Selasa, 09 November 2021

Keris Sebagai Media Do'a Bagi Pemiliknya

 

 Jaman dulu, masyarakat tradisional sangat menghormati Empu pembuat Keris, bahkan setiap Kerajaan pasti memiliki Empu Keris yang hebat dan disegani. Para Empu Kerajaan tersebut bertugas membuat Keris pesanan dari Sang Raja, Pangeran, dan para Pejabat Kerajaan.

Pada masa lalu, setiap orang hanya memiliki Keris yang dibuat khusus untuk dirinya yang dipesan pada seorang Empu Keris. Karena sejatinya sebilah Keris adalah media Do'a dari Sang Empu kepada TUHAN yang dimasukkan pada lipatan-lipatan logam dan kemudian ditempa menjadi sebilah Keris dengan bentuk, dhapur, dan pamor yang melambangkan harapan dan cita-cita pemiliknya.

Do'a yang dipanjatkan oleh Sang Empu kepada TUHAN adalah Do'a yang dikhususkan kepada sipemesan Keris sesuai dengan keinginan, profesi, dan karakter dari pemesan Keris tersebut.

Secara prinsip, bagi masyarakat tradisional Keris merupakan milik pribadi, karena Keris dibuat khusus untuk pemiliknya dengan bantuan seorang Empu, dan Keris tersebut  mengandung harapan dari pemiliknya agar dapat mencapai kehidupan yang berhasil lahir dan batin.

Kehendak pribadi yang ditanamkan kedalam sebilah Keris akan berlaku selamanya dan itu merupakan energi spiritual yang kuat untuk selalu menjaga dan membantu pemiliknya dalam mencapai cita-citanya.

Oleh karena itu, tidak ada perdagangan Keris dimasa lalu karena setiap Keris hanya memiliki tuah bagi pemiliknya saja. Tapi dalam perkembangannya, kini marak bisnis jual-beli Keris karena keuntungannya cukup menggiurkan, apalagi jika dibumbui dengan hal-hal klenik maka sebilah Keris dapat mencapai harga fantastis.

Ketika kita membeli sebilah Keris, selain bentuk dan pamor yang diperhatikan, yang paling penting untuk dideteksi adalah energi spiritual atau tuah Keris yang merupakan fungsi utama dari Keris tersebut.

Kita harus memilih Keris yang energi spiritualnya sesuai dengan kehendak kita agar diri kita dan Keris tersebut memiliki kecocokan energi yang harmonis.

Kita harus memiliki rasa senang terhadap Keris tersebut dan memperlakukannya dengan spatutnya, sehingga Keris juga merasa aman dan kerasan dengan kita dan akan melayani tuan barunya dengan sepenuh hati.

Keris atau "isi" Keris yang biasa disebut "yoni" bisa diajak berdialog/ditayuh. Jika kita tidak tahu cara untuk menayuh Keris, kita bisa meminta bantuan pada orang yang ahli dalam menayuh Keris untuk mengetahui kehendak dan tuah dari Keris yang kita rawat.

Ada istilah/kalimat halus yang umum digunakan dalam perdagangan Keris untuk menggantikan "harga" yang digantikan dengan "mas kawin/mahar" agar terkesan lebih halus dan bukan merupakan transaksi jual-beli, karena jual-beli Keris dianggap sebagai hal yang tabu.

Setiap kali seorang Empu akan membuat Keris sesuai dengan tata cara baku/pakemnya, maka dia harus terlebih dulu mempersiapkan diri secara spiritual. Sang Empu harus membersihkan jiwa dan raganya, lahir dan batinnya dengan cara berpuasa/tirakat dan mengurangi tidur.

Seorang Empu hanya akan tidur sebentar sesudah tengah malam dan melakukan semedi/meditasi selama berhari-hari dengan khusuk memohon kepada TUHAN agar dapat membuat sebilah Keris yang bagus dan cocok dengan keinginan pemesannya.

Sang Empu juga memohon agar selama proses pembuatan Keris tersebut segalanya berjalan lancar. Agar dia dan para pembantunya serta si pemesan Keris selamat dan diberi berkah agar berhasil membuat Keris sesuai dengan permintaan pemesannya.

Setelah yakin bahwa dia telah mendapatkan jawaban dari TUHAN melaluai pertanda, maka Sang Empu juga akan meminta agar sipemesan Keris juga melakukan tirakat dengan membersihkan jiwa dan raganya, lahir dan batinnya dengan memanjatkan Do'a kepada TUHAN supaya diperkenankan untuk dapat memiliki sebilah Keris baru yang bagus dan cocok untuk dirinya.

Akan lebih baik lagi jika sipemesan Keris juga berpuasa selama beberapa hari agar lebih menyatu dengan energi Keris yang akan dibuat untuk dirinya. Dan yang paling penting selama proses pembuatan Keris, sipemesan Keris harus memiliki pikiran dan hati yang bersih.

Sang Empu akan mencatat nama lengkapnya, pekerjaannya, hari, weton, tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya untuk menyelaraskan karakter pemesan Keris dengan karakter Keris yang akan dibuat agar benar-benar sesuai dengan bentuk, dapur, dan pamor Keris yang diminta sebagai perlambang untuk mewakili harapan dan cita-cita sipemesan Keris.

Data tersebut akan dipergunakan oleh Sang Empu untuk mulai merancang bentuk, dapur, dan pamor Keris yang sesuai dengan karakter sipemesan agar tercipta Keris berkualitas dari segi eksoteri dan esoterinya.

Dalam proses pembuatan Keris juga akan disiapkan sesaji/ubo rampe yang diletakkan didalam besalen dengan tujuan positif sebagai perlambang harapan untuk mendapatkan berkah dan perlindungan dari TUHAN selama berlangsungnya proses pembuatan Keris.

Keris seperti apa yang akan dibuat dan apa tujuan dari dibuatnya Keris tersebut, tentu harus disesuaikan dengan karakter dan profesi dari si pemesan Keris agar energinya dapat berfungsi dengan baik. Misalnya saja Keris untuk seorang pejabat tentu tidak cocok dimiliki oleh seorang pedangang, Keris untuk seorang prajurit, tentu tidak cocok dimiliki oleh seorang petani.

Pusaka Yang Bisa Dijadikan Tindih


Keris tindih adalah Keris-Keris tangguh tua yang sengaja disimpan sebagai tindih untuk Keris-Keris lainnya. Fungsinya untuk meredam energi panas/keras/brangasan dari Keris-Keris lain yang dimiliki agar tidak mengganggu atau membahayakan pemilik Keris dan keluarganya. Keris yang sering digunakan sebagai Keris tindih adalah Keris-Keris tangguh tua seperti Keris Jalak Budho dan Bethok Budho.

Dari kepercayaan masyarakat tentang pentingnya Keris tindih inilah kemudian banyak sekali Keris-Keris Bethok Budho palsu yang dibuat sangat mirip dengan Keris Bethok Budho asli karena telah diproses dengan bahan-bahan kimia tertentu sehingga menjadi tampak tua (kropos).

Ada sebuah kepercayaan dikalangan penggemar Tosan Aji bahwa jika memiliki banyak pusaka, maka sebaiknya perlu memiliki pusaka tindih untuk meredam energi negatif dari Keris atau pusaka-pusaka koleksinya agar tidak mengganggu atau membahayakan pemilik dan keluarganya.

Keris yang biasa dijadikan sebagai tindih adalah Keris-Keris tangguh tua seperti Bethok Budho dan Jalak Budho. Dari kepercayaan tentang Keris tindih itulah yang menyebabkan banyak sekali beredar Keris-Keris Bethok baru yang dibuat/diproses hingga menyerupai Keris Bethok tangguh tua. Tujuannya untuk mengelabuhi pembeli agar mendapatkan keuntungan lebih besar karena nilai dari Keris Bethok Budho cukup tinggi.

Sebetulnya Keris tindih tidak harus menggunakan Keris-Keris bertangguh kuno, tapi bisa juga menggunakan Keris-Keris setelah jaman Singosari.

Perlu dipahami bahwa Keris tindih berfungsi untuk melindungi pemilik Keris dan keluarganya dari gangguan/bahaya yang berasal tidak hanya dari Keris-Keris miliknya saja, tapi juga dari gangguan/bahaya dari luar yang dapat mengancam keselamatan pemilik Keris dan keluarganya.

Tapi jika tidak bisa mendapatkan Keris Bethok Budho atau Keris Jalak Budho yang asli untuk dijadikan sebagai pusaka tindih, bisa juga menggunakan Keris-Keris lain untuk tindih, misalnya:

- Keris/Tombak/Pedang yang berpamor Wengkon, atau berpamor Tejo Kinurung.

Keris pamor Wengkon memiliki perlambang tuah untuk melindungi pemilik Keris dan keluarganya dari mara bahaya. Pamor ini tidak pemilih, artinya setiap orang bisa cocok memilikinya.

- Keris/Tombak/Pedang yang berpamor Kelengan.

Pamor Kelengan merupakan demonstrasi olah logam yang mumpuni yang merupakan kapasitas teknis dan spiritual dari sang Empu sehingga mampu menghasilkan kadar pemurnian logam yang tinggi. Keris Kelengan yang tanpa dihiasi pamor sanak ataupun tempa mentah menunjukkan betapa tingginya kemampuan sang Empu dalam mengolah besi menjadi lebih "kajen".

Keris Kelengan adalah simbolisasi bahwa setelah sekian lama berkubang pada keduniawian dan kurang bisa menahan diri atas hasrat hati, maka kini saatnya mengambil momentum untuk ingat kepada TUHAN. Kembali meningkatkan kapasitas spiritual untuk lebih menyatu atau manunggal dalam segala aspek kehidupan.

Keris Kelengan adalah Keris yang memiliki perlambang untuk menambah kebijaksanaan dari pemilik Keris. Karena sebesar apapun amarahnya jika bertemu dengan kebijaksanaan pasti akan luluh. Tapi Keris kelengan bersifat pemilih, tidak semua orang cocok memilikinya.

- Keris atau Tombak dengan dhapur Khusus yang fungsinya untuk perlindungan, misalnya saja Tombak Banyak Angrem.Tombak Nenggolo, Keris Bethok Sombro, Keris Suro, Keris Puthut Sajen dan lainnya.

Fungsi atau tujuan dibuatnya Tombak Banyak Angrem memang untuk melindungi atau menjaga pemiliknya dari segala bentuk mara bahaya. Seperti sifat Angsa (Banyak) yang sedang mengerami telurnya, jika ada yang berusaha mendekat atau di anggap membahayakan telur-telurnya, maka angsa tersebut akan menyerangnya dengan galak.

- Keris/Tombak/Kudhi yang telah berusia tua/setelah Kerajaan Singosari, seperti pusaka-pusaka tangguh Majapahit.

Tapi perlu dipahami bahwa Keris/Tombak yang akan digunakan sebagai tindih harus cocok dengan pemiliknya agar dapat bermanfaat.karena jika tidak cocok maka Keris tersebut tidak akan bermanfaat.

Sebetulnya Pusaka Tindih sendiri memiliki makna agar kita menghormati orang yang lebih tua dan merupakan pesan agar kita bisa menindih/meredam sifat-sifat negatif yang ada dalam diri kita.

Demikian sedikit informasi tentang Keris dan Tombak yang bisa dijadikan sebagai tindih. 

Keris Yang Menyimpan Wahyu Keraton


 Didunia perkerisan dikenal adanya Keris-Keris khusus yang hanya dimiliki oleh Orang-Orang tertentu saja sesuai peruntukkan Kerisnya. Artinya tidak semua orang bisa cocok memiliki Keris-Keris tersebut dan tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat atau tuahnya.

Keris yang di anggap paling tinggi derajatnya dan bersifat khusus adalah Keris Keraton karena memiliki Wahyu Keraton. Dibawah tingkatan Keris Keraton adalah Keris-Keris yang memiliki Wahyu kepangkatan dan derajat serta Wahyu keningratan.

Keris Keraton adalah Keris pusaka yang khusus dibuat untuk dipasangkan dengan Orang yang memiliki Wahyu Keprabon sekaligus untuk menjadi lambang kebesaran sebuah Kerajaan, Kadipaten atau Kabupaten sesuai tingkatan Wahyu Kerisnya.

Keris Keraton merupakan pusaka yang menjadi lambang kekuasaan karena Keris tersebut membawa Wahyu kepemimpinan atau Wahyu keprabon yang akan mengantarkan seseorang pada posisi dan derajat yang tinggi atau menjadi seorang pemimpin seperti Raja/Presiden atau kepala daerah sesuai tingkatan Wahyu Kerisnya.

Pengertian Keraton bukan hanya semata-mata sebuah bangunan Keraton yang menjadi istana Raja atau Adipati, tapi melambangkan kebesaran sebuah pemerintahan. Bangunannya sendiri hanyalah sebagai simbol saja dari adanya sebuah pemerintahan.

Pengertian Keraton sendiri terbagi dalam 3 tingkatan, yaitu Keraton Kerajaan, Kadipaten dan Kabupaten. Dan yang disebut Keris Keraton bukanlah semua Keris yang dimiliki oleh sebuah Keraton atau semua Keris yang menjadi perbendaharaan sebuah Keraton yang disimpan digedhong pusaka Kerajaan.

Keris Keraton adalah Keris pusaka yang memiliki atau membawa Wahyu Keraton yang dalam pembuatannya memang dikhususkan untuk dipasangkan dengan Wahyu Keprabon yang dimiliki oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin.

Keris Keraton baru akan menyatu dan memberikan tuahnya kepada orang yang ketempatan Wahyu Keprabon, atau orang yang cocok untuk menjadi wadah dari Wahyunya.

Keris Keraton adalah Keris keningratan yang paling tinggi tingkatannya dan bersifat khusus dan tidak boleh digunakan oleh sembarang Orang, termasuk oleh anak Raja sekalipun. Karena selain Orang yang memiliki Wahyu Keprabon tidak akan bisa berdampingan dan selaras dengan Keris Keraton.

Hanya orang-orang yang memiliki Wahyu Keprabon saja yang bisa memilikinya sehingga Wahyu pada diri Orang tersebut dan Wahyu dari Kerisnya akan menyatu dan mewujudkan sinergi keghaiban yang tidak akan bisa disamai oleh pusaka-pusaka lainnya.

Keris Keraton dan Keris pusaka Kerajaan biasanya akan disimpan digedhong pusaka Kerajaan dan tempatnya akan disendirikan atau terpisah dari pusaka-pusaka yang lain.

Keris pusaka Keraton dan Keris pusaka Kerajaan baru akan dikeluarkan dari tempatnya jika akan dijamas atau jika ada upacara-upacara besar Kerajaan atau jika terjadi situasi yang mendesak dan genting.

Sedangkan pusaka Kerajaan biasanya berbentuk Tombak dan Payung Raja atau Payung Songsong yang juga merupakan lambang kebesaran sebuah Keraton dan biasanya diletakkan berdiri dibelakang singgasana Raja.

Contoh pusaka yang dijadikan Pusaka Kerajaan adalah Tombak Kyai Plered yang menjadi pusaka Kerajaan Mataram Islam.

Tombak Kyai Plered awalnya diberikan oleh Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang) kepada Sutawijaya sebagai bekal untuk menghadapi Arya Penangsang (Adipati Jipang) yang pada akhirnya mengantarkan Sutawijaya (Panembahan Senopati) menjadi penguasa Mataram.

Contoh pusaka lainnya adalah Bende Mataram yang menjadi pusaka andalan Kerajaan Mataram untuk menaikkan semangat tempur Prajurit Mataram dalam peperangan, sekaligus untuk merusak psikologis prajurit musuh pada saat Mataram berperang melawan Kerajaan Pajang.

Ada juga Keris yang menjadi lambang serah-terima tahta Kerajaan, yaitu Keris yang diserahkan kepada putra mahkota atau Raja pengganti ketika seorang Raja turun tahta. Keris ini menjadi simbol bahwa sang Raja sudah lengser dan sudah menyerahkan tahtanya kepada Orang yang menerima Keris tersebut.

Tapi Keris tersebut bukan merupakan Keris Keraton, tapi tergolong sebagai Keris Raja. Biasanya Keris tersebut akan disimpan didalam gedhong pusaka Kerajaan dan menjadi Keris pusaka Kerajaan.

Dibawah tingkatan Keris Keraton adalah Keris yang memiliki Wahyu kepangkatan dan derajat, yaitu Wahyu yang akan mengantarkan pemiliknya mencapai posisi/jabatan yang tinggi sesuai tingkatan Wahyu Kerisnya.

Jika berada ditangan Orang yang tepat sesuai peruntukkannya, maka Keris tersebut akan dapat mengantarkan pemiliknya meraih pangkat dan derajat yang tinggi, misalnya menjadi orang kepercayaan Raja atau pejabat tinggi Kerajaan.

Keris-Keris pusaka yang memiliki Wahyu tersebut hanya akan memberikan tuahnya ketika sudah berada ditangan Orang yang tepat, yaitu Orang yang memiliki Wahyu kepemimpinan/kepangkatan/keningratan atau setelah dimiliki oleh keturunan ningrat yang cocok untuk menjadi wadah dari sifat-sifat Wahyunya.

Itulah kelebihan Keris Jawa yang dipercaya memiliki jiwa sehingga bisa memilih siapa Orang yang tepat untuk memilikinya. Keris bukan hanya sekedar senjata yang berfungsi secara fisik saja.

Tujuan spiritual tertinggi dari pembuatan Keris Jawa adalah untuk dipasangkan dengan orang-orang yang memiliki Wahyu Dewa didalam dirinya.

Keris Keraton yang didalamnya terkandung Wahyu Keraton dibuat khusus untuk dipasangkan dengan Orang yang memiliki Wahyu keprabon. Jadi dengan jalan apapun, Keris tersebut akan dimiliki oleh Orang yang memang sudah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.

Keris yang memiliki Wahyu kepangkatan dan derajat dibuat khusus untik dipasangkan dengan Orang yang memiliki Wahyu kepangkatan dan derajat didalam dirinya.

Keris keningratan yang didalamnya terkandung Wahyu keningratan dibuat khusus untuk dipasangkan dengan Orang-Orang ningrat atau keturunan ningrat.

Secara umum Keris-Keris yang memiliki Wahyu tersebut merupakan Keris yang memiliki tuah kewibawaan dan kekuasaan sehingga hanya cocok untuk Orang-Orang yang status dan posisinya berkaitan dengan kepemimpinan atau kekuasaan.

Jika Keris-Keris wahyu tersebut sudah dimiliki oleh seseorang yang profesinya sesuai dengan fungsinya, maka Keris tersebut akan memancarkan aura kewibawaan dan dapat mengantarkan pemiliknya untuk meraih posisi dan derajat yang tinggi serta akan menunjang dan mengamankan posisi yang telah diraihnya.

Keris-Keris yang dibuat khusus untuk menjadi Keris pusaka Kerajaan/Kadipaten/Kabupaten memiliki tuah yang sangat ampuh yang tidak bisa disejajarkan dengan Keris-Keris umum atau benda-benda pusaka lainnya seperti jimat dan mustika.

Selain itu, tuah dan wibawanya juga tidak sebatas hanya melingkupi diri pemiliknya saja, tapi juga melingkupi seluruh wilayah Kerajaan atau wilayah yang dipimpin oleh pemilik Keris tersebut.

Karena keampuhannya itulah yang menyebabkan Keris-Keris Keraton dan Keris-Keris pusaka Kerajaan sering diperebutkan karena banyak yang beranggapan jika dapat memiliki Keris-Keris tersebut maka akan mudah untuk berkuasa.

Padahal segala sesuatunya tergantung pada diri Manusia itu sendiri, bukan pada pusaka. Karena Orang yang terlalu berambisi untuk berkuasa tidak akan cocok menjadi wadah dari Wahyu keprabon termasuk Wahyu dari Keris-Keris Keraton tersebut.

Itulah yang disebut Wahyu, “isi kang nggoleki wadah, dudu wadah kang nggoleki isi”. Wahyu tidak dapat diperoleh hanya dengan memiliki Keris saja karena Wahyu akan mencari sendiri Orang yang cocok atau kuat menjadi wadahnya.

Dan untuk dapat menerima Wahyu, seseorang harus menjadikan dirinya sebagai wadah yang sesuai dengan sifat-sifat Wahyunya.

Oleh karena itulah untuk dapat menerima Wahyu, seseorang harus bekerja keras, mesu raga dan mesu jiwa penuh keprihatinan dan membentuk sifat-sifat kepribadian diri serta perbuatan yang sesuai dengan sifat-sifat Wahyunya.

Jika seseorang telah benar-benar selaras dan menyatu dengan Keris tersebut, barulah dia akan mendapatkan sipat kandel  yang sebenarnya. Tapi selama masih ada selisih kebatinan antara pemilik Keris dengan Kerisnya, maka Keris tersebut tidak akan memberikan tuahnya.

Contoh Keris Keraton adalah Keris Nagososro dan Keris Sabuk Inten, sepasang Keris yang pernah menjadi lambang kebesaran dan karahayon Kerajaan Majapahit.

Setelah masa Kerajaan Majapahit berakhir dan kekuasaan berpindah ke Kerajaan Demak, sepasang Keris legendaris tersebut kemudian diambil dan dipindahkan ke Demak untuk dijadikan lambang kebesaran dan karahayon Kerajaan Demak.

Tapi ketika berada di Demak, jiwa dari sepasang Keris Nogososro dan Sabuk Inten tersebut tidak dapat luluh dan menyatu dengan pemiliknya.

Keris Kyai Nogososro dan Kyai Sabuk Inten memancarkan aura cemerlang seperti emas dan intan. Tapi ketika sudah selaras dan menyatu dengan diri seseorang, maka kecemerlangannya akan hilang dan menjadi seperti Keris biasa yang dihiasi emas dan intan.

Orang yang telah selaras dan menyatu dengan jiwa dari Keris-Keris tersebut akan memiliki sifat-sifat keagungan dan kemuliaan yang meresap dalam dirinya.

Keris Kyai Nogososro memiliki tuah keagungan dan kekuasaan, dipatuhi oleh kawulo, dicintai dan dihormati rakyat, mengayomi, bijaksana dan memberi kesejahteraan kepada rakyat.

Sedangkan Keris Kyai Sabuk Inten memiliki sifat yang mulia bagaikan lautan yang luas tak bertepi dan mampu menampung arus sungai dan banjir sebesar apapun. Airnya selalu bergerak ke tempat yang membutuhkannya, tetapi gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatannya pada saat diperlukan.

Keris Kyai Nogososro dan Keris Kyai Sabuk Inten melambangkan perwatakan Dewa Wisnu. Tapi kedua Keris tersebut masih harus dilengkapi dengan Keris Kyai Sengkelat.

Keberadaan Keris Kyai Sengkelat juga tidak kalah penting. Keris yang memiliki watak seorang ksatria sejati ini mewakili perwatakan Dewa Hanoman yang setia dan patuh pada kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk Negara dan rakyatnya dengan penuh kejujuran tanpa pamrih, serta setia menjalankan perintah Yang Maha Kuasa.

Watak-watak seperti ketiga Keris itulah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Orang yang memiliki sifat-sifat itulah yang layak dan mampu menjadi pemimpin sejati.

Keris-Keris tersebut dan Keris-Keris lainnya yang dahulu pernah sangat terkenal kemashuran dan kesaktiannya sekarang ini sudah tidak ada lagi dalam kehidupan Manusia.

Keris-Keris tersebut sudah moksa masuk ke dimensi ghaib bersama dengan fisik Kerisnya karena tidak ada lagi Orang yang mampu menjadi wadah Wahyunya.

Tetapi pada waktunya nanti ketika sudah muncul sosok terpilih yang membawa Wahyu keprabon, mungkin pusaka-pusaka ampuh tanah Jawa tersebut akan muncul kembali untuk mendampingi Orang yang akan memimpin Nusantara ini.

Keris-Keris yang pada jaman dahulu pernah sangat terkenal dengan tuah ghaib dan kesaktiannya kemudian banyak diputrani karena banyak yang ingin memiliki Keris yang serupa.

Banyak Orang yang kemudian memesan kepada Empu untuk dibuatkan Keris-Keris dengan bentuk yang sama persis dengan Keris-Keris Kerajaan atau Keris milik Raja sehingga pada akhirnya banyak Keris dengan bentuk/dhapur yang seragam.

Contoh Keris yang banyak ditiru adalah Keris Kyai Nogososro, Keris Kyai Sabuk Inten dan Keris Kyai Sengkelat yang kemudian disebut  Keris dhapur Nogososro, dhapur Sabuk Inten dan dhapur Sengkelat.

Jika yang membuat Keris-Keris berdapur Nogososro, Sabuk Inten atau Sengkelat adalah Empu yang sama dengan yang membuat Keris aslinya, maka Keris-Keris itu disebut Keris turunannya (mutrani), tapi jika yang membuatnya adalah Empu lain, maka Keris-Keris itu disebut Keris tiruannya (tetiron).

Jadi meskipun bentuknya sama persis, tapi dari sisi tuah Keris putran tidak akan bisa menyamai Keris aslinya, bahkan ada juga yang hanya dibuat sebagai Keris ageman yang hanya menampilkan keindahan fisiknya saja tanpa diberi jiwa/isi.

Demikian sedikit informasi tentang Wahyu Keris pusaka Keraton yang dapat kami sampaikan. 

Makna Wahyu Keprabon Bagi Para Pemimpin Nusantara


Wahyu Keprabon atau Pulung kekuasaan adalah restu ghaib dari TUHAN untuk seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi penguasa atau pemimpin, karena kekuasaan sejatinya adalah takdir yang sudah ditentukan.

Takdir inilah yang berperan akan hilang atau turunnya Wahyu Keprabon. Tetapi, walaupun Wahyu Keprabon merupakan sebuah takdir, namun seseorang bisa mendapatkannya dengan laku spiritual mesu rogo dan mesu jiwo.

Tapi sejatinya semua laku spiritual yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan Wahyu Keprabon merupakan rangkaian dari takdir yang sudah digariskan guna mempersiapkan seseorang atau wadah yang akan ketempatan Wahyu Keprabon pada waktu yang telah ditentukan.

Dalam kosmologi Jawa, kekuasaan dan kepemimpinan selalu diselimuti aura spiritual. Kekuasaan selalu dikaitkan dengan sosok pemimpin yang sakral karena melibatkan campur tangan TUHAN, oleh sebab itulah hanya orang yang ketempatan Wahyu Keprabon saja yang bisa menjadi seorang penguasa.

Orang yang ketempatan Wahyu Keprabon/Pulung Kekuasaan inilah yang diyakini layak menjadi seorang Raja/Pemimpin.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa orang yang ketempatan Wahyu Keprabon adalah sosok pemimpin sejati yang di anggap sebagai Satrio Pinilih yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Konsep Wahyu Keprabon dalam khasanah kekuasaan Kerajaan-Kerajaan di Jawa lebih dominan daripada konsep legitimasi hak-hak lainnya seperti silsilah atau keturunan. Seperti yang terjadi saat ini, keturunan Raja-Raja Mataram tidak menjadi penguasa di Negeri ini.

Konsep Wahyu Keprabon lebih menjelaskan kekuasaan mutlak seorang Raja/Pemimpin, bahkan ada anggapan jika menentang Raja itu sama halnya dengan melawan TUHAN, karena seorang Raja adalah penerima Wahyu Keprabon atau yang mendapat restu dari TUHAN untuk menjadi pemimpin.

Sesungguhnya, konsep Wahyu Keprabon ini  menjadikan kedudukan Raja menjadi tidak stabil, sebab Wahyu Keprabon bisa pergi dari seseorang dan berpindah kepada orang lain yang di anggap lebih pantas menjadi wadahnya.

Jadi, Wahyu Keprabon tidak bersifat langgeng yang bisa dimiliki oleh seseorang beserta keturunannya, karena Wahyu Keprabon akan memilih siapa yang pantas menjadi wadahnya dan akan meninggalkan seseorang yang sudah tidak pantas lagi menjadi wadahnya (isi kang nggoleki wadah, dudu wadah kang nggoleki isi).

Oleh karena itulah, tampuk kekuasaan di Negeri ini selalu berpindah-pindah Dinasti sejak jaman Kerajaan dahulu.

Terlebih lagi adanya kepercayaan tentang jatah waktu kekuasaan ini sering dinyatakan dalam sebuah ramalan, bahwa menjelang akhir masa kekuasaan sering dikatakan bahwa Wahyu Keprabon telah hilang.

Hal itu juga akan menyebabkan hilangnya kepercayaan diri seorang Raja/Pemimpin untuk mempertahankan kekuasannya, sehingga keruntuhan sebuah Dinasti benar-benar terjadi sesuai yang diramalkan.

Pihak yang diramalkan ketempatan Wahyu Keprabon akan semakin kuat dan percaya diri karena meyakini bahwa ini adalah momentumnya untuk berkuasa, sedangkan pihak yang diramalkan kehilangan Wahyu Keprabon akan kehilangan kepercayaan diri yang akan membuatnya semakin lemah.

Hilangnya Wahyu Keprabon juga sering menimbulkan gejolak politik yang drastis maupun kekacauan-kekacauan lain yang memicu runtuhnya sebuah Dinasti/Kerajaan.

Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit (Wiwatikta), maka tidak ada lagi Wahyu agung yang di turunkan dibumi Nusantara ini. Terlebih setelah Raja-Raja besar di tanah Jawa ini banyak yang memilih moksa dan tinggal dalam dimensi keabadian atau alam kelanggengan, maka sudah tidak ada lagi Wahyu yang di turunkan di tanah Jawa Dwipa.

Kalaupun ada, itu hanya berskala kecil sehingga setelah masa Kerajaan Wilwatikta (Majapahit), maka tidak ada lagi pemimpin besar yang disegani dan memiliki pengaruh besar.

Tidak ada lagi karya-karya besar yang dihasilkan, tidak ada lagi pusaka-pusaka ampuh yang bisa dibuat oleh para Empu, tidak ada lagi bangunan-bangunan megah yang menggambarkan kejayaan sebuah Negara.

Setelah masa Kerajaan Wilwatikta (Majapahit) berakhir, tanah Jawa telah kehilangan pamornya. Tidak ada lagi kejayaan karena yang ada hanyalah Kerajaan-Kerajaan kecil yang tidak bisa bertahan lama.

Bahkan kemudian, tanah Jawa menjadi jajahan dan jarahan bangsa-bangsa lain dari tanah seberang. Lalu setelah jaman Kerajaan berakhir, Nusantara berganti ke jaman Republik yang masih terus dilanda kekisruhan meskipun statusnya telah merdeka.

Tanah Jawa tetap menjadi bahan perebutan kekuasaan dan jarahan dari orang-orang yang tidak berbudi luhur. Dan sampai hari ini Negeri ini masih tetap menangis karena masih tetap dijajah namun bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh bangsa kita sendiri, dijajah dan dijarah oleh orang-orang yang menghianati amanat rakyat.

Di tanah Jawa tidak ada lagi peranan dan campur tangan dari para Sang Hyang, Bhatara, Dewa yang merupakan para leluhur orang Jawa yang telah hidup dalam di alam kelanggengan (moksa).

Mereka tidak lagi membantu Negeri ini untuk keluar dari masalahnya, mereka tidak akan turun ke tanah Jawa untuk memberikan wejangan dan petunjuk untuk membangun sebuah peradaban besar  jika tidak ada seorang Kesatria yang menerima Wahyu Keprabon dari TUHAN.

Karena tanpa hal itu, mereka tidak akan turun dari Kahyangan ke tanah Jawa Dwipa karena Wahyu Keprabon ibarat sebuah pintu dimensi yang mengharuskan mereka untuk masuk ke dalam urusan rumah tangga yang besar, yaitu membangkitkan kejayaan Nusantara.

Artinya, tanpa Wahyu Keprabon, maka perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Nusantara akan berjalan sendiri tanpa adanya pengayoman dari para leluhur Nusantara, sehingga tidak akan ada kejayaan yang semestinya bisa diraih seperti kejayaan pada masa lalu. Karena Negeri ini hanya berjalan sendiri tanpa kendali, sehingga terus menuju keterpurukan.

Dalam hal kepemimpinan tertinggi, ada satu hal yang membedakan Nusantara, khususnya pulau Jawa dengan wilayah lainnya di seluruh Dunia, yaitu tentang Wahyu Keprabon yang di turunkan oleh TUHAN kepada seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin besar Nusantara. Dengan itu pula, maka Bangsa ini baru akan perkasa dan kembali memimpin Dunia. 

Dalam konteks kebudayaan Jawa, Wahyu bukan seperti Wahyu yang diterima oleh para Nabi. Wahyu di artikan sebagai karunia dari TUHAN yang diperoleh Manusia secara ghaib.

Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh TUHAN kepada seseorang yang di anggap pantas menjadi wadahnya. Sedangkan Manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan “mesu raga” dan “mesu jiwa” dengan jalan tirakat, puasa, bersemedi, bertapa dan laku kebatinan lainnya.

Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan Wahyu, kerena sejatinya Wahyu tidak bisa dicari, Wahyu hanya akan datang atas kehendak atau anugerah TUHAN.

Jadi semua usaha yang dilakukan untuk mendapatkan Wahyu sejatinya merupakan sebuah rangkaian takdir yang memang telah digariskan untuk mempersiapkan seseorang agar kuat atau pantas ketempatan Wahyu.

Disebutkan dalam kitab Babad Tanah Jawa, bahwa turunnya Wahyu atau Pulung digambarkan sebagai cahaya terang bagaikan bulan purnama dan bisa juga berwujud gumpalan cahaya atau seberkas sinar putih yang jatuh dari angkasa dan menyatu dalam tubuh seseorang yang sedang “mesu raga” dan “mesu jiwa“, baik sedang bersemedi atau bertapa.

Sedangkan dalam lakon wayang, tanda-tanda akan turunnya Wahyu datang berupa wangsit pada seorang Resi, Brahmana atau Pendeta atau orang yang sudah bersih jiwanya melalui mimpi.

Wangsit yang diterima itu lalu diberitahukan kepada orang lain, dalam hal ini biasanya orang yang sedang berguru atau menuntut ilmu kepadanya, atau kepada orang lain agar ia melakukan hal tertentu untuk mendapatkan sesuatu yang besar di kemudian hari, misalnya dengan jalan menyepi atau bertapa.

Namun keputusan tentang siapa yang akan memperoleh Wahyu sepenuhnya berada di tangan Sang Maha Pencipta, sedangkan Manusia hanya bisa berupaya untuk mendapatkannya.

Tidak mudah untuk menjalani laku “mesu raga” dan “mesu jiwa” untuk menerima Wahyu Keprabon, tidak sembarangan orang bisa dan sanggup menjalaninya karena hanya orang yang bersih hatinya dan tenang jiwanya yang dapat terpilih untuk memangkunya.

Jadi, orang yang tidak ditakdirkan menerima Wahyu Keprabon tidak akan kuat menjalani laku tirakat untuk mendapatkannya.

Khusus untuk seorang pemimpin besar Nusantara yang akan membawa Negeri ini pada kejayaannya kembali dan memimpin Dunia, maka dia harus orang yang ketempatan Wahyu dari TUHAN. Setidaknya ada lima Wahyu yang harus didapatkan, antara lain:

1. Wahyu Purba

Kata Purba dalam bahasa Sanskerta berarti kekuasaan atau wewenang. Wahyu Purba berarti suatu kebenaran Illahi yang bersifat mengatur atau menguasai yang mengandung makna bahwa didalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk Manusia itu sepenuhnya di atur dan dilakukan oleh kekuasaan Illahi. Tegasnya, satu-satunya pengatur dan pemerintah di alam semesta beserta segala isinya adalah TUHAN itu sendiri.

“Owah ono gingasring kahanan iku soko kersaning Pangeran Kang Murbahing Jagad”

Artinya: “Perubahan itu hanya atas kehendak Tuhan Yang Menguasai Jagad (alam semesta)”

Jika semua Manusia berpegang pada kaidah ini, maka kita tidak akan merasa takut kekurangan, menderita karena tidak punya jabatan, mengalami ketidak adilan, kehilangan kemerdekaan atau kebebasannya.

Kita akan tetap bisa menjalani hidup dengan tekun, sabar dan ikhlas dengan tidak perlu harus ambisius demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sehingga ketenangan akan didapatkan dalam arti yang sebenarnya.

Namun pada kenyataannya dalam menjalani kehidupannya, banyak orang yang masih saja mengukur nilai-nilai kehidupannya dengan ukuran yang tidak menentu. Kadang mengukur sesuatu dengan kebenaran Illahi, tetapi terkadang mengukur suatu tindakan itu selaras dengan kepentingannya sendiri.

Akibatnya, tatanan kehidupan menjadi tidak menentu, kacau dan terus merugikan pihak lain. Bahkan pada akhirnya timbulah sifat serakah dan angkara murka.

Inilah yang sedang terjadi saat ini, sehingga menyebabkan Bangsa ini semakin terpuruk dan jauh dari kejayaan yang semestinya. Miskin meskipun tanah ini memiliki segalanya.

Pemimpin besar Nusantara harus memiliki Wahyu Purba, artinya ia sudah berada pada kondisi hati yang telah benar-benar merasa cukup dan bersyukur. Tidak ada lagi keserakahan dan ambisi keduniawian.

Pemimpin yang memiliki Wahyu Purba adalah orang yang telah mengenal siapa TUHAN dan siapa dirinya sendiri.

Jika seseorang belum bisa memahami tentang kesadaran akan hakekat TUHAN-nya, maka Wahyu yang selanjutnya tidak akan pernah ia dapatkan. Sebab, bagaimana bisa ia mendapatkan wahyu yang lainnya jika ia sendiri tidak mengenal siapa TUHAN dan siapa dirinya sendiri dengan benar.

Artinya, dia hanya orang biasa yang tidak tahu bahwa tujuan hidup didunia ini adalah untuk kembali kepada TUHAN dalam keadaan yang lebih baik agar mendapatkan kedudukan yang baik di sisi TUHAN.

“Lamun siro kepengin wikan marang alam jaman kelanggengan, siro kudu weruh alamiro pribadi. Lamun siro durung mikani alamiro pribadi adoh ketemune”

Artinya: “Jika engkau ingin mengetahui alam keabadian, engkau harus lebih dulu mengenali alam pribadimu. Jika engkau belum mengetahui alam pribadimu, masih jauh alam keabadian itu dari dirimu”

2. Wahyu Sejati

Sejati berarti ada, nyata, yang  tunggal atau tidak dualistis. Wahyu Sejati berarti suatu kebenaran yang bersifat tunggal. Artinya, bahwa kebenaran itu tidak memiliki sifat ganda atau berpasangan yang terdiri dari dua hal yang berbeda sifatnya atau berlawanan, seperti terang dengan gelap, panas dengan dingin, benar dan salah, dan lain sebagainya.

“Ora ono kesakten sing mandhi papesthen, awit papesthen iku wis ora ono sing biso murungake”

Artinya: “Tidak ada kesaktian yang bisa menyamai kepastian TUHAN, karena tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian TUHAN”

Ini suatu pelajaran hidup bahwa didalam kehidupan alam semesta dan segala isinya termasuk Manusia, hanya terdapat satu kebenaran yang sejati, yaitu Kebenaran Illahi.

Jika Manusia hidup dalam kaidah-kaidah ajaran kebenaran yang sejati, maka kehidupannya akan memperoleh kedamaian dan kesejahteraan yang dapat menumbuhkan sifat cinta, kasih, toleransi, gotong-royong dan saling membantu, sehingga peradaban yang ada atau sedang dibangun akan semakin maju dan bisa mensejahterakan semua pihak.

Namun kenyataan yang terjadi saat ini, Manusia percaya bahwa hidup itu diatur oleh TUHAN dan percaya pada kebenaran TUHAN tapi tetap melakukan ketidakbenaran dan kejahatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan di muka Bumi.

Semua itu terjadi sebagai akibat dari sudah terjadinya pelanggaran terhadap hukum kebenaran Illahi, sehingga Negeri ini semakin terpuruk di segala bidang, tanpa henti dan bahkan sedang menuju kehancuran.

Jadi, orang yang bisa memimpin dan membawa Nusantara pada kejayaan adalah orang yang memiliki Wahyu Sejati. Artinya, dia sudah benar-benar mengerti tentang arti dari kebenaran hidup ini dan dengan teguh menjalani kehidupan dengan tidak pernah mengingkari hakekat kebenaran, apalagi melanggar aturan TUHAN.

Dia juga sudah selesai dengan dirinya sendiri dan keluar sebagai pemenangnya. Karena tanpa hal itu, seseorang hanya akan menjadi sosok yang mudah terjebak dengan kesenangan duniawi.

3. Wahyu Cakra Ningrat

Cakra Ningrat berarti lingkaran ilmu pengetahuan yang tinggi. Wahyu Cakra Ningrat berarti petunjuk dari TUHAN berupa ilmu pengetahuan yang bersifat paripurna.

Dengan petunjuk tersebut, orang yang mendapatkannya akan memiliki cara pandang yang sangat luas dan bijaksana. Ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu, baik yang umum di masyarakat atau yang khusus, bahkan yang telah hilang dimasanya. Sehingga dalam keadaan apapun, ia bisa terjaga dari nafsu yang tidak sesuai dengan tujuan hidup Manusia yang sebenarnya.

Pemimpin Nusantara haruslah orang yang memiliki Wahyu Cakra Ningrat, karena pemimpin yang akan membangkitkan kejayaan Nusantara haruslah seseorang yang cerdas dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terlebih ilmu agama dan kasampurnan.

Pemimpin Negeri ini harus menguasai berbagai ilmu kehidupan, mulai dari yang bersifat ilmiah sampai yang bersifat batiniah atau yang berhubungan dengan kebutuhan duniawi hingga ukhrawi. Mulai dari ilmu agraria sampai dengan ilmu sejarah, geografi dan astronomi.

Mulai dari masalah dunia nyata hingga pada kehidupan alam ghaib. Bahkan idealnya pemimpin Negeri ini harus seseorang yang sakti mandraguna dan bisa mengendalikan gejolak di alam nyata dan di alam ghaib karena kemampuan tersebut sangat dibutuhkan untuk memimpin Bangsa ini dalam menghadapi gejolak yang terjadi.

Hanya dengan mendapatkan Wahyu Cakra Ningrat inilah seorang pemimpin bisa mengatasi masalah-masalah yang terjadi di Negeri ini.

Pemimpin Negeri ini haruslah seorang spiritualis sejati yang bisa menjadi pemimpin lintas dimensi, baik dimensi nyata maupun dimensi ghaib sehingga ia akan mampu mengatasi gejolak-gejolak yang terjadi, baik yang nyata maupun yang ghaib.

Namun kenyataannya, saat ini para petinggi Negeri ini hanya sibuk mencari popularitas, menumpuk harta dan mengejar jabatan saja. Tidak ada lagi yang peduli dengan nasib Negeri ini, semua sibuk memperkaya diri dengan cara-cara yang bahkan tidak dibenarkan oleh norma maupun agama.

4. Wahyu Makutha Rama

Makutha Rama berarti kebenaran TUHAN yang bersifat memancar. Wahyu Makutha Rama berarti suatu petunjuk hidup yang berasal dari pancaran cahaya TUHAN. Dan karena sumbernya langsung dari TUHAN, maka seseorang yang mendapatkan Wahyu ini akan terbimbing dalam setiap tindakannya.

Makna dari Wahyu Makutha Rama adalah pelajaran hidup untuk membimbing dan menyadarkan Manusia bahwa tujuan dan kewajiban Manusia didunia ini adalah untuk mencerminkan atau memancarkan sifat-sifat TUHAN.

Semakin banyak seseorang bisa mencerminkan sifat-sifat TUHAN dalam kehidupannya, maka akan semakin besar berkah dan kasih sayang dari TUHAN yang didapatkan, sehingga apapun tindakannya akan berujung pada kemuliaan yang tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang-orang disekitarnya.

Pemimpin besar Nusantara harus mendapatkan Wahyu Makutha Rama karena untuk mengembalikan kejayaan Nusantara, pemimpin Negeri ini harus mendapatkan bimbingan langsung dari Sang Maha Pencipta.

Segala tindakannya harus berdasarkan petunjuk dari TUHAN, bukan atas dasar keinginan dan egonya sendiri karena setiap keputusannya akan membawa dampak bagi banyak orang.

Tapi kenyataan yang terjadi, para pemimpin Negeri ini tidak lagi mendapatkan Wahyu Makutha Rama sehingga tidak ada yang mendapatkan bimbingan dari TUHAN, karena sebelumnya tidak mendapatkan beberapa Wahyu yang diperlukan.

Mereka lupa dengan amanah yang sedang di embannya dan lebih mementingkan pencitraan dalam setiap tindakannya, menumpuk harta, mengejar jabatan dan terlena dengan kenikmatan duniawi, sehingga tidak lagi memikirkan nasib rakyatnya yang merana.

5. Wahyu Keprabon

Pada hakekatnya Wahyu Keprabon merupakan puncak dari keseluruhan Wahyu yang diturunkan oleh TUHAN kepada seseorang yang terpilih. Ini adalah Wahyu terakhir yang di terima oleh seseorang sebagai bentuk restu dari TUHAN untuk memimpin Nusantara.

Orang yang ketempatan Wahyu Keprabon adalah orang pilihan yang terbaik di zamannya, orang yang memiliki hati bersih dan memancarkan cahaya kesejukan.

Orang yang ketempatan Wahyu Keprabon adalah orang yang mendapat restu dari para leluhur Negeri ini dan selaras dengan alam semesta, sehingga keberadaannya akan dihormati oleh semua mahluk.

Ia tidak berambisi untuk berkuasa, tidak pernah mengejar popularitas atau menggunakan segala cara agar orang lain memilihnya. Bahkan sebetulnya ia tidak menginginkan kedudukan apapun didunia ini. Ia selalu bersikap zuhud dan hanya tunduk kepada TUHAN, karena ia yakin bahwa segala sesuatu ada masanya.

Orang yang menerima Wahyu Keprabon juga telah mendapat restu dari semua yang hidup dalam dimensi keabadian dan bisa berkomunikasi dengan mereka.

Ini bukanlah sesuatu yang menyimpang atau kemusyrikan, karena TUHAN telah menunjuknya dengan memberinya hak atas kepemimpinan Nusantara sehingga semua mahluk yang ada di alam semesta ini juga mendukung kepemimpinannya.

Tapi sayangnya sampai saat ini para pemimpin Negeri ini hanya sibuk dengan urusan duniawi saja, tidak pernah tahu cara laku hidup yang sejati, sehingga kondisi Negeri ini semakin tidak menentu, banyak terjadi ketidak adilan dan kesewang-wenangan yang menyebabkan kesejahteraan tidak pernah dapat tercapai.

Demikian sedikit informasi tentang makna Wahyu Keprabon bagi pemimpin Nusantara yang dapat kami sampaikan.

Filosofi Pamor Ceprit


 Pamor ceprit adalah penyebutan untuk pamor Keris yang hanya terdapat sedikit sekali pada bilah Keris dengan pola yang tidak beraturan. Letaknya bisa dimana saja, bisa dibagian bilah Keris, dibagian sor-soran, atau bahkan pada gonjo dan hanya tampak seceprit atau sedikit, sehingga disebut pamor ceprit. Pamor ceprit biasanya terdapat pada Keris-Keris tangguh tua seperti Majapahit, Sedayu dan Segaluh.

Tapi meskipun bentuknya hanya seceprit/sedikit, pamor ini tetap terlihat indah menghiasi bilah Keris dengan warnamya yang putih sangat kontras dengan bilahnya yang berwarna hitam legam. Keris dengan pamor ceprit juga tampak memancarkan aura wingit yang begitu kental dibanding Keris-Keris dengan pamor lain. Oleh karena itulah Keris dengan pamor ceprit banyak diminati para penggemar Tosan Aji dan para kolektor Keris.

Dibalik bentuknya yang sederhana dan muncul tanpa disengaja karena termasuk pamor tiban, ternyata pamor ceprit memiliki makna filosofis yang dalam. Bentuknya yang hanya seceprit/sedikit menghiasi bilah Keris tersebut memiliki makna agar dalam hidup ini seyogyanya jangan menonjolkan/memamerkan/menyombongkan apa yang kita miliki seperti harta benda, ilmu, dan hal-hal lainnya, karena sejatinya semua yang kita miliki merupakan titipan dari TUHAN yang bisa di ambil kapan saja jika kita tidak bisa menjaga amanat tersebut dengan baik.

Pamor ceprit mengandung pesan agar kita lebih mengedepankan kesahajaan dan selalu ingat pada Sang Pencipta agar selalu dikaruniai keselamatan dan keberkahan dalam hidup, karena harta duniawi akan membawa kita lebih dekat dengan banyak godaan atau hal-hal "hitam", sehingga sungguh indah jika bisa memandang sedikit warna putih di antara banyaknya warna hitam.

Kita akan menjadi Manusia yang istimewa jika bisa menjadi setitik warna putih di antara banyaknya warna hitam yang disimbolkan dengan pamor ceprit yang menghiasi bilah Keris yang berwarna hitam legam. Sedikit warna putih tersebut ternyata bisa menjadi hiasan yang memperindah bilah Keris.

Tuah pamor ceprit hampir sama seperti pamor keleng, yaitu untuk proteksi/perlindungan, menjadikan pemiliknya memiliki kemampuan beradaptasi, untuk kesaktian, dan merupakan simbolisasi harapan agar pemilik Keris dapat memiliki kehidupan yang lebih baik dari orang kebanyakan. Keris dengan pamor ceprit memiliki karakter yang sangat kuat dan terkesan angker seolah menyimpan kekuatan yang luar biasa dibalik kesederhanaannya.

Filosofi Pamor Sodo Sakler


 Pamor Sodo Lanang adalah salah satu pamor Keris yang bentuknya berupa garis lurus membujur mulai dari sor-soran sampai ke ujung bilah yang terletak ditengah-tengah bilah Keris. Penyebutan nama pamor ini terkadang tidak sama disetiap daerah, ada yang menyebutnya pamor Sodo Sak Ler, Adeg Siji, Sodo Saren dan lain sebagainya.

Sodo Lanang atau Sodo Sak Ler artinya lidi sebatang/sebatang lidi sesuai dengan bentuk pamor ini yang hanya berupa satu garis lurus seperti lidi di tengah-tengah bilah Keris tanpa adanya pamor yang lain.

Sodo Lanang sendiri adalah sebuah lidi dari pohon aren yang jatuh hanya satu batang saja. Lidi tersebut diyakini memiliki kekuatan ghaib yang dapat digunakan untuk mengusir gangguan makluk halus dengan cara di sabetkan pada benda atau seseorang yang dicurigai diganggu atau ketempelan makluk halus.

Pada jaman dahulu Sodo Lanang sering diletakkan di atas pintu rumah dan pojok-pojok rumah sebagai sarana tolak bala. Kadang-kadang Sodo Lanang juga dipotong kecil-kecil untuk dijadikan jimat yang disimpan di dompet atau kantong khusus untuk dibawa kemana-mana.

Pamor Keris Sodo Lanang juga dipercaya memiliki tuah seperti Lidi Aren Lanang tersebut, yaitu untuk tolak bala.

Filosofi Pamor Keris Sodo Lanang:

Pamor Sodo Lanang atau Sodo Sak Ler memiliki makna yang dalam dibalik bentuknya yang sangat sederhana itu. Garis lurus dari pangkal sampai ujung bilah Keris melambangkan sebuah harapan agar pemilik Keris dengan pamor Sodo Lanang dapat mencapai cita-citanya tanpa rintangan yang disimbolkan dengan garis lurus dari bawah sampai ke atas. Sehingga diharapkan, pemiliknya dapat mencapai derajat kehidupan yang tinggi.

Pesan lain dari pamor Sodo Lanang adalah bahwa dalam kehidupan ini seyogyanya kita selalu berusaha untuk menempuh jalan yang lurus dan senantiasa mengingat TUHAN, karena pada akhirnya kita akan menuju kepada yang di atas (TUHAN).

Tuah Pamor Keris Sodo Lanang:

Keris dengan pamor Sodo Lanang/Sodo Sak Ler dipercaya memiliki tuah untuk membantu mempermudah pemiliknya meraih cita-cita, dapat meraih derajat dan pangkat yang tinggi, menambah kewibawaan, meningkatkan kepercayaan diri, memperkuat keteguhan iman dan untuk tolak bala.

Demikian sedikit informasi tentang filosofi dan tuah pamor Keris Sodo Lanang yang dapat kami sampaikan.

Filosofi Keris Kelengan


 Keris keleng/kelengan adalah Keris yang tidak berpamor sehingga warna bilahnya menjadi hitam legam ketika diwarangi. Penempaan Keris kelengan biasanya sangat matang sehingga meskipun bilahnya hitam legam tanpa dihiasi pamor, tapi keris ini tetap memiliki pesona tersendiri bagi para penggemar Tosan Aji

Keris keleng lebih mengutamakan kematangan tempa dan juga kesempurnaan garap. Garap yang dimaksud meliputi rancang bangun, keindahan bentuk bilah, termasuk semua ricikannya. Kesempurnaan garap bermakna ketepatan etika dan sopan santun kita, bisa juga bermakna keselarasan dengan lingkungan hidup.

Keris Keleng juga bisa menjadi bahasa untuk memahami tingkat kematangan Empu pembuatnya secara lahir maupun batin yang tidak lagi ingin menonjolkan kelebihannya. Sederhana namun menyimpan misteri yang dalam.

Secara lahir bisa dilihat kesanggupan sang Empu dalam mengolah besi untuk menjadi matang dan presisi. Dalam penggarapan Keris tersebut juga dibutuhkan jam terbang, kecermatan dan ketelitian karena Keris Keleng sebetulnya tetap diselipi bahan pamor tapi oleh sang Empu sengaja disembunyikan atau dibuat agar tidak kelihatan.

Keris Kelengan berbeda dengan Keris Pengawak Wojo yang hanya menggunakan satu bahan logam saja sehingga proses pengerjaannya jauh lebih mudah karena hasil akhirnya ketika diwarangi pasti akan menjadi hitam polos karena memang tidak menggunakan bahan pamor.

Hanya Empu Keris yang berpengalaman saja yang dapat membuat Keris Kelengan yang sempurna karena sebelum bilah Keris diwarangi, warna bilahnya masih putih sebab warna dari bahan-bahan yang digunakan seperti besi, baja dan pamor masih terlihat sama. Jika penggarapannya tidak sempurna atau tidak cermat maka ketika di warangi pamornya akan muncul.

Penggunaan bahan pamor yang disembunyikan tersebut tentunya memiliki makna tersendiri yang hanya bisa dipahami dengan kedalaman rasa. Kedalaman batin Empu diterjemahkan dalam bilah Keris yang hitam polos tidak bergambar yang mengisyaratkan jika sang Empu telah menep (mengendap) dari keinginan duniawi. 

Makna yang disampaikan harus diterjemahkan dengan kedalaman rasa yang bersahaja dan efek yang ditimbulkan dari sugesti terhadap Keris keleng tersebut adalah bahwa Keris tersebut diharapkan dapat menjadi inspirasi tentang ketulusan/keikhlasan dan kerendahan hati.

Dari sudut pandang spiritual, Keris Kelengan menyimbolkan tentang keberadaan TUHAN yang ada tapi tidak terlihat, tidak terlihat tapi ada. Sedangkan dari sudut pandang kehidupan, Keris Keleng memiliki makna agar dalam kehidupan ini tidak perlu menonjolkan (menyombongkan) apa yang kita miliki. Langit tidak perlu mengatakan bahwa dirinya tinggi dan sampah tidak perlu mengatakan bahwa dirinya kotor.

Dari sisi isoteri, Keris keleng memiliki kekuatan ghaib yang lebih besar dan tuah yang multifungsi dibandingkan dengan Keris berpamor, karena Empu pembuatnya lebih mengutamakan isi daripada keindahan fisiknya. Keris Keleng juga sulit dibaca tuahnya, bahkan oleh orang yang memiliki ilmu kebatinan sekalipun. Oleh karena itulah, Keris keleng juga bisa dijadikan sebagai Keris tindih. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...