Selasa, 09 November 2021

Hukum Wanita Melaksanakan Sholat 'Id


Sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin, khususnya di negara kita ini apabila Hari Raya tiba, baik Idul Adha maupun Idul Fitri, kaum muslimin dan muslimat di pagi hari berbondong-bondong pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat `Id. Mereka tidak hanya dari golongan laki-laki, tapi juga para wanita, tua, muda, dan anak-anak pun turut serta melaksanakan shalat tersebut.

Lalu, yang jadi pertanyaan sekarang adalah apakah wanita diperbolehkan untuk melaksanakan shalat `Id di masjid.

Hukum Wanita Menghadiri Shalat Ied

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ

Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا

Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat pengertian hadits ini dalam ‘Aun Al-Ma’bud, 2: 225).

Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى

Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ketiga hadist diatas menegaskan bahwa seorang wanita lebih utam atau diajurkan untuk melaksanakan sholat didalam rumah saja. Sebab hal ini dapat menghindarkan mereka dari perbuatan perbuatan dosa yang tidak bermanfaat seperti salah satunya adalh tebar pesona dengan lawan jenis. Hal ini terutama berlaku kepada wanita yang sudah dewasa, sudah menikah dan juga yang akan menikah. Mengingat hal tersebut, tentu hukum wanita menghadiri shalat ied agak membingungkan, sebab salah ied sendiri rata-rata digelar dilapangan terbuka, tentu jika implementasinya berdasarkan hadist diatas maka harusnya seorang wanita melakukannya dirumah saja, namun dalam hal ini terdapat pengecualian.

Manakah yang lebih afdhol bagi wanita, apakah ia keluar untuk shalat ‘ied atau tetap diam di rumahnya? Kita sudah ketahui bersama bahwa shalat bagi wanita yang terbaik adalah di rumahnya. Lantas bagaimanakah dengan shalat ‘ied, apakah lebih baik di rumahnya?

Yang lebih afdhol untuk wanita adalah keluar menuju lapangan untuk pelaksanaan shalat ‘ied. Demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari (324) dan Muslim (890), dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ « لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا ».

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat Idul Fithri dan Idul Adha para gadis, wanita haidh dan wanita yang sedang dipingit. Adapun mereka yang sedang haidh tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum muslimin. Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya yang memiliki jilbab memberikan pinjaman untuknya.”[

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya wanita untuk keluar menghadiri shalat ‘ied, baik yang gadis atau pun wanita yang sedang dipingit.”[

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits di atas dan yang semakna dengannya menunjukkan disyari’atkannya wanita untuk keluar melaksanakan shalat ‘ied di lapangan. Di sini tidak dibedakan apakah wanita yang diperintahkan tadi adalah wanita perawan, wanita yang telah menikah, wanita yang masih muda dan wanita yang sudah tua renta (dalam keadaan lemah). Begitu pula yang diperintahkan untuk keluar adalah wanita haidh dan lainnya selama bukan dalam masa ‘iddah, selama keluarnya tidak menggoda yang lainnya (karena berhias diri, misalnya –pen) atau selama tidak ada udzur kala itu.”

Jadi tidak diragukan lagi bahwa hadits ini menunjukkan tentang ditekankannya para wanita untuk keluar menuju shalat ‘Ied agar mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong menuju kebenaran.

Asal-usul Nama Desa Patikraja


 

Patikraja  adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini masuk dalam wilayah perkotaan Purwokerto. Kecamatan Patikraja termasuk kecamatan yang strategis karena lokasinya yang berada dekat dengan pusat kabupaten selain itu juga dilintasi oleh jalan nasional yang menghubungkan jalan nasional pantai utara jawa (Pantura) dan jalur selatan maupun jalan provinsi lintas tengah yang menghubungkan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung. Pusat pemerintahan Kecamatan Patikraja berada di Desa Notog. Kecamatan Patikraja juga dilintasi jalur kereta api dengan sebuah terowongan yaitu Terowongan Notog dan stasiun terbesarnya yaitu Stasiun Notog. 

Sejarah Asal-usul Nama Desa Patikraja 

Bahwa pada tahun 1648, terjadi peristiwa menyedihkan di Kraton Mataram (masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I) perselisihan keluarga yang menyebabkan jatuh korban anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu:

Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri (Sidho Hing Magiri). Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat I. Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan Raden Demang Mloyo Kusumo, ayah Pangeran Trunojoyo. Terjadi perubahan kekuasan di Madura Raden Undakan putra ke-2 Pangeran Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat II” (1648 – 1707).

Pangeran Cakraningrat II dalam melaksanakan pemerintah kerajaannya ternyata tidak sebijaksana ayahandanya, Pangeran Cakraningrat I. Kekuasaan pemerintahan Madura pada waktu itu hanya diserahkan kepada bawahan-bawahannya yang ternyata hanya melakukan penekanan-penekanan kepada rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja Cakraningrat II, terlalu sering berada di Kraton Mataram.

Pangeran Trunojoyo yang waktu itu hidup di lingkungan keraton Mataram tumbuh sebagai seorang pemuda yang taat kepada agamanya (Islam) dan tidak suka melihat ketidak-adilan yang terjadi baik di Madura ataupun di Jawa.

Beliau segera kembali ke Madura dimana pengaruh kekuasaan Pangeran Cakraningrat II (pamannya) semakin tidak mendapat simpati dari rakyat.Justeru akhirnya setelah Trunojoyo berada di Madura seluruh Madura,seluruh masyarakat Madura mengakui kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan sampai dengan Sumenep dan bergelar: “Panembahan Madura”.

Dengan diidampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep, Pangeran Trunojoyo mulai menyusun perlawanan melawan kompeni Belanda yang dinamakan “Perang Trunojoyo” berlangsung dari tahun 1677 – 1680.

Pasukan Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar dibawah pimpinan Karaèng Galesung (yang pada akhirnya menjadi menantu Pangeran Trunojoyo). Bantuan dari Panembahan Giri merupakan satu kekuatan yang sangat ditakuti oleh kompeni Belanda.

Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi pertempuran sengit di Gegodok antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Dalam perang dahsyat ini telah gugur pimpinan pasukan Mataram, yaitu: Pangeran Purboyo.

Satu demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram berhasil ditaklukkan pasukan Pangeran Trunojoyo.

Sementara itu Susuhunan Amangkurat I sangat bersedih atas kekalahan itu, pasukan Mataram yang dipimpin calon Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak berdaya menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo.

Kompeni Belanda mulai turun tangan mencampuri urusan karena kalau kerajaan Mataram ditaklukkan Pangeran Trunojoyo berarti kompeni Belanda tidak akan punya pengaruh lagi di tanah Jawa.

Cornelis Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Betawi dengan 5 kapal perang dan 1.900 orang pasukan gabungan dari Jepara menyerbu Surabaya. Perang terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan kompeni Belanda, walaupun akhirnya Pangeran Trunojoyo harus mundur ke Kediri. Sementara pasukan kompeni Belanda terus mendesak ke Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran Trunojoyo, kompeni Belanda berhasil menaklukkan pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo di Madura, tapi pada lain pihak pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menduduki Kraton Kartasura.

Jatuhnya ibu kota Mataram, karena tidak ada dukungan sama sekali kepada Susuhunan Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton Kartasura.

Dalam keadaan sakit, Susuhunan Amangkurat I terpaksa harus mengungsi dari Istana didampingi putranya Adipati Anom

Amangkurat I beserta pengiringnya melarikan diri ke arah barat menuju Banyumas. Setelah perjalanan yang amat melelahkan rombongan Amangkurat I berhasil menyeberangi Sungai Serayu. Maka Raja Mataram yang malang itu merasa lega. Lebih-lebih karena mereka mendapat sambutan yang amat ramah dari penduduk setempat yang secara tradisional memang amat setia kepada Kerajaan Mataram.

Di sebuah desa di sisi utara Sungai Serayu, Sang Raja memerintahkan rombongan untuk istirahat beberapa hari, sebab dia saat itu sedang dalam keadaan sakit. Demikian pula sejumlah anggota rombongan, ada pula yang sakit. Bahkan salah satu petugas yang biasa merawat kuda Sang Raja, juga sakit, akhirnya meninggal dan dikuburkan di desa itu. Kelak desa itu oleh penduduk setempat diberi nama desa Patikraja. Patik adalah abdi dalem raja yang sudah dianggap saudara oleh Adipati Anom sudah dianggap saudara (dulur) saking akrabnya kedua orang tsb masyarakat sekitar lebih mengenangnya sebagai saudaranya/dulurnya Anom atau Bupati Anom.Hingga makam tsb lebih terkenal dengan lur Anom/dulurnya Anom.

Nama Patikraja 

Amangkurat I saat istirahat di Desa Patikraja (*kini) dalam waktu beberapa hari dan pada saat itu tengah musim panen padi.Ketertarikan waktu itu pada kegiatan masyarakat maka Amangkurat I ikut nimbrung dan ikut memetik padi sebentar dengan ani-ani,Peristiwa ini lebih menegaskan penamaan daerah tersebut dengan peristiwa Petik pari raja hingga akhirnya daerah ini ditegaskan sebagai daerah Patikraja.

Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Serayu ke arah timur sampai menempuh jarak 10 km, kemudian rombongan belok kiri ke arah utara, dengan tujuan Tegal. Dari sana akan terus dilanjutkan menuju Batavia, guna meminta bantuan Kompeni, sahabatnya. Tetapi baru menempuh perjalanan sejauh lebih kurang 10 km, Sang Raja jatuh sakit lagi, sehingga rombongan raja itu beristirahat lagi di sebuah desa. Kali ini malah istirahatnya sampai beberapa hari. Putra Mahkota Adipati Anom dan anggota keluarga raja sudah cemas dan khawatir kalau-kalau Sang Raja akan wafat. Tetapi setelah istirahat beberapa hari, ternyata kesehatan Raja berangsur-angsur membaik. Karena itu Putra Mahkota dan segenap rombongan merasa amat gembira. Mereka semua bersuka ria, senang dan gembira. Bahkan Sang Raja sendiri memperlihatkan kegembiraannya dan memerintahkan agar rombongan meneruskan perjalanannya menuju Tegal. Desa tempat Sang Raja merasa senang, suka dan gembira karena bisa sembuh dari sakit, kelak oleh penduduk diberi nama desa Sukaraja. Artinya desa tempat Sang Raja merasa suka, senang dan gembira, karena bisa sembuh. Tapi lama kelamaan nama Sukaraja, berubah mengikuti lidah orang Banyumas, menjadi Sokaraja.

Dari desa Sokaraja, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Tegal dengan menyusuri lereng Gunung Slamet. Tetapi sebelum sampai di Tegal, Sang Raja jatuh sakit lagi dan kali ini tidak tertolong. Amangkurat I mangkat di desa Tegal Arum. Putra Mahkota Adipati Anom ditetapkan sebagai penggantinya dan naik tahta Kerajaan Mataram dengan gelar Amangkurat II ( 1677- 1704 M)

Legenda 

Kecamatan Patikraja zaman dahulu adalah lokasi penyeberangan perjalanan menuju Pantai Selatan. Hingga di daerah ini diutus seorang tukang seberang bernama Joko Rekso. Lokasi penyeberangan waktu itu jika di lihat masa sekarang berada di grumbul "Tambangan". Di lokasi ini juga terdapat Air Pethuk Telu atau bisa disebut juga air pertemuan tiga aliran sungai, yaitu Kali Serayu, Kali Logawa dan Kali Rajut. Konon air pethuk telu diyakini sebagai air keramat guna laku mandi penyucian jiwa. Hingga banyak kalangan dari berbagai kerajaan banyak berdatangan untuk melakukan mandi penyucian jiwa. Dilain pihak lokasi air pethuk telu juga sering digunakan sebagai tempat pelarungan (penghanyutan) abu jenazah. Lokasi ini terkenal di segala penjuru wilayah.

Hingga pada suatu ketika datanglah bencana banjir yang sangat dasyat memporak porakan hampir seluruh wilayah pinggir sungai termasuk daerah yang sekarang di sebut Patikraja. Nasib Joko Rekso sang petugas penyeberangan tak diketahui, sampai saat Tunggul Ametung memerintahkan penggantinya bernama Tunggul Rejo. Sehingga di bantaran Kali Serayu dibangun petilasan untuk mengenang Joko Rekso. Pada masa tugas Tunggul Rejo di wilayah ini juga dibangun sanggar pembakaran mayat, yang pernah ditemukan petilasan/bekas lantai bangunanya tepatnya 100m arah selatan balai Desa sekarang.

Tahun berganti tahun, masa tugas Tunggul Rejo di wilayah ini, hingga pada suatu saat terjadilah hal yang sangat menakjubkan. Saat itu seorang Raja (entah raja darimana) telah dikramasi, setelah dikumpulkan abu jenazahnya ternyata ada satu gigi sang raja yang masih utuh tak terakar. Takut terjadi kesalahan, maka diulang kembali untuk dibakar. Tapi setelah berulang ulang ternyata tetap saja gigi sang raja utuh tak berubah jadi abu. Berita keganjilan ini menyebar ke seantero jagad dan sampai ke telinga sang adipati Tunggul Ametung di Tumapel. Atas kesepakatan warga dan jadi keputusan sang Adipati maka wilayah ini dinamakan Patikraja.

Jejak Sejarah Kyai Ageng Panohan


 Mbah Moen (KH Maimun Zubair) ngendiko

"Mbiyen pusat kejadukan lan kewibawaan daerah Rembang iku neng ki Ageng Panoan ( nama julukan seorang tokoh dari desa Panoan) ".

"Kiyai seng ketok neng daerah Rembang iku soko rembesan madune Ki Ageng Panoan ".

"Rembang iki ora iso ketok gede masalahe ki Ageng Panoan iku senengane roba-rabi mergo jaduk tur wibowo , anak'e ono satus , aku iki yo termasuk keturunan soko ki Ageng Panoan ".

"Kuwe wes ziarah neng makame ki Ageng Panoan po durung ? Aku yo ziarah neng kono.

Makam Mbah Kyai Mauhammad Sholeh,atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Panohan,memang tidak asing lagi bagi masyarakat Rembang Jawa tengah dan para pecinta Wali Nusantara jawa ini.

Makam Ki Ageng Panohan berada di hutan dengan Posisi makam ada di antara dua pohon Beringin Panggang yg bila kita mau masuk Makam harus lewat di antara Akar belukar pohon yg terkesan antik. 

Tidak sedikit kaum muslimin dari berbagai daerah yang berziarah di makam Mbah Ki Ageng Panohan ini,mereka berdatangan silih berganti,mulai dari Jawa tengah sendiri,Jawa timur,Jawa barat dan luar pulau, bila melewati kota Rembang,keselatan sekitar kurang lebih 20 km,tepatnya di Desa Panohan Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang,Jawa tengah.

Untuk mengenal lebih dekat siapa sebenarnya Mbah Ki Ageng Panohan yang dimakamkan di desa Panohan itu ?

Berdasarkan silsilah keturunanya, Mbah Muhammad Sholeh atau Ki Ageng Panohan ini, masih dzurriyah dari Nabi Muhammad Rosulullah dari jalur Sayyidina Husain putra Siti Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW.

Hal itu tampak jelas dalam silsilah yang terpajang di Joglo Peristirahatan di selatan makam Ki Ageng Panohan.

Dalam silsilah tersebut, Muhammad Sholeh atau Ki Ageng Panohan masih merupakan keturunan Maulana Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunungjati.

Kyai Muhammad Sholeh merupakan seorang ulama sakti yang memiliki banyak kelebihan dan berjasa menyebarkan Islam di sekitar kawasan pegunungan Botak dan Kendeng Rembang.

Tembok prasasti di selatan Makam itu juga nampak silsilah, Mbah Kyai Muhammad Sholeh(Ki Ageng Panohan) merupakan keturunan Maulana Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunungjati.

Makam Kyai Muhammad Sholeh berada di pemakaman umum Desa Panohan Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Beberapa sumber menyebut, Mbah Sholeh merupakan keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW generasi ke-26.

Untuk memasuki makam ini, peziarah harus melewati satu pintu yang hanya bisa dilewati satu orang sambil berjongkok,Pintu makam tidak terbuat dari kayu maupun tembok, melainkan akar pohon yang telah membentuk seperti mulut goa.

Di dalam makam, lantai sudah berkeramik. Luasnya hanya mampu untuk menampung sekitar maksimal 20 peziarah.

Soal suasana jangan di ragukan lagi,sangat teduh dan asri,pokoknya enak dibuat riyadho atau menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, disekeliling makampun tak terhitung berapa banyak pohon besar yang rindang berdiri menghiasi lingkungan kompleks makam tersebut,dan jangan khawatir di lokasi makam sudah ada tempat wudzu,toilet,kamar mandi,dan peristirahatanya, jadi para peziarah yang ingin menginap akan terasa nyaman.

Awalnya makam Mbah Sholeh biasa saja, seperti makam yang lain pada umumnya. Belum ada Joglo maupun bangunan lainnya.

Setelah banyak masyarakat luar daerah berziarah ke tempat ini, masyarakat Desa Panohan mulai menata bangunan makam,

Makam yang semula ditumbuhi semak belukar dan tak terawat, disulap menjadi bersih dan asri sehingga peziarah lebih nyaman dan khusuk dalam berdoa.

Menurut cerita,

Mbah Sholeh bukanlah warga setempat melainkan pendatang dari Cirebon Jawa Barat.

Pada zaman kolonial, beberapa kiai dari Banten dan beberapa wilayah di Jawa Barat mengadakan perlawanan kepada penjajah,ketika terdesak mereka mundur dan mengasingkan diri untuk menghimpun kekuatan di Jawa Tengah.

Diantaranya adalah Mbah Sholeh bersama dua cantriknya Kiai Ali Mahmudi dan Kiai Abu Bakar. Selanjutnya, tiga tokoh ini merapat ke Lasem,dan dalam perkembangannya beliau juga menyebarkan agama Islam di wilayah Lasem Jawa tengah di bagian selatan.

Ketiga tokoh ini selain dikenal sakti mandraguna, mereka juga dikenal sangat ramah kepada siapapun, makanya mereka bisa diterima dimasyarakat dan sangat mudah dalam menyebarkan agama Islam.

Mbah Sholeh dimakamkan di Panohan (tengah), sedangkan dua cantriknya Mbah Ali Mahmudi dan Mbah Abu Bakar di makamkan di tempat terpisah yang juga masih berada di wilayah Desa Panohan.

Mbah Ali Mahmudi di sebelah barat,dekat jembatan Panohan dan Mbah Abu Bakar di sebelah timur pemukiman di Desa Panohan. 

Hukum Bercerai Saat Wanita Hamil


 

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah, waba’du.

Sebelumnya, cerai (talak) dalam Islam terbagi dua macam :

Talak Sunni, yaitu talak yang dilakukan sesuai prosedur syariat.

Talak Bid’i, yaitu talak yang tidak sesuai prosedur syariat.

Mentalak istri saat hamil tergolong talak sunni atau bid’i

طلاق الزّوجة الحامل ليس طلاقاً بدعياً بل هو طلاق شرعي حتى لو جامعتها، لما ثبت في صحيح مسلم أنّ النّبي صلى الله عليه وسلم قال لعبد الله بن عمر لما طلّق امرأته وهي حائض: “راجعها ثم امسكها حتى تطهر، ثم تحيض ثم تطهر ثم طلقها إن شئت طاهراً قبل أن تمسها أو حاملاً” وهذا باتفاق العلماء، وأمّا ما اشتهر عند العوام من أنّ الحامل لا طلاق عليها فهو غير صحيح.

Mentalak istri saat hamil tidak tergolong talak bid’i. Bahkan itu tergolong talak yang syar’i (talak sunni) sampaipun dilakukan setelah suami menyetubuhinya. Hal ini berdasarkan hadis yang terdapat di Shahih Muslim, bahwa Nabi ﷺ berpesan kepada Abdullah bin Umar saat dia menceraikan istrinya ketika haid,

راجعها ثم امسكها حتى تطهر، ثم تحيض ثم تطهر ثم طلقها إن شئت طاهراً قبل أن تمسها أو حاملاً

“Rujuklah kepada istrimu yang sudah kamu cerai itu. Tetaplah bersamanya sampai dia suci dari haid, lalu haid kembali kemudian suci lagi. Setelah itu silahkan kalau kamu mau mencerainya : bisa saat istri suci sebelum kamu gauli, atau saat dia hamil.”

Bahkan para ulama sepakat, boleh mencerai istri saat kondisinya hamil. Adapun anggapan yang tersebar di tengah masyarakat awam, bahwa wanita hamil tidak sah dicerai, adalah anggapan yang keliru.

Bahkan suatu talak disebut sunni, manakala terjadi pada dua kondisi:

Pertama, dilakukan saat wanita sedang hamil.

Kedua, dilakukan saat wanita berada dalam kondisi suci (tidak sedang haid atau nifas), sebelum disetubuhi.

Dalil yang mendasari ini adalah firman Allah ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya. (QS. At-Thalaq : 1)

Allah memerintahkan jika memang cerai adalah pilihan tepat karena menimbang maslahat yang kuat, maka silahkan lakukan cerai itu saat wanita sedang berada dalam masa ‘iddah. Hamil adalah salah satu waktu iddah untuk wanita yang dicerai, berakhir saat wanita tersebut melahirkan. Menunjukkan, talak yang terjadi saat wanita hamil, adalah talak sunni.

Adapun talak disebut bid’i, manakala dilakukan pada empat keadaan:

Pertama, saat wanita haid.

Kedua, saat nifas

Ketiga, saat suci namun setelah disetubuhi.

Keempat, cerai tiga sekaligus dengan sekali ucapan.

Kesimpulannya, mencerai saat istri sedang hamil, jika karena pertimbangan maslahat yang kuat, hukumnya boleh dan sah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim diceritakan bahwa Ibnu Umar RA menalak istrinya dalam kondisi haid. Kejadian itu kemudian diceritakan oleh Umar bin Khatthab RA kepada Rasulullah SAW.

Mendengar cerita tersebut lantas Rasulullah SAW meminta Umar bin Khaththab RA agar memerintahkan putranya untuk kembali kepada istrinya. Baru kemudian jika ia tetap ingin menceraikannya, maka ceraikan ketika dalam kondisi suci atau hamil.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا

Artinya, “Dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Khatthab RA menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi. Lantas beliau pun berkata kepada Umar bin Khatthab RA, ‘Perintah kepada dia (Ibnu Umar RA) untuk kembali kepada istrinya, baru kemudian talaklah dia dalam keadaan suci atau hamil,” (HR Muslim).

Perintah Rasulullah saw kepada Ibnu Umar RA melalui ayahnya, yaitu Umar bin Khaththab RA itu setidaknya mengadung dua hal penting. Pertama, larangan untuk menalak wanita dalam keadaan haid. Kedua, kebolehan menalak wanita dalam keadaan suci atau hamil.

Senada dengan hal ini Muhyidin Syaraf An-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya menjelaskan bahwa kandungan hadits tersebut menunjukkan kebolehan menalak wanita yang sedang hamil yang jelas kehamilannya. Menurutnya, ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i.

Lebih lanjut, menurut Ibnul Mundzir, pandangan Madzhab Syafi‘i ini adalah pendapat mayoritas ulama. Di antara mereka adalah Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid.

فِيهِ دَلَالَةٌ لِجَوَازِ طَلَاقِ الْحَامِلِ الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ قَالَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَبِهِ قاَلَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ مِنْهُمْ طَاوُسٌ وَالْحَسَنُ وَبْنُ سِيرِينَ وَرَبِيعَةٌ وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَبُو عُبَيْدٍ

Artinya, “Hadits ini menunjukkan kebolehan menalak wanita hamil ketika memang jelas kehamilannya. Ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i. Ibnul Mundzir berkata, pandangan ini juga dianut oleh mayoritas ulama, antara lain Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Kairo, Darul Hadits, cet ke-4, 1422 H/2001 M, juz V, halaman 325).

Ibnul Mundzir juga mengamini pendapat yang menyatakan kebolehan menalak wanita yang dalam kondisi hamil. Demikian juga sebagian ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Namun ada juga sebagian ulama Madzhab Maliki yang mengharamkannya. Sedangkan riwayat lain mengtakan, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh.

قَالَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَبِهِ أَقُولُ وَبِهِ قَالَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ حَرَامٌ وَحَكَى بْنْ الْمُنْذِرِ رِوَايَةً أُخْرَى عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ طَلَاقُ الْحَامِلِ مَكْرُوهٌ

Artinya, “Ibnul Mundzir berkata, saya juga berpendapat demikian. Begitu juga dengan sebagian ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Sedang sebagian yang lain menyatakan haram. Ibnul Mundzir juga meriwayatkan riwayat jalur lain dari Al-Hasan. Menurut riwayat jalur ini, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, juz V, halaman 325).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka kita dapat menarik simpulan bahwa mayoritas ulama memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil kendati ada yang menyatakan bahwa makruh dan haram.

Namun pendapat yang dianggap kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil. Dan iddah bagi wanita hamil yang ditalak adalah sampai ia melahirkan kandungannya sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:

وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya, “Wanita-wanita yang hamil waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungan,” (QS At-Thalaq [65]: 4).

Hukum Memakai Cincin


Memakai cincin bagi lelaki sebagaimana memakai jenis pakaian lainnya, pada asalnya adalah perkara mubah, tidak ada nilai pahalanya. Kecuali jika ada kebutuhan, seperti untuk stempel pengesahan surat atau keputusan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan cincin beliau untuk stempel surat yang beliau kirim ke berbagai negara kafir di sekitar Madinah.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ ، وَجَعَلَ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ ، وَنَقَشَ فِيهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ، فَاتَّخَذَ النَّاسُ مِثْلَهُ ، فَلَمَّا رَآهُمْ قَدِ اتَّخَذُوهَا رَمَى بِهِ ، وَقَالَ لَا أَلْبَسُهُ أَبَدًا

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan cincin dari perak, dan mata cincin diposisikan ke arah telapak tangan, di sana ada ukiran Muhammad Rasulullah. Kemudian banyak orang ikut memakai cincin seperti itu. Ketika beliau melihat banyak sahabat memakai cincin, beliaupun melepas cincin beliau dan mengatakan, ‘Saya tidak akan lagi memakainya selamanya.’ (HR. Bukhari 5866)

Dan cincin beliau telah hilang.

Ibnu Umar menceritakan,

فَلَبِسَ الْخَاتَمَ بَعْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ ، حَتَّى وَقَعَ مِنْ عُثْمَانَ فِى بِئْرِ أَرِيسَ

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamwafatwafat, cincin itu dipakai oleh Abu Bakr, Umar, kemudian Utsman, hingga cincin itu terjatuh di sumur Aris di zaman Utsman. (HR. Bukhari 5866)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenggunakanmenggunakan cincin beliau untuk stempel surat-surat beliau. Sehingga ketika fungsi itu telah usai, beliau tidak lagi butuh cincin. Ini dijadikan dalil bahwa memakai cincin ada 2 hukum:

[1] Jika dibutuhkan hukumnya anjuran

[2] Jika tidak dibutuhkan, hukum asalnya mubah.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

وقالوا: إن التختم سنة لمن يحتاج إليه، كالسلطان والقاضي ومن في معناهما، وتركه لغير السلطان والقاضي وذي حاجة إليه أفضل. وذهب المالكية إلى أنه لا بأس بالخاتم من الفضة، فيجوز اتخاذه، بل يندب بشرط قصد الاقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولا يجوز لبسه عجبا

Para ulama mengatakan, memakai cincin hukumnya sunah bagi orang yang membutuhkannya, seperti pemimpin atau qadhi atau semisalnya. Sementara untuk selain pemimpin atau qadhi lebih afdhal tidak memakai cincin.

Sementara Malikiyah mengatakan, tidak masalah menggunakan cincin perak, bahkan dianjurkan dengan syarat diniatkan untuk meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai cincin untuk kebanggaan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 11/23-24).

Imam Malik pernah meriwayatkan dari Shadaqah bin Yasar bahwa beliau pernah bertanya kepada seorang tabiin – Said bin al-Musayyib – lalu Said mengatakan,

البس الخاتم ، وأخبر الناس أني قد أفتيتك

Silahkan pakai cincin.. dan sampaikan kepada masyarakat bahwa saya telah memberikan fatwa ini kepadamu. (Fathul Bari, 10/400).

Ini menunjukkan bahwa pada asalnya memakai cincin hukumnya mubah

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ (رواه مسلم، رقم 2094)

“Sesunguhnnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam memakai cincin perak di sebelah kanan di dalamnya ada mata cincin dari Habasy dimana beliau menjadikannya di samping telapak tangannya.” (HR. Muslim, no. 2094).

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْطَنَعَ خَاتَماً مِنْ ذَهَبٍ وَجَعَلَ فَصَّهُ فِي بَطْنِ كَفِّهِ إِذَا لَبِسَهُ ، فَاصْطَنَعَ النَّاسُ خَوَاتِيمَ مِنْ ذَهَبٍ ، فَرَقِيَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ : إِنِّي كُنْتُ اصْطَنَعْتُهُ ، وَإِنِّي لاَ أَلْبَسُهُ ، فَنَبَذَهُ فَنَبَذَ النَّاسُ . قَالَ جُوَيْرِيَةُ : وَلاَ أَحْسِبُهُ إِلاَّ قَالَ فِي يَدِهِ الْيُمْنَى .(رواه البخاري، رقم 5876، وفي رواية عند مسلم أيضا، رقم 2091 فيها التصريح باليمين أيضا)

Dari Nafi’ bahwa Abdullah memberitahukan sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam membuat cincin dari emas dan dijadikan matanya di sisi dalam tangannya ketika memakainya. Dan orang-orang membuat cincin dari emas. Kemudian beliau naik mimbar memuji dan menyanjung kepada Allah seraya bersabda, “Sungguh saya dahulu membuatnya. Dan sesungguhnya saya tidak memakainya. Maka beliau buang dan orang-orang pada membuangnya. Juwairiyah mengatakan, “Saya tidak mengira kecuali berkata di tangan sebelah kanan.” (HR. Bukhori, no. 5876 dalam redaksi Muslim juga 2091 dengan jelas sebelah kanan juga)

Dari Anas radhiallahu anhu berkata:

صَنَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمًا ، قَالَ : إِنَّا اتَّخَذْنَا خَاتَمًا وَنَقَشْنَا فِيهِ نَقْشًا ، فَلَا يَنْقُشَنَّ عَلَيْهِ أَحَدٌ . قَالَ : فَإِنِّي لَأَرَى بَرِيقَهُ فِي خِنْصَرِهِ (رواه البخاري، رقم 5874، وبوب عليه بقوله : باب الخاتم في الخنصر)

“Nabi sallallahu alaihi wa sallam membuat cincin. Seraya bersabda, “Sesungguhnya kami membuat cincin dan memahatnya dengan pahatan. Maka janganlah seseorang memahatnya. Berkata (Anas), “Sesungguhnya saya melihat kilatannya di jari kelingkingnya.” )HR. Bukhori, 5874 dan beliau membuat bab dengan mengatakan ‘Bab Al-Khotam Fil Khinsir, Bab cincin di kelingking).

Bahkan Terdapat larangan memakainya di tengan dan jari telunjuk. Sebagaimana dalam hadits Ali bin Abi Tolib radhiallahu anhu berkata:

( نهاني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أتختم في أصبعي هذه أو هذه قال : فأومأ إلى الوسطى والتي تليها (رواه مسلم، 2078)

“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarangku memakai cincin di jariku ini atau ini berkata, sambil menunjuk ke jemari tengah dan setelahnya.” (HR. Muslim, no. 2078).

Sebagian Ulama berpendapat bahwa hukumnya makruh. Iman an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makruh bagi pria untuk memekai cincin di jari tengah dan telunjuk karena hadits ini, dan makruhnya adalah makruh tanzîh.”[1]

Adapun Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat bahwa hukumnya haram. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda antara orang yang shalat dengan memakai cincin di jari yang dilarang dengan orang yang shalat dengan memakai pakaian sutera atau melakukan perkara haram yang lain, karena masing-masing telah melakukan perbuatan terlarang dalam shalatnya.”[2]

Hadits ini berlaku untuk pria saja. Maka hendaknya kaum pria tidak memakai cincin di jari tengah atau telunjuk karena hukumnya minimal makruh. Adapun wanita boleh memakainya di jari mana saja menurut kesepakatan Ulama (ijma’).

Berbagai upaya dilakukan untuk menguak rahasia dan hikmah di balik kegemaran Rasul itu. Salah satunya seperti yang tertuang dalam Fatawa Ibn Hajar al-Haytami al-Kubra. Kitab ini mengutip beberapa dalil dari hadis dengan beragam derajat kesahihannya, yang berbicara perihal manfaat sunah pemakaian cincin seperti yang dicontohkan Rasul. 

Al-Haitami menjelaskan, misalnya, dalam titik tertentu penggunaan cincin itu bisa memicu keberkahan hidup dan menjauhkan diri dari kefakiran. Bukan karena batu cincin itu mampu mendatangkan nikmat atau bala, sama sekali bukan. Melainkan nilai estetika dan keindahan yang tersimpan menyimpan energi positif yang berpengaruh membangkitkan semangat dan gairah pemakainya.   

Barangkali energi positif di balik keindahan yang diciptakan oleh yang Mahaindah itulah, yang menjadikan batu yaqut warna kuning, begitu istimewa. Meski dalil hadisnya lemah, batu itu disebut-sebut bisa mencegah pemakainya dari penyakit sampar. Dengan demikian, tak heran bila Rasul menyukai batu cincin dari Afrika dan Yaman, karena keelokannya.   

Apa pun bentuk cincin yang dikenakan, selama memenuhi ketentuan syari’inya, pada dasarnya akan memancarkan energi dari keindahan yang dipancarkan. Energi tersebut tentu tidaklah muncul dengan sendirinya. 

Energi datang dari Sang Mahapencipta keindahan. Keindahan itu hanya akan menguap begitu saja, bila terkotori dengan keangkuhan, kesombongan, dan ambisi duniawi dari sebuah cincin. Sebab, Allah itu indah dan mencintai keindahan. Karena Dia pulalah sejatinya pemilik dari segala keindahan yang ada di muka bumi.  

Salah satu hal prinsip yang perlu mendapat perhatian bagi setiap pemakai cincin adalah bahwa cincin itu adalah untuk perhiasan. jangan sekali-kali menganggap atau berkeyakinan bahwa cincin yang dipakainya itu mempunyai ‘magic’ atau kekuatan yang dapat mendatangkan manfaat atau keuntungan serta dapat menolak madharat atau bala’. Hal ini dapat menjerumuskan pemakainya dalam kesyirikan, satu dosa besar yang tak terampuni oleh Allah SWT. 

التختم ليس بسنة مطلوبة بحيث يطلب من كل أن إنسان أن يتختم، ولكن إذا احتاج إليه، فإن الرسول صلى الله عليه وسلم لمَّا قيل له إن الملوك الذين يريد أن يكتب إليهم لا يقبلون كتاباً إلى مختوماً اتخذ الخاتم من أجل أن تختم به الكتب التي يرسلها إليهم

Memakai cincin bukanlah sunah yang ditekankan. Dalam arti, dianjurkan bagi setiap orang untuk memakai cincin. Akan tetapi sunah jika dia membutuhkan. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar informasi bahwa para raja yang hendak dikirimi surat, tidak mau menerima surat kecuali yang ada stempelnya, maka beliau membuat cincin agar bisa digunakan untuk menstempel surat-surat yang beliau kirim kepada mereka.

فمن كان محتاجاً إلى ذلك كالأمير والقاضي ونحوهما كان اتخاذه اتباعاً لرسوله الله صلى الله عليه وسلم، ومن لم يكن محتاجاً إلى ذلك لم يكن لبسه في حقه سنة بل هو من الشيء المباح، فإن لم يكن في لبسه محذور فلا بأس به، وإن كان في لبسه محذور كان له حكم ذلك المحذور، وليعلم أنه لا يحل للذكور التختم بالذهب لأنه ثبت النهي عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Oleh karena itu, siapa yang membutuhkan cincin, seperti pemerintah, hakim atau yang lainnya, maka menggunakan cincin dalam hal ini termasuk mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun siapa yang tidak membutuhkan cincin, maka memakai cincin bagi dirinya bukan termasuk sunah, hanya sebatas memiliki hukum mubah. Jika tidak ada unsur larangan ketika memakai cincin, tidak jadi masalah. Akan tetapi jika ada unsur terlarang ketika memakai cincin(seperti memakai cincin emas bagi laki-lakired), maka hukumnya sebagaimana keberadaan unsur terlarang itu. Dan perlu dipahami bahwa tidak halal bagi laki-laki untuk memakai cincin emas. Karena terdapat larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang cincin emas untuk laki-laki.

Sejarah Banjarsari Ciamis


 

Pernahkah Anda singgah berkunjung ke Banjarsari Ciamis atau sekedar melewatinya? Daerah ini ternyata menyimpan banyak cerita masa lalu yang mungkin sudah dilupakan oleh sebagian besar warga Ciamis khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Selain jarang diungkap, penyebarluasan informasinya pun memang terasa masih minim dan nyaris tidak terdengar, sehingga masyarakat umumnya tidak mengetahui sejarah Banjarsari. Sebuah tulisan yang akan menambah wawasan kita tentang riwayat daerah tersebut. Selamat membaca dan kembali ke masa lalu.

Tahun 1628 Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa. Namun Bahureksa tidak mengadakan hubungan dengan Dipati Ukur. Oleh karena itu Dipati Ukur tidak dapat melakukan perundingan dengan Bahureksa.

Pada waktu yang telah ditentukan, Dipati Ukur memimpin pasukannya bergerak menuju Batavia untuk menyerang Kompeni. Ketika pasukan dipeti Ukur tiba di Batavia, ternyata pasukan Mataram belum datang. Oleh karena itu, Dipati Ukur gagal mengusir Kompeni dari Batavia. Kegagalan itu terjadi karena ketidakseimbangan persenjataan dan tidak mendapat dukungan dari pasukan Mataram. Padahal seharusnya pasukan Mataram yang menjadi kekuatan ini penyerangan, dibantu oleh pasukan Dipati Ukur.

Atas kegagalan menjalankan tugas dari raja Mataram, rupanya Dipati Ukur berpikir, daripada ia menerima hukuman berat dari Sultan Agung, lebih baik ia tidak setia lagi terhadap Mataram. Dipati Ukur beserta sejumlah pengikutnya mengabaikan kekuasaan Mataram dan melakukan gerakan memberontak terhadap Mataram.

Sikap Dipati Ukur tersebut segera diketahui oleh penguasa Mataram. Pihak Mataram berusaha keras menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Bila pemberontakan itu tidak segera ditumpas, akan merugikan pihak Mataram.

Akhirnya pemberontakan Dipati Ukur dapat dipadamkan. Menurut versi Mataram, Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati di Mataram. Menurut Sajarah Sumedang (babad), pemberontakan Dipati Ukur terhadap Mataram berakhir pada tahun awal tahun 1632.

Penangkapan Dipati Ukur Oleh Adipati Kawasen

Naskah Leiden Oriental adalah naskah yang memuat tentang pemberontakan Dipati Ukur & Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen). Naskah ini ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Ghaluh. Peristiwa penangakapan Dipati Ukur Oleh Bupati Kawasen ini menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.

Berikut adalah cuplikan naskah Leiden Oriental yang menceritakan tentang penangakapan Dipati Ukur oleh Adipati Kawasen (Bagus Sutapura):

“Nunten pada guneman lan para bupati kabeh. Daweg pada angulati srana kang bhade bisa nyekel Dipati Mogol punika. Nunten kyai Dhipati Galuh Bendanagara angsal sanunggal santana Kawasen westa bagus Sutapura, gawena lagi ambhating raga, sanggem anyekel Dipati Ukur. Sarta lajeng kumanabang sareng sareng samenek ing Gunung lumbung punika. Nunten dipun tibani watu Westa Munding Jalu dipun capakeun dening Bagus Sutapura, dipun balangakeun sumangsang wonten sainggiling lajeng leles. Mangke nyataning Batulayang sareng sampun sumangsang watu puniku. Nunten Bagus Sutapura angamuk pribadi, katah kiang pejah balanipun Dipati Ukur punika sarta dipun besta dibakta dateng Ghaluh.”

Artinya:
“Hasil musyawarah para Bupati yang akan diberi tugas menangkap Dipati Ukur yang memberontak, kemudian Kyai Ghaluh Bandanagara mendapatkan Senopati dari Kawasen (Bagus Sutapura) yang orang sedang bertapa untuk menangkap Dipati Ukur. Bagus Sutapura lalu maju untuk berperang. Ia naik gunung lumbung. Begitu Bagus Sutapura naik ke Gunung Lumbung, Bagus Sutapura dijatuhi batu yang bernama Munding Jalu oleh Dipati Ukur. Batu itu kemudian ditangkap oleh Bagus Sutapura, kemudian dilemparkan dan nyangkut di phon leles. Berhubung dengan ditangkapnya Batu itu (Munding Jalu), maka tempat itu dinamakan batu layang. Kemudian Bagus Sutapura menyerng sendirian sampai pengikut Dipati Ukur banyak yang tewas. Akhirnya Dipati Ukur dapat ditangkap oleh bagus Sutapura dan diikat kemudian dibawa ke galuh”

Sejarah Galuh yang disusun oleh raden Padma Kusumah merupakan salah satu naskah yang memuat tentang penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Diantara naskah tersebut yang menceritakan Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) adalah:

Heunteu kocap dijalanna
Di dayeuh Ukur geus Neupi
Ki Tumenggung narapaksa
Geus natakeun baris
Gunung Lembung geus dikepung
Durder pada ngabedilan
Jalan ka gunung ngan hiji
Geus diangseug eta ku gagaman perang

Dipati Ukur sadia
Batuna digulang galing
Mayak Gagaman di lebak
Rea anu bijil peujit
Sawareh nutingkulisik
Pirang-pirang anu deungkeut
kitu bae petana
Batuna sok pulang panting
Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan

Urang mundur ka Sumedang
Didinya Urang Badami
Nareangan anu bisa
Nyekel raheden Dipati
Bupati pada mikir
Emut ku Dhipati galuh
Ka Ki bagus Sutapura
Waktu eta jalma bangkit
Seg disaur ana datang diperiksa

Kyai bagus Sutapura
Ayeuna kawula meureudih
Dipati Ukur sing beunang
Ditimbalan dijeng gusti
Nanging kudu ati-ati
Perkakasna eta batu
Gedena kabina-bina
Dikira sagede leuit
Dingaranan Batu Simunding lalampah

Kyai bagus Sutapura
Perkakasna ngan pedang jeung keris
Datang kana pipir gunung
Tuluy gancangan nanjak
Geus datang kana tengah-tengah gunung
Batu Ngadurungdung datang
Dibunuh geus burak-barik

Nu sabeulah seug dicandak
Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai
Nu matak ayeuna masyhur
Ngarana batu layang
Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk
Balad Ukur ennggeus ruksak
Ukur ditangkap sakali.

Hariring katu nimbalang
Eta maneh bener Kyai Dipati
Eh ayeuna Tumenggung
Tumenggung Narapaksa
Karep kamenta Ngabehi anu tilu
Ayeuna angkat Bupati

Kyai bagus Sutapura
ayeuna ngarana kudu diganti
Bari diangkat Tumenggung
Tumenggung Sutanangga
Jeung bere cacah 7000
Ayeuna Geus tetep linggih

Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura.

Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen (wilayah Kawasen pada saat itu antara Pamotan (Kalipucang) sampai Bojong Malang (Cimaragas sebelah Barat) berpusat di Kawasen-Banjarsari).

Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wira angun angun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya). Bagus Sutapura memerintah Kawasen sampai dengan 1653 M.

Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.

Demikianlah untaian cerita nyata yang pernah terjadi tentang Pemberontakan Dipati Ukur & Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura Adipati Kawasen. Dari berbagai sumber yang ada tentang Jasa Bagus Sutapura yang telah berjasa mengagalkan pemberontakan yang dilakukan oleh Dipati Ukur.

Selanjutnya Tahun 1643 Bagus Sutapura diangkat sebagai Dalem Kawasen dengan gelar Tumenggung Sutanangga. Kadaleman Kawasen sekarang bernama Banjarsari.

Kadaleman Kawasen resmi dibubarkan pada tahun 1810 M berdasarkan Besluit yang ditetapkan oleh Gubernur Jendral Herman Deandels.

Peninggalan-peninggalan dari kebesaran Kadaleman Kawasen yang tersisa sampai saat ini hanya berupa makam-makam dari para Dalem Kawasen yang berkuasa di Kawasen beserta para pejabat kawasen. Di Banjarsari sendiri orang kebanyakan hanya tahu Kawasen itu adalah salah satu Desa di Kecamatan Banjarsari yang tidak ada sejarahnya. Selain itu sekarang tidak tampak Bahwa di Banjarsari dulu adalah sebuah kabupaten yang besar dan masyhur di Tatar Parahiyangan dengan nama Kawasen. Hal ini terjadi karena Kurangnya kesadaran masyarakat untuk kembali menelusuri sejarah “Nyakcruk Galur Mapay Patilasan”.

Sepertinya pemerintah setempat khususnya Ciamis kurang memperhatikan sisa-sisa peninggalan dari Kadaleman kawasen. Seandainya Pemerintah ciamis sadar bahwasanya di Banjarsari masih ada sisa-sisa kebudayaan dalam hal ini Kadaleman kawasen, maka Kawasen ini layak dijadikan sebagai Situs Wisata Budaya yang ada di Bumi tatar galuh Tercinta.

Semoga tulisan singkat mengenai kebesaran kadaleman kawasen ini dapat memberikan hikmah suri taulada kepada kita semua tentang jiwa Patriotisme Bagus Sutapura yang tercermin dalam jiwa dirinya.

Jlegong Nama Daerah Sederhana Yang Penuh Makna


 JLEGONG. Asal nama Jlegong – Lugong – Silugong – Silugonggo ( sungai suci / sungai yang disucikan ). Pada jaman dahulu setiap ada orang mati penyuciannya dengan air sungai Jlegong dengan mengambil 7 sumber.

Desa ini sudah ada sebelum datangnya Mbah Sayyid (Sayyid Abdurrohman bin Sunan Bejagung), Beliau menggunakan nama Samaran dengan sebutan Kyai Cablik. Dengan adanya bukti situs-situs kuno seperti halnya WATU KENTENG ,LINGGA YONI. 

Orang-orang juga masih kebingungan denga asal muasal desa ini. 

Desa ini telah ada sejak Zaman Mataram Kuno, namun sempat kosong waktu terjadinya meletusnya Gunung Merapi tahun 1010M serta pemindahan pusat kerajaan Mataram ke daerah Jawa Timur. 

Dan dimasa Walisongo Era Majapahit diutuslah Sayyud Abdurrohman putra Kanjeng Sunan Bejagung oleh Syaikh Maulana Maghrib (Paman Sayyid Abdurrohman) untuk dakwah serta mendirikan pemukiman di wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno bersama tokoh-tokoh lain pada Waktu itu, diantaranya Sayyid Abdullah Quthbuddin di Candi Wonosobo,  Kyai Ageng Makukuhan, Kyai Ageng Wot Sinom,  Kyai Ageng Suro Dilogo dll. 

Hingga sampailah Mbah Sayyid sampai di sebuah lembah berbukit  yang bernama PUNTHUK  TEJOLAYU (nama masa itu) Beliau beserta rombongan mukim di tempat tersebut  hingga beberapa generasi. Adapun riwayat perjuangan Beliau tidak bisa diketahui secara luas dikarenakan pada masa itu awal perjuangan penyebaran Agama Islam ke pelosok pegunungan. 

Pada era generasi ke 3 tepatnya saat Desa Jlegong dipimpin oleh Cucu Mbah Sayyid yang bernama Raden Tholabuddin tempat pemukiman terjadi longsor hingga akhirnya Raden Tholabuddin berinisiatif memindahkan lokasi pemukiman ke arah timur yang menjadi kampung Jlegong sekarang ini. 

Dari masa ke masa zaman ke zaman di Desa Jlegong banyak tokoh Sakti maupun Ulama' ya berperan aktif di wilayah tersebut,  seperti halnya  Kyai Suto Drono, Kyai Jazuli, Ki Maryono, Ki Wongso Kromo,  Ki Wongso Wikarto dll. Namun penulis belum berani untuk menceritakan riwayat sejarah para tokoh-tokoh tersebut. 

Pada masa penjajahan di Desa ini pun menjadi salah satu basis perjuangan serta tempat pengungsian,  diantaranya bukti adalah situs Igir Gongso serta beberapa lokasi perlindungan bagi pengungsi yang tersebar di berbagai lokasi,  namun sangat disayangkan tempat tempat tersebut sudah tidak seperti semula dikarenakan adanya pemukiman serta lahan pertanian. 

Di desa ini terdapat suatu tradisi yaitu Manganan (makan bersama), yang di laksanakan pada bulan Sya'ban. 

Tempatnya sendiri di Punden Mbah Sayyid. Tradisi Sadranan di Punden Mbah Sayyid memiliki bentuk ritual Tradisi, simbol dan makna tradisi, fungsi tradisi, serta faktor-faktor pendorong terjadinya tradisi Sadranan di Punden Mbah Sayyid. Bentuk ritual tradisi terdapat dalam prosesi pelaksanaan tradisi Sadranan yang terdiri dari lima bentuk yaitu: ritual persiapan, ritual istighosah, acara sambutan, ritual tahlil bersama, dan makan bersama. 

Simbol dan makna tradisi yang terdapat dalam tradisi manganan yaitu bubur merah dan putih mempunyai makna tentang asal muasal diciptakannya manusia, daun berjajar mempunyai makna tata cara orang shalat berjamaah, kembang setaman bermakna tentang menjaga nama baik, kemenyan mempunyai makna sarana seseorang untuk memanjatkan doa, nasi dan lauk pauk bermakna ungkapan rasa syukur pada Tuhan, sayur bening mempunyai makna bersih jiwa dan raga ketika beribadah, jadah pasar bermakna bahwa manusia hidup tidak sendiri, dan ingkug mempunyai makna manusia di hadapan Tuhan harus bersujud. 

Fungsi yang terdapat dalam tradisi Sadranan adalah sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat, dan fungsi meningkatkan perasaan solidaritas. 

Faktor-faktor pendorong dilaksanakannya tradisi Sadranan adalah faktor kekerabatan, faktor pendidikan, dan faktor religi.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...