Senin, 08 November 2021

Hindari Perbuatan Maksiat Agar Rejeki Tidak Terhalang


Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45)

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS Al-‘Ankabuut: 45)

Ibnu Mas’uud dan Ibnu ‘Abbas radhiallaahu ‘anhumaa berkata:

في الصلاة منتهى ومزدجر عن معاصي الله، فمن لم تأمره صلاته بالمعروف، ولم تنهه عن المنكر، لم يزدد بصلاته من الله إلا بعدًا.

“Di dalam shalat terdapat sesuatu yang dapat menahan dan mencegah seseorang dari mengerjakan perbuatan maksiat kepada Allah. Barang siapa yang shalatnya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan ma’ruuf (yang baik) dan tidak melarangnya dari perbuatan mungkar, maka dia hanya membuat dirinya semakin jauh dari Allah dengan shalat tersebut.

Al-Qatadah dan Al-Hasan rahimahumallaah berkata:

من لم تنهه صلاته عن الفحشاء والمنكر فصلاته وبال عليه

“Barang siapa yang shalatnya tidak dapat menahannya dari melakukan perbuatan fahsyaa’ dan mungkar, maka shalatnya tersebut menjadi perusak dirinya.”

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan

Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ

"Sesungguhnya seorang manusia kerap terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang dilakukannya."

Takhrij Hadits
Petikan hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya jilid II halaman 489 nomor 4087 dari jalur Ali bin Hasan. Ali bin Hasan mendapatkan cerita dari Waki’, dari Sufyan, dari Abdullah bin Isa, dari Abdullah bin Abil Ja’di, dari Tsauban (budak yang dimerdekakan Rasulullah saw.), dari Rasulullah saw. Secara lengkap, hadits tersebut berbunyi:

لاَ يَزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ وَلاَ يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ

"Tidak dapat menambah usia kecuali kebaikan. Tidak bisa menolak ketentuan (takdir) kecuali doa. Sesungguhnya seorang manusia kerap terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang dilakukannya."

As-Suyuthi meletakkan hadits ini dalam “Jami’ Ash-Shaghir”. Menurutnya, selain Ibnu Majah, hadits itu juga diriwayatkan oleh Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata bahwa nilai hadits tersebut shahih. Kesahihan hadits ini dikuatkan oleh Adz-Dzahabi dan Al-Iraqi. Al-Mundziri menegaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Nasai melalui jalur periwayatan (isnad) yang shahih. Periksa Faidlul Qadir karya Al-Munawi jilid II halaman 232.

Makna Hadits
Rezeki menurut para ulama ialah “apa saja yang bisa dimanfaatkan (dipakai, dimakan, atau dinikmati) oleh manusia”. Rezeki dengan demikian meliputi uang, makanan, ilmu pengetahuan, rumah, kendaraan, pekerjaan, anak-anak, isteri, kesehatan, ketenangan, dan segala sesuatu yang dirasa nikmat dan membawa manfaat bagi manusia. Selama ini orang banyak mengkaitkan rezeki dengan uang. Hal ini tidak seluruhnya salah, karena pada saat ini dengan uang (fulus), orang bisa meraih kenikmatan dan memperoleh manfaat duniawi dan ukhrawi apa saja. Rezeki merupakan kelengkapan yang pasti dikaruniakan oleh Allah swt. kepada makhluk yang hidup di dunia, khususnya manusia. Sebagaimana ajal, keberadaan rezeki manusia telah dijamin oleh Allah swt. Tidak ada manusia hidup di dunia tanpa dilengkap rezeki. Allah swt. menegaskan:

وَاللهُ الَّذِى خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ

"Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)." (Q.S. Ar-Ruum: 40)

Manusia dijamin pasti dikarunia rezeki seluruhnya, hanya persoalannya, ada manusia yang rezekinya lancar, ada yang seret, ada yang luas, ada yang sempit, ada yang mudah, ada yang sulit, ada yang murah, ada yang mahal, dan sebagainya. Masing-masing telah ada ukurannya. Hal ini kembali kepada otoritas Allah swt., karena ketentuan rezeki sebagaimana ajal ada di tangan-Nya. Manusia tidak bisa turut campur di dalamnya. Ibaratnya, rezeki adalah nasib.

Meski rezeki tak ubahnya merupakan nasib, untuk mendapatkannya, manusia haruslah berusaha (ikhtiar), sesuai dengan sunnatullah (hukum alam). Manusia tidak boleh menyerah begitu saja. Langit tidak akan menurunkan hujan emas. Rezeki tidak akan turun sekonyong-koyong, tetapi melalui berbagai proses atau jalan. Ada proses bekerja. Ada proses berdoa. Ada proses ketekunan. Ada proses ketabahan. Dan sebagainya.

Di sinilah manusia diuji. Apakah dalam ikhtiarnya untuk mendapatkan rezeki itu, manusia melakukan jalan usaha yang wajar atau tidak wajar (jalan pintas) seperti dengan menggelapkan atau dengan memperalat jin (istikhdam). Apakah dalam mencari rezeki, manusia melewati proses yang halal atau proses yang haram. Apakah ada ungkapan syukur setelah mendapatkan rezeki melimpah. Adakah sikap sabar dan tabah manakala rezekinya seret.

Atas dasar ini, dalam mencari rezeki, manusia harus memakai cara-cara yang elegan dan islami, tidak tergesa-gesa dalam mendapatkannya dengan mengambil jalan pintas yang tidak halal, atau mengejarnya habis-habisan hingga mengabaikan aspek ibadah dan dakwah, toh pada akhirnya rezeki manusia telah ada takarannya. “Tidak akan lari gunung dikejar.” Manusia tidak akan mati kecuali rezekinya telah disempurnakan. Rezeki itu bahkan akan selalu mengejar manusia sebagaimana manusia dalam hidupnya akan selalu dikejar oleh ajal kematian. Sabda Rasulullah saw. memperingatkan:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ ! اِتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبِ ؛ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا . فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبِ : خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ – رواه ابن ماجه والحاكم

"Wahai sekalian manusia, takutlah kepada Allah dan lakukanlah keanggunan dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya jiwa manusia tidak akan mati sehingga disempurnakan rezekinya, walaupun ia lamban dalam bergerak mencarinya. Takutlah kepada Allah dan lakukanlah keanggunan dalam mencari rezeki. Ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram." (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Hadits tersebut di atas menyatakan bahwa perbuatan dosa dan ma’shiat yang dilakukan oleh manusia yang beriman bisa menghambat kelancaran rezekinya. Rezeki orang yang beriman bisa seret, sempit, sulit, dan mahal, manakala dirinya melakukan perbuatan dosa dan ma’shiat kepada Allah swt.

Mengapakah hujan tidak turun? Mengapakah musim panen gagal? Mengapakah terjadi krisis di negeri muslim? Mengapakah perputaran uang tiba-tiba berubah menjadi seret? Mengapakah ilmu pengetahuan sulit ditangkap? Mengapakah hapalan mudah lepas? Bila fenomena itu terjadi, agaknya kita perlu mengoreksi diri, jangan-jangan ada perbuatan dosa dan ma’shiat yang terjadi di sekitar kita, bahkan melibatkan diri kita.

Jika kita rutin dan giat menjalankan shalat, misalnya, tiba-tiba rutinitas itu mandeg, kegiatan itu tiba-tiba kendor, dan pada saat yang sama rezeki kita tampak seret, tidak seperti biasanya, maka kita harus menginsafi diri. Boleh jadi itu adalah peringatan dari Allah swt. agar kita tidak mandeg dan kendor dalam menjalankan ibadah. Kemandegan dan kekendoran dalam ibadah itu boleh jadi merupakan faktor yang menjadi penghalang datangnya karunia Tuhan kepada kita secara luas.

Imam Malik bin Anas begitu kagum terhadap kecerdasan Asy-Syafii, santrinya. Imam Malik bin Anas, sang guru, lalu berpesan kepada Asy-Syafii, “Sesungguhnya aku melihat Allah telah menaruh cahaya di hatimu, maka jangan engkau padamkan cahaya itu dengan kema’shiatan.” (Al-Jawab Al-Kafi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: 82)

Asy-Syafii bersenandung yang cukup terkenal di dunia pendidikan Islam. Senandung ini kami dapati dalam kitab karya Al-Muhasibi berjudul “Risalatul Mustarsyidin” yang disunting oleh Abdul Fattah Abu Ghaddah halaman: 218:

شَكَوْتُ إلى وكيع سوء حفظى فأرشدنى إلى ترك المعاصى
فأخبرنى بأن العلم نور ونور الله لا يهدى للعاصى

Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada guru Waki’. Beliau lalu memberi petunjuk kepadaku agar meninggalkan kema’shiatan. Beliau menjelaskan kepadaku bahwa ilmu merupakan cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berma’shiat.

Waki’, nama lengkapnya adalah Waki’ bin Jarrah Al-Kufi. Ibnu Hajar menceritakan bahwa Waki’ adalah orang yang sangat kuat dalam menghafal. Jika kebanyakan orang menghafal secara memaksa atau “ngoyo”, dia menghafal justru secara alamiah. Ali bin Khasyram berkata, “Aku melihat Waki’ dan aku tidak pernah melihat tangannya membawa buku. Ternyata dia menghafal. Aku bertanya kepadanya: “Apakah obat agar kuat hafalan?! Waki’ menjawab, “Meninggalkan kema’shiatan.”

Imam Abu Hanifah ra., manakala menjumpai suatu problem dalam menyelesaikan masalah, dia berujar kepada santri-santrinya, “Hal ini tidak terjadi kecuali karena dosa yang baru saja aku lakukan.” Beliau lalu beristighfar, dan kadang langsung beranjak shalat, maka tersingkaplah masalah yang menjadi problem baginya itu, seraya berkata, “Mudah-mudahan taubatku diterima.” Cerita ini kemudian sampai kepada Fudhail bin Iyadh. Demi mendengar cerita itu Fudhail bin Iyadh menangis keras-keras kemudian berkata, “Itu dilakukan Abu Hanifah karena sedikitnya dia memiliki dosa, adapun selain Abu Hanifah tidaklah memperhatikan perkara ini.”

Sahabat Abdullah bin Abbas ra. menegaskan fakta ini. Katanya, “Sesungguhnya amal kebajikan memiliki cahaya di dalam dada, keceriaan pada muka, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki, dan kecintaan di hati para makhluk, sedang perbuatan dosa memiliki kegelapan di dalam hati, keburukan di muka, kelemahan di tubuh, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati para makhluk.” (Risalatul Mustarsyidin, Al-Muhasibi: 218)

Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Aku berkeyakinan seseorang bisa jadi lupa terhadap suatu ilmu yang dulunya dikuasai adalah dikarenakan dosa yang diperbuatnya.”

Atas dasar ini, manakala terasa dikarunia rezeki dari Allah swt. apakah berupa uang, ilmu pengetahuan, makanan, rumah, pekerjaan, kesehatan, rumah tangga yang harmonis, atau lainnya, maka hal itu harus diupayakan kelestariannya. Caranya tiada lain ialah dengan menjauhi dan menghindari perbuatan dosa dan mas’shiat. Hal ini karena perbuatan dosa dan mas’shiat di kala menerima nikmat berupa rezeki akan bisa menghambat atau memutus kelancaran rezeki itu. Dalam syair dikatakan:

إِذَا كُنْتَ فى نعْمَةٍ فارعها إن المعاصي تزيل النعم

Jika kamu berada dalam suatu nikmat maka peliharalah nikmat itu. Sesungguhnya kema’shiatan bisa melenyapkan nikmat-nikmat itu.

Hadits tersebut di atas menyatakan bahwa perbuatan dosa bisa menghambat rezeki. Di balik kandungan hadits ini tersirat pengertian bahwa giat beribadah akan bisa memperlancar aliran rezeki dari Tuhan kepada manusia.

Hal ini berarti semakin seseorang giat beribadah maka rezekinya akan semakin lancar. Allah swt. memberikan jaminan dalam kitab suci Al-Qur’an bahwa seandainya penduduk bumi beriman dan bertakwa niscaya pintu-pintu keberkahan bumi akan dibuka lebar-lebar. Barangsiapa bertakwa maka Allah akan memberikan jalan keluar kepadanya sekaligus memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.
Dengan demikian tidak didapati pertentangan antara ibadah dengan mencari rezeki. Inilah Islam dan inilah ajaran yang dideklarasikan oleh baginda Rasulullah saw. Pandangan sementara kalangan yang menyatakan bahwa ibadah akan menghambat rezeki atau rezeki tidak akan berjalan dengan aktivitas ibadah yang baik merupakan pandangan yang tidak berdasar fakta. Ibadah kenyataannya justru menjadi sinergi bagi aktivitas mencari rezeki.

Hilang Kebencian Agar Tak Menghalangi Ampunan Alloh


Dalam kitab Ma Dza Fi Sya’ban, Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasany menyebutkan beberapa dosa yang dapat menghalangi ampunan Allah. Di antaranya adalah kebencian kepada orang lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَيُغْـفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَ بَيْـنَهُ وَبَيْنَ أَخِيْهِ شَحْنَاءُ فقال : أَنْظِرُوْا هَذيْنِ حَتَّي يَصْطَلِحَا

“Pintu–pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, lalu setiap hamba yang tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan Allah mendapat ampunan, kecuali lelaki yang antaranya dan saudaranya ada kebencian. Dia lalu berfirman: “Tangguhkanlah kedua orang ini sampai mereka berdamai”

Semestinya kebencian wajib dihilangkan dari hati seorang yang beriman kepada Allah dalam setiap waktu. Walaupun demikian, kewajiban menghilangkan kebencian ini semakin dikuatkan pada waktu-waktu utama dan penuh berkah, seperti bulan Sya’ban, bulan Ramadhan, hari Senin dan Kamis dan seterusnya.

Sungguh tak ada alasan bagi kita untuk membenci orang lain terutama dengan orang yang seiman. Karena jangankan untuk membenci, kita malah tidak berhak berprasangka buruk sedikit pun kepada orang lain. Apabila terdapat sesuatu yang tidak disukai dari orang lain, maka kita dituntut untuk memaafkan dan tidak menampakkan rasa kesal, marah dan kebencian. Dalam Alquran surat Ali ‘Imran ayat 33-34, Allah berfirman;

 وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ  وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Selain itu kebencian dapat mengundang datangnya keburukan-keburukan yang lain. Kebencian membuat kita melupakan kebaikan seseorang terhadap kita, menjadikan kita mengungkit kebaikan kita terhadapnya, mengingat semua kesalahannya, dan melupakan kesalahan kita kepadanya.

Kebencian juga membuat kita tidak peduli dengan nasehat kebenaran, karena melihat darimana asalnya nasehat tersebut. Apabila nasehat kebenaran itu datang dari orang yang kita benci, kita cenderung tidak akan menerima. Ada banyak keburukan yang timbul karena berawal dari kebencian, sehingga dapat kita maklumi apabila kebencian ini dapat menghalangi ampunan Allah.

Semoga kita semua digolongkan sebagai orang-orang yang mendapatkan limpahan Rahmat Ampunan Alloh swt.  Amiin

Sejarah Kerajaan Tidung


Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Pulau Kalimantan (Kalimantan Utara). Suku ini juga merupakan anak negeri di Sabah, jadi merupakan suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun Malaysia (negeri Sabah). Suku Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda.


Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.

Kerajaan Tidung

Kerajaan suku Tidung sudah mulai berdiri kurang lebih pada tahun 870-995 masehi di Menjelutung, Sungai Sesayap, Kabupaten Tana Tidung (KTT). Tercatat ada lima raja yang bergantian memimpin dari masa ke masa pada kerajaan Tidung kuno.

Pada tahun 870-995 Aki Du merupakan raja pertama suku Tidung yang bermukim di sekitar Sungai Sesayap. Setelah masa Aki Du berakhir, suku Tidung kemudian dipimpin Aki Bu lalu dilanjutkan Aki Sam, dan Aki Jay. Mendekati tahun 900-an, kepemimpinan raja Tidung berganti pada raja Benayuk.

Pada masa kepemimpinan Raja Benayuk, barulah suku Tidung menyebar di berbagai tempat di utara Kalimantan. Keturunan Raja Benayuk yang dipimpin raja yang bernama Yamus, mendirikan kerajaan di Liyu Maye, Mengkedulis pada tahun 1005-1076. Selain Raja Yamus yang dikenal kuat oleh sebagian suku Tidung, Raja Benayuk juga memiliki keturunan yang menjadi raja, yakni Raja Ikayam yang diketahui bermukim di sekitar sungai Sembakung.

Meneruskan generasi kerajaan Tidung, keturunan dari Raja Ikayam dan Yamus dinikahkan. Raja Ikayam yang memiliki anak bernama Inaum, dinikahkan dengan Imerintu yang merupakan anak Raja Yamus. Pada pernikahan ini, Imerintu menjadi raja dan meneruskan dinasti kerajaan Tidung pada tahun (1039-1054).

Sebelum dinasti kerajaan Yamus dan Ikayam di Mengkedulis berakhir pada tahun 1076, ada raja yang bernama Ibugang dari garis keturunan Raja Ikayam yang meneruskan dinasti kerajaan Tidung pada era itu. Selanjutnya, Raja Ibugang menikah dengan Ilawang yang merupakan anak dari Isari dari keturunan Raja Yamus. Pernikahan Raja Ibugang dan Ilawang mendapatkan lima keturunan yang juga meneruskan kerajaan Tidung kuno.
Igulung, Iguyung, Itara, Iteripet, dan Salinggamit merupakan keturunan dari Raja Ibugang dan Ilawang. Dari kelimanya, ada yang meneruskan kerajaan Tidung ke pulau Tarakan. Pada tahun 1076-1105, berdiri sebuah kerajaan di pesisir timur Tarakan yakni Binalatung. Kerajaan di Binalatung tersebut dipimpin Raja Itara. Dari Raja Itara inilah Tarakan mulai berkembang dan menjadi pusat perhatian kerajaan Tidung lainnya.
Tak lama Raja Itara memimpin kerajaan Tidung di Binalatung, keturunannya Ikurung meneruskan kejayaan raja Tidung pada tahun 1105-1130. Raja Ikurung lalu menikah dengan Puteri Kurung yang mendapatkan keturunan yang juga menjadi raja, yakni Ikerungan. Kerajaan Tidung di Binalatung yang dipimpin Raja Ikerungan tak begitu lama. Lantaran kerajaan yang terletak di pesisir pantai tersebut luluh lantak karena bencana alam. “Sepertinya ada bencana alam yang dasyat. Kemungkinan tsunami, karena (kerajaan) di pesisir,”

Lantaran kerajaan rusak parah, Raja Ikerungan memindahkan kerajaan ke tempat yang tergolong aman. Pada masa perpindahan kerajaan ini, masa kepemimpinan kerajaan mulai beralih pada keturunan Raja Ikerungan, yakni Ikarang yang memimpin kerajaan pada tahun 1156-1191.
Kerajaan yang dipimpin Ikarang tersebut bergeser ke pesisir Barat Tarakan, yakni Tanjung Batu. Di Tanjung Batu inilah Raja Ikarang kembali membangun kerajaan Tidung. Kerajaan yang dibangun di pesisir Tanjung Batu tersebut diketahui tidak berjalan lama. Sebab, kerajaan Tidung yang dipimpin Raja Ikarangan berpindah ke pesisir Barat Tarakan, Sungai Bidang. Di sini, Raja Ikarangan yang merupakan keturunan dari Raja Ikarang yang menikah dengan Puteri Kayang, menetap cukup lama di Sungai Bidang.

Ikerangan keturunan pertama Raja Ikarang dan Puteri Kayang memimpin sejak tahun 1191-1216. Setelah itu, tahta kerajaan di pesisir Sungai Bidang itu berganti pada Raja Ibidang pada tahun 1216-1236. Pada masa ini, kerajaan suku Tidung perlahan mengenal Islam. Islam yang masuk melalui pesisir-pesisir ternyata diterima dengan baik oleh suku Tidung kala itu.

Meski pada kepemimpinan Raja Ibidang belum banyak yang memluk Islam, namun Islam baru mulai berkembang pada masa kerajaan yang dipimpin Raja Ibengawan. Dari silsilah kerajaan tidung kuno, kata Norbeck mayoritas suku tidung saat itu masih memeluk agama hindu atau belum memiliki agama.

“Ibengawan itu pada tahun 1236-1280 sekitar tahun itu penyebaran Islam di Kalimantan sudah dilakukan. Hampir seluruh penduduk yang tinggal di pesisir saat itu memeluk Islam,” 
Semenjak Islam masuk di kerajaan Tidung kuno yang dipimpin Raja Ibengawan, sistem kepemerintahan pun perlahan mulai berubah ke arah yang agamis. Meski belum banyak perubahan sistem kerjaan Tidung kuno di bawah kepemimpinan Raja Ibengawan, namun perlahan raja-raja setelahnya memperbaiki sistem kerajaan yang lebih teratur seperti kerajaan Islam pada umumnya.

Pada masa Raja Itambu, raja yang memimpin setelah Raja Ibengawan. Beberapa perubahan dalam kerajaan mulai terlihat. Mulai dari pemberian nama anak hingga cara berpakaian mulai diubah sesuai hukum Islam. Raja Itambu yang memimpin pada tahun 1280-1300, nama raja Tidung kuno mulai merujuk ke nama Islami. Salah satunya raja Aji Beruwing yang memimpin pada tahun 1300-1330. Pada masa ke masa, kerajaan Tidung di Sungan Bengawan semakin luas dan makmur. Para warganya tidak hanya menggantungkan nasib dari hasil laut. Warga suku Tidung pada masa itu juga bercocok tanam.

Setelah itu, kerajaan di Sungai Bidang dipimpin oleh Raja Aji Suria Sakti pada tahun 1330-1369 dan diteruskan Raja Pangiran Kungun tahun 1330-1394. Pada masa inilah kerajaan di Sungai Bidang berakhir dan kembali pindah ke tempat lain. Penerus Raja Pangiran Kungun, Pangiran Tempuad memindahkan kerajaan Tidung kuno dari Tarakan ke Pimping, Baratan, dan Tanah Kuning. Setelah berhasil memindahkan kepemerintahan kerajaan Tidung, Raja Pangiran Tempuad menikah dengan Ilahay.

Lahirlah Aji Iram Sakti dan Aji Gurinda yang akhirnya kekuasaan Raja Pangiran Tempuad diteruskan Aji Iram Sakti pada 1428-1453. Aji Iram Sakti dan Aji Gurinda yang merupakan saudara tersebut, sepakat menikahkan kedua keturunannya untuk melanjutkan dinasti kerajaan Tidung. Adu Idang, anak perempuan Aji Iram Sakti dinikahkan dengan Aji Baran Sakti anak dari Aji Gurinda.

Sebagai menantu, Aji Baran Sakti memulai kejayaannya memimpin kerajaan Tidung pada 1453-1473. Selanjutnya, kerajaan Tidung dipimpin anak dari keturunan Adu Idang dan Aji Baran Sakti, yakni  Datu Mansang pada tahun 1473-1522
Kepemimpinan Datu Mansang berpindah ke anaknya, yakni Abang Lemanak pada 1522-1542. Abang Lemanak yang sepanjang hidupnya hanya memiliki satu anak perempuan yang bernama Ikenaway, menikah dengan Abdur Rasid.
“Karena Abang Lemanak meninggal, tidak mungkin Ikenaway menjadi raja karena seorang wanita. Diangkatlah menantu raja menggantikan seorang raja, maka jadilah Abdur Rasid seorang raja Tidung penerus Abang Lemanak,”

Abdur Rasid yang di masa itu disebut Datu Raja Laut, menjadi raja Tidung sejak 1542-1557. Sejak Abdur Rasid memimpin kerajaan Tidung, banyak perkembangan dan kemajuan suku Tidung. Hingga, ia dengan tegasnya memindahkan kembali kerajaan Tidung ke Pulau Tarakan. Pemindahan kekuasaan kerajaan Tidung kuno ke Tarakan tersebut merupakan awal mula Dinasti Tengara terbentuk.

Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta lebih kurang mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di daerah Pamusian wilayah Tarakan Timur.

Raja-raja dari Dinasti Tengara

Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)
Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)
Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)
Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)
Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)
Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)
Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana menjadikan putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
Datoe Benar (1896-1916)

Pernikahan antara Raja Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet dengan Ikenawai Gelar Ratu Ulam Sari dikaruniai dua orang anak putera dan seorang puteri (meninggal sebelum dewasa). Kedua putera tersebut bernama Dipati Anum dan Wira Kelana (. Ketika Raja Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet wafat, Dipati Anum diangkat menjadi raja bergelar Amiril Pengiran Dipati I, sedangkan Wira Kelana diangkat menjadi raja muda.

Raja Amiril Pengiran Dipati I memerintah Kerajaan Tidung antara tahun 1571-1613 (. Pada masa pemerintahan Raja Amiril Pengiran Dipati I, Kerajaan Sulu memisahkan diri dengan mengangkat seorang raja bernama Datoe Mering, adik dari Raja Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet. Selama memerintah, Raja Amiril Pengiran Dipati I menikah dengan Mayang Sari, puteri Pengiran Sukmana dari daerah Sebawang (kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sesayap). Lewat pernikahan ini, Raja Amiril Pengiran Dipati I dikaruniai seorang putera bernama Pengiran Singa Laoet, dan 3 orang puteri yang masing-masing diberi nama Mayang Sari, Sukma Sari, dan Kumala Sari.

Masa kepemimpinan Raja Amiril Pengiran Dipati I berakhir ketika beliau wafat dan digantikan oleh puteranya, Pengiran Singa Laoet Gelar Amiril Pengiran Singa Laoet. Beliau memerintah Kerajaan Tidung antara tahun 1613-1650. Setelah Amiril Pengiran Singa Laoet wafat, beliau digantikan oleh puteranya yang kemudian bergelar Amiril Pengiran Maharajalila I. Pemerintahan Amiril Pengiran Maharajalila I bertahan selama 45 tahun (1650-1695).

Pemimpin Kerajaan Tidung berikutnya Pengiran Mustafa yang merupakan putera dari Amiril Pengiran Maharajalila I. Beliau naik tahta pada tahun 1695 dan bergelar Amiril Pengiran Maharajalila II. Selama berkuasa, Amiril Pengiran Maharajalila mempunyai 2 istri. Istri pertama bernama Siti Nurlaila, puteri dari Pengiran Prabu Sakti bin Pengiran Besar Pendekar Laoet dari daerah Sesayap. Lewat pernikahan pertama ini lahir beberapa anak, yaitu Pengiran Dipati, Pengiran Maharajadinda Bertanduk, Pengiran Lukmanul Hakim, Pengiran Jafarudin dan Siti Nurbaya. Istri kedua Amiril Pengiran Maharajalila II bernama Puteri Radja Kayan yang berasal dari daerah Pimping. Lewat pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putera yang bernama Pengiran Surya.

Masa pemerintahan Amiril Pengiran Maharajalila II berakhir pada tahun 1731. Beliau mangkat karena dibunuh oleh pamannya yang bernama Wira Amir karena bermaksud untuk menguasai tahta Kerajaan Tidung. Wira Amir berdalih bahwa kematian Amiril Pengiran Maharajalila II disebakan oleh suatu kecelakaan. Dalih dari Wira Amir tidak dapat diterima oleh para anggota kerajaan lainnya. Gelombang penentangan terhadap Wira Amir muncul dan memaksa Wira Amir untuk pergi dari Kerajaan Tidung. Wira Amir melarikan diri ke daerah Baratan dan meminta perlindungan kepada Kerajaan Berau. Sebagai penerus tahta Kerajaan Tidung berikutnya, para anggota kerajaan menunjuk Pengiran Dipati, anak sulung hasil pernikahan Amiril Pengiran II dengan istri pertama, Siti Nurlaila. Pengiran Dipati naik tahta dan bergelar Amiril Pengiran Dipati II.

Masa pemerintahan Amiril Pengiran Dipati II berlangsung antara tahun 1731-1765. Ketika memerintah, Amiril Pengiran Dipati II berusaha membuat perhitungan dengan Wira Amir atas kematian sang ayah, Amiril Pengiran Maharajalila II dengan cara menyerbu ke Baratan. Ketika rencana penyerbuan ke Baratan dikemukakan oleh Amiril Pengiran Dipati II, para kerabat kerajaan sebagian besar menolak rencana tersebut. Akan tetapi, tampaknya keputusan Amiril Pengiran Dipati II sudah bulat untuk melancarkan balasan kepada Wira Amir di Baratan. Maka dikirimlah pasukan ke Baratan untuk menyerbu Wira Amir. Dalam suatu pertempuran, Amiril Pengiran Dipati II terluka sehingga upaya penyerbuan ke Baratan gagal. Merasa malu karena sejak awal rencana penyerbuan tidak didukung kerabat kerajaan lainnya, Amiril Pengiran Dipati II memutuskan untuk tidak kembali ke Kerajaan Tidung dan pergi ke Sungai Simasulem, suatu daerah di dekat Serudung (perbatasan antara Sabah dengan Indonesia). Di tempat ini Amiril Pengiran Dipati II wafat dan dimakamkan.

Sepeninggal Amiril Pengiran Dipati II yang memutuskan untuk tidak kembali ke Kerajaan Tidung, para kerabat kerajaan kemudian bermufakat untuk mengangkat raja. Atas dasar pertimbangan dari pihak keluarga, maka diangkatlah Pengiran Maharajadinda Bertanduk, anak kedua dari pernikahan antara Amiril Pengiran Maharajalila II dengan Siti Nurlaila. Pengiran Maharajadinda Bertanduk tak lain adalah adik kandung dari Amiril Pengiran Dipati II. Pengiran Maharajadinda Bertanduk ditabalkan menjadi raja dan bergelar Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782).

Pengganti raja di Kerajaan Tidung berikutnya adalah Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817). Beliau menikah dengan Aji Intan gelar Pengiran Kesuma dan dikaruniai beberapa anak, yaitu Aji Intan (Selma), Datoe Mancang (Semudang), Datoe Syahbuddin, dan Datoe Maharajalila (yang kemudian menjadi Sultan Bulungan bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin II). Masa pemerintahan Amiril Pengiran Maharajalila III berakhir ketika beliau wafat dan digantikan oleh adiknya yang bernama Pengiran Amir Tadjoeddin.

Ketika Pengiran Amir Tadjoeddin naik tahta dan bergelar Amiril Pengiran Amir Tadjoeddin (1817-1844), terjadi pemutusan hubungan dengan Kesultanan Bulungan yang notabene merupakan kerajaan sekutu di Kalimantan Timur. Pemutusan tersebut diawali ketika Kesultanan Bulungan takluk kepada Belanda ketika diperintah oleh Amiril Kaharuddin Sultan Muhammad atau Sultan Muhammad Kaharuddin II (1817-1862). Akibat dari penaklukan tersebut, Belanda mengikat Kesultanan Bulungan dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 27 September 1834 dan 12 Nopember 1850 di Banjarmasin. Salah satu dari isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa Kesultanan Bulungan patuh (tunduk) kepada Belanda dan pihak Belanda akan mengamankan Kerajaan Bulungan dalam wilayah sekitar Sungai Kayan dan Sungai Bahau. Sebagai langkah pengawasan, Belanda membangun Wilayah Kerja Pengawasan di Tanjung Selor (ibukota Kabupaten Bulungan sekarang).

Sikap Kesultanan Bulungan yang harus tunduk kepada Belanda membuat beberapa kerajaan sekutu, seperti Suku Dayak Kenyah dan Tidung menjadi kecewa. Perbedaan sikap dan cara pandang dengan pihak Kesultanan Bulungan menjadikan Suku Dayak Kenyah dan Tidung tidak lagi mengakui Kesultanan Bulungan.

Sikap Kerajaan Tidung akhirnya agak melunak ketika kerajaan ini diperintah oleh Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867), putera dari Pengiran Amir Tadjoeddin. Untuk mengukuhkan kembali hubungan Bulungan-Tidung, puteri dari Amiril Pengiran Djamaloel Kiram yang bernama Ratu Intan Doera menikah dengan Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana, putera Sultan Bulungan, Muhammad Kaharuddin II dari Salimbatu. Ketika Amiril Pengiran Djamaloel Kiram wafat, tahta Kerajaan Tidung tidak diserahkan ke puteranya melainkan kepada menantunya, yaitu Datoe Maoelana dan bergelar Datoe Maoelana Amir Bahar.

Pernikahan Datoe Maoelana Amir Bahar dengan Ratu Intan Doera dikaruniai enam orang anak yaitu Datoe Adil, Datoe Djamaloel, Datoe Ranik, Datoe Ali, Ratu Intan, dan Dayang Ranik. Selain menikah dengan Ratu Intan Doera, Datoe Maoelana Amir Bahar juga menikah dengan istri kedua dan dikaruniai lima orang anak, yaitu Datoe Merulan, Datoe Amai, Dayang Sumbun, Si Pantang, dan Si Tinggal.

Ketika Datoe Maoelana Amir Bahar wafat, tahta Kerajaan Tidung diserahkan kepada Datoe Adil, putera sulung hasil pernikahan antara Datoe Maoelana Amir Bahar dengan Ratu Intan Doera. Datoe Adil memerintah di Kerajaan Tidung antara tahun 1896-1916. Jika dirunut dari garis keturunan, Datoe Adil sebenarnya juga berhak atas tahta di Kesultanan Bulungan. Garis keturunan Sultan Bulungan didapatkan dari sang ayah, Datoe Maoelana Amir Bahar yang merupakan putera dari Sultan Bulungan, Muhammad Kaharuddin II dari Salimbatu.

Ketika Datoe Adil memerintah, Pemerintah Hindia Belanda menemukan sumber minyak bumi di Tarakan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengekspoitasi tambang minyak ini melalui Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). 
Sehubungan dengan wilayah pertambangan yang termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Tidung, maka Kerajaan Tidung mendapatkan royalti yang sangat besar atas eksploitasi tambang minyak bumi. Melimpahnya hasil tambang ternyata menimbulkan keresahan (kecemburuan) di kalangan kerabat Kesultanan Bulungan yang merasa masih satu keturunan dengan Datoe Adil, namun tidak mendapatkan keuntungan dari penambangan minyak. Atas dasar inilah, maka ditempuh beberapa cara untuk menyingkirkan Datoe Adil beserta para penerusnya dari Kerajaan Tidung. 

Celah untuk menyingkirkan Datoe Adil dan penerus tahta Kerajaan Tidung akhirnya didapatkan oleh para kerabat di Kesultanan Bulungan. Mereka menyatakan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa sejak dulu keluarga Kerajaan Tidung senantiasa berseberangan sikap (menentang) dengan kebijakan dari Pemerintah Hindia Belanda. 

Pernyataan tersebut merujuk kepada sikap Pengiran Amir Tadjoeddin (1817-1844) yang memutuskan hubungan dengan Kesultanan Bulungan sehubungan dengan penaklukan Kesultanan Bulungan oleh Belanda.

Pernyataan tersebut diperkuat dengan dalih bahwa Kerajaan Tidung tidak pernah menyetorkan pajak kepada Pemerintah Hindia Belanda. Belanda menganggap pernyataan dari Kesultanan Bulungan sebagai sebuah alasan yang cukup masuk akal untuk menangkap Datoe Adil karena dua alasan, yaitu sikap menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dan tidak membayar pajak. Akhirnya Belanda menangkap Datoe Adil, Datoe Djamaloel, dan Aji Maoelana kemudian mengasingkan ketiganya. Datoe Adil dan Aji Maoelana diasingkan ke Manado, sedangkan Datoe Djamaloel ke Makassar pada tahun 1916. 

Mulai saat pengasingan diberlakukan kepada Datoe Adil dan kedua pewaris tahta Kerajaan Tidung tersebut, maka berakhir pula riwayat Dinasti Tengara beserta Kerajaan Tidung (Kerajaan Tarakan).

Sejarah Pedang Terkuat Sepanjang Zaman



Sejarah peradaban manusia dari zaman ke zaman selalu saja menarik untuk dipelajari, tidak terkecuali pada peninggalan yang diwariskannya pada era tersebut. Peninggalan dari suatu peradaban bisa berupa alat rumah tangga, pakaian, ataupun alat perang.

Katana atau yang lebih dikenal dengan pedang samurai adalah peninggalan dari peradaban bangsa Jepang yang sangat populer. Pedang samurai terkenal dengan ketajamannya. Namun tahukah kalian ternyata ada pedang yang lebih tajam dari Katana?

Ternyata sejarah  mencatat bahwa pedang Damaskus adalah pedang terkuat sepanjang sejarah. Pedang ini memang kalah populernya dari samurai, namun pedang ini memiliki kekuatan dan ketajaman melebihi samurai.

Berikut ini adalah beberapa fakta yang dilansir dari berbagai sumber tentang pedang Damaskus yang menarik untuk diketahui.

1. Asal pedang Damaskus
Sesuai dengan namanya, pedang Damaskus berasal dari Damaskus yang merupakan ibu kota negara Suriah. Negara ini terletak di benua Asia, tepatnya di Asia Barat. Nama lengkap negara ini adalah Republik Arab Suriah (Syirian Arab Republic). Negara ini berbatasan langsung dengan negara Turki, Irak, Yordania, dan Laut Tengah.

2. Sangat tajam dan kuat
Karena sangat tajam dan kuatnya pedang Damaskus, ada yang pernah menceritakan jika pedang dalam posisi diam kemudian dijatuhkan sehelai rambut maka pedang Damaskus mampu membelah kain tersebut. Pedang ini juga mampu membelah batu tanpa merusak fisik pedang.

3. Baja Damaskus sebagai bahan baku penempaan
Alasan mengapa pedang Damaskus ini menjadi yang terkuat dan tertajam sepanjang sejarah adalah karena bahan baku dalam pembuatannya. Pedang Damaskus menggunakan baja Damaskus. Baja ini berbeda dengan baja biasa, baja Damaskus bersifat superplastis, yaitu kemampuan deformasi tetap tanpa retak hingga 1000 persen.
Selain baja Damaskus, penempaan pedang Damaskus juga dengan mencampur baja wootz yang mengandung carbon nano tube(CNT). Carbon nano tube mempunyai kekuatan 20-30 kali kekuatan baja paling kuat.
Dengan penggunaan kedua material tadi, maka pedang Damaskus menjadi pedang terkuat sepanjang sejarah, bahkan sampai saat ini.

4. Digunakan Shalahuddin Al-Ayyubi pada Perang Salib
Shalahuddin Al-Ayyubi adalah seorang Jenderal dan pejuang muslim kurdi dari Tikrit. Dia adalah Jenderal yang hebat dan memiliki toleransi yang sangat tinggi. Dia adalah jenderal yang tidak menyukai perang, namun dia adalah panglima perang yang handal jika memang perang tidak bisa dihindari. Senjata yang digunakan Shalahuddin Al-Ayyubi adalah pedang Damaskus.

5. Membawa kemenangan Suriah pada Perang Salib ke-3
Antara tahun 1189-1192 terjadi perang salib, yaitu usaha Raja Inggris Richard I merebut kota Yerusalem dari Suriah yang dipimpin oleh Shalahuddin. Pertemuan ini dimenangkan oleh Suriah di bawah pimpinan Shalahuddin.
Berdasarkan sejarah, salah satu faktor yang membuat pasukan Shalahuddin menang adalah senjata yang digunakannya yaitu pedang Damaskus. Saat perang berlangsung, pedang Damaskus dapat dengan mudah memotong pedang dan merobek baju besi lawan dan bahkan dapat membelah tameng lawan.

6. Tidak ada yang bisa membuat replika Pedang Damaskus sampai saat ini
Banyak ahli pedang di era modern saat ini yang mencoba membuat replika pedang Damaskus, namun usaha mereka tidak pernah ada yang berhasil. Penyebab kegagalan mereka adalah karena tidak ditemukannya lagi baja wootz, yaitu material yang digunakan pada pembuatan pedang Damaskus.

Dahulu baja wootz di datangkan dari India ke Damaskus untuk pembuatan pedang Damaskus. Sampai akhirnya pedang tersebut tidak diproduksi lagi karena material tersebut sudah habis dan tidak dapat ditemukan lagi sampai saat ini.

Nah, itulah beberapa fakta tentang sejarah pedang Damaskus. Ternyata ratusan tahun yang lalu peradaban manusia sudah sangat maju dalam hal pembuatan senjata, ya guys. 

Dan itulah sebabnya pedang dan tombak buatan jarirah Arab Baik dari sebelum Rosululloh SAW sampai zaman Shalahuddin Yusuf masih belum ada tandingannya dlm hal ketajaman dan fisiknya yang kuat. 

Keutamaan Meninggal Di Hari Jum'at


Kematian tidak dapat diprediksi. Ia adalah salah satu misteri yang dirahasiakan oleh Allah. Kematian pasti akan terjadi, namun siapa pun tidak dapat mengetahui kapan dan di mana ia menghampiri. Nasib seseorang di akhir hayatnya juga merupakan rahasia Tuhan, kita tidak dapat memastikannya. Pun demikian setelah wafat, ke mana nasib manusia kelak, surga atau neraka.

Tanpa tahu kapan, dimana dan bagaimana caranya, namun satu yang pasti yakni setiap makhluk yang bernyawa di dunia ini pasti akan mati. Sebab seyogyanya manusia adalah milik sang PenciptaNya yakni tidak lain adalah Allah SWT dan pasti kelak akan kembali kepadanya. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT berikut :

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).

Manusia juga todak bisa memprediksi dan menghentikan kematian yang datang padanya. Meskipun bersembunyi di benteng yang kokoh sekalipun, ajal akam tetap datang menjeput jika memang waktunya sudah tiba. Sebagaimana dalam Firman Allah Berikut :

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).

Manusia juga tidak bisa memilih kapan dia ingin meninggal sebagimana memilih hari yang dirasa baik sebagaimana keutamaan malam jum’at dalam islam .

Ada beberapa tanda seorang Muslim meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah, di antaranya wafat saat hari atau malam Jumat. Keutamaan mati di hari Jumat ditegaskan oleh beberapa hadits Nabi, di antaranya hadits riwayat Imam al-Tirmidzi:

Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

Setiap muslim yang meninggal di hari jumat atau malam jumat, maka Allah akan memberikan perlindungan baginya dari fitnah kubur. (HR. Ahmad 6739, Turmudzi 1074 dan dihasankan al-Albani).

Hadits tersebut diriwayatkan al-Tirmidzi dari Rabi’ah bin Yusuf dari Ibnu Amr bin al-Ash. Menurut al-Tirmidzi, hadits ini tergolong gharib, tidak bersambung sanadnya, tidak pernah diketahui Rabi’ah mendengar dari Ibnu Amr. Namun al-Thabrani menyatakan hadits tersebut muttashil (tersambung sanadnya), al-Thabrani meriwayatkannya dari Rabi’ah bin ‘Iyadl dari ‘Uqbah dari Ibnu Amr bin Ash, demikian pula diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al-Hakim al-Tirmidzi dengan status muttashil, Abu Nu’aim juga meriwayatkannya dari Jabir dengan status Muttashil. Meski bersambung sanadnya, menurut al-Hafizh al-Mundziri, hadits tersebut tergolong dla’if (Syekh Abdurrauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 5, hal. 637).

Makna: ‘Allah akan memberikan perlindungan baginya dari fitnah kubur’ dijelaskan al-Mubarokfury dalam Syarh Sunan Turmudzi,

أي حفظه الله من فتنة القبر أي عذابه وسؤاله، وهو يحتمل الإطلاق والتقييد، والأول هو الأولى بالنسبة إلى فضل المولى

Artinya, Allah jaga dia dari fitnah kubur, yaitu pertanyaan dan adzab kubur. Dan hadis ini bisa dimaknai mutlak (tanpa batas) atau terbatas. Namun makna pertama (mutlak) lebih tepat, mengingat karunia Allah yang sangat luas. (Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi, 4/160).

Ada beberapa riwayat senada mengenai keutamaan wafat di hari Jumat, misalnya riwayat Humaid dari Iyas bin Bukair yang menyatakan “Barangsiapa mati di hari Jumat, ia dicatat mendapat pahala syahid dan aman dari siksa kubut.” Namun, menurut Syekh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri, hadits-hadits tersebut tidak sampai kepada derajat hadits Shahih. Masih menurut al-Kasymiri, andai ada riawayat shahih, maka yang mendapat keutamaan adalah orang yang meninggal di hari Jumat, bukan orang yang meninggal sebelum Jumat, kemudai baru dimakamkan di hari Jumat. Al-Kasymiri menegaskan:

  ما صح الحديث في فضل موت يوم الجمعة ، ولو صح بالفرض لكان الفضل من عدم السؤال لمن مات يوم الجمعة لا من مات قبل وأخر دفنه إلى يوم الجمعة

“Tidak mencapai derajat shahih, hadits mengenai keutamaan mati di hari Jumat, bila diandaikan keshahihannya, maka keutamaan tidak ditanya malaikat diarahkan kepada orang mati di hari Jumat, bukan orang yang meninggal di hari sebelumnya dan diakhirkan pemakamannya sampai hari Jumat.” (Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azzham Syah al-Kasymiri, al-‘Arf al-Syadzi, juz 2, hal. 452).

Meski tergolong hadits dla’if, namun tetap bisa dipakai, karena persoalan ini berkaitan dengan keutamaan amaliyyah (fadlail al-a’mal). Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

 وقد تقرر أن الحديث الضعيف والمرسل والمنقطع والمعضل والموقوف يعمل بها في فضائل الأعمال إجماعا

“Dan merupakan ketetapan bahwa hadits dla’if, mursal, munqathi’, mu’dlal dan mauquf dapat dipakai untuk keutamaan amal menurut kesepakatan ulama’.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz 2, hal. 53).

Syekh Abdur Rauf al-Manawi memberi pandangan mengapa wafat di hari atau malam Jumat mendapat keutamaan dijaga dari fitnah kubur dalam keterangannya dalam kitab Faidl al-Qadir sebagai berikut:

 ـ (ما من مسلم يموت يوم الجمعة أو ليلة الجمعة إلا وقاه الله تعالى فتنة القبر) لأن من مات يومها أو ليلتها فقد انكشف له الغطاء لأن يومها لا تسجر فيه جهنم وتغلق أبوابها ولا يعمل سلطان النار ما يعمل في سائر الأيام فإذا قبض فيه عبد كان دليلا لسعادته وحسن مآبه لأن يوم الجمعة هو اليوم الذي تقوم فيه الساعة فيميز الله بين أحبابه وأعدائه ويومهم الذي يدعوهم إلى زيارته في دار عدن وما قبض مؤمن في هذا اليوم الذي أفيض فيه من عظائم الرحمة ما لا يحصى إلا لكتبه له السعادة والسيادة فلذلك يقيه فتنة القبر

“Sabda Nabi, tidaklah seorang Muslim mati di hari atau malam Jumat, kecuali Allah menjaganya dari fitnah kubur, sebab orang yang wafat di hari atau malam Jumat dibukakan paginya tutup (kurungan), sebab pada hari Jumat api neraka Jahannam tidak dinyalakan, pintu-pintunya ditutup, keleluasaan api neraka tidak berjalan sebagaimana hari-hari yang lain. Maka, bila di hari Jumat seorang hamba dicabut ruhnya, hal tersebut menunjukan kebahagiannya dan baiknya tempat kembali baginya, sebab hari Jumat adalah hari terjadinya kiamat. Allah memisahkan di antara para kekasih dan musuh-musuhNya, demikian pula memisahkan hari-hari mereka yang dapat mengundang mereka untuk berziarah kepadaNya di hari tersebut di surga ‘And. Tidaklah seorang mukmin dicabut nyawanya di hari Jumat yang penuh dengan kebesaran rahmatNya yang tidak terhingga, kecuali Allah mencatatkan untuknya keberuntungan dan kemuliaan, maka dari itu, Allah menjaganya dari fitnah kubur.” (Syekh Abdur Rauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 5, hal. 637).

al-Hakim al-Tirmidzi, sufi besar dari abad ke-2 H mengatakan:

قال الحكيم الترمذي: ومن مات يوم الجمعة فقد انكشف له الغطاء عما له عند الله، لأن يوم الجمعة لا تسجر فيه جهنم وتغلق أبوابها ولا يعمل سلطان النار فيه ما يعمل في سائر الأيام، فإذا قبض الله عبدا من عبيده فوافق قبضه يوم الجمعة كان ذلك دليلا لسعادته وحسن مآبه، وإنه لا يقبض في هذا اليوم إلا من كتب له السعادة عنده فلذلك يقيه فتنة القبر لأن سببها إنما هو تمييز المنافق من المؤمن, قلت ومن تتمة ذلك أن من مات يوم الجمعة له أجر شهيد فكان على قاعدة الشهداء في عدم السؤال

al-Hakim al-Tirmidzi mengatakan:
“Siapa yang wafat pada hari Jumat maka hijabnya dari hadapan Allah akan tersingkap. Karena hari Jumat, tidak ada orang ditenggelamkan di neraka dan ditutup pintu-pintunya. Penguasa pintu neraka tidak menyiksa seperti di hari-hari yang lain. Ketika Allah Swt. mencabut nyawa seorang hamba-Nya, dan mencabutnya tepat di hari jumat, maka itu adalah pertanda kebahagiaan dan husnul khatimah.

Tidaklah dicabut nyawa seorang hamba di hari jumat kecuali orang yang ditakdirkan mendapatkan kebahagiaan (ukhrawi). Karena itulah, sang hamba diselamatkan dari fitnah kubur karena berbedanya antara orang yang beriman dengan orang yang munafik. Sebagai pelengkap, bahwa siapa yang wafat di hari jumat maka ia mendapatkan pahala mati syahid. Mereka setara dengan syuhada karena sama-sama tidak mendapatkan pertanyaan alam kubur.

Demikian penjelasan mengenai keutamaan meninggal di hari Jumat. Secara umum, orang yang meninggal di hari Jumat merupakan tanda-tanda akan kebaikan dan kemuliaannya. Namun tidak bisa dipahami terbalik bahwa yang meninggal di selain hari Jumat, sebagai tanda keburukan sang mayat. Banyak para kekasih Allah dan hamba pilihan-Nya wafat di selain hari Jumat. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan saat ajal menjemput kita. Amin.

Etika Bagi Para Penghafal Al-qur'an


Menghafal Al-Qur’an merupakan aktivitas istimewa yang bernilai ibadah. Satu huruf dalam Al-Qur’an berbanding sepuluh kebaikan. Bahkan, bagi mereka yang mampu menghafal seluruh Al-Qur’an, akan mendapatkan garansi surga bersama sepuluh keluarganya. Oleh sebab itu, tak ayal pada era sekarang ini banyak orang tua berlomba-lomba menyuruh anaknya untuk menghafal Al-Qur’an dan mendidiknya di sekolah-sekolah yang ada program tahfidhnya.

Selain mereka bergaransi masuk surga, mereka juga mendapat predikat sebagai “hamil” Al-Qur’an (bukan “al-hafiz” sebagaimana banyak dipakai di Indonesia) dan sebagai keluarga Allah dari kalangan manusia, sebagaimana sabda Nabi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ» قِيلَ: مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wata‘ala memiliki keluarga dari kalangan manusia. Ditanyakan kepada Nabi, siapakah gerangan , wahai Rasul ? Nabi bersabda: Ahli Al-Qur’an adalah keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya,” (Abdullah al-Darimi, Sunan al-Darimi, Saudi: Dar al-Mugni li al-Nasyr wa al-Tauzi’ 2000, juz IV, hal, 2094, no hadis 3369).

Namun demikian, untuk mendapatkan predikat “hamil” Al-Qur’an yang hakiki tidak mudah. Sebab, “hamil” Al-Qur’an tidak cukup hanya hafal Al-Qur’an dengan lancar dan memiliki suara yang bagus. Ia dituntut mampu mengaplikasikan ajaran Al-Qur’an yang terkandung di dalamnya. Imam Al-Qathalani, sebagaimana dikutip oleh Mustafa Murad dalam karyanya Kaifa Tahfadz Al-Qur’an mengatakan bahwa Ahlu Al-Qur’an adalah orang-orang yang mengamalkan dan mengaplikasikan (isi kandungan) Al-Qur’an, mereka adalah para kekasih Allah yang istimewa di antara manusia, mereka tidak sekadar hafal Al-Qur’an tapi mengabaikan batasan-batasan (yang diatur) Al-Qur’an (Mustafa Murad, Kaifa Tahfadz Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Fajr li al-Turats, 2003, hal 28).

Oleh sebab itu, seorang yang hafal Al-Qur’an hendaknya memiliki perhatian terhadap etika-etika yang mulia, untuk menjaga identitas sebagai “ahlu Allah wa khasshatuh” (keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya). Untuk itu, berikut merupakan etika dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang penghafal Al-Qur’an:

1. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus memiliki perangai dan akhlak yang sempurna. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an harus mencerminkan akhlak Al-Qur’an. Untuk menghiasi diri dengan akhlak Al-Qur’an, seorang “hamil” Al-Qur’an harus mencontoh akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi merupakan teks Al-Qur’an yang hidup, sebagai cerminan dari Al-Qur’an, sebagaimana Sayyidah Aisyah berkata: kâna khuluquhul qur'ân (akhlak Rasulullah tak ubahnya Al-Qur'an).

2. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus meninggalkan setiap sesuatu yang dilarang Al-Qur’an karena untuk memuliakan Al-Qur’an. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an hendaknya tidak mengabaikan apa yang dilarang oleh Al-Qur’an, demi menjaga muru’ah dan kemuliaan Al-Qur’an. Imam Fudhail bin Iyadh menganjurkan kepada seorang penghafal Al-Qur’an untuk menjaga sikapnya, sebab ia diibaratkan sebagai pembawa bendera Islam, ia berkata:

حامل القرآن حامل راية الإسلام لا ينبغي أن يلهو مع من يلهو ولا يسهو مع من يسهو ولا يلغو مع من يلغو تعظيما لحق القرآن

“Para penghafal Al-Qur’an adalah pembawa bendera Islam, tidak patut dia bermain bersama orang yang bermain dan lupa bersama orang yang lupa, serta tidak berbicara yang sia-sia orang lain karena untuk mengagungkan Al-Qur’an”.

3. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus menjaga diri dari pekerjaan yang rendah. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an tidak boleh menjerumuskan diri pada pekerjaan yang tidak halal, pekerjaan yang menjatuhkan diri pada lembah dosa dan hina.

4. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus berjiwa mulia. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an harus memiliki jiwa yang bersih dari segala prasangka yang buruk kepada orang lain, mejaga lisan dan perbuatannya. Tidak patut bagi penghafal Al-Qur’an kasar (sikapnuya), pelupa, lantang suaranya dan pemarah.

5. Seorang “hamil” Al-Qur’an lebih tinggi derajatnya daripada penguasa yang sombong dan pecinta dunia yang jahat. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an tidak merendahkan diri dan merasa hina di hadapan penguasa yang angkuh, demikian pula tidak menjadi “hamba” pengais dunia. Imam Fudhai bin Iyadh berkata: “penghafal Al-Qur’an tidak boleh meminta keperluannya dari seorang khalifah (penguasa) dan dari orang yang berada di bawah kekuasannya”.

6. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus tawadhu’ kepada orang-orang saleh, orang baik dan orang miskin. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an harus santun kepada semua orang, utamanya kepada orang-orang saleh, dan menyayangi orang miskin.

7. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus khusyuk jiwanya, tenang dan berwibawa. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an hendaknya memiliki jiwa yang tenang dalam penampilannya, sabar menjaga dan memelihara hafalannya, wibawa dalam ucapannya. (imam Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Nafais, 1992, hal 43).

8. Seorang “hamil” Al-Qur’an tidak boleh menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber penghasilannya atau sandaran hidupnya dari membaca Al-Qur’an. Tidak sepantasnya seorang penghafal Al-Qur’an butuh kepada orang lain, tapi sebaiknya ia mampu memenuhi kebutuhan orang lain. Nabi mengingatkan kepada para “hamil” Al-Qur’an untuk senantiasa berhati-hati tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pengahasilannya dalam hidup. Beliau bersabda:

اقرؤوا القرآن ولا تأكلوا به ولا تجفوا عنه ولا تغلوا فيه

“Bacalah Al-Qur’an dan jangan menggunakannya untuk mencari makan, jangan menjauhinya dan jangan melampau batas di dalam ajarannya”.

Berkaitan dengan masalah ini, Sayyidina Umar memberi suntikan motifasi kepada para “hamil” Al-Qur’an untuk selalu berlomba-lomba melakukan kebaikan dan tidak bergantung diri kapada orang lain.

يا معشر القراء ارفعوا رؤوسكم فقد وضح لكم الطريق فاستبقوا الخيرات لا تكونوا عيالا على الناس

“Wahai para qari’ Al-Qur’an, angkatlah kepalamu! Jalan telah jelas bagimu, maka berlomba-lombalah kamu untuk melakukan kebaikan dan janganlah kamu menggantungkan diri kepada orang lain”.

Imam al-Mujahid ketika memilih para imam Qira’at Al-Qur’an sebagai standar dan rujukan di dunia Islam, selain karena kemahiran dan kealimannya, dia memperhatikan soal konsistensinya dalam bidang Al-Qur’an, yang mana mereka tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sandaran dan penopang hidupnya. Imam al-Syatibi berkata:

تخيرهم نقادهم كل بارع *** وليس على قرآنه متأكلا

“Para kritikus ulama memilih mereka (para imam qira’at) yang baik, mengamalkan ilmunya dan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sandaran hidupnya,” (Imam al-Syatibi, Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani fi al-Qir’at al-Sab’I. Saudi: Maktabah Dar al-Huda, 2010, hal 3).

9. Seorang “hamil” Al-Qur’an hendaknya selalu mengulang hafalannya, tidak mengabaikan amanat agung yang dianugrahkan kepadanya, utamanya dibaca dan muraja’ah pada malam hari, sebab pada malam hari adalah waktu yang mustajab. Sahabat Abdullah bin Mas’ud menganjurkan kepada para penghafal Al-Qur’an untuk menggunakan kesempatan dengan baik, saat orang lain dalam lalai. Beliau berkata:

ينبغي لحامل القرآن أن يعرف بليله إذا الناس نائمون وبنهاره إذا الناس مفطرون وبحزنه إذا الناس يفرحون وببكائه إذا الناس يضحكون وبصحته إذا الناس يخوضون، وبخشوعه إذا الناس يختالون

“Sebaiknya seorang yang hafal Al-Qur’an membaca Al-Qur’an di malam hari tatkala manusia tidur, disiang hari tatkala manusia sedang sibuk, bersedih tatkala manusia bersuka ria, menangis tatkala manusia tertawa, diam tatkala manusia bercengkrama, khusyuk tatkala manusia berjalan dengan sombong.”

Selain itu, menurut al-Ajurri al-Baghdadi, para “hamil” Al-Qur’an harus memiliki sifat takwa kepada Allah, wara’ dalam penampilan hidup nya; konsumsi hidupnya, pakaiannya, tempat tinggalnya, faham dengan situasi zamannya. (al-Ajurri Al-Baghdadi, Akhlaq Ahl Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003, hal 78).

Dari semua etika yang telah disebutkan di atas, ada etika yang paling penting bagi para “hamil” Al-Qur’an untuk ditanamkan dalam jiwanya jika ingin mendapatkan ridha dan surga-Nya, yaitu menata niat dengan tulus hanya karena Allah, bukan untuk mendapatkan harta dan kedudukan. Jika niatnya salah, maka Al-Qur’an tidak akan memberikan syafa’at kepadanya, justru laknat yang ia didapatkan. Imam Ibnu al-Jauzi mengingatkan lewat sebuah syair, sebagaimana dikutip oleh Mustafa Murad, kepada seluruh para “hamil” Al-Qur’an agar senantiasa menata niat dengan baik dan tulus dalam menghafal Al-Qur’an agar mendapatkan ridha dan surga-Nya.

عَظُمَتْ مصيبة حامل القرأن *** إن كان ملجؤه إلى النيران

"Besar musibah para penghafal Al-Qur’an, jika tempat kembalinya ke neraka."

فهي الجزاء لمن عصا رب العلا *** دار العذاب وموقف الخسران

"Ia adalah balasan bagi orang yang melakukan kemaksiatan kepada Tuhan yang Maha Tinggi, (kembali) ke rumah adzab dan tempat penyesalan."

عظمت خسارته وجل مصابه *** عند الصراط بظلمة وهوان

"Besar penyesalannya dan besar musibahnya, saat melewati “sirat” dengan gelap dan hina."

يارب عفوا عن قبيح فعالنا *** أنت الدليل لجنة الرضوان

"Wahai Tuhan, ampunilah, dari buruknya perbuatan kami, Engkau adalah petunjuk untuk menuju surga-Nya."

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...