Jumat, 29 Oktober 2021

Serat Baratayuda


Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157M oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri.

Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

Sebab Peperangan

Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung (di India).

Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.

Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa.

Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.

Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.

Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi.

Kitab Jitabsara

Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan.

Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.

Aturan Peperangan

Ilustrasi saat perang di Kurukshetra dalam kitab Mahabharata.

Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju.

Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.

Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat.

Pembagian babak

Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa.
Babak 1: Seta Gugur
Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
Babak 7: Karna Tanding
Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
Babak 9: Lahirnya Parikesit

Jalannya pertempuran

Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama.

Babak pertama

Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.”

Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika.

Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.

Babak Kedua

Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna (Trustajumena) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).

Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.

Tawur demi kemenangan

Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban (Tawur) bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa.

Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha

Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.

Kutipan Terjemahan

Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə, ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati

Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani

Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə, kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat

Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya

Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat

Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor

Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah

Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan

Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə toh

Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan

Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū

Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu

Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih

Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam

Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna

Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung

Hakikat Serat Joyoboyo


Kanggo saperangan kaum muslim, panampa ngenani ramalan bakal antuk panyaruwe kang maneka warna lan bisa ndadekake anane adu panemu. Kabeh mau amarga wis cetha lan gamblang banget panemu Islam ngenani ramalan saka babagan supranaturale. Umat Islam antuk larangan ngenani pangarep kang saka jinis undian uga ramalan. Nanging ing kene ora ngenani ramalan kang ilmiah kanthi metode hipotesis utawa kaya ramalan kelayakan bisnis lan sapiturute, nanging mligi marang ramalan kang asipat klenik utawa tumindak kebatinan. Akibat saka ramalan mau bisa beda-beda tumrap manungsa kang percaya. Nanging umume, ramalan nggawe manungsa mung kajebak ing angen-angen wae lan bisa uga kalebu ing wilayah musyrik.

Nanging kudu dimangerteni yen ta ing kasunyatan ngenani ngrembakane ramalan, wayah-wayah iki malah sansaya dipercaya lan malah digandrungi masyarakat. Saya canggih piranti teknologi, penake anggone nglakoni urip, lan informasi kang jembar kang gampang antuk ora agawe kapercayan marang ramalan mau saya ilang. Ramalan malah digawe ngisi kalodhangan jiwa manungsa modheren saka kuranging daya spiritual utawa rohanine. Ramalan wis ora maneh gandheng karo dupa lan kemenyan, kartu tarot, bola Kristal utawa barang-barang kang dianggep sekti liyane. Nanging malah ngrembaka ing piranti komunikasi elektronik kang beyane murah kanggo masyarakat.
Ing masyarakat kalangan tengah menyang ngisor, ngrembakane ramalan dipratandhani karo saya kuwate kabar-kabar lawas ngenani tataran jaman. Kahanan owahing urip ing masyarakat kang terus antuk pacoban urip, kiris kemanusiaan lan dekadensi moral, ndadekake angen-angen ngenani “Ratu Adil”. Lan lumrahe ramalan kang dadi playune manungsa kanggo pangarep-arepe.

Kanggo saperangan masyarakat Jawa miligine, ramalan Jayabaya utawa Jangka Jayabaya, kalebu ramalan kang dianggep nduweni panjangka kang trep marang kahanan saiki lan sabanjure ngenani pratandha pangrembakane jaman. Ramalan iki uga sering diuja-uja minangka gegambarane urip ing mangsa tembe kang cetha lan jelas. Nanging anehe, masyarakat percaya marang ramalan Jayabaya iki umume ora mangerteni saka sumber Ramalan Jayabaya kang baku. Kabeh percaya marang ramalan Jayabaya among saka sumber kang kurang bisa ditanggungjawabake. Utawa kadhang kala mung saka kabar lambe utawa jarene wong. Nanging uga ana kang nolak ramalan Jayabaya, umume adhedhasar pengetahuan utawa kajiyan kang cetha. Lan uga ana amarga wis nduweni sikap antipati marang ramalan, lumebere marang ramalan Jayabaya kang dianggep negatif.

Anane pnulisan iki ora mung kanggo ngupaya ramalan bisa dibenerake, nanging kanggo kajiyan ngenani hakikat saka ramalan Jayabaya mau. Saengga mengko bisa cetha sikap lan tumindake masyarakat kanggo ngadhepi ramalan kanthi dhasar kang cetha. Ora mung jarene wong. Lan kaangkah supaya masyarakat kang nampa lan nolak ramalan Jayabaya ora mung adhedhadar jarene wong wae, nanging kanthi dhasar kang kuwat.

Perlu dimangerteni yen ta Ramalan Jayabaya minangka kumpulan ramalan kang kawentar ing kalangan masyarakat Jawa. Ramalan iki kasebut kanthi istilah Jangka Jayabaya. Ramalan Jayabaya iki dinilai nduweni ketrepan kan pas marang kahanan mangsa tembe dening masyarakat Jawa. Kanthi cara liya bisa diarani yen ta saperangan wong Jawa banget anggone percaya marang Jangka Jayabaya minangka gegambarane mangsa tembe.

Jangka Jayabaya nduweni jinis kang akeh, udakara ana sangan jinis utawa versi. Umume kitab-kitab ngenani ramalan Jayabaya iki minangka asil karya abad XVII utawa XIX Masehi. Saka ragam versi mau, rata-rata nduweni idhe lan gagasan kang meh padha utawa padha. Mbok menawa babagan iki amarga babonane versi yaiku kitab kang sinebut Musarar utawa Asrar. Mula saka kuwi ING TULISAN IKI mung diwatesi ing kajiyan adhedhasar Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya wae. Kitab iki dipercaya minangka karangane Raden Ngabehi Ranggawarsita. Serat Pranitiwakya iki bisa makili ramalan Jayabaya kanthi wujud kang luwih ringkes lan bisa dimangerteni kanthi gamblang.

Jayabaya kang dikarepake ing Jangka Jayabaya ora liya yaiku Prabu Jayabaya raja Kediri kang dianggep nduweni kapinunjulan kang banget babgan ngramal mangsa ing tembe. Jeneng Prabu Jayabaya dheweuga dadi dhasar pamikiran ngenani Ratu Adil. Anane Prabu Jayabaya digayutake karo panitisane DEwa Wisnu kang pungkasan ing Tanah Jawa. Prabu Jayabaya diandharake urip ing swasana Hindhusisme sawijining raja agung kang urip ing jaman iku kang digambarake nduweni gegayutan karo mistik, minangka wujud inkarnasi Dewa kanggo njaga lakuning urip ing masyarakat utawa mayapada (bumi).

Nanging kang dadi pesen utama kanga rep diandharake ing ramalan Jayabaya ngenani tokoh Jayabaya, sanyatane malah ora nggayutake marang Hindhuisme. Ing Serat Praniti Wakya, Prabu Jayabaya digambarake minangka pawongan kang wus nduweni keyakinan ngenani Islam. Lan ing Serat Jayabaya versi liyane digambarake yen ta Islam kang paling cedhak marang nabi yaiku Islame Prabu Jayabaya.

“Yen Islama kadi Nabi, Ri Sang Jayabaya…”
(yen kepengin ngerti Islam kang nyedhaki Islame Nabi Muhammad saw, wong kuwi yaiku Sang Jayabaya).

Gambaran Islam kang dianggep paling apik iki, yen ta pancen bisa kedaden, bandhingane yaiku praktek agama Hindhu kang mayoritas ing masyarakat mangsa iku. Mula saka kuwi Prabu Jayabaya dianggep minangka tokoh muslim kanthi praktek Islam kang paling apik yenta dibandhingake marang manungsa ing mangsa iku kang isih tumindak ajaran Hindhu.

Gegayutan karo Keislaman Prabu Jayabaya, Serat Praniti Wakya ngandharake yen ta Raja Kediri kasebut merguru Maulana Ngali Syamsujen kang asale saka Negara Rum. Kang dimaksud saka tokoh kasebut ora liya yaiku Maulana ‘Ali Syamsu Zein, pawongan sufi kang kira-kira asale saka Damaskus. Prabu Jayabaya digambarake Serat Praniti Wakya minangka pawongan kang taat lan patuh nindakake ajaran agama Islam kasebut.

Banjur apa keislaman Prabu Jayabaya kang urip ing swasana jaman Hindhu iki bisa ditanggungjawabakae kanthi kang murni? Babagan iki minangka masalah kang angel banget digoleki kabenerane. Sebab ora pati akeh bahan kang bisa digunakake kanggo ngrekonstruksi uriping agama ing mangsa Prabu Jayabaya. Malah ora sithik kang nggambarake yen ta Prabu Jayabaya ora liya mung tokoh fiktif utawa ora nyata. Tulisan kang akeh ragame ngenani Jangka Jayabaya, umume ngrembaka nalika Islamh ngrembaka minangka ajaran ing masyarakat. Nanging kabeh mau sing wigati kanggo dimangerteni utamane masyarakat kejawen, yen miturut Serat Praniti Wakya ngenani Jangka Jayabaya, Jangka jayabaya dudu duweke aliran kejawen, sebab serat iki adhedhasar daya pangaribawa Islam.

Gegayutan karo anane penganut Islam kang diyakini mangsa Jayabaya ora dadi bab kang mokal. Prabu Jayabaya diyakini urip ing mangsa abad XII, ing mangsa antarane tahun 1135 lan 1157 Masehi. Dene ing mangsa sadurunge, yaiku mangsa pamarintahane Erlangga, XI, di Leran, udakara 8 (wolung) kilometer saka Gresik, wis ditemokake watu nisan saka makam pawongan kang jenenge Fathimah binti Maimun bin Hibatullah kang menehi informasi yen ta wanita mau nduweni keyakinan agama Islam kang seda ing tanggal 7 Rajab 475 H utawa taun 1082 M. Miturut Prof. Dr. Hamka, ing catatan China, disebutake yen ta raja Arab ngirimake duta saraya kanggo nyelidhiki ratu saka Holing (Kalingga) kang asmane Ratu Shi Ma kang diyakini wis nindakake ukum had udakara taun 674-675 Masehi. Prof. Dr. Hamka ndudut yen ta raja Arab kang dikarep yaiku Mu’awiyah bin Abu Sufyan kang urip ing mangsa kuwi lan seda ing mangsa 680 Masehi. Semono uga Seminar Masuknya Islam ke Indonesia kang nyebutake yan ta Islam mlebu ing Indonesia yaiku nalika abad I Hijriah atau abad VII-VIII Masehi.

Karya sastra kang kaanggit ing mangsa kang diperkirakake minangka mangsa paranitahan Jayabaya, luwih ndhoyong marang daya pangaribawa agama Islam. Disertasi Dr. Sucipta Wiryosuparto nyebutake yen ta Kakawin Gatutkacasraya anggitane Mpu Panuluh, akeh kang nggunakakae tembung-tembung saka arab. Anggone nganggo tembung-tembung arab iki uga ditemokake ing ing Serat Baratayuddha, karya bersama Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Tulisan pujangga kang kaya mangkene iku mokal kajaba wis kedaden interaksi karo penganut agama Islam. Babagan iki mbuktekake yen ta ana kumpulan wong Islam ing tanah Jawa nalika mangsa Raden Jayabaya. Mula saka kuwi, ora mokal dhakwah Islam tumeka ing para panguwasa kalebu Prabu Jayabaya. Semono uga ngenani keislaman sang Raja Jayabaya minangka babagan kang bisa wae kedaden, amarga Jangka Jayabaya disebut minangka turunan saka karya sastra kang luwih tuwa.

SUBSTANSI JANGKA JAYABAYA

Puniko carios jamaning ing tanah jawi, dipun wastani serat praniti wakya. Tegesipun kalesehing wewa, ing kina pranatanipun Prabu Sri Bratha Aji Jayabaya, Harendra Binanathana ing negari kadluri (numenang) lasustra ing jagat Ratu Bijaksana Waksita ing segereningipun winarah, margi sang Prabu aputuhita dhateng pandhita sudibya sakti saking nagari ngerum, ingkang nama She Maolana Ngali Samsujen, aluliya ginaib, utawi kacarios bilih Prabu Jayabaya wau titisanipun Sang Hyang Wisnu.

Sang Pandhita Ngali Samsujennguni amedaraken jangtaning telampahan ing tanah jawi. Ingkang kabaharaken suraosing kitab musatar uitawi serat kitab jitabsara, saha serat jitasaka, semanten Prabu Jayabaya anggenipun amodharaten uruting-uruting jaman ingkang sampun kalampahan sami kagelaraken sedaya.

1. Ngenani Jaman Akhir

Bisa diandharake yen ta meh saperangan gedhe isi Serat Praniti Wakya ngandharake ngenani mangsa ing tembe Pulo Jawa ing perspektif Jayabaya. Nanging yen diwawas luwih jero maneh, bakal katon yen ta ing Serat Praniti Wakya akeh gegambaran kang njupuk sakasumber Islam kang arupa Al Quran lan Hadits. Kabar-kabar ngenani jaman akhir saka kalorone panutan umat Islam kasebut banjur digarap ing tulisan pengarang Serat Praniti Wakya (kang minangka anggitane R. Ng. Ranggawarsita). Saengga sipat universal utawa umum saka ajaran Islam ngenani kabar Jaman akhir banjur diterangake lan ditrapake ing lingkup Jawa. Ora bisa diselaki maneh yen ta saperangan gedhe ajaran Islam wis nandang proses “Jawanisai”. Nanging ruh Islam isih katon lan asipat tetep lan ora ilang.

Kaya tuturan Jayabaya ngenani kiamat iki. Sang Prabu nyatakake yen ta kiamat yaiku:
“kukuting djagad lan wiji kang gumelar iki, iku tekane djajal laknat …”.
Kang ateges rampunge samubarang ing bumi iki nalika tekane djajal kang laknat.

Iki uga bisa katilik saka pamanggih Prabu Haji Jayabaya ngenani bakal tekane Yakjuja wa Makjuja (Ya’juj dan Ma’juj), kiamat kubra (kiamat besar), lochil ma’pule (lauh al mahfudz), lan sapiturute.

2. Pembabakan Jaman lan Ramalan Tuwuhing Kerajaan

Konsep-konsep kang kinandhut ing Serat Praniti ora bisa diselaki yen ta saka ajaran Islam. Andharan ngenani pira-pira pamikiran Islam ing Serat Praniti Wakya saperangan pancen asipat blaka lan cetha. Pembabakan Jaman kaperang dadi telu yaiku jaman kaliswara, kaliyoga, lan kalisengara iki cetha yen dudu perspektif Islam. Uga dene ramalan ngenani bakal anane pira-pira Kerajaan ing Jawa kaya Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, lan Surakarta. Nanging bab iku banjur ora bisa kaandharake kanthi ilmiah. Andharane bisa kaya mangkene:

1. Iku mau amarga sang pengarang Serat Praniti Wakya, yaiku R. Ng. Ranggawarsita duwe maksud nggambarake pemahaman sang Prabu Jayabaya kanthi apa anane, yaiku sawijining pawongan muslim kang urip ing swasana Hindhu.

2.Bab iku bisa tuwuh amarga pamikirane pengarang dhewe. Nalika pengarang nulis pira-pira versi ramalan Jayabaya, Ranggawarsita urip ing mangsa kang dheweke bisa mangerteni gegayutane pangrembakane pira-pira Kerajaan jaman biyen kaya Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, dan seterusnya. Katrangan mau bisa didudut yen ta ramalan Jayabaya kaya-kaya trep ing tembe.

2.Yen ditilik yen ta ora ana kang nyebutake pesthi ngenani Prabu Jayabaya kang minangka pawongan kang pinter ing babagan ramalan mangsa tembe, mula bisa kadudut kabeh mau amarga R. Ng. Ranggawarsita kurang tuntas anggone nyinaoni ajaran Islam, mula saka kuwi ana saperangan kang katilik rada ora Islami.

3. Tassawuf lan Ramalan Jawa Kinalungan Wesi

Ranggawarsita nate ngaji ing Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, kang diasuh Kyai Hasan Bashori utawa sinebut Kyai Kasan Besari. Sadurunge ngaji ing Pondok, sejatine Ranggawarsita wis baut anggone maca Al Quran. Mula saka kuwi nalika ing Pondok antuk piwulangan ngenani kajiyan Al Quran lan Fiqih mula Ranggawarsita dadi jengkel. Malah kanggo nguntapake jengkele, dheweke sering metu saka lingkungan pondok saperlu adu jago. Kyai Kasan Besari pungkasane mangerteni kena ngapa Ranggawarsita jengkel, mula saka kuwi Ranggawarsita banjur diwenehi kajiyan ilmu tassawuf. Iku mau kang gawe daya pangaribawa marang pemahaman syariate Ranggawarsita mangsa sabacute.

Dene Ramalan kang asipat kanggo jangka ing tembe kang kaya-kaya nduweni katrepan ing jaman kang diramalake bisa kaandharake kaya mangkena, kaya ta:

“… Nusa Jawa bakal kinalungan wesi” (Pulo Jawa bakal dikalungi karo wesi).

Saperangan tafsiran dimaknani yen ta, panemu iku ana gegayutane karo tuwuhing industrialism ing Jawa. Ana kang maknani yen ta kalung wesi iku rel utawa dalan sepur kang minangka gegambarane sepur. Tafsiran iki bener amarga Ranggawarsita urip ing jaman penjajahan Walanda. Daya pangaribawa saka penjajah Walanda gedhe banget marang lingkungan keratin.. Dene ing bumi Eropa , diwiwiti saka Prancis lan nyebar ing Negara-negara Eropa kaya Walanda, lagi nandang Revolusi Industri saengga industrialisai utawa transportasi dharat nggunakake kereta wus dadi babagan kang lumrah. Crita-crita kang kaya mangkono kuwi bisa keprungu ing wilayah kraton kang kanthi ajeg ana gegayutane karo bangsa Walanda. Wis dadi bab kang baku yenta panemuRanggawarsita, yen ta Jawa lagi ana ing gegemaning bangsa Walanda, mula ora kliru yen ta kalung wesi bakal ngiteri Jawa, yaiku arupa industrialisasi kang awujud kreta api.

4. Tradhisi Kapemimpinane Pandhita lan Prabu Jayabaya iku titisaning Wisnu

Kang narik kawigaten saka serat Praniti Wakya minangka asil karyane R. Ng. Ranggawarsita, ngandharake ngenani panemune Prabu Jayabaya marang tradhisi kapemimpinane Pandhita. Pandhita ing sitem kasta Hindhu nduweni drajat kalungguhan kang paling dhuwur kanthi social. Luwih dhuwur yen dibandhingake kastane para Raja lan Ksatria.

Dicritakake yen ta sawise sinau marangMaulana ‘Ali Syamsu Zain, Prabu Jayabaya karo anake kang jenenge Prabu Anom Jayamijaya nduwe niyat ndherekake sang Guru menyang Negara Rum tuma ing pelabuhan. Mulih saka pelabuhan, Prabu Jayabaya lan anake mampir menyang pratapane sawijining Pandhita kang aran Ajar Subrata, yaiku sedulur sapreguron san Prabu jayabaya. Nanging Pandhita mau isih ngugemi ajaran Hindhu. Sang Pandhita dwe maksud njajal Prabu Jayabaya kang kawentar minangka titisan Bathara Wisnu kanthi menehi pitung suguhan kang arupa kunyit sarimpang, jadah, getih, kejar sawit, bawang putih, kembang melathi, lan kembang seruni kang siji-sijine diwadhahi takir.

Suguhan kasebut kanggo Prabu Jayabaya nduweni makna sinandi utawa arti kang ora sanyatane. Apa maneh Prabu Jaya baya lan Ajar Subrata nate dadi sedulur sapreguron saengga bisa wae dheweke nduwe kawruh kang kurang luwih padha. Susguhan kasebut agawe sang Prabu banget duka lan bacute mateni Pandhita lan putrine kang dadi garwane Prabu Anom Jayamijaya, putrane. Sawise prastawa kasebut, Jayabaya nerangake yen ta anggone dheweke mateni pawongan loro mau kanggo menehi ukuman marang kurang ajare Sang Pandhita kang nduweni niyatan arep mungkasi kuwasane Raja-raja neng tanah Jawa. Suguhan mau nduweni makna yen Prabu Jayabaya mangan suguhan mau, mula kuwasa ing Jawa bakal tetep ana ing tangane Pandhita, lan jaman baru, kalebu ing njerone ana pangrembakane Islam, ora bakal bisa kedaden.

Kaya mangkono panemu ing Serat Praniti Wakya, yen ta Prabu Jayabaya yaiku titisan Wisnu kang mung kari kaping pindho tumurun ing Marcapada. Saparipurnane Prabu Jayabaya, dicritakake yen ta Wisnu bakal nitis ing Jenggala lan sawise iku ora bakalan ana maneh titisan sarta ora nduweni tanggungjawab maneh tumrap kemakmuran lan karusakan ing bumi utawa alam ghaib.

“… Ingsun iki pandjenenganing Wisjnu Murti, kebubuhan agawe rahardjaning bumi, dene panitahingsun mung kari pindo, katelu ingsun iki, ing sapungkuringsun saka Kediri nuli tumitah ana ing Djenggala, wus ora tumitah maneh, karana wus dudu bubuhan ingsun, gemah rusaking djagad, lawan kahananing wus ginaib, ingsun wus ora kena melu-melu, tunggal ana sadjroning kakarahe guruningsun, ...”

Tulisan ing ndhuwur nggambarake yen ta ajaran ngenani dewa ing hindhuisme ora bakal kedaden maneh sapungkure nitise Wisnu ing Jenggala. Bab iki ditegesi yen ta sapungkure nitise Wisnu ing Jenggala, Wisnu wis ora nduweni tanggung jawab maneh marang utuhing donya nyata utawa donya donya maya alam ghaib, kalebu ngenani dewa. Bisa ditilik saka paripurnane iku, Majapahit kang dianggep minangka kerajaan kang kawentar ing nuswantara masiya kanyata wis ora bisa nindakake ajaran Hindhu kanthi murni, nanging nindakake sinkretisme antarane ajaran Syiwa lan Budha. Bacute jaman bakalan owah pinuju jaman Islam kang disasmitakake yen ta kahanan bakalan dadi siji kanthi tongkat utawa cekelan guru Jayabaya kang asma Maulana ‘Ali Syamsu Zein. Malah kathi cara kasirat ing Serat Praniti Wakya sejatine nyoba ngandharake yen ta Bathara Wisnu, Dewa kang kalebu ing Trimurti lan nduweni tanggungjawab njaga alam semesta utawa Marcapada, kanyata wis bisa nampa ajaran Islam minangka agamane.

Kaya mangkono gegambaran ngenani Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya. Kitab kasebut dhasare yaiku buku kang nyoba kanggo aweh apresiai marang anane Islam Ing Pulo Jawa. Hatta, ing njerone ngandhut akeh babagan kang musykil lan kaya-kaya ora cundhuk karo ajaran Islam, nanging kitab kasebut yen disawang minangkaperangan saka proses dhakwah Islam ing pulo Jawa, mula bisa dikaji kanthi kajiyan Agama, utamane Islam. Sebab akeh banget karya sastra Jawa kang nduweni nafas Islam nanging dianggep kitab Hindhu utawa kebatinan. Nanging kabeh mau among adhedhasar sudhut pandhange wae. Kahanan kaya mangkene iki amarga isih sithike wong jawa utamane wong muslim kang gelem nyinaoni naskah-naskah lama karya para pujangga saka sudhut pandhang agama. Lan uga dikira yen ta kajiyan ilmu ing kalangan Islam isih durung ngrembaka.

Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya, anggitane pujangga R. Ng. Ranggawarsita, kaya-kaya minangka wujud gabungan antarane Islam dan kejawen. Nanging sejatine piwulangan Islam luwih rowa, dene kejawen dhewe mung minangka kulit njaba kang dadi wujud pamikiran Jawa kang wis oleh daya pangaribawa ruh Islam.

Bacute, hakikat “ramalan” Jayabaya minangka perangan upaya mangerteni Islam kang saka proses kang dawa kang durung rampung. Mula saka kuwi bisa dikaji kanthi luwih jero maneh.

Ajaran Kehidupan Dalam Serat Joyoboyo


Salah satu ajaran untuk mencari kesempurnaan hidup (kasampurnaning urip) adalah dengan mempelajari Layang Joyoboyo. Dalam layang tersebut Sri Aji Joyoboyo menuliskan petuah terhadap generasi mudah khususnya bangsa Jawa untuk tidak melupakan ajaran Kehidupan. Layang ini ditulis dengan huruf Jawa asli dan terdapat 75 halaman. Apa saja yang bisa kita pelajari? Dan bagaimana bunyi Layang Joyoboyo tersebut? Inilah kutipannya.

LAYANG JOYOBOYO

HODJOBROLO :1

Gusti ingkang moho welas asih lan moho wicaksono,ugo Gusti uwes maringi pangerten marang bongso jowo lan djalmo manungso kang ono ing jagat iki.tumindakho kang becik marang sapodo padaning urip. ugo tumindakho kang jujur marang gusti nganggo roso kang ono ing rogo siro,semono ugo gusti bakal maringi balesan  marang opo  kang siro lakokake ing bumi mulyo kene,ugo ing bumi sentoso mengkene

(Gusti yang maha pengasih dan bijaksana, juga Gusti yang memperikan pengertian terhadap bangsa Jawa dan semua manusia di Jagad ini. Bertindaklah yang baik terhadap sesama makhluk hidup. Juga bertindaklah yang jujur terhadap Gusti dengan menggunakan rasa yang ada di ragamu, dengan begitu Gusti akan memberi balasan terhadap apa yang telah kamu lakukan di bumi yang mulya dan sentosa ini)

HODJOBROLO :2

Gusti kang moho mekso,marang ukum kang dadi kekarepane,ugo gusti kang pareng sekso marang sopo kang tumindak cidro. amergo sabdaning gusti kuwi ora ono kang biso ngalang-ngalangi.semono ugo kekarepane gusti

(Gusti yang maha memaksa, terhadap hukum yang jadi kehendakNYA, juga Gusti yang memberikan siksa terhadap siapa saja yang bertindak buruk. Karena sabdanya Gusti itu tidak ada yang bisa menghalang-halangi, begitu juga kehendakNYA)

HODJOBROLO:3

gusti kang moho kuwoso kang njogo langit  sarto bumi ,semono ugo gusti kang moho kuwoso njogo kahuripan kang katon ono ugo kang ora katon,lan sak isine kang ono ing jagat iki,tanpo kuwasane gusti kang moho suci bakal sirno jagad iki ,semono ugo bakal ora ono kahuripan sak iki.

(Gusti yang hama kuasa yang menjaga langit dan bumi, begitu juga Gusti yang maha kuasa menjaga kehidupan yang tampak juga yang tak tampak, dan semua yang ada di jagad ini, tanpa kuasa Gusti yang maha suci bakal sirna jagad ini, begitu juga bakal tidak ada kehidupan sekarang)

HADJOBROLO:4

gusti kang pareng balesan bongso jowo kang ora melu marang dalane gusti ,lan gusti pareng sabda:siro bongso jowo yen percoyo marang gusti turutono opo kang dadi panjaluke gusti,anangeng yen siro ora percoyo,kasengsarane urip siro bakal teko

(Gusti yang memberi balasan terhadap Bangsa Jawa yang tidak ikut terhadap aturan Gusti, dan Gusti memberi sabda: Kalian Bangsa Jawa kalau percaya terhadap Gusti ikutilah apa yang menjadi perintah Gusti, tetapi kalau kalian tidak percaya, kesengsaraan hidup kalian bakal datang)

HADJOBROLO:5

gusti uwes maringi sabdo marang aku kang tak tulis ono ing kitab joyoboyo,bongso jowo kabeh kang nglalekake gusti uripe bakal kurang  sandang lan pangan,ugo lemah kang mahune ijo bakal tak garengake koyo mahune nganti akhir siro kabeh nduweni katentreman

(Gusti sudah memberikan sabda terhadap aku yang kutulis dalam kita Joyoboyo, Bangsa Jawa semua yang melupakan Gusti hidupnya bakal kekurangan sandang dan pangan, juga tanah yang semula subur bakal kering kerontang seperti asalnya hingga akhirnya kalian semua memiliki ketentraman)

HADJOBROLO:6

gusti kang pareng sabdo kajawen diturunake ing tanah jowo soko kuwasane gusti kang moho wicaksono, supoyo bongso jowo kuwi biso nduweni kahuripan kang sampurno ing bumi mulyo kene lan mirangake opo kang dadi panjaluke gusti  anangeng siro biso ngrasake kahuripan yen siro kuwi ing bebayan

(Gusti yang memberi sabda Kejawen diturunkan di tanah Jawa dari kuasa Gusti yang maha bijaksana, supaya bangsa Jawa itu bisa memiliki kehidupan yang sempurna di bumi yang mulya ini dan mendengarkan apa yang menjadi perintah Gusti dan kalian bisa merasakan kehidupan saat dalam keadaan bahaya)

HODJOBROLO:7

gusti kang njunjung drajat kahuripane kawulo lan iki kang dadio sabdaning gusti marang bongso jowo kabeh,kang iseh mangerteni marang opo kang dadi kekarepane gusti,semono ugo gusti bakal njunnjung derajat kasengsarakane uripe bongso jowo yen bongso jowo kuwi mangerteni ukume gusti

(Gusti yang menjunjung derajat kehidupan rakyat dan ini yang menjadi sabda Gusti terhadap bangsa Jawa semua, yang masih memahami terhadap apa yang menjadi perintah Gusti, dengan demikian Gusti akan menjunjung derajat kesengsaraan hidup bangsa Jawa ketika bangsa Jawa itu mengerti hukumnya Gusti)

HODJOBROLO:8

siro bongso jowo sejatine nduweni pangomongane gusti kang moho kuwoso kang pareng pepadange kahuripan,supoyo dalan siro kang peteng biso dadi padang,anangeng siro bongso jowo malah ngalekake pangomongane gusti kang tinulis ono kitab joyoboyo

(Kalian bangsa Jawa sejatinya dipelihara Gusti yang maha kuasa yang memberi terang kehidupan, supaya jalan kalian yang gelap bisa menjadi terang, tetapi kalian bangsa Jawa malah melupakan Gusti yang memelihara kalian seperti yang tertulis di kitab Joyoboyo)

HODJOBROLO:9

siro bongso jowo arep nyuwun opo maneh marang gusti sebab kadegdayan kabeh uwes ono ing rogo siro lemah kang mahune gareng biso telesake ,ugo lemah kang mahune teles biso siro garengake yen siro kuwi percoyo marang kuwasane gusti,sebab kahuripane bongso jowo kang ora percoyo marang gusti bakal nemokake kasengsaran kang gede ing tembe mburine

(Kalian bangsa Jawa mau memohon apa lagi pada Gusti sebab semua kejadian sudah ada di raga kalian. Tanah yang tadinya kering bisa menjadi basah, juga tanah yang tadinya basah bisa kalian keringkan kalau kalian percaya terhadap kuasa Gusti, sebab kehidupan bangsa Jawa yang tidak percaya terhadap Gusti akan menemukan kesengsaraan yang besar di belakang hari).

HODJOROLO :9

Gusti kang pareng sabdo bongso jowo ,yo kuwi bongso kang wiwitan kang dadi ciptakane gusti kang teko ing bumi mulyo iki kang nggowo kuasane gusti ,sak durunge ono jalmo manungso ,anangeng sabdaning gusti kang uwes katulis ingkitab joyoboyo:siro bongso jowo yen bumi mulyo iki uwes kebak karo jalmo manungso kang dadi ciptakane gusti.siro bongso jowo bakal lali marang agama peparingane gusti marang isine kitab joyoboyo

(Gusti yang memberi sabda pada bangsa Jawa, yaitu bangsa awal yang menjadi ciptaan Gusti yang datang di bumi yang mulya ini yang membawa kuasa Gusti sebelum ada manusia, sabda Gusti yang sudah tertulis dalam kitab Joyoboyo: Kalian bangsa Jawa jikalau bumi mulya ini sudah penuh dengan umat manusia yang menjadi ciptaan Gusti, kalian bangsa Jawa bakal lupa terhadap agama (tuntunan) pemberian Gusti lewat isi Kitab Joyoboyo)

HODJOROLO 10

Gusti kang moho mriksani marang kedadean kang nyoto,marang tumindake bongso jowo kang ora nerimo marang peparingane gusti kang mohosuci.banjur gusti pareng sabdo:yen tanah jowo katekan jalmo manungso liyo kang dadi ciptakane gusti .agamo jowo lan isine kitab joyoboyo kang ditules bongso jowo bakal tak sirnakake dene kuwasane gusti kang moho suci

(Gusti yang maha melihat terhadap kejadian yang nyata, pada tindak-tanduk bangsa Jawa yang tidak bersyukur terhadap pemberian Gusti yang maha suci. Maka Gusti akan memberi sabda: Jika tanah Jawa sudah kedatangan manusia lain yang menjadi ciptaan Gusti. Agama (tuntunan) Jawa dan isi kitab Joyoboyo yang ditulis bangsa Jawa bakal aku sirnakan dengan kuasa Gusti yang maha suci)

HODJOROLO:11

Lan bongso jowo ora bakal iso maneh mangerteni marang agamane bongso jowo kang tekane soko gusti.banjur goro goro kuwi teko lan ndadekake kahurioane bongso jowo,lali marang asal usule lan ninggalake marang wekasane gusti kang moho suci kang uwes katulis ono ing kitab joyoboyo kanggone bongso jowo

(Dan bangsa Jawa tidak bakal bisa lagi memahami terhadap agama (tuntunan) bangsa Jawa yang datangnya dari Gusti. Karena lantaran itu datang dan menjadikan kehidupan bangsa Jawa, lupa terhadap asal-usulnya dan meninggalkan terhadap pesan Gusti yang maha suci yang sudah kutulis dalam kitab Joyoboyo terhadap bangsa Jawa)

HODJOROLO:13

Gusti kang pareng dawoh :bongso kang mahune diparingi kadegdayan marang gusti ,malah ditinggalake. nganti akhire sabdoning guti kuwi teko ,ngrusak kahuripane bongso jowo ,lan bongso jowo sopo wahe kang ora mirengake opo kang dadi kekarepane gusti,ugo ninggalake marang wekasane gusti bakal keno ukumane gusti kang gedhe ,semono ugo siro kabeh bakal ora bakal biso nyuwun panguksumo,kajoboi nrimo marang ukumane gusti kang pareng sikso marang bongso jowo kang uwes katukis ono kitab joyoboyo

(Gusti yang memberi perintah: bangsa yang tadinya diberi kesaktian oleh Gusti, malah ditinggalkan. Hingga akhirnya sabda buruk itu datang, merusak kehidupan bangsa Jawa, dan bangsa Jawa siapa saja yang tidak mendengarkan apa yang menjadi perintah dan meninggalkan pesan Gusti bakal terkena hukuman yang besar, begitu juga kalian semua bakal tidak bisa minta ampun, kecuali menerima terhadap hukuman Gusti yang memberikan siksa terhadap bangsa Jawa yang sudah tertulis dalam kitab Joyoboyo)

LAYANG JOYOBOYO

HOSOROPOLO

Gusti pareng dawuh marang aku: siro bongso jowo sejatine uwes diparingi gusti kadegdayan ,kanggo kaperluane siro sak bendinane  awet tanah jowo kang mahune gundul gusti dadekake ijo supyo siro bongso jowo biso krasan marang panggenan kang anyar iki

(Gusti memberi perintah pada diriku: Kalian bangsa Jawa sejatinya sudah diberi Gusti kesaktian, untuk keperluan kalian setiap harinya karena tanah Jawa yang tadinya gundul dibuat hijau supaya kalian bangsa Jawa bisa kerasan di tempat yang baru ini)

HOSOROPOLO

Anangeng  sabdaning gusti kang tak tulis ono kitab joyoboyo kanggone siro bongso jowo ,gusti pareng dawoh siro bongso jowo bakal ninggalake agomo peparingane gusti kang moho suci,lan gusti pareng sabdo siro bongso jowo bakal lungo adoh kanggo nggoleki asmane gusti ,siro dewe ora bakal duwe ketentreman yen siro kuwi lali marang asmane gusti kang uwes temurun kanggone siro kabeh ing tanah jowo

(Tetapi sabda Gusti yang kutulis di kitab Joyoboyo bagi kalian bangsa Jawa, Gusti memberi kabar kalian bangsa Jawa bakal meninggalkan agama (tuntunan) pemberian Gusti yang maha suci, dan Gusti memberikan sabda terhadap kalian bangsa Jawa bakal pergi jauh untuk mencari asma (nama) Gusti, kalian sendiri tidak bakal memiliki ketentraman kalau kalian lupa terhadap asma (nama) Gusti yang sudah diturunkan untuk kalian semua di tanah Jawa)

HOSOROPOLO

Sebab sabdoning gusti kang uwes tak tulis ono kitab joyoboyo kanggone siro malah siro tinggalake.menyang monco endi wahe siro lungo lan iki sabdaning gusti ,bongso jowo ora bakal nduwe ketentreman nganti wanci bali ono ing ngersane gusti

(Sebab sabda dari Gusti yang sudah kutulis di kitab Joyoboyo untuk kalian malah kalian tinggalkan. Pergi keluar negeri mana saja kalian dan ini sabda Gusti, bangsa Jawa tidak bakal memiliki ketentraman hingga saat kembali ke haribaan Gusti)

HOSOROPOLO

Amergo pangerteni gusti kuwi luwih duwur katimbang siro bongso jowo kang diparing gusti : budi, roso,pikiran lan angen2 ,supoyo siro biso mangerteni marang dununge kahuripan kang tekane soko gusti ,anangeng djalmo manungso kang dadi ciptane gusti kuwi,ngendiko marang siro,iki sejatine agamane siro ,sejatine jalmo manungso kuwi ngapusi marang siro sebab siro jalmo manungso wiwitan  teko ono ing jagat kang nggowo agamane gusti

(Karena pemahaman terhadap Gusti itu lebih tinggi daripada kalian bangsa Jawa yang diberi Gusti: budi, rasa, pikiran dan angan-angan, supaya kalian bisa memahami terhadap keberadaan hidup yang datangnya dari Gusti, tetapi umat manusia yang menjadi ciptaan Gusti itu, berkata terhadap kalian, ini sjeatinya agama kalian, sejatinya manusia itu menipu terhadap kalian sebab kalian adalah manusia pertama yang datang di jagad dengan membawa agamanya Gusti)

HOSOROPOLO

Gusti kang pareng sabdo ; bongso jowo kabeh kang ono ing jagat iki bakal ora mirengake maneh marang ngendikane gusti awit sabdoning gusti uwes luweh disik teko

(Gusti yang memberi sabda: bangsa Jawa semua yang ada di jagad ini bakal tidak mendengarkan lagi terhadap perintah Gusti sebab sabda Gusti sudah datang terlebih dahulu)

HOSOROPOLO

Banyu kang mahune resik bakal dadi reget yen siro bongso jowo kuwli lali marang wekasane gusti ,ugo asmane gusti kang manggon ono ing roso siro.bakal sirno soko kahuripane bongso jowo semono ugo kasumparnane gusti kang papat kang ditetesake ing bumi suci bakal sirno soko kahuripane siro

(Air yang tadinya bersih bakal menjadi kotor jika kalian bangsa Jawa lupa terhadap perintah Gusti, juga asma (nama) Gusti yang tinggal di dalam rasa kalian. Bakal sirna dari kehidupan bangsa Jawa begitu juga empat kesempurnaan Gusti yang diteteskan di bumi suci ini bakal sirna dari kehidupan kalian)

HOSOROPOLO

Gusti kang moho kuwoso kang pareng keslametan dumateng kawulo rino klawan wengi  among panjenengane gusti kulo pasrahaken gesang lan sedoh kawulo sirno bebayan sakeng  kuwoso panjenengan kagem sak lawase lan iki kang dadi sabdaning gusti marang bongso jowo kang isih mangerteni kuwasane gusti

(Gusti yang maha kuasa yang memberi keselamatan padaku siang dan malam, hanya padaMU Gusti saya pasrahkan hidup dan matiku sirna semua bahaya dari kuasaMU untuk selamanya dan ini yang menjadi sabda Gusti terhadap bangsa Jawa yang masih memahami kuasanya Gusti)

Kedadian Naliko Jaman Sengoro


Zaman Sengoro Kudu waspodho
Akeh musibah wajib do kroso
Sadare ati bakale mulyo
Dun'ya akhirat bakale bejo.
Wajibe Kawulo kudu ikhtiyar
Sabar tawakal dadine sadhar
Akehing dongo ayo di ungkal
Kemurahaneng Allah bakale Kekal.
Zaman Sengoro Kudu waspodho
Jarene zaman Reformasi
Tingkah lakune kok ora murni
Ndadekne susah manaske ati
Ngakune reformis
Tiba'e ngapusi.

Sengoro Ngancek kolo Bendu
Ngulama'e akeh kang kelu
Khilafing perkoro mesti dadi padu
Wajibe U'lama' kudu bersatu.
Mulo dongane Nabi lan poroWali
Pembuktiane den Tirakati
Qobule Allah bakale Mukti
Kesaktianeng awak kang den miliki.
Zaman sengoro ngancek kolo bendhu
Kudhu ngati-ati lan mituhu
Marang dhawuhe 9usti Allah lan dhawuhe Rosulullah
Insya Allah selamet ndonyo akhiroth

Ing sak njerone zaman sengara akeh wong jawa kena fitnah dining sanak.
Wong priya dadi pawestri.
Wong wadon ilang wirange.
Arang-arang manungsa kang eling.
Karepe wong pada murka.
Ana perang pupuh.
Akeh mati kobongan.
Ramene wong mburu donya, nanging arang kang metu dalan halal.
Akeh maru ing pawestri.
Nomnoman akeh kang melacur.
Akeh wong jorjoran omah, masjid langgar tinumbar karang.
Duraca uga akeh.
Wong kena perkara akeh kang taruk arta maring jaksa murih den selametake sangka perkarane.
Wong dura saya dudera datan purun pinurih penggawe becik.
Agamane wong kalah karo arta.
Setat kalah karo debat.
Dulur dadi wong liya, wong liya dadi sedulur.
Wong temen den girohake, ahli giroh pada den turut.
Wong aman den khianati, ahli khianat de percaya.
Akeh wong pegatan.
Akeh wong ngombe arak.
Akeh wong pinter kebelinger, wong ngerti katriwal-triwal.
Akeh wong pasulayan bab waris.
Ana tirkah ora ana sing bagi.
Angele golek wong kang bisa bagi kaya goleh gagak putih.
Ana udan mangsa tiga, iya iku sing diarani udan salah mangsa.
Cacahe wong wadon luweh akeh katimbang wong lanang, nganti ana wong lanang siji jumenengi wong wadon petangpuluh tumeka seket. ila ila jawa wus nyebutake ( Petiplak awang awang duda pincang regane sewidak uang, perawan setheng oleh sak renteng, lanjar jaga imbuhe)
Wong kang ngerusak agama rosul, wewalere agama kaya gegem mawa. Jagad saya mungsret.
Lakune mangsa uga saya cepet, nganti setahun kaya sewulan, sewulan kaya sejumat, sejumat kaya sedina, sedina kaya sejam, sejam kaya lawase uripe blarak.
Arta pek mung kaduwe pemerintah.
Angele golek wong kang kena dipercaya kaya golek barang jarahan.
Zakat kanggo piutang.
Akehe wong luru kawruh kadiya wudaling laron ing mangsa labuh, nanging sing akeh ora kerana agama balik kerana pangkat kasinggihan kanggo mburu kemewahan donya utawa kanggo nggedeake isine telih.
Golek wong ngerti adab agama kaya golek jaran kang anduweni sungu.
Ana wong lanang ngiblat bojone.
Wani marang biyunge. Akeh anak lali bapak, bapa lali maring siwine.
Ana germo macak kiyai.
Ana demit munggah mesjid, langgar digawe jigar. Saben kampung den kepalani wong fasiq.
Wong mulya dadi asor, wong asor bisa pangkat.
Ana wong lanang den mulyaake kerana wedi alane.
Suarane wanodyo kadiya angin.
Ana bumi malik ing saknjerone telung panggonan.

Sakwuse iku banjur alamat pareke tekane qiyamat kubra tansah zhohir terus menerus tanpa kendat kaya roncean kalung kang ora sinambung.
Agama pecah dadi pitung puluh telu, nanging kang den ridloni dening Allah mung siji yaiku kang den ugemi dening kanjeng nabi lan priya gung para sahabat.
Ana wong umuk telung puluh ngaku dadi nabi. Kebodohan zhohir. Amar makruf sirna, laku mungkar tansah terus menerus werata ing ngendi-endi panggonan. Wong sholeh ora den aji. Ulama’ gede-gede pada den pundut. Akeh wong maido kitab. Lali marang Yang Agung.

Titenana yen wus ana mangsa mengkono, bebendune Allah jer saya agung. Ngemusibah ana ing tanah jawa. Angin hamra’ ngamuk, omah lan kekayon akeh sing rubuh, manungsa pun akeh kang kerem ana ing samodra. Gemluduk suwarane gunung, obah kang bumi rengka. Gonjang ganjing gunung guntur, riwutan lindu perapta, udan awu udan kerikil, pan akeh begebluk, akeh wong mati kaget.

Ana mangsa mengkono mau anak putu wekas ingsun : “Wong eling kelawan lali isih beja wong eling kelawan waspada”. ففرّواالى الله (pada lumayuha maring Allah) Pangeraning jagad kabeh.

Islam Dalam Serat Jongko Joyoboyo


Bagi sebagian kalangan muslim memunculkan kajian terhadap ‘keberterimaan’ terhadap ramalan sudah tentu akan memantik sebuah polemik. Betapa tidak, konsep Islam dalam memandang ramalan pada dimensi supranatural telah tegas dan jelas. Umat Islam dikenai larangan atas sejumlah pengharapan spekulatif, seperti mengundi suatu pilihan dengan anak panah, berjudi, dan termasuk di dalamnya dengan jalan mempercayai ramalan. Apa yang penulis maksudkan dengan ramalan ini sudah tentu bukan merupakan sebuah upaya perkiraan masa depan dengan sejumlah metode ilmiah semacam metode forecasting penilaian kelayakan bisnis dalam perekonomian atau sejenisnya. Namun lebih kepada ramalan yang berorientasi pada klenik dan atau mengarah praktek kebatinan. Efek ramalan sendiri biasanya berlainan pada tiap-tiap individu yang berbeda. Akan tetapi umumnya, ramalan akan membuat manusia terjebak oleh angan-angan, bahkan secara negatif menjerumuskan pada kemusyrikan.

Namun harus menjadi sebuah kesadaran bahwa realitas yang lain tentang berkembangnya ramalan, akhir-akhir ini, justru semakin marak menyeruak. Semakin canggih piranti teknologi, kemudahan menikmati hidup, dan terbuka lebarnya akses informasi bukannya mengikis kepercayaan manusia modern terhadap model klenik yang satu ini. Ramalan justru seperti memanfaatkan kondisi dengan berperan mengisi kekosongan jiwa “manusia modern” dari kemiskinan spiritualitas. Ramalan bukan lagi identik dengan asap kemenyan pedupaan, spekulasi kartu tarot, bola kristal, pendulum, atau benda-benda yang dianggap memiliki tuah magis lainnya. Akan tetapi berkembang dengan menyelusup melalui layanan jasa komunikasi yang bisa diakses melalui piranti elektronik dengan biaya relatif terjangkau oleh masyarakat luas.

Di kelas menegah ke bawah, kebangkitan ramalan ditandai dengan menguatnya isu-isu lawas tentang pentahapan jaman. Kondisi perubahan sosial kemasyarakatan yang terus didera oleh berbagai kesulitan hidup, krisis kemanusiaan berkepanjangan, dan dekadensi moral telah menumbuhkan angan-angan dan penantian akan kemunculan sosok ‘ratu adil’. Tidak terkecuali, ramalan seringkali menjadi pelarian atas kehidupan yang dianggap semakin tidak pasti.

Bagi masyarakat Jawa khususnya, ramalan Jayabaya(baca: Joyoboyo) merupakan ramalan yang dianggap memiliki akurasi tinggi dalam menerangkan berbagai pertanda perubahan jaman. Ramalan ini sering diagung-agungkan sebagai memiliki gambaran tentang masa depan secara jelas dan meyakinkan. Anehnya, masyarakat yang mempercayai “kebesaran” ramalan Jayabaya, umumnya tidak memiliki pengenalan mendalam tentang keyakinannya berdasarkan sumber ‘resmi’ ramalan Jayabaya. Sikap taken for granted yang mereka tunjukkan umumnya terbentuk hanya melalui proses oral dengan sumber informasi yang tidak jarang sukar dipertanggungjawabkan. Tidak jarang mereka hanya berpatokan kepada ‘kata orang’. Demikian juga sejumlah pihak yang memposisikan diri sebagi penolak ramalan Jayabaya, umumnya juga tidak membangun sikapnya berdasarkan pengetahuan ataupun proses kajian yang jelas. Bahkan kadangkala hanya didasarkan atas sikap mula-mula yang sudah antipati terhadap istilah ‘ramalan’, maka menjadi justifikasi bahwa ramalan Jayabaya pun memiliki kadar ‘negatif’ sebagaimana penilaian awalnya.

Ramalan yang bernada pilu itu pantas dikumandangkan lagi agar kita bisa berkaca diri. Para elite politik dan pemegang tampuk kekuasaan pun selayaknya merefleksikan diri atas segala sesuatu yang telah dilakukannya, yang seakan-akan justru “menggenapi” ramalan itu.

Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya telah ditulis oleh Prabu Jayabaya, raja dari kerajaan Kadiri/Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama serat Jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musarar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan tentang keasliannya, tapi sangat jelas bunyi pada bait pertama dari kitab Musarar yang menuliskan bahwasanya Jayabaya lah yang membuat ramalan-ramalan tersebut; “Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.”

Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).

Kitab Jongko Joyoboyo pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Prabu Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru; Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat sang baginda bernama Sabda Palon dan Nayagenggong.

Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.

Sang pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa atau 1747 Masehi, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 Masehi.

Hadirnya tulisan terkait ramalan Jayabaya ini bukan merupakan usaha untuk melegalkan praktek ramalan. Namun lebih merupakan upaya informatif bagi para pembaca guna bersama memahami hakikat ramalan Jayabaya. Sehingga kejelasan sikap dan tindakan pembaca, terutama sebagai seorang muslim, akan terbangun berlandaskan sebuah pemahaman yang nyata. Sekaligus dalam hal ini penulis berharap, akan tumbuh sikap bahwa baik dalam posisi menerima maupun menolak terhadap hakikat sesuatu hendaknya didasarkan pada sebuah pengetahuan dan bukan hanya berdasarkan penilaian awal yang belum tentu benar apalagi sekedar ‘kata orang’.

Penulis Ramalan Jayabaya

Perlu diketahui, Ramalan Jayabaya merupakan kumpulan ramalan yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Ramalan yang sering disebut dengan istilah Jangka Jayabaya (baca: jongko joyoboyo) tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hasil karya pujangga yang memiliki akurasi tinggi dalam menggambarkan jaman dan kondisi masa depan yang diprediksi. Dengan kata lain sejumlah ‘orang Jawa’ sangat mempercayai ketepatan dan kesesuaian Jangka Jayabaya dalam menggambarkan masa depan.

Jangka Jayabaya memiliki banyak versi, minimal ada 9 (sembilan) macam versi. Umumnya kitab-kitab tentang ramalan Jayabaya tersebut merupakan hasil karya abad XVII atau XIX Masehi. Dari beragam versi Jangka Jayabaya tersebut, secara substansial kebanyakan memiliki kesamaan ide dan gagasan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan beragam versi tersebut sebenarnya mengambil dari sebuah sumber induk yang sama yaitu kitab yang disebut Musarar atau Asrar. Oleh karena itulah maka penulis memutuskan untuk membatasi kajian ini berdasarkan Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya saja. Kitab diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (baca: Ronggowarsito). Serat Pranitiwakya ini dapat dikatakan mewakili ramalan Jayabaya dalam wujud yang bersifat lebih ringkas.

Isi Kitab Musarror

Kitab Musarar inganggit, Duk Sang Prabu Joyoboyo, Ing Kediri kedhatone, Ratu agagah prakosa, Tan ana kang malanga, Parang muka samya teluk, Pan sami ajrih sedaya.
Milane sinungan sakti, Bathara Wisnu punika, Anitis ana ing kene, Ing Sang Prabu Joyoboyo, Nalikane mangkana, Pan jumeneng Ratu Agung, Abala para Narendra.
Wusnya mangkana winarni, Lami-lami apeputra, Jalu apekik putrane, Apanta sampun diwasa, Ingadekaken raja, Pagedongan tanahipun, Langkung arja kang nagara.
Maksihe bapa anenggih, Langkung suka ingkang rama, Sang Prabu Joyoboyone, Duk samana cinarita, Pan arsa katamiyan, Raja Pandita saking Rum, Nama Sultan Maolana.
Ngali Samsujen kang nami, Sapraptane sinambrama, Kalawan pangabektine, Kalangkung sinuba suba, Rehning tamiyan raja, Lan seje jinis puniku, Wenang lamun ngurmatana.
Wus lenggah atata sami, Nuli wau angandika, Jeng Sultan Ngali Samsujen, “Heh Sang Prabu Joyoboyo, Tatkalane ta iya, Apitutur ing sireku, Kandhane Kitab Musarar.
Prakara tingkahe nenggih, Kari ping telu lan para, Nuli cupet keprabone, Dene ta nuli sinelan, Liyane teka para,” Sang Prabu lajeng andeku, Wus wikan titah Bathara.
Lajeng angguru sayekti, Sang-a Prabu Joyoboyo, Mring Sang raja panditane, Rasane Kitab Musarar, Wus tunumplak sadaya, Lan enget wewangenipun, Yen kantun nitis ping tiga.

Artinya

Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Joyoboyo di Kediri yang gagah perkasa, tidak ada yang mengalahkan, setiap peperangan musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Beliau sakti sebab Batara wisnu menitis padanya. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Terkisahkan bahwa Sang Prabu telah beristri lama-lama punya putra juga lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana.
Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa yang pantas dihormati.
Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Joyoboyo, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar.
Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat peringatannya tinggal menitis 3 kali.

Tokoh Jayabaya Menurut Serat Praniti Wakya

Jayabaya yang dimaksud dalam Jangka Jayabaya tidak lain adalah Prabu Jayabaya, raja Kediri, yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam meramal masa depan. Nama Prabu Jayabaya sendiri bagi masyarakat Jawa sering menjadi inspirasi dalam menciptakan gambaran tentang ratu adil. Keberadaannya kerap kali dikaitkan sebagi penitisan Dewa Wisnu yang terakhir di tanah Jawa. Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa Prabu Jayabaya hidup pada atmosfer jaman Hindhuisme dimana seorang raja besar yang pernah hidup digambarkan memiliki hubungan dengan dunia mistik, sebagi wujud inkarnasi Dewa dalam rangka menjaga kelangsungan kehidupan di mayapada (bumi).

Akan tetapi pesan utama yang hendak disampaikan ramalan Jayabaya tentang sosok prabu Jayabaya, hakekatnya justru tidak mengkaitkan sang raja dengan Hindhuisme. Dalam Serat Praniti Wakya, Prabu Jayabaya digambarkan sebagai seorang yang telah menganut agama Islam. Bahkan dalam versi Serat Jayabaya yang lain digambarkan bahwa keislaman yang paling mendekati praktek Nabi adalah keislaman Prabu Jayabaya pada masa itu. “Yen Islama kadi Nabi, Ri Sang Jayabaya…” (Jika ingin melihat keislaman yang yang mendekati ajaran Nabi (Muhammad saw), orang demikian adalah Sang Jayabaya). Gambaran keislaman yang dianggap terbaik demikian, jika memang benar terjadi, pembandingnya tentu adalah praktek keagamaan pada jaman Hindhuisme yang mendominasi tersebut. Parbu Jayabaya dianggap sebagai tokoh Muslim dengan parktek keislaman terbaik mendekati parktek Nabi dibandingkan banyak manusia pada masa itu yang masih mempraktekkan ajaran Hindhu.

Terkait dengan ‘keislaman’ Prabu Jayabaya, Serat Praniti Wakya menjelaskan bahwa raja Kediri tersebut telah berguru kepada Maulana Ngali Syamsujen yang berasal dari negeri Rum. Yang dimaksud dengan tokoh tersebut tentu adalah Maulana ‘Ali Syamsu Zein, seorang sufi yang kemungkinan besar berasal dari Damaskus. Pabu Jayabaya, digambarkan dalam Praniti Wakya sebagai sangat patuh menjalankan ajaran gurunya yang beragama Islam tersebut.

Lantas, apakah ‘keislaman’ Prabu Jayabaya yang hidup dalam atmosfer jaman kehindhuan ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai informasi yang shahih ? Hal ini merupakan persoalan yang sulit diverifikasi kebenarannya. Sebab tidak terlalu banyak bahan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi kehidupan keagamaan pada masa hidup Prabu Jayabaya. Bahkan tidak sedikit yang menggambarkan bahwa sosok Prabu Jayabaya tidak lain hanya sekedar tokoh fiktif belaka. Penulisan beragam versi Jangka Jayabaya pun, umumnya berasal dari masa belakangan, dimana Islam telah berkembang sebagai ajaran masyarakat. Namun hal ini penting dimengerti, terutama bagi para da’i yang berdakwah kepada kaum kebatinan dan kejawen, bahwa klaim mereka tentang Jangka Jayabaya merupakan kitab milik kaum kebatinan dan kejawen adalah salah. Sebab kitab ini sesungguhnya kitab ini dihasilkan berdasarkan pengaruh ajaran Islam.

Terkait keberadaan penganut agama Islam pada masa yang diyakini sebagai ‘Jaman’ Jayabaya, bukan merupakan persoalan yang mustahil. Prabu Jayabaya diyakini hidup pada abad XII, pada masa antara tahun 1135 dan 1157 M. Sedangkan pada masa sebelumnya, yaitu era pemerintahan Erlangga, abad XI, di Leran, sekitar 8 (delapan) kilometer dari Gresik, telah ditemukan batu nisan dari makam seorang bernama Fathimah binti Maimun bin Hibatullah yang memberikan informasi bahwa wanita yang diyakini beragama Islam tersebut meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H atau tahun 1082 M. Bahkan menurut Prof. Dr. Hamka jauh-jauh hari sebelumnya, dalam catatan China, disebutkan bahwa raja Arab telah mengirimkan duta untuk menyelidiki seorang ratu dari Holing (Kalingga) yang bernama Ratu Shi Ma yang diyakini telah melaksanakan hukuman had. Ratu tersebut ditahbiskan antara tahun 674-675 M. Prof. Dr. Hamka menyimpulkan bahwa raja Arab yang dimaksud adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang hidup pada masa itu dan wafat pada 680 M. Demikan juga hasil kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah abad I H atau abad VII-VIII M.

Karya sastra yang ditulis pada masa yang diperkirakan sebagai era Jayabaya, juga memiliki kecenderungan terpengaruh oleh keberadaan ajaran Islam. Disertasi Dr. Sucipta Wiryosuparto menyebutkan bahwa Kakawin Gatutkacasraya karya Mpu Panuluh, banyak menggunakan kata-kata dari Bahasa Arab. Penggunaan kosa kata Arab yang serupa juga dapat ditemukan dalam Serat Baratayuddha, karya bersama Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Tulisan pujangga yang demikian tentu tidak mungkin terjadi kecuali telah terjadi interaksi dengan penganut agama Islam. Hal ini membuktikan bahwa telah ada komunitas umat Islam di Tanah Jawa pada masa yang diyakini sebagai era Jayabaya. Dengan demikian dakwah kepada penguasa, termasuk kepada Prabu Jayabaya pun bukan merupakan perihal yang mustahil. Demikian juga tentang keislaman sang raja Jayabaya merupakan persoalan yang sangat mungkin terjadi. Apalagi Jangka Jayabaya seringkali disebut-sebut diturunkan dari sejumlah karya yang lebih tua.

Substansi Jangka Jayabaya

Boleh dikatakan bahwa hampir sebagian besar isi Serat Praniti Wakya berbicara tentang “masa depan” Pulau Jawa dalam visi Jayabaya. Namun bila dicermati lebih mendalam, akan nampak bahwa Serat Praniti Wakya banyak mengambil isnpirasi penulisan dari sumber-sumber Islam berupa Al Quran dan Hadits. Berita-berita tentang akhir jaman dari kedua pusaka umat Islam tersebut kemudian diolah dalam redaksi pengarang Serat Praniti Wakya (dalam hal ini diyakini sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita). Sehingga sifat universal dari ajaran Islam tentang berita akhir jaman kemudian diterangkan dan diterapkan dalam lingkup Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar ajaaran islam dalam Serat tersebut telah mengalami proses yang disebut ‘jawanisasi’. Namun demikian, substansi Islam itu sendiri masih nampak bersifat tetap dan tidak hilang.

Simak misalnya, penuturan Jayabaya tentang kiamat. Sang Prabu menyatakan bahwa kiamat adalah “kukuting djagad lan wiji kang gumelar iki, iku tekane djajal laknat …”. Sorotan lain Serat Praniti Wakya juga membahas tentang pandangan Prabu Haji Jayabaya tentang akan datangnya Yakjuja wa Makjuja (Ya’juj dan Ma’juj), kiamat kubra (kiamat besar), lochil ma’pule (lauh al mahfudz), dan lain sebagainya.

Konsep-konsep yang termuat dalam Serat Paraniti Wakya tersebut di atas jelas tidak dapat diingkari berasal dari ajaran Islam. Deskripsi beberapa terminologi Islam dalam Praniti Wakya sebagian memang tidak bersifat lugas dan jelas. Pembabakan Jaman menjadi 3 bagian seperti jaman kaliswara, kaliyoga, dan kalisengara jelas bukan merupakan visi ajaran Islam. Demikian juga beberapa ramalan tentang ‘akan’ munculnya sejumlah kerajaan di Jawa seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, dan Surakarta. Namun hal tersebut bukan tidak dapat dijelaskan. Penjelasan pertama, sangat mungkin sang pengarang Praniti Wakya, yaitu R. Ng. Ranggawarsita bermaksud menggambarkan pemahaman sang tokoh Prabu Jayabaya secara apa adanya, yaitu seorang muslim yang masih hidup dalam atmosfer Hindhuisme. Namun dengan penjelasan kedua, hal tersebut bisa saja timbul dari pemikiran pengarang sendiri. Saat menulis sejumlah versi ramalan Jayabaya, jelas Ranggawarsita telah hidup pada masa dimana dia bisa mengikuti sejumlah perkembangan terkait jatuh bangunnya sejumlah kerajaan pada masa lampau, seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, dan seterusnya. Penjelasan awal tersebut memiliki konsekuensi memungkinkan terjadinya pembenaran bahwa Ramalan Jayabaya memang seolah terbukti akurat. Namun mengingat bahwa tidak ada catatan pasti yang menyatakan bahwa Prabu Jayabaya merupakan sosok yang memang ‘pintar’ meramal masa depan, maka penjelasan kedua ini lebih dapat digunakan sebagai argumentasi. Sedang terkait banyaknya konsep Islam dalam ramalan Jayabaya yang kadang terlihat ‘kurang’ islami lagi, mungkin hal ini disebabkan pemahaman R. Ng. Ranggawarsita yang kurang tuntas dalam memahami Syariat Islam.

Ranggawarsita pernah belajar di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, dibawah asuhan Kyai Hasan Bashori atau sering disebut Kyai Kasan Besari (Kyai Ageng Tegalsari)  dalam lidah Jawa. Sebelum berangkat ke pondok, sebenarnya Ranggawarsita telah pandai membaca Al Quran. Oleh karena pengajaran awal di pondok Pesantren Tegalsari, adalah pelajaran tentang kajian Al Quran dan Fiqih maka Ranggawarsita menjadi jengkel. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya, dia sering keluar dari lingkungan pondok untuk berjudi mengadu ayam. Kyai Kasan Besari akhirnya mengetahui kekesalan Ranggawarsita, maka kepada sang Ranggawarsita kemudian diajarkan ilmu tassawuf. Agaknya hal ini sangat berpengaruh terhadap pemahaman syariat Ranggawarsita pada masa selanjutnya.

Sedangkan ‘ramalan’ bersifat futuristik yang seolah memiiliki kesesuaian dengan jaman yang diramalkan, hal tersebut bukannya tidak dapat dijelaskan. Misalnya ungkapan bahwa “… Nusa Jawa bakal kinalungan wesi” (Pulau Jawa akan dikalungi besi). Sebagian penafsir memaknai ungkapan tersebut berkaitan bahwa di Jawa akan timbul industrialisasi. Ada pula yang memaknai bahwa kalung besi yang dimaksud adalah penggambaran bentuk rel kereta api. Jika penafsiran ini benar, maka perlu diketahui bahwa Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda, dimana pengaruh Belanda dalam lingkungan Keraton telah merasuk sedemikian kuatnya. Sedangkan di bumi Eropa sendiri, dimulai dari Perancis dan menyebar ke seluruh Eropa termasuk Belanda, telah mengalami Revolusi industri sehingga industrialisasi maupun transportasi darat menggunakan kereta api sudah umum keberadaannya. Cerita-cerita demikian tentu dapat didengar di wilayah Keraton yang secara intens terlibat dalam pergaulan bangsa Belanda. Sudah tentu dalam pandangan Ranggawarsita, jika Jawa berada dalam genggaman Belanda, maka tidak urung ‘kalung besi’ akan mengitari Jawa. Hal itu bisa berupa industrialisasi maupun wujud rel kereta api.

Menariknya, serat Praniti Wakya sebagai buah karya R. Ng. Ranggawarsita, mediskripsikan pandangan Prabu Jayabaya terhadap tradisi kepemimpinan pendeta. Telah banyak diketahui bahwa para pendeta dalam sistem kasta Hindhu memiliki strata kedudukan paling tinggi secara sosial. Lebih tinggi dari kasta para raja dan bangsawan yang masuk ke strata kedua, yaitu kasta Ksatria. Diceritakan bahwa setelah selesai belajar kepada Maulana ‘Ali Syamsu Zain, Prabu Jayabaya bersama putranya yang bernama Prabu Anom Jayamijaya berniat mengantar kepulangan sang guru ke negeri Rum hingga ke pelabuhan. Sepulang dari pelabuhan, Prabu Jayabaya dan putranya menyempatkan diri singgah dipertapaan seorang pendeta bernama Ajar Subrata, saudara seperguruan sang Prabu namun masih menganut ajaran Hindhu. Sang pendeta bermaksud mencobai Prabu Jayabaya yang dikenal sebagi titisan Bathara Wisnu dengan memberi suguhan berupa 7 (tujuh) jenis yaitu kunyit satu rimpang, jadah (makanan dari beras ketan ditumbuk) darah, kejar sawit, bawang putih, bunga melati, dan bunga seruni masing-masing satu takir (wadah yang dibuat dari daun pisang, biasanya untuk meletakkan sesaji).

Suguhan tersebut bagi Prabu Jayabaya, memiliki makna tersandi atau arti tersembunyi yang berada disebalik suguhan tersebut. Apalagi Prabu Jayabaya dan Ajar Subrata pernah menjadi saudara seperguruan sehingga dimungkinkan mereka memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama. Suguhan tersebut membuat sang Prabu sangat marah dan akhirnya membunuh sang pendeta sekaligus putrinya yang menjadi istri dari Prabu Anom Jayamijaya, putranya. Pasca peristiwa tersebut Jayabaya menerangkan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan untuk menghukum kekurangajaran sang pendeta yang secara tersandi berniat mengakhiri kekuasaan raja-raja di Jawa. Suguhan tersebut memiliki makna bahwa jika Prabu Jayabaya memakannya maka kekuasaan akan tetap berada ditangan pendeta dan jaman baru, termasuk di dalamnya berkembangnya ajaran Islam, tidak akan pernah terjadi.

Demikianlah pandangan Serat Praniti Wakya, bahwa Prabu Jayabaya adalah titisan Wisnu yang hanya tinggal dua kali akan turun ke Marcapada. Pasca Prabu Jayabaya, dikisahkan bahwa Wisnu akan menitis di Jenggala dan setelah itu tidak akan pernah menitis kembali serta tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap kemakmuran ataupun kerusakan bumi maupun alam ghaib.

“… Ingsun iki pandjenenganing Wisjnu Murti, kebubuhan agawe rahardjaning bumi, dene panitahingsun mung kari pindo, katelu ingsun iki, ing sapungkuringsun saka Kediri nuli tumitah ana ing Djenggala, wus ora tumitah maneh, karana wus dudu bubuhan ingsun, gemah rusaking djagad, lawan kahananing wus ginaib, ingsun wus ora kena melu-melu, tunggal ana sadjroning kakarahe guruningsun, …”

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa ajaran kedewaan dalam Hindhuisme tidak akan berlaku lagi pasca penitisan wisnu di Jenggala. Hal ini diperkuat pula bahwa pasca penitisan di Jenggala, Wisnu tidak akan memiliki tanggung jawab lagi terhadap keutuhan dunia nyata maupun dunia maya alam ghaib, termasuk alam kedewaan sekalipun. Dapat kita lihat pula bahwa pasca itu, Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan tersohor di nusantara sekalipun ternyata sudah tidak melaksanakan ajaran Hindhu secara murni, namun menjalankan sinkertisme antara ajaran Syiwa dan Budha. Selanjutnya, jaman akan berubah menuju jaman Islam yang diisyaratkan bahwa semua keadaan akan menjadisatu dengan tongkat atau pegangan guru Jayabaya yang bernama Maulana ‘Ali Syamsu Zein. Bahkan secara tersirat Serat Praniti Wakya sebenarnya mencoba mengungkapkan bahwa Bathara Wisnu, Dewa yang masuk dalam Trimurti dan memiliki tanggung jawab memelihara alam semesta, ternyata telah pula menerima ajaran Islam sebagai agamanya.

Akhiron

Demikian sekilas gambaran tentang Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya. Kitab tersebut pada dasarnya merupakan buku yang mencoba untuk memberikan apresiasi terhadap keberadaan Islam di Pulau Jawa. Hatta, di dalamnya mengandung banyak hal-hal yang musykil dan seolah tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun dengan memandang kitab tersebut sebagai bagian dari proses dakwah di Pulau Jawa, maka perlu pula kaum muslimin mengkaji dan mengapresiasi serat tersebut. Sebab telah banyak kitab Jawa yang sebenarnya memiliki nafas Islam secara kental, namun diklaim sebagi kitab Hindhu maupun kebatinan. Hal ini sudah tentu disebabkan kepedulian umat Islam yang masih minim dan sekaligus kurangnya pengetahuan terhadap naskah-naskah lama karya pujangga. Juga mengindikasikan bahwa kajian keilmuan dikalangan umat Islam, saat ini, masih belum membudaya.

Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya, karya seorang pujangga R. Ng. Ranggawarsita, seolah merupakan bentuk sinkretis perpaduan antara Islam dan kejawen. Akan tetapi nampak bahwa ajaran Islam lebih dominan sebagai substansi. Sedangkan ‘kejawen’ sendiri terposisikan sebagai kulit luar dari bentuk pemikiran Jawa yang telah terisi dengan ruh Islam.

Selanjutnya, jika pembaca termasuk ke dalam kelompok kalangan yang mempercayai ramalan Jayabaya sebagai ramalan yang memiliki akurasi tinggi, maka bersegeralah kembali kepada Islam dan sumber-sumbernya berupa Al Quran dan Ash Shunnah. Sebab, hakikatnya “ramalan” Jayabaya merupakan bagian dari upaya memahami Islam melalui proses pencarian panjang yang belum selesai. Sedangkan bagi kalangan yang menolak sebelum mengkaji hal ini sebelumnya, maka hendaknya akan dapat mengubah sikap terhadap pemahaman hakikat segala sesuatu. Bahwa sahnya sebuah amalan adalah pasca terbitnya sebuah kepahaman mendalam.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...