Senin, 23 November 2020

Makna Dan Pengertian Syawal


‎Bulan Syawal, Bulan ini dalam penanggalan atau Kalender Hijriah islam, adalah bulan ke-10. Arti kata syawal adalah naik, ringan, atau membawa (mengandung). Disebut demikian karena dahulu, ketika bulan-bulan hijriyah masih ‘disesuaikan’ dengan musim (praktek interkalasi), suhu meningkat karena berada pada musim panas seperti halnya Ramadhan. Selain itu, biasanya orang Arab mengamati bahwa pada bulan inilah unta-unta mengandung atau menaikkan ekornya sebagai tanda tidak mau dikawini. Karenanya, orang Arab juga memiliki kepercayaan bahwa bulan ini ‘tidak baik’ dan melihat pernikahan di bulan Syawal akan berakhir sial. Kepercayaan ini dihapus oleh islam dengan peristiwa pernikahan Nabi Muhammad saw.

Bulan syawal juga berada setelah bulan ramadhan dimana bulan ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, rahmat serta idkuminannar, dimana khususnya umat muslim digembleng langsung oleh Allah, nah dari arti kata diatas saja kalaulah kita memang ingin mendapatkan petunjuk dari Allah maka bukanlah suatu kebetulan semata. bulan ini juga terkenal dengan hari dimana kita meraih kemenangan setelah melaksanakan pertempuran melawan jin, syetan, iblis yang ingin menggoda manusia, dan dibulan ini pula konon katanya manusia menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan.
Makna Syawal secara Bahasa

Ibnul ‘Allan asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang.”(Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin).

Ada juga yang mengatakan, dinamakan bulan syawal dari kata syalat an-Naqah bi Dzanabiha [arab: شالت الناقةُ بذنَبِها], artinya onta betina menaikkan ekornya. (Lisan Al-Arab, 11/374). Bulan syawal adalah masa di mana onta betina tidak mau dikawini para pejantan. Ketika didekati pejantan, onta betina mengangkat ekornya. Keadaan ini menyebabkan munculnya keyakinan sial di tengah masyarakat jahiliyah terhadap bulan syawal. Sehingga mereka menjadikan bulan syawal sebagai bulan pantangan untuk menikah. Ketika islam datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menikahi istri beliau di bulan syawal. Untuk membantah anggapan sial masyarakat jahiliyah. 

Memahami hal ini, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan ini dinamakan syawal adalah karena bulan ini jatuh seusai ramadhan. Dan ketika itu manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Ini jelas pemahaman yang tidak benar. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak zaman ‎jahiliyah (sebelum datangnya islam), sementara masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan ramadhan. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan  antara makna bahasa tersebut dengan pemahaman bahwa syawal adalah bulan peningkatan dalam beramal. Mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan ibadah dan amal soleh termasuk nasehat baik, hanya saja, tidak perlu kita kaitkan dengan nama bulan syawal, karena dua hal ini tidak saling berhubungan.

Peristiwa Ibadah Di Syawal
Hari pertama di bulan Syawal, tentu saja merupakan Hari Raya Idul Fitri bagi umat islam setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Pada 1 Syawal, kaum muslimin keluar rumah untuk melaksanakan sholat Idul Fitri.

Hari-hari berikutnya di bulan Syawal merupakan kesempatan untuk ‘menyempurnakan’ puasa ramadhan dengan Puasa Enam Hari di bulan Syawal. Dengan tambahan puasa enam hari ini, kaum muslimin bisa memperoleh pahala setara dengan puasa satu tahun.

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Bulan Syawal juga merupakan awal dimulainya bulan-bulan ibadah haji, karena sejak bulan inilah diperbolehkan berniat ihram untuk melakukan ibadah haji. Umrah yang dilakukan pada bulan ini juga bisa digabung dengan ibadah haji di bulan Dzulhijjah sehingga menjadi Haji Tammatu.

Peristiwa Sejarah
27 Syawal, Perjalanan Nabi saw. ke Thaif, tahun ke-10 kenabian.

13 Syawal, kelahiran ahli hadits Imam Bukhari

Syawal 1 H, Perang Bani Qainuqa

17 Syawal 3 H, Perang Uhud

Kelahiran Siti Aisyah dan pernikahannya dengan Nabi Muhammad saw. terjadi di bulan Syawal.

29 Syawal, pernikahan Fatimah dengan Ali ra.

Syawal 4 H, Pernikahan Nabi saw. dengan Ummu Salamah

Syawal 4 H, Kelahiran cucu Nabi saw., Hussain.

18 Syawal 5 H, Perang Khandaq (Ahzab, Parit)

6 Syawal 8 H, Perang Hunain

Demikianlah, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa ibadah dan sejarah di dalam islam yang terjadi di bulan Syawal ini.‎

Polemik Dalam Makna  Bulan Syawal 
Dalam kalender Hijriyah, bulan yang mengiringi Ramadhan dinamai Syawal, bulan ini adalah merupakan bulan yang kesepuluh. Banyak orang memaknai Syawal sebagai bulan peningkatan, benarkah asumsi tersebut?… mengenai hal ini terdapat pro kontra yang menyebar di masyarakat Indonesia, untuk mengetahui lebih lanjut mari kita simak paparan di bawah ini.

Kelompok pertama menyebutkan bahwa Syawal adalah bulan peningkatan, mereka berdalil dengan makna dari Syawal itu sendiri yaitu irtifa’, naik dan meningkat.

Kemudian ada dua alasan yang lainnya adalah: pertama, meningginya derajat kaum Muslimin setelah mereka ikhlas dalam menunaikan shaum Ramadhan dan mendapatkan maghfiroh ampunan dari Allah, sebagaimana sabda Nabi:

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan tulus karena Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)

Kedua, karena secara moral dan spiritual kaum Muslim harus mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai amaliyah Ramadhan pada bulan ini dan bulan-bulan berikutnya hingga datang Ramadhan tahun depan.

Dalam perspektif ini, Syawal justru bermakna bulan peningkatan ibadah dan amal solih sebagai kelanjutan logis dari pendidikan moral dan spiritual yang dilakukan selama Ramadhan.

Adapun kelompok kedua, mereka mengatakan Syawal bukanlah bulan peningkatan, mereka berdalil dengan makna Syawal yang dikemukakan oleh Ibnul ‘Allan asy-Syafii al-Makki dalam kitabnya Dalil al Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin-Syarh Riyadh al Sholihin-, jilid 4 hal 63, terbitan Darul Fikr Beirut:

“Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Syalat al-Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang karena sudah dekat dengan bulan-bulan haram (yang merupakan bulan terlarang perang di masa jahiliyyah.”

Jadi penamaan Syawal bukan karena bulan ini adalah bulan peningkatan amal, namun disebut Syawal karena di bulan ini orang-orang Arab mengangkat atau meninggikan alat-alat perang yang mereka miliki atau dengan bahasa lain gencatan senjata.

Mereka menggantungkan pedang, tombak dan lainnya karena dikhawatirkan akan terjadinya peperangan antar sesama mereka yang tentunya hal itu diharamkan mengingat bulan Syawal merupakan salah satu bulan dari bulan-bulan yang diharamkan di dalamnya untuk berperang. Jika mereka masing-masing menenteng pedang dan senjata yang lainnya di bulan Syawal sangat dimungkinkan mereka akan melanggar larangan berperang di bulan tersebut.

Inilah dua kubu yang saling berseberangan dalam memahami makna Syawal. Yang lebih penting dari itu perbedaan pemahaman tentang Syawal akan berimbas kepada rutinitas ibadah yang dilakukan selama Ramadhan.

Kelompok pertama tentu akan mengatakan “Ramadhan telah lewat amal ibadah dan pahala yang Allah berikan tidak akan dilipat gandakan lagi, jadi tidak perlu berlebihan dalam ibadah layaknya bulan Ramadhan”.

Sedang kelompok kedua akan mengatakan sebaliknya “Syawal adalah bulan peningkatan ibadah setelah satu bulan digembleng dalam ketakwaan, bulan ini adalah bulan bukti keimanan dan ketakwaan kita bertambah dari bulan sebelum Ramadhan, maka dari itu kita harus meningkatkan ibadah kita dibulan ini”.

Terlepas dari itu semua, ibadah yang kita latih selama satu bulan yang pelatihnya langsung dari Allah, sebenamya aplikasinya pada 11 bulan ke depan, bukan hanya Syawal saja. Ibarat seseorang atau sekelompok orang mengikuti pelatihan yang berlangsung selama satu bulan maka, diharapkan para peserta dapat memperaktikan hasil pelatihan tersebut yang telah dilaksanakannnya.

Nah, sebagai ummat Islam yang telah menyelesaikan shaum dan berbagai ibadah lainnya di bulan Ramadhan karena Allah semata bukan yang lainnya. Mari lestarikan amal salih tersebut dan harus bisa ditambah jangan sampai berkurang apalagi hilang.

Prinsip kita sebagai Muslim yang ikhlas adalah: tak peduli apakah bulan Ramadhan atau bukan semua aktifitas ibadah tetap dilakukan, hanya saja mungkin di bulan Ramadhan ada tambahan waktu mengingat di bulan ini semua amal ibadah Allah lipat gandakan, sebagaimana sabda Nabi:

Allah berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam yamj berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kali sehingga tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang afcan memberikan balasannya” (HR. Muslim)

Ketika masa-masa pelatihan usai, kita buktikan akan peningkatan keimanan dan keislaman kita dengan menjaga kesucian dan keluhuran diri. Iman dan takwa yang diraih pada buian Ramadhan dipelihara hingga bertemu dengan bulan Ramadhan berikutnya jangan sampai menyusut, segala amal perbuatan yang tidak ada gunanya atau bahkan melalaikan dibuang jauh-jauh, terlebih yang haram terbersit dalam hati saja tidak apalagi dilirik. Tentunya, ini semua dilakukan demi meraih bukti peningkatan keislaman kita, sebagaimana sabda Nabi:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah pernah bersabda: “Sebagian tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya)

Ketika kontinyu dalam ibadah dan amal solih sekalipun diluar Romadhon, maka indikasi istiqomah pun ada dalam diri kita. Sedang istiqomah itu sendiri adalah salah satu alamat meningkatnya derajat seorang Muslim Mu’min.

Terakhir, semoga tulisan ini bisa merubah beberapa paradigma: pertama, paradigma lama tentang Ramadhan yang menyebar di masyarakat. Ibadah Ramadhan jangan diartikan sebagai bulan ketakwaan saja tanpa ada bukti yang jelas setelah berakhirnya bulan tersebut.

Kedua dengan merubah paradigma tersebut akan berpengaruh terhadap kontinuitas aktifitas amal solih yang dilakukan diluar Ramadhan, ketiga hendaknya Ramadhan yang telah dilalui dijadikan ajang latihan menempa diri agar lebih bertakwa untuk menghadapi sebelas bulan berikutnya.

Demikianlah ulasan ringkas sekitar polemik Syawal, jangan kita melihat apa arti bulan tersebut tapi bagaimana kita menyikapi bulan tersebut dan bulan-bulan sesudahnya setelah satu bulan penuh kita berada dalam karantina ketakwaan. Mudah-mudahan kita bisa mengambil ibroh dari ini semua dengan tetap istiqomah dalam ketakwaan kepada Allah kapan saja dan dimana saja.‎

 

Makna Idul Fitri



Bagi muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan orang-orang shaleh, yaitu ridha dan ‎magfirahNya, sebagai ganjaran atas amal baik yang telah dilakukannya. Allah Swt juga pernah berjanji, tak satupun kaum muslimin yang berdoa pada hari raya Idul Fitri, kecuali akan dikabulkan.

Pertanyaannya, kira-kira puasa kita diterima apa tidak? Atau yang kita lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan haus, seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw? Jawabnya, Allahu ‘alam, kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa: ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya penghayatan mendalam atas Ramadhan akan membawa efek fantastik, individu, maupun sosial.

Penghayatan dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk kembali kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang selain punya hak, juga punya kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan kita merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya Idul Fitri seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati manusia dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai doa dan harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi tertinggi bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan bathin, adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa).

Idul fitri adalah hari raya umat Islam yangdirayakan pada 1 syawal setelah sebelumnya melewati madrasah ruhaniah ramadhan selama sebulan penuh. Menurut pengamatan empiris, maka kita akan sepakat bahwa semua manusia yang meyakini keEsaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW dan kepastian eskatologi akan merayakan idul fitri dan alunan takbir ALLAHU AKBAR akan menggema di setiap penjuru angkasa raya. 

Balutan busana bernuansa Islam serentak membanjiri jalan, lapangan dan mesjid-mesjid, tali silaturrahmi kembali terasa erat dan tak jarang air mata membasahi pipi saat rangkulan penuh kasih sesama umat Islam terjalin. Tidak ada yang bisa pungkiri bahwa umat nabi Muhammad SAW. telah merayakan idul fitri dan menegaskan bahwa salah satu sunnah beliau masih terjaga. Namun ketika kita melepaskan pandangan empiris kita dan menutup mata sejenak sambil merenungi hakikat idul fitri maka pertanyaan mendasar muncul dari dalam jiwa dan keluar bersama helaan nafas, “Adakah kita termasuk dari mereka yang benar-benar memanifestasikan hakikat idul fitri sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT yang disampaikan kepada kita melalui kekasihnya nabi Muhammad SAW? ataukah kita adalah umat yang secara praktis mewarisi budaya idul fitri namun nilai-nilainya sangat jauh dari sebenarnya.” Untuk itu mari kita secara bersama-sama melihat idul fitri itu sebenarnya seperti apa.

Arti Idul Fitri secara Bahasa

Idul fitri berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].

Id secara bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi mengatakan,

سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد

Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).

Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah [arab: العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).

Selanjutnya kita akan membahas arti kata fitri.

Perlu diberi garis sangat tebal dengan warna mencolok, bahwa fitri TIDAK sama dengan fitrah. Fitri dan fitrah adalah dua kata yang berbeda. Beda arti dan penggunaannya. Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir sama, banyak masyarakat indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang sama. Untuk lebih menunjukkan perbedaannnya, berikut keterangan masing-masing,

Pertama, Kata Fitrah

Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).

Ibnul Jauzi menjelaskan makna fitrah,

الخلقة التي خلق عليها البشر

“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).

Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan fitrah. Telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, namun kemudian mengalami gesekan dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut ajaran nasrani atau agama lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah keadaan suci tanpa dosa dan kesalahan.

Kedua, kata Fitri

Kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya

1. Hadis tentang anjuran untuk menyegerahkan berbuka,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون

“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم

“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).

Kata Al-Fithr pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan suci. Makna hadis ini menjadi aneh, jika kata Al-Fithr kita artikan suci.

“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berSUCI dengan terbitnya bintang”

Dan tentu saja, ini keluar dari konteks hadis.

2. Hadis tentang cara penentuan tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ

“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka.” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud 2324, dan dishahihkan Al-Albani).

Makna hadis di atas akan menjadi aneh, ketika kita artikan Al-Fithr dengan suci.

“Hari suci adalah hari dimana kalian semua bersuci”.dan semacam ini tidak ada dalam islam.

Karena itu sungguh aneh ketika fitri diartikan suci, yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa arab.

Suci Seperti Bayi?

Selanjutnya kita bahas konsekuensi dari kesalahan mengartikan idul fitri. Karena anggapan bahwa idul fitri = kembali suci, banyak orang keyakinan bahwa ketika idul fitri, semua orang yang menjalankan puasa ramadhan, semua dosanya diampuni dan menjadi suci.

Keyakinan semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal. Setidaknya ada 2 alasan untuk menunjukkan salahnya keyakinan ini,

Pertama, keyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa ramadhan, dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah, dan menjadi kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa yang meraka lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini, karena tidak ada satupun makhluk yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah ataukah tidak.

Terkait dengan penilaian amal, ada 2 hal yang perlu kita bedakan, antara keabsahan amal dan diterimanya amal.

1. Keabsahan amal.

Amal yang sah artinya tidak perlu diulangi dan telah menggugurkan kewajibannya. Manusia bisa memberikan penilaian apakah amalnya sah ataukah tidak, berdasarkan ciri lahiriah. Selama amal itu telah memenuhi syarat, wajib, dan rukunnya maka amal itu dianggap sah.

2. Diterimanya amal

Untuk yang kedua ini, manusia tidak bisa memastikannya dan tidak bisa mengetahuinya. Karena murni menjadi hak Allah. Tidak semua amal yang sah diterima oleh Allah, namun semua amal yang diterima oleh Allah, pastilah amal yang sah.

Karena itulah, terkait diterimanya amal, kita hanya bisa berharap dan berdoa. Memohon kepada Allah, agar amal yang kita lakukan diterima oleh-Nya. Seperti inilah yang dilakukan orang shaleh masa silam. Mereka tidak memastikan amalnya diterima oleh Allah, namun yang mereka lakukan adalah memohon dan berdoa kepada Allah agar amalnya diterima.

Siapakah kita??? dibandingkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Seusai memperbaiki bangunan Ka’bah, beliau tidak ujub dan memastikan amalnya diterima. Namun yang berliau lakukan adalah berdoa,

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Ya Allah, terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 127).

Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi pengikut mereka. Yang mereka lakukan adalah berdoa dan bukan memastikan.

Mu’alla bin Fadl mengatakan:

كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم

“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka ketika di bulan Ramadhan.” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu Rajab, hal.264)

Karena itu, ketika bertemu sesama kaum muslimin seusai ramadhan, mereka saling mendoakan,

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم

“Semoga Allah menerima amal kami dan kalian”

Inilah yang selayaknya kita tiru. Berdoa memohon kepada Allah agar amalnya diterima dan bukan memastikan amal kita diterima.

Kedua, sesungguhnya ramadhan hanya bisa menghapuskan dosa kecil, dan bukan dosa besar. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر

“Antara shalat 5 waktu, jumatan ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga ramadhan berikutnya, akan menjadi kaffarah dosa yang dilakukan diantara amal ibadah itu, selama dosa-dosa besar dijauhi.”(HR. Ahmad 9197 dan Muslim 233).

Kita perhatikan, ibadah besar seperti shalat lima waktu, jumatan, dan puasa ramadhan, memang bisa menjadi kaffarah dan penebus dosa yang kita lakukan sebelumnya. Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan syarat: ‘selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Adanya syarat ini menunjukkan bahwa amal ibadah yang disebutkan dalam hadis, tidak menggugurkan dosa besar dengan sendirinya. Yang bisa digugurkan hanyalah dosa kecil.

Lantas bagaimana dosa besar bisa digugurkan?

Caranya adalah dengan bertaubat secara khusus, memohon ampun kepada Allah atas dosa tersebut. Sebagaimana Allah telah tunjukkan hal ini dalam Al-Quran,

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisa: 31)‎‎

Makna Idul Fitri

Ada tiga pengertian tentang idul fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadhan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan ruhaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, maka memasuki hari lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.

Ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada fitrah atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.

Adapula yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada keadaan dimana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum di siang hari seperti biasa.

Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki idul fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3 disebutkan bahwa, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong mereka memberi makan orang miskin.” Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.

Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu, wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan shalat idul fitri. Aturan ini dimaksudkan agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan idul fitri, orang-orang miskin pun dapat merasakan hal yang sama.

Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta) untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin. Dan dapat dilihat dari ayat di atas bagaimana penekanan untuk menghindari adanya kesenjangan sosial, dimana ketika menyebutkan anak yatim dan orang miskin. Dapat dilihat bahwa anak yatim dan orang miskin tidak hanya untuk orang Islam tapi seluruh manusia yang menyandang yatim dan kemiskinan.

Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa idul fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis.‎

Apa Yang Tertinggal Setelah Idul Fitri Berlalu

Seiring hari-hari yang bergerak kian ke depan, suasana Idul Fitri semakin memudar dari kehidupan kita. Simbol-simbol lebaran dan ramadhan yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan, dikibar-kibarkan demikian kencang diberbagai media baik cetak maupun elektronik kini satu-persatu mulai raib. Tetapi adakah spirit ramadhan dan idul fitri tetap tegar menggaung di lubuk jiwa kita?. Kita bergegas, ranah-ranah kebudayaan bergegas, pasar bergegas, budaya pop kita bergegas memburu sesuatu yang lebih baru, tersedot oleh segala yang lebih segar, trendy dan top. Mungkin kita kembali kepada kesibukan kita yang dulu, problem-problem yang dulu dan juga kebiasaan-kebiasaan yang dulu, juga kriminalitas yang tetap seperti dulu.

Harus kita akui, bahwa kelemahan kita dalam masalah keberagamaan bukan sekedar tekstualisme atau skriptualisme yang sempit dan stagnan, tetapi juga momentualisme yang tidak berefek dan seremonial belaka. Selama ini ramadahan dan IdulFitri bukan menjadi berkontemplasi dengan intens dan penuh kesungguhan, tetapi kesempatan untuk berpesta simbol. Sikap seperti ini kemudian dikawinkan dengan kebiasaan yang sangat buruk. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengidap amnesia sejarah. Sebuah tragedi nasional datang hari ini, idul fitri seakan telah menjadi sesuatu yang “out of date” sehingga rasanya mungkin membosankan dan tak penting lagi. Benarkah…..?

Idul fitri secara formal memang bagian dari hukum dan ajaran agama umat Islam. Tetapi secara perenial dan estoteris ia adalah milik semua manusia. Dan saling memaafkan adalah proses menuju perdamaian dan kedamaian itu.


Memaafkan yang Tak Termaafkan

“Memaafkan (sejatinya) adalah memaafkan yang tak ter-maafkan” ujar Jacques Terrida dalam buku “On Cosmopolitanism and Forgiveness”. Bila kita memaafkan perbuatan salah orang lain yang levelnya kecil, maka itu adalah hal biasa.

Tetapi bila kita sanggup memaafkan perbuatanmanusia bahkan yang paling kejam dan tak ter-ampunkan kepada kita, maka disinilah sesungguhnya makna memaafkan yang hakiki, yang benar-benar menantang sejauh mana keluasan hati kita untuk keluar dari luka sejarah, baik pribadi ataupun kolektif. Dengan tradisi saling memaafkan, kita mungkin selesai dan clear dalam persoalan-persoalan personal, tetapi selesai jugakah kita dalam problem-problem struktural? Misalnya, konflik etnis dan konflik horizontal antar-agama di Poso. Bila dihitung dengan logika ‘untung-rugi’, rasanya sulit—apalagi seandainya kita menjadi orang yang terlibat dalam konflik-konflik itu, untuk memaafkan berbagai perbuatan kejam dan tak manusiawi yang menimpa kita. 

Tetapi, bisakah—dengan ‘kegilaan’ dan keluasan hati kita melupakan luka sejarah yang teramat pahit itu? Memaafkan adalah suatu hal yang melampaui keadilan. Keadilan dalam arti tertentu menuntut suatu pembalasan atau hukuman yang (dianggap) setimpal dengan perbuatan melanggar etika sang pelaku kejahatan. Hukuman itu biasanya dimaksudkan untuk kejeraan si pelaku. Dapat dikatakan, hukuman yang setimpal adalah syarat dari keadilan. Tetapi hukuman dari memaafkan adalah ‘hukuman yang bijak’ yang membuat si pelaku menjadi malu untuk mengulangi kejahatan serupa. Dengan memaafkan nurani pelaku—yang menghukum dirinya sendiri itu, akan berdaya telak berkali lipat. Tidakkah justru ini hakikat hukuman dan keadilan yang sesungguhnya?

Memaafkan pun membutuhkan suatu keahlian untuk ‘melupakan’, tetapi tentunya bukan ‘lupa’ dalam artian keliru. Melupakan di sini berarti melupakan semua kesalahan orang lain, dan memandang hari esok adalah hari baru yang terbebas dari jejak masa lampau yang buruk.

Tidak mungkinkah hal ini diaplikasikan pada ranah kehidupan yang lebih besar lagi? Misalnya memaafkan dalam konteks konflik politik regional, atau bahkan mungkin konflik politik global. Konflik-konflik dunia yang bekepanjangan—sehingga menjadi labirin konflik, menunjukkan bahwa manusia sangat lemah untuk memaafkan. Kelihatannya utopis, memang. Tetapi bukankah filsuf Jerman, Ernst Broch mengatakan bahwa hakikat utopia adalah “the not-yet ontology”, yakni suatu bentuk ontologi yang belum ada, tetapi ia sangat mungkin untuk ada? Mungkin proses kolosal memaafkan akan kita mulai dengan suatu awalan yang amat puitis dan terkesan amat aneh; memaafkan adalah ketika kita bangun tidur dan mendapati hidup serta dunia seakan-akan baru saja dimulai. Tak ada masa lalu, tak ada sejarah, tak ada hasrat untuk menjajah yang lain, tak ada hasrat untuk memperumit perseteruan. Percayalah, bahwa segala yang bisa diharapkan, bisa terjadi. Seberapa utopis pun itu.

Saatnya kita memilih, apakah momentum ritual keberagamaan akan kita posisikan semata sebagai momentum atau seremoni ataukah kita ingin sungguh-sungguh menjadikannya sebagai kaldera waktu dimana kita akan meraih kekuatan untuk menjadikannya sebagai spirit baru untuk meraih hari esok yang cerah yakni dunia yang damai dan merdeka dari luka sejarah.

Dengan spirit perdamaian dan etos memaafkan yang sungguh-sungguh diterapkan sebagai prinsip fundamental dalam paradigma setiap lini kebudayaan kita, perdamaian dunia niscaya bukan angan-angan lagi. Waktu kosmologis kita mungkin telah melaju meningalkan 1 Syawal. Tetapi waktu spiritual kita selalu berporos kepadanya. Hati kita ber-Idul Fitri setiap saat. Semoga.

Mari kita telaah bersama sebuah kisah dari Ali bin Abi Thalib kw,

Dalam suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib kw. Didapatinya, Ali sedang memakan roti keras. Lalu orang itu berkata : “Dalam suasana hari raya engkau memakan roti keras ? ” Ali, tokoh ilmuan di zaman Rasulullah ini menjawab,

“Hari ini adalah Id orang yang diterima puasanya, disyukuri usahanya dan diampuni dosanya. Hari ini Id bagi kami, demikian juga esok, malah setiap hari yang engkau tidak membuat durhaka kepada Allah, itu menurut pandangan kami adalah Id.”

Jadi menurut ayah dari dua cucu kesayangan Nabiullah Muhammad SAW ini, setiap hari yang dilalui dapat diisi dengan ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa maka ia merupakan hari kegembiraan, Id yang bukan Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan kata lain, kilah Allahuma Yarham Nawawi Dusky dalam tulisannya ‘Falsafah Idul Fitri’ : “Idul Fitri adalah manifestasi kesanggupan pribadi Mukmin untuk mentaati Allah dengan berpuasa siang dan beribadah malam hari.” Kemampuan demikian disambut dengan kegembiraan Id. Sehingga ada seorang ahli hikmah bertutur : “Hari demi hari mendatang merupakan lembaran hidup yang bersih, maka abdikanlah dia dengan amal karya yang indah.”

Jadi adakah idul fitri yang kita lakoni ini bukan hanya sekedar rutinitas tahunan saja dan adakah sesuatu yang membekas di jiwa setelahnya?

Adakah kita termasuk orang yang pantas merayakan Idul Fitri atau kita hanyalah orang-orang yang merasa pantas untuk itu? Dan jawabannya ada pada diri kita masing-masing.‎

Kesalahan Besar Dalam Perayaan Idul Fitri ‎
Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan ‘Perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum‘ sehingga tadinya dilarang makan di siang hari, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam, atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan kemudian. Karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan.
Ringkasnya kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang shaleh mustman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrahan dan nilai ketaqwaan.
Ketika merayakan Idul Fitri setidaknya ada tiga sikap yang harus kita punyai, yaitu:

1- Rasa penuh harap kepada Allah SWT (Raja’). Berharap akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu. Janji Allah SWT akan ampunan itu sebagai buah dari “kerja keras” sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa.
2- Melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasa yang kita lakukan telah sarat dengan makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga saja. Di siang bulan Ramadhan kita berpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak bisa ditahan dari perbuatan atau perkataan yang menyakitkan orang lain. Kita harus memahami sabda Nabi SAW yang mengatakan banyak orang yang hanya sekedar berpuasa saja: “Banyak sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekedar menahan lapar dan dahaga“.
3- Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, sebab predikat taqwa nantinya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: “Hai orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kati kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam ” (QS. Ali Imran: 102).
 Semoga bermanfaat ‎

 

Hukum Zakat Fithrah


Pengertian Dan Dasar Hukum

Zakat secara bahasa adalah bertambah atau meningkat (an-Namaa), dan juga dapat diartikan berkah (barakah), banyak kebaikan (katsir al-khair), dan mensucikan (tathhir). Sedangkan zakat secara syara’ adalah nama harta tertentu, di keluarkan dari harta yang tertentu, dengan cara-cara tertentu dan diberikan kepada golongan yang tertentu pula. Adapun makna Fitrah adalah merujuk pada keadaan manusia saat baru diciptakan atau khilqah. Allah SWT berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا 

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah Menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. (Q.S.ar-Rum/30:30).

Selanjutnya zakat fitrah juga dapat disebut zakat puasa atau zakat yang sebab diwajibkanya adalah futhur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan. Dan juga bisa di sebut zakat badan karena berfungsi untuk mensucikan diri. Dalam istilah ahli fiqih (fuqaha), zakat fitrah adalah zakat diri yang diwajibkan atas setiap individu muslim yang mampu dengan syarat-syarat yang telah di tetapkan.

Menurut Waqi’ bin Jarah, zakat fitrah bagi puasa bulan ramadhan adalah seperti sujud sahwi terhadap shalat. Pengertiannya adalah zakat fitrah dapat menambal kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menambal kekurangan shalat. Perkataan ini diperkuat dengan sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa “zakat fitrah dapat membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan keji”.

Demikian pula dengan hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa “puasa Ramadhan tergantung antara langit dan bumi dan tidak akan diangkat ke hadapan Allah kecuali dengan zakat fitrah”. Abu bakar Syata’ dalam kitabnya menjelaskan bahwa maksud dari “tidak diangkat” adalah merupakan kinayah dari sempurnanya pahala puasa di bulan Ramadhan itu tergantung dari orang yang berpuasa, apakah ia mengeluarkan zakat fitrah atau tidak. Pengertiannya bukan berarti, tanpa zakat fitrah berarti puasanya tidak diterima. 
Jadi seandainya saja seseorang yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian tidak mengeluarkan zakat fitrah, maka puasanya tetap diterima oleh Allah SWT.

Zakat mal (harta) pertama kali diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriah beserta diwajibkannya pula zakat fitrah, menurut pendapat yang masyhur kewajiban mengeluarkan zakat pertama kali dilakukan pada bulan syawal tahun kedua hijriah, sedangkan zakat fitrah pada bulan syawal, yakni 2 hari menjelang hari raya idul fitri.

Berikut ini adalah ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber hukum kewajiban menunaikan zakat fitrah, diantaranya adalah:

وَاَقِيْمُوْ االصَّلَوةَ وَاَتُوْاالزَّ كَوْةَ, وَمَـاتُقَدّ ِمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍتَجِدُوْهُ عِنْدَاللهِ, اِنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 

Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah /02:110).

Hadis Nabi berkenaan dengan kewajiban zakat fitrah :

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر، صاعا من تمر أو صاعا من شعير، على العبد والحر، والذكر والأنثى، والصغير والكبير، من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة.(متفق عليه)

Artinya: Dari Ibnu Umar, radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah saw. telah mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atas hamba sahaya ataupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau dewasa, dari orang-orang (yang mengaku) Islam. Dan beliau menyuruh menyerahkan sebelum orang-orang keluar dari shalat Hari Raya Fitri.(Muttafaqun ‘alaih).

Syarat Wajib Zakat Fitrah 

Islam, artinya orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar zakat kecuali menzakati budak dan kerabatnya yang muslim. 
Merdeka (bukan budak). 
Menemui sebagian waktu dari bulan Ramadhan serta menemui waktu terbenamnya matahari dengan sempurna di akhir bulan Ramadahan atau malam hari raya idul fitri. 
Memiliki kelebihan dari nafaqahnya sendiri dan orang-orang yang wajib dinafaqahi di malam hari raya idul fitri dan siang harinya. 
Berkaitan dengan syarat wajib yang ke 3, maka apabila ada seorang muslim yang meninggal dunia setelah matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri), maka dia tetap mempunyai kewajiban membayar zakat fitrah, bagi penanggung jawab nafaqahnya wajib mengeluarkannya. Lain halnya apabila ia meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka tidak wajib membayar zakat fitrah.

Adapun seorang bayi yang lahir sebelum matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh orang tuanya. Namun apabila ia lahir sesudah tenggelam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah. (penanggung jawab nafaqah tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah).

Demikian juga dengan laki-laki yang menikah sesudah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri) dia tidak berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah untuk istrinya. Akan tetapi kewajiban membayar zakat fitrahnya adalah menjadi kewajiban orang tuanya atau kewajiban dirinya sendiri.

Selanjutnya berkaitan dengan syarat wajib yang ke 4, maka apabila ada seseorang muslim yang tidak mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya dan siang harinya, maka gugurlah kewajibannya membayar zakat fitrah, baik zakat fitrah untuk dirinya maupun keluarga yang menjadi tanggungannya (man talzamuhu nafaqatuhu). Seseorang misalnya saja hanya mampu untuk mengeluarkan setengah sha’ saja, maka wajib mengeluarkan setegah sha’. Dan apabila ada seseorang yang hanya mempunya beberapa sha’ sementara orang menjadi tanggungan zakatnya banyak, maka agar mendahulukan zakat untuk dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang masih kecil, ayah, ibunya, anaknya yang sudah besar dan terakhir budaknya.


Jenis , Takaran dan Waktu Pengeluaran Zakat Fitrah

Seorang Muslim yang berkewajiban zakat fitrah, maka ia harus mengeluarkan 1 sha’ atau 4 mud berwujud makanan yang dijadikan kekuatan tubuh yang biasa digunakan di daerahnya (makanan pokok). Di antara hadis yang menjelaskan tentang besarnya zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نعطيها في زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من تمر، أو صاعا من شعير، أو صاعا من زبيب

Artinya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ra., ia berkata : “Kami memberikan zakat fithrah pada masa Rasulullah saw. satu sha’ dari makanan (sehari-hari) kami, atau satu sha’ dari korma, atau satu sha’ dari sya’ir, atau satu sha’ dari anggur". (HR. Bukhari).

Pengertian hadis di atas adalah bahwa yang dimaksud Rasulallah SAW, dengan banyaknya fitrah itu adalah 1 sha’ sedangkan nama sha’ menurut arti bahasa Arab adalah nama ukuran atau takaran.

Dalam madzhab Syafi’i, jenis yang dikeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok bukan uang seharga makanan tersebut, dan juga harus sejenis tidak boleh campuran. Apabila zakat fitrah wajib pada seseorang, maka dia wajib mengeluarkan 1 sha' dari makanan pokok. Apabila dalam suatu daerah atau negara terdapat makanan pokok yang lebih dari satu maka ia dapat mengeluarkan zakat fitrah dengan salah satu makanan pokok yang lebih dominan. Apabila seseorang berada di daerah yang tidak memiliki makanan pokok, maka ia hendaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan pokok daerah terdekat.

Menurut Imam Ar-Rafi’i 1 sha’ itu sama dengan (693 1/3 dirham). Maka jika dikonversi dalam satuan gram, sama dengan 2,751 gram atau setara dengan 2,75 kg. Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, 1 sha’ sama dengan (685 5/7 dirham). ‎Maka jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya sekitar 2176 gram atau setara dengan 2,176 kg atau kurang dari 2,5 kg. Secara umum masyarakat Indonesia dalam mengeluarkan zakat fitrah sebesar 2,5 kg, sebagaimana keputusan fatwa MUI pusat tahun 2003. Ini mungkin mencari pertengahan di antara berbagai pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha dalam masalah takaran ini.

Sedangkan MUI Prov Jatim tahun 2010 menyarankan umat muslim untuk mengelurkan zakat fitrah sebesar 3 kg. Pada zaman Rasulullah Muhammad SAW besarnya zakat ditentukan dengan 1 sha’ atau empat mud. Pada saat ini, setelah dialihkan dari mud menjadi kilogram maka terjadi perselisian penentuan besarnya satu mud menjadi ons. Ada ulama yang menyatakan 1 mud adalah 6 ons, sehingga dikali empat menjadi 2,4 kg. Ada juga yang menyatakan 1 mud 6,5 ons bila dikalikan empat menjadi 2,6 kg, dan ada juga yang menyatakan satu mud 7 ons bila dikalikan empat maka 2,8 kg. Dari ukuran ini terjadi perdebatan, dan ulama memberikan imbauan untuk mengeluarkan zakat 3 kg, agar keluar dari perdebatan tersebut. Apabila berzakat menggunakan ukuran 3 kg, maka apabila ada kelebihan dianggap untuk shadaqah pada kaum dhuafa. Sebab lebih baik lebih saat memberi pada yang membutuhkan daripada kurang apalagi ukurannya tidak pas.

Sedangkan waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni: 

Waktu jawaz: mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal, dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan. 

Waktu wajib: mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian Ramadhan) sampai 1 syawal (menemui sebagian syawal). 

Waktu sunnat: setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.

Waktu makruh : setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya hukumnya makruh, jika tidak ada udzur. 
Namun apabila mengakhirkannya terdapat udzur, semisal menanti kerabat dekat, tetangga, orang yang lebih utama atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh. 

Waktu haram: setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika tanpa adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’ dengan segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun jika pengakhiran tersebut karena adanya udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada di tempat, atau menunggu orang yang berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram.

Penyerahan Zakat Fitrah

Zakat di golongkan sebagai praktek ibadah yang wajib dilakukan dengan segera (‘ala al-faur), hal tersebut ditandai dengan memungkinkannya mengeluarkan zakat (tamakun) yakni dengan wujudnya harta yang dizakati dan hadirnya orang-orang yang berhak menerima zakat. Kewajiban yang ditanggung oleh seorang muslim dalam mengeluarkan zakat segera (‘ala al-faur) maka berkonsekuensi terhadap hukum keharaman untuk mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah. Penundaan atau mengakhirkan zakat setelah memungkinkan untuk diserahkan (tamakun), maka ia berdosa dan mewajibkan menggantinya (dhoman) jika terjadi kerusakan pada harta yang dizakati. Namun apabila ada udzur dalam penundaan tersebut semisal menanti kerabat, tetangga, orang yang lebih membutuhkan dan sebagainya, maka ia tidak berdosa tetapi wajib menggantinya (dhoman).

Niat dalam Menyerahkan Zakat 

Dalam menyerahkan zakat ada 2 syarat yang harus di ketahui :

1. Niat di dalam hati, lebih utama lagi disertai dengan ucapan.

Berkaitan dengan niat dalam zakat maka tanpa menyebutkan kata fardhu sudah sah, karena zakat yang di keluarkan itu sudah pasti fardhu hukumnya, berbeda dengan ibadah shalat. Namun yang paling utama adalah menyebutkan kata fardhu...

Penyerahan zakat boleh dilakukan oleh sendiri, melalui wakil atau diserahkan kepada Imam (amil). Penyerahan zakat kepada Imam (amil) itu lebih baik daripada diserahkan kepada wakil, jika Imam (amil) terjadi penyelewengan dalam pengurusan atau pengelolaan zakat, maka lebih baik diserahkan sendiri atau lewat wakil. Sedangkan penyerahan zakat yang dilakukan sendiri itu lebih baik daripada lewat wakil.

Zakat yang diserahkan melalui wakil, menurut pendapat yang ashah niat dari yang mewakilkan sudah mencukupi, namun yang lebih utama wakil pun juga niat ketika menyerahkan zakat tersebut, kecuali jika penyerahan zakat dan niatnya diwakilkan kepada wakil maka sudah cukup dengan niatnya wakil saja. Adapun zakat yang diserahkan melalui Imam (amil) maka niatnya cukup dilakukan di saat penyerahan kepada Imam (amil), sekalipun amil tidak niat saat menyerahkan zakat kepada yang berhak menerima.

An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menjelaskan bahwa praktek kewajiban ibadah yang berhubungan dengan Allah (haqqullah) itu pada hakikatnya tidak boleh diwakilkan kecuali dalam pembayaran zakat, pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan qurban. Berkaitan dengan pembayaran atau penyerahan zakat kepada yang berhak menerima, maka bagi yang berzakat (muzaki) boleh melakukannya sendiri atau di salurkan melalui wakil (Imam/amil). 

Diperbolehkannya mewakilkan zakat tersebut karena zakat merupakan ibadah yang menyerupai dengan pembayaran hutang untuk dibayarkan kepada yang berhak sebagai penunjang kebutuhannya.

Selanjutnya, berkaitan dengan kewajiban mengeluaran zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain baik itu dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungjawab nafaqah, atau wakil yang sudah mendapat izin dari yang berzakat, maka dalam niat zakatnya ada beberapa macam, berikut ini contohnya:

a) Zakat fitrah untuk diri sendiri : niat dilakukan oleh pelaku dari zakat tersebut.

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى 

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, Fardhu karena Allah Ta’ala.

b) Zakat untuk orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya: niat dilakukan oleh pelaku tanpa harus mendapatkan izin dari orang yang dizakati (tanggung jawab nafaqah) semisal seorang suami yang mengeluarkan zakat atas nama istri, anaknya dan lain-lain. Dalam hal ini pelaku zakat diperbolehkan memberikan makanan yang akan dizakati agar melakukan niat sendiri. 

- Niat zakat fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan

نوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya), Fardhu karena Allah Ta’ala.

- Niat zakat fitrah untuk istri

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, Fardhu karena Allah Ta’ala.


- Niat zakat fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang menjadi tanggung jawab nafaqahnya

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas semua yang saya diwajibkan memberi nafaqah pada mereka secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’ala.


- Niat zakat fitrah untuk orang yang ia wakili

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena Allah Ta’ala.


2. Memberikan kepada yang berhak menerima zakat (mustahiqquzzakat).

Dalam madzhab Syafi’i, zakat haruslah diberikan kepada semua orang yang berhak menerima zakat secara merata, hal itu apabila memang jumlah orang yang berhak menerima terbatas dan harta zakatnya mencukupi. Apabila tidak demikian maka diperbolehkan memberikan atau menyerahkan kepada minimal tiga orang dari setiap golongan yang berhak menerima zakat, jika dari setiap golongan tidak ada, maka diberikan kepada golongan yang ada.

Menurut Ibn Hajar, sebagaimana dikutip Abu Bakar Syatha: bahwa menurut Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik, diperbolehkan menyerahkan zakat kepada satu golongan saja. Demikian inilah yang juga telah difatwahkan oleh Imam Ibn Ujail, dan juga telah difatwahkan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah. Pendapat ini boleh diikuti, karena pada masa sekarang akan kesulitan untuk meratakan ke seluruh golongan yang berhak menerima zakat. Demikian juga dalam hal taqlid kepada mereka dalam hal diperbolehkannya memindah zakat atau naqluzzakat.

Berikut ini adalah doa yang di sunnatkan untuk di baca:

Do’a saat menerima zakat.

أجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, , وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ

Artinya: Mudah-mudahan Allah memberi pahala atas Apa yang engkau berikan, dan Menjadikannya sebagai pembersih bagimu. Dan memberikan berkah atas apa yang masih ada di tanganmu.


- Do’a sesudah memberikan zakat:

ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم

Artinya: Ya Tuhan kami, terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Hikmah Zakat Fitrah

Zakat Fitrah mempunyai banyak hikmah, di antaranya:

Pertama: Zakat Fitrah merupakan salah satu bentuk solidaritas, khususnya kepada fakir miskin yang tidak mempunyai makanan pada hari raya Idul Fitri.

Kedua: Zakat Fitrah merupakan pembersih puasa dari hal-hal yang mengotorinya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam:

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Zakat Fitri merupakan pembersih bagi yang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata keji (yang dikerjakan waktu puasa), dan bantuan makanan untuk para fakir miskin." (Hadits Hasan riwayat Abu Daud)

Waki' bin Jarrah berkata, “Manfaat zakat Fitrah untuk puasa seperti manfaat sujud sahwi untuk shalat. Kalau sujud sahwi melengkapi kekurangan dalam shalat, sedangkan zakat fitrah melengkapi kekurangan yang terjadi ketika puasa”.

Ketiga: Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur kepada Allah subhanahu wata’ala karena telah memberikan taufik-Nya sehinga bisa menyempurnakan puasa Ramadhan.

Waktu Menunaikan Zakat Fitrah

Waktu paling utama melaksanakan zakat fitrah adalah pada pagi hari sebelum shalat Ied. Karenanya, kita disunnahkan mengakhirkan shalat ied untuk memberi kesempatan kepada kaum muslimin membayarkan zakat fitrahnya kepada fakir miskin.

Adapun waktu wajibnya adalah setelah terbenam Matahari akhir bulan Ramadhan sampai sebelum dilaksanakan shalat Ied. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas bahwasanya Rasululullah shallallahu ‘laihi wassalam bersabda:

فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

"Barang siapa yang membayar zakat fitrah sebelum shalat ied, maka termasuk zakat fitrah yang diterima; dan barang siapa yang membayarnya sesudah shalat ied maka termasuk sedekah biasa (bukan lagi dianggap zakat fitrah)." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas menjelaskan bahwa barangsiapa yang membayar zakat setelah shalat ied, tidak dianggap sebagai zakat fitrah, tetapi sedekah biasa. Sedangkan pelakunya telah berdosa karena mengundur-undur pembayaran zakat fitrah  dari waktu yang telah ditentukan. Hendaknya ia bertaubat kepada Allah subhanahau wata’ala dan tidak mengulanginya lagi.

Dibolehkan juga membayar zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya pada bulan Ramadlan. Alasannya, Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu pernah membayar zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Bahkan, sebagian ulama membolehkan membayar zakat fitrah pada awal bulan Ramadhan atau di pertengahan bulan.

Membayar Zakat Fitrah dengan Uang

Mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang, tetapi yang wajib dikeluarkan adalah jenis makanan sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam .

Tetapi ada juga sebagian ulama yang membolehkan seseorang mengeluarkan zakat fitrah dengan uang karena kebutuhan fakir miskin berbeda-beda, khususnya zaman sekarang, kebanyakan orang lebih membutuhkan uang daripada makanan. 

Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ , وَقَالَ: «أَغْنُوهُمْ فِي هَذَا الْيَوْمِ»

"Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam mewajibkan zakat fitri dan bersabda, ‘Cukupkan mereka (fakir miskin) pada hari itu’." (HR. Daruqutni dan Baihaqi).

Mencukupkan fakir miskin bisa dengan memberikan uang atau sejenisnya yang dibutuhkan oleh fakir miskin dan tidak harus dengan bentuk makanan.


Konsep dasar dalam mengeluarkan zakat fitrah adalah dengan makanan pokok di setiap daerah, bukan dengan uang seharga makanan tersebut (qimah). Dalam kajian fiqh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang diwarnai perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn Mundzir bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah yang mengatakan boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga) makanan tersebut. Sementara Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur tidak memperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat. ‎Menurut Imam Abu Hanifah, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang itu lebih efektif, karena dengan uang, penerima zakat akan mendapatkan kemudahan dalam mewujudkan keinginanannya, dan yang terpenting lagi kata Imam Abu Hanifah bahwa tujuan dari yang wajib dari membayar atau mengeluarkan zakat adalah memberi kecukupan bagi para orang yang membutuhkan (ighna’ al-fuqara’).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam al-Bulqini dari kalangan ulama Syafi’iyyah dan beberapa ulama yang lain, cenderung membenarkan pendapat yang difatwahkan oleh Imam Abu Hanifah berkaitan dengan bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga makanan). Dan ternyata pendapat para ulama-ulama ini boleh diikuti atau taqlid, mengingat kapasitas mereka diakui sebagai ulama ahli tarjih dan ahli takhrij.

Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa dalam membayar zakat fitrah sebaiknya dilihat kondisi fakir miskin setempat. Jika mereka memang lebih membutuhkan makanan, seperti beras dan lain-lainnya sebagaimana yang tersebut dalam hadits, sebaiknya orang yang berzakat mengeluarkan zakatnya berupa makanan. Akan tetapi, jika mereka lebih membutuhkan uang, sebaiknya membayar zakat dengan uang, karena hal tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sesuai dengan tujuan diturunkannya syariah. 

Golongan yang Berhak Mendapatkan Zakat Fitrah

Golongan yang berhak menerima zakat ada 8 sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an.

اِنَّمَاالصَّدَقَتُ لِلْفُقَرَآءِوَالْمَسَكِيْنِ وَالْعَمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفىِ الرِقَابِ وَالْغَرِمِيْنَ وَفىِ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ 

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para mu’allaf, yang dilunakan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai ketetapan kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).

Fuqara’ (faqir) adalah orang yang tidak memiliki harta benda atau pekerjaan sama sekali atau mempunyai pekerjaan namun tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. 

Masakin (miskin) adalah orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan namun tiduk bisa mencukupi hidupnya. 

Amilin (amil) adalah orang-orang yang diangkat (dipekerjakan) oleh Imam atau pemerintah untuk menarik zakat dan menyerahkannya kepada orang yang berhak menerimanya, dan tidak mendapat bayaran dari baitul mal atau negara. Orang-orang yang termasuk amil zakat di antaranya adalah bagian pendataan zakat, penarik zakat, pembagi zakat dan yang lainnya.

Mu’allaf, golongan ini terbagi menjadi 4 macam, yakni: orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah, orang yang baru masuk Islam dan niatnya sudah kuat, di samping itu ia memiliki pengaruh di kalangan kaumnya sehingga dengan memberikan zakat kepadanya dapat diharapkan masuk islamnya orang-orang dari kaum tersebut, orang yang membela kaum (muslimin) dari kejahatan orang-orang kafir, orang yang membela kaum (muslimin) dari keburukan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. 

Riqab (budak Mukatab) adalah budak yang di janjikan meredeka oleh tuannya setelah melunasi sejumlah tebusan yang sudah disepakati bersama dan juga di bayar secara berangsur. 

Sabilillah, adalah orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim, sekalipun dia termasu korang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus mengembalikanzakat yang telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan kelebihannya setelah berperang.

Ibnu Sabil, adalah orang yang memulai bepergian dari daerah tempat zakat (baladuzzakat) atau melewati daerah tempat zakat. Disyaratkan bepergiannya bukanlah maksiat, atau tujuan tidak di benarkan dalam agama.

Gharimin, golongan ini terbagi menjadi 3 macam yakni: Orang yang memiliki tanggungan hutang untuk mendamaikan pihak yang bertikai, orang yang berhutang untuk menanggung beban hutang orang lain., orang yang berhutang untuk keperluan dirinya sendiri atau untuk keluarganya dengan tujuan digunakan pada perkara yang mubah. 
Apabila berhutang untuk tujuan maksiat maka hukumnya tafsil:

          a. Jika ditasharufkan pada maksiat dan tidak taubat, maka tidak berhak menerima zakat. 
          b. Jika ternyata ditasharufkan pada maksiat namun telah taubat dan diduga kesungguhan 
              taubatnya oleh orang yang zakat, maka berhak menerima zakat.
          c. Jika ternyata ditasharufkan pada perkara yang mubah, maka berhak menerima zakat.

Dan Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat fitrah adalah fakir miskin yang tidak mendapatkan makanan pada hari raya Idul Fitri. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam  :

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Zakat Fitri merupakan pembersih bagi yang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata keji (yang dikerjakan waktu puasa) dan bantuan makanan untuk para fakir miskin." (Hadits Hasan riwayat Abu Daud).

Golongan Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Golongan orang yang tidak berhak menerima zakat ada lima, yakni:
Orang kaya. Yaitu orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. 
Budak atau hamba sahaya selain budak mukatab. 
Keturunan dari bani Hasyim dan bani Muthalib.
 Orang kafir. 
Orang yang menjadi tanggungan nafaqahnya. Artinya tidak boleh memberikan zakat kepadanya atas nama fakir miskin. Namun apabila sebagai orang yang berperang membela agama Allah “Ghuzat” atau orang yang berhutang “Gharim” maka diperbolehkan.

Apakah boleh membayar Zakat Fitrah di awal Romadhon??

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan karena kaum muslimin tidak lagi berpuasa. Itulah mengapa zakat fitrah disebut dengan kata fithri karena ada kaitannya dengan perayaan Idul Fithri. Namun masih dibolehkan jika zakat fitrah ditunaikan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Lantas bagaimana dengan pendapat sebagian ulama yang membolehkan zakat fitrah di awal atau pertengahan bulan? Apakah seperti itu benar?

Berikut kami nukil penjelasan dari Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam kitab beliau Al Mughni. Beliau rahimahullah berkata,

Jika zakat fithri dibayarkan satu atau dua hari sebelum Idul Fithri, itu sah.
Ringkasnya, boleh saja mendahulukan pembayaran zakat fithri satu atau dua hari sebelum Idul Fithri, namun tidak diperkenankan lebih daripada itu.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كَانُوا يُعْطُونَهَا قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Mereka (para sahabat) dahulu menyerahkan zakat fithri satu atau dua hari sebelum Idul Fithri.“ (HR. Bukhari dan Abu Daud).

Sebagian ulama Hambali berpendapat boleh menyerahkan zakat fitrhi lebih segera, yaitu setelah pertengahan bulan Ramadhan. Sebagaimana boleh menyegerakan adzan Shubuh atau keluar dari Muzdalifah (saat haji, pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah, -pen) setelah pertengahan malam.

Adapun Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat boleh menunaikan zakat fithri dari awal tahun. Karena zakat fithri pun termasuk zakat, sehingga serupa dengan zakat maal (zakat harta).

Imam Syafi’i berpendapat boleh menunaikan zakat fithri sejak awal bulan Ramadhan sebab adanya zakat fithri adalah karena puasa dan perayaan Idul Fithri. Jika salah satu sebab ini ditemukan, maka sah-sah saja jika zakat fithri disegerakan sebagaimana pula zakat maal boleh ditunaikan setelah kepemilikan nishob.

Adapun menurut pendapat kami, sebagaimana diriwayatkan dari Al Juzajani, ia berkata, telah menceritakan pada kami Yazid bin Harun, ia berkata, telah mengabarkan pada kami Abu Ma’syar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memerintahkan pada hari Idul Fithri (kata Yazid) di mana beliau bersabda,

أَغْنَوْهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ

“Cukupilah mereka (fakir miskin) dari meminta-minta pada hari ini (Idul Fithri).”(HR. Ad Daruquthniy dalam sunannya dan Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro). Perintah mencukupi fakir miskin di sini bermakna wajib. Jika zakat fithri tersebut diajukan jauh-jauh hari, maka tentu maksud untuk mencukupi orang miskin pada hari raya Idul Fithri tidak terpenuhi. Karena sebab wajibnya zakat fithri karena adanya Idul Fithri. Itulah mengapa zakat fithri disandarkan pada kata fithri.

Sedangkan zakat maal dikeluarkan karena telah mencapai nishob. Maksud zakat maal juga adalah untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin setahun penuh. Jadi, zakat maal sah-sah saja dikeluarkan sepanjang tahun. Adapun zakat fithri itu berbeda karena maksudnya adalah mencukupi fakir miskin di waktu tertentu. Oleh karenanya, zakat fithri tidak boleh didahulukan dari waktunya.
Jika mendahulukan zakat fithri satu atau dua hari sebelumnya, itu masih dibolehkan. Sebagaimana ada riwayat dari Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
 
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ .
وَقَالَ فِي آخِرِهِ : وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dari bulan Ramadhan.” Disebutkan di akhir hadits, “Mereka para sahabat menunaikan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum hari raya.” Perkataan ini menunjukkan bahwa inilah waktu yang dipraktekkan oleh seluruh sahabat, sehingga hal ini bisa disebut kata sepakat mereka (baca: ijma’). Karena mendahulukan zakat fithri seperti itu tidak menghilangkan maksud penunaian zakat fithri. Karena harta zakat fithri tadi masih bisa bertahan keseluruhan atau sebagian hingga hari ‘ied. Sehingga orang miskin tidak sibuk keliling meminta-minta (untuk kebutuhan mereka) pada hari ‘ied. Itulah zakat, boleh saja didahulukan beberapa saat dari waktu wajibnya seperti zakat maal.Wallahu a’lam. [Al Mughni, 4: 300-301]
Problematika Zakat 

Zakat Fitrah Kepada Kyai, Masjid dan Sebagainya

Berikut ini penulis sajikan pembahasan tentang berbagai makna sabilillah menurut beberapa ulama yang kemudian menjadi landasan diperbolehkannya memberikan zakat kepada kyai, masjid, pondok, madrasah dan sebagainya.

Sabilillah, pada dasarnya adalah orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim, sekalipun dia termasuk orang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus mengembalikan zakat yang telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan kelebihannya setelah berperang.

Perbedaan pandangan tentang pemberian zakat fitrah kepada selain golongan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an menjadi permasalahan yang pelik, di sisi lain praktek tersebut sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat kita. Seperti dalam permasalahan mentasarufkan zakat kepada masjid, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan, guru ngaji atau kyai, yayasan sosial atau keagamaan dan yang lainnya. Hal tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ahli fiqh) dalam memaknai kata sabilillah dalam al-Qur’an (at-Taubah :30).

Imam Syihabuddin al-Qasthalani misalnya berpendapat bahwa Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah adalah para penuntut ilmu atau pelajar yang mempelajari ilmu syara', orang-orang yang mencari kebenaran, orang yang menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan orang yang membela agama yang lurus.

Imam Kasani memaknai sabililah dengan semua jalan ibadah, termasuk pula orang-orang yang berjuang dalam ketaatan kepada Allah, dan menegakkan kebaikan dengan catatan apabila memang membutuhkan pembagian zakat, karena makna sabilillah mencakup semua sektor kebaikan. Sebagian ulama Hanafiyah juga ada yang memaknai sabilillah adalah orang-orang yang mencari ilmu walaupun kaya. Imam al-Qaffal menukil dari sebagian ahli fiqih, bahwa mereka memperbolehkan mentasarufkan zakat kepada segala sektor kebaikan (wujuh al-Khair) seperti mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan sebagainya, karena kata-kata sabilillah dalam Al-Qur'an (at-Taubah:60) itu mencakup umum (semuanya).
Hanya Allah yang memberi taufiq dan hidayah.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...