Minggu, 07 November 2021

Sejarah Penulisan Alqur'an


Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, ketika wahyu / al-Qur’an masih turun, al-Qur’an dicatat oleh penulis wahyu, tersimpan di dada-dada para sahabat yang menghafalnya, juga ditulis di tulang-tulang dan kulit.

Jam’ul Qur’an Periode Nabi.

A. Pengumpulan dalam dada.

Secara kodrati, bangsa arab memiliki daya hafal yang kuat. Hal itu dikarenakan sebagian besar dari mereka buta huruf atau tidak dapat membaca dan menulis. Sehingga dalam menulis berita, syair, atau silsilah keluarga mereka hanya menuliskannya dalam hati. Termasuk ketika mereka menerima ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Dalam kitab shahih Bukhari, dikemukakan bahwa terdapat tujuh Huffaz melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda.

B. Pengumpulan dalam bentuk tulisan

Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari para sahabat pilihan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman,Ali, Abban bin Sa‘id, Khalid bin Sa‘id, Khalid bin al-Walid, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Selain penulis wahyu, para sahabat yang lainnya pun ikut menulis ayat-ayat al-Qur’an.Kegiatan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi:

لَا تَكْتُبُوْاعَنِّي شَيْئًاإِلَّاالْقُرْاٰنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي سِوَى الْقُرْاٰنَ فَلْيَمْحُهُ.

Artinya :

“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (H.R. Muslim)

Diantara faktor pendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi adalah :

1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis di tempat tertentu.

Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad, yaitu :

1. Riqa, atau lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).

2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas.

3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.

4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.

5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.

6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.

Para sahabat menyodorkan al-Qur’an kepada Rasulullah secara hafalan maupun tulisan. Tetapi tulisan-tulisan yang terkumpul pada jaman nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, dan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki yang lainnya.

Jam’ul Qur’an periode Abu Bakar Ash-Shidiq

Pasca wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan bangsa Arab beralih kepada Abu Bakar. Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapkan oleh kemurtadan yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Abu Bakar pun segera mengerahkan pasukan untuk menumpas kemurtadan. Perang itupun dikenal dengan sebutan Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 11 H/633 M.

Dalam perang tersebut, sekitar 70 orang Huffaz mati Syahid. Umar bin Khattab merasa khawatir atas peristiwa ini. Maka Umar mengadukan kekhawatirannya tersebut kepada Abu Bakar.

Kita akan ambil dari Shahih Bukhari sebuah riwayat yang menjelaskan awal kejadian pengumpulan al-Qur’an:

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ مِمَّنْ يَكْتُبُ الْوَحْيَ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ وَعِنْدَهُ عُمَرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِالنَّاسِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ فِي الْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ تَجْمَعُوهُ وَإِنِّي لَأَرَى أَنْ تَجْمَعَ الْقُرْآنَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفَنِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلَانِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ اللَّهُ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ { لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ } إِلَى آخِرِهِمَا وَكَانَتْ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا الْقُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ تَابَعَهُ عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَاللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ وَقَالَ مُوسَى عَنْ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ وَتَابَعَهُ يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَقَالَ أَبُو ثَابِتٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ وَقَالَ مَعَ خُزَيْمَةَ أَوْ أَبِي خُزَيْمَةَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ibnu As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an." Abu Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Umar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik." Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)." Zaid berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Abu Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar. Diriwiyatkan pula oleh 'Utsman bin 'Umar dan Al Laits dariYunus dari Ibnu Syihab; Al Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdur Rahman bin Khalid dari Ibnu Syihab; dia berkata; ada pada Abu Huzaimah Al Anshari. Sedang Musa berkata; Dari Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab; 'Ada pada Abu Khuzaimah.' Juga diriwayatkan oleh Ya'qub bin Ibrahim dari Bapaknya. Abu Tsabit berkata; Telah menceritakan kepada kamiIbrahim dia berkata; 'Ada pada Khuzaimah atau Abu Khuzaimah. (Shahih Bukhari, Hadits No. 4311).

Jati diri Zaid bin Tsabit begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut pada Zaid bin Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini Zaid bin Tsabit dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah:

1- Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi prima)
2- Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap anda”.
3- Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.
4- Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
5- Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual

Seperti diceritakan diatas, pengumpulan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid atas arahan khalifah. Waktu pengumpulan Zaid terhadap al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun. Hal ini dikarenakan Zaid bin Tsabit melakukannya dengan sangat hati-hati. Hal yang pertama kali Zaid lakukan adalah mengumumkan bahwa siapa saja yang memiliki berapapun ayat al-Qur’an, hendaklah diserahkan kepadanya. Ia tidak akan menerima satu ayat pun melainkan orang tersebut membawa bukti dan dua orang saksi yang menyatakan bahwa apa yang ia bawa adalah wahyu Qur’ani. Bukti pertama adalah naskah tertulis. Bukti kedua adalah hafalan, yaitu kesaksian orang-orang bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari Rasulullah SAW.

Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan :

1- Menulis hanya ayat al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya.
2- Mencakup semua ayat al-Qur’an yang tidak mansukh al-Tilawah.
3- Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an sekarang ini.
4- Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana al-Qur’an itu diturunkan.
5- Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari al-Qur’an.

Senada dengan itu, al-Zarqani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah:

1- Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2- Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh atau dinasakh bacaannya.
3- Seluruh ayat al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya.

Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh al-Tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori riwayat al-Ahad, catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.

Setelah semua ayat al-Qur’an terkumpul, kumpulan tersebut disimpan dalam kotak kulit yang disebut “Rab’ah”. Kemudian kumpulan tersebut diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah beliau wafat, kumpulan atau lembaran-lembaran tersebut berpidah tangan kepada Umar. Lalu setelah Umar wafat, maka lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh putrinyasekaligus istri Rasulullah SAW yaitu Hafsah binti Umar.

Jam’ul Qur’an Periode Utsman

Penyebaran Islam bertambah luas, dan para Qurra‘ pun tersebar ke seluruh wilayah hingga ke arah utara Jazirah Arab sampai Azerbaijan dan Armenia. Setiap wilayah diutuslah seorang Qari. Maka bacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan membaca al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan dalam penyebutan atau membaca al-Qur’an yang kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat..

Ketika itu, orang yang mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan bacaan yang ia gunakan menyalahkannya. Bahkan mereka saling mengafirkan. Hal ini membuat Huzaifah bin al-Yaman resah dan mengadukan hal tersebut kepada Utsman. Menanggapi hal tersebut, Utsman mengirim utusan kepada Hafsah dan meminjam mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Keriga orang terakhir adalah orang Quraisy. Utsman memerintahkan agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.

Setelah mereka melakukan hal itu, Utsman mengembalikan mushaf kepada Hafsah. Mereka menyalinnya ke dalam beberapa mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an/mushaf lainnya dibakar. Mushaf tersebutlah yang dikenal dengan mushaf Utsmani.

Al-Zarqani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah sebagai berikut:

1- Ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawwir berasal dari Rasulullah.
2- Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh atau dinasakh bacaannya.
3- Susunan menurut urutan wahyu.
4- Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada al-Qur’an seperti apa yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu.
5- Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf” dimana al-Qur’an diturunkan dengannya.

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.

Fadhilah Ayat 128-129 Surat At-Taubah



حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ مِمَّنْ يَكْتُبُ الْوَحْيَ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ وَعِنْدَهُ عُمَرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِالنَّاسِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ فِي الْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ تَجْمَعُوهُ وَإِنِّي لَأَرَى أَنْ تَجْمَعَ الْقُرْآنَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفَنِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلَانِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ اللَّهُ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ { لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ } إِلَى آخِرِهِمَا وَكَانَتْ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا الْقُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ تَابَعَهُ عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَاللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ وَقَالَ مُوسَى عَنْ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ وَتَابَعَهُ يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَقَالَ أَبُو ثَابِتٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ وَقَالَ مَعَ خُزَيْمَةَ أَوْ أَبِي خُزَيْمَةَ

Telah menceritakan kepada kamiAbu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kamiSyu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadakuIbnu As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an." Abu Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Umar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik." Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)." Zaid berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Abu Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar. Diriwiyatkan pula oleh 'Utsman bin 'Umar dan Al Laits dariYunus dari Ibnu Syihab; Al Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdur Rahman bin Khalid dari Ibnu Syihab; dia berkata; ada pada Abu Huzaimah Al Anshari. Sedang Musa berkata; Dari Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab; 'Ada pada Abu Khuzaimah.' Juga diriwayatkan oleh Ya'qub bin Ibrahim dari Bapaknya. Abu Tsabit berkata; Telah menceritakan kepada kamiIbrahim dia berkata; 'Ada pada Khuzaimah atau Abu Khuzaimah.


من قرأ آية الحرص ( لقد جاءكم رسول من أنفسكم …..) مرة بعد صلاة الصبح حفظ قلبه و بعد صلاة الظهر (مرة) أحيا قلبه و ثبته في الحياة الدنيا و الآخرة و بعد صلاة العصر (مرة)لم يمت موت الفجأة و بعد صلاة المغرب (مرة) رزق الاستقامة و بعد صلاة العشاء (مرة) حفظ من كبار المعاصي و بعد الوتر (مرة) كفى أمر الرزق و خوف الخلق و بعد صلاة عيد الفطر(سبعا) حفظ من الصمم كل سنة ما داوم عليها و بعد عيد الأضحى (احد و عشرين مرة) أمنه الله من العمى الأكحل كل سنة قرأها و بعد صلاة الكسوف (ستة و ستون مرة) شفاه الله في بدنه من سائر الأمراض و بعد صلاة الاستسقاء (ثمانية و عشرين مرة) أستجيبت دعوته و بعد صلاة الفجر (مرة) لم يمت حتى يرى مقعده في الجنة أو يرى له و بعد الاستخارة النبوية كانت الملائكة في عونه و (مرة) بعد أي نافلة رزق حلاوة الإيمان و بعد صلاة الجمعة (تسعا و تسعين مرة) حفظ من أكل الحرام ما دام عليها و في يوم عرفة (ثلاث مائة و ستين مرة) أخذ الله بيده و كفاه هم الدنيا و الآخرة و في يوم عاشوراء( ألفا )تخدمه الأرواح و تأتيه بالأرزاق من الكون و في ليلة النصف من شعبان (خمسمائة) لم يسأل في قبره و من قرأها كل صباح(مرة) و كل مساء(مرة) حفظ من الآفات و لا يضره شيء ما داوم عليها و (مرة) عند النوم تحفظ من الآفات إلى الصباح و لا يضره شيء أبدا و من قرأها على أحد حفظ من كل سوء و من خاف من لص أو ظالم فليضع يده على رأسه و ليقرأها فيحفظ منه و(ثلاثا) عند طلوع الشمس و عند غروبها كفاه الله شر العالم و من قرأها (ثلاثا) عشية جمعة حفظ من السحر و لا ينفذ فيه سم و (سبعا) على أي علة شفيت كان شرب له كتابتها (سبعا) و إن قرئت (مائة) على عليل أعي الأطباء بصدق الطلب شفي من حينه و من دخل الخلوة و قرأها (ثلاثين ألفا) و يده على صدره لا يمرض أبدا و لا يفقد بصره و لا يتصرف فيه أحد من أهل الظاهر و لا من أهل الباطن و من قرأها (ستة و ستين) على ملسوع شفى بالله من حينه و من قرأها (مائة و احد عشر مرة) على عولة لم يفقدها أبدا ما دام يقرأها على العولة و من قرأها عند كل أكل لم يفقد النعمة و لو في فلاة و من قرأها على الحامل (مرة)(أربعين يوما) حفظت هي و ولدها من الآفات و يكون الولد صالحا و من يشاهد الخيالات في نومه قرأها عند النوم (إحدى عشر مرة) حفظه الله و إن وضع المسافر يده على رأسه و يقرأها على نفسه حفظه الله حتى يرجع لا يموت في سفره و حفظ من الأمراض و من قرأها في اليوم و الليلة و لو مرة لا يموت ما دام يقرأها و من ودع مسافرا بعد أن يقرأها عليه حفظه الله من الآفات و لا يموت حتى يرجع و من قرأها على مال حفظه الله و حرسه و من قرأها على دار أو بستان أو مدينة أو قرية أو حصن حفظ الله الجميع و من قرأها على قافلة أو سفينة حفظها الله و من قرأها في غزوة (ألف مرة) انهزمت الأعداء و رزق النصر و السلامة و إن قرأها (ستة و ستين مرة) على نار تفسد انطفأت بالله و من قرأها في خلوة (سبعين ألفا) تخدمه الأرواح و الجن المؤمنون طول حياته و يكون له الإقبال في قلوب الخلائق و تخضع له الجبابرة طوعا أو كرها و يعافي في جميع الأمراض و لا يصعب عليه مطلب و من أكثر قراءتها بلا عدد مشيا و قعودا كثر خيره و يحبه النبي صلى الله عليه و سلم و يراه في كل وقت و حين و من داوم عليها أربعين سنة زال الحجاب بينه و بين النبي صلى الله عليه و سلم و ينال ما ناله الصديقين


Fadilah membaca ayat Al-Hirsh (QS: At-Taubah : 128 - 129)


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُول مِنْ أَنْفُسكُمْ عَزِيز عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيص عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوف رَحِيم (*) فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِي اللَّه لَا إِلَه إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْت وَهُوَ رَبّ الْعَرْش الْعَظِيم

1. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Subuh maka Allah akan menjaga hatinya

2. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Dhuhur maka Allah akan menghidupkan dan menetapkan hatinya (dalam keimanan) di dunia maupun di akhirat

3. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat 'Ashar maka dia tidak akan mati seperti matinya orang kaget

4. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Maghrib maka dia akan diberi istiqomah (dalam beribadah) oleh Allah SWT

5. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat 'Isya maka Allah akan menjaga dirinya dari penguasa lalim

6. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Witir maka Allah akan mencukupi perkara rizqinya dan ketakutannya terhadap makhluq

7. Barang siapa membaca ayat ini tujuh kali setelah sholat 'Iedul Fitri maka Allah akan menjaganya / menjauhkannya dari bencana sepanjang tahun

8. Barang siapa membaca ayat ini dua puluh satu kali setelah sholat 'Iedul Adha maka Allah akan menjauhkannya dari kebutaan sepanjang tahun bagi yang membacanya

9. Barang siapa membaca ayat ini enam puluh enam kali setelah sholat gerhana matahari maka Allah akan menyembuhkannya dari segala penyakit yang ada di tubuh

10. Barang siapa membaca ayat ini dua puluh delapan kali setelah sholat Istisqo maka Allah akan mengabulkan doa doanya

11. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat fajar maka dia tidak akan mati kecuali sehingga melihat tempatnya di surga atau dia melihat surga

12. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Istikhoroh maka akan senantiasa dibantu oleh Malaikat

13. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat sunah maka Allah akan emberina rizqi kepadanya bisa merasakan manisnya iman

14. Barang siapa membaca ayat ini tujuh puluh tujuh kali setelah sholat Jum'ah maka Allah akan menjaganya dari makan makanan haram

14. Barang siapa membaca ayat ini tiga ratus enam puluh kali pada hari 'Arafah maka Allah akan menuntunnya dan mencukupinya dari kesusahan dunia akhirat

15. Barang siapa membaca ayat ini seribu kali pada hari 'Asyura maka akan dilayani oleh para Malaikat dan Allah akan memberi rizqi bqginya dari segala arah

16. Barang siapa membaca ayat ini lima ratus kali pada malam Nishfu Sya'ban maka dia tidak akan ditanya oleh Malaikat Munkar Nakir

17. Barang siapa membaca ayat ini satu kali pada pagi dan sore hari maka Allah akan menjaganya dari segala mara bahaya dan tidak akan ada yang dapat mencelakainya selamanya

18. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setiap akan tidur maka Allah akan menjaganya sampai pagi dan tidak akan ada yang dapat mencelakainya selamanya

19. Barang siapa membaca ayat ini untuk seseorang maka Allah akan menaga orang itu dari segala keburukan

20. Barang siapa membaca ayat ini dengan meletakkan tangannya di kepala maka Allah akan menaga orang itu dari Pencuri dan orang dholim

21. Barang siapa membaca ayat ini tiga kali ketika matahari terbit dan ketika terbenam maka Allah akan menjauhkannya dari buruknya ilmu

22. Barang siapa membaca ayat ini tiga kali pada sore hari ketika hari jum'ah maka Allah akan menjaganya dari sihir dan binatang berbisa

23. Barang siapa membaca ayat ini tujuh kali ditulis untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan cara meminum air rendamannya

24. Barang siapa membaca ayat ini seratus kali untuk orang sakit dengan niat yang sungguh sungguh dan benar maka akan sembuh seketika

25. Barang siapa berkholwat dan membaca ayat ini tiga puluh ribu kali dengan meletakkan tangannya di dada maka dia tidak akan sakit selamanya, tidak akan kelihatan penglihatannya, tidak akan ada yang bisa mengganggunya baik itu ahli dhohir maupun ahli batin

26. Barang siapa membaca ayat ini enam puluh enam kali kepada orang yang terkena bisa binatang maka akan sembuh seketika

27. Barang siapa membaca ayat ini seratus sebelas kali kepada orang yang menangis / meratap maka tidak akan kembali tangisannya / ratapannya selama dia membacanya

28. Barang siapa membaca ayat ini ketika makan maka tidak akan hilang nikmatnya walaupun tengah berada di padang pasir

29. Barang siapa membaca ayat ini sekali selama empat puluh hari kepada orang hamil maka akan dijaga ibu dan kandungannya, dan setelah lahir akan menjadi anak yang sholih

30. Barang siapa membaca ayat ini sebelas kali ketika mimpi buruk maka Allah akan menjaganya

31. Apabila seorang musafir meletakkan tangannya di kepala lalu membaca ayat ini maka Allah akan menjaganya datri segala macam keburukan sampai dia pulang dan dijauhkan dari segala macam penyakit

32. Barang siapa membaca ayat ini siang dan malam walaupun hanya sekali maka dia tidak akan mati selgi dia tetap membacanya

33. Barang siapa setelah membaca ayat ini mengantar musafir maka musafir tersebut akan dijaga dari segala macam bahaya dan dia tidak akan mati sehingga pulang

34. Barang siapa membaca ayat ini untuk harta benda maka Allah akan menjaga harta tersebut

35. Barang siapa membaca ayat ini untuk rumah, atau kebun, atau desa, atau kota, atau benteng maka Allah akan menjaga semuanya

36. Barang siapa membacanya untuk kafilah atau perahu / kapal laut maka Allah akan menjaganya

37. Barang siapa membaca ayat ini di tengah peperangan maka musuh akan lari dan diberi kemenangan dan keselamatan

38. Barang siapa membaca ayat ini enam puluh enam kali kepada api yang berkobar maka api tersebut akan padam dengan idzin Allah SWT

39. Barang siapa membaca ayat ini tujuh puluh ribu kali ketika kholwat maka akan mendapat khodam malaikat dan jin mukmin selama hidupnya, diterima dihati semua makhluk,  semua akan tunduk kepadanya, disembuhkan segala penyakitnya, dan diberi kemudahan segala urusannya

40. Barang siapa memperbanyak membaca ayat ini tanpa dihitung, baik ketika berjalan maupun duduk makan bertambah tambah kebaikannya, dicintai baginda Nabi SAW, dapat melihat baginda Nabi SAW setiap saat

41. Barang siapa selalu membaca ayat ini selama empat puluh tahun maka hilanglah hijab antara dia dan baginda Nabi SAW, dan memperoleh derajat sebagaimana yang diperoleh para shiddiiqiin

Doa Kafarotul Majlis


Sebuah majelis, apalagi dengan jamaah yang sangat ramai, bukan jaminan seseorang senantiasa luput dari kesalahan kendatipun forum yang diikuti adalah positif seperti pengajian, kegiatan belajar-mengajar, shalawatan, atau sejenisnya. Kesalahan tersebut bisa berupa membual, berbohong, pamer, merasa saleh ketimbang lainnya, meremehkan orang lain, dan sebagainya.

Perilaku negatif tersebut sangat tidak dianjurkan. Namun, karena watak manusia yang serng lupa dan lalai, kekhilafan pun tetap saja kerap terjadi. Karena itu, setiap akan meninggalkan sebuah majelis, kita dianjurkan membaca:

سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ

Subhânakallâhumma wa bihamdika asyhadu an-lâilâha illâ anta astaghfiruka wa atûbu ilaik

“Maha Suci Engkau, ya Allah. Segala sanjungan untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

Disebutkan dalam hadits,

عَنْ أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ بِأَخَرَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ مِنَ الْمَجْلِسِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ». فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتَقُولُ قَوْلاً مَا كُنْتَ تَقُولُهُ فِيمَا مَضَى. قَالَ « كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِى الْمَجْلِسِ ».

Dari Abu Barzah Al-Aslami, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di akhir majelis jika beliau hendak berdiri meninggalkan majelis, “Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau dan aku meminta ampunan dan bertaubat pada-Mu).”

Ada seseorang yang berkata pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan suatu perkataan selama hidupmu.” Beliau bersabda, “Doa itu sebagai penambal kesalahan yang dilakukan dalam majelis.” (HR. Abu Daud, no. 4857;  Ahmad, 4: 425. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Maksudnya, doa itu adalah penambal kesalahan berupa kata-kata laghwu atau perkataan yang sia-sia.

Doa itu diucapkan ketika akan berpisah atau akan selesai dari suatu majelis. Majelis ini tidak mesti dengan duduk-duduk. Pokoknya setiap pembicaraan atau obrolan biasa apalagi diyakini ada perkataan sia-sia yang terucap, maka doa kafaratul majelis sangat dianjurkan untuk dibaca.

Jika suatu majelis atau tempat obrolan yang membicarakan hal akhirat maupun hal dunia, lantas di dalamnya tidak terdapat dzikir pada Allah, sungguh sangat merugi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

“Setiap kaum yang bangkit dari majelis yang tidak ada dzikir pada Allah, maka selesainya majelis itu seperti bangkai keledai dan hanya menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 4855; Ahmad, 2: 389. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Tentu kita tidak mau menjadi orang yang merugi dalam setiap waktu kita. Karenanya, jadikanlah akhir majelis dengan istighfar dan bacaan doa kafaratul majelis.

Setiap pertemuan bersama atau katakanlah belajar bersama, pasti mempunyai niat dan tujuan yang sudah ditentukan. Dalam suatu pertemuan itulah terkadang biasanya ada beberapa orang yang berselisih paham atau sering ‘nggrundel’, atau ada beberapa perbuatan yang kurang terpuji yang dilakukannya.

Sehingga menyebabkan suasana yang seharusnya membutuhkan rasa tentram, fokus, dan ramah tamah serta serius berubah menjadi ramai dan penuh dengan keributan. Bahkan bisa jadi sampai ada yang mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang kurang terpuji pada teman lainnya.

Nah, kegunaan dari doa penutup majelis ini, sebenarnya tidak lain adalah sebagai bentuk pujian dan permohonan maaf diri kita masing-masing yang ada dalam majelis atau pertemuan tersebut kepada Allah SWT., agar hal-hal yang tidak baik, dan tidak berguna dalam suatu pertemuan tersebut mendapatkan ampunan, dan tidak terulang kembali pada pertemuan berikutnya. Dimanapun dan kapanpun.

Di samping itu, juga sebagai bentuk penghormatan kepada Allah SWT., Dzat Yang Maha Suci dan Luas Kasih Sayang-nya kepada diri kita umat manusia. Dengan membaca doa tersebut, kita semua tentu berharap agar ilmu atau pertemuan yang telah kita adakan, bisa menjadi lebih bermanfaat, bisa diamalkan dan tetap berdasarkan iman yang kuat pula. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin..

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ

“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).

Dari Abu Madinah Ad-Darimi, ia berkata,

كَانَ الرَّجُلانِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَيَا لَمْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَقْرَأَ أَحَدُهُمَا عَلَى الآخَرِ : ” وَالْعَصْرِ إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ” ، ثُمَّ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الآخَرِ

“Jika dua orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bertemu, maka mereka tidak akan berpisah sampai salah satu di antara keduanya membaca ‘wal ‘ashr innal insana lafii khusr …’. Lalu salah satu dari keduanya saling mengucapkan salam untuk lainnya.” (HR. Abu Daud dalam Az-Zuhd, no. 417; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 5: 215; Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman)

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum selalu istiqomah membaca surat Al Ashr ketika hendak berpisah dari suatu majelis. Amalan ini bukanlah bid’ah yang dibuat-buat oleh para sahabat. Sudah barang tentu mereka melakukannya karena ada petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah sabda, praktik atau penetepan dari beliau.

Abdullah bin Mas’ud dan Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang terbaik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.”(HR. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm)

Merayakan Hari Valentine Termasuk Tasyabbuh Pada Nasrani


Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ  . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).

Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 27: 286.

Hari Valentine

Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine's Day) atau disebut juga Hari Kasih Sayang, pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat.

Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu miliar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.

Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.

Sebuah kencan pada hari Valentine seringkali dianggap bahwa pasangan yang sedang kencan terlibat dalam sebuah relasi serius. Sebenarnya Valentine itu merupakan hari Percintaan, bukan hanya kepada pacar ataupun kekasih, Valentine merupakan hari terbesar dalam soal Percintaan dan bukan berarti selain valentine tidak merasakan cinta.

Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik "Happy Valentine's", yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka ataupun teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya.

Asal Muasal Hari Valentine :

Perayaan hari Valentine termasuk salah satu hari raya bangsa Romawi paganis (penyembah berhala), di mana penyembahan berhala adalah agama mereka semenjak lebih dari 17 abad silam. Perayaan valentin tersebut merupakan ungkapan dalam agama paganis Romawi kecintaan terhadap sesembahan mereka.

Perayaan Valentine's Day memiliki akar sejarah berupa beberapa kisah yang turun-temurun pada bangsa Romawi dan kaum Nasrani pewaris mereka. Kisah yang paling masyhur tentang asal-muasalnya adalah bahwa bangsa Romawi dahulu meyakini bahwa Romulus (pendiri kota Roma) disusui oleh seekor serigala betina, sehingga serigala itu memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran.

Bangsa Romawi memperingati peristiwa ini pada pertengahan bulan Februari setiap tahun dengan peringatan yang megah. Di antara ritualnya adalah menyembelih seekor anjing dan kambing betina, lalu dilumurkan darahnya kepada dua pemuda yang kuat fisiknya.

Kemudian keduanya mencuci darah itu dengan susu. Setelah itu dimulailah pawai besar dengan kedua pemuda tadi di depan rombongan. Keduanya membawa dua potong kulit yang mereka gunakan untuk melumuri segala sesuatu yang mereka jumpai.

Para wanita Romawi sengaja menghadap kepada lumuran itu dengan senang hati, karena meyakini dengan itu mereka akan dikaruniai kesuburan dan melahirkan dengan mudah.

Sejarah hari valentine I :

Menurut tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera. Tahu gak dewa Zeus? itu bokap-nye hercules.

Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing.

Sebagai ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan berlari-lari di jalanan kota Roma sambil membawa potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai dijalan. Sebagian ahli sejarah mengatakan ini sebagai salah satu sebab cikal bakal hari valentine.

Sejarah Valentine's Day II :

Menurut Ensiklopedi Katolik, nama Valentinus diduga bisa merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda yaitu dibawah ini:

Pastur di Roma
Uskup Interamna (modern Terni)
Martir di provinsi Romawi Afrika.

Hubungan antara ketiga martir ini dengan hari raya kasih sayang (valentine) tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus.

Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.

Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti dari emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada tahun 1836.

Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine (14 Februari), di mana peti dari emas diarak dalam sebuah prosesi dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu dilakukan sebuah misa yang khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santo yang asal-muasalnya tidak jelas, meragukan dan hanya berbasis pada legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

Sejarah hari valentine III :

Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin.

Kepercayaan ini ditulis pada karya sastrawan Inggris Pertengahan bernama Geoffrey Chaucer. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa:

For this was sent on Seynt Valentyne's day
(Bahwa inilah dikirim pada hari Santo Valentinus)
Whan every foul cometh ther to choose his mate
(Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya)

Pada jaman itu bagi para pencinta sudah lazim untuk bertukaran catatan pada hari valentine dan memanggil pasangan Valentine mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi naskah British Library di London. Kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai santo Valentinus diciptakan pada jaman ini. Beberapa di antaranya bercerita bahwa:

Sore hari sebelum santo Valentinus akan mati sebagai martir (mati syahid), ia telah menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis "Dari Valentinusmu".Ketika serdadu Romawi dilarang menikah oleh Kaisar Claudius II, santo Valentinus secara rahasia membantu menikahkan mereka diam-diam.

Pada kebanyakan versi legenda-legenda ini, 14 Februari dihubungkan dengan keguguran sebagai martir.

Sejarah Valentines Day IV :

Kisah St. Valentine

Valentine adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ke-III. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.

Namun sayangnya keinginan ini tidak didukung. Para pria enggan terlibat dalam peperangan. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasih hatinya. Hal ini membuat Claudius marah, dia segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Claudius berfikir bahwa jika pria tidak menikah, mereka akan senang hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Pasangan muda saat itu menganggap keputusan ini sangat tidak masuk akal. Karenanya St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.

St. Valentine tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini akhirnya diketahui oleh kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tidak menggubris dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin.

Sampai pada suatu malam, ia tertangkap basah memberkati salah satu pasangan. Pasangan tersebut berhasil melarikan diri, namun malang St. Valentine tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis hukuman mati dengan dipenggal kepalanya.

Bukannya dihina oleh orang-orang, St. Valentine malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya itu. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara dimana dia ditahan.

Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta kasih itu adalah putri penjaga penjara sendiri. Sang ayah mengijinkan putrinya untuk mengunjungi St. Valentine. Tak jarang mereka berbicara lama sekali. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar alias benul eh betul.

Pada hari saat ia dipenggal alias dipancung kepalanya, yakni tanggal 14 Februari gak tahu tahun berapa, St. Valentine menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis putri sipir penjara tadi, ia menuliskan Dengan Cinta dari Valentinemu.

Pesan itulah yang kemudian mengubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

Dari semua asal usul atau sejarah diatas bisa disimpulkan bahwa "hari valentine memiliki latar belakang yang tidak jelas sama-sekali", baik dari ceritanya maupun waktu terjadinya (perhatikan abad terjadinya sejarah diatas walaupun ada nama tokoh yang sama).sebagai muslim haram merayakan hari Valentine, krn itu sama saja meniru2 kaum paganis dan nashrani...

Menyerupai orang-orang kafir adalah sesuatu yang terlarang dalam syariat, dan terdapat dalil yang shahih tentang larangan tersebut dalam hadits-hadits berikut ini :

Dari Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ

“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nashrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya” (HR Tirmidzi, hasan)

Dari Ibn Umar beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud, hasan)

Dari Umar radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبد الله تعالى وحده لا شريك له و جعل رزقي تحت ظل رمحي و جعل الذل و الصغار على من خالف أمري و من تشبه بقوم فهو منهم

“Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)

Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah?

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir”.

فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!

“Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!”

Fenomena Bisyaroh Para Pengajar Di Pesantren


Dakwah adalah perintah yang harus dilaksanakan dengan ikhlas serta berharap sepenuhnya kepada Allah ta’ala. Bagi seorang da’i, ustadz atau mubalig, rasanya tidak pantas jika menggantungkan kebutuhan hidupnya dari kegiatan dakwah. Sebab, hal itu bertentangan dengan perintah atau tuntunan dakwah para nabi.

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖإِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-syuara: 109)

Ikhlas bukan berarti tanpa bisyaroh atau gaji. Zuhud bukan berarti melarat atau miskin. Bukankah syarat menjadi nabi adalah zuhud ? Tapi, kenapa Nabi Sulaiman itu kaya ? Beranikah kita mengatakan Nabi Sulaiman tidak Zuhud ? Kalau tidak zuhud berarti bukan Nabi. Beranikah kita mengatakan Nabi Sulaiman bukan Nabi ?.

Ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an yang jelas-jelas menyatakan bahwa Sulaiman adalah Nabi. Kalau pikiran kita tertuju pada ikhlas, artinya tidak digaji, berarti seluruh pegawai, mentri dan Presiden tidak ada yang ikhlas.

Guru itu bukan boneka, bukan robot dan bukan malaikat. Kalaupun robot, masih butuh setrum. Pemikiran kita mestinya, kualitas murid ditentukan oleh kualitas guru. Kualitas guru diantaranya ditentukan dengan adanya ekonomi yang cukup. Coba bayangkan, bila anak tidak mengaji dan tidak bersekolah, kenapa ? Karena gurunya tidak hadir. Kenapa tidak hadir ? Karena ia kerja. Karena tidak ada bisyaroh memadai dan ia punya keluarga dan sebagaianya.

Kalau guru sudah memikirkan anak-anak didik, mestinya orang tua yang memikirkan kesejahteraan guru. Mestinya sangat kasihan kalau guru disuruh memikirkan anak didik, memikirkan ekonomi keluarga dan sebagainya. Mestinya harus ada keadilan, keseimbangan dan keikhlasan orang tua yang memikirkan kesejahteraan guru dan mengikhlaskan tiap guru dengan model dan cara mengajar mereka masing-masing sesuai bagaimana mereka dahulu kala terdidik. Ingat ! Murah biasanya diremeh. Berapa SPP satu bulan yang dikeluarkan wali murid ?.

Ternyata kalau dihitung perharinya masih lebih mahal beli rokok. Atau bila dibandingkan, kencing di terminal saja, parkir Mini market, satu kali harus bayar dua ribu rupiah. Kita harus mulai sadar, bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan yang sangat penting. “Ingat! Memondokan anak di Pesantren atau sekolah Agama jauh lebih murah dibandingkan memondokkan anak di rumah sakit”.

Padahal di rumah sakit itu, hanya menghilangkan penyakit dhohir dimana dengan kematian selesai. Tetapi penyakit batin yang menular hingga menjadi penyakit dzahir justru akan berkembang menjadi (Jariah Su’;Amal Buruk Berkontinyu) dan mendapatkan siksa yang lebih berat lagi dibanding mendzolimi diri sendiri.

Orang takabur misalnya, ia mati malah akan disiksa. Dan penyakit hati takabur ini tidak akan sembuh di rumah sakit, tapi bisa sembuh di Tempat yang bernuansa Keagamaan seperti madrasah maupun pesantren.

Di lingkungan pesantren salaf nahdliyyin, gaji ustadz dikenal dengan nama bisyaroh yang artinya adalah penggembira atau hal yang menggembirakan, karena setiap kali para ustadz maupun ustadzah menerima bisyaroh mereka akan merasa gembira, namun sekedar gembira bukan bahagia, mengapa ? karena ternyata bisyarohnya itu hanya sekedar pengganti bensin belum bisa menjadi pengganti lelah apalagi untuk mengcover kebutuhan hidup sehari-hari dalam standar kelayakan, oleh karena itu tidak heran jika para ustadz tersebut harus banyak “konser” di beberapa pesantren, sebab semakin banyak pesantren yang dia konser disitu maka akan semakin banyak pula bisyaroh yang dia dapatkan.

Bisyaroh pesantren memang berbeda selisihnya dari pesantren satu dengan pesantren lainnya, tidak ada standar baku, bisyaroh itu tergantung kebijakan pengasuh atau yang memiliki otoritas pesantren, karena sesungguhnya itu adalah tradisi turun menurun dari zaman dahulu, bahwa bisyaroh adalah sekedar nilai sedarhana yang dapat pesantren kontribusikan ke para ustadznya, karena pelajaran sebenarnya bukanlah pada nilai kesetaraaan pengorbanan ustadz dengan nilai materi yang dia dapatkan, namun lebih kepada pendidikan terhadap para ustadz agar rela mengabdi ke pesantren, ikhlas mengamalkan ilmunya, demi kemberkahan dan kemanfaatan ilmunya, sehingga kebanyakan dari kalangan ustadz pesantren itu menerima dan menyadari bahwa mengajar di pesantren bukanlah lahan untuk mencari uang. terutama pada kalangan ustadz bujang atau ustadzah lajang yang belum menikah.

Hal tersebut berbeda kondisinya denagn para ustadz yang sudah berkeluarga, mereka dihadapkan pada dilema antara idealisme pengabdian dan khidmah ke pesantren dengan kenyataan bahwa mereka harus memenuhi kebutuhan dapur dan keluarga. sesungguhnya rata-rata ustadzd yang saya temui merekamenerima sistem ini, meskipun sebagian ada yang terpaksa dan mau bagaimana lagi, dan sebagian lagi tanpa komentar, namun kebayakan mereka akan sangat setuju jika bisyaroh mereka “disesuaikan” –penghalusan istilah dinaikkan-. hanya saja mereka tidak berani mengungkapkan ataupun mengusulkannya, karena takut dianggap tidak ikhlas dalam berjuang membantu pesantren, mereka takut merusak kemanfaatan dan keberkahan ilmunya kelak dikemudian hari, inilah yang menyebabkan tidak ada perubahan yang sigifikan dalam penggajian ustadz pesantren yang membawa kepada kesejahteraan mereka.

Sebagian orang ada yang berpendapat : “Hasil ekonomi yang lumayan bukan berarti ilmu yang dibisniskan”, Inilah kadang kita salah persepsi atau salah menafsirkannya. Kita ingat bahwa segala sesuatu itu sesuai dengan niatnya.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

Amal dunia kalau diniati untuk akhirat, maka ia bisa mendapatkan akhirat. Amal akhirat tanpa niat yang benar, maka ia tidak bisa mendapatkan pahala. Kita berpijak pada ayat :

وَ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”

Disini jelas yang kita jual-belikan adalah kertasnya bukan ilmunya. Coba bayangkan, andai buku-buku sekolah digratiskan. Lalu bagaimana kelanjutannya ?. Dana untuk bensin, membeli kertas, membayar karyawan dan sebagainya sedangkan mereka hanyalah guru dari salah satu sekolah swasta. Kita juga berpijak pada Ayat dan Hadits :

رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْاَخِرَةِ حَسَنَةً

Artinya : “Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat”.

لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِأَخِرَتِهِ وَلَا آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلَاغٌ لِلْأَخِرَةِ وَلَا تَكُوْنُوْا كَلًّا عَلَى النَّاسِ

Artinya : “Orang yang baik bukanlah orang yang meninggalkan urusan dunia untuk kepentingan akhirat belaka. Dan tidaklah orang yang meninggalkan urusan akhirat untuk dunia belaka. Orang yang baik adalah, orang yang bisa meraih keduanya, karena sesungguhnya dunia adaalah perantara menuju akherat. Dan janganlah kamu semua menjadi beban masyarakat”.

Memang tidak mudah menentukan standar bisyaroh yang ideal, karena anggaran pesantren terbatas dan permasalahan keuangan pesantren juga komplek, namun menurut hemat saya masalahnya bukanlah disitu tetapi pada skala priorotas dan manajemen keuangan pesantren yang masih tradisionalis serta carut marut. sangat ironis sekali jika bisyaroh para ustadz sangat terbatas sedangkan mudir pesantrennya bermewah-mewahan dengan pakaian dan mobil serta rumah yang bagus, namun justru faktor yang paling penting dalam keberlangsungan dan kualitas ilmu yang didapatkan pari santri justru terlewatkan –ungkapan halus dari dikesampingkan-. karena sesungguhnya pengajaran dan pendidikan dipesantren adalah nyawa dari pesantren itu sendiri, ketika kesejahteraan pendidiknya di perhatikan maka kualitas pengajaran pun akan ditingkatkan, para ustadz akan semakin semangat dan aktif.

Barang kali inilah yang sering dilupakan oleh para menajer pesantren, atau bisa jadi tidak ada orang yang berani mengingatkan mereka, atau mungkin karena dulu mereka juga mengalami hal yang sama sehingga mendoktrin kepada para ustadznya agar bersabar sejenak, belajar mengalami masa-masa yang sulit, bersusah-susah dahulu, karena ada saatnya ketika mereka naik “maqam”, derajat, atau kasta sosial sebagai kyai atau pengasuh, mereka akan mendapatkan kesejahteraan yang sama kelak. Hal ini diamini oleh para ustadz santri meskipun pada kenyataannya belum tentu terjadi. Faktor loyalitas, ketaatan dan harapan untuk mendapat keridloan kyai membungkam keinginan para ustadz untuk mendapatkan “penghasilan lebih”

Dari contoh kasus tersebut kita dapatkan bahwa bisyarah yang “berkualitas” menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keaktifan, semangat, kualitas pengajaran, tanggungjawab, dedikasi, dan keikhlasan ustadz pengajar. inilah jawaban dari permasalahan ketidakstabilan pengajaran dipesantren, kurang aktifnya madrasah diniyyah dan pengajian wetonan, dan kurang semangatnya pendidik maupun peserta didik saat mengaji di pesantren. peningkatan bisyaroh merupakan bentuk penghargaan terhadap pendidik pesantren, sarana silaturahim dan pengikat persaudaraan ustadz, santri dan pengasuh, sekaligus media pendongkrak semangat, loyalitas, tanggungjawab, dedikasi, serta kreatifitas dan kualitas pengajaran dari sang ustadz itu sendiri. sebuah kata kunci yang sering terlupakan para pimpinan pesantren.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...