Selasa, 17 November 2020

Kisah Imam Al Badawi dan Sholawat Badawy Kubro


Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Ali Bin Yahya Al-Badawi lahir di Kota Fes, Maroko pada tahun 596 H./1199 M adalah seorang imam sufi, wali kutub dan pendiri thariqah Al-Badawiyah. 
Beliau dijuluki Al-Badawi selalu menutup wajahnya seperti kebiasaan Arab Badui. 
Kakek beliau sebelumnya bermukim di Jazirah Arab. Kakek beliau datang di Fes Maroko akibat semakin brutalnya aksi Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi terhadap kalangan Alawiyin

Nasab Al-Badawi dari jalur ayah sampai kepada sayyidina Husein bin Ali, bin Fathimah Az-Az-Zahra' binti Rasulillah shallallahu 'alaihi wa sallam. Berdasarkan kesepakatan ulama nasab, dan ahli sejarah, secara lengkap nasab 
Beliau adalah Ahmad bin Ali bin Yahya bin Isa bin Abu Bakar bin Ismail bin Umar bin Ali bin Utsman bin Husein bin Muhammad bin Musa bin Yahya bin Isa bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Ja'far Az-Zaky bin Ali Al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad bin Ali Ridlo bin Musa al-Kadhim bin Ja'far As-Shadiq bin Muhammad al-baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rosululloh SAW.

Beliau hijrah ke Mekah saat berumur 7 tahun (Tahun 603 H./1206 M), dimana perjalanan kesana memakan waktu empat tahun, tiga tahun diantaranya beliau bermukim di Mesir. 
Sewaktu Di Mekah berdasarkan sumber-sumber dari kalangan shufiyah, beliau selalu beristiqomah melakukan thowaf semenjak kecil, setelah itu beliau masuk ke sebuah gua di gunung Abil Qubais untuk melakukan Ibadah. Amalan ini beliau lakukan hingga belaiu berumur 38 tahun saat beliua melakukan safar ke Irak, bersama kakak kandungnya, Sayid Hasan. 

Di Irak beliau menziarahi berbagai kota tempat bermukim atau bersemayamnya para ulama, diantaranya ke Kota Syaikh Ahmad bin Ali Ar-Rifa'i, pusat thariqah Rifa'iyah. Juga ke makam Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, kemudian ke makam Syaikh Adiy bin Musafir Al-Hikari mu'assis thariqah Al-Adawiyah. 

Ketika al-Badawi berada di sebuah desa dekat Mosul, terjadi perselisihan antara dirinya dengan seorang wanita bernama Fatimah. Wanita ini cantik dan kaya. Tetapi ia senang membuat lelaki jatuh cinta kepadanya. Demikian pula ia lakukan hal itu kepada Al-Badawi, tetapi ia tidak mampu, hingga ia merayu al-Badawi untuk menganinya. Diakhir cerita si wanita bertaubat di tangan al-Badawi.

Sekembali dari Irak pada tahun 635 H, Al-badawi mempunyai kebiasaan yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Beliau semakin banyak melakukan shalat dan puasa, banyak berdiam diri dan sering menengadahkan wajah ke langit. 
Fatimah saudara perempuan beliau mengadukan kepada kakaknya Hasan: "Wahai saudaraku! Sesungguhnya saudara kita Ahmad selalu qiyamullail sepanjang malam. Selalu mamandang langit dan siang hari ia berpuasa, hingga bulatan hitam matanya menjadi mereka bagaikan bara. Dia pernah selama 40 hari tidak makan dan tidak minum". Tapi Sayid Hasan Hanya tersenyum mendengar pengaduan adiknya itu.

Hijrah ke Mesir

Badawi masuk Mesir Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika ber-khalwat selama empat puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. "Berdirilah !" begitu suara itu terus menggema, Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari. Kemudian...beranjaklah ke Thantha, suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda".

Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang yang terkenal yaitu Syekh Abdul Kadir al-Jailani dan ar-Rifa'i. "Wahai Ahmad " begitu kedua orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. " Kunci-kunci rahasia wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka ". Tanpa disangka-sangka al-Badawi menjawab, "Saya tidak akan mengambil kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka. Perjalanan selanjutnya adalah Mesir negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada tahun 34 H. Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung dan memuliakan sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan gaib, Thantha, satu kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna`I, Syaikh Salim al- Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya, menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya

Badawi yang alim Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang yang pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakit. Tapi rupanya keberuntungan dan kebijakan berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap masalah bahkan menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada orang lain, tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya. Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian tangan-tangan Yang Maha Asih. Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap yang mulia ini ia tenggelam dalam zikir dan belaian Allah SWT.

Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah al-badawi. Matbuli dalam hal ini memberi kesaksian, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, " Setelah Muhammad bin Idris as-Syafiiy tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh daripada Ahmad Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi kemudian al-Manufi.

Suatu ketika Ibnu Daqiq al-'Id mengutus Abdul Aziz al- Darini untuk menguji Ahmad Badawi dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, "Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab "Syajaratul Ma'arif" karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam.
 
Karomah Ahmad Badawi Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tidak ada salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya wali yang satu ini.

Al-kisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta pendapat pada Syaikh al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. "Pergilah, dan tawakkallah kepada Allah SWT"tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syekh Badawi. Syaikh Sya'roni berkomentar, "Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya sendiri ".
 
Tersebut Syaikh Badawi suatu hari berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk dalam berdagang. "Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin". Demikian nasehat Syekh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.

Syekh Badawi wafat Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan dalam puluhan tahun berikutnya. Syekh Badawi, pecinta ilahi yang belum pernah menikah ini beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah dia meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul 'Al sampai dia meninggal pada tahun 773 H.

Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan kehadiran, petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Badawi. Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid syekh Badawi ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali sampai sekarang.
Sebenarnya terdapat banyak pendapat ulama tentang alasan Al-Badawi hijrah ke Mesir, dan menetap di Thantha. Dikatakan bahwa beliau mempunyai pemikiran bahwa secara geografis Thantha berada di tengah diantara Kairo dan Iskandariyah, yakni berada tepat di tengah Delta sungai Nil. Dengan letak yang seperti ini, diharapkan penyebaran Thoriqoh yang beliau bangun dapat cepat menyebar, ketika beliau menetap di sana.

Di Thanta beliau menetap di rumah seorang saudagar bernama Ibnu Syuhaith atau Ruknuddin. Beliau menetap di loteng rumah yang berdekatan dengan masjid Al-Bahiy ini hingga selama 12 tahun dan seluruhnya dihabiskan dengan tidak makan dan minum setiap 40 hari. 

Dalam kitab-kitab tashawuf, disebutkan karama-karamah yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Al-Badawi. Diantaranya yang paling masyhur adalah beliau mampu membebaskan para tawanan Mesir dari tangan tentara Eropa saat terjadi perang Salib. Atas kejadian ini dalam catatan sejarah Mesir terkenal sebuah ucapan, yaitu "Allah, Allah, Ya Badawi, Jabil Yusra", yang berarti Al-Badawi telah datang membawa tawanan.

Saat ini di Thantha, setiap tahun ada dua peringatan untuk mengenang beliau, yaitu di bulan April dan bulan Oktober. Peringatan di bulan Oktober ini adalah peringatan kelahiran beliau, yang merupakan peringatan terbesar di Mesir secara umum. Pada saat iru sekitar dua juta peziarah memenuhi masjid beliau yang berada di tengah di kota Thantha. 

Peninggalan beliau diantaranya adalah Sholawat Syajaroh (Badawi kubro) yang masyhur dikalangan ahlulbait dan ahlul kasf

Shalawat Al-Badawiyah kubro

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ شَجَرَةِ الأَصْلِ النُّورَانِيَّةِ . وَلَمْعَةِ الْقَبْضَةِ الرَّحْمَانِيَّةِ . وَأَفْضَلِ الْخَلِيْقَةِ اْلإِنْسَانِيَّةِ . وَأَشْرَفِ الصُّوْرَةِ الْجِسْمَانِيَّةِ . وَمَعْدِنِ اْلأَسْرَارِ الرَّبَّانِيَّةِ . وَخَزَائِنِ الْعُلُوْمِ الْإِصْطِفَائِيَّةِ . صَاحِبِ الْقَبْضَةِ الأَصْلِيَّةِ . وَالْبَهْجَةِ السَّنِيَّةِ وَالرُّتْبَةِ الْعَلِيَّةِ . مَنِ انْدَرَجِتِ النَّبِيُّوْنَ تَحْتَ لِوَائِهِ فَهُمْ مِنْهُ وَإِلَيْهِ . وَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلِيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ . عَدَدَ مَا خَلَقْتَ وَرَزَقْتَ وَأَمَتَّ وَأَحْيَيْتَ إِلَى يَوْمِ تَبْعَثُ مَنْ أَفْنَيْتَ وَسَلِّمْ تَسْلِيماً كَثِيراً وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .

Shalawat ini disusun oleh Syaikh Ahmad al-Badawi ini, terkenal dengan shalawat al-Badawiyah al-Kubra. Diriwayatkan oleh Hasan ibn Muhammad Qahhi di dalam kitab Talkhiis al-Ma`aarif fii targhiib Muhammad `Aarif bahwa seorang wali yang bernama Muhammad Talmaysani telah membaca Dalail al-Khairat 100.000 kali. Setelah selesai Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatanginya di dalam mimpi dan berkata kepadanya, “Jika engkau membaca bacaan Ahmad al-Badawi, seolah-olah engkau telah membaca Dalail al-Khayrat 800.000 kali.”

Sebagian ulama berkata : "Barang siapa membaca Sholawat Badawi Kubro ini sebanyak seratus kali disertai suci dari hadas, ia akan diberi rizki yang mudah oleh Allah dalam segala urusan perkaranya" 
Menurut Al Arif Billah Habib Ali bin Abdurahman Al Habsy dalam kitabnya : "Keutamaan Sholawat", bahwa sebagian ulama mengatakan: "Barang siapa yang membaca Sholawat Badawy Kubro sebanyak 3x maka pahalanya seperti orang membaca Dalail al-Khoirot hingga khatam"

Dan tata cara yang lainnya adalah: membacanya 5 kali seusai shalat fardlu dan 7 kali setiap mau tidur. Fadilahnya, ia akan terhindar ari sihir dan segala kejahatan lahir batin, dimudahkannya rizki, dan mendapat cahaya batin serta terbuka beberapa rahasia ghoib.

Shalawat lain yang dinisbatkan kepada beliau adalah shalawat Nurul Anwar:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نُورِ الأَنْوَارِ. وَسِرِّ الأَسِرَارِ. وَتِرْيَاقِ الأَغْيَارِ. وَمِفْتَاحِ بَابِ الْنَسَارِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُخْتَارِ. وَآلِهِ الأَطْهَارِ. وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ. عَدَد نِعَمِ الله وَأِفْضَالِهِ.

Shalawat ini mujarab untuk mendapatkan hajat dan keinginan, tesingkapnya kesusahan, terhindar dari kesulitan dan juga dihasilkannya cahaya dan rahasia-rahasia ghaib. Menurut guru saya sholawat ini juga memberikan manfaat berupa diberikannya putra-putri yang sholeh dan sholehah, berguna bagi umat. Banyak Pesantren yang dinamakan Al Anwar dan sejenisnya itu karena tafa'ulan terhadap sholawat ini, dan karena pendahalu pendiri istiqamah dalam membaca shalawat Nurul Anwar ini.

Sayyidi Syaikh Ahmad Al-Badawi wafat di Thanta pada hari selasa 12 Rabiul Awal 675 H / 24 Agustus 1276 M, saat berusia 79 tahun. Dari tangannya muncul banyak wali-wali abdal dan kutub. Allahumansyur nafahatirridlwani alaih, wa amiddana bil asrarillati auda'taha ladaih. Amiin.

 

Syaikh Achmad Arrifa'i


Syaikh  Achmad Al-Rifa'i, tokoh sufi di mana Thoriqoh Rifa'iyyah dinisbatkan, Beliau yang lahir dengan nama Achmad bin Sholih, diketahui memiliki sejumlah nama seperti Achmad   bin Abi'l Hasan Al-Rifa'i,Abul Abbas Achmad bin Ali Arrifa'i.Syaikh Achmad kabir Rifa'i, 

Nama lengkapnya Sayid Abul Abbas Achmad bin Yahya bin Huzain bin Rifa'ah. Beliau diahirkan pada bulan Muharram tahun 500 Hijriah/ September 1106 Masehi tetapi ada juga yang menyatakan kelahirannya pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118 Masehi. 

Sebagian sumber menyebut Syaikh Achmad Rifa'i lahir di Marokko, tetapi sumber yang kuat menyatakan ia lahir di Qaryah Hassan, dekat Basrah di Irak. Menurut satu cerita, nama Rifa'i berkaitan dengan nama Suku Rifa'i yang tinggal di Makkah sejak tahun 217 H tetapi pindah ke Sevilla di Spanyol. 

Pada masa kakek Syaikh Achmad Rifa'i pada tahun 450 H, datanglah keluarga Rifa'i ke Basrah.Oleh karena datang dari barat, maka kakek Syaikh Achmad Rifa'i memakai nama Al-Maghribi. Sebagian meriwayatkan, ayah dari Syaikh Ahmad Rifa'i yang pindah dari Maghrib ke Irak, tinggal di kota  Ummu ‘Ubaidah di Batha'ih.

Menurut riwayat, ketika berusia 7 tahun ayahanda Syaikh Ahmad Rifa'i  wafat di Baghdad. Ia kemudian diasuh oleh pamannya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, yang tinggal di Basrah. Asy-Sya'rani dalam kitab Lawaqihul Anwar menuturkan bahwa Syaikh Mansyur Al-Batha'ih adalah seorang syaikh thariqah. 

Dalam sejarah hidup Syaikh Achmad,  ia pertama kali belajar Ilmu Fiqih Mazhab Syafi'i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih dari Syaikh Abul Fadl Al-Wasithi, akan tetapi belakangan ia  lebih cenderung kepada ilmu tasawuf. Kecenderungan kepada tasawuf itu kemungkinan disebabkan oleh lingkungan keluarganya yang menganut gerakan sufisme dan bahkan paman yang mengasuhnya adalah guru besar (syaikh)  Thoriqoh. Bahkan di bawah bimbingan sang paman, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, Syaikh Achmad Rifa'i memasuki dunia tasawuf secara mendalam sampai ia menggantikan kedudukan sang paman sebagai syaikh.

Syaikh Sholah ‘Azham, penulis masalah-masalah tasawuf asal Mesir, menuturkan kisah pemilihan syaikh yang patut menggantikan kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih yang sudah tua dan sakit-sakitan. Syaikh Mansyur Al-Batha'ih ingin memilih khalifah penggantinya.  Para murid dan pengikut yang berjumlah ribuan memohon kepada Syaikh Mansyur Al-Batha'ih agar secepatnya memilih putera Syaikh Mansyur Al-Batha'ih sendiri yang bernama Achmad untuk menggantikan kedudukan syaikh. 

Namun Syaikh Mansyur Al-Batha'ih malah memilih Achmad bin Sholih, keponakannya yang sejak kecil telah diasuhnya. Para murid dan pengikut sangat kecewa dengan pilihan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Mereka diam-diam menghadap isteri Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, memohon agar bersedia membujuk suaminya untuk membatalkan pilihannya pada Achmad bin Shalih dan memilih Achmad bin Mansyur sebagai pengganti.

Faham dengan keinginan murid-murid dan pengikutnya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih berencana mengadakan sayembara model sufi. Satu hari dipanggilnya sepuluh orang murid senior, termasuk puteranya, Ahmad bin Mansyur, dan keponakannya, Achmad bin Sholih. Masing-masing mereka diberi seekor burung merpati dan sebilah pisau disertai perintah untuk berlomba menyembelih burung tersebut, dengan syarat dilakukan di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Lalu para peserta sayembara itu berhamburan ke berbagai arah untuk menjalankan tugas masing-masing.

Dalam waktu tidak lama, berdatanganlah para murid senior membawa burung-burung merpati yang telah tersembelih. Setelah itu, puteranya, Achmad bin Mansyur datang pula dengan burung merpati yang telah tersembelih. Hanya Achmad bin Sholih yang datang paling akhir dengan burung merpati masih hidup dan belum disembelih .

Di hadapan murid-murid senior dan puteranya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih bertanya kepada Achmad bin Sholih,"Wahai Achmad, kenapa engkau datang terlambat? Dan kenapa pula burungmu belum  kau sembelih?"

Dengan takzim Achmad bin Sholih menjawab,"Maafkanlah saya paman, saya tidak dapat melaksanakan perintahmu. Sebab saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tempat seperti yang paman maksudkan. Saya tidak menemukan tempat yang bebas dari pengawasan. Setiap tempat yang saya datangi senantiasa saya rasakan Allah selalu hadir dan mengawasinya."

Mendengar jawaban Achmad bin Sholih, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih dan para murid serta puteranya terpukau. Sebab yang disampaikan Achmad bin Sholih itu menunjukkan betapa tinggi tingkat muraqabah Achmad bin Sholih. Untuk itu, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih menetapkan pilihan dengan berkata,"Turiiduna li mahbubikum, wa Allahu yuuridu li mahbubih" (kalian menghendaki orang yang kalian sukai, tetapi Allah lebih menghendaki orang yang Dia sukai). 

Demikianlah, Achmad bin Sholih Al-Rifa'i terpilih secara mutlak sebagai pengganti Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Sekali pun mengganti kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, namun ajaran yang dikembangkan Syaikh Achmad Rifa'i tidak sama persis dengan yang diajarkan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, karena Syaikh Achmad Rifa'i juga memperoleh ijazah dari guru sufi yang lain, yaitu Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi.

Ketika  Syaikh Achmad Rifa'i bertemu dengan seorang wali bernama Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi, ia diberinya pelajaran berupa sindiran: "Orang yang berpaling dia tiada sampai. Orang yang ragu-ragu tidak mendapat kemenangan. Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang, maka semua waktunya telah kurang." Sindiran itu sangat berkesan bagi  Syaikh Achmad Al Rifa'i. Setahun lamanya Syaikh Achmad Rifa'i mengulang-ulang perkataan ini.

Setelah setahun Al-Rifa'i datang kembali menemui Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi dan meminta wasiat lagi. Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi kemudian berkata, "Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal. Sangatlah keji penyakit pada sisi semua dokter. Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wushul."  Syaikh  Achmad Al-Rifa'i kembali mengulang-ulang perkataan itu selama setahun dan ia  banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan.

Syaikh Achmad Rifa'i dikenal sebagai rujukan  ilmu thariqah di jamannya, karena ia dianggap memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan sebagai wali qutub yang agung dan masyhur sesudah jaman  Syaikh Abdul Qadir  Al-Jailany. Ke mana pun ia pergi, para pengikutnya selalu mengikutinya. Itu sebanya, para pengikutnya dikenal dengan sebutan "Al-Thoifah Al-Rifa'iyah".

Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i

Ajaran tasawuf Syaikh Achmad Rifa'i banyak diriwayatkan oleh ‘Abdul Wahhab Al-Sya'rani dalam kitab At-Thabaqat al-Kubra. Ajaran zuhud, misal, menurut Syaikh Achmad Rifa'i adalah landasan keadaan yang diridlai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Langkah pertama salik menuju Allah adalah mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah.  Siapa yang belum menguasai landasan kezuhudan, maka langkah-langkah selanjutnya akan sulit menemukan yang benar. Sedang ma'rifat, menurut Syaikh Achmad Rifa'i, adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yaqin sehingga tersingkaplah hakikat realitas-realitas yang benar-benar meyakinkan. Dalam riwayat lain, dikisahkan Syaikh Achmad Rifa'i berkata,"Cinta mengantar pada rindu dendam, sementara ma'rifat mengantar pada kefanaan - ketiadaan diri.

Ajaran Syaikh Achmad Rifa'i tidak lepas dari rebana sebagai pengiring dzikir dan shalawat. Menurut riwayat, suatu saat Syaikh Achmad Rifa'i berdzikir dalam keadaan fanaa. Tubuhnya terangkat ke atas dan dalam keadaan tidak sadar ia menepuk-nepuk dadanya. Allah memerintahkan kepada malaikat untuk memberinya rebana di dadanya. Tetapi Syaikh Achmad Rifa'i tidak ingat apa-apa akibat terlalu khusyuknya. Sejak saat itu, rebana menjadi bagian dari ajaran Thoriqoh  Ar-Rifa'iyyah.

Untuk menuju kepada Tuhan, Al-Rifa'i mengajarkan dzikir yang diformulasi dengan irama dan intonasi suara yang lantang dengan tujuan supaya yang tidur bangun dan yang alpa menjadi ingat. Oleh karena cara berdzikir yang berirama itu, dunia Barat menyebut dzikir Tarikat Rifa'iyyah dengan sebutan Darwis Menangis, terutama karena suara-suara ganjil yang dihasilkan pada dzikir berjama'ah Thoriqoh Rifa'iyyah. Ada pula yang menyebut dzikir Rifa'iyyah dengan sebutan Dzikir Arra, yaitu "dzikir menggergaji" terutama yang dijalankan Tarikat Rifa'iyyah di Asia Tengah dan Turki. Sebagian penganut Tarikat Rifa'iyyah menyatakan tidak tahu pasti apakah Dzikir dengan suara lantang itu diajarkan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i sendiri atau ada pengaruh dari Tarikat Yasawiyyah yang dibangsakan kepada Syaikh Achmad Yasawi, di mana Syaikh Achmad Yasawi dikenal sebagai pelopor dzikir lantang karena ia seorang sastrawan sufi.

Dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra  diterangkan, pada saat mengajar Syaikh Achmad Rifa'i suaranya terdengar oleh orang-orang yang tinggal jauh dari tempatnya  seolah semua bisa mendengar apa yang disampaikan  sama seperti orang yang dekat dengan tempatnya mengajar. Saat Syaikh Achmad Rifa'i mengajar,  penduduk di sekitar  Ummi Abidah beramai-ramai keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Achmad Rifa'i. Konon,  orang yang  tuli pun  jika hadir mengaji, akan dibukakan pendengarannya oleh Allah sehingga bisa mendengar apa yang disampaikan  Syaikh Achmad Rifa'i. Para guru tarikat  banyak yang hadir untuk mendengarkan wejangan   Syaikh Achmad Al-Rifa'i. Mereka biasanya menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah Syaikh Achmad Al-Rifa ‘i selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil menempelkan sajadah ke dada mereka  masing-masing. Setelah sampai di rumah,  mereka dengan lancar  bisa menjelaskan semua yang telah mereka dengar  kepada para muridnya.

Dari berbagai ajaran Al-Rifa'i yang paling menonjol dan terkenal adalah Dabus, suatu didikan yang luar biasa ganjil.Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam (1975) menganggap Thoriqoh  Rifa'iyyah sebagai tarikat ganjil karena melatih murid-muridnya untuk tahan api, melukai diri sendiri dengan benda-benda tajam, berjalan di atas pecahan kaca, mematukkan diri dengan ular berbisa, memakan kaca, ditusuk benda-benda runcing (dabus), dengan anggapan murid-murid yang mencapai tahap fana tidak lagi memiliki rasa sakit karena sangat dzikir kepada Allah.

Asy-Sya'rani mengomentari kedudukan Al-Rifa'i dalam kedudukan tasawuf  dengan ungkapan,"Dia adalah seorang tokoh dalam tasawuf, mengenal berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak menuingkap masalah-masalah posisi mereka. Setiap kali ia keluar, ia selalu diikuti orang banyak. Dia memiliki murid."

Keanehan dalam berbagai hal, tidak hanya dimiliki Al-Rifa'i, banyak hal aneh yang juga sering terjadi pada diri murid Syaikh Achmad Rifa'i seperti mampu  masuk ke dalam api yang sedang menyala, menjinakkan binatang buas seperti harimau, membuat hewan buas patuh dan menuruti apa yang mereka katakana, sehingga singa pun  dapat dijadikan kendaraan oleh mereka. Di Mesir banyak cerita tentang bagaimana murid-murid Thoriqoh  Rifa'iyyah menolong orang-orang yang dipatuk ular cobra.  Pendek kata, berbagai keajaiban ditunjukkan oleh murid-murid Thoriqoh Rifa'iyyah.

Keteladanan Hidup Syaikh Achmad Rifa'i

Salah satu dari sekian banyak  budi pekerti yang diteladankan  Syaikh Achmad Rifa'i  adalah  seringnya ia mengunjungi tempat orang-orang berpenyakit kusta. Ia tidak sekedar mengunjungi, tetapi  mencuci bersih pakaian orang-orang berpenyakit kusta yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum itu. Dipeliharanya orang-orang yang sedang sakit itu dengan mengantarkan makanan untuk mereka dan ia  juga turut makan bersama-sama mereka  tanpa merasa jijik.

Ketika Syaikh Achmad Al Rifa'i datang dari perjalanan dan  telah dekat dengan kampungnya,  maka dipungutnya kayu bakar. Setelah  itu dibagi-bagikannya kayu bakar itu  kepada orang-orang sakit, orang buta, orang-orang tua dan orang  yang membutuhkannya. Syaikh Achmad Rifa'i berkata, "Mendatangi orang-orang yang semacam itu adalah  wajib bagi kita dan bukan sekedar sunnah. Nabi Saw bersabda : "Barang siapa yang memuliakan orang tua muslim, maka Allah akan meluluhkan orang untuk memuliakannya jika ia sudah tua".

Setiap berada dijalan, Syaikh Achmad Rifa'i selalu menunggu  lewatnya orang buta, di mana saat  ada orang buta lewat  lalu dipegang dan dituntun serta diantar  sampai ke tujuan. Syaikh Achmad Rifa'i memiliki kasih sayang bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Dikisahkan satu saat  ada seekor anjing menderita penyakit kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia selalu  diusir orang. Anjing itu kemudian dipelihara oleh Syaikh  Achmad Al-Rifa'i. Anjing itu dimandikan dengan air panas, lalu diberi obat dan makanan, sampai anjing itu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya tentang apa yang telah  diperbuatnya  Syaikh Achmad Rifa'i selalu berkata , "Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik."

Syaikh Achmad Rifa'i kalau kebetulan dihinggapi nyamuk akan  membiarkannya. Ia tidak mengijinkan orang lain untuk  mengusirnya. Syaikh Achmad Rifa'i berkata, "Biarkanlah dia meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya."

Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Achmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia  tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat,  lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.

Jika ada orang minta dituliskan wafak  (jimat) kepadanya, maka Syaikh Achmad Rifa'i akan mengambil kertas lalu ditulis tanpa pena. Anehnya, sewaktu ada orang memberikan kertas yang pernah ditulisnya tanpa pena setahun sebelumnya, ia menolak untuk menulis ulang di atas kertas itu sambil menjelaskan bahwa kertas itu sudah pernah ditulisinya.

Budi pekerti mulia  lain yang ditunjukkan Syaikh Achmad Rifa'i ialah ia  tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila ia dimaki  orang, ia hanya  menundukkan kepala dan bersujud  mencium bumi dan menangis serta meminta maaf  kepada orang yang memakinya.  Syaikh Achmad Rifa'i pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrahim al-Basity yang isi suratnya merendahkan martabatnya. Syaikh Achmad Rifa'i berkata kepada orang yang menyampaikan surat itu, "Coba bacalah surat itu!"

Ternyata isi surat itu  adalah  "Hai orang yang buta sebelah, hai Dajjal, hai orang yang membikin bid'ah,  dan berbagai macam caci-maki yang menyakitkan hati."  Setelah  pembawa surat itu selesai membaca surat,  maka surat itu diterimakan kepada Syaikh Achmad Rifa'i, dan setelah membaca Syaikh Achmad Rifa'i berkata : "Ini semua benar, semoga Allah membalas kebaikan kepadanya." Lalu  Syaikh Achmad Rifa'i  berkata dengan bersyair, "Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku yang penting menurut Allah, aku bukanlah orang yang meragukan." Sebentar kemudian  Syaikh Achmad Rifa'i berkata : "Tulislah sekarang jawaban balasanku yang berbunyi "Dari orang rendah kepada Tuanku Syaikh Ibrahim. Mengenai tulisan Tuan seperti yang tertera dalam surat, memang Allah telah menjadikan aku menurut apa yang dikehendaki-Nya dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah kepadaku dengan mendo'akan dan memaafkanku.

Setelah surat balasan ini sampai pada Syaikh Ibrahim al-Basity dan dibaca isinya, kemudian Syaikh Ibrahim pergi. Menurut cerita,   tidak ada seorang pun yang tahu ke mana syaikh itu pergi.

Kisah menggemparkan yang pernah dialami Syaikh Achmad Rifa'i adalah sewaktu ia melakukan ibadah Haji dan  ketika berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu terlihat  tangan menjulur dari dalam kubur Nabi Saw bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi Saw tersebut. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang  yang  berziarah ke Makam Nabi Saw tersebut. Semua orang takjub dan terheran-heran dengan peristiwa aneh itu.

Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Achmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!". Syaikh Achmad Rifa'i  menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Qutubiyah".  Lalu  murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!".  Syaikh Achmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah".

Menurut Al-Imam Asy-Sya'rani, jawaban-jawaban Syaikh Achmad Rifa'i atas simpulan muridnya adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad Al-Rifa'i  sejatinya telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar",   karena ketinggian derajatnya , kualitas maqam-nya, dan dekatnya dengan Allah sehingga tidak diketahuinya maqam, meski terdapat beberapa maqam.

Tentang waktu wafatnya Syaikh Achmad Rifa'i tidak terdapat keseragaman. Sebagian menyatakan Syaikh Achmad Rifa'i  wafat tahun 578 H di al-Batha'ih, yang lain menyatakan  Syaikh Achmad Rifa'i wafat di Umm Ubaidah pada 22 Jumadilawwal 578 H atau 23 September 1183 M. Namun ada pula yang menyatakan  Syaikh Achmad Rifa'i wafat  pada hari Kamis, waktu Dhuhur, tanggal 12 Rabbiul awwal 570 H dengan mengucapkan dua kalimah Syahadat. 

Di Indonesia Thoriqoh Rifa'iyah dimasa lalu berkembang di Kesultanan Aceh dan Ternate serta  Banten. Dan sebagai sarana perjuangan melawan penjajah. Dan di daerah tersebut sampai sekarang pun masih ada sisa2 perjuangan dimasa lalu dan jadi kesenian Beladiri serta tarian.
Di aceh ada istilah Rapai dabbah.. di Banten debus... di Ternate dgn bambu gila
Itu semua sebenarnya salahsatu kekuatan mistik dari Rifa'iyah.

 

Kisah Sufi Ibnu Arobi


Bagi pendosa yang jahat, aku mungkin terlihat jahat. 
Tetapi bagi yang baik — betapa luhurnya aku.


Beliau adalah al imam Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al Aroby Al-Hatimiy Al-Tha’i Al Andalusy.

Yang mendapat sebutan gelar Muhyiddin ibn ’Arabi (”Putra Arab Sang Penghidup Agama,” selanjutnya, dalam terjemahan ini, lbn Arabi).

Beliau (semoga Allah meridhainya) dilahirkan pada hari Senin, malam 17 Ramadhan, tahun 520H di Marsiyyah, (murcia)Andalusia.(Spanyol)  Pada usia 8 tahun beliau pindah ke Seville (sekarang wilayah Spanyol) bersama dengan orang tuanya, seraya belajar hadis dan fiqih kapada para guru di negerinya.

Pengembaraannya di kota-kota Andalusia dan negeri Maghrib mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk karakter tasawuf beliau kelak, ketika beliau menjadi syaikh dari para syaikh (syaikh al-masyayikh/ guru para guru) dan pemuka para imam lslam. Syaikh Ibn Arabi sangat mendalami jalan sufi dan tak saorang pun yang blsa menandinginya sehingga beliau pantas menjadi teladan yang mencerminkan akhlak-etika perkataan dan perbuatan para sufi.


Pada tahun 598H, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan lbadah haji dan tinggal di Hijaz selama 2 tahun. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke Bagdad dan Mosul, lalu pindah ke kota Al-Khalil (Hebron, Palestina sekarang) dan tinggal di sana selama 1 tahun. Berikutnya beliau pindah ke Kairo dan tinggal di sana selama 3 tahun. Pada tahun 606 H beliau pergi ke Halb dan m0ndar-mandir antara Maghrib dan Masyriq selama 4 tahun. Beliau kembali ke Halb pada tahun 61o H dan tinggal di sana selama setahun penuh, kemudian kembali ke Makkah pada tahun 611 H.

Pada tahun 612 H beliau pergi ke Quniah dan Siwas, lalu kemball ke Halb tahun 617 H dan tinggal di sini selama 3 tahun. Setelah itu beliau kembali ke Damaskus pada tahun 620H dan tinggal di sana sampai tahun 628H. Beliau kembali lagi ke Halb, tinggal di sana selama setahun penuh lalu kembali lagi ke Damaskus pada tahun 629H dan tinggal di sana hingga wafatnya pada tahun 632H, pada usia 87 tahun.

Di kalangan ahli hakikat dan para wali beliau dikenal sebagai salah seorang wali Allah dan memperoleh banyak gelar, seperti khatam al- auliya’ (sang penutup para wali), barzakh al-barazikh (sang pemisah para pamisah), al-kibrit al-ahmar (sang belerang merah), dan sulthan al-’arifin (pemimpin para arif)

Syaikh Ibn Arabi memiliki banyak sekali karya hingga tak terhitung jumlahnya.

Salah satu karya beliau yang terpenting adalah Al-Futuhat Al- Makkiyah. Beliau juga menulis kitab tafsir dan ta’will dengan pendekatan bathini (makna batiniah), serta kitab-kitab lain yang berharga.

Salah satu pengaruh metafisis paling mendalam terhadap dunia Muslim maupun Kristen adalah ajaran Ibnu Arabi as-Sufi, dalam bahasa Arab disebut asy-Syekh al-Akbar (Mahaguru). 

Ia keturunan Hatim ath-Tha’i, yang masih termasyhur di kalangan bangsa Arab sebagai laki-laki paling dermawan yang pernah dikenal dalam sejarah dan di film kan

Spanyol telah menjadi negeri Arab selama lebih dari empat abad ketika Ibnu Arabi (dari) Murcia dilahirkan pada 1164. Diantara nama-namanya adalah al-Andalusi, dan tidak diragukan dia lah salah satu tokoh terbesar dari beberapa tokoh besar Spanyol yang pernah hidup. 

Secara umum diyakini bahwa tidak ada puisi cinta yang lebih besar dari karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan karyanya.


Latar belakang Sufinya, menurut para ahli biografi, adalah bahwa ayahnya pernah berhubungan dengan Abdul Qadir al-Jilani yang agung,  (1077-1166). Ibnu Arabi sendiri disebutkan terlahir sebagai akibat pengaruh spiritual Abdul Qadir, yang meramalkan bahwa ia akan menjadi seorang dengan anugerah yang sangat luar biasa.


Ayahnya memastikan untuk memberikan pendidikan terbaik yang mungkin baginya, sesuatu yang diberikan bangsa Moor Spanyol pada waktu itu, hingga pada suatu tingkatan yang tidak tertandingi di mana saja. Ia pergi ke Lisabon, di mana ia belajar Fiqih dan Kalam. Berikutnya, ketika masih anak-anak, ia pergi ke Sevilla, di mana ia belajar al-Qur’an serta Hadis di bawah bimbingan para ulama terbesar pada masanya. Di Cordoba ia menghadiri kuliah-kuliah dari Syekh asy-Syarrat al-Kabir, dan mengkhususkan dirinya dalam jurisprudensi.


Selama periode ini, Ibnu Arabi memperlihatkan kualitas-kualitas intelek jauh melebihi mereka yang sezamannya, meskipun mereka berasal dari elite skolastik dimana dalam keluarga-keluarga semacam ini kapasitas intelektual sangatlah masyhur pada zaman pertengahan. Selama masa remajanya, di luar disiplin ketat pada sekolah-sekolah akademik tersebut, ia habiskan semua waktu dengan para Sufi, dan mulai menulis puisi.


Ia tinggal di Sevilla selama tiga dekade, puisi dan kefasihan bahasanya menempatkannya pada posisi puncak di atmosfir Spanyol yang berperadaban tinggi, begitu juga di Maroko, yang juga merupakan pusat kehidupan kebudayaan.


Dalam beberapa hal Ibnu Arabi menyerupai al-Ghazali (1058-1111). Seperti al-Ghazali, ia berasal dari sebuah keluarga Sufi, dan berpengaruh terhadap dunia Barat. Juga seperti al-Ghazali, ia sangat menguasai ajaran (ortodoks) Islam. 

Tetapi jika al-Ghazali pertama kali menguasai skolastisisme Islam, kemudian setelah merasa tidak cukup, ia berpaling ke Sufisme pada puncak kebesarannya; sementara Ibnu Arabi, melalui hubungan dan puisi, mempertahankan suatu hubungan berkelanjutan dengan arus Sufistik. Al-Ghazali mendamaikan Sufisme dengan Islam, menjadikan orang-orang skolastik memahami bahwa Sufisme bukan suatu bid’ah, tetapi suatu makna batin agama. Misi Ibnu Arabi adalah untuk menciptakan kesusastraan Sufi dan menyebabkannya dipelajari, hal mana masyarakat mungkin bisa memasuki semangat Sufisme — menemukan para Sufi melalui keberadaan dan ungkapannya, apa pun latar belakang budayanya.


Kitab karya Ibnu Arabi, Tarjuman al-Asywaq (Penterjemah Kerinduan):
Adalah benar bahwa sebagian puisi itu tidak bisa dibedakan dari kidung cinta biasa, dan ketika melihat sebagian besar dari teks itu, sikap dari orang-orang sezaman dengan penulisnya, yang menolak untuk mempercayai bahwa karya ini memiliki suatu pandangan esoterik, adalah wajar dan bisa dipahami. 

Di sisi lain ada banyak bagian yang sepenuhnya bersifat mistis dan memberikan kunci pemahaman untuk bagian lainnya. Jika orang-orang yang skeptis kurang memiliki kemampuan membedakan, mereka layak memperoleh rasa terima kasih kita karena mendorong Ibnu Arabi untuk mengajari mereka. Tentu saja tanpa bimbingannya, semua pembaca yang simpatik sulit menemukan makna tersembunyi dimana kemurnian dan keindahannya yang fantastik berasal dari sebuah lagu (qasidah) Arab.
Banyak sekali peninggalan tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sampai saat ini dikaji sekaligus diperdebatkan, dibanding para Sufi lainnya.


Sebagian tulisan Ibnu Arabi ditujukan kepada mereka yang telah memahami mitologi kuno dan disusun dengan istilah-istilah tersebut. Sebagian yang berhubungan dengan dunia Kristen berperan sebagai pembuka jalan bagi orang-orang yang mempunyai komitmen kepada Kristen. 

Puisi lainnya berperan memperkenalkan jalan Sufi melalui wahana puisi cinta. Tidak seorang pun bisa menjelaskan semua karyanya hanya melalui makna skolastik, keagamaan, romantik dan perlengkapan intelektual. Hal ini membawa kita pada isyarat lain dari misinya yang terkandung dalam namanya.


Menurut tradisi Sufi, misi Ibnu Arabi adalah “menyebarkan” (bahasa Arabnya adalah nasyr, NSYR) ajaran Sufi melalui pandangan kontemporer dan berhubungan dengan berbagai tradisi hidup dalam masyarakat. Pandangan tentang penyebaran ini tentu saja absah dan sesuai dengan pemikiran Sufi. Karena istilah Sufi untuk kata penyebaran (NSYR) pada waktu itu tidak dipergunakan secara umum, Ibnu Arabi menggunakan sebuah alternatif. 

Di Spanyol ia dikenal sebagai Ibnu Saraqa, “anak gergaji”. Akan tetapi Saraqa dengan akar kata SRQ merupakan kata lain dari gergaji yang diambil dari akar kata NSYR. Akar kata NSYR jika diubah secara normal bermakna “penerbitan, penyebaran”, dan juga bermakna “menggergaji”. Kata ini juga bermakna menghidupkan. Nama pribadi Ibnu Arabi, Muhyiddin, diterjemahkan dengan “Yang Menghidupkan Agama.”


Dengan mengambil akar kata NSYR secara literal, seperti hampir semua sarjana melakukannya, bahkan menyebabkan seorang sejarawan yang terhormat semacam Ibnu al-Abbar menyimpulkan bahwa ayahnya adalah seorang tukang kayu. Ia hanya bisa dikatakan sebagai “tukang kayu” dalam pengertian kedua sebagaimana dikenal oleh para Sufi yang menggunakan istilah untuk pertemuan mereka, dalam menjelaskan jamaah mereka di suatu tempat bagi sejumlah orang yang tidak ingin terlihat sebagai kelompok penentang.


Sebagian pernyataan Ibnu Arabi yang diambil dari karya-karyanya sendiri sangat mengejutkan. Dalam kitab Fushushul-Hikam, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah dilihat dalam suatu bentuk material. “Pandangan tentang Tuhan dalam perempuan adalah pandangan paling sempurna”. Bagi Sufi, puisi cinta sebagaimana puisi lainnya, mampu memantulkan suatu pengalaman ketuhanan yang utuh dan koheren seraya memenuhi fungsi-fungsi lainnya. Setiap pengalaman Sufi merupakan suatu pengalaman mendalam dan mengandung ketidakterbatasan kualitatif. Bagi orang awam, satu kata hanya memiliki satu makna, atau satu pengalaman tidak memiliki sejumlah arti penting yang sama-sama valid. Keberagaman wujud merupakan sesuatu yang, meskipun ditolak oleh kalangan non-Sufi, seringkali dilupakan oleh mereka ketika membahas materi Sufi. Paling jauh mereka biasanya hanya dapat memahami bahwa ada sebuah alegori bagi mereka hanya memiliki satu makna.


Kepada para teolog yang membatasi diri pada formalisme ketuhanan, Ibnu Arabi secara terang-terangan mengatakan bahwa, “Malaikat sebenarnya merupakan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam fakultas-fakultas dan organ-organ manusia.” Tujuan Sufi adalah menghidupkan organ-organ ini.
Tanpa mempertimbangkan perbedaan antara formulasi dan pengalaman, Dan telah mengambil alih karya sastra Ibnu Arabi dan mengkristalkannya dalam suatu kerangka kerja yang mungkin sedang berlaku. Untuk melakukan hal itu, ia telah mencuri pesan Ibnu Arabi dari validitas Sufinya dan benar-benar mengabaikan Profesor Asing dengan suatu contoh abadi dari apa yang oleh pikiran modern hampir berpuncak pada perampasan gagasan. 

Sebaliknya, Raymond Lully mengambil alih bahan kesusastraan Ibnu Arabi, namun disamping itu menekankan arti penting latihan-latihan Sufi yang diperlukan untuk menyempumakan pengalaman Sufistik.
Ibnu Arabi yang belajar di bawah bimbingan perempuan Sufi Spanyol, Fatimah binti Waliyya, tidak diragukan bahwa ia cenderung pada keadaan-keadaan fisik tertentu; yang hal ini juga digunakan oleh para Sufi. Ia merujuk hal ini di berbagai kesempatan. Sebagian karyanya ditulis dalam keadaan “mabuk” (trance), dan maknanya tidak jelas baginya sampai setelah beberapa saat penulisannya. 

Ketika berumur tiga puluh tujuh tahun, ia mengunjungi Ceuta, di mana ia memperbaharui madzhab Ibnu Sabain (penasehat Kaisar Roma, Frederick). Di sana ia mengalami mimpi aneh yang ditakwilkan oleh seorang ulama masyhur. Orang alim itu mengatakan, “Tidak bisa diukur … jika orang itu ada di Ceuta, ia tidak lain adalah anak muda Spanyol yang baru datang.”
Sumber inspirasinya adalah mimpi dimana kesadarannya masih aktif Dengan melatih fakultas Sufi ini, ia mampu menghasilkan suatu hubungan dengan realitas terakhir (supermatif) dari akal batinnya — realitas yang dijelaskannya mendasari penampakan dunia biasa.


Ajarannya menekankan arti penting pelatihan fakultas-fakultas ini yang tidak diketahui oleh semua orang dan oleh banyak orang telah diserahkan pada okultisme yang konyol. “Seseorang,” tuturnya, “harus mengendalikan pikiran-pikirannya dalam mimpi. Dengan melatih kesigapan ini, ia akan menghasilkan kesadaran tentang dimensi perantara. Kesadaran ini akan mendatangkan manfaat besar bagi individu itu. Setiap orang seharusnya melatih diri untuk mencapai kemampuan yang sangat besar nilainya itu.


Tidak akan ada gunanya untuk mencoba menafsirkan Ibnu Arabi dari satu pandangan yang pasti. Ajaran-ajarannya diambil dari pengalaman-pengalaman batin, kemudian disajikan dalam suatu bentuk yang mempunyai suatu fungsi. Jika puisinya mempunyai makna ganda dan sering demikian, ia bukan saja bertujuan menyampaikan kedua makna itu, tetapi juga menegaskan bahwa keduanya adalah valid. Jika puisi ini dinyatakan dalam istilah-istilah yang digunakan oleh orang-orang sebelumnya, hal ini tidak dimaksudkan harus dipahami sebagai bukti pengaruh luar. Apa yang diperbuatnya dalam hal ini adalah ditujukan kepada dirinya sendiri untuk orang-orang dalam istilah yang membentuk sebagian latar belakang budaya mereka sendiri.

Ada puisi-puisi Ibnu Arabi yang bisa dibaca dalam pengertian yang berubah-ubah — maknanya bermula dalam suatu tema dan kemudian berubah ke tema lainnya. Ia melakukan hal ini secara sengaja, dengan tujuan untuk mencegah proses asosiasi otomatis yang akan membawa pembaca ke dalam kenikmatan biasa, sebab Ibnu Arabi adalah seorang guru, bukan seorang penghibur.


Bagi Ibnu Arabi, sebagaimana bagi semua Sufi, Muhammad mewakili Insan Kamil. Pada saat yang sama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “Muhammad” dalam konteks ini. Dalam persoalan ini Ibnu Arabi lebih tegas dibandingkan persoalan lainnya. Ada dua versi maksud kata Muhammad — sosok manusia yang hidup di Mekkah dan Madinah serta Muhammad yang hidup abadi. Muhammad yang terakhir inilah yang dibicarakannya. Muhammad dalam pengertian kedua ini diidentifikasikan dengan semua Nabi, termasuk Yesus. Gagasan ini menyebabkan klaim di kalangan Kristen bahwa Ibnu Arabi atau para Sufi atau keduanya adalah orang-orang Kristen rahasia. 

Klaim Sufi adalah bahwa individu-individu yang telah melaksanakan fungsi-fungsi tertentu pada dasarnya adalah satu. Kesatuan ini mereka sebut dengan asal-usulnya sebagai Haqiqatul-Muhammadiyyah.
Ketik dilihat dalam bentuk lain, maka ia disebut dengan nama bentuk itu sendiri.”


Ini bukan suatu teori reinkarnasi, meskipun teori ini sangat mirip. Realitas esensial yang menghidupkan manusia dengan sosok Muhammad atau lainnya ini harus diberi nama sesuai dengan lingkungannya. Mereka yang menggunakan sikap ini dengan doktrin Logos dari Plotinus, menurut para Sufi, berarti menisbatkan suatu hubungan historis pada suatu situasi yang mempunyai realitas obyektif para Sufi tidak meniru doktrin Logos, meskipun ide tentang Logos dan Hakikat Muhammadiyah mempunyai sumber yang sama. 

Pada akhirnya, sumber informasi Sufi dalam persoalan ini adalah pengalaman pribadi Sufi, bukan formulasi kepustakaan sebagai salah satu manifestasi historisnya. Perangkap pemikiran historis, yang beranggapan bahwa tidak ada sumber batiniah pengetahuan yang mendasar dan harus mencari inspirasi kepustakaan dan superfisial, tetap dihindari oleh para Sufi. Beberapa mahasiswa Barat yang mengkaji Sufisme, hal ini harus diakui, telah menekankan kemiripan lahiriah, sementara terminologi atau waktu tidak membuktikan penyampaian gagasan esensial itu.


Ibnu Arabi telah membingungkan para sarjana, sebab ia adalah orang yang dalam Islam disebut sebagai seorang konformis dalam agama, sementara ia tetap seorang esoteris. Seperti semua Sufi, ia mengklaim bahwa ada suatu kemajuan koheren, sinambung dan sepenuhnya bisa diterima oleh setiap agama formal, dan pemahaman batin dari agama itu yang akan membawa pada pencerahan pribadi. 

Biasanya doktrin ini tidak bisa diterima oleh para teolog (mutakallimun) dengan kepentingannya yang bergantung pada banyak atau tidaknya fakta-fakta statis, bahan sejarah dan kekuatan penalaran.
Meskipun Ibnu Arabi dicintai oleh semua Sufi, mempunyai banyak pengikut pribadi dan menjalankan fungsi teladan kehidupan, tidak diragukan ia merupakan suatu ancaman bagi kalangan formalis. 

Seperti al-Ghazali, kekuatan intelektualnya lebih unggul dari semua orang sezamannya yang lebih konvensional (di bidang pemikiran). Alih-alih menggunakan berbagai kemampuan ini untuk mengukir satu tempat dalam skolastisisme, ia menyatakan — seperti banyak Sufi lainnya — bahwa jika seseorang memiliki intelek yang kuat, fungsi terakhirnya adalah memperlihatkan bahwa intelektualitas hanyalah suatu sarana pengantar kepada sesuatu yang lain. 

Sikap ini bukan suatu kesombongan — apalagi kalau kita benar-benar bertemu dengan orang semacam ini dan mengetahui kerendahan hatinya.
Banyak orang bersimpati kepadanya, tetapi tidak berani mendukungnya, sebab mereka bekerja pada tataran formal (syari'at) sementara ia bekerja pada tataran rahasia (halikat). 

Seorang alim yang terhormat menurut riwayat mengatakan, “Aku sama sekali tidak meragukan bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang pembohong besar. Ia adalah pemuka kalangan ahli bid’ah dan seorang Sufi yang tidak tahu malu.” Akan tetapi seorang teolog besar, 

Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, “Betapa bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi! 

Pernyataannya yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu tinggi bagi pemahaman mereka.”


Dalam sebuah kesempatan yang masyhur, guru pembaharu Syekh Izuddin ibnu Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid mempelajari fiqih. Selama berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang definisi bid’ah muncul. Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai contoh utama. 

Sang guru tidak menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika makan malam dengan guru ini, Salahuddin yang pada masa selanjutnya menjadi Syekh al-Islam, bertanya kepadanya, siapakah alim paling terkemuka pada masanya:Ia menjawab, ‘Menurut Anda siapa? Teruslah makan.’ Aku menyadari bahwa ia tahu. 

Aku berhenti makan dan menekannya untuk menjawab pertanyaanku dengan menyebut nama Allah. Ia tersenyum dan berkata, ‘Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.’ Untuk sesaat aku terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata. Syekh itu bertanya kepadaku tentang keadaanku saat itu. Kujawab, ‘Aku heran, sebab pada pagi ini seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli bid’ah. 

Pada saat itu, Anda justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda menyebut Muhyiddin sebagai Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang pernah hidup, guru dunia’.”
“Ia mengatakan, ‘Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama, para fuqaha’.”


Penentangan utama terhadap Ibnu Arabi disebabkan koleksi karya puisinya yang sangat mengagumkan dan mengejutkan — puisi Cinta yang dikenal sebagai Penterjemah Kerinduan (Tarjuman al-Asywaq). Puisi ini sangat sublim, mengandung begitu banyak kemungkinan makna dan penuh dengan khayalan fantastik, sehingga ia bisa menimbulkan pengaruh magis bagi pembacanya. Bagi para Sufi, karya ini dipandang sebagai produk perkembangan paling jauh dari kesadaran kemanusiaan. 

Ibnu Arabi itu sebagai “suatu paduan aneh antara teosofi dan paradoks-paradoks metafisik. Semuanya lebih menyerupai teosofi pada masa kita sekarang.”
Bagi para sarjana, salah satu hal penting dalam kitab Tarjuman al-Asywaq adalah masih adanya komentar tentang puisi-puisi itu yang dibuat oleh penulisnya sendiri; di dalamnya ia menjelaskan bagaimana metafora disesuaikan dengan agama Islam ortodoks. Hal ini hanya bisa dikaji dengan menghadapkan latar belakang sejarah kitab tersebut.


Pada tahun 1202, Ibnu Arabi memutuskan untuk pergi Haji. Setelah menghabiskan beberapa waktu perjalanannya melalui Afrika Utara, tibalah ia di Mekkah. Di sana bertemu dengan sekelompok imigran Persia, para mistikus (Sufi?) yang menyambut dan menerimanya memasuki kelompok tersebut, meskipun ia dituduh melakukan bid’ah dan keburukan di Mesir. Ia nyaris terbunuh pada percobaan pembunuhan oleh seorang fanatik.


Ketua komunitas Persia itu bernama Mukinuddin. Ia memiliki seorang putri yang cantik, Nizam, salehah dan menguasai fiqih. Berbagai pengalaman spiritualnya di Mekkah dan pernyataan simbolisnya tentang jalan mistik, diungkapkan dalam puisi-puisi cinta yang dipersembahkan kepada Nizam. Ibnu Arabi menyadari bahwa kecantikan manusia berkaitan dengan realitas ketuhanan. Karena itulah ia mampu menghasilkan puisi-puisi yang mengagumi kesempurnaan gadis itu dan juga sekaligus, dalam perspektif yang benar, menggambarkan suatu realitas yang lebih dalam. Tetapi kemampuan untuk melihat hubungan itu ditolak oleh para agamawan formal yang memandangnya sebagai skandal.


Para pendukung Ibnu Arabi memperlihatkan, seringkali dengan rahasia, bahwa kebenaran sejati mungkin dinyatakan dengan berbagai cara sekaligus. Mereka merujuk pada cara Ibnu Arabi dalam mengangkat mitos dan legenda maupun sejarah tradisional, untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran esoteris yang tersembunyi di dalamnya, demikian pula nilai kesenangannya. Konsep keberagaman makna dari suatu faktor dan yang sama ini kurang dipahami pada masanya maupun saat ini. Pemahaman terdekat dari orang awam yang bisa diperoleh dari hal ini adalah pengakuan bahwa “seorang cantik adalah karya seni Ilahi”. Ia tidak mampu memahami perempuan cantik dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini adalah problema umum dari pernyataan Sufi dalam suatu pilihan kata-kata yang sangat terbatas.


Oleh karena itu, kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu Arabi itu terkesan sebagai sebuah kumpulan puisi erotik. Ketika ia pergi ke Aleppo di Syria, sebuah pusat ortodoksi keagamaan, ia mendapati bahwa para ulama (ortodoks) Islam yang mengatakannya sebagai pembohong semata, berupaya membenarkan puisi erotiknya dengan mengklaim suatu makna yang lebih dalam. Tiba-tiba ia mulai membuat sebuah komentar untuk membawa karya tersebut ke dalam pandangan ortodoks. 

Hasilnya para ulama itu benar-benar merasa puas, sebab penulisnya telah berperan dalam mendukung penafsiran mereka sendiri tentang hukum keagamaan dengan menjelaskan makna-makna dalam karyanya itu. Meskipun demikian, bagi Sufi, ada makna ketiga dalam kitab itu. Dengan menggunakan terminologi yang lazim, Ibnu Arabi sedang memperlihatkan kepada mereka bahwa berbagai superfisialitas itu bisa jadi benar, bahwa cinta manusia bisa jadi sepenuhnya absah; namun aktualitas kedua hal ini telah menutupi suatu kebenaran batin, atau perluasan maknanya.


Realitas batin inilah yang dirujuknya ketika ia menerima semua formalisme, meski demikian menyatakan suatu kebenaran di balik dan di luarnya. 

Mungkin ini salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi penyelamatan manusia:


Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.

Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat,
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.
Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.
Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.


Orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, “Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi.” Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak pernah dirambah oleh manusia sekarang.

As-Syaikh Abul Hasan Ali As-Syadzily Alhasany


Pada tahun 593 H./1197 M. lahir bayi mungil yang kelak masyhur akan kewaliannya. Bayi itu lahir di Afrika utara bagian ujung paling barat, tepatnya di desa Ghemaroh, negeri Maghrib al-Aqso/Maroko. Putra dari sayyid Abdullah Ini kemudian diberi nama Ali. Ia masih keturunan dari baginda nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Hasan bin Sayyidina Alin bin Abi Tolib 

Berikut ini nasab Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan Ali, bin Abdullah bin Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Chatim, bin Qushay, bin Yusuf, bin Yusya', bin Ward, bin Ali Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin Idris Al Mutsanna, bin Idris, bin Abdillah, bin Muhammad Hasan Al Mutsanna,  bin Hasan, bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW.

Pendidikan awal Ali kecil langsung dibimbingan sendiri oleh kedua orang tuanya. Sejak itu pula sudah tampak dari dirinya budi pekerti luhur, kata-katnya fasih dan santun, memiliki cita-cita yang tinggi, dan gemar mencari ilmu. Sehinnga, tak mengherankan di umur yang relative belia, ia sudah mulai berkelana meninggalkan ayah ibu untuk rihlah menuntut ilmu.

Pertemuan dengan Nabi Khidlir AS

Setelah mengenyam pendidikan dari orang tuanya, Ali pergi menuju Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara). Saat itu, usianya baru menginjak 6 tahun. Setibanya di sana, ia mendapati negara tersebut sedang dilanda paceklik dan kelaparan. Banyak ditemukan mayat di tengah jalan dan pasar-pasar. Terbesitlah di hati Ali, “Andaikan saya punya uang, saya akan membeli roti untuk mereka.” Seketika itu Allah mengisi saku Ali dengan banyak uang. Ia pun bergegas membelanjakan uang tersebut. Kemudian dibagikannya kepada orang-orang yang sedang kelaparan.

Kebetulan hari itu adalah hari Jum’at. Setelah selesai dari aktifitas sosialnya, ia kemudian mencari masjid Jami’. Ia segera mengawali dengan dua raka’at tahyatul-masjid saat memasuki nya. Setelah salam, tidak disangka, di samping kanan Ali telah hadir seseorang yang tampaknya sudah menanti. Lalu Ali mengucapkan salam kepadanya. Orang itu tersenyum. “Tuan, siapa Anda?”Tanya Ali polos.” Saya Khidhir, Allah memerintahkanku untuk menemui kekasih-Nya di Tunis. Namanya Ali. Maka saya segera menemui Anda.” Jawab orang itu. Percakapan mereka belum panjang, namun shalat harus segera didirikan. Seusai shalat, ternyata nabi Khidhir telah raib entah ke mana. Tampaknya, Khidhir datang sekadar memberi tahu bahwa Ali telah terpilih sebagai kekasih Allah

Berkelana Mencari Pembimbing Jiwa

Berguru kepada Syaikh al-Baji
Setelah peristiwa itu, Ali segera menuju seseorang yang dikenal wali, yaitu Syaikh Abi Sa’id al-Baji. Ia bermaksud menanyakan tentang ihwal yang menimpanya tadi. Namun, Syaikh al-Baji sudah tahu maksud kedatangan Ali. Ia juga menyampaikan terlebih dahulu tentang apa yang hendak dicerikatan Ali kepadanya.

Setelah itu, Ali tinggal bersamana beliau. Ia belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada Sayikh al-Baji.Ali kecil tinggal bersama syaikh al-Baji hingga beranjak dewasa. Dikarnakan sangat dekatnya Ali kepada gurnya itu, kemudian ia sering mendampingi sang guru naik haji.

Meskipun sudah bertahun-tahun menimba ilmu kepada syaikh Abi Said al-Baji, kehausan Ali muda akan ilmu makin mendahaga. Maka, ia memantapkan hati untuk meniti sebuah jalan (toriqoh) sekaligus ingin mencari wali al-Quthb sebagai pembimbing. Lalu, ia beranikan diri untuk pamit kepada gurunya dan memohon doa.

Mencari Sang Quthb

Dengan tekat yang kuat Ali muda berangkat menuju kota kelahiran Islam, Makkatul- Mukarramah. Tujuan pertamanya datang ke pusat negeri Islam ini adalah mencari wali Quthb yang akan dijadikannya sebagai pembimbing spiritual. Namun, setelah berbulan-bulan ia menetap Mekah, wali yang beliau cari tak kunjung ketemu. Hingga, pada suatu ketika, seorang ulama memberitahukan bahwa wali Quthb yang ia cari berada di Iraq.

Sesampainya di Iraq, Ali sibuk bertanya dan mencari kesana-kesini, namun tak ada seorang pun yang tahu keberadaan sang wali di negeri tersebut. Memang, setelah wafanya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani  keberadaan wali Quthb cenderung disamarkan. Sedangkan selisih antara wafatnya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani dan kelahiran Ali asy-Syadzily terpaut 32 tahun.

Meskipun demikian, Ali muda tak patah semangat. Suatu ketika, ia mendengar tentang kewalian pemimpin tarekat Rifaiyah yang bernama Syaikh ash-Shodiq Abul Fath al-Washiti .Syaikh Abul Fath al-Washiti adalah orang yang sangat disegani dan memiliki pengikut yang sangat besar di Iraq. Segeralah Ali asy-Syadzily menemuinya dan bertanya keberadaan wali Qutbh. Mendengar penuturan Ali, syaikh Abul Fath berkata, “Kau susah payah mencari wali Quthb di Iraq, padahal beliau berada di negerimu sendiri. Pulanglah! dan temui beliau di sana”.

Disambut oleh Sang Wali

Setelah mendengar petunjuk dari Syaikh Abul Fath al-Washiti, maka Ali segera pulang untuk menemui sang Quthb. Sesampainya di Maroko, beliau kembali bertanya-tanya tentang keberadaannya. Tak lama kemudian, terdengar bahwa sang wali sedang menyendiri di dalam gua di salah satu puncak gunung Maroko. Wali itu bernama Syaikh al-‘Arif ash-Shiddiq al-Quthb al-Ghauts Abu Abdillah Abdus Salam bin Masyisy Almaghroby  Alhasany. 

Sesampainya di lereng gunung, Ali segera membersihkan diri. Beliau mandi di mata air lereng gunung tersebut untuk memuliakan sang wali. Saat itu, ilmu dan amalnya terasa jatuh berguguran bersamaan dengan aliran air yang membasuh tubuhnya; seakan ia terlahir kembali sebagai seorang faqir.

Syahdan, hadir di hadapannya, sesosok manusia yang tampak sudah lanjut usia. Ali terkejut dan tidak tahu dari arah mana datangnya. Namun, dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesalehan dan ketakwaan yang amat luhur. Setelah uluk salam beliau mengucapkan selamat datang. “Marhaban…Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin…” Dan seterusnya. 

Syaikh Abdus Salam al-Masyisy menyebutkan nasab beliau hingga Rosulullah SAW setelah itu, Syaikh Abdus Salam al-Masyisy berkata, “Ya Ali, engkau datang kepadaku dalam keadaan faqir dari ilmu dan amalmu, maka engkau akan mengambil dariku kekayaan dunia dan akhirat.”
Dengan demikian, Ali percaya bahwa orang yang berada di hadapannya adalah orang yang dicarinya selama ini.

“Wahai anakku, puji syukur hanya bagi Allah yang telah mempertemukan kita pada hari ini. Ketahuilah wahai anakku! Sesungguhnya, sebelum engkau datang ke sini, Rosullah SAW telah memberi tahu tentang dirimu dan bahwa kamu akan datang hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas untuk membingbingmu. Oleh karna itu, ketahuilah kedatanganku ke sini memang untuk menyambutmu”. Sambut Syaikh Abdus Salam al-Masyisy.

Secercah Peta Kehidupan Sang Wali Agung

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzaili (pangilan akrab beliau) kemudian belajar dan tinggal bersama gurunya tersebut. Selama berguru kepada Syaikh Abdus Salam al-Masyisy, beliau banyak menyerap hikmah dan lanturan-lanturan, utamanya yang berkenaan dengan penjagaan hati dan pendekatan deiri kepada Allah 

Namun yang terpenting dari apa yang beliau dapatkan dari sang guru adalah ijzah dan bayat suta Thoriqoh yang bemudian dikenal dengan Syadziliyah.

Setelah itu, sang guru memetakan hidup yang akan beliau jalani selanjutnya. Guru pembingbingnya itu berkata, “Wahai. Ali, pergilah ke Afrika dan tinggalah di suatu tempat yang bernama Syadzilah. Karna Allah akan memberi nama asy-Syadili untukmu. 

Setelah itu, pergilah ke kota Tunis, di kota itu engkau akan disakiti oleh pihak kerajaan. Lau pindahlah ke negeri timur (Mesir), di negeri itu engkau akan memperoleh qutbâniyah (gelar wali quthb)”.

Sebelum beliau benar-benar pergi dan berpisah dengan gurunya tercinta, Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili meminta kepada gurunya agar memberi nasihat dan wasiat yang terakhir. Lalu sang guru berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia.Sucikan lisanmu dari menyebut kejelekan mereka, serta sucikanlah hatimu dari condong pada mereka. Jagalah anggotamu (dari maksiat) dan kerjakanlah kewajibanmu.Dengan demikian, sungguh telah sampurna kewalianmu.”

Meraih Gelar Quthbaniyah

Mengapa asy-Syadlili?
Sesuai titah sang guru, kemudian Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili pergi menuju Afrika dan tinggal di sebuah tempat yang bernama Syadzilah (terletak di wilayah negeri Tunisai). Di tempat inilah beliau mulai dikenal masyarakat luas hingga masyhur dengan sebutan Asy-Syadzili.

Namun, ada cerita lain yang menarik tentang penisbatan asy-Syadili kepada beliau. Suatu hari beliau bertanya tentang penisbatan tersebut. “Ya Allah, kenapa Engkau beri nama aku dengan asy-Syadili, padahal aku bukan orang Syadlilah?”. Tanya beliau. Maka dikatakanlah, “Ya Ali, Aku tidak memberi nama kepadamu dengan asy-Syadlili tapi kamu adalah asy-syâdl-lî dengan dibaca tasydîd dzâl-nya (yang jarang bagiku), yakni karena keistimewaanmu untuk menyatu mencintai-Ku dan berkhidmah kepada-Ku.”

Sesampainya di Syadilah, orang-orang menyambut beliau dengan hangat; seakan Syaikh Abul Hasan sudah dinanti-nantikan kedatangannya. Namun beliau tinggal di Syadilah tidak terlalu lama. Beliau segera bergegas menuju bukit zaghwag di luar desa Syadlilah dengan ditemani salah satu muridnya, Abu Muhammad Abdullah bin Salma Al-Habibi, untuk menyempurnakan ibadah beliau.

Selama berada di bukit, banyak keajaiban yang disaksikan oleh Al-Habibi. Ia melihat (dengan mata batin) bahwa malaikat mengerumuni Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili bahkan sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan dan berbincang-bincang dengan beliau. Begitu juga tak asing bagi al-Habibi menyaksikan para auliya berdatangan mengunjungi beliau.

Setelah sekian tahun di Zaghwah, beliau mendapat perintah dari Allah agar segera turun. Maka tibalah saatnya, beliau pergi ke kota Tunis seperti yang dipetakan oleh gurunya untuk menemui masyarakat.

Ujian Syaikh Abul Hasan As Syadzili 

Setibanya di kota Tunis, beliau tinggal di sebuah masjid. Masyarakat pun segera berbondong-bondong mengunjungi majlis beliau. Tidak hanya masyarakat umum, kalangan alim ulama juga ikut serta menimba ilmu kepadanya, diantaranya 
As Syaikh Abul Hasan Ali bin Makhluf as-Syadlili, 
As Syaikh Abu Abdullah ash-Shobuni, 
As Syaikh Abu Muhammad Abdul Azizi Azzaituni, 
As Syaikh Abu Abdullah al-Bajj’i al-Khayyat, dan 
As Syaikh Abi Abdullah al-Jarihi.

Kebesaran Syaikh Abul Hasan asy-Saydilli kemudian terdengar oleh Ibnul Barro’. Dia adalah kadi (hakim agama) agung di Tunis. Meskipin termasuk dalam jajaran fuqahâ’, namun di sisi lain dia memiliki sifat buruk. Ibnul Barro’ dengki terhadap Syaikh Abul Hasan. Ia takut jabatan dan wibawanya hilang sebab kehadiran Syaikh Abul Hasan di Tunis.

Kemudian dia datang untuk mendebat beliau, tapi tidak bisa. Ketinggian ilmu syaikh Abul Hasan dapat menjawab berbagai kemusykiran nyeleneh dari Ibul Barro’. Mulai saat itu, Ibnul Barro’ mulai melancarkan berbagai fitnah terhadap Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili kepada Sultan Abu Zakaria. Ia katakan bahwa ada orang penggiring himar dari Syadlilah yang mengaku orang mulia, banyak pengikutya, dan membuat keonaran di kota Tunis

Mendengar pengaduan tersebut, Abu Zakaria mengumpulkan para pakar fikih. Ibnul Barro’ juga hadir bersama mereka. Sedangkan sultan Zakaria berada di tempat tertutup yang tidak bisa terlihat. 

Terjadilah perdebatan antara fuqahâ’ tersebut dengan Syaikh Abil Hasan As Syadzili Semua pertanyaan dari mereka dapat dijawab oleh beliau. Namun tidak sebaliknya; tak satu pun yang dapat menjawab pertanyan Syaikh Abul Hasan. Dari sana, sultan Abu Zakaria tahu bahwa Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili adalah wali besar. 
Sultan  berkata kepada Ibnul Barro’, “ ini adalah seorang wali besar, kamu tidak akan bisa mengalahkannya”. Namun, kedengkian Ibnul Barro’ bukannya terobati dengan peristiwa tersebut. Konon, ilmu yang dimiliki Ibnul Barrok lenyap tidak tersisa. Dan wafat dalam keadaan nista.


Suatu waktu, terbesitlah di hati Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili untuk menunaikan ibadah haji. Beliau berseru kepada murid-muridnya untuk sementara waktu hijrah ke negeri sebelah timur. Sambil menunggu datangnya bulan haji, beliau bersama santri-santrinya bersiap-siap untuk melakukan perjalanan jauh menuju Mesir.

Dalam perjalanan ke Mesir, fitnah Ibnul Barro’ masih juga menyelimuti. Dia mengadu kepada pihak kerajaan Mesir bahwa Syaikh Abil Hasan asy-Syadlili telah membuat kekacauan di kota Tunis. Syaikh Abul Hasan tentunya akan melakukan hal yang sama kepada negeri Mesir. 
Karena pengaduan tersebut, Sultan Mesir mempermasalahkan kedatangan beliau. Namun pada akhirnya, fitnah tersebut teratasi dan Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili memaafakan kekhilafan Sultan Mesir itu.

Seusai haji, Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili kembali ke Tunis untuk melanjutkan dakwah. Beliau membangun sebuah zawiyah (pondok) sebagai bengkel ruhani. Zawiyah tersebut semakin ramai dari hari ke hari. Tercatat bahwa ini adalah zawiyah pertama Syaikh Abul Hasan dan didirikan pada tahun 625 H./1228 M.

Menyandang Gelar Quthb

Selanjutnya, Asy-Syaikh Abu Hasan Asy-Syâdzili menanti datangnya perintah yang ke tiga. Dalam penantian itu, Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili bermimpi ketemu Rosululloh SAW dan  Rosulullah SAW berkata, “Ya Ali, sudah saatnya engkau meninngalkan negeri ini. Sekarang pergilah ke negeri Mesir. Dan ketahuilah, selama dalam perjalanan, Allah akan menganugrahkan kepadamu tujuh puluh karomah. Selain itu, kelak engkau akan mendidik empat puluh dari wali shiddiqîn.”

Dengan demikian tibalah saatnya beliau menapaki perjalanan selanjutnya sebagaimana yang dipetakan sang guru. Lalu, beliau berangkat menuju negeri Mesir. Beliau bersama rombongannya tiba di negeri piramid itu pada tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban).

Diceritakan bahwa ketika beliau menginjakkan kakinya di atas bumi Mesir, bersamaan dengan takdir AllahI untuk memanggil ruh wali Quthb di negara itu, yaitu bersamaan dengan wafatnya asy-Syaikh Hajjaj al-Aqshory, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Qhûtuz Zamân (pimpinan Wali Mesir)

Dan saat itu pula, Allah mengangkat derajat Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili sebagai Quthb menggantikan Syaikh Hajjaj al-Aqshori 

Membangun Zawiyah Syadziliyah

Sesampainya di Mesir, beliau langgsung menuju kota Iskandariah Kedatangan beliau di kota tersebut langsung disambut hangat oleh Sultan Mesir dan penduduk setempat, termasuk para Ulama negeri tersebut. 

Mereka semua, dengan wajah beseri-seri menjabat tangan beliau. Perjumpaan masyarakat dengan Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili tampak seperti pertemuan keluarga yang lama terpisah. Rasa ridu yang sempat tertahan kini telah terobati.

Lantunan syair dan madah membahana, tangis kebahagiaan pun terdengar. Kegembiraan menyeluruh ke pelosok Negri keberkahan dan kemakmuran pun bertambah. 

Karena rasa bahagia yang besar atas kedatangan Syaikh, sultan Mesir memberikan sebuah tempat tinggal di Iskandaria dengan nama Buruj As-sur. Tempat tinggal tersebut berada di pesisir laut tengah negeri Mesir. Di komplek beliau tinggal itu telah dibangun Masjid besar dan bilik-bilik tempat para murid beliau Uzlah dan sulûk.

Beliau juga rutin mengajar dan menyebarkan panji-panji Islam kepada masyarakat di kota Kairo, pusat kerajaan Mesir. Tampaknya, dakwah beliau disambut baik oleh masyarakat luas, tidak hanya kota Iskandaria dan Kairo. Hari demi hari, pengajian beliau terus dibanjiri oleh para penuntut ilmu dan peniti jalan ilahi. Begitu juga Thoriqoh  Syadziliyah yang sebelumnya hanya diikuti oleh penduduk setempat, mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Berjuang dengan Pedang

Dikisahkan, saat itu raja Prancis LOUIS IX memimpin tentara salib untuk membasmi kaum muslimin sekaligus menghanguskan ajaran Islam dari muka bumi. 
Ia hendak menaklukkan seluruh jazirah Arab di bawah telapak kakinya. 
Maka asy-Syekh Abul Hasan asy-Syadzili yang saat itu telah berusia 60 tahun lebih dan sudah dalam keadaan hilang penglihatan, tidak ketinggalan berjuang bersama pejuang lainnya. Selain Syaikh Abul Hasan, tidak sedikit dari Ulama termuka saat itu yang juga ikut membantu berjuang, diantaranya 
Syaikh Izzuddin bin Abbdussalam, 
Syaikh Majduddin bin Taqiyuddin Ali bin Wahab al-Qusyairi, dan 
Syaikh Majduddin al-Ikhmimi.

Beliau dan para pejuang lainnya berpeluh darah di siang hari namun tetap berselimut dzikir pada malamnya. Maka dengan kegigihan dan doa, kaum muslimin meraih kemenangan pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H/1257 M. Dan Raja LOUIS IX serta para panglimanya berhasil ditangkap dan ditahan.

Sebelum kemenangan itu, beliau memimpikan Rasulullah SAW dalam mimpinya Rasulullah  SAW berpesan kepada beliau supaya memperigati Sultan agar tidak mengangkat pemimpin yang zalim. Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa kemenangan ada di pihak muslimin. Lalu Syaikh Abu Hasan mengabarkan mimpi tersebut. Baru kemudian mimpi Syaikh menjadi nyata setelah setelah sultan mengganti para pejabat yang zalim.

Di antara Ungkapan Mutiara Syekh Abul Hasan Asy-Syadili Alhasany 

1. Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini : 
Pertama, senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akherat. 
Kedua, ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.

2. Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga : 
Pertama, karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat dan beristiqhfar. 
Kedua, karena kehilangan dunia, maka kembalikanlah kepada Allah swt. sadarlah bahwa itu bukan kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh Allah swt. 
Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu yang membikin Allah swt. untuk mengujimu.

Kalau Allah swt. belum memberi tahu apa sebabnya sempit atau susah, maka tenanglah mengikuti jalannya taqdir ilahi. Memang masih berada di bawah awan yang sedang melintas berjalan (awan itu berguna dan lama-lama akan hilang dengan sendirinya). Ada satu perkara yang barang siapa bisa menjalankan akan bisa menjadi pemimpin yaitu berpaling dari dunia dan bertahan diri dari perbuatan dhalimnya ahli dunia. 
Setiap karomah  (kemuliaan) yang tidak bersamaan dengan ridha Allah swt. dan tidak bersamaan dengan senang kepada Allah dan senangnya Allah, maka orang tersebut terbujuk syetan dan menjadi orang yang rusak. 

Karomah itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari karomah. 

Yang diberi karomah hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

Di antara keramatnya para Shidiqin ialah :

1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).

2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).

3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.

Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :

1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.

2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.

3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.

4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.

Kamu jangan menunda ta’at di satu waktu, pada waktu yang lain, agar kamu tidak tersiksa dengan habisnya waktu untuk berta’at (tidak bisa menjalankan) sebagai balasan yang kamu sia-siakan. Karena setiap waktu itu ada jatah ta’at pengabdian tersendiri. Kamu jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. membenarkanmu. 

Wasiat dan Nasihat Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

• Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakana pada dirimu : Sesungguhnya Allah swt menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah terlebih dahulu.

• Kembalilah dari menentang Allah swt, maka engkau menjadi Ahli Tauhid. Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.

• Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah swt dengan cara yang benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.

• Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah swt, sampaikan lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan cahaya kepada kalian.

• Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada Allah swt melalui kontemplasi, menjauhkan diri segala hal selain Allah swt. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa tergolong orang-orang saleh.

• Manakala zikir terasa berat di lisanmu, sementara pintu kontemplasi tertutup, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat, memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah swt dan ikhlas beramal.


Karomah Assyaikh Abul Hasan As syadzili 

Sulthonul Auliya' Syaikh Abul Hasan 'Ali Asy Syadzili ra adalah seorang yang dianugerahi karomah yang sangat banyak, tidak ada yang bisa menghitung karomahnya kecuali Allah SWT. Dan sebagian dari karomah beliau antara lain adalah :

Allah SWt menganugerahkan kepada beliau kunci seluruh Asma-Asma, sehingga seandainya seluruh manusia dan jin menjadi penulis beliau (untuk menulis ilmu-ilmu beliau) mereka akan lelah dan letih, sedangkan ilmu beliau belum habis.

Beliau adalah sangat terpuji akhlaqnya, sifat mudah menolong dan kedermawanannya dari sejak usia anak-anak sampai ketika umur enam tahun telah mengenyangkan orang-orang yang kelaparan pada penduduk Negara Tunisia dengan uang yang berasal dari alam ghoib (uang pemberian Allah secara langsung kepada beliau.
Beliau didatangi Nabiyulloh Khidir as untuk menetapkan “wilayatul adzimah” kepada beliau (menjadi seorang wali yang mempunyai kedudukan tinggi) ketika beliau baru berusia enam tahun.

Beliau bisa mengetahui batin isi hati manusia
Beliau pernah berbicara dengan malaikat dihadapan murid-muridnya
Beliau menjaga murid-muridnya meskipun di tempat yang jauh
Beliau mampu memperlihatkan/menampakkan ka’bah dari negara Mesir
Beliau tidak pernah putus melihat/menjumpai Lailatul Qodar semenjak usia baligh hingga wafatnya beliau. Sehingga beliau berkata : Apabila Awal Puasa ramadhan jatuh pada hari Ahad maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 29, Awal Puasa pada hari Senin Lailatul Qodarnya malam 21, Awal puasa pada hari Selasa Lailatul Qodarnya malam 27, Awal puasa pada hari Rabu Lailatul Qodarnya malam 19, awal puasa pada hari Kamis Lailatul Qodarnya malam 25, awal puasa pada hari jum’at maka Lailatul Qodarnya pada malam 17, sedangkan bila awal puasa pada hari Sabtu maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 23.
Barang siapa yang meninggal dan dikubur sama dengan hari meninggal dan dikuburkannya beliau, maka Allah akan mengampuni seluruh dosanya

Doa Beliau Mustajabah (dikabulkan oleh Allah SWT)
Beliau tidak pernah terhalang sekejap mata pandangannya dari Rasulullah saw selama 40 tahun (artinya beliau selalu berjumpa dengan Rasulullah selama 40 tahun)

Beliau dibukakan (oleh Allah) bisa melihat lembaran buku murid-murid yang masuk kedalam thoriqohnya, padahal lebar bukunya tersebut berukuran sejauh mata memandang. Hal ini berlaku bagi orang yang langsung baiat kepada beliau dan juga bagi orang sesudah masa beliau sampai dengan akhir zaman. Dan seluruh murid-muridnya (pengikut thoriqohnya) diberi karunia bebas dari neraka. Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra sungguh telah digembirakan diberi karunia, barang siapa yang melihat beliau dengan rasa cinta dan rasa hormat tidak akan mendapatkan celaka.

Beliau menjadi sebab keselamatan murid-muridnya/pengikutnya (akan memberikan syafaat di akhirat)
Beliau berdo’a kepada Allah SWT, agar menjadikan tiap-tiap wali Qutub sesudah beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan thoriqohnya. Dan Allah telah mengabulkan Do’a beliau tersebut. Maka dari itu wali Qutub sesudah masa beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan pengikut beliau.

Syaikh Abul Abbas Al Mursi ra berkata : “Apabila Allah SWT menurunkan bala/bencana yang bersifat umum maka pengikut thoriqoh syadziliyah akan selamat dari bencana tersebut sebab karomah syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra".

Syaikh Syamsudin. Muhammad Al-Hanafi ra mengatakan bahwa pengikut thoriqoh syadziliyah di karuniai kemulyaan tiga macam yang tidak diberikan pada golongan thoriqoh yang lainnya :

a. Pengikut thoriqoh Syadziliyah telah dipilih di lauhil mahfudz

b. Pengikut thgoriqoh syadziliyah apabila jadzab/majdub akan cepat kembali seperti sedia kala.

c. Seluruh Wali Qutub yang diangkat sesudah masa syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra akan diambil dari golongan ahli thoriqoh Sadziliyah.

Apabila beliau mengasuh/mengajar murid-muridnya sebentar saja, sudah akan terbuka hijab.
Rasulullah saw memberikan izin bagi orang yang berdo’a Kepada Allah SWT dengan bertawasul kepada Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili Alhasany 

Isyarat Kepergian Sang Wali Agung

Kesadaran beliau akan usia yang kian menua, memanggil hati untuk berkunjung ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Beliau juga bermaksud mengajak keluarga, kerabat, dan murid-muridnya untuk menyertai.

Sebelum keberangkatan, beliau sudah merasa bahwa dirinya akan segera dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Perasaan itu beliau ungkapkan dengan isyarat. Ketika rombongan hendak berangkat, Syaikh memerintah mereka untuk membawa peralatan menggali. Para rombongan merasa janggal, namun mereka tetap memenuhi perintah beliau. Saat itu ada salah satu rombongan yang memberanikan diri bertanya. Beliau menjawab, “Ya, siapa tahu diantara kita ada yang meniggal di tengah perjalan “.

Wasiat Sang Imam

Di tengah perjalan, beliau dan rombongannya berhenti untuk istirahat. Tepatnya di kota Idzaab, suatu gurun di tepi pantai laut merah kota Khumaistaroh. Pemberhentian tersebut atas aba-aba Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili.Alhasany 

Dalam istirahatnya, beliau memberi wasiat kepada keluarga, kerabat, dan murid-muridnya. Salah satu wasiatnya, beliau berkata “Wahai. Anak-anakku perintahlah putra-putramu untuk menghafal Hizib Bahar. Karena, ketahuilah bahwa di dalamnya mengandung Ismul-Lâh al-a’zham“.

Beliau juga berwasiat kepada murid-muridnya jika Syaikh Abul Hasan meninggal, maka yang menggantikannya sebagai mursyid Thoriqoh Syadziliyah adalah Abul Abbas Ahmad Bin Umar al-Mursy. Tercatat dalam sejarah bahwa Syekh Abul Abbas Achmad bin Umar al-Mursy adalah salah satu dari murid Saikh Abul Hasan asy-Syadzili yang menduduki maqâm tertinggi di tarekat Syadziliyah

Detik Kewafatan

Setelah beliau memberi tausyiyah (sebagai tanda wasiat beliau), dan pesan-pesan terakhir pada mereka, beliau kemudian melanjutkannya dengan mengerjakan sholat Isya’. Beliau sholat dengan penuh khusyuk dan anteng (Bhs.jawa).

Setelah mengerjakan shalat Isya’ dan shalat sunnah, beliau berbaring dengan menghadapkan wajah kepada Allah (tawajjuh). Syaikh Abul Hasan tidak henti-hentinya berdzikir. Terkadang sangat nyaring, hingga terdengar oleh para murid dan sahabatnya.

Dalam detik-detik tersebut, Syaikh Abul Hasan juga tidak henti-hentinya memanggil nama Tuhannya. “Ilâhi… Ilâhi…” (wahai Tuhanku. wahai Tuhanku). Dan kadang beliau melanjutkannya dengan mengucapkkan, “Allâhummah matâ yakûnu al-liqâ’ ?” (Ya.. Allah. Kapan kiranya hamba bisa bertemu).

Ketika malam telah sampai di penghujung, yaitu mejelang terbitnya fajar sodik, suasana terasa sunyi. Dzikir yang beliau ucapkan sudah tidak lagi terdengar. Syekh Abul Hasan yang berada di dalam tenda tidak tidak lagi mengeluarkan suara. Hal itu membuat putranya asy-Syaikh Abu Abdullah Muhammad Syarouddin As syadzili merasa tidak nyaman. Lalu beliau bergegas pergi ke hujrân (kamar) sang ayah untuk melihat keadaannya.

Setelah mendapatinya, beliau menggerak-gerakkan tubuh Syaikh Abul Hasan dengan halus. Innâ lil-Lâhi wa innâ ilaihi râjiun. Syaikh Syarafuddin terkejut dan tersentak. Beliau mendapat ayahandanya telah pulang kehadirat Allah Beliau, Syaikh Al-Imam al-Quthb al-Ghauts Abul Hasan asy-Syadzili Alhasany diangkat oleh Allah ketika beliau berusia 63 tahun, sama dengan datuknya, Rasulullah SAW

Makam yang Penuh Berkah

Kepergian Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili Alhasany membuat umat Islam sedunia kehilangan, utamnya keluarga, sahabat, dan para muridnya. Air mata mengalir tanpa terasa terus membasahi pipi rombongan. Mereka menggenggam kesabaran sesuai dengan anjuran sang guru untuk selalu sabar dalam menghadapi musibah. Rombongan tersebut kemudian memandikan dan mengkafani jasad beliau.

Ribuan manusia terus berduyun-duyun tiada henti datang untuk bertakziyah. Meski matahari telah meninggi, justru semakin banyak masyarakat, ulama, siddiqin, dan para auliya’ yang mensholati jenazah Syaikh Abul Hasan. Termasuk diantara adalah qâdhil-qudhât, Syaikh al-Wali Bahruddin bin Jama’ah. Hadir pula di antara mereka pangeran dan pejabat kerajaan Mesir. Kehadiran meraka semua, tiada lain adalah untuk menghormati kepergian sang imam menuju rahmatul-Lâh.

Bahkan, setelah jasad beliau dikebumikan, makam beliau tidak pernah sepi dari para penziarah. Sampai saat ini pun, keramaian tersebut masih terus menyelimuti. Kaum muslimin dari berbagai penjuru negeri terus berdatangan untuk mengharap berkah. 

Thoriqoh Syadziliyah adalah warisan utama Kanjeng Syaikh Abul Hasan As Syadzili yang masih ada sampe sekarang dari generasi-generasi dan berbagai cabang Syadziliyah pun berdiri di Afrika dan telah masuk di berbagai penjuru di bumi ini.
Di Indonesia pun banyak kemursyidan Syadziliyah yang tersebar di berbagai daerah .
Diantaranya yang di pimpin oleh Ro'is 'Am Thoriqotul Muktabaroh anNahdziyah Al Habib Muhammad Luthfi Al bin Yahya.pekalongan
Serta di Ponpes Al Kahfi dan Al Falah Somalangu Kebumen  dan berbagai tempat lain di Indonesia 

semoga ada manfaatnya dan kita tau tentang sejarah para kekasih ALLOH.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...