Minggu, 31 Oktober 2021

Janganlah Sholat Dengan Ngebut


Sebuah fenomena yang memprihatinkan, ketika seseorang sedemikian tangkas dan cekatannya menyelesaikan sholat dalam waktu yang demikian singkat, sehingga seakan-akan dengan semakin beranjaknya usia merambat, semakin tinggi ‘jam terbangnya’, semakin terlatih pula ia menyelesaikan sholat dengan catatan waktu tercepat. Subhaanallaah…!

Semangat beribadah yang tinggi pada seseorang sering dijadikan sebagai sarana olahraga alternatif karena dengan kecepatan di atas rata-rata, amalan sholat-yang seharusnya demikian suci dan mulya- menjadi lebih mirip gerakan-gerakan senam tempo tinggi. Maasyaa Allaah !

Sering pula bacaan AlFatihah dan surat yang dibaca imam demikian cepatnya, sehingga sang imam tidak merasa perlu untuk ‘menghidangkan’ bacaan tartil yang menghantarkan makmum pada kekhusyu’an. Sang imam juga tidak merasa terbebani untuk memperdengarkan bacaan tersebut karena memang yang ada dalam benaknya adalah sesegera mungkin menyelesaikan rutinitas tersebut.

Saudaraku kaum muslimin, fenomena yang dipaparkan di atas bukanlah suatu hal yang mengada-ada. Fenomena yang menyedihkan dan merupakan musibah tersebut masih banyak ‘mewarnai’ lingkungan kita. Bukan hanya pada lingkungan orang-orang awam, di lingkungan pondok pesantren pun bukan suatu hal yang asing jika kita dapati seorang imam mengimami sholat dengan kecepatan yang tinggi. Terlebih lagi pada sholat-sholat sirriyah saat Imam tidak memperdengarkan bacaan-bacaan Qur’annya kepada makmum. Belum sempat makmum menunaikan gerakan ruku’, sang imam sudah i’tidal, kemudian sujud ‘ala kadarnya’ seperti seekor gagak atau ayam yang mematuk biji-bijian. Subhaanallaah!

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ اْلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُوْدِهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍٍ يَنْقُرُ صَلاَتَهُ كَمَا يَنْقُرُ الْغُرَابُ الدَّمَ مَثَلُ الَّذِيْ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَيَنْقُرُ فِيْ سُجُوْدِهِ مِثْلُ اْلجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَانِ لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا

“ Dari Abu Abdillah al-Asy’ari radliyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya, dan waktu sujud (dilakukan cepat seakan-akan) mematuk dalam keadaan dia sholat. Maka Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati di luar agama Muhammad. Ia sujud seperti burung gagak mematuk makanan. Perumpamaan orang ruku’ tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti orang kelaparan makan sebiji atau dua biji kurma yang tidak mengenyangkannya “(H.R Abu Ya’la,al-Baihaqy, at-Thobrony, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَانِيْ خَلِيْلِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ أَنْقُرَ فِيْ صَلاَتِيْ نَقْرَ الدِّيْكِ وَأَنْ أَلْتَفِتَ إِلْتِفَاتَ الثَّعْلَبِ وَ أَنْ أُقْعِيَ إِقْعَاءَ الْقِرْدِ

“ Dari Abu Hurairah beliau berkata : “Sahabat dekatku, (Nabi Muhamamd shollallaahu ‘alaihi wasallam) melarangku sujud dalam sholat (dengan cepat) seperti mematuknya ayam jantan, melarangku berpaling (ke kanan atau ke kiri) seperti berpalingnya musang, dan melarangku duduk iq-aa’ seperti kera “(H.R Thayalisi, Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah)

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِيْ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ لاَ يَتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا

“ Seburuk-buruk pencuri adalah seseorang yang mencuri dari sholatnya. (Para Sahabat bertanya) : Bagaimana seseorang bisa mencuri dari sholatnya? (Rasul menjawab) : ‘ Ia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya “ (H.R Ahmad dan At-Thobrony, al-Haitsamy menyatakan bahwa para perawi hadits ini adalah perawi-perawi hadits shohih, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Haakim)

Ketika melakukan Ibadah Shalat, baik munfarid maupun berjamaah hendaklah dilakukan dengan khusuk, tuma’ninah, dan sakinah (tidak tergesa-gesa). Sebagaimana sabda Rasul saw. :

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ قَالَ ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا فَرَآنَا حَلَقًا فَقَالَ مَالِي أَرَاكُمْ عِزِينَ قَالَ ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا قَالَ يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ

Dari Jabir bin Samurah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah mendatangi kami, lalu beliau bersabda, ‘Aku melihat kalian mengangkat tangan seperti ekor kuda yang berjemur. Tenanglah saat shalat'” Kata Jabir, “Kemudian Rasulullah SAW mendatangi kami lagi saat kami sedang bergerombol. Lalu beliau bersabda, ‘Aku tidak melihat kalian berpecah-belah’.” Kata Jabir, “Kemudian Rasulullah SAW keluar lagi kepada kami seraya bersabda, ‘Mengapa kalian tidak berbaris sebagaiamana para malaikat berbaris di sisi Tuhan mereka?’ Lalu kami bertanya, ‘Ya Rasulullah! Bagaimana para malaikat berbaris di sisi Tuhan mereka?’ Beliau menjawab, Mereka menyempurnakan shaf depan dan meluruskan serta merapatkan shafnya’ {Muslim 2/29, 132, Bab Perintah Tenang Dalam Shalat}

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( إِذَا سَمِعْتُمْ اَلْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى اَلصَّلَاةِ, وَعَلَيْكُمْ اَلسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ, وَلَا تُسْرِعُوا, فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا, وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila engkau telah mendengar qomat, maka berjalanlah menuju sholat dengan tenang dan sabar, dan jangan terburu-buru. Apa yang engkau dapatkan (bersama imam) kerjakan dan apa yang tertinggal darimu sempurnakan.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari, dalam Bulughul Maram hadits No. 446).

Sebaliknya bagi orang yang shalatnya tergesa-gesa, oleh Rasulullah saw. ia ditegur dan disuruh untuk mengulang lagi shalatnya. Sebagaimana hadits berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ يَوْمًا ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ يَا فُلَانُ أَلَا تُحْسِنُ صَلَاتَكَ أَلَا يَنْظُرُ الْمُصَلِّي إِذَا صَلَّى كَيْفَ يُصَلِّي فَإِنَّمَا يُصَلِّي لِنَفْسِهِ إِنِّي وَاللَّهِ لَأُبْصِرُ مِنْ وَرَائِي كَمَا أُبْصِرُ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, ”Pada suatu hari Rasulullah shalat bersama kami. Setelah shalat beliau berpaling seraya bersabda, ‘Wahai Fulan! Mengapa kamu tidak memperbaiki shalatmu? Mengapa orang yang shalat tidak memperhatikan bagaimana dia melakukan shalat? Sesungguhnya dia shalat untuk dirinya sendiri. Demi Allah, sesungguhnya aku dapat melihat apa yang ada di belakangku sebagaimana aku bisa melihat apa yang ada di hadapanku.” {Muslim 2/27}

Dalam Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memerintahkan kepada orang yang “ngebut” shalatnya untuk mengulangi shalatnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ « إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا »

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

Maka wajib bagi kita untuk mengerjakan sholat dengan thuma’ninah dan tidak tergesa-gesa karena hal tersebut merupakan salah satu rukun sholat, yang jika tidak terpenuhi menyebabkan batalnya sholat. Dalam hadits di atas Rasulullah memerintahkan kepada seseorang tersebut untuk mengulangi sholatnya.

Mari kita kerjakan sholat dengan tenang dan nikmatilah! Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk mempersembahkan amal ibadah yang terbaik kepadaNya, dan menjadikan sholat sebagai sarana penyejuk jiwa, penjernih kalbu, pelapang dada, penghilang kesedihan dan yang mampu mendatangkan ketenangan batin, sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan :

جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصّلاَةِ

“ Dijadikan penyejuk jiwaku ada dalam sholat”(H.R Ahmad dan AnNasaa’i).

Dalam keadaan berjama’ah untuk imam dan makmum sebaiknya diperhatikan keterangan-keterangan berikut :

Orang yang Lebih Berhak Menjadi Imam

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Dari Abu Mas’ud Al Anshari RA, dia berkata,“Rasulullah SAW bersabda, Imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca dan memahami kitab Allah. Kalau mereka setara dalam qira’ah {membaca dan memahami Al Quran}, maka imamnya adalah orang yang paling banyak mengetahui Al Hadits. Kalau mereka setara dalam mengetahui hadits, maka imamnya adalah orang yang lebih awal hijrahnya. Kalau mereka sama-sama dalam berhijrah, maka imamnya adalah orang yang lebih awal islamnya. Janganlah sekali-kali orang menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain. Janganlah seseorang duduk di rumah orang lain pada tempat yang dimuliakan, kecuali atas izinnya’ {Muslim 2/133}

Imam agar Meringankan Bacaan Shalat

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ فِي مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّ مِمَّا غَضِبَ يَوْمَئِذٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ

Dari Abu Mas’ud Al Anshari RA, dia berkata, “Ada seorang pria menjumpai Rasulullah SAW sambil berkata, ‘Kami pasti telat dalam melaksanakan shalat Subuh karena imamnya si Fulan yang memperpanjang shalat.” Kata Abu Mas’ud, ‘”Saya sama sekali tak pernah melihat Nabi SAW marah dalam memberi nasihat kecuali pada hari itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Wahai seluruh manusia! Sungguh di antara kalian terdapat orang-orang yang suka mempersulit. Maka siapa saja yang menjadi imam hendaklah tidak memanjangkan shalat, sebab di belakangnya terdapat orang-orang tua. lemah dan orang yang mempunyai hajat’{Muslim 2/42-43}

عَنْ جَابِرٍ قَالَ صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الْأَنْصَارِيُّ بِأَصْحَابِهِ صَلَاةَ الْعِشَاءِ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ لَهُ مُعَاذٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا صَلَّيْتَ بِالنَّاسِ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ

Dari Jabir, ia berkata, “Mu’adz bin Jabal Al Anshari melakukan shalat Isya bersama para sahabatnya, lalu dia memperpanjang (bacaan shalatnya). Kemudian ada seorang di antara kami yang keluar lalu shalat sendiri. Hal itu dikabarkan kepada Mu’adz, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya dia adalah seorang yang munafik’. Dan ketika hal ini diketahui oleh laki-laki tersebut, ia mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang dikatakan Mu’adz. Rasulullah SAW bersabda, ‘Apakah kamu ingin menjadi penyebar fitnah, wahai Mu’adz? Apabila kamu shalat dengan orang banyak (menjadi imam), maka bacalah; Wasy-syamsi wa dhuhaha(Surah Asy-Syamsy), Sabbihis maa rabbikal ‘alaa (Surah Al A’laa), dan wallaili idza yaghsya,(Surah Al-Lail ), serta iqra’bismirabbika (Surah Al A’laq)’.” Shahih: Shahih Ibnu Khuzaimah(1633). Muslim (2/42).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوجِزُ وَيُتِمُّ الصَّلَاةَ

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW meringkas dan menyempurnakan shalat.” Shahih: Muttafaq alaih.

Imam adalah orang yang diridhoi oleh makmum

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُقْبَلُ لَهُمْ صَلَاةٌ الرَّجُلُ يَؤُمُّ الْقَوْمَ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ …

Dari Abdullah bin Amru, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “”Ada tiga golongan yang shalat mereka tidak diterima; orang yang mengimami satu kelompok sementara mereka tidak menyukainya…” (Shahih Sunan Ibn Majah, 2/115).

Imam bertanggungjawab atas makmumnya

حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمٍ قَالَ كَانَ سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ السَّاعِدِيُّ يُقَدِّمُ فِتْيَانَ قَوْمِهِ يُصَلُّونَ بِهِمْ فَقِيلَ لَهُ تَفْعَلُ وَلَكَ مِنْ الْقِدَمِ مَا لَكَ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْإِمَامُ ضَامِنٌ فَإِنْ أَحْسَنَ فَلَهُ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاءَ يَعْنِي فَعَلَيْهِ وَلَا عَلَيْهِمْ

Dari Ibnu Hazim, ia berkata, “Sahal bin Sa’ad As-Sa’idi menunjuk seorang anak muda untuk menjadi imam shalat bersama mereka, lalu dikatakan kepada Abu Hazim, ‘Kamu melakukan hal itu, sedangkan kamu lebih dahulu masuk Islam, mengapa?'” Kemudian ia menjawab, “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasululah SAW bersabda, ‘Imam itu orang yang bertanggungjawab. Apabila dia baik, maka kebaikan itu baginya dan bagi mereka. Tetapi apabila dia jelek, maka kejelekannya hanya untuk dirinya dan bukan untuk mereka’. ” Shahih: Ar-Raudh (1076-1080), Ash-Shahihah (1767).

Bila Imam mengamalkan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya, sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّمَا جُعِلَ اَلْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ, فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا, وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا, وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ, وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اَللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, فَقُولُوا: اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ اَلْحَمْدُ, وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا, وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ….

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka apabila ia telah bertakbir, bertakbirlah kalian dan jangan bertakbir sebelum ia bertakbir. Apabila ia telah ruku’, maka ruku’lah kalian dan jangan ruku’ sebelum ia ruku’. Apabila ia mengucapkan (sami’allaahu liman hamidah) maka ucapkanlah (allaahumma rabbanaa lakal hamdu). Apabila ia telah sujud, sujudlah kalian dan jangan sujud sebelum ia sujud. … (Bulughul Maram, no. 430).

Ibnu Hajar berkata, "Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam"  (Fathul Baari 2/178)

Berkata An-Nawawi : "Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku', sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku' setelah imam mulai ruku' dan sebelum imam berdiri dari ruku'. Jika ia menyertai imam (dalam ruku'-pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal. Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk memisahkan diri dari jama'ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini..." (Al-Minhaaj 4/131)

An-Nawawi juga berkata, "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi'i dan sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.

Malik dan Abu Hanifah radhiallahu 'anhumaa dan para ulama yang lain berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu 'anhu- dan para ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kdua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu'adz tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu'adz dan wajib di sisi kaumnya.

Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi'i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah ruku', takbir, bangkit dari ruku' dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku' juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.

Jika seseorang melakukan sholat dengan tidak thuma’ninah lantaran cepatnya bacaan dan gerakan dalam sholatnya, maka sholatnya tidak sah dan ia harus mengulanginya.
Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam hadits berikut ini :

عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَمِّهِ وَكَانَ بَدْرِيًّا قَالَ كُنَّا جُلُوْسًا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيْفَةً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعًا وَلاَ سُجُوْدًا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمُقُهُ وَنَحْنُ لاَ نَشْعُرُ قَالَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : (أَعِدْ فَإِنَّكَ لمَ ْتُصَلِّ) قَالَ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ لَهُ : (أَعِدْ فَإِنَّكَ لمَ ْتُصَلِّ) فَلَمَّا كَانَ فِي الرَّابِعَةِ قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلِّمْنِي فَقَدْ وَاللهِ اجْتَهَدْتُ فَقَالَ : (إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَاسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ ثُمَّ كَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتىَّ تَطْمَئِنَّ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتىَّ تَطْمَئِنَّ ثُمَّ اجْلِسْ حَتىَّ تَطْمَئِنَّ جَالِسًا فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُكَ وَمَا نَقَصَتْ مِنْ ذَلِكَ نَقَصَتْ مِنْ صَلاَتِكَ

“Dari Ali bin Yahya bin Khallad dari bapaknya dari pamannya yang merupakan Ahli Badar ia berkata: “Kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam lalu masuklah seorang laki-laki dan mengerjakan sholat dengan ringan, ia tidak menyampurnakan rukuk dan sujud. Dan tanpa kami sadari ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengawasinya. Setelah orang itu sholat lalu ia menghampiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan menyalami beliau. Beliaupun bersabda: “Ulangi (sholatmu) karena sesungguhnya engkau belum sholat. Pada kali yang keempat ia berkata: “Hai Rasulullah ajarilah aku, karena sungguh aku sudah berusaha (sebaik mungkin). Lalu beliau bersabda; “Jika engkau hendak sholat maka menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah kemudian bacalah (Al Qur’an) kemudian rukuklah hingga engkau thuma’ninah dalam rukukmu, kemudian bangunlah hingga engkau berdiri dengan thuma’ninah, kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu, kemudian duduklah hingga engkau thuma’ninah dalam dudukmu, jika engkau telah melakukan demikian maka telah sempurnalah sholatmu, jika tidak maka berkuranglah nilai sholatmu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 1/321)

Hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari No 760 dan Muslim No 911 melalui jalur Abu Hurairah.

Karena itu, dalam posisi sebagai makmum, apapun keadaannya, seseorang harus mengikuti semua gerakan imam, meskipun bisa jadi, dia belum menyelesaikan bacaannya. Kecuali, jika imam melakukan pembatal shalat dan makmum mengetahuinya. Misalnya: Imam kentut dan didengar makmum, atau imam tidak thumakninah (gerakannya terlalu cepat), sehingga ruas-ruas tulang belum menempati posisi yang sempurna untuk masing-masing rukun. Dalam kondisi semacam ini, makmum disyariatkan untuk mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah), kemudian shalat sendiri.

Tentang niat mufaroqoh (memisahkan diri) seorang makmum dari imam lalu dia menyelesaikan shalatnya sendirian baik karena adanya uzur atau tidak maka ini boleh meskipun makruh menurut para ulama Syafi’i karena ia memisahkan diri dari berjama’ah yang merupakan kewajiban atau sunnah yang muakkad.

Sedangkan menurut para ulama Hambali bahwa mufaroqoh dibolehkan jika terdapat uzur. Sedangkan jika tidak terdapat uzur didalamnya maka dalam hal ini terdapat dua riwayat, pertama : shalat orang yang mufaraqoh itu tidak sah, pendapat inilah yang benar. Kedua : shalatnya sah.

Para ulama Syafi’i mengecualikan pada shalat jum’at…

Diantara perkara-perkara yang dikatakan uzur seperti : panjanganya bacaan imam, meninggalkan salah satu sunnah shalat seperti tasyahhud awal, qunut—maka dirinya boleh mufaroqoh dengan mengerjakan sunnah itu—atau sakit, khawatir dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu yang merusak shalatnya, takut hartanya hilang atau rusak, ketinggalan rombongan, atau terdapat orang yang meninggalkan shaff lalu tidak ada orang menggantikannya untuk berdiri disampingnya.

Dalil mereka adalah apa yang disebutkan didalam ash shahihain,”Bahwa Muadz melaksanakan shalat isya bersama para sahabatnya dan ia memanjangkan (bacaannya) lalu terdapat seorang laki-laki yang keluar (dari shaff) dan mengerjakan shalat. Kemudian Muadz mendatangi Nabi saw dan menceritakannya dan Rasulullah saw pun marah dan mengingkari apa yang dilakukan Muadz dan beliau saw tidak mengingkari apa yang dilakukan lelaki itu serta beliau saw tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”

Para ulama Hanafi mengatakan bahwa boleh seorang makmum melakukan salam sebelum imam meski hal itu makruh, akan tetapi mereka tidak mempebolehkan melakukan mufaroqoh. Sedang para ulama Maliki mengatakan barangsiapa yang bermakmum dengan seorang imam maka tidak boleh baginya melakukan mufaroqoh. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II 1227)

Jadi mufaroqoh yang anda lakukan ketika terdapat uzur termasuk bacaan imam yang tidak baik dalam al Fatihah diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Meskipun hal itu diperbolehkan akan tetapi apabila dilakukan terus menerus tentunya akan menjadi perhatian para makmum lain yang ada di sekitar anda bisa jadi diantara mereka terdapat orang-orang awam yang tidak memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat secara baik sehingga dikhawatirkan memunculkan fitnah karena ketidaktahuan mereka.

Untuk itu ada baiknya anda mengingatkan permasalahan ini kepada imam tersebut dengan cara yang penuh hikmah dan bijaksana serta sebisa mungkin dilakukan secara sembunyi antara anda dan dirinya saja dan meminta agar yang bersangkutan memperbaiki bacaannya atau jika tidak bisa agar menyerahkan keimamannya kepada orang yang lebih baik bacaannya.

Jika nasehat atau peringatan yang anda sampaikan kepadanya tidaklah diterima atau dijalaninya sehingga orang itu tetap saja bersikukuh untuk menjadi imam shalat-shalat fardhu di masjid anda sementara kualitas bacaannya masih tidak baik (buruk) maka hendaklah anda mencari masjid lain sekitar rumah anda yang bacaan imamnya baik meski hal itu menjadikan berkurangnya jumlah makmum di masjid tempat anda. Dikarenakan sahnya shalat seseorang didalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas bacaan imam. Oleh karena itu setiap orang bertanggung jawab untuk menentukan siapa imam shalatnya sehingga shalatnya menjadi sah.

Akan tetapi apabila di sekitar rumah anda tidak ada masjid selainnya atau ada namun jaraknya cukup jauh untuk ditempuh maka diperbolehkan bagi anda untuk tetap bermakmum kepada imam di masjid anda yang buruk bacaannya itu dikarenakan keterpaksaan.

Kisah Sayyidah Zainab Binti Ali


Zainab lahir pada 6 H sebagai anak ketiga—setelah Hasan dan Husain—dari pasangan yang mulia, Fathimah binti Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib. Ia tumbuh dalam kehidupan yang mulia walau sederhana. Putri Ali yang juga dikenal sebagai Zainab Al-Kubra ini dilahirkan saat Rasulullah masih hidup.

Menurut para Ahli Tarikh, Sayyidatuna Zainab Al-Kubra mewarisi keberanian, kepahlawanan dan kefasihan dalam berbicara dari ayahandanya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, serta kebajikan, kelembutan, dan pengorbanan dari ibundanya Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra. Sementara dua orang kakak lelakinya, Sayyidina Hasan dan Husein mendapat gelar dari Rasulullah saw sebagai Pemimpin para pemuda Ahli surga.

Seperti ayahandanya, Sayyidatuna Zainab Al-Kubra juga dikenal suka belajar dan mencintai ilmu, itu sebabnya, pandangannya dalam ilmu dan makrifat cukup mendalam. Berkat kecerdasannya itu pula, beliau dijuluki Aqilah Bani Hasyim ( wanita cerdas dari Bani Hasyim ).

Menjelang dewasa, Sayyidatuna Zainab Al-Kubra menyaksikan sebuah tragedy, yang mendorongnya berkewajiban menyelamatkan Ahlul Bait ( keturunan Rasulullah saw ). Ketika Sayyidina Husein, kakaknya gugur syahid dipancung dalam perang Karbala. Bersama para wanita dan anak-anak, Sayyidatuna Zainab meronta, merintih dan menjerit dibawah langit Karbala yang menghitam oleh mendung.

Jauh sebelumnya, Allah swt sudah mengisyaratkan nasib Sayyidatuna Zainab kepada kakeknya, Rasulullah saw. Kala itu pada hari tertentu, Rasulullah saw sering menciumi wajah wajah mungil si kecil Zainab dengan isak tangis tertahan dan linangan air mata. Terbayang oleh Rasulullah saw penderitaan cucunda tercinta itu. Di sela-sela kegembiraan dan rasa bahagia atas kelahiran Sayyidatuna Zainab, para sahabat melihat suasana mendung di rumah Rasulullah saw.

Kemulian Ahlul Bait

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ زَكَرِيَّاءَ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ شَيْبَةَ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ قَالَتْ عَائِشَةُ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ جَاءَ الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جَاءَ عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin 'Abdillah bin Numair dan lafazh ini milik Abu Bakr keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr dari Zakaria dari Mush'ab bin Syaibah dari Shafiyyah binti Syaibah dia berkata; 'Aisyah berkata; "Pada suatu pagi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari rumahnya dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Tak lama kemudian, datanglah Hasan bin Ali. Lalu Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Kemudian datanglah Husain dan beliau pun masuk bersamanya ke dalam rumah. Setelah itu datanglah Fatimah dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Akhirnya, datanglah Ali dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Lalu beliau membaca ayat Al Qur'an yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya." (Al Ah zaab: 33). {{H. R. Muslim, Kitab : Keutamaan sahabat, Bab : Keutamaan Ahli Bait Nabi saw, no. Hadist : 4450}

Kelahiran Sang Srikandi Karbala

Kebahagian menyelemuti segenap kaum muslimin berkat kemenangan pada waktu perang Badar, namun kebahagian ini seakan sirna dalam sekejap ketika salah seorang putri nabi yang bernama Zainab binti Muhammad mengalami peristiwa yang tragis, Zainab menghembuskan nafasnya yang terakhir diperjalanan dari Mekah menuju Madinah al-Munawwarah untuk menetap disana bersama keluarganya. Diperjalanan rombongan putri rasulallah SAW diikuti kaum musyrikin Mekah dan salah seorang diantara mereka mengancam Zainab dengan tombak sehingga mengejutkan unta yang dikendaraainya. Ia pun terjatuh dari unta,  naas hijrahnya ke Madinah merupakan perjalanannya yang terakhir dan perjalanan yang abadi menuju sisiNya. Ia meninggal disebabkan pendarahan akibat mengalami keguguran kandungan yang baru berusia beberapa bulan. Alangkah sedihnya Nabi Muhammad SAW, harus merelakan putrinya dan calon cucunya mendahuluinya menghadap sang ilahi. Mendung nestafa dan duka menaungi keluarga Nabi Muhammad SAW sampai akhirnya.........adiknya Zainab, yakni Fatimah az-Zahra melahirkan puterinya yang pertama, sebagai mengingat kenangan manis terhadap putrinya Zainab yang telah mendahuluinya maka sang kakek memberi nama pada cucu perempuannya yang pertama dengan nama Zainab. Mendung nestafa dan duka berlahan-lahan dihembuskan oleh angin kegembiraan dengan hadirnya keluarga baru ditengah Nabi Muhammad SAW yakni Zainab yang dilahirkan pada tahun enam hijriyah.

Ketika Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW menangis untuk pertama kalinya sebagai sapaan kepada dunia, alam sebagai ayat kauniyah Ilahi memberikan satu tanda lewat mendung yang menyungkup langit Madinah sebagai pertanda akan terjadi satu peristiwa yang besar yang mengiringi kehidupan Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW. Kita ingat bagaimana sang mega menaungi Muhammad ketika beliau berniaga kenegeri Syam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.

Ahli sejarah dan ahli kebatinan menegaskan bahwa mendung tersebut sebagai pertanda bahwa sosok Zainab kelak akan menjadi salah satu orang yang mulia yang akan mengarungi kehidupan dengan penuh kegetiran  cobaan dan hinaan sebagaimana kakeknya sendiri. Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW menjadi saksi sejarah pembantaian ahlul bait, cucu, cicit Nabi Muhammad SAW oleh umatnya sendiri. Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW tampil sebagai Srikandi Karbala yang mengobarkan semangat perjuangan lewat retorikanya yang indah luar biasa. Untaian mutiara lewat tutur katanya yang menjadikan malapetaka di Karbala sebagai malapetaka yang abadi dan menjadikan tanggal tragedinya sebagai tanggal berkabung tahunan, tanggal nestafa dimana kesedihan dan penderitaan ahlul bait diresapi dan dihayati oleh sebagian besar umat islam dengan berbagai bentuk penghayatan yang memiliki nilai-nilai pengorbanan, penderitaan dan penghinaan. Ya... lewat Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW  lah tragedi Karbala menjadi salah satu tragedi yang kekal tak lekang ditelan zaman.

Beban Derit Masa Kecil Srikandi Karbala

Masa kecil Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, dilaluinya dengan penuh kebahagian dibawah pengawasan dan limpahan kasih sayang kedua orang tuanya dan kakeknya sang insanul kamil Muhammad, namun kebahagian itu begitu cepat berlalu, hanya sekejap kebahagiannya bersama sang kakek tercinta, mereka dipisahkan oleh sang maut, hanya lima tahunan Zainab merasakan belaian kasih sayang dari kakeknya setelah itu ia tidak pernah lagi merasakan belaian kasih sayang dari sang kakek, kesedihan Zainab semakin memuncak hanya berkisar sekitar enam bulan dari kepergian sang kakek, ibunda tercinta Fatimah az-Zahra menyusul  sang kakek untuk selamanya. Fatimah setelah kepergian ayahanda tercinta selalu dirundung kesedihan dan tinta pilu sejarah mencatat setelah kepergian Nabi, Fatimah selama kurun waktu menjelang kewafatannya tidak pernah tersenyum. Hari-hari dilalui Fatimah dengan kesedihan yang mendalam, tangisan yang menyayat pilu. Para sejarawan membuat perbandingan sebagai perumpamaan orang-orang mulia yang larut dalam kesedihan yang mendalam. Mereka menghitung bahwa Fatimah sebagai salah seorang dalam tinta sejarah yang teramat sedih, menangis pilu sebagai ungkapan perasaan yang mendalam kepada ayahnya nabi Muhammad saw, selain itu ada Nabi Adam yang menangis karena menyesal memakan buah Khuldi dan melanggar laranganNya, Nabi Nuh menangisi kaummnya yang inkar kepada tuhannya dan ditenggelamkan oleh air bah, Nabi Ya’qub menangis karena rindu kepada putranya Yusuf, Nabi Yahya menangis arena takut akan neraka dan Fatimah menangisi kepergian ayahnya.

Fatimah yang dirundung duka teramat dalam hanya menunggu kedatangan sang pemutus nikmat malaikat maut karena ia telah diberi kabar gembira dari Nabi bahwa ia orang yang pertama dari kalangan keluarga Nabi Muhammad yang akan menyusulnya.

Termaktub dalam riwayat Hadits

حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ حَدَّثَهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا فَاطِمَةَ ابْنَتَهُ فَسَارَّهَا فَبَكَتْ ثُمَّ سَارَّهَا فَضَحِكَتْ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ لِفَاطِمَةَ مَا هَذَا الَّذِي سَارَّكِ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَكَيْتِ ثُمَّ سَارَّكِ فَضَحِكْتِ قَالَتْ سَارَّنِي فَأَخْبَرَنِي بِمَوْتِهِ فَبَكَيْتُ ثُمَّ سَارَّنِي فَأَخْبَرَنِي أَنِّي أَوَّلُ مَنْ يَتْبَعُهُ مِنْ أَهْلِهِ فَضَحِكْتُ

Telah menceritakan kepada kami [Manshur bin Abu Muhazim] Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim] yaitu Ibnu Sa'ad dari [Bapaknya] dari [Urwah] dari [Aisyah] Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb] lafazh ini miliknya Telah menceritakan kepada kami [Ya'qub bin Ibrahim] Telah menceritakan kepada kami [Bapakku] dari [Bapaknya] bahwa [Urwah bin Jubair] Telah menceritakan kepadanya, dari [Aisyah] dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam memanggil Fathimah, anaknya. Beliau membisikinya & ia pun menangis, lalu beliau membisikinya & ia pun tersenyum. Aisyah berkata; Saya bertanya kepada Fathimah; 'Apa yg dibisikkan oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam kepadamu hingga kamu menangis, kemudian beliau berbisik kepadamu & kamu tersenyum?
ia menjawab; Beliau berbisik kepadaku & memberitahuku akan kematiannya, aku pun menangis. Kemudian beliau berbisik kepadaku & memberitahuku bahwa saya adl orang yg pertama kali mengikutinya dari keluarganya maka aku pun tersenyum. [HR. Muslim No.4486].

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ زَكَرِيَّاءَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ فِرَاسٍ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اجْتَمَعَ نِسَاءُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُغَادِرْ مِنْهُنَّ امْرَأَةً فَجَاءَتْ فَاطِمَةُ تَمْشِي كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مِشْيَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَرْحَبًا بِابْنَتِي فَأَجْلَسَهَا عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ إِنَّهُ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيثًا فَبَكَتْ فَاطِمَةُ ثُمَّ إِنَّهُ سَارَّهَا فَضَحِكَتْ أَيْضًا فَقُلْتُ لَهَا مَا يُبْكِيكِ فَقَالَتْ مَا كُنْتُ لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ فَرَحًا أَقْرَبَ مِنْ حُزْنٍ فَقُلْتُ لَهَا حِينَ بَكَتْ أَخَصَّكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِيثِهِ دُونَنَا ثُمَّ تَبْكِينَ وَسَأَلْتُهَا عَمَّا قَالَ فَقَالَتْ مَا كُنْتُ لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا قُبِضَ سَأَلْتُهَا فَقَالَتْ إِنَّهُ كَانَ حَدَّثَنِي أَنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يُعَارِضُهُ بِالْقُرْآنِ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً وَإِنَّهُ عَارَضَهُ بِهِ فِي الْعَامِ مَرَّتَيْنِ وَلَا أُرَانِي إِلَّا قَدْ حَضَرَ أَجَلِي وَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِي لُحُوقًا بِي وَنِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ فَبَكَيْتُ لِذَلِكَ ثُمَّ إِنَّهُ سَارَّنِي فَقَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ تَكُونِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ أَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الْأُمَّةِ فَضَحِكْتُ لِذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah]; Dan telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Numair] dari [Zakaria]; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami [Ibnu Numair]; Telah menceritakan kepada kami [Bapakku]; Telah menceritakan kepada kami [Zakaria] dari [Firas] dari ['Amir] dari [Masruq] dari ['Aisyah] dia berkata; "Suatu ketika para istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berkumpul tanpa ada seorang pun dari mereka yang tidak hadir saat itu. Tak lama kemudian, datanglah Fatimah dengan berjalan kaki yang mana cara jalannya persis dengan cara jalannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika melihatnya, maka beliau pun menyambutnya dengan mengucapkan: "Selamat datang hai puteriku yang tercinta!" Setelah itu beliau mempersilahkannya untuk duduk di sebelah kanan atau di sebelah kiri beliau. Lalu beliau bisikkan sesuatu kepadanya hingga ia (Fatimah) menangis tersedu-sedu. kemudian sekali lagi Rasulullah pun membisikkan sesuatu kepadanya hingga ia tersenyum gembira. Lalu saya (Aisyah) bertanya kepada Fatimah; 'Ya Fatimah, Apa yang membuat kamu menangis? Fatimah menjawab; "Sungguh saya tidak ingin menyebarkan rahasia yang telah dibisikkan Rasulullah kepada saya." Aisyah berkata; maka aku katakana; Aku tidak pernah melihat kebahagian yang lebih dekat dengan kesedihan seperti hari ini. Lalu Aku bertanya kepadanya ketika dia menangis; Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengistimewakanmu dari kami dengan ucapannya, hingga kamu menangis? Aku bertanya terus tentang apa yang diucapkan Rasulullah kepadanya, namun dia tetap menjawab; 'Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.' Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia, saya hampiri Fatimah seraya bertanya kepadanya; 'Hai Fatimah, saya hanya ingin menanyakan kepadamu tentang apa yang telah dibisikkan Rasulullah kepadamu yang dulu kamu tidak mau menjelaskannya kepada saya.' Fatimah menjawab; Dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membisikkan sesuatu kepada saya, beliau memberitahukan; "bahwasanya Jibril & beliau biasanya bertadarus Al Qur'an satu kali dalam setiap tahun & kini beliau bertadarus kepadanya (Jibril) sebanyak dua kali. Sungguh aku (Rasulullah) tahu bahwa ajalku telah dekat. Sesungguhnya kamu adl orang yg paling pertama menyusulku dari kalangan ahlul baitku. Sebaik-baik pendahulumu adl aku.' Fatimah berkata; 'Mendengar bisikan itu, maka saya pun menangis. Kemudian ketika Rasulullah berbisik lagi kepada saya: 'Hai Fatimah, maukah kamu menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin atau sebaik-baiknya wanita umat ini?
Lalu saya pun tertawa karena hal itu. [HR. Muslim No.4488].

Akhirnya pesan dari Nabi pun terbukti Fatimah menjadi orang yang pertama menyusul Rasulallah, tinggallah Zainab kecil yang memperhatikan bagaimana sosok ibunya dibaringkan, dikubur dipemakaman Baqi’ sebagaimana hal tersebut terjadi kepada kakeknya, instingnya yang tajam membuat ia mengerti bahwa hari tersebut merupakan hari yang terakhir ia melihat sosok ibunda yang tercinta. Zainab menangis lirih didekapan sang ayah tercinta Ali bin Abi Thalib yang tertunduk sayu menatap gundukan makam isteri yang tercinta, dengan suara lirih sang ayah tercinta Ali bin Abi Thalib mengucapkan salam perpisahan untuk orang yang mereka cintai disaksikan oleh putra dan putri mereka. ‘salamku untukmu ya Rasulallah! Salamku ya isteriku tercinta! dari cucumu dan anak-anakmu. Sungguh teramat berat bagiku menghadapi cobaan ini, belum kering aiar mata menangisi kepergian Zainab, engkau ya Rasulallah berlalu juga menyusul putrimu yang tercina, masih basah gundukkan makam mu ya Rasulallah, Fatimah isteriku yang tercinta pergi untuk selamanya berkumpul dengan kalian ya Rasulallah. Hanya setitik iman dan kesabaranlah yang membuatku mampu bertahan dari cobaan yang teramat berat ini, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik jalan yang terang sebagai pelita untuk kami menghadapi ujian ini, salamku untukmu ya Rasulallah! Salamku ya isteriku tercinta! dari cucumu dan anak-anakmu. Selamat tinggal isteriku yang tercinta, semoga kita akan berkumpul lagi ditempat yang telah ia janjikan’. Dengan langkah yang lesu Ali pulang kerumah diiringi oleh putra-putri mereka, malam berlalu dengan cepat, tiba-tiba Zainab merasakan keadaan yang sunyi, sepi mencekam, tiada terdengar senda gurauan dari ibunda yang tercinta, ia sadar ia telah kehilangan, ditinggalkan sosok yang teramat mengasihinya, yang tinggal hanya secercah kenangan yang manis yang menjadi bunga tidur baginya dan saudara-saudarinya.

Peristiwa-peristiwa yang pilu yang dialami oleh Zainab membuat ia tumbuh menjadi lebih dewasa dibandingkan anak seusianya, ia hadir menjadi sosok ibu bagi Hasan, Husin dan adiknya paling kecil Ummu Kaltsum, ya... ia hadir sebagai ibu yang teramat belia yang berumur kurang lebih sepuluh tahun bagi saudara-saudarinya. Kegetiran hidup yang dialami Zainab menjadikan ia sosok remaja yang tabah, sabar dan penuh kasih sayang bagi saudaranya. Masa remajanya dilewati dengan membimbing, menjaga saudara-saudarinya yang lain sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pesan ibunnya agar ia selalu berada disisi, menemani saudaranya yang lain sepeninggalan ibunya.

Rumah Tangga Zainab

Masa remaja Zainab telah berlalu ia hadir sebagai sekuntum bunga ahlul bait dengan kecantikan yang memukau dan kepribadian yang mulia. Perihal kecantikannya diibaratkan oleh Abdullah bin Abu Ayyub al-Anshary dengan ungkapannya, ‘demi Allah, saya belum pernah melihat wajah seperti Zainab, seolah-olah wajahnya indah bercahaya bak rembulan. Kepribadiannya menyerupai ibunya Fatimah az-Zahra, sabar dalam segala hal lemah-lembut budi perangainya, ketaqwaan dan keluasaan ilmu sebanding dengan ayahnya Ali. Kecerdasan dan keluasaan ilmunya inilah Zainab mendapat gelar ‘Aqilah Bani Hasyim{wanita cerdas dari kalangan bani Basyim}, gelar kehormatan yang ia sandang hingga akhir hayatnya.

Pemuda yang terpilih menyunting sekuntum bunga ahli ba’it adalah Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib bin Abd Muthalib, sosok yang sangat dermawan, pemurah, keturunan dari bani Hasyim, masa kecil Abdullah dihabiskan di Ethiopia atau negeri Habsyah, karena orang tuanya merupakan pemimpin rombongan yang hijrah ke Habsyah  yakni Ja’far bin Abi Thalib. Abdullah tumbuh denga putra mahkota negeri habsyah bahkan putra mahkota tersebut merupakan saudara sepersusuannya. Keeistimewaan Abdullah ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi, ’adapun Abdullah, dia sangat mirip denganku baik dari bentuk fisik maupun perangainya’.

Mereka berdua merupakan  pasangan sejoli yang ideal, dari pernikahan mereka dikarunia tiga orang putra yakni Ja’far, Ali dan ‘Aun serta dua orang puteri yang bernama Ummu kaltsum dan Ummu Abdullah. Perihal dua anaknya yang lelaki dikabarkan meninggal dunia dalam usia yang muda dan hanya menyisakan Ali yang melanjutkan garis keturunan ‘Aqilah sedangkan putrinya Ummu kaltsum menurut riwayat dipinang oleh Khalid bin Yazid bin  Mu’awiyah.    

Bahtera rumah tangga ‘Aqilah dengan Abdullah bin Ja’far tidak berlangsung sampai keakhir hayat, karena ia berpisah dengan Abdullah dengan beberapa alasan yakni keinginannya untuk terus berada disisi saudaranya Husin guna memenuhi wasiat ibunya, kedua Abdullah menikahi Ummu kaltsum bin Ali bin Abi Thalib yang merupakan saudara kandung dari Zainab, setelah Ummu kaltsum berumah tangga dengan Umar bin Khattab yang memperoleh keturunan dengan nama Zaid, sepeninggalan Umar ia dinikahi oleh Muhammad ibn Ja’far, sepeninggalan Muhammad bin Ja’far baru ia dinikahi oleh Abdullah bin Ja’far setelah menceraikan kakaknya Zainab. Alangkah perih dan getirnya kehidupan Zainab.

Peristiwa Karbala

Penderitaan silih berganti menghampiri Zainab, ayahnya Ali ra, menghembuskan nafas yang terakhir karena ditikam dengan kejam oleh Abdurrahman bin Muljam pada waktu melaksanakan sholat shubuh, dengan perasaan yang perih Zainab merelakan kepergian ayahnya dipangkuannya. Ya... khalifah Ali berpulang ke pangkuan ilahi Rabbi setelah peristiwa yang menimpanya, beliau wafat pada tanggal 21 Ramadhan 40 H.

Sembilan tahun kemudian malapetaka kembali menghampiri keluarga ahlil bai’t, Hasan dengan cara yang keji dan licik dibunuh oleh Mu’awiyah dengan perantaraan isterinya yang tergiur oleh kemilau materi dunia, Ja’dah binti Asy’ats ibn Qais tega meracuni suaminya sendiri demi mengejar materi. Untuk kedua kalinya Zainab menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya di atas pangkuannya.

Waktu terus berlalu kini tibalah giliran Husin yang terus-menerus diintai maut setiap saat karena sikap Husin yang tida mau tunduk dan berbait kepada Yazid penerus Mu’awiyah. Suhu politik semakin memanas, keadaan ahlu bait semakin rentan tidak ada sedikitpun perlindungan dari penguasa kota Madinah hanya masyarakatnya yang setia menjaga keamanan ahlul bait keadaan yang tidak memungkin ini membuat Husin berinisiatif hijrah ke Mekah yang diikuti oleh hampir seluruh ahlil bait kecuali Muhammad ibnu Hanafiyah yang tinggal di Madinah karena suatu alasan. Hijrah Husin ke Mekah selain untuk menunaikan ibadah Haji, dia juga ingin menunjukkan sikapnya yang tegas melawan tirani penguasa yang zalim, momentum Haji merupakan saat-saat yang tepat untuk mengingatkan umat agar senantiasa menentang tirani penguasa yang zalim.

Setelah menetap di Mekah sekian waktu rombongan Husin pun bersiap-siap menuju Kufah atas undangan penduduknya yang ingin bergabung dan membai’at Husin sebagai khalifah mereka, namun kenyataan yang terjadi sangat memilukan, penduduk kufah dengan janji-janji semu satu persatu meninggalkan Husin karena alasan takut akan penguasa kufah kala itu. Hingga akhirnya sampailah rombongan ahlul bait di lembah Karbala, lembah kematian, mereka menyongsong maut yang telah diramalkan. Pada tanggal satu Muharram sampailah rombongan dilembah yang disebut Karbala. Imam Husin sendiri menegaskan bahwa Karbala merupakan singkatan dari karb wa bala, tempat kegelisahan dan prahara, nama lain dari karbala adalah Nainawa, al-Ghadiriyah, dan syathiul furat.
 
Ditempat inilah terjadi pembantaian terhadap ahlul bait dan orang-orang yang setia bersama mereka. Rombongan Husin yang terdiri dari tujuh puluh tiga laki-laki dewasa yang siap bertempur menghadapi empat ribu pasukan dibawah pimpinan Umar bin Sa’ad bin abi Waqqash dan gubernur kufah Ubaidullah bin Ziyad ‘alaihim la’natullah.

Peperangan yang tidak seimbang, satu persatu pahlawan karbala gugur sebagai syahid menentang tirani kezaliman hingga yang tersisa hanya panglima Karbala yang gagag berani Husin ra, yang terus mengayunkan pedangnya diantara ribuan musuh-musuh Allah. Hingga pada saat matahari terbenam diufuk barat pada tanggal 10 Muharram 61 H atau 20 Oktober 680 M, Husin ra, roboh berimbah darah dengan keadaan yang mengenaskan dengan kondisi yang tercabk-cabik, 33 bekas tusukan tombak, 34 bekas sabetan pedang dan dengan kondisi kepala yang terpisah dari badan yang dilakukan oleh Syimir bin Dzil Jauzan untuk dipersembahkan sebagai hadiah bagi penguasa zalim.

Dalam satu riwayat ditegaskan, telah bercerita kepadaku Muhammad bin Al Husain bin Ibrahim berkata, telah bercerita kepadaku Husain bin Muhammad telah bercerita kepada kami Jarir dari Muhammad dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu; "'Ubaidullah bin Ziyad disodorkan kepala Al Husain 'alaihis salam (setelah dipenggal orang) maka dia meletakkannya ke dalam baskom kemudian ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya kekepala Husin. {H. R.  Bukhari, Kitab Perilaku Budi Pekerti yang Terpuji, Bab, Sifat Terpuji Hasan dan Husain, no. Hadist: 3465}.

Pada sore hari Asyura ketika Zainab Sa menyaksikan Imam Husain as jatuh di atas tanah dan musuh-musuh berada di sekitar tubuhnya dengan bertujuan membunuhnya, ia keluar dari kemahnya. Ia memanggil Ibnu Sa'ad dengan panggilan yang demikian:

"یابن سَعد! اَیقتَلُ اَبُو عبداللّه وَ انتَ تَنظُرُ اِلَیهِ؟"

"Hai putra Sa'ad! Abu Abdillah akan dibunuh sementara engkau hanya melihatnya?"

Ibnu Sa'ad tidak menjawab sedikitpun. Kemudian Zainab Kubra berteriak:

"وا اخاه! وا سیداه! وا اهل بیتاه! لیت السماء انطبقت علی الارض و لیت الجبال تدكدكت علی السهل"

"Oh saudaraku! Oh pemimpinku! Oh keluargaku! Oh, andai saja langit berbalik jatuh ke bumi! Oh, andai saja gunung hancur dan pecahannya terpencar di tepian pantai."  Sayidah Zainab Sa dengan rangkaian kata-kata ini, telah memulai priode kedua kebangkitan Asyura. Zainab mendatangi saudaranya dan menengadahkan wajahnya ke langit seraya berkata, "Ya Allah, terimalah pengorbanan ini!"

Ia melewati malam keterasingan para syahid di padang sahara dengan iringan tangis, lantunan yang memilikan hati-hati yang lara, air mata dan rintihan duka para kekasih sambil merawat para yatim. Ia lewatkan malam itu dengan salat dan bermunajat kepada Tuhan hingga subuh.

Sikap Zainab sa Pada Peristiwa Pembunuhan Saudaranya

Ketika berada di samping tubuh Imam Husain as, Sayidah Zainab sa menghadap ke arah Madinah dan menyampaikan ratapan-ratapan yang memilukan hati:

"وا محمّداه! بَناتُكَ سَبایا وَ ذُرّیتُك مُقَتّله، تسفی علیهم رِیحُ الصّبا، و هذا حُسینٌ مجزوزُ الَّرأسِ مِنَ القَفا، مَسلُوبُ العمامِةِ و الرِّداء"

"Ya Nabi, mereka ini adalah anak-anak perempuanmu yang berjalan dalam keadaan tertawan. Mereka adalah anak-anak keturunanmu dengan tubuh berlumuran darah, tergeletak di atas tanah dan tubuh mereka diterpa angin. Ya Rasulullah! Inilah Husain yang kepalanya telah terpenggal dari lehernya, jubah serta sorbannya dijarah."
"Ayahku bukan tebusan orang yang menjarah pasukan-pasukannya, kemudian merusak kemahnya! Bukan tebusan seorang musafir yang sudah tidak memiliki harapan untuk kembali."

Perkataan dan rintihan-rintihan Sayidah Zainab sa telah mempengaruhi kawan dan lawan. Mereka semua dibuatnya terpaksa menangis.

Dengan suara lirih Zainab mengumandangkan syair ketika sayyidina Husin dibunuh dengan keji.’apa yang kalian katakan jika Nabi bertanya kepada kalian, apa yang kalian perbuat wahai umatku?  Atas itrah dan keluargaku setelah kepergianku, kalian aniayai diantara keluargku hingga berlumuran darah. Inikah balasan yang kalian berikan setelah kutunjukkan jalan kebenaran?

Lalu apakah dengan syahidnya para pahlawan Karbala peristiwa ini berakhir? Jawabnya adalah tidak, justeru dengan syahidnya para pahlawan Karbala, peristiwa ini menjadi abadi tak lekang oleh zaman berkat jasa-jasa Srikandi Karbala yang mengobarkan nilai-nilai perjuangan menentang tirani penguasa yang lalim.

Setelah seluruh pahlawan Karbala gugur, kaum wanita dan anak-anak menjadi tawanan perang pasukan Syaitan Ubaidillah, tawanan perang yang dipimpin langsung oleh Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, memasuki kota Kufah sebagai tawanan diiringi oleh tatapan sayu dan tangisan pilu penduduk Kufah yang telah mengingkari dan mengkhianati keluarganya.

Dengan tatapan tajam Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW  memandangi penduduk Kufah yang dilewatinya dan berhenti sejenak ia pun berkata dengan nada yang tinggi, tajam mencela prilaku buruk penduduk Kufah,’’ amma ba’du, wahai penduduk Kufah, benarkah kalian menangis? Semoga saja air mata kalian tak kunjung kering! Semoga isak tangis kalian tak kunjung berhenti! Kalian semua adalah ibarat wanita yang merusak tenunannya setelah pintalan yang kuat sehingga menjadi berserakan kembali, kalian mnjadikan sumpah perjanjian sebagai keduk penipuan diantara kalian, ketahuilah! Alangkah buruknya dosa yang kalian kerjakan!, sungguh demi Allah, menangislah kalian sepuas-puasnya dan kurangilah tertawa kalian! Kalian telah menghapus perasan malu pada diri kalian sendiri, sungguh demi Allah, kalian tidak akan mampu mensucikan jiwa-jiwa kalian yang keji lagi kotor meskipun kalian berendam seumur hidup dalam kolam air yang suci. Bagaimana kalian dapat menghapus dosa kalian setelah apa yang kalian perbuat terhadap cucu-cucu Rasulallah saw, nabi terakhir, pembawa risalah ilahi, tumpuan kalian mengharapkan syafaatnya, yang memberikan petunjuk kehidupan kepada kalian semua. Cucu-cucunya kalian perlakukan dengan penuh kehinaan. Sadarkah kalian, hati siapa yang kalian permainkan, darah siapa yang kalian tumpahkan dan wanita mulia mana yang kamu hinakan? sungguh demi Allah, kalian semua telah melakukan dosa yang teramat besar.’’
Satu ungkapan emosional dari Sayyidah Zainab terhadap penghianatan penduduk Kufah. Zainab tampil sebagai Srikandi Karbala yang membakar semangat perjuangan rakyat Kufah lewat tutur katanya yang tajam menusuk perasaan penyesalan yang mendalam di sanubari rakyat Kufah setelah sepeninggalannya.

Gema Yang Abadi

Setelah beberapa hari menjadi tawanan di kota Kufah, rombongan  Sayyidah Zainab dikirim ke Damaskus untuk menghadap Yazid bin Mu’awiyah, oleh Yazid rombongan tersebut dikirim pulang ke Madinah, Zainab hidup dirundung duka nestafa yang tiada berkesudahan, ia hidup dengan melawat dari satu kota kekota yang lain hingga sampai kenegeri Mesir pada awal bulan Sya’ban 61 H, dan menetap di rumah Maslamah bin Makhlad al-Anshary, hanya satu setengah tahun setelah peristiwa tragis di Karbala Sayyidah Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW   menghembuskan nafasnya yang terakhir di negeri ratu Cleopatra, sore hari, pada hari minggu yang cerah tanggal 14 Rajab 62 H, sayyidah Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW menyusul keluarganya yang tercinta.
Namun kehidupannya yang singkat setelah tragedi Karbala mampu merubah peta sejarah umat islam, lewat tutur kata yang tegas yang menyisakan penyesalan yang mendalam bagi penduduk Kufah.

Penduduk Kufah sungguh teramat menyesal atas perbuatan yang mereka lakukan, karena mereka turut andil besar dengan terbunuhnya ahlul bait. Malam-malam berlalu mereka dihantui oleg rasa bersalah yang berkepanjangan gema suara sayyidah Zainab ra, seakan-akan terus terdengar ditelinga mereka,’’ wahai penduduk Kufah, benarkah kalian menangis? Semoga saja air mata kalian tak kunjung kering! Semoga isak tangis kalian tak kunjung berhenti! . ilahi mengabulkan do’a Zainab ra, penduduk Kufah mulai merasakan sengatan dan tikaman penyesalan, semenjak detik-detik pertama, dimana Srikandi Karbala mulai memainkan peranannya yang tegas dan mengharukan lewat untaian mutiara kata-kata yang tajam menusuk jiwa terdalam.

At-Thabary dan Ibnu Atsir menerangkan,’’penduduk Kufah diam membisu setelah mendengar teriakan Srikandi Karbala, sayyidah Zainab, selama dua-tiga bulan, mereka merasa seolah-olah dinding rumah mereka berlumuran darah setiap harinya, setelah kepergian Zainab digiring ke kota Damaskus, mereka satu sama lin saling menyalahkan, mereka sadar telah melakukan kesalahan yang besar, karena merekalah yang mengundang Husin untk datang kek kota mereka dengan memberikan janji jaminan keamanan.

Dinidng-dinding rumah di kota Kufah setiap waktu seakan-akan terus memantulkan gema teriakan sayyidah Zainab,’ sungguh demi Allah, menangislah kalian sepuas-puasnya dan kurangilah tertawa kalian! Kalian telah menghapus perasan malu pada diri kalian sendiri, sungguh demi Allah, kalian tidak akan mampu mensucikan jiwa-jiwa kalian yang keji lagi kotor meskipun kalian berendam seumur hidup dalam kolam air yang suci. Bagaimana kalian dapat menghapus dosa kalian setelah apa yang kalian perbuat terhadap cucu-cucu Rasulallah saw”. Penduduk kufah terus dihantui perasaan bersalah yang teramat sangat sehingga mencapai puncak pada tahun 65 H atau sekitar 4 tahun setelah syahidnya para pahlawan Karbala, di Kufah terjadi pergolakan politik yang mencekam, penduduk Kufah yang dihantui rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam membentuk pasukan dengan nama at-tawabun orang-orang yang bertaubat yang menggemakan seruan ‘mari menuntut balas atas syahidnya pahlawan Karbala’.

Inilah awal pemberontakan terhadap Daulah Umayyah, setahun kemudian terulang lagi peristiwa Karbala, pasukan yang turut andil membantai pahlawan Karbala ditangkap dan diadili dengan hukuman yang sama, sebagaimana mereka membunuh 73 syuhada ditanah Karbala, di satu tempat dihukum secara massal sebanyak 248 pasukan yang turut menyerang pahlawan Karbala, Ubaidillah bin Ziyad, Umar bin Sa’ad bin Abu Waqqash dan putranya Hafash turut menjadi koraban tragedi ini kepala-kepala mereka yang turut menyerang pahlawan Karbala dipenggal dan dikirim ke Madinah sebagai bentuk rasa penyesalan yang teramat dalam dari penduduk Kufah.

Pasukan at-Tawabun telah berlalu, hilang ditelan masa......namun mereka meninggalkan taobat dan penyesalan atas pengkhianat terhadap ahlul bait sebagai warisan yang mengerikan kepada generasi-generasi mereka di kemudian hari.........dan Srikandi Karbala, Sayyidah Zainab-lah yang menjadikan gugurnya Husin di Karbala sebagai malapetaka yang abadi lewat retorika, untaian kata yang indah, tajam menusuk perasaan kepada penduduk Kufah yang menjadikan janji sebagai kedok penipuan.

Jangan Pernah Meremehkan Amal Kebaikan Walau Sekecil Apapun


Wahai saudaraku… Janganlah Anda meremehkan amal kebaikan sekalipun kecil, dan ketahuilah bahwa Anda diseru untuk menunaikan tanggung jawab Anda dengan mencurahkan segenap kemampuan dan banyak berkorban dalam rangka menegakkan bangunan Islam yang agung. Janganlah sekali-kali anda mengelak dari tugas anda sekalipun hanya sedetik karena tipu daya musuh Islam terhadapmu. Mereka musuh-musuh Islam ingin sekiranya engkau menyimpang dari tugasmu yang mulia, dan mereka berupaya menjatuhkan semangatmu dalam berhidmat kepada Islam dan membina umat.

Janganlah… dan sekali lagi janganlah Anda mengelak dan mundur dari berkhidmat kepada Islam karena anda merasa lemah, tidak ada kemampuan untuk ikut andil dalam menguatkan masyarakat Islam, sebab sesungguhnya perasaan-perasaan seperti itu merupakan rekayasa dari setan jin dan manusia.

Seseorang tidak akan pernah tahu pasti, amalan mana yang telah dilakukannya yang akan diterima oleh Allah? Kita juga tidak akan pernah tahu secara pasti amalan manakah yang dapat mengantarkan kita ke surga. Itu sebabnya jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun.

Allah Subhanahu Wa taala berfirman dalam Al Quran Surat Al Anbiya: 47

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ

“Dan Kami letakkan timbangan keadilan pada hari kiamat. Maka tidaklah akan dizalimi seorangpun sedikitpun. Sekalipun (keadaan kebaikan atau kejelekan tersebut) sebesar biji sawi akan Kami datangkan dengannya (perhitungan dan pembalasannya). Dan cukuplah Kami sebagai penghitung.” (QS 21-Al Anbiya ayat 47)

Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ المْعَرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, sekalipun (hanya sekadar) engkau memberikan kepada saudaramu wajah yang berseri-seri.” [HR Imam Muslim].

Maka di sini kami hendak menyuguhkan sebuah kisah seorang wanita yang lemah dan berkulit hitam. Kisah ini merupakan sebuah pelajaran bagi kaum muslimin dalam hal kesungguhan, ketawadhu’an hingga sampai pada puncak semangatnya.

Dari sebuah hadis Muttafaqun ‘ alaihi yang menceritakan tentang seorang perempuan berkulit hitam, yang biasa menyapu masjid di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -فِي قِصَّةِ الْمَرْأَةِ الَّتِي كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ- قَال: فَسَأَلَ عَنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: مَاتَتْ, فَقَالَ: “أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي”? فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهَا”, فَدَلُّوهُ, فَصَلَّى عَلَيْهَا.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau berkisah tentang seorang wanita yang biasa membersihkan masjid (di masa Nabi).
Beliau seorang wanita yang berkulit hitam, dipanggil dengan nama Ummu Mahjan. Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih tanpa menyebutkan nama aslinya, bahwa beliau tinggal di Madinah [Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (VIII/414)].

Ummu Mahjan adalah seorang sahabat dari kaum perempuan yang tinggal di kota Madinah. Ia tergolong sahabat yang miskin dengan fisik yang lemah. Akan tetapi ditengah kekurangannya itu, ia merupakan seorang muslimah yang selalu ingin berbuat kebaikan. Ia tidak sedikitpun merasa ragu dan putus asa di dalam hatinya karena ia yakin putus asa bukanlah sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Keimanan telah menunjukan kepadanya untuk menunaikan tanggung jawab kebaikan. Ia menyadari bahwa dirinya memiliki kewajiban terhadap aqidahnya dan kaum muslimin.

Ummu Mahjan -sebagaimana telah disebutkan- adalah seorang wanita tua dan miskin. Tidak banyak amalan yang dapat dilakukannya. Tenaganya sudah sangat berkurang dimakan usia, belum lagi keadaannya yang miskin membuatnya terhalang dari melakukan amalan yang berkaitan dengan harta. Tapi hal tersebut tidak membuatnya berkecil hati. Ia sadar benar bahwa Allah senantiasa membuka pintu kebaikan bagi siapapun yang menghendaki keridaan-Nya.

Maka dengan penuh kesederhanaan Ummu Mahjan mulai menyingsingkan lengannya berupaya memberikan sedikit tenaga yang dimilikinya untuk membersihkan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya... hanya sekadar membersihkan masjid. Akan tetapi, siapa yang meremehkan masjid Allah? Berbagai amalan kebaikan dilakukan di sana. Salat lima waktu, halaqah ilmi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tempat para hamba Allah beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Maka bagi Ummu Mahjan tempat ini haruslah senantiasa dijaga kebersihannya.

Ia lakukan amalan ini dengan penuh kesungguhan. Setiap mendekati waktu-waktu salat, di setiap harinya, ia berusaha tidak terluput dari menjaga kebersihannya. Demikian senantiasa dia lakukan hingga ajal menjemputnya. MasyaAllah. Mungkin itulah sebabnya, mungkin awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengenalnya, akan tetapi karena seringnya Rasulullah melihat dan bertemu dengannya ketika sedang membersihkan masjid, maka ketika ia tidak ada, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan dirinya.

Dikisahkan dari buku Al-Ishabah dalam Tamyizish Shahabah (VIII/187), ketika Ummu Mahjan wafat, para shahabat Ridhwanullahi ‘Alaihim membawa jenazahnya setelah malam menjelang dan mereka mendapati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam masih tertidur. Mereka pun tidak ingin membangunkan beliau, sehingga mereka langsung menshalatkan dan menguburkannya di Baqi‘ul Gharqad.

Keesokan di pagi harinya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan wanita itu, kemudian beliau tanyakan kepada para sahabat, mereka menjawab, “Beliau telah wafat dan dikubur wahai Rasulullah, kami telah mendatangi anda dan kami dapatkan anda masih dalam keadaan tidur sehingga kami tidak ingin membangunkan anda.”

Rasulullah bertanya: “Mengapa kalian tidak mengabariku?” Seakan Rasulullah menyalahkan keputusan sahabat yang tidak membangunkan beliau. Para sahabat menganggap Ummu Mahjan adalah sosok yang kurang berarti sehingga merasa tidak perlu membangunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya!” Maka mereka menunjukkan kuburnya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyalatkannya di kuburannya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara para sahabat berdiri bershaf-shaf di belakang beliau, lantas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya dan bertakbir empat kali, kemudian bersabda:

إِنَّ هٰذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةٌ عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللّٰهَ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِي عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya kubur ini terisi dengan kegelapan atas penghuninya dan Allah meneranginya bagi mereka karena aku telah menyalatkannya.” [Lihat al-Ishabah (VIII/187), Al-Muwatha’ (I/227), An-Nasa’i (I/9) hadits tersebut mursal, akan tetapi maknanya sesuai dengan hadits yang setelahnya yang bersambung dengan riwayat al-Bukhari dan Muslim.]

Kebaikan yang dilakukan oleh Ummu Mahjan bahkan dapat memberikan manfaat bukan hanya bagi dirinya di dunia maupun di alam kuburnya, tapi juga bagi orang lain. Maa syaa Allah.

Dari kisah ini kita melihat bahwa seorang Ummu Mahjan yang sekalipun miskin dan lemah, turut berusaha berbuat amal shaleh sesuai dengan kemampuannya. Ia juga memberikan pelajaran bagi kaum muslimin bahwa tidak boleh menganggap sepele suatu amal walaupun amal tersebut terlihat kecil. Karena dengan kebaikan yang dilakukannya, Ummu Mahjan mendapat perhatian dari Rasulullah SAW hingga ia wafat. Sampai-sampai Rasulullah SAW menyalahkan sahabat beliau yang tidak memberitahukan perihal wafatnya Ummu Mahjan agar beliau dapat mengantarkannya ke tempat tinggalnya yang terakhir di dunia. Bahkan tidak cukup demikian, Rasulullah SAW bersegera menuju kuburnya untuk menyolatkannya agar Allah SWT menerangi kuburnya dengan shalat beliau. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan bagi kita sebagai kaum muslimin untuk meneladani akhlak yang baik dari para sahabat Rasulullah SAW.

Dari kisah sederhana tersebut tersirat sebuah pelajaran yang besar. Ternyata kebaikan besar bisa tercipta dengan sebuah amalan yang mungkin terlihat sederhana. Niat dan keikhlasan kepada Allah sajalah yang membuat amalan itu bisa berubah menjadi besar. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam sebuah hadis bahwa setiap amalan itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Apalagi jika amalan tersebut adalah amalan kebaikan, sesuai dengan tuntunan Rasul, dikerjakan terus menerus. Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda:

وَكَانَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ صَاحِبُهُ عَلَيْهِ

“Dan keadaan amalan / perkara yang paling dicintai di dalam agama adalah amalan yang pelakunya terus-menerus melakukannya.” [H.R. Mutafaqun alaihi].

Sekalipun tidak banyak, akan tetapi terus dilakukan, istiqamah dalam melaksanakannya, mengharap keridaan Allah, maka akan berbuah hasil yang besar. Apalagi jika amalan itu amalan yang lebih besar lagi. Lalu... apa yang membuat kita duduk termangu menunggu ada amalan besar yang harus dikerjakan? Sepantasnya kita bersegera bangkit menyingsingkan lengan untuk melakukan kebaikan di kehidupan kita ini. Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain pada hakikatnya adalah kebaikan untuk bekal kita sendiri di akhirat kelak.

Kisah Teladan Dari Ummu Sulaim Rd

 

Kita berbicara tentang kaum wanita yang patut diteladani, dan kita tidak bisa melupakan seorang wanita yang mencapai derajat kemauan tertinggi dan mendapatkan kabar gembira (bahwa dia akan masuk) Surga, sedangkan dia berjalan di permukaan bumi. Dari wanita inilah kita belajar kemuliaan, kesabaran, dan memberi sumbangsih di jalan agama ini.

Beliau adalah Ummu Sulaim al-Ghumaisha’ binti Milhan Ummu Sulaim Radhiyallahu anha, yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya:

دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةً، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا. قَالُوا: هَذِهِ الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مِلْحَانَ، أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ.

“Aku memasuki Surga lalu aku mendangar suara, maka aku bertanya, ‘Siapakah ini?’ Mereka berkata, ‘Ini adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan, Ummu Anas bin Malik.’”[HR. Muslim (no. 2456) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 13102)].

Ummu Sulaim binti Malhan adalah wanita yang cantik, cerdas, dan berakhlak mulia. Kisah hidupnya telah menjadi cerita teladan bagi kaum muslim, khususnya wanita muslim. Pada zaman jahiliah, Ummu Sulaim menikah dengan Malik bin Nadir. Dari pernikahan itu, mereka memiliki anak lelaki bernama Anas bin Malik. Kelak, Anas bin Malik menjadi sahabat Rasulullah yang agung.

Bagaimana kisah Shahabiyah yang mulia ini?

Pada suatu masa, syiar ajaran agama Islam telah sampai di Madinah. Orang-orang yang melihat cahaya kebenaran dari ajaran Islam segera menyatakan keislamannya, termasuk Ummu Sulaim. Ummu Sulaim adalah salah seorang dari kaum Anshar yang pertama kali memeluk agama Islam. Saat itu, ia tidak ragu sedikit pun untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka yang menyembah berhala.

Keislaman Ummu Sulaim diuji saat mendapat penentangan dari suaminya sendiri. Dengan penuh amarah, Malik bertanya, “Apakah engkau murtad dari agama nenek moyangmu dan agamamu ?” Ummu Sulaim menjawab, “Tidak. Aku hanya beriman kepada lelaki itu.” Yang dimaksud dengan lelaki itu adalah Rasulullah saw. Ummu Sulaim pun tetap berpegang teguh pada ajaran Islam.

Pada suatu hari, Ummu Sulaim mengajari Anas untuk mengucapkan kalimat syahadat, “Asyhadu alla Ilaaha Illallah, wa asyhadu annaa Muhammadar Rasulullah.” Hal itu membuat Malik marah, “Jangan kau rusak anakku.” Ummu Sulaim menjawab dengan tegas, “Aku tidak merusaknya. Akan tetapi, aku mendidiknya.”

Mengetahui Ummu Sulaim semakin teguh dengan ajaran barunya, Malik pun hendak bersikap tegas. Malik mengatakan kepada istrinya bahwa dirinya hendak meninggalkan rumah sampai istrinya bersedia meninggalkan agama barunya. Perkataan suaminya tidak menggoyahkan iman Ummu Sulaim. Ia mengucapkan kalimat syahadat secara berulang-ulang.

Akhirnya, Malik benar-benar pergi dari rumah. Ia tampak sangat marah dengan sikap istrinya. Dalam perjalanan, Malik dibunuh oleh musuhnya. Mendengar kabar kematian suaminya, Ummu Sulaim tabah. Ia berkata, “Aku tidak akan menikah lagi hingga Anas dewasa dan memintaku menikah.” Setelah itu, Ummu Sulaim menemui Rasulullah. Ia bermaksud menawarkan anaknya sebagai pembantu Rasulullah. Ia ingin anaknya belajar kepada Rasulullah saw. Sejak itu, Anak mengabdi kepada Rasulullah dan belajar di majelis-majelis yang diadakan Rasulullah.

Ummu Sulaim Menikah Dengan Abu Thalhah

Ummu Sulaim yang cantik telah menawan hati Abu Thalhah. Abu Thalhah pun berkeinginan untuk melamarnya. Ia hendak menawarkan mahar dalam jumlah yang sangat banyak. Abu Thalhah yakin dengan mahar yang banyak kemungkinan besar Ummu Sulaim akan menerima lamarannya. Saat berhadapan dengan Ummu Sulaim, Abu Thalhah yang musyrik mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Ummu Sulaim sebagai istrinya. Di luar dugaan, Ummu Sulaim menolak lamaran dengan berkata, “Sungguh, tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Wahau Abu Thalhah, tuhan-tuhanmu itu adalah hasil pahatan manusia. Jika engkau membakarnya, pastilah tuhan-tuhanmu akan terbakar.” Abu Thalhah tidak percaya dengan penolakan Ummu Sulaim.

Pada hari berikutnya, Abu Thalhah kembali melamar Ummu Sulaim. Kali ini, ia membawa mahar yang lebih banyak. Ia berharap Ummu Sulaim bersedia menikah dengannya. Namun, Ummu Sulaim tetap menolaknya. Harta yang banyak tidak membuatnya menerima lamaran Abu Thalhah. Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, orang seperti engkau tidak pantas ditolak. Hanya saja, engkau adalah orang kafir, sementara aku adalah seorang muslimah. Oleh karena itu, aku tidak dapat menerima lamaranmu.” Abu Thalhah bertanya, “Apa yang harus aku lakukan? Apakah engkau menginginkan emas atau perak?” Ummu Sulaim mengatakan bahwa sesungguhnya dirinya tidak menginginkan emas atau pun perak. Ummu Sulaim hanya menginginkan Abu Thalhah meyakini ajaran Islam dan keislamannya sebagai maskawin. Mendengar hal itu, Abu Thalhah tersentuh hatinya. Abu Thalhah berkata, “Apa yang harus aku lakukan untuk memeluk agama Islam?” Ummu Sulaim menyarankan agar Abu Thalhah mendatangi Rasulullah saw.

Setelah itu, Abu Thalhah datang menemui Rasulullah yang saat itu sedang duduk bersama para sahabat. Saat itu, Rasulullah bersabda, “Telah datang kepada kalian Abu Thalhah yang tampak cahaya Islam di kedua matanya.” Akhirnya, Abu Thalhah memeluk agama Islam. Setelah itu, Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan maskawin keislamannya. Selanjutnya, suami istri ini hidup bahagia dengan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya.

Ketabahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah

Setelah beberapa lama menikah, Allah swt pun menganugerahkan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim seorang anak lelaki. Anak itu diberi nama Abu Umair. Abu Thalhah sangat menyayangi Abu Umair. Hubungan keduanya sangatlah dekat.

Pada suatu ketika, Abu Umair sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Saat itu, Abu Thalhah sedang pergi. Oleh karena itu, Ummu Sulaim sendiri yang mengurus jenazah Abu Umair. Ummu Sulaim berpesan kepada keluarganya sendiri saat Abu Thalhah sudah pulang. Setelah pulang dari makam, ia bersiap menyambut suaminya pulang. Saat sampai di rumah, Abu Thalhah langsung menanyakan keadaan anaknya. Ummu Sulaim menjawab bahwa anaknya telah beristirahat dengan tenang. Abu Thalhah pun tidak menyadari bahwa sebenarnya anaknya telah meninggal.

Pada saat shubuh, Abu Thalhah bersiap untuk pergi ke masjid. Saat itulah, Ummu Sulaim menceritakan tentang meninggalnya anak mereka. Ummu Sulaim bertanya, “Suatu kaum meminjam sesuatu pada suatu keluarga. Kemudian keluarga itu meminta sesuatu itu dikembalikan. Menurutmu, apakah kaum itu boleh menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak”. Kemudian, Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya, Allah telah meminta pinjaman-Nya kepada kita, yaitu anak kita.” Abu Thalhah pun mengerti maksud istrinya. Rasa sedih dan marah bersatu dalam diri Abu Thalhah. Ia sedih karena anaknya telah meninggal. Ia juga marah karena istrinya tidak segera memberitahu kejadian yang sebenarnya. Hal itu tidak berlangsung lama. Abu Thalhah segera mengucap kalimat istirja (Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi raji’uun). Ia pun menjadi tenang.

Ketika itu, Abu Thalhah melaksanakan shalat berjamaah dengan Rasulullah. Setelah selesai shalat, Abu Thalhah menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Kemudian, Rasulullah berdoa agar Allah memberi berkah kepada keduanya. Berkat ketabahan suami istri itu, Allah swt mengaruniakan mereka seorang anak lelaki. Anak itu adalah Abdullah bin Abu Thalhah. Pada masanya kelak, Abdullah memiliki beberapa orang anak yang menyebarkan imu dan ajaran Al-Quran.

Peristiwa tersebut termaktub dalam Hadits

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ يَشْتَكِى ، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ ، فَقُبِضَ الصَّبِىُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ مَا فَعَلَ ابْنِى قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ . فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ، ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ وَارِ الصَّبِىَّ . فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ » . قَالَ نَعَمْ . قَالَ « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا » . فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِى أَبُو طَلْحَةَ احْفَظْهُ حَتَّى تَأْتِىَ بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَأَتَى بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَرْسَلَتْ مَعَهُ بِتَمَرَاتٍ ، فَأَخَذَهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَمَعَهُ شَىْءٌ » . قَالُوا نَعَمْ تَمَرَاتٌ . فَأَخَذَهَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَمَضَغَهَا ، ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِى فِى الصَّبِىِّ ، وَحَنَّكَهُ بِهِ ، وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ .

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa putera Abu Tholhah sakit. Ketika itu Abu Tholhah keluar, lalu puteranya tersebut meninggal dunia. Ketika Abu Tholhah kembali, ia berkata, “Apa yang dilakukan oleh puteraku?” Istrinya (Ummu Sulaim) malah menjawab, “Ia sedang dalam keadaan tenang.” Ketika itu, Ummu Sulaim pun mengeluarkan makan malam untuk suaminya, ia pun menyantapnya. Kemudian setelah itu Abu Tholhah menyetubuhi istrinya. Ketika telah selesai memenuhi hajatnya, istrinya mengatakan kabar meninggalnya puteranya. Tatkala tiba pagi hari, Abu Tholhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang hal itu. Rasulullah pun bertanya, “Apakah malam kalian tersebut seperti berada di malam pertama?” Abu Tholhah menjawab, “Iya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mendo’akan, “Allahumma baarik lahumaa, Ya Allah berkahilah mereka berdua.”

Dari hubungan mereka tersebut lahirlah seorang anak laki-laki. Anas berkata bahwa Abu Tholhah berkata padanya, “Jagalah dia sampai engkau mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya.” Anas pun membawa anak tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu Sulaim juga menitipkan membawa beberapa butir kurma bersama bayi tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengambil anak tersebut lantas berkata, “Apakah ada sesuatu yang dibawa dengan bayi ini?” Mereka berkata, “Iya, ada beberapa butir kurma.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan mengunyahnya. Kemudian beliau ambil hasil kunyahan tersebut dari mulutnya, lalu meletakkannya di mulut bayi tersebut. Beliau melakukan tahnik dengan meletakkan kunyahan itu di langit-langit mulut bayi. Beliau pun menamakan anak tersebut dengan ‘Abdullah. (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144).

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَاتَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ لأَهْلِهَا لاَ تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ – قَالَ – فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وَشَرِبَ – فَقَالَ – ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ فَوَقَعَ بِهَا فَلَمَّا رَأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعَ وَأَصَابَ مِنْهَا قَالَتْ يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ قَالَ لاَ. قَالَتْ فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ. قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ تَرَكْتِنِى حَتَّى تَلَطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبَرْتِنِى بِابْنِى. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بَارَكَ اللَّهُ لَكُمَا فِى غَابِرِ لَيْلَتِكُمَا ». قَالَ فَحَمَلَتْ

Dari Anas, ia berkata mengenai putera dari Abu Tholhah dari istrinya Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata pada keluarganya, “Jangan beritahu Abu Tholhah tentang anaknya sampai aku yang memberitahukan padanya.” Diceritakan bahwa ketika Abu Tholhah pulang, istrinya Ummu Sulaim kemudian menawarkan padanya makan malam. Suaminya pun menyantap dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum pernah ia berdandan secantik itu. Suaminya pun menyetubuhi Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas dan telah menyetubuhi dirinya, ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” Abu Tholhah lalu marah kemudian berkata, “Engkau biarkan aku tidak mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari tentang kematian anakku?” Abu Tholhah pun bergegas ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan apa yang terjadi pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akan, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim pun hamil lagi.  (HR. Muslim no. 2144).

Di antara pelajaran yang bisa dijadikan teladan oleh kaum wanita adalah keteguhan Ummu Sulaim berpegang pada agama. Lihatlah, tidak serta-merta beliau menerima lamaran Abu Thalhah, padahal Abu Thalhah adalah pria yang punya nama dan harta. Abu Thalhah pun menawarkan emas dan perak sebagai maharnya. Namun, Ummu Sulaim menolak semua itu dan mempersyaratkan satu hal saja, yaitu Abu Thalhah masuk Islam.

Bandingkanlah dengan masa ini. Godaan dunia mencabik-cabik keimanan seseorang. Tidak sedikit kaum muslimin yang murtad karena harta, terutama kaum wanita yang lemah dan mudah tergoda oleh perhiasan dunia yang gemerlap. Banyak wanita yang menjual agamanya demi mendapatkan dunia yang fana. Mereka mengumbar aurat demi mengejar karier, atau berpindah agama untuk mengikuti agama suami.

Bagaimana mereka kelak ketika dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah subhanahu wa ta’ala? Tatkala di alam kubur, mereka ditanya oleh malaikat, “Apa agamamu?” Kalau tidak dapat menjawab dengan benar, saat itulah mereka mulai mendapatkan siksaan. Dari siksa kubur sampai terjadinya hari kebangkitan, dan diikuti oleh siksa neraka yang kekal abadi.

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, banyak orang mencela wanita yang materialis. Mereka menyebutnya sebagai “cewek matre”. Namun, fenomena yang ada justru menunjukkan hal ini sering terjadi.

Pelajaran kedua dari kisah ini adalah kesetiaan istri kepada suami. Tatkala seorang wanita telah menjadi istri, dia wajib menaati suaminya dalam hal yang ma’ruf, melayaninya, dan menghiburnya tatkala sang suami mendapat musibah. Ummu Sulaim mempercantik diri untuk melayani suaminya, padahal dalam Islam, seorang wanita yang sedang berdukacita diperbolehkan tidak berdandan. Jika yang meninggal adalah salah seorang kerabatnya, masa berkabungnya adalah tiga hari. Namun, jika yang meninggal adalah suaminya, masaihdad) (berkabung)nya 4 bulan 10 hari.

Karena kedalaman ilmunya, Ummu Sulaim menganggap bahwa menyenangkan suami lebih utama daripada dia berdukacita dan tidak mau berhias.

Adapun mayoritas wanita pada zaman ini tidak memedulikan keadaan suami. Suami tidak dilayani dengan semestinya. Istri tidak berhias untuknya atau keluar masuk rumah tanpa izinnya. Hidup bebas ala Barat sudah menjadi tradisi yang tidak asing lagi di tengah-tengah kaum muslimin.

Kebanyakan wanita masa ini tidak berhias di hadapan suami. Akan tetapi, ketika ke luar rumah mereka justru menampakkan kecantikannya. Ketika menghadiri resepsi, arisan, dan acara kumpul-kumpul lainnya, mereka berlomba-lomba memamerkan keindahan dan perhiasan. Mereka tidak sadar bahwa hal itu akan membuat kaum pria tergoda. Dampak negatif pun terjadi. Banyak berita tentang perselingkuhan antara pria dan wanita yang masing-masing sudah berkeluarga. Wallahul musta’an.

Pelajaran ketiga dari kisah ini adalah keteguhan dan kesabaran Ummu Sulaim ketika menghadapi musibah. Tatkala putranya meninggal, Ummu Sulaim tidak berkeluh kesah. Sebaliknya, beliau beriman terhadap takdir dan ridha kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Meski ditimpa musibah, beliau tetap menjalankan tugas rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Beliau mempersiapkan makan malam untuk suami dan para tamu suami. Sang suami, Abu Thalhah, menjamu tamunya dengan baik sehingga tamunya merasa senang dan tidak merasa membebani keluarga Abu Thalhah yang sedang ditimpa musibah.

Itu semua karena kepandaian Ummu Sulaim menyembunyikan dukacita yang sedang dialaminya. Seandainya Ummu Sulaim menceritakan kematian putranya kepada Abu Thalhah, keadaannya pun akan berubah. Bisa jadi, Abu Thalhah tidak mau makan malam, dan para tamu pun akan berpamitan karena merasa bahwa kedatangan mereka menambah beban keluarga yang sedang ditimpa musibah.

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, mereka itulah para sahabat yang dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya mendakwahkan Islam. Sudah sepantasnya mereka, para sahabat, kita jadikan suri teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.`

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini, tetapi sengaja tidak kami sebutkan karena keterbatasan ruang. Semoga tulisan yang sederhana ini bisa memotivasi saudaraku, khususnya kaum wanita, untuk selalu berusaha memperbaiki diri dan beramal saleh.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...