Minggu, 07 November 2021

Jangan Lupa Bersedekah Pada Gurumu


Sungguh beruntung orang-orang yang gemar bersedekah. Begitu banyak ayat Alquran dan Hadis nabi Muhammad yang menerangkan keutamaan sedekah.

Dalam bersedekah, tentu kita ingin memberikan yang terbaik untuk amalan yang terbaik pula.

Sedekah merupakan amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ada banyak dalil dalam Al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan keutamaan ini. Di antaranya adalah firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 195:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ  

Artinya, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri  dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini memerintahkan umat Islam untuk selalu berbuat baik dan menginfakkan harta yang dimiliki di jalan Allah atau untuk kebaikan.

Sedekah adalah salah satu cara untuk berbuat baik. Selain mendapatkan pahala, sedekah sangat membantu orang-orang yang sedang kesulitan dan butuh pertolongan.

Riwayat Ahli Sedekah Pada Kyai

Dahulu ada seorang kusir kuda di daerah Jawa Tengah yang teramat istimewa. Mengendalikan kuda menjadi pekerjaan beliau setiap harinya disamping juga berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beliau memiliki beberapa anak yang kesemuanya di kirim ke berbagai pesantren di Jawa untuk memperdalam ilmu agama.

Kusir tersebut terbilang istimewa karena ada satu kebiasaan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kebiasaan yang istimewa tersebut adalah setiap kali beliau memanen hasil perkebunan pasti beliau menghadap istrinya. Tujuan beliau adalah untuk meminta ridho sang istri agar memanfaatkan separuh dari hasil perkebunan untuk kehidupan sehai-hari dan separuh sisanya di ikhlaskan untuk diberikan kepada Kyai dimana putra beliau memperdalam ilmu agama.

Kebiasaan itu berlangsung terus menerus sampai beliau wafat. Walhasil wallahu a'lam beliau memiliki putra-putra yang sangat 'Alim. Diantaranya adalah KH. Musthofa Bisri.

Selagi Masih Diberi Kesempatan Bersedekahlah

Bersedekah dalam kondisi sehat lebih utama daripada berwasiat ketika sudah menjelang ajal, atau ketika sudah sakit parah dan sulit diharapkan kesembuhannya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab:

« أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ : لِفُلاَنٍ كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ » .

“Engkau bersedekah dalam kondisi sehat dan berat mengeluarkannya, dalam kondisi kamu khawatir miskin dan mengharap kaya. Maka janganlah kamu tunda, sehingga ruh sampai di tenggorokan, ketika itu kamu mengatakan, “Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian, dan untuk fulan sekian.” Padahal telah menjadi milik si fulan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ

Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman] telah mengabarkan kepada kami [Syu'aib] telah menceritakan kepada kami [Abu Az Zanad] dari [Al A'raj] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu]; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berkata,: "Ada seorang laki-laki berkata,: Aku pasti akan bershadaqah. Lalu dia keluar dgn membawa shadaqahnya & ternyata jatuh ke tangan seorang pencuri. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia telah memberikan shadaqahnya kepada seorang pencuri. Mendengar hal itu orang itu berkata,: Ya Allah segala puji bagiMu, aku pasti akan bershadaqah lagi. Kemudian dia keluar dgn membawa shadaqahnya lalu ternyata jatuh ke tangan seorang pezina. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia tadi malam memberikan shadaqahnya kepada seorang pezina. Maka orang itu berkata, lagi: Ya Allah segala puji bagiMu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pezina, aku pasti akan bershadaqah lagi. Kemudian dia keluar lagi dgn membawa shadaqahnya lalu ternyata jatuh ke tangan seorang yg kaya. Keesokan paginya orang-orang kembali ramai membicarakan bahwa dia memberikan shadaqahnya kepada seorang yg kaya. Maka orang itu berkata,: Ya Allah segala puji bagiMu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pencuri, pezina, & orang kaya. Setelah itu orang tadi bermimpi & dikatakan padanya: Adapun shadaqah kamu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari perbuatannya, sedangkan shadaqah kamu kepada pezina, mudah-mudahan dapat mencegahnya berbuat zina kembali & shadaqah kamu kepada orang yg kaya mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya agar menginfaqkan harta yg diberikan Allah kepadanya. [HR. Bukhari No.1332].

Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu‘in menganjurkan agar sedekah setiap saat, walaupun sedikit. Ia mengatakan:

وينبغي للراغب في الخير أن لا يخلي كل يوم من الأيام من الصدقة بما تيسر وإن قل وإعطاؤها سرا أفضل منه جهرا

Artinya, “Orang yang ingin berbuat baik seharusnya tidak melewatkan kesempatan bersedekah setiap hari semampunya, meskipun sedikit. Bersedekah dengan diam-diam lebih baik daripada memperlihatkannya.”

Perintah sedekah tidak dikhususkan bagi orang yang kaya saja. Orang yang miskin pun bisa bersedekah. Menurut penjelasan di atas, sedekah dianjurkan setiap saat, minimal satu kali sehari. Tidak ada aturan berapa banyak harta yang disedekahkan. Walaupun sedikit jumlahnya, kalau diberikan dengan ikhlas, Allah akan membalasnya.

Orang yang bersedekah dianjurkan memberikan sedekahnya dalam keadaan diam-diam. Maksudnya tidak perlu mengumumkan ke orang lain kalau kita sudah bersedekah. Karena itu nanti bisa menghapus pahala sedekah kita, bila di dalam hati ada unsur riya.

Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah mengatakan bahwa ada tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan di hari akhirat kelak. Salah satunya:

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْننُهُ

Artinya, “Orang yang sedekah dan menyembunyikannya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang sudah disedekahkan  tangan kanannya,” (HR Bukhari dan Muslim).

PAHALA BERSEDEKAH

ذكر السيوطي في خماسيه أن ثواب الصدقة خمسة أنواع : واحدة بعشرة وهي على صحيح الجسم ، وواحدة بتسعين وهي على الأعمى والمبتلي ، وواحدة بتسعمائة وهي على ذي قرابة محتاج ، وواحدة بمائة ألف وهي على الأبوين ، وواحدة بتسعمائة ألف وهي على عالم أو فقيه اهـ

Al-Imam Suyuti menuturkan perihal pahala sedekah di dalam salah satu kitabnya, bahwasanya pahala bersedekah ada lima kategori :

(1) Satu di balas sepuluh (1 : 10) yaitu bersedekah kepada orang yang sehat jasmani.
(2) Satu di balas sembilan puluh (1 : 90) yaitu bersedekah terhadap orang buta, orang cacat atau tertimpa musibah, termasuk anak yatim dan piatu.
(3) Satu di balas sembilan ratus (1 : 900) yaitu bersedekah kepada kerabat yang sangat membutuhkan.
(4) Satu di balas seratus ribu (1 : 100.000) yaitu sedekah kepada kedua orang tua.
(5) Satu di balas sembilan ratus ribu (1 : 900.000) yaitu bersedekah kepada orang alim yang ahli fiqih (Guru Ngajimu).
 (Bughyatul-Musytarsyidin)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261)”

Perumpamaan ini lebih berkesan dalam hati daripada hanya menyebutkan sekadar bilangan tujuh ratus kali lipat, mengingat dalam ungkapan perumpamaan tersebut tersirat pengertian bahwa amal-amal saleh itu dikembangkan pahalanya oleh Allah Swt. buat para pelakunya, sebagaimana seorang petani menyemaikan benih di lahan yang subur. Sunnah telah menyebutkan adanya perlipatgandaan tujuh ratus kali lipat ini bagi amal kebaikan.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ أَبُو خِدَاش، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ بَشَّارِ بْنِ أَبِي سَيْفٍ الْجُرْمِيِّ، عَنْ عِيَاضِ بْنِ غَطِيفٍ قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى أَبِي عُبَيْدَةَ [بْنِ الْجَرَّاحِ] نَعُودُهُ مِنْ شَكْوَى أَصَابَهُ -وَامْرَأَتُهُ تُحَيْفَة قَاعِدَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ -قُلْنَا: كَيْفَ بَاتَ أَبُو عُبَيْدَةَ؟ قَالَتْ: وَاللَّهِ لَقَدْ بَاتَ بِأَجْرٍ، قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: مَا بَتُّ بِأَجْرٍ، وَكَانَ مُقْبِلًا بِوَجْهِهِ عَلَى الْحَائِطِ، فَأَقْبَلَ عَلَى الْقَوْمِ بِوَجْهِهِ، وَقَالَ: أَلَا تَسْأَلُونِي عَمَّا قُلْتُ؟ قَالُوا: مَا أَعْجَبَنَا مَا قَلْتَ فَنَسْأَلُكَ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ أَنْفَقَ نَفَقَةً فَاضِلَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبِسَبْعِمِائَةٍ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ، أَوْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ مازَ أَذًى، فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ مَا لَمْ يَخْرُقْهَا، وَمَنِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، بِبَلَاءٍ فِي جَسَدِهِ فَهُوَ لَهُ حِطَّةٌ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnur Rabi' Abu Khaddasy, telah menceritakan kepada kami Wasil maula Ibnu Uyaynah, dari Basysyar ibnu Abu Saif Al-Jurmi, dari lyad ibnu Gatif yang menceritakan bahwa kami datang ke rumah Abu Ubaidah dalam rangka menjenguknya karena ia sedang mengalami sakit pada bagian lambungnya. Saat itu istrinya bernama Tuhaifah duduk di dekat kepalanya. Lalu kami berkata, "Bagaimanakah keadaan Abu Ubaidah semalam?" Tuhaifah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya dia menjalani malam harinya dengan berpahala." Abu Ubaidah menjawab, "Aku tidak menjalani malam hariku dengan berpahala." Saat itu Abu Ubaidah menghadapkan wajahnya ke arah tembok, lalu ia menghadapkan wajahnya ke arah kaum yang menjenguknya dan berkata, "Janganlah kalian menanyakan kepadaku tentang apa yang telah kukatakan." Mereka berkata, "Kami sangat heran dengan ucapanmu itu, karenanya kami menanyakan kepadamu, apa yang dimaksud dengannya?" Abu Ubaidah berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang membelanjakan sejumlah harta lebihan di jalan Allah, maka pahalanya diperlipatgandakan tujuh ratus kali. Dan barang siapa yang membelanjakan nafkah buat dirinya dan keluarganya atau menjenguk orang yang sakit atau menyingkirkan gangguan (dari jalan), maka suaiu amal kebaikan (pahalanya) sepuluh kali lipat kebaikan yang semisal. Puasa adalah benteng selagi orang yang bersangkutan tidak membobolnya. Dan barang siapa yang mendapat suatu cobaan dari Allah Swt. pada tubuhnya, maka hal itu baginya merupakan penghapus (dosa).
Imam Nasai meriwayatkan sebagian darinya dalam Bab "Puasa" melalui hadis yang berpredikat mausul, sedangkan dari jalur lain berpredikat mauquf.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سُلَيْمَانَ، سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ: أَنَّ رَجُلًا تَصَدَّقَ بِنَاقَةٍ مَخْطُومَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَتَأْتِيَنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِسَبْعِمِائَةِ نَاقَةٍ مَخْطُومَةٍ".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Abu Amr Asy-Syaibani menceritakan hadis berikut dari Ibnu Mas'ud, bahwa ada seorang lelaki menyedekahkan seekor unta yang telah diberi tali kendali, maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kamu akan datang di hari kiamat nanti dengan membawa tujuh ratus ekor unta yang telah diberi tali kendali.

Imam Muslim dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sulaiman ibnu Mihran, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Lafaz menurut riwayat Imam Muslim seperti berikut:

جَاءَ رَجُلٌ بِنَاقَةٍ مَخْطُومَةٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. فَقَالَ: "لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَبْعُمِائَةِ نَاقَةٍ".

Seorang lelaki datang dengan membawa seekor unta yang telah diberi tali kendali, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, unta ini untuk sabilillah." Maka beliau Saw. bersabda, "Kamu kelak di hari kiamat akan mendapatkan tujuh ratus ekor unta karenanya."

Puasa Hari Kelahiran Anak (Masani Anak)


Pandangan bahwa berpuasa di hari kelahiran anak termasuk bid’ah, karena tidak pernah diajarkan maupun dilakukan oleh Rasulullah SAW, adalah tidak benar dan bertolak belakang dengan interaksi para ulama salaf dengan teks-teks al-Qur’an dan Hadits. Masani hari kelahiran anak termasuk salah satu tradisi Islam yang mulia dan dilakukan oleh umat Islam sejak masa-masa silam. Berikut adalah dasar hukum dan dalil-dalilnya:

Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh ibu tersebut adalah bertujuan untuk mendoakan anak agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ini harus dilakukan sebagaimana anjuran Al-Qur’anul Karim agar umat Islam senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar dikarunia keluarga dan keturunan yang baik dan menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (٧٤). سورة الفرقان.

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. al-Furqan : 74).

Ayat di atas menjelaskan salah satu sifat hamba Allah yang baik, yaitu selalu memohon kepada Allah agar dikarunia anak dan keturunan yang beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukannya serta menjadi pemimpin bagi orang-orang yang baik dan bertakwa. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan ayat tersebut:

يَعْنِي: الَّذِيْنَ يَسْأَلُوْنَ اللهَ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ مَنْ يُطِيْعُهُ وَيَعْبُدُهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ… وَقَوْلُهُ:( وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ): أَئِمَّةً يُقْتَدَى بِنَا فِي الْخَيْرِ. هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ وَدُعَاةً إِلىَ الْخَيْرِ، فَأَحَبُّوْا أَنْ تَكُوْنَ عِبَادَتُهُمْ مُتَّصِلَةً بِعِبَادَةِ أَوْلاَدِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَأَنْ يَكُوْنَ هُدَاهُمْ مُتَعَدِّيًا إِلىَ غَيْرِهِمْ بِالنَّفْعِ، وَذَلكَ أَكْثَرُ ثَوَابًا، وَأَحْسَنُ مَآَبًا.

“Allah menghendaki dengan ayat tersebut terhadap orang-orang yang selalu memohon kepada Allah agar mengeluarkan di antara anak dan keturunan mereka orang yang taat kepada-Nya dan menyembah-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya… Sedangkan firman Allah: “dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”, adalah para pemimpin yang diteladani dalam kebaikan, para penunjuk yang memperoleh petunjuk, para pengajak kepada kebaikan. Mereka senang ibadah mereka bersambung dengan ibadah anak dan keturunan mereka, serta petunjuk mereka mengalir kepada orang lain, dan demikian itu lebih banyak pahala dan lebih baik kembalinya”.

Rasulullah SAW juga bersabda tentang pentingnya memiliki anak yang saleh.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ». رواه مسلم

“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal. Yaitu sedekah yang terus mengalir, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendoakannya”. (HR. Muslim [4310]).

Hadits di atas memberikan pesan pentingnya seseorang membuat persiapan sebelum ajal tiba, yaitu memperbanyak sedekah jariyah, menyebarkan ilmu agama yang bermanfaat dan mendidik anaknya agar menjadi anak saleh yang akan selalu mendoakannya. Di antara usaha yang harus dilakukan oleh orang tua, agar anaknya menjadi anak yang saleh, adalah selalu mendoakannya, karena doa orang tua bagi anaknya akan selalu dikabulkan oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  : قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمُظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ ). رواه ابن ماجه

“Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Tiga permohonan yang pasti dikabulkan oleh Allah SWT. Yaitu doa orang yang dianiaya, doa orang yang sedang dalam perjalanan dan doa seorang ayah bagi anaknya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah [3862], dan dinilai hasan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Jami’us Shaghir dan al-Albani, ulama Salafi-Wahabi, dalam kitabnya Silsilatul Ahadits as-Shahihah [596].

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: « دُعَاءُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ مِثْلُ دُعَاءِ النَّبِيِّ لأُمَّتِهِ » رواه أبو نعيم والديلمي.

“Anas bin Malik berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Doa seorang ayah bagi anaknya, seperti doa seorang nabi bagi umatnya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan (juz I, hal. 185), dan ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus (juz II, hal. 212 [3037]), dan di-dha’if-kan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Jami’us Shaghir.

Hadits di atas memberikan pesan, bahwa doa seorang ayah bagi anaknya, pasti dikabulkan oleh Allah. Di sini mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan doa seorang ibu? Para ulama menjawab, apabila doa seorang ayah bagi anaknya pasti dikabulkan oleh Allah, sudah barang tentu doa seorang ibu akan lebih utama dikabulkan oleh Allah dari pada doa seorang ayah, karena kewajiban anak kepada ibu lebih besar dari pada kepada ayah, lagi pula kasih sayang ibu lazimnya melebihi kasih sayang ayah (Lihat, al-Imam at-Thibi, al-Kasyif ‘an Haqaiqis Sunan, hal. 1717; al-Imam al-Munawi, Faidhul Qadir Syarhil Jami’is Shaghir, juz III, hal. 303; dan ‘Ali al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Misykati Mashabih, juz V, hal. 130).

Nah, cara-cara yang memudahkan terkabulnya doa tersebut adalah dengan berdoa setelah melakukan amal saleh. Dalam catatan sejarah telah ditulis, bahwa ayah Imam al-Ghazali sebenarnya bukan ulama besar. Akan tetapi setiap menghadiri pengajian seorang alim, beliau selalu berdoa agar anaknya dijadikan seorang ulama besar dan orang saleh. Doa beliau pun akhirnya dikabulkan, dan al-Ghazali menjadi ulama besar yang menyandang gelarhujjatulIslam.

Mendahulukan amal saleh, sebelum berdoa, agar doa cepat dikabulkan, telah dikemukakan oleh para ulama. Antara lain al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqallani yang berkata sebagai berikut:

وَيَتَقَرَّبُ إلَى اللهِ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ الْخَيْرِ فَإِنَّ لَهُ أَثَرًا فِي اْلإِجَابَةِ عَلَى مَا وَرَدَ فِي الْخَبَرِ ، انْتَهَى. يُمْكِنُ أَنْ يُسْتَدَلَّ لَهُ بِمَا سَيَأْتِي قَرِيبًا مِنْ قِصَّةِ الثَّلاَثَةِ أَصْحَابِ الْغَار .

“(Sebelum berdoa kepada Allah, hendaknya) mendekatkan diri kepada Allah dengan aneka kebajikan yang mampu dilakukannya, karena hal itu berpengaruh dalam terkabulnya doa seperti yang datang dalam hadits Nabi SAW. Hal ini dapat diambil dalil dengan hadits yang akan datang tentang kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqallani, al-Talkhikh al-Habir, juz II, hal. 305).

Para ulama juga menjelaskan tentang orang-orang yang doanya pasti dikabulkan oleh Allah SWT. Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari berkata:

وَمِنَ الدَّعَوَاتِ الْمُسْتَجَابَةِ دَعْوَةُ الْمُسْلِمِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَاْلإِمَامِ الْعَادِلِ، وَالْمَظْلُوْمِ، وَالْوَالِدِ، وَالْمُسَافِرِ، وَالرَّجُلِ الصَّالِحِ، وَالْمُضْطَرِّ كَالْغَرِيْقِ، وَالْوَلَدِ الْبَارِّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرِيْضِ، وَمَنْ ذَكَرَ اللهَ حَتَّى غَلَبَ عَلَيْهِ النَّوْمُ. (شيخ الإسلام زكريا الأنصاري، تلخيص الأزهية في أحكام الأدعية، ص ٦٤).

“Di antara doa-doa yang dikabulkan adalah doa seorang Muslim bagi saudaranya yang berada di tempat lain, doa orang yang sedang berpuasa, pemimpin yang adil, orang yang dizalimi, orang tua, orang yang bepergian, laki-laki saleh, orang yang dalam keadaan kritis seperti orang yang tenggelam, anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, orang sakit dan orang yang berdzikir kepada Allah sampai tertidur.” (Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, Talkhish al-Azhiyah fi Ahkam al-Ad’iyah, hal. 64).

Dalam paparan di atas dijelaskan bahwa di antara doa yang dikabulkan adalah doa orang yang sedang berpuasa dan doa orang tua. Hal ini selain didasarkan pada hadits sebelumnya, juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW berikut ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: اَلصَّائِمُ حِيْنَ يُفْطِرُ ، وَاْلإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ.

“Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Tiga orang yang permohonannya tidak akan ditolah. Yaitu, orang yang berpuasa ketika berbuka, pemimpin yang adil dan doa orang yang dizalimi.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi [3598] dan menilainya hasan, dan Ibnu Majah [1752], serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban (al-Ihsan, [3428]).

Hadits tersebut memberikan pesan bahwa seseorang yang menginginkan doanya dikabulkan, hendaklah berdoa sambil menjalankan ibadah puasa. Seorang ayah, apalagi seorang ibu, yang menginginkan anaknya menjadi anak yang baik dan sukses, hendaknya berdoa kepada Allah, karena doa mereka pasti dikabulkan oleh Allah. Apalagi berdoa sambil berpuasa, tentu harapan terkabulnya doa akan semakin kuat dan lebih cepat, berdasarkan hadits di atas. Baik ia berpuasa bertepatan dengan hari kelahiran anaknya, maupun berpuasa di hari-hari yang lain. Berpuasa pada hari kelahiran anaknya, atau pada hari yang lain, dalam rangka memohonkan anaknya agar menjadi orang yang baik dan sukses, tidak termasuk bid’ah, bahkan dianjurkan berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Dalam kaidah ushul fiqih dijelaskan:

إِنَّ اْلآَية اَوِ الْحَدِيْثَ إِذَا شَمِلَتْ بِعُمُوْمِهَا أَمْرًا دَلَّ عَلىَ مَشْرُوْعِيَّتِهِ.

“Sesungguhnya ayat atau hadits, apabila dengan keumumannya mencakup terhadap suatu perkara, maka menunjukkan bahwa perkara tersebut memang disyariatkan.”

Hadits yang menjelaskan tentang terkabulnya doa orang tua dan doa orang yang sedang berpuasa, bersifat umum dan mencakup terhadap berpuasa dan berdoa pada hari kelahiran sang anak dan lainnya, sehingga berdoa dan berpuasa pada hari tersebut termasuk juga disyariatkan, berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Hal ini juga menjadi dasar keabsahan melaklukan sedekah (berupa uang, makanan, dll), kemudian diikuti dengan doa tertentu, baik itu bertepatan atau tidak dengan hari kelahiran, hari pernikahan dan lain sebagainya.

Kisah Memilukan Riwayat Desa Ngareanak


Desa Ngareanak merupakan salah satu desa di Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal yang terletak di ibu kota Kecamatan Singorojo yang merupakan jantung kota kecamatan. Secara administratif Desa Ngareanak berada di wilayah Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Desa Ngareanak merupakan salah satu dari 13 desa yang berada di wilayah Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal dan memiliki batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah utara               : Desa Kalirejo
Sebelah timur              : Desa Kedungsari
Sebelah Selatan           : Desa Banyuringin
Sebelah Barat              : Desa Singorojo

Desa Ngareanak berada pada lokasi yang sangat strategis, yaitu di wilayah jalan raya Boja-Sukorejo. Desa Ngareanak memiliki 20 RT dan 8 RW, serta 3 dusun, yaitu Dusun Ngareanak, Dusun Kaliwesi, dan Dusun Patukan. Pada wilayah Kabupaten Kendal, Desa Ngareanak berada di sebelah tenggara, dengan kondisi alam yang berbukit dan berlembah. Desa Ngareanak berada di wilayah dataran tinggi. Sebagian besar wilayah hutan, perkebunan, dan pertanian dengan tanaman hutan berupa pohon jati perkebunan karet dengan kondisi tanah notabennya adalah tegalan tadah hujan.

Sejarah Desa

Berdasarkan cerita tutur tinular yang berupa penggalan – penggalan sejarah yang diceritakan oleh para sesepuh desa, berhasil dirangkai sebuah rangkaian cerita sejarah terkait dengan asal muasal dan keberadaan Desa Ngareanak, dalam sebuah rangkaian bahasa tutur.

Sesungguhnya sejarah Desa Ngareanak tidak dapat dipisahkan dengan cerita babad tanah Kendal maupun sejarah perjuangan Nasional Indonesia karena di dalamnya memuat berbagai bentuk perlawanan rakyat terhadap keberadaan penjajah di Indonesia. Berdasarkan cerita yang dapat diperoleh dari sesepuh desa, Pemerintahan di Desa Ngareanak dimulai pada masa hidupnya seorang sakti bernama Ki Ageng Ngareanak.

Beliau adalah salah seorang pemimpin di wilayah ini yang dengan gigih memimpin santri dan masyarakat Ngareanak melawan Belanda.  Kewibawaan beliau dikenal oleh masyarakat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu karena kegigihan beliau memperjuangkan kemerdekaan masyarakatnya.

Pada suatu ketika, kakak beradik seperguruan Ki Ageng Lor (Ki Ageng Ngereanak) meminta bantuan saudaranya Ki Ageng Kidul (Ki Ageng Kalinongko) yang tinggal di Dusun Biron, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung.  Dalam perjalanan yang menempuh jarak cukup jauh, Ki Ageng Kidul beristirahat di tepi sebuah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Kidul memakan buah nangka, kemudian biji – bijinya ditanam di tepi sungai tersebut.  Karena inilah, beliau selanjutnya diberi nama Ki Ageng Kalinongko. Setelah menyelesaikan permasalahannya, selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah kampung/ Dusun bernama Kaliwesi.

Dalam kunjungannya ini, Ki Ageng Kalinongko mengetahui bahwa Ki Ageng Lor memiliki anak perempuan yang sangat cantik bernama Nyai Pare Anom, yang kecantikannya terkenal dimana-mana.  Melihat kecantikan Nyai Pare Anom yang sangat mempesona, Ki Ageng Kalinongko berniat melamar anak perempuan Ki Ageng Lor untuk dijadikan sebagai menantu.  Pada suatu hari, Ki Ageng Kalinongko mengirimkan utusan untuk menghadap kepada Ki Ageng Lor dalam rangka melamar putrinya.  Karena putri tersebut belum berumah tangga, Ki Ageng Lor “ngareh – areh” (membujuk) anaknya agar mau dijodohkan dengan anak Ki Ageng Kalinongko.  Akan tetapi karena belum ingin berumah tangga, sang putri menolak,karena khawatir keputusannya menyinggung dan melukai perasaan orang tua dan Ki Ageng Kalinongko yang merupakan Paman sendiri, akhirnya Nyai Pare Anom bunuh diri.  Usaha Ki Ageng Lor dalam membujuk (jawa=Ngareh-areh) anak,kemudianoleh Ki Ageng Lor wilayah tersebut diberi nama “Ngareanak”.  Sehinggadari tersohornya wilayah tersebut, maka oleh khalayak rame Ki Ageng Lor dikenal dengan sebutan Ki Ageng Ngareanak yang nama aslinya adalah Ki Ageng Purboyoso Kusumo.

Karena masalah pernikahan yang gagal itu, terjadilah pertempuran antara kedua kakak beradik seperguruan.  Sebelum berperang, Ki Ageng Ngareanak berpesan kepada anak buahnya atau sahabatnya, agar apabila dalam peperangan itu keduanya mati sampyuh (=mati semua), maka jenazah yang terbujur ke Selatan dibawa ke Kalinongko sedangkan jenazah yang terbujur ke Utara di bawa ke Ngareanak.  Pertempuran dahsyat tersebut terjadi di wilayah Kecamatan Gemawang.  Kedua tokoh tersebut mati bersama (jawa=sampyuh) setelah keduanya mengalami luka yang sangat parah yang diakibatkan oleh kesaktian mereka sendiri.  Kematian keduanya ditandai dengan muncrat/ memancarnya darah mereka sehingga daerah dimana kedua Ki Ageng ini meninggal sekarang ini bernarna Desa Muncar. Sesuai pesan Ki ageng Ngareanak maka jenazah Ki Ageng Ngareanak yang membujur ke Selatan dibawa ke Desa Kalinongko, Kecamatan Gemawang (eks. Karesidenan Kedu).  Sedangkan jenazah Ki Ageng Kalinongko di bawa ke Desa Ngareanak, karena ketika ditemukan jenazahnya membujur ke arah Utara.

Pertempuran tersebut terjadi pada malam hari.  Dan pada pagi harinya barulah diketahui bahwa jenazah yang dibawa masing-masing prajurit ternyata keliru.  Ternyata yang dibawa prajurit Kalinongko adalah jenazah Ki Ageng Ngareanak.Karena mengetahui yang dibawa adalah bukan jenazah Ki Ageng Kalinongko, maka jenazah Ki Ageng Ngareanak di makamkan di wilayah lain, yaitu Dusun Biron, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang.

Begitu juga sebaliknya prajurit Ngareanak mengetahui bahwa ternyata yang dibawa adalah jenazah Ki Ageng Kalinongko.   Sesampainya di Desa Ngareanak, jenazah Ki Ageng Kalinongko dibaringkan di atas batu tepi sungai.  Melihat luka di tubuh beliau yang mrampang (arang kranjang) selanjutnya sungai tersebut diberi nama kali mrampang atau yang saat ini menjadi Kali Prompangan (di wilayah Dusun Kaliwesi, Desa Ngareanak).  Namun ketika akan dimakamkan oleh para prajurit Ngareanak terjadilah keajaiban, ternyata jenazah Ki Ageng Kalinongko murca (=menghilang).

Sebelum terjadi pertempuran secara langsung antara kedua tokoh sakti ini, terjadi adu kesaktian yang dimiliki beliau.  Ki Ageng Ngareanak memiliki kesaktian berupa kemayan penjelmaan Tikus yang bernama Tikus Jinodo.  Sedangkan Ki Ageng Kalinongko memiliki kesaktian berupa kemayan penjelmaan burung Garuda. Keduanya beradu kesaktian, strategi dan kelicikan, setelah pertempuran berjalan sekian lama, karena merasa lelah, burung Garuda beristirahat dengan bertengger di atas pohon bambu Petung.  Garuda tidak mengetahui bahwa tikus Jinodo masuk ke dalam bambu dengan melobangi ruas-ruas bambu petung tersebut dan setelah berhasil mencapai posisi dimana Garuda bertengger, sehingga tikus Jinodo berhasil membunuhnya.  Kematian burung Garuda ini selanjutnya menjadi awal pertempuran secara langsung antara kedua tokoh sakti tersebut.  Keberhasilan tikus Jinnodo melobangi ruas – ruas bambu sampai saat ini masih dapat ditemui buktinya dengan masih diketemukannya bambu petung yang dalamnya tidak beruas dari atas sampai bawah di daerah kebun Kemantren wilayah Gemawang.

Dengan wafatnya Ki Ageng Ngareanak/ Ki Purboyoso Kusumo, Desa Ngareanak mengalami kekosongan pimpinan pemerintahan. Kekosongan berlarut-larut dalam waktu yang cukup lama.  Hal ini diketahui oleh Pemerintah Hindia Belanda yang bermarkas di daerah Rejowinanngun atau Kalisat sehingga kemudian terjadi penunjukan/ pemilihan kepala desa pertama yang dijabat oleh bapak Tjo Pawiro, sebagai Kepala Desa pertama.  Pada masa pemerintahannya, beliau mengembangkan agama islam di Desa Ngareanak bersama sesepuh agama Islam yang bernama Mbah Kyai Ibrahim.

Sejarah Gelar Adipati Kolopaking


Trah Kolopaking dengan diawali dengan menikahnya R. Ayu Pambayun Putri Panembahan Senopati dengan Ki Ageng Mangir IV Wonoboyo dan melahirkan Bagus Maduseno yang masa kecilnya yatim piatu karena ayahnya meninggal di Mataram sedangkan ibunya meninggal saat melahirkannya. Pada masa remaja mengembara ke arah barat dan meenetap (tinggal) di daerah Waja diambil menantu Pangeran Hadi dan mempunyai anak Bagus Bodronolo. Dalam pengembaraan Bagus Bodronolo menjadi murid Ki Ajar Geseng dan di ambil menantu oleh Ki Buyut Wanapatra, dan mempunyai anak Ki Bagus Kertasuta, beliau mempunyai anak Ki Bagus Curigo dan menurunkan Ki Bagus Kertodipo dan Ki Bagus Kertowongso. Tokoh terakhir inilah yang kemudian dapat gelar Kolopaking I.

Kisah pemberian gelar Kolopaking sebagai Bupati pada Sunan Amangkurat I dikalahkan oleh Trunajaya, kemudian meninggalkan istana untuk mencari bantuan Kompeni. Perjalanannya ke barat melalui daerah Panjer ( Kebumen sekarang ). Pada saat di Kali Panjer kondisi fisik sedang sakit dan lemah, waktunya malam dan hujan. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, perjalanan tidak mungkin dilanjutkan dan kemudian singgah di kediaman Ki Kertowongso. Pada malam itu Sunan Amangkurat meminta diambilkan kelapa muda untuk diminumnya, tetapi karena suasana malam dan hujan oleh Ki Kertowongso diambilkan kelapa yang sudah kering. Namun begitu di minum, Sunan Amangkurat I langsung sembuh dan badannya segar kembali. Sebagai hadiah kepada Ki Kertowongso adalah pertama diberi gelar dan pangkat R. Tumenggung Kolopaking, dan diberi kekuasaan sebagai Adipati Panjer. Yang kedua diberi hadiah, putrinya yang bernama Dewi Mulat (Klenting Abang). Dinasti Kolopaking dimulai sejak tahun 1677 sampai dengan 1833.

Pada saat akhir pemerintahan di bawah Kolopaking IV bersamaan dengan perang Diponegoro, Kadipaten Panjer di bawah pimpinan Raden Tumenggung Kolopaking IV. Menyatakan diri ada dibelakang perjuangan Pangeran Diponegoro kalah dan tertangkap, keluarga Kolopaking disingkirkan oleh Belanda. Apapun yang berbau Kolopaking baik nama, cerita atau adat harus dihilangkan. Walaupun begitu keluarga Kolopaking tetap berjuang dengan gigih melawan Belanda dan akhirnya Belanda merasa kewalahan.

Salah satu kisah menyebutkan pertempuran prajurit Kolopaking melawan Belanda, disebelah utara (kota Kebumen sekarang) ada Gunung Pogog. Karena gunung tersebut pada mulanya tinggi oleh Kolopaking gunugn tersebut dipotong dengan kerisnya untuk menutup celah perlindungan sehingga gunung yang dipotong tersebut menjadi pogog. Potongan gunung itu oleh Arungbinang IV dicongkel memakai tongkat pusakanya dan dilempar ke arah timur jatuh dipersawahan menjadi Gunung Gendek (gundukan) yang sekarang menjadi perumahan RSS Jatimulyo dan di sebut pula dengan nama Gunung Malang Kencana.

Pada tahun 1870 didapati kesepakatan Kolopaking IV sanggup berhenti berperang dan tidak masuk kembali ke dalam struktur Birokrasi/Kepemerintahan Kabupaten Kebumen apabila kedua anaknya lelaki dijadikan bupati pemegang wilayah. Disini nampaknya Kolopaking IV sedikit lebih mawas diri dengan sikap ksatrianya bahwa ia merasa tidak diberi mandat oleh Kraton Kasunanan Surakarta sebagai Adipati –walaupun Kraton hanya sebagai simbol karena hakekatnya Kompenilah yang berdaulat dan berkuasa atas semua keputusan Kraton−. Atau memang ia tidak minat lagi menduduki jabatan Adipati seperti leluhurnya dahulu –Ki Bagus Badranala dan anak turunnya−, dan meminta haknya diberikan kepada anak-anaknya serta peperangan yang sudah dilalui lebih termotif hanya untuk melawan Kompeni seperti halnya ayahnya, Kolopaking IV yang merupakan senopati perang laskar Diponegaran. Hasil perundingan tersebut disetujui Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1875. Tahun 1878 Putra Kolopaking IV yang bernama Ki Atmodipuro diangkat menjadi Bupati Banjarnegara bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Jayanegara I menggantikan Bupati Raden Arya Dipodiningrat. Sedang yang bernama Ki Sukadis diangkat menjadi Bupati Karanganyar –bukan Karanganyar timur Solo tetapi Karanganyar yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Kebumen sebagai Kecamatan Karanganyar− bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Kertonegoro menggantikan Bupati Kanjeng Raden Tumenggung Jayadiningrat.

Selain kisah pertempuran antara Kolopaking IV dan Arungbinang IV di tengah persawahan, keduanya mempunyai kekuatan berimbang. Setelah pertempuran berjalan cukup lama, lengan Kolopaking IV tergores tombak Arungbinang IV dan mengeluarkan darah. Sepengetahuan Arungbinang IV siapa yang terkena tombaknya sampai luka pasti langsung mati, namun Kolopaking IV tidak, dan darah yang jatuh menjelma menjadi ular-ular berbisa dan memburu Arungbinang IV melarikan diri menghindari kejaran ular-ular berbisa tersebut. Karena pertempurannya sangat kuat (kenceng) maka tempat tersebut dinamakan Si Kenceng ( dekat Stadion Candradimuka sekarang).

Makam KRAT Kolopaking

Kompleks Makam Tumenggung Kalapaking Kalijirek Kebumen berada di perbukitan kecil di Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Gerbang candi bentar yang menjadi akses masuk ke dalam kompleks Makam Tumenggung Kalapaking Kalijirek Kebumen itu dicapai dengan menapaki sekitar sebelas anak tangga. Tulisan "Makam Tumenggung Kolopaking" terlihat menggantung diantara kedua pilar gerbang, dan lambang Kabupaten Kebumen ikut dipasang pada dinding pilar gerbang makam.

Ada makam bersisian, yang sebelah kiri bertulis "Rd. Ng. Mangoenatmodjo wafat pada 10 Oktober 1928", dan di sebelahnya makam bertulis "Rd Ayu Mangoenatmodjo wafat pada 31 Juli 1932". Kedua makam itu terbuat dari batu pualam, nisannya berbentuk bunga dengan lingkaran di tengahnya. Tak saya temukan informasi mengenai siapa kedua mendiang ini. Lalu ada makam tunggal ukuran 2x2,5 meter dengan tinggi 1 m. Yang menarik adalah pada nisannya terdapat relief lambang bulan sabit bintang, dan bertulis huruf Arab dan Jawa.

Untuk mencapai pintu Makam Tumenggung Kalapaking Kalijirek Kebumen ini setidaknya ada 15 undakan yang harus dilewati. Pintunya terkunci, sehingga bisa masuk ke dalam hanya jika ditemani kuncen. Di atas pintu makam terdapat tengara Makam Tumenggung Kalapaking. Daun Pohon Kamboja kering tampak bertebaran di anak tangga, menunggu dibersihkan.

Cungkup Makam Tumenggung Kalapaking berbentuk bangunan segi empat memanjang ke arah kiri dan di bagian sebelah kiri dindingnya tidak tertutup rapat, hanya dibatasi dengan kisi-kisi. Dari atas kisi-kisi itu pejalan masih bisa melongok ke dalam area makam dan melihat isinya meskipun tidak bisa masuk ke dalam cungkup mendekati kuburnya.

Di dalam makam terdapat silsilah Kalapaking. Dimulai dari Dewi Retno Pembayun, puteri Panembahan Senopati, yang menikah dengan Ki Ageng Mangir Wonoboyo dan berputra RM Madusena, lalu berputra RM Badranala, berputra RM Kertasuta, berputra Kyai Curiga, dan berputra RT Kalapaking I (R Kertawangsa).

Kalapaking I menikahi BRAJ Mulat (Kletingabang, puteri Amangkurat I), berputra RT Kalapaking II (RM Mandingan), berputra Kalapaking III (RM Suleman Kertawangsa), berputra RT Kalapaking IV (RM Endang Kertawangsa).

Sastro Jendro Hayuningrat Pangleburing Diyu


Di antara para pembaca yang budiman barangkali bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan pendekatan rasionalisme dan apapula yang dimaksud dengan pendekatan emphirisisme dalam tradisi memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara kita untuk mengenali dan membedakan di antara keduanya?

Untuk membedakannya, kita bisa melihat apakah objek yang dibahas itu adalah sesuatu yang bisa dilihat ataukah sesuatu yang menjadi objek pembahasan itu tidak bisa terlihat. Jika objek dari pokok bahasan itu bisa dilihat seperti objek biologi, kimia, fisika dan lain-lain maka kita menyebutnya dengan ilmu emphirisme. Sementara jika objeknya tidak bisa terlihat seperti fildafat, bahasa, matematika, agama kita menyebutnya dengan ilmu rasionalisme. Jikalau kita sudah bisa mengenali mana persoalan ilmu yang disebut dengan emphirisisme dan mana yang disebut dengan rasionalisme maka apakah yang menjadi pembeda di antara keduanya ? Bagaimana persoalan pengetahuan dari sudut pandang orang-orang emphiris dan bagaimana pula dari sudut pandang orang-orang rasional? Jawaban sederhananya ; adalah terletak pada penekanan fungsi akal. Menurut orang-orang emphiris tidak ada satupun di alam semesta ini yang masuk akal kalau sesuatu itu tidak bisa dilihat dan dialami. Fungsi akal pada persoalan ini persis seperti fungsi cermin, yaitu hanya menerima bayangan yang masuk lalu kemudian memantulkannya lagi. Dengan memahami persoalan fungsi akal ini maka menurut kaum emphiris manusia itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang mereka usahakan dan karena itulah maka semua orang akhirnya memiliki takaran pengetahuan yang berbeda-beda karena berangkat dari pengalaman olah akal yang berbeda-beda pula.

Sedangkan menurut kaum rasional justru sebaliknya. Menurut pendapat mereka fungsi akal justru untuk mengingat-ingat kembali (recalling) apa-apa yang sudah ada di dalam akal itu sendiri. Jadi tidak benar kalau akal mendapatkan pengetahuan dari indra dan pengalaman karena sesungguhnya pengetahuan manusia itu sudah melekat pada dirinya sendiri jauh-jauh hari sebelum mereka terlahir ke planet bumi ini. Karena fungsi akal adalah untuk recalling atau mengingat-ingat kembali, maka dengan sendirinya semua orang sesungguhnya mempunyai potensi pengetahuan yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada kemampuan recalling masing-masing individu.

Ilmu Spiritual yang Metodis dan Ilmiah

Sastra jendra, merupakan ngelmu yang diperoleh melalui perpaduan antara metode olah batin, pendekatan emphirisisme dan rasionalisme. Ketiga pendekatan tersebut harus matching, sinambung dan sepadan. Untuk itu sastra jendra bukanlah ngelmu yang hanya sekedar jarene atau katanya. Dapat dikatakan Ngelmu sastra jendra diperoleh sebagai hasil dari olah batin yang gentur dilakukan dalam waktu yang lama sehingga membuahkan hasil berupa pengalaman batin dan pengalaman lahir. Bahkan ngelmu sastra jendra merupakan ilmu rahasia “langit” yang berhasil diproses agar “membumi”. Dengan demikian dalam kawruh sastra jendra,tidak ada lagi kegaiban yang tidak masuk akal. Segala yang gaib justru sangat masuk akal, bisa diterima oleh logika penalaran. Artinya, otak kiri sudah berhubungan erat dengan otak kanan. Otak kanan sudah pernah menerimanoumena (“fenomena gaib”) yang diterima oleh mata batin maupun wadag. Bagi yang belum bisa memahami gaib secara akal, atau masih menganggap gaib sebagai sesuatu yang irasional, hal itu menandakan ia belum berhasil melewati proses demi proses ngelmu Sastra Jendra secara tuntas.

Pada awalnya untuk mendapatkanngelmu Sastra Jendra ditempuh melalui metode olah batin yang berat dan panjang. Untuk memperoleh Ngelmu sastra jendra, seseorang tidak hanya cukup yakin saja. Tetapi harus bisa membuktikan sendiri, dengan menyaksikan, mengalami dan merasakan sendiri fakta di balik rahasia alam wadag maupun di “alam” gaib. Dalam metode atau pendekatan ngelmu satra jendra, kebenaran bukanlah sekedar postulat, aksioma, argumentasi rasional, apalagi sekedar keyakinan saja.

Kebenaran sekalipun bersifat gaib dan dalam ranah idealitas, tetap harus bisa dibuktikan secara “ontologis” dan “epistemologis” atau obyek dan subyek ilmu. Oleh sebab itu, dalam tradisingelmu sastra jendra pengalaman gaib bukan lagi pengalaman batin yang bersifat subyektif, melainkan pengalaman yang bersifat obyektif dapat dibuktikan oleh orang lain yang memiliki kemampuan olah batin yang sama. Apabila pengalaman gaib dikatakan subyektif hal itu karena kenyataan bahwa hanya sedikit orang-orang yang sungguh-sungguh bisa membuktikan dan mempunyai pengalaman gaib tersebut. Secara epistemologis, metode pembuktian dilakukan oleh beberapa orang yang sama-sama mampu merambah ke dalam dimensi gaib untuk melakukan pembuktian bahkan tidak menutup kemungkinan menemukan suatu “hipotesis” baru. Hasil dari pembuktian itu lalu diambil suatu kesimpulan yang dirumuskan sebagai sebuah rumus-rumus yang berlaku di alam kegaiban. Misalnya; seperti kisah keajaiban yang pernah saya posting  bahwa organ tubuh manusia yang “disimpan” di dalam dimensi atau alam kehidupan sejati (alam kelanggengan) tidak akan rusak atau busuk, karena di sono tidak ada rumus kerusakan sebagaimana dimercapada atau bumi. Merca adalah panas atau rusak, pada adalah tempat atau papan. Segala sesuatu yang ada dimercapada berarti akan terkena rumus kerusakan. Rumus ini tidak berlaku di alam kelanggengan atau alam kehidupan sejati. Rumus ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa “aneh” (sebut saja mukjizat) di mana seorang anak angkat yang menghibahkan ginjalnya untuk ditransplantasi kepada ibu angkatnya selama lebih kurang 15 tahun lamanya hingga wafat dalam kondisi baik dan sehat. Setelah beberapa tahun sejak ibu angkatnya wafat, ginjal itu benar-benar kembali ke dalam perut anak angkat yang menghibahkannya dulu, dan tetap berfungsi secara normal lagi. Peristiwa mukjizat tersebut TIDAK terjadi sekonyong-konyong, ujug-ujug, dan bukannya peristiwa yang tidak bisa dijelaskan prosesnya. Melalui ngelmu sastra jendra, peristiwa itu dapat dijelaskan secara rasional oleh orang lain dan secara emphiris oleh ybs (anak angkat tersebut). Maka dari itu ngelmu sastra jendra bisa disebut sebagai ilmu spiritual (gaib) yang ilmiah. Dapat dilakukan verifikasi (uji kebenaran) atas hipotesa-hipotesanya oleh banyak orang terutama yang mampu membuktikan.

Hanya saja, kelemahan ngelmu sastra jendra yang memverifikasi hipotesis haruslah seseorang yang sudah berkompeten, mahir dalam berinteraksi dengan dimensi gaib. Tak cukup hanya melalui disiplin ilmu  pengetahuan saja. Kelemahan metode ini selain sangat terbatas orang yang bisa menguji atau memverifikasi kebenarannya, juga orang yang mengaku bisa menguji harus terseleksi hingga lulus uji terlebih dahulu. Sebab bukan tidak mungkin orang tersebut masih rancu dalam memahami gaib. Kerancuan yang disebabkan oleh adanya polutan yang bernama ilusi, imajinasi, dan fantasi hal-hal gaib atau dogma yang mengendap di alam bawah sadarnya yang sewaktu-waktu bisa muncul seolah gambaran gaib. Sebaliknya, yang menseleksi juga harus diseleksi terlebih dahulu. Hal itu dapat dilakukan apabila semakin banyak orang waskita yang mampu berinteraksi dengan gaib secara bersama-sama melakukan uji kebenaran dan dilakukan sejujur-jujurnya. Orang-orang seperti ini jarang kita temukan di zaman sekarang di mana kesadaran kosmos telah terampas oleh kesadaran semu dogma, termasuk pula yang semata-mata mengandalkan daya analisa otak kiri yang limited. Namun masih ada secercah harapan, dengan hadirnya anak-anak kristal, yang jauh lebih cermat dan matang dari anak-anak indigo serta kawula muda bangsa yang kini tampak semakin bersemangat untuk belajar mempertajam batin. Sedikit orang waskita yang memiliki ketajaman batin bukan berarti merupakan takdir atau garis hidup dan bakat alamiah. Bagi saya pribadi, setiap orang memiliki “software” yang kurang lebih sama, sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mempertajam mata batinnya  asal saja mau mengolahnya dengan sungguh-sungguh.

Lebih lanjut tentang metode memperoleh ngelmu sastra jendra, secara ontologis ia memiliki obyek penelitian yang bersifat gaib maupun wadag (tanda-tanda/bahasa alam) tetapi apa sesungguhnya yang terjadi masih sangat rahasia. Namun sekali lagi, kegaiban bukan berarti tidak bisa dilihat dan dialami secara emphiris, tidak pula melulu hanya dibahas dengan pendekatan rasionalisme.  Hanya saja walaupun obyek gaib (noumena) benar-benar ada, namun belum tentu langsung bisa dilihat secara wadag oleh setiap orang. Bagi orang yang bisa melihat, menyaksikan dan merasakan sendiri obyek gaib, hal itu merupakan sebuah pengalaman emphiris yang biasa-biasa saja. Gaib bukan lagi sekedar bisa dijabarkan melalui pendekatan idealisme-rasionalisme, namun juga dengan mudah dapat diketahui dan dalami secara emphirisisme. Semua tergantung pribadi masing-masing apakah ada kemauan atau tidak. Dengan metode itulah Ngelmu sastra Jendra lahir dari orang-orang waskita di zaman dahulu. Ngelmu Sastra Jendra tak ubahnya “pisau analisa” yang mampu mengupas rahasia di dalam NOUMENA atau gejala-gejala yang ada di dimensi gaib, apalagi hakekat dan rahasia di balik FENOMENA atau gejala-gejala yang ada di dimensi wadag.

Antara Keyakinanisme denganSpiritualisme

Lantas di mana posisi keyakinan dalam hal ini ? Tentu saja keyakinan tidak memiliki metode ilmiah sebagaimanaNgelmu Sastra Jendra. Keyakinan melimputi dua kutub yakni; yakin untuk meyakini adanya sesuatu atau pun yakin untuk meyakini tiadanya sesuatu. Kedua kutub keyakinan tersebut sama-sama hanya butuh pengakuan subyektif saja untuk sekedar meyakini saja! Asas utama kedua kutub keyakinan itu adalah sikap percaya tanpa perlu membuktikan melalui pengalaman batiniah, emphiris  dan rasional. Nah, ngelmu sastra jendrabisa digunakan untuk membuktikan sekaligus menguatkan dua macam kutub keyakinan dengan cara membuktikan apakah sesuatu yang diyakini atau tidak diyakininya benar adanya. Dengan cara berusaha untuk mengalami dan menyaksikan paling tidak merasakannya, sehingga tidak hanya sekedar yakin, tetapi menjadi hak atau kesadarannya akan adanya kebenaran sejati. Meskipun demikian kedua kutubkeyakinan mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menopang mental seseorang. Sebaliknya, kelemahan dari kedua kutub keyakinan tersebut masing-masing dapat terpatri secara kuat dalam benak, menyingkirkan kemampuan nalar dan batin untuk memahaminya secara rasional dan secara esensial (hakekat). Bahkan dua kutub keyakinan dapat menjadi lebih kuat daripada pengalaman emphiris dan pengetahuan rasionalitas. Karena kedua keyakinan (sengaja) bertumpu pada sesuatu yang teramat jauh dari jangkauan rasionalisme dan emphrisisme itu sendiri. Jika kita mau jujur, pada saat keyakinan adanya sesuatu atau keyakinan akan tiadanya sesuatu kita serap dengan nalar dengan tanpa disertai olah batin untuk sekedar merasakan bahkan melihat atau mengalami sendiri, nyaris tak ada bedanya pada saat nalar kita menikmati sebuah imajinasi, mitologi, legenda dan dongeng. Dan masing-masing pemegang sikap keyakinan untuk yakin adanya sesuatu dan keyakinan untuk menolak adanya sesuatu, keduanya memiliki kecenderungan yang sama yakni, menganggap bahwa keyakinan dirinyalah yang paling benar sementara ia sulit membuktikannya sendiri.

Sementara itu kesadaran spiritual (ketuhanan) lebih cenderung memahami kehidupan ini  secara bijak dan arif. Ia sadar bahwa jalan menggapai spiritualitas adalah beribu bahkan bermilyar cara yang tiada batasan jumlahnya. Ibarat bilangan berapapun jika dibagi nol (0) ketemunya adalah bilangan tak terbatas. Atau sejatine ora ono opo-opo, sing ono kuwi dudu. Manusia bisa manembah kepada Gusti Yang Maha Tunggal (suatu episentrum dari segala episentrum zat energi yang maha dahsyat atau energi hidup yang menghidupkan) dengan sebanyak nafasnya. Bagaikan aktifitas menghirup udara bisa kita hitung, berapa kali dalam sehari, dan dilakukan oleh berapa banyak orang. Tetapi udara itu sendiri merupakan suatu zat yang tak bisa dihitung. Sikap manembah berarti menselaraskan zat yang ada dalam diri kita dengan zat maha dahsyat tersebut. Lebih lanjut soal spiritualisme, bahwa nilai-nilai spiritual akan tumbuh dengan sendirinya seiring-sejalan dengan makin banyaknya pengalaman demi pengalaman batin dan lahir yang individu alami sendiri. Maka spiritualisme berakar pada suatu pengalaman batin, dan tak dapat disangkal dan ditolak bahwa kecenderungan setiap individu adalah bersentuhan dengan suatu pengalaman batin. Bagi yang mau mencermatinya, tentu akan mendapatkan pengetahuan spiritual, sebaliknya akan mengabaikan pengalaman batin tersebut bagai angin berlalu begitu saja tanpa bekas.

Kebimbangan ; Pertarungan Nurani dengan Nalar

Terkadang nurani merasakan adanya kejanggalan atas sesuatu yang kita yakini atau pun yang tidak kita yakiniselama ini. Hingga timbul keraguan yang sangat bergolak di dalam sanubari. Hal itu wajar karena apa yang diyakini atau tidak diyakini merupakan sesuatu yang belum pernah dilihat dan dialami sendiri, sehingga “keimanan” sangat rentan bergoyah. Kebimbangan demi kebimbangan muncul saat terjadi pemberontakan nurani terhadap pola pikir yang selama ini hanya menyerap ilmu melalui doktrin semata. Termasuk di dalamnya manakala anda akan melakukan sesuatu keputusan yang membuat bimbang. Hal ini menunjukkan adanya daya tarik menarik antara getaran nurani dengan pertimbangan nalar anda sendiri. Bila kekuatan keduanya berimbang akibatnya kebimbangan itu muncul, yang disertai keraguan, dan ketidakpuasan terhadap apa yang anda yakini ataupun yang tidak anda yakini selama ini.

Nalar kita yang sudah terpola  (mind-setting) oleh doktrin keyakinan sejak kanak-kanak, biasanya nalar tersebut dengan sekuat tenaga akan segera mencegah kesadaran nurani yang sedang menggeliat, dengan buru-buru mendefinisikan geliat nurani itu sebagai bentuk gangguan mahluk halus. Kesadaran indoktrinasi bagaikan “lingkaran setan”. Kesadaran indoktrinasi meretas nilai-nilai doktrin yang baru. Nalar yang sudah terdoktrin cenderung mendoktrin kesadaran kita, dengan cara meyakin-yakinkan diri kita atas suatu dalih bahwa keyakinanmerupakan wilayah yang tabu untuk disentuh dan dijabarkan di depan publik. Atau ditekankan suatu konsep bahwa “hanya tuhan saja yang paling berhak mengetahui segala sesuatu yang gaib”.Walau kenyataannya banyak sekali manusia yang berkesempatan merasakan, mengalami dan menyaksikan suatu noumena di alam kegaiban. Dalam titik kulminasi terjadiextreme ignorance, atau kesalahan yang fatal, di mana nalar yang terindoktrinasiberusaha membunuh setiap getaran nurani. Nalar dengan serta-merta menjatuhkan vonis bahwa kebimbangan dan keraguan terhadap suatu keyakinan bukan datang dari nurani, melainkan wujud nyata “bisikan setan” yang bertujuan menggoyahkan keimanan seseorang. Nalar kita mampu bekerja secara otoriter, artinya tidak berperan secara dinamis melalui prinsip dialektika, dialog imbal balik, atau kontemplasi mendalam dalam memahami kehidupan ini.  Tabiat nalar yang otoriter justru melahirkan dehumanisme, mencetak karakter pribadi yang tumpul mata batinnya. Alam bawah sadar yang merangkum nilai doktrinasi sejak kecil menciptakan akal fikiran yang sangat terpola dan menjadi kaku, tertutup, serta anti toleran (sikap fanatisme).

Sudah menjadi hukum alam semesta bahwa kehidupan ini bersifat dinamis, walau seringkali memakan waktu teramat  panjang dan terlambat. Bisa jadi lambat laun kekuatan nurani memenangkan pertarungannya dengan kekuatan nalar yang terindoktrinasi. Dalam falsafah Jawa dikenal rumus-rumusnya misalnya becik ketitik, ala ketara. Sepadan dengan peribahasa berikut; serapat-rapatnya menyimpan bangkai, toh akhirnya tercium baunya juga. Barangkali tahun 2012 di mana daya magnetik galaktika melemah, gravitasi bumi kendur, menyebabkan banyak orang mengalami penurunan gelombang otak, ibarat melakukan meditasi secara massal. Lereming pancadriya, tinarbuka ing waksita. Bisa jadi saat itu kelak menjadi momentum terbukanya kesadaran nurani yang lebih dalam lagi bagi banyak orang. Bila tahun 2012 dianggap sebagai saat kiamat tiba, saya memahaminya sebagai kiamatnya kesadaran semu yang melekat dalam nilai-nilai doktrin, sekaligus merupakan awal lahirnya suatu kesadaran baru, yakni kesadaran sejati berada di relung sanubari kita. Sementara yang gagal lolos seleksi alam, berarti pula pertarungan dimenangkan oleh kekuatan doktrin yang cenderung kontraversi dengan dinamika alam semesta. Kegagalan itu beresiko melahirkan kepribadian mudah stress, gampang bingung, sikap fatalis, hingga gangguan kejiwaan. Ujung-ujungnya adalah sikap ekstrim sebagaimana sikap-sikap radikal.

Sampai kapan nalar kita mampu mencegah pemberontakan kekuatan nurani? Sejak zaman dulu manusia terjebak oleh pola pikir yang menyangka bahwa kedua macam kutub keyakinantersebut selalu dikaitkan dengan kekuatan yang transenden (berada di luar diri manusia), yang memiliki hukum sebab akibat fantastis. Kebaikan menghasilkan surga, keburukan menyebabkan neraka. Surga neraka pun terjadinya kelak pada waktu yang tak seorangpun tahu kapan akan terjadi sehingga banyak orang cenderung bersantai-santai. Saya kira “surga-neraka” sudah ada sejak saat kita hidup di bumi ini yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hari pembalasan/hukum karma  pun tak perlu dinanti kelak, karena telah terjadi pembalasan tiap hari, yang terangkum dalam mekanisme hukum sebab akibat. Hari ini adalah buah dari apa yang kita lakukan di waktu yang telah berlalu.

Fanatisme vs Spiritualitas Sejati

Nilai-nilai keyakinan diikat dan dipertahankan melalui doktrin-doktrin atau proses hegemoni kesadaran agar seseorang mempercayainya. Sementara itu nilai-nilai spiritual diikat dan dipertahankan oleh diri pribadi karena pengalaman emphiris dan pengalaman batiniah yang sekaligus bisa diterima secara rasional. Spiritualisme adalah pemahaman akan hakekat yang memuat nilai-nilai universal. Tak heran jika seorang spiritualis sejati memiliki sikap toleransi tinggi terhadap keyakinan yang berbeda. Karena spiritualisme berlandaskan pada kesadaran holistic spirituality. Inilah bedanya, fanatisme sejati, dengan spiritualis sejati. Fanatisme bertumpu pada keyakinan saja. Sementara itu spiritualitas sejati bertumpu pada perjalanan batin yang penuh dengan pengalaman emphiris, maupun pengalaman batin yang bisa dipahami dan dijangkau oleh rasio. Seorang fanatis menjelaskan tuhan secara etnosentris, rasis, primordialis dan dogmatis, yang memaksa orang lain agar sependapat dengan dirinya. Fanatis juga memvonis siapapun yang berusaha menjelaskan tuhan secara rasional sebagai kafir (menutup diri dari kebenaran) dan sesat (salah jalan). Hal itu justru mengesankan seolah-olah  kebenaran sejati ditandai bilamana “kebenaran” tersebut tidak bisa dicerna secara rasional. Jikalaupun ada orang yang mampu mengalami persentuhan dengan gaib, baik secara batin maupun emphiris, disebutlah ia sebagai pembohong besar dan telah disesatkan oleh si “setan kober”. Sementara itu spiritualis sejati menjelaskan konsep ketuhanan dengan sifat-sifatnya secara esoteris, demokratis dan universal. Maka seorang spiritualis sejati, ia akan menganalogikan tuhan sebagai wujud sifat dan karakter yang lebih enak dan nyaman dirasakan. Misalnya Mahakasih, Tuhan Yang Tidak Pilih kasih, Yang Tidak Kejam, Yang Maha Welas Asih. Sikap sebaliknya, meyakini tuhan dengan karakter seperti layaknya sifat-sifat nafsu manusia yang menakutkan, misalnya ; kejam, murka, bahkan disangka tuhan pencemburu. Faktanya, konsep tersebut sangat mempengaruhi pola pikir masing-masing orang. Orang yang mengkonsep tuhan maha kejam, ia akan menjadi pribadi yang tega-an. Yang mengkonsep tuhan maha murka, ia akan menjadi pribadi yang gampang marah, bahkan menyangka kemurkaannya adalah absah karena telah mewakili kemurkaan tuhan. Darimana ia tahu tuhan telah murka ? Jika kita mau cermati adalah suatu fakta di lingkungan kita, bahwa landasan spiritual –yang berlandaskan pada holistic spirituality—  cenderung memiliki sifat toleran, sebaliknya fanatisme yang tumbuh dari doktrinasi cenderung bersifat anti-toleran.

Saya pribadi memahami bahwa agamabukanlah tujuan melainkan jalan untuk mencapai kesadaran spiritual itu sendiri. Lebih dari itu, agama bukan alat untuk meraih kekuasaan (politisasi agama) apalagi untuk mendirikan suatu kekalifahan seperti zaman dulu di Timteng dan sekitarnya. Memahami agama sebagai tujuan, lagi-lagi akan terjebak pada sikap fanatisme. Selebihnya, menjadikan agama sebagai alat untuk menciptakan dan meraih kekuasaan (kalifah/theokrasi) akan rentan terjadi instabilitas nasional. Itulah salah satu sebab di manapun saja, negara theokrasi –yang berasaskan agama– sangat rawan terjadi perpecahan dan pergolakan. Hal itu dipicu oleh sebab kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran holistic spiritualityhilang  bilamana prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Theokrasi sangat memerlukan tali pengikat keutuhan politik. Biasanya  theokrasi lantas terjebak menerapkan sistem otoriiterisme, tirani, ataupun fasisme. Nah, apakah konsep ketuhanan dipahami bersifat tiran, fasis, otoriter ? Ataukah tuhan bersifat demokratis ? Jawabannya bukan pada tuhan, tetapi pada pola pikir masing-masing  individu.

Apa yang akan terjadi jika nusantara ini berprinsip theokrasi, alias “negara agama”. Tentunya negara theokrasi akan memiliki kecenderungan anti-toleran dan rawan memecah belah kesatuan bangsa yg sangat heterogen ini.  Tak pelak nusantara akan menjadi ladang pembantaian antara satu dengan lainnya (killing field). Sebab akan terjadi “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal suatu (aliran) agama yang memiliki otoritas politik besar. Sekedar contoh, di zaman dulu banyak kasus-kasus hukuman mati atas perbedaan keyakinan, atau bentuk-bentuk kekerasan fisik dan mental, intimidasi, teror, serta anarkhisme seperti masih terjadi di zaman sekarang. Hal itu membuktikan suatu kebangkrutan sebuah ideologi agama bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan/iman yang berbeda-beda.

Setiap orang pada mulanya berada dalam “goa” prasangkanya sendiri. Manakala menoleh di belakang, oh ternyata ada cahaya tampak terang, lalu melongok ke atas, barulah menyadari betapa selama ini berada di dalam goa yang gelap gulita. Banyak hal merupakan sangkaan pribadinya sendiri, tidak ada apa-apa kecuali yang berfatwa. Maka untuk mengurangi resiko destruktif, kita seyogyanya lebih berpositif thinking dan berhati-hati saat sedang berprasangka (buruk) kepada orang lain yang berbeda pandangan.

Ngelmu dan Kawruh

Ngelmu atau angel anggone ketemu (sukar diraih) disebut pula ilmu spiritual, yakni ilmu tentang kebatinan dan ketuhanan.Ngelmu banyak diserap oleh indera batin sebagai pengetahuan batin.   Sementara itu kawruh adalah ilmu diserap oleh indera fisik, sebagai pengetahuan nalar. Sastra Jendra termasuk kategori ngelmu. Ngelmu Sastra Jendra disebut pula Sastra Ceta. Suatu ilmu spiritual yang mengandung kebenaran faktual (noumena), nilai-nilai luhur, dan keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia pada umumnya. Karena itu Ngelmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu sejati atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam (fisik dan metafisik) beserta dinamikanya. Ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyuadalah ilmu pengetahuan batin sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Ngelmu Sastra Jendra berasal dari kaum ningrat di dalam kraton, jika dijabarkan teramat luas cakupannya. Dulunya dipelajari oleh para raja, orang-orang linuwih, empu, resi, kyai dan para pandita.  Itulah orang-orang yang dimaksud golongan NINGRAT, bukan berarti setiap orang yang “berdarah biru”, tetapi orang yang selalu hening ing rat. Orang yang selalu mengheningkan cipta dan batin untuk menggapai kesadaran kosmos. Seseorang sebelum menyerap ngelmu sastra jendra terlebih dulu harus memahami jagad alit danjagad ageng, mikrokosmos dan makrokosmos. Mengenali hakekat diri sejati dan hakekat alam semesta. Sesudah itu barulah secara bertahap dapat memahami, menghayati dan mengamalkannya. Bagaimana mungkin seseorang berhasil sukses dalam peng-hayat-an dan peng-amal-an  (implementasi) jika belum sungguh-sungguh memahami secara benar tentang diri sejati dan alam semesta ini.

Cakupan Ngelmu Sastra Jendra

Ngelmu Sastra Jendra mencakup beberapa pokok bahasan sebagai berikut ;

1. Ajaran tentang ketuhanan
2. Ajaran tentang alam semesta
3. Ajaran tentang manusia
4. Ajaran tentang kesempurnaan

Ngelmu sastra jendra, menjadikan seseorang memiliki KESADARAN KOSMOS, sehingga mempunyai kemampuan yang titis, tetes, tatas, mampu  weruh sadurunge winarah, karena energi kesadarannya telah menerobos dimensi ruang dan waktu. Muara ngelmu sastra jendra adalah Hayuning Rat Pangruwating Diyu, Jagad gumelar jagad gumulung, yakni sebuah prinsip keseimbangan alam.

Dahulu, untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau perilaku khusus. Dalam hal ini berarti suksma, jiwa dan rahsa-nya juga harus bisa manunggal (menyatu). Adapun di antara caranya adalah sebagai berikut:

1. Ngrowot : Hanya makan sayuran tanpa garam atau gula dan cukup minum air putih.
2. Mutih : Hanya makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga, termasuk garam dan gula. Boleh minum air, itu pun harus terus dikurangi volumenya.
3. Sirik : Menjauhkan diri dari segala macam urusan keduniawian.
4. Ngebleng : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa) dan tidak tidur selama kurun waktu tertentu. Disini seseorang juga melakukan semedhi(meditasi).
5. Patigeni : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa), di tambah dengan tidak tidur dan tidak terkena cahaya (api, matahari) dalam kurun waktu tertentu. Lalu selama melakukan patigeni ini seseorang juga terus ber-semedhi (meditasi).
6. Tapa brata : Setelah ke lima laku tirakatdi atas dijalani dengan tekun, selanjutnya seseorang baru akan siap melakukan tapa brata secara terus menerus tanpa makan, minum, dan bergerak di suatu tempat khusus – biasanya di alam bebas seperti goa, puncak gunung, hutan, dan air terjun. Pada saat semedhi itulah, jika ia berhasil seseorang akan mendapatkanilham atau wisik goib.


Selain itu, ada beberapa hal yang juga harus dilakukan apabila seseorang ingin mencapai tataran hidup yang sempurna. Semuanya harus dilakukan dengan kerendahan hati dan penuh kesadaran, alias tanpa ada paksaan atau karena ajakan seseorang. Adapun di antara yaitu:

1. Tapaning jasad
Sikap ini berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Disini seseorang seharusnya jangan merasa iri, dengki, sakit hati atau menaruh dendam kepada siapapun. Segala sesuatu itu, baik ataupun buruk, harus bisa diterima dengan kesungguhan hati dan sikap yang ikhlas.

2. Tapaning hawa nafsu
Sikap ini berarti mengendalikan hawa nafsu atau sifat angkara murka yang ada di dalam diri pribadi. Pada tahap ini seseorang itu hendaknya selalu bersikap sabar, ikhlas, murah hati, berperasaan mendalam (tenggang rasa, welas asih), suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ia juga sudah bisa memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta berada dalam kewaspadaan (hening).

3. Tapaning budi
Sikap ini berarti selalu mengingkari perbuatan yang hina, tercela dan segala hal yang bersifat tidak jujur (munafik). Pada tahap ini, seseorang itu harusnya sudah berbudi pekerti yang luhur, memiliki sopan santun, sikap rendah hati dan tidak sombong, tidak pamer dan pamrih, serta selalu berusaha untuk bisa berbuat baik kepada siapapun.

4. Tapaning suksma
Sikap ini berarti memenangkan jiwanya. Jadi pada tahapan ini hendaknya kedermawanan seseorang itu diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan khusus, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi siapapun. Singkat kata, ia tidak lagi pernah menyinggung perasaan orang lain.

5. Tapaning cahyo
Sikap ini berarti seseorang itu selalu eling lan waspodho (ingat dan waspada) serta mempunyai daya meramal/memprediksikan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk, karena keadaan cemerlanglah yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar (tidak jelas) dan saru(tidak baik, tidak sopan, tidak tepat, tercela) menjadi jelas. Lagi pula setiap kegiatannya harus selalu ditujukan untuk kebahagiaan dan keselamatan umum. Jauh dari urusan materi duniawi.

6. Tapaning gesang
Sikap ini berarti selalu berusaha sekuat tenaga dan hati-hati untuk bisa menuju pada kesempurnaan hidup. Hal ini bisa terjadi, ketika seseorang sudah melalui ke lima jenis tapa sebelumnya. Dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disini adalah yang paling utama, mengingat hanya dari Tuhanlah kebenaran yang mutlak itu berasal.

Wahai saudaraku. Di karenakan jalan atau cara dalam menguasai ilmu Sastra Jendra ini berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi, maka ilmu ini juga dinamakan sebagai “Benih seluruh alam semesta”. Itu terjadi karena ilmu puncak ini bisa dibilang juga sebagai kunci untuk dapat memahami isi dari Rasa Sejati. Dimana untuk bisa mencapainya, maka diperlukan sesuatu yang luhur dan perbuatan yang mutlak sesuai dengan kebenaran Tuhan.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...