Minggu, 24 Oktober 2021

Ibnu Zuhr Dokter Kenamaan Pada Masa Kejayaan Islam


Dalam sejarah Islam dikenal beberapa intelektual muslim yang terkenal sebagai perintis dalam bidang kedokteran, sebut saja Ibnu Sina atau Avicena dan Al Razi atau Razhes. Selain itu masih ada dua nama yang merupakan pioner dibidang ini. Mereka adalah Abu Marwan Abdul Malik Ibu Zuhr atau Avenzoar dan Abu Al-Kaseem Khalaf Al-Zahrawi atau Abulcasis.
Abu Marwan Abdul Malik Ibnu Zuhr
Ibnu Zuhr mempunyai nama lengkap Abu Marwan bin Abdul Mulk bin Abu al-A’la Zuhr bin Muhammad bin Marwan bin Zuhr al-Iyadi. Ibnu Zuhr lahir di Seville, Spanyol pada tahun 1091 M. Ia dikenal sebagai dokter, apoteker, ahli bedah, sarjana islam, dan seorang guru.
Jejak Hidup Sang Dokter

Abu Marwan Abdal-Malik Ibnu Zuhr. Itulah nama lengkap Avenzoar atau Ibnu Zuhr yang terlahir di Seville, Spanyol, pada tahun 1091 M. Dia dikenal sebagai dokter, apoteker, ahli bedah, sarjana Islam, dan seorang guru. Beberapa sejarawan menyebut Ibnu Zuhr sebagai orang Yahudi, namun Bapak Sejarah Sains, George Sarton memastikan bahwa sang dokter adalah seorang Muslim.

Ia menimba ilmu kedokteran di Universitas Cordoba. Ibnu Zuhr merupakan keturunan dari keluarga Bani Zuhr yang melahirkan lima generasi dokter, termasuk dua di antaranya wanita. Ibnu Zuhrpertama kali belajar praktik kedokteran dari ayahnya bernama Abu’l-Ala Zuhr (wafat tahun 1131 M). Kakeknya juga adalah seorang dokter yang termasyhur di Andalusia.

Setelah merampungkan studinya, sastra, hukum, dan doktrin, Ibnu Zuhr mulai mendalami ilmu kedokteran secara khusus, Ibnu Zuhr lalu mendedikasikan dirinya untuk penguasa Dinasti Al- Murabitunpenguasa Spanyol Islam setelah padamnya Kekhalifah an Umayyah. Hubungannya dengan penguasa Dinasti Murabitun memburuk ketika Ali Ibnu Yussuf Ibnu Tachfine berkuasa.

Ibnu Zuhr lalu dipenjara selama 10 tahun di Marrakech. Setelah kekuasaan dinasti itu berakhir, Ibnu Zuhr kembali ke Andalusia dan mengabdi pada Abd al-Mu’minpenguasa pertama Dinasti Al-Muwahidun. Ia adalah teman, murid, dan guru seorang dokter serta filsuf terkemuka Ibnu Rushd. Di era kekuasaan Dinasti Muwahidun, Ibnu Zuhr menulis karya-karyanya. Ia tutup usia pada 1161 M di tanah kelahirannya, Seville. Meski begitu, ia tetap dikenang dan namanya masih tetap abadi.

Ibnu Zuhr mewariskan beberapa kitab kedokteran penting bagi peradaban manusia modern, seperti: Kitab at-Taysirfi al-mudawat wa at-tadbir (Perawatan dan Diet). Ini adalah ensiklopedia kedokteran yang membuktikan bakat dan keahlian Ibnu Zuhr. Dia lalu menawarkan kepada temannya, Ibnu Rushd, untuk mengumpulkan bukunya dalam Generalities in Medicine.

Kedua buku itu saling melengkapi satu sama lain. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada 1490 M dan masih digunakan sebagai referensi hingga abad ke-17 M. Salinan buku kompilasi antara karya Ibnu Zuhr dan Ibnu Rushd itu masih tersimpan di banyak perpustakaan, seperti di Perpustakaan Umum Rabat, perpustakaan-perpustakaan di Paris, Oxford di Inggris, dan Florence di Italia.

Kitab al-Iktisad fi Islah an-Nufus wa al-Ajsad (Curing souls and bodies) adalah rangkuman berbagai penyakit, perawatannya, pencegahan, kesehatan, dan psikoterapi. Salinan kitab ini masih tersimpan di Perpustakaan Istana di Rabat.

Kitab al-Aghdia wa al-adwya (Nutrition and Medication). Dalam kitab ini, Ibnu Zuhr menjelaskan beragam jenis makanan bergizi, obat-obatan, serta dampaknya bagi kesehatan risalah. Dua salinannya masih tersimpan dengan baik di Perpustakaan Istana di Rabat. Lewat karya-karyanya itulah pemikiran Ibnu Zuhr hingga kini tak pernah mati.

Jasa-Jasa Ibnu Zuhr

Ibnu Zuhr adalah dokter Muslim yang mengkaji dan menguasai pengobatan penyakit jaman keemasanya Islam. Ia menulis sebuah kitab berjudul kitab al-Taysir. Kitab ini menjelaskan pengobatan penyakit pericarditis.

Ibnu Zuhr dikenal sebagai dokter yang unik. Ia mengembangkan ilmu kedokteran didasarkan dari percobaan ilmiah. Ibnu Zuhr juga merupakan dokter pertama yang memanfaatkan binatang sebagai ‘kelinci percobaan’. Ibnu Zuhr mampu menemukan beberapa penyakit yang tak diketahui sebelumnya, seperti penyakit paru-paru.

Yang lebih memukau lagi. Ibnu Zuhr merupakan dokter pertama yang menggunakan jarum suntik untuk memberikan makanan buatan bagi pasiennya. Sang dokter dari Spanyol itu juga merupakan orang pertama yang berhasil mengungkapkan nilai gizi yang terkandum dalam madu.

Ibnu Zuhr Sebagai Perintis Ilmu Parasitologi

Penyakit kulit seperti gatal - gatal, panu, kadas, kudis, kurap, kutu air dan sejenisnya seringkali dianggap remeh, namun sangat menjengelkan. Selain menanggung malu, orang yang terkena penyakit kulit akan sangat terganggu karena penyakit menular ini dapat menimbulkan rasa gatal atau perih pada bagian kulit yang terinfeksi. Penyebab penyakit kulit biasanya dikarenakan faktor kebersihan diri dan lingkungan. Pola hidup yang tidak bersih bisa memicu datangnya jamur atau parasit yang menjadi biang munculnya penyakit kulit.

Orang yang pertama kali meneliti dan menjelaskan dengan komplit dan komprehensif mengenai penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit adalah Ibnu Zuhr. Rekam jejak Ibnu Zuhr di bidang ini terbukti sangat rinci dan memberikan pencerahan bagi perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan, khususnya di bidang ilmu parasitologi, yakni ilmu yang mempelajari tentang parasit. Lantaran itulah, Ibnu Zuhr memperoleh gelar sebagai Bapak Ilmu Parasitologi sekaligus sebagai ilmuwan pertama di dunia yang mempelajari dan mencetuskan kajian tentang parasit.

Ibnu Zuhr adalah salah seorang ilmuwan yang terlahir dari masa kejayaan Islam di kawasan Andalusia ( sekarang menjadi wilayah Spanyol dan Portugis ) di Eropa. Oleh kalangan ilmuwan Eropa, Ibnu Zuhrdikenal dengan nama Avenzoar. Dilahirkan pada 1091 Masehi di Sevilla, Andalusia,Ibnu Zuhr memang beradal dari keluarga Dokter. Jenjang kependidikannya pun tidak jaug dari dunia medis, termasuk di masa kuliahnya di mana Ibnu Zuhr merupakan alumni dari perguruan tinggi khusus kedokteran, yaitu Cordoba Medical University.

Di semesta ilmu kedokteran yang cukup luas, Ibnu Zuhr berkonsentrasi pada bidang khusus pengobatan. Setelah lulus dari Cordoba Medical University, tentunyaIbnu Zuhr menyandang predikat sebagai seorang dokter. Namun, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan penelitian dan eksperimen daripada berpraktik sebagai dokter umum. Ibnu Zuhr bertipikal dokter ilmuwan, ia berperan selaku ilmuwan yang berusaha untuk menemukan formulasi obat untuk menyembuhkan penyakit.

Ibnu Zuhr adalah orang pertama yang mengujicobakan obat kepada binatang terlebih dahulu sebelum digunakan untuk Manusia. Hal ini dilakukannya supaya tidak menimbulkan efek yang berbahaya bagi manusia apabila reaksi dari obat itu ternyata tidak sesuai yang diinginkan.

Pada suatu kesempatan, Ibnu Zuhr diminta oleh Ibnus Rushd, salah seorang ilmuwan Muslim ternama, untuk menulis buku tentang pengobatan yang kemudian diberi judul Al-Taysier fi Al-Mudawat wa Al-Tadbis. Buku yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of Simplification Concerning Therapeutics anda Diets ini menjelaskan secara terperinci ihwal keadaan patologi ( penyakit ) dan terapi / pengobatan untuk menyembuhkannya, Ibnu Zuhr mengawali tulisannya dengan pemaparan mengenai studi deskriptif tentang raga penyakit ringan. Selanjutnya, Ibnu Zuhrmenerangkan secara sistematis tentang bagian anatomi Manusia, dari kepala sampai kaki.

Karya - karya Ibnu Zuhr yang kemudian dibukukan menjadi buku terlengkap dalam dunia kedokteran, khususnya di bidang pengobatan penyakit. Selain Al-Taysier fi Al-Mudawat wa Al-Tadbis, Ibnu Zuhr masih punya sejumlah kitab ilmiah lainnya. Buku berjudul Al-Aghziya atau Book of Foods Stuffs, Misalnya, adalah karya Ibnu Zuhryang menerangkan mengenai pentingnya obat dan makanan bergizi. Dalam hal ini,Ibnu Zuhr tercatat sebagai perintis diterapkannya metode memberikan makanan melalui kerongkongan pada paisen yang tidak bisa diberikan makan lewat mulut.

Meskipun menguasai banyak cabang ilmu pengobatan, namun Ibnu Zuhr paling banyak menaruh perhatian pada penanganan penyakit kulit yang termasuk dalam kategori parasitologi. Rincian pemikiran Ibnu Zuhr tentang parasitologi, yakni mengenai jenis - jenis penyakit kulit, faktor penyebabnya, dan juga cara pengobatannya, diterangkan dalam salah satu bukunya yang berjudul Al-Iqtishad fi Islah al-Anfus Wa al-Afsad atau The Book of Middle of Course Concerning The Reformation of Souls anda The Bodies.

Semasa hidupnya, Ibnu Zuhr telah banyak menghasilkan pemikiran berharga bagi ilmu kedokteran yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku atau kitab. Total, jumlah kitab yang menghimpun segenap pemikiran dan hasil penelitian Ibnu Zuhrada 9 buah. Hal itu menunjukkan kepiawaian Ibnu Zuhr di bidangnya. Terlebih lagio, Ibnu Zuhr pernah dipercaya menjabat sebagai mentri pada masa DInasti Muhawid di Andalusia di bawah kepemimpinan Sultan Abd Al-Mu'min. Ibnu Zuhr meninggal dunia di tanah kelahirannya, di Sevilla, Andalusia, pada 1161.‎

Al-Khowarizmi Dan Sejarah Angka Nol


Muḥammad bin Mūsā al-Khawārizmī (bahasa Arab: محمد بن موسى الخوارزمي) adalah seorang ahli dalam bidang matematika, astronomi, astrologi, dan geografi yang berasal dari Persia. Lahir sekitar tahun 780di Khwārizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850 di Baghdad. Hampir sepanjang hidupnya, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Baghdad

Buku pertamanya, al-Jabar, adalah buku pertama yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar. Al-Khwārizmī juga berperan penting dalam memperkenalkan angka Arab melalui karya ‎Kitāb al-Jam’a wa-l-tafrīq bi-ḥisāb al-Hind ‎yang kelak diadopsi sebagai angka standar yang dipakai di berbagai bahasa serta kemudian diperkenalkan sebagai Sistem Penomoran Posisi Desimal di dunia Barat pada abad ke 12. Ia merevisi dan menyesuaikan Geografi Ptolemeus sebaik mengerjakan tulisan-tulisan tentang astronomi dan astrologi.

Kontribusinya tak hanya berdampak besar pada matematika, tapi juga dalam kebahasaan. Kata "aljabar" berasal dari kata al-Jabr, satu dari dua operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat, yang tercantum dalam bukunya. Kata algorisme dan algoritma diambil dari kata algorismi, Latinisasi dari namanya. Namanya juga di serap dalam bahasa Spanyol, guarismo, dan dalam bahasa Portugis, algarismo bermakna digit.

Biografi

‎Sedikit yang dapat diketahui dari hidupnya, bahkan lokasi tempat lahirnya sekalipun. Namanya mungkin berasal dari Khwarizm (Khiva) yang berada di Provinsi Khurasan pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah (sekarang Xorazm, salah satu provinsi Uzbekistan). Gelarnya adalah Abū ‘Abdu llāh (Arab: أبو عبد الله) atau Abū Ja’far.
Sejarawan al-Tabari menamakannya ‎Muhammad bin Musa al-Khwārizmī al-Majousi al-Katarbali (Arab: محمد بن موسى الخوارزميّ المجوسيّ القطربّليّ). Sebutan al-Qutrubbulli mengindikasikan al-Khawārizmī berasal dari Qutrubbull, kota kecil dekat Baghdad.

Tentang agama al-Khawārizmī', Toomer menulis:

Sebutan lain untuknya diberikan oleh al-Ṭabarī, "al-Majūsī," ini mengindikasikan‎ ia adalah pengikut Zoroaster.Ini mungkin terjadi pada orang yang berasal dariIran. Tetapi, kemudian bukuAl-Jabar dia menunujukkan diri sebagai seorang Muslim Ortodok,jadi sebutan Al-Tabari ditujukan pada saat ia muda, ia beragama Majusi.

Dalam Kitāb al-Fihrist Ibnu al-Nadim, kita temukan sejarah singkatnya, bersama dengan karya-karya tulisnya. Al-Khawarizmi menekuni hampir seluruh pekerjaannya antara 813-833. setelah Islam masuk ke Persia, Baghdad menjadi pusat ilmu dan perdagangan, dan banyak pedagang dan ilmuwan dari Cina dan Indiaberkelana ke kota ini, yang juga dia lakukan. Dia bekerja di Baghdad pada Sekolah Kehormatan yang didirikan olehKhalifah Bani Abbasiyah Al-Ma'mun, tempat ia belajar ilmu alam dan matematika, termasuk mempelajari terjemahan manuskrip Sanskerta danYunani.

Karya

Karya terbesarnya dalam matematika,astronomi, astrologi, geografi, kartografi, sebagai fondasi dan kemudian lebih inovatif dalam aljabar, trigonometri, dan pada bidang lain yang dia tekuni. Pendekatan logika dan sistematisnya dalam penyelesaian linear dan notasi kuadrat memberikan keakuratan dalam disiplin aljabar, nama yang diambil dari nama salah satu bukunya pada tahun 830 M, al-Kitab al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa'l-muqabala (Arab الكتاب المختصر في حساب الجبر والمقابلة) atau: "Buku Rangkuman untuk Kalkulasi dengan Melengkapakan dan Menyeimbangkan”, buku pertamanya yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12.

Pada bukunya, Kalkulasi dengan angka Hindu, yang ditulis tahun 825, memprinsipkan kemampuan difusi angka India ke dalam perangkaan timur tengah dan kemudian Eropa. Bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,Algoritmi de numero Indorum, menunjukkan kata algoritmi menjadi bahasa Latin.

Beberapa kontribusinya berdasar pada Astronomi Persia dan Babilonia, angka India, dan sumber-sumber Yunani.

Sistemasi dan koreksinya terhadap dataPtolemeus pada geografi adalah sebuah penghargaan untuk Afrika dan Timur –Tengah. Buku besarnya yang lain, Kitab surat al-ard ("Pemandangan Bumi";diterjemahkan oleh Geography), yang memperlihatkan koordinat dan lokasi dasar yang diketahui dunia, dengan berani mengevaluasi nilai panjang dari LautMediterania dan lokasi kota-kota di Asiadan Afrika yang sebelumnya diberikan oleh Ptolemeus.

Ia kemudian mengepalai konstruksi peta dunia untuk Khalifah Al-Ma’mun dan berpartisipasi dalam proyek menentukan tata letak di Bumi, bersama dengan 70 ahli geografi lain untuk membuat peta yang kemudian disebut “ketahuilah dunia”. Ketika hasil kerjanya disalin dan ditransfer ke Eropa dan Bahasa Latin, menimbulkan dampak yang hebat pada kemajuan matematika dasar di Eropa. Ia juga menulis tentang astrolab dan sundial.

Kitab I: Aljabar

Al-Kitāb al-mukhtaṣar fī ḥisāb al-jabr wa-l-muqābala (Arab: الكتاب المختصر في حساب الجبر والمقابلة atau Kitab yang Merangkum Perhitungan Pelengkapan dan Penyeimbangan) adalah buku matematikayang ditulis pada tahun 830. Kitab ini merangkum definisi aljabar. Terjemahan ke dalam bahasa Latin dikenal sebagai Liber algebrae et almucabala oleh Robert dari Chester (Segovia, 1145) dan juga olehGerardus dari Cremona.

Dalam kitab tersebut diberikan penyelesaian persamaan linear dan kuadrat dengan menyederhanakan persamaan menjadi salah satu dari enam bentuk standar (di sini b dan c adalahbilangan bulat positif)

kuadrat sama dengan akar (ax2 = bx)
kuadrat sama dengan bilangan konstanta (ax2 = c)
akar sama dengan konstanta (bx = c)
kuadrat dan akar sama dengan konstanta (ax2 + bx = c)
kuadrat dan konstanta sama dengan akar (ax2 + c = bx)
konstanta dan akar sama dengan kuadrat (bx + c = ax2)
dengan membagi koefisien dari kuadrat dan menggunakan dua operasi: al-jabr ( الجبر ) atau pemulihan atau pelengkapan) dan al-muqābala (penyetimbangan). Al-jabradalah proses memindahkan unit negatif, akar dan kuadrat dari notasi dengan menggunakan nilai yang sama di kedua sisi. Contohnya, x2 = 40x - 4x2disederhanakan menjadi 5x2 = 40x. Al-muqābala adalah proses memberikan kuantitas dari tipe yang sama ke sisi notasi. Contohnya, x2 + 14 = x + 5 disederhanakan ke x2 + 9 = x.

Beberapa pengarang telah menerbitkan tulisan dengan nama Kitāb al-ǧabr wa-l-muqābala, termasuk Abū Ḥanīfa al-Dīnawarī, Abū Kāmil (Rasāla fi al-ǧabr wa-al-muqābala), Abū Muḥammad al-‘Adlī,Abū Yūsuf al-Miṣṣīṣī, Ibnu Turk, Sind bin ‘Alī, Sahl bin Bišr, dan Šarafaddīn al-Ṭūsī.

Buku 2: Dixit algorizmi

Buku lain dari al-Khawārizmī adalah tentang aritmetika, yang bertahan dalamBahasa Latin, tapi hilang dari Bahasa Arabyang aslinya. Translasi dilakukan padaabad ke-12 oleh Adelard of Bath, yang juga menerjemahkan tabel astronomi pada1126.

Pada manuskrip Latin,biasanya tak bernama,tetapi umumnya dimulai dengan kata: Dixit algorizmi ("Seperti kata al-Khawārizmī"), atau Algoritmi de numero Indorum ("al-Kahwārizmī pada angka kesenian Hindu"), sebuah nama baru di berikan pada hasil kerjanya oleh Baldassarre Boncompagni pada 1857. Kitab aslinya mungkin bernama Kitāb al-Jam’a wa-l-tafrīq bi-ḥisāb al-Hind ("Buku Penjumlahan dan Pengurangan berdasarkan Kalkulasi Hindu").

Buku 3: Rekonstruksi Planetarium

Peta abad ke-15 berdasarkan Ptolemeus sebagai perbandingan.

Buku ketiganya yang terkenal adalah Kitāb ṣūrat al-Arḍ (Bhs.Arab: كتاب صورة الأرض "Buku Pemandangan Dunia" atau "Kenampakan Bumi" diterjemahkan oleh Geography), yang selesai pada 833 adalah revisi dan penyempurnaan Geografi Ptolemeus, terdiri dari daftar 2402koordinat dari kota-kota dan tempat geografis lainnya mengikuti perkembangan umum.

Hanya ada satu kopi dari Kitāb ṣūrat al-Arḍ, yang tersimpan di PerpustakaanUniversitas Strasbourg. Terjemahan Latinnya tersimpan di Biblioteca Nacional de España di Madrid. Judul lengkap bukunya adalah Buku Pendekatan Tentang Dunia, dengan Kota-Kota, Gunung, Laut, Semua Pulau dan Sungai, ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi berdasarkan pendalaman geografis yamg ditulis oleh Ptolemeus dan Claudius.

Buku ini dimulai dengan daftar bujur danlintang, termasuk “Zona Cuaca”, yang menulis pengaruh lintang dan bujur terhadap cuaca. Oleh Paul Gallez, dikatakan bahwa ini sangat bermanfaat untuk menentukan posisi kita dalam kondisi yang buruk untuk membuat pendekatan praktis. Baik dalam salinan Arab maupun Latin, tak ada yang tertinggal dari buku ini. Oleh karena itu, Hubert Daunichtmerekonstruksi kembali peta tersebut dari daftar koordinat. Ia berusaha mencari pendekatan yang mirip dengan peta tersebut.

Buku 4: Astronomi

Kampus Corpus Christi MS 283

Buku Zīj al-sindhind (Arab: زيج "tabel astronomi”) adalah karya yang terdiri dari 37 simbol pada kalkulasi kalenderastronomi dan 116 tabel dengan kalenderial, astronomial dan data astrologial sebaik data yang diakui sekarang.

Versi aslinya dalam Bahasa Arab (ditulis820) hilang, tapi versi lain oleh astronomorSpanyol Maslama al-Majrīṭī (1000) tetap bertahan dalam bahasa Latin, yang diterjemahkan oleh Adelard of Bath (26 Januari 1126). Empat manuskrip lainnya dalam bahasa Latin tetap ada di Bibliothèque publique (Chartres), the Bibliothèque Mazarine (Paris), the Bibliotheca Nacional (Madrid) dan the Bodleian Library (Oxford).

Buku 5: Kalender Yahudi

Al-Khawārizmī juga menulis tentang Penanggalan Yahudi (Risāla fi istikhrāj taʾrīkh al-yahūd "Petunjuk Penanggalan Yahudi"). Yang menerangkan 19-tahun siklus interkalasi, hukum yang mengatur pada hari apa dari suatu minggu bulanTishrī dimulai; memperhitungkan interval antara Era Yahudi(penciptaan Adam) dan era Seleucid ; dan memberikan hukum tentang bujur matahari dan bulanmenggunakan Kalender Yahudi. Sama dengan yang ditemukan oleh al-Bīrūnī danMaimonides.

Karya lainnya

Beberapa manuskrip Arab di Berlin,Istanbul, Tashkent, Kairo dan Paris berisi pendekatan material yang berkemungkinan berasal dari al-Khawarizmī. Manuskrip di Istanbul berisi tentang sundial, yang disebut dalam Fihirst. Karya lain, seperti determinasi arah Mekkah adalah salah satu astronomi sferik.

Dua karya berisi tentang pagi (Ma’rifat sa’at al-mashriq fī kull balad) dan determinasiazimut dari tinggi (Ma’rifat al-samt min qibal al-irtifā’).

Dia juga menulis 2 buku tentang penggunaan dan perakitan astrolab. Ibnu al-Nadim dalam Kitab al-Fihrist (sebuah indeks dari bahasa Arab) juga menyebutkan Kitāb ar-Ruḵāma(t) (buku sundial) dan Kitab al-Tarikh (buku sejarah) tapi 2 yang terakhir disebut telah hilang.


Sejarah Angka Nol

Al-Khawarizmi dikenal sebagai bapak Aljabar memperkenalkan bilangan nol (0), dan penerjemah karya-karya Yunani kuno. Kisah angka nol Konsep bilangan nol telah berkembang sejak zaman Babilonia danYunani kuno, yang pada saat itu diartikan sebagai ketiadaan dari sesuatu. Konsep bilangan nol dan sifat-sifatnya terus berkembang dari waktu ke waktu. Hingga pada abad ke-7, Brahmagupta seorang matematikawan India memperkenalkan beberapa sifat bilangan nol. Sifat-sifatnya adalah suatu bilangan bila dijumlahkan dengan nol adalah tetap, demikian pula sebuah bilangan bila dikalikan dengan nol akan menjadi nol. Tetapi, Brahmagupta menemui kesulitan, dan cenderung ke arah yang salah, ketika berhadapan dengan pembagian oleh bilangan no,l “sebuah bilangan dibagi oleh nol adalah tetap”. Tentu saja ini suatu kesalahan fatal. Tetapi, hal ini tetap harus sangat dihargai untuk ukuran saat itu

Ide-ide brilian dari matematikawan India selanjutnya dipelajari oleh matematikawan Muslim dan Arab. Hal ini terjadi pada tahap-tahap awal ketika matematikawan Al-Khawarizmi meneliti sistem perhitungan Hindu (India) yang menggambarkan sistem nilai tempat dari bilangan yang melibatkan bilangan 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Al-Khawarizmi adalah yang pertama kali memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai tempat dalam basis sepuluh. Sistem ini disebut sebagai sistem bilangan decimal.Selain itu Al Khawarizmi merupakan penulis kitab aljabar (matematika) pertama di muka bumi. Beliau juga seorang ilmuan jenius pada masa keemasan Baghdad yang sangat besar sumbangsihnya terhadap ilmu aljabar dan aritmetika. Karyanya, Kitab Aljabr Wal Muqabalah (Pengutuhan Kembali dan Pembandingan) merupakan pertama kalinya dalam sejarah dimana istilah aljabar muncul dalam kontesk disiplin ilmu. Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal tersebut. Karangan itu sangat populer di negara-negara barat dan diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Italia. Bahasan yang banyak dinukil oleh ilmuwan barat dari karangan Al-Khawarizmi adalah tentang persamaan kuadrat. Sumbangan Al-Khwarizmi dalam ilmu ukur sudut juga luar biasa. Tabel ilmu ukur sudutnya yang berhubungan dengan fungsi sinus dan garis singgung tangen telah membantu para ahli Eropa memahami lebih jauh tentang ilmu ini. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.

Karya-karya al-Khawarizmi di bidang matematika sebenarnya banyak mengacu pada tulisan mengenai aljabar yang disusun oleh Diophantus (250 SM) dari Yunani. Namun, dalam meneliti buku-buku aljabar tersebut, al-Khawarizmi menemukan beberapa kesalahan dan permasalahan yang masih kabur. Kesalahan dan permasalahan itu diperbaiki, dijelaskan, dan dikembangkan oleh al-Khawarizmi dalam karya-karya aljabarnya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila ia dijuluki ”Bapak Aljabar.”Di bidang ilmu ukur, al-Khawarizmi juga dikenal sebagai peletak rumus ilmu ukur dan penyusun daftar logaritma serta hitungan desimal. Namun, beberapa sarjana matematika Barat, seperti John Napier (1550–1617) dan Simon Stevin (1548–1620), menganggap penemuan itu merupakan hasil pemikiran mereka. Selain matematika, Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai astronom. Di bawah Khalifah Ma’mun, sebuah tim astronom yang dipimpinnya berhasil menentukan ukuran dan bentuk bundaran bumi. Penelitian itu dilakukan di Sanjar dan Palmyra. Hasilnya hanya selisih 2,877 kaki dari ukuran garis tengah bumi yang sebenarnya. Sebuah perhitungan luar biasa yang dapat dilakukan pada saat itu. Al-Khawarizmi juga menyusun buku tentang penghitungan waktu berdasarkan bayang-bayang matahari.

Setelah al-Khawarizmi meninggal, keberadaan karyanya beralih kepada komunitas Islam. Yaitu, bagaimana cara menjabarkan bilangan dalam sebuah metode perhitungan, termasuk dalam bilangan pecahan; suatu penghitungan Aljabar yang merupakan warisan untuk menyelesaikan persoalan perhitungan dan rumusan yang lebih akurat dari yang pernah ada sebelumnya. Di dunia Barat, Ilmu Matematika lebih banyak dipengaruhi oleh karya al-Khawarizmi dibanding karya para penulis pada Abad Pertengahan. Masyarakat modern saat ini berutang budi kepada al-Khawarizmi dalam hal penggunaan bilangan Arab. Notasi penempatan bilangan dengan basis 10, penggunaan bilangan irasional dan diperkenalkannya konsep Aljabar modern, membuatnya layak menjadi figur penting dalam bidang Matematika dan revolusi perhitungan di Abad Pertengahan di daratan Eropa. Dengan penyatuan Matematika Yunani, Hindu dan mungkin Babilonia, teks Aljabar merupakan salah satu karya Islam di dunia Internasional.


Implikasi:

Berkat penemuan angka nol, maka dunia matematika dijaman sekarang semakin maju, misalnya dengan ditemokan berbagai rumus seperti rumus sinus, cosinu, tangent ataupun rumus trigonometi. Selain dalam dunia matematika penemuan angka nol ternyata sangat mempengaruhi dunia tegnologi khususnya computer/ digital yaitu ditemukannya gerbang logika dan kode ASCII.

Gerbang logika atau sering juga disebut gerbang logika Boolean merupakan sebuah sistem pemrosesan dasar yang dapat memproses input-input yang berupa bilangan biner menjadi sebuah outputyang berkondisi yang akhirnya digunakan untuk proses selanjutnya. Gerbang logika dapat mengkondisikan input – input yang masuk kemudian menjadikannya sebuah output yang sesuai dengan apa yang ditentukan olehnya. Terdapat tiga gerbang logika dasar, yaitu : gerbang AND, gerbang OR, gerbang NOT. Ketiga gerbang ini menghasilkan empat gerbang berikutnya, yaitu : gerbang NAND, gerbang NOR, gerbang XOR, gerbang XAND.

Rangkaian aritmatika dasar termasuk kedalam rangkaian kombinasional yaitu suatu rangkaian yang outputnya tidak tergantung pada kondisi outputsebelumnya, hanya tergantung pada present statedari input. Dari gerbang logika tersebut bisa dikembangkan menjadi berbagai macam tegnologi mulai dari teknologi sederhana seperti stopwatch, jam, hingga dunia internet, satelit, pesawat terbang, dan sebagainya. Semua itu tidak akan luput dari peran serta gerbang-gerbang logika ini.

Angka nol juga berperan dalam ditemukannyan kode ASCII, yaitu kode Standar Amerika untuk Pertukaran Informasi atau ASCII (American Standard Code for Information Interchange) merupakan suatu standar internasional dalam kode huruf dan simbol seperti Hex dan Unicode tetapi ASCII lebih bersifat universal, contohnya 124 adalah untuk karakter “|”. Ia selalu digunakan oleh komputer dan alat komunikasi lain untuk menunjukkan teks. Kode ASCII sebenarnya memiliki komposisi bilangan biner sebanyak 8 bit. Dimulai dari 0000 0000 hingga 1111 1111. Total kombinasi yang dihasilkan sebanyak 256, dimulai dari kode 0 hingga 255 dalam sistem bilangan Desimal

(ASCII)American Standard Code for Internation Interchange. Biasanya disingkat dengan ASCII. Suatu kode skema yang menggunakan 7 atau 8 bit, yang memberikan lambang sebanyak 256 jenis karakter. Di dalam karakter-karakter ini, telah termasuk di dalamnya huruf, angka, lambang-lambang khusus, kode kontrol perintah, serta kode lainnya. ASCII ini didevelop pada tahun 1968, yang merupakan standar untuk transmisi data antara software dan hardware. ASCII ini digunakan dalam dikebanyakan komputer mini, dan di seluruh komputer pribadi. Standar yang berlaku di seluruh dunia untuk kode berupa angka yang merepresentasikan karakter-karakter, baik huruf, angka, maupun simbol yang digunakan oleh komputer. Terdapat 128 karakter standar ASCII yang masing-masing direpresentasikan oleh tujuh digit bilangan biner mulai dari 0000000 hingga 1111111.

format yang banyak digunakan untuk file teks di dalam dunia komputer dan internet. Di dalam file ASCII, masing-masing alphabetic, numeric, atau karakter khusus direpresentasikan dalam 7-bit bilangan biner (kumpulan dari nol atau satu sebanyak tujuh angka). Karakter dalam kode ASCII dibagi dalam beberapa group yaitu : control character, angka, huruf besar, huruf kecil, dan tanda baca (pada tabel tidak begitu jelas). Control-character ini sering disebut sebagai non-printable-character, yaitu karakter yang dikirim sebagai tahap awal (pengenalan) dalam berbagai kegunaan komunikasi data, misalnya sebelum informasi dikirim dari PC ke printer.

Dengan kumpulan bit ini terdapat sebanyak 128 character yang bisa didefinisikan. Sistem operasi berbasis Unix dan DOS menggunakan ASCII untuk file teks, sedangkan Windows NT dan 2000 menggunakan kode yang lebih baru yang dikenal dengan istilah unicode. Sistem yang dikeluarkan oleh IBM menggunakan data yang dibentuk dari 8 bit, yang disebut dengan EBCDIC.

Imam Ibnu Hazm Abu Muhammad 'Ali Al-Andalusia


Abú Mwhammad 'Ali ibn Ahmad ibn Sa'id ibn Haçm al-Andalusi al-Zahirí. 
Poeta, historiador, conocedor de las ciencias del Islam ('alim), jurisconsulto (al-faqih), polígrafo.
Nació en Córdoba en el año 994. Murió en Huelva en 1063.  
 
Biografía

Nació en los últimos años del siglo X y justo antes de la crisis que acabaría para siempre con el Califato de Córdoba. Provenía de una familia muladí que vivía de la explotación de una finca por Montíjar, cerca de Huelva. Su abuelo se trasladó a la capital califal en los tiempos en que la fama de ésta descollaba por todo el mundo, aunque poco se sabe de él. En cambio, sí se sabe que su padre, Ahmad, fue un hombre culto y hábil, ya que, una vez que hubo entrado en el mundo político cordobés, se ganó la confianza tanto del Califa como del visir, Almanzor, llegando a ser nombrado él mismo visir y tomando el mando cuando se ausentaba Almanzor. Así, su hijo 'Ali pasó su infancia en la corte cordobesa de al-Zahira.

Perteneciendo pues a la aristocracia cordobesa, vivió de primera mano el estallido de la guerra civil cordobesa, que quebró su apacible vida. La familia de 'Ali se situó de lado del bando legitimista Omeya, en contraposición de los que apoyaban el nuevo linaje amirí, el de su antiguo protector Almanzor, y ello produjo su caída en desgracia. En 1012 murió su padre Ahmad, y 'Ali tuvo que marcharse desterrado a Almería.

En Almería, acompañado por su amigo y correligionario Muhammad ibn Ishāq, se enfrentaron al gobernador cuando él cambió de bando y apoyó a un nuevo pretendiente, y acabaron desterrados de nuevo, esta vez en un pueblo llamado Aznalcázar. Estando allí, oyeron que un nuevo pretendiente Omeya estaba levantando un ejército en Játiva con el que reclamar de nuevo el Califato, así que se pusieron en camino para unirse a él. Este, bisnieto de Abderramán III llamado 'Abd al-Rahmān ibn Muhammad ibn 'Abd al-Malik, decidió atacar a los ziríes de Granada antes de llegar a la capital, y allí éstos acabaron con su ejército. En esta batalla Ibn Hazm fue hecho prisionero. De ahí se retiró a Játiva, donde, contando unos 28 años, escribió El collar de la paloma.

En 1023 la ciudad de Córdoba eligió al nuevo Califa, tras la caída del Califatohammudí, siendo el elegido Abderramán V, que eligió como equipo gobernante a Ibn Hazm y su grupo de amigos, haciéndolos visires; antiguos aristócratas cordobeses, eran personas cultas y preparadas, pero sin embargo su gobierno no duró más de mes y medio, tiempo tras el cual el Califa fue ejecutado e Ibn Hazm puesto de nuevo en la cárcel.

A partir de ahí, nuestro 'Ali renunció definitivamente a la política para dedicarse por completo a los estudios jurídicos y teológicos. Abrazó la escuela zahirí, de la que daba cursos junto a su maestro Abū-l-Jiyār de Santarén en la Mezquita mayor de Córdoba hasta que en 1027 fue denunciado por el vulgo cordobés por contravenir la escuela malikí oficial. Desde ese momento renunció a la enseñanza y se dedicó a vagar por los distintos reinos de taifas como polemista y erudito. En 1039 se refugió durante un tiempo en Mallorca, protegido por un magnate. Mantuvo encendidas disputas con tantos otros sabios y reyezuelos de su época, entre otros, con al-Mutadid de Sevilla, que dio como fruto la quema de sus libros en la taifa sevillana, y que inspiró a Ibn Hazm sus famosos versos:

دعـوني من إحراقِ رَقٍّ وكـاغدٍ
وقولوا بعلمٍ كي يرى الناسُ من يدري
فإن تحرقوا القرطاسَ لا تحرقوا الذي
تضمّنه القرطاسُ، بـل هو في صدري
يـسيرُ معي حيث استقلّت ركائبي
وينـزل إن أنـزل ويُدفنُ فـي قبري

Dejad de prender fuego a pergaminos y papeles,
y mostrad vuestra ciencia para que se vea quien es el que sabe.
Y es que aunque queméis el papel
nunca quemaréis lo que contiene,
puesto que en mi interior lo llevo,
viaja siempre conmigo cuando cabalgo,
conmigo duerme cuando descanso,
y en mi tumba será enterrado luego.

Así, mantuvo esta vida de sabio errante hasta el final de sus días, cuando por fin se retira al cortijo familiar de Montíjar, con la única compañía de sus hijos, y donde se dedica a escribir y escribir. Poco se sabe sin embargo de su vida familiar, ya que habla poco de ella en sus obras.

Obra

Fue un ingente polígrafo cuyas miles de páginas no pueden reducirse a una breve explicación. Escribió obras históricas, comoRisāla fī faḍl al-Andalus («Epístola en elogio de al-Ándalus») o Naqt al-ʿarūs(«Bordado de la novia»), Ŷamharat ansāb al-ʿarab (conocido como Yamhara, «Linajes árabes»), Al-faṣl fī-l-milal wa-l-ahwāʾ wa-l-niḥal («Historia crítica de las religiones, sectas y escuelas»). Estas obras solo fueron superadas en Occidente en el siglo XIX.

De carácter didáctico es Falsafat al-ajlāq(«Los caracteres y la conducta»), traducida al castellano por Miguel Asín Palacios y de tema polémico teológico es Risālat fī radd ʿalà bni Nagrīla (Polémica teológica con Ibn Nagrella).

Su obra más famosa es Ṭawq al-ḥamāmao El collar de la paloma en la que trata el tema del amor. Fue escrito en Játiva hacia1023. Se trata de un libro de reflexiones sobre la verdadera esencia del amor, intentando descubrir lo que tiene de común e inmutable a través de los siglos y las civilizaciones de influencia neoplatónica, conocido en la cultura musulmana como "amor udrí", incluyendo detalles autobiográficos y documentales. Constituye también un diwan, o antología poética de tema amoroso, pues está empedrado de composiciones elegantes y refinadas.

También escribió numerosas obras filosóficas. Su pensamiento se basaba en ‎Aristóteles y se esfueza en distinguir lo verdadero de lo falso, lo que lleva a un sexto sentido o sentido común por el cual se demuestran las verdades. Dichas verdades están en estrecha relación con la ‎fe por lo que un conocimiento cabal de la ‎filosofía puede relacionar a estas verdades con la teología. De este modo, elabora una ‎teología natural acercándose a los postulados de Santo Tomás y desarrollando el tema de la esencia y la existencia, concluyendo que son idénticas solo en Dios, pero con un significado diferente que la doctrina tomista.

Pero quizás su aporte más significativo esté dado por su testimonio acerca del motivo de la actividad del hombre, cuando indica que todo lo que hace el hombre lo hace para evitar la preocupación, para distraerse. ¿Distraerse de que? De la muerte.

La familia de Ibn Haçm era originaria de la kura de Lebla (actual provincia de Huelva). Su padre fue visir de al-Mansur y más tarde de al-Mwzaffar. Nacido en Córdoba en el año 994, perteneció a una familia aristocrática cliente de los Omeyas. Siendo muy joven vivió la fitna (confrontación), y la posterior desintegración política de al-Andalus tras los sucesos del 1009. 'Ali Ahmad, padre de Ibn Haçm, un hombre culto y tenido en gran estima por los 'Amiríes y con los que trabajó en el gobierno; ocupó puestos de gran responsabilidad, manteniendo una gran fidelidad hacia el califa al-Hakam II. En efecto, parece haber sido un hombre distinguido en letras, mostrando una gran destreza en los medios políticos. Sin dejar de ser un fiel ministro de al-Mansur, gozaría al mismo tiempo del favor de Al-Hakam II. Entre estos avatares políticos se desenvolvió parte de la infancia de Ibn Haçm. Su niñez, según él mismo refiere en algunos pasajes de su obra El collar de la paloma. fue la niñez lánguida e indolente de un hijo de ministro. Era al parecer un niño fácilmente impresionable, enfermizo, de anormal nerviosismo, con despierta inteligencia y sentido moral.
 
Vivió en el barrio de los altos funcionarios palatinos, contiguo al alcázar de al-Zahyra. Parece que incluso entraba con frecuencia a ver al al-Mansur, que al parecer era muy amigo de los niños. Todo ello lo atestigua su íntimo amigo Abu 'Amir ibn Shuhayd, hijo de otro empleado de palacio, en una carta incluida en la Dajirade Ibn Bassam (ed. Cairo, 1-1, pp. 163-165):

Un día -nos cuenta-, teniendo yo cinco años, me dio tu abuelo al-Mansur una enorme manzana, colocada delante de él, y que yo había mirado con infantil codicia. Como ni mi boca ni mi mano podían abarcarla, él mismo me la partió con sus dientes. Luego llamó a tu padre (es decir, a Sanchuelo) ya un paje llamado Abu Stikir y les dijo que me llevaran a ver a la Sayyida «<la señora», es decir, 'Abda, madre de Sanchuelo e hija de Sancho Garcés II, rey de Navarra). Como llovía, los dos me llevaron a cuestas. La Sayyida y las demás damas del harem jugaron conmigo y me dieron mucho dinero; pero, al llegar a casa, mi padre me lo quitó. Enterado tu abuelo, me mandó para mí solo quinientos dinares, que, en parte, distribuí entre criados y amigos, y con los que me compré caballos de caña y adargas de madera para jugar a los soldados, Del día aquél ha quedado fama en Munyat al-Mugira. 
 
Probablemente el niño Ibn Haçm tendría alguna vez fortuna parecida y disfrutaría de la intimidad de aquel complejo ser que era al-Mansur.

Emilio García Gómez hace una extraordinaria presentación de Ibn Haçm de Córdoba, en su versión en castellano de El Collar de la Paloma. Nos parece la opinión más autorizada en el conocimiento de nuestro autor, tanto a nivel biográfico como literario, bosquejando con gran precisión y maestría la personalidad de tan importante genio.
 
A temprana edad, como se solía hacer cuando al-Ándalus creía vivir todavía una luna de miel con el segundo y brillante valido 'amirí 'Abd al-Malik al-Muzaffar (cuyo padre al-Mansur había sido enterrado en Medinaceli el año 392- 1002, teniendo nuestro autor ocho años) se asomaría Ibn Haçm, con musulmana precocidad, al mundo, es decir, a los primeros amoríos, a leer todo lo divino y lo humano, a frecuentar los cursos de los más célebres profesores de la capital del Califato andalusí.
 
Las enseñanzas que Ibn Haçm cursó y los maestros que tuvo, están admirablemente reseñados en el libro de Asín Palacios, cuyo tenor literal no hay por qué repetir; pero como las afirmaciones anteriores son de García Gómez, parece que debe justificarlas. Más que con pasajes de nuestro autor lo hará otra vez con los de su amigo Ibn Shuhayd, que iba a morir afectado de hemiplejía, en 426-1035. ¡Extraordinaria figura! Herido ya de muerte -iba a ser enterrado en un parque de Córdoba. bajo las flores-, formula en verso sus últimos deseos:

Al ver que la vida me vuelve el rostro y que la muerte me ha de atrapar sin remedio, sólo anhelo vivir escondido en la cima de un monte, donde el viento sopla; solitario, comiendo lo que reste de vida las semillas del campo y bebiendo en los hoyos de las peñas. 
 
El poema está dedicado a Ibn Haçm, al que ruega que no olvide hacer su elogio fúnebre (Maqqari,Analectes, II, 246):
Emociona con él, por Allah, cuando me enterréis a todos nuestros colegas, ardientes y hermosos. 
 
Sólo en cuanto se relacionan con la familia de nuestro autor o con él, vamos a aludir a las complicadas y relampagueantes mutaciones de la crisis del Califato, que el lector podrá seguir más cómodamente en las historias de Dozy y de Lévi-Provenzal, y en las obras de Asín Palacios y de otros biógrafos de Ibn Haçm.
 
El gobierno de Sanchuelo, desde la muerte de su malogrado hermano Muzarfar en 16 safar 399 (20 octubre 1008), apenas duró unos meses, víctima de su necedad y de sus desaciertos, tenía en 3 raÿab 399 (3 marzo 1009) un trágico fin, que el Duque de Maura ha calificado gráficamente de premussoliniano. El destronamiento de al-Hakam II y la ascensión al trono de Muhammad al-Mahdi (que había de jugar al ratón y al gato con su competidor Sulayman al-Must'in) iba a poner término a la fortuna oficial de Ahmad ibn Haçm, que fue destituido; y hubo de dejar el asolado barrio de al-Zahyra para retornar a los abandonados lares de Balat Mugit. Debió, sin embargo, de vivir tranquilo y aún de conservar cierto prestigio, pues en el mismo año de 399, el 27 sha'ban (26 abril 1009), lo vemos asistir como testigo a la farsa del entierro de un falso al-Hakam II. Cuando en 8 dzu-l-hiÿÿa 400 (23 julio 1010) fue asesinado al-Mahdi, tras de su segundo reinado, y entronizado de nuevo al-Hakam II, parecía que la familia de los Banu Haçm habría de volver a su antiguo predicamento. No fue así, sin embargo, sino al revés, el complejo juego de la política y la cauta conducta seguida hasta entonces indispusieron a Ahmad con el nuevo valido, el general eslavo Wadih, que lo persiguió, encarceló y confiscó sus bienes. Seguramente víctima de ellos murió Ahmad en 28 dzu-l-qada 402 (22 junio 1012), cuando nuestro 'Ali contaba dieciocho años, todavía no cumplidos, en plena desgracia de su familia. Pero aún quedaban las peores catástrofes. A fines de shawwal 403 (mayo 1013) la capital del Califato se rendía a Sulayman al-Musta'in, entraba de nuevo en ella como Califa, y comenzaba, para durar dos meses, el saqueo de Córdoba. La casa de Ibn Haçm en Balat Mugit quedó del todo arruinada, como nos cuenta en una célebre página del El collar, y nuestro autor hubo de emigrar a Almería el 10 muharram 404 (13julio 1013).
 
Gobernaba Almería, todavía bajo la soberanía nominal de al-Hakam II, en medio de aquella anarquía y de aquel fraccionamiento sin ejemplo, un eslavo, que se llamaba Jayran. Al principio, el retiro de Ibn Haçm, que viajaba con su amigo y correligionario Mwhammad ibn Ishak, fue tranquilo; pero cuando Jayran abandonó la causa omeya para abrazar la del idrisí 'Ali ibn Hammud, que había de entrar solemnemente en Córdoba el 22 muharram 407 (10 julio 1016), ya no vio con buenos ojos a la pareja de jóvenes legitimistas omeyas, los cuales, reos de conspiración o no -pues Ibn Haçm lo niega-, se vieron detenidos y luego desterrados.
 
Tampoco les duró mucho el nuevo y agradable asilo que supieron hallar en el pueblecito de Aznalcázar (que tal vez no es, como se ha querido, el actual de ese nombre, cerca de Sanlúcar, sino otro por tierras de Málaga o Murcia), y es que, habiendo oído hablar de que en tierras valencianas había surgido un nuevo pretendiente omeya que formaba un ejército dispuesto a avanzar contra los hammudíes y decidido a restaurar la unidad del Califato, ibn Haçm y su compañero, no dudaron en tomar pasaje en una nave que los condujera al Levante.
 
El pretendiente en cuestión era un bisnieto de 'Abd ar-Rahman III, llamado 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn 'Abd al-Malik, y su descubridor, era el eslavo Jayran de Almería, que se puso de acuerdo con el tuchibí Mundir de Zaragoza, el cual, a su vez, obtuvo unos refuerzos catalanes de su aliado el Conde de Barcelona. Reunido el ejército en Játiva, juró el 10 de dzu-l-hiÿÿa 408 (29 abri11018) al nuevo y futuro Califa omeya, que tomó el título de Murtadá.     
    
El Ejército de Murtadá, al que muy probablemente se había incorporado lbn Haçm, se puso por fin en marcha para entrar en Andalucía por Jaén; pero Jayran y Mundir vieron que el que suponían manejado por ellos tenía la suficiente personalidad para decidir por si mismo, y no dudaron en traicionarlo. La batalla nos es bien conocida por varias fuentes; pero desgraciadamente sin la fecha exacta. Como se sabe, los beréberes atacaron al ejército asaltante, del que ya habían desertado Jayran y Mundir, y Murtadá tuvo que huir hacia Guadix, donde le asesinaron unos sicarios del almeriense. Sus soldados fugitivos, o prisioneros. Entre este último grupo debió de figurar Ibn Haçm, que, según nos informa en el collar, había ido previamente a Córdoba.
 
Tras el cautiverio bereber, Ibn Haçm se retiró a Játiva, y fue donde, probablemente hacia los años 412 y 413 (1022), a instancias de un amigo, escribió el Collar de la paloma, contando unos veintiocho años. 
 
Como es notorio, el relativamente largo paréntesis del Califato hammudí (siete años, de 1016 a 1023) terminó cuando al-Kasim, sustituido año y medio por su sobrino Yahya, que huyó definitivamente de la capital, sublevada contra él, en 21 ÿumada 413 (9 septiembre 1023). Córdoba iba a realizar algo nada ordinario y sumamente edificante: la elección de un califa en la mezquita mayor. Por primera vez desde los orígenes de la dinastía omeya, el pueblo, de acuerdo con el más puro derecho constitucional islámico, iba a darse un soberano, y no a recibirlo designado por el antecesor ni impuesto por las armas. Bien es verdad que la jurisdicción efectiva del Califato apenas rebasaba ya el alfoz de la ciudad; pero ¿no había ocurrido otro tanto en tiempos del emir' Abd Allah, en vísperas de los días gloriosos de an-Nasir?
 
El 16 ramadan 414 (2 diciembre 1023) la elección recayó, de los tres omeyas candidatos, en uno en quien al principio nadie pensaba: 'Abd al-Rahman (hermano del difunto Mwhammad al-Malik), que para nosotros es el quinto de su nombre y que tomó el título de Mustazhir. El nuevo Califa, hombre joven y culto, eligió como equipo gobernante al grupo mismo de nuestros estetas: Ibn Haçm, que había ya regresado a Córdoba; así mismo Ibn Shuhayd y 'Abd al-Wahhab ibn Haçm, primo de 'Ali, obtuvieron la dignidad y el empleo de visires. No podemos siquiera hablar de un gobierno sólido puesto que no logró mantenerse en el poder más que hasta el 3 dzu-l-qada 414 (17 enero 1024), es decir, exactamente mes y medio, al cabo del cual Mustazhir fue ejecutado e Ibn Haçm paró de nuevo en la cárcel.

Discípulo del maestro dzahirí Abu-l-Jiyar de Santarén, explicaba junto con él cursos de dicha escuela jurídica (madzhab) en la mezquita mayor de Córdoba. Eran los últimos días del Califato, allá por los años 418 a 420 (1027 a 1029). El zalmedina, consultado el último Califa al-Hakam III al-Mu'tadd, que acaso aún no había entrado en la capital, les prohibió la enseñanza. Desde entonces empezamos a saber mucho menos de él.
 
Aún teniendo en cuenta la avanzada edad que alcanzó, verdaderamente asombra la labor que en todos los terrenos de la especulación intelectual musulmana realizó Ibn Haçm. Marrakushi  nos da la cifra de 80.000 folios escritos de su mano, formando 400 volúmenes. Aunque pensemos que no se trata siempre de volúmenes propiamente dichos, sino a veces de simples opúsculos, y naturalmente es imposible entrar, no ya en el análisis, sino ni siquiera en la enumeración de sus escritos, que el lector podrá hallar consignados en la bibliografía extensa de Asín Palacios o en los repertorios bibliográficos.
 
Bastará decir que entre esas obras -y sin contar el juvenil Collar de la paloma- figuran algunas de suma importancia en la ciencia musulmana de todas las épocas. Nos referimos con esta última alusión al Fiscal, la maravillosa Historia critica de las ideas religiosas, (tr. Asín Palacios: Abenhazam de Córdoba y su Historia critica de las ideas religiosas, cinco vols., Madrid, 1927-1932). Los demás escritos son filosóficos, jurídicos, ciencias del Islam, históricos o puramente literarios. Entre los históricos citaremos tan sólo la Yamhara, el mejor repertorio de genealogía árabe del Occidente musulmán (editada por Lévi-Provenzal en 1948); el Naqt, original opúsculo histórico, que también es accesible en castellano, y la Epístola apologética de al-Andalus y sus sabios (en refutación de otra de un literato de Kairwan), que es tal vez la primera, aunque breve, historia literaria de Al-Andalus y el primer intento reivindicador de las glorias andalusies.
 
Ibn Haçm es conocido sobre todo por su obra El Collar de la paloma (Tawq al-hammama»}, siendo su nombre completo El collar de la paloma. Tratado sobre el amor y los amantes. Es una obra que brilla por su ligereza, dentro de su producción científica -sobre todo ciencias del Islam y jurídica-, y en la que se discurre ampliamente sobre la naturaleza y las formas del amor. Fue escrita hacia el año 1022 en Játiva, cuando la capital del califato había sido saqueada y destruida y es una nostálgica resurrección en el recuerdo de la gran metrópoli en la que el autor había nacido, bajo el fausto de al-Mansur y en la que había transcurrido su adolescencia dichosa y elegante. Como ya hemos indicado, El Collar de la Paloma es una obra en prosa que contiene un gran número de poemas; consta de treinta capítulos: diez que tratan del origen del amor y la manera de producirlo; doce sobre sus azares y cualidades loables y censurables; seis acerca de sus calamidades; y los dos últimos sobre las prácticas ilícitas y la virtud de la continencia.    
   
Américo Castro, que hace un minucioso estudio comparativo de la obra de Ibn Haçm, El Collar de la paloma, y el El libro de Buen Amor, del Arcipreste de Hita, llega a destacar el carácter personal de la idea del amor de Ibn Haçm: Ibn Haçm habla de unas vidas, la suya y las de otros, inmersas en el amor. Según él no nos debe sorprender la originalidad en el tratamiento del amor por parte de nuestro autor, ya que su obra es, en cierto modo, su autobiografía, la autobiografía de un hombre que participa en una espiritualidad impregnada por la escuela sufí y que llegaría hasta los poetas místicos como San Juan de la Cruz o Santa Teresa de Jesús.
 
Otra de sus obras sería un famoso tratado en el que exalta y llama la atención sobre la creatividad en al-Ándalus. Leemos en un verso descabalado en el capítulo xx lo que sigue:
    
iVete en mal hora, perla de la China! Me basta a mí con mi rubí de Andalucía.
 
Se lamentó de que al talento andaluz no se le diera la importancia que tenía, mencionando algunos eruditos nativos que igualaban o aventajaban a cualquier talento proveniente del Oriente. Esta misma queja fue expresada en distinto grado por un gran número de autores andalusíes, entre los que se encontraban Ibn Jakan, Ibn Bassam, al-Shakundi e Ibn Sa'id, que llamaron la atención sobre la clasificación de los eruditos andalusíes, como iguales o superiores a sus equivalentes en el Oriente.
 
Sea como fuere, Córdoba nunca dejó de fascinar a los escritores posteriores, ni tampoco al-Andalus como conjunto, y según Ibn Haçm:
    
Los andaluces son chinos en el dominio de artes y representaciones pictóricas, turcos en las formas de la guerra y el manejo de sus resortes... Además, viajaron al norte de África y se convirtieron en introductores de agricultura, industria, administración, construcción y jardinería.
 
Una persona puso una vez en duda que al-Andalus tuviese hombres de talento, y si así era, por qué no existía una relación de ellos, e Ibn Haçm se encargó de darle respuesta en su famoso tratado. En primer lugar, decía Ibn Haçm: Ahmad ibn Mwhammad al-Razi escribió una voluminosa historia de al-Andalus señalando sus carreteras, ciudades principales y asentamientos militares. Además, el Profeta ya se había referido a nuestros pendencieros antepasados, y esto es en si suficiente honor. Nuestro clima suave y posición geográfica hacen tender a la sagacidad y la inteligencia. La experiencia muestra que las gentes de al-Andalus han sido capaces de comprender las múltiples ciencias: lecturas coránicas, jurisprudencia, gramática, poesía, lexicografía, historia, medicina, matemática y astronomía de manera no igualada en otros lugares, incluyendo la ciudad de Kairwan. Los andalusíes no son los únicos que no perpetúan la memoria de sus grandes hombres, y esto lo confirma el dicho: La gente no valora a sus propios eruditos, o las palabras de Jesús: Sólo en su patria y en su casa es menospreciado el profeta. A pesar de todo, hemos tenido, dice Ibn Haçm, una gran cantidad de obras excelentes que pueden compararse con las mejores que hayan sido escritas en cualquier sitio. Continúa con la enumeración de los principales autores y de sus obras acerca de los temas más importantes. Hay muchas obras sobre la escuela de jurisprudencia islámica malikí, incluyendo: AI-Hiddyah de 'Isa ibn Dinár y comentarios coránicos como el de Abu 'Abd al-Rahmlin Baqi ibn Majlad que aventaja incluso al de at-Tabari. En el mejor de los casos, el tratado de Ibn Haçm es una compacta antología que comprende lo que él creyó ser una buena selección de hombres de letras que podían compararse con las grandes lumbreras de Oriente. Resumiendo:

¡Este país nuestro! a pesar de estar distante de las fuentes del saber (se refiere a los núcleos orientales), y a pesar de estar separado del ingenio de los otros eruditos, podemos hacer mención de grandes obras de sus gentes, lo cual hubiese sido difícil de conseguir si uno las hubiese buscado en Persia, al-Ahwdz, Mudar, Rabi'ah, Yemen o Siria, a pesar de su proximidad a la morada de la emigración del saber y el hogar de las ciencias y sus promotores.
 
El enfoque más completo y articulado del tema del saber y las ciencias se encuentra en las obras de Ibn Haçm, sobre todo en Mardtib al-'ulum ( «categorías de las Ciencias») y en Kitab al-ajlaq «<Libro de la Conducta»),consistentes en sus consejos y reflexiones sobre la vida honesta y virtuosa. En el segundo, Ibn Haçm dedica un capítulo a las ciencias que empieza así: Aún cuando el saber no tuviese otro propósito que hacer que el ignorante os respete, y que el erudito os estime y honre, sería lo bastante para ir en pos de él, y continúa preguntando: ¿Cómo es posible no buscar la sabiduría a la vista de sus muchas ventajas en esta vida y en la futura?El anatema de la ignorancia es causa de males en esta vida y en la futura. Ibn Haçm concebía el saber como de gran utilidad para la práctica de la virtud, ya que capacita al individuo para ver la fealdad de los vicios y la manera de evitarlos. Manifestó su deleite con los eruditos cuando él aún no lo era y ellos le enseñaban; y luego cuando llegó a serlo y conversaba con ellos. Además, en riqueza, posición social, y salud, debe uno compararse con aquellos que tienen menos; pero en espiritualidad, ciencias y virtud, con los que tienen más. El saber debe ser propagado, pero su propagación entre gentes ineptas y sin talento es, no sólo una pérdida de tiempo, sino también perjudicial, ya que los intrusos e ineptos que pretenden hacerse pasar por eruditos siendo ignorantes causan gran daño a las ciencias. Los que persiguen la adquisición de honores, riquezas y placeres, buscan la compañía de gentes que, por sus cualidades, parecen perros enfurecidos y lobos astutos. Sin embargo, el que es avaro con su saber, es peor que el que es avaro con sus bienes materiales. En general, el saber va unido a la virtud, y la ignorancia a los vicios -aunque suaviza esta opinión añadiendo que él conoció gente inculta cuya conducta era irreprochable, mientras que la de algunos eruditos era tal como para convertirlos en las personas más viles y corrompidas del mundo-.

Estos pensamientos están en su mayoría repetidos enMardtib al-'ulum, en el que examina las ciencias, su valor y el modo de dedicarse a ellas. Este tratado es de gran importancia, ya que es la primera obra de su tipo conocida en al-Andalus, y presenta las ciencias tal como las concebía un pensador que intentaba clasificarlas según su valor, y distinguir las falsas de las verdaderas. Consta de dos partes: la primera trata de la educación del individuo, y, la segunda, de la división de las ciencias según una estructuración islámica.
 
Para Ibn Haçm, el saber beneficia al que lo busca, en este mundo y en el futuro. Sin embargo, el que busca el saber para jactarse de él, o para ser alabado, o para adquirir riqueza y fama, está lejos del éxito, pues su objetivo es alcanzar algo que no es el saber. La adquisición del saber es una virtud, y también lo es su transmisión, de lo que se deduce la importancia del profesor y de los libros, a los que considera el mejor instrumento para lograrla. En contra de la opinión que la abundancia de libros es dañina, mantiene que mientras más libros haya, mejor.

Abul Qosim (Abulcasis) Al-Zahrawi


Abū al-Qāsim Khalaf ibn al-‘Abbās al-Zahrāwī (936–1013), (Arabic: أبو القاسم خلف بن العباس الزهراوي‎‎), popularly known as Al-Zahrawi (الزهراوي), Latinised as Abulcasis(from Arabic Abū al-Qāsim), was an ArabMuslim physician and surgeon who lived in ‎Al-Andalus. He is considered the greatest medieval surgeon to have appeared from the Islamic World, and has been described as the father of surgery. ‎His greatest contribution to medicine is the Kitab al-Tasrif, a thirty-volume encyclopedia of medical practices.‎ His pioneering contributions to the field of surgical procedures and instruments had an enormous impact in the East and West well into the modern period, where some of his discoveries are still applied in medicine to this day.‎

He was the first physician to describe an ectopic pregnancy, and the first physician to identify the hereditary nature of haemophilia.

Al-Zahrawi was born in the city El-Zahra, six miles northwest of Córdoba, Andalusia. The nisba (attributive title), Al-Ansari, suggests origin from the Medinian tribe ofAl-Ansar.‎

He lived most of his life in Córdoba. It is also where he studied, taught and practiced medicine and surgery until shortly before his death in about 1013, two years after the sacking of El-Zahra.

Few details remain regarding his life, aside from his published work, due to the destruction of El-Zahra during later Castillian-Andalusian conflicts. His name first appears in the writings of Abu Muhammad bin Hazm (993 – 1064), who listed him among the greatest physicians of Moorish Spain. But we have the first detailed biography of al-Zahrawī from al-Ḥumaydī's Jadhwat al-Muqtabis (On Andalusian Savants), completed six decades after al-Zahrawi's death.

He was a contemporary of Andalusianchemists such as Ibn al-Wafid, Maslamah Ibn Ahmad al-Majriti and Artephius.

Al-Zahrawi was a court physician to theAndalusian caliph Al-Hakam II. He devoted his entire life and genius to the advancement of medicine as a whole and surgery in particular. His best work was the ‎Kitab al-Tasrif, discussed below.

Al-Zahrawi specialized in curing disease bycauterization. He invented several devices used during surgery, for purposes such as inspection of the interior of the urethra, applying and removing foreign bodies from the throat, inspection of the ear, etc. He is also credited to be the first to describeectopic pregnancy in 963, in those days a fatal affliction.‎

Al-Zahrawi was the first to illustrate the various cannulae and the first to treat awart with an iron tube and caustic metal as a boring instrument. He was also the first to draw hooks with a double tip for use in surgery.‎

Kitab al-Tasrif
Al-Zahrawi's thirty-chapter medical treatise, Kitab al-Tasrif, completed in the year 1000, covered a broad range of medical topics, including dentistry and childbirth, which contained data that had accumulated during a career that spanned almost 50 years of training, teaching and practice. In it he also wrote of the importance of a positive doctor-patient relationship and wrote affectionately of his students, whom he referred to as "my children". He also emphasized the importance of treating patients irrespective of their social status. He encouraged the close observation of individual cases in order to make the most accurate diagnosis and the best possible treatment.

Al-Tasrif was later translated into Latin byGerard of Cremona in the 12th century, and illustrated. For perhaps five centuries during the European Middle Ages, it was the primary source for European medical knowledge, and served as a reference for doctors and surgeons.

Not always properly credited, Al-Zahrawi'sal-Tasrif described both what would later become known as "Kocher's method" for treating a dislocated shoulder and "Walcher position" in obstetrics. Al-Tasrif described how to ligature blood vessels almost 600 years before Ambroise Paré, and was the first recorded book to document several dental devices and explain the hereditary nature of haemophilia. ‎He was also the first to describe a surgical procedure for ligating the temporal artery for migraine, also almost 600 years before Pare recorded that he had ligated his own temporal artery for headache that conforms to current descriptions of migraine. ‎Al-Zahrawi was therefore the first to describe the migraine surgery procedure that is enjoying a revival in the 21st century, spearheaded by Elliot Shevel a South African surgeon.

Al-Zahrawi also described the use offorceps in vaginal deliveries. ‎He introduced over 200 surgical instruments. ‎Many of these instruments were never used before by any previous surgeons.‎

His use of catgut for internal stitching is still practised in modern surgery. The catgut appears to be the only natural substance capable of dissolving and is acceptable by the body. Al-Zahrawi also invented the forceps for extracting a dead fetus, as illustrated in the Al-Tasrif.‎

Liber Servitoris
In pharmacy and pharmacology, Al-Zahrawi pioneered the preparation of medicines by sublimation and distillation. His Liber Servitoris is of particular interest, as it provides the reader with recipes and explains how to prepare the "simples" from which were compounded the complex drugs then generally used.

Legacy‎

Al-Zahrawi was the "most frequently cited surgical authority of the Middle Ages".

Donald Campbell, a historian of Arabic medicine, described Al-Zahrawi's influence on Europe as follows:

The chief influence of Albucasis on the medical system of Europe was that his lucidity and method of presentation awakened a prepossession in favour of Arabic literature among the scholars of the West: the methods of Albucasis eclipsed those of Galen and maintained a dominant position in medical Europe for five hundred years, i.e long after it had passed its usefulness. He, however, helped to raise the status of surgery in Christian Europe; in his book on fractures and luxations, he states that ‘this part of surgery has passed into the hands of vulgar and uncultivated minds, for which reason it has fallen into contempt.’ The surgery of Albucasis became firmly grafted on Europe after the time of Guy de Chauliac (d.1368).

In the 14th century, the French surgeonGuy de Chauliac quoted al-Tasrif over 200 times. Pietro Argallata (d. 1453) described Al-Zahrawi as "without doubt the chief of all surgeons". Al-Zahrawi's influence continued for at least five centuries, extending into the Renaissance, evidenced by al-Tasrif's frequent reference by French surgeon Jacques Delechamps (1513–1588).‎

The street in Córdoba where he lived is named in his honor as "Calle Albucasis". On this street he lived in house no. 6, which is preserved today by the Spanish Tourist Board with a bronze plaque (awarded in January 1977) which reads: "This was the house where Al-Zahrawi lived."

On Surgery and Instruments

On Surgery and Instruments is an illustrated surgical guide written by Al-Zahrawi. On Surgery and Instruments contributed many technological innovations, notably which tools to use in specific surgeries. In On Surgery and Instruments, he draws diagrams of each tool used in different procedures to clarify how to carry out the steps of each treatment. The full text consists of three books, intended for medical students looking forward to gaining more knowledge within the field of surgery regarding procedures and the necessary tools.

Al-Zahrawi claims that his knowledge comes from careful reading of previous medical texts as well as his own experience: “…whatever skill I have, I have derived for myself by my long reading of the books of the Ancients and my thirst to understand them until I extracted the knowledge of it from them. Then through the whole of my life I have adhered to experience and practice…I have made it accessible for you and rescued it from the abyss of prolixity”.
Tone
Throughout the text, Al-Zahrawi uses an authoritative tone to declare his expertise on the topic. For example, when introducing topics or describing procedures, Al-Zahrawi often warns the reader of the skills necessary to complete the task. In chapter forty-eight, "On cauterization for numbness", he defines the required knowledge for the procedure in a commanding tone: “This should not be attempted except by one who has a good knowledge of the anatomy of the limbs and of the exits of the nerves that move the body”. He invents a criterion to generate a standard of skill level, indicating that he himself has surpassed it due to training and experience. As such, he reiterates his preeminence by implying that he is part of an exclusive group of learned surgeons capable of correctly completing this cautery. In another instance, he states that the procedure should be avoided completely by incompetent surgeons: “However, no one should attempt this operation unless he has had long training and practice in the use of cautery”.‎

Al-Zahrawi was not afraid to depart from old practice, for example, he openly disparages the opinion that cauterization should only be used in the spring season: “…the Ancients…[affirmed] that spring was the best. Myself, I say that cautery is suitable at all times”. Four pages later, he again opposes the opinion that gold is the best material for cauterization, stating that iron is actually his preferred metal: “therefore in our own opinion cauterization is swifter and more successful with iron”. In chapter twenty-nine, "On cauterization for pleurisy", he states: “Now one of the Ancients mentioned that there were some people who used an iron cautery shaped like a probe, and introduced it red hot into the intercostal space until it reached the abscess itself and evacuated the pus…but in this perforation with the cautery there is a danger either that the patient may die on the spot or that an incurable fistula may raise at the place”.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...