Selasa, 09 November 2021

Al-Qur'an Bicarakan Tentang Usia 40


 Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam atas hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam , keluarga dan para sahabatnya.

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf: 15)

Ketika Al-Qur’an menyebut sesuatu di dalam ayat-ayat-Nya, tentu ada yang sangat penting atau perlu diperhatikan terhadap sesuatu tersebut. 

Demikian juga ketika Al-Qur’an memberikan apresiasi tersendiri terhadap tahapan manusia kala mencapai usia 40 tahun yang disebutkan di dalam ayatnya secara eksplisit. Allah swt. berfirman,

حَتَّى إَذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِى أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِى أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِى إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Apabila dia telah dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (Q.S. al-Ahqâf: 15)

Ayat di atas mengisyaratkan, saat sudah menginjak usia 40 tahun hendaknya seseorang mulai meningkatkan rasa syukurnya kepada Allah juga kepada orang tuanya. Ia memohon kepada-Nya, agar diberi hidayah, taufik, dibantu, dan dikuatkan agar bisa menegakkan kesyukuran ini. Karena segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini adalah dengan kehendak dan izin-Nya, sehingga ia meminta hal itu kepada-Nya. Ini sebagaimana doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu, "Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu'adz, Janganlah engkau tinggalkan untuk membaca sesudah shalat:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِك ، وَشُكْرِك وَحُسْنِ عِبَادَتِك

"Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir, beryukur, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai dengan sanad yang kuat)

Karena sesungguhnya seorang hamba pasti sangat butuh kepada pertolongan Tuhannya  dalam menjalankan perintah, menjauhi larangan, dan sabar atas ketetapan-ketetapan takdir-Nya. (Dinukil dari Subulus Salam, Imam al-Shan'ani)

Anda sudah berusia 40 tahun atau lebih? Jika “ya” maka anda pasti tidak muda lagi.Orang yang berusia 40 tahun benar-benar telah meninggalkan masa mudanya. Apa yang dialami pada usia 40 seringkali sifatnya stabil, mapan, dan kokoh. Karenanya, perilaku, karya, dan kontribusi hidup di usia ini akan menjadi tolok ukur manusia pada perjalanan hidup berikutnya.

Ada banyak keistimewaan yang ditunjukkan dalam sejarah Islam tentang usia 40 tahun ini. Dalam al-Qashash 14 disebutkan, “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan.”

Al-Imam Ath-Thabari menjelaskan ayat ini, “Sudah tiba waktunya bagi Musa untuk memiliki kekuatan dan keperkasaan yang paling prima. Itulah puncak keadaan dirinya yang dia tidak mungkin lagi untuk mengulanginya ataupun memilikinya lagi setelah itu berlalu. Itulah penghabisan masa muda, masa sempurnanya badan dan kejernihan pemahaman.”

Apa keistimewaan usia 40 tahun?

Salah satu keistimewaan usia 40 tahun tercermin dari sabda Rasulullah saw.,

العَبْدُ الْمُسْلِمُ إِذَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً خَفَّفَ اللهُ تَعَالَى حِسَابَهُ ، وَإِذَا بَلَغَ سِتِّيْنَ سَنَةً رَزَقَهُ اللهُ تَعَالَى الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ ، وَإِذَا بَلَغَ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ، وَإِذَا بَلَغَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى حَسَنَاتِهِ وَمَحَا سَيِّئَاتِهِ ، وَإِذَا بَلَغَ تِسْعِيْنَ سَنَةً غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَشَفَّعَهُ اللهُ تَعَالَى فِى أَهْلِ بَيْتِهِ ، وَكَتَبَ فِى السَّمَاءِ أَسِيْرَ اللهِ فِى أَرْضِهِ – رواه الإمام أحمد

Seorang hamba muslim bila usianya mencapai empat puluh tahun, Allah akan meringankan hisabnya (perhitungan amalnya). Jika usianya mencapai enam puluh tahun, Allah akan memberikan anugerah berupa kemampuan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Bila usianya mencapai tujuh puluh tahun, para penduduk langit (malaikat) akan mencintainya. Jika usianya mencapai delapan puluh tahun, Allah akan menetapkan amal kebaikannya dan menghapus amal keburukannya. Dan bila usianya mencapai sembilan puluh tahun, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan dosa-dosanya yang belakangan, Allah juga akan memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya, serta Allah akan mencatatnya sebagai “tawanan Allah” di bumi. (H.R. Ahmad)

Hadits ini menyebut usia 40 tahun paling awal, dimana isinya bermakna bahwa orang yang mencapai usia 40 tahun dan ia tetap memiliki komitmen terhadap penghambaan kepada Allah swt. sekaligus memiliki konsistensi terhadap Islam sebagai pilihan keberagamaannya, maka Allah swt. akan meringankan hisabnya. Perhitungan amalnya akan dimudahkan oleh Allah swt. Ini merupakan suatu keistimewaan tersendiri, karena dihisab, diteliti secara detail, diinterogasi secara berbelit-belit, merupakan suatu tahapan di akhirat yang sangat sulit, pahit, lama, dan mencekam tak ubahnya disiksa, betapa pun siksa yang sebenarnya belum dilaksanakan.

Orang yang usianya mencapai 40 tahun mendapatkan keistimewaan berupa hisabnya diringankan. Boleh jadi ini karena untuk mencapai usia 40 tahun dengan tingkat penghambaan dan keberagamaan yang konsisten tentulah membutuhkan proses perjuangan yang melelahkan.

Tetapi, umur 40 tahun merupakan saat harus waspada juga. Ibarat waktu, orang yang berumur 40 tahun mungkin sudah masuk ashar. Senja. Sebentar lagi maghrib. Sahabat Qotadah, tokoh generasi tabiin, berkata, “Bila seseorang telah mencapai usia 40 tahun, maka hendaklah dia mengambil kehati-hatian dari Allah ‘azza wa jalla.”

Bahkan, sahabat Abdullah bin Abbas ra. dalam suatu riwayat berkata, “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak unggul mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.”

Nasihat yang diungkap oleh dua sahabat besar tersebut memberikan pengertian bahwa manusia harus mulai bersikap waspada, hati-hati, dan mawas diri dalam aktivitas pengabdiannya kepada Allah swt. manakala usianya telah mencapai 40 tahun. Ia ditekankan untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan amal kebajikan yang telah dibiasakannya pada usia-usia sebelumnya. Tidak justru “tua-tua keladi”, makin tua dosanya makin menjadi-jadi. Secara keras, Ibnu Abbas ra. mengingatkan manusia yang berumur 40 tahun dan amal kebajikannya masih kalah dibanding dengan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.

Para pakar, misalnya Ibnu al-Qayim al-Jauziyah, usia manusia diklasifikasikan menjadi empat periode. Yaitu periode kanak-kanak (thufuliyah) yang dimulai sejak lahir hingga baligh; Periode muda (syabab) dari usia baligh hingga 40 tahun; Periode dewasa (kuhulah) yakni usia 40-60 tahun; dan periode tua (syaikhukhah) dari 60-70 tahun.

Cermatilah Al-Qur’an surah al-Ahkaf 15, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).

Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:

“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

Ayat tersebut mengajarkan kepada kita apa saja yang semestinya dilakukan bagi manusia yang menginjakkan kaki di usia 40 tahun.

1) sering-seringlah membaca doa ini. Sebagaimana riwayat Imam Atha’ dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ketika Abu Bakar berusia 40 tahun dia sering berdoa dengan doa yang terdapat pada Al-Ahqaf 15 ini.”

Di antara para sahabat sampai ada yang mengatakan, “Maka Allah mengabulkan semua yang diminta Abu Bakar, sehingga kedua orangtuanya dan anak keturunannya masuk Islam. Tidak ada seorangpun dari sahabat yang diberi keistimewaan seperti itu.”

Imam Ar-Razi menuturkan, “Umar bin Abdul Aziz ketika memasuki usia 40 tahun selalu berdoa dengan ayat ini.”

2) mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah. Dalam ayat tersebut, Allah mengajarkan hamba-Nya untuk lebih banyak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada kita.

Karena usia 40 tahun sudah tidaklah muda lagi maka, permohonan pertama yang diajarkan kepada kita adalah agar Allah memberikan ilham (inspirasi) untuk bisa terus bersyukur kepada Allah.

3) mengingatkan kedua orangtua dan anak sebagai orang yang—mau tidak mau— dewasa dan menuju usia tua. Ini bisa membuat kita senantiasa berbuat baik. Juga mendoakan kedua orangtua yang telah bersusah payah: mengandung, melahirkan, serta menyusui dan menyapihnya selama tiga puluh bulan.

4) hendaklah kita mulai memperbanyak amal kebaikan yang diridhai oleh Allah. Usia 40 tahun adalah masa awal seseorang memperbaiki diri. Sebab ada yang mengatakan, jika di usia 40 tahun ini seseorang sudah tidak bisa lagi memperbaiki diri maka pada gilirannya di usia berikutnya ia akan gagal menjadi orang yang baik-baik. Maka, usia 40 tahun adalah tonggak awal perbaikan diri seseorang.

5) seseorang yang mencapai usia 40 tahun diingatkan oleh Allah agar ia kembali dan banyak meluangkan waktu untuk keluarga.

Dalam ilmu psikologi, usia 40 ini adalah masa puberitas kedua. Pada usia ini pula seseorang biasanya mencapai puncak kesuksesannya. Dalam capaian duniawi inilah, biasanya seseorang digoda untuk “melirik” lawan jenisnya.

Bisa nikah lagi bagi seorang laki-laki atau muncul letupan bermain api cinta. Karenanya, Allah mengingatkan agar berhati-hati, lebih baik dan lebih banyak meluangkan waktu untuk keluarga dan anak-anaknya.

6) ketika Allah mengajarkan doa dan pengakuan “Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau”, maka sesungguhnya Dia sedang mengingatkan kepada hamba-Nya agar ia banyak bertaubat di usia 40 tahun.

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, karena usia mulai memasuki gerbang ketuaan maka hendaklah ia lebih banyak merenung dan mendekatkan diri kepada Allah. Dimulai bertaubat dan menghentikan segala keburukan hidupnya menuju memperbanyak amal kebaikan.

7) sebagaimana doa yang hampir sama diajarkan Nabi Sulaiman kepada kita (baca an-Naml 19), bahwa seseorang yang sudah berumur 40 tahun hendaklah lebih banyak bergaul dan bergumul dengan orang-orang saleh. “Wa adkhilniy birahmatika min ‘ibadika ash-shalihin. dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”

Jangan lagi merasa masih muda, lalu bergaulnya dengan anak-anak muda. Mulai mencari teman yang mengajak dan berkecenderungan untuk berbuat kebaikan. Perlu ada kesadaran untuk mengubah perilaku diri.

8) seseorang yang telah berusia 40 tahun harus lebih banyak berserah diri kepada Allah. Berusaha dan bekerja harus dengan sungguh-sungguh. Tetapi, dalam banyak kesempatan, kepasrahan dan kedekatan diri kepada Allah harus lebih direkatkan.

Berpasrah diri kepada Allah itu sebagai tanda dan sekaligus upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, keyakinan dan keimanannya akan semakin kuat dengan keberadaan dan kemahakuasaan Allah.

Tentu saja, hal ini berebda dengan mereka yang masih muda, di mana rasa percaya dirinya seakan melebihi ketentuan Allah. Ia masih sangat percaya dengan kemampuannya menyelesaikan segala persoalan yang ia hadapi.

Yaah, saat mulai usia 40 tahun seseorang mulai disadarkan dengan ketentuan dan kemahakuasaan Allah seiring berkurangnya kemampuan diri seseorang, baik secara fisik maupun psikis.

Telah diriwayatkan oleh Abu daud di dalam kitab sunan-nya, dari Ibnu Mas'ud ra. Bahwa Rasulullah SAW mengajari doa tasyahhud, yaitu:

"اللَّهُمَّ، أَلِّفْ بَيْنِ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سبُل السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا، وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ، وَاجَعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ، مُثْنِينَ بِهَا قَابِلِيهَا، وَأَتْمِمْهَا عَلَيْنَا"

selamatkanlah kami dari kegelapan menuju kepada cahaya, dan jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan fahisyah, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Dan berkahilah bagi kami pendengaran kami, penglihatan kami hati kami, istri-istri kami dan keturunan kami. Dan terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Dan jadikanlah kami sebagai orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, selalu memuji dan menerima nikmat itu, dan sempurnakanlah bagi kami nikmat itu.

Saudaraku! Hidup baru dimulai setelah usia mencapai 40 tahun (Life begins at forty?) Belum terlambat…. Dan hidup yang sesungguhnya adalah yang diprioritaskan untuk mencari dan mencapai ridha Allah. Carilah mahabbah, makrifat, dan hikmah! Karena hanya  sekali hidup, maka hiduplah yang berkualitas!

Jika Saat Puasa Sunah Harus Hormati Orang Lain Dalam Makan Minum


 Dalam agama Islam, banyak puasa sunah yang bisa kita kerjakan untuk menambah pahala. Sebut saja seperti puasa Senin Kamis, puasa Syawal, puasa Daud dan masih banyak lagi.

Saat melakukan puasa sunah, ada kalanya kita sedang bertamu kemudian diberi hidangan oleh tuan rumah. Dalam situasi semacam ini, apakah sebaiknya kita membatalkan puasa sunah tersebut atau melanjutkannya?

Perlu kita tekankan bahwa puasa sunah jika ditinggalkan maka tidak mendatangkan dosa, namun jika dikerjakan lebih baik karena pahala akan berlimpah.

Mengamalkan puasa sunnah dianjurkan dalam ajaran Islam guna menambah ketakwaan kepada Allah SWT serta mendidik umat Islam supaya dapat mengontrol seluruh hawa nafsu dan mendidik diri agar dapat menguasai diri, sehingga mudah membiasakan amal kebaikan dan meninggalkan larangan ajaran Islam.

Lalu bagaimana dengan permasalahan di atas? Orang yang puasa Sunnah diperbolehkan untuk tetap melaksanakan puasanya dan membatalkannya. Keterangan tersebut sesuai dengan hadis Nabi shallahu ‘alaihi wasallama dalam kitab sunan at Turmudzi sebagai berikut;

 حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود حدثنا شعبة : قال كنت أسمع سماك بن حرب يقول أحد ابني أم هانئ حدثني فلقيت أنا أفضلهما وكان إسمه جعدة وكانت أم هانئ جدته فحدثني عن جدته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فدعى بشراب فشرب ثم ناولها فشربت فقالت يا رسول الله أما إني كنت صائمة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم الصائم المتطوع أمين نفسه إن شاء صام وإن شاء فطر.

Hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallama masuk ke rumah Umu Hani’ kemudian beliau (Rasul) diundang untuk jamuan minuman, maka Nabi meminumnya. Kemudian Nabi menawarkan minuman kepadanya (Umu Hani’) dan ia berkenan untuk meminumnya. Selanjutnya, ia berkata kepada Nabi, “Yaa Rasulullah sesungguhnya saya orang yang berpuasa”. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Orang yang puasa sunah itu mempercayakan dirinya. Dalam artian jika berkehendak puasa maka berpuasalah dan jika berkehendak membatalkan maka batalkanlah.

Selain itu menurut madzhab Syafi’i yang menjadi rujukan kebanyakan orang Indonesia, bahwa diperbolehkan menikmati hidangan untuk menghormati pemilik makanan dan termasuk di antara udzur yang masyru’ bagi orang yang berpuasa sunah. Pendapat ini berdasarkan keterangan kitab fathul mu’in berikut.

فروع) يندب الأكل في صوم نفل ولو موءكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى .  قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه ويجوز للضيف أن يأكل مما قدم له بلا لفظ من المضيف

Disunnahkan untuk menikmati hidangan dalam puasa sunah meskipun dianjurkan demi keridhoan pemilik makanan. Jika dikhawatirkan tidak menikmati hidangan tersebut (menahan puasanya) dapat menyinggung perasaan pemilik tersebut, meskipun di akhir siang hari karena ada perintah untuk membatalkan puasa dan dia akan mendapatkan pahala puasa yang sudah lewat dan dianjurkan mengqodho pada hari lain sebagai gantinya. Jika tidak menyebabkan tersinggung pemilik makanan maka disunnahkan tidak membatalkannya (lebih utama tetap berpuasa). Imam Ghazali telah berkata: disunnahkan berniat untuk untuk menyenangkan perasaan pemilik hidangan pada saat membatalkan puasa. Bagi tamu diperbolehkan menikmati makanan yang telah dihidangkan meskipun belum dipersilahkan dengan ucapan dari tuan rumah.

Puasa sunnah tidak ada paksaan di dalamnya. Jadi membatalkan juga tidak apa-apa, meneruskan juga tidak apa-apa. Kultur masyarakat kita memang sangat sopan dan ramah terhadap tamu. Sehingga memunculkan dilematis seperti yang anda rasakan, ketika puasa sunnah sedangkan tamu datang dan tidak berpuasa, atau kita yang sedang bertamu. Dalam Madzhab Syafi’i memperbolehkan memakan hidangannya, tetapi dapat mengganti puasa tersebut di hari lain. Walau batal, shaim mendapatkan pahala puasa sunnah tersebut.

Namun, hukum ini hanya berlaku bagi puasa sunnah, seperti puasa senin kamis, puasa 6 hari di bulan syawal, puasa tarwiyah arafah, dll. Adapun dalam puasa wajib, tidak ada pengecualian, bagi orang yang puasa, makan dan minum hidangan jamuan untuk menghormati tamu. Ketika makan atau minum maka apabila sengaja, bukan karena lupa, maka puasanya batal.


Lupa Makan Minum Saat Puasa


 Sudah maklum bahwa makan dan minum dalam rentang antara terbit fajar hingga sebelum terbenamnya matahari adalah salah satu hal yang dapat membatalkan puasa. Namun, batalnya puasa dengan makan dan minum hanya ketika seseorang memang sengaja melakukannya dan mengetahui tentang hukum tersebut.

Berbeda ketika makan dan minum dilakukan oleh orang yang belum mengetahui bahwa makan dan minum saat puasa adalah hal yang membatalkan, misalnya karena ia baru masuk Islam atau jauh dari jangkauan ulama yang mengajarinya, maka puasa yang dilakukannya tidak dihukumi batal. 

Makan dan minum juga tidak membatalkan puasa ketika dilakukan oleh seseorang dalam keadaan lupa. Hal ini secara tegas disampaikan dalam hadits:

مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa makan karena lupa sementara ia sedang berpuasa, hendaklah ia menyempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR Bukhari Muslim)

Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa orang yang makan dalam keadaan lupa tidak ada kewajiban mengqadha puasanya atau membayar denda kafarat, berikut teks hadits tersebut:

مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَارَةَ

“Barangsiapa yang ifthar pada bulan Ramadhan karena lupa maka tidak ada (kewajiban) qadha baginya, tidak juga kafarat.” (HR Hakim)

Sedangkan makna lupa (an-nisyan) yang dimaksud dalam permasalahan ini adalah melakukan suatu hal tanpa disertai pengetahuan yang ia miliki. Lebih jelasnya, simak penjelasan dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah berikut:

النسيان هو عدم استحضار الإنسان ما كان يعلمه، بدون نظر وتفكير، مع علمه بأمور كثيرة

“Lupa adalah absennya seseorang dari apa yang ia tahu, tanpa merenungkan dan memikirkan (terlebih dahulu), padahal ia memiliki pengetahuan yang luas” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 14, hal. 229).

Berdasarkan hal tersebut, maka tidak dikategorikan sebagai “lupa” bagi orang yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Misalnya seperti orang yang makan karena menyangka sudah maghrib berdasarkan informasi yang keliru, maka puasanya dihukumi batal, sebab dalam hal ini ia tidak tepat jika dikatakan sebagai “orang yang lupa” tapi lebih karena keteledorannya dalam menggali informasi tentang waktu maghrib hingga memunculkan prasangka yang salah.

Delapan Hal yang Membatalkan Puasa

Namun, makan dan minum dalam keadaan lupa akan menyebabkan batalnya puasa ketika makanan atau minuman yang dikonsumsi telah mencapai jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan, makan dalam keadaan lupa dalam jumlah banyak saat puasa adalah hal yang sangat jarang terjadi, bahkan bisa disebut hal yang langka. Sebab pada umumnya, orang yang berpuasa ketika makan dalam keadaan lupa, tidak berselang lama ingatannya bahwa “dia sedang puasa” akan muncul. Ketentuan ini misalnya dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

ـ (وإن أكل ناسيا لم يفطرإلا أن يكثر في الأصح) لندرة النسيان حينئذ

“Jika seseorang makan dalam keadaan lupa, maka puasanya tidak batal, kecuali ketika yang dimakan banyak (maka dapat membatalkan) menurut qaul ashah, karena lupa sampai makan dalam jumlah banyak adalah hal yang langka” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 13, hal. 348).

Dalam referensi lain dijelaskan bahwa alasan batalnya puasa bagi orang yang makan dalam keadaan lupa adalah karena hal demikian mudah untuk dijaga agar tidak terjadi. Sedangkan makanan yang dianggap hitungan “banyak” menurut sebagian ulama dibatasi dengan mengonsumsi makanan sebanyak tiga suapan atau lebih. Hal ini seperti penjelasan Syekh Zakariya al-Anshari:

 ـ (و) بطل بالأكل (كثيرا) ثلاث لقم فأكثر (ناسيا) لسهولة التحرز عنه غالبا كبطلان الصلاة بالكلام الكثير ناسيا وهذا ما صححه الرافعي وصحح النووي مقابله لعموم خبر من نسي السابق

“Puasa menjadi batal sebab makan dengan jumlah yang banyak dalam keadaan lupa, misalnya tiga kali suapan atau lebih. Batalnya puasa ini dikarenakan mudahnya menjaga atas kejadian demikian secara umum, sama seperti batalnya shalat sebab berbicara dengan perkataan yang banyak. Pendapat ini merupakan pendapat yang dishahihkan oleh Imam ar-Rafi’i, sedangkan Imam a-An-Nawawi berpandangan sebaliknya (tidak batal), berdasarkan keumuman hadits yang menjelaskan orang yang lupa (puasa) yang telah dijelaskan terdahulu” (Syekh Zakariya al-Anshari, Syarh al-Bahjah al-Wardiyah, juz 7, hal. 58).

Namun batasan tersebut sempat disangsikan oleh sebagian ulama, karena tiga suapan menurut mereka masih dalam jumlah yang sedikit. Meski akhirnya terjawab kembali bahwa alasan membatasi dengan tiga suapan karena mengunyah tiga suapan membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga sangat memungkinkan orang untuk mengingat bahwa dirinya sedang berpuasa. Simak ulasan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj berikut:

وضبط في الأنوار الكثير بثلاث لقم وفيه نظر فقد ضبطوا القليل ثم بثلاث كلمات وأربع

ـ (قوله وفيه نظر فقد ضبطوا إلخ) قد يفرق بأن الثلاث اللقم تستدعي زمنا طويلا في مضغهن 

“Dalam kitab al-Anwar ulama membatasi ‘jumlah banyak’ dengan tiga kali suapan. Namun hal demikian perlu ditinjau ulang, sebab para ulama membatasi ‘sedikit’ dalam pembahasan berbicara ketika shalat dengan tiga sampai empat kalimat. Namun bisa juga dibedakan (antara permasalahan makan karena lupa saat puasa dan berbicara ketika shalat) bahwa tiga suapan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengunyahnya” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 13, hal. 348).

Ketika permasalahan ini kita tarik dalam membatasi “minuman yang banyak” maka dapat di-ilhaq-kan (disamakan) sekiranya minuman yang diminum dalam keadaan lupa telah terlewat waktu yang cukup lama, seperti waktu yang dibutuhkan dalam mengunyah tiga suap makanan. 

Meski para ulama menghukumi batal bagi orang yang lupa makan dalam jumlah banyak, tapi tetap tidak bisa dipungkiri bahwa dalam permasalahan ini terdapat ulama yang berpandangan bahwa makan dalam jumlah banyak dalam keadaan lupa tidak sampai membatalkan puasa, dengan berpijak pada makna umum dari nash hadits. Pendapat ini misalnya seperti yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa tidak sampai membatalkan puasa, ketika makanan dan minuman yang dikonsumsi hanya sedikit. Sedangkan ketika jumlah makanan dan minuman yang telah dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, seperti tiga suapan misalnya, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagian berpandangan tetap sahnya puasa, sedangkan ulama lain menghukumi batal puasanya. Dua pendapat ini sama-sama bisa kita amalkan selaku penganut mazhab Syafi’i.

Maka sebaiknya bagi orang yang menjalankan puasa agar menata niat dalam menjalankan ibadah puasa dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Jika ia tidak sengaja melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum misalnya, maka ketika telah ingat kembali, agar secepatnya beristighfar dan membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman yang terselip dalam mulut, agar tidak ada bagian dari makanan dan minuman yang tertelan, hingga dapat membatalkan puasanya. 


Keagungan Fadhilah Membaca Sholawat


Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat nabi. Anjuran untuk bershalawat dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits. Anjuran membaca shalawat pertama sekali dapat ditemukan pada Surat Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya, "Sungguh Allah dan malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi. Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (Surat Al-Ahzab ayat 56).

Keutamaan membaca shalawat terdapat dalam berbagai riwayat hadits. Keterangan perihal ganjaran pahala yang berlipat untuk amal shalawat dapat ditemukan pada hadits riwayat Imam Muslim berikut ini: 

مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Artinya, “Siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali,” (HR Muslim).

Shalawat nabi memiliki banyak keutamaan bagi yang mengamalkannya. Selain soal ganjaran pahala, amal shalawat nabi juga dapat menghapus dosa dan mengangkat derajat orang yang mengamalkannya sebagaimana hadits riwayat An-Nasa’i berikut ini:

مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ

Artinya, "Siapa saja yang membaca shalawat kepadaku sekali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali, menghapus sepuluh dosanya, dan mengangkat derajatnya sepuluh tingkatan," (HR An Nasa’i)

اخواني أكثروا من الصلاة على هذا النبي الكريم فإن الصلاة عليه تكفر الذنب العظيم وتهدي إلى الصراط المستقيم وتقي قائلها عذاب الجحيم ويحظي في الجنة بالنعيم المقيم   أكثروا من الصلاة على هذا النبي الكريم فإن الصلاة عليه تكفر الذنب العظيم وتهدي إلى الصراط المستقيم وتقي قائلها عذاب الجحيم ويحظي في الجنة بالنعيم المقيم  

Sayyid  Ali Ibn Abdullah Ibn Ali Ibn Hasan al-Haddad mengatakan:

فَالْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ طَافِحَانِ بِذِكْرِ فَضَائِلِ الصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . وَدَلاَئِلُهَا اَشْهَرُ مِنْ اَنْ تُذْكَرَ وَيَكْفِيْكَ فِي عَظِيْمِ فَضْلِهَا اَنَّ الصَّلَوَاتِ وَخُطْبَةَ الْجُمُعَةِ وَنَحْوِهَا لاَ تَصِحُّ بِدُوْنِهَا .

Artinya: “Di dalam kitab dan sunnah keduanya penuh menyebutkan keutamaan shalawat dan salam kepada Rasulllah. Argumentasinya lebih popular untuk disebutkan, cukup bagi engkau untuk mengetahui kebesaran keutamaannya bahwa ibadah shalat, khutbah jum’at dan seumpamanya tidak sah tanpa dibacakan shalawat.”

Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy pernah ditanya:

هَلْ الْأَفْضَلُ الِاشْتِغَالُ بِالِاسْتِغْفَارِ أَمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ يُفَرَّقُ بَيْنَ مَنْ غَلَبَتْ طَاعَاتُهُ فَالصَّلَاةُ لَهُ أَفْضَلُ أَمْ مَعَاصِيهِ فَالِاسْتِغْفَارُ لَهُ أَفْضَلُ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ الِاشْتِغَالَ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ مِنْ الِاشْتِغَالِ بِالِاسْتِغْفَارِ مُطْلَقًا .

Artinya:”Lebih afdhal mana antara menyibukan diri membaca istighfar dengan membaca shalawat kepada Nabi? Atau jawabannya dikondisikan bagi orang yang banyak perbuatan taatnya, maka menyibukan membaca shalawat lebih utama dan orang yang banyak perbuatan ma’shiatnya, maka menyibukan diri membaca istighfar lebih utama? Kemudian Imam al-Ramliy menjawab bahwa menyibukan diri dengan membaca shalawat kepada Nabi lebih utama dari pada menyibukan diri membaca istighfar secara mutlak."

Sayyidina Abu Bakar berkata:

اَلصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ أَمْحَقُ لِلذُّنُوْبِ مِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ لِلنَّارِ . وَالسَّلاَمُ عَلَيْهِ اَفْضَلُ مِنْ عِتْقِ الرِّقَابِ . وَحُبُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ مِنْ ضَرْبِ السَّيْفِ فِي سَبِيْلِ اللهِ .

Artinya:”Membaca shalawat kepada Nabi paling dahsyat untuk memusnahkan dosa-dosa, lebih hebat dari pada air dingin memadamkan api. Membaca salam kepada Nabi lebih utama dari pada membebaskan budak. Cinta kepada Nabi lebih utama dari melakukan jihad dengan pedang di jalan Allah.”

Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Qusthullaniy mengatakan:

اِذَا صَعُبَ عَلَيْكَ الْمَرَامُ , فَعَلَيْكَ بِكَثْرَةِ الصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى الْمُظَلَّلِ بِالْغَمَامِ .

Artinya:”Apabila dirimu sulit mencapai cita-cita, maka lazimkanlah olehmu dengan memperbanyak shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad yakni manusia yang selalu dinaungi oleh awan.”

Imam Abdullah Ibn Ahmad Basaudan mengutip perkataan Imam Ahmad Ibn Muhammad Athaillah al-Sakandariy dalam kitab beliau Tajul Arus al-Hawiy Li Tahdzib al-Nufus:

لَوْ فَعَلْتَ فِي عُمْرِكَ كُلَّ طَاعَةٍ ثُمَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ صَلاَةً وَاحِدَةً رَجَحَتْ تِلْكَ الصَّلاَةُ الْوَاحِدَةُ عَلَى كُلِّ مَا عَمِلْتَ فِي عُمْرِكَ كُلِّهِ مِنْ جَمِيْعِ الطَّاعَاتِ ِلأَنَّكَ تَفْعَلُ عَلَى قَدْرِ وُسْعِكَ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَيْكَ عَلَى حَسَبِ رُبُوْبِيَّتِهِ . هَذَا اِذَا كَانَتْ صَلاَةٌ وَاحِدَةٌ فَكَيْفَ اِذَا صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ عَشْرًا بِكُلِّ صَلاَةٍ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ فَمَا أَحْسَنَ الْعَيْشَ إِذَا أَطَعْتَ اللهَ فِيْهِ بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى أَوِ الصَّلاَةِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

Artinya:”Seandainya engkau melakukan segala perbutan taat sepanjang umurmu, kemudian Allah memberikan satu shalawat, maka satu shalawat tersebut akan mengungguli setiap bentuk perbuatan taat yang engkau lakukan sepanjang umurmu. Sesungguhnya engkau melakukan ketaatan sesuai dengan kemampuanmu, sedangkan Allah memberikan shalawat kepadamu sesuai dengan kedudukannya sebagai Tuhan. Hal ini merupakan keutamaan satu shalawat yang Allah berikan, maka bagaimana apabila Allah memberikan balasan dengan 10 shalawat bagi setiap shalawatmu. Sebagaimana datang keterangannya dalam hadis shahih. Alangkah indahnya kehidupan, apabila engkau menjadi orang yang taat kepada Allah dengan selalu berdzikir dan bershalawat kepada Nabi Muhammad.”

Imam al-Dailamiy dalam Musnad al-Firdaus meriwayatkan dari Sayyidina Anas Ibn Malik, Imam al-Baihaqiy meriwayatkan dalam kitab Syu’ab al-Iman dari Sayyidina Ali:

كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ حَتَّى يُصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya:” Setiap Doa itu akan terhalang untuk diijabah sehingga dibacakan shalawat kepada Nabi Muhammad.”

Syaikh Muhammad Nawawi Ibn Umar al-Bantaniy menyebutkan sebuah riwayat:

لَوْ اَنَّ عَبْدًا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتِ اَهْلِ الدُّنْيَا وَلَمْ يَكُنْ فِيْهَا الصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُدَّتْ عَلَيْهِ وَلَمْ تُقْبَلْ .

Artinya: “Seandainya seorang hamba datang pada hari qiyamat membawa segala kebaikan yang dilakukan penghuni dunia, tetapi tidak terdapat catatan shalawat atas Nabi dalam amalan yang banyak itu, maka ditolak dan tidak diterima.”

Bayangkan betapa besar harga sebuah kalimat shalawat. Apalagi jika dibaca pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang memiliki keistimewaan. Sekali membaca shalawat serta salam atas Rasullullah, maka akan diberikan pengampunan dosa. Sekarang timbul pertanyaan di hati kita, Apakah seorang muslim cukup hanya membaca shalawat saja? Tanpa beribadah shalat? Tidak, selain bershalawat, tentunya kita harus melakukan syari’at dan ibadah yang sifatnya wajib. Shalawat akan diterima oleh Allah, jika yang membacanya itu adalah orang mukmin. Malaikat akan mencatat amalan shalawat. Yang kelak amalan itu akan mendatangkan manfaat besar kepada seseorang di dunia dan akhirat.

Dikhabarkan bahwa ada orang shalih telah melihat dalam impian tidurnya akan temannya yang telah meninggal dunia sedang memakai topi orang Majusi (penyembah api), maka orang shalih itu bertanya kepadanya: “Sesuatu apa yang menyebabkan engkau memakai topi orang majusi? Kemudian sang teman menjawab: “Lantaran aku tidak pernah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad, saat nama beliau disebutkan di sisiku.”

Tersiar pula cerita di zaman Imam Fudhail Ibn Iyadh, bahwa salah satu murid kesayangan beliau yang juga merupakan seorang ulama terkenal sedang dalam kondisi sakaratul maut, kemudian beliau menjenguknya dan duduk sejajar dengan kepala sang murid. Ketika beliau membaca surat Yasin, sang murid berkata: “Tolong anda hentikan” Imam Fudhail pun berhenti. Kemudian beliau mentalqinkan sang murid dengan kalimat La ilaha illallah, sang murid berkata: “Aku tidak akan menyebutnya, lantaran aku telah berlepas diri dari kalimat itu” Setelah mengucapkan kalimat murtad tersebut, sang murid wafat. Sejak peristiwa tragis itu Imam Fudhail Ibn Iyadh tidak pernah keluar rumah selama 40 hari dan beliau selalu menangis. Beberapa hari kemudian beliau bermimpi bertemu dengan sang murid yang selama ini beliau tangisi, beliau melihat sang murid sedang ditarik oleh para malaikat ke neraka Jahannam. Beliau bertanya kepada sang murid: “ Perbuatan apa yang engkau lakukan sehingga Allah mencabut iman dalam dirimu, sedangkan engkau merupakan salah satu murid yang paling alim dan aku sangat banggakan? Kemudian sang murid menjawab: “Allah telah mencabut iman dalam diriku karena 3 hal: Pertama, Aku sering mengadu domba dan memfitnah saudara-saudaraku dan teman-temanku. Kedua, aku selalu hasud kepada orang yang memiliki kelebihan. Ketiga, aku pernah datang berobat kepada seorang Tabib. Tabib itu berkata jika engkau ingin sembuh dari penyakit ini, maka engkau harus meminum arak setahun sekali. Jika tidak, maka penyakit engkau tidak akan sembuh, kemudian secara diam-diam aku selalu minum arak.”

Shalawat atas Nabi Muhammad dapat membebaskan seseorang dari azab. Tampaknya pernyatan itu terlalu berlebihan, namun demikianlah adanya bahwa Allah Maha Pengampun, Allah Maha Bijaksana terhadap hamba-hamba-Nya.

Artinya, "Wahai para sahabatku, perbanyaklah membaca shalawat untuk nabi mulia ini. niscaya shalawat itu menghapus dosa besar, menunjuki ke jalan lurus, melindungi orang yang mebacanya dari siksa neraka jahim," 

Wallohul Waliyyul Musta'an

Legenda Keris Condong Campur


Condong Campur adalah salah satu keris pusaka milik Kerajaan Majapahit yang banyak disebut dalam legenda dan folklor. Keris ini dikenal dengan nama Kanjeng Kyai Condong Campur.

Salah satu kisah tentang keris yang terkenal yang pernah ada di tanah Jawa ini adalah kisah tentang keris Kyai Condong Campur. Keris ini penuh misteri karena tidak diketahui secara jelas Mpu pembuatnya dan bagaimana pula ujud dapur-nya

Keris Kyai Condong Campur ini konon dibuat oleh seratus empu dari berbagai daerah di jaman Prabu Brawijaya V di akhir masa kejayaan kerajaan Majapahit. Bahan yang dipergunakan untuk membuat keris ini pun juga diambil dari berbagai daerah di Majapahit.

Konon, dari percampuran bahan dan pekerjaan para mpu yang berjumlah seratus itu malah menjadikan keris Kyai Condong Campur itu sebagai keris yang bersifat jahat kekuatannya. Keris ini menebarkan bencana dan kematian di Majapahit.

Keris Kyai Sabuk Inten yang berusaha menghalangi kejahatan Kyai Condong Campur pun gagal. Kalah dan bagian ujungnya ada yang rusak.

Baru setelah keris Kyai Sengkelat turun tangan, keris Kyai Condong Campur bisa dikalahkan. Keris Kyai Condong Campur yang kalah itu akhirnya melesat pergi dan berubah menjadi lintang kemukus.

Dalam dunia keris muncul mitos dan legenda yang mengatakan adanya pertengkaran antara beberapa keris. Keris Sabuk Inten yang merasa terancam dengan adanya keris Condong Campur akhirnya memerangi Condong Campur. Dalam pertikaian tersebut, Sabuk Inten kalah. Sedangkan keris Sengkelat yang juga merasa sangat tertekan oleh kondisi ini akhirnya memerangi Condong Campur hingga akhirnya Condong Campur kalah dan melesat ke angkasa menjadi Lintang Kemukus(komet atau bintang berekor), dan mengancam akan kembali ke bumi setiap 500 tahun untuk membuat huru hara, yang dalam bahasa Jawa disebut ontran-ontran.

Pada jaman sekarang, memang masih ditemukan bahkan diperjual-belikan keris yang ber-dapur  Condong Campur. Ujud keris ber-dapur Condong Campur ini ada yang beupa keris lurus dan ada pula yang mengatakan keris ber-luk atau berlekuk-lekuk. Tidak jelas mana yang benar-benar asli dapur-nya.

Dapat dipahami adanya perbedaan tentang dapur dari keris Condong Campur ini. Kisah sejarah pembuatannya di jaman Majapahit dan bagaimana ujud aslinya juga tak diketahui koq... hehehe!

Filosofi Sejarah Condong Campur

Condong Campur merupakan suatu perlambang keinginan untuk menyatukan perbedaan. Condong berarti miring yang mengarah ke suatu titik, yang berarti keberpihakan atau keinginan. Sedangkan campur berarti menjadi satu atau perpaduan. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan suatu keadaan tertentu.

Ketika Kerajaan Majapahit sudah menjapai masa kejayaannya, terjadi banyak sekali perbedaan (heterogenitas di negeri itu. Heteroginitas ini menyebabkan terjadinya perpecahan di masyarakat,baik dari aspek agama, budaya, kasta, dsb. Paling tidak ada 2 golongan yang memiliki perbedaan pandangan sangat tajam pada masa itu, yaitu:

Golongan pertama, yaitu golongan pemilik modal, pedagang dan pejabat.

Golongan kedua, yaitu golongan masyarakat bawah yang kecewa dengan kondisi yang mereka alami, seperti keterpurukan nasib, tekanan hidup dan penindasan.

Dalam dunia keris, golongan pertama di atas dapat diibaratkan dengan keris dengan dapur Sabuk Inten. Sabuk berarti ikat pinggang. Sedangkan Inten berarti intan atau permata. Dengan demikian, Sabuk Inten memvisualisasikan golongan pemilik modal yang bergelimang harta benda.

Golongan kedua yang disebutkan di atas adalah masyarakat kelas bawah yang kecewa, marah, terhadap keadaan. Dalam bahasa Jawa, perasaan mereka disebut sengkel atine atau jengkel hatinya. Dalam dunia keris, kondisi ini identik dengan keris dengan dapur Sengkelat, yang namanya diambil dari kata sengkel atine.

Dengan adanya perbedaan tersebut, diupayakan adanya persatuan dan pembauran (condong campur) antar golongan. Tetapi yang kemudian terjadi hanyalah pembauran semu di permukaan saja. Padahal sesungguhnya tidak terjadi pembauran dalam kehidupan masyarakat. Tidak berhasilnya upaya pembauran ini sesungguhnya disebabkan ketidakinginan para pemilik modal untuk melakukan pembauran tersebut dan khawatir akan terganggunya kepentingan mereka.

Hukum Kencing Dengan Berdiri


Salah satu adab dalam buang hajat adalah melakukannya dengan cara duduk, baik ketika membuang air kecil ataupun air besar. Buang hajat dengan cara berdiri adalah pekerti yang tidak baik dan tidak dibenarkan oleh syariat. Dalam hal ini Sayyidah ‘Aisyah menjelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلَّا جَالِسًا

“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha beliau berkata, ‘Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali dengan duduk’.” (HR. An-Nasa’i)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah secara tegas melarang kencing dengan cara berdiri. Larangan tersebut seperti yang tercantum dalam hadits riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing dengan berdiri,” (HR Baihaqi).

Lantas apakah larangan dalam hadits di atas mengarah pada hukum haramnya kencing dengan cara berdiri? Atau hanya sebatas dimakruhkan?

Para ulama menghukumi kencing dengan cara berdiri sebagai perbuatan yang makruh selama tidak ada uzur (kendala). Sehingga pelakunya tidak sampai terkena dosa, meski perbuatan itu sebaiknya tetap dihindari. Hukum makruh ini akan hilang tatkala seseorang memiliki uzur, seperti terdapat penyakit atau luka yang menyebabkan dirinya terasa berat (masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan duduk. Perincian hukum demikian, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami:

ويكره أن يبول قائما من غير عذر لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال : ما بلت قائما منذ أسلمت ، ولا يكره ذلك للعذر لما روى {النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما لعذر} ـ

“Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam’. Namun kencing dengan berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadits ‘Nabi Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik) sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya uzur,” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 2, hal. 158).

Hadits yang menjadi pijakan tidak makruhnya kencing dengan cara berdiri dalam referensi di atas, seolah-olah kontradiktif dengan hadits ‘Aisyah yang disebutkan di awal, yang tidak membenarkan bahwa Rasulullah pernah kencing dengan berdiri. 

Dalam menyikapi hal ini, tidak ada penjelasan yang lebih tegas dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam karya monumentalnya, Fath al-Bari:

والصواب أنه غير منسوخ والجواب عن حديث عائشة أنه مستند إلى علمها فيحمل على ما وقع منه في البيوت وأما في غير البيوت فلم تطلع هي عليه

“Hal yang benar bahwa kedua hadits yang kontradiktif di atas tidaklah di-naskh (tidak diberlakukan salah satunya). Dalam menjawab hadits ‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya berdasarkan pengetahuan beliau semata (tentang cara kencing Rasulullah SAW). Maka hadits ‘Aisyah diarahkan atas apa yang terjadi di rumah, adapun di selain rumah, Sayyidah ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti,” (Ibnu Hajar al-Haitami, Fath al-Bari, juz 1, hal. 330).

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum kencing dengan cara berdiri adalah perbuatan yang dimakruhkan, selama hal tersebut tidak dilakukan karena terdapat uzur yang menyebabkan seseorang merasa kesulitan (masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan cara berdiri. 

Berdasarkan kesimpulan ini, maka sebaiknya sebisa mungkin bagi kita untuk menghindari kencing dengan cara berdiri selain karena uzur, meskipun realitas saat ini banyak sekali ditemukan tempat kencing yang menuntut seseorang melakukan kencing dengan cara berdiri. Tersedianya urinoir di berbagai tempat fasilitas umum dan sudah menjadi mode bagi toilet-toilet kekinian adalah di antara contohnya. Jika masih memungkinkan mencari toilet lain untuk kencing dengan cara duduk itu lebih baik. Bila tidak memungkinkan maka kondisi tersebut masuk kategori uzur. Betapapun, kita dianjurkan untuk senantiasa menetapi syariat yang terbaik dan tetap selektif termasuk dalam menyikapi berbagai tren masa kini. 

Apabila ada hajat (kebutuhan)boleh buang air kecil sambil berdiri

Pada asalnya, buang air kecil hendaknya dilakukan dalam kondisi sambil duduk. Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ؛ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا

“Siapa saja yang mengabarkan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri, janganlah kalian benarkan. Beliau tidaklah buang air kecil kecuali sambil duduk.” (HR. An-Nasa’i no. 29, At-Tirmidzi no. 12 dan Ibnu Majah no. 307, shahih)

Hal ini karena ketika buang air kecil sambil berdiri kemungkinan besar akan menyebabkan terperciknya air kencing ke badan atau ke pakaian.

Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan (hajat) untuk buang air kecil sambil berdiri, maka diperbolehkan. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

رَأَيْتُنِي أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَتَمَاشَى، فَأَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ، فَقَامَ كَمَا يَقُومُ أَحَدُكُمْ، فَبَالَ، فَانْتَبَذْتُ مِنْهُ، فَأَشَارَ إِلَيَّ فَجِئْتُهُ، فَقُمْتُ عِنْدَ عَقِبِهِ حَتَّى فَرَغَ

“Aku ingat ketika aku berjalan-jalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum di balik tembok dan buang air kecil sambil berdiri sebagaimana kalian berdiri. Aku lalu menjauh dari beliau, namun beliau memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai.” (HR. Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah untuk mendekat karena ingin menjadikan badan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu sebagai penutup (pembatas) beliau yang sedang buang air kecil sehingga aman dari pandangan orang lain.

Hadits riwayat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu di atas tidaklah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits ‘Aisyah menceritakan mayoritas keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau buang kecil. Sedangkan hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri dalam sebagian kondisi (keadaan). Para ulama menjelaskan bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan bolehnya buang air kecil sambil berdiri. Atau ketika itu tidak memungkinkan bagi beliau untuk buang air kecil sambil duduk.

Terdapat dua syarat ketika buang air kecil sambil berdiri, yaitu: (1) aman dari terkena percikan air kencing; dan (2) aman dari dilihat orang lain

Bagaimana dengan tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang terdapat di fasilitas umum?  
Sering kita jumpai tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang disediakan di fasilitas umum, dalam kondisi berjejer di toilet dan disediakan untuk kaum laki-laki. Fasilitas semacam ini tentu bermasalah, karena belum memenuhi persyaratan ke dua.

Di antara adab yang perlu diperhatikan ketika buang air kecil adalah menjauh dari pandangan orang lain. Yang menjadi kewajiban adalah menjaga tertutupnya aurat, dan disunnahkan (dianjurkan) untuk menutupi semua anggota badan dari pandangan orang lain.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَرْدَفَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ خَلْفَهُ. فَأَسَرَّ إِلَيَّ حَدِيثًا لَا أُحَدِّثُ بِهِ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ وَ كَانَ أَحَبَّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَاجَتِهِ، هَدَفٌ أَوْ حَائِشُ نَخْلٍ. قَالَ ابْنُ أَسْمَاءَ فِي حَدِيثِهِ: يَعْنِي حَائِطَ نَخْلٍ

“Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengku di belakangnya, lalu beliau membisikkan satu hadits yang tidak aku ceritakan kepada seorang pun. Dan sesuatu yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dijadikan sebagai penghalang ketika buang hajat adalah bukit pasir atau rerimbunan pohon kurma.” Ibnu Asma’ berkata, “Yaitu (semacam) pagar dari pohon kurma.” (HR. Muslim no. 342)

Dalam hadits di atas, yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau menjadikan sesuatu yang cukup tinggi sebagai penghalang badan beliau, misalnya bukit pasir atau rerimbunan pohon kurma. Sehingga tidak ada yang bisa melihat beliau ketika sedang buang air kecil.

Adab semacam ini tidaklah bisa kita laksanakan ketika buang air kecil di urinoir tersebut, karena tidak ada sekat antara urinoir satu dengan yang lainnya. Kalaupun ada sekat, sekat tersebut sangat pendek (rendah). Sehingga kita masih bisa melihat orang lain yang sedang buang air kecil.

Oleh karena itu, kami berharap kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam penyediaan fasilitas umum seperti ini untuk tetap memperhatikan bagaimanakah ketentuan atau adab yang diajarkan oleh Islam ketika buang air kecil, mengingat pengguna fasilitas umum tersebut tentunya mayoritasnya adalah umat Islam.

Hukum Jual Beli Kucing


 Praktik jual beli kucing telah menjadi perbincangan di masa para sahabat Rasul. Sebagian sahabat melarang praktik jual beli kucing karena tidak memenuhi syarat sebagai produk terutama dari aspek manfaat. Sedangkan sebagian lagi merinci hukumnya dari jenis kucingnya, jinak atau liar.

Termasuk jual beli yang terlarang adalah jual beli kucing. Namun hal ini perlu dirinci, manakah sebenarnya kucing yang tidak diperbolehkan dijual belikan dan mana yang dibolehkan.

Dalil larangan jual beli kucing adalah hadits-hadits berikut ini.

Dari Abu Az Zubair, beliau berkata bahwa beliau pernah menanyakan pada Jabir mengenai hasil penjualan anjing dan kucing. Lalu Jabir mengatakan,

زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras hal ini.” (HR. Muslim no. 1569).

Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zajar dalam hadits di atas adalah larangan keras. (Al Muhalla, 9: 13)

Juga dari Jabir, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari hasil penjualan anjing dan kucing.” (HR. Abu Daud no. 3479, An Nasai no. 4668, Ibnu Majah no. 2161 dan Tirmidzi no. 1279. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

As-Syaukani mengatakan,

فيه دليل على تحريم بيع الهر وبه قال أبو هريرة ومجاهد وجابر وابن زيد حكى ذلك عنهم ابن المنذر وحكاه المنذري أيضا عن طاوس وذهب الجمهور إلى جواز بيعه

Dalam hadis ini terdapat dalil haramnya menjual kucing dan ini merupakan pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Jabir, dan Ibnu Zaid. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Mundzir. Kemudian al-Mundziri menyebutkan bahwa ini juga pendapat Thawus. Sementara itu, mayoritas ulama berpendapat, boleh melakukan jual beli kucing.

Para ulama yang membolehkan jual beli kucing beralasan, bahwa hadis di atas statusnya dhaif. Namun menilai hadis di atas dhaif adalah penilaian yang tidak bisa diterima.

Ketika membahas tentang hadis yang melarang jual beli kucing, An-Nawawi mengatakan,

وأما ما ذكره الخطابي وابن المنذر أن الحديث ضعيف فغلط منهما ، لأن الحديث في صحيح مسلم بإسناد صحيح

Apa yang dinyatakan al-Khathabi dan Ibnul Mundzir bahwa hadis di atas statusnya dhaif, adalah kesalahan. Karena hadis ini ada di shahih Muslim dengan sanad yang shahih. (al-Majmu’, 9/230)

Ada juga yang mengatakan bahwa larangan dalam hadis itu sifatnya makruh atau khusus untuk kucing liar. Namun ini dibantah oleh as-Syaukani. Beliau menegaskan,

ولا يخفى أن هذا إخراج للنهي عن معناه الحقيقي بلا مقتض

Tidak diragukan bahwa pemahaman semacam ini berarti memahami larangan dalam hadis itu dari maknanya yang haqiqi tanpa indikasi apapun. (Nailul Authar, 5/204).

Al-Baihaqi mengatakan – sebagai bantahan untuk pendapat jumhur – ,

وقد حمله بعض أهل العلم على الهر إذا توحش فلم يقدر على تسليمه ، ومنهم من زعم أن ذلك كان في ابتداء الإسلام حين كان محكوماً بنجاسته ، ثم حين صار محكوماً بطهارة سؤره حل ثمنه ، وليس على واحد من هذين القولين دلالة بينة

Sebagian ulama memahami bahwa larangan ini berlaku untuk kucing liar yang tidak bisa ditangkap. Ada juga yang mengatakan bahwa larangan ini berlaku di awal islam ketika kucing dinilai sebagai hewan najis. Kemudian setelah liur kucing dihukumi suci, boleh diperjual belikan. Namun kedua pendapat ini sama sekali tidak memiliki dalil pendukung. (Sunan al-Kubro, al-Baihaqi, 6/11).

Ibnul Qoyim juga menegaskan bahwa jual beli kucing hukumnya haram. Dalam Zadul Ma’ad, beliau mengatakan,

وكذلك أفتى أبو هريرة رضي الله عنه وهو مذهب طاووس ومجاهد وجابر بن زيد وجميع أهل الظاهر ، وإحدى الروايتين عن أحمد ، وهو الصواب لصحة الحديث بذلك ، وعدم ما يعارضه فوجب القول به

Demikian pula yang difatwakan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan ini pendapat Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, dan semua ulama Zahiriyah, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa jual beli kucing hukumnya terlarang. Inilah yang benar karena hadisnya shahih, dan tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannnya. Sehingga kita wajib mengikuti hadis ini. (Zadul Ma’ad, 5/685).

Mayoritas ulama memperbolehkan transaksi jual beli kucing karena kucing termasuk zat suci dan mengandung manfaat. Dari sana kemudian, mayoritas ulama memperbolehkan jual dan beli kucing. 

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ بَيْعَ الْهِرَّةِ جَائِزٌ لأنَّهَا طَاهِرَةٌ وَمُنْتَفَعٌ بِهَا وَوُجِدَ فِيهَا جَمِيعُ شُرُوطِ الْبَيْع، فَجَازَ بَيْعُهَا 

Artinya, "Mayoritas ulama fiqih bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa praktik jual kucing itu boleh karena kucing itu suci dan dapat diambil manfaatnya. Padanya juga terdapat semua syarat transaksi penjualan sehingga boleh menjualnya," (Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah). 

Imam An-Nawawi dalam kumpulan fatwanya menyebut jual kucing dan kera seperti praktik yang terjadi di masyarakat. Menurutnya, kedua hewan tersebut memenuhi kriteria produk yang ditentukan dalam norma jual dan beli dalam fiqih. 

يصح بيع الهرة والقرد لأنهما طاهران منتفع بهما جامعان شروط المبيع

 Artinya, "Praktik jual beli kucing dan kera tetap sah karena keduanya suci dan termasuk barang bermanfaat serta memenuhi syarat produk," (Imam An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018 M/1439 H], halaman 76). 

Dari sini kita dapat menarik simpulan bahwa praktik jual beli kucing peliharaan diperbolehkan menurut ketentuan muamalah. Tetapi yang perlu diperhatikan dalam praktik jual beli kucing dan hewan-hewan peliharaan lainnya adalah hukum positif agar tidak melanggar peratuan terkait satwa-satwa yang dilindungi.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...