Selasa, 09 November 2021

Sejarah Perjuangan Datuk Baiuzzaman Surbakti


Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah orang Karo yang beragama Islam. Berperang dan berjuang melawan kompeni selama 23 tahun (1872-1895). Politik perjuangan Datuk Badiuzzaman Surbakti dikenal dengan sebutan “Perang Sunggal.” Namun,  sangat disayangkan nama beliau tidak pernah disebut secara lisan dan tertulis sebagai pahlawan nasional penumpas keji kejahatan kompeni.

Padahal, kompeni sendiri mencatat betapa hebat “Perang Sunggal” sehingga membuat kewalahan, habis akal, habis bekal, dan habis-habisan.

Kini, barangkali satu-satunya jejak untuk menelusuri biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti dimulai dari Masjid Raya Datuk Badiuzzaman Surbakti Jalan PDAM Sunggal No. 1 Medan. Masjid Raya Datuk Badiuzzaman dibangun tahun 1885 (1306 Hijriah). Jadi, lebih tua Masjid Raya Datuk daripada Masjid Raya Al-Mashun.

Nama asli Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti. Lahir di Kerajaan Sunggal yang kala itu bernama Serbanyaman, sekarang menjadi Kecamatan Medan Sunggal. Ayah Datuk Badiuzzaman adalah Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti, seorang Raja Sunggal yang termahsyur dan ibunya bernama Tengku Kemala Inasun Bahorok.

Ketika Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (ayah dari Datuk Badiuzzaman Surbakti) meninggal dunia pada tahun 1857. Kala itu, usia Datuk Badiuzzaman Surbakti berusia 12 tahun.

Dalam perjalanan hidup, Datuk Badiuzzaman Surbakti menikah dengan Ajang Olong Besar Hamparan Perak. Dikaruniai tujuh orang anak, lima anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-laki Datuk Badiuzzaman bernama Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Alif, Amah atau Olong Beru Surbakti, dan Aja Ngah Haji Surbakti.

Sebagai Raja Sunggal VII, Datuk Badiuzzaman Surbakti berhasil menyatukan hati dan jiwa masyarakat Karo, Melayu, Aceh, dan Gayo. 
Perjuangan Datuk Badiuzzaman Surbakti mengusir penjajah Belanda tidak dilakukan sendirian melainkan secara “berjamaah” bersama-sama dengan Datuk Sulung Barat Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Jalil Surbakti, Datuk Muhmmad Dini Surbakti.
Sebab-musabab pecah perang dengan kompeni Belanda karena Datuk Badiuzzaman Surbakti tidak tahan melihat penderitaan rakyat Sunggal yang teraniaya gara-gara pencaplokan lahan subur pertanian yang akan digunakan untuk perkebunan tembakau.

Adapun teknik dan strategi perang yang diterapkan oleh Datuk Badiuzzaman dan pasukan adalah pola gerilya, militan, dan menghindari kontak langsung. Bukan karena takut tetapi memilih cara cerdik mengingat persenjataan kompeni jauh lebih hebat. Aksi perusakan sabotase di sejumlah tangsi kompeni dengan cara membakar dan membubuhkan stempel musuh berngi (musuh malam) adalah hal lazim yang dilakukan Datuk Badiuzzaman dan pasukan Kerajaan Sunggal.
Semasa Datuk Badiuzzaman Surbakti (Raja Sunggal VII) menjadi pemimpin. Ia membangun sebuah  masjid untuk tempat beribadah dan bermusyawarah. Masjid inilah yang konon katanya terbuat dari putih telur dicampur pasir sungai karena pada saat itu semen dilarang oleh Belanda masuk ke teritori Sunggal.

Riwayat Pembangunan Masjid

Masjid Badiuzzaman Surbakti di bangun pada tahun 1885 Masehi atau tahun 1306 Hijriah yang berlokasi di Jalan PDAM Sunggal No. 1 Medan. Datuk Badiuzzaman Surbakti memiliki nama asli yaitu Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti. Lahir dalam asuhan lingkungan istana kerajaan karena ayah beliau adalah seorang Raja Sunggal yang bernama Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti. Sedangkan ibunya bernama Tengku Kemala Inasun Bahorok.

Beliau ditinggal oleh ayahnya saat usia 12 tahun, dan kisah hidupnya Datuk Badiuzzaman Surbakti menikahi seorang perempuan bernama Ajang Olong Besar Hamparan Perak, dan dikarunia 7 anak, 5 laki-laki dan 2 perempuan. Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah Raja Sunggal ke VII dengan piawainya dalam memerintah rakyatnya dengan mempersatukan jiwa dan hati rakyat Karo, melayu, Aceh dan Gayo.

Perjuangannya dalam mengusir penjajah dilakukan dengan cara berjamaah bersama dengan tokoh tokoh pada waktu itu yaitu Datuk Sulung Barat Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Jalil Surbakti, Datuk Muhmmad Dini Surbakti. Strategi perang gerilya, militan, dan menghindari kontak langsung adalah yang diterapkan oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti.

Pada perjalanan peperangan melawan Belanda Datuk Badiuzzaman Surbakti membangun sebuah masjid selain berfungsi untuk ibadah, masjid tersebut sebagai tempat musyawarah. Material yang unik digunakan dalam pembangunan masjid ini, yaitu menggunakan putih telur dan pasir.

Masjid Badiuzzaman Surbakti memiliki arsitektur sederhana seperti atap masjid yang berbentuk limas, jumlah jendela masjid yang tiap sisisnya berjumlah empat. Dan yang unik mimbar yang ada di masjid ini adalah mimbar yang dulu digunakan sejak dulu hingga sekarang dalam kondisi utuh dan terawat. Kekokohan bangunan juga menjadi hal unik karena tanpa menggunakan semen dan putih telur sebagai pengganti semen mampu mempertahankan bangunan hingga sekarang.

Di sekitar Masjid Raya Badiuzzaman Surbakti terdapat kuburan kerabat lain dari keluarga Kerajaan Sunggal. Kecuali, makam dari Datuk Badiuzzaman Surbakti. Di sinilah yang membuat mata rantai sejarah Kerajaan Sunggal terputus dan gelap tidak ketahuan lagi rimbanya. Padahal Perang Sunggal 23 tahun (1872-1895) termasuk perang terlama di antara yang lain seperti perang Imam Bonjol dan Diponegoro.

Kisah heroik Datuk Badiuzzaman Surbakti harusnya terus dikaji dan ditulis ulang. Kalau perlu difilmkan, dibukukan atau dibikin komik supaya generasi muda mengetahui bahwa di Kota Medan Sunggal pernah berdiri kerajaan Sunggal dipimpin oleh Raja Sunggal VII Datuk Badiuzzaman Surbakti.

Raja sekaligus seorang pemimpin hebat yang dapat menyatukan hati dan jiwa masyarakat Karo, Melayu, Aceh, dan Gayo.

Sejarah perlawanan terhadap Belanda

Pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzzaman Surbakti memimpin rapat rahasia di sebuah kebun lada, untuk mengantisipasi pengambilan tanah-tanah rakyat yang telah dimiliki/diusahai selama berabad-abad secara turun temurun oleh Maskapai Perkebunan De Rotterdam dan pasca ditandatanganinya Perjanjian Traktat Sumatera .Rapat melibatkan :

a) Rakyat Sunggal terdiri dari Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti Raja Sunggal Serbanyaman),Datuk Sulong Barat Surbakti (Komandan Lasykar),Datuk Mohd.Jalil Surbakti dan Datuk Mohd.Dini Surbakti (Penasihat).
b) Nabung Surbakti sebagai Komandan pasukan Karo yang didatangkan dari daerah pegunungan.
c) Tuanku Hasym mewakili Panglima Nyak Makam sebagai Komandan Lasykar Aceh, Alas Gayo. (Datuk Sunggal mempunyai hubungan yang erat dengan Tanah Alas Gayo dimana leluhur mereka Sirsir/Sesser Surbakti pernah mengadakan pengembaraan dan membuat perkampungan di Tanah Alas Gayo di Lingga Raja).

Pada rapat itu dihasilkan keputusan :

Sunggal, Karo dan Aceh sepakat untuk membina persatuan dan kesatuan dan segala perselisihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus dilenyapkan.
Sunggal, Karo dan Aceh sepakat menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur untuk masyarakat.
Sunggal, Karo dan Aceh secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya.
(H.Biak Ersada Ginting : Sejarah Perjuangan Suku Karo Dan Dari Perang Medan Area Hingga Sipirok Area, Penerbit Ravi Bina thn 2002)

Sebagai realisasi dari rapat tersebut ia membentuk suatu badan yang berfungsi sebagai penyusunan bantuan perang dipusatkan di Kampung Gajah/Sitelu Kuru Tanah Karo. Badan ini bekerja untuk mengumpulkan anggota-anggota pasukan perang yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai ilmu yang kuat dengan kebathinan yang tinggi serta keperluan lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mohd.Dini (Kecil) Surbakti dengan mendudukkan wakilnya silih berganti di tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab kepada Raja Urung Sunggal Serbanyaman. Sebagai bentuk partisipasi masyarakat terhadap perjuangan tersebut maka setiap rumah tangga di Sunggal memberikan sumbangan wang dari 2 sampai 10 dollar yang digunakan untuk tujuan persiapan pertahanan.

(“In Soenggal is van elk huisgezin een heffing in geld gedaan,van 2 tot 10 dollars met het doel om zich weerbaar te maken”). (Residen Riau,Schiff,kepada GG.No.1184/1 tanggal 7 Mei 1872).

Dia memerintahkan kepada komandan pasukan dan pejuang rakyat Sunggal untuk menempatkan Pernyataan Perang yang menurut adat Karo dinamakan “Musuh Berngin” kepada mereka yang berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar.

Hasutan Sultan Deli untuk merenggangkan hubungannya dengan Datuk Mohd.Jalil Surbakti dan Datuk Mohd.Dini (Kecil) Surbakti uwak dan pamannya tidak berhasil.

(“….. dat het hoofd van Sunggal Sri Dirajaonder den invloed staat van zekeren Datoek Ketjil en broeder Dt.Djalil diazich,hoezeer reeds bejaard,naar niets anders steven dan naar onafhankelijkheid van deli en van naburige Langkat”)

Seorang Cina pedagang candu mata-mata Belanda bernama Anton ditangkap oleh Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti,setelah beberapa lama kemudian dilepaskan dari pasungan dan dilarang masuk ke Sunggal menjual candu kepada rakyat. (Polititiek Verslag Resident Riouw 5 Pebruari 1873).

Sejak 15 Mei 1872 Datuk Badiuzzaman Surbakti memimpin rakyat Sunggal dengan mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dengan kekuatan pejuang bersenjata sebanyak 1500 orang. Pada 17 Mei 1872 pasukan Sunggal berhasil menewaskan Angelink dan Schoon serdadu Belanda,melukai beberapa orang termasuk Letnan Lange Komandan Marinir. Pada tanggal 24 juni 1872 pasukan Datuk Sulong Barat meluluh lantakkan pasukan Belanda di Sapo Uruk dan Tanduk Banua, sedangkan pada tanggal 27 Juni pasukan infantry pimpinan Kapten Koops dan artileri dibawah komandannya Van De Meurs diserang kaum gerilyawan seorang tewas dan beberapa orang luka parah. Van De Meurs segera memerintahkan seluruh pasukan meninggalkan benteng dan berusaha sendiri-sendiri menyelamatkan diri menuju kebon Enterprise. (T.Luckman Sinar SH: Perang Sunggal, Percetakan Perwira II Medan,1996)

Untuk memutus hubungan koordinasi antara Datuk Badiuzzaman Surbakti dengan komandan pasukan dan pejuang di daerah Timbang Langkat dan daerah hutan pegunungan maka Asisten Residen Siak ,Locker de Bruijne menetapkan Datuk Badiuzzaman Surbakti menjadi tahanan kota di Labuhan Deli, dan menekannya untuk menyerahkan gerilyawan pejuang rakyat Sunggal kepada Belanda namun strategi Belanda tersebut tidak berhasil. Datuk Badiuzzaman tetap tidak mau menyerahkan mereka kepada Belanda. (Assisten Resident Siak Locker de Bruijne kepada Residen Riau 26 Mei 1872).

Pada tanggal 30 Juni 1872 kaum gerilyawan berhasil mengusir Belanda di Sapo Uruk,menyerang kebun Enterprise dengan jatuhnya korban dari pihak Belanda dan Cina dimana mereka meninggalkan barang bebannya di tengah jalan. Tanggal 8 Juli 1872 Belanda mengungsikan para keluarga kulit putih karena diserang Lasykar Perang Sunggal di Perkebunan Padang Bulan, Paya Bakung dan Geserverance ke Labuhan untuk dinaikkan ke kapal Banka (F.A.W. Jeeger:”De Expeditie naar Deli,hal 348).

Pada tanggal 10 Juli 1872 datang bantuan pasukan Belanda yang dipimpin Letkol van Hombracht mengambil alih kepemimpinan Kapten Koops di kebun Enterprise Kampung Lalang, pasukan ini mendapat serangan Lasykar Sunggal jatuh korban di pihak Belanda dan Letkol van Hombracht luka parah. Tanggal 20 Agustus 1872 Belanda terpukul mundur di Rimbun. Pimpinan diambil alih Mayor van Stuwe dengan kekuatan 350 orang terdiri dari 1 detasemen artileri, 3 kompi infanteri termasuk 14 orang perwira. Pasukan ini mendapat perlawanan dahsyat di sepanjang Lau Margo oleh Lasykar Sunggal.

Dari keterangan resmi Departemen Pertahanan Hindia Belanda pada tanggal 4 November 1872, pada tahun 1872 saja telah terjadi korban tewas di pihak Belanda sebanyak 31 orang (serdadu Eropa 27 orang Angkatan Darat, 1 orang Angkatan Laut dan Bumiputra 3 orang), luka-luka sebanyak 592 orang (serdadu Eropa angkatan Darat 320 orang, 2orang Angkatan Laut dan Bumiputra Angkatan Darat 270 orang) belum termasuk korban dikalangan prajurit Laskar Sultan Deli dan Laskar Pangeran Langkat, penunjuk jalan dan kuli-kuli. (Krijgsbedrijven van het Rechter half 11 de Batalion Infantrie in het Rijk van den Sultan van Deli van den 11 den Juli tot den 6 den November 1872:Militair Spectator,3e serie,19e deel 1874 hal.265-266).

Uwak,paman dan sepupu Datuk Badizzaman Surbakti (Datuk Mohd.Jalil Surbakti, Datuk Mohd.Dini (Kecil) Surbakti dan Datuk Sulong Barat Surbakti dibuang dan ditahan di Cilacap dengan Besluit Gubernur Jenderal Belanda tertanggal 25 Juni 1873 Nomor 16. Pada tanggal 6 September 1874 Datuk Mohd.Jalil meninggal di Cilacap disusul adiknya Datuk Mohd Dini (Kecil) Surbakti pada tanggal 7 Agustus 1876. (Surat Direktur Pemerintahan Dalam Negeri kepada G.G. No.8462 tanggal 14 Agustus 1876).

Setelah ditangkap dan dibuangnya Datuk Mohd.Jalil Surbakti, Datuk Mohd.Dini Surbakti dan Datuk Sulong Barat Surbakti ke Cilacap, Datuk Badiuzzaman Surbakti mengubah pola perjuangan dari penyerangan secara langsung kepada serdadu Belanda menjadi penyerangan dengan cara membakar bangsal-bangsal perkebunan Belanda dan maskapai perkebunan asing, dengan maksud menimbulkan rasa tidak aman bagi tuan kebun dan keluarganya, menghentikan kegiatan produksi dan ekspansi areal.

Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut diserahkan kepada adik kandungnya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti. Sosialisasi strategi ini dilakukan melalui rapat-rapat rahasia yang dilakukan di berbagai tempat termasuk di Kampung Pagar Batu yang dihadiri oleh pemuka masyarakat dan tokoh Lasykar Sunggal sejak tanggal 24 Oktober 1872.

Dalam bulan April 1873 Belanda terpaksa menempatkan pasukannya di kampong Lau Margo, Sei Bahilong, Namu Terasi, Sungai Siput, Gedong Johor dan di Padang Bulan, serta di kampung Sunggal sendiri. Didalam rapat besar antara Assisten Residen Siak bersama Sultan Deli dan Datuk-Datuk Empat Suku, oleh Assisten Residen Belanda terang-terangan diperingatkan kepada Datuk Badiuzzaman Surbakti, jika masih ada gangguan kamtibmas diwilayahnya maka yang paling bertanggung jawab adalah dia, terlebih setelah Sultan Dagang utusan Sultan Deli tidak diketahui kemana lagi rimbanya. (Surat Assisten Residen Siak Locker de Bruijne kepada Residen Riau tanggal 9 November 1872,Nomor LaE4).

Di Deli sendiri selain pembakaran bangsal-bangsal tembakau. Datuk Badiuzzaman Surbakti juga berhasil menggerakkan rakyatnya, sehingga petani tidak bersedia menjual beras kepada Belanda akibatnya Belanda terpaksa mengimpor beras dari Ranggoon. Pada tahun 1886 timbullah gerakan pengacauan di perkebunan (onderneming). Beheerder perkebunan beserta anak-anak dan istri mereka dibeberapa tempat mati terbunuh. Yang lainnya menjadi panik dan ketakutan dan merasa keselamatannya tidak terjamin lagi. Gerakan ini semakin meluas dan secara serentak di perkebunan milik Belanda dan maskapai perkebunan asing pembakaran bangsal dengan ranjau ini mengakibatkan tidak satupun bangsal dapat diselamatkan. (W.H.Schadee:Greschiednis van Sumatra Ooskust,Deel II).

Untuk memecah hubungan orang Karo dan Melayu Sunggal, Pemerintah Belanda menyokong memasukkan Zending Kristen dari Netherland ke Tanah Karo dan Deli Hulu, kemudian menciptakan pula kontelir khusus untuk urusan Batak dan membendung pengaruh Melayu/Islam. Politik pecah belah ini tidak berhasil malah makin mengeratkan hubungan antara orang Melayu, Karo dan Batak yang bertekad untuk membebaskan daerahnya dari penjajahan.(T.Luckman Sinar :Perang Sunggal Percetakan Perwira II tahun 1996).

Dari hasil dokumen intelijen yang diperoleh Belanda melalui penyusupan penghianat-penghianat di Kerajaan Sunggal pada tahun 1894 diketahui bahwa pimpinan tertinggi gerakan pembunuhan dan pembakaran bangsal-bangsal perkebunan sejak 1872 s/d 1895 adalah Datuk Badiuzzaman Surbakti dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti. (T.Luckman Sinar : Perang Sunggal Percetakan Perwira II tahun 1996).

Pada tahun 1894 Belanda menawarkan perundingan dengan Datuk Badiuzzaman Surbakti untuk mencari jalan keluar mengatasi kemelut di Sunggal selama beberapa minggu dengan menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta. Tawaran tersebut diterima dengan hati yang bersih mengingat usia perang sudah hampir ¼ abad. Setelah berangkat ke Betawi bersama adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Mahmud (sekretaris) dan ajudannya Daim ternyata mereka tidak dipertemukan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, malah disuruh minta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan yang tentu saja ditolak olehnya, bagi Datuk Sunggal dan rakyatnya sampai matipun mereka tidak mau jongkok-jongkok dan minta ampun kepada Belanda karena itu kepantangan nenek moyangnya.

Pada tanggal 20 Januari 1895 dengan Besluit Gubernur Jenderal Belanda Nomor 3 mereka dihukum buang seumur hidup setelah sebelumnya ditahan di penjara Bengkalis. Datuk Badiuzzaman Surbakti dibuang Ke Cianjur dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dibuang ke Banyumas.Setelah kabar itu sampai ke Sunggal rakyat Sunggal berkabung selama 3 bulan menunjukkan hormat dan kesetiaan mereka kepada para pejuang rakyat itu.

Massa yang berkabung itu dapat dilihat setidaknya di masjid dan tempat peribadatan lainnya dimana mereka mendoakan pejuang rakyat itu. Karena pertempuran sudah agak mereda, maka Belanda menyatakan Perang Sunggal telah selesai tuntas tahun 1896, padahal kaum grilyawan masih beraksi. Nabung Surbakti mengerahkan seluruh pasukannya menghantam serdadu Belanda di Taluk Banua dan menyabung nyawa di Tanah Karo, dia gugur oleh peluru musuh pada tanggal 14 Agustus 1915 dan hingga kini bermakam di Kampung Kuala, Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo. (H.Biak Ersada Ginting : Sejarah perjuangan Suku Karo Dan Dari Perang Medan Area Hingga Sipirok Area,Penerbit Ravi Bina Cetakan I).

Datuk Badiuzzaman Surbakti 2/3 hidupnya sampai akhir khayatnya telah menggagas, memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata bersama rakyat Sunggal, suku Karo, Gayo, Aceh dan suku lainnya dalam mempertahankan wilayah atau tanah Sunggal dari penjajahan Belanda, ia juga memiliki konsistensi sikap dan perjuangan serta jiwa dan semangat Nasionalisme yang tinggi, ini dibuktikannya bersama pejuang Perang Sunggal yang lain mereka tidak pernah menyerah kepada Belanda tetapi ditangkap dan dibuang sampai akhir hayatnya.


Kebenaran sejarah haruslah dapat diungkapkan dengan jelas, adil dan jujur. Perang Sunggal 1872 s/d 1895 ini dapat dijadikan sebagai salah satu peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang heroik dan penuh keberanian dalam menentang penjajahan Belanda. Pengetahuan yang memadai dapat memberikan pemahaman yang benar tentang peristiwa sejarah itu. Dari semua itu diharapkan muncul penghargaan objektif dan sebaik-baiknya terhadap para pejuang secara nasional, maka selayaknyalah Datuk Badiuzzaman Surbakti diangkat dan disahkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.

Wanita Sebagai Tiang Sebuah Negara


Dalam hadis nabi bersabda :

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

Dalam sebuah hadist Rosulullah saw menyatakan bahwa

الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ

Wanita adalah tiang suatu negara, apabila wanitanya baik maka negara akan baik dan apabila wanita rusak maka negarakapun akan rusak

Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum wanita, bila didalam masyarakat pra Islam memandang kaum wanita adalah sebagai suatu barang yang tidak ada nilainya, sehingga kaum wanita boleh diperlakukan apa saja tergantung dari kaum pria. Hal ini nampak jelas bahwa sebelum nabi Muhammad lahir masyarakat Arab akan mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan yang lahir hal ini karena dipandang wanita tidak dapat membantu perang.

Negara-negara didunia memandang kaum wanita dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti di Inggis berarti behind every successful man there is always a women, di Amerika istri yang dalam bahasa Inggris adalah wife namun diartikan washing, ironing, fun, entertainment, di Jawa sebagaimana dikatakan oleh budayawan Semarang Darmanto Jatman Asah-asah, umbah-umbah, lumah-lumah. Dan dikalangan masyarakat Jawa masih banyak istilah yang lain masak macak manak atau dapur sewur dan kasur.

Penghargaan Islam terhadap kaum wanita sebagaimana tersebut dalam hadits nabi:

اَلْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلَادِ اِذَاصَلُحَتْ صَلُحَ الْبِلَادُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْبِلَادُ (حديث)

“ Wanita adalah tiang negara jika wanitanya baik maka baiklah negara, dan bila wanita buruk maka negara juga ikut buruk”.

Karena itu wanita yang paling berperan didalam kehidupan rumah tangga, karena dalam diri wanita mempunyai peran ganda dalam kehidupan rumah tangga, yaitu mengandung, melahirkan, mendidik, mengasuh dan membesarkan. Sehingga kedekatan seorang anak akan lebih dominan kepada seorang ibu, setiap perbuatan inipun akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah SWT.

Kedudukan kaum wanita:

1. Sebagai pendamping suami:

وَالْمَرْئَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِىَ مَسْؤُلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“ Dan istri adalah pengatur dalam rumah tangga suaminya, dan dia bertanggung jawab atas pengaturannya”. (HR. Buchari Muslim)

اِذَا صَلَتِ الْمَرْئَةُ خَمْسَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَاَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ اَيِّ اَبْوَابِ الْجَنَّةَ شَاءَتْ (رواه ابن حبان)

“ Apabila wanita itu melakukan shalat lima waktu dan bisa menjaga kehormatan dirinya serta taat kepada suaminya. Maka dia dapat memasuki surga dari segala penjuru pintunya yang ia sukai”.

Peran wanita sebagai seorang istri adalah memberikan dukungan kepada suami. Istri yang baik akan memberikan ketenangan bagi suami setelah ia kembali dari aktivitasnya dalam bekerja. Ketenangan yang diberikan seorang istri saat menyambut suami bisa membuat kepenatan yang dirasakannya seharian penuh menghilang. Dalam hal ini, istri berperan menciptakan suasana keluarga yang kondusif dan nyaman sebagai tempat kembali.

Seperti Khadijah yang senantiasa menghadirkan ketenangan kepada Rasulullah yang pulang dalam keadaan lelah setelah berdakwah, atau Khadijah yang selalu mendukung dakwah Rasulullah, baik lewat hartanya maupun kemampuan negosiasinya. Karena kehadiran Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menemukan oase yang membuatnya lebih tenang, sehingga beliau lebih kuat saat menghadapi tantangan dalam berdakwah.

Untuk itulah seorang wanita perlu menyesuaikan diri dalam perannya sebagai seorang istri. Istri yang baik hendaknya mampu mengendalikan diri dalam melampiaskan emosi. Jangan sampai hasrat atau keinginan untuk mengadu kepada suami menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga, hanya karena masing-masing tidak mampu membaca situasi.

2. Sebagai ibu- penerus keturunan.

“ Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (QS. Al A’rof: 189)

اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اَقْدَمِ الْاُمَّهَاتِ (رواه مسلم)

“ Surga dibawah telapak kaki ibu”.

Dengan demikian Allah memberikan keutamaan ibu diatas ayah, sebagaimana sabda ketika suatu saat sahabat bertanya kepada rasul tentang kepada siapa yang lebih utama untuk berbuat baik:

يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli(dekati) dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari Muslim)

Kisah wanita teladan

Rasulullah pernah memerintah kepada putrinya yang bernama Fatimah: Hai anakku,, apabila kamu ingin belajar menjadi ibu dan istri yang baik, datanglah kepada seorang ibu yang bernama Muthi’ah, tinggal di luar kota Madinah sebelah sana. Maka berangkatlah Fatimah yang disertai oleh putranya Hasan, sesampai dirumahnya, lalu mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Pada waktu itu ibu Muthi’ah sedang sendirian dirumah, karena suaminya sedang bekerja, karena sedang sendirian maka Hasan tidak diperkenankan masuk dan disuruh menunggi diluar, menurut hadits nabi bahwa ketika isteri sedang sendirian dirumah, tidak boleh menerima tamu laki-laki.

Setelah Fatimah masuk dan dipersilahkan duduk maka, mengutarakan maksud kedatangannya yang disuruh oleh Rasulullah untuk belajar tentang kewanitaan. Ibu Muthi’ah heran dan tidak tahu hal apa yang harus disampaikan kepada isterinya, demikian pula Fatimah juiga heran karena yang dilihat tidak ada barang-barang yang istimewa. Siti Fatimah memperhatikan ruangan sekitar yang kemudian yang berhenti pada susut rungan yang terdapat tiga buah benda yang senantiasa terawatt dengan rapi. Ketiga benda itu adalah baskom yang berisi air bersih nan jernih, sebuah handuk kecil dan sebatang rotan, Fatimah merasa heran dan kemudian menanyakan ketiga benda itu. Fatimah heran dan menyakan kepadanya.

Ibu Muthi’ah menjelaskan, apabila suaminya pulang tentunya dengan muka yang kotor kena debu, kusut, penat dan letih. Dengan demikian maka aku membisakan mengelap muka dan badannya, agar terlihat bersih dan segar. Setelah itu dengan handuk saya keringkan dengan mengusap muka dan badan yang basah tadi. Fatimah faham dan emudian menaykan sebatang rotan tersebut. Kemudian dijelaskan apabila suami selesai dibilas muka dan badannya yang kotor lalu mandi. Setelah itu suaminya ditemani makan dari masakan yang tealh dimasaknya sendiri. Lalu saya berkata (kata ibu Muthi’ah) mengambil sebatang rotan rotan tersebut dan menyerahkan kepada suaminya seraya mengatakan, agar suaminya bersedia memukul dengan rotan tersebut bila dalam melayaniny kurang memuaskan.

Mendengar ucapan tersebut Fatimah kaget, lalu bertanya kembali: Apakah suaminya memukul atau tidak? Ibu Muthi’ah menjawab: suami saya tetap mengambil rotan tersebut, tetapi melemparkannya kesamping, lalu mendekati saya dengan penuh kasih sayang. Mendengar penuturan tersebut, akhirnya mengertilah Fatimah, sungguh tepat kata-kata Rasulullah yang menyuruh untuk belajar pada ibu Muthi’ah.

Setelah Datang Musim Panas Semoga Berakhir Wabah


Dewasa ini, Virus Covid-19 menjadi momok nomor wahid di dunia. Semua orang menjadi was-was akan kesehatan & keselamatannya. Berbagai teori bermunculan seiring merebaknya pandemi ini ke seantero dunia. Namun, semua ini telah tertulis dalam garis skenario Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ternyata secara de facto, pandemi ini bukanlah kali pertama terjadi. Dalam kitab Badzlul Maa'un Fii Fadhli Ath-Tho'un Imam Ibnu Hajar Al-Ashqolani (Rahimahullah Ta'alaa) menyebutkan beberapa karakter pandemi yang pernah terjadi dalam sejarah, bahkan jauh lebih parah dibandingkan dengan Covid-19.

Diantaranya pernah terjadi wabah di Mesir pada tahun 455 H. selama 10 bulan, setiap harinya 1.000 jiwa melayang. Pernah pula terjadi di Damaskus wabah penyakit yang menewaskan 496.500 jiwa. Dan wabah penyakit lainnya yang tidak bisa disebutkan di sini karena banyaknya.

Baginda Rasulillah Muhammad SAW bersabda:

إِذَا ارْتَفَعَ النَّجْمُ رُفِعَتِ الْعَاهَةُ عَنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ

“Jika bintang (najm) naik, maka diangkatlah penyakit/virus dari penduduk seluruh negeri.” (HR. at-Thabrani).

إِذَا طَلَعَ النَّجْمُ صَبَاحًا رُفِعَتِ الْعَاهَةُ عَنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ

“Jika bintang (najm) terbit pada pagi hari, maka diangkatlah penyakit/virus dari penduduk seluruh negeri.” (HR. Abu Daud).

مَا طَلَعَ النَّجْمُ قَطُّ وَفِي الْأَرْضِ مِنَ العَاهَةِ شَيْئٌ إِلَّا رُفِعَ

“Tidaklah terbit bintang (najm), sementara di bumi tengah dilanda penyakit/virus, melainkan (penyakit/virus) itu diangkat.” (HR. Ahmad).

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Badzl al-Ma’un menyatakan (hal. 369):

وكانت الطواعين الماضية تقع في فصل الربيع بعد انقضاء الشتاء وترتفع في أوّل الصيف

“Wabah (Tha’un) pada masa lalu, terjadi pada musim semi, setelah berakhirnya musim dingin. Wabah berakhir di permulaan musim panas.”

Perhitungannya seperti ini:

Penyakit/virus hilang saat bintang (najm) terbit di waktu pagi.

Waktu pagi yang dimaksud adalah waktu fajar.
Najm (نجم) yang dimaksud adalah Bintang Tsurayya (الثريا)

Pada periode 12 Mei – 6 Juni, matahari berada di buruj tsaur (zodiak Taurus) dan buruj jawza’ (zodiak Gemini), di manzilah  (posisi) Bintang Tsurayya. Namun, yang muncul pada pagi harinya adalah bintang Syarthin (Alnath) pada tanggal 12 Mei dan bathin (allothaim) pada tanggal 25 Mei.

Tanggal 7 Juni, Matahari berada di buruj jawza’ (Gemini), di Manzilah (posisi) Bintang Huq’ah (Alchatay). Pada waktu Fajar, bintang yang terbit (Thali’/Ascendant) adalah Bintang Tsurayya (Alchaomazon).

Kemunculan Tsurayya pada waktu fajar ini sekaligus menandakan masuknya musim panas (الصيف) dan berakhirnya musim semi (الربيع).

Waktu Fajar untuk DKI Jakarta pada tanggal 7 Juni 2020 masuk pada pukul 04.44 wib. Sedangkan Tsurayya mulai terbit di ufuq timur (Thali’/Ascendant) pada pukul 04.52 wib.

Jadi berakhirnya wabah virus Covid-19 adalah tanggal 7 Juni 2020, yakni pada saat Tsurayya terbit atau muncul di pagi hari, di waktu fajar, yang sekaligus menandai masuknya musim panas.

Untuk Indonesia, khususnya yang berada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, adalah masuknya musim kemarau.

Namun kemungkinan tanggal 7 Juni, Tsurayya belum bisa terlihat muncul di pagi hari, karena Tsurayya baru saja terpisah dari Matahari, sehingga masih ada dampak sinar matahari terhadapnya.

Waktu yang paling cepat munculnya Tsurayya adalah setelah melewati setengah perjalanannya, yakni 6 hari. Itu berarti tanggal 13 Juni.
Tanggal inilah (13 Juni) waktu yang kemungkinan Tsurayya terlihat muncul pada pagi hari atau waktu fajar.

Sekaligus tanggal inilah (13 Juni), virus yang mewabah ini baru (mulai) terangkat dan hilang.

Sabda Sang Baginda pasti benarnya. Yang berpeluang salah adalah perhitungan dan penafsiran saya. Atau keduanya benar, tapi Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang, berkenan menghilangkannya di waktu yang tidak sampai bulan Juni.
Semoga.

Penjelasan Wirid Dengan Hitungan Tertentu


Beberapa orang menganggap bahwa seluruh bilangan wirid haruslah ada tuntunan teks ayat atau hadits yang secara literal menunjukkan jumlah tertentu. Mereka menyangka bahwa jumlah bacaan wirid sama saja dengan jumlah rakaat shalat yang sudah ditentukan tanpa sedikit pun boleh dikurangi atau ditambah, apalagi ditentukan sendiri bilangannya. Anggapan seperti ini akan bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia di mana terdapat banyak bacaan wirid yang disarankan agar dibaca dalam jumlah tertentu yang tak ditemukan dasar haditsnya, misalnya anjuran membaca shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali. Tak pelak, banyak tuduhan bid’ah yang keluar dari orang-orang yang belum mengerti.

Sebenarnya, penentuan bilangan suatu wirid tak harus berdasarkan hadits semata, namun bisa juga ditentukan melalui petunjuk ilham yang didapat hamba Allah yang shalih. Ini bisa terjadi secara akal dan tidak berlawanan dengan syariat. Dan, kenyataannya hal semacam ini memang terjadi bahkan di masa para sahabat. Simak riwayat berikut yang diceritakan dan dijadikan dalil pembenar oleh Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Jilâ' al-Afhâm:

عَن زيد بن وهب قَالَ لي ابْن مَسْعُود رَضِي الله عَنهُ يَا زيد بن وهب لَا تدع إِذا كَانَ يَوْم الْجُمُعَة أَن تصلي على النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم ألف مرّة تَقول اللَّهُمَّ صل على مُحَمَّد النَّبِي الْأُمِّي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم

"Dari Zain bin Wahb, Sahabat Ibnu Mas'ud berkata padaku: Wahai Zaid, bila hari jumat jangan engkau tinggalkan membaca shalawat atas nabi 1000 kali, katakan allahumma shalli ala Muhammad an-nabiyyi al-ummiyyi shallallahu alaihi wasallam." (Ibnu Qayyim, Jilâ' al-Afhâm, halaman 87)

Amaliyah wirid yang dianjurkan sahabat Ibnu Mas'ud di atas sama sekali tidak ada haditsnya, tidak redaksinya dan tidak pula jumlahnya. Yang bisa kita dapati hanyalah sebuah hadits dlaif (lemah) yang memerintahkan untuk membaca shalawat sebanyak 1000 kali tanpa pengkhususan hari tertentu dan hadits dlaif lain yang memerintahkan agar banyak-banyak membaca shalawat di hari Jumat. Bila kedua hadits dlaif ini digabung, maka hasilnya adalah sunnah memperbanyak shalawat di hari jumat, tanpa ada pembatasan bahwa jumlahnya harus seribu dan tak ada penentuan bagaimana redaksi shalawatnya. Bila memakai konsep bid'ah ala sebagian kelompok yang berlebihan dalam memahami tema bid'ah, maka tindakan Sahabat Ibnu Mas'ud ini tergolong bid'ah dan demikian juga dengan tindakan Syekh Ibnu Qayyim yang menukil dan berhujjah dengan itu. Namun teori mereka ini salah dan gegabah sehingga tak layak diperhitungkan. Tentu bukan suatu yang sederhana menganggap amalan seorang sahabat besar sekaliber Ibnu Mas’ud sebagai bid’ah.

Soal pembatasan jumlah bacaan wirid ini, harus diketahui bahwa ada dua jenis wirid yang berbeda:

Jenis pertama, adalah bacaan wirid yang jumlahnya telah ditentukan secara khusus (muqayyad) oleh Rasulullah ﷺ dalam bilangan tertentu tanpa ada satu pun hadits lain yang menunjukkan kemutlakan jumlahnya. Bacaan tipe ini tak boleh kita modifikasi jumlahnya, jangan dikurangi atau ditambahi bila ingin mendapat keutamaan sunnah. Contohnya adalah bacaan tasbih, tahmid dan takbir sehabis shalat yang masing-masing berjumlah 33 kali. Penentuan bilangan 33 kali ini disebutkan secara literal oleh Nabi Muhammad sendiri sehingga tak layak kita modifikasi.

Jenis kedua, adalah bacaan yang jumlahnya dimutlakkan tanpa ada batasan khusus dari Rasulullah atau ada batasannya namun longgar. Jenis wirid ini kita bebas membacanya berapa kali sesuka dan sekuat kita setiap harinya. Dalil dari kebebasan penentuan bilangan ini dapat dilihat dari hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ قَالَ: حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، مِائَةَ مَرَّةٍ، لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ، إِلَّا أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ

"Dari Abi Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: Siapa pun yang membaca ketika pagi dan sore Subhânallah wa bihamdihi seratus kali, maka tak akan datang seorang pun di hari kiamat yang membawa amal melebihinya kecuali seseorang yang membaca semisal itu atau lebih dari itu." (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ، يَوْمَهُ ذَلِكَ، حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ

"Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: Siapa pun yang membaca la ilaha illallah wahdahu lâ syarîka lahu lahu al-mulku walahu al-hamdu wahua 'ala kulli syai'in qadîr dalam sehari seratus kali, maka pahalanya menyamai memerdekakan sepuluh budak dan dicatat seratus kebaikan dan dihapus darinya seratus kesalahan dan dijaga dari setan di hari itu sampai sore. Dan, tidak ada seorang pun yang datang [di hari kiamat] dengan amal yang lebih utama dari orang itu kecuali orang yang membaca lebih banyak dari jumlah itu." (HR. Muslim)

Dari redaksi kedua hadits di atas kita bisa tahu bahwa jumlah seratus kali setiap hari yang diajarkan Rasulullah ternyata bukanlah batasan tetapi hanyalah sebuah pilihan. Bila ada orang yang setiap hari malah membaca 200, 300, atau semakin banyak wirid yang disebutkan dalam hadits, maka pahalanya juga semakin banyak sesuai jumlahnya. Karena jumlahnya tidak ditentukan, maka tidak dibenarkan adanya orang yang menuduh bahwa jumlah tertentu setiap hari adalah bid'ah.

Harus dipahami bahwa kemutlakan jumlah itu artinya bebas sebebas-bebasnya mau dibaca dengan jumlah berapa pun setiap waktunya, mau bilangannya selalu sama atau tidak. Mau tiap hari dibaca 5 kali, 10 kali 1000 kali, 2000 kali atau berapa pun bebas. Mau dibaca kadang 100 kali, kadang 50 kali, kadang 20 kali juga terserah. Tak ada alasan untuk menyatakan bahwa konsisten akan jumlah tertentu semisal selalu seratus kali, selalu seribu kali atau jumlah lain setiap hari termasuk tindakan bid'ah atau membuat-buat syariat baru. Justru vonis bid’ah itulah yang malah bid'ah itu sendiri sebab pelakunya telah menyempitkan makna kemutlakan yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ tanpa adanya izin spesifik dari Rasulullah ﷺ.

Sebab itulah, para ulama sering sekali memberikan nasihat untuk membaca bacaan tertentu dengan jumlah tertentu yang nanti akan berkhasiat tertentu pula. Penentuan redaksi, khasiat, waktu dan jumlah ini biasanya berdasarkan ilham yang sudah diuji coba berulang kali, bukan berdasarkan hadits. Yang harus dicatat, tak ada satu pun jumlah bacaan yang ditentukan ulama berdasarkan ilham tersebut yang tergolong muqayyad atau sudah ditentukan oleh Rasulullah sehingga memang mubah hukumnya menentukan jumlah tertentu sendiri.

Pertimbangan lainnya, dalam berbagai hadits dijelaskan bahwa kaum muslimin diperintah agar menjaga keistiqamahan (konsistensi dalam beramal baik). Juga disebutkan bahwa Allah kurang menyukai apabila seseorang melakukan suatu amal kebaikan lantas kendor atau putus di tengah jalan. Salah satu redaksi haditsnya demikian:

فَإِنَّ اللهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَأَحَبُّ الدِّينِ مَا دُوِمَ عَلَيْهِ

“Maka sesungguhnya Allah tidaklah kendor [dalam memberi pahala] hingga kalian menjadi kendor [untuk melakukan amal] dan amal agama yang paling disukai adalah apa yang dilakukan terus-menerus (istiqamah).” (HR. al-Baihaqi)

Untuk mengukur kadar keistiqamahan atau kekendoran suatu wirid tentu saja harus dihitung dengan jelas berapa jumlahnya setiap hari. Tanpa hitungan yang jelas, tak mungkin hal ini dapat diketahui pengamalnya. Tentu saja penentuan jumlah bilangan dengan niat semacam ini tak bisa masuk dalam kategori bid’ah menurut teori manapun atau perspektif siapa pun. Justru inilah cara untuk merealisasikan perintah agar istiqamah dalam berdzikir tersebut.

Berdzikir Dengan Tasbih Untuk Mempermudah Hitungan


Teknis dzikir yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menghitung dengan jari dan bukan dengan bantuan alat, seperti kerikil atau tasbih.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُهُنَّ بِيَدِهِ

“Saya melihat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung dzikir beliau dengan tangannya.” (HR. Ahmad 6498 dan dinilai hasan oleh Syuaib Al-Arnauth).

Kemudian dari seorang sahabat wanita, Yusairah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberpesan kepada kami (para sahabat wanita),

يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنَينَ، عَلَيْكُنَّ بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّسْبِيحِ وَالتَّقْدِيسِ، وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ، وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ

“Wahai para wanita mukminah, kalian harus rajin bertasbih, bertahlil, mensucikan nama Allah. Janganlah kalian lalai, sehingga melupakan rahmat. Hitunglah dengan jari-jari kalian, karena semua jari itu akan ditanya dan diminta untuk bicara.” (HR. Ahmad 27089, Abu Daud 1501, Turmudzi 3583, dan sanadnya dinilai hasan oleh Syuaib Al-Arnauth dan Al-Albani).

Yusairah bintu Yasir Al-Anshariyah adalah sahabat wanita. Beliau termasuk salah satu wanita yang ikut menjadi peserta Baiat aqabah.

Ketika menjelaskan hadis Yusairah, Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,

ومعنى العقد المذكور في الحديث إحصاء العد، وهو اصطلاح للعرب بوضع بعض الأنامل على بعض عُقد الأُنملة الأخرى، فالآحاد والعشرات باليمين، والمئون والآلاف باليسار، والله أعلم

Makna kata ‘al-aqd’ (menghitung) yang disebutkan dalam hadis [pada kata: وَاعْقِدْنَ] adalah menghitung jumlah dzikir. Ini merupakan istilah orang arab, yang bentuknya dengan meletakkan salah satu ujung jari pada berbagai ruas jari yang lain. Satuan dan puluhan dengan tangan kanan, sementara ratusan dan ribuan dengan tangan kiri. Allahu a’lam. (Nataij Al-Afkar fi Takhrij Ahadits Al-Adzkar, 1/90).

Ibnu Alan menjelaskan bahwa cara ‘al-aqd’ (menghitung dengan tangan) ada dua:

Al-Aqd bil mafashil (menghitung dengan ruas jari)Al-Aqd bil ashabi’ (menghitung dengan jari)

Beliau mengatakan,

والعقد بالمفاصل أن يضع إبهامه في كل ذكر على مفصل، والعقد بالأصابع أن يعقدها ثم يفتحها

“Al-Aqd bil mafashil (menghitung dengan ruas jari), bentuknya adalah meletakkan ujung jempol para setiap ruas, setiap kali membaca dzikir. Sedangkan Al-Aqd bil ashabi’ (menghitung dengan jari), bentuknya adalah jari digenggamkan kemudian dibuka satu persatu.

Haruskah Dzikir dengan Tangan Kanan?

Terdapat hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح. وزاد محمد بن قدامة -شيخ أبي داود- في روايته لفظ: “بيمينه”

“Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung bacaan tasbih dengan tangannya.” Sementara dari jalur Muhammad bin Qudamah – gurunya Abu Daud – terdapat tambahan: “dengan tangan kanannya” (HR. Abu Daud 1502 dan dishahihkan Al-Albani)

Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama menganjurkan untuk menghitung dzikir dengan jari-jari tangan kanan saja. Hanya saja, sebagian ulama menilai bahwa tambahan ‘dengan tangan kanannya’ adalah tambahan yang lemah. Sebagaimana keterangan Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid. Sehingga dianjurkan untuk menghitung dzikir dengan kedua tangan, kanan maupun kiri.

Kesimpulan yang tepat dalam hal ini, dzikir dengan tangan kanan hukumnya dianjurkan, meskipun boleh berdzikir dengan kedua tangan dibolehkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menggunakan anggota badan yang kanan untuk hal yang baik. Sebagaimana keterangan Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan ketika mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua urusan beliau.” (HR. Bukhari 168).

Dan menghitung dzikir termasuk hal yang baik, sehingga dilakukan dengan tangan kanan, lebih baik.

Adapun di antara dasar hadis tentang kebolehan memakai tasbih ketika berzikir adalah sebagaimana berikut.

Pertama. hadis riwayat Shafiyyah bint Huyai. Ia berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، قَالَ: «لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ، أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ؟» فَقُلْتُ: بَلَى عَلِّمْنِي. فَقَالَ: «قُولِي: سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ» أخرجه الترمذي

“Rasulullah saw. mendatangiku sedangkan di hadapanku terdapat empat ribu biji yang aku bertasbih dengannya. Rasulullah saw. pun bersabda, “Sungguh kamu telah bertasbih dengan menggunakan ini, Perhatikanlah aku akan mengajarimu yang lebih banyak dari pada tasbihmu.” Lalu aku berkata, “Iya, ajarilah aku.” Kemudian beliau bersabda, “Bacalah Subhanallah adada khalqih (Subhanallah sebanyak ciptaan Nya). (HR. At-Tirmidzi)

Kedua. Riwayat Saad bin Abi Waqqas. Bahwasannya suatu ketika ia bersama Rasulullah saw. mendatangi seorang wanita yang di depannya terdapat biji atau kerikil yang ia bertasbih dengan menggunakan biji atau kerikil itu. Lalu Rasulullah saw. pun bersabda

«أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا -أَوْ أَفْضَلُ-»، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ للهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ مِثْلُ ذَلِكَ» أخرجه أبو داود واللفظ له والترمذي وحسنه والنسائي وابن ماجه وصححه ابن حبان والحاكم.

Aku ingin memberitahukanmu yang lebih mudah bagimu dari pada ini – atau lebih afdhal. Lalu beliau membaca “Subhanallah adadama khalaqa fis samaa’ (subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan/makhluk di langit), subhanallah adada ma khalaqa fil ardl(subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan di bumi), subhanallah adada maa khalaqa baina dzalik (subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan di antara langit dan bumi), subhanallah adada ma huwa khaaliq (subhanallah sejumlah apa yang Dia ciptakan), Allahu Akbar mislu dzalik (Allahu Akbar seperti sejumlah itu/bacaan subhanallah), Alhamdulillah mislu dzalik(alhamdulillah seperti jumlah itu/bacaan subhanallah), Lailaaha Illa Allah mislu dzalik (Laa ilaaha illaa Allah seperti jumlah itu), Laa haula walaaquwwata illaa billaah mislu dzalik). (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Ketiga. Riwayat dari Al-Qasim bin Abdirrahman, ia berkata:

كَانَ لِأَبي الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه نَوًى مِنْ نَوَى الْعَجْوَةِ في كِيسٍ، فَكَانَ إِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ أَخْرَجَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدةً يُسَبِّحُ بِهِنَّ حَتَّى يَنْفَدْنَ” أخرجه أحمد في “الزهد” بسند صحيح.

Abu Darda’ r.a. memiliki sejumlah biji kurma di dalam sebuah kantong. Saat ia melaksanakan salat di pagi hari, ia mengeluarkannya satu persatu sambil bertasbih dengan biji-biji itu sampai habis. (HR. Ahmad).

Keempat. Riwayat dari Abu Dadhrah Al-Ghifari, ia mengatakan:

حَدَّثَنِي شَيْخٌ مِنْ طُفَاوَةَ قَالَ: تَثَوَّيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه بِالْمَدِينَةِ، فَلَمْ أَرَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ تَشْمِيرًا، وَلا أَقْوَمَ عَلَى ضَيْفٍ مِنْهُ، فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُ يَوْمًا وَهُوَ عَلَى سَرِيرٍ لَهُ وَمَعَهُ كِيسٌ فِيهِ حَصًى أَوْ نَوًى وَأَسْفَلُ مِنْهُ جَارِيَةٌ لَهُ سَوْدَاءُ وَهُوَ يُسَبِّحُ بِهَا، حَتَّى إِذَا أَنْفَدَ مَا فِي الْكِيسِ أَلْقَاهُ إِلَيْهَا فَجَمَعَتْهُ فَأَعَادَتْهُ فِي الْكِيسِ فَدَفَعَتْهُ إِلَيْهِ” أخرجه أبو داود والترمذي وحسنه والنسائي.

“Seorang syeikh dari Thufawah bercerita kepadaku, dia berkata, “Saya bertamu kepada Abu Hurairah di Madinah. Saya tidak pernah menemukan seorang sahabat Nabi saw. yang lebih berusaha untuk menghormati tamunya melebihi beliau. Pada suatu hari, ketika saya sedang berada di rumahnya, beliau berada di atas ranjang. Di sampingnya terdapat kantung yang berisi kerikil atau biji kurma yang digunakan menghitung jumlah bacaan tasbihnya. Di sisi bawah ranjang itu terdapat seorang budak perempuan hitam miliknya. Jika kantung itu telah habis isinya, dia lalu memberikannya kepada budaknya itu. Budak itu lalu mengumpulkan isi kantung itu dan memasukkannya ke dalamnya lalu menyerahkannya kembali kepada beliau.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasai)

Selain itu terdapat riwayatnya cucu Abu Hurairah yang bernama Nu’aim bin Al Muharrar bin Abu Hurairah. Ia mendapat cerita dari kakeknya (Abu Hurairah) yang memiliki sebuah tali yang mempunyai seribu ikatan. Abu Hurairah tidak akan tidur sampai ia bertasbih dengan menggunakan seribu ikatan tali tersebut. Riwayat ini terdapat di dalam kitab Zawaiduz Zuhud karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’nya.

Sementara itu, masih banyak pula riwayat tentang pemakaian tasbih yang dilakukan oleh Saad bin Abi Waqqas, Abu Said Al-Khudri, Abu Shafiyyah (budak Nabi saw.), Fathimah dan para sahabat serta tabiin lainnya. Bahkan sejumlah ulama seperti imam As-Suyuthi telah menulis satu kitab khusus terkait disyariatkannya berzikir menggunakan tasbih. Beliau menulis karya yang berjudul Al Minhah Fis Sabhah.

Demikianlah hukum berzikir menggunakan tasbih. Hukumnya adalah sunah dan disyariatkan bahkan telah dilakukan oleh para sahabat dan tabiin. Hanya saja dulu mereka menggunakan kerikil, biji-bijian atau seutas tali. Sementara di zaman sekarang sudah banyak ragam tasbih, bahkan ada yang berbentuk digital dengan memencet tombol untuk menghitung angka jumlah zikir kita.

Gugurnya Kewajiban Sholat Jum'at Ketika Wabah


Nabi Muhammad ﷺ pernah menginstruksikan agar wabah penyakit menular diisolasi sehingga tidak menyebar. Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalam.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (HR. Bukhari, no. 5728 dan Muslim, no. 2218)

Orang yang diputuskan oleh instansi khusus untuk diisolasi, maka dia harus berkomitmen akan hal itu dan tidak menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jumat, dia menunaikan shalatnya di rumah atau di tempat isolasinya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Asy-Syarid dari bapaknya, ia berkata,

كَانَ فِى وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَفَارْجِعْ »

“Dahulu ada utusan dari Tsaqif ada yang terkena kusta. Maka Nabi shallallahu alihi wa sallam mengirim pesan ‘Sungguh kami telah membaiat Anda, maka pulanglah.” (HR. Muslim, no. 328).

Yang khawatir terkena virus (karena sudah menyebar di daerahnya) atau ia dapat mencelakai orang lain, maka dia diberi keringanan tidak menghadiri shalat Jumat dan shalat berjamaah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.”(Hadits hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain)

Shalat Jumat merupakan kewajiban yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dalam Surat Al-Jumu’ah. Ulama kemudian membahas orang-orang yang terkena kewajiban shalat Jumat, yaitu laki-laki, baligh, aqil, merdeka, penduduk setempat, dan seterusnya. Selain kewajiban, shalat Jumat mengandung keutamaan. Di dalamnya terdapat waktu yang sangat mustajabah.

Lalu bagaimana dengan shalat Jumat saat terjadi wabah? Ini menjadi pertanyaan yang banyak ditanyakan, terutama saat terjadi wabah Corona seperti saat ini. Dalam hal ini para ulama fiqih sebenarnya menetapkan larangan bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid sebab masjid merupakan salah satu pusat keramaian.

Namun demikian, dalam situasi uzur yang bersifat umum atau kolektif seperti wabah Covid-19 yang mewabah di Indonesia pada 2020 ini kewajiban shalat Jumat menjadi gugur.

Imam An-Nawawi mengawali pembahasan masalah ini dari pandangannya terhadap shalat berjamaah karena shalat Jumat dan shalat berjamaah memiliki kesamaan, yaitu dikerjakan secara kolektif. Menurutnya, uzur terbagi dua, umum yang bersifat kolektif-objektif dan khusus yang bersifat individual-subjektif.

فصل لا رخصة في ترك الجماعة سواء قلنا سنة أو فرض كفاية  إلا من عذر عام أو خاص فمن العام المطر ليلا كان أو نهارا ومنه الريح العاصفة في الليل دون النهار وبعض الأصحاب يقول الريح العاصفة في الليلة المظلمة وليس ذلك على سبيل اشتراط الظلمة ومنه الوحل الشديد وسيأتي في الجمعة إن شاء الله تعالى

“Fasal. Tidak ada rukhshah (keringanan) dalam meninggalkan shalat berjamaah–baik ia dihukumi sunnah maupun dihukumi fardhu kifayah–kecuali karena uzur umum dan uzur khusus. Salah satu uzur umum adalah hujan baik malam maupun siang hari. Uzur umum lainnya angin badai pada malam, bukan siang hari. Sebagian ulama Mazhab Syafi’i, angin badai pada malam yang sangat gelap meski itu bukan jalan mensyaratkan kegelapan. Uzur umum lainnya adalah hujan yang nanti insya Allah adakan diterangkan pada Bab Jumat,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umadatul Muftiyyin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H] juz I, halaman 342).

Menurut Imam An-Nawawi, uzur yang dapat menggugurkan shalat berjamaah dapat juga menggugurkan kewajiban shalat Jumat baik itu uzur umum maupun uzur khusus. Ia juga membawa pelbagai pandangan ulama syafi’iyah perihal kedudukan tanah berlumpur sebagai uzur.

فرع كل ما أمكن تصوره في الجمعة من الأعذار المرخصة في ترك الجماعة يرخص في ترك الجمعة أما الوحل الشديد ففيه ثلاثة أوجه الصحيح أنه عذر في ترك الجمعة والجماعة والثاني لا والثالث في الجماعة دون الجمعة حكاه صاحب العدة وقال به أفتى أئمة طبرستان

 “Satu cabang masalah. Segala jenis uzur yang meringankan (membolehkan seseorang) untuk meninggalkan shalat berjamaah–yang mungkin juga terbayangkan pada kasus shalat Jumat–dapat menjadi uzur yang meringankannya untuk meninggalkan shalat Jumat. Adapun perihal (uzur) tanah yang sangat berlumpur, terdapat tiga pendapat ulama. Pertama, ini pendapat shahih tanah berlumpur ini merupakan uzur dalam meninggalkan Jumat dan shalat berjamaah. Kedua, ia bukan uzur (atas gugurnya kewajiban Jumat dan berjamaah). Ketiga, ia uzur hanya untuk meninggalkan shalat berjamaah, tidak pada Jumat seperti dihikayatkan penulis Kitab Al-Uddah. Pendapat ini juga dipegang dan menjadi fatwa ulama Thabaristan,” (An-Nawawi, 2005 M/1425-1426 H: I/426).

Pandangan Mazhab Syafi’i, sebagaimana keterangan An-Nawawi berikut ini, menyatakan bahwa hujan dan sebab lain dapat menjadi uzur yang dapat mengugurkan kewajiban shalat Jumat. Pandangan ini dikemukakan saat ia menguraikan (syarah) hadits riwayat Muslim.

وفي هذا الحديث دليل على سقوط الجمعة بعذر المطر ونحوه وهو مذهبنا ومذهب آخرين وعن مالك رحمه الله تعالى خلافه والله تعالى أعلم بالصواب

“Pada hadits ini terdapat dalil atas gugurnya (kewajiban shalat) Jumat sebab uzur hujan dan uzur lainnya. Ini pandangan mazhab kami (Syafi’i) dan mazhab lainnya. Namun riwayat lain menyebutkan Imam Malik rahimahullah memiliki pandangan berbeda. Wallahu a’lam bis shawab,” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz III, halaman 225).

Adapun berikut ini adalah salah satu kutipan hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Ibnu Abbas RA yang disyarahkan oleh Imam An-Nawawi sebagai dalil atas gugurnya kewajiban shalat Jumat:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata kepada muazinnya pada hari hujan, ‘Bila kau sudah membaca ‘Asyhadu an lā ilāha illallāhu, asyhadu anna muhammadan rasūlullāh,’ jangan kau teruskan dengan seruan ‘hayya ‘alas shalāh,’ tetapi serulah ‘shallū fi buyūtikum.’’ Orang-orang seolah mengingkari perintah Ibnu Abbas RA. Ia lalu mengatakan, ‘Apakah kalian heran dengan masalah ini? Padahal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sungguh Jumat itu wajib. Tetapi aku tidak suka menyulitkanmu sehingga kamu berjalan di tanah dan licin.’” (HR Muslim).

Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-Khatib asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj tentang hal ini menulis sebagai berikut:

وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ

“Qadli Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya orang yang terkena penyakit judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari bercampur baur dengan masyarakat.” (al-Khatib asy-Syirbini,Mughni al-Muhtaj, I: 360).

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan alasan larangan tersebut sebagai berikut:

سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ

“Sebab pelarangan bagi penderita penyakit semisal kusta adalah khawatir bahaya darinya. Karena itu, maka pelarangan ini menjadi hal wajib dalam konteks kusta tersebut”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I: 212).

Larangan di atas sesuai dengan instruksi Nabi Muhammad ﷺ di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi menginstruksikan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut:

عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

“Dari Ya'la bin 'Atha dari 'Amru bin Asy-Syarid dari bapaknya dia berkata; "Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit judzam (kusta). Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’" (HR. Muslim).

Sebagaimana diketahui, baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah ﷺ dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung dengan beliau (kecuali untuk perempuan). Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya. Dari hal ini juga dapat dikiaskan tidak wajibnya menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit.

Hanya saja perlu dicatat bahwa illat(alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular. Dengan demikian, apabila kosongnya masjid atau terdapatnya ruang isolasi di masjid belum bisa menjaga terjaminnya masyarakat dari penularan penyakit sebab virusnya dapat hidup dengan menempel di benda-benda fasilitas publik di masjid lalu menulari orang yang menyentuhnya, maka pelarangan tetap berlaku hingga para ahli yang kompeten menyatakan bahwa kondisi sudah aman.

Semoga beberapa keterangan ini menjawab keraguan sebagian masyarakat, khususnya para pengurus masjid. Kami berharap mereka dapat mau mengerti dan memahami imbauan pemerintah yang menjadi kepentingan bersama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan Covid-19 di Indonesia dengan menghentikan sementara ritual bersama di rumah ibadah, yaitu shalat Jumat, shalat berjamaah, tabligh akbar, haul, dan lain sebagainya di tengah situasi kritis seperti ini.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...