Minggu, 07 November 2021

Falsafah Budaya Selikuran


Tradisi malam selikuran adalah tradisi budaya sekaligus religius yang penuh makna. Tentunya hal ini sangat istimewa, karena anda dapat menyaksikan bagaimana antara budaya dan religi saling bersatu dan menguatkan. Bagi anda penyuka kajian agama dan budaya, tentu tidak akan mau ketinggalan peristiwa ini .

Dalam menyemarakkan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, masyarakat berlomba-lomba mendapatkan malam kemuliaan (malam Lailatul Qadar), yang dalam al Qur’an disebutkan sebagai malam seribu bulan. Diantara cara untuk mengharap berkah dari turunnya Lailatul Qadar tersebut, masyarakat Jawa biasanya mengadakan sebuah kegiatan dengan mekukan malam “Likuran” (tradisi Selikuran). Merupakan salah satu tradisi luhur yang diwariskan dan tetap lestari hingga kini, seperti di Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan masyarakat pedesaan Jawa lainnya.

Tradisi Selikuran berasal dari bahasa Jawa yakni Selikur (sebutan bilangan 21), yang maknanya kurang lebih “Sing Linuwih le Tafakur”, sedang Tafakur artinya orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan begitu dalam melakukan ibadah puasa Ramadan kita benar-benar khusuk dan berkualitas, baik dengan memperbanyak sedekah, I’ktikaf di masjid, tadarus Alquran, dan lain-lain. Semua amalan itu merupakan upaya dalam memeroleh kemuliaan yang ada dalam Lailatul Qodar, sebab malam kemuliaan tidak dapat diperoleh kecuali dengan kesiapan rohani yang bersih juga suci.

Tradisi ini sesungguhnya sudah lama muncul seiring dengan masuknya Islam ke Pulau Jawa, yang dilakukan para Wali Songo dalam dakwahnya dengan menggunakan pendekatan budaya, yaitu menggunakan budaya Jawa untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dalam Bauwarna Adat Tata Cara Jawa karya Bratasiswara menyebutkan, Selikuran merupakan upacara adat peringatan Nuzulul Quran dalam maleman Sriwedari Surakarta yang digelar setiap tanggal 21 Ramadan. Ritual ini diilhami dari Serat Ambya yang menyebutkan tiap tanggal gasal (ganjil) dimulai sejak 21 Ramadan Nabi Muhammad SAW turun dari Gunung Nur, yaitu setelah menerima ayat-ayat suci Alquran (wahyu).

Selikuran dalam perspektif Islam adalah berawal dari Rasulullah Saw yang beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadan, Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Dan Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab sesuai yang ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw : “apakah kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut” (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.

Seiring perjalanannya, banyak warna dan bentuk pelaksanaan malam selikuran ini, misalnya upacara malam Selikuran yang dilaksanakan masyarakat pedesaan yang akrab dengan adat Jawa, yaitu masyarakat desa melaksanakan ritual kenduri di rumah setiap keluarga. Kenduri dengan hidangan nasi dan lauk-pauk yang disebut Rasulan, diadakan pada setiap malam tanggal ganjil, yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan berakhir tanggal 29 Ramadan). Ada juga pada acara selikuran dengan menyalakan lampu lampion (ting) dengan warna-warni disetiap rumah dan jalan-jalan. Disamping itu, tradisi jaburan juga mewarnai di dalamnya, yaitu upaya menyediakan konsumsi bagi acara likuran dengan cara gotong royong sistem giliran, dengan kuantitas dan kualitas jaburan seikhlasnya. Ada juga acara khataman, yaitu sebuah acara do’a bersama sebagai tanda selesainya membaca Alquran. Dan masih banyak lagi acara-acara yang dilakukan pada malam selikuran ini. Tentunya semua kegiatan tersebut sebagai upaya memperbanyak peribadatan kepada Allah dan penyucian diri.

Fase setelah masuk pada tahap sepuluh hari terakhir Ramadan (disebut malam kemuliaan), dalam tradisi Islam dipercaya bahwa siapa saja yang dapat meraih malam tersebut, akan mendapatkan kemuliaan yang sangat luar biasa dalam kehidupannya kedepan, sebagai pengalaman spiritual untuk bekal hidup di dunia dan akhirat, penuh dengan keselamatan dan kebahagiaan, juga dibebaskannya dari api neraka. Sehingga wajar ketika pada malam selikuran umat Islam tidak terkecuali masyarakat Islam Jawa mengadakan berbagai tradisi untuk menyambut datangnya malam kemuliaan, dengan penuh keseriusan dan keikhlasan.

Zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa memang membawa pengaruh besar terhadap segala aspek kehidupan masyarakat, terutama dengan dimulainya proses peralihan kepercayaan masa lalu ke Islam. Akhirnya hingga kini, konsep sinkretisme Islam Jawa masih terpancar kuat di dalam setiap ritual budaya masyarakat Jawa, termasuk tradisi selikuran sebagai kegiatan untuk menggapai malam kemuliaan yang penuh barokah dan kebaikan, yang dinilainya sama dengan ibadah seribu bulan.

Falsafah Makna Kembang Telon


Dalam falsafah hidup Jawa, berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur yang menurunkan adalah suatu ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup, tentunya akan sangat memahami apabila kesuksesan lahir dan batin tak akan bisa diraih apabila kita menjadi seorang anak atau generasi penerus yang durhaka kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya. Ungkapan rasa berbakti, tidak hanya diucapkan dalam ikrar doa-doa puji-pujian yang ditujukan kepada leluhurnya. Lebih dari itu, harus ada langkah konkrit sebagaimana telah saya posting dalam thread terdahulu dengan judul “ Membangun Laku Prihatin yang Pener dan Pas” dan Hubungan Leluhur dengan Kembalinya Kejayaan Nusantara.
Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji, yang dimaksud sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga masih dapat kita nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup kita.
Berikut ini adalah beberapa contoh menu persembahan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada leluhur. Masing-masing uborampe mempunyai ciri khas dan makna yang dalam. Tanpa memahami makna, rasanya persembahan sesaji akan terasa hambar dan mudah menimbulkan prasangka buruk, dianggap sesat, tak ada tuntunannya, dan syirik. Tetapi semua prasangka itu tentu datang dari hasil pemikiran yang tak cukup informasi untuk mengenal dan memahami apa makna hakekat di balik semua itu.
Kembang Telon
Kembang Telon adalah kumpulan bunga yang terdiri tiga macam bunga, yakni bunga mawar, bunga kantil dan bunga kenanga. 
Telon berasal dari kata telu (tiga), dengan harapan agar meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup (tri tunggal jaya sampurna) yaitu Sugih banda, sugih ngelmu, sugih kuasa (Kaya harta, Kaya ilmu, dan Kaya Posisi). 
1- Kembang Mawar
Mawar adalah dari kata “ sabar ” yang memiliki arti agar kita selalu bisa dan mampu mengendalikan diri dengan kesabaran. 
MAWAR (Mawi-Arsa) Dengan kehendak atau niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atauawar-awar ben tawar. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus. Jadi niat tersebut harus berdasarkan ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah” yang diharapkan datang dari tuhan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan baik. Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti belum mencapai ketulusan yang tiada batas atau keadaan rasa tulus pada titik nihil, yakni duwe rasa, ora duwe rasa anduweni (punya rasa tidak punya rasa memiliki) sebagaimana ketulusan tuhan/kekuatan alam semesta dalam melimpahkan anugrah kepada seluruh makhluk. Pastilah tanpa pamrih.
A. Mawar Merah
Mawar merah melambangkan proses terjadinya atau lahirnya diri kita ke dunia fana. Yakni lambang dumadine jalma menungsa melalui langkah Triwikrama. Mawar merah melambangkan ibu. Ibu adalah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga kita diukir. Dalam bancakan weton dilambangkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).
B. Mawar Putih
Mawar putih adalah perlambang dari bapa yang meretas roh kita menjadi ada. Dalam lingkup makrokosmos, Bapanya adalah Bapa langit, Ibunya adalah Ibu Bumi. Bapanya jiwa bangsa Indonesia, Ibunya adalah nusantara Ibu Pertiwi. Keduanya mencetak “pancer” atau guru sejati kita. Maka, pancer kita adalahpancerku kang ana sa ngisore langit, lan pancerku kang ana sa nduwure bumi. Sang Bapa dalam bancakan weton dilambangkan pula berupa bubur putih (santan kelapa). Lalu kedua bubur merah dan putih, disilangkan, ditumpuk, dijejer, merupakan lambang dari percampuran raga antara Bapa dan Ibu. Percampuran ragawi yang diikat oleh rasa sejati, dan jiwa yang penuh cinta kasih yang mulia, sebagai pasangan hidup yang seiring dan sejalan. Perpaduan ini diharapkan menghasilkan bibit regenerasi yang berkwalitas unggul. Dalam jagad makro, keselarasan dan keharmonisan antara bumi dan langit menjadukan keseimbangan alam yang selalu melahirkan berkah agung, berupa ketentraman, kedamaian, kebahagiaan kepada seluruh penghuninya. Melahirkan suatu negeri yang tiada musibah dan bencana, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.
2- Kembang Kantil
Kantil adalah bermakna “ eling ”, ingat akan sesama disekeliling kita, ingat akan keberadaan kita dan ingat akan apa yang kita percayai dan siapa yang telah menciptakan kita. Ingat kepada orang tua dan orang-orang tercinta kita.
Atau simbol pepeling bahwa untuk meraih ngelmuiku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani. Maksudnya, untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama atau perilaku yang utama). Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni curahan kasih sayang kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya.
Bukankah hidup ini pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk???.
Jika semua umat manusia bisa melakukan hal demikian tanpa terkotak-kotak ragam “kulit” agama, niscaya bumi ini akan damai, tenteram, dan sejahtera lahir dan batinnya. Tak ada lagi pertumpahan darah dan ribuan nyawa melayang gara-gara masing-masing umat manusia (yang sesungguhnya maha lemah) tetapi merasa dirinya disuruh tuhan yang Maha Kuasa. Tak ada lagi manusia yang mengklaim diri menjadi utusanNya untuk membela tuhan Yang Maha Kuasa. Yaah, mudah-mudahan untuk ke depan tuhan tak usah mengutus-utus manusia membela diriNya. Kalau memang kita percaya kemutlakan kekuasaan Tuhan, biarkan tuhan sendiri yang membela diriNya, biarkan tuhan yang menegakkan jalanNya untuk manusia, pasti bisa walau tanpa adanya peran manusia! Toh tuhan maha kuasa, pasti akan lebih aman, tenteram, damai. Tidak seperti halnya manusia yang suka pertumpahan darah !! Seumpama membersihkan lantai dengan menggunakan lap yang kotor.
3- Kembang Kenanga
Kenanga adalah bermakna “ tumengo ”, dalam arti kita harus bisa menengok ke kanan dan ke kiri, saling tolong menolong dengan sesama dan selalu bisa memaafkan. 
Keneng-o Atau gapailah..! segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya.Kenanga, kenang-ening angga. Bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua “pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).

Begitulah pelajaran berharga yang kini sering dianggap remeh bagi yang merasa diri telah suci dan kaya pengetahuan. Di balik semua itu sungguh memuat nilai adiluhung sebagai “pusaka” warisan leluhur, nenek moyang kita, nenek moyang bangsa ini sebagai wujud sikapnya yang bijaksana dalam memahami jagad raya dan segala isinya. Doa tak hanya diucap dari mulut. Tetapi juga diwujudkan dalam bergai simbol dan lambang supaya hakekat pepeling/ajaran yang ada di dalamnya mudah diingat-ingat untuk selalu dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di dalamnya penuh arti, sarat dengan filsafat kehidupan. Kaya akan makna alegoris tentang moralitas dan spiritualitas dalam memahami jati diri alam semesta, jagad nusantara, serta jagad kecil yang ada dalam diri kita pribadi.

Legenda Raden Djoko Budug Dan Putri Kemuning


Kabupaten Ngawi adalah sebuah kabupaten di bagian barat Provinsi Jawa Timur, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Kata Ngawi berasal dari “Awi”, yang berarti bambu. Hal ini karena, berdasarkan pendapat penduduk wilayah ini, wilayah Ngawi banyak terdapat pohon bambu.

Kota yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah ini, memiliki potensi pariwisata yang cukup beragam. Salah satunya adalah objek wisata Gunung Liliran yang jaraknya kurang lebih 47 kilometer dari kota Ngawi (Kecamatan Ngawi). Wilayah ini tepatnya terletak di Desa Ketanggung, Kecamatan Sine. Gunung Liliran merupakan objek wisata alam dan spiritual. Gunung Liliran memiliki latar belakang alam pegunungan yang sangat indah. Sejauh jangkauan pandang akan nampak hamparan sawah hijau dan sungai yang meliuk kearah utara menuju Bengawan Solo. Selain alamnya yang menarik, di tempat ini juga digunakan sebagai ritual setiap tanggal 1 Muharram (1 Syuro, menurut penanggalan Jawa).

Selain itu, tempat ini banyak dikunjungi, dalam sejarahnya Joko Budug mampu menyembuhkan sang putri namun kemudian ia dibunuh oleh patih raja. Sebelum meninggal ia bersumpah hanya mau dikuburkan apabila telah dinikahkan dengan sang putri. Sang putri yang berduka melarikan diri dari istana, dan akhirnya menghembuskan nafas di gunung Liliran. Akhirnya sepasang kekasih tersebut dimakamkan di gunung Liliran. Sejak saat itulah masyarakat menganggap tempat ini sebagai tempat keramat mengingat latar belakang sejarahnya.

Joko Budug nama lengkapnya adalah Raden Haryo Bangsal Putra Raja Majapahit.
Pada suatu ketika Joko Budug / R. Haryo Bangsal pergi dari rumah sampailah di desa Bayem Taman Daerah Sine Ngawi mampir ke rumah Mbok Rondo Dadapan sampai beberapa waktu.

KISAH JOKO BUDUG DAN PUTRI KEMUNING

Pada suatu zaman di daerah Ngawi, Jawa Timur, terdapat seorang raja bernama Prabu Aryo Seto yang bertahta di Kerajaan Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Ia mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Putri Kemuning. Menurut penduduk daerah Sine, Ngawi, tubuh sang Putri sangat harum seperti Bunga Kemuning. Suatu hari, Putri Kemuning tiba‐tiba terserang penyakit aneh. Tubuhnya yang semula berbau harum, tiba‐tiba mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Prabu Aryo(ayah Putri Kemuning) menjadi sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau pemuda yang mau menikahi putrinya itu.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Prabu Aryo, seperti memberikan putrinya obat‐obatan tradisional berupa Daun Kemangi dan Beluntas. Namun penyakit anaknya belum juga sembuh. Kemudian, Prabu Aryo mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya. Namun tidak ada seorang pun yang mampu menyembuhkan sang Putri. Akibatnya, perasaan Prabu Aryo Seto semakin resah. Ia sering duduk melamun seorang diri memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata wayangnya. Suatu ketika, tiba‐tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan.

Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah ruang tertutup di dalam istana. Pada saat ia larut dalam semedi, tiba‐tiba terdengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya. “Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto! Satu‐satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit putrimu adalah Daun Sirna Ganda. Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu.

Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun‐alun untuk mengadakan sayembara:

 “Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui tentang penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki‐laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,”                                                         
Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meskipun demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja. Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut adalah Jaka Budug.

Jaka Budug adalah pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di dalam wilayah Kerajaan Ringin Anom. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh Penyakit Budug(Gudig). Penyakit aneh itu sudah dideritanya sejak masih kecil. Meskipun demikian, Jaka Budug adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Selain itu menurut pendapat warga setempat, Jaka Budug adalah keturunan dari raja Majapahit pada masa kemundurannya.

Karena keadaan pada dirinya, Jaka Budug pun malu untuk menemui raja dan berkumpul dengan para peserta sayembara. Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga hari keenam sayembara itu dilangsungkan, belum satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar kabar itu.

Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu. “Ampun, Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban Sang Putri,” pinta Jaka Budug. Prabu Aryo Seto tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik‐bintik merah. “Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu. “Hamba Jaka Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Sang Prabu.

Pada awalnya, Prabu Aryo Seto ragu‐ragu dengan kemampuan Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekad yang kuat, akhirnya Sang Prabu menyetujuinya. “Baiklah, Jaka Budug! Karena tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” ucap Sang Prabu. Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan‐semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusakanya. Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat hati‐hati. Begitu ia mendekat, tiba‐tiba naga itu menyerangnya dengan semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus bertubi‐tubi menyerang sehingga Jaka Budug terlihat sedikit kewalahan. Lama‐kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun habis.

Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari Penyakit Budug(Gudig). Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Beberapa saat kemudian, naga sakti itu pun tewas seketika. Jaka Budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh badannya yang terkena penyakit budug. Akibtanya, seluruh badannya menjadi bersih dan halus serta tidak ada sedikit pun bintik‐bintik merah yang tersisa. Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat tampan.

Setelah memetik beberapa lembar Daun Sirna Ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang ke istana dengan perasaan gembira. Setelah tiba di istana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya tampan. Prabu Aryo hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, Prabu Aryo percaya dan terkagum‐kagum. Jaka Budug kemudian mempersembahkan Daun Sirna Ganda yang diperolehnya kepada Sang Prabu. Lalu, Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan Daun Sirna Ganda itu.

Setelah itu, tubuh Sang Putri kembali berbau harum seperti Bunga Kemuning. Setelah peristiwa itu, Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera akan menikahkan Jaka Budug dengan putrinya, Putri Kemuning. Kemudian, Prabu Aryo Seto memerintahkan Patih kerajaan untuk menjemput dan memandikan Jaka Budug. Karena Sang Patih memiliki pendengaran yang tuli, maka ia mengira bahwa raja memerintahkannya untuk membunuh Jaka Budug. Setelah menjemput Jaka Budug, dalam perjalanan Sang Patih pun membunuh dan menghabisi Jaka Budug di Sendang Gampingan.

Setelah kematiannya, Jaka Budug dibuatkan lubang kubur sepanjang orang biasa. Namun, jasadnya tidak muat jika dimasukkan kedalam lubang kuburan. Akhirnya, para penggali kubur pun menambah penjangnya hingga mencapai 11 meter. Menurut penduduk sekitar, hal ini terjadi karena adanya pelanggaran terhadap janji raja yang akan menikahkan Putri Kemuning kepada Jaka Budug. Akibatnya, Putri Kemuning pun juga melarikan diri dari istana dan melakukan aksi bunuh diri di Gunung Liliran. Setelah adanya kejadian itu, kedua calon suami istri ini pun dimakamkan di tempat yang sama yaitu di Gunung Liliran, Dukuh Gamping, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi.

 Sampai sekarang Makam Joko Budug yang berada di Gamping, Gunung Liliran banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai kalangan masyarakat. Hal itu dilakukan terutama pada malam Jum’at Legi dan bulan Suro. Mereka beranggapan bahwa makam ini mampu memberikan sebuah keberkahan kepada seseorang yang berdoa di atasnya.

Kisah Jaka Budug bukan hanya kisah percintaan biasa. Hal ini karena kisah ini merupakan sebuah perjalanan yang menceritakan kisah laki-laki dan perempuan yang sangat tragis dan penuh pembelajaran. Selain itu, beberapa tokoh luar biasa juga melatar belakangi mitos terjadinya beberapa tempat di Ngawi terutama di daerah Kecamatan Sine dan sekitarnya.

Dalam kisah ini juga mengandung nilai-nilai filsafat sosial, ritual mistis dan hubungan etik, serta masalah-masalah pikiran pokok manusia yang sulit di temukan jawabannya hingga sekarang. Selain itu, kisah ini juga melebihi  segala kisah sejarah yang terdapat di kota Ngawi. Bagi masyarakat Sine dan sekitarnya, kisah ini merupakan hikayat terbesar, yang akan terus di ceritakan dari mulut ke mulut hingga mencapai klimaks  dalam kisah kesalah-fahaman yang menakjubkan. 

Babad Gendingan (Riwayat Kanjeng Adipati Kertonegoro)


Sabubare prajanjen Giyanti tahun 1755 ana ing secedhake sungapan kali sawur lan Bengawan solo ana sawijining pawongan praajurit playon saka demak bintara bebodro ana ing kukuban kono kanthi ayem tentrem. Kabeh kang tinandur bisa urip subur, makmur rumongsa ora ono kang ngiganggu gawe pawon jan mau aran TOWILUYO. Rumangso urip ijen tanpo rowang , ora kurang pangan tur atine jenjem ayem, margo soko lor wis kaelet-eletan Bengawan Solo, soko kulon wis kecegat kali sawur, sing dadi tapel watese propinsi jawa tengah lan jawa wetan

Anuju sawijining wektu sing jumeneng ratu ing Mataram ngresakake tindak cangkromo ameng-ameng ngiras pantes niti prikso kahanane wilayah Mataram sisih lan nganti tekan sisih wetan. Gandeng wektu iku during ana rattan gedhe/aspalan, anane lagi dalan Deandels ing pesisir lor pulo Jawa saka Anyer tekan Panarukan sing dawane 1000 kilometer. Mula tindake sang Nata mau miyos/milir ing BeNgawan solo nitih prau kan arane KYAI ROJOMOLO lan ora ngagem Busana kerabon, mengkono ugo pandhereke ugo manganggo nawur kawulo.

Kocapo bareng tindake wis tekan sungapane kali Sawur. Kyai Rojomolo mogok ora gelem milir, tansah montang-manting, mula papan kono dijenengake ‘’MANTINGAN’’. Sang Prabu dhawuh marang Kyai Romojolo, besuk wae yen wis bali lan wis kemput anggone cangkromo niti prikso, lerem lan nyare/nginep ana kene. Sawise dhawuh mangkono Kyai R ojomolo lagi gelem milir/ngeli maneh nurut iline banyu Bengawan solo. Let sawetoro dino lakune prau tekan enggok-enggokan bengawan, praune notog. Pandhereke matur marang sang prabu ‘’Kandos pundhi notog mekaten sang prabu?’’Dhawuhe sang prabu ‘’ AYO TERUS LAJU’’ mulo papan kono di jenengake ‘’SIDOLAJU’’ Sidolaju iku sing asli lor bengawan, dene sing pinggir ratan gedhe iku Sidorejo.

Bareng olehe tindhak cangkromo ameng-ameng wis tutug, sang prabu sa rombongan ngresakake kondhor mudhik nyasak iline banyu Bengawan solo. Kocapo sabdho. Pandhito ratu, bareng wis tekan sungapane kali sawur Kyai Rojomolo mogok montang-manting. Sang prabu dhawuh marang pandhereke supoyo Kyai Rojomolo di keler minggir ngidul, lan dicancang sing kukuh supaya ora kintir.
Sawise Padha mentas ing dha ratan Padha Priksa tanduran kang lemu – lemu lan ijo royo- royo.

Mongko ana ing tengah alas gung Liwang- liwang adoh lor adohe kidul ora Mungkin yen ora di tandur dening manuso. Bareng mriksani tanduran mrono mrene Sang Prabu priksa kukus kumelun ing kadohan banjur bebarengan tindak menyang papane kukus mau.’’ Ora ana kukus lanpa geni ‘’.
Kaya opo kejat/ kaget penggalihe Sang Prabu bareng priksa ana omah/gubuk ana satengahe alas gung liwang Liwung. Sang prabu banjur uluk salam. Diwangsuli saka buri omah, amarga wektu. Iku sing duwe omah lagi abong- abong ana buri omah. Bareng mara menyang ngarepan, saiba nratape atine Towiluyo, dikira utusan saka Demak nggoleki dheweke. Kanthi gugup lan gemeter tamune diatur tindak mlebu ing omahe lan dijerengake kloso lampit saka blabakan kayu. Sawise wewanuhan lan Sang Prabu ora bloko menawa panjenengane ratu Mataram, amarga agemane nylamur kawula.Atine Towiluyo cumeplong,sebab tamune dudu utusan saka Demak.

Sang Prabu sapendereke nyare ana kono nganti seminggu. Penggalihe rena banget mriksani tetenduran sing seger lan ijo royo- royo tur uwohe ndemenake. Senajan dahare saben dina iya mung sing disuguhake sing ndewe omah. Segane saga menir, jangane jangan Bayem lan sisirane janten, sambele sambel wijen , iwake iwak kali lan manuk, lan mung dibakar/dipangan. Tur kabeh mau ora krasa asin, margo ora ono pasar, lan towiluyo ora wani metu solo alas kono. Unjukane banyu degan lan legen. Dene buahe semangka, krai,blewah,tomat lan sapanunggalane.

Bareng tekan wengi pungkasan ing minggu iku Sang Prabu dhawuh marang Towiluyo menowo ona kalodhangan supaya Towiluyo gelem sonjo ing daleme tamune iku. Mung diancer- anceri omahe madhep ngidul, ana gapurane, latare jembar banget, kulon latar ono masjide gedhe. Supaya isa mlebu gapuro iku Towiluyo diparingi pusaka jenenge “KYAI TELEMPAT”. Samangsa wis tekan gapura pusaka iku dituduhake wong sing jogo ana gapura kareben dieterake mlebu. Isuke sang Prabu sang rombongan pamet kondur .

Kacarita, Towiluyo wiwit tata- tata, kabeh tandhurane diunduhi disimpe ing jero omah, supoyo mengko yen ditinggal ora dirusak/dipangan kewan alas an. Bareng wis rampung olehe resik- resik banjur nemtoake dino seng bakal kanggon lungo mlaku ndarat ngulon parane. Malem dina sing wis ditemtoake, Towiluyo sewengi ora turu. Ngliwet, mbakar iwak kali lan iwak manuk, ugo nyambel wijen anggo sangu ono ing dalan. Amargo Towiluyo ora wani metu dalan sing rame, tur ora nduwe dhuwit, lan samar yen konangan wong Demak Bintaro.
Dadi olehe mlaku ya turut selip tengah alas.Bareng dietung-etung mlaku wis oleh 40 dina.Towiluyu lagi tekan latar jembar [alun-alun], banjur marani gapura. Pusaka ditudhuhake sing jaga gapura, banjur dieterake ing sawijining kamar sing ana burine omah gedhong gede magrong- magrong . Sawise reresik awak,wetenge krasa luwe, banjur bukak sangune, sisane sing wis dipangan ana dalan. Dilalah kersane Allah ana kaelokan segane sing digawa suwene 40 dina mau isih anget kaya lagi dietas saka kendhil bajur dipangan.

Seminggu suwene towiluyuo ono kono, durung dipethuake dhayohe seng dhisik wis tau nginep ing omahe Mantingan. Mangane saben esuk lan sore ono sing nladeni /ngeteri. Uga dheweke durung ngerti menawa ono ing sajeronong lingkungan kraton.

Kocapo,bareng wis seminggu sang prabu nganakae pisowanan agung ana ing pandhopo dalem kraton . lan utusan nimbali Towiluyu supaya marak ing kono wis kebak andher sing pada seba. Para mantri, bupati,sentana dalem dalah para prajurit tamtama kraton pirang-pirang brebada weruh kahanan kaya mangkono mau ndadak
Kaget, kather, raine pucet aclum saka wedine.ya wektu iku lagi ngerti yen kanging moro dhayoh ing gubhuke kae tibane ratu . Luwih-luwi bareng ditimbali maju ana ngersane sang prabu sing lenggah ana dhampar kencana pinaliphit sesotya, gek ngliwati para mantri, bupati lan para prajurit tamtama Kaya-Kaya ora kuat ngadheg , banjur brangkang laku dhodok.

Luwih-luwih weruh sang prabu ngagem busana keprabon sarwa gumebyar lenggah ana siti inggil binatu rata ngadhep dhampar kencana pinalipit ing sesotya . Ginarebeg ing para putri kang endah ing warni lan para emban cethi .ing ngadep marak ngersa patih [warangka dalem ] para mantri, bupati ,para sentono den apit-apit manggala yuda lan prajurit

Ringkasaning pasewakan sang prabu manuhake/ngenalake sawijining wong sing ana ngarsane iku jenenge TOWILUYU ,asal saka Mantingan lan nalika sang, prabu cang kromo nitih ROJomolo ,wis hate lerem lan nyare ana gubuge Towiluyu suwine seminggu.Amarga rojomolo mogok ora gelem mlaku , dadi sang prabu ngraos kepotangan budi deni towiluyu . sang prabu banjur ngediko jeneng Towiluyu mau sinengkakake dadi KYAI WITOWALUYO lan maringi mas picis rojobrono sarta duwit sakapil dinawuhan bangun gubuge. Sarehne wisudha dadi kyai uga didawuhi bangun MESJID .sing luwih wigati.

Maneh sang Prabu maringi Putri,supaya Kyai Witowaluyo ana kancane lan bisa ngolahake pangan saben dinane serta Putri iku minangka dadi bojone.Supaya ing besuk nduweni turun branahan ana ing wilayah Mantingan. Putri mau arane NYAI AGENG BUTUH.

Kacarita,swuse sawatara taun Kyai Witowaluyo lan garwane Nyai Ageng Butuh urip sakloron ing wilayah sungapane kali Sawur,banjur kagungan putra kakung.Gandeng kyai Witawaluyo maune darah Demak Bintoro lan Nyai Ageng Butuh darah Mataram sarta kahanane bale pomahane wis luwih apik tumata lan tentrem penguripane, putrane mau diparingi tetenger ARYO KERTONEGORO jumbuh karo kahanane kulowargo diopeni di gulowenthah.

Saka mareme putra siji tur kakung dadi kaya setengah di kaya diugung/diuja.Nanging senajan mangkono wagandheng wes ana mesjide, pendidikan lan ajaran agama islam diperdi banget.Dasar Demak iku Islam samono uga Mataram uga Islan.Saya mundhak gede lan akil balig, putrane saya katon.Kawigaten kewanen,keterampilan kanuragan apa dene bab pangerten lan tumindake ajaran agama Islam.

Kocapa ing antarane taun 1775 Masehi Aryo Kertonegara wis dewasa lan sinengkakake ing aluhur dadi ADIPATI ngrungkepi wilayah Kec.Widodaren, Kedunggalar, Kendal, Jogorogo, Ngrambe, Sine lan Mantingan saiki, dadi wilayah KADIPATEN kanthi jeluluk ; KANJENG TUMENGUNG ADIPATI ARYO KERTONEGORO.
Gandeng papan pendaleman Adipati iku akeh pakumpulan ; Wayang Wong, Kethoprak, Srandhil, Gambyong, Beksan, Tayub, Orek-orek, Wireng, Wayang Lulang lan akeh dhalang, sinden,ledhek, wiro pradonggon/niyogo, mula papan iki arane ; GENDINGAN

Tegese papan panggonan gending. Dene pendaleman mau mapan ana ing desa Gendingan, saiki sisih lor, pinggir bengawan Solo, margo durung ana ratan gedhe, dadi lalu lintas lewat banyu.

Dalan gedhe saiki iku gaweane penjajah Walondo. Mula desa saurute ratan gedhe aran, Pulerejo, Sambirejo, Sumberejo, Karangrejo, Sidorejo, Jrururejo/Jrubong, Ngadirejo sing maune sepi.
Mula nganti saiki Distrik/Kawedaran tetep Kawedanan Gendingan senajan kantor lan omah wedono manggon ing Walikukun, mergo nyedhaki stasiun sepur kanggo hubungan lalu lintase.
Tilas pedaleman Adipati Saben taun digunakake SANDRANAN yen pinuju bersih desa dening rakyat sakiwa tengene.Dene sakiwa tengene Rumah Dinas Kecamatan iku biyen ALUN-ALUN. Mula desa sakulone jenenge Kauman panggonan KAUM ngendhi wae desa/papan sakulone alun-alun jenenge Kauman Dene kantor desa Gendingan saiki sapengetan biyen Bui/Pangkujaran yen saiki Lembaga Pemasyarakatan , SDN Gendingan 1 biyen pasar aran PASARWAGE.

KTAA Kertonegoro uga kagungan kelangenan yaiku awujud KUDA/jaran aran KYAI PAGERWOJO lan KYAI CLUNTANG, dene sing wujud MAESA/kebo, aran KYAI JAMANG, uga kagungan andel-andel warangka Dalem “PATIH RONGGOLONO”

Kuburane Kyai Pangerwojo ono ing Pengkol kuburane Kyai Clunthang ono ing butuh,Puyang kuburane Kyai Jamang ono ing jamang Anti, Wetan Stasiun

Kyai Pagerwojo iku wujude jaran nanging kaya jaran sembrani. Yen dititihi bendarane kaya-kaya ora ngambah bantolo/lemah. Mulane digunakake yen tindak adoh. Ana sing ngandakake Gendingan- Ngawi mung limang jangkah.
Kyai Cluntang iku alus kaya dene tunggangane penganten jaman biyen , mulane ya mung dititihi yen tindak ameng – ameng sakiwo – tengene Gendingan wae.

Kyai Jamang kebo sing wujude gedhe kaya gajah, lemu sungune blangkrah .Endi papan sawah utawa tegalan apa kedhokan sing nate diliwati Kyai Jamang, sing maune lemah cengkar, dadi subur /loh jinawi yen ditanduri pari apa palawija hasile maremake lemu-lemu tur uwohe isine menthes. Terus ana tetembungan “PAK BO LE TUS” tipak kebo ana lelene satus, ya tipake Kyai Jamang.
Dene Warangka Dalem Patih Ronggolono iku sawijining uwong sing dhugdeng samalandheng. Ora tedhas tapak palune pandhe, sisaning gerendha tinatah mendat, jinara menter, dibacok mlorok, ditumbak lakak-lakak di sudhuk Keris mung mringis, di bedhil mecicil, mula ara aneh yen dadi andel-andele Kadipaten Gendingan . Lan Gamel/Srati/Pengarti titihane Patih Ronggolono aran GURMITO.

Anuju sawijining wektu KTAA Kertonegoro cangkromo/ameng-ameng nitih Kyai Cluntang ngiras mriksane saurute tapel wates Kadipaten Gendingan lan Kabupaten Blora. Gandeng sing dititihi Kyai Cluntang dadi lakune ya sareh/ora kesusu margo ngiras mriksani kaendahan alam . Dumadakaan kepethuk sawijining putri/wanito siang endah ing warni, busanane sarwo rapi mriyayeni, didherekake pra wanita lan priya sawatara. Iya ing wektu iku KTAA Kertonegoro ketaman panah asmara karo putri mau nanging ara kawetu. Dhasar isih joko durung kagungan garwo. Senajan lagi sepisan kepethuk tur ya durung tepungan, nanging tansah katok ing netra.
Bareng wis kondur ing Gendingan mundhut priksa marang Patih Ronggolono sapa putri sing kepethuk ana dalan tapel watese Kadipaten Gendingan lan Kabupaten Blora. Patih Ronggolono munjuk atur Manawa iku garwane Bupati Blora. Banjur mundhut tetimbangan marang patihe kepiye carane supaya isa anggarwo putri iku. Patih Ronggolono ora nayogyani apa sing dadi kersane KTAA Kertonegoro, sebab putri mau wis kagungan garwo. Kaya ngopo mengko dadi gunem rakyat Manawa klakon panjenengan ‘’Ngrusak pager ayu’’ ngrebut garwane liyan tur padha-Padha priyagung kang kinurmatan. Luwih-luwih Bupati Blora iku isih sadulur sapaguron.

Sang patih saguh ngupadi putri sing isih Kenya/legan sing luwih endah ayu ing warni kegem panjenengane.

Dhasar wiwit isih timur setengahe diugung/dipuja dening rama ibune, amarga putra tunggal utawa ontang-anting, bareng ngadepi masa puber lan wis ora tinunggon rama-ibu lan kagungan panguasa, bebasan didadhung medhot dipalangana mlumpat rawe-rawe rantas malang-malang putung.
Kanti nglimpe Patih Ronggolono,nuju sawijining wengi kanthi sesidheman lan tanpa ruwang KTAA Kertonegoro tindak Blora perlu dhusta garwane Bupati Blora. Keanehan kang ora tinemu nalar lumrah. Nalika semana putri iku sare ana sawijining kamar khusus piyambakan ing dalem Kabupaten Blora kanthi angler. mBok menawa pancen disirep blegonondo lan wayahe wes kliwat tengah wengi. Putri mau goib/musna satempat tidure kasur bantal gulinge ora ana sing kececer. Kang mongko lawang lan cendhela kamar mau tetep kakunci saka jero. Mula olehe konamgan to wes padhang,kok ora wungu-wungu sholat subuh. Gandheng wis padhang,lawang kamar dibuka peksa saka njaba.

Bareng wis kabukak lawange, saiba kagete kawulawarga ing dalem Kabupaten Blora. Sajerone kamar pasayeran putri iku, suwung brung, resik gemrining ora ana apa-apane sing kececer sealer-elero.

Kanjeng Bupati dhawuh ora pareng rame-rame. Mundhak keprungu teko sajabaning dalem Kabupaten. Ngilir semi/ngisin-isini. Luwih-luwih yen nganti aparat berwajib ngreti banjur kaemot ing berita , soyo gawe keplorote drajat. Bupati sampunggawane. Mongko dalem Kabupaten rina wengi ana upas sing jaga/piket, kok bisa kecolongan. Tur sing ilang dudu mas picis raja brana. Lan wektu iku Kabupaten Blora wis ana tangane penjajah Walondo.

Sejatine kanjeng Bupati Blora wis anggraita nanging ora dituduhake sapa-sapa mung kagem dhiri pribadi piyambak. Ora ana wong sing bisa tumindak pokal gawe kaya mengkono iku kejaba sedulur tunggal guru (sapaguron) yaiku Adipati Gendingan. Mula bab iki urusan pribadi lelorone. Lan bakal dirampungake kanthi cara pribadi, sadurunge pawarta sumebak getho tular. Amarga ana paribahasa sedawa-dawane lurung isih dawa gurung.

Kocap kacarita, Putri sing kaangkat setempat tidur, lan ubarampene iku nganti dilebokake ing jero kamar Kadipaten Gendingan durung wungu anggone sare Bareng wungu wayah subuh. Kaget lan bingung yen tempat tidur,kasur sak bantal gulinge,sepreine nyata kagungane,nanging kamare kok seje.Cete wae rupane ora padha karo kamar ing Blora.

Coba dipikir sedhelok.Ora ana setengah wengi mangka Biora tekan Gendingan iku ora cendhek,tur durung ana ratan gedhe,ngeliwati alas gung liwang-liwung,lan sing digawa dudu barang entheng,sing disare ana tempat tidur ora kaget,ora krasa lan ora wungu.Allahu Akbar.Mulane wong saiki akeh seng padha golek emas ana eng alas saurute Payak ngasbathok-Mengger sapengalor.Dudu harta karun.Nganging kira-kira ageman perhiasane putri iku padha kececer kesangkut wit-witan sing dhuwur ana alas kana.Mula akeh wong seng padha dhudhuki lemah ing antarane wit-wit jati nganti kaya didhangir.Kaya dhek jaman Jepang wong-wong diprintah golek iles-iles ana ing alas.Mangka wayahe ketigo ngerak,dadi wit tethukulan padha garing.

Patih Ronggolono bareng ngreti lan weruh kedadeyan iku ngrerepa lan ngarih-arih marang KTAA Kertonegoro,gek kaya ngopo ngrantes lan sedhihe Putri iku ana panggonan sing durung diwanuhi,adoh bojo lan sanak kaluwargane.Luwih-luwih ing Kabupaten Blora,kaya apa dukane Bupati Blora kelangan garwa tanpa kanyana-nyana.Mongko sedulur tunggal guru tur luwih sepuh ketimbang panjenengane,ya yuswane ya Kasektene .mongko Biora wis kajajah bangsa walondo.

Mengko gek “Nabok nyilih tangan”menyang kumpeni walondo supaya ngrabasa menyang Gendingan. Mangka kadipaten Gendingan iseh bebas durung dijajah walondo nalika iku , senajan Ngawi ,Madiun,Magetan , Ponorogo sapengtan wis dijajajah walondo. Dene Kadipaten Gendingan isih merdeka durung dijajah Walondo.

Kanthi cara alus lan premati Patih Ronggolono olehe caos pengarih-arih supaya Putri Blora dicaosake bali marang garwane. Saka trapsila lan pengati –atine Patih Ronggolono nganti ora nyenggol penggalihe KTAA Kertonegoro .Malah bias luluh kaya “hagnisiniramwarih”

Kacarita, ora gantalan dina Bupati Blora rawuh temenan ing Kadipaten Gendingan . “Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti”. Rawuhe kanthi pasuryan kang sumeh, grapyak semanak, ora ngatonake duka utawa sengit apa maneh kemropok muna-muni, kaya lumrahe wong kelangan, banjur gregetan mampang-mampang . dhasar priyayi luhur ing budi, cocok karo wulangan agama sing dianut. “Dentresnaa marang satrunira”ber budi bawa leksana ", mula sing kagungan dalem olehe ngacarani tamune kecipuhan,tumungkul mari kelu, nglendheh karo kalupatane. Ing bathos mbenerake ature Patih Ronggolono. Rumangsa durung bisa meper hawa nafsune sawutuhe.

Pepuntone senajan Bupati Blora durung ngendika menawa rawuhe ing Gendingan arep mundut bali garwane. KTAA Kartonegoro wis luwih disik ngaturake kekhilafan lan mugi pinaringan pengapura sing sa akeh-akehe, sawutuhe kanthi andhap asore penggalih. Rumangsa kalindhih ing kawibawaan. Ngaturake bali garwane Bupati Blora, Lan sapungkure ora ana rasa sengit uawa dendham kesumat

Kocapa saradhadu kumpeni walanda ing ngawi tansah ngreka daya supaya bisa nelukake kadipaten Gendingan.Amarga saben nyerang mangulon menyang Gendhingan tansah gagal jugar wigar ora bisa nelukake. Luwih-luwih bareng krungu lan ngerti bab kedigdayan lan kesektene Patih Ronggolono.

Anuju sawijinng dina kumpeni lan Bupati Ngawi,Madiun lan Magetan nganakake perundingan manggon ing Kabupaten Ngawi..
Asline tujuan perundingan yaiku ; Kertanegara lan Ranggolono kudu di pisahke.Carane kapriye?
Bupati Ngawi rewa-rewa /ethok-ethok duwe gawe mantu gedhen-gedhan. Residen lan Bupati serta wedana saka karesidenan Madiun diulemi/di undang, klebu Adipati gendingan sing durung kapikut penjajah Walondo. Dadi ya residen Madiun,Kediri,Bupati Madiun, Tulungagung, Magetan, Ponorogo,Pacitan,nganjuk, Kediri,,Blitar lan Sapanunggalane.

Karo ngenteni dina dhaupe pengantenan palsu iku, disiapke ubo rampene akeh banget. Kayata: pasang terop, golek gamelan, niyogo ledhek lan sapiturute.

Kumpeni nganakake telik sandi/mata –mata ,turut ,alas ,nganti tekan cedhak Gendingan.
Suwe-suwe telik sandi mau mrangguli gamel/srati yoiku tukang ngaritake jarane patih Ronggolono, sing jenengi GURMITO. Gurmito dicekel,di dhedhes. Olehe ngarit iku sukete arep di edol apa keperiye, kok dipilih suket sing ijo-ijo lan sing enom-enom . Gumito ngaku kanggo pakan jaran.
Lan jarane sapa ? tukang ngarit mangsuli .jarane patih ronggolono

Bareng tekan kene telik sandine olehe nyekeli awake Gurmito saya kenceng .jarane lanang apa wedok ? saka wedine. Jarane lanang .
Saya tambah kenceng olehe ngruket awake Gumirto .pitakon sing pungkasan , Gurmito entek getihe.

Pengapesan Ronggolono ana ngendine ? yen kowe ngaku /nudhuhake pengapesane tak wenehi dhuwit 3 ringgit (Rp.7.50 ) .Jaman semono dhuwit semono iki di tukokake sapi oleh 2 (loro ) ,yen ora ngaku kowe tak pistol. Gurmito tukang ngarit tur ora tau mangan sekolahan bodho banget. Mula abot nyawane gelem dhuwite .
Pengapesane ana dhestar iket blangkon.
Gurmito Dieculake nompo dhuwit ringgit perak 3 (telu ). Bungah ngethipyah ora sido mati oleh oleh rejeki. Terus mulih, sukete ditinggal sakranjange Lan ora bali menyang kepatihan.
KTAA Kertonegoro sawise nampa ulem/undangane dituduhake marang Patih Ronggolono. Gandeng sadurunge winarah,nyaosi wawasan marang KTAA Kertonegoro menawa ulem iku mung siasat saka kumpeni supaya kersa ngrawuhi.


Nanging KTAA Kertonegoro kumat/kambuh olehe deksura, ora kersa dhahar ature Patih. Malah ngendika arep nyumbang kerawitan utawa apa sing dikersakake Bupati Ngawi,supaya katon Gendingan sugih/nggon gending. Ning kepiye ngangkute?


Sarojo Bupati Ngawi arep tata-tata olehe arep rewa-rewa mantu, saradhadhu kumpeni rapat ngatur siasat bahane saka asile telik sandi sing mekso Gurminto. Supoyo mengko pas gawene bupati rancangan wis dadi, kari ngecakake,cocok karo dino, tanggal lan sasi sing katulis ana undangan.

Pupuntoning rapat :

1. Kertonegoro budhale menyang Ngawi mesthi metu sisih kidul. Jalaran alas rada padhang, wite jati wis arang-arang.

2. Kumpeni kudu ngirim pasukan lengkap Menyang Gendingan metu sisih lor nurut pinggire Bengawan Solo.

3. Jarane ora kena nyabrang kali Bibis, kudu nggawa jaran wedok, kanggo mincing.

4. Kumpeni ora kena nyabrang kali Bibis, kudu bertahan ana sebrang wetan.

5. Pengapesane Ronggolono ana ing dhestar/iket. Kumpeni kudu nggawa piranti sing kena didhawakae lan dicendhakae kaya antene radio nanging luwih gedhe lan dawa.

6. Dalem Kabupaten Ngawi sing kanggo ropyan kudu dikepung kumpeni, nanging aja kawistara. (Baris pendhem).

7. Sawayah-wayah kertonegoro munggah ing pendhapa kabupatan panggonan pasamuan terus dikroyok Kumpeni sing baris pendhem.


Mangkono siasate Kumpeni walondo anggone arep misahake Kertonegoro lan Ronggolono , hasil rundhingane Kumpeni lan para Bupati ana Kabupaten Ngawi sing dhisik.


Kacarita, dina temphuke gawe ing Ngawi manut ing katulis ana ing undangan, dina, sasi lan jam temune penganten jam 08:00 esuk. Mula KTAA Kertonegoro mekso tindak. Dipenggak Patih Ronggolono ora paelu, malah sajak duka. Patih matur arep dherek ora pareng. Kadipaten mundak suwung.


Patih arep mrentahake sawatara prajurit supaya dherekake,uga ora pareng.Malah digetak-getak wong arep jagong manten kok kaya nglurug perang.KTAA Kertanegoro terus tindak esuk sadurunge jam 08.00 miyos kidul kanthi nitih jaran kelangenane Kyai Pangerwojo.


Kocapo ora sawetara suwe saka tindake Adipati Gendingan,lan kira-kira wis krungu suwarane bedhil pating jledhor.Pratandha Kupeni bakal nyerang Gendingan.


Patih Ronggolono kaget lan gugup.Banjur nyametakake prajurit pirang-pirang bregada. Ditunggu-tunggu Kumpeni Walondo ora ana nyabrang menyang kulon kali.Mung suwara bedhil ing brang wetan sing saya nggegirisi,sing sajake nantang marang prajurit Gendingan.Patih Ronggolono ora sronto,ngabani lan mimpin prajurit maju mengetan tekan pinggire kali Bibis.


Nanging Kumpeni ora gelem ngincerake bedhile menyang kulon kali.Mung Kumpeni sing wis ditugasi nunggang jaran wedhok pada sesingan ana sapinggire kali ana brang wetan.


Gandeng sing dititih Patih Ronggolono jaran lanang,weruh jaran wedok pirang-pirang padha jejogedan ana brang wetan.Patih Ronggolono ora kuat/ora kuwawa mekak/ngendaleni titihane, mbedhal nyabrang ngetan. Nanging jaran wedok-wedok sing ana brang wetan diunggahake mentas ngetan.Pancen siasat perang. Tur Kumpeni sadurunge wis diatur miturut keputusan rapat sak petugas-petugase.


Jaran sing dititihi Patih Ronggolono saya rikat olehe ngrubyung nyabrang bareng weruh jaran wedok padha mentas. Bareng jarane Ronggolono tekan pingir wetan durung nganti mentas, kanti singrak petugas kumpeni sing nggawa antene sing maune ora katon, margo durung diodod,banjur nyunthik iket/blakon Ronggolono saka ndhuwur perengane kali nganggo antene mau.


Iket nyemplung banyu kali, Ronggolono nggeblak saka geger jaran kejegur menyang banyu kali dikroyok kumpeni pirang-pirang. Jasate ronggolono dicacah-cacah ngango pedangdening Kumpeni. Prajurit Gendingan sing isih ana brang kulon padha tinggal glanggang, margo dibrondong bedhil dening Kumpeni saka brang wetan. Rakyat padha ngungsi tetangisan amarga kelangan patih sing maune tansah ngayomi rakyat.


Sawuse sepi ora krungu suwarane bedhil rakyat padha nggoleki lan ngumpulake cuwilan kulit, daging lan balung jasade Ronggolono. Sawise nglumpuk kabeh, manut pasarujukane rakyat aja dikubur ana kene. ora urung mengko diparani Kumpeni sing isih Ngigit-igit kempropoke ,kubure biso biso dikrocok bedhil .


Mula jisime banjur disingitake digawa ngidul ,dikubur ana jabal kadas wilayah Ngrambe .Mulane nganti tekan seprene papan panggonane sedane patih Ronggoolono karan KAJANGAN marga biyen kanggo ajang- perang antarane prajurit Gendingan lawan kumpeni walondo .


Kocap kacarita ,tindake KTAA kertoegoro tekan alun-alun Ngawi wis midhanget suwarane gamelan nganyut-anyut saya disengkakake tindake ,supaya ora kepancal temune penganten . bareng wis tekan pelaratan kabupaten ,panjenengane medhak,kyai pagerwaja dituntun, amarga neng kana wis kebak uwong jejel riyel . Terus tindak nuju pojok kidul wetan pendapa , ing kana ana wit tanjung .pagerwojo di cancang ono wit tanjung .


Tekan saiki watara wis luwih telungatus taunan ,wit tanjung iku isih cedhak pendhapa sisih kidul wetan .Wite dhoyong amargo oyote lajer wis pedhot .

Ing tengahe pendhapa priyayi-priyayi sing padha bekso manut iramane gending wis padha mendem suwarane rame banget .


Dhasar ledheke ayu-ayu kathik pirang-pirang ngadek kabeh suwarane gamelan kaya mbedhahne kendhangan kuping ,saka serune olehe nabuh .


Sadurung munggah pendhapa KTAA kertonegoro mriksani kana-kene , ing penggalih ngudarasa kok ora Ana among tamune ,kok ya ora ana penganten sing,lungguh jejer ana pelaminan opo wis bar temu manten ,wong wis jam 09 .00 .Malah papan kanggo nglungguhake manten wae ora ana .


Gandheng sedyane jagong nganten dadi panjenengane ora ngagem busana Adipati tibake para bupati lan tamu tamu liyane iku durung ngerti kanthi trewoco marang Adipati Gendingan ora ana sing sapa aruh .


Sarehne ora ana among tamu ,Adipati kertonegoro terus tindak munggah tlundhakan pendhapa mekso ora ana sing sopo aruh margo padha mendem Adipati kertonegoro tindak menyang panggonan sisih mburi /sisih lor. Salaman tetepungan karo sing padha lenggahan mboko siji nganti rampung .ora ngerti sangkane bilahi ,lan embuh sapa sing menehi isyarat /kode marang kumpeni sing baris pendhem sakupenge dalem kabupaten Ngawi ,padha ngebyuk munggah ing pendhapa. Nanging ora ana suwarane bedhil margo rakyat sing nonton kebak andher.


Sanalika geger dadakan . suwarane kumpene sing ora bisa cara jawa lan durung weruh sing endi Adipati Gendingan iku campur suwara gamelan ,ledhek lan wong mendem ;suwara niyopo sing nyenggaki ya wis pada mendem oleh muni mung waton mbengok, ora runtut .


Kacarita Adipati Gendingan dikroyok ,dieneng-eneng dening Kumpeni tansah dikipat-kipatke, diedu kumba, dijeblosake tembok, dijegal, ditendang dening Adipati Gendingan. Coba wong siji tanpa gaman dikroyok kumpeni Walando sing cacahe atusan. Malah Bupati lan Wedana akeh sing padha tatu. Jalaran ya kuwi Kumpeni during/ora ngreti sing endi Adipati Gendingan iku, angger Bupati utawa Wedana sing menggango ora kaya kumpeni ya kuwi seng diamuk, disengguh/dikira Adipati Gendingan. Menawa pancen wis ditemokake yen kumpeni ora oleh nggowo bedhil utawa senjata tajam. Mosok Kumpeni atusan ora bisas nyekel wong siji. Kira-kira mangkono penemune panggedhe Kumpeni Walondo.


Kocopo, Kyai Pagerwojo sing dicancan ana wit tanjung, bareng weruh bendarane dikroyok wong pirang-pirang, banjur nylenthak ngiwa nengan, mobat-mabit, nganti wite tanjung dhoyong, oyot lajere (akar tunggal) pedhot,bareng karo pedhote tali sing kanggo nyangcang gulune Kyai Pagewojo. Bareng wis lepas terus moro nyedhak pendhapa Kabupatan sisih wetan, karo mbeker sarosane.


Ora sronto, Adipati Gendingan midhanget pembekere lan priksa titihane wis lepas nyerak pendhapa pendhapa. Sakedhep netra mlumpat ing gegere Kyai Pagerwojo, terus kebandangake saka papan kana, kundur menyang Gendingan mung limang jangkahe Kyai Pagerwojo.


Malah pegawai Purhutani ana sing kondho menawa tilas tracake Pagerwojo iku ana ing wit-wit jati sisih nduwur, ing ngendi papan dilewati nalika iku. Jare wit-wit iku ora oleh ditegor tekan saiki.


Bareng tindake Adipati Gendingan wis tekan alun-alun Gendingan durung nganti mudhun saka gegere Kyai Pagerwojo wis ginarubyuk prajurit lan rakyat Gendingan, klawan tawan-tawan tangis pating glero, pating jlerit . Sawise mundhut priksa apa sebabe padha nangis kaya lampor. Kaya tanpa diabani, caos atur uninga/wangsulan bareng kaya-kaya mbedhahake kendhangan kuping “PATIH RONGGOLONO SEDA” diperjaya kumpeni.


Sanalika KTAA Kertonegoro sigeg, tan kuwowo ngendika, megeng napas, ngampet deduko. Jaja bang mawing-wingo, netra kocak ngondhar-andhir waja kerot-kerot. Ing galih arso mundhut priksa., sapa sing wani-wani mbocorake/nuduhake pengapesane Patih Ronggolono, nanging ora kawiyos. Ngawuningani kaya mengkana iku, sing mauni padha nangis “cep klepek” kaya binungkem ing syetan, ora cemruwit lan ora kemleset. Ana kahanan kang hening, sepi mampring iku KTAA Kertonegoro mendhar sabdo: “SAPA WONG SING NUDHUHAKE PENGAPESANE PATIH RONGGOLONO, INGSUN SEBDA-AKE MARANG KANG MAHA KAWASA, ANANDHANG CACAT WUTO NETRA NGANTI PITUNG TURUNAN”


Wong sak alun-alun datan ana sing kumecap lan kumleset,kaya-kaya ngampet ambegan ngrungokake sabda pangandika sing nganti cetha wela-wela lan wijang kang miyos saka lathine KTAA Kertonegoro ing tengah alun-alun.Suwarane gumleger kaya bledheg nyamber ing mangsa ketiga ing tengah rahina.Sabubare iku rakyat kadhawuhan bali kabeh mulih menyang wismane dhewe-dhewe.Adipati Gendingan kaderekake sawetara prajurit,kondur ngedhaton ing dalem kadipaten.


“Sabda pandhita ratu,tari wola-wali mesthi nrenjuhi”


Nyatane ora gantalan minggu wong-wong padha weruh manawa Gurmito ngalor ngidul tekenan lan dituntun dening keluwargane.Mongko sadurunge isih awas lan umure durung pati tuwa,tur sugih dadakan.


Mula panyakrabawane wong akeh iya Gurmito iku sing mbocorake pengapesane Patih Ranggolono. Dhasar dheweke dadi gamel lan pangarite titihane. Nanging gandheng wis nampa sabda,ya ben dilakoni,mongko 7 turunan.


Sabubare kadadeyan-kadadeyan sing wis kawuri, KTAA Kertonegoro ing batos penggalihe tansah mbenerake apa-apa kang dadi caos atur pramayoga saka Patih Ronggolono.La piye maneh “Pecut Diseblakna, wis kebacut dikapakna”(nasi telah menjadi bubur). Digethunana ya tiwas nggrantes rumaos durung kuwawa nyegah hardening hawa napsu, dadi ya mbeguguk makhutho waton, , sapa sira sapa ingsun, kumalangkung.


Wis penggalihe ngenes , midhanget menawa jisime Patih Ronggolono dicacah- cacah, paribasan dadi sakwalang-walang dening kumpeni walando. Osike penggalih :menawa ingsun tetep nglenggahi dalem kadipaten Gendingan mangka wis ora kagungan andel-andel , mengko gek sakwayah-wayah kumpeni patroli mrene, banjur ingsun dicekel, marga nalika ing pendhapa Kabupaten Ngawi gagal. Saking kemropoke kumpeni ingsung dicacah-cacah ,harak mati konyol.


Mula anuju sawijining dina panjenengane ngersakake tirah/ngungsi menyang jogorogo. Sawatara suwene ana kono marga hawane addhem ketimbang Gendingan. 


Saya sepuh yuswane lan penggalihe mung tansah emut gek kepriye Manawa kepregok kumpeni Walondo mangka Ngawi mengidul tekan Madiun mengulon tekan magetan wis ana tangane Kumpeni Walondo . Mulane banjur ngresakake tindak mengulon menyang ngrambe ngiras pantes nyeraki sareyane Patih Ronggolono ing jabal kadas. Sawetara wektu lenggah ing Nrambe , penggalihe rongeh maneh. La yen kumpeni patrol tekan Gendingan mangka dalem Kadipaten suwung , harak digoleki ditakokake rakyat. Mangka saka Gendingan bablas mengidul tekan Ngrambe, marga wektuiku Walikukun durung ana, jalaran durung ana sepur. Stasiun- stasiun iku gaweyane Walondo. Mula banjur nglerek mengulon maneh menyang Sine . Saya sepuh saya pikun ndalem ana sine. Akhire puput yuswa/seda ana sine. Dening masyarakat Sine supaya sareyane ora kinaweruhan/ konangan kumpeni Walondo, jenazahe disarekake ana“GUNUNG SAREYAN” Wilayah sine. Dudu gunung Liliran , Gunung Liliran iku makame joko budug asal Majapahit. Yaiku wilayahe sang prabu Arya Bangah lan Patihe aran Patih keborejeng . Mula ing kene uga ana Desa kauman, biyen ya kulon alun-alun. 

Penjelasan Syahadat Lima


Dari 'Ubaadah bin As-Shaamit radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam bersabda:

من شهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له وان محمدا عبده ورسوله وان عيسی عبد الله ورسوله وكلمته القاها الی مريم وروح منه والجنة حق والنار حق ادخله الله الجنة علی ما كان من العمل

"(1) Barangsiapa yang bersaksi tidak ada sesembahan yang benar selain Allah,  ada sekutu baginya, (2) dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya, (3) bersaksi bahwa 'Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya, serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam dan ruh yang diciptakan-Nya, (4) bersaksi surga itu benar adanya, (5) dan bersaksi neraka itu benar adanya, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam surga sesuai dengan kualitas amalannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syaikh 'Abdullah bin Jaarullah, "Makna bersaksi yakni mengucapkan kalimat syahadat dengan mengetahui maknanya dan mengamalkan kandungannya secara lahir maupun batin. Kata "syahida" (شهد) menunjukkan, suatu persaksian tidak dianggap sah kecuali didasari ilmu, keyakinan, ikhlas dan pembenaran.

Laa ilaaha illallaah artinya tidak ada sesembahan yang "benar" selain Allah (bukan tidak ada Tuhan selain Allah). Maka mengucapkan kalimat syahadat jika tanpa mengetahui maknanya, tanpa didasari keyakinan dan tidak menjalankan konsekuensinya berupa sikap "Al-Baraa'" (berlepas diri) dari segala bentuk kesyirikan serta mengikhlaskan perkataan dan perbuatannya hanya untuk Allah, maka syahadatnya sama sekali tidak bermanfaat.

Persaksian bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya (utusan-Nya) mengonsekuensikan seseorang beriman kepada beliau, membenarkan semua yang dikabarkan, menaati yang beliau perintahkan, meninggalkan yang beliau larang. Beliau adalah seorang hamba, yakni tidak boleh disembah, namun beliau juga seorang rasul (utusan Allah), yakni tidak boleh didustakan, wajib ditaati dan mengikutinya.

'Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Persaksian ini membantah keyakinan Nashaara terhadap 'Isa 'alaihissalam yang dianggap sebagai Tuhan atau anak Tuhan atau salah satu dari tiga oknum (trinitas), karena beliau adalah hamba-Nya. Juga membantah anggapan orang-orang Yahuudi yang menuduh beliau sebagai anak zina, karena beliau adalah Rasul-Nya. Keabsahan Islam seseorang sangat ditentukan oleh sikap berlepas dirinya dari keyakinan dua kelompok tersebut. Sedangkan kalimat-Nya adalah perkataan Allah, "Kun!" (jadilah!), maka jadilah ia. Allah menciptakan 'Isa dengan kalimat yang disampaikan kepada Maryam melalui malaikat Jibriil, setelah beliau mendapat perintah Allah untuk meniupkan ruh ciptaan-Nya kepada Maryam.

Bersaksi bahwa surga yang diberitakan Allah dalam Al-Qur'an sebagai tempat yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa adalah benar adanya dan tidak ada keraguan. Begitu pula neraka yang Allah beritakan dalam Al-Qur'an sebagai tempat orang-orang kafir, tidak ada keraguan padanya.

Maka orang yang bersaksi dengan kebenaran 5 kalimat syahadat tersebut, ia akan masuk surga sesuai dengan kualitas amalannya. Ahlut Tauhid (orang yang bertauhid dengan manhaj yang benar) pastinya akan masuk surga, hanya saja sesuai dengan amalannya. Ada yang mendapat derajat lebih tinggi, ada pula yang lebih rendah. (Al-Jaami'ul Fariid hal. 15-17)

Kandungan syahadat

Ikrar

Ikrar adalah pernyataan seorang muslim mengenai keyakinannya. Ketika seseorang mengucapkan kalimat syahadah, maka ia memiliki kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang ia ikrarkan.

Sumpah

Syahadat juga bermakna sumpah. Seseorang yang bersumpah, berarti dia bersedia menerima akibat dan risiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut. Seorang muslim harus siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam.

Janji

Syahadat juga bermakna janji. Artinya, setiap muslim adalah orang-orang yang berserah kepada Allah dan berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah beserta segala pesan yang disampaikan oleh Allah melalui pengutusan Muhammad.

Persaksian

Syahadat juga bermakna penyaksian. Artinya, bahwa setiap muslim menjadi saksi atas pernyataan ikrar, sumpah dan janji yang dinyatakannya. Dalam hal ini adalah kesaksiannya terhadap keesaan Allah dan terhadap kerasulan Nabi Muhammad.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...