun demikian, tuanku Baginda Maharaja Sakti tiada kuasa menerima permohonan hamba berempat, karena harus berizin dahulu dengan tuanku Seri Baginda Maharaja Diraja. Oleh karena itulah, hamba berempat menghadap kemari. Hamba berempat akan menerima dengan senang hati siapa saja yang hendak dititahkan oleh yang dipertuan di Pagar Ruyung ini, niscaya hamba junjung tinggi.

Mendengar penuturan yang amat tulus dari keempat pasirah itu, lalu bersabdalah Baginda, “Jikalau demikian halnya ayuhai pasirah, tunggulah barang sebentar, sebab Baginda Maharaja Sakti hingga saat ini belumlah kembali dari rantauannya”.
Maka dengan senang hati keempat pasirah itupun menuruti permintaan yang dipertuan di Pagar Ruyung untuk menetap beberapa saat lamanya. Tak seberapa lama kemudian, Seri Baginda Maharaja Diraja lalu memerintahkan hulubalangnya untuk mencari Baginda Maharaja Sakti yang ketika itu masih berada di bukit Siguntang-guntang.

Perjanjian Pagarruyung

Hulubalang yang diperintahkan oleh yang dipertuan di Pagar Ruyung itu telah bertemu dengan Baginda Maharaja Sakti di bukit Siguntang-guntang. Atas titah tuanku Pagar Ruyung, maka segeralah Baginda Maharaja Sakti menghadap dan bersembah diri kepada Seri Baginda Maharaja Diraja seraya menuturkan hal ikhwal tentang hasil perjalanannya. Yang dipertuan Sultan Baginda Maharaja Diraja itupun segera melepaskan hal ikhwalnya, serta mengharap agar Baginda Maharaja Sakti bersedia menjadi raja dinegeri Bangkahulu.

Mendengar sabda Sultan Pagar Ruyung, lalu bersembahlah Baginda Maharaja Sakti : “Ya tuanku syah alam, senang sungguh patik mendengarkan titah tuanku, tetapi patik tiadalah mempunyai syarat-sayarat yang cukup. Oleh karena itu baiknya tuanku memilih yang lain saja. Bukankah banyak putra, atau cucu dari tuanku di dalam Pagar Ruyung ini atau di Sungai Terap yang patut dirajakan. Adapun perkataan patik ini sungguhlah bukan berkias gurindam, bukan bersanding beranjung, bukan dengki atau berkhianat, melainkan sebenar-benarnya perkataan.

Mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti yang sangat tulus itu, daulat Tuanku Sri baginda Maharaja Diraja menjadi terharu. Demikian halnya dengan para menteri dan segenap hulubalang, serta keempat pasirah yang ada disekelilingnya. Suasana di balairung alam Minangkabau ketika itu juga menjadi larut dalam keheningan.

Malam pun segera menjelang, permufakatan untuk sementara waktu dihentikan. Setelah berjalan tiga hari tiga malam, daulat Tuanku Sultan pun bermimpi. Beliau bermimpi, melihat suatu perarakan yang amat ramai dan menyenangkan. Dalam perarakan itu terlihat Baginda Maharaja Sakti sedang ditandu menuju hulu Bangkahulu, untuk diangkat menjadi raja di sana.
Mimpi Baginda Sutan Pagar Ruyung itu sangat jelas arahnya. Maka, pada pagi harinya, Sultan segera menitahkan hulubalang memanggil Baginda Maharaja Sakti, beserta menteri empat balai, dan keempat pasirah untuk datang menghadap beliau.

Daulat yang dipertuan Baginda Seri Maharaja Diraja itupun bertitah : “Pada hari ini, disaksikan oleh yang hadir dalam majelis di Balairung ini, kami mengizinkan Baginda Maharaja Sakti mendirikan kerajaan di negeri Bangkahulu.” Mendengar titah Baginda Seri Maharaja Diraja itu, keempat pasirah lalu bersuka cta. Maka Baginda Maharaja Sakti pun segera bersembah diri : “Ampun tuanku, jikalau demikian halnya, patik mohon sudilah kiranya tuanku membuatkan suatu permufakatan yang teguh antara pasirah-pasirah ini dengan rajanya, agar jangan ada perselisihan dikelak kemudian hari.”

Atas permufakatan dengan keempat pasirah itu, maka dibuatkanlah sebuah permufakatan di hadapan daulat tuanku di Pagar Ruyung, disaksikan oleh menteri empat balai. Adapun isi perjanjian itu ada sepuluh butir. Inilah bunyi isi perjanjiannya :

1. Raja tinggal di pesisir laut, sedangkan pasirah, dan perowatin tinggal di hulu.
2. Wilayah pesisir laut menjadi tanggung jawab raja, sedangkan wilayah pegunungan menjadi tanggung jawab pasirah perowatin.
3. Raja atau anak cucung raja, dan kerabatnya bebas berladang atau berkebun, atau mengambil kayu pendek dan panjang di segala hutan dan rimba, dan pasirah maupun perowatin tiadalah boleh melarangnya; jikalau ada orang luar datang menumpang berladang atau berkebun, atau mengambil kayu, rotan, damar, dan segala jenis hutan, hendaklah dengan izin raja.
4. Tiap-tiap tahun, bilamana anak-buah sudah memotong padi, hendaklah mengantarkan persembahan kepada raja beras sekulak, ayam seekor, kelapa sebuah dalam satu bubungan rumah. Maka itu semua akan menjadi makanan raja. Itulah tanda anak-buah yang membuat raja, bukan raja yang minta diangkat.
5. Waktu raja mudik ke hulu, memeriksa hal anak-buah yang meminta raja, maka anak-buah harus memberi beras sekulak, kelapa sebuah, ayam segantang tunjuk banyak kakinya. Itulah makanan raja serta segala pengiringnya selama berjalan di hulu.
6. Raja atau anak cucung raja, jika raja mufakat dengan pasirah – perowatin serta memberi garam atau kain hitam. Tak dapat tiada anak-buah perowatin menolong dengan beras, dan tukarannya sekulak garam, 10 kulak beras, sebubung kain hitam begitu juga. Itulah tukon namanya.
7. Bea dari segala labuhan dan kuala semuanya raja yang punya, tidak dapat tidak oleh pasirah dan perowatin, tetapi pasirah perowatin sendiri tiada kena bea labuhan atau kuala.
8. Segala jenis perkara yang kecil, pasirah dan perowatin yang berkuasa menyelesaikannya di tanah hulu; jika perkara itu besar maka hendaklah pasirah dan perowatin membawanya kehadapan raja untuk diselesaikannya bersama-sama.
9. Orang kerap gawe dibagi dua, satu bagian oleh pasirah yang punya marga dengan perowatin yang punya dusun, dan satu bagian kembali pada raja.
10. Jikalau hilang pasirah, raja mencarikan ganti pasirah; jikalau hilang raja, pasirah mencarikan ganti raja.

Demikianlah isi perjanjian antara Baginda Maharaja sakti dengan keempat pasirah yang disaksikan oleh daulat seri Baginda maharaja Diraja di Pagar Ruyung, serta menteri empat balai. Kemudian kedua belah pihak, baik Baginda Maharaja sakti maupun keempat pasirah itupun sama-sama berikrar.

“Kami bersumpah untuk memegang teguh selama-lamanya, tidak lapuk dihujan, tidak lekang dipanas, selama gagak hitam, selama air hilir, kalau lurah sama dituruni, kalau bukit sama didaki, hilang sama dicari, tenggelam sama diselami, bersumpah bersetia, minum air dituntung keris. Barang siapa mungkir dari perjanjian, dimakan kutuk bisa kawi, dikutuk Qur’an tiga puluh juz, di bawah tidak berakar, di atas tidak berpucuk, di tengah digerek kumbang, ke darat tak boleh makan, ke air tak boleh minum, jatuh murka Allah ta’ala dengan seberat-beratnya.”

Setelah selesai bersumpah di balairung kampung dalam kerajaan Pagar Ruyung di hadapan tuanku Seri Maharaja Diraja, dan disaksikan pula oleh menteri empat balai, serta para hulubalang kerajaan, maka segeralah didirikan sebuah Alam Halipan yang dilengkapi dengan tunggul, dan panji-panji serta segala angkatan kerajan, pudai tinggi, bantal berapit kiri kanan, kain terbentang sampai ke atas, dilingkung pucuk beranyam, dayang-dayang sebanyak dua kali tujuh (empat belas) yang berdiri emas ditanai, juga terbentang cindai jajakan, serta dupa sebanyak dua kali tujuh (empat belas).

Tak seberapa lama, dupa-dupa tersebut dinyalakan, gendang kalang luari dibunyikan, meriam seletus dipasang sebagai tanda penobatan raja. Selanjutnya, yang dipertuan Baginda Sultan Seri Maharaja Diraja di Pagar Ruyung segera memberikan sebelas tanda kebesaran kerajaan kepada Baginda Maharaja Sakti. 
Adapun sebelas tanda kebesaran kerajaan itu ialah :

1). Dua buah meriam secorong besar dan satunya kecil;

2). Sebuah curik semandang giri retak seratus tiga puluh memancung sakti munuh, yang bentuknya seperti pedang;

3). Sebuah payung gedang berubur-ubur dengan kain kuning;

4). Sebuah tombak benderangan berambu janggut janggi;

5).Sebuah pedang jabatan;

6). Satu Alam Halipan;

7).Satu Marawal;

8). Satu panji;

9). Sebuah kotak tempat sirih berpakut emas;

10). Sebuah tempat air minum kendi berpalur emas ;

11). Sebuah gong mu’tabir alam.

Tatkala Baginda Maharaja Sakti menerima sebelas tanda kebesaran kerajaan dan berjabat tangan dengan daulat tuanku yang dipertuan di Pagar Ruyung, saat itulah bergetar puncak istana balairung, tempat penobatan sang Baginda hingga menimbulkan bunyi petus tunggal. Oleh karenanya, kelak dikemudian hari, marga bawaan dari baginda Maharaja sakti itu dinamai orang Marga Semitul.

Kembali ke Negeri Bangkahulu

Tak seberapa lama setelah usai penobatan, maka berpamitanlah Baginda Maharaja sakti beserta para pengiringnya, serta keempat pasirah menuju negeri Bangkahulu. Empat menteri yang telah mengiring Baginda Maharaja Sakti ketika berkelana itu juga dibawanya turun ke negeri Bangkahulu.

Mereka berempat masing-masing bernama:

Menteri Agam,
Menteri Sumpu
Melalo, Menteri Singkarak, dan
Menteri Sandingbaka (Sending Bungkah).

Beberapa waktu kemudian, sampailah rombongan baginda Maharaja sakti di suatu kuala Sungai Lemau yang hulunya menuju Gunung Bungkuk. Maka mereka pun lalu berhenti berjalan melepas kelelahan. Di situlah kiranya rombongan Baginda sudah berada di wilayah negeri Bangkahulu yang terbentang luas.

Setibanya di negeri Bangkahulu, keempat pasirah lalu mengumpulkan adik sanak kerabat serta segenap perowatin dan anak-buahnya di tiap-tiap dusun. Mereka segera menyambut kedatangan rajanya dengan suka cita dan menjamunya.

Upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti sebagai raja di negeri Bangkahulu segera dipersiapkan. Akan tetapi ketika upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti hendak dimulai, tiba-tiba datang hujan badai yang amat kencang, disertai gemuruhnya sang halilintar menyambar-nyambar tiada henti-hentinya. Atas permufakatan bersama, upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti untuk sementara ditunda menunggu redanya hujan badai, dan tenangnya hari.

Bidadari dari Gunung Bungkuk

Hari telah berjalan tiga malam. Ternyata hujan badai yang disertai sambaran petir itu tak kunjung berhenti. Anehnya, pada malam harinya berturut-turut hingga malam ketiga, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari nan cantik jelita. Bidadari itu sedang menari-nari di tengah hujan badai. Baginda sungguh keheranan karena sang bidadari itu tiada terkena hujan barang sedikitpun jua. Kemudian sang bidadari itu terbang menuju ke arah Gunung Bungkuk.

Pada keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti segera memanggil keempat pasirah. Lalu diceritakanlah tentang mimpinya yang amat menakjubkan. Baginda bertambah pikiran, dan amat terpikat oleh kecantikan bidadari dalam mimpinya. Baginda lalu meminta pendapat kepada keempat pasirah untuk mencarikan keterangan, apa makna dalam mimpinya itu.

Mendengar penuturan sang baginda itu, keempat pasirah segera mengadakan permufakatan untuk mencarikan jalan keluarnya. Mereka berempat lalu sepakat untuk mencari seorang ahli nujum yang dapat meramalkan, gerangan apakah yang ada dalam mimpi rajanya itu. Maka, disuruhlah anak-buahnya untuk segera mencari seorang ahli nujum yang sakti.

Tak seberapa kemudian, datanglah utusan itu menghadap keempat pasirah dengan membawa seorang ahli nujum. Kemudian oleh keempat pasirah, ahli nujum itu dihadapkan kepada Baginda Maharaja Sakti. Ahli nujum itupun segera bersembah diri.
”Ampun Baginda, hamba datang ingin menghadap duli Baginda, adakah gerangan yang hendak hamba terima titah Baginda?” Maka bertitahlah Baginda Maharaja Sakti: “Hai ahli nujum, tiadalah kiranya kubentangkan kata nan panjang di hadapan tuan, karena tuan pastilah telah membawa beritanya.” Ahli nujum pun menjawabnya, “Ampun ya Baginda, sungguh tiadalah hamba berani mendahului sabda tuanku, sebab takabur itu sifat yang sangat tidak baik bagi seorang hamba Allah.”

Mendengar penuturan si ahli nujum itu, Baginda pun segera maklum, maka berceritalah Baginda Maharaja Sakti hal ikhwal tentang mimpinya itu. Ahli nujum itupun segera memberikan keterangan dihadapan Baginda Maharaja Sakti, perihal bidadari nan elok dan juwita itu.

“Ampun hamba, ya Tuanku Baginda, adapun bidadari nan elok juwita yang mengganggu pikiran Baginda itu sesungguhnya adalah tuanku Putri Gading Cempaka, putri bungsu dari mendiang tuanku Baginda Ratu Agung di negeri Sungai serut. Kini tuan Putri Gading Cempaka masih berada di Gunung Bungkuk, tinggal bersama keenam saudara tuanya. Menurut ramalan hamba, Tuanku Baginda akan dapat mendirikan negeri Bangkahulu ini tegak kembali dengan selamat, bilamana tuanku dapat serta membawa tuanku Putri Gading Cempaka. Berdasarkan ramalan hamba, tuanku Putri Gading Cempaka inilah yang dapat menurunkan raja-raja di negeri ini, karena tuan Putri itu sesungguhnya anak daripada Ratu Agung jelmaan Dewa dari Gunung Bungkuk”.

Betapa sukacitanya Baginda Maharaja Sakti mendengar uraian dari ahli nujum itu. Maka timbullah hasrat yang amat kuat dalam hati dan pikiran Baginda Maharaja Sakti untuk segera dapat meminang Putri Gading Cempaka. Sebab tatkala itu Baginda Maharaja Sakti memang belum memiliki calon permaisuri yang akan mendampinginya sebagai raja di negeri Bangkahulu.

Menjemput ke Gunung Bungkuk

Setelah Baginda Maharaja Sakti mengadakan permufakatan dengan keempat pasirah, serta para menterinya itu, maka diputuskanlah untuk segera mengutus hulubalang menuju Gunung Bungkuk menjemput Putri Gading Cempaka beserta keenam saudara-saudaranya. Keempat pesirah beserta para perowatinnya itupun menjadi penunjuk jalan menuju Gunung Bungkuk.

Pada hari yang dianggap baik, berangkatlah utusan dari Baginda Maharaja Sakti menuju Gunung Bungkuk. Tak seberapa lama, keempat pasirah dan segenap perowatin beserta para hulubalang utusan Baginda Maharaja Sakti itupun sampailah di kaki Gunung Bungkuk.

Anak Dalam beserta keenam sudaranya yang tinggal di Gunung Bungkuk itu amatlah terkejut melihat dari kejauhan ada serombongan pasukan yang hendak menuju ke tempatnya. Ketujuh saudara itupun menjadi sangat cemas hatinya, dan takut kalau-kalau yang datang itu musuh. Maka segeralah Anak Dalam menyuruh si bungsu Putri Gading Cempaka untuk bersembunyi.
Sementara itu Anak Dalam bersama dengan saudara-saudaranya yang lain siap menghadapi para tamunya yang tiada diundang itu.

Betapa terkejutnya Anak Dalam beserta saudara-saudaranya itu, tatkala sudah saling berhadapan, ternyata para tamunya itu segera berlutut menghaturkan sembah. “Ampun diperbanyak ampun tuanku, hamba-hamba ini adalah utusan dari tuanku Baginda Maharaja Sakti, raja di negeri Bangkahulu. Adapun kedatangan hamba kemari tiada lain atas titah Baginda untuk menjemput tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian, serta hendak mengangkat tuan Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri Baginda di negeri Bangkahulu.”

Selanjutnya diceritakan bahwa Baginda Maharaja Sakti belum kuasa mendirikan kerajaannya, sebelum dapat bersanding dengan tuan Putri Gading Cempaka untuk mendampingi menjadi permaisurinya. Pasirah yang lain pun ikut melengkapi ceritanya, bahwa tatkala hendak mendirikan Alam Halipan untuk upacara penobatan sang raja, tiba-tiba datang hujan badai yang disertai halilintar yang amat menyeramkan. Bahkan selama tiga malam Baginda telah bermimpi melihat seorang bidadari nan cantik jelita sedang menari-nari ditengah hujan badai. Menurut salah seorang ahli nujum, bidadari nan cantik jelita itu tiada lain adalah tuanku Putri Gading Cempaka.

Setelah mendengar penuturan dari salah satu pasirah, maka sangatlah lapang hati Anak Dalam beserta kelima saudara tuanya itu. Anak Dalam pun segera memanggil si bungsu Putri Gading Cempaka keluar dari tempat persembunyiannya.
Ketujuh bersaudara itupun kemudian teringat akan pesan dari almarhum ayahnya, bahwa pada suatu waktu, akan datang seorang raja yang akan mengangkat si bungsu untuk menjadikannya permaisuri di kerajaannya. Ketujuh bersaudara iutpun kemudian menyetujui permohonan keempat pasirah utusan Baginda Maharaja Sakti. Maka, segeralah mereka bertujuh itu berkemas diri dengan membawa perbekalan secukupnya.
Pad keesokan harinya, berangkatlah ketujuh bersaudara itu diiringi oleh keempat pasirah dan segenap perowatinya beserta hulubalang kembali menuju negeri Bangkahulu.

Berdirinya Kerajaan Sungai Lemau

Tak seberapa kemudian sampailah utusan Baginda bersama dengan Putri Gadinga Cempaka dan keenam saudara-saudaranya di negeri Bangkahulu. Baginda Maharaja Sakti segera menyambut para tamunya dengan rasa sukacita. Maka segera dipersiapkan pesta besar-besaran untuk melangsungkan acara perkawinan antara Baginda Maharaja Sakti dengan Putri Gading Cempaka.

Pada kesempatan yang sama juga dilangsungkan upacara penobatan sang Baginda Maharaja Sakti menjadi raja di negeri Bangkahulu, sedangkan tuan Putri Gading Cempaka duduk disampingnya menjadi permaisurinya. Tak seberapa lama kemudian, dibangunkannya sebuah istana kerajaan sebagai pusat pemerintahan serta kediaman Baginda dan permaisuri Putri Gading Cempaka.

Adapun letak istana kerajaannya di kuala Sungai Lemau. Oleh sebab itu, maka nama kerajaan dari Baginda Maharaja Sakti itu kemudian disebut kerajaan Sungai Lemau.

Dibawah pemerintahan Baginda Maharaja Sakti yang didampingi oleh tuanku Putri Gading Cempaka, negeri Sungai Lemau kian lama kian masyhur namanya. Kehidupan rakyatnya semakin bertambah makmur, negerinya amat subur. Padipun mudah menjadi, beras amatlah murah, anak-buahpun semakin berkembang banyak. Adat dengan lembaga berdiri kokoh. Adat yang dipakai , lembaga yang dituang, bak air mengarus hilir, adat mengarus mudik. Mengarut cupak dengan gantang, mengatur ukuran dengan timbangan.

Lahirnya Sang Putra Mahkota

Beberapa bulan kemudian, tuan Putri Gading Cempaka itupun sudah mulai menujukkan tanda-tanda kehamilan. Maka tidak lama lagi Baginda dan permaisuri akan segera mendapatkan karunia seorang anak. Setelah bulan berjalan sembilan lebih sepuluh hari, Putri Gading Cempak kemudian melahirkan seorang putra laki-laki.

Bukan kepalang girangnya Baginda Maharaja Sakti serta Putri Gading Cempaka setelah mendapatkan putra laki-laki yang mungil dan lucu itu. Maka pada hari yang baik segeralah Baginda Maharaja Sakti mengumpulkan segenap kerabat kerajaan, anak-buah serta para dayang untuk mengadakan upacara selamatan menyambut kelahiran putra mahkota negeri Sungai Lemau itu. Kemudian Baginda Maharaja Sakti memberinya nama : Aria Bago.
Demikianlah ceritera Putri Gading Cempaka yang menurunkan raja-raja dinegeri Sungai Lemau.

Nama Kerajaan Sungai Lemau dipilih karena Baginda Maharaja Sakti memilih pusat pemerintahan di muara Sungai Lemau (dekat Dusun Pondok Kelapa sekarang). Kepemimpinan Baginda Maharaja Sakti di Kerajaan Sungai Lemau bertahan sekitar 30 tahun.

Setelah Baginda Maharaja Sakti turun tahta, naiklah putera beliau yang bernama Baginda Sebayan bergelar Tuan Pati Bangun Negara. Di masa pemerintahan Baginda Sebayan, dijalinlah hubungan dengan Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa di Kesultanan Banten. Hubungan dua kerajaan terjadi sekitar tahun 1668 M.

Alasan Baginda Sebayan menjalin hubungan dengan Kesultanan Banten adalah untuk mencari perlindungan. Bahkan kedatangan Baginda Sebayan ke Banten untuk menyatakan bahwa Kerajaan Sungai Lemau berada di bawah lindungan Kesultanan Banten  Dari hubungan tersebut, Baginda Sebayan mendapatkan gelar Pangeran Raja Muda dari Kesultanan Banten.

Pada masa pemerintahan Pangeran Raja Muda, untuk pertama kalinya di wilayah Kerajaan Sungai Lemau kedatangan kapal dagang berbendera Inggris.  Kapal tersebut masuk ke muara Sungai Bengkulu pada 24 Juni 1685. Atas persetujuan rakyat sekitar, para awak kapal diizinkan untuk turun ke darat. Tidak lama berselang, pada 12 Juli 1685 dibuat perjanjian untuk mendirikan bangunan dan perdagangan antara Pangeran Raja Muda dengan Komisaris Ralph Ord (wakil dari English East India Company of Merchants) Selepas mengadakan perjanjian, Komisaris Ralph Ord bertolak ke Inderapura dan meninggalkan Benyamin Bloome sebagai kepala di Fork York (wilayah pendudukan Inggris yang diizinkan oleh pihak Kerajaan )

Pasca penandatanganan perjanjian, Inggris yang telah mendapatkan legalitas untuk mendirikan bangunan dan berdagang di Bengkulu (wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau), segera membangun tempat pemukiman. Pada 1714-1719 Inggris membangun Benteng Fort Marlborough dan juga mendirikan benteng kecil di Muko-Muko bernama Anna. Pembangunan Benteng Fort Marlborough dikerjakan oleh orang-orang India (sepehi) yang dibawa sebagai buruh dan tentara pembantu Kerajaan Inggris.

Setelah turun tahta, Pangeran Raja Muda digantikan oleh Pangeran Mangku Raja. Di era pemerintahan Pangeran Mangku Raja, untuk kedua kalinya diadakan perjanjian perdagangan dengan pihak Inggris pada 17 April 1724 Bagi Kerajaan Sungai Lemau, perjanjian tersebut sangat menguntungkan karena pemasukan ke kerajaan menjadi bertambah besar. Bisa dikatakan di masa inilah, pos keuangan di Kerajaan Sungai Lemau mencapai puncak kejayaan dengan melimpahnya pemasukan dari beberapa sektor seperti: bea cukai, premi, judi ayam, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, pihak Inggris juga diuntungkan dengan. Dengan perjanjian ini, Inggris yang telah memiliki Benteng Fort Marlborough, semakin kuat.. Untuk semakin memperkuat kedudukannya tersebut, Inggris mendirikan pasar perdagangan yang dikenal sebagai Pasar Marlborough, sebuah kampung (setingkat dusun) yang diperuntukkan bagi penduduk non Bumiputera, seperti etnis Cina.

Keadaan ini semakin memperkuat kedudukan Inggris di wilayah Kerajaan Sungai Lemau. Pusat perdagangan yang sebelumnya dikendalikan oleh kerajaan, kini praktis mulai diambil alih oleh Inggris dengan didirikannya pusat perdagangan tandingan di Ujung Karang. Etnis Cina yang datang untuk turut serta mengadu nasib di Ujung Karang, ternyata memberikan andil yang cukup signifikan untuk memutar roda perekonomian, sehingga kendali perdagangan, pelan tapi pasti mulai diambil alih oleh Inggris.

Inggris juga memperkuat diri dengan memperbesar benteng dan menempatkan banyak meriam. Situasi ini membuat pihak Kerajaan Sungai Lemau tidak kuasa untuk mengusik keabsahan Inggris di sekitar Benteng Fort Marlborough. Bahkan Inggris mulai memperluas kekuasaan dengan mengakuisisi daerah sekitar benteng dan semakin meluas lagi sampai ke seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau, bahkan sampai ke wilayah Bengkulu secara umum.   

Perkembangan situasi yang tidak menguntungkan ini memaksa pihak Kerajaan Sungai Lemau untuk membuat perjanjian dengan Inggris. Pada 4 Juli 1818 terjadi penandatanganan perjanjian antara Kerajaan Sungai Lemau yang diwakili oleh Pangeran Linggang Alam (pengganti Pangeran Mangku Raja) dengan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles. Di dalam perjanjian disebutkan bahwa secara resmi Kerajaan Sungai Lemau menyatakan sikap untuk berada di bawah pengaruh kekuasaan Inggris Meskipun dilebur, kedudukan raja tetap dipertahankan dan tetap dianggap sebagai penguasa yang mewakili Kerajaan Sungai Lemau. Hanya saja kedudukan raja tersebut kini berada di bawah Pemerintahan Inggris di Bengkulu.

Sebagai kompensasi dari peleburan tersebut, Pangeran Linggang Alam dijadikan pegawai pemerintahan jajahan Inggris dengan pangkat regent (bupati) dan bertempat tinggal di Kota Bengkulu. Sebagai pegawai pemerintah, Pangeran Linggang Alam mendapat gaji 700 Ringgit Inggris per bulan. Perjanjian tersebut juga menyebutkan bahwa lada dapat dijual bebas .

Pasca penyerahan kekuasaan, kedudukan Pangeran Linggang Alam selaku wakil dari Kerajaan Sungai Lemau tetap bertahan sampai beliau mangkat pada 1833 Pangeran Linggang Alam tetap diakui sebagai wakil dari Kerajaan Sungai Lemau ketika berada di di dalam Dewan Pangeran (Pangeran Court). Sebelum beliau meninggal, terjadi perpindahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda sebagai konsekuensi atas ditandatanganinya Traktat London pada 1824.

Traktat London merupakan perundingan antara wakil dari Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan Kerajaan Belanda. Perundingan tersebut dilakukan di London. Belanda diwakili oleh H. Hegel dan A.R. Falck dan Inggris diwakili oleh G. Canning dan C.W.W. Wynn. Di dalam perundingan yang telah dimulai sejak akhir 1823 tersebut, Inggris sejak awal telah menetapkan bahwa Malaka dan daerah sekitarnya termasuk Singapura akan berada di bawah kekuasaan Inggris. Sedang wakil dari Belanda, menginginkan bahwa kedua belah pihak akan berpegang pada garis yang dimulai dari pintu masuk ke Selat Malaka sejajar dengan Kedah atau 6˚ LU dan berakhir di Laut Cina Selatan pada ujung Selat Singapura, dan memasukkan pulau tersebut ke pihak Utara (Inggris), sedangkan pulau-pulau Karimun, Batam, Bintan, dan Riau ke sebelah selatan garis (pihak Selatan atau Belanda). Pembagian wilayah pendudukan untuk Inggris dan Belanda, secara tersurat dapat dilihat dalam Traktat London yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Isi Traktat London tersebut, antara lain:

Kota dan benteng Melaka beserta rantau jajahan takluknya dengan ini diserahkan kepada Kemaharajaan Britania Raya dan Raja Kerajaan Belanda berjanji, untuk dirinya dan untuk rakyatnya, tidak akan pernah mendirikan kantor dalam bahagian Semenanjung Melaka atau memperbuat perjanjian dengan raja-raja Melayu, kepala-kepala negara yang berkedudukan di semenanjung itu.

Z.M. Raja Belanda tidak akan mencampuri mengenai pendudukan Pulau Singapura oleh Kemaharajaan Britania Raya.

Imbangan dari itu, maka Kemaharajaan Britania Raya tidak akan mendirikan kantor di Kepulauan Karimun, atau di Pulau Batam, Bintan, Lingga atau lain-lain pulau yang terletak di sebelah Selatan Selat Singapura, dan tidak akan memperbuat perjanjian dengan kepala-kepala yang ada di situ.

Semua koloni, hak milik dan etablisemen, sebagai akibat pasal-pasal di atas ikut diserahkan, kepada perwira-perwira yang berkedaulatan pada tanggal 1 Maret 1825. d.s.b.” 

Bersulihnya pemegang kekuasaan di Bengkulu dari Inggris ke Belanda, pada dasarnya tetap menyudutkan Kerajaan Sungai Lemau. Raja Kerajaan Sungai Lemau berada di bawah pengaruh Belanda. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari Pangeran Linggang Alam kepada putera beliau bernama Putu Negara.

Secara de facto Putu Negara langsung dapat menggantikan kedudukan Pangeran Linggang Alam sebagai raja. Akan tetapi secarade jure (menurut pihak Belanda) baru terealisasi pada 1835. Pengangkatan dilakukan oleh Residen Bengkulu, De Vries sebagai wakil dari Gubernemen Hindia Belanda di Bengkulu yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Pemerintah Jajahan Belanda tertanggal 3 Agustus 1836 no. 5 Atas pengangkatan tersebut, Putu Negara mendapat gelar Pangeran Muhammad Syah 2

Pengangkatan Pangeran Muhammad Syah II pada 1835 ternyata menjadi pengangkatan raja terakhir di Kerajaan Sungai Lemau. Pada 1861, berdasarkan Keputusan Pemerintah Jajahan Belanda tertanggal 5 Desember 1861, dikatakan bahwa Pangeran Muhammad Syah II atas permintaan sendiri meletakkan jabatan sebagai raja di Kerajaan Sungai Lemau. Setelah Pangeran Muhammad Syah II tidak memerintah, Belanda menggantikan kedudukan raja dengan datukdan pasirah sebagai pelaksana bawahan  Dengan dihapuskannya kedudukan raja di Kerajaan Sungai Lemau, maka sejak itulah, secara de facto dan de jure, berakhirlah riwayat Kerajaan Sungai Lemau yang telah bertahan sekitar 200 tahun. 

Silsilah Kerajaan Sungai Lemau dapat ditemukan dalam beberapa buku, seperti Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bengkulu(1978/197), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu (1984) dan Hukum Adat Rejang (1980). Hanya saja sedikitnya ketersediaan sumber untuk merangkai silsilah para raja yang telah memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, membuat silsilah para raja di Kerajaan Sungai Lemau tidak bisa disajikan secara utuh. Berikut ini adalah silsilah para raja yang telah berhasil ditemukan:

Baginda Maharaja Sakti (naik tahta sekitar 1625-1630).
Baginda Sebayan bergelar Tuan Pati Bangun Negara atau Pangeran Raja Muda (gelar pemberian dari Kesultanan Banten) (memerintah kurun waktu 1668)
Pangeran Mangku Raja (memerintah kurun waktu 1724)
Pangeran Linggang Alam (memerintah sampai dengan 1833)
Putu Negara bergelar Pangeran Muhammad Syah II (1833-1861).
3. Sistem Pemerintahan

Dalam perjanjian yang dilakukan antara Baginda Maharaja Sakti dan para Depati Tiang Empat, disepakatilah aturan tentang sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Sungai Lemau perjanjian tersebut adalah:

Raja Ulu Bengkulu berdiri sendiri.
Kalau ada musuh datang dari laut, maka merupakan tanggungan Raja Ulu Bengkulu untuk menghalaunya dan kalau ada musuh datang dari darat, maka Depati Tiang Empat yang menghadapinya.
Kalimat “Raja Ulu berdiri sendiri” dalam perjanjian di atas dapat dimaknai sebagai keabsahan seorang raja sebagai pucuk pimpinan tertinggi. Sedangkan penyebutan Kerajaan Ulu Bengkulu merupakan nama lain dari penyebutan Kerajaan Sungai Lemau.

Pembagian tugas antara raja dan para Depati Tiang Empat, pada perkembangannya kemudian melahirkan sistem pengaturan Adat Lembaga di wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau. Sistem Adat Lembaga di Kerajaan Sungai Lemau disusun bertingkat berdasarkan banyak-sedikitnya jumlah penduduk yang mendiami wilayah tertentu.

Diurutan paling bawah dari struktur pangaturan Adat Lembaga, terdapat dusun yang dipimpin oleh seorang kepala dusun yang disebut patai yang bergelardepati atau pangawa. Gabungan dari beberapa dusun disebut marga yang dipimpin oleh seorang pasirah. Di pusat kerajaan (kota), dusun disebut dengan pasar. Satu atau beberapa pasar dipimpin oleh seorang pemangku yag dibantu oleh seorang atau beberapapemangku muda. Beberapa daerah kepemangkuan, diatur oleh seorang datuk. Lama jabatan seorang datuk ± 8 tahun.

Sebelum kedatangan Inggris dan Belanda, pengaturan Adat Lembaga diatur di dalam buku Undang-Undang Simbur Cahaya .Undang-Undang ini mengatur tentang kewajiban dan hak beberapa kepala Adat Lembaga, seperti patai, pasirah, dandatuk. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan produk dari Kerajaan Islam Palembang. Undang-Undang Simbur Cahaya disusun oleh Ratu Sinuhun (1622-1635), istri dari Pangeran Sido Ing Kenayan (1622-1630), salah satu Sultan di Kesultanan Islam Palembang. Undang-Undang Simbur Cahaya berlaku di seluruh Sumatera Selatan.

Masih di seputar pengaturan Adat Lembaga, sebelum Inggris datang ke Bengkulu dan Kerajaan Sungai Lemau masih mengakui berada di bawah lindungan Kesultanan Banten, di Bengkulu telah terdapat empat marga, yaitu Sukau, Kembahang, Buai Kanjangan (Batu Brak), dan Blungu (semua marga ini terdapat di daerah Krui)

Saat Bengkulu berada dalam kekuasaan Inggris, sekitar tahun 1770 dibentuk suatu Dewan Pangeran (Pangeran Court) di Kota Bengkulu, sebagai dewan banding terhadap keputusan-keputusan perkara yang telah diputuskan oleh kepala-kepala dusun. Pangeran Linggang Alam duduk dalam Dewan Pangeran tersebut, akan tetapi kekuasaannya sudah jauh berkurang, meskipun beliau masih sangat dihormati dan mendapatkan tempat duduk di sebelah kanan Residen Inggris dalam upacara-upacara resmi.

Seiring dengan mulai berkuasanya Belanda di Bengkulu, sistem pemerintahan di Kerajaan Sungai Lemau mengalami perubahan. Pada 1838, Pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu mulai menetapkan susunan pemerintahan sebagai berikut :

Bengkulu merupakan afdeling (daerah) Bengkulu yang terbagi ke dalam beberapa onder afdeeling, yaitu :

Muko-Muko dengan 5 distrik
Lais dengan 5 distrik
Bengkulu
Sekitar Bengkulu dengan 8 distrik
Seluma dengan 5 distrik
Manna dengan 5 distrik
Kaur dengan 7 distrik
Krui dengan 13 distrik
Ampat Lawang termasuk Rejang Musi 
Format pemerintahan di atas selesai disusun ketika J. Walland (1861-1865) menjabat sebagai Asisten Residen di Bengkulu.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Ulu Bengkulu (Kerajaan Sungai Lemau) meliputi  Renah Pesisir di Utara sampai ke Air Urai (Kerajaan Inderapura), di selatan sampai Air Lempuing (Kerajaan Silebar), dan di timur Kerajaan Rejang Belek Tebo (Kerajaan Rejang di Bukit Barisan) 

Wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau semakin meluas pasca penandatanganan perjanjian perdagangan antara Inggris dan Kerajaan Sungai Lemau pada 17 April 1724. Perluasan wilayah tersebut kini meliputi, dari Sungai Bengkulu sampai ke perbatasan Kerajaan Anak Sungai (sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Muko-Muko)

Kehidupan sosial-budaya di Kerajaan Sungai Lemau dapat ditinjau dari beberapa segi, misalnya pengaruh kerajaan tetangga dan kedatangan bangsa asing. Kehidupan budaya, khususnya adat istiadat hingga bahasa di Kerajaan Sungai Lemau, sedikit-banyak mendapat pengaruh dari beberapa pihak, seperti dari Kerajaan Melayu, Banten, Majapahit, Pagaruyung, sampai pengaruh dari bangsa asing seperti Inggris dan India.

Pengaruh kedatangan orang Inggris yang membawa orang-orang India (sepehi) ke Kerajaan Sungai Lemau pada abad ke-17, membawa pula pengaruh kebudayaan seperti tabot. Kebudayaan ini sampai sekarang masih dilestarikan oleh orang-orang Bengkulu sebagai kesenian rakyat yang dipertunjukkan antara tanggal 1-10 Muharram 

Selain itu unsur Islam yang dibawa bersamaan dengan masuknya orang Aceh, Kerajaan Pagaruyung, dan hubungan dengan Kesultanan Banten, juga mempengaruhi kehidupan budaya di Kerajaan Sungai Lemau. Pengaruh tersebut terutama tampak pada tulisan Arab, baik tulisan Arab Melayu maupun tulisan Arab.

Masih di seputar agama, Menurut Benyamin Bloome, penguasa di Fork York (wilayah pendudukan Inggris yang diizinkan oleh pihak kerajaan), ketika perjanjian untuk mendirikan bangunan dan perdagangan ditandatangani oleh pihak Inggris dan Kerajaan Lemau pada 24 Juni 1685, di tempat tersebut para penduduk telah menganut agama Islam. Kesaksian Bloome ini kembali dilanjutkan bahwa perjanjian tersebut terjadi pada bulan puasa di mana para penduduk Kerajaan Sungai Lemau sedang menunaikan ibadah puasa. Selain itu, Bloome juga menyatakan bahwa ketika penduduk melakukan sumpah (di pengadilan adat misalnya) mereka mempergunakan Al-Qur‘an.

Khusus untuk Kerajaan Pagaruyung, hijrahnya orang-orang dari Kerajaan Pagaruyung ke Kerajaan Sungai Lemau, membawa pula adat istiadat yang biasa dilakukan di Minangkabau. Terutama di daaerah pesisir, pengaruh dari Kerajaan Pagaruyung tampak pada bahasa dan kesusasteraan, adat istiadat perkawinan, prinsip keturunan matrialineal, hukum waris mamak kemenakan, sistem pertanian, dan lain-lain.

Ketertarikan para pendatang untuk datang ke wilayah Kerajaan Sungai Lemau (Bengkulu), erat kaitannya dengan fungsi dan letak Bengkulu yag terkenal sebagai penghasil lada, cengkeh, kopi, dan hasil hutan yang telah terkenal sejak dahulu. Di samping itu, Kerajaan Sungai Lemau juga mempunyai letak strategis di Swarnnabhumi (Sumatera). Letak strategis tersebut  berguna untuk membangun kekuatan diplomatis bagi beberapa kerajaan, seperti Kesultanan Aceh dan Pagaruyung di sebelah utara, Kerajaaan Banten di sebelah selatan, Kerajaan Sriwijaya di Timur, dan Kerajaan Melayu di Jambi dan Riau.

Kedudukan Kerajaan Sungai Lemau sebagai bandar dagang di ujung bawah Pulau Sumatera juga memberikan daya tarik tersendiri bagi banyak bangsa untuk menanamkan pengaruh di sana. Mulai bangsa Aceh, Kesultanan Banten, sampai Inggris mencoba menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Sungai Lemau. Keuntungan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh penguasa Kerajaan Sungai Lemau untuk membuat perjanjian dagang yang menguntungkan bagi perekonomian di Kerajaaan Sungai Lemau.  

Di bidang perekonomian, pemasukan ke kas Kerajaan Sungai Lemau mengalami kemajuan pesat ketika diadakan perjanjian perdagangan untuk kali kedua dengan Inggris pada 17 April 1724 pasca penandatanganan perjanjian tersebut, penghasilan Kerajaan Sungai Lemau meningkat pesat. Pos-pos peningkatan penghasilan kerajaan didapatkan dari komisi dan premi (termasuk bea cukai kapal yang masuk ke pelabuhan) atas pengumpulan lada dari para pedagang Inggris. Selain itu kerajaan juga menarik pajak dari izin judi adu ayam, hasil-hasil denda yang dijatuhkan oleh pengadilan dan 10% pajak ternak, ditambah lagi bahwa semua kerbau jalang menjadi milik Pangeran Mangku Raja.

Dengan melimpahnya pendapatan yang diterima oleh Kerajaan Sungai Lemau, maka didirikanlah Balai Buntar. Dikemudian hari Balai Buntar dikenal sebagai lambang kebesaran dan kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau.Di balai inilah, raja Kerajaan Sungai Lemau menerima para tamu agung.

 

Kerajaan dan Kesultanan Kutai


Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman Kalimantan Timur. Tepatnya di hulu sungai Mahakam. 

Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. 

Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para brahman atas kedermawanan raja Mulawarman. Dalam agama hindu sapi tidak disembelih seperti kurban yang dilakukan umat islam. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. 

Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Dapat diketahui bahwa prasasti diatas adalah sebagai berikut:

śrīmatah śrī-narendrasya; kuṇḍuṅgasya mahātmanaḥ; putro śvavarmmo vikhyātah; vaṅśakarttā yathāṅśumān; tasya putrā mahātmānaḥ; trayas traya ivāgnayaḥ; teṣān trayāṇām pravaraḥ; tapo-bala-damānvitaḥ; śrī mūlavarmmā rājendro; yaṣṭvā bahusuvarṇnakam; tasya yajñasya yūpo ‘yam; dvijendrais samprakalpitaḥ.

Artinya:

Sang Mahārāja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aśwawarmman namanya, yang seperti Angśuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aśwawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mūlawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.

Aswawarman
Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setiatewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).

Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra JawaNegarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeranberubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Raja-raja Kutai

Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
Maharaja Marawijaya Warman
Maharaja Gajayana Warman
Maharaja Tungga Warman
Maharaja Jayanaga Warman
Maharaja Nalasinga Warman
Maharaja Nala Parana Tungga
Maharaja Gadingga Warman Dewa
Maharaja Indra Warman Dewa
Maharaja Sangga Warman Dewa
Maharaja Candrawarman
Maharaja Sri Langka Dewa
Maharaja Guna Parana Dewa
Maharaja Wijaya Warman
Maharaja Sri Aji Dewa
Maharaja Mulia Putera
Maharaja Nala Pandita
Maharaja Indra Paruta Dewa
Maharaja Dharma Setia 

Kesultanan Kutai 

Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakankesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutaiditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningratmenjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernamaTepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah KecamatanAnggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian PulauTanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dariMajapahit.

Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atauKerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Paranganditerima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris(1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin(1663), negeri Kutai merupakan salah satutanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622)

Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazalKesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjamPasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu RajaTallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu SultanTamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756. karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (rajaWajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan BanjarSunan Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan bentengTabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. 

Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjardengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.

Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei1826

Pemindahan ibukota kerajaan
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris merupakan raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang berada dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo,Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan diMangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berlangsung dengan siasatembargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak lautSulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara keTepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arungyang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asalInggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairanMahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddinmengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang tewas tersebut.

Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooftdengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglimaperang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatanganiperjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda diKalimantan yang diwakili oleh seorangResiden yang berkedudukan diBanjarmasin.

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkanBêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaimanmemegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwagersebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomimasih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa. Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo. Pada tahun1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggaloleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplusyang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatanKoo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status DaerahSwapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan,Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasirdengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadiDaerah Istimewa Kutai yang merupakandaerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukotaTenggarong
Kotapraja Balikpapan dengan ibukotaBalikpapan
Kotapraja Samarinda dengan ibukotaSamarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.

Sejarah Islam Rusia

 

Islam merupakan agama kedua terbesar yang dianut di dalam Persekutuan Rusia. 

Islam masuk ke Rusia pada pada tahun 992 Masehi, ketika sekelompok etnis Rusia yang hidup di Siberia, yang disebut Bulgar memeluk agama islam dan kemudian menyebarkannya ke seluruh Rusia. Ada beberapa republik dalam Federasi Rusia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Tatarstan, Chechnya, Bashkortostan, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-Balkaria, Karachay-Cherkessia, dan lain-lain. Muslim pertama di wilayah Rusia terkini adalah masyarakat Dagestani di (kawasan Derbent) selepas penaklukan Arab (abad ke-8). Negeri Muslim yang pertama adalah Volga Bulgaria pada tahun 922. Kaum Tatar mewarisi agama Islam dari negeri itu. Kemudian kebanyakan orang Turki Eropa dan Kaukasia juga memeluk agama Islam.

Mayoritas Muslim di Rusia mengikuti ajaran Islam Sunni. Dalam beberapa kawasan, terutama di Dagestan dan Chechnya, ada tradisi Sufisme, yang diwakili oleh tarekat Naqsyabandi dan Shazili dipimpin oleh Shaykh Said Afandi al-Chirkawi ad-Daghestani. Amalan sufi memberikan orang Kaukasus semangat kuat untuk menolak tekanan orang asing, dan telah menjadi legenda di antara pasukan Rusia yang melawan orang Kaukasus pada zaman Tsar. Orang Azeri juga pada sejarah dan masih lagi pengikut Islam Syiah, disaat republik mereka terpisah dari Uni Soviet, banyak orang Azeri yang datang ke Rusia untuk mencari pekerjaan.

Kaum Muslimin Rusia terbagi dalam 14 wilayah administratif, terletak di dua wilayah geografis politis Rusia yang sangat rawan konflik. Enam republik dan satu wilayah administratif berada di Rusia tengah, berbatasan dengan Kazakhstan; dan tujuh republik lain di Kaukasus Utara berbatasan dengan Georgia, Azerbaijan, Armenia, Turki dan Iran.

Sekurang-kurangnya 15-20 persen dari jumlah penduduk negara Rusia memeluk islam dan membentukkan agama minoritas yang terbesar. Masyarakat besar Islam dikonsentrasikan di antara warga negara minoritas yang tinggal di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia: Avar, Adyghe, Balkar, Nogai, Orang Chechnya, Circassian, Ingush, Kabardin, Karachay, dan banyak bilangan warga negara Dagestan. Di Volga Basin tengah ada penduduk besar Tatar dan Bashkir, kebanyakan mereka Muslim. Banyak Muslim juga tinggal di Perm Krai dan Ulyanovsk, Samara, Nizhny Novgorod, Moscow, Tyumen, dan Leningrad Oblast (kebanyakannya kaum Tatar).

Qur'an pertama yang dicetak diterbitkan di Kazan, Rusia pada 1801. Satu lagi fenomena yang terjadi adalah gerakan Wäisi.

Pada era 1990-an, jumlah percetakan risalah Islam telah meningkat. Antaranya ialah beberapa buah majalah dalam bahasa Rusia, "Ислам" (transliteration: Islam), "Эхо Кавказа" (Ekho Kavkaza) dan "Исламский вестник" (Islamsky Vestnik), dan beberapa surat khabar berbahasa Rusia seperti "Ассалам" (Assalam), dan "Нуруль Ислам" (Nurul Islam), yang diterbit di Makhachkala, Dagestan.

Muslim Rusia

Warga muslim Rusia adalah bagian dari Muslim Soviet Rusia, terdiri dari kelompok yang heterogen, mereka sama sekali berbeda dalam etnis, bahasa dan budaya bahkan mereka berbeda dalam interaksinya dengan Islam. Dan etnis yang beragam ini kemudian disertai dengan keanekaragaman bahasa, dan masing-masing bahasa memiliki dialek yang banyak. Bahasa Arab diajarkan di sekolah Dasar dan madrasah-madrasah, tujuan utamanya adalah untuk membaca Al-Qur’an dan memahami artinya. Mereka tidak bisa menulis dan berbicara bahasa Arab, kecuali orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan tinggi.

Kemudian secara luas, umat Islam di Uni Soviet terkonsentrasi walaupun tidak menyeluruh di Asia Tengah, yaitu di daerah yang dibatasi oleh Laut Kaspia di barat, Cina di timur, Turki, Iran dan Afganistan di selatan. Masing-masing bersebelahan dengan Pakistan dan India, akan tetapi ini bukan fakta, karena lebih dari separuh Muslim di Uni Soviet sudah tinggal di daerah Asia Tengah. Sisanya menyebar di seluruh wilayah Uni Soviet, terutama di Rusia. Di Rusia, ada lima republik otonom Muslim yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu Republik Tatarstan, Republik Dagestan, Republik Bashkiria (Bashkortostan), Republik Kabardino-Balkaria dan Republik Chechnya, ditambah umat Islam yang ada di republik lain dengan penduduk mayoritas Kristen, seperti Republik Ossetia Utara, Republik Mari El, Republik Udmurtia, juga di republik lain dimana umat Islam menjadi warga negaranya atau membentuk komunitas Islam.

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Rusia

Seperti penyebaran Islam lainnya penyebarannya melalui jalur perdagangan, Begitu pula di Rusia Islam masuk dibawa para pedagang Muslim Arab dari wilayah Kaukasus dan tiba di Moskow dari utara bukan dari selatan seperti yang diduga beberapa sejarawan, mereka berpendapat bahwa Islam datang ke Moskow dari selatan, sebagai jalan paling mudah untuk gerakan kafilah pedagang. Sebab, suku-suku Cossack Rusia yang telatih untuk berperang, telah berdiri menentang penyebaran Dakwah Islam dan pengaruh Islam yang merayap menuju jantung Rusia.

Hal itu kemudian memaksa para pedagang Muslim dan para da’i untuk melintasi stepa Asia Tengah menuju Siberia, dengan bantuan kaum Tatar yang telah masuk Islam dan mendapat petunjuk kepada agama yang haq sejak abad kesembilan Masehi di Kerajaan mereka, Kerajaan Volga Bulgaria Timur, yang sekarang menjadi tanah air mereka. 

Daerah ini sebagian besar telah memeluk Islam pada abad kesepuluh, dan pada abad 11 dan 12, Islam menyebar di wilayah Ural, yang sekarang bernama Republik Bashkiria (Bashkortostan). Berkat para pedagang Muslim dari Arab, Iran dan Turki Islam kemudian menyebar ke berbagai bagian lain wilayah Rusia.Kaum Muslim saat ini, telah menjadi kekuatan baru di sekitar Rusia, dari Siberia di sebelah utara dan timur laut ke arah selatan.

Kehadiran islam di Moskow sekitar tahun 1200 Masehi, ketika itu, ibukota kerajaan Muslim ada di kota Kazan. Saat itu, Moskow membayar pajak kepada Kazan. Kazan tetap menjadi ibukota kaum muslimin sampai tahun 1552, ketika Tsar Rusia Ivan The Terrible berhasil menduduki dan menghancurkan Kazan, membakar masjid, memindahkan qubah-qubah indah ke Kremlin Moskow dan Red Square, yang masih ada sampai hari ini. 

Kemudian ia menduduki kota Astrakhan pada tahun 1556, Siberia Barat tahun 1598, dan pada akhir abad keenam belas tiba di daerah-daerah Muslim di Kabordino dan Chechnya. Sejak saat itu, Rusia memulai peperangan mereka melawan kaum muslimin, mereka melarang kaum muslimin melakukan praktek keagamaan dan memaksa mereka untuk mengikuti kebiasaan dan tradisi Rusia. Semua itu dilakukan dalam rangka me-rusia-kan kaum muslimin, jika tidak dikatakan: mengkristenkan mereka. Mereka memperlakukan kaum muslimin dengan kejam, menimpakan berbagai siksaan, merampas kekayaan mereka dan memperkenalkan undang-undang hukuman untuk memaksa penduduk setempat agar menolak agama Islam. Akan tetapi, mereka tidak berhasil dalam proyek ini.

Mayoritas Muslim tetap mengikuti agama mereka, kekejaman Rusia tidak mampu menghentikan penyebaran Islam. Dan sungguh sebuah paradoks yang aneh, sebaliknya Islam mencapai kemajuan baru di paruh kedua abad 18, pada masa pemerintahan Ratu Rusia, Catherine II, dengan berubahnya kebijakan Rusia terhadap umat Islam yang hidup dalam perbatasannya. Saat itu, kaum muslimin mencicipi kebebasan. Pada tahun 1764, propaganda toleransi beragama menguat, dan pada tahun 1767 pengusiran penduduk Tatar dari kota mereka, yaitu Kazan, dicabut pemerintah. 

Pemerintahan menuju tahap baru pada tahun 1773 dengan memberikan Tatar Volga kebebasan beragama, hak untuk membangun masjid dan sekolah Al-Quran. Pedagang Volga kemudian menjadi mediator yang sangat baik antara Tsar Rusia dan Asia Tengah. Mereka juga bertindak sebagai da’i dan muballigh, membangun masjid, sekolah dan membawa Islam kepada orang-orang yang masih semi-politheis di Bashkiria dan Siberia Barat.

Kebijakan Tsar Rusia ini bukan didasari karena kecintaan terhadap umat Islam, tetapi kebijakan yang didorong kepentingan Rusia untuk memperluas pengaruh dan kontrol atas daerah tetangga, karena ia menyadari kemungkinan untuk memanfaatkan masyarakat Muslim yang berada di Rusia, sehingga kehadiran Rusia di Asia Tengah dapat diterima bahkan diinginkan di wilayah itu. Hal itulah yang mendorong para penguasa Rusia untuk memperhatikan kekuatan politik umat Islam yang tinggal di Tsar Rusia pada saat itu, pemerintah mulai mencoba untuk mendapatkan dukungan mereka, didirikanlah lembaga sebagai pusat Fatwa di Renburg (kemudian pindah ke Ufa) pada 1788. Setelah itu, dibentuk tiga lembaga lain untuk Penerbitan Fatwa dalam abad berikutnya, satu lembaga pada 1831, dan dua lainnya pada tahun 1872. Lembaga-lembaga ini sejenis hai’ah ulama (institusi ulama), yang ada di pemerintahan Utsmani. Lembaga ini memiliki wewenang dalam beberapa aspek hukum perdata, bertanggung jawab atas kaderisasi ulama, pemeliharaan Wakaf dan publikasi buku-buku keagamaan yang tidak dibolehkan terbit sebelum tahun 1800.

Perkembangan Islam di Bawah Kekuasaan Komunis

Ketika Perang Dunia Pertama pecah, kaum Muslimin berhasil menduduki posisi yang terhormat di kekaisaran Rusia, atas apa yang telah mereka persembahkan dalam perang untuk kepentingan negara mereka. Akan tetapi, kondisi ini segera berubah setelah komunis mengkudeta pemerintahan. Kondisi umat Islam sangat berbeda dengan kondisi pada akhir era Kekaisaran Rusia. Para penguasa Komunis Soviet berbeda sikap, karena tujuan utama komunis adalah untuk memberantas agama dalam segala bentuknya, yang dianggap sebagai “candu masyarakat”, menurut istilah salah seorang pemimpin mereka.

Dimulailah serangkaian panjang penindasan agama, penerapan langkah-langkah memusuhi Islam, dan dapat dikatakan bahwa selama era Soviet, Islam telah menelan berbagai bentuk permusuhan Komunis terhadap agama secara umum; masjid berubah menjadi toko-toko, kafe, kursus tari dan bioskop, padahal pada tahun 1912, di Rusia saja, kaum muslimin memiliki lebih dari 26.000 masjid, dan pada tahun 1941 tidak ada masjid yang tersisa kecuali sekitar 1.000 saja, pengadilan syariah sepenuhnya ditutup pada tahun 1927 dan sistem wakaf dihapus pada tahun 1930. Sementara tulisan Arab dihapus pada tahun yang sama, sekolah agama ditutup, institusi ulama dibubarkan dan banyak dari mereka yang kemudian dieksekusi. Kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk melakukan haji, sistem pemeliharaan babi secara kolektif mulai diberlakukan di tanah-tanah kaum muslimin, publikasi literatur agama dicekal, ibadah puasa menjadi hal yang hampir mustahil, upacara keagamaan dan peringatan peristiwa bersejarah dalam Islam dilarang dalam bentuk apapun.

Partai Komunis di Rusia melihat Islam sebagai kekuatan yang bersebrangan, agama dan iman adalah hambatan menuju komunisme, dan dia harus cepat-cepat bekerja untuk menghancurkan dengan propaganda dan informasi yang bersebrangan, bahkan, jika diperlukan, bisa juga menggunakan jalur administrasi dan kepolisian. Dengan cara itulah para pemimpin Bolshevik melihat Islam sejak awal masa kekuasaannya, sebuah posisi yang disokong oleh Lenin, seorang musuh abadi bagi agama. 

Serangan Komunis terhadap agama Islam membentang sejak tahun 1928 sampai deklarasi Perang Dunia II. Serangan fisik ini diiringi dengan berbagai propaganda yang sangat anti Islam, bahkan kemudian terkoordinasikan sehingga mencapai dampak maksimal, digawangi oleh aktivis serikat pekerja anti Tuhan “Sans-Dieu”, yang didirikan pada tahun 1925, serta berbagai media dan organisasi negara serta lembaga pemerintah komunis.

Perlu juga untuk disebutkan di sini beberapa kutipan dari Ensiklopedia Mini Soviet dalam Volume IV halaman 879-880, pada subjek “Islam”, yang menjelaskan posisi resmi pemerintah Rusia terhadap agama Islam, seperti: “Islam pada masa kekaisaran Rusia Tsar memiliki kedudukan yang tinggi dan dipergunakan sebagai alat oleh kaum kapitalis. Setelah Revolusi Oktober, Islam kemudian memegang bendera anti-revolusioner. Dan sebagai efek dari pembangunan sosialisme dan pertumbuhan ateisme, bangsa ini harus dibebaskan dari penindasan Islam yang telah mengkronis, yang menjadi ideologi orang kaya dan musuh revolusi.”

Dalam ensiklopedia utama Soviet “. “Islam, seperti semua agama lainnya, selalu memainkan peran oposisi, karena merupakan alat penganiayaan secara spiritual kelas pekerja lokal, dieksploitasi oleh para penjajah asing dari masyarakat Timur Tengah.

Musuh-musuh internal revolusi dan kaum imperialis asing menggunakan Islam untuk memerangi negara Rusia Soviet setelah kemenangan komunis pada Revolusi Oktober, sepanjang perang saudara dan intervensi asing… Demikian pula pihak-pihak lain mencoba mendapatkan keuntungan dari Islam. karena itu, sosialisme terus berupaya memeranginya sepanjang era konstruksi di Rusia. Saat itu, ulama Muslim memimpin perjuangan kelas melawan legislasi Soviet dalam bidang keluarga, pernikahan, dan memperjuangkan pembebasan perempuan dan membela hak mengenakan jilbab.

Selain itu, mereka menggunakan semua propaganda media terhadap agama Islam, yang disirkan melalui radio dan film anti agama, termasuk banyak film yang mengejek Muslim di Rusia, membuat olok-olok agama mereka dan menunjukkan bahwa Islam adalah penyebab kebekuan pikiran, keterbelakangan dan penderitaan. Film itu juga memperlihatkan berbagai ritual secara histeris, sehingga menjadi bahan tertawaan dan ejekan yang parah, seperti tata cara wudhu, shalat, haji dan lain-lain.

Umat Islam terus menanggung semua penidasan mulai dari terorisme, pengintaian dan pelecehan, sampai pada Perang Dunia II, dimana terjalin kesepakatan antara pemerintah Rusia dan institusi Islam, keadaan ini terus berlanjut selama era Stalinis pasca perang. Pada bulan Juli 1942, Mufti Rusia dan Eropa, Abdul Rahman Rasulaev, menjalin hubungan dengan Stalin, menguatkan kesepakatan dan berjanji bahwa Muslim akan mendukung upaya perang dan itulah yang terjadi. Dengan demikian, berhentilah propaganda anti-Islam secara relatif, demikian pula penderitaan dan teror sedikit mereda, Negara dengan Islam berhubungan secara resmi melalui bimbingan negara, terutama setelah pembentukan banyak lembaga Islam. Situasi ini terus berlanjut sampai kematian Stalin, dan ini adalah periode yang melegakan bagi kaum muslim Rusia.

Kemudian pada era Khrushchev, prinsip “back to Lenin” mengakhiri era rekonsiliasi. Ia meluncurkan propaganda baru melawan Islam, yang berlangsung dari tahun 1954 sampai tahun 1964. Pada masa itu, sebagian besar masjid yang tadinya terbuka untuk ibadah dan tempat-tempat ziarah dan kunjungan ditutup. Ia juga meluncurkan siaran pers, radio, televisi dan bioskop dan kampanye yang sangat intens menyerang agama.

Setelah era Khrushchev jatuh, hubungan antara pemerintah dan umat Islam memasuki fase baru, dimana serangan terhadap agama Islam sedikit mengendor, dan propaganda memusuhi Islam mengambil karakter baru yang lebih beraroma ilmiah, pemerintah meyakinkan bahwa serangan terhadap agama dan ulama adalah tidak begitu membuahkan hasil, karena itu, serangan melawan Islam dilahirkan ke dalam tataran ideologis sesuai dengan ideologi Marxisme – Leninisme yang pada dasarnya anti agama, karena itu, Partai Komunis tidak bisa terus bersikap netral terhadap Islam.

Perbedaan antara era Leninis, Stalinis dan era lain berikutnya hanyalah dalam metode yang digunakan oleh pemerintah Rusia untuk mempercepat penghapusan agama dan menghancurkannya. Akan tetapi, meskipun berbagai upaya sudah dilakukan melalui propaganda media, tekanan dan teror, pemerintah Rusia tetap tidak puas dengan hasil yang dicapai dari berbagai upaya ini, dan mengumumkan kegagalan propaganda dan media diarahkan terhadap Islam. 

Bahkan, sebaliknya, serangan yang ditujukan terhadap Islam memunculkan fenomena lain. Sebagai contoh sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1978 di Republik Chechnya, Rusia. 

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hanya 20 % dari rakyat Chechnya saja yang terpengaruh propaganda media yang memusuhi Islam, sedangkan 80 % dari populasi mereka yang tersisa justru bersikap antipati terhadap propaganda anti agama, atau bersikap acuh tak acuh.

Islam di masa lalu Rusia 

Menurut Jabatan Negara Amerika Syarikat, terdapat kira-kira 21-28 juta penduduk Islam di Rusia, mewakili sekurang-kurangnya 15-20 peratus daripada jumlah penduduk negara Rusia dan membentuk agama minoriti yang terbesar. 

Kelompak masyarakat terbesar Islam tertumpu di antara warganegara minoriti yang tinggal di antara Laut Hitam dan Laut Caspian: Avar, Adyghe, Balkar, Nogai, Chechen,Circassian, Ingush, Kabardin, Karachay dan banyak bilangan warga negara Dagestan. Di Volga Basintengah ada penduduk besar Tatar dan Bashkir, kebanyakan mereka Muslim. Banyak penduduk Islam juga tinggal di Perm Krai dan Ulyanovsk, Samara,Nizhny Novgorod, Moscow, Tyumen dan Leningrad Oblast (kebanyakannya kaum Tatar)

Kerajaan Islam di Rusia 

Penduduk Islam pertama di wilayah Rusia adalah masyarakat Dagestan di kawasan Derbent selepas penaklukan Arab pada abad ke-8 Negeri Islam yang pertama adalah Volga Bulgaria (922. KaumTatar mewarisi agama Islam dari negeri itu. Kemudian kebanyakan Orang Turki Eropah dan Kaukasia juga menjadi pengikut Islam. 

Walaubagaimanapun, Kristianmempunyai pengaruh terkuat di dalam empayar Rusia di luar bertentangan dengan empayar Islam. Begitupun, di sana masih lagi hubungan di antara orang-orang Russia dan Muslim. 

Di dalam satu cerita yang kebenarannya diragui, Putera Vladimir yang gagah telah menghiburkan ilmuwan Muslim yang cuba untuk menjadikan orang-orang Russia kepada Islam. Bagaimanapun, disebabkan pada asas pengharaman terhadap alkohol, putera itu tidak mahu menukarkan negaranya, sebaliknya memilih Kristian Ortodok.

Islam di Rusia telah mempunyai kewujudan yang lama, melebarkan ke seawal penaklukan kawasan Volga Tengah pada abad ke-16, yang membawa orang Tatar dan berkenaan Orang Turki di Volga Tengah ke dalam negara Rusia. Pada abad ke-18 dan ke-19, taklukan Rusia di Kaukasus Utara membawa orang-orang Islam dari kawasan ini--Dagestan, Chechen, Circassia, Ingush, dan lain-lain--ke dalam negara Rusia. Lebih-lebih lagi, negeri-negeri bebas di Asia Tengah dan Azerbaijan telah dibawa masuk ke dalam negara Rusia sebagai sebahagian dasar imperialis untuk mengasimilasi Kaukasus utara. 

Kerajaan Muslim Kekhanan Astrakhan di Volga rendah telah ditawan oleh empayar Rusia pada tahun 1556.Kekhanan Kazan telah ditakluki pada tahun 1552 danKekhanan Crimean telah ditawan pada tahun 1739 oleh Rusia. 

Kekhanan Siberia telah ditakluki oleh empayar Russia pada abad ke-16 dengan mengalahkan orang-orang Tatar Siberia yang membolehkan seluruh Siberia dibuka untuk taklukan Rusia. Kebanyakan orang-orang Muslim yang hidup di Rusia adalah oran-orang tempatan sejak lama dulu telah dirampas oleh empayar Rusia yang semakin membesar.

Akhirnya semua orang Muslim di Rusia mengikut ajaran Islam Sunni. Dalam beberapa kawasan, terutamanya Dagestan dan Chechnya, ada tradisiSufisme, yang diwakili oleh tarekat Naqsyabandi danShazili dipimpin oleh Shaykh Said Afandi al-Chirkawi ad-Daghestani. Amalan sufi memberikan orang Kaukasus semangat kuat untuk menolak tekanan orang asing, dan telah menjadi legenda di antara pasukan Rusia yang melawan orang Kaukasus pada zaman Tsar. Orang Azeri juga pada sejarah dan masih lagi pengikut Syiah Islam, apabila republik mereka terpisah dari Soviet Union, banyak bilangan Azeri datang ke Rusia untuk mencari pekerjaan.

Qur'an pertama yang dicetak diterbitkan di Kazan,Russia pada 1801.

Sati lagi fenomena adalah gerakan Wäisi.

Hubungan antara Pemerintah Rusia dengan aspek-aspek penduduk Muslim sejak awal sudah diwarnai dengan adanya ketidakpercayaan dan keraguan. Pada tahun 1992, misalnya, Sheikh Rawil Ghaynetdin,imam dari Masjid Moskow, mengeluhkan bahwa "negara kita [Russia] masih mewarisi ideologi dari kepemimpinan Tsar, yang mempercayai bahwa hanya aqidah Ortodoks sahaja yang boleh dijadikan pegangan, sebagai agama rasmi negara." 

Kerajaan Russia pula, untuk bahagiannya, risau akan kebangkitan Islam sebagai mana yang dipersaksikan pada tahun 1980 dengan Afghanistan dan keduanya ,Iran. Kemuncak kerisauan kerajaan berlaku pada tahuyn 1992, yang mana sebuah konferens telah diadakan di Saratov oleh Parti Pembaharuan Islam. Wakil-wakil yang menghadiri konferens tersebut datang daripada pelbagai tempat, kebanyakannya dari Republik Asia Tengah yang baru-baru sahaja merdeka, Azerbaijan, dan dari pelbagai jajahan autonomi Russia, termasuk Republik AutonomiTatarstan dan Bashkortostan. 

Pertemuan tersebut telah menimbulkan kesedaran di Moskow akan kebolehan Islam untuk tersebar luas di Russia terutamnya dari negara-negara Islam yang baru merdeka dan juga negara-negara yang masih di bawah jajahan Soviet. Untuk itu, Kerajaan Russia telah mengelola pembiayaan pertahanan dan politikal untuk diktator-diktator sekular bagi lima republik Asia Tengah, yang kesemuanya tidak memihak kepada politik Islam. Sehingga pertengahan 1990, kebangkitan Islam hanyalah merupakan alasan standard untuk desakan nasionalis radikal bahawa, Russia berjaya mengawal kebangkitan tersebut.

Usaha untuk menggariskan kuasa kerajaan federal dan lokal di Rusia juga turut mempengarushi hubungan Russia dengan komuniti Islam. Kerajaan Russia mewariskan dua daripada empat jabatan kerohanian, atau jabatan mufti, yang telah sedia ada sejak era Stalin untuk mengendalikan aktiviti-aktiviti agama Islam, di setiap pelusuk Soviet Union; manakala dua lagi jabatan terletak di Tashkent danBaku. Satu daripada dua jabatan tersebut mempunyai bidang kuasa di Russia Eropah dan Siberia, dan yang satu lagi bertanggung jawab ke atas golongan Muslim di Kaukasus Utara dan daerah Transcaspian. 


Pada tahun 1992, beberapa Pertubuhan Islam menarik diri daripada berada di bawah kuasa jabatan mufti dan mencuba untuk mewujudkan jabatan kerohanian mereka sendiri. Selepas tahun tersebut, Tatarstan dan Bashkortostan menarik pengiktirafan mereka daripada jabatan mufti Russia Eropah dan Siberia, dan mewujudkan jabatan mufti mereka sendri.

Terdapat banyak bukti rasmi mengedai perdamaian terhadap Islam di Russia pada tahun 1990. Jumlah umat islam yang dibenarkan untuk mengerjakan Haji di Mekkah meningkat secara mendadak selepas sekatan mutlak Era Soviet yang berakhir pada 1990. Pencetakan Al-Quran telah diperbolehkan, dan banyak masjid sedang dibina di kawasan-kawasan yang mempunya populasi Islam yang tinggi. Pada tahun 1995, Union of Muslims of Russia telah ditubuhkan, diketuai olwh Khatyb Mukaddas dari Tatarstan, yang bertujuan untuk memperbaiki persefahaman antara etnik dan membasmi salah faham orang-orang Russia terhadap konsep Islam. 

Pertumbuhan itu merupakan hasil kejayaan daripada Union of Muslims pra-perang dunia I, yang mana pertubuhan tersebut mempunyai kumpulan kecilnya sendiri di Russian Duma. Pertubuhan yang wujud selaps era kommunis telah menubuhkan sebuah parti politik Nur All-Russia Muslim Public Movement yang mempunyai hubungan rapat dengan ulama-ulama Islam untuk membela politik, ekonomi dan hak-hak budaya orang-orang Islam dan etnik-etnik minor yang lain. Pusat budaya Islam Russia yang mempunyai sebuah madrasah telah dibuka di Moskow pada tahun 1991. Pada era 1990-an, jumlah percetakan risalah Islam telah meningkat. 

Antaranya ialah beberapa buah majalah dalam bahasa Rusia, "Ислам" (transliteration: Islam), "Эхо Кавказа" (Ekho Kavkaza) dan "Исламский вестник" (Islamsky Vestnik), dan beberapa suratkhabar berbahasa Rusia seperti "Ассалам" (Assalam), dan "Нуруль Ислам" (Nurul Islam), yang diterbit di Makhachkala, Dagestan.

"Sobornaya" merupakan salah sebuah masjid diMoskow yang dapat menampung populasi Islam Moskow berjumlah lebih daripada 2,5 juta - bandar terbesar di Eropah. Pada hari ini, diding biru muda masjid tersebut tidak dapat lagi menampung jumlah ratusan umat Islam yang menghadirinya. Pada hari Jumaat dan hari-hari perayaan lain, masjid tersebut dilimpahi umat Islam, membuatkan umat Islam terpaksa bersolat di atas keratan-keratan akhbar di luar perkarangan masjid, membiarkan dahi mereka bersujud di atas konkrit. Ketua-ketua orang Islam berkata, mereka akan mencuba untuk menambah binaan baru, tetapi disekat oleh kerajaan tempatan, kerana takut perbuatan ini dapat menimbulkan kemarahan di kalangan majoriti etnik Russia. 

Serangan terhadap Masjid juga turut meningkat. Pada September 2006, seorang Imam telah ditembak mati diluar rumahnya di selatan bandar tersebut. Rusuhan yang berlaku pada bulan Ogos telah membuatkan orang Islam Chechens dan muhajirin-muhajirin lain dari daerah Caucasus dihalau oleh kumpulan-kumpulan perusuh ke kawasan barat laut bandar tersebut. 

Islam semakin subur di seluruh pelusuk Russia. Golongan-golang ekspert berkata, negara tersebut sedang mengalami perubahan yang mana sekiranya keadaan ini berterusan, hampir satu pertiga daripada populasi Russia akan memeluk agama suci Islam menjelang pertengahan abad ini. Etnik Russia mempunyai kadar kelahiran yang rendah dan kadar kematian yang tinggi akibat alkaholisme, manakala orang-orang Islam mempunyai kadar kelahiran yang tinggi dah alkoholisme dipandang haram. Sejak 1989, populasi Islam Russia telah meningkat kepada hampir-hampir 25 juta.

Terdapat juga Universiti Islam Rusia in Kazan, Tatarstan. Universiti ini menggunakan bahasa Rusia dan bahasa Tatar. Di Dagestan ada beberapa madrasah dan Universiti Islam, seperti Universiti Islam Dagestan dan Institut Teologi dan Hubungan Internasional.

Masjid tertua di  Rusia dan CIS (Persemakmuran Negara-negara Merdeka)
Derbent yang merupakan salah satu kota tertua di dunia didirikan pada 438 M. Masjid Juma dibangun pada tahun 773 M. Sesuai namanya, masjid ini dibangun untuk menampung warga kota menjalankan ibadah shalat Jumat. Jangan heran jika bangunannya adalah yang terbesar di Derbent pada masa itu.
Akibat gempa pada abad akhir ke-14, masjid tertua di Rusia ini mengalami kerusakan parah sehingga dilakukan restorasi besar-besaran. Sayang sekali selama berlangsungnya kampanye ateis pada 1930-an, masjid ini ditutup. Bahkan beralih fungsi menjadi penjara kota.

Fungsinya sebagai tempat ibadah baru dipulihkan pada pertengahan abad ke-20 yang sekaligus menandai pemulangannya kepada Dewan Ulama Derbent. Sekarang masjid megah ini dimasukan UNESCO dalam daftar Warisan Budaya Dunia.

Kerajaan Selaparang (nusa tenggara)


Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pada masa lampau pusat kerajaan ini berada di Selaparang (sering pula diucapkan denganSeleparang). Secara letak administratif saat ini berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.

Minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan Selaparang. Terutama mengenai awal mula berdirinya. Meski demikian, terdapat beberapa sumber yang bisa ditelusuri. Salah satunya adalah kisah yang tercatat dalam daun Lontar yang menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.

Di dalam daun Lontar tersebut dikatakan bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya), pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang mubaligh dari kota Bagdad, Iraq. Ia bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. 

Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sultan-Sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok. Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sultan-Sultan di Pulau Lombok.

Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya Ghaos Abdul Razak masuk ke Pulau Lombok. Namun, pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). 

Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Beliau pun menetap dan berdakwah di sana. Beliau kemudian menikah dan memiliki tiga orang anak, yakni; Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut; Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik; dan Syarifah Qomariah atau yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.

Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang melahirkan dua orang anak, yakni; seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan sebutan Syaikh ‘Abdul Rahman) atau disebut pula dengan Ghaos Abdul Rahman; dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki pula dengan Denda Rabi’ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.

Nah, sampai di sini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak. Keduanya sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam. Kemudian diyakini menjadi cikal bakal Sultan-Sultan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang. 

Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah: Mungkinkah keduanya adalah satu orang yang sama? Mungkinkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu adalah Ghaos Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos Abdul Rahman. Hal itu masih dimungkinkan. Mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda di tempat yang berbeda.

Kejayaan Selaparang

Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah mereka sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus merelakan salah satu wilayahnya jatuh ke tangan Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadi peperangan di laut.

Di samping itu, laskar lautnya juga pernah mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi. Akan tetapi dalam dua kesempatan pertempuran tersebut, tentara Gelgel dapat dikalahkan dan menjadi tawanan dengan jumlah yang cukup besar.

Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, ke sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa; dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. 

Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang juga memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi. Bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.

Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. 

Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sultan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.

Keruntuhan Selaparang

Sekalipun Selaparang unggul saat melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan kota Mataram sekarang ini.

Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan Selaparang.

Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.

Segala upaya dilakukan untuk mengatasi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat; yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem, serta gangguan keamana dari bangsa asing, terutama Belanda. Namun secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas memutuskan untuk pergi. Kepergiannya ditenggarai perselisihan paham dengan raja Kerajaan Selaparang soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.

Akibat dari perselisihan tersebut, akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali). Pada saat itu mereka sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang. 

Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.

Sejarah Kerajaan Sumenep


Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.

Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.

Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural, selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.

JAMAN PEMERINTAH KERAJAAN ARYA WIRARAJA
Arya Wiraja (Banyak Wide) dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. 

Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun.

Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :

- Mendirikan Majapahit bersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa (masa Awal Mojopahit) 

Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang. 

Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga. 

Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. 

Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).

PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)

Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole dan adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). 

Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.

Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. 

Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.

Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. 

Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.

RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD

Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.

Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci Bindara Saod, bahkan merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton lalu mengayunkan pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. 

Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. 

Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.

PANEMBAHAN SOMALA

Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). 

Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.

Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo Kabupaten. 
Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.

SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT

Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. 

Sultan Abdurrachman Pakunataningrat mendapat gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu. 

Beliau memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai membuat senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, serta ahli dalam ilmu kanuragan dan agama. Demikian juga beliau sangat mahir membuat Keris Pusaka. 
oleh karena itu ia sangat disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep sampai sekarang.

Asta Tinggi adalah kawasan pemakaman khusus para Pembesar/Raja/Kerabat Raja yang teletak di kawasan dataran tinggi bukit Kebon Agung Sumenep. Dalam Bahasa Madura, Asta Tinggi disebut juga sebagai Asta Rajâ yang bermakna makam para Pangradjâ (pembesar kerajaan) yang merupakan asta/makam para raja , anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar tahun 1750M. Kawasan Pemakaman ini direncanakan awalnya oleh Panembahan Somala dan dilanjutkan pelaksanaanya oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I dan Panembahan Natakusuma II
Kawasan Asta Induk, terdiri dari :

Kubah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro ( Bendoro Saod ),
Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III ( Pangeran Akhmad atau Pangeran Djimat ) , yang kubahnya tersebut berasal dari Pendopo Kraton Pangeran Lor/Wetan,
Pangeran Pulang Djiwo yang kubahnya tersebut juga berasal dari Kraton Pangeran Lor/Wetan,
Pemakaman Istri-istri serta selir Raja-Raja Sumenep,
2. Kawasan Makam Ki Sawunggaling Konon diceritakan bahwa K. Saonggaling adalah pembela Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bendoro Moh. Saod) pada saat terjadinya upaya kudeta/perebutan kekuasaan oleh Patih Purwonegoro),

3. Kawasan Makam Patih Mangun,

4. Kawasan Makam Kanjeng Kai/Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I),

5. Kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo / Moh. Saleh, dimana beliau tersebut pada masa hidupnya menjabat sebagai Patih pada Pemerintahan Panembahan Somala danSultan Abdurrahman Pakunataningrat I,

6. Kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep,

7. Kawasan Makam Raden Wongsokoesomo.

Arsitektur Makam dalam kompleks ini sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan yang berkembang pada masa Hindu. Hal tersebut dapat dilihat dari penataan kompleks makam dan beberapa batu nisan yang cenderung berkembang pada masa awal islam berkembang di tanah Jawa dan Madura. Selain itu pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Tiongkok terdapat pada beberapa ukiran yang berada pada kubah makam Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, makam Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III dan makam Pangeran Pulang Djiwo.


Selain itu pengaruh Arsitektur Eropa mendominasi bangunan kubah makam Sultan Abdurrhaman Pakunataningrat I dan Makam Patih Mangun yang ada di luar Asta induk. Dalam kawasan kubah makam Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I, Seluruh bangunnannya dipengaruhi gaya arsitektur klasik, kolom-kolom ionic masih dipakai dibeberapa tempat termasuk juga pada Kubah Makamnya.

Keberadaan Makam Pahlawan Nasional "Pangeran Dipenogoro" di Kawasan Kompleks makam Asta Tinggi dijelaskan dalam Babad Sumenep yang ditulis oleh R. Werdhisasta sebagai berikut :

Kaotja’a radji patmèna Soltan èngghâpanèka pottrèna Kyaè Adipati Soeroadimenggolo, Boepatè Samarang ; mèlaèpon nalèka perrang Dhipanaghârâ, serrèng Kandjeng Soltan aperrang sareng bhâlâ-bhâlâna dhibi’ dâri Samarang, sè padâ noro’ dâ’ Pangèran Dhipanaghârâ. Abiddhâ Kandjeng Soltan Songennep sè aperrang è Djhoekdjakarta 19 boelân, pas ghoebhâr ka Songennep. Dhinèng bhâlâ pandjhoeriddhâ èdhingghâl è Djhoekdjâ kantos saoboessa perrang. Sè dhâddhi kapalana pandjhoerit Songennep èngghâpanèka tra-pottrana kandjeng Soltan, bânnja’na kaempa :

Pangèran Koesoema Senaningalaga, Kolonel Commandant pandjhoerit Songennep,
Pangèran Koesoema Sinrangingrana, Luitenant Kolonel Infanterie,
Pangèran Koesoema Soerjaningjoeda, Majoor Artilerie (èsebboet Pangèran Marijem ),
Pangèran Tjandranimprang, Majoor Cavalerie.
Abiddhâ perrang è Djhoekdjakarta 5 taon, oboessa ètaon 1830. Pangèran Dhipanaghârâ èallè dâ’ Songennep ................


Selain petikan babad tersebut, dijlaskan juga bahwa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I pernah memberi wasiat kepada seluruh keturunan abdi dalem keraton dan para sentana keraton Songennep, dengan memberikan nama kepada para penjaga Asta Tinggi seperti Kaji Sèngnga, Kaji Buddhi, Kaji Nangger, Kaji Makam, Kaji Jhâjâbângsa, Kaji Jhâjâaddur, Kaji Sekkar, dan Kaji Langghâr. Bilama nama-nama tersebut dirangkai dirangkai maka akan terjadi suatu kalimat yg berbunyi sebagai berikut : “Sènga’ sopajâ èkatao-è, jhâ’ è buḍina Asta tèngghi arèya baḍa bungkana nanggher, è seddhi’na nanggher bâḍâ kobhurânna orèng sè abillai kajhâjâ-ân bhângsa tor abhillai agâma. Ngarep sopajâ èsekkarè (diziarahi), mon ta’ sempat, kèbâ kèyaè soro duwâ’âghi”.

yang artinya :

Awas, supaya diketahui, bahwasanya dibelakang Asta Tinggi ini ada sebatang pohon angger dan disebelahnya ada kuburan seseorang yang membela kejayaan bangsa dan agama. Mohon supaya diziarahi, dan bilamana tidak sempat, bawalah seorang kiyai untuk didoakan.

Disebutkan dalam buku Perjalanan dari Soengenep ka Batawi, karya Raden Sastro Soebrata terbitan Balai Pustaka tahun 1920. Konon memuat cerita, bahwa kawasan makam asta tinggi pernah dilakukan pengeboman jarak jauh (dari atas kapal laut di Kalianget) oleh tentara Inggris karena mengira bahwa bangunan tersebut adalah istana kerajaan. Namun, pengeboman tersebut tidak sampai menghancurkan asta tinggi karena jatuh di luar kawasan.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...