Minggu, 07 November 2021

Kisah Memilukan Riwayat Desa Ngareanak


Desa Ngareanak merupakan salah satu desa di Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal yang terletak di ibu kota Kecamatan Singorojo yang merupakan jantung kota kecamatan. Secara administratif Desa Ngareanak berada di wilayah Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Desa Ngareanak merupakan salah satu dari 13 desa yang berada di wilayah Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal dan memiliki batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah utara               : Desa Kalirejo
Sebelah timur              : Desa Kedungsari
Sebelah Selatan           : Desa Banyuringin
Sebelah Barat              : Desa Singorojo

Desa Ngareanak berada pada lokasi yang sangat strategis, yaitu di wilayah jalan raya Boja-Sukorejo. Desa Ngareanak memiliki 20 RT dan 8 RW, serta 3 dusun, yaitu Dusun Ngareanak, Dusun Kaliwesi, dan Dusun Patukan. Pada wilayah Kabupaten Kendal, Desa Ngareanak berada di sebelah tenggara, dengan kondisi alam yang berbukit dan berlembah. Desa Ngareanak berada di wilayah dataran tinggi. Sebagian besar wilayah hutan, perkebunan, dan pertanian dengan tanaman hutan berupa pohon jati perkebunan karet dengan kondisi tanah notabennya adalah tegalan tadah hujan.

Sejarah Desa

Berdasarkan cerita tutur tinular yang berupa penggalan – penggalan sejarah yang diceritakan oleh para sesepuh desa, berhasil dirangkai sebuah rangkaian cerita sejarah terkait dengan asal muasal dan keberadaan Desa Ngareanak, dalam sebuah rangkaian bahasa tutur.

Sesungguhnya sejarah Desa Ngareanak tidak dapat dipisahkan dengan cerita babad tanah Kendal maupun sejarah perjuangan Nasional Indonesia karena di dalamnya memuat berbagai bentuk perlawanan rakyat terhadap keberadaan penjajah di Indonesia. Berdasarkan cerita yang dapat diperoleh dari sesepuh desa, Pemerintahan di Desa Ngareanak dimulai pada masa hidupnya seorang sakti bernama Ki Ageng Ngareanak.

Beliau adalah salah seorang pemimpin di wilayah ini yang dengan gigih memimpin santri dan masyarakat Ngareanak melawan Belanda.  Kewibawaan beliau dikenal oleh masyarakat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu karena kegigihan beliau memperjuangkan kemerdekaan masyarakatnya.

Pada suatu ketika, kakak beradik seperguruan Ki Ageng Lor (Ki Ageng Ngereanak) meminta bantuan saudaranya Ki Ageng Kidul (Ki Ageng Kalinongko) yang tinggal di Dusun Biron, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung.  Dalam perjalanan yang menempuh jarak cukup jauh, Ki Ageng Kidul beristirahat di tepi sebuah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Kidul memakan buah nangka, kemudian biji – bijinya ditanam di tepi sungai tersebut.  Karena inilah, beliau selanjutnya diberi nama Ki Ageng Kalinongko. Setelah menyelesaikan permasalahannya, selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah kampung/ Dusun bernama Kaliwesi.

Dalam kunjungannya ini, Ki Ageng Kalinongko mengetahui bahwa Ki Ageng Lor memiliki anak perempuan yang sangat cantik bernama Nyai Pare Anom, yang kecantikannya terkenal dimana-mana.  Melihat kecantikan Nyai Pare Anom yang sangat mempesona, Ki Ageng Kalinongko berniat melamar anak perempuan Ki Ageng Lor untuk dijadikan sebagai menantu.  Pada suatu hari, Ki Ageng Kalinongko mengirimkan utusan untuk menghadap kepada Ki Ageng Lor dalam rangka melamar putrinya.  Karena putri tersebut belum berumah tangga, Ki Ageng Lor “ngareh – areh” (membujuk) anaknya agar mau dijodohkan dengan anak Ki Ageng Kalinongko.  Akan tetapi karena belum ingin berumah tangga, sang putri menolak,karena khawatir keputusannya menyinggung dan melukai perasaan orang tua dan Ki Ageng Kalinongko yang merupakan Paman sendiri, akhirnya Nyai Pare Anom bunuh diri.  Usaha Ki Ageng Lor dalam membujuk (jawa=Ngareh-areh) anak,kemudianoleh Ki Ageng Lor wilayah tersebut diberi nama “Ngareanak”.  Sehinggadari tersohornya wilayah tersebut, maka oleh khalayak rame Ki Ageng Lor dikenal dengan sebutan Ki Ageng Ngareanak yang nama aslinya adalah Ki Ageng Purboyoso Kusumo.

Karena masalah pernikahan yang gagal itu, terjadilah pertempuran antara kedua kakak beradik seperguruan.  Sebelum berperang, Ki Ageng Ngareanak berpesan kepada anak buahnya atau sahabatnya, agar apabila dalam peperangan itu keduanya mati sampyuh (=mati semua), maka jenazah yang terbujur ke Selatan dibawa ke Kalinongko sedangkan jenazah yang terbujur ke Utara di bawa ke Ngareanak.  Pertempuran dahsyat tersebut terjadi di wilayah Kecamatan Gemawang.  Kedua tokoh tersebut mati bersama (jawa=sampyuh) setelah keduanya mengalami luka yang sangat parah yang diakibatkan oleh kesaktian mereka sendiri.  Kematian keduanya ditandai dengan muncrat/ memancarnya darah mereka sehingga daerah dimana kedua Ki Ageng ini meninggal sekarang ini bernarna Desa Muncar. Sesuai pesan Ki ageng Ngareanak maka jenazah Ki Ageng Ngareanak yang membujur ke Selatan dibawa ke Desa Kalinongko, Kecamatan Gemawang (eks. Karesidenan Kedu).  Sedangkan jenazah Ki Ageng Kalinongko di bawa ke Desa Ngareanak, karena ketika ditemukan jenazahnya membujur ke arah Utara.

Pertempuran tersebut terjadi pada malam hari.  Dan pada pagi harinya barulah diketahui bahwa jenazah yang dibawa masing-masing prajurit ternyata keliru.  Ternyata yang dibawa prajurit Kalinongko adalah jenazah Ki Ageng Ngareanak.Karena mengetahui yang dibawa adalah bukan jenazah Ki Ageng Kalinongko, maka jenazah Ki Ageng Ngareanak di makamkan di wilayah lain, yaitu Dusun Biron, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang.

Begitu juga sebaliknya prajurit Ngareanak mengetahui bahwa ternyata yang dibawa adalah jenazah Ki Ageng Kalinongko.   Sesampainya di Desa Ngareanak, jenazah Ki Ageng Kalinongko dibaringkan di atas batu tepi sungai.  Melihat luka di tubuh beliau yang mrampang (arang kranjang) selanjutnya sungai tersebut diberi nama kali mrampang atau yang saat ini menjadi Kali Prompangan (di wilayah Dusun Kaliwesi, Desa Ngareanak).  Namun ketika akan dimakamkan oleh para prajurit Ngareanak terjadilah keajaiban, ternyata jenazah Ki Ageng Kalinongko murca (=menghilang).

Sebelum terjadi pertempuran secara langsung antara kedua tokoh sakti ini, terjadi adu kesaktian yang dimiliki beliau.  Ki Ageng Ngareanak memiliki kesaktian berupa kemayan penjelmaan Tikus yang bernama Tikus Jinodo.  Sedangkan Ki Ageng Kalinongko memiliki kesaktian berupa kemayan penjelmaan burung Garuda. Keduanya beradu kesaktian, strategi dan kelicikan, setelah pertempuran berjalan sekian lama, karena merasa lelah, burung Garuda beristirahat dengan bertengger di atas pohon bambu Petung.  Garuda tidak mengetahui bahwa tikus Jinodo masuk ke dalam bambu dengan melobangi ruas-ruas bambu petung tersebut dan setelah berhasil mencapai posisi dimana Garuda bertengger, sehingga tikus Jinodo berhasil membunuhnya.  Kematian burung Garuda ini selanjutnya menjadi awal pertempuran secara langsung antara kedua tokoh sakti tersebut.  Keberhasilan tikus Jinnodo melobangi ruas – ruas bambu sampai saat ini masih dapat ditemui buktinya dengan masih diketemukannya bambu petung yang dalamnya tidak beruas dari atas sampai bawah di daerah kebun Kemantren wilayah Gemawang.

Dengan wafatnya Ki Ageng Ngareanak/ Ki Purboyoso Kusumo, Desa Ngareanak mengalami kekosongan pimpinan pemerintahan. Kekosongan berlarut-larut dalam waktu yang cukup lama.  Hal ini diketahui oleh Pemerintah Hindia Belanda yang bermarkas di daerah Rejowinanngun atau Kalisat sehingga kemudian terjadi penunjukan/ pemilihan kepala desa pertama yang dijabat oleh bapak Tjo Pawiro, sebagai Kepala Desa pertama.  Pada masa pemerintahannya, beliau mengembangkan agama islam di Desa Ngareanak bersama sesepuh agama Islam yang bernama Mbah Kyai Ibrahim.

Sejarah Gelar Adipati Kolopaking


Trah Kolopaking dengan diawali dengan menikahnya R. Ayu Pambayun Putri Panembahan Senopati dengan Ki Ageng Mangir IV Wonoboyo dan melahirkan Bagus Maduseno yang masa kecilnya yatim piatu karena ayahnya meninggal di Mataram sedangkan ibunya meninggal saat melahirkannya. Pada masa remaja mengembara ke arah barat dan meenetap (tinggal) di daerah Waja diambil menantu Pangeran Hadi dan mempunyai anak Bagus Bodronolo. Dalam pengembaraan Bagus Bodronolo menjadi murid Ki Ajar Geseng dan di ambil menantu oleh Ki Buyut Wanapatra, dan mempunyai anak Ki Bagus Kertasuta, beliau mempunyai anak Ki Bagus Curigo dan menurunkan Ki Bagus Kertodipo dan Ki Bagus Kertowongso. Tokoh terakhir inilah yang kemudian dapat gelar Kolopaking I.

Kisah pemberian gelar Kolopaking sebagai Bupati pada Sunan Amangkurat I dikalahkan oleh Trunajaya, kemudian meninggalkan istana untuk mencari bantuan Kompeni. Perjalanannya ke barat melalui daerah Panjer ( Kebumen sekarang ). Pada saat di Kali Panjer kondisi fisik sedang sakit dan lemah, waktunya malam dan hujan. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, perjalanan tidak mungkin dilanjutkan dan kemudian singgah di kediaman Ki Kertowongso. Pada malam itu Sunan Amangkurat meminta diambilkan kelapa muda untuk diminumnya, tetapi karena suasana malam dan hujan oleh Ki Kertowongso diambilkan kelapa yang sudah kering. Namun begitu di minum, Sunan Amangkurat I langsung sembuh dan badannya segar kembali. Sebagai hadiah kepada Ki Kertowongso adalah pertama diberi gelar dan pangkat R. Tumenggung Kolopaking, dan diberi kekuasaan sebagai Adipati Panjer. Yang kedua diberi hadiah, putrinya yang bernama Dewi Mulat (Klenting Abang). Dinasti Kolopaking dimulai sejak tahun 1677 sampai dengan 1833.

Pada saat akhir pemerintahan di bawah Kolopaking IV bersamaan dengan perang Diponegoro, Kadipaten Panjer di bawah pimpinan Raden Tumenggung Kolopaking IV. Menyatakan diri ada dibelakang perjuangan Pangeran Diponegoro kalah dan tertangkap, keluarga Kolopaking disingkirkan oleh Belanda. Apapun yang berbau Kolopaking baik nama, cerita atau adat harus dihilangkan. Walaupun begitu keluarga Kolopaking tetap berjuang dengan gigih melawan Belanda dan akhirnya Belanda merasa kewalahan.

Salah satu kisah menyebutkan pertempuran prajurit Kolopaking melawan Belanda, disebelah utara (kota Kebumen sekarang) ada Gunung Pogog. Karena gunung tersebut pada mulanya tinggi oleh Kolopaking gunugn tersebut dipotong dengan kerisnya untuk menutup celah perlindungan sehingga gunung yang dipotong tersebut menjadi pogog. Potongan gunung itu oleh Arungbinang IV dicongkel memakai tongkat pusakanya dan dilempar ke arah timur jatuh dipersawahan menjadi Gunung Gendek (gundukan) yang sekarang menjadi perumahan RSS Jatimulyo dan di sebut pula dengan nama Gunung Malang Kencana.

Pada tahun 1870 didapati kesepakatan Kolopaking IV sanggup berhenti berperang dan tidak masuk kembali ke dalam struktur Birokrasi/Kepemerintahan Kabupaten Kebumen apabila kedua anaknya lelaki dijadikan bupati pemegang wilayah. Disini nampaknya Kolopaking IV sedikit lebih mawas diri dengan sikap ksatrianya bahwa ia merasa tidak diberi mandat oleh Kraton Kasunanan Surakarta sebagai Adipati –walaupun Kraton hanya sebagai simbol karena hakekatnya Kompenilah yang berdaulat dan berkuasa atas semua keputusan Kraton−. Atau memang ia tidak minat lagi menduduki jabatan Adipati seperti leluhurnya dahulu –Ki Bagus Badranala dan anak turunnya−, dan meminta haknya diberikan kepada anak-anaknya serta peperangan yang sudah dilalui lebih termotif hanya untuk melawan Kompeni seperti halnya ayahnya, Kolopaking IV yang merupakan senopati perang laskar Diponegaran. Hasil perundingan tersebut disetujui Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1875. Tahun 1878 Putra Kolopaking IV yang bernama Ki Atmodipuro diangkat menjadi Bupati Banjarnegara bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Jayanegara I menggantikan Bupati Raden Arya Dipodiningrat. Sedang yang bernama Ki Sukadis diangkat menjadi Bupati Karanganyar –bukan Karanganyar timur Solo tetapi Karanganyar yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Kebumen sebagai Kecamatan Karanganyar− bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Kertonegoro menggantikan Bupati Kanjeng Raden Tumenggung Jayadiningrat.

Selain kisah pertempuran antara Kolopaking IV dan Arungbinang IV di tengah persawahan, keduanya mempunyai kekuatan berimbang. Setelah pertempuran berjalan cukup lama, lengan Kolopaking IV tergores tombak Arungbinang IV dan mengeluarkan darah. Sepengetahuan Arungbinang IV siapa yang terkena tombaknya sampai luka pasti langsung mati, namun Kolopaking IV tidak, dan darah yang jatuh menjelma menjadi ular-ular berbisa dan memburu Arungbinang IV melarikan diri menghindari kejaran ular-ular berbisa tersebut. Karena pertempurannya sangat kuat (kenceng) maka tempat tersebut dinamakan Si Kenceng ( dekat Stadion Candradimuka sekarang).

Makam KRAT Kolopaking

Kompleks Makam Tumenggung Kalapaking Kalijirek Kebumen berada di perbukitan kecil di Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Gerbang candi bentar yang menjadi akses masuk ke dalam kompleks Makam Tumenggung Kalapaking Kalijirek Kebumen itu dicapai dengan menapaki sekitar sebelas anak tangga. Tulisan "Makam Tumenggung Kolopaking" terlihat menggantung diantara kedua pilar gerbang, dan lambang Kabupaten Kebumen ikut dipasang pada dinding pilar gerbang makam.

Ada makam bersisian, yang sebelah kiri bertulis "Rd. Ng. Mangoenatmodjo wafat pada 10 Oktober 1928", dan di sebelahnya makam bertulis "Rd Ayu Mangoenatmodjo wafat pada 31 Juli 1932". Kedua makam itu terbuat dari batu pualam, nisannya berbentuk bunga dengan lingkaran di tengahnya. Tak saya temukan informasi mengenai siapa kedua mendiang ini. Lalu ada makam tunggal ukuran 2x2,5 meter dengan tinggi 1 m. Yang menarik adalah pada nisannya terdapat relief lambang bulan sabit bintang, dan bertulis huruf Arab dan Jawa.

Untuk mencapai pintu Makam Tumenggung Kalapaking Kalijirek Kebumen ini setidaknya ada 15 undakan yang harus dilewati. Pintunya terkunci, sehingga bisa masuk ke dalam hanya jika ditemani kuncen. Di atas pintu makam terdapat tengara Makam Tumenggung Kalapaking. Daun Pohon Kamboja kering tampak bertebaran di anak tangga, menunggu dibersihkan.

Cungkup Makam Tumenggung Kalapaking berbentuk bangunan segi empat memanjang ke arah kiri dan di bagian sebelah kiri dindingnya tidak tertutup rapat, hanya dibatasi dengan kisi-kisi. Dari atas kisi-kisi itu pejalan masih bisa melongok ke dalam area makam dan melihat isinya meskipun tidak bisa masuk ke dalam cungkup mendekati kuburnya.

Di dalam makam terdapat silsilah Kalapaking. Dimulai dari Dewi Retno Pembayun, puteri Panembahan Senopati, yang menikah dengan Ki Ageng Mangir Wonoboyo dan berputra RM Madusena, lalu berputra RM Badranala, berputra RM Kertasuta, berputra Kyai Curiga, dan berputra RT Kalapaking I (R Kertawangsa).

Kalapaking I menikahi BRAJ Mulat (Kletingabang, puteri Amangkurat I), berputra RT Kalapaking II (RM Mandingan), berputra Kalapaking III (RM Suleman Kertawangsa), berputra RT Kalapaking IV (RM Endang Kertawangsa).

Sastro Jendro Hayuningrat Pangleburing Diyu


Di antara para pembaca yang budiman barangkali bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan pendekatan rasionalisme dan apapula yang dimaksud dengan pendekatan emphirisisme dalam tradisi memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara kita untuk mengenali dan membedakan di antara keduanya?

Untuk membedakannya, kita bisa melihat apakah objek yang dibahas itu adalah sesuatu yang bisa dilihat ataukah sesuatu yang menjadi objek pembahasan itu tidak bisa terlihat. Jika objek dari pokok bahasan itu bisa dilihat seperti objek biologi, kimia, fisika dan lain-lain maka kita menyebutnya dengan ilmu emphirisme. Sementara jika objeknya tidak bisa terlihat seperti fildafat, bahasa, matematika, agama kita menyebutnya dengan ilmu rasionalisme. Jikalau kita sudah bisa mengenali mana persoalan ilmu yang disebut dengan emphirisisme dan mana yang disebut dengan rasionalisme maka apakah yang menjadi pembeda di antara keduanya ? Bagaimana persoalan pengetahuan dari sudut pandang orang-orang emphiris dan bagaimana pula dari sudut pandang orang-orang rasional? Jawaban sederhananya ; adalah terletak pada penekanan fungsi akal. Menurut orang-orang emphiris tidak ada satupun di alam semesta ini yang masuk akal kalau sesuatu itu tidak bisa dilihat dan dialami. Fungsi akal pada persoalan ini persis seperti fungsi cermin, yaitu hanya menerima bayangan yang masuk lalu kemudian memantulkannya lagi. Dengan memahami persoalan fungsi akal ini maka menurut kaum emphiris manusia itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang mereka usahakan dan karena itulah maka semua orang akhirnya memiliki takaran pengetahuan yang berbeda-beda karena berangkat dari pengalaman olah akal yang berbeda-beda pula.

Sedangkan menurut kaum rasional justru sebaliknya. Menurut pendapat mereka fungsi akal justru untuk mengingat-ingat kembali (recalling) apa-apa yang sudah ada di dalam akal itu sendiri. Jadi tidak benar kalau akal mendapatkan pengetahuan dari indra dan pengalaman karena sesungguhnya pengetahuan manusia itu sudah melekat pada dirinya sendiri jauh-jauh hari sebelum mereka terlahir ke planet bumi ini. Karena fungsi akal adalah untuk recalling atau mengingat-ingat kembali, maka dengan sendirinya semua orang sesungguhnya mempunyai potensi pengetahuan yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada kemampuan recalling masing-masing individu.

Ilmu Spiritual yang Metodis dan Ilmiah

Sastra jendra, merupakan ngelmu yang diperoleh melalui perpaduan antara metode olah batin, pendekatan emphirisisme dan rasionalisme. Ketiga pendekatan tersebut harus matching, sinambung dan sepadan. Untuk itu sastra jendra bukanlah ngelmu yang hanya sekedar jarene atau katanya. Dapat dikatakan Ngelmu sastra jendra diperoleh sebagai hasil dari olah batin yang gentur dilakukan dalam waktu yang lama sehingga membuahkan hasil berupa pengalaman batin dan pengalaman lahir. Bahkan ngelmu sastra jendra merupakan ilmu rahasia “langit” yang berhasil diproses agar “membumi”. Dengan demikian dalam kawruh sastra jendra,tidak ada lagi kegaiban yang tidak masuk akal. Segala yang gaib justru sangat masuk akal, bisa diterima oleh logika penalaran. Artinya, otak kiri sudah berhubungan erat dengan otak kanan. Otak kanan sudah pernah menerimanoumena (“fenomena gaib”) yang diterima oleh mata batin maupun wadag. Bagi yang belum bisa memahami gaib secara akal, atau masih menganggap gaib sebagai sesuatu yang irasional, hal itu menandakan ia belum berhasil melewati proses demi proses ngelmu Sastra Jendra secara tuntas.

Pada awalnya untuk mendapatkanngelmu Sastra Jendra ditempuh melalui metode olah batin yang berat dan panjang. Untuk memperoleh Ngelmu sastra jendra, seseorang tidak hanya cukup yakin saja. Tetapi harus bisa membuktikan sendiri, dengan menyaksikan, mengalami dan merasakan sendiri fakta di balik rahasia alam wadag maupun di “alam” gaib. Dalam metode atau pendekatan ngelmu satra jendra, kebenaran bukanlah sekedar postulat, aksioma, argumentasi rasional, apalagi sekedar keyakinan saja.

Kebenaran sekalipun bersifat gaib dan dalam ranah idealitas, tetap harus bisa dibuktikan secara “ontologis” dan “epistemologis” atau obyek dan subyek ilmu. Oleh sebab itu, dalam tradisingelmu sastra jendra pengalaman gaib bukan lagi pengalaman batin yang bersifat subyektif, melainkan pengalaman yang bersifat obyektif dapat dibuktikan oleh orang lain yang memiliki kemampuan olah batin yang sama. Apabila pengalaman gaib dikatakan subyektif hal itu karena kenyataan bahwa hanya sedikit orang-orang yang sungguh-sungguh bisa membuktikan dan mempunyai pengalaman gaib tersebut. Secara epistemologis, metode pembuktian dilakukan oleh beberapa orang yang sama-sama mampu merambah ke dalam dimensi gaib untuk melakukan pembuktian bahkan tidak menutup kemungkinan menemukan suatu “hipotesis” baru. Hasil dari pembuktian itu lalu diambil suatu kesimpulan yang dirumuskan sebagai sebuah rumus-rumus yang berlaku di alam kegaiban. Misalnya; seperti kisah keajaiban yang pernah saya posting  bahwa organ tubuh manusia yang “disimpan” di dalam dimensi atau alam kehidupan sejati (alam kelanggengan) tidak akan rusak atau busuk, karena di sono tidak ada rumus kerusakan sebagaimana dimercapada atau bumi. Merca adalah panas atau rusak, pada adalah tempat atau papan. Segala sesuatu yang ada dimercapada berarti akan terkena rumus kerusakan. Rumus ini tidak berlaku di alam kelanggengan atau alam kehidupan sejati. Rumus ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa “aneh” (sebut saja mukjizat) di mana seorang anak angkat yang menghibahkan ginjalnya untuk ditransplantasi kepada ibu angkatnya selama lebih kurang 15 tahun lamanya hingga wafat dalam kondisi baik dan sehat. Setelah beberapa tahun sejak ibu angkatnya wafat, ginjal itu benar-benar kembali ke dalam perut anak angkat yang menghibahkannya dulu, dan tetap berfungsi secara normal lagi. Peristiwa mukjizat tersebut TIDAK terjadi sekonyong-konyong, ujug-ujug, dan bukannya peristiwa yang tidak bisa dijelaskan prosesnya. Melalui ngelmu sastra jendra, peristiwa itu dapat dijelaskan secara rasional oleh orang lain dan secara emphiris oleh ybs (anak angkat tersebut). Maka dari itu ngelmu sastra jendra bisa disebut sebagai ilmu spiritual (gaib) yang ilmiah. Dapat dilakukan verifikasi (uji kebenaran) atas hipotesa-hipotesanya oleh banyak orang terutama yang mampu membuktikan.

Hanya saja, kelemahan ngelmu sastra jendra yang memverifikasi hipotesis haruslah seseorang yang sudah berkompeten, mahir dalam berinteraksi dengan dimensi gaib. Tak cukup hanya melalui disiplin ilmu  pengetahuan saja. Kelemahan metode ini selain sangat terbatas orang yang bisa menguji atau memverifikasi kebenarannya, juga orang yang mengaku bisa menguji harus terseleksi hingga lulus uji terlebih dahulu. Sebab bukan tidak mungkin orang tersebut masih rancu dalam memahami gaib. Kerancuan yang disebabkan oleh adanya polutan yang bernama ilusi, imajinasi, dan fantasi hal-hal gaib atau dogma yang mengendap di alam bawah sadarnya yang sewaktu-waktu bisa muncul seolah gambaran gaib. Sebaliknya, yang menseleksi juga harus diseleksi terlebih dahulu. Hal itu dapat dilakukan apabila semakin banyak orang waskita yang mampu berinteraksi dengan gaib secara bersama-sama melakukan uji kebenaran dan dilakukan sejujur-jujurnya. Orang-orang seperti ini jarang kita temukan di zaman sekarang di mana kesadaran kosmos telah terampas oleh kesadaran semu dogma, termasuk pula yang semata-mata mengandalkan daya analisa otak kiri yang limited. Namun masih ada secercah harapan, dengan hadirnya anak-anak kristal, yang jauh lebih cermat dan matang dari anak-anak indigo serta kawula muda bangsa yang kini tampak semakin bersemangat untuk belajar mempertajam batin. Sedikit orang waskita yang memiliki ketajaman batin bukan berarti merupakan takdir atau garis hidup dan bakat alamiah. Bagi saya pribadi, setiap orang memiliki “software” yang kurang lebih sama, sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mempertajam mata batinnya  asal saja mau mengolahnya dengan sungguh-sungguh.

Lebih lanjut tentang metode memperoleh ngelmu sastra jendra, secara ontologis ia memiliki obyek penelitian yang bersifat gaib maupun wadag (tanda-tanda/bahasa alam) tetapi apa sesungguhnya yang terjadi masih sangat rahasia. Namun sekali lagi, kegaiban bukan berarti tidak bisa dilihat dan dialami secara emphiris, tidak pula melulu hanya dibahas dengan pendekatan rasionalisme.  Hanya saja walaupun obyek gaib (noumena) benar-benar ada, namun belum tentu langsung bisa dilihat secara wadag oleh setiap orang. Bagi orang yang bisa melihat, menyaksikan dan merasakan sendiri obyek gaib, hal itu merupakan sebuah pengalaman emphiris yang biasa-biasa saja. Gaib bukan lagi sekedar bisa dijabarkan melalui pendekatan idealisme-rasionalisme, namun juga dengan mudah dapat diketahui dan dalami secara emphirisisme. Semua tergantung pribadi masing-masing apakah ada kemauan atau tidak. Dengan metode itulah Ngelmu sastra Jendra lahir dari orang-orang waskita di zaman dahulu. Ngelmu Sastra Jendra tak ubahnya “pisau analisa” yang mampu mengupas rahasia di dalam NOUMENA atau gejala-gejala yang ada di dimensi gaib, apalagi hakekat dan rahasia di balik FENOMENA atau gejala-gejala yang ada di dimensi wadag.

Antara Keyakinanisme denganSpiritualisme

Lantas di mana posisi keyakinan dalam hal ini ? Tentu saja keyakinan tidak memiliki metode ilmiah sebagaimanaNgelmu Sastra Jendra. Keyakinan melimputi dua kutub yakni; yakin untuk meyakini adanya sesuatu atau pun yakin untuk meyakini tiadanya sesuatu. Kedua kutub keyakinan tersebut sama-sama hanya butuh pengakuan subyektif saja untuk sekedar meyakini saja! Asas utama kedua kutub keyakinan itu adalah sikap percaya tanpa perlu membuktikan melalui pengalaman batiniah, emphiris  dan rasional. Nah, ngelmu sastra jendrabisa digunakan untuk membuktikan sekaligus menguatkan dua macam kutub keyakinan dengan cara membuktikan apakah sesuatu yang diyakini atau tidak diyakininya benar adanya. Dengan cara berusaha untuk mengalami dan menyaksikan paling tidak merasakannya, sehingga tidak hanya sekedar yakin, tetapi menjadi hak atau kesadarannya akan adanya kebenaran sejati. Meskipun demikian kedua kutubkeyakinan mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menopang mental seseorang. Sebaliknya, kelemahan dari kedua kutub keyakinan tersebut masing-masing dapat terpatri secara kuat dalam benak, menyingkirkan kemampuan nalar dan batin untuk memahaminya secara rasional dan secara esensial (hakekat). Bahkan dua kutub keyakinan dapat menjadi lebih kuat daripada pengalaman emphiris dan pengetahuan rasionalitas. Karena kedua keyakinan (sengaja) bertumpu pada sesuatu yang teramat jauh dari jangkauan rasionalisme dan emphrisisme itu sendiri. Jika kita mau jujur, pada saat keyakinan adanya sesuatu atau keyakinan akan tiadanya sesuatu kita serap dengan nalar dengan tanpa disertai olah batin untuk sekedar merasakan bahkan melihat atau mengalami sendiri, nyaris tak ada bedanya pada saat nalar kita menikmati sebuah imajinasi, mitologi, legenda dan dongeng. Dan masing-masing pemegang sikap keyakinan untuk yakin adanya sesuatu dan keyakinan untuk menolak adanya sesuatu, keduanya memiliki kecenderungan yang sama yakni, menganggap bahwa keyakinan dirinyalah yang paling benar sementara ia sulit membuktikannya sendiri.

Sementara itu kesadaran spiritual (ketuhanan) lebih cenderung memahami kehidupan ini  secara bijak dan arif. Ia sadar bahwa jalan menggapai spiritualitas adalah beribu bahkan bermilyar cara yang tiada batasan jumlahnya. Ibarat bilangan berapapun jika dibagi nol (0) ketemunya adalah bilangan tak terbatas. Atau sejatine ora ono opo-opo, sing ono kuwi dudu. Manusia bisa manembah kepada Gusti Yang Maha Tunggal (suatu episentrum dari segala episentrum zat energi yang maha dahsyat atau energi hidup yang menghidupkan) dengan sebanyak nafasnya. Bagaikan aktifitas menghirup udara bisa kita hitung, berapa kali dalam sehari, dan dilakukan oleh berapa banyak orang. Tetapi udara itu sendiri merupakan suatu zat yang tak bisa dihitung. Sikap manembah berarti menselaraskan zat yang ada dalam diri kita dengan zat maha dahsyat tersebut. Lebih lanjut soal spiritualisme, bahwa nilai-nilai spiritual akan tumbuh dengan sendirinya seiring-sejalan dengan makin banyaknya pengalaman demi pengalaman batin dan lahir yang individu alami sendiri. Maka spiritualisme berakar pada suatu pengalaman batin, dan tak dapat disangkal dan ditolak bahwa kecenderungan setiap individu adalah bersentuhan dengan suatu pengalaman batin. Bagi yang mau mencermatinya, tentu akan mendapatkan pengetahuan spiritual, sebaliknya akan mengabaikan pengalaman batin tersebut bagai angin berlalu begitu saja tanpa bekas.

Kebimbangan ; Pertarungan Nurani dengan Nalar

Terkadang nurani merasakan adanya kejanggalan atas sesuatu yang kita yakini atau pun yang tidak kita yakiniselama ini. Hingga timbul keraguan yang sangat bergolak di dalam sanubari. Hal itu wajar karena apa yang diyakini atau tidak diyakini merupakan sesuatu yang belum pernah dilihat dan dialami sendiri, sehingga “keimanan” sangat rentan bergoyah. Kebimbangan demi kebimbangan muncul saat terjadi pemberontakan nurani terhadap pola pikir yang selama ini hanya menyerap ilmu melalui doktrin semata. Termasuk di dalamnya manakala anda akan melakukan sesuatu keputusan yang membuat bimbang. Hal ini menunjukkan adanya daya tarik menarik antara getaran nurani dengan pertimbangan nalar anda sendiri. Bila kekuatan keduanya berimbang akibatnya kebimbangan itu muncul, yang disertai keraguan, dan ketidakpuasan terhadap apa yang anda yakini ataupun yang tidak anda yakini selama ini.

Nalar kita yang sudah terpola  (mind-setting) oleh doktrin keyakinan sejak kanak-kanak, biasanya nalar tersebut dengan sekuat tenaga akan segera mencegah kesadaran nurani yang sedang menggeliat, dengan buru-buru mendefinisikan geliat nurani itu sebagai bentuk gangguan mahluk halus. Kesadaran indoktrinasi bagaikan “lingkaran setan”. Kesadaran indoktrinasi meretas nilai-nilai doktrin yang baru. Nalar yang sudah terdoktrin cenderung mendoktrin kesadaran kita, dengan cara meyakin-yakinkan diri kita atas suatu dalih bahwa keyakinanmerupakan wilayah yang tabu untuk disentuh dan dijabarkan di depan publik. Atau ditekankan suatu konsep bahwa “hanya tuhan saja yang paling berhak mengetahui segala sesuatu yang gaib”.Walau kenyataannya banyak sekali manusia yang berkesempatan merasakan, mengalami dan menyaksikan suatu noumena di alam kegaiban. Dalam titik kulminasi terjadiextreme ignorance, atau kesalahan yang fatal, di mana nalar yang terindoktrinasiberusaha membunuh setiap getaran nurani. Nalar dengan serta-merta menjatuhkan vonis bahwa kebimbangan dan keraguan terhadap suatu keyakinan bukan datang dari nurani, melainkan wujud nyata “bisikan setan” yang bertujuan menggoyahkan keimanan seseorang. Nalar kita mampu bekerja secara otoriter, artinya tidak berperan secara dinamis melalui prinsip dialektika, dialog imbal balik, atau kontemplasi mendalam dalam memahami kehidupan ini.  Tabiat nalar yang otoriter justru melahirkan dehumanisme, mencetak karakter pribadi yang tumpul mata batinnya. Alam bawah sadar yang merangkum nilai doktrinasi sejak kecil menciptakan akal fikiran yang sangat terpola dan menjadi kaku, tertutup, serta anti toleran (sikap fanatisme).

Sudah menjadi hukum alam semesta bahwa kehidupan ini bersifat dinamis, walau seringkali memakan waktu teramat  panjang dan terlambat. Bisa jadi lambat laun kekuatan nurani memenangkan pertarungannya dengan kekuatan nalar yang terindoktrinasi. Dalam falsafah Jawa dikenal rumus-rumusnya misalnya becik ketitik, ala ketara. Sepadan dengan peribahasa berikut; serapat-rapatnya menyimpan bangkai, toh akhirnya tercium baunya juga. Barangkali tahun 2012 di mana daya magnetik galaktika melemah, gravitasi bumi kendur, menyebabkan banyak orang mengalami penurunan gelombang otak, ibarat melakukan meditasi secara massal. Lereming pancadriya, tinarbuka ing waksita. Bisa jadi saat itu kelak menjadi momentum terbukanya kesadaran nurani yang lebih dalam lagi bagi banyak orang. Bila tahun 2012 dianggap sebagai saat kiamat tiba, saya memahaminya sebagai kiamatnya kesadaran semu yang melekat dalam nilai-nilai doktrin, sekaligus merupakan awal lahirnya suatu kesadaran baru, yakni kesadaran sejati berada di relung sanubari kita. Sementara yang gagal lolos seleksi alam, berarti pula pertarungan dimenangkan oleh kekuatan doktrin yang cenderung kontraversi dengan dinamika alam semesta. Kegagalan itu beresiko melahirkan kepribadian mudah stress, gampang bingung, sikap fatalis, hingga gangguan kejiwaan. Ujung-ujungnya adalah sikap ekstrim sebagaimana sikap-sikap radikal.

Sampai kapan nalar kita mampu mencegah pemberontakan kekuatan nurani? Sejak zaman dulu manusia terjebak oleh pola pikir yang menyangka bahwa kedua macam kutub keyakinantersebut selalu dikaitkan dengan kekuatan yang transenden (berada di luar diri manusia), yang memiliki hukum sebab akibat fantastis. Kebaikan menghasilkan surga, keburukan menyebabkan neraka. Surga neraka pun terjadinya kelak pada waktu yang tak seorangpun tahu kapan akan terjadi sehingga banyak orang cenderung bersantai-santai. Saya kira “surga-neraka” sudah ada sejak saat kita hidup di bumi ini yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hari pembalasan/hukum karma  pun tak perlu dinanti kelak, karena telah terjadi pembalasan tiap hari, yang terangkum dalam mekanisme hukum sebab akibat. Hari ini adalah buah dari apa yang kita lakukan di waktu yang telah berlalu.

Fanatisme vs Spiritualitas Sejati

Nilai-nilai keyakinan diikat dan dipertahankan melalui doktrin-doktrin atau proses hegemoni kesadaran agar seseorang mempercayainya. Sementara itu nilai-nilai spiritual diikat dan dipertahankan oleh diri pribadi karena pengalaman emphiris dan pengalaman batiniah yang sekaligus bisa diterima secara rasional. Spiritualisme adalah pemahaman akan hakekat yang memuat nilai-nilai universal. Tak heran jika seorang spiritualis sejati memiliki sikap toleransi tinggi terhadap keyakinan yang berbeda. Karena spiritualisme berlandaskan pada kesadaran holistic spirituality. Inilah bedanya, fanatisme sejati, dengan spiritualis sejati. Fanatisme bertumpu pada keyakinan saja. Sementara itu spiritualitas sejati bertumpu pada perjalanan batin yang penuh dengan pengalaman emphiris, maupun pengalaman batin yang bisa dipahami dan dijangkau oleh rasio. Seorang fanatis menjelaskan tuhan secara etnosentris, rasis, primordialis dan dogmatis, yang memaksa orang lain agar sependapat dengan dirinya. Fanatis juga memvonis siapapun yang berusaha menjelaskan tuhan secara rasional sebagai kafir (menutup diri dari kebenaran) dan sesat (salah jalan). Hal itu justru mengesankan seolah-olah  kebenaran sejati ditandai bilamana “kebenaran” tersebut tidak bisa dicerna secara rasional. Jikalaupun ada orang yang mampu mengalami persentuhan dengan gaib, baik secara batin maupun emphiris, disebutlah ia sebagai pembohong besar dan telah disesatkan oleh si “setan kober”. Sementara itu spiritualis sejati menjelaskan konsep ketuhanan dengan sifat-sifatnya secara esoteris, demokratis dan universal. Maka seorang spiritualis sejati, ia akan menganalogikan tuhan sebagai wujud sifat dan karakter yang lebih enak dan nyaman dirasakan. Misalnya Mahakasih, Tuhan Yang Tidak Pilih kasih, Yang Tidak Kejam, Yang Maha Welas Asih. Sikap sebaliknya, meyakini tuhan dengan karakter seperti layaknya sifat-sifat nafsu manusia yang menakutkan, misalnya ; kejam, murka, bahkan disangka tuhan pencemburu. Faktanya, konsep tersebut sangat mempengaruhi pola pikir masing-masing orang. Orang yang mengkonsep tuhan maha kejam, ia akan menjadi pribadi yang tega-an. Yang mengkonsep tuhan maha murka, ia akan menjadi pribadi yang gampang marah, bahkan menyangka kemurkaannya adalah absah karena telah mewakili kemurkaan tuhan. Darimana ia tahu tuhan telah murka ? Jika kita mau cermati adalah suatu fakta di lingkungan kita, bahwa landasan spiritual –yang berlandaskan pada holistic spirituality—  cenderung memiliki sifat toleran, sebaliknya fanatisme yang tumbuh dari doktrinasi cenderung bersifat anti-toleran.

Saya pribadi memahami bahwa agamabukanlah tujuan melainkan jalan untuk mencapai kesadaran spiritual itu sendiri. Lebih dari itu, agama bukan alat untuk meraih kekuasaan (politisasi agama) apalagi untuk mendirikan suatu kekalifahan seperti zaman dulu di Timteng dan sekitarnya. Memahami agama sebagai tujuan, lagi-lagi akan terjebak pada sikap fanatisme. Selebihnya, menjadikan agama sebagai alat untuk menciptakan dan meraih kekuasaan (kalifah/theokrasi) akan rentan terjadi instabilitas nasional. Itulah salah satu sebab di manapun saja, negara theokrasi –yang berasaskan agama– sangat rawan terjadi perpecahan dan pergolakan. Hal itu dipicu oleh sebab kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran holistic spiritualityhilang  bilamana prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Theokrasi sangat memerlukan tali pengikat keutuhan politik. Biasanya  theokrasi lantas terjebak menerapkan sistem otoriiterisme, tirani, ataupun fasisme. Nah, apakah konsep ketuhanan dipahami bersifat tiran, fasis, otoriter ? Ataukah tuhan bersifat demokratis ? Jawabannya bukan pada tuhan, tetapi pada pola pikir masing-masing  individu.

Apa yang akan terjadi jika nusantara ini berprinsip theokrasi, alias “negara agama”. Tentunya negara theokrasi akan memiliki kecenderungan anti-toleran dan rawan memecah belah kesatuan bangsa yg sangat heterogen ini.  Tak pelak nusantara akan menjadi ladang pembantaian antara satu dengan lainnya (killing field). Sebab akan terjadi “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal suatu (aliran) agama yang memiliki otoritas politik besar. Sekedar contoh, di zaman dulu banyak kasus-kasus hukuman mati atas perbedaan keyakinan, atau bentuk-bentuk kekerasan fisik dan mental, intimidasi, teror, serta anarkhisme seperti masih terjadi di zaman sekarang. Hal itu membuktikan suatu kebangkrutan sebuah ideologi agama bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan/iman yang berbeda-beda.

Setiap orang pada mulanya berada dalam “goa” prasangkanya sendiri. Manakala menoleh di belakang, oh ternyata ada cahaya tampak terang, lalu melongok ke atas, barulah menyadari betapa selama ini berada di dalam goa yang gelap gulita. Banyak hal merupakan sangkaan pribadinya sendiri, tidak ada apa-apa kecuali yang berfatwa. Maka untuk mengurangi resiko destruktif, kita seyogyanya lebih berpositif thinking dan berhati-hati saat sedang berprasangka (buruk) kepada orang lain yang berbeda pandangan.

Ngelmu dan Kawruh

Ngelmu atau angel anggone ketemu (sukar diraih) disebut pula ilmu spiritual, yakni ilmu tentang kebatinan dan ketuhanan.Ngelmu banyak diserap oleh indera batin sebagai pengetahuan batin.   Sementara itu kawruh adalah ilmu diserap oleh indera fisik, sebagai pengetahuan nalar. Sastra Jendra termasuk kategori ngelmu. Ngelmu Sastra Jendra disebut pula Sastra Ceta. Suatu ilmu spiritual yang mengandung kebenaran faktual (noumena), nilai-nilai luhur, dan keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia pada umumnya. Karena itu Ngelmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu sejati atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam (fisik dan metafisik) beserta dinamikanya. Ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyuadalah ilmu pengetahuan batin sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Ngelmu Sastra Jendra berasal dari kaum ningrat di dalam kraton, jika dijabarkan teramat luas cakupannya. Dulunya dipelajari oleh para raja, orang-orang linuwih, empu, resi, kyai dan para pandita.  Itulah orang-orang yang dimaksud golongan NINGRAT, bukan berarti setiap orang yang “berdarah biru”, tetapi orang yang selalu hening ing rat. Orang yang selalu mengheningkan cipta dan batin untuk menggapai kesadaran kosmos. Seseorang sebelum menyerap ngelmu sastra jendra terlebih dulu harus memahami jagad alit danjagad ageng, mikrokosmos dan makrokosmos. Mengenali hakekat diri sejati dan hakekat alam semesta. Sesudah itu barulah secara bertahap dapat memahami, menghayati dan mengamalkannya. Bagaimana mungkin seseorang berhasil sukses dalam peng-hayat-an dan peng-amal-an  (implementasi) jika belum sungguh-sungguh memahami secara benar tentang diri sejati dan alam semesta ini.

Cakupan Ngelmu Sastra Jendra

Ngelmu Sastra Jendra mencakup beberapa pokok bahasan sebagai berikut ;

1. Ajaran tentang ketuhanan
2. Ajaran tentang alam semesta
3. Ajaran tentang manusia
4. Ajaran tentang kesempurnaan

Ngelmu sastra jendra, menjadikan seseorang memiliki KESADARAN KOSMOS, sehingga mempunyai kemampuan yang titis, tetes, tatas, mampu  weruh sadurunge winarah, karena energi kesadarannya telah menerobos dimensi ruang dan waktu. Muara ngelmu sastra jendra adalah Hayuning Rat Pangruwating Diyu, Jagad gumelar jagad gumulung, yakni sebuah prinsip keseimbangan alam.

Dahulu, untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau perilaku khusus. Dalam hal ini berarti suksma, jiwa dan rahsa-nya juga harus bisa manunggal (menyatu). Adapun di antara caranya adalah sebagai berikut:

1. Ngrowot : Hanya makan sayuran tanpa garam atau gula dan cukup minum air putih.
2. Mutih : Hanya makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga, termasuk garam dan gula. Boleh minum air, itu pun harus terus dikurangi volumenya.
3. Sirik : Menjauhkan diri dari segala macam urusan keduniawian.
4. Ngebleng : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa) dan tidak tidur selama kurun waktu tertentu. Disini seseorang juga melakukan semedhi(meditasi).
5. Patigeni : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa), di tambah dengan tidak tidur dan tidak terkena cahaya (api, matahari) dalam kurun waktu tertentu. Lalu selama melakukan patigeni ini seseorang juga terus ber-semedhi (meditasi).
6. Tapa brata : Setelah ke lima laku tirakatdi atas dijalani dengan tekun, selanjutnya seseorang baru akan siap melakukan tapa brata secara terus menerus tanpa makan, minum, dan bergerak di suatu tempat khusus – biasanya di alam bebas seperti goa, puncak gunung, hutan, dan air terjun. Pada saat semedhi itulah, jika ia berhasil seseorang akan mendapatkanilham atau wisik goib.


Selain itu, ada beberapa hal yang juga harus dilakukan apabila seseorang ingin mencapai tataran hidup yang sempurna. Semuanya harus dilakukan dengan kerendahan hati dan penuh kesadaran, alias tanpa ada paksaan atau karena ajakan seseorang. Adapun di antara yaitu:

1. Tapaning jasad
Sikap ini berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Disini seseorang seharusnya jangan merasa iri, dengki, sakit hati atau menaruh dendam kepada siapapun. Segala sesuatu itu, baik ataupun buruk, harus bisa diterima dengan kesungguhan hati dan sikap yang ikhlas.

2. Tapaning hawa nafsu
Sikap ini berarti mengendalikan hawa nafsu atau sifat angkara murka yang ada di dalam diri pribadi. Pada tahap ini seseorang itu hendaknya selalu bersikap sabar, ikhlas, murah hati, berperasaan mendalam (tenggang rasa, welas asih), suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ia juga sudah bisa memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta berada dalam kewaspadaan (hening).

3. Tapaning budi
Sikap ini berarti selalu mengingkari perbuatan yang hina, tercela dan segala hal yang bersifat tidak jujur (munafik). Pada tahap ini, seseorang itu harusnya sudah berbudi pekerti yang luhur, memiliki sopan santun, sikap rendah hati dan tidak sombong, tidak pamer dan pamrih, serta selalu berusaha untuk bisa berbuat baik kepada siapapun.

4. Tapaning suksma
Sikap ini berarti memenangkan jiwanya. Jadi pada tahapan ini hendaknya kedermawanan seseorang itu diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan khusus, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi siapapun. Singkat kata, ia tidak lagi pernah menyinggung perasaan orang lain.

5. Tapaning cahyo
Sikap ini berarti seseorang itu selalu eling lan waspodho (ingat dan waspada) serta mempunyai daya meramal/memprediksikan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk, karena keadaan cemerlanglah yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar (tidak jelas) dan saru(tidak baik, tidak sopan, tidak tepat, tercela) menjadi jelas. Lagi pula setiap kegiatannya harus selalu ditujukan untuk kebahagiaan dan keselamatan umum. Jauh dari urusan materi duniawi.

6. Tapaning gesang
Sikap ini berarti selalu berusaha sekuat tenaga dan hati-hati untuk bisa menuju pada kesempurnaan hidup. Hal ini bisa terjadi, ketika seseorang sudah melalui ke lima jenis tapa sebelumnya. Dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disini adalah yang paling utama, mengingat hanya dari Tuhanlah kebenaran yang mutlak itu berasal.

Wahai saudaraku. Di karenakan jalan atau cara dalam menguasai ilmu Sastra Jendra ini berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi, maka ilmu ini juga dinamakan sebagai “Benih seluruh alam semesta”. Itu terjadi karena ilmu puncak ini bisa dibilang juga sebagai kunci untuk dapat memahami isi dari Rasa Sejati. Dimana untuk bisa mencapainya, maka diperlukan sesuatu yang luhur dan perbuatan yang mutlak sesuai dengan kebenaran Tuhan.

Makam Keramat Jabal Nur Kaliwungu


Makam Waliyullah sebagai salah satu benda atau tempat cagar budaya dirasa telah mendapat kepedulian yang cukup dari masyarakat maupun pemerintah daerah Kabupaten Kendal. Salah satu bukti konkritnya adalah seringnya dilakukan pengajian, mujahadah, napak tilas, syawalan, slametan, maupun Khaul Akbar yang dilaksanakan di pelataran kompleks makam wali yang ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.

Pada dasarnya keberadaan makam para wali saja sampai sekarang masih terus dirawat dan disakralkan oleh masyarakat Kendal. Tentu saja hal itu terkait dengan masa lampau para wali tersebut yang mempunyai peran sentral bagi pengembangan Islamisasi di wilayah Kabupaten Kendal.

Sejak dahulu Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah dikenal sebagai kota santri. Lingkungannya kental dengan nuansa religius. Selain ditumbuhi banyak pesantren dengan ribuan santri, dari Kaliwungu pula lahir ulama-ulama kharismatik yang memiliki pengaruh besar di masyakarat.

Salah satu ulama yang berjasa besar dalam menyebarkan agama Islam di Kaliwungu dan Jawa Tengah pada umumnya adalah KH Asy'ari atau Kiai Guru. Ia adalah pendiri masjid Al-Muttaqin Kaliwungu pada tahun 1653 M.

Semasa menyebarkan Islam di Kaliwungu, Kiai Guru berdakwah melalui pendekatan budaya. Ia juga yang mengenalkan dan mengajarkan kepada masyarakat tentang nilai-nilai ajaran Islam, seperti mauludan, rajaban, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan, dan dzikir atau tahlil.

Mengenang para ulama tidak lengkap rasanya bila hanya lewat cerita-cerita saja, namun perlu berziarah langsung ke makamnya. Berkunjung ke Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah untuk menapaki jejak Kiai Guru lewat makamnya yang berada di sebuah bukit bernama Jabal Nur.

Terletak di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan, bukit Jabal Nur menjadi tempat peristirahatan terakhir ulama-ulama Kaliwungu yang kesohor kewaliannya itu.

Setiap hari makam ini tidak pernah sepi dari para penziarah yang datang. Terlebih pada bulan Syawal, makam ini selalu ramai dipadati peziarah dari berbagai daerah.  Puncaknya pada tanggal 8 Syawal. Sebab tanggal itu merupakan peringatan haul atau hari wafatnya Kiai Guru.

Makam di bukit Jabal Nur terbagi menjadi tiga bagian. Untuk sampai ke makam-makam itu bisa dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor dengan panjang jalan sekitar 200 meter.

Di ujung atas, adalah Makam Kiai Guru. Berada di dalam sebuah bangunan yang ditutupi kelambu  putih. Makamnya pun tampak bersih dan terawat. Kiai Guru wafat pada tahun 1697, seperti keterangan yang tertulis di tembok bangunan itu.

Di dalam bangunan itu terdapat pula makam-makam ulama yang lain. Seperti makam Syekh Bakhur Syatha atau cucu Syekh Abu Bakar Syatha,  pengarang kitab 'Ianatuttholibin yang mashur itu. Masih di area ini, dimakamkan pula Pangeran Mandurorejo (Bupati Pekalongan Pertama) dan Pangeran Puger.

Turun ke bawah, terdapat makam Kanjeng Sinuwun Sunan Katong. Konon ia adalah pemegang pemerintahan di Kaliwungu, semasa dengan Kiai Guru.

Sementara di ujung bawah atau bagian yang ketiga, adalah makam Wali Musyaffa, KH Ahmad Rukyat, KH Abu Khoer, dan KH Mustofa. Mereka adalah ulama-ulama Kaliwungu yang dikenal kealiman dan kewaliannya. Namun area makam ini sudah masuk Desa Kutoharjo Kecamatan Kaliwungu.

Dari atas bukit ini, peziarah juga bisa melihat pemandangan kota Kaliwungu yang luas. Masyarakat setempat memanfaatkan keramaian peziarah dengan mendirikan warung-warung yang menjual aneka makanan, minuman dan aksesoris.

Turun dari atas bukit, masih terdapat makam ulama Kaliwungu yang menjadi jujugan para santri. Makam yang terletak di belakang komplek Pesantren Al Fadlu Wal Fadhilah asuhan KH Dimyati Rois itu, adalah makam Masyayikh pesantren Salaf APIK Kaliwungu. Disana dimakamkan KH Irfan, KH Humaidullah, KH Asror, KH Imron Humaidullah dan kiai-kiai lainya.

Bila berkunjung ke Kaliwungu, makam-makam itu layak menjadi tujuan destinasi wisata religi, utamanya saat tradisi Syawalan.

Sekilas tentang Wali Musyafa' dan Mbah Ru'yat

Mbah Musyaffa’ lahir pada bulan Muharram tahun 1324 H. atau 1904 M. di Kampung Losari, Krajan Kulon, Kaliwungu, Kendal. Ibunya bernama Hj. Lammah, sedangkan ayahnya bernama H. Bahram. Walaupun beliau berasal dari keturunan orang biasa, namun Allah swt. mentakdirkannya menjadi seorang Waliyullah. Diantara ulama besar yang mengakui kewalian beliau adalah Syaikh Kholil Bangkalan, KH. Abdul Karim atau biasa dipanggil dengan nama Mbah Manab (Pendiri Ponpes Lirboyo, Kediri) dan KH. Ma’ruf, Kedunglo, Kediri. Beliau wafat pada hari Rabu tanggal 23 Dzulhijjah 1388 H. atau 12 Maret 1969 M. dan dimakamkan di bukit Jabal Nur.

Selama hidup (antara tahun 1920 – 1969), Mbah Syafa’ dikenal sebagai sosok yang zuhud. Ia sangat sederhana, baik dalam berpakaian maupun dalam bertutur kata. Kesederhanaannya dalam berpakaian, membuat sebagian orang menganggap Mbah Syafa’ sebagai Kiai yang sangat miskin.

“Bahkan ada orang yang menganggap Mbah Syafa’ adalah orang gila, karena ia memang kerap berperilaku Khawariqul Adah, yaitu berperilaku diluar kebiasaan manusia pada umumnya. Persangkaan orang bahwa Mbah Syafa’ adalah orang gila sudah terdengar sebelum masyarakat mengetahui karomah dan kewaliannya,”ujar Tomo, pengurus makam wali di kota Kaliwungu.

Rahasia Mbah Syafa sebagai wali akhirnya terbongkar. Ceritanya pada suatu hari tetangga disekitar rumah Mbah Syafa’ dibuat gempar. Saat itu setelah musim haji, ada seorang haji yang datang ke desa Mbah Syafa. Dia mengaku dititipi anggur oleh seseorang di Mekah untuk diserahkan kepada Mbah Syafa’, yang baru saja menunaikan ibadah haji di Mekah. Padahal tetangga Mbah Syafa’ mengetahui sendiri, selama musim haji itu Mbah Syafa’ berada di rumahnya.

“Tetangga –tetangga menganggap tak mungkin mbah Syafa akan menunaikan ibadah haji. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja masih kekurangan,”ungkapnya.

Sejak peristiwa menakjubkan itu pandangan orang pada dirinya berubah, apalagi setelah karomah-karomahnya disaksikan orang-orang disekitarnya.

Kisah Unik

Banyak cerita menarik seputar kewalian Kiai Musyafa'. Konon di Kendal dahulu pernah ada seorang waliyullah Abdul Hadi namanya. Ketika beliau akan wafat, beliau menyampekan pesan pada Habib Umar, penjaganya kala sakit, yang tak jelas maknanya. Beliau mengatakan, "Nyonya dengklek kidul mesjid Kaliwungu nyambut gawe kulak jaritan" (Artinya :Nyonya Dengklek sebelah selatan masjid Kaliwungu Bekerja sebagai tengkulak kain).

Pada saat waliyullah Abdul Hadi itu meninggal dunia, maka terlihat cahaya (nur) yang bersinar ke arah Kiai Musyafa'. itulah barangkali tanda awal kewalian Kyai Musyafa'.

Selain itu, ada beberapa cerita orang tua yang merupakan saksi ahli tentang keanehan-keanehan yang diangap merupakan ciri karomah atau kewalian Mbah Kyai Musyafa'. Suatu saat Mbah Syafa’ menjamu tamu yang datang. Masing-masing tamu menuang sendiri air minum dari ceret yang sudah disediakan. Anehnya air minum yang berasal dari satu ceret itu di rasakan berbeda-beda oleh tamu yang minum.

Kisah unik lain ketika Mbah Wali Syafa' memotong pohon kelapa.Ceritanya berawal dari seorang tetangga yang resah dan khawatir karena pohon kelapanya condong di atas rumahnya. Mendengar keresahan itu, maka Mbah Syafa' bertandang. Beliau langsung yang naik pohon kelapa untuk memotong pohon yang condong di atas atap rumah tetangganya itu.

Setelah selesai di potong, ternyata pohon kelapa itu jatuhnya justru berlawanan dengan rumah warga itu. Logikanya pohon itu seharusnya jatuh persis di atas rumah tetangganya itu. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Di sinilah orang makin yakin akan kelebihan karomah Mbah Syafa.

Sekitar tahun 1960-an, Mbah Syafa’ kedatangan seorang tentara. Tentara itu bermaksud memohon restu, karena sebagai pembela negara dia mendapat tugas ikut dalam rombongan pasukan Trikora yang akan membebaskan Irian Jaya dari pendudukan Belanda. Saat dia sampai di tempat tinggal Mbah Syafa’ dan mengemukakan maksudnya, Mbah Syafa’ tidak menjawab sepatah kata pun. Beliau hanya mengambil sebuah wajan yang telah di bakar hingga merah membara.

Oleh Mbah Syafa’ wajan itu di dekatkan ke kepala orang tersebut sambil dipukul beberapa kali. Sesaat kemudian beliau masuk kedalam rumah dan keluar dengan membawa tiga buah biji randu (Klentheng), lantas menyerahkannya pada orang itu.

“Orang tersebut tidak mengerti apa maksud Mbah Syafa’, namun ia tetap menyimpan biji randu pemberian Mbah Syafa’. Di belakang hari, isyarat tersebut bisa diketahui setelah kapal yang ditumpangi tentara Indonesia hancur di tengah laut. Namun atas izin Allah orang tersebut selamat,”jelas Tomo.

Dalam kisah yang lain diceritakan pada 1940-an, suatu hari Mbah Syafa’ menggali tanah hingga dalam. Orang-orang disekitarnya merasa heran dengan apa yang dikerjakannya itu. Sebagian mengira tempat itu akan digunakan untuk memelihara ikan, sebagian yang lain menyangka akan dibuat sumur.

Setelah beberapa saat, orang baru sadar bahwa Mbah Syafa’ mengetahui peristiwa yang bakal terjadi belakangan. Karena tidak lama berselang, tentara Jepang menyerbu daerah Kaliwungu, dan lubang itu dipergunakan sebagai tempat persembunyian orang-orang yang ada di sekitarnya.

Ketika terjadi serangan tentara Jepang, masyarakat sudah panik dan lari kesana kemari mencari perlindungan. Namun Mbah Wali Syafa' justru tenang-tenang aja di teras rumahnya membaca surat Yasin. Beberapa kali Mbah Wali membacanya, akhirnya tba-tiba berhentilah serangan montir tentara Jepang tadi.

“Ini Barokahnya bacaan surat Yasin yang dibaca Kiai Musyafa',”paparnya.

Berbagai peristiwa aneh terjadi termasuk setelah ia meninggal dunia pada 13 Maret 1969 (seperti yang tertulis pada nisannya). Suatu ketika Rasyid saat sedang membersihkan Balai Desa Krajan Kulon, Kaliwungu. Rasyid, tukang sapu kantor tersebut, ditemui  Mbah Syafa’ tanpa berbincang apapun. Mbah Syafa’ memberinya uang seribu rupiah. Dia tidak mengetahui pada saat itu Mbah Syafa ia telah meninggal dunia.

Anehnya, ketika sudah dibelanjakan, uang itu tetap utuh dan tetap ada di saku Rasyid begitu ia sampai di rumah. Hal itu berulang hingga tiga kali, membuat gundah Rasyid. Hatinya baru tenang setelah uang itu ia kembalikan ke kuburan Kiai Syafa’.

“Maka sekarang makam Kiai Musyafa dikenal untuk memperlancar rejeki ,”jelasnya.

Meski telah terbukti karomhanya, masih terdapat pula orang yang tidak mempercayai bahwa Mbah Syafa adalah wali. Maka suatu saat Kiai Muchid dari Jagalan, Kutoharjo, Kaliwungu berguman, serasa meragukan berita kewalian Mbah Wali Syafa'. Akhirnya dia mempunyai rencana untuk menguji kewalian Mbah Syafa. "Apa benar Mbah Kyai Musyafa'itu seorang waliyullah? Coba aku aku memncoba karomahnya akan pura-pura meminjam uangnya Kiai",niat Kyai Muchid pada dirinya sendiri.

Kyai Muchid kemudian sampai di halaman rumah Kiai Musyafa', tiba-tiba Kiai Musyafa' berkata dengan nada perintah,"Muchid, ke pasar saja memakai bathok kelapa kalau akan mengemis". Padahal saat itu Kiai Muchid belum mengatakakan apapun. Begitu mendengar ucapan Kiai Musyafa, maka Kiai Muchid terdiam, tak berani berkata sepatah kata pun. Dia tidak jadi mengutarakan niatnya akan meminjam uang.

Sampai kini, makam Kiai Musyafa ramai dikunjungi peziarah. Apalagi ketika acara syawalan peziarah akan membludak. Biasanya peziarah mengunjungi makam Kiai Musyafak usai ziarah ke makam Kiai Asy’ari. Seperti diketahui awalnya kegiatan ziarah syawalan mengirim doa di makam Kyai Asy'ari ini hanya dilakukan oleh keluarga dan keturunannya Kyai Asy'ari, tetapi lama kelamaan diikuti oleh masyarakat muslim Kaliwungu dan sekitarnya.

Akhirny, kegiatan itu semakin membudaya terjadi setiap tahun, bahkan objek lokasi ziarah melebar bukan hanya kepada makam Kyai Asy'ari (Kyai Guru), akan tetapi juga ke makam Sunan Katong, Pangeran Mandurarejo, seorang Panglima Perang Mataram, dan Pangeran Pakuwaja. Belakangan para peziarah merambah juga berziarah ke makam Kyai Rukyat, Kyai Mustofa dan Kyai Musyafa'.

Mbah Ru’yat lahir pada sekitar tahun 1305 H. atau 1885 M. di Kampung Pungkuran, Kutoharjo, Kaliwungu, Kendal. Ibunya bernama Nyai Sujatmi, sedangkan ayahnya bernama Kyai Abdullah bin Kyai Musa. Beliau adalah sosok ulama yang waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar dan beribadah. Lebih-lebih ketika bulan Ramadhan, dari mulai ba’da Subuh sampai pukul 12 malam, beliau habiskan untuk mengajar santri-santrinya. Sehingga tidaklah mengherankan jika santri-santrinya banyak yang menjadi ulama besar, seperti ; KH. Abuya Dimyati (Banten), KH. Dimyati (Pemalang), Abah Anom (Tasikmalaya), KH. Asror Ridwan (Kaliwungu), KH. Dimyati Rois (Kaliwungu) dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada hari Jum’at tanggal 9 Rabi’ul Akhir 1388 H. atau 4 Juli 1968 M. dan dimakamkan di bukit Jabal Nur.

Sejarah Tarian Barongsai


Menurut sejarah, tidak ada singa di China, singa datang ke China dari India dan Srilangka, sesuai dengan penyebaran ajaran agama Buddha pada zaman dynasty Han. Raja Han membuka hubungan dagang dengan dunia luar melalui jalur sutera ke China. Pertukaran kebudayaan yang datang dari Timur ke China seperti tarian dan nyanyian. Tarian dipertunjukkan dengan menggunakan topeng singa, binatang yang tidak ada di China. Maka pedagang yang berdagang melalui jalur sutera membawa serta singa sebagai hadiah ke China, juga dibawa serta pelatih singa. Mulai saat itu dikenal tarian singa atau barongsai di China.

Kesenian Barongsai mulai populer pada zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda hingga sekarang.

Pada saat dynasty Tang, mulai dibuat bentuk kepala singa dari kayu. Sosok kepala singa dibuat sebagai paduan element Buddhism, Taoism dan Konghucuism. Permainan barongsai makin berkembang di China pada saat dynasty Han, Wei dan Chin. Pada saat dynasty Tang, Song, Yuan, Ming dan Ching permainan barongsai yang semula diadakan di dalam Istana Kerajaan mulai diperkenalkan kepada masyarakat luas diluar istana, diadakan festival barongsai diluar istana raja. Permainan barongsai bertransformasi sesuai masing-masing dynasty di China. Sesuai perubahan zaman, permainan barongsai makin berkembang dimainkan oleh orang dewasa dan anak kecil, dan dilengkapi dengan ketrampilan bela diri. Kepala barongsai diikat dengan pita warna warni. Diikat pita merah untuk laki-laki dan diikat pita hijau untuk wanita.

Tarian, Gerakan, dan Jenis Barongsai

Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat, dan Singa Selatan yang bersisik dan bertanduk. Penampilan singa Utara lebih mirip singa karena berbulu tebal, bukan bersisik.

Singa Utara

Di Indonesia, Singa Utara biasa disebut Peking Sai. Singa Utara memiliki bulu yang lebat dan panjang berwarna kuning dan merah. biasanya Singa Utara dimainkan dengan 2 Singa dewasa dengan pita warna merah di kepalanya yang menggambarkan Singa Jantan, dan Pita Hijau (kadang bulu hijau di kepalanya) untuk menggambarkan Singa Betina.

Pekingsai dimainkan dengan Akrobatik dan Atraktif, seperti berjalan di tali, berjalan di atas bola, menggendong, berputar, dan gerakan-gerakan akrobatis lainnya. Tidak jarang juga, Pekingsai dimainkan dengan anak singa, atau seorang 'pendekar' yang memegang benda berbentuk bola yang memimpin para Singa. Biasanya, sang pendekar melakukan beberapa gerakan-gerakan beladiri Wushu.

Konon, pada jaman dahulu, atraksi Pekingsai digunakan untuk menghibur keluarga kerajaan di istana Tiongkok.

Singa Selatan

Singa Selatan inilah yang sering kita lihat, atau kita sebut Barongsai. Singa Selatan lebih ekspresif dibanding Singa Utara. Kerangka kepala Singa Selatan dibuat dari bambu, lalu ditempeli kertas, lalu dilukis, dan ditempeli bulu dan dihias. Bulu yang memiliki kualitas tinggi untuk pembuatan Barongsai adalah bulu domba atau bulu kelinci. Tetapi, untuk harga yang murah, biasanya digunakan bulu sintetis. Pada zaman modern, kerangka barongsai mulai dibuat dengan alumunium atau rotan.

Singa Selatan memiliki berbagai macam jenis. Singa yang memiliki tanduk lancip, mulut seperti bebek, dahi yang tinggi, dan ekor yang lebih panjang disebut Fut San (juga disebut Fo Shan, atau Fat San). Sedangkan Singa yang memiliki mulut moncong ke depan, tanduk yang tidak lancip, dan ekor yang lebih kecil disebut Hok San. Keduanya diambil dari nama tempat di Tiongkok.

Barongsai Futsan dimainkan dengan kuda-kuda dan gerakan yang lebih memerlukan tenaga. Barongsai Futsan biasanya dimainkan didalam kategori Barongsai Tradisional. Kuda-kuda dan gerakan barongsai hoksan lebih santai daripada Barongsai futsan. Barongsai futsan biasanya digunakan di sekolah-sekolah kungfu, dan hanya murid terbaik yang dapat menarikannya.

Barongsai hoksan biasanya dikenal karena ekspresif, langkah kaki yang unik, penampilan yang impresif, dan musik yang bertenaga. Diperkirakan, pendiri Barongsai Hoksan adalah Feng Gengzhang pada abad ke 20. Feng lahir di desa di kota He Shan, dan dia diajarkan beladiri China dan Barongsai dari ayahnya. Kemudian, ia mempelajari bela diri dan Barongsai dari Fo Shan sebelum pulang ke desanya dan membuat sasananya sendiri. Dia menciptakan gaya berbarongsainya yang unik, dan menciptakan teknik baru memaikan Barongsai dengan mempelajari mimik dan gerak kucing, seperti "menangkap tikus, bermain, menangkap burung, dan berguling". Dan, terciptalah kepala barongsai bergaya Hok San, ia merendahkan dahi Barongsai, melengkungi tanduknya, dan membuat mulutnya menjadi seperti paruh bebek. Badannya juga menjadi terlihat lebih bertenaga dan berwarna lebih mencolok. bersama dengan langkah kaki yang lebih unik dan tangkas, Feng menciptakan gaya musik baru dalam bermain Barongsai yang disebut "Seven Star Drum". Sekitar tahun 1945, pemain Barongsai hoksan diundang untuk tampil di berbagai tempat di China dan bagian Asia Tenggara. Di Singapura, Barongsai hoksan menjadi terkenal dan mendapatkan julukan "Raja dari Raja Barongsai" dan memiliki tulisan "Raja" (王) di dahi Barongsai Hoksan. Perbaikan lebih lanjut, asosiasi Barongsai hoksan di Singapura membuat Barongsai hoksan menjadi lebih mirip seperti seekor kucing dengan memendekkan ekornya, dan membuat ketukan drum yang baru untuk tarian singa ini.

Biasanya, perbedaan warna pada bulu Barongsai melambangkan umur dan karakter sang Barongsai. Barongsai dengan warna putih adalah barongsai yang paling tua, warna putih melambangkan kesucian. Barongsai berwarna kuning adalah Barongsai dengan umur yang tidak teralu tua dan tidak terlalu muda, warna kuning melambangkan keberuntungan dan ketulusan hati. Barongsai berwarna hitam adalah barongsai dengan umur yang paling kecil. Itulah mengapa, biasanya barongsai berwarna hitam ditarikan dengan gerakan yang lincah dan seperti memiliki keingintahuan tinggi. Barongsai berwarna emas melambangkan kegembiraan. Barongsai dengan warna hijau melambangkan pertemanan. Barongsai dengan bulu warna merah melambangkan keberanian. Karena berkembangnya waktu, Barongsai modern telah muncul dan menghasilkan warna-warna baru seperti pink, ungu, dll.

Barongsai dimainkan di beberapa tempat. Barongsai yang dimainkan di lantai atau papan disebut Barongsai Tradisional, Barongsai yang dimainkan di atas tonggak disebut Barongsai Tonggak. Tonggak yang berstandar internasional memiliki tinggi kurang lebih 80cm sampai 2m. Untuk Barongsai lantai, biasanya area dalam pertandingan dibatasi 8x8 meter - 10x10 meter. Dalam pertunjukan barongsai, makanan Barongsai yang berupa sayur disebut Cheng.

Untuk menarikan Barongsai, agar terlihat indah dan menarik, pemain Barongsai harus menguasai kerjasama antar pemain, kerjasama pemain musik, dan kerjasama pemain musik dan pemain barongsai. Pergerakan barongsai dengan musik harus serasi. Pemain barongsai juga harus membuat barongsai seolah benar-benar "hidup" dengan cara membuat ekspresi dan mimik wajah barongsai seolah-olah nyata. ekspresi tersebut adalah bahagia, marah, takut, ragu-ragu, mabuk, bergerak dan diam. Barongsai harus terlihat agak kaget saat melihat benda berwarna merah, dan dalam kategori Barongsai Tradisional, saat melihat air, Barongsai harus terlihat fokus saat melihat bayangannya di air, atau takut saat melihat ular. Pemain Barongsai harus menguasai kuda-kuda agar bentuk badan barongsai terlihat bagus.

Barongsai di Indonesia

Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan.

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta.

Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dimainkan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlek), barongsai dari keenam perguruan di Semarang, dipentaskan. Keenam perguruan tersebut adalah:

1- Sam Poo Tong, dengan seragam putih-jingga-hitam (kaus-sabuk-celana), sebagai tuan rumah
2- Hoo Hap Hwee dengan seragam putih-hitam
3- Djien Gie Tong (Budi Luhur) dengan seragam kuning-merah-hitam
4- Djien Ho Tong (Dharma Hangga Taruna) dengan seragam putih-hijau
5- Hauw Gie Hwee dengan seragam hijau-kuning-hijau kemudian digantikan Dharma Asih dengan seragam merah-kuning=merah
6- Porsigab (Persatuan Olah Raga Silat Gabungan) dengan seragam biru-kuning-biru

Walaupun yang bermain barongsai atas nama ke-enam kelompok tersebut, tetapi bukan berarti hanya oleh orang-orang Semarang. Karena ke-enam perguruan tersebut mempunyai anak-anak cabang yang tersebar di Pulau Jawa bahkan sampai ke Lampung.

Di kelenteng Gedong Batu, biasanya barongsai (atau di Semarang disebut juga dengan istilah Sam Sie) dimainkan bersama dengan Liong (naga) dan Say (kepalanya terbentuk dari perisai bulat, dan dihias menyerupai barongsai berikut ekornya).

Barongsai Telah Diakui Koni

Sekarang barongsai di Indonesia sudah diperlombakan. Federasi Olahraga Barongsai Indonesia atau FOBI yang menaungi kesenian Barongsai telah diakui oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia KONI. Jadi, sekarang pemain Barongsai bisa disebut sebagai Atlet Barongsai. Barongsai Indonesia telah meraih juara pada kejuaraan di dunia. Dimulai dengan Barongsai Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dari Padang yang meraih juara 5 pada kejuaraan dunia di genting - malaysia pada tahun 2000. Hingga kini barongsai Indonesia sudah banyak mengikuti berbagai kejuaraan-kejuaraan dunia dan meraih banyak prestasi. Sebut saja beberapa nama seperti Kong Ha Hong (KHH) - Jakarta, Dragon Phoenix (DP) -Jakarta, Satya Dharma - Kudus, danPaguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) - Tarakan. Bahkan nama terakhir, yaitu PSMTI telah meraih juara 1 pada suatu pertandingan dunia yang diadakan di Surabaya pada tahun 2006. Perguruan barongsai lainnya adalah Tri Pusaka Solo yang pada pertengahan Agustus 2007 lalu memperoleh Juara 1 President Cup. Kong Ha Hong dari Jakarta juga telah membuktikan bahwa barongsai Indonesia mampu bersaing di dunia internasional. beberapa prestasi Kong Ha Hong Jakarta dalam kejuaraan dunia adalah:

1. HBT Open, Padang Indonesia (peringkat 3)
2. Genting World Lion Dance Championship 2006, Malaysia (peringkat 7)
3. Genting World Lion Dance Championship 2007, Malaysia (peringkat 5)
4. ASEAN Cup, BSD Indonesia (peringkat 2)
5. Guang Zhao Open 2009, Guang Zhao China (JUARA DUNIA)
6. Putian Open 2013, Putien China (peringkat 2)
7. Living World International Lion Dance Championship 2014, Tangerang Indonesia (JUARA DUNIA)
8. Genting World Lion Dance Championship 2014, Malaysia (peringkat 3)
9. Beijing Open 2015, Beijing China (JUARA DUNIA)
10. Shenzen Open 2016, Shenzen China (peringkat 3)
11. Living World International All-Star Lion Dance Championship 2017, Tangerang Indonesia (JUARA DUNIA)

Kong Ha Hong Jakarta juga telah memenangkan banyak piala dari kejuaraan-kejuaraan nasional.

Selain itu, kesenian barongsai juga pernah bermunculan di beberapa kota seperti Purwokerto, Magelang, Cilacap dan beberapa kota yang lain. Untuk daerah Magelang, kesenian barongsai ini muncul pertama kali dengan nama Ciu Lung Wei - Magelang, TITD -Magelang, Pai Se Wei - Magelang dan masih banyak perkumpulan lainnya. Untuk Purwokerto ada beberapa perkumpulan kesenian barongsai yang telah terbentuk dan berjalan seperti Chin Lung Dhuan -Purwokerto, Lung Se Tuan - Purwokerto, Yi Lung Dhuan - Purwokerto

Perkembangan Barongsai di Indonesia bisa dibilang cukup pesat. bisa dilihat dari prestasi-prestasinya di pertandingan-pertandingan dunia. Indonesia juga dapat mengalahkan tim Barongsai dari China yang sudah ribuan tahun lebih dahulu mempelajari Barongsai. Barongsai Indonesia juga sudah dapat mengalahkan tim Barongsai dari Malaysia yang memang lebih dulu mempelajari Barongsai daripada Indonesia. Pertandingan-pertandingan tingkat internasional dapat memberikan pelajaran dan pengalaman untuk Barongsai Indonesia agar lebih baik untuk kedepannya. Federasi Olahraga Indonesia (FOBI) berharap dengan diselenggarakannya kejuaraan-kejuaraan dapat memberikan nilai silahturahim antar tim Barongsai dalam maupun luar Negeri.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kesenian atau seni ketrampilan dalam permainan Barongsai membutuhkan keahlian khusus dan tentunya dengan latihan yang rutin dapat menjadikan para pemain yang terlibat didalamnya menjadi mahir dan terampil. Namun disini terkadang banyak orang yang masih berpendapat bahwa bermain Barongsai bisa menjadikan sang pemain atau para pemain menjadikan kesurupan seperti halnya dalam permainan Kuda Lumping.

Dalam melakukan permainan Barongsai, dibutuhkan kejelian dan ketangkasan yang tentunya di dapat dari hasil latihan yang rutin serta tanggap dalam mengenal medan atau arena tempat bermain, dikarenakan permainan Barongsai harus dapat dilakukan di segala medan, ataupun arena, atau bahkan dilapangan dan juga di tempat yang luasnya amat minimalis.

Dalam perkembangan sekarang ini Barongsai sudah banyak jenis permainnya yang dipadukan dengan kesenian atau beladiri Wushu, dan menjadikan gerakan-gerakan yang dilakukan menjadi indah dan serasi dengan musik terdengar dari alat musik Barongsai. Itupun sebenarnya keserasian permainan juga didapat dari hasil latihan yang serius dan disiplin yang tinggi serta penngenalan tentang budaya Tionghoa pada umumnya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...