Senin, 25 Oktober 2021

Penjelasan Hukum Membaca Amiin Setelah Fatihah


Sholat merupakan rukun islam yang kedua, sebagaimana terdapat dalam hadits Jibril 'alaihissalam,

يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“Wahai Muhammad beritahukanlah aku apa itu Islam?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Islam adalah engkau bersyahadat bahwasanya tiada sesembahan yang benar disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,engkau mengerjakan sholat, engkau menunaikan zakat (wajib bagimu‎), engkau berpuasa pada Bulan Romadhon, engkau melaksanakan haji ke Mekkah jika engkau mampu".‎

Bahkan Sholat merupakan pembeda orang kafir dan orang muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (pemisah) bagi seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat".

Shalat merupakan ibadah teragung dan menjadi standar dalam hisab bani Adam di akherat kelak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pertama yang dihisab pada hamba di hari kiamat dari amalannya adalah shalat nya. Apabila bagus maka ia beruntung dan selamat dan bila rusak maka celaka dan merugi. Apabila kurang sempurna dari yang wajib maka Allâh berfirman: Lihatlah apakah hambaKu ini memiliki shalat sunnah guna menyempurnakan kekurangan yang wajib kemudian baru dihisab amaan-amalan lainnya. [HR. Tirmidzi]

Oleh karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk memberikan perhatian serius dan menganggapnya sebagai urusan terpenting dalam hidupnya. Juga berusaha melaksanakannya sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang ditekankan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُوْا بِيْ وَلِتَعْلَمُوْا صَلاَتِي

Aku berbuat demikian semata untuk kalian ikuti dan supaya kalian mengetahui shalat ku.

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.

Diantara amalan dalam shalat yang perlu diperhatikan dan sering dianggap remeh oleh sebagian kaum Muslimin yaitu mengucapkan kata “amien” dalam shalat . Tentang urgensitas ucapan “amîn” ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Mengucapkan “amien” (ta’mîn) adalah perhiasan shalat seperti mengangkat kedua tangan yang merupakan perhiasan shalat. Juga termasuk mengikuti sunnah dan mengagungkan perintah Allâh.”

MAKNA TA’MIN
Ta’mien adalah bahasa arab yang bermakna mengucapkan kata “Amîn” (آمين) setelah selesai membaca al-Fâtihah dan ketika mendengar do’a orang lain. Menurut kebanyakan para ulama, kata “Amîn” (آمين) itu sendiri bermakna Ya Allâh kabulkanlah ! Imam Ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, “Menurut para ulama, kata “amîn” itu bermakna Ya Allâh kabulkanlah doa-doa kami. ‎

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Maknanya menurut mayoritas ulama adalah ya Allâh kabulkanlah dan ada yang menyatakan lain namun masih kembali semuanya kepada makna ini.

KEUTAMAAN TA’MIN (MENGUCAPKAN AMIN DALAM SHALAT DAN DOA).
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa ta’mîn adalah do’a (permohonan) dari orang yang mendengar do’a orang lain agar do’a itu dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Namun tidak sebatas sebagai do’a, ta’mîn juga memiliki keutamaan yang banyak, diantaranya :

1. Menjadi sebab terampuninya dosa apabila ucapan amin itu bersamaan dengan aminnya para malaikat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya bersamaan dengan ucapan âmîn para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

2. Menjadi penebab terkabulnya do’a, seperti yang dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ

Apabila kalian shalat maka luruskanlah shaf (barisan) kalian kemudian hendaknya salah seorang diantara kalian menjadi imam. Apabila imam bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan “GHAIRIL MAGHDHÛB BI’ALAIHIM WALAADH-DHÂLÎN” maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya.

3. Yahudi iri dengan adanya ta’mîn pada kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْيَهُوْدَ قَوْمٌ حَسَدٌ وَ إِنَّهُمْ لاَ يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى السَّلاَمِ وَ عَلَى (آمِيْنَ )

Sesungguhnya yahudi adalah kaum yang penuh hasad dan mereka tidak hasad kepada kami tentang sesuatu yang melebihi hasadnya mereka kepada kita dalam salam dan ucapan âmîn.

SHIGHAT TA’MIN (BENTUK LAFAZH AMIN).
Para Ulama berbeda pendapat tentang lafazh âmîn yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kesimpulannya adalah :

1. Lafazh yang disepakati kebolehannya dan sesuai dengan sunnah yaitu mengucapkan âmîn dengan dua lafazh; Pertama, âmîn (آمِيْن) dengan memanjang huruf hamzah; dan kedua, amîn (أَمِيْن) dengan tanpa memanjang huruf hamzah.

2. Lafazh yang dianggap sama dengan yang lafazh yang diperbolehkan yaitu: âmîn (آمِيْن) dengan memanjangkan hamzah ataupun tidak dengan disertai imâlah.

3. Lafazh yang diperselisihkan kebolehannya dan membatalkan shalat. Ini ada dua lafazh: Pertama, Aammin (آمِّيْن) dengan memanjang suara hamzah disertai tasydîd pada huruf mim. Yang rajah, lafazh ini membatalkan shalat. Kedua, Aamin (آمِن) dengan memanjang suara hamzah disertai membuang huruf Ya’. Yang rajah, lafazh ini terlarang dan membatalkan shalat.

4. Lafazh yang disepakati tidak boleh, namun masih diperselisihkan, apakah membatalkan shalat ? Yaitu Ammîn (أَمِّيْن) dengan tidak memanjangkan suara hamzah disertai tasydiid pada huruf Mim.

5. Lafazh yang disepakati membatalkan shalat adalah aammin (آمِّن) dengan memanjangkan bacaan Hamzah lalu tasydid pada huruf Mim dan menghapus huruf Ya’ dan ammin (أَمِّن) dengan tanpa memanjangkan bacaan hamzah lalu tasydid pada huruf Mim serta menghapus huruf Ya’ serta amin (أَمِن) dengan tanpa memanjangkan huruf Hamzah, tanpa tasydid pada huruf Mim dan menghapus huruf Ya’.

TAMBAHAN KATA PADA PENGUCAPAN LAFAZH AMIN
Terkadang ada yang menambah ucapan âmîn dengan lafazh YA RABBAL ALAMÎN setelah selesai membaca al-Fâtihah. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, namun yang râjih adalah pendapat yang menyatakan tidak disunnahkan menambah dengan kata atau lafazh lainnya, dengan alasan :

1. Cukup dengan ucapan âmîn adalah suatu yang sudah sesuai dengan ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menambahkan satu katapun. Tindakan ini merupakan realisasi ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

2. Tidak ada satu hadits shahih pun yang menetapkan adanya tambahan tersebut. Dan ini juga tidak dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal shalat dilakukan berulang kali, baik yang fardhu ataupun yang sunnah. Dan yang terbaik bagi kita yaitu menyesuaikan dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

3. Orang yang hanya mencukupkan diri dengan membaca âmîn tidak ada yang mencela dan tidak yang menilainya meninggalkan sunnah. Ini berbeda dengan orang yang menambah, maka mungkin ada orang yang menilainya tidak mengamalkan sunnah.

4. Sedangkan dalil yang dijadikan landasan pendapat orang yang membolehkan menambah lafazh dalam âmîn dan menganggapnya sebagai tambahan yang baik, seperti hadits Rifâ’ah bin Râfi’ Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ آنِفًا فَقَالَ الرَّجُلُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهُنَّ أَوَّلُ

Pada suatu hari, Kami shalat dibelakang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya dari ruku’, dan membaca, “SAMI’ALLÂHU LIMAN HAMIDAH” maka ada seorang dibelakang beliau membaca, “RABBANÂ WALAKAL HAMDU HAMDAN KATSÎRAN THAYYIBAN MUBÂRAKAN FÎHI”. Ketika selesai shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah yang berbicara tadi ?” Orang itu menjawab, “Aku, wahai Rasûlullâh!” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba menjadi penulisnya pertama kali.”

Imam ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, “Semua dzikir berupa tahmîd, tahlîl dan takbîr diperbolehkan dalam shalat dan bukan ucapan yang membatalkan shalat, bahkan ia terpuji dan pelakunya disanjung berdasarkan dalil hadits ini.

Ini memang termasuk hal-hal yang sudah dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebolehan menambah lafazh dzikir. Namun masalah ta’min adalah masalah khusus yang tidak ada dalil yang menjelaskan bolehnya menambahkan sesuatu padanya. Wallâhu a’lam.

HUKUM MEMBACA AMIN SETELAH AL-FAATIHAH
Membaca al-Fâtihah ada kalanya dalam shalat dan adakalanya diluar shalat. Dengan demikian maka hukum membaca âmîn setelah membaca al-Fâtihah dibagi dalam dua hukum, yaitu hukum membacanya diluar shalat dan didalam shalat.

1. Hukum Membaca Amîn Setelah Al-Fâtihah Diluar Shalat
Orang yang membaca surat al-Fâtihah disyari’atkan membaca âmîn setelahnya. Ibnu al-Humaam menyatakan, “Pensyari’atan mengucapkan âmîn setelah membaca al-Fâtihah. Ketahuilah bahwa sunnah yang shahih dan mutawatir dengan tegas menunjukkan hal tersebut.‎

Adapun dasarnya :
• Hadits Wâ’il bin Hujr Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ : ( غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ ) فَقَالَ : آمِيْنَ مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ .

Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca : GHAIRIL MAGHDHÛBI ‘ALAIHIM WALADH-DHÂLÎN lalu beliau mengucapkan : âmîn dengan memanjangkan suaranya.

Nampak dalam hadits ini adanya pensyariatan ucapan âmîn setelah membaca al-Faatihah secara mutlak baik didalam shalat maupun diluarnya. Oleh karenanya imam ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Sahabat-sahabat kami (ulama madzhab Syafi’iyyah (pen)) dan selain mereka menyatakan bahwa disunnahkan hal itu pada orang yang membacanya diluar shalat dan lebih ditekankan lagi pada diri orang yang shalat, baik sendirian, sebagai imam ataupun sebagai makmum dan dalam segalakeadaan.

• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ وَقَالَتْ الْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mengucapkan âmîn dan malaikat di langit juga mengucapkan âmîn lalu saling berbarengan maka diampuni dosanya yang telah lalu. [Muttafaqun ‘alaihi].

2. Hukum Membaca Âmîn Setelah Al-Faatihah Didalam Shalat
Sedangkan hukum membaca âmîn dalam shalat dapat di kategorikan dalam tiga sub pembahasan.

1. Ucapan Amîn Bagi Imam
Dalam masalah ini para Ulama memiliki dua pendapat. Mayoritas para Ulama memandang imam disyari’atkan membaca âmîn berbeda dengan imam Abu Hanîfah rahimahullah yang memandang imam disyari’atkan membacanya bahkan menurut beliau rahimahullah yang disyariatkan adalah makmum.

Yang râjih –insya Allâh- adalah pendapat mayoritas para Ulama dengan argument sebagai berikut :

• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya berbarengan dengan ucapan amiin para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. An Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ berkata,
التَّأْمِينُ سُنَّةٌ لِكُلِّ مُصَلٍّ فَرَغَ مِنْ الْفَاتِحَةِ سَوَاءٌ الإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ , وَالْمُنْفَرِدُ , وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالصَّبِيُّ , وَالْقَائِمُ وَالْقَاعِدُ وَالْمُضْطَجِعُ ( أي لعذرٍ ) وَالْمُفْتَرِضُ وَالْمُتَنَفِّلُ فِي الصَّلاةِ السِّرِّيَّةِ وَالْجَهْرِيَّةِ وَلا خِلافَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا عِنْدَ أَصْحَابِنَا اهـ .
“Membaca aamiin disunnahkan bagi setiap orang yang shalat setelah membaca Al-Fatihah. Ini berlaku bagi imam, makmum, orang yang shalat sendirian, berlaku pula bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak. Sama halnya pula berlaku bagi orang yang shalat sambil berdiri, sambil duduk, atau sambil berbaring karena adanya uzur. Membaca aamiin juga berlaku bagi orang yang melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah baik shalatnya sirr (bacaannya lirih) maupun shalat jaher (bacaannya keras). Yang disebutkan tadi tetap berlaku sama menurut ulama madzhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3: 371)
Setelah menyampaikan hadits ini, Imam Ibnu Syihâb az-Zuhri rahimahullah menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengucapkan âmîn.

• Hadits Wâ’il bin Hujr Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ : ( غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ ) فَقَالَ : آمِيْنَ مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ .

Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca GHAIRIL MAGHDHÛBI ‘ALAIHIM WALADH-DHÂLÎN lalu beliau mengucapkan : âmîn dengan memanjangkan suaranya.

2. Pensyariatannya Bagi Makmum
Dalam masalah ini ada lima pendapat Ulama, yaitu :

• Pendapat mayoritas Ulama yang memandang makmum disyari’atkan mengucapkan âmîn secara mutlak baik dalam shalat siriyah maupun jahriyah

• Pendapat Imam Mâlik rahimahullah yang memandang makmum disyariatkan mengucapkan âmîn dalam shalat sirriyah dan dalam shalat jahriyah apabila mendengar imamnya membaca (وَلاَ الضَّالِّيْنَ).

• Pendapat sekelompok Ulama yang memandang tidak disyariatkan secara mutlak.

• Pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah dalam al-qaulul jadîd (pendapat beliau rahimahullah setelah berada di mesir) yang memandang makmum tidak disyariatkan mengucapkan âmîn apabila imam telah mengucapkannya dengan jelas.

• Pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah yang memandang tidak disyariatkan dalam shalat sirriyah walaupun makmum mendengar imam mengucapkan amin.

Dari kelima pendapat ini, yang rajih adalah pendapat mayoritas Ulama karena dalil mereka kuat. Diantaranya hadits-hadits yang memerintahkan makmum mengucapkan âmîn , seperti dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya berbarengan dengan ucapan ‘âmîn para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ

Apabila kalian shalat maka luruskanlah barisan kalian kemudian hendaknya salah seorang kalian menjadi imam. Apabila imam bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan “GHAIRIL MAGHDHÛB BI’ALAIHIM WALAADH-DHÂLÎN” maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya.

3. Pensyariatannya Bagi Orang Yang Shalat Sendirian.
Dalam masalah ini pun para Ulama berselisih dalam dua pendapat, yaitu:

• Mayoritas Ulama mensyariatkan orang yang shalat sendiri mengucapkan amin .
• Imam Malik rahimahullah dalam salah satu riwayatnya memandang tidak disyariatkannya dalam shalat sendirian.

Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat mayoritas Ulama karena kuatnya dalil mereka, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ وَقَالَتْ الْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mengucapkan âmîn dan malaikat di langit juga mengucapkan âmîn lalu saling berbarengan maka diampuni dosanya yang telah lalu. [Muttafaqun ‘alaihi]

Hadits ini bersifat umum, juga mencakup orang yang shalat sendirian. Wallahu a’lam.

Apakah Perempuan Juga Mengeraskan Suara Amin?

Kenapa hal ini ditanyakan, karena saat menegur imam yang keliru, laki-laki mengucapkan ‘subhanallah’, sedangkan perempuan menepuk punggung telapak tangan. Ini menunjukkan bahwa suara wanita tidak dianjurkan dalam hal itu.
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
“Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari, no. 7190; Muslim no. 421)
Bagaimana dengan mengucapkan aamiin jika perempuan ikut dalam shalat berjamaah?
Ibnu Hajar berkata,
وكان منع النساء من التسبيح لأنها مأمورة بخفض صوتها في الصلاة مطلقا لما يخشى من الافتتان ومنع الرجال من التصفيق لأنه من شأن النساء اهـ
“Wanita tidak diperkenankan mengucapkan ‘subhanallah’ ketika ingin mengingatkan imam, wanita diperintahkan untuk memelankan suaranya dalam shalat. Hal ini dikarenakan takut menimbulkan godaan. Sedangkan laki-laki dilarang menepuk punggung telapak tangan karena yang diperintahkan adalah perempuan.” (Fath Al-Bari, 3: 77)
Imam Nawawi berkata,
Menurut kebanyakan ulama Syafi’iyah, untuk wanita saat ia shalat sendirian atau ia shalat bersama wanita lainnya atau ada laki-laki mahram bersamanya, maka ia mengeraskan bacaan. Hal tadi berlaku jika ia shalat sendirian atau bersama wanita lainnya.
Adapun jika ia shalat dan hadir di situ laki-laki asing (bukan mahram), ia melirihkan bacaan. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib mengatakan bahwa dalam masalah mengeraskan atau melirihkan ucapan takbir sama dengan pembahasan hukum mengeraskan atau melirihkan bacaan surat dalam shalat. (Al-Majmu’,: 3: 390)
Kesimpulannya, boleh bagi wanita mengeraskan bacaan surat dan aamiin dalam shalat kecuali jika ia shalat sendirian dan di situ ada laki-laki asing (bukan mahram).
Dalil-dalil yang ada, tidak membedakan antara makmum perempuan dan lelaki. Demikian juga tidak ada larangan membaca keras bagi makmum perempuan, apalagi bila ia bermakmum kepada suaminya yang sudah barang tentu tidak ada kekhawatiran akan menimbulkan fitnah.
Sebagian pendapat mungkin melarang kaum perempuan membaca keras aamiin ketika berjamaah, ini semata untuk berhati-hati dan menghindarkan fitnah, misalnya akibat suara perempuan yang keras tersebut sehingga membuyarkan konsentrasi makmum lelaki yang di  dekatnya.
Demikian ringkasan dari pendapat para Ulama seputar hukum membaca amin setelah bacaan al-Faatihah, semoga bermanfaat.

Jin Qorin Yang Harus Di Waspadai


Banyak kejadian ganjil yang dikisahkan manusia tentang hantu atau roh orang yang sudah meninggal, kita bisa melihat kisah-kisah tersebut secara gamblang diacara televisi atau film horor dewasa ini dengan kemasan yang menarik dan menegangkan.

Dikisahkan bahwa ada seseorang bercerita ia ditemui oleh sihantu dan setelah diusut barulah diketahui bahwa hantu tersebut adalah orang yang baru saja meninggal dunia. Kisah-kisah sejenis ini sangatlah banyak kejadiaannya, hingga hantu-hantu tersebut menampakkan diri untuk menyampaikan pesan yang belum tersampaikan semasa hidupnya, maka dengan maraknya hal yang demikian itu kebanyakan bahwa roh orang yang sudah meninggal itu akan bergentayangan, roh-roh tersebut nyata bentuknya dan seperti orang tersebut, hantu tersebut dapat tertawa, menangis bahkan melonglong meminta pertolongan. Ada beberapa hal yang berdiam saja dan memancarkan seklebat cahaya, namun pernahkah juga anda mendengar kisah atau sosok hantu atau jin yang dapat menyerupai orang yang masih hidup, misal saja ketika anda berada di lif lalu anda bertemu dengan kerabat anda didalamnya namun ketika anda keluar lif anda melihat kerabat anda tersebut justru baru saja akan menaiki lif, lalu siapakah sosok kerabat yang anda temui di lif tadi? Hal seperti ini disebut setan peniru yang sengaja menggoda manusia dengan cara yang demikian. Namun taukah anda bahwa bentuk penyesatan yang demikian itu adalah dilakukan oleh sejenis jin pendamping atau dikenal dengan jin Qorin.

Qorin adalah jin yang ditugasi untuk mendampingi setiap manusia dengan tugas menggoda dan menyesatkannya. Karena itu, qorin termasuk setan dari kalangan jin.

Dalil Adanya Jin Qorin

Di antara dalil yang menunjukkan adanya qorin:
a. Firman Allah
قَالَ قَرِينُهُ رَبَّنَا مَا أَطْغَيْتُهُ وَلَكِنْ كَانَ فِي ضَلالٍ بَعِيدٍ

“Yang menyertai manusia berkata : “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Qaf: 27)
Dalam tafsir Ibn Katsir dinyatakan bahwasanya Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, Mujahid, Qatadah dan beberapa ulama lainnya mengatakan, “Yang menyertai manusia adalah setan yang ditugasi untuk menyertai manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7:403)

b. Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‎‎

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ وُكِلَ بِهِ قَرِينَةٌ

Tiada seorang pun dari kamu melainkan telah ditugaskan terhadapnya qarin (teman setan) yang mendampinginya.
Dalam bahasa Banyumasan (ora nana seka salahsewijine manungsa kejabane wis diperintahaken ana indhang kang dadi pendampine)

Mereka bertanya, "Juga termasuk engkau, ya Rasulullah?" Beliau Saw. menjawab:

«نَعَمْ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ»

Ya, hanya saja Allah membantuku dalam menghadapinya; akhirnya ia masuk Islam, maka ia tidak memerintahkan kepadaku kecuali hanya kebaikan. (HR Muslim) 

Imam An-Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat peringatan keras terhadap godaan jin qorin dan bisikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tahu bahwa dia bersama kita, agar kita selalu waspada sebisa mungkin. (Syarh Shahih Muslim, 17:158)
Dari hadits diatas bisa diketahui bahwa Manusia pun bisa menundukkan makhluk bangsa jin untuk beriman pada Alloh dan juga mengarah kan kebaikan hal kebaikan pada Manusia. Maka dari itu hendaknya kita waspada dan hati-hati dalam menyikapi berbagai masalah tentang Jin ataupun Qorin yang mendampingi Manusia.

Dan di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas tentang kisah kunjungan Safiyyah kepada Nabi Saw. yang saat itu sedang i'tikaf, lalu beliau keluar bersamanya di malam hari untuk menghantarkannya pulang ke rumahnya. Kemudian Nabi Saw. bersua dengan dua orang laki-laki dari kalangan Ansar. Di saat melihat Nabi Saw., bergegaslah keduanya pergi dengan cepat. Maka Rasulullah Saw. bersabda:Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya ia adalah Safiyyah binti Huyayyin.

Maka keduanya berkata.”Subhanallah, ya Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda:

«إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا- أَوْ قَالَ شَرًّا»

Sesungguhnya setan itu mengalir ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darahnya. Dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila dilemparkan sesuatu (prasangka buruk) ke dalam hati kamu berdua.

Al-Hafiz Abu Ya'la  Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Addiy ibnu Abu Imarah, telah menceritakan kepada kami Ziyad An-Numairi, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

«إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعٌ خَطْمَهُ  عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ فَإِنْ ذَكَرَ الله خَنَسَ، وَإِنْ نَسِيَ الْتَقَمَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ»

Sesungguhnya setan itu meletakkan belalainya di hati anak Adam. Jika anak Adam mengingat Allah, maka bersembunyi; dan jika ia lupa kepada Allah, maka setan menelan hatinya; maka itulah yang dimaksud dengan bisikan setan yang tersembunyi.‎
Hadis ini berpredikat garib.‎

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim, bahwa ia pernah mendengar Abu Tamimah yang menceritakan hadis berikut dari orang yang pernah dibonceng oleh Nabi Saw. Ia mengatakan bahwa di suatu ketika keledai yang dikendarai oleh Nabi Saw. tersandung, maka aku berkata, "Celakalah setan itu." Maka Nabi Saw. bersabda:

«لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ وَقَالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ تَصَاغَرَ حَتَّى يصير مثل الذباب وغلب

Janganlah engkau katakan, "Celakalah setan.” Karena sesungguhnya jika engkau katakan,  "Celakalah setan, "maka ia menjadi bertambah besar, lalu mengatakan, "Dengan kekuatanku, aku kalahkan dia.” Tetapi jika engkau katakan, "Bismillah, "maka mengecillah ia hingga menjadi sekecil lalat.

Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sanadnya jayyid lagi kuat. Dan di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa hati itu manakala ingat kepada Allah, setan menjadi mengecil dan terkalahkan. Tetapi jika ia tidak ingat kepada Allah, maka setan membesar dan dapat mengalahkannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Ad-Dahhak ibnu Usman, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

«إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ فِي الْمَسْجِدِ جَاءَهُ الشَّيْطَانُ فَأَبَسَ بِهِ كَمَا يَبِسُ الرَّجُلُ بِدَابَّتِهِ، فَإِذَا سَكَنَ لَهُ زَنَقَهُ أَوْ أَلْجَمَهُ»

Sesungguhnya seseorang di antara kamu apabila berada di dalam masjid, lalu setan datang, lalu setan diikat olehnya sebagaimana seseorang mengikat hewan kendaraannya. Dan jika ia diam (tidak berzikir kepada Allah), maka setan berbalik mengikat dan mengekangnya.

Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa kalian dapat menyaksikan hal tersebut. Adapun yang dimaksud dengan maznuqyakni orang yang diikat pada lehernya, maka engkau lihat dia condong seperti ini tidak berzikir kepada Allah. Adapun orang yang dikekang, maka ia kelihatan membuka mulutnya dan tidak mengingat Allah Saw. hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.

Sa'id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: setan yang biasa bersembunyi. (An-Nas: 4) Bahwa setan bercokol di atas hati anak Adam. Maka apabila ia lupa dan lalai kepada Allah setan menggodanya; dan apabila ia ingat kepada Allah maka setan itu bersembunyi. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Qatadah.

Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa pernah diceritakan kepadanya, sesungguhnya setan yang banyak menggoda itu selalu meniup hati anak Adam manakala ia sedang bersedih hati dan juga manakala sedang senang hati. Tetapi apabila ia sedang ingat kepada Allah, maka setan bersembunyi ketakutan.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, Al-waswas," bahwa makna yang dimaksud ialah setan yang membisikkan godaannya; apabila yang digodanya taat kepada Allah, maka setan bersembunyi.

Firman Allah Swt.:

{الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ}

yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (An-Nas: 5)

Apakah makna ayat ini khusus menyangkut Bani Adam saja sebagaimana yang ditunjukkan oleh makna lahiriah ayat, ataukah lebih menyeluruh dari itu menyangkut Bani Adam dan jin? Ada pendapat mengenainya, yang berarti makhluk jin pun termasuk ke dalam pengertian lafaz an-nas secara prioritas. Ibnu Jarir mengatakan bahwa adakalanya digunakan lafaz rijalun minal jin (laki-laki dari kalangan jin) ditujukan terhadap mereka, maka tidaklah heran bila mereka (jin) dikatakan dengan istilah an-nas. 

Firman Allah Swt.:

{مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ}

dari (golongan) jin dan manusia. (An-Nas: 6)

Apakah ayat ini merupakan rincian dari firman-Nya: yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (An-Nas: 5) Kemudian dijelaskan oleh firman berikutnya: dari (golongan)jin dan manusia. (An-Nas: 6)

Hal ini menguatkan pendapat yang kedua. Dan menurut pendapat yang lainnya, firman-Nya berikut ini: dari (golongan) jin dan manusia. (An-Nas: 6) merupakan tafsir dari yang selalu membisikkan godaannya terhadap manusia, yaitu dari kalangan setan manusia dan setan jin. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu(manusia). (Al-An'am: 112)

Dan semakna dengan apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa: 

حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَر الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدِ بْنِ الْخَشْخَاشِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، فَجَلَسْتُ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، هَلْ صَلَّيْتَ؟ ". قُلْتُ: لَا. قَالَ: "قُمْ فَصَلِّ". قَالَ: فَقُمْتُ فَصَلَّيْتُ، ثُمَّ جَلَسْتُ فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَوَّذْ بِالْلَّهِ مِنْ شَرِّ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلِلْإِنْسِ شَيَاطِينُ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الصَّلَاةُ؟ قَالَ: "خَيْرُ مَوْضُوعٍ، مَنْ شَاءَ أَقَلَّ، وَمَنْ شَاءَ أَكْثَرَ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا الصَّوْمُ؟ قَالَ: "فَرْضٌ يُجْزِئُ، وَعِنْدَ اللَّهِ مَزِيدٌ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَالصَّدَقَةُ؟ قَالَ: "أَضْعَافٌ مُضَاعَفَةٌ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّهَا أَفْضَلُ؟ قَالَ: "جُهد مِنْ مُقل، أَوْ سِرٌّ إِلَى فَقِيرٍ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْأَنْبِيَاءِ كَانَ أَوَّلَ؟ قَالَ: "آدَمُ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَنَبِيٌّ كَانَ؟ قَالَ: "نَعِمَ، نَبِيٌّ مُكَلَّم". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ الْمُرْسَلُونَ؟ قَالَ: "ثَلَثُمِائَةٍ وَبِضْعَةَ عَشْرَ، جَمًّا غَفيرًا". وَقَالَ مَرَّةً: "خَمْسَةَ عَشْرَ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّمَا أُنْزِلَ عَلَيْكَ أعظم؟ قَالَ: "آيَةُ الْكُرْسِيِّ: {اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ}

telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, telah menceritakan kepada kami Abu Umar Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Ubaid Al-Khasykhasy, dari Abu Zar yang telah menceritakan bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw. yang saat itu berada di dalam masjid. lalu ia duduk. maka Rasulullah Saw. bertanya, "Hai Abu Zar, apakah engkau telah salat?" Aku (Abu Zar) menjawab, "Belum." Rasulullah Saw. bersabda, "Berdirilah dan salatlah kamu!"Maka aku berdiri dan salat, setelah itu aku duduk lagi dan beliau Saw. bersabda: Hai Abu Zar, mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan setan jin. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setan manusia itu ada?" Beliau Saw. menjawab, "Ya ada." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan salat?" Rasulullah Saw. menjawab: Salat adalah sebaik-baik pekerjaan; barang siapa yang ingin mempersedikitnya atau memperbanyaknya (hendaklah ia melakukan apa yang disukainya —dari salatnya itu—).Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan puasa?" Rasulullah Saw. menjawab: Amal fardu yang berpahala dan di sisi Allah ada tambahannya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan sedekah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Pahalanya dilipatgandakan dengan kelipatan yang banyak." Aku bertanya, "Manakah sedekah yang terbaik, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab: Hasil jerih payah dari orang yang merasa sedikit atau yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi kepada orang yang fakir. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, nabi manakah yang paling pertama?" Beliau menjawab, "Adam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dia seorang nabi?" Nabi Saw. menjawab, "Ya, dia seorang nabi dan juga orang yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah Swt." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ada berapakah para rasul itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tiga ratus belasan orang, jumlah yang cukup banyak." Di lain kesempatan beliau Saw. bersabda, "Tiga ratus lima belas orang rasul." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, wahyu apakah yang paling besar yang pernah diturunkan kepada engkau?" Rasulullah Saw. menjawab: Ayat kursi, yaitu, "Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).”(Al-Baqarah: 255)

Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Abu Umar Ad-Dimasyqi dengan sanad yang sama. Hadis ini telah diriwayatkan dengan sangat panjang lebar oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui jalur Lain dan lafaz Lain yang panjang sekali; hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ ذَرِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الهَمْداني، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحَدِّثُ نَفْسِي بِالشَّيْءِ لَأَنْ أَخِرَّ مِنَ السَّمَاءِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَكَلَّمَ بِهِ. قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan, dari Mansur, dari Zar ibnu Abdullah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Syaddad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dalam hatiku timbul suatu pertanyaan yang tidak berani aku mengatakannya. Lebih aku sukai jikalau aku dijatuhkan dari atas langit daripada mengutarakannya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Nabi Saw. bersabda: Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan hingga hanya sampai batas bisikan (belaka).

Imam Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui hadis Mansur, sedangkan menurut riwayat Imam Nasai ditambahkan Al-A'masy, keduanya dari Zar dengan sanad yang sama. 

Sosok Menyerupai Orang yang Sudah Meninggal

Badaruddin asy Syubliy mengatakan bahwa Jin memiliki kemampuan terbang, membentuk dirinya dalam bentuk manusia dan hewan, ikan, ular, onta, sapi, kambing, kuda, peranakan kuda dan keledai, keledai, burung dan manusia, sebagaimana pernah datang setan menemui orang-orang Quraisy dalam rupa Suraqah bin Malik bin Ju’tsam tatkala mereka hendak keluar menuju Badar.

Allah swt berfirman :

وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَّكُمْ فَلَمَّا تَرَاءتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنكُمْ إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّيَ أَخَافُ اللّهَ وَاللّهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٤٨﴾

Artinya : “Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: “tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadapmu pada hari ini, dan Sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu”. Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling Lihat melihat (berhadapan), syaitan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, Sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; Sesungguhnya saya takut kepada Allah”. dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al Anfal : 48)

Dan sebagaimana diriwayatkan bahwa dia menyerupai seorang kakek dari Najd tatkala mereka berkumpul di “Daarun Nadwah” untuk bermusyawarah tentang permasalahan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam apakah mereka akan membunuhnya atau memenjarakannya atau mengusirnya.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy bahwa di Madinah terdapat sekelompok jin yang telah masuk Islam. Maka barang siapa yang melihat sesuatu yang aneh dari sekelompok jin-jin ini, beri izinlah dia untuk tinggal selama tiga hari. Jika sesudah tiga dia masih nampak, maka bunuhlah. Karena dia adalah setan.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Juz II hal 5545)

Dari penjelasan diatas tampak bahwa jin diberikan kemampuan untuk menyerupai berbagai bentuk termasuk bentuk manusia baik yang masih hidup maupun sudah meninggal kecuali menyerupai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmdizi dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang melihatku disaat tidur maka sungguh dia telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku.” (HR, Tirimidzi, dia berkata ini adalah hadits hasan shahih)

Dengan demikian bentuk yang menyerupai seorang yang sudah meninggal adalah setan dari golongan jin. Lalu apakah ia adalah qorinnya dari golongan jin ataukah jin yang lainnya? Wallahu A’lam karena hal ini termasuk kedalam permasalahan ghaib yang membutuhkan dalil-dalil yang berasal dari wahyu Allah swt.

DAMPAK BURUK DARI PEMAHAMAN YANG SALAH

Karena salah memahami keberadaan jin Qorin dan fungsinya,banyak orang yang menyalahkan terapi ruqyah Syar’iyah, mereka meyakini bahwa sekali ruqyah, semua jin akan menjauhi, termasuk jin Qorin. Padahal rukyah hanya sarana bagi kita untuk segera kembali ke ajaran syariat Islam. Pasca terapi ruqyah, pasyen harus rajin beribadah agar bisikan jahat dari jin Qorin yang masih ada melemah.
            
Ketika ada orang yang bisa membaca pikiran seseorang, belum tentu hasil baca pikirannya itu benar semua. Kalaupun banyak benarnya, bisa jadi itu adalah ulah jin Qorin dari orang yang dibaca pikirannya. Ia memberi tahu kepada in peramal itu akan biodata dan agenda hariannya. Lalu jin perewangan peramal memberi tahu peramal, sehingga peramal bisa nyerocos kesana kemari. Akhirnya kita lebih percaya peramal nasib daripada takdir Alloh swt. 
            
Kalau ada rang yang meninggal, tiba-tiba ada kerabatnya melihat sosoknya, diyakini itu adalah roh yang gentayangan. Belum tenang dalam kuburnya, karena kurang sesajen, sehingga harus dilakukan ritual tertentu, agar rohnya kekal di alam baka. Padahal itu bukan roh yang mati yang bergentayangan, tapi jin yang menyerupai sosoknya untuk membuat fitnah bagi yang masih hidup. Atau jin Qorinnya sendiri, karena tidak ada keterangan bahwa jin Qorin akan mati bersama matinya orang yang diikuti.
            
Demikianlah masih banyak pemahaman yang salah akan hakikat roh manusia dan iman kepada yang ghoib yang menyimpang. Atau bisa jadi karena minimnya pemahaman mereka tentang alam jin yang sesuai syariat Islam.

Pandangan Imam Ar-Roghib Al-Asfahani Dalam Al-Qur'an


Sejauh penelusuran yang penulis lakukan belum ditemukan biografi secara lengkap yang membahas tentang kepribadian, sejarah kehidupannya maupun basic intelektual al-Raghib al-Asfahani. Satu-satunya rujukan utama yang penulis gunakan adalah melalui karyanya mu’jam al-Mufradat li alfaz al-Qur’an yang ditahqiq oleh Nadim Mara ‘Usyaily. Sehingga informasi yang didapat sebatas nama dan tempat tinggal, dan karya-karyanya yang belum sempat penulis jumpai.

Nama lengkapnya, Abul Qasim Al-Husain bin Muhammad bin Al Mufadal. Al-Asfahani adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota Asfahan. Akan tetapi beliau hidup di kota Bagdad. Tidak diketahui kapan beliau lahir. Yang pasti, melalui karya-karya yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa beliau adalah seorang ahli sejarah dan sastra, pakar dalam ilmu balaghah (retorika) dan sya’ir. Wafat tahun 502 H/1108. Diantara buah penanya yang yang sangat berharga, adalam Mu’jam Mufradat Li Alfadzil Quran. Kitab ini mengupas makna al-Qur’an dengan menyajikan kosakata didalamnya dan menyusunnya sesuai urutan abjad dan menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam kosakata tersebut.

Keahliannya di bidang bahasa  dan segala cabangnya tampak dalam uraian kosa kata lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat

Dalam kajiannya ini, beliau semata-mata memfokuskan pada hakekat al-Qur’an dan wataknya sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab agung berbahasa Arab, dan pengaruh sastrawinya yang indah.

Bagi al-Asfahani, al-Qur’an merupakan kitab artistika Arab yang sakral. Setelah menuntaskan kajiannya pada aspek sastrawi tersebut, al-Asfahani mengarahkannya pada kepada kandungan ayat dengan mengambil dan menukil apa saja yang dikehendakinya dan sesuai dengan bahasan.

Pandangan al-Asfahani tentang al-Qur’an.

Al-Asfahani adalah seorang pemikir yang sangat handal dalam bidang al-Qur’an. Diantara pemikirannya tentang al-Qur’an tampak pada ayat-ayat serta ungkapan yang dipakai dalam mukaddimah mu’jam Mufradat li alfaz al-Qur’an. Diantaranya adalah sebagai berikut:

· انا انزلناه قرأنا عربيا لعلكم تعقلون
· وهذا كتاب مصدق لسانا عربيا لينذر الذين ظلموا
· إنه لقرأن كريم في كتاب مكنون لايمسه إلا المطهرون
· ولو أن ما في الارض من شجرة اقلام والبحر يمده من بعده سبعة ابحر ما نفدت كلمات الله
· قل هوللذين امنوا هدا وشفاء والذين لا يؤمنون في اذانهم وقروهو عليهم عمى
· يتلوا صحفا مطهرة فيهاكتب قيمة
Sebelum menguraikan pandangan Al-Asfahani mengenai al-Qur’an, menurut penulis, bukan hal yang mudah membuat batasan definisi al-Qur’an secara logika dengan mengelompokkan segala jenis, bagian-bagian serta ketentuan-ketentuan khusus, mempunyai genus, differentia dan propium, sehingga definisi al-Qur’an mempunyai batasan yang benar-benar konkrit.

Adapun definisi yang konkrit untuk al-Qur’an ialah menghadirkannya dalam pikiran atau dalam realita misalnya menunjuk  al-Qur’an sebagai bacaan yang tertulis dalam mushaf atau terbaca dengan lisan. Dengan demikian al-Qur’an adalah bismillahi ar-rahmani al-Rahim, ahhamdu lillahi rabbi al-alamin,dan seterusnya sampai dengan min al-jinnati wa al-nas.‎

Para ulama menyebutkan definisi al-Qur’an yang mendekati maknanya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa, Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang pembacaannya merupakan suatu ibadah. Dalam definisi tersebut terdapat batasan “kalamullah”, hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad, bukan nabi-nabi yang lain, serta pembacaannya merupakan suatu ibadah, ini mengecualikan hadis ahad dan hadis qudsi.

Pada dasarnya al-Asfahani juga mempunyai batasan yang sama dengan pendapat diatas, di mana kata al-Qur’an mempunyai kekhususkan atau batasan kitab yang hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dengan pengertian ini dapat membedakan kitab-kitab lainnya, seperti, Taurat, Injil dan Zabur.

Adapun untuk merumuskan pandangan Al-Asfahani tentang al-Qur’an perlu dikaji terlebih dahulu kupasan akar kata dari huruf qa, ra’, ‘a. Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun. ‎Qur’an pada mulanya seperti qira’ah, yaitu Masdar (infinitive) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Al-Asfahani mengutip ayat

إن عليناجمعه وقرأنه فإذا قرأناه فاتبع قرأنه

Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya. (Q.S. al-Qiyamah (75): 17-18.)

Qur’anahu disini berarti qira’atuhu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah Masdar wazan (konjungsi, tashrif) dari lafaz “fu’lan” dengan fokal “u” seperti “ghufran” dan “syukran“. Menurut Al-Asfahani, lafaz qira’atuhu, qur’an, qira’atan dan qur’anan, mempunyai arti yang sama. Sedangkan al-Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu.‎

Di samping itu, pandangan Al-Asfahani  tentang al-Qur’an juga dapat dilihat dalam uraiannya tentang beberapa nama dan sifat-sifat al-Qur’an. Maka  penulis akan menguraikan sekilas tentang ungkapan Al-Asfahani  mengenai nama-nama al-Qur’an. Di antara nama-nama al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

إن هذا القران يهدي للتي هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين يعملون الصالحات أن لهم أجرا كبيرا

Artinya: “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”

2. Al-Kitab

لقد أنزلنا إليكم كتابا فيه ذكركم أفلا تعقلون

Artinya: “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya.”

3. Al-Furqan.

تبارك الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيرا

Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”

4. Al-Zikr

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

5. Al-Tanzil

وإنه لتنزيل رب العالمين

Artinya: “Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”

Dari berbagai indikasi diatas, penulis dapat merumuskan pandangan al-Asfahani mengenai al-Qur’an adalah kitab agung yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dengan bahasa Arab, serta menjadi petunjuk bagi umat manusia, karena keluasan muatannya.

Perhatian Al-Asfahani terhadap al-Qur’an juga terlihat dalam beberapa kupasan kata-kata yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur’an. Misalnya tentang:

1. Muhkam dan Mutasyabih.

Meskipun tidak secara panjang lebar beliau mengemukakan konsepsi tentang muhkam dan Mutasyabih, namun ketika mengupas tentang akar kata Syabaha dan hakama, dapat diketahui bahwa pandangan beliau tentang muhkam adalah sebagai berikut:

Menurut bahasa, muhkam berasal dari kata-kata hakamtu al-dabbata wa ahkamtu yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukmu berarti memutuskan antara dua hal atau dua perkara. Maka ‎hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan ‎hakamtu al-sqfihi wa ahkamtuhu artinya saya memegang kedua tangan orang dungu. Juga dikatakan hakamtu al-dabbata wa ahkamtuha, artinya saya memasang hikmah pada binatang itu. ‎Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.

Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. muhkam adalah sesuatu yang tidak mengandung syubhat di dalamnya baik secara lafaz maupun makna. Jadi ayat-ayat yang muhkam adalah ayat yang secara lahir sudah jelas dan pasti sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman atau membutuhkan pemahaman atau pemikiran yang mendalam.

Adapun Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. ‎Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak. ‎Jadi ayat yang Mutasyabih adalah ayat yang bermakna samar atau tidak pasti, yakni, ayat-ayat yang masih membutuhkan pemahaman dan pemikiran yang mendalam, sehingga sangat interpretable‎

Adapun ayat-ayat yang Mutasyabih dapat dibagi juga menjadi 3 bagian. Yaitu; 

Pertama, Mutasyabih dari segi lafaznya saja (Mutasyabih Lafzi), ‎
Kedua, Mutasyabih dari segi maknanya saja (Mutasyabih Maknawi), dan ‎
Ketiga, Mutasyabih lafaz sekaligus maknanya (Mutasyabih lafzan wa ma’nan). 

Adapun Mutasyabih lafzi dibagi menjadi 2, 

Pertama, yaitu makna yang kembali pada lafaz-lafaz tunggal. Adakalanya disebabkan oleh keasingan lafaz tersebut sehingga tidak mempunyai kemungkinan terhadap arti yang lain, Misalnya kata al-Abu, yaziffuna.Adakalanya disebabkan oleh musyarakah, misalnya lafaz al-yadi dan al-‘aini. ‎
Kedua, makna yang kembali pada jumlah kalimat yang .tersusun. 

Dalam hal ini dibagi menjadi 3 bagian, 

Pertama adalah disebabkan oleh ringkasnya perkataan. Misalnya ayat wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama fankihu ma thaba lakum mina al-Nisa’i. ‎
Kedua, disebabkan oleh panjangnya perkataan, misalnya laisa kamislihi syai’un. Karena jika dikatakan laisa mislahu syai’unmaka pendengar akan lebih jelas. ‎
Ketiga, karena susunan kalimat. Misalnya anzala ‘ala ‘abdihi al-kitaba walam yafal lahit ‘iwajan qayyiman. Susunan sebenarnya adalah al-kitaba qayyiman walam yafal lahu ‘iwajan.

Sedangkan Mutasyabih Maknawi adalah sifat-sifat Allah dan sifat-sifat hari kiamat. Karena sifat-sifat tersebut tidak digambarkan secara jelas, sehingga kita belum mendapat gambaran sebenarnya tentang sifat-sifat tersebut dan tidak bisa merasakan kehadirannya karena sifat itu tidak berbentuk jenis yang dapat dirasakan.

Adapun Mutasyabih Lafzan wa Ma’nan terbagi menjadi 5 bagian, pertama: untuk menutupi karena keumuman dan kekhususan, misalnya uqtulu al-Musyrikina. Kedua, karena keadaan seperti wajib dan sunnah, misalnya fankihu ma thaba lakum. Ketiga, karena masa seperti nasikh dan mansukh. Misalnya,ittaqu allaha haqqa tuqatihi. Keempat, karena tempat dan kondisi atau latar belakang turunnya ayat tersebut, Misalnya walaisa al-birru bi’an ta’tu al-buyuta min dhuhuruha, innama al-nasi’u ziyadatun fi al-kufri. ‎Para mufassir yang tidak memperhatikan sebab turunnya ayat tersebut serta tidak memahami kebiasaan orang jahiliyah, maka akan terjebak pada penafsiran dan pemahaman yang salah terhadap ayat tersebut. Kelima karena adanya syarat-syarat khusus yang menjadikannya suatu perbuatan itu menjadi sah atau tidak sah. Seperti syarat-syarat sholat dan syarat-syarat nikah.‎

Demikianlah, ketika sebab-sebab tersebut dijelaskan secara eksplisit maka akan diketahui bahwa setiap hal yang disebutkan oleh para mufasir dalam tafsirnya tentang ayat-ayat Mutasyabih maka tidak akan terlepas dari pembagian ini.

Menurut al-Asfahani tentang kemungkinan mengetahui ayat Mutasyabih ada tiga yaitu, pertama, tidak ada kemampuan bagi manusia untuk mencapai makna yang sebenarnya sehingga hanya Allah saja yang bisa mengetahui makna ayat-ayat Mutasyabih, misalnya kapan terjadinya bari kiamat. Dan huruf-huruf muqatha’ah dalam al-Qur’an, Kedua, ada cara bagi manusia untuk mengetahui makna ayat-ayat Mutasyabih, seperti mengetahui makna lafaz-lafaz asing, serta hukum-hukum yang sulit dimengerti. Ketiga, hanya orang-orang yang mendalam ilmunya dan mempunyai keahlian khusus yang bisa memahami maksud dari ayat-ayat Mutasyabih. Pada bagian ini memang dikhususkan bagi orang-orang yang dikehendaki oleh Allah dapat memahami ayat-ayat Mutasyabih. ‎

Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut ini:

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه ايات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون امنا به كل من عند ربنا

Artinya: “Dialah yang menurunkan padamu Al-Kitab. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkanwt yang merupakan induk Al-Kitab dan yang lain mutasyabihat. Akan tetapi, orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kesesatan mengikuti apa yang mutasyabihat (sesuatu yang tidak jelas) dari Al-Kitab untuk membuat fitnah dan mencari ta’wi-nya. Padahal, yang mengetahui ta’wil-nya hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengatakan kami meyakininya (Al-Kitab) setiap berasal dari sisi Tuhan kami.” (Q.S. Ali ‘imran (3):7)

Ayat di atas berbicara mengenai gerak ittiba’, yaitu gerak mentalitas bukan material pada yang ‎mutasyabih, dan gerak ini berusaha mewujudkan dua sasaran melalui keterangan maf’ul li ajlihi kata ‎ibtigha’a, yaitu “fitnah” dan “Ta’wil”. Ini berarti bahwa gerak mentalitas merupa­kan gerak yang berorientasi pada “sasaran” dan “tujuan”, sebab ia merupakan gerak yang “mengikuti” bukan gerak “kembali”.‎

Oleh karena itu, pengertian yang dimaksud dengan kata “ta’wil” di sini adalah “sampai pada tujuan”. Makna ini sesuai dengan makna “untuk membuat fitnah”. Tujuan dari mengikuti yang mutasyabih adalah membuat fitnah dan sampai pada tujuan dan akibatnya. Pembacaan ayat di atas berhenti pada nama “Allah”, dan kalimat selanjutnya wa ar-rasikhuna fi al-‘ilmi yaquluna dianggap sebagai kalimat baru. Sementara itu, ‘ataf pada ayat ini dianggap sebagai pengkontrasan antara dua situasi dan dua kelompok (pengikut mutasyabih dan pengikut dalam kalimat berikutnya).‎

Kesalahan ulama kuno dalam memahami ayat di atas berasal dari kesalahan mereka dalam memahami makna “ta’wil”, dan di dalam menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut membuat hukum atau aturan umum terhadap yang mutasyabih. Ta’wil yang dilarang menurut maksud ayat tersebut adalah ta’wil yang mengarah pada fitnah, dan ta’wil yang hanya diketahui oleh Allah adalah ta’wil yang mengarah pada “tujuan” dan “akibat” yang tidak diketahui oleh manusia.‎

2. Nasikh dan Mansukh

Para ulama dalam menetapkan pengertian naskah berpegang pada dua teks (ayat) Al-Qur’an yang salah satunya makkiyah (Q.S. al-Nahl (16): 101dan yang lain madaniyah. (Q.S. al-Baqarah (2): 106

Teks  makkiyah adalah

وإذا بدلنا اية مكان اية والله اعلم بما ينزل قالوا انما انت مفتر  بل اكثرهم لايعلمون

Artinya; ”ِِApabila kami menggantikan sebuah ayat pada ayat lain, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata “sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-ada saja” bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”

Dalam konteks ini, “penggantian” ayat dengan ayat lain berarti perubahan hukum yang ada pada suatu teks dengan teks lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut. Oleh karena itu, struktur ayat mengikuti pola kondisional (syarat), sementara isi kalimat (jawab syarat) berupa tuduhan orang-orang Makkah terhadap Muhammad sebagai kebohongan. Tuduhan ini hanya mengindikasikan bahwa menurut anggapan mereka ada kontradiksi dalam teks.

Ayat lain yang dipegangi para ulama dalam menentukan makna naskah adalah ayat madaniyyah,yaitu:

ما ننسخ من ا ية او ننسها نأت بخير منها او مثلها الم تعلم ان الله كل شيئ قدير

Artinya; “Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Konteks teks di atas berbeda dengan konteks teks sebelumnya, yang terakhir menunjuk pada permusuhan ahli kitab terhadap kaum muslimin dan sikap menentang mereka terhadap kaum muslimin dalam segala hal. Menurut mereka ayat-ayat al-Qur’an bersifat kontradiktif. Misalnya, keberatan mereka atas dibatalkannya teks tentang riba, sementara teks yang sama menjanjikan orang-orang mukmin sebuah kebaikan yang akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh puluh kali lipat.

Contoh kedua, sebuah ayat yang dimasukkan oleh para ulama ke dalam Nasakh, yaitu perubahan arah kiblat ke Ka’bah, sementara sebelumnya Nabi dan kaum muslimin dalam shalat menghadap ke Bait al-Maqdis.

Pada dasarnya, Al-Asfahani dalam menguraikan definisi mengenai naskh dan mansukh juga mendasarkan pada kedua ayat di atas, namun Al-Asfahani lebih detail dalam kupasan akar katanya.

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya: nasakhat al-syamsu al-dhilla artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang; ‎dan wanasakhat al-rihu asara al-syamsa artinya, angin meng­hapuskan jejak perjalanan. ‎Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misal­nya: nasakhtu al-kitab artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Di dalam Qur’an dinyatakan: inna kunna nastansikhu ma kuntum ta’malun (al-Jasiyah [45]:29). Maksudnya, kami memindahkan (mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal).

Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian naskh meng­hapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah).

Atas dasar itulah, maka makna nasakh menurut al-Asfahani adalah mengganti hukum sebuah teks atas hukum lain tapi dengan mempertahankan kedua teks tersebut.

Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya,  adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:

Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) de­ngan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
Pandangan al-Asfahani tentang Tafsir.

Ada perbedaan di antara ahli bahasa mengenai asal-usul etimologis kata “tafsir”, apakah ia berasal dari fassara, yufassiru, tafsiran, atau berasal dari safara.  Demikian juga menurut al-Asfahani, jika kata al-Fasru dimaknai “pengamatan dokter terhadap air”, dan kata al-tafsirah adalah “urine” yang dipergunakan untuk menunjukkan adanya penyakit, dan para dokter meneliti berdasarkan warnanya untuk menunjukkan adanya penyakit bagi si sakit” maka kita dihadapkan pada dua perkara yaitu, pertama materi yang diamati dokter untuk menyingkapkan penyakit, yang disebut ‎tafsirah. Dan kedua adalah tindakan yang memungkinkannya untuk meneliti materi dan menyingkapkan penyakit.‎

Materi yang dicermati dokter mempresentasikan “medium” yang digunakan sang dokter untuk dapat menemukan penyakit. Ini berarti bahwa ‘tafsir’,  yaitu penemuan penyakit si sakit, menuntut adanya materi (objek) dan pengamatan (zat).

Selanjutnya kata safara mempunyai banyak makna yang intinya adalah perjalanan dan perpindahan. Dari makna ini muncul makna penyingkapan dan pemunculan. Dinamakan “Musafir” karena ia menyingkapkan tudung penutup wajahnya. Sedangkan Safar  berarti membuka wajah-wajah musafir dan akhlak-akhlak mereka sehingga tampaklah apa yang sebelumnya tertutup. Asfar al-qaum artinya mereka memasuki waktu pagi. Asfara artinya menerangi sebelum matahari terbit. Safara wajhuhu husnan wa asfara artinya wajahnya bersinar. Dalam Al-Qur’an ada ungkapan: wujuhun yauma’idzin musfirah. Al-Farra’ mengatakan: maksudnya wajahnya bersinar.

Dari materi ini terdapat kata as-Safir, yaitu utusan dan pendamai antar kelompok, bentuk jamaknya as-Sufara. Barangkali makna ini berkaitan dengan pengertian perpindahan dan gerakan. Safartu baina qaumi, artinya saya berusaha mendamaikan mereka.

Ibnu Arafah mengatakan: Para malaikat disebut dengan safarah karena menampakkan diri antara Allah dan para Nabi-Nya. Abu Bakr mengatakan: Mereka disebut dengan safarah karena mereka membawa turun wahyu Allah, izin-Nya, dan apa saja yang dapat dipergunakan untuk mendamaikan manusia. Dalam hadits Terdapat ungkapan: Perumpamaan orang yang mahir Al-Qur’an seperti ‎safarah, yaitu para malaikat. Dinamakan demikian karena ia dapat menjelaskan sesuatu. Atas dasar penjelasan ini, pengertian safarah (mufrad: safir) berkaitan dengan makna menyingkapkan dan menjelaskan, selain berkaitan dengan gerak dan mobilitas.‎

Atas dasar itu, kata tafsir berakar kata dari al-fasru atau as-safru, keduanya  sama-sama memiliki unsur pembentukan kata yang sama: sin–fa’-ra,’ sehingga kedua materi tersebut pada akhirnya bermakna satu, yaitu mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi melalui mediator yang dianggap sebagai tanda agar dapat mengungkap yang tersembunyi dan samar.

Oleh karena itu, Ibnu Faris berpendapat bahwa: “untuk mengungkapkan maksud dari suatu ungkapan atau pernyataan dapat dikembalikan pada tiga hal, yaitu makna, tafsir, dan tawil. Ketiganya, meskipun berbeda, namun maksudnya berdekatan. Makna adalah tujuan dan maksud. Kalimat: ‘unitu bi hadza al-kalam kadza, berarti maksud saya begini. la merupakan derivasi dari kata idhar, yaitu memperlihatkan. Kalimat: ‘anal al-qirbatu, maksudnya apabila anda tidak menyimpan air, malahan memperlihatkannya. Makna ini sama dengan ungkapan ‘unwan al-kitab. Ada yang mengatakan asal makna kata tersbut berasal dari ucapan orang Arab: ‘anat al-ard bi nabat hasan, maksudnya bumi itu menumbuhkan tanaman-tanaman yang bagus.‎

Dengan demikian, Tafsir menurut bahasa berasal dari makna memperlihatkan dan menyingkapkan. Menurut bahasa ia berasal dari masdar tafsirah, yaitu sedikit air yang dipakai dokter untuk sampel. Dengan pengamatannya itu ia dapat menemukan penyakit pasien. Demikian pula seorang mufassir yang menyingkapkan masalah ayat, cerita, dan maknanya, serta penyebab turunnya. Dengan demikian, tafsir adalah penyingkapan maksud yang terkunci lewat kata serta mengeluarkan sesuatu yang tertahan untuk dipahami. Kata fasara dan fassara mempunyai makna yang sama, hanya saja yang lebih banyak dipakai bentuknya yang lebih dari tiga huruf (fassara). Abu al-Fath bin al-Jinni memakai bentuk masdar al-fasrketika menamakan suku-sukunya.

Pemakaian kata at-Tafsir dalam Al-Qur ‘an dengan pengertian menjelaskan, yaitu dalam Surat al-Furqan:

ولا يأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا

Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan padamu  sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”

Ayat tersebut berkaitan dengan bantahan terhadap orang-orang musyrik Makkah yang sering menyakiti Rasulullah dengan sikap-sikap mereka yang meragukan kenabiannya dan risalahnya. Mereka pernah menyebutkan Al-Qur’an sebagai “kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum lain”.
Pandangan al-Asfahani tentang Ta’wil.

Sebelum menguraikan pandangan al-Asfahani mengenai ta’wil, akan sedikit disinggung bahwa kata ta’wil muncul dalam Al-Qur ‘an sebanyak 17 kali, ‎sementara kata tafsir muncul hanya sekali. Tentunya ini menunjukkan bahwa kata ta’wil lebih populer dalam bahasa pada umumya, dan dalam teks khususnya, daripada kata tafsir. Barangkali, rahasia di balik ini adalah bahwa ta’wil merupakan konsep yang dikenal dalam peradaban sebelum Islam yang berkaitan dengan tafsir terhadap mimpi atau ta’wil al-ahadis.‎

Akar kata “ta’wil” berasal dari kata al-awal yang berarti kembali/pulang (ruju’ ‘ala, ya’ulu, awlan, ma’alan berarti raja’a. Awwala ilaihi as-syai’ berarti mengembalikan padanya. Dalam sebuah hadits terdapat ungkapan: man shama ad-dahra fa la shama wa la ala (Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa sebenarnya ia tidak berpuasa dan tidak akan mendapatkan kebaikan). Kata “ta’wil” di sini merupakan bentuk kata “taf’il” dari kata kerja awwala, yu’awwilu, ta’wilan, dan bentuk kata dasarnya adalah ‎ala, ya’ulu yang berarti pulang atau kembali.

Dengan demikian, pengertian ta’wil adalah kembali pada asal-usul sesuatu; apakah itu berbentuk perbuatan ataukah cerita, dan itu dilakukan untuk mengungkapkan makna dan substansinya.
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil

Setelah mengetahui pengertian antara “tafsir” dan “ta’wil’ menurut bahasa, terdapat perbedaan yang penting antara keduanya tercermin dalam kenyataan bahwa proses “tafsir” membutuhkan “tafsirah“, yaitu medium yang dicermati mufasir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara “ta’wil” merupakan proses yang tidak selalu membutuhkan medium ini, bahkan kadang-kadang berdasarkan pada gerak mental dalam menemukan asal mula dari sebuah gejala, atau dalam mengamati akibatnya. Dengan kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara “zat/subjek” dan “objek”, sementara hubungan ini dalam proses “tafsir” bukanlah hubungan langsung tetapi hubungan melalui medium yang berupa teks bahasa, atau berupa sesuatu yang bermakna. ‎

Dalam dua situasi tersebut harus ada medium yang mempresentasikan “tanda”, di mana melalui tanda ini proses pemahaman terhadap objek oleh mufasir dapat berlangsung.

Perbedaan yang dilakukan oleh para ulama tafsir dan ‎ta’wil menurut istilah dapat kita rasakan adanya beberapa sisi perbedaan menurut bahasa. Dari sisi-sisi ini, mereka membatasi tafsir kadang-kadang pada berbagai aspek eksternal dari teks, selain teks itu sendiri, sehingga tafsir adalah:

“Ilmu tentang turunnya ayat, surat-surat, dan cerita-cerita yang berkenaan dengan ayat, isyarat yang ada di dalamnya, kronologi makkiyyah dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, khasdan ‘am, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan ‎mufassar. Selain itu, ada yang menambahkan: ilmu tentang halal haram, janji dan ancaman, perintah dan larangan, ibrah dan perumpamaan. Inilah aspek yang tidak diperkenankan bagi ra’yu untuk ikut campur.”‎

Sementara itu, ta’wil menurut bahasa barasal dari al-awl. Pengertian dari ungkapan: Ma ta’wilu hadza al-Kalam? Ada yang mengatakan: ‘ala al-amru ila kadza,artinya urusan tersebut menjadi demikian …. Kata tersebut berasal dari al-ma’al, yaitu akibat dan kondisi akhir. Awwaltuhu fa ‘ala, artinya saya membuatnya berpaling, maka ia pun berpaling, sehingga kata ta’wil berarti mengarahkan ayat pada makna yang dimungkinkannya. Ada yang mengatakan: asalnya dari ‘iyalah, yaitu mengatur sehingga seolah-olah orang yang men-ta’wil-kan kalam mengatur kalam dan meletakkan makna di tempatnya pada kalam tersebut.”

Di sini, tafsir tampaknya khusus bagi aspek-aspek umum yang eksternal dari teks, seperti pengetahuan tentang asbdb an-nuzul, cerita makkiyyah dan madaniyyah, nasikh dan mansukh. Semua ilmu ini adalah ilmu-iknu naqliyah yang berdasarkan pada riwayat menurut ulama kuno. Dalam ilmu-ilmu tersebut tidak ada tempat untuk berijtihad kecuali hanya memberikan penilaian di antara riwayat-riwayat tersebut atau berusaha mengkompromikannya seperti yang kita ketahui pada pasal-pasal sebelumnya. Menunjuk pada ‘dm dan khas, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mufassar, merupakan penunjukan terhadap aspek-aspek semantis ijtihadiah di mana mufassir memiliki peran dalam menentukannya, tetapi ia hanya merupakan penunjukan terhadap “pengetahuan” tentang apa saja yang dikatakan ulama kuno di seputar permasalahan tersebut. Hal yang sama berlaku pada pengetahuan mengenai halal dan haram, janji dan ancaman, perintah dan larangan, ibrah dan perumpamaan. Ilmu tafsir melalui batasan di atas tampak sebagai suatu ilmu yang menghimpun semua ilmu yang menjadi pengantar bagi ta’wil yang mempresentasikan usaha pen-ta’wil dalam “mengarahkan” ayat pada makna yang dimungkinkan ayat. Atas dasar itu, “tafsir” merupakan bagian dari proses “ta’wil”, dan hubungan antara keduanya adalah hubungan antara yang khas dan yang ‘am di satu sisi, atau hubungan naql dengan ijtihad di sisi lain, yaitu hubungan yang diungkapkan oleh ulama kuno dengan nama riwayah dan dirayah.

Ada yang mengatakan: Ta’wil berusaha menyingkapkan makna yang terkunci. Oleh karena itu, al-Bajili mengatakan: Tafsir berkaitan dengan riwayah, dan ta’wil berkaitan dengan dirayah. Abu Nasr al-Qusyairi mengatakan: dalam tafsir yang dikedepankan adalah mengikuti dan mendengar sementara istinbat hanya dilakukan pada apa yang berkaitan dengan ta’wil.
Abu al-Qasim bin Habib al-Naisaburi, Baghawi, al-Kawasyi, dan lainnya mengatakan: Ta’wil adalah mengarahkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelum dan sesudahnya yang dimungkinkan oleh ayat, tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan as-Sunnah melalui istinbat.

“Ta’wil” berkaitan dengan istinbat, sementara tafsir umumnya didominasi oleh naql dan riwayat. Dalam perbedaan ini terkandung salah satu dimensi penting dari proses ta’wil, yaitu peran pembaca dalam mengahadapi teks dan dalam menemukan maknanya. Peran pembaca atau pen-ta’wil bukanlah peran mutlak yang mengubah ta’wil menjadi teks yang tunduk pada kepentingan subjektif, tetapi ta’wil harus berdasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang secara niscaya berkaitan dengan teks, dan berada dalam konsep “tafsir”. Pen-ta’wil harus mengetahui benar tentang tafsir yang memungkinkannya memberikan “ta’wil” yang diterima dalam teks, yaitu ta’wil yang tidak menundukkan teks pada kepentingan subjektif dan ideologisnya.

Inilah yang diungkapkan oleh ulama kuno sebagai ta’wil yang dilarang dan bertentangan dengan apa yang dikatakan dan yang dipahami dari teks.
Kontribusi Al-Asfahani dalam kajian Al-Qur’an

Sumbangan pemikirannya akan sangat membantu para pengkaji al-Qur’an terutama orang awam yang belum mcndalam pengetahuan kebahasaanya. Namun perlu dicermati bahwa al-Asfahani bukan seperti para mufassir yang mencoba menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan kebahasaan sebagaimana al-Zamkhsyari dengan al-Kasysyaf, Jalaludin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsir jalainnya dan masih banyak lagi para mufassir sekaligus ahli bahasa. Terutama para mufassir kontemporer seperti A’isyah Abdurrahman bint al-Syathi’ dalam tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-karim.

Al-Zamakhsyari adalah seorang ulama genius yang sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan sekaligus ilmu tafsir. Bahkan dalam aspek kebahasaan beliau berhasil berjasa telah menyingkap keindahan al-Qur’an dan daya tarik balaghahnya.

Begitu juga tafsir jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally, nuansa kebahasaan tergambar jelas dalam kupasan setiap ayat yang tidak pernah sepi akan kajian yang mendalam tentang keindahan gaya bahasa al-Qur’an.

Di antara mufassir perempuan modern yang ikut ambil! bagian dalam kesusasteraan arab dan pemikiran social adalah A’syah Abdurrahman yang popular dengan Bint al-Syathi’. Beliau adalah pengajar pada fakultas adab di Kairo dan pada fakultas tarbiyah putri.

Di dalam tafsirnya, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, Bintu Syathi’ memusatkan perhatian pada aspek-aspek balaghah al-Qur’an dan mengungkapkannya dengan sastrawi yang tinggi.

Berbeda dengan mereka, al-Asfahani menguraikan ayat-aya al-Qur’an melalui mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Jadi tidak berangkat dari sebuah ayat kemudian dikupas habis melalui kajian bahasa, tapi metode yang dipakai adalah menetapkan kosa kata atau kata-kata pokok dalam al-Qur’an kemudian dihubungkan dengan potongan-potongan ayat yang terdapat kata yang sama. Metode ini juga berbeda dengan Ensiklopedi yang mencoba memahami al-Qur’an lewat entri-entri atau kata-kata kunci. Misalnya taqwa, hanif, iman dan lain sebagainya.
Takhtimah

Al-Asfahani termasuk salah satu pemikir al-Qur’an abad pertengahan yang  memfokuskan pada hakekat al-Qur’an dan wataknya sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab agung berbahasa Arab, dan pengaruh sastrawinya yang indah.

Bagi al-Asfahani, al-Qur’an merupakan kitab artistika Arab yang sakral. Setelah menuntaskan kajiannya pada aspek sastrawi tersebut, al-Asfahani mengarahkannya pada kepada kandungan ayat dengan mengambil dan menukil apa saja yang dikehendakinya dan sesuai dengan bahasan.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...