Kamis, 28 Oktober 2021

KEDUSTAAN TIDAK HANYA DALAM UCAPAN


An-Nawawiy rahimahullah pernah berkata :

واعلم أن مذهب أهل السنة أن الكذب هو الإخبار عن الشيء بخلاف ما هو، سواء تعمدت ذلك أم جهلته، لكن لا يأثم في الجهل، وإنما يأثم في العمد

“Ketahuilah, madzhab Ahlus-Sunah menyatakan bahwa dusta itu mengkhabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Sama saja, apakah engkau lakukan dengan sengaja atau engkau lakukan karena ketidaktahuan (tidak sengaja). Akan tetapi, tidak berdosa jika dikarenakan ketidaktahuan, dan hanya berdosa jika dilakukan karena kesengajaan” [Al-Adzkaar, hal. 460; ].


Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

أن الكذب هو الإخبار بالشيء على خلاف ما هو عليه سواء كان عمدا أم خطأ

“Bahwasannya dusta itu adalah mengkhabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya, sama saja apakah dilakukan dengan sengaja atau karena keliru (tidak sengaja)” [Fathul-Baariy, 1/201].

Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. Adapun Mu’tazilah mensyaratkan adanya kesengajaan (hingga ia disebut dusta), sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawiy dalam Tahdziibul-Asmaa’ wal-Lughaat. Pendapat Mu’tazilah ini tidak benar. Perhatikan hadits berikut :

حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا محمد بن جعفر حدثنا سعيد عن قتادة عن خلاس وعن أبي حسان عن عبد الله بن عتبة بن مسعود عن عبد الله بن مسعود أن سبيعة بنت الحارث وضعت حملها بعد وفاة زوجها بخمس عشرة ليلة فدخل عليها أبو السنابل فقال: كأنك تحدثين نفسك بالباءة ما لك ذلك حتى ينقضي أبعد الأجلين فانطلقت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبرته بما قال أبو السنابل فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كذب أبو السنابل إذا أتاك أحد ترضينه فائتني به أو قال فأنبئيني فأخبرها أن عدتها قد انقضت.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah, dari Khilaas dan dari Abu Hassaan, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud, dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Subai’ah bintu Al-Haaits telah melahirkan  limabelas malam setelah kewafatan suaminya. Lalu Abu Sanaabil masuk menemuinya dan berkata : “Sepertinya engkau ingin menyatakan bahwa engkau telah siap menikah kembali. Tidak boleh bagimu hingga engkau menyelesaikan masa‘iddah-mu yang terlama”. Mendengar itu, pergilah Subai’ah menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhabarkan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Abu Sanaabil. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Abu Sanaabil telah bedusta. Apabila seseorang yang engkau ridlai melamarmu, datangkanlah ia kepadaku” – atau beliau bersabda : “khabarilah aku”. Lalu beliau memberitahukan kepada Subai’ah bahwasannya masa ‘iddah-nya telah selesai” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/447; shahih lighiairhi. Diriwayatkan juga oleh Asy-Syaaf’iy dalam Al-Musnad no. 1301, Ahmad 6/432, Al-Bukhaariy no. 3991 & 5319, Muslim no. 1484, Abu Daawud no. 2306, An-Nasaa’iy 6/194 & 196, Ibnu Maajah no. 2028, Sa’iid bin Manshuur no. 1506, Ibnu Hibbaan no. 4297, Al-Baihaqiy 7/428-429, Ath-Thabaraaniy 24/no. 745-746, dan yang lainnya].

Dalam riwayat lain, Abu Sanaabil radliyallaahu ‘anhu berkata kepada Subai’ah :

إنك، والله ! ما أنت بناكح حتى تمر عليك أربعة أشهر و عشر

“Sesungguhnya engkau, demi Allah. Tidak boleh bagimu menikah hingga lewat empat bulan sepuluh hari dari masa ‘iddah-mu”.

Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abu Sanaabil telah berdusta merupakan kedustaan yang tidak dilakukan dengan sengaja (oleh Abu Sanaabil). Abu Sanaabil melarang Subai’ah menikah lagi kecuali jika ia telah melewati empat bulan sepuluh hari sesuai masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, berdasarkan ayat :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” [QS. Al-Baqarah : 234].

Namun pemahaman Abu Sanaabil ini keliru, karena Subai’ah ini termasuk wanita hamil yang telah melahirkan kandungannya, sehingga di sini masa ‘iddah-nya telah selesai. Allah ta’ala berfirman :

وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”[QS. Ath-Thalaq : 4].

‘Dusta’ yang dilakukan Abu Sanaabil bukanlah jenis dusta yang mewajibkan adanya dosa, karena ia dilakukan dengan sebab kekeliruan yang tidak sengaja.

وحدثنا محمد بن عبيد الغبري. حدثنا أبو عوانة، عن أبي حصين، عن أبي صالح، عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. "من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار".

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid Al-Ghubariy : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Hushain, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 3].

Dusta yang diancam dengan neraka dalam hadits ini dibatasi dengan unsur kesengajaan [lihat : Al-Adzkaar, hal. 460].

Allah ta’ala berfirman :

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah...” [QS. Al-Baqarah : 286].

Walaupun begitu, dusta adalah dusta yang akan tetap menjadi satu kekurangan, bahkan aib bagi siapa yang melakukannya (dengan sengaja). Allah ta’ala berfirman :

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” [QS. Al-Hajj : 30].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mencap orang yang bermudah-mudah membeo semua perkataan yang didengar tanpa menimbang benar atau salahnya; sebagai seorang pendusta.

وحدثنا عبيد الله بن معاذ العنبري. حدثنا أبي. ح وحدثنا محمد بن المثنى. حدثنا عبد الرحمن بن مهدي. قالا: حدثنا شعبة، عن خبيب بن عبد الرحمن، عن حفص بن عاصم، عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع".

Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidulah bin Mu’aadz Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepadaku ayahku (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy; mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Khabiib bin ‘Abdirahmaan, dari Hafsh bin ‘Aashim, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Cukuplah seseorang dicap sebagai pendusta apabila ia mengatakan semua yang didengar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 5].

Jika seseorang melazimi dan membiasakan perbuatan dusta, maka ia benar-benar tercatat di sisi Allah ta’alasebagai pendusta sejati.

حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير. حدثنا أبو معاوية ووكيع. قالا: حدثنا الأعمش. ح وحدثنا أبو كريب. حدثنا أبو معاوية. حدثنا الأعمش عن شقيق، عن عبدالله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "عليكم بالصدق. فإن الصدق يهدي إلى البر. وإن البر يهدي إلى الجنة. وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا. وإياكم والكذب. فإن الكذب يهدي إلى الفجور. وإن الفجور يهدي إلى النار. وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا".

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah dan Wakii’, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Syaqiiq, dari ‘Abdullah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berpegangteguhlah pada kejujuran karena kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berbuat jujur dan memilih kejujuran hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hati-hatilah kamu terhadap kedustaan karena kedustaan membawa kejahatan dan kejahatan itu membawa kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2607].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا حسن ثنا بن لهيعة حدثني حيي بن عبد الله عن أبي عبد الرحمن الحبلي عن عبد الله بن عمرو ان رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ما عمل الجنة قال الصدق وإذا صدق العبد بر وإذا بر آمن وإذا آمن دخل الجنة قال يا رسول الله ما عمل النار قال الكذب إذا كذب فجر وإذا فجر كفر وإذا كفر دخل يعني النار

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Hasan : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah : Telah menceritakan kepadaku Hayya bin ‘Abdillah, dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy, dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah amalan (penduduk) surga ?”. Beliau menjawab : “Kejujuran. Apabila seorang hamba jujur, maka ia akan berbuat baik. Apabila ia berbuat baik, maka ia akan beriman. Dan apabila ia beriman, maka akan masuk surga”. Laki-laki itu kembali bertanya : “Wahai Rsulullah, apakah amalan (penduduk) neraka ?”. Beliau menjawab : “Dusta. Apabila seorang hamba berdusta, maka ia akan berbuat jahat. Apabila ia berbuat jahat, maka ia berbuat kekufuran. Apabila ia berbuat kekufuran, maka ia masuk neraka” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/176; shahih lighairihi].

حدثنا موسى بن إسماعيل: حدثنا جرير: حدثنا أبو رجاء، عن سمرة بن جندب رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (رأيت رجلين أتياني، قالا: الذي رأيته يشق شدقه فكذاب، يكذب بالكذبة تحمل عنه حتى تبلغ الآفاق، فيصنع به إلى يوم القيامة).

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Jariir : Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa’, dari Samurah bin Jundab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku melihat dalam mimpiku dua orang menghampiriku. Mereka berkata : ‘Orang yang engkau lihat merobek-robek mulutnya, maka ia seorang pendusta yang senantiasa berdusta hingga dibawanya sampai ke ufuk. Dan ia selalu seperti itu hingga hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6096].

Dusta adalah perangai yang sangat jelek dalam Islam. Jiwa pun enggan menerima kedustaan walau mungkin hawa nafsu kadang mendorongnya untuk melakukannya. Pernahkah Anda menerima kedustaan dari seseorang ?. Seseorang mungkin dapat mudah melupakan kekeliruan orang lain, namun sulit untuk melupakan (di antaranya) dusta.

حدثنا يحيى بن موسى حدثنا عبد الرزاق عن معمر عن أيوب عن بن أبي مليكة عن عائشة قالت : ما كان خلق أبغض إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من الكذب ولقد كان الرجل يحدث عند النبي صلى الله عليه وسلم بالكذبة فما يزال في نفسه حتى يعلم أنه قد أحدث منها توبة

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Tidak ada akhlaq yang paling dibenci oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam daripada dusta. Sungguh dulu ada seorang laki-laki yang berbicara di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kedustan. Maka hal itu senantiasa membekas dalam diri beliau hingga beliau mengetahui dirinya telah bertaubat darinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1973; shahih].

Hingga,…. banyak di antara shahabat yang mengecualikandusta di antara tabiat jelek yang bisa ada pada diri seorang mukmin.

حدثنا يحيى بن سعيد عن سفيان عن منصور عن مالك بن الحارث عن عبد الرحمن بن يزيد عن عبد الله قال : المؤمن يطبع على الخلال كلها إلا الخيانة والكذب"

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Sufyaan, dari Manshuur, dari Maalik bin Al-Haarits, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Seorang mukmin dapat bertabiat dengan semua aib, kecuali khianat dan dusta” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Imanno. 80; shahih].

حدثنا يحيى بن سعيد عن سفيان عن سلمة بن كهيل عن مصعب بن سعد عن سعد قال : " المؤمن يطبع على الخلال كلها إلا الخيانة والكذب"

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Sufyaan, dari Salamah bin Kuhail, dari Mush’ab bin Sa’d, dari Sa’d (bin Abi Waqqaash), ia berkata : “Seorang mukmin dapat bertabiat dengan semua aib, kecuali khianat dan dusta” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iman no. 81; shahih].

Para imam kita dari kalangan muhadditsiin masih menerima riwayat dari kalangan orang-orang yang menyimpang atau ahlul-bid’ah dengan syarat : ia bukan pendusta, namun seorang yang jujur lagi terpercaya. Saya contohkan sedikit diantaranya :

1.    Ibraahiim bin Thahmaan Al-Khurasaaniy, Abu Sa’iid; seorang yang tsiqah lagi mutqin, termasuk perawi Shahiihain, namun berpemahaman irjaa’ [Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 35 no. 1, tahqiq : Muhammad bin Ibraahiim Al-Maushiliy; Daarul-Basyaair, Cet. 1/1412 H].

2.    Huraiz bin ‘Utsmaan Ar-Rahabiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, termasuk perawi Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya, namun seorang berpemahaman naashibiy [idem, hal. 82 no. 27].

3.    Sa’id bin Abi ‘Aruubah; seorang imaam yang tsiqah, termasuk perawi Shahiihain, namun berpemahaman qadariy [idem, hal. 97 no. 37].

4.    Sa’iid bin Muhammad Al-Jarmiy; seorang yang tsqah, termasuk perawi Shahihain, namun berpemahaman tasyayyu’ (Syi’ah) [idem, hal. 100 no. 38].

5.    Yahyaa bin Shaalih Al-Himshiy; seorang tsiqah lagi hujjah, termasuk perawi Shahiihain, namun berpemahaman tajahhum (Jahmiyyah) [idem, hal. 194 no. 87].

Dusta,…… merupakan tanda-tanda kemunafikan.

حدثنا قبيصة بن عقبة قال: حدثنا سفيان، عن الأعمش، عن عبد الله بن مرة، عن مسروق، عن عبد الله بن عمرو: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أربع من كن فيه كان منافقا خالصا، ومن كانت فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها: إذا اؤتمن خان، وإذا حدث كذب، وإذا عاهد غدر، وإذا خاصم فجر).

Telah menceritakan kepada kami Qabiishah bin ‘Uqbah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy, dari ‘Abdullah bin Murrah, dari Masruuq, dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada empat tabiat barangsiapa yang ada padanya semua hal itu, maka itu termasuk munafik sejati. Dan barangsiapa yang ada padanya salah satu di antara empat tabiat itu, maka padanya terdapat salah satu tabiat kemunafikan, hingga ia meninggalkannya; yaitu : Apabila dipercaya berkhianat, apabila berkata-kata berdusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila bertengkar berbuat jahat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 34].

Oleh karena itu, Islam telah melarang keras perbuatan dusta di hampir seluruh lini kehidupan, di antaranya :

1.      Dusta dalam menceritakan mimpi.

حدثنا علي بن عبد الله: حدثنا سفيان، عن أيوب، عن عكرمة، عن ابن عباس، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (من تحلَّم بحلم لم يره كلِّف أن يعقد بين شعيرتين، ولن يفعل، ومن استمع إلى حديث قوم، وهم له كارهون، أو يفرُّون منه، صُبَّ في أذنه الآنك يوم القيامة، ومن صوَّر صورة عُذِّب، وكُلِّف أن ينفخ فيها، وليس بنافخ).

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mengaku bermimpi sesuatu padahal ia tidak memimpikannya, maka kelak ia akan dibebankan untuk menyambung antara dua ujung rambut yang ia tidak bisa melakukannya. Dan barangsiapa yang mendengarkan pembicaraan suatu kaum yang mereka tidak senang (pembicaraan tersebut didengarnya) atau mereka telah menyingkir darinya (agar tidak terdengar), niscaya akan ditimpakan timah panas pada telinganya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menggambar sesuatu (yang bernyawa), kelak akan dibebankan untuk menghidupkan gambar tersebut, namun ia tidak bisa menghidupkannya” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 7042].

2.      Dusta dalam berinteraksi dengan manusia, meskipun anak kecil.

حدثنا قتيبة، ثنا الليث، عن ابن عجلان، أن رجلاً من موالي عبد اللّه بن عامر بن ربيعة العدويِّ حدثه، عن عبد اللّه بن عامر أنه قال : دعتني أمِّي يوماً ورسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قاعدٌ في بيتنا فقالت: ها تعال أعطيك، فقال لها رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "وما أردت أن تعطيه؟" قالت: أعطيه تمراً، فقال لها رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "أما إنك لو لم تعطيه شيئاً كتبت عليك كذبةٌ".

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Ibnu ‘Ajlaan : Bahwasannya ada seorang laki-laki dari maulaa (bekas budak) ‘Abdullah bin ‘Aamir bin Rabii’ah Al-‘Adawiy telah menceritakannya, dari ‘Abdullah bin ‘Aamir, bahwasannya ia berkata : “Ibuku pernah memanggilku pada suatu hari ibuku, sementara itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk di rumah kami”. Ibuku berkata : “Kemarilah kamu, aku akan memberimu sesuatu’.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Apa yang hendak kamu berikan?”.  Ia berkata : “Aku akan memberinya kurma”.  Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kamu tidak memberikan sesuatu kepadanya, akan dicatat bagimu suatu kedustaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4991; hasan].

3.      Dusta dalam bercanda dan senda-gurau.

حدثنا مسدد بن مسرهد ثنا يحيى عن بهز بن حكيم قال حدثني أبي عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ويل للذي يحدث فيكذب ليضحك به القوم ويل له ويل

Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad : Telah menceritakan kepada kami Bahz bin Hakiim, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Neraka Wail bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk melucu (membuat orang tertawa); neraka Wail baginya, neraka Wail baginya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4990; hasan].

أخبرنا عثمان بن محمد ثنا جرير عن إدريس الأودي عن أبي إسحاق عن أبي الأحوص ان عبد الله يرفع الحديث إلى النبي صلى الله عليه وسلم قال إن شرار الروايا روايا الكذب ولا يصلح من الكذب جدا ولا هزلا ....

Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Idriis Al-Audiy, dari Abu Ishaaq, dari Abul-Ahwash : Bahwasannya ‘Abdullah telah memarfu’-kan hadits kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya sejelek-jelek cerita adalah cerita dusta. Tidak boleh dusta, baik dilakukan dengan sungguh-sungguh ataupun bercanda....” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 2757; shahih].

4.      Dusta dalam jual-beli.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا أبان ثنا يحيي بن أبي كثير عن زيد عن أبي سلام عن أبي راشد الحبراني عن عبد الرحمن بن شبل الأنصاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن التجار هم الفجار قال رجل يا نبي الله ألم يحل الله البيع قال أنهم يقولون فيكذبون ويحلفون ويأثمون

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Abaan : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Katsiir, dari Zaid bin Abi Salaam, dari Abu Raasyid Al-Hubraaniy, dari ‘Abdurrahmaan bin Syibl Al-Anshaariy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya (kebanyakan) pedagang itu adalah orang-orang yang berbuat dosa”. Seorang laki-laki berkata : “Wahai Nabi Allah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli ?”. Beliau menjawab : “Mereka itu sering berkata-kata lalu berdusta, bersumpah lalu berbuat dosa” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/444; shahih].

حدثنا سليمان بن حرب: حدثنا شعبة، عن قتادة، عن صالح أبي الخليل، عن عبد الله بن الحارث: رفعه إلى حكيم بن حزام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، أو قال: حتى يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما).

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Shaalih bin Abi Khaliil, dari ‘Abdullah bin Al-Haarits dimana ia memarfu’kannya kepada Hakiim bin Hizaam radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (memilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli) selagi keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dalam menjelaskan (aib barang dagangannya), akan diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan aibnya dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual belinya (meskipun memperoleh laba)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2079].

5.      Dusta dalam berpenampilan di hadapan manusia.

حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير. حدثنا وكيع وعبدة عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة؛ أن امرأة قالت : يا رسول الله! أقول: إن زوجي أعطاني ما لم يعطني؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (المتشبع بما لم يعط، كلابس ثوبي زور).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Wakii dan ‘Abdah bin Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya ada seorang wanita yang berkata : “Wahai Rasulullah, bolehkah aku berkata : ‘Sesungguhnya suamiku telah memberiku (sesuatu)’ – padahal ia tidak memberiku ?”. Maka Rsulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Al-mutasyabbi’ (orang yang pura-pura kenyang dengan sesuatu) yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2129].

Tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan’ ; An-Nawawiy rahimahullah berkata :

أي: ذِي زُورٍ، وهو الذي يزَوِّرُ على النَّاس، بأن يَتَزَيَّى بِزيِّ أهل الزُّهدِ أو العِلم أو الثرْوةِ، ليغْترَّ بِهِ النَّاسُ وليْس هو بِتِلك الصِّفةِ، وقيل غَيْرُ ذلك واللَّه أعلم

“Yaitu : orang yang menipu. Ia adalah orang yang berdusta kepada manusia, dengan pura-pura memakai pakaian orang yang zuhud atau orang berilmu atau orang kaya; agar orang-orang tertipu, padahal ia sama sekali tidak mempunyai sifat tersebut. Ada juga yang mengatakan selain itu.Wallaahu a’lam” [Riyaadlush-Shaalihiin, hal. 440,].

6.      Dusta dalam berpakaian dan berdandan.

أخبرنا محمد بن عبد الله بن عبد الرحيم قال حدثنا أسد بن موسى قال حدثنا حماد بن سلمة عن هشام بن أبي عبد الله عن قتادة عن سعيد بن المسيب عن معاوية :   أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الزور والزور المرأة تلف على رأسها

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Hisyaam bin Abi ‘Abdillah, dari Qataadah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Mu’aawiyyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dusta, dan kedustaan wanita adalah memasang gulungan rambut pada kepalanya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5248; shahih].

7.      Dusta dalam persaksian.

حدثنا عبد الله بن منير: سمع وهب بن جرير وعبد الملك بن إبراهيم قالا: حدثنا شعبة، عن عبيد الله بن أبي بكر بن أنس، عن أنس رضي الله عنه قال: سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الكبائر قال: (الإشراك بالله، وعقوق الوالدين، وقتل النفس، وشهادة الزور).

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muniir : Ia mendengar Wahb bin Jariir dan ‘Abdul-Malik bin Ibraahiim, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab : “Mensyirikkan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan persaksian dusta/palsu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2653].

8.      Dusta dalam sumpah.

Allah ta’ala berfirman :

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنْقُضُوا الأيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” [QS. An-Nahl : 91].

حدثنا عبد الله بن محمد: حدثنا سفيان، عن عمرو، عن أبي صالح، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة، ولا ينظر إليهم: رجل حلف على سلعة: لقد أعطى بها أكثر مما أعطى وهو كاذب، ورجل حلف على يمين كاذبة بعد العصر ليقتطع بها مال امرئ مسلم، ورجل منع فضل ماء، فيقول الله يوم القيامة: اليوم أمنعك فضلي كما منعت فضل ما لم تعمل يداك).

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Ada tiga orang yang Allah tidak akan mengajaknya bicara pada hari kiamat : (1) Laki-laki yang bersumpah atas barang dagangannya sehingga ia bisa diberi harga lebih banyak dari biasanya, dimana ia berdusta (dalam sumpahnya). (2) Laki-laki yang bersumpah secara dusta setelah ‘Ashar dengan tujuan dengannya memperoleh harta seorang muslim......” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7446].

9.      Dusta dalam klaim nasab.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا هارون بن معروف ثنا عبد الله بن وهب قال قال حيوة أخبرني أبو عثمان أن عبد الله بن دينار أخبره عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : أفرى الفرى من ادعى إلى غير أبيه وأفرى الفري من أرى عينيه في النوم ما لم تريا ومن غير تخوم الأرض

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma’ruuf : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb, ia berkata : Telah berkata Haiwah : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Utsmaan : Bahwasannya ‘Abdullahh bin Diinaar mengkhabarkan kepadanya, dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Kedustaan yang paling dusta adalah orang yang menisbatkan diri kepada selain ayahnya. Dan kedustaan yang paling dusta adalah, siapa saja yang mengaku bermimpi sesuatu padahal ia tidak memimpikannya, dan orang yang mengubah batas tanah” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/118; shahih].

10.   Dusta dalam perselisihan dan berperkara.

حدثنا عبد الله بن مسلمة، عن مالك، عن هشام، عن أبيه، عن زينب بنت أبي سلمة، عن أم سلمة رضي الله عنها: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (إنما أنا بشر، وإنكم تختصمون إلي، ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض، فأقضي له على نحو ما أسمع، فمن قضيت له بحق أخيه شيئاً فلا يأخذه، فإنما أقطع له قطعة من النار).

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Hisyaam, dari ayahnya, dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamahradliyalaahu ‘anhaa : Bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku hanyalah manusia. Dan sesungguhnya kalian senantiasa mengadukan persengketaan kepadaku. Bisa jadi sebagian darimu lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya seperti yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya, janganlah mengambilnya. (Jika ia mengambilnya), maka sebenarnya aku telah mengambilkan sepotong api neraka untuknya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7169].

11.   Makelar dalam perkataan dusta.

حدثنا أحمد بن جميل، أنبأنا عبد الله بن المبارك، أنبأنا ابن لهيعة، عن عبد الله بن هبيرة، عن عبد الله بن زرير الغافقي، عن علي رضي الله عنه قال : القائل الكلمة الزور، والذي يمد بحبلها، في الإثم سواء

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Jamiil : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak : Telah memberitaan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari ‘Abdullah bin Hubairah, dari ‘Abdullah bin Zurair Al-Ghaafiqiy, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Orang yang berkata perkataan dusta dengan orang yang memanjangkan talinya, dalam hal dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Ash-Shamt no. 261; shahih].

Yaitu, jika ia tahu bahwa perkataan itu dusta lalu ia menyebarkannya dengan tujuan kejelekan. Ini sesuai dengan makna hadits :

أخبرنا عمران بن موسى السختياني قال حدثنا عثمان بن أبي شيبة قال حدثنا وكيع قال حدثنا شعبة عن الحكم عن عبد الرحمن بن أبي ليلى عن سمرة بن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حدث حديثا وهو يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين

Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Imraan bin Muusa As-Sukhtiyaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, dari Samurah bin Jundab, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam : “Barangsiapa yang menceritakan sebuah hadits dimana ia tahubahwa hadits itu dusta, maka ia termasuk salah seorang di antara pendusta” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 38; shahih].

12.   Dan yang lainnya.

Akan tetapi, ada beberapa keadaan yang dikecualikan dari larangan dusta ini.

حدثنا عبد العزيز بن عبد الله: حدثنا إبراهيم بن سعد، عن صالح، عن ابن شهاب: أن حميد بن عبد الرحمن أخبره: أن أمه أم كلثوم بنت عقبة أخبرته: أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس، فينمي خيرا أو يقول خيرا).

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdillah : Telah menceritakan keada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih, dari Ibnu Syihaab : Bahwasannya Humaid bin ‘Abdirrahmaan telah mengkhabarkanya : Bahwasannya ibunya, Ummu Kultsuum bintu ‘Uqbah telah mengkhabarkannya : Bahwasannya ia telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah disebut pendusta orang yang memperbaiki hubungan di antara manusia, dimana ia menyampaikan yang baik­ atau berkata yang baik” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2692].

Dalam riwayat lain terdapat tambahan lafadh :

ولم أسمع يرخص في شيء مما يقول الناس كذب إلا في ثلاث: الحرب، والإصلاح بين الناس، وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها.

“Dan aku (Ummu Kultsuum) tidak mendengar beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan sedikitpun dalam berdusta dari apa yang manusia biasa mengatakannya, kecuali tiga hal : peperangan, memperbaiki hubungan di antara manusia, serta ucapan seorang suami kepada istrinya dan ucapan istri kepada suaminya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2605].

An-Nawawiy rahimahulah menjelaskan :

أنَّ الكلامَ وسيلةٌ إلى المقاصدِ، فَكُلُّ مَقْصُودٍ محْمُودٍ يُمْكِن تحْصيلُهُ بغَيْر الْكَذِبِ يَحْرُمُ الْكذِبُ فيه، وإنْ لَمْ يُمكِنْ تحصيله إلاَّ بالكذبِ جاز الْكذِبُ. ثُمَّ إن كانَ تَحْصِيلُ ذلك المقْصُودِ مُباحاً كَانَ الْكَذِبُ مُباحاً، وإنْ كانَ واجِباً، كان الكَذِبُ واجِباً، فإذا اخْتَفى مُسْلمٌ مِن ظالمٍ يريد قَتلَه، أوْ أخْذَ مالِه، وأخَفي مالَه، وسُئِل إنسانٌ عنه، وجب الكَذبُ بإخفائِه، وكذا لو كانَ عِندهُ وديعة، وأراد ظالِمٌ أخذَها، وجب الْكَذِبُ بإخفائها، والأحْوطُ في هذا كُلِّه أنْ يُوَرِّي، ومعْنَى التَّوْرِيةِ: أن يقْصِد بِعبارَتِه مَقْصُوداً صَحيحاً ليْسَ هو كاذِباً بالنِّسّبةِ إلَيْهِ، وإنْ كانَ كاذِباً في ظاهِرِ اللًّفظِ، وبِالنِّسْبةِ إلى ما يفهَمهُ المُخَاطَبُ ولَوْ تَركَ التَّوْرِيةَ وَأطْلَق عِبارةَ الكذِبِ، فليْس بِحرَامٍ في هذا الحَالِ

“Bahwasannya perkataan merupakan sarana untuk menyampaikan maksud/tujuan. Dan setiap maksud/tujuan yang terpuji (menurut syari’at) bisa diperoleh tanpa perlu berdusta, maka berdusta padanya adalah diharamkan. Namun apabila maksud/tujuan tersebut tidak bisa diperoleh kecuali dengan berdusta, maka dalam keadaan itu diperbolehkan untuk berdusta. Kemudian jika tujuan tersebut adalah mubah, maka berdusta pada saat itu hukumnya juga mubah. Apabila tujuan tersebut adalah wajib, maka berdusta pada saat itu hukumnya juga wajib. (Misalnya), apabila ada seorang muslim bersembunyi dari seorang yang dhaalim yang hendak membunuhnya atau merampas hartanya - dan orang tersebut menyembunyikan hartanya -, kemudian ada seseorang yang ditanya tentang keberadaannya, maka pada saat itu ia (orang yang ditanya) wajib berdusta dalam rangka menyembunyikannya. Begitu pula seandainya padanya terdapat barang titipan, dan ada seorang yang dhaalim hendak merampasnya, maka wajib baginya berdusta untuk menyembunyikannya. Namun yang lebih berhati-hati dalam hal ini adalah melakukan tauriyyah. Tauriyyah adalah mengucapkan satu perkataan dengan maksud yang benar dan bukan termasuk orang yang berdusta dari sisi si pengucap, meskipun secara dhahir lafadhnya ia termasuk orang yang berdusta dari sisi orang yang diajak bicara. Dan seandainya ia meninggalkan tauriyyah dan memutlakkan perkataan dusta, maka tidaklah diharamkan dalam keadaan itu” [Riyaadlush-Shaalihiin, hal. 439].

Ikhwah,.... Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kepada kita bahwa di antara tanda-tanda kecil hari kiamat adalah bertebarannya para pendusta yang menghembuskan kedustaannya di tengah umat. Mereka (pendusta) dipercaya, sedangkan orang-orang yang jujur ditinggalkan. Inilah tahun-tahun yang penuh kebodohan.

حدثنا مسدد : حدثنا حدثنا عبيد الله بن موسى، عن الأعمش، عن شقيق قال: كنت مع عبد الله وأبي موسى فقالا:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن بين يدي الساعة لأياماً ينزل فيها الجهل، ويرفع فيها العلم، ويكثر فيها الهرج). والهرج القتل.

Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muusaa, dari Al-A’masy, dari Syaqiiq, ia berkata : Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Muusaa, mereka berdua berkata : Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya antara aku dan hari kiamat akan ada hari-hari yang diturunkan padanya kebodohan, diangkat padanya ilmu, dan banyak terjadi al-harj”. Perawi berkata : “Al-Harj adalah pembunuhan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.7062-7063].

حدثنا يحيى بن يحيى وأبو بكر بن أبي شيبة (قال يحيى: أخبرنا. وقال أبو بكر: حدثنا) أبو الأحوص. ح وحدثنا أبو كامل الجحدري. حدثنا أبو عوانة. كلاهما عن سماك، عن جابر بن سمرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "إن بين يدي الساعة كذابين".

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa dan Abu Bakr bin Abi Syaibah - Yahyaa berkata : ‘Telah mengkhabarkan kepada kami’, dan Abu Bakr berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami’ – Abul-Ahwash (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil Al-Jahdariy : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, keduanya (Abul-Ahwash dan Abu ‘Awaanah) dari Simaak, dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : Aku mendengar Raulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya antara aku dan hari kiamat ada banyak pendusta” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2923].

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة. حدثنا يزيد بن هارون. حدثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن أبي الفرات، عن المقبري، عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((سيأتي على الناس سنوات خداعات. يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق. ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين. وينطق فيها الرويبضة. قيل: وما الرويبضة. قال: الرجل التافه في أمر العامة)).

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada Yaziid bin Haaruun : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Qudaamah Al-Jumahiy, dari Ishaaq bin Abi Furaat, dari Al-Maqburiy, dari Abu Hurairh, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Akan tiba nanti atas umat manusia masa-masa penuh tipu daya. Para pembohong dianggap orang jujur, dan (sebaliknya) orang jujur dianggap sebagai pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah, dan (sebaliknya) orang yang amanah dianggap khianat. Dan para ruwaibidlah mulai angkat bicara”. Ada yang bertanya : “Apa itu ruwaibidlah ??”. Beliau menjawab : ”Orang bodoh yang berbicara tentang urusan umat !” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 4036; shahih].

Lantas apa yang mesti kita lakukan ?. Mari kita renungkan bersama riwayat yang sering kita dengar :

حدثني حرملة بن يحيى. أنبأنا ابن وهب. قال: أخبرني يونس عن ابن شهاب، عن أبي سلمة بن عبدالرحمن، عن أبي هريرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahyaa : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Hurairah, dari Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia mengatakan yang baik atau ia diam….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 47].

Mudah diucapkan, susah untuk dilakukan, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat Allah ta’ala.

ADAB SANGAT PENTING BAGI SANTRI DAN PENUNTUT ILMU


Sebaik-baik kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan waktu adalah menyibukkan diri dengan ilmu syar'i, ilmu Agama, terus mencari dan mendapatkan faidah ilmu, senantiasa mengulang-ulangi pelajaran dan mengajarkannya. Menuntut ilmu syar'i termasuk pendekatan diri yang paling afdhol dan ketaatan yang paling agung. Oleh karena itu para Ulama sejak dahulu sampai sekarang, banyak yang memberikan perhatian besar dalam menjelaskan adab sopan santun yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu, adab sopan santun tersebut merupakan perhiasan dan sarana menuju kemenangan dan kesuksesan. Sebagaimana mereka para Ulama telah menjelaskan tentang akhlaq terpuji dan akhlaq tercela dalam menuntut ilmu, dimana dengan mengetahuinya dan mengamalkannya -dengan menerapkan akhlaq terpuji dan meninggalkan akhlaq tercela tersebut- merupakan jalan pintas untuk mendapatkan ilmu yang diidam-idamkan serta jalan pintas untuk bisa memetik buah ilmu tersebut. Adab Sopan Santun bagi Penuntut Ilmu yang paling penting antara lain:

Niat Ikhlas hanya karena Allah Ta'ala

Menuntut ilmu merupakan ketaatan dan ibadah, sementara Ikhlas hanya karena Allah ta'ala itu wajib ada pada seluruh bentuk ibadah dan ketaatan lainnya. Allah Ta'ala berfirman :

{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ} [البينة: 5]

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [Al Bayyinah (98):5]

Ikhlas dalam menuntut ilmu adalah mengharapkan wajah Allah ketika menuntut ilmu, sehingga apabila keinginan seorang penuntut ilmu hanya untuk memperoleh ijazah, atau menduduki jabatan tertentu untuk mendapatkan manfaat berupa materi saja, maka sesungguhnya dia belumlah ikhlas dalam menuntut ilmu. Dari Abu Hurairah radhiallohu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :

من تعلّم علماً مما يبتغَى به وجه الله - عز وجل- لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها

Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dicari karena mengharapkan wajah Allah Azza Wajalla semata, namun dia tidaklah mencarinya kecuali karena ingin mendapatkan perhiasan dunia dengan ilmu tersebut, maka dia tidak akan mendapatkan "urf Jannah" pada hari kiamat yaitu wangi surga. [HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dishohihkan oleh Al hakim dan Annawawi dalam riadhussholihin]

Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam telah memotifasi kita agar senantiasa memiliki Niat Ikhlas hanya karena Allah Ta'ala semata, sebagaimana dalam hadits Umar Rodhiallohu 'anhu :

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى ..

Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung hanya dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan hanya sesuai dengan apa yang dia niatkan [Muttafaq alaih]

Para Ulama sangat perhatian terhadap hadits Umar Rodhiallohu 'anhu diatas, mereka senantiasa mendahulukan hadits ini dalam kitab-kitab mereka, karena hadits tersebut dibutuhkan secara umum dalam segala perkara, seperti yang telah dikatakan oleh Imam Al Khot-thobi, perhatikan Imam Al Bukhari rahimahullah, beliau memulai kitab Shohihnya dengan hadits ini, para ulama mengatakan : Hadits ini adalah khotbah pembuka kitabnya Imam Al-Bukhari karena beliau tidak menulis muqaddimah apapun, tujuan dari hal tersebut adalah sebagai peringatan bagi para penuntut ilmu agar memperbaiki niatnya dan hanya mengharapkan wajah Allah ta'ala. Imam Annawawi dan Imam Al Baghowi mengikuti metode imam Al Bukhori ini, didalam beberapa kitab mereka berdua, demikian pula para penulis lainnya. Berkata Abdurrahman bin Mahdi :

لو صنفت كتاباً بدأت في أول كل كتاب منه بهذا الحديث

Sekiranya saya menulis sebuah kitab tentu saya mulai pada awal setiap kitab tersebut dengan hadits Umar ini

Imam Ahmad berkata :

العلم لا يعدله شيء لمن صحّت نيته

Ilmu itu tidak ada sesuatupun yang bisa menandinginya, bagi orang yang benar niatnya
Murid-muridnya lalu bertanya : bagaimana orang yang benar niatnya itu..???
Imam Ahmad menjawab :

ينوي رفع الجهل عن نفسه وعن غيره

dia berniat untuk mengangkat kejahilan dari dirinya sendiri dan dari orang lain

Berkata Ibnu Jama'ah Al Kinani setelah menjelaskan keutamaan ilmu :

واعلم أن جميع ما ذكر من فضل العلم والعلماء إنما هو في حقّ العلماء العاملين الأبرار المتقين، الذين قصدوا به وجه الله الكريم، والزلفى لديه في جنات النعيم ، لا من طلبه بسوء نية، وخبث طوية ، أو لأغراض دنيوية ، من جاه أو مال أو مكاثرة في الأتباع والطلاب

ketahuilah, bahwa semua hal yang disebutkan dari keutamaan ilmu dan ulama, hanya terbatas bagi para ulama, yang mengamalkan ilmunya, yang senantiasa melakukan kebaikan serta bertaqwa, mereka yang hanya mengharapkan wajah Allah yang Mulia, dan mengharapkan kedekatan dengan-Nya di surga yang penuh kenikmatan. Bukan bagi orang yang menuntut ilmu dengan niat yang buruk dan hati yang busuk atau karena tujuan-tujuan duniawi berupa kedudukan, harta atau banyaknya pengikut dan santri.

Berkata Abu Yusuf :

أَريدوا بعلمكم اللهَ تعالى، فإني لم أجلس مجلساً قطّ أنوي فيه أن أتواضع إلالم أقم حتى أعلُوَهم، ولم أجلس مجلساً قط أنوي فيه أن أعلوهم إلا لم أقم حتى اُفْتَضَح

Inginkanlah hanya Allah Ta'ala dengan ilmu kalian, karena sesungguhnya aku tidak duduk pada satu majlis sama sekali yang aku berniat didalamnya untuk tawadhu' kecuali aku tidak akan berdiri sehingga mengalahkan mereka, dan aku tidak akan duduk di satu majlis sama sekali yang aku niatkan didalamnya untuk mengalahkan mereka kecuali aku tidak berdiri sehingga aku dikenal.

Bertaqwa kepada Allah Azza wajalla

Para ulama adalah manusia yang paling mengenal Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya, Allah ta'ala berfirman :

{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ} [فاطر: 28]

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. [Fa-thir (35):28]

Dengan Taqwa, seorang alim akan bertambah ilmunya dan dengan ilmu orang yang bertaqwa akan bertambah ketaqwaannya, Allah ta'ala berfirman :

{وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} [البقرة: 282]

Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al Baqarah (2):282]

Allah ta'ala berfirman :

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ} [الطلاق: 2، 3]

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. [Ath-Tholaq (65):2 & 3]

Rezki yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat.

Taqwa adalah kumpulan seluruh kebaikan dan wasiat Allah kepada umat terdahulu dan belakangan, Allah Ta'ala berfirman dalam surah Annisa :

{وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا} [النساء: 131]

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [Annisa (4):131]

Allah Azza wajalla berfirman dalam surah Al-Anfal :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ} [الأنفال: 29]

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [Al-Anfal (8):29]

Dia akan memberikan kepadamu furqaan yaitu memberikan kepadamu sesuatu yang bisa membedakan antara yang haq dan batil, antara yang sehat dan sakit, antara yang bermanfaat dan tak berguna, semua itu hanya ada dengan adanya cahaya dan timbangan ilmu, pelita dan ukuran ilmu. Jadi ilmu itu adalah buah dari buah-buah taqwa, taqwa merupakan jalan untuk memperoleh ilmu, dan ilmu itu mengangkat derajat pemiliknya ke derajat ma'rifatullah yang paling tinggi serta takut ~khos-yah~ kepada Allah, oleh karena itu didapatkan atsar dari Imam Syafi'i Rahimahullah bahwa beliau berkata :

شكوت إلى وكيع سـوء حفظـي فأرشـدني إلى ترك المعــاصي
وأخبرنـي بأن العلـم نــــور ونـور الله لا يهدى لعـاصـي

Aku adukan kepada Waki' tentang buruknya hafalanku, maka dia membimbingku agar meninggalkan maksiat
Dan mengabariku bahwasanya ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat

Hal-hal yang pertama kali masuk dalam bentuk-bentuk taqwa adalah menegakkan syi'ar-syi'ar Islam dan hukum-hukum Islam yang nampak, diantara hal itu adalah menjaga sholat lima waktu di masjid, menyebarkan salam kepada orang-orang tertentu dan kepada kaum muslimin secara umum, amar ma'ruf nahi mungkar, menampakkan sunnah, memadamkan bid'ah, dan menampakkan hukum-hukum Islam lainnya agar supaya dia pantas dijadikan panutan serta terjaga kehormatannya, tidak dilecehkan dan tidak memunculkan persangkaan buruk.

Termasuk juga dalam bentuk ketaqwaan adalah menjaga syari'at-syari'at yang dianjurkan baik dalam bentuk ucapan lisan atau perbuatan anggota badan : diantaranya adalah membaca Al Qur'an Al Karim dengan tafakkur dan tadabbur; memperbanyak dzikir dengan hati dan lisan; senantiasa berdo'a dengan penuh ketundukan disertai dengan keikhlasan dan kejujuran; perhatian terhadap ibadah-ibadah sunnah baik berupa sholat, puasa, sedekah dan haji (umroh) ke Baitullah; serta bersholawat kepada Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam, dan ibadah-badah lainnya yang memiliki keutamaan-keutamaan baik berupa perkataan ataupun perbuatan yang dengannya diharapkan semakin bertambahnya ilmu.

Ilmu memang memilki derajat yang tinggi di hadapan Allah, namun adab adalah buah nyata dari ilmu itu. Sikap kritis terhadap pendapat manusia adalah kewajiban setiap orang yang tidak ingin disebut muqollid (taqlid). Namun adab terhadap ilmu dan ahlul ilmi melebihi tingginya kewajiban untuk bersikap kritis tersebut.

Para salafus shalih mengajarkan kepada kita betapa adab adalah tanda dalamnya ilmu dan tingginya wara’ seseorang dan tawadhu’ terhadap ilmu dan adab walaupun itu dimiliki olah orang yang usianya jauh lebih muda darinya.

عَنْ غُضَيْفِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّهُ مَرَّ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ نِعْمَ الْفَتَى غُضَيْفٌ. فَلَقِيَهُ أَبُو ذَرٍّ فَقَالَ أَىْ أُخَىَّ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنْتَ أَحَقُّ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِى. فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ نِعْمَ الْفَتَى غُضَيْفٌ. وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ضَرَبَ بِالْحَقِّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ ». قَالَ عَفَّانُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُولُ بِهِ

Dari Ghudhoif bin Al Harits Radhiyallohu ‘Anhu ia bercerita bahwa suatu hari ia lewat di depan Umar Bin Khattab Radhiyallohu ‘Anhu, lalu Umar berkata: “Sebaik-baik anak muda adalah Ghudhoif”. Ghudhoif melanjutkan ceritanya: “Setelah peristiwa itu aku berjumpa dengan Abu Dzar, beliau berkata kepadaku : “Wahai saudaraku mintakan ampun kepada Allah untukku”.

Ghudhoif menjawab : “Engkau shahabat Rasul yang terpandang, engkau lah yang lebih pantas berdo’a dan memintakan ampun kpd Allah buatku”.

Abu Dzar menjawab : “Sungguh aku mendengar Umar berkata : “Sebaik-baik anak muda adalah Ghudhoif”, sedangkan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam : “Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan dan hati Umar” (HR. Ahmad dan Imam Hakim dalam Al Mustadrak dan beliau menyatakan hadits ini shahih atas persyaratan Bukhari dan Muslim, Muhtashor Tarikh Dimasyq juz 6 hal 247)

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنما بعثت لأتمم مكارم لأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

Adab dan akhlak sangat penting dalam kehidupan, baik itu kehidupan sendiri, keluarga ataupun sosial. Dan yang lebih penting lagi adalah adab keapada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan adab seorang muslim yang sejati akan menjadi mulia dihadapan Allah dan RasulNya juga dihadapan manusia. Bahkan Allah subuhanahu wa ta’ala menjadikan akhlaq yang baik sebagai barometer sempurnanya iman seorang hamba, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi Wasallam Bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ».

Artinya: “Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (H.R Tirmidzi (1162), Abu Dawud (4682))

Begitu pentingnya ahlaq dan adab , maka Allah subuhanahu wa ta’ala mengutus Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menyempurnakan Akhlaq, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shohih yang diriwayatkan dalam hadits yang diriwayatkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381 (8939), Bukhari dalam Adabul mufrad nomor 273,

Kita diwajibkan untuk memiliki akhlak dan adab yang baik, sebagaimana yang dijelaskan Allah Subuhanahu Wa Ta’ala dalam firmanNya

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا

Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. Al-Furqon [25] : 63)

Dan juga firman Allah Azza Wajalla:

وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ* وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman [31] : 18, 19)

Dan Allah subuhanahu wata’la berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl [16] : 90)

Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم : اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Artinya: Dari Abu Dzar , ia berkata, Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda kepadaku: “Taqwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada, dan ikutilah kejelekan itu dengan kebaikan yang menghapusnya, dan berakhlaqlah kepada manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR At-Tirmidzi nomor 1987, ia berkata hasan).

Semua dalil diatas, menunjukkan wajibnya berakhlaq dan beradab yang baik. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu memanifestasikan hal tersebut agar kita mendapatkan kedudukan yang mulia dihadapan Allah dan RasulNya serta manusia. Rasulullah Shollallahu alaihi Wasallam Bersabda:

عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُمْ خَلْقًا.

Artinya: “Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya”  (dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya:Adab/39, 7/82. Muslim dalam Shahihnya: Al-Fadhail/16, hadits (68), 4/1810)

Akhlaq yang mulia adalah merupakan bentuk kebaikan yang memiliki nilai disisi Allah Subuhanahu wa ta’ala, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ «الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ».

Artinya: Dari Nawwas bin Sim’an al-Anshari, katanya: “Saya bertanya kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tentang kebaikan dan tentang dosa. Dia menjawab, “Kebaikan adalah akhlak yang mulia, dan dosa adalah sesuatu yang bergejolak dalam dadamu dan engkau merasa tidak senang apabila orang lain mengetahuinya” (H.R Muslim nomor 2553)

Akhlaq yang mulia termasuk amal yang menjadi sebab seorang hamba akan dimasukkan kedalam surga, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ «تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wa sallam— ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga, maka beliau bersabda: “Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlaq.” Dan beliau ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, maka beliau bersabda: “mulut dan farji (kemaluan)” (HR At-Tirmidzi nomor 2004, ia berkata hadits Shahih Gharib).

Oleh karena itu, jika kita semua ingin dimasukkan surga oleh Allah subuhanahu wa ta’ala maka berakhlaklah yang baik.

Akhlaq yang mulia termasuk amal yang paling utama :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Artinya: seorang laki-laki anshor datang kepada rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: wahai rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam! Manakah orang mukmin yang paling utama? Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab: yang paling baik akhlaqnya”. (H.R Ibnu Majah nomor 4259)

Orang yang memiliki akhlaq yang bagus adalah sebaik-baiknya manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlaqnya”. (H.M Muslim Nomor 2321).

Orang yang memiliki akhlaq yang mulia menjadi orang yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana dalam sabdanya:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ اِلَيَّ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقاً

Artinya: Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling bagus akhlaqnya”. (HR. Al-Bukhari nomor 3549).

Akhlaq yang mulia merupakan tanda kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً ، أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً ، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِم

Artinya: Yang paling sempurna keimanan seseorang mu’min adalah yang paling bagus akhlaqnya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”. (HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata hasan shahih).

Akhlaq yang mulia akan mengantarkan ke derajat orang yang senantiasa mengerjakan puasa dan shalat malam.

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Artinya: Dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dengan akhlaq mulia seorang mukmin akan sampai ke derajat orang yang mengerjakan puasa dan shalat malam.”’ (HR. Abu Daud nomor 4798).

Berikut beberapa kisah dari ulama, mereka menekankan agar belajar adab dahulu baru ilmu. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,

قال مالك: قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207)

Berkata Adz-Dzahabi rahimahullahu,

كان يجتمع في مجلس أحمد زهاء خمسة آلاف – أو يزيدون نحو خمس مائة – يكتبون، والباقون يتعلمون منه حسن الأدب والسمت

“Yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5000 orang atau lebih. 500 orang menulis [pelajaran] sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.”(Siyaru A’lamin Nubala’ 21/37)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...