Jumat, 15 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Sholat Bagi Orang Yang Melakukan Safar


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Rasulullah Shollallohu 'Alaihi Wasallam bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab, menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum dan tidurnya. Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai dari hajatnya, hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Islam benar-benar ajaran yang sempurna. Bagi hamba yang berada dalam kesulitan, maka ia pun bisa meraih kemudahan termasuk hal ini ketika bersafar atau melakukan perjalanan jauh. Berikut beberapa keringanan tersebut:
1. Mengqashar shalat, yang menjadikan shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at. Satu-satunya hal yang boleh mengqashar shalat hanyalah pada safar. Oleh karena itu, safar selalu disandarkan pada qashar karena mengqashar shalat hanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan safar.
2. Menjamak, yaitu menggabungkan dua shalat, dikerjakan di salah satu waktu. Shalat Zhuhur dengan shalat ‘Ashar, juga shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ pada salah satu waktu shalat. Bila dikerjakan di waktu shalat  pertama disebut jamak taqdim. Bila dikerjakan di waktu shalat kedua disebut jamak takhir. Sebab menjamak shalat lebih umum daripada mengqashar shalat. Oleh karena itu, terdapat hal-hal yang membolehkan menjamak shalat selain safar seperti karena sakit, istihadhoh, hujan yang menyulitkan, jalanan berlumpur, udara yang dingin dan keperluan-keperluan yang lain. Menjamak shalat tatkala bepergian lebih utama ditinggalkan kecuali memang ada kebutuhan untuk menjamaknya, seperti untuk mendapatkan shalat berjama’ah atau karena sulit mengerjakan shalat di masing-masing waktu.
3. Tidak berpuasa pada siang hari di bulan Ramadhan jika memang safarnya penuh kesulitan. Namun jika safarnya tidak ada kesulitan apa-apa, puasa bisa jadi tetap wajib.
4. Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap ke arah yang dituju oleh kendaraan. Namun shalat wajib asalnya dilakukan setelah turun dari kendaraan.
5. Mengusap sepatu, serban dan semisalnya selama tiga hari tiga malam bagi musafir. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
6. Bertayamum karena ketika safar lebih dibutuhkan dibanding saat mukim saat tidak ditemukan air atau sulit menggunakan air.
7. Meninggalkan shalat sunnah rawatib ketika safar. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” (Zaadul Ma’ad, 1/298). Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.” (Zaadul Ma’ad, 1/456). Adapun shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, masih boleh dilakukan ketika safar. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/490)
Meskipun orang yang bersafar mendapatkan keringanan seperti di atas, namun ia akan dicatat mendapatkan pahala seperti ia mukim. Ketika safar ia mengerjakan shalat 2 raka’at secara qoshor, maka itu dicatat seperti mengerjakannya sempurna 4 raka’at.  Itulah kemudahan yang Allah berikan bagi hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seseorang sakit atau bersafar, maka dicatat baginya pahala sebagaimana ia mukim atau ketika ia sehat.” (HR. Bukhari no. 2996)

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ‎

“Jika kalian mengadakan perjalanan di muka bumi maka tidak mengapa atas kalian untuk mengqashar shalat jika kalian khawatir orang-orang kafir akan membahayakan kalian.” (QS. An-Nisa’: 101)
Dari Ya’la bin Umayyah dia berkata kepada Umar bin Al-Khaththab meminta penjelasan ayat di atas;‎

فَقَد أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ: عَجِبتُ مِمَّا عَجِبتَ مِنهُ فَسَأَلتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم –  عَن ذَلِكَ فَقَالَ: ((صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بِهَا عَلَيكُم فَاقبَلُوا صَدَقَتَهُ)).‎

“Sekarang manusia sudah merasa aman (tidak ada bahaya dari orang kafir, pent). Maka Umar menjawab, “Aku juga mengherankan hal tersebut, karenanya aku juga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Itu (qashar) adalah sedekah yang Allah bersedekah kepada kalian, karenanya terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim no. 686)
Maksud Ya’la: Bukankah ayat tersebut hanya menyebutkan bolehnya safar jika khawatir akan diganggu oleh musuh? Jika keadaannya aman seperti sekarang, apakah hukum qashar masih tetap berlaku? Maka Umar menjawabnya dengan jawaban di atas‎

Dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha dia berkata:‎

فَرَضَ الله الصَّلاةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّت صَلاةُ السَّفَرِ وَزِيدَ في صَلاةِ الحَضَرِ
“Dia awal kali Allah mewajibkan shalat, Dia mewajibkannya 2 rakaat 2 rakaat dalam keadaan mukim dan safar. Belakangan, shalat dalam keadaan safar ditetapkan sebagaimana awalnya, dan shalat dalam keadaan mukim ditambah (jadi 4 rakaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1090 dan Muslim no. 685)
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:‎

فَرَضَ الله الصَّلاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُم – صلى الله عليه وسلم –  في الحَضَرِ أَربَعًا، وَفي السَّفَرِ رَكعَتَينِ، وَفي الخَوفِ رَكعَةً.
“Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian shallallahu alaihi wasallam sebanyak 4 rakaat dalam keadaan mukim, 2 rakaat dalam keadaan safar, dan 1 rakaat dalam keadaan takut (shalat khauf).”(HR. Muslim no. 687)‎

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:

خَرَجنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم –  مِن المَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ حَتَّى رَجَعَ، قُلتُ: كَم أَقَامَ بِمَكَّةَ؟ قَالَ: عَشرًا
‎‎
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Madinah menuju Makkah, maka beliau shalat 2 rakaat 2 rakaat sampai beliau pulang ke Madinah. Saya (murid Anas) bertanya. “Berapa lama beliau menetap di Makkah?” dia menjawab, “10 hari.”(HR. Al-Bukhari no. 1081 dan Muslim no. 693)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:

صَلَّيتُ الظُّهرَ مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم –  بِالمَدِينَةِ أَربَعًا وَبِذِي الحُلَيفَةِ رَكعَتَينِ

“Aku shalat zuhur bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam di Madinah 4 rakaat dan shalat di Zil Hulaifah 2 rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690.‎

Berdasarkan hukumnya, safar terbagi menjadi:

a). Haram, safar untuk kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang Allah. Termasuk di antaranya adalah safar seorang wanita sendirian tanpa didampingi mahram.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ‏‎ ‎اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ‏‎ ‎النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا‎ ‎تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا‎ ‎مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah seorang wanita safar kecuali bersama seorang mahram…”(H.R al Bukhari dan Muslim).

b) Makruh, seperti seorang yang safar sendirian.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ‏‎ ‎النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ‏‎ ‎الْوَحْدَةِ أَنْ يَبِيتَ‏‎ ‎الرَّجُلُ وَحْدَهُ أَوْ‏‎ ‎يُسَافِرَ وَحْدَهُ

Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shollallaahu‘alaihi wasallam melarang dari bersendirian, yaitu seorang bermalam sendirian atau safar sendirian (H.R Ahmad)

c). Mubah, seperti berdagang dengan cara yang halal.
d). Mustahab (disukai), seperti bersilaturrahmi.
e) Wajib, seperti safar untuk tujuan berhaji yang pertama bagi yang mampu.

Berapakah jarak minimum safar?

Terdapat perbedaan pendapat yang sangat banyak dari para Ulama’, sampai-sampai Ibnul Mundzir menyatakan bahwa dalam masalah ini (penentuan jarak minimum safar) terdapat hampir 20 pendapat. Namun, beberapa pendapat yang masyhur di antaranya:

a). Sejauh jarak perjalanan 3 hari.
Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, Sufyan atTsaury dan Abu Hanifah. Dalilnya:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ‏‎ ‎تُؤْمِنُ بِاللَّهِ‏‎ ‎وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ‏‎ ‎تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ‏‎ ‎ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا‎ ‎إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا‎ ‎أَوْ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا‎ ‎أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو‎ ‎مَحْرَمٍ مِنْهَا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar 3 hari atau lebih kecuali bersama ayah, anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya, atau mahramnya” (H.R Muslim)

عَنْ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ‏‎ ‎قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ‏‎ ‎أَسْأَلُهَا عَنْ الْمَسْحِ‏‎ ‎عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَالَتْ‏‎ ‎عَلَيْكَ بِابْنِ أَبِي‎ ‎طَالِبٍ فَسَلْهُ فَإِنَّهُ‏‎ ‎كَانَ يُسَافِرُ مَعَ رَسُولِ‏‎ ‎اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ جَعَلَ‏‎ ‎رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ‏‎ ‎وَلَيَالِيَهُنَّلِلْمُسَافِرِ

Dari Syuraih bin Hani’ beliau berkata: Aku mendatangi Aisyah bertanya tentang mengusap 2 khuf. Aisyah berkata: Tanyakanlah kepada Ali bin Abi Thalib karena ia pernah safar bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka kamipun menanyakan kepada beliau. Ali berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan batas pengusapan (khuf) 3 hari 3 malam bagi musafir…”(H.R Muslim)

Sebagian Ulama’ menjelaskan bahwa jarak perjalanan 1 hari adalah setara 2 barid = 24 mil = sekitar 43,2 km, sehingga jarak perjalanan 3 hari adalah sekitar 129,6 km.

b) Sejauh jarak perjalanan 2 hari ( 4 barid).

Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar (dalam sebagian riwayat), Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad. Sedangkan dari Ulama’ abad ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh Bin Baz, Lajnah ad-Daaimah, Syaikh Sholih alFauzan, dan Syaikh Abdullah Ar-Rajihi, Dalilnya:

لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ‏‎ ‎مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا‎ ‎وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو‎ ‎مَحْرَمٍ

Janganlah seorang wanita melakukan safar sejarak perjalanan 2 hari kecuali bersama suami atau mahramnya (H.R al Bukhari).

Al-Bukhari menyatakan:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ‏‎ ‎عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ‏‎ ‎عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ‏‎ ‎وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ‏‎ ‎بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ‏‎ ‎فَرْسَخًا

Ibnu Umar dan Ibnu Abbas – semoga Allah meridlai keduanya- melakukan qoshor dan berbuka (tidak berpuasa) pada perjalanan 4 barid yaitu 16 farsakh (Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 231).

c) Tidak ada batasan jarak, selama sudah bermakna ‘safar’ maka terhitung safar.

Hal-hal yang membedakan safar dengan perjalanan biasa bisa terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya: perlunya membawa bekal yang cukup, adanya hal-hal yang dipersiapkan secara khusus sebelum keberangkatan (misal pengecekan kondisi kendaraan yang lebih intensif dibandingkan jika dalam penggunaan yang biasa/normal), adanya kesulitan/kepayahan menempuh perjalanan yang tidak didapati pada perjalanan biasa, dan hal-hal lain semisalnya.

Pendapat tanpa batasan jarak minimum ini adalah pendapat Umar bin al-Khottob, Ibnu Umar dalam sebagian riwayat, Anas bin Malik, Sa’id bin al-Musayyib, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, As-Shon’aani, Abdurrahman as-Sa’di, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalilnya adalah keumuman ayat:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ‏فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ‏تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

“Jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat….(Q.S AnNisaa’:101).

Tidak terdapat hadits shohih maupun hasan yang secara tegas membatasi jarak minimum safar.

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ‏الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ‏أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ‏قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ‏كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ‏ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ‏ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ‏الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh – keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R Muslim)

1 mil = sekitar 1,6 km, sehingga 3 mil sekitar 4,8 km. Sedangkan 1 farsakh = 3 mil = sekitar 14,4 km.

عَنِ اللَّجْلاَجِ ، قَالَ : كُنَّا‎نُسَافِرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ‏الْخَطَّابِ فَيَسِيرُ ثَلاَثَةَ‏أَمْيَالٍ فَيَتَجَوَّزُ فِي‎الصَّلاَة وَيَفْطُرُ

Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445).

Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa jarak di bawah 3 farsakh yang disebutkan dalam hadits Anas maupun perbuatan Umar adalah jarak minimum permulaan boleh mengqoshor sholat dan berbuka (tidak berpuasa), bukan jarak total dari tempat asal ke tujuan. Sebagai contoh, ketika Nabi melakukan perjalanan dari Madinah akan ke Mekkah, pada saat di Dzulhulaifah beliau sudah mengqoshor sholat (riwayat AlBukhari dan Muslim). Padahal jarak Madinah ke Dzulhulaifah adalah sekitar 6 mil atau sekitar 9,6 km.
Dari 3 pendapat tentang jarak minimum safar, pendapat yang rajih (lebih mendekati kebenaran) adalah pendapat ke-3 ini yang menyatakan bahwa tidak ada jarak minimum batasan suatu perjalanan dikatakan safar. Wallaahu a’lam.

Berapa lama waktu minimum seorang dikatakan safar?

Para Ulama juga berbeda pendapat dalam hal berapa lama masa tinggal seseorang di suatu tempat sehingga dianggap tetap dalam keadaan safar. Beberapa pendapat yang masyhur dalam hal ini:

1. 4 hari.
Jika berniat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari, maka ia bukan musafir lagi. Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

2. Sama dengan pendapat pertama, namun hari keberangkatan dan hari kepulangan juga
dihitung, sehingga total 6 hari.

Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi ’i. Dalil pendapat pertama dan kedua adalah:

يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ‏بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثًا

“Orang-orang yang berhijrah tinggal di Makkah setelah menyelesaikan manasik hajinya selama 3 hari” (H.R Muslim)

3. 15 hari, sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan Imam Abu Hanifah.
4. 19 hari, pendapat dari Ibnu Abbas.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ‏‎رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا‎قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏وَسَلَّمَ تِسْعَةَ‏عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ‏إِذَا سَافَرْنَا
تِسْعَةَ عَشَرَ‏قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا‎أَتْمَمْنَا

Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa beliau berkata: Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam tinggal (di suatu tempat) selama 19 hari mengqoshor sholat, maka kami jika safar selama 19 hari mengqoshor sholat jika lebih dari itu kami sempurnakan sholat “ (H.R AlBukhari)

Setelah ulama 4 madzhab ini bersepakat bahwa ada batasan hari di mana seorang musafir tidak boleh lagi mengqashar dan men-jama' sholatnya setelah melewati batas itu, mereka berselisih pendapat tentang jumlah hari yang menjadi batas rukhshoh itu.
Imam Ibnu Rusy dalam kitabnya bidayah Al-Mujtahid (138-139),menjelaskan perbedaan ulama 4 madzhab dalam hal batasan jumlah hari ‎rukhshoh bagi seorang musafir.

1.   Al-Hanafiyah: 14 hari. Hari ke-15 hilang rukhshoh dan mulai sholat sempurna tanpa jama' dan qashar.  
2.   Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah: 3 Hari. Setelah 3 hari (hari keemapat) musafir harus sholat sempurna, tidakjama' dan tidak qashar.
3.   Al-Hanabilah: 4 hari. Hari Ke-5 tidak ada lagi rukhshoh.

Al-Hanafiyah (14 Hari)

Imam Ibnu Abdin dalam hasyiyahnya (Radd Al-Muhtar 2/125) bahwa batasan seseorang boleh qashar dan jama'sholat dalam keadaan musafir itu adalah 14 hari. Jadi ketika ia sudah meniatkan untuk singgal lebih dari 14 hari, maka di hari ke-15, ia sudah tidak  bisa lagi mendapatkan rukhshoh jama dan juga qasahr sholat.

Ini didasarkan pada apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika datang ke Mekkah dari Madinah untuk pembebasan Mekkah (Fathu Makkah). Bahwa beliau saw meng-qasharsholatnya sampai 14 hari di Mekah. (HR. Abu Daud)

Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah (3 Hari)

Dalil yang digunakan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya bahwa Nabi saw menjadikan bagi para Muhajirin 3 hari untuk rukhshoh setelah mereka menunaikan hajinya.

لِلْمُهَاجِرِ إِقَامَةُ ثَلَاثٍ بَعْدَ الصَّدَرِ بِمَكَّةَ

"untuk para muhajirin itu bermukim 3 hari di Mekkah setelah Shodr (menunaikan manasik)" (HR Muslim)  

Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm (1/215) menjelaskan maksud hadits ini, beliau katakan:
"mukimnya Muhajir di Mekkah itu 3 hari batasnya (sebagai musafir), maka jika melebihi itu, ia telah bermukim di Mekkah (jadi mukim yang tidak bisa dapat rukhshoh)"

Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam fathul-Baari (7/267) mengatakan bahwa istinbath hukum dari hadits Nabi tersebut adalah bahwa seorang musafir jika berniat singgah/tinggal di kota tujuan kurang dari 3 hari, ia masih berstatus sebagai musafir yang boleh ‎jama' dan qashar sholat. Akan tetapi jika melebihi itu, tidak lagi disebut sebagai musafir.

Al-Hanabilah (4 Hari/21 Sholat)

Uniknya dalam madzhab ini adalah bahwa yang dijadikan ukuran bukanlah hari melainkan sholat. Madzhab ini menetapkan bahwa batasan rukhshoh bagi seorang musafir itu setelah ia melewati 21 kali waktu sholat, atau kalau dihitung dalam hari menajdi 4 hari lebih 1 kali waktu sholat.

Ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/212) dan juga Imam Al-Mardawi dalam Al-Inshaf(2/329). Dalilnya sama seperti yang digunakan oleh madzhab Al-Syafiiyah dan AL-Malikiyah, hanya saja mereka menghitungnya dengan hitungan jumlah sholat.

Imam Ibnu Qudamah Mengatakan:

وَإِذَا نَوَى الْمُسَافِرُ الْإِقَامَةَ فِي بَلَدٍ أَكْثَرَ مِنْ إحْدَى وَعِشْرِينَ صَلَاةً، أَتَمَّ) الْمَشْهُورُ عَنْ أَحْمَدَ - رَحِمَهُ اللَّهُ -

"Jika seseorang musafir berniat untuk tinggal di suatu negeri lebih dari 21 kal waktu sholat, maka ia ketika itu ia harus sempurna sholatnya (tidak jama qashar)" (Al-Mughni 2/212)
5. Tidak ada batasan minimum masa tinggal.

Pendapat yang rajih (lebih dekat pada kebenaran), Wallaahu a’lam, pendapat Ulama yang menyatakan tidak ada batasan waktu minimum. Selama seseorang tidak berniat untuk menetap di tempat tersebut, maka ia tetap dalam kondisi safar. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan didukung oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Karena memang tidak ada nash yang shohih dan shorih (tegas) yang membatasinya. Jika disebutkan bahwa Ibnu Abbas melihat batasan 19 hari karena pernah menyaksikan Nabi melakukan hal itu, bagaimana dengan hadits dari Jabir bin Abdillah yang pernah menyaksikan Nabi mengqoshor sholat selama berada di Tabuk 20 hari?

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ‏اللَّهِ قَالَ أَقَامَ رَسُولُ‏اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ‏عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ‏عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ‏الصَّلَاةَ

Dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk selama 20 hari mengqoshor sholat” (H.R Ahmad, Abu Dawud).
Demikian juga dengan yang terjadi pada Ibnu Umar yang terkurung salju di Azerbaijan selama 6 bulan, senantiasa mengqoshor sholat.

Apa yang dimaksud dengan sholat qoshor?

Sholat qoshor adalah sholat wajib di saat safar berjumlah 2 rokaat untuk sholat- sholat yang berjumlah 4 rokaat di waktu mukim (Dzhuhur, Ashar, Isya’).

Masihkah pelaksanaan sholat qoshor relevan diterapkan di masa modern ini di saat banyak kemudahan bagi musafir dan perjalanan tidak berat mereka rasakan?

Ya, masih relevan. Karena 2 hal yang utama:

a). Firman Allah Ta’ala dalam surat Maryam ayat 64 “Dan sama sekali Tuhanmu tidak lupa…” (Q.S Maryam:64)
Sebagian Ulama menjelaskan bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala tidak lupa bahwa umat manusia diciptakan melalui zaman yang bermacam-macam. Ada yang diciptakan pada saat keadaan teknologi masih minim, adapula yang hidup di masa sebaliknya, saat sarana transportasi dan segenap fasilitas yang ada memudahkan ia melakukan perjalanan jauh, sehingga tidak merasa capek, lelah, dan berat. Namun Allah tidaklah mewahyukan kepada Nabinya untuk menghapus rukhsah (kemudahan) bagi seseorang selama ia berstatus sebagai musafir.

b) Firman Allah Ta’ala dalam surat AnNisaa’: 101

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ‏‎ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ‏تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ‏خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ‏الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat jika kalian khawatir diserang orang-orang kafir…” (Q.S AnNisaa’:101).
Secara tekstual, nampak jelas bahwa alasan awal seorang boleh mengqoshor sholat adalah jika dia dalam keadaan safar dan khawatir diserang orang kafir. Bagaimana jika kekhawatiran diserang orang kafir itu telah hilang? Pertanyaan semacam ini pernah ditanyakan oleh Ya’la bin Umayyah kepada Umar bin alKhottob, Umarpun berkata bahwa ia juga pernah bertanya demikian kepada Nabi tentang ayat itu, namun justru Nabi bersabda:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا‎عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“Itu adalah shodaqoh Allah atas kalian, terimalah shodaqohNya” (H.R Muslim).

Maka, sebagaimana keadaan safar saat ini sudah tidak dicekam perasaan takut, ataupun keadaannya lebih mudah dan ringan, tidak memberatkan, mengqoshor sholat pada saat safar adalah shodaqoh Allah kepada kita yang diperintahkan Nabi untuk diambil.

Apakah sholat qoshor boleh dilakukan dalam safar yang bukan untuk ketaatan?

Ya, untuk segala jenis safar, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, karena keumuman dalil yang ada. Kata Ibnu Taimiyyah, karena secara asal memang sholat adalah 2 rokaat. Aisyah – radliyallahu ‘anha menyatakan:

أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا‎فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ‏فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ‏وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ

“Sesungguhnya permulaan diwajibkan sholat adalah 2 rokaat, kemudian ditetapkan pada sholat safar dan disempurnakan (ditambah) pada sholat hadir (tidak safar) (H.R AlBukhari dan Muslim, lafadz Muslim).

Apa hukum mengqoshor sholat dalam safar?

Sunnah, dan jika dia menyempurnakan sholat (bukan karena sebagai makmum yang mengikuti Imam mukim), hukumnya makruh. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengqoshor sholat dalam safar.

مَا سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا‎إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ‏رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ

“Tidaklah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan safar kecuali beliau sholat 2 rokaat 2 rokaat sampai kembali” (H.R Ahmad dari Imron bin Hushain, dihasankan oleh alBaihaqy).

Apakah dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat?

Tidak dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat sebagaimana tidak dipersyaratkan niat untuk mukim. Sehingga, seseorang yang sudah masuk dalam suatu sholat, misalkan sholat Dzhuhur dalam keadaan safar, karena dia biasa sholat 4 rokaat dan lupa sedang safar, di tengah sholat saat belum menyelesaikan 2 rokaat dia teringat bahwa ia adalah musafir, maka hendaknya ia menyelesaikan sholatnya dalam 2 rokaat saja. Tidak dipersyaratkan sebelum masuk dalam sholat ia harus berniat sebagai seorang musafir yang mengqoshor sholat (disarikan dari penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’).

Bolehkah mengqoshor sebelum meninggalkan daerah tempat tinggalnya?

Jika seseorang akan melakukan safar, dia tidak boleh mengqoshor ketika masih berada di wilayah tempat tinggalnya. Sebagaimana Nabi belum mulai mengqoshor sholat ketika masih berada di Madinah. Beliau sudah mulai mengqoshor sholat setelah berada di Dzulhulaifah (berjarak sekitar 6 mil = sekitar 9,6 km). Boleh pula seseorang mulai mengqoshor di tengah perjalanan saat masih menempuh 3 mil, sekitar 4,8 km dari rumahnya sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin alKhottob.

Bagaimana jumlah rokaat seorang musafir yang sholat di belakang seorang mukim?
Sama dengan jumlah rokaat Imam (disempurnakan).‎

عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَ‏‎كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ‏بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا‎كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا‎أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى‎رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ‏قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي‎الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏وَسَلَّمَ

Dari Musa bin Salamah beliau berkata: Kami pernah bersama Ibnu Abbas di Makkah, kemudian aku berkata kepada beliau: Sesungguhnya kami (musafir) jika sholat bersama kalian sholat 4 rokaat, namun jika kami kembali ke tempat (perkemahan) kami, kami sholat 2 rokaat. Ibnu Abbas berkata: Itu adalah Sunnah Abul Qosim (Nabi Muhammad) shollallaahu ‘alaihi wasallam (riwayat Ahmad).

Apakah seorang musafir masbuq juga harus menyempurnakan jumlah rokaatnya sama dengan imam?
Ya, jika ia masih sempat mendapati paling tidak 1 rokaat bersama Imam, maka nanti ia sempurnakan sejumlah total rokaat yang sama dengan Imam. Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rokaat, ia tambahi kekurangan rokaat menjadi total rokaat yang dilakukan musafir. Contoh, seorang masbuq mendapati Imam mukim sholat dzhuhur 4 rokaat. Jika ia bisa mendapati minimal 1 rokaat, maka nanti setelah Imam salam ia sempurnakan menjadi 4 rokaat. Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rokaat, maka ia hanya menambah kekurangannya menjadi total 2 rokaat. Seseorang masih mendapati 1 rokaat jika ia masih sempat mandapati rukuk Imam. Sehingga, seseorang musafir yang mendapati Imam setelah ruku’ di rokaat terakhir, maka nanti ia sempurnakan sholatnya sebagaimana sholat musafir, tidak terhitung tergabung bersama jama’ah.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ‏‎ ‎الصَّلَاةِ مَعَ الْإِمَامِ فَقَدْ‏‎ ‎أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Barangsiapa yang mendapati 1 rokaat bersama Imam, maka ia telah mendapati sholat tersebut (H.R Muslim dari Abu Hurairah).

Bagaimana jika seorang musafir menjadi Imam, sedangkan makmumnya adalah orang mukim?‎

Makmum menambah kekurangan sholatnya. Contoh, jika Imam yang musafir sholat Isya’ 2 rokaat, maka saat Imam salam, makmum mukim menambah 2 rokaat lagi sholatnya.

مَا سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا‎ ‎إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ‏‎ ‎رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ‏‎وَإِنَّهُ أَقَامَ بِمَكَّةَ‏زَمَانَ الْفَتْحِ ثَمَانِيَ‏عَشْرَةَ لَيْلَةً يُصَلِّي‎بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ‏رَكْعَتَيْنِ…‏إِلَّا الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَقُولُ‏يَا أَهْلَ مَكَّةَ قُومُوا‎فَصَلُّوا رَكْعَتَيْنِ‏أُخْرَيَيْنِ فَإِنَّا سَفْرٌ

Tidaklah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan safar kecuali sholat 2 rokaat 2 rokaat sampai kembali. Beliau tinggal di Makkah pada Fathu Makkah 18 malam sholat bersama manusia 2 rokaat – 2 rokaat…kecuali Maghrib, kemudian (selesai salam) beliau berkata: Wahai penduduk Makkah bangkitlah dan sholatlah 2 rokaat yang tersisa karena kami adalah musafir” (HR Ahmad dari Imran bin Hushain).

Diperbolehkan Jama’ Taqdim
Mayoritas ulama membolehkan jama’ taqdim, berdasarkan:
1. Hadits-hadits jama’ di Arafah, di antaranya:
a. Dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Salim telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Al-Hajjaj bin Yusuf bertanya kepada Abdullah bin Umar , pada tahun Al-Hajjaj memerangi Ibnu Zubair:
كَيْفَ تَصْنَعُ فِي الْمَوْقِفِ يَوْمَ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ سَالِمٌ: إِنْ كُنْتَ تُرِيدُ السُّنَّةَ فَهَجِّرْ بِالصَّلَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: صَدَقَ، إِنَّهُمْ كَانُوا يَجْمَعُونَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي السُّنَّةِ. فَقُلْتُ لِسَالِمٍ: أَفَعَلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ n؟ فَقَالَ سَالِمٌ: وَهَلْ تَتَّبِعُونَ فِي ذَلِكَ إِلَّا سُنَّتَهُ؟
“Bagaimana engkau melakukan shalat di tempat wukuf pada hari Arafah?” Salim berkata: “Jika engkau menginginkan As-Sunnah maka segerakanlah shalat di awal waktu pada hari Arafah.” Abdullah bin Umar  berkata: “Benar. Mereka (para sahabat) menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar dalam As-Sunnah.” Maka aku (Ibnu Syihab) berkata kepada Salim: “Apakah Rasulullah  melakukan demikian?” Lalu Salim berkata: “Bukankah kalian tidak mengikuti dalam permasalahan itu kecuali sunnah beliau?” (Shahih Al-Bukhari, 4/260)
b. Dari Jabir bin Abdillah , di dalamnya disebutkan: “Sehingga tatkala matahari telah tergelincir, Rasulullah  menuju tengah lembah kemudian berkhutbah. Setelah itu:
فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Maka Bilal adzan, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Zhuhur, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat (sunnah) di antara keduanya sedikitpun.” (Shahih Muslim, 8/170)
c. Dari Ibnu Umar , di dalamnya disebutkan:
حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ رَاحَ رَسُولُ اللهِ  مُهَجِّرًا فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ
“Sehingga tatkala memasuki Zhuhur, Rasulullah pergi untuk mengerjakan shalat di awal waktu. Kemudian beliau menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar lalu berkhutbah kepada manusia.” (Sunan Abi Dawud, 1/445)
 
D. Hadits Ali:
أَنَّهُ كَانَ يَسِيْرُ حَتَّى إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَأَظْلَمَ نَزَلَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَقُولُ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n يَصْنَعُ
Bahwasanya dulu beliau (Ali) berjalan (safar), hingga ketika matahari telah terbenam dan hari menjadi gelap, beliau singgah lantas mengerjakan shalat Maghrib kemudian Isya. Beliau lalu berkata: “Demikianlah saya melihat Rasulullah melakukannya.” (HR. Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad)
Asy-Syaikh Muqbil  berkata: “Hadits ini minimal keadaannya hasan lighairihi. Sehingga dengan ini hadits-hadits tentang jama’ taqdim telah jelas tsabit (shahih) dari Rasulullah.” (Al-Jam’u baina Ash-Shalatain, hal. 90)
Lihat pula Nailul Authar (2/486) dan Fathul Bari (2/679).
 
Diperbolehkan menjama’ shalat walaupun sedang singgah
Ini adalah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits-hadits jama’ yang mutlak, tidak terkait dengan safar yang terus berjalan atau sedang singgah. Di antaranya adalah Mu’adz ibnu Jabal, yang diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’:

أَنَّ النَّبِيَّ  أَخَّرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ
“Bahwasanya Nabi  mengakhirkan shalat di suatu hari pada perang Tabuk. Kemudian beliau keluar, mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan cara jama’. Lalu beliau masuk (ke dalam tempat istirahatnya), kemudian beliau keluar lalu menjama’ shalat Maghrib dan Isya.”

Dua shalat dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing shalat dengan satu iqamat
Dalam permasalahan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
a. Dua shalat yang dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing satu iqamat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dasar yang mereka gunakan adalah hadits Jabir dalam Shahih Muslim yang menyebutkan tatacara Nabi n mengerjakan haji wada’ tatkala di Arafah.
ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا –وَفِيهِ: حَتَّى إِذَا أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Kemudian adzan, dan Rasulullah  berdiri lalu shalat Zhuhur. Kemudian berdiri lalu shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikitpun.”
Di dalamnya disebutkan: “Sampai Rasulullah  tiba di Muzdalifah, lalu beliau shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamat. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikitpun.”
 
b. Sufyan Ats-Tsauri dan sekelompok ulama rahimahumullah yang lain berpendapat cukup dengan satu iqamat untuk dua shalat. Dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar:
أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ لَهُمَا
“Bahwasanya beliau menjama’ keduanya dengan satu iqamat untuk dua shalat tersebut.”
 
c. Mazhab Malik
Beliau berpendapat menggabungkan dua shalat dengan dua adzan dan dua iqamat. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud  dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Nabi n mengerjakan dua shalat, masing-masing dengan satu adzan dan satu iqamat.
أَنَّهُ صَلَّى الصَّلَاتَيْنِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ
“Bahwasanya beliau  shalat (menggabungkan) dua shalat. Masing-masing shalat dengan satu adzan dan satu iqamat.”‎

Penjelasan Tentang Sholat Saat Di Kendaraan

 

Ketika kita melakukan safar atau bepergian dengan jarak tempuh yang jauh, tentulah kita akan melewati beberapa kali waktu shalat. Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi, akan lebih mudah untuk berhenti sejenak di masjid untuk menunaikan shalat. Akan tetapi, bagi yang menggunakan kendaraan umum seperti bus, kereta, kapal laut, dan pesawat, hal ini tentu harus menyesuaikan dengan rute berhenti dari kendaraan tersebut. Dan sering kali waktu shalat akan habis sebelum kita sampai di tempat tujuan.

Amalan ini sekarang sudah jarang dilakukan oleh kaum muslimin, padahal dulu, sering dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah salah satu kemudahan bagi kaum muslimin agar mereka lebih giat dalam menambah surplus pahala shalat sunnah saat bepergian, karena shalat sunnah dapat menyempurnakan kekurangan yang ada dalam shalat wajib sebagaimana sabda Nabi s‎hallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ، قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا، فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya yang pertama kami dihisab dari diri manusia pada hari kiamat dari amal-amalnya adalah shalat. Rabb kita ‘azza wa jallaa berfirman kepada malaikat, padahal Ia lebih mengetahui : ‘Lihatlah shalat hamba-Ku apakah sempurna atau kurang’. Apabila shalatnya sempurna, maka dituliskan padanya (pahala) yang sempurna. Namun apabila kurang, maka Allah berfirman : ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat sunnah (tathawwu’) ?’. Apabila ia mempunyai amalan shalat sunnah, maka Allah berfirman : ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku shalat wajibnya dari shalat sunnahnya’. Kemudian amalan-amalan lain dihisab sama seperti itu” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 864-866; shahih].
Beberapa dalil yang melandasi amalan yang disebutkan dalam judul antara lain adalah :
Firman Allah ta’ala :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 115].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ، قَالَ: وَفِيهِ نَزَلَتْ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ".
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas kendarannya kemana saja kendaraannya menghadap, yaitu ketika beliau datang dari Makkah menuju Madiinah. Dan pada peristiwa itu turun ayat : ‘ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah : 115)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 700].
عَنْ جَابِرِ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ "
Dari Jaabir, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas kendaraannya kemana saja kendaraan itu menghadap. Namun apabila hendak mengerjakan shalat wajib, beliau turun lalu menghadap kiblat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 400 & 1094 & 1099 & 4140, Abu Daawud no. 1227, At-Tirmidziy no. 351, dan yang lainnya].
عَنْ عَامِر بْن رَبِيعَةَ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
Dari ‘Aamir bin Rabii’ah, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertasbih (yaitu : shalat) di atas kendaraannya. Beliau memberi isyarat dengan kepalanya kemana saja kendaraannya menghadap. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal tersebut dalam shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1097].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ، فَقَالَ سَعِيدٌ: " فَلَمَّا خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ، ثُمَّ لَحِقْتُهُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: أَيْنَ كُنْتَ؟ فَقُلْتُ: خَشِيتُ الصُّبْحَ فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: أَلَيْسَ لَكَ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِسْوَةٌ حَسَنَةٌ؟ فَقُلْتُ: بَلَى وَاللَّهِ، قَالَ: فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ "

Dari Sa’iid bin Yasaar, bahwasannya ia berkata : Aku pernah pergi bersama 'Abdullah bin ‘Umar di suatu jalan di kota Makkah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Shubuh, aku turun (dari kendaraanku), lalu aku mengerjakan shalat witir. (Setelah selesai), aku menyusulnya". ‘Abdullah berkata : “Dari mana saja engkau?”. Aku menjawab : “Aku tadi khawatir (masuk waktu) Shubuh, aku turun (dari kendaraanku), dan kemudian mengerjakan shalat witir". 'Abdullah berkata : "Tidakkah dalam diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat contoh yang baik (uswah hasanah) bagimu ?". Aku berkata : “Tentu saja, demi Allah”. 'Abdullah berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat witir di atas onta” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 999 & 1000 & 1095 & 1096 & 1098 & 1105, Muslim no. 700].
عَنْ أَنَس بْن سِيرِينَ، قَالَ: " اسْتَقْبَلْنَا أَنَسًا بْنَ مَالِكٍ حِينَ قَدِمَ مِنْ الشَّأْمِ، فَلَقِينَاهُ بِعَيْنِ التَّمْرِ فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حِمَارٍ وَوَجْهُهُ مِنْ ذَا الْجَانِبِ يَعْنِي عَنْ يَسَارِ الْقِبْلَةِ، فَقُلْتُ: رَأَيْتُكَ تُصَلِّي لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ، فَقَالَ: لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ لَمْ أَفْعَلْهُ "
Dari Anas bin Siiriin, ia berkata : Kami pernah menyambut kedatangan Anas bin Malik ketika ia baru datang dari Syaam. Kami menemuinya di tempat yang bernama ‘Ainut-Tamr. Ketika itu aku melihatnya (Anas) shalat di atas keledainya dengan menghadap ke sebelah kiri kiblat. (Setelah ia selesai), aku bertanya kepadanya : “Aku melihatmu shalat dengan tidak menghadap kiblat”. Ia berkata : “Seandainya aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1100, Muslim no. 702, Abu Daawud no. 1225, dan yang lainnya].
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ، ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ "
Dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan safar dan hendak melakukan shalat sunnah, maka beliau menghadapkan ontanya ke kiblat, lalu bertakbir. Setelah itu beliau shalat kemana saja ontanya itu menghadap [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1225; hasan].
An-Nawawiy rahimahullah mengatakan adanya konsensus ulama diperbolehkannya shalat sunnah di atas kendaraan saat safar :
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث جَوَاز التَّنَفُّل عَلَى الرَّاحِلَة فِي السَّفَر حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، وَهَذَا جَائِز بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
“Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil diperbolehkannya shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar kemanapun kendaraan itu menghadap. Hukumnya diperbolehkan menurut ijmaa’ pada ulama” [Syarh Shahiih Muslim, 5/210].

Diperbolehkan juga melakukan shalat sunnah di atas kendaraan meskipun perjalanannya tersebut belum melewati batas jarak safar menurut jumhur ulama. Ath-Thabariyrahimahullah berkata ketika menisbatkan pendapat ini pada jumhur ulama :
أَنَّ اللَّه تَعَالَى جَعَلَ التَّيَمُّم رُخْصَة لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِر ، وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ كَانَ خَارِج الْمِصْر عَلَى مِيل أَوْ أَقَلّ وَنِيَّته الْعَوْد إِلَى مَنْزِله لَا إِلَى سَفَر آخَر وَلَمْ يَجِد مَاء أَنَّهُ يَجُوز لَهُ التَّيَمُّم ، وَقَالَ : فَكَمَا جَازَ لَهُ التَّيَمُّم فِي هَذَا الْقَدْر جَازَ لَهُ النَّفْل عَلَى الدَّابَّة لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الرُّخْصَة
“Bahwasannya Allah ta’ala menjadikantayammum sebagai rukhshah bagi orang yang sakit dan musafir. Dan para ulama sepakat bagi orang yang keluar dari negerinya sejauh satu mil atau kurang dan ia berniat akan kembali ke rumahnya – bukan tujuan untuk bersafar ke daerah lain - , dimana waktu itu ia tidak mendapatkan air, maka diperbolehkan baginya untuk bertayammum. Sebagaimana diperbolehkan untuk bertayammum dalam keadaan ini, maka diperbolehkan pula baginya untuk melakukan shalat shalat sunnah di atas hewan tunggangannya dengan sebab adanyaisytiraak keduanya dalam hal rukhshah” [Fathul-Baariy, 2/575].

Kaum muslimin yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, ketahuilah bahwa hukum shalat di atas kendaraan itu ada rinciannya. Hukum asalnya tidak boleh dan tidak sah, namun dibolehkan dalam keadaan tertentu.

Wajib Shalat Di Darat Jika Masih Bisa

Sebagaimana kita ketahui bersama, menghadap kiblat adalah syarat sah shalat, tidak sah shalatnya jika tidak dipenuhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144)

Maka pada asalnya, shalat wajib yang lima waktu dilakukan di darat dan tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan karena sulit menghadap kiblat dengan benar.

Berbeda dengan shalat sunnah, boleh dikerjaan di atas kendaraan jika sedang safar, karena banyak dalil yang menunjukkan kebolehahnnya. Adapun jika tidak sedang safar, maka tidak ada keperluan untuk shalat wajib atau sunnah di atas kendaraan. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim membuat judul “bab bolehnya shalat sunnah di atas binatang tunggangan dalam safar kemana pun binatang tersebut menghadap“, yaitu ketika menjelaskan hadits:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي سُبْحَتَهُ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ نَاقَتُهُ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat sunnah kemana pun untanya menghadap” (HR. Muslim 33).

dalam riwayat lain:

إن رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كان يوترُ على البعيرِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat witir di atas unta” (HR. Al Bukhari 999, Muslim 700).

Imam An Nawawi lalu berkata: “hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya shalat sunnah kemana pun binatang tunggangan menghadap. Ini boleh berdasarkan ijma kaum Muslimin”. Dan di tempat yang sama, beliau menjelaskan: “hadits ini juga dalil bahwa shalat wajib tidak boleh kecuali menghadap kiblat, dan tidak boleh di atas kendaraan, ini berdasarkan ijma kaum Muslimin. Kecuali karena adanya rasa takut yang besar” (Syarah Shahih Muslim, 5/211).

BOLEH SHALAT SUNNAH DI ATAS KENDARAAN

Ulama sepakat atas bolehnya melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan mobil, kereta api, pesawat terbang dan kapal laut. Menghadap kiblat atau tidak. Dalam posisi gerakan sempurna atau dengan isyarat. 

Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Umar

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسبح على الراحلة قِبَلَ أي وجه توجه، ويوتر عليها، غير أنه لا يُصلي عليها المكتوبة

Artinya: Rasulullah pernah shalat di atas kendaraan dengan menghadap ke sembarang arah (tidak ke arah kiblat) dan Shalat witir di atas kendaraan. Hanya saja Nabi tidak pernah shalat fardhu di atas kendaraan.

TIDAK BOLEH SHALAT FARDHU 5 WAKTU DI ATAS KENDARAAN

Dalam menafsiri hadits di atas, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 5/211 menyatakan

وفيه دليل على أن المكتوبة لا تجوز إلى غير القبلة، ولا على الدابة وهذا مجمع عليه؛ إلا في شدة الخوف

Artinya: Hadits ini menunjukkan bahwa shalat wajib 5 waktu tidak boleh dilakukan kecuali (a) harus menghadap kiblat; dan (b) tidak boleh dilakukan di atas kendaraan. Ini pendapat ijmak (kesepakatan antar madzhab). Kecuali dalam keadaan sangat takut (atau darurat).

KONDISI DARURAT YANG DIBOLEHKAN SHALAT WAJIB DI ATAS KENDARAAN

Apa yang dimaksud kondisi darurat? Imam Nawawi menerangkan secara detail dalam kitab Al-Majmuk Syarah Muhadzab 3/242 sbb:

ولو حضرت الصلاة المكتوبة، وخاف لو نزل ليصليها على الأرض إلى القبلة انقطاعاً عن رفقته أو خاف على نفسه أو ماله لم يجز ترك الصلاة وإخراجها عن وقتها، بل يصليها على الدابة لحرمة الوقت، وتجب الإعادة لأنه عذر نادر.

Artinya: Apabila waktu shalat wajib / fardhu tiba, dan dia (a) takut kalau turun dari kendaraan untuk shalat di tanah dan menghadap kiblat akan membuatnya terputus dari teman (rombongan)-nya; atau (b) takut keselamatan jiwabnya; atau (c) takut keselamatan hartanya, dia tidak boleh meninggalkan shalat dan keluar dari waktu shalat, maka dia boleh melakukan shalat di atas kendaraan untuk menghormati waktu (li hurmatil waqti) dan ia wajib mengulangi (mengqadha) shalatnya karena itu merupakan udzur yang jarang terjadi.

Yang dimaksud Imam Nawawi shalat fardhu li hurmatil wakqti (menghormati waktu) dan harus mengulangi itu apabila (a) shalatnya tidak menghadap kiblat; (b) shalatnya tidak dalam gerakan yang sempurna alias hanya memakai isyarat saja. 

Adapun apabila shalat di atas kendaraan tersebut dilakukan dengan cara yang sama layaknya shalat di tanah yakni (a) menghadap kiblat; dan (b) gerakan shalat sempurna yakni dengan berdiri, rukuk dan sujud, maka shalatnya tidak perlu diulang atau diqadha menurut sebagian pendapat dalam madzhab Syafi'i.

Dalam Syarah Muslim 5/211 Imam Nawawi menyatakan

فلو أمكنه استقبال القبلة، والقيام والركوع والسجود على الدابة واقفة - يعني غير سائرة - عليها هودج، أو نحوه جازت الفريضة على الصحيح من مذهبنا، فإن كانت سائرة لم تصح على الصحيح المنصوص للشافعي

Artinya: Apabila bisa menghadap kiblat, dan berdiri rukuk dan sujud di atas kendaraan yang sedang diam ... maka boleh shalat fardhu di atas kendaraan menurut pendapat yang sahih dalam madzhab Syafi'i. Apabila kendaraan itu sedang berjalan maka tidak sah shalatnya menurut pendapat yang sahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi'i (artinya, ada pendapat yang menyatakan sah shalatnya).

Catatan: Ada pendapat dalam madzhab Hanbali bahwa dalam keadaan darurat di atas kendaraan seperti pesawat atau bis yang tidak bisa dihentikan, boleh shalat tanpa menghadap kiblat dan cukup dengan isyarat tanpa harus mengulangi (mengqodho). Sedangkan menurut madzhab Syafi'i tetap harus mengulangi di waktu yang normal.

Tata cara Sholat Dalam Kendaraan 

Menghadap qiblat termasuk syarat sahnya shalat, sebagaimana firman Allah ta'aalaa:


فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ [البقرة/144]

"Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya" (QS.Al-Baqarah:144)
Dan berdiri bila mampu dalam shalat fardhu termasuk rukun shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:‎

صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب

"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, apabila tidak mampu maka dengan berbaring" (HR.Al-Bukhary, dari 'Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu)
Oleh karena itu, shalat fardhu di kereta apabila masih memungkinkan kita berdiri dan menghadap qiblat maka kita harus berdiri dan menghadap qiblat sebagaimana yang dilakukan para salaf ketika naik kapal, mereka shalat di kapal dengan berdiri menghadap qiblat, dan ketika kapal berubah arah mereka tetap berusaha menghadap qiblat.
Berkata Ibrahim An-Nakha'iy rahimahullah: 

يستقبل القبلة كلما تحرفت 

"(Orang yang shalat di atas kapal) tetap menghadap qiblat setiap kapal tersebut berpindah arah) (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6634)‎

Berkata Hasan Al-Bashry dan Muhammad bin Siiriin rahimahumallah:‎

يصلون فيها قياما جماعة، ويدورون مع القبلة حيث دارت

"Mereka shalat berjama'ah di kapal dengan berdiri, dan mereka tetap menghadap qiblat kemanapun kapal berputar " (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6637)‎

Namun apabila tidak mampu berdiri atau tidak mampu menghadap qiblat maka kita kerjakan shalat sesuai dengan kemampuan kita. Apabila tidak mampu berdiri maka duduk, apabila tidak mampu ruku dan sujud maka cukup dengan menundukkan badan, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku'nya. Allah ta'aalaa berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]

"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian" (QS. At-Taghaabun:16)
Allah ta'aalaa juga berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]

"Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya" (QS. Al-Baqarah:286)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم 

"Apa yang aku larang maka hendaklah kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian kerjakan sesuai dengan kemampuan kalian" (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu: ‎

تصح الصلاة على الطائرة وهي تطير في الجو، كما تصح الصلاة على الباخرة والسفينة ونحوها. وهذا أَشبه بحال الضرورة. لأَنه لا يستطيع إِيقافها ولا النزول لأَداء الصلاة، ولا يجوز تأْخير الصلاة عن وقتها بحال. وكما تصح الصلاة على السيارة إِذا جد به السير ولم يتمكن الراكب من إِلزام السائق بإِيقاف السيارة وخشي خروج الوقت، فإِنه يصلي قبل خروج الوقت ويفعل ما يستطيع عليه، ثم إِذا صلى الإِنسان في الطائرة ونحوها فإِن استطاع أَن يصلي قائمًا ويركع ويسجد لزمه ذلك في الفريضة، وإِلا صلى على حسب حاله وأَتى بما يقدر عليه من ذلك، كما يلزمه استقبال القبلة حسب استطاعته. وكلما دارت انحرف إِلى القبلة إِذا كانت الصلاة فرضًا

"Sah shalat di dalam pesawat yang sedang terbang, sebagaimana sah shalat di dalam kapal dan yang semisalnya, dan ini lebih serupa dengan keadaan dharurat, karena dia tidak mampu menghentikan kendaraan tersebut, dan juga tidak bisa turun untuk mengerjakan shalat, sementara tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya dalam keadaan apapun. Sebagaimana shalat juga sah di atas mobil apabila sedang berjalan dan penumpang tidak bisa mengharuskan sopir menghentikan kendaraan, dan dia takut habis waktu, maka hendaklah dia shalat sebelum habis waktunya dan melakukan apa yang dia mampu. Kemudian apabila seseorang shalat di pesawat dan yang semisalnya maka jika dia mampu shalat dengan berdiri, ruku', dan sujud maka dia wajib melakukannya pada shalat fardhu, kalau tidak bisa maka shalat sesuai dengan kondisi dia, dan mengerjakan apa yang dia mampu, sebagaimana wajib bagi dia menghadap qiblat sesuai dengan kemampuan, setiap kali kendaraan itu berputar maka dia tetap menghadap ke qiblat bila itu adalah shalat fardhu" (Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Ibrahim no:516) 

Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia: 

وأما كونه يصلي أين توجهت المذكورات أم لا بد من التوجه إلى القبلة دومًا واستمرارًا أو ابتداءً فقط - فهذا يرجع إلى تمكنه، فإذا كان يمكنه استقبال القبلة في جميع الصلاة وجب فعل ذلك؛ لأنه شرط في صحة صلاة الفريضة في السفر والحضر، وإذا كان لا يمكنه في جميعها، فليتق الله ما استطاع، لما سبق من الأدلة، هذا كله في الفرض

"Adapun, apakah dia shalat mengikuti arah kendaraan-kendaraan tersebut (mobil, kereta, pesawat, atau kendaraan roda empat) harus menghadap qiblat secara terus-menerus atau hanya di awal shalat, maka ini dikembalikan kepada kemampuan dia, jika dia mungkin menghadap qiblat terus-menerus dalam shalat seluruhnya maka dia wajib melakukannya, karena ini syarat sahnya shalat fardhu baik ketika safar atau muqim, dan apabila tidak mungkin menghadap qiblat terus-menerus maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan, karena dalil-dalil yang telah berlalu, dan ini semua dalam shalat fardhu" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 8/124)

يجوز ترك استقبال القبلة في حالتين ؛ 

Diperbolehkan meninggalkan / tidak menghadap kiblat dalam dua (2) keadaan: 

١ - في صلاة شدة الخوف
٢- في نافلة السفر المباح سواء أكان سفرا طويلا أم قصيرا   
وتارة يكون ماشيا وتارة يكون راكبا ؛

1. Pada keadaan sangat genting / mengkhawatirkan / hal yang ditakuti.
2. Pada sholat sunnah dalam keadaan bepergian yang mubah (tidak haram) baik perjalanan jauh atau dekat‎
Adakalanya bepergian dengan berjalan kaki, adakalanya bepergian dengam naik kendaraan; 

فإذا كان ماشيا : يجب استقبال القبلة في أربعة أركان : عند الإحرام والركوع والسجود والجلوس بين السجدتين

Ketika bepergian dengan berjalan kaki maka wajib untuk menghadap kiblat dalam empat (4) rukun (sholat) :
(1) Ketika Takbirotul Ihrom,
(2) Ruku',
(3) Sujud,
(4) Duduk di antara dua sujud. 

وإذا كان راكبا : يجب استقبال القبلة في الإحرام إن سهل عليه ، وإلا فلا يجب الاستقبال مطلقا 

Ketika bepergian dengan berkendara maka wajib untuk menghadap kiblat pada waktu takbirotul ihrom jika mudah melakukannya, dan jika tidak mudah / kesulitan maka tidak wajib menghadap kiblat secara mutlak.

السفر القصير هو الذي يكوة من مرحلتين ( ٨٢ كيلو ) ، وأقله : أن يسافر إلى محل لا يسمع فيه نداء الجمعة ، وقيل : ميل 1

Perjalanan dekat yaitu perjalanan yang kurang dari dua (2) marhalah (82 km), minimal: seseorang bepergian ke suatu tempat yang tidak dapat terdengar panggilan / adzan jum'at. menurut pendapat lain: menggunakan 1 mil.

وتكون قبلته مقصده ، فلا يجوز أن ينحرف عنها إلا لجهة القبلة ، فإ انحرف عامدا عالما بطلت صلاته

Kiblat itu menjadi tujuan / sasarannya, maka tidak diperbolehkan seseorang menyimpang / berpaling dari arah kiblat melainkan harus menghadap kiblat, apabila berpaling dengan sengaja dan mengerti maka sholatnya batal. 

وإذا كان يصلي في سفينة أو قطار ومثله الهودج والمرقد ونحو ذلك فيجد عليه أن يتم ركوعه وسجوده إن سهل ، ويجب عليه استقبال القبلة في جميع الصلاة إن سهل عليه كذلك ، وإلا فلا يجب

Jika seseorang sholat di perahu, kereta api, dan seperti halnya sekeduk, tempat tidur / pembaringan dan lain-lain maka orang yang sholat wajib menyempurnakan ruku' dan sujudnya jika mudah, dan wajib pula menghadap kiblat dalam keseluruhan sholat jika mudah baginya, dan jika tidak mudah maka tidak wajib. 

ومثل ذلك : الصلاة في الطائرة ، فتجوز مع الصحة صلاة النفل ، وأما صلاة الفرض إن تعينت عليه أثناء الرحلة ، وكانت الرحلة طويلة ، بأن لم يستطع الصلاة قبل صعودها أو انطلاقها أو بعد هبوطها في الوقت ، ولو تقديما أو تأخيرا ، ففي هذ الحالة يجب عليه أن يصلي لحرمة الوقت مع استقبال القبلة ، وفيها حالتان ؛ 

Begitu pula seperti halnya orang yang sholat di pesawat terbang, maka boleh baginya dan juga sah untuk sholat sunnah. Adapun untuk sholat fardlu jika menjadi wajib / tertentu untuk dilaksanakan di tengah menempuh perjalanan, dan perjalanan yang ditempuh itu jauh, sekiranya seseorang tidak mampu untuk melaksanakan sholat tepat pada waktunya sebelum naik ke pesawat atau berangkatnya pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing), meskipun (sholatnya dikerjakan) dengan jama' taqdim atau ta'khir, maka dalam keadaan ini wajib bagi seseorang untuk sholat lihurmatil waqti beserta menghadap kiblat, dan dalam hal ini ada dua (2) keadaan: 

إن صلى بإتمام الركوع والسجود : ففي وجوب القضاء عليه خلاف ، لعدم استقرار الطائرة في الأرض ، المعتمد أن عليه القضاء

Jika sholat dengan menyempurnakan ruku' dan sujud maka dalam hukum kewajiban mengqodlo' terdapat perbedaan pendapat, karena tidak menetapnya pesawat di tanah, dan pendapat yang mu'tamad (yang kuat dibuat pedoman) adalah wajib mengqodlo'. 

وإن صلى بدون إتمام الركوع والسجود ، أو بدون استقبال القبلة مع الإتمام ؛ فيجب عليه القضاء بلا خلاف

Dan jika sholat tanpa menyempurnakan ruku' dan sujud, atau tanpa menghadap kiblat serta dapat menyempurnakan (ruku' dan sujud), maka wajib mengqodlo' tanpa ada silang pendapat dari para ulama'. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...