Selasa, 09 November 2021

Kopi Minuman Kaum Shufi Dan Orang-orang Mulia


Tahukah Anda bahwa kopi adalah minuman para sufi? Dan taukah Anda bahwa para Ulama yang berkomentar tentang kopi?

Di antara ulama yang saya temukan komentarnya dalam kajian saya seperti yang dikutip oleh Al Allamah Abdul Qodir Bin Muhammad Al Jaziry Dalam kitabnya Umdatus Shofwah fi Hukmil Qohwah, banyak ulama yang berfatwa mengenai hukum kebolehan meminum kopi seperti Syidi Syeh Zakariya Al anshori, Syidi Syeh Abdurrohman Bin Ziyad , Syidi Syeh Zarruq Al Maliki Al Maghribi,  Syidi Syeh Abu Bakr bin Salim Attarimi, dan Syidi Syeh Abdulloh Al Haddad.

Nama-nama yang telah disebut di atas merupakan tokoh tokoh besar sufi. Tidak hanya berfatwa bahkan banyak juga ulama yang telah mengarang kitab yang isinya membahas Khusus mengenai hukum kopi dan faidah Meminum kopi, diantaranya Sayyid Al Allamah Abdurrohman bin Muhammad Al Aidrus dalam Risalah Inusi as-Shofwah bi Anfusi al-Qohwah, juga Al Imam Al Faqih Syeh Bamakhromah mengarang syair tentang kopi yang Syairnya di komentari oleh banyak ulama.

Dikisahkan, setelah Syekh Ali Bin Umar as-Syadziliy diangkat menjadi wali Quthb di zamannya, masyarakat ketika itu sering mengalami mushibah dan gangguan keamanan akibat gangguan jin dan manusia. Sehingga pada suatu hari beliau bertemu dengan al-Khidhir dan al-Khidhir memberikan dua batang ranting puun al-Bun dan berkata;

“Wahai Ali Bin Umar, tanamlah puun ini nanti satu saat bebuah masaklah buahnya, maka kau akan selamat dari segala kejahatan jin dan manusia.”

Penemu kopi tersebut, berbeda dengan Imam Abul Hasan as-Syadziliy pendiri Thoriqoh Syadziliyah (wafat tahun 656 Hijriyah) sebagaimana banyak disinyalir banyak informasi yang beredar di internet.

Penisbahan nama as-Syadziliy lantaran beliau pernah 3 tahun belajar di Mesir dan mengambil baiat Thoriqoh as-Syadziliyah. Dan beliaulah orang pertama yang menyebarkan Thariqoh As-syadziliyah di Yaman.

Sedangkan menurut Imam Najmuddin al-Ghazziy Seorang pakar sejarah mencatatkan dalam kitab al-Kawakib as-Sairah Fi A’yan al-Miah al-A’syirah:

” Bahwa Orang yang pertama kali menjadikan kebiasaan minum kopi sebagai minuman berkhasiat adalah syekh Abi Bakr Bin Abdullah al-Aidrus beliau bikin racikan kopi dari buah pohon Bun.

Pada suatu hari Sidi Ahmad Mahmud mendatangi rumah seorang wali Quthb bernama Sidi Al Arabiy Bin Saih rahimahullah tokoh besar dalam thoriqoh tijaniyah yang juga merupakan guru beliau. Beliau disuguhkan kopi Bun, padahal beliau tidak pernah ngopi lantaran hukumnya masih diperdebatkan di kalangan ahli fiqh. Sidi al-Arabiy Bin Saih rahimahullah mengetahui hal itu dan berkata dalam sebuah syair:

إغنم أخي قهوتنا  وشربها ولونها
ولا تمل لعاذل  عن شربها ولو نهى

Bersenang-senanglah wahai saudaraku dengan kopi kami saat meminumnya dan cita rasanya. Jangan kau cendrung pendapat orang yang mencela peminum kopi sekalipun ia melarangnya.

Beliau pun sepontanitas menjawab dengan syair:

نعم نعم يا من علا  على السماك والسها

Iya, iya wahai orang yang punya reputasi tinggi di atas bintang Simak dan Suha.

Imam Abdul Ghoni bin Ismail an-Nabulsiy (wafat tahun 1143 Hijriyah) mengatakan kehalalan kopi melalui dua bait syairnya:

قهوة البن حلال * قد نهى الناهون عنها
كيف تُدعى بحرام * وأنا أشرب منهـــــا

” Biji kopi itu halal, sungguh mereka para pelarang telah melarangnya
Bagaimana bisa mereka menyatakan hal itu haram sedangkan aku meminumnya”

Pasti kita penasaran kenapa para ulama bahkan para sufi mengistimewakan kopi?

قَهْوَةُ الْبُنِّ يَا أَهْلَ الْغَرَامْ * سَاعَدَتْنِيْ عَلَى طَرْدِ الْمَنَامْ
وَ أَعَانَتْنِيْ بِعَوْنِ اللهِ عَلى * طَاعَةِ اللهِ وَ الْعَالَمُ نِيَامْ
قَافُهَا الْقُوْتُ وَ الْهَاءُ الْهُدَى * وَاوُهَا الْوُدُّ وَ الْهَاءُ هِيَامْ
لاَ تَلُوْمُوْنِيْ عَلَى شُرْبِيْ لَهَا * إِنَّهَا شُرْبُ سَادَاتٍ كِرَامٍ

Wahai orang-orang yang asyik dalam cinta sejati dengan-Nya, kopi membantuku mengusir kantuk. Dengan pertolongan Alloh, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya di kala orang-orang sedang terlelap. [Qahwah (kopi)], qaf adalah quut (makanan), ha adalah hudaa (petunjuk), wawu adalah wud (cinta), dan ha adalah hiyam (pengusir kantuk). Janganlah kau mencelaku karena aku minum kopi, sebab kopi adalah minuman orang_orang yang mulia.

Coba kita lihat komentar Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami ;

ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار وقد اختلف في حلها اولا وحاصل ما رجحه ابن حجر في شرح العباب بعد ان ذكر أنها حدثت في اول قرن العاشر . ان للوسائل حكم المقاصد ،فمهما طبخت للخير كانت منه وبالعكس فافهم الأصل

"Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli shofwah (orang orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan. Para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya, namun alhasil yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad kesepuluh hijriyah memandang dari Qoidah 'bagi perantara menjadi hukum tujuannya' maka selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya, maka fahami asalnya."

Dalam Diwan Syekh Bamakhromah beliau berkata ; "Dalam gelas kerinduan itu membuat orang yang meminumnya berada dalam tingkatan para perindu dan memakaikannya pakaian ahli pecinta dalam kedekatan kepada Allah. Bahkan jika seandainya diminum oleh seorang Yahudi maka niscaya hatinya akan mendapatkan tarikan hidayah dan inayah Tuhan."

وكان الحبيب أبو بكر بن عبد الله العطاس يقول : إن المكان الذي يُترك خالياً يسكنون فيه الجن ، والمكان الذي تفعل به القهوة لا يسكنونه الجن ولا يقربونه

Al Habib Abu Bakar bin Abdulloh Al Atthos berkata ssungguhnya tempat/rumah kok tinggalkan dlm keadaan sepi/kosong/suwung maka para jin akan menempatinya,,,,sedangkan rumah/suatu tmpat yang mana disitu biasa mmbuat hidangan wedang kopi maka para jin gak akan bisa menempatinya dan gak akan bisa mendekat alias mengganggu.

Dan Al Habib Abdurrohman Shofi Assegaf mengatakan; "...bahwa kopi yang disiapkan oleh para Sufi ini Esensinya untuk menarik Hati kepada Allah SWT maka pahamilah isyarah dan bedakan antara setiap argumentasi" . Imam Ahmad Assubki juga berkata ;

قال احمد بن علي السبكى  ; واما منافعها يعني القهوه تقريبا ... فالنشاط للعبادة  والأشغال المهمة وهضم الطعام وتحليل الرياح والقولنج والبلغم كثيرا

"Kopi manfaatnya yaitu kira-kira untuk membuat semangat ibadah dan pekerjaan penting juga menghancurkan makanan, agar tidak masuk angin dan menghilangkan dahak yang banyak."

Ada juga yang menganggap kopi (qohwah) mirip dengan nama khomer, maka ulama memberikan jawaban dalam kitab inasus Shofwah sebagai berikut ; "Penamaan qohwah bagi sebagian orang dianggap menyerupai nama khomer, tentu tuduhan ini tidak mendasar karena tidak harus kesamaan nama juga menunjukkan sama maknanya,  bahkan para sholihin dan shadat membuktikan bahwa kopi digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT."

Dalam Tarikh Ibnu Toyyib dikatakan:

يا قهوة تذهب هم الفتى # انت لحاوى العلم نعم المراد
شراب اهل الله فيه  الشفا # لطالب الحكمة بين العباد
حرمها الله على جاهل # يقول بحرمتها بالعناد

"Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda, senikmat-nikmatnya keinginan bagi engkau yang sedang mencari ilmu. Kopi adalah minuman orang yang dekat pada Allah didalamnya ada kesembuhan bagi pencari hikmah diantara manusia. Kopi diharamkan bagi orang bodoh dan mengatakan keharamannya dengan keras kepala."

Suatu ketika as-Sayyid Ahmad bin Ali Bahr al-Qadimi jumpa dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga. Ia berkata kepada Nabi.:

“Wahai Rasulullah, aku ingin mendengar hadits darimu secara langsung tanpa perantara.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Aku akan memberikan kepadamu 3 hadits:

Pertama; ” Selama bau biji kopi Bun masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untuknya.”

Kedua; Siapa saja yang membawa Subhah (tasbeh) dia akan dicatat sebagai orang yang berdzikir baik ia sedang gunakan berdzikir atau tidak.”

Ketiga:” Siapa saja yang menziarahi seorang wali baik yang masih hidup atau yang telah wafat, maka dirinya mendapat keutamaan pahala orang yang beribadah di setiap sudut bumi sampai dirinya terpotong-potong.”

روي أن رجلاً صالحاً من أهل المغرب كان يجتمع بالنبي صلى الله عليه وسلم يقظة فقال: يا رسول الله إنّي أشرب القهوة فما أقول عند شربها ؟

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki shalih dari Maghrib (Maroco) pernah berkumpul bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan terjaga lalu berkata; Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku adalah peminum kopi, karena itu, apa yang harus aku baca ketika meminumnya?

قال: *قل :*

Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Bacalah;

*اللهم اجعلها نوراً لبصري وعافيةً لبدني وشفاءً لقلبي ودواءً لكلّ داء يا قوي يا متين*

Wahai Allah jadikanlah kopi ini cahaya bagi pandanganku, kesehatan bagi tubuhku, kesembuhan bagi hatiku dan obat segala penyakit wahai Dzat Yang Mahakuat lagi Kokoh.

*واتل البسملة واشرب.*

Dan bacalah Basmalah, lalu minum”.

ثمّ قال: *إن الملائكة تستغفر لك ما دام طعم القهوة في فمك.*

Kemudian beliau melanjutkan; “Sesungguhnya malaikat senantiasa memohonkan ampun untukmu selama aroma kopi itu masih tercium di mulutmu”.

[Keterangan]

لا تسأل أيها السلفي المتحجر عن سند الرواية، فالحديث وإن كان منقطعاً وإن كان راويه الوحيد مجهول فإنه صحيح. لأن راويه المجهول هو من الأولياء الصالحين الذين يرون رسول الله يقظةً.

Wahai kaum salafi yang membatu, janganlah kamu mempertanyakan sanad hadits ini. Hadits ini sekalipun Munqoti’, perawinya tunggal dan majhul, sesungguhnya ini adalah hadits shahih, karena perawi yang majhul itu adalah (Sayyid Ahmad bin Ali Bahr al-Qadimi) salah seorang wali yang shalih yang mampu melihat Rasulullah dalam keadaan terjaga.

Kesimpulannya, kopi merupakan minuman para sufi yang digunakan untuk taqarrub, mendektkan diri kepada Allah SWTyang mana memiliki banyak faidah baik secara rohani ataupun medis.

Adapun dzikir yang dianjurkan oleh para ulama sebelum minum kopi selain membaca Bismillah dan sholawat adalah membaca Ya Qowiyyu 116 kali. Lantaran lafazh ( القهوة ) dalam hitungan hasabul jumal kabir berjumlah 116, cocok dengan bilangan hasabul jumal asmaul husna ( القوي ) dengan minum kopi ngambil berkah nama Allah al-Qowiy Yang Maha Kuat agar menjadi kuat beribadah dan beraktivitas.

Kebiasaan ulama sadah alawiyin (Habaib dari Hadramaut Yaman) sebelum minum kopi mereka membaca tartibul fatihah milik al-Habib Ahmad Bin Ahmad al-Muhdhar rahimahullah sebagai berikut;

الفاتحة لمشايخ القهوة البنية والسادة العلوية والصوفية وكل ولي وولية ومن شربها بنية ان الله يصلح الطوية ويقضي الحوائج الدينية والدنيوية بجاه خير البرية ان يسهل البنين والعوين ويقضي عنا الدين ويصلح ذات البين بجاه الحسن والحسين وعمران بن الحصين وخديجة زوجة سيد الكونين واللى حضرة النبي سيدنا محمد صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم

Sanad Muttashil kepada Imam Abu Bakr Bin Abdullah al-Aidrus Radhiyallahu anhu, alFaqir riwayatkan sebagai berikut:

احمد الحسني عن العلامة المسند السيد عبد الرحمن الكتاني عن والده الحافظ السيد محمد عبد الحي بن عبد الكبير الكتاني الحسني عن المعمر السيد صافي الجفري المدني عن السيد طاهر المذكور عن السيد عبد الله بن أحمد بن عمر الهندواني عن أبيه عن السيد محمد بن أبي بكر الشلي باعلوي صاحب ” المشرع الروي ” وهو عن والده الإمام أبي بكر بن أحمد عن شيخه العارف بالله عمر بن عبد الله العيدروس عن صنوه وشيخه الشيخ محمد عن والده الشيخ العارف بالله أبي بكر ابن عبد الله العيدروس رضي الله عنه .

Sholat Jum'at Saat New Normal


Saat pemberlakuan new normal ini bukan berarti kembali seperti keadaan semula, tetap melakukan prosedur dan protokol medis, tetap pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, mengurangi aktivitas di luar rumah dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan jumatan?
Problematika ini berkaitan di kota besar, misalnya dalam 1 pabrik, instansi dan perkantoran berisi ratusan staf dan karyawan. Kalau di desa dan kampung tidak ada masalah.

Jika masih memungkinkan untuk salat Jumat maka tetap wajib sesuai aturan dari pihak terkait dan medis. Bila tidak memungkinkan ada beberapa tahapan:

1. Memperbanyak Tempat Salat Jum'at.

Cara ini ditempuh dan disahkan oleh para Ulama dan Habaib di Pasuruan. Yakni jangan sampai meninggalkan salat Jumat tetapi memperbanyak tempat salat Jumat seperti di musolla dan langgar meskipun jama'ahnya tidak sampai 40 orang.

Syekh Abu Bakar Dimyathi, Guru dari para ulama Tanah Jawa, menulis dalam catatan kitabnya:

ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺴﻴﻮﻃﻲ: ﻛﺜﻴﺮا ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺑﺘﻘﻠﻴﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ، ﺇﺫ ﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ ﻗﺎﻡ اﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﺤﺎﻧﻪ. اﻩ ﻭﺣﻴﻨﺌﺬ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺃﺣﺪ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ.

As-Suyuthi berkata: Banyak dari ulama Syafi'iyah yang taqlid kepada Abu Hanifah soal jama'ah Shalat Jum'at terdiri dari 4 (empat) orang. Padahal pendapat ini merupakan salah satu dari pendapat Asy-Syaafi'i yang memiliki keunggulan dalil. Dengan demikian mengikuti salah satu dari 2 pendapat Asy-Syaafi'i lebih utama dari pada (pindah) taqlid kepada Abu Hanifah (Hamisy Hasyiah I'anah Thalibin 2/70)

2. Diganti Dzuhur

ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﻘﻴﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻮا ﺃﺭﺑﻌﺎ

Para ulama telah membuat konsensus (Ijma') bahwa orang yang tertinggal melakukan salat Jumat bagi para Muqimin [bukan Musafir] maka wajib salat Dzuhur (Ibnu Al-Mundzir, Al-Ijma', 1/40)

3. Pendapat yang Melarang Jum'at bergelombang/ Shift

حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ لَمْ يُقِمْهَا إِلاَّ فِيْ مَسْجِدِهِ وَلَمْ يُرَخِّصْ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ مَعَ فَرَطِ حُبِّهِ لِلتَّيْسِيْرِ عَلَى أُمَّتِهِ فِيْ أَنْ يُقِيْمُوْهَا فِيْ مَسَاجِدَ مُتَعَدِّدَةٍ أَوْ يُصَلِّيَ بِمَنْ يَتَيَسَّرُ لَهُ الْحُضُوْرُ أَوَّلَ الْوَقْتِ وَيَأْذَنُ فِيْ أَنْ تُقَامَ بَعْدَهُ جُمْعَةٌ وَجُمْعَةٌ وَثَالِثَةٌ وَهَكَذَا لِبَاقِيْ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَحْضُرُوْا، وَكَانَ ذَلِكَ أَيْسَرَ عَلَيْهِمْ لَوْ كَانَ

Sehingga jika sudah datang hari Jum’at, maka beliau Saw. tidak melaksanakan salat Jum’at kecuali di masjidnya. dan Nabi meskipun sangat ingin memberikan kemudahan kepada umatnya tidak memberi dispensasi untuk mendirikan salat Jum’at di banyak mesjid, atau salat bersama orang yang bisa datang kepadanya di awal waktu, dan mendirikan shalat jumat kedua, ketiga dan seterusnya bagi mereka yang tidak bisa datang (di awal waktu). Padahal cara itu lebih mudah bagi mereka seandainya memang diperkenankan. (Tanwir Al-Qulub, 189)

4. Pendapat yang Membolehkan Bergelombang.

Masalah seperti ini pernah ditemukan di negeri Eropa, masjid tidak memadai dan sulit memperbanyak tempat salat namun jamaah salat Jumat dari Muslim imigran cukup banyak. Akhirnya ada yang menggunakan cara bershift/ susulan seperti ini:

ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺇﻋﺎﺩﺓ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻭاﺣﺪ ﺑﺤﺠﺔ ﺃﻥ اﻟﻨﻈﺎﻡ ﻓﻲ اﻟﻤﺪﺭﺳﺔ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺃﺩاء اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﻊ اﻷﻭﻟﻴﻦ، ﻓﻬﺬا ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ اﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﻭﻣﻦ ﻭاﻓﻘﻪ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ، ﺣﻴﺚ ﻳﺮﻯ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻭﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻌﻪ ﻭﻟﻮ ﻭاﺣﺪاً ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻌﻪ ﺟﻤﻌﺔ، ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﺃﺣﺪاً ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻠﻲ ﻇﻬﺮاً.

Apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengulang salat Jumat di 1 masjid dengan dalih aturan sekolah tidak memungkinkan bagi orang yang terlambat untuk melakukan salat Jumat bersama gelombang pertama maka menurut pendapat Ibnu Hazm tidak apa-apa. Ibnu Hazm berpendapat jika ada orang yang ketinggalan salat Jumat dan masih menemukan orang untuk diajak salat Jumat, meski 1 orang, maka ia salat Jumat bersamanya. Jika tidak menemukan sama sekali maka ia salat Dzuhur (Qism Al-Fiqh 79/29)

Kelemahan dari cara no 4 ini untuk diterapkan di negara kita adalah karena pendapat Madzhab Dhahiri (di luar 4 Madzhab). Disamping itu telah menyalahi Ijma' mayoritas Umat Islam, serta masih mudahnya menemukan tempat untuk dijadikan tempat salat.

Solusinya terdapat pada cara ke 1, yakni melakukan di banyak tempat meskipun tidak sampai 40 orang. Jika tidak memungkinkan maka diganti salat Dzuhur.

Hukum Menimbun Barang Komoditi Saat Terjadinya Wabah



Bagaimanapun juga, keuntungan dari praktik jual beli adalah halal. Syariat telah menegaskan hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat:

وأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

Namun, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman dalam QS Al-Nisa [4] ayat 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta di antara kalian dengan jalan bathil” (QS Al-Nisa [4] : 29).

Apa hukum menimbun barang untuk menjual lebih mahal? Misal saat-saat ini dengan menimbun masker padahal khalayak ramai sangat membutuhkan.

Apa itu ihtikar?

Ihtikar adalah membeli barang melebihi kebutuhan dengan tujuan menimbunnya, menguasai pasar dan dijual dengan harga tinggi sekehendaknya pada saat khalayak ramai membutuhkannya.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ihtikar (menimbun barang) berarti:
Membeli barang melebihi kebutuhan.Tujuannya menimbun.Tujuannya menguasai pasar.Ingin dijual dengan harga tinggi semaunya.Khalayak ramai membutuhkan.
Menimbun barang di sini termasuk menzalimi orang banyak.

Dari Ma’mar bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605).

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن دَخَلَ في شَيءٍ من أسعارِ المُسلِمينَ لِيُغلِيَه عليهم، فإنَّ حَقًّا على اللهِ تَبارك وتَعالى أنْ يُقعِدَه بعُظْمٍ من النَّارِ يَومَ القيامَةِ.

“Siapa yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkannya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti di hari kiamat.” (HR. Ahmad, 4:485).

Berdasarkan dalil pokok di atas, sifat keumuman halalnya jual beli dibatasi oleh illat keharaman penimbunan barang (ihtikar). Ihtikar lebih dekat maknanya dengan hikmat dalil berupa adanya unsur dhalim (penindasan) dan eksploitatif (adl’afan mudla’afah). Kita tidak bisa memutuskan bahwa suatu aktivitas jual beli disebut sebagai ihtikar yang diharamkan tanpa adanya indikasi (madhinnah) ihtikar.

Demikian halnya, karena mengonsumsi keuntungan yang didapat dari hasil jual beli (ribhun) itu hanya haram bilamana ada unsur pembatal transaksi (bathil), maka diperlukan juga sebuah upaya untuk mencari penyebab bisanya transaksi itu dikategorikan sebagai telah berlaku bathil. Dalam kasus menaikkan harga jual masker yang tidak sebagaimana harga umumnya dalam kondisi normal, bagaimanapun juga, praktik pengambilan keuntungan dari jual beli semacam ini adalah benar dan labanya pun halal, karena tidak ada satu pun unsur larangan jual beli yang dilanggar oleh pedagang maupun pembeli.

Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa jika seseorang sengaja menimbun barang, maka Allah akan melaknatnya dengan penyakit kusta dan kerugian. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Nabi Saw bersabda;

مَنْ اِحْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ

“Barangsiapa melakukan ihtikar atau menimbun makanan kaum Muslimin, maka Allah akan memberinya dengan penyakit kusta dan kerugian.”

Indikasi (madhinnah) adanya praktik ihtikar sehingga menyebabkan haramnya laba jual beli, ditengarai oleh beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama, adanya hajat manusia terhadap satu jenis barang tertentu. Karena adanya hajat orang banyak, maka suatu perkara yang sempit pasti menghendaki adanya perluasan, dan setiap perkara yang luas menghendaki dipersempit dengan batasan. Sebagaimana kaidah:

إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع ضاق

“Ketika sempit suatu urusan, maka diluaskan, dan bila sebaliknya, luas suatu perkara, maka dipersempit.”

Tujuan utama dari kaidah ini adalah keharusan menghilangkan kesulitan (masyaqqah) dan berat (haraj) bagi masyarakat.

وانعقد الإجماع على عدم وقوع الحرج في التكليف، وهو يدل على عدم قصد الشارع إليه، ولو كان واقعًا لحصل في الشريعة التناقض والاختلاف، وذلك منفي عنها، فإنه إذا كان وضع الشريعة على قصد الإعنات والمشقة، وقد ثبت أنها موضوعة على قصد الرفق والتيسير، كان الجمع بينهما تناقضًا واختلافًا، وهي منزهة عن ذلك

“Konsensus ulama ditetapkan di atas dasar ketiadaan timbulnya keberatan dalam menjalankan beban syariat, dan ini selaras dengan maksud syariat yang tak memperberat hamba. Bahkan seandainya dalam syariat itu dibenarkan memperberat beban taklif seorang hamba, maka pasti akan ditemui banyak nash syariat yang bertentangan dan pertentangan satu sama lainnya. Dan semua ini menghendaki dihilangkan dari syariat tersebut. Andaikata Allah menurunkan syariat Islam ini dengan maksud utama sebagaimana karakteristik yang telah disebutkan dan mempersulit mukallaf—padahal di satu sisi syariat diturunkan dalam rangka sebagai rahmat dan kemudahan—maka mengumpulkan antara dua sifat kesulitan dan kemudahan, memberatkan dan rahmat, adalah dua hal yang saling bertentangan dan bertolak belakang. Untuk itu, semua ini menghendaki untuk dibersihkan” (Mafahim Raf’u al-Haraj, Kairo: Dar al-Ifta’ al-Mishriyah, 2011, Nomor Fatwa: 2053).

Walhasil, tindakan menahan diri dari penjual sembako dan masker untuk tidak mengedarkan barang dagangannya yang ada dalam gudangnya harus bisa diduga terlebih dulu, apakah hal itu karena adanya niatan tadlyiq (mempersulit) masyarakat? Jika benar ada indikasi (madhinnah) demikian, maka itu sudah menjadi alasan bahwa tindakan penimbunan itu adalah termasuk haram sebab niatan tadlyiq-nya dan bukan sebab jual belinya.

Kedua, adakalanya tindakan mempersempit ruang gerak juga termasuk merupakan kemaslahatan. Bagaimanapun juga, melakukan jual beli adalah hak individu setiap orang karena hukum asal dari muamalah adalah boleh. Tindakan membatasi ruang gerak individu dalam melakukan jual beli adalah termasuk tindakan yang bertentangan dengan hurriyatu al-tasharruf fi al-milkiyyah (yaitu hak kebebasan untuk mengelola harta kepemilikan). Oleh karena itu, tidak serta merta cukup dengan alasan tadlyiq, lantas ihtikar itu kemudian diputus sebagai haram. Harus ada indikasi lain, yaitu “jika tadlyiq itu mengarah pada upaya terbitnya halak(kerusakan). Dan indikasi adanya kerusakan ditengarai dengan timbulnya krisis harga (ghala’ fakhisy) dan keterpaksaan (mukrah).

Mengapa krisis (ghala’ fakhisy) dan keterpaksaan (mukrah) dianggap lebih condong pada upaya merusak? Setidaknya ada beberapa alasan dalam hal ini. Namun alasan yang paling pokok adalah adanya unsur keterpaksaan menandakan transaksi itu melahirkan unsur tidak saling ridha. Padahal terbitnya ridha dari penjual dan pembeli, adalah merupakan yang dikuatkan syariat.

Ketiga, lantas bagaimana dengan masyarakat penjual yang sudah lama menyimpan masker kebutuhan sembako untuk diperjualbelikan dan kebetulan saja ada kasus yang tak bisa dihindari yaitu wabah corona? Untuk itu maka perlu ditetapkan adanya pendekatan berupa hari. Dan dalam hal ini, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa tindakan penimbunan yang sudah terlanjur terjadi, bisa masuk unsur kategori ihtikar yang diharamkan, manakala sudah berlaku selama 40 hari sejak terjadinya kepanikan masyarakat, namun pihak penjual tidak segera mengedarkannya. Rosululloh saw Bersabda dalam hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu:

من احتكر قوت المسلمين أربعين يوماً يريد الغلاء، فقد برئ من ذمة الله وبرئ الله منه

Artinya:  “Siapa menimbun makanan kaum Muslimin selama empat puluh malam maka terlepas dari naungan Allah dan Allah melepaskan naungan darinya.” (HR. Ahmad).

Jadi, setidaknya ada tiga indikasi bahwa sebuah tindakan ihtikar(monopoli) itu bisa dikelompokkan sebagai yang haram atau tidak. Ketiganya adalah
(a) adanya hajat besar manusia,
(b) adanya niatan mempersulit masyarakat yang berujung pada halak (kerusakan/binasa), dan
(c) terjadi selama kurang lebih 40 hari sejak terbitnya wabah.

Illat (alasan dasar) hukum yang menyatakan haramnya ihtikâr adalah bilamana disertai adanya unsur tadlyîq – yaitu mempersulit ruang gerak kaum Muslimin. Selagi tidak ada niatan tadlyîq, maka hukum ihtikâr bahan makanan sebagaimana hal di atas adalah berstatus makruh, demikian menurut kajian fiqih Syafi’i.

Mencermati terhadap pendapat terakhir ini, maka hukum ihtikâr menurut mazhab Syafi’i, menjadi dapat lebih diperinci lagi. Ada kemungkinan suatu ketika ihtikâr ini hukumnya adalah boleh (jaiz), atau bahkan sunnah. Belum lagi apabila melihat objek ihtikâr-nya yang bukan terdiri atas bahan makanan, maka bisa jadi hukumnya adalah boleh. 

Untuk itu penting kiranya dibuat perincian hukum. Secara umum, kita klafisikan hukum ihtikâr sebagai berikut:

1. Haram. Keharaman ihtikâr yang disepakati berdasarkan nash, adalah: 

• Barang yang ditimbun adalah terdiri dari bahan makanan pokok negara atau tempat penimbun
• Barang dibeli dari pasaran dengan niat menghilangkan dari pasaran sehingga dapat menambah tingginya harga
• Penimbunan terjadi melebihi kebutuhan keluarganya

2. Makruh. Kemakruhan ihtikâr adalah terjadi bilamana: 

• Menimbun tanpa tujuan untuk maksud menghilangkan komoditas dari pasaran
• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan
• Menimbun pada waktu barang itu ada dalam jumlah banyak.
• Menimbun untuk keperluannya dan keluarganya.

3. Jaiz. Jaiz atau boleh melakukan ihtikâr, apabila:

• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan negara
• Menimbun pada waktu lapang.
• Niat menimbun adalah bukan untuk mempengaruhi harga di pasaran
• Seseorang menyimpan untuk kebutuhannya dan keluarganya.
• Menimbun di negara yang penduduknya musyrik

4. Sunnah. Kesunnahan melakukan ihtikâr, adalah apabila:

• Objek yang ditimbun adalah bahan pokok makanan
• Penimbunan dilakukan saat harga barang itu sedang surplus dan murah
• Dalam kondisi surplus, barang tidak sedang sangat dibutuhkan masyarakat
• Barang akan dikeluarkan kembali sampai ia dibutuhkan
• Menimbun dengan niat menjaga kemaslahatan masyarakat

Itulah beberapa penjelasan mengenai Ikhtikar

Hukum Renggangkan Barisan Sholat Saat New Normal



Salah satu upaya mencegah penyebaran Covid-19, pemerintah mengimbau agar masyarakat menjaga jarak aman minimal 1 meter. Apakah hal ini boleh diberlakukan dalam praktik salat berjamaah di masjid atau musholla? Apakah salatnya sah?

Mengenai hukum merapatkan shaf (barisan) dalam salat berjama'ah, memang disunnahkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) dalam hadisnya:

وعن أنس رضي اللّه عنه أن رسول اللّه قال: رصوا صفوفكم) أي حتى لا يبقى فيها فرجة ولا خلل (وقاربوا بينها) بأن يكون ما بين كل صفين ثلاثة أذرع تقريباً، فإن بعد صف عما قبله أكثر من ذلك كره لهم وفاتهم فضيلة الجماعة حيث لا عذر من حر أو برد شديد

"Dari sahabat Anas RA, Rasulullah bersabda, "Susunlah shaf kalian) sehingga tidak ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua shaf kurang lebih berjarak tiga hasta."

Sebagian ulama mengatakan bahwa meluruskan shaf dalam shalat hukumnya sunnah. Standar lurus yang dimaksud adalah dari sisi atas adalah lurusnya bahu antar jamaah, dan dari sisi bawah adalah lurusnya tumit. 

Sementara menurut Imam Ali, hukumnya tidak lagi sunnah tetapi wajib (fardhu). Ini didasarkan pada hadis Rasulullah ﷺ: 

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ

Luruskan shaf shaf kalian karena lurusnya shaf bagian dari menegakkan shalat (HR: Bukhari no. 723).

Menurut Imam Ali, bila lurusnya shaf adalah bagian dari menegakkan shalat, sementara menegakkan shalat adalah wajib hukumnya, maka lurusnya shaf juga berarti wajib. Kaidah fikihnya sebagai berikut:

ما لايتم الواجب إلا به فهو واجب

Sesuatu yang menjadi penyebab tidak sempurnanya suatu kewajiban, maka sesuatu itu juga dihukumi wajib. 

Lalu bagaimana dengan shaf shalat yang tetap lurus tetapi renggang (satu meter)? 

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa shaf shalat yang lurus meski renggang sudah dianggap cukup memenuhi kesempurnaan shalat berjamaah. 

Sayyid Sabiq berpendapat bahwa disunnahkan bagi imam shalat untuk memerintahkan makmum meluruskan shafnya dan mengisi shaf yang tidak rapat sebelum memulai melaksanakan shalat berjamaah (merapatkan shaf shalat hukumnya hanya sunnah). 

Dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ bersabda:

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Rapatkanlah shaf (barisan dalam shalat berjamaah) kalian, dan dekatkanlah di antara shaf, dan luruskanlah bahu bahu kalian. Karena demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah celah shaf yang tidak rapat. Seakan-akan shaf itu lalu menjadi terputus putus. (HR. Abu Dawud no. 667).

Mengenai hukum membuat jarak atau merenggangkan shaf salat juga telah banyak dibahas di kalangan para ulama Syafi'iiyah, di antaranya:

1. Imam Nawawi dalam Kitab Minhajut Thalibin.

وَيُكْرَهُ وُقُوفُ الْمَأْمُومِ فَرْدًا، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إنْ وَجَدَ سَعَةً

"Posisi berdiri makmum yang terpisah dimakruh, tetapi ia masuk ke dalam shaf jika menemukan ruang kosong yang memadai."
Hukum merenggangkan shaf atau membiarkan shaf berjarak hukum dasarnya adalah makruh.

2. Imam Syihabuddin Al-Qalyubi dalam Kitab Hasyiah Qalyubiah.

Imam Syihabuddin menjelaskan kata 'fardan' atau terpisah sendiri di mana kanan dan kiri makmum terdapat jarak yang kosong sekira dapat diisi oleh satu orang atau lebih.

قوله (فردا) بأن يكون في كل من جانبيه فرجة تسع واقفا فأكثر

"Maksud kata (terpisah sendiri) adalah di mana setiap sisi kanan dan kirinya terdapat celah yang memungkinkan satu orang atau lebih berdiri," (Syihabuddin Al-Qalyubi, Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah, [Kairo, Al-Masyhad Al-Husaini: tanpa tahun], juz I, halaman 239).

Hukum dasar merenggangkan posisi shaf memang dimakruhkan jika tidak ada uzur. Namun, sekiranya ada uzur, seperti menjaga jarak aman dari penularan Covid-19 hari ini, maka hukumnya tidak lagi menjadi makruh, sebagaimana pandangan Imam Ibnu Hajar al-Haitami berikut ini:
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj.

نَعَمْ إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا كَرَاهَةَ وَلَا تَقْصِيرَ كَمَا هُوَ ظَاهِر

"Ya, sekiranya mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti saat cuaca panas di Masjidil Haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana zahir," (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2011], halaman 296).

Jadi, menurut Imam Ibnu Hajar Al-Haitami sekiranya ada uzur saat cuaca panas, maka hal tersebut tidak menyebabkan kemakruhan. Apalagi dalam rangka mencegah penularan wabah penyakit Covid-19 yang lebih jelas dikhawatirkan bahayanya.

Pandangan ini juga didukung oleh Imam Ibnu 'Alan As-Shiddiqi di dalam kitabnya "Dalilul Faalihin".
"Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya." (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424).
Lantas, apakah jika ada seseorang saja yang berdiri memisahkan jarak aman (social distancing) antarjamaah dan antarashaf minimal 1 meter dalam situasi uzur tersebut membatalkan salat berjamaahnya dan alat Jumatnya?

Imam An-Nawawi dalam karyanya yang lain, Raudhatut Thalibin menjelaskan bahwa seseorang yang mengambil jarak dalam satu shaf berjamaah dalam kesendirian saja, meskipun makruh, tetapi salat berjamaahnya tetap sah.

إذا دخل رجل والجماعة في الصلاة كره أن يقف منفردا بل إن وجد فرجة أو سعة في الصف دخلها… ولو وقف منفرد صحت صلاته

"Jika seorang masuk sementara jamaah sedang shalat, maka ia makruh untuk berdiri sendiri. Tetapi jika ia menemukan celah atau tempat yang luas pada shaf tersebut, hendaknya ia mengisi celah tersebut. Tetapi jika ia berdiri sendiri, maka salatnya tetap sah." (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 356).

Maka, idealnya jika seseorang merasa dirinya berpotensi menjadi sebab kemudharatan bagi orang lain, sebaiknya dia tidak ikut hadir salat berjamaah di masjid atau salat berjamaah lainnya. Sebab, dalam hadits lain dari Jabir RA, Nabi SAW bersabda:

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزلْنَا أَوْ: فَلْيَعْتَزلْ مَسْجدَنَا [متفقٌ عليه]

"Barangsiapa yang memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya dia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami". (HR. Bukhari-Muslim)

Perlu dipahami dari hadis di atas, Nabi melarang seseorang yang memakan bawang dan mengganggu dengan bau mulutnya mendatangi masjid/musalla untuk salat berjamaah. Apalagi membawa potensi penyebaran wabah penyakit yang bisa membahayakan orang lain bahkan bisa membawa kematian.

Menghadapi New Normal Saat Masjid Mulai Diizinkan Dibuka

الصلاة في ظل جائحة كورونا
هل تجب صلاة الجماعة حال فتح المساجد مع وجود الفيروس؟
كبار السن والمرضى بالأمراض المزمنة ومن يتعاطون الأدوية المخفضة للمناعة ومن توجد حالات في منطقتهم يصلون في بيوتهم لبقاء المانع ، وأما غيرهم من الرجال فتجب عليهم الجماعة إذا أمكن التزامهم بالاحترازات

Apakah shalat berjamaah menjadi wajib pada saat masjid-masjid dibuka padahal masih adanya virus?

Jika ada orang yang telah berusia lanjut, orang yang sakit kronis, orang yang terhalang penyakit, atau keadaan yang masih kurang aman di daerahnya, hendaklah mereka-mereka shalat di rumah mereka saja karena adanya penghalang. Sedangkan laki-laki yang lainnya, maka tidaklah masalah mendirikan shalat berjamaah dengan memperhatikan protokoler yang ada.

الصلاة في ظل جائحة كورونا (تراص الصف)
صلاة الجماعة شأنها عظيم ولذا جاء تغيير هيئة الصلاة في صلاة الخوف للمحافظة على الجماعة ، ويصلي المسبوق مع الإمام مع تغير هيئة الصلاة في حقه للمحافظة على الجماعة فمن باب أولى جواز تغير هيئة الصف للمحافظة على الجماعة فالتباعد مشروع وليس بدعة

Shalat berjamaah punya keutamaan yang besar. Oleh karena itu, ada perubahan tata cara pelaksanaannya dalam shalat khauf untuk menjaga keberlangsungan shalat berjamaah. Ketika itu masbuk melaksanakan shalat bersama imam dengan perubahan tata cara shalat demi terjaganya shalat berjamaah. Dari alasan itu, lebih layak untuk dibolehkan mengubah bentuk shaf dalam shalat berjamaah demi terjaganya shalat tersebut, walaupun akhirnya shaf terlihat renggang (tidak rapat), hal itu tidak termasuk bid'ah.

Jikalau pemerintah telah membolehkan shalat di masjid dan masjid-masjid akhirnya dibuka, silakan untuk melaksanakan shalat di masjid dengan memperhatikan protokoler yang telah ditetapkan. 

Walhasil, shalat berjama’ah yang dilakukan dengan shaf renggang tetaplah sah, serta tidak makruh dan tetap mendapatkan keutamaan berjemaah. Sebab renggangnya shaf tersebut dilakukan bukan karena lalai dan enteng. Namun hal itu disebabkan oleh suatu uzur, yaitu menghindari Covid 19 yang penyebarannya bisa lewat kontak langsung dengan penderita virus tersebut. Dengan demikian, shalat jamaah dengan menerapkan social distancing masuk dalam ranah hifdz al-nafsi (menjaga jiwa) yang merupakan salah satu bagian dari maqashid syari’ah (tujuan-tujuan syariah). 

Pembangkangan Kaum 'Ad Menjadi Kehancuran Mereka



Kisah hidup Nabi Hud AS terkait erat dengan azab yang menimpa kaum A’ad akibat kedurhakaan mereka kepada Allah SWT. Disebutkan, Nabi Hud AS adalah cucu Nabi Nuh AS atau keturunan dari Sam bin Nuh yang berasal dari suku ‘Ad. Hud bin Abdullah bin Ribah bin Khulud bin Ad bin Aus bin Irim bin Syam bin Nuh 'alaihis salam.

Nabi Hud lahir setelah kewafatan Nabi Nuh 300 tahun. Allah mengutus Nabi Hud kepada generasi pertama yang tinggal di Yaman, yaitu kaum 'Aad. Mereka adalah orang Arab yang tinggal di istana yang megah. Mereka adalah orang yang menyembah berhala sesudah zaman Nabi Nuh.

Istana megah Kaum 'Ad diabadikan oleh Alloh dalam Surat Al-Fajr

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ (6) إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ (7) الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ (8) 

"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain"

Mereka adalah kaum 'Ad pertama, yaitu keturunan dari 'Ad ibnu Iram ibnu ' Aus ibnu Sam ibnu Nuh, menurut Ibnu Ishaq. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi Hud a.s., lalu mereka mendustakannya dan menentangnya. Maka Allah menyelamatkannya dari kalangan mereka beserta orang-orang yang beriman bersamanya dari kalangan mereka beserta orang-orang yang beriman bersamanya dari kalangan mereka. Dan Allah membinasakan mereka dengan angin yang sangat dingin lagi sangat kuat, yang terus-menerus menimpa mereka selama tujuh malam delapan siang hari. Maka kamu lihat kaum itu mati semuanya di tempat tinggal mereka seperti batang-batang pohon kurma yang lapuk, maka apakah kamu masih melihat adanya sisa-sisa dari mereka?

Allah Swt. telah menyebutkan kisah mereka di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat agar dijadikan pelajaran bagi orang-orang mukmin kehancuran yang telah menimpa mereka.

Suku ini hidup di jazirah Arab, di tempat bernama Al-Ahqaf yang terletak di utara Hadramaut, antara Yaman dan Oman.

Menurut catatan sejarah, kaum ‘Ad merupakan salah satu suku tertua sesudah kaum Nabi Nuh AS. Kaum ‘Ad juga tidak mengenal Allah SWT sebagai Tuhannya, seperti kaum Nabi Nuh AS. Mereka membuat patung-patung yang diberi nama Shamud dan Alhattar serta disembah sebagai tuhan.

Kaum ‘Ad hidup sangat makmur. Mereka memiliki peradaban yang tinggi dan unggul dalam bidang pertanian karena air yang melimpah. Mereka juga memiliki harta dan binatang ternak yang banyak. Tempat mereka juga menjadi ladang yang subur dan hijau, penuh dengan kebun-kebun yang indah dan mata air.

Upaya keras Nabi Hud AS dalam berdakwah dan mengajak umatnya, kaum ‘Ad, untuk kembali ke jalan yang benar diabadikan Allah SWT dalam Alquran surah Hud ayat 50-52. Allah SWT berfirman,

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلا مُفْتَرُونَ (50) يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلا تَعْقِلُونَ (51) وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ (52)

"Dan kepada kaum Ad (Kami utus) saudara mereka Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain Dia. Kalian hanya mengada-adakan saja. Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepada kalian bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kalian memikirkan(nya)?” Dan (dia berkata), "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhan kalian lalu bertobat­lah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atas kalian, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian, dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud [11]:50-52). 

Upaya keras Nabi Hud AS dalam berdakwah juga diabadikan oleh Allah SWT dalam surat Asy-Syu’ara ayat 123-135. Allah SWT berfirman,

كَذَّبَتْ عَادٌ الْمُرْسَلِينَ (123) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ هُودٌ أَلَا تَتَّقُونَ (124) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (125) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (126) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (127) أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ (128) وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ (129) وَإِذَا بَطَشْتُمْ بَطَشْتُمْ جَبَّارِينَ (130) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (131) وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ (132) أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ (133) وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (134) إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (135)

"Kaum 'Ad telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka Hud berkata kepada mereka, "Mengapa kalian tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepada kalian maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepada kalian atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Apakah kalian mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kalian membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kalian kekal (di dunia)? Dan apabila kalian menyiksa, maka kalian menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepada kalian apa yang kalian ketahui. Dia telah menganugerahkan kepada kalian binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air, sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Asy Syu’ara [26]: 123-135)

Allah SWT mengabadikan kisah azab terhadap kaum ‘Ad dalam Alquran surah al-Haqqah ayat 6-8. Allah SWT Berfirman,

وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ (6) سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ (7) فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِنْ بَاقِيَةٍ (8)

“Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin.  Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan, seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka?” (QS al-Haqqah [69]: 6-8).

Di dalam hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"نُصِرْتُ بالصَّبا، وأهلكَت عادٌ بالدَّبور"

Aku diberi pertolongan dengan melalui angin saba, dan kaum "Ad dibinasakan oleh angin dabur.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ الضِّريس الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيل، عَنْ مُسْلِمٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَى عَادٍ مِنَ الرِّيحِ الَّتِي أُهْلِكُوا فِيهَا إِلَّا مِثْلَ مَوْضِعِ الْخَاتَمِ، فَمرّت بِأَهْلِ الْبَادِيَةِ فَحَمْلَتْهُمْ وَمَوَاشِيَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَجَعَلَتْهُمْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ. فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ أَهْلُ الْحَاضِرَةِ الرِّيحَ (3) وَمَا فِيهَا قَالُوا: هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا. فَأَلْقَتْ أَهْلَ الْبَادِيَةِ وَمَوَاشِيَهُمْ عَلَى أَهْلِ الْحَاضِرَةِ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya ibnud Daris Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiadalah angin yang dibukakan oleh Allah terhadap kaum 'Ad yang membawa kebinasaan kepada mereka melainkan hanya sebesar lubang sebuah cincin. Lalu angin itu melanda penduduk daerah pedalaman mereka dan menerbangkannya berikut dengan ternak dan harta benda mereka. Angin itu membawa mereka ke angkasa di antara langit dan bumi. Ketika hal itu terlihat oleh penduduk perkotaan dari kalangan kaum 'Ad, yaitu angin dan apa yang di bawanya, berkatalah mereka, "Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita." Lalu angin itu menjatuhkan penduduk daerah pedalaman berikut ternak mereka ke atas penduduk perkotaan.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Lais, dari Mujahid, bahwa angin yang melanda kaum 'Ad itu mempunyai dua buah sayap dan ekor.

Adapun Nabi Hud AS dan pengikut-pengikutnya tetap saja di rumah mereka tanpa merasakan sedikit pun bahaya angin ribut yang dahsyat itu. Setelah peristiwa tersebut, Nabi Hud AS pindah dari negeri kaum ‘Ad karena sudah rusak binasa. Nabi Hud AS dan pengikutnya pindah ke daerah Hadramaut dan tinggal di sana hingga wafat. 

Makam nabi yang diutus oleh Allah SWT, kepada kaum 'Ad ini terletak di Syi'ib Hud, salah satu lembah kecil di Hadhramaut, Yaman, tepatnya berjarak 80 km dari kota Tarim.

Ibnu Hisyam pernah menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman bahkan Dzul Qarnain pernah menziarahi Nabi Hud. Bahkan di area pemakaman Nabi Hud terdapat sebuah papan informasi yang bertuliskan bahwa kegiatan ziarah Nabi Hud telah ada sejak 4000 tahun silam, dan kegiatan ziarah dilakukan sepanjang hari dalam satu tahun.

Akan tetapi pada zaman dahulu puncak ziarah terjadi pada musim panen kurma, di mana pada masa jahiliyah ada sebuah pasar yang terkenal di Kompleks Pemakaman Nabi Hud tepatnya di Lembah Adam. Setiap musim panen kurma tiba mereka menuju pasar tersebut untuk berniaga sekaligus berziarah ke Nabi Hud. Ziarah umum ini berlangsung setiap masa panen kurma, hingga akhirnya pada abad ke-10 Hijriyah Syeikh Abu Bakar Bin Salim membuat tradisi baru Ziarah Agung pada bulan Sya'ban dan inilah yang berlangsung sampai sekarang.

Al-Hijr (Madain Sholih) Peninggalan Kaum Tsamud

 


Petra di Yordania merupakan salah satu peninggalan arkeologi terkemuka di dunia. Situs ini masuk dalam daftar Warisan Dunia (World Heritage) UNESCO dan salah satu The New Seven Wonders of the World. 

Petra atau Batra ibu kota Bangsa Nabatea atau Nabataean atau Anbath. Bangsa ini menguasai wilayah luas yakni selatan Suriah, Yordania, sampai Aqaba. Nabatea berjaya pada abad ke-4 Sebelum Masehi (SM) sampai abad ke-1 Masehi. Petra menjadi perlintasan dagang antara Suriah di timur, Laut Tengah dan Eropa di utara, Mesir di barat, dan Arab Saudi di selatan.

Di Petra banyak bangunan monumental yang dibuat dengan cara memotong dan memahat dinding batu atau tebing gunung. Sebagai kota dengan banyak pedagang antar-bangsa, maka bangunannya pun percampuran gaya Suriah, Mesir, Yunani, Romawi, dan lainnya. Kemampuan dan keterampilan mengukir batuan sandstone menghasilkan istana megah, altar, rumah, makam, gedung teater, tempat religi, termasuk sistem pengairan.

Kemampuan memahat dinding batu menjadi bangunan disebutkan dalam Alquran berkenaan Nabi Saleh alaihissalam dan Kaum Tsamud. Apakah mereka tinggal di Petra? Peradaban Petra runtuh pada abad ke-1 M dan hanya tinggal puing bangunannya saja. Pada tahun 1812, J.L. Burckhardt, datang ke Petra dan melaporkan kepada masyarakat Eropa. Petra pun kembali ke pentas dunia. Apakah Petra merupakan sisa peninggalan Kaum Tsamud?

Madain Saleh merupakan salah satu warisan dunia atau World Heritage Siteyang disahkan oleh UNESCO. Madain Saleh dahulu merupakan lokasi tempat tinggal kaum Tsamud yang terletak sekitar 470 kilometer dari kota Madinah, Arab Saudi. 

Kaum Tsamud sangat terkenal sebagai bangsa pemahat batu. Dengan keahliannya dalam memahat batu, kaum Tsamud membuat berbagai macam ukiran sebagai komoditas dagang mereka.

Keahlian kaum Tsamud dalam memahat batu disebutkan oleh Allah dalam surat Al-A’raf ayat 74. Allah berfirman,

وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي الأرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا فَاذْكُرُوا آلاءَ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ (74)

“Dan ingatlah oleh kalian di waktu Tuhan menjadikan kalian pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Ad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf: 74)

Selain itu, wilayah Madain Saleh juga memiliki tanah yang subur. Dengan demikian, kaum Tsamud pun dapat hidup makmur dengan menanam berbagai macam pohon-pohon dan mendapatkan hasil panen yang banyak. Meski mendapat kenikmatan hidup yang berlimpah, kaum Tsamud justru mengingkari Allah dan menyembah berhala. Dengan hal tersebut, Allah pun mengirimkan Nabi Shaleh AS untuk mengajak kaum Tsamud menuju kebaikan sebagaimana Allah berfirman dalam surat Hud ayat 61.
Allah berfirman,

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ (61)

“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-sekali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud: 61)

Alloh Subhaanahu Wata'ala Berfirman Dalam Surat al-a'raf Ayat 73

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (73)

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Samud saudara mereka Saleh. Ia berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian bukti yang nyata dari Tuhan kalian. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagi kalian, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kalian mengganggunya dengan gangguan apa pun, maka kalian ditimpa siksaan yang pedih.

Ulama tafsir mengatakan bahwa nasab kaum Samud ialah Samud ibnu Asir ibnu Iram ibnu Sam ibnu Nuh. Dia adalah saudara lelaki Jadis ibnu Asir, demikian pula kabilah Tasm. Mereka semuanya adalah kabilah-kabilah dari kalangan bangsa Arabul Aribah sebelum Nabi Ibrahim a.s. Kaum Samud ada sesudah kaum 'Ad, tempat tinggal mereka terkenal, yaitu terletak di antara Hijaz dan negeri Syam serta Wadil Qura dan daerah sekitarnya.

Lokasi tempat tinggal Kaum Tsamud dapat diketahui dari hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ketika Perang Tabuk tahun 630 M.
Rasulullah Saw. pernah melalui bekas tempat tinggal mereka ketika dalam perjalanannya menuju medan Tabuk, yaitu pada tahun sembilan Hijriah. 

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا صَخْر بْنُ جُوَيرية، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَمَّا نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ عَلَى تَبُوكَ، نَزَلَ بِهِمُ الْحِجْرَ عِنْدَ بُيُوتِ ثَمُودَ، فَاسْتَسْقَى النَّاسُ مِنَ الْآبَارِ الَّتِي كَانَتْ تَشْرَبُ مِنْهَا ثَمُودُ، فَعَجَنُوا مِنْهَا وَنَصَبُوا مِنْهَا الْقُدُورَ. فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَهْرَقُوا الْقُدُورَ، وَعَلَفُوا العجينَ الإبلَ، ثُمَّ ارْتَحَلَ بِهِمْ حَتَّى نَزَلَ بِهِمْ عَلَى الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَشْرَبُ مِنْهَا النَّاقَةُ، وَنَهَاهُمْ أَنْ يَدْخُلُوا عَلَى الْقَوْمِ الَّذِينَ عُذِّبُوا وَقَالَ: "إِنِّي أَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ، فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad. telah menceritakan kepada kami Sakhr ibnu Juwairiyah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. dalam perjalanannya menuju medan Tabuk memerintahkan orang-orang beristirahat di daerah Al-Hajar, yaitu di bekas tempat tinggal kaum Samud. Kemudian orang-orang (para sahabat) mengambil air dari sumur-sumur yang dahulu dipakai untuk minum oleh kaum Samud. Mereka membuat adonan roti dengan air sumur-sumur itu dan menem­patkannya di panci-panci besar. Tetapi Nabi Saw. memerintahkan kepada mereka agar menumpahkan air yang ada di panci-panci itu dan mem­berikan adonan mereka kepada unta-unta mereka sebagai makanannya. Kemudian Nabi Saw. membawa mereka berangkat hingga turun istirahat bersama mereka di sebuah sumur yang pernah dijadikan sebagai tempat minum unta tersebut (unta Nabi Saleh). Nabi Saw. melarang mereka memasuki bekas daerah kaum yang pernah diazab, dan Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya saya merasa khawatir bila kalian akan ditimpa oleh azab seperti yang menimpa mereka, maka janganlah kalian memasuki bekas tempat tinggal mereka.

Berkenaan perang ini, antara lain turun ayat Alquran Surah At-Taubah (9): 117-118. Tabuk saat ini provinsi di utara Arab Saudi dan di utara Arab Saudi terdapat Yordania. Tabuk berbatasan dengan Provinsi Madinah di selatan. Dalam Perang Tabuk, Rasulullah melintasi Al-Hijr sekitar 400 kilometer dari Madinah dan 500 kilometer dari Petra.

Hijr atau Al-Hijr atau Hegra oleh Pemerintah Arab Saudi didaftarkan sebagai World Heritage dengan nama Al-Hijr Archaeological Site (Mada’in Salih). Mada’in Salih merupakan bahasa Arab yang berarti Kota Salih. Al-Hijr diakui sebagai World Heritage oleh UNESCO pada 2008. 

Al-Hijr sarat berbagai peninggalan arkeologi yang dibuat dengan cara memahat dinding batu. Peninggalan yang dapat disaksikan saat ini mirip yang terdapat di Petra. Selain itu, di daerah Al-Hijr yang kering ini ditemukan kota tempat tinggal yang dilengkapi dengan sumur sebagai sumber air dan oasis untuk kegiatan bercocok tanam.

Dengan mengacu pada hadits, maka Petra bukan tempat tinggal Kaum Tsamud. Kaum Tsamud tinggal di Al Hijr. Namun, peninggalan arkeologi yang dapat disaksikan saat ini di Al-Hijr sebagian besar merupakan peninggalan Bangsa Nabatea.
Wilayah Bangsa Nabatea mencakup Al-Hijr sebagai kota terbesar kedua setelah Petra. Dalam dokumen penominasian Al-Hijr sebagai Warisan Dunia, disebutkan Al-Hijr merupakan peninggalan peradaban Nabatea dari abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M. 

Patut diperhatikan, periode Nabi Saleh lebih tua dibandingkan Nabi Ibrahim dan nabi lainnya seperti Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Yakub, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Nabi Ibrahim hidup pada peradaban Mesopotamia. Peradaban Mesopotamia tertua sekitar abad ke-40 SM atau 4000 SM. Sementara, peradaban Nabatea pada abad ke-1 M kurang lebih merupakan masa hidup Nabi Isa. 

Situs atau lokasi Kaum Tsamud telah diketahui, tetapi peninggalannya masih dapat ditelusuri lagi. Dalam arkeologi, situs yang berkali-kali ditempati disebut multicomponent site.

Terdapat kemungkinan bagian luar dinding batu telah berkali-kali dipahat selama beberapa kali peradaban, sehingga pahatan yang tampak saat ini merupakan yang termuda usianya. Peninggalan Kaum Tsamud kiranya dapat ditelusuri di area terbuka dekat dengan sumber air atau sumur dan berada di lapisan tanah di bawahnya yakni yang usianya lebih tua.

Kaum Tsamud merupakan pendahulu Bangsa Nabatea dalam konteks kemampuan memahat dinding batu. Singkatnya, Kaum Tsamud jauh lebih tua dibandingkan Bangsa Nabatea.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...