Minggu, 07 November 2021

Wajib Bai'at Dan Patuh Pada Pemerintah Yang Sah


Ibnu Khaldun dalam kitabnya, al-Muqadimah menyatakan,

البيعة هي العهد على الطاعة، كأن المبايع يعاهد أميره على أنه يسلم له النظر في أمر نفسه وأمور المسلمين، لا ينازغه في شيء من ذلك، ويطيعه فيما يكلفه به من الأمر على المنشط والمكره

”Bai’at adalah janji untuk taat. Seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijakan terkait urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. Tanpa sedikitpun berkeinginan menentangnya. Serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.” (Mukadimah Ibnu Khaldun, 1/108).

Istilah baiat telah dikenal sejaka masa silam, bahkan sebelum Islam. Masyarakat memberikan baiatnya kepada masing-masing kepala kabilah mereka. Mentaati setiap perintah dan larangan pimpinan kabilah.

Baiat ialah perjanjian untuk mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa atas urusan kaum muslimin (ulil amri). Baiat berlaku bagi setiap orang yang berada di dalam kekuasaannya. Menjaga janji dalam baiat hukumnya wajib, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (QS. Al Fath: 10).

Wajib Baiat Kepada Pemerintah yang Sah

Islam sangat antuasias untuk mewujudkan persatuan umatnya. Sementara persatuan tidak mungkin terwujud, kecuali jika di sana ada satu imam yang memimpin semuanya. Karena itulah, ketika di tengah kaum muslimin ada pemimpin dan pemerintah yang sah, maka kaum muslimin diwajibkan membaiatnya.

Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4:59]

Dalam ayat ini Allâh menyebutkan kata perintah “taatilah” dalam konteks ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan ketaatan kepada Rasul-Nya, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyebutkan lagi kata perintah tersebut  dalam konteks ketaatan kepada ulil amri (penguasa/pemimpin).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

Barangsiapa menaatiku maka sungguh ia telah menaati Allâh. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allâh. Dan barangsiapa yang menaati pemimpin maka sungguh ia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada pemimpin, maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. [HR. al-Bukhâri 2957 dan Muslim 1835]

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya mati dalam kondisi jahiliyah karena manusia yang hidup di zaman jahiliyah, mereka tidak punya pemimin satu negara. Adanya pemimpin kabilah-kabilah kecil. Sehingga peluang terjadinya peperangan antar-suku sangat besar.

An-Nawawi mengatakan,

(ميتة جاهلية) أي على صفة موتهم من حيث هم فوضى لا إمام لهم

Mati dalam keadaan jahiliyah artinya mati seperti orang jahiliyah, dimana mereka suka perang, kacau, tidak punya pemimpin tunggal. (Syarh Shahih Muslim, 12/238).

Sehingga makna hadis, orang yang tidak membaiat pemerintah yang sah, seperti orang jahiliyah. Ini sejalan dengan keteragan di hadis lain, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ، وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa yang tidak mau taat, memisahkan diri dari jamaah (di bawah imam), hingga dia mati maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim 1848).

Tidak disyaratkan bagi pemimpin yang dibaiat untuk menjadi pemimpin secara global bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Bahkan tiap pemimpin yang merdeka dan menguasai suatu wilayah wajib atasnya baiat dari seluruh kaum muslimin yang menjadi tanggungannya.

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) rahimahullah, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata,

والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر، ومن ولي الخلافة واجتمع الناس عليه ورضوا به ومن غلبهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين

“Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”

Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

من أعظم الأدلة على وجوب نصب الأئمة، وبذل البيعة لهم: ما أخرجه أحمد، والترمذي، وابن خزيمة، وابن حبّان في صحيحه، من حديث الحارث الأشعري، بلفظ: " من مات وليس عليه إمام جماعة فإن موتته موتة جاهلية". ثم إن الصحابة لمّا مات رسول الله صلى الله عليه وسلم قدّموا أمر الإمامة ومبايعة الإمام على كل شيء؛ حتى أنهم اشتغـلوا بذلك عن تجهيزه صلى الله عليه وسلم

”Dalil yang teragung tentang wajibnya mengangkat imam dan memberikan baiat kepadanya adalah : Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari hadits Al-Haarits Al-Asy’ary dengan lafadh : ”Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mempunyai imam jama’ah, maka matinya seperti mati jahiliyyah”. Maka para shahabat, ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, meraka mendahulukan perkara imamah dan baiat kepada seorang imam di atas segalanya; sampai-sampai mereka sibuk dalam urusan ini daripada mengurus jenazah beliaushallallaahu ’alaihi wasallam” [As-Sailul-Jarar 4/504].

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

طريقها- أي: البيعة- : أن يجتمع جماعة من أهل الحل والعقد، فيعقدون له البيعة .. وأن المعتبر هو وقوع البيعة له – الإمام – من أهل الحل والعقد، فإنها هي الأمر الذي يجب بعده الطاعة ويثبت به الولاية، وتَحرُم معه المخالفة. وقد قامت على ذلك الأدلة وثبتت به الحجة.

......وليس من شرط ثبوت الإمامة: أن يبايعه كل من يصلح للمبايعة، ولا من شرط الطاعة على الرجل أن يكون من جملة المبايعين؛ فإن الاشتراط في الأمرين مردود بإجماع المسلمين أوّلهم وآخرهم، سابقهم ولا حقهم

”Caranya – yaitu bai’at – adalah sekelompok Ahlul-Halli wa-’Aqdi berkumpul, lalu mereka mengikat bai’at kepada seseorang (yang dipilih menjadi imam)..... Dan sesungguhnya yang diakui adalah dibai’atnya seseorang – yaitu imam – oleh Ahlul-Halli wal-’Aqdi, karena setelah adanya pembaiatan tersebut akan terikat kewajiban untuk taat, ber-wala’ (loyalitas), dan haram untuk menyelisihinya/menentangnya. Telah tegak perkara ini berdasarkan dalil dan hujjah yang kuat..... Bukanlah menjadi syarat sahnya imamah agar setiap orang yang pantas berbaiat untuk berbaiat. Bukan pula syarat ketaatan terhadap seseorang (yaitu imam) dengan melihat jumlah orang yang membaiat. Karena menurut ijma’ ulama terdahulu dan sekarang, dua persyaratan tersebut adalah tertolak” [As-Sailul-Jarar 4/511,513].

Terkadang ada orang yang berkata : ”Sesungguhnya baiat itu tidak boleh dilakukan kecuali kepada seorang imam yang memimpin seluruh umat Islam seperti yang terjadi di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan Khalifah Rasyidah”.

Maka kita jawab – wabillahit-taufiq – untuk membantah syubhat tersebut dengan penjelasan yang kuat dari Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah :

إذا كانت الإمامة الإسلامية مختصة بواحد، والأمور راجعة إليه، مربوطة به ، كما كان في أيام الصحابة والتابعين وتابعيهم؛ فحكم الشرع في الثاني الذي جاء بعد ثبوت ولاية الأول : أن يقتل إذا لم يتب عن المنازعة.

وأما بعد انتشار الإسلام، واتساع رقعته، وتباعد أطرافه؛ فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان، وفي القطر الآخر أو الأقطار كذلك، ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره التي رجعت إلى ولايته؛ فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين، ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره و نواهيه؛ وكذلك صاحب القطر الآخر، فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولا يته ، وبايعه أهله، كان الحكم فيه: أن يقتل إذا لم يتب؛ ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته، ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار.

فاعرف هذا؛ فإنه المناسب للقواعد الشرعية، والمطابق لما تدل عليه الأدلة، ودع عنك ما يقال في مخالفته، فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام، وما هي عليه الآن أوضح من شمس النهار، ومن أنكر هـذا فهو مباهت، لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعلقها

”Apabila keimamahan Islam dikhususkan untuk satu orang, semua perkara dikembalikan kepadanya, dan terikat melaluinya sebagaimana terjadi di jaman shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; maka menurut syari’at Islam, imam yang kedua – setelah adanya imam yang pertama – harus dibunuh, bila ia tidak mau bertaubat atas penentangannya.

Adapun setelah tersebarnya Islam dan luasnya dunia Islam serta tempat-tempat saling berjauhan; maka telah dimaklumi bahwa setiap daerah/negara membutuhkan seorang imam atau sulthan dan mereka (penduduknya) tidak perlu melaksanakan perintah dan larangan (peraturan-peraturan) yang berlaku di daerah/negara lain. Maka berbilangnya imam dan penguasa (yang berlainan daerah kekuasaannya) adalah tidak apa-apa. Setelah dibaiatnya seorang imam, maka wajib bagi setiap orang yang berada di bawah daerah kekuasaannya untuk mentaatinya, yaitu dengan melaksanakan perintah dan larangan-larangannya. Seperti itu pula negara-negara yang lainnya. Apabila ada orang yang menentang/menyelisihi (imam/sulthan) di dalam suatu negara yang kekuasaan telah dipegangnya dan penduduk telah membaiatnya, maka hukuman bagi orang tersebut adalah dibunuh bila tidak mau bertaubat. Akan tetapi tidak wajib bagi penduduk negara lainnya untuk mentaatinya dan masuk di bawah kekuasannya; karena saling berjauhan kekuasannya.

Maka pahamilah perkara ini, karena sesungguhnya hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at dan bersesuaian dengan dalil. Dan tinggalkanlah pendapat yang menyelisihinya. Sesungguhnya perbedaan antara daerah kekuasaan pada awal permulaan Islam dengan yang ada sekarang ini adalah lebih jelas/terang daripada matahari di siang hari. Maka orang yang mengingkari masalah ini berarti seorang pendusta, ia tidak perlu diajak bicara dengan hujjah karena ia tidak memahaminya” [selesai dengan peringkasan, As-Sailul-Jaraar 4/512].

Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1844) meriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ibn Al Ash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

“Barangsiapa telah membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia taat kepadanya dalam batas kemampuannya. Jika datang seorang yang mengaku pemimpin lainnya, maka penggallah leher yang lain itu.”

Karena itulah umat diperintah untuk mendengar dan taat kepada pemimpin, baik ketika suka atau tidak suka, mendahulukan perkataannya ketika terjadi perselisihan dalam perkara ijtihad- sebagaimana akan datang penjelasannya-, bersabar atas kezalimannya, diharamkan keluar dari ketaatan kepadanya meski dia seorang yang fasik (pendosa). Semua ini tidak dilakukan kecuali karena ada manfaat umum yang akan kembali kepada umat itu sendiri. Dan manfaat umum harus lebih didahulukan daripada manfaat khusus, baik manfaat khusus untuk pemimpin itu sendiri, maupun manfaat khusus untuk sebagian anggota masyarakat.

Inilah yang nampak jelas dari pokok ajaran syariat Islam, yaitu tidak mungkin maslahat satu orang atau beberapa orang lebih didahulukan daripada maslahat umat secara keseluruhan. Bahkan di antara kaidah yang telah baku dalam agama Islam bahwa maslahat umum lebih didahulukan daripada maslahat khusus.

Imam asy-Syâthibi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya maslahat umum lebih didahulukan daripada maslahat khusus, dengan dalil terlarangnya mencegat barang dagangan dan terlarangnya orang kota menjualkan barang orang pedalaman… yang mana hal itu mengharuskan kita lebih didahulukannya maslahat umum daripada maslahat khusus, dengan tidak memudaratkan (merugikan) yang khusus.”

Oleh karena itu, tampak jelas bahwa manfaat mendengar dan taat kepada pemimpin akan kembali kepada umat itu sendiri. Dengannya urusan agama menjadi tegak dan keadaan dunia menjadi baik. Sementara, keluar dari ketaatan (membangkang) kepada pemimpin pada hakikatnya bukanlah kerugian untuk pemimpin -sebagaimana sangkaan sebagian orang – akan tetapi, sejatinya itu adalah kejahatan kepada umat dan menelantarkan maslahat agama dan dunia mereka.

Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu berkata, “Islam tidak akan tegak kecuali dengan jamaah, dan jamaah tidak akan tegak kecuali dengan pemimpin, sedangkan pemimpin tidak akan tegak kecuali dengan ketaatan kepadanya.”

Dan al-Afwah al-Audi berkata:

لَا يَصلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لَا سَرَاةَ لَهُمْ   وَلَا سَرَاةَ إِذَا جُهَّالَهُمْ سَادُوا

Manusia tidak akan menjadi baik bahkan akan kacau tanpa pemimpin
Dan dianggap tidak ada pemimpin jika orang-orang bodoh mereka yang memimpin.

Belajarlah Pada Padi


Tumbuhan biji-bijian seperti padi (Oryza sativa) merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia yang banyak mengandung karbohidrat. Tumbuhnya tanaman ini tumbuh di daerah tropis dan subtropics dan banyak menyebar di Asia, Afrika, Amerika dan Australia.

Padi yang lebih dikenal di dunia Botani (Ilmu yang mempelajari tentang tumbuhan) dengan nama Oryza sativa merupakan tumbuhan yang telah Allah jelaskan dalam al-Qur’an Surat al-An’aam yaitu

إِنَّ اللّٰـهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَىٰ ۖ يُخْرِجُ الْحَىَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَىِّ ۚ ذٰلِكُمُ اللّٰـهُ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ

Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir padi-padian dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (QS Al An'am. 95)

Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim dengan morfologi berbatang bulat dan berongga yang disebut jerami.  Daunnya memanjang dengan ruas searah batang daun.  Pada batang utama dan anakan membentuk rumpun pada fase vegetatif dan membentuk malai pada fase generatif.  Bunga padi terdiri dari tangkai bunga, kelopak bunga lemma (gabah padi yang besar), palae (gabah padi yang kecil, putik, kepala putik, tangkai sari, kepala sari, dan bulu (awu) pada ujung lemma.

Akar tanaman padi berfungsi menyerap air dan zat – zat makanan dari dalam tanah terdiri dari:
1) Akar tunggang yaitu akar yang tumbuh pada saat benih berkecambah,
2) Akar serabut yaitu akar yang tumbuh dari akar tunggang setelah tanaman berumur 5 – 6 hari.

Ciri khas daun tanaman padi yaitu adanya sisik dan telinga daun, hal ini yang menyebabkan daun tanaman padi dapat dibedakan dari jenis rumput yang lain. Adapun bagian daun padi yaitu:
1) Helaian daun terletak pada batang padi, bentuk memanjang seperti pita,
2) Pelepah daun menyelubungi batang yang berfungsi memberi dukungan pada ruas bagian jaringan,
3) Lidah daun terletak pada perbatasan antara helaian daun dan leher daun. Perkecambahan  adalah munculnya tunas (tanaman kecil dari biji).  Embrio yang merupakan calon individu baru terdapat di dalam benih.  Jika suatu benih tanaman ditempatkan pada lingkungan yang menunjang dan memadai, benih tersebut akan berkecambah.  Perkecambahan benih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Perkecambahan epigeal adalah ruas batang di bawah daun lembaga atau hipokotil sehingga mengakibatkan daun lembaga dan kotiledon terangkat ke atas tanah, misalnya pada kacang hijau (Phaseoulus radiatus)

2. Perkecambahan hipogeal adalah ruas batang teratas (epikotil) sehingga daun lembaga ikut tertarik ke atas tanah, tetapi kotiledon tetap di bawah tanah, misalnya pada tanaman padi (Oryza sativa L.)

Sawah merupakan aset terbesar yang dapat dilihat dengan nyata bahwa hasil dari bercocok tanam di Sawah jika telah dilakukan panen maka harta yang dihasilkannya pun tidak sedikit. Karena padi yang dapat menumbuhkan butir-butirnya sangat dibutuhkan betul untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Maka memang Allah menciptakan sesuatu tidak ada yang sia-sia.

Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu ‘Anhu dia bercerita bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً

“Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah baginya dan tidaklah kepunyaan seorang itu dikurangi melainkan menjadi sedekah baginya.”(HR. Imam Muslim Hadits no.1552)

Dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian hasil tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan (tanaman tersebut) menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits no.2321)

Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu ‘Anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:

فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَ لاَ دَابَّةٌ وَ لاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam Muslim hadits no.1552)

Kita ketahui bahwa Allah telah menciptakan bentuk dari bahan mentah makanan pokok masyarakat Indonesia yaitu padi dengan bentuk butir (padi-padian) yang buahnya tumbuh dibagian batang dan keluar dari ruas-ruas batang dengan buah bentuk butir dan pada setiap tangkai dapat ditumbuhi beberapa buitr padi. Dengan banyaknya butir-butir buah padi yang tumbuh maka Allah memberi perumpamaan kepada orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti tumbuhnya butir-butir buah padi, Alloh Subhaanahu Wata'ala Berfirman

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 261).

Jelaslah bahwa, tumbuhan padi dengan menghasilkan butir-butir buahnya yang banyak disetiap tangkainya maka padi dijadikan sebagai perumpamaan pahala bagi orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah.

Tumbuhan padi yang banyak ditemukan di daerah Asia salah satunya adalah di Indonesia telah menjadikan negeri ini indah dipandang, sejuk, dan terasa damai karena dengan hijaunya daun-daun. Yang memencarkan kesan damai, tenang, dan memberi banyak manfaat untuk masyarakat.

Filsafat Padi

Merunduknya padi bisa kita analogikan sebagai sikap kepasrahan diri kepada Allah swt. Ketika dia mendapat kenikmatan maka dia akan bersyukur dan menyadari bahwa itu semua adalah keutamaan yang datang dari Allah swt. Sebaliknya, ketika dia ditimpa masalah dia akan pasrah dan tawakal. Bahwa semua kejadian berasal dari Allah dan akan kembali kepadanya. Semua itu disikapi dengan rendah hati tanpa ada sikap sombong dan merendahkan orang lain.

Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Rendah hati menunjukan sikap tawadhu, sementara rendah diri bersifat negatif yang menunjukan kelemahan diri seseorang.

Sosok rendah hati tidak akan mau diinjak-injak harga dirinya oleh orang lain, meski dia sendiri akan selalu menghormati siapa pun. Ia akan selalu bereaksi positif terhadap orang yang menginjak-injaknya tanpa sekalipun merendahkannya. Namun orang yang rendah diri ia tidak akan bisa bangkit dan terus terpuruk ketika diinjak-injak oleh orang lain

Allah berfirman di dalam Quran surat Al-furqon ayat yang ke-63:

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

“Dan hamba-hamba Rabb yang maha penyayang itu ialah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.”

Memberi manfaat kepada sesama

Padi adalah makanan bahan makanan pokok yang dikonsumsi orang setelah diolah menjadi beragam jenis makanan, seperti nasi, bubur, lontong, ketupat dan lain sebagainya. Padi merupakan tanaman yang mengenyangkan orang lapar dan memberi tenaga untuk bisa beraktifitas. Begitulah sifat padi yang semestinya ditiru oleh kita.

Seperti padi, hendaknya kita menjadi pribadi yang berguna bagi banyak orang. Ini pula yang diajarkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.

Pintar beradaptasi

Tanaman padi bisa hidup di mana saja. Padi bisa hidup di sawah, ladang, rawa atau bahkan perbukitan. Ketika padi tumbuh di sawah tentu saja padi tumbuh dengan baik karena pengairan relatif mudah didapat. Namun di daerah yang airnya sulit, seperti di ladang dan bebukitan, mau tidak mau padi harus beradaptasi dengan lingkungannya. Untuk daerah yang sulit ini, padi bisa ditanam saat pada musim hujan saja, itu pun tidak selalu mendapatkan air yang tergenang.

Ada juga jenis padi rawa atau padi pasang surut yang tumbuh liar atau dibudidayakan di rawa-rawa. Mampu membentuk batang yang panjang sehingga bisa mengikuti perubahan kedalaman air yang sangat ekstrim.
Intinya, tanaman padi mengajarkan kita untuk bisa beradaptasi dimana saja kita berada, terlebih kita adalah makhluk berakal yang tentunya bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi lingkungan di sekitar kita.

Padi mengajarkan kepada kita untuk mampu menahan gempuran cobaan. Tahan banting meski ditempatkan pada tempat yang tidak mengenakan sekalipun.

Belajarlah dari padi yang membuat damai hati orang lain, terutama para petani. Dirinya selalu ditunggu-tunggu kehadirannya karena memiliki ketawadhuan, rajin memberikan manfaat kepada orang lain dan mampu beradaptasi dalam kondisi apa pun.

Kebangkitan Islam Di Akhir Zaman


Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.

Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Muncul banyak penyelewengan-penyelewengan ajaran Islam, baik di kalangan masyarakat biasa, maupun dalam tingkatan politik dan pendidikan. Maka diperlukan adanya proses modernisasi maupun pembaharuan baik di bidang politik, pendidikan dan akidah.

Selain itu, salah satu sebab perlunya perkembangan modern dalam Islam adalah karena dalam agama terdapat ajaran-ajaran absolute mutlak benar, kekal tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran-ajaran itu diyakini sebagai dogma dan sebagai akibatnya timbulllah sikap dogmatis agama. Sikap dogmatis membuat orang tertutup dan tak bisa menerima pendapat yang bertentangan dengan dogma-dogma yang dianutnya. Dogmatisme membuat orang bersikap tradisional, emosional dan tidak rasional.

Berkaca dari kebangkitan kaum Muslim di masa lalu, saat itu kaum Muslimin dapat bangkit diawali dengan berubahnya pemikiran mereka tentang manusia, kehidupan dan alam semesta. Bahwa kehidupan mereka tidak lahir begitu saja, tetapi ada yang mengatur kehidupan mereka dan alam semesta, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala. Pemikiran inilah yang kemudian mengubah landasan dasar dari cara pandang kaum Muslimin saat itu tentang hidup mereka. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi manusia terhadap segala sesuatu. Setiap tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan persepsi /pemahaman yang dimilikinya. Kita dapat melihat bagaimana orang-orang Barat mengubah peradaban mereka yang semula diselimuti kegelapan menjadi abad pencerahan (rennessains).

Begitupula umat Islam dahulu di saat peradaban Islam menguasai hingga lebih 13 abad di dunia. Saat itu, kita sebagai umat Islam melepas diri dari pemahaman sistem hidup jahiliyah dan menggantinya dengan sistem hidup Islam. Semua aktivitas kaum Muslimin yang dilakukan saat itu semuanya dilandasi untuk ber-taqarrub kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Subhanahu Wata’ala

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS: Ar-Ra’d:11).

Sementara itu, saat manusia itu berhasil mengetahui bahwa segala perbuatan yang dilakukan semata-mata mencari ridha Allah dan demi ber-taqarrub kepada-Nya dengan menjalankan setiap perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Maka, dari sana lah akan terwujud akhlak sebagai manifestasi dari perwujudan menjalankan syariat Islam secara kaffah dalam berbagai aspek kehidupan tersebut.

Alloh Subhaanahu Wata'ala Berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya tiap jiwa harus memperhatikan apakah yang telah disiapkannya untuk hari esok (hari kemudian), dan hendaknya benar-benar bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui sedalam-dalamnya semua perbuatanmu.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Di ayat lainnya, Allah Subhanahu Wata’ala berjanji kepada manusia bahwa bila ia benar-benar menjalankan syariat Islam semata-mata mengharapkan ridha-Nya, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan menunjukinya jalan yang lurus,

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69).

Mengubah pemahaman manusia tentang kehidupan ke dalam pemahaman Islam adalah termasuk bagian dari jihad dalam bidang pemikiran. Jihad pemikiran adalah salah satu jihad yang utama, yang kedudukannya setara dengan jihad-jihad lainnya, termasuk jihad perang. Jihad pemikiran dikobarkan untuk memerangi kejumudan dan kebodohan. Sedangkan jihad peperangan  adalah jihad yang dikobarkan untuk melawan kezaliman, seperti yang saat ini dilakukan oleh umat Islam di Palestina.

Faktor Kebangkitan Islam

1. Pemahaman umat akan kehidupan pemerintahan yang beraneka ragam yang menerapkan kapitalisme, sosialisme, dan sekularisme yang tampak jelas kelemahannya dalam mewujudkan kebahagiaan bagi manusia atau mencapai kebangkitan dan memperbaiki kondisi mereka.

2. Pemahaman umat akan kepalsuan seruan patriotisme dan nasionalisme. Pemahaman ini gagal menyatukan kelompok-kelompok bangsa yang satu, apalagi untuk menyatukan umat.

3. Kemunculan sejumlah harakah, partai dan kelompok Islam yang menyerukan Islam secara umum atau menyerukan kebangkitan dengan asas Islam.

4. Pemahaman umat akan permusuhan nyata negara-negara kafir terhadap Islam dan kaum Muslim. Perhatian umat terhadap langkah-langkah negara kafir dalam menanamkan doktrin, nilai-nilai dan propaganda kepada kaum Muslim. Doktrin, tata-nilai dan propaganda kufur mereka itu di antaranya berupa seruan kebebasan, demokrasi, penjagaan Hak Asasi Manusia dan sebagainya. Jika perkaranya berkaitan dengan kaum Muslim maka lihat perkataan James Baker – Menhan AS terdahulu – bahwa demokrasi tidak layak bagi bangsa-bangsa Timur Tengah. Lihatlah Perancis, penyeru kebebasan, yang justru mengumumkan akan mengintervensi Aljazair secara militer jika FIS memegang pemerintahan. Lihatlah AS dan sikapnya terhadap pencaplokan tanah, yaitu Israel. Padahal AS mengetahui kebengisan dan dosa Israel karena hal itu tidak perlu penjelasan. Lihatlah Inggris yang bersegera menyematkan cap teroris dan fundamentalis kepada kaum Muslim yang berjuang untuk Islam. Inggrislah yang mereka-reka istilah fundamentalisme dengan sangat getol dikaitkan dengan setiap aktivitas fisik menentang pemerintahan yang menekan berbagai bangsa karena Islam mereka. Masih banyak lagi contoh yang tidak cukup tempat untuk memaparkannya.

5.  Kedudukan dan posisi tawar kaum Muslim terus menukik turun. Kemiskinan, kehinaan, penyakit dan sebagainya terus menyebar di tengah-tengah kaum Muslim di dunia. Hal itu menyebabkan kaum Muslim mulai berpikir mengenai metode menyelesaikannya dan mulai berjuang demi kebangkitan.

6. Munculnya sistem-sistem tiranik yang terus menimpakan tekanan, siksaan, paksaan dan kezaliman. Hal itu menyebabkan kaum Muslim mulai berpikir tentang perubahan, mencari metode paling efektif yang bisa mengantarkan pada kebangkitan yang benar serta membebaskan dari ketidakadilan dan kejahatan.

Menuju Kebangkitan Islam

Pengertian kebangkitan (ash-shahwah) yang langsung terlintas di dalam benak adalah kata shaha-yashhu, yakni bangun dari tidur. Akan tetapi, tatkala kita membicarakan kebangkitan Islam (ash-shahwah al-Islamiyyah) maka maknanya benar-benar berbeda meskipun bahwa umat ini sedang dalam kondisi terlena dari agamanya. Keadaan umat ini bagaikan orang yang sedang tidur, yang terlena dari kesadarannya. Realitanya, kedua pengertian tersebut memiliki banyak kedekatan makna. Karena itu, penjelasan makna ash-shahwah (kebangkitan) secara bahasa dan istilah sangat bermanfaat dan menghantarkan untuk menjelaskan maksud dari tulisan ini dalam mewujudkan kebangkitan.

Inilah pengertian etimologis dari kata bangkit dan kebangkitan. Adapun makna istilah kata kebangkitan (ash-shahwah) sebagaimana diketahui adalah kebangkitan dari keterpurukan dan keterlenaan serta dari ketiadaan pemahaman terhadap realita hakiki yang menjadi realita hidup umat. Hal itu akibat dari banyak faktor yang menutupi umat dari kebenaran; memalingkan umat dari memahami realita; dan kewaspadaan umat terhadap realita ini serta upaya umat untuk mengubah dan membebaskan diri darinya menuju realita yang lebih mulia.

Dari Tsauban radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ وَإِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي أَنْ لَا يُهْلِكَهَا بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ وَإِنَّ رَبِّي قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لَا يُرَدُّ وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لِأُمَّتِكَ أَنْ لَا أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ يَسْتَبِيحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوْ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا أَوْ قَالَ مَنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا

“Sesungguhnya Allah menggulung bumi untukku sehingga aku bisa melihat timur dan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan ummatku akan mencapai apa yang telah dinampakkan untukku. Aku diberi dua harta simpanan: Merah dan putih. Dan sesungguhnya aku meminta Rabbku untuk ummatku agar Dia tidak membinasakan mereka dengan kekeringan menyeluruh, agar Dia tidak memberi kuasa musuh untuk menguasai mereka selain diri mereka sendiri sehingga menyerang perkumpulan mereka. Dan sesungguhnya Rabbku berfirman, “Hai Muhammad, sesungguhnya Aku bila menentukan takdir tidak bisa dirubah, sesungguhnya Aku memberikan untuk umatmu agar mereka tidak dibinasakan oleh kekeringan menyeluruh dan Aku tidak akan memberi kuasa musuh untuk menyerang mereka selain diri mereka sendiri lalu mereka menyerang perkumpulan mereka, walaupun musuh mengeepung mereka dari segala penjurunya, hingga akhirnya sebagian dari mereka (umatmu) membinasakan sebagaian lainnya dan saling menawan satu sama lain.” (HR. Muslim no. 2889).

Sehingga menurut saya, bahwa apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW pada 14 abad yang lalu akan terwujud di zaman kita sekarang. Dan saat ini pun kita sedang menghitung hari, tentang kapan waktunya itu mulai terjadi. Karena tanda-tanda yang pernah beliau sampaikan dulu satu persatu telah terbukti. Atau mungkin saja tidak akan lama lagi akhir dari nubuwat tersebut (kejayaan Islam di seluruh dunia) akan segera terwujud, tetapi kita sekarang masih belum bisa mengetahuinya secara detil. Bahkan mungkin saja saat ini “sang pemuda” beserta semua pasukannya – secara rahasia di Nusantara – telah mempersiapkan diri dan segala sesuatunya untuk membangkitkan kejayaan Islam di seluruh dunia. Yang dampaknya tentu tidak hanya bagi umat Islam sendiri, melainkan bagi seluruh makhluk di muka bumi ini. Karena tidak ada yang tidak mungkin jika Allah SWT telah berkehendak melalui ucapan Rasulullah SAW. Dan semuanya itu bisa saja terjadi dengan tiba-tiba dan tanpa di sangka-sangka oleh banyak orang, terutama mereka yang kufur.

Untuk itulah wahai saudaraku. Mulailah mempersiapkan diri sebaik-baiknya dari sekarang, khususnya tentang pengetahuan ajaran Islam yang sebenarnya, lalu mengamalkannya dengan ikhlas. Tambahkan juga dengan pengetahuan ilmiah tentang kehidupan sehari-hari. Agar bila saatnya nanti, saat dimana datangnya proses kebangkitan Islam itu terjadi, maka kita bisa terlibat di dalamnya dengan kesenangan dan bukan kebingungan. Sehingga hasilnya pun akan sepadan, yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.

Semoga kita senantiasa mempersiapkan diri dalam kebenaran sikap dan hati kita. Karena hanya dengan begitulah, maka rahmat dan ridha Ilahi akan menyertai. Sementara Islam bisa berjaya dan menaungi kehidupan dunia ini dalam keadilan dan kemakmuran.

Janji Alloh Tentang Kemenangan Umat Islam


Sudah menjadi ketetapan ilahi bahwa ketika Allah memenangkan kaum muslimin, maka syariat-Nya akan tegak secara kaffah. Persatuan dan kekuatan umat Islam akan terbentuk dengan sempurna, lalu mereka bisa leluasa mengamalkan syariat Allah tanpa ada rasa takut terhadap siapapun. Orang-orang kafir tidak berani menghalangi umat Islam untuk mengamalkan syariatnya. Bahkan mereka menjadi putus asa ketika kekuatannya tidak mampu lagi meruntuhkan kejayaan Islam.

Beginilah kondisi ideal yang diinginkan Allah Ta’ala ketika Dia hendak mengutus Rasul-Nya Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu tegaknya syariat Allah secara kaffah di muka bumi ini. Gambaran kondisi ini diterangkan oleh Allah ta’ala secara jelas dalam ayat terakhir yang diturunkan kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. Firman-Nya:

الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“..Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”(QS. Al-Maidah: 3)

Kemenangan itu merupakan janji Allah yang pasti dicapai oleh orang mukmin. Banyak sekali dalil yang menjelaskan tentang itu. Dari sekian banyak ayat alquran, kemenangan dan umat Islam selalu disebutkan secara beriringan. Seolah-olah keduanya memang memiliki ikatan yang kuat. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ * إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنصُورُونَ * وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ

“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul,(yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan.Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” (QS. Ash-Shaffat: 171-173)

Para tantara Allah pasti akan memenangkan pertempuran. Mereka adalah hamba yang selalu istiqamah dalam perjuangan. Seluruh aktivitasnya diperuntukkan hanya untuk membela agama Allah. Sebab itu, Allah pun menurunkan pertolongan kepada mereka.

Syarat untuk Menjemput Kemenangan

Perlu disadari bahwa kemenangan dan kekuasaan yang dijanjikan Allah, tidak hadir begitu saja. Tapi kemenangan tersebut diliputi oleh beragam syarat, yaitu sebuah syarat yang mampu menghilangkan ketakutan dan mewujudkan kedamaian, syarat yang bisa melenyapkan kemiskinan dan menghadirkan kemakmuran serta syarat yang sanggup menghadirkan kekuatan di tangan umat Islam. Allah ta’ala berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 55)

Ini merupakan janji dari Allah Swt. kepada Rasul-Nya Saw., bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai orang-orang yang berkuasa di bumi, yakni menjadi para pemimpin manusia dan penguasa mereka. Dengan mereka negeri akan menjadi baik dan semua hamba Allah akan tunduk kepada mereka. Dan Allah akan menukar keadaan mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa dan menjadi penguasa atas manusia. Janji itu telah diberikan oleh Allah Swt. kepada mereka; segala puji bagi Allah, begitu juga karunianya. Kerena sesungguhnya sebelum Nabi Saw. wafat, Allah telah menaklukkan baginya Mekah, Khaibar, Bahrain, dan semua kawasan Jazirah Arabia serta negeri Yaman seluruhnya. Beliau Saw. sempat memungut jizyah dari orang-orang Majusi Hajar dan juga dari para penduduk yang ada di pinggiran negeri Syam (yang berada di dekat negeri Arab).

Berbagai macam hadiah berdatangan kepada beliau Saw. dari Heraklius (Kaisar Romawi), penguasa negeri Mesir dan Iskandariah (yaitu raja Muqauqis), raja-raja negeri Amman (oman), dan Raja Negus (raja negeri Abesinia yang bertahta sesudah As-hamah rahimahullah).

Kemudian setelah Rasulullah Saw. wafat dan Allah telah memilihnya untuk menempati kemuliaan yang ada di sisi-Nya, maka urusannya dipegang oleh khalifah yang sesudahnya, yaitu Abu Bakar As-Siddiq. Maka dirapikannya kembali semua kesemrawutan sepeninggal Rasulullah Saw., dan seluruh Jazirah Arabia berhasil disatukan kembali. Lalu ia mengirimkan sejumlah pasukan kaum muslim ke negeri Persia di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid r.a. Akhirnya mereka berhasil menaklukkan sebagian dari negeri Persia, dan banyak korban yang berjatuhkan dari kalangan penduduknya.

Ia mengirimkan pasukan lainnya di bawah pimpinan Abu Ubaidah r.a. dan para amir yang mengikutinya menuju ke negeri Syam. Pasukan yang ketiga dikirimkannyalah menuju ke negeri Mesir di bawah pimpinan Amr ibnul 'As.

Di masa pemerintahannya, pasukan yang dikirim ke negeri Syam berhasil menaklukkan Kota Busra, Dimasyq, dan daerah lainnya yang ada di belakangnya dari kawasan negeri Hauran dan negeri lainnya yang berdekatan. Kemudian Allah mewafatkan Khalifah Abu Bakar dan memilihnya untuk menduduki kehormatan di sisi-Nya.

Allah memberikan karunia-Nya kepada kaum muslim dengan memberikan ilham kepada Abu Bakar sebelum wafatnya untuk memilih Umar Al-Faruq sebagai khalifah penggantinya.

Umar Al-Faruq memegang tampuk kekhalifahan sesudah Abu Bakar, lalu ia menjalankannya dengan sempurna sehingga belum pernah tercatat oleh sejarah tentang kecemerlangan yang semisal dengannya sesudah para nabi dalam hal kekuatan sirah dan kesempurnaan keadilannya. Dalam masa pemerintahannya telah berhasil ditaklukkan seluruh negeri Syam dan negeri Mesir serta sebagian besar dari kawasan Persia. Dia telah mematahkan Kisra (Raja Persi) dan mengalahkannya dengan kekalahan yang fatal yang memaksa Raja Persi mundur sampai ke bagian pedalaman negerinya. Kaisar romawi terpukul mundur dan merebut negeri Syam dari tangan kekuasaannya, lalu terus maju sampai Konstantinopel, dan menginfakkan harta benda keduanya di jalan Allah, seperti yang telah diberitakan sebelumnya oleh Rasulullah Saw. yang telah mendapat janji dari Allah Swt. akan hal tersebut.

Kemudian di masa kekuasaan dinasti Usmanyiah, kerajaan Islam makin meluas sampai kebelahan timur dan barat yang paling dalam. Di taklukkanlah negeri-negeri Magrib sampai ke bagian yang paling dalam yang ada di baliknya, seperti Andalusia dan Cyprus, juga kota Qairuwan dan Sabtah yang ada di tepi Laut Tengah, sedangkan di belahan timur penaklukkannya sampai ke bagian pedalaman negeri Cina.

Kisra terbunuh dan semua kerajaannya hancur sama sekali. Kota-kota negeri Irak, Khurrasan, dan Al-Ahwaz dapat ditaklukkan dan terjadilah pertempuran besar-besaran antara pasukan kaum muslim dengan bangsa Turki, dan Allah menaklukkan raja mereka yang besar (yaitu Khaqan).

Kharraj dipungut dari belahan timur dan barat, lalu didatangkan ke hadapan Amirul Mu’minin Usman ibnu Affan r.a. Yang demikian itu dapat tercapai berkat kerajinannya dalam membaca Al-Qur'an, mempelajarinya, dan menghimpunkan umat serta menggerakkan mereka untuk menghafal Al-Qur'an. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَسَيَبْلُغُ مُلْكُ أُمَّتِي مَا زُوي لِيَ مِنْهَا"

Sesungguhnya Allah melipat bumi untukku sehingga aku dapat melihat belahan timur dan baratnya, dan kelak kerajaan umatku akan mencapai batas apa yang dilipatkan untukku itu.

Sekarang kita hidup mondar-mandir di dalam kawasan yang telah dijanji­kan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya. Mahabenar Allah dan Rasul-Nya. Kami memohon kepada Allah agar dikaruniai iman kepada-Nya, kepada Rasul-Nya, dan berbuat untuk mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita sesuai dengan apa yang diridai oleh-Nya.

قَالَ الْإِمَامُ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَة قَالَ: سمعتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَزَالُ أَمْرُ النَّاسِ مَاضِيًا مَا وَلِيَهُمُ اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا". ثُمَّ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَلِمَةٍ خَفِيَتْ عَنِّي فَسَأَلْتُ أَبِي: مَاذَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: "كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ".

Imam Muslim ibnul Hajjaj telah mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Jubir ibnu Samurah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:Urusan manusia masih tetap berjalan lancar selagi mereka diperintah oleh dua belas orang laki-laki(pemimpin). Kemudian Nabi Saw. mengucapkan kata-kata yang tidak dapat kudengar dengan jelas, lalu aku bertanya kepada ayahku tentang apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. itu. Ayahku menjawab: Semuanya dari kalangan Quraisy.

Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Umair dengan sanad yang sama. Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw. mengucapkan sabdanya itu di petang hari sesudah menghukum rajam Ma'iz ibnu Malik. Selain dari itu Nabi Saw. mengemukakan hadis-hadis lainnya. Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa sudah dipastikan keberadaan dua belas orang Khalifah yang adil-adil. Tetapi mereka bukanlah para imam golongan Syi'ah yang dua belas orang itu, karena sesungguhnya kebanyakan dari mereka tidak mempunyai suatu peran penting pun.

Adapun mereka yang dua belas orang yang disebutkan dalam hadis ini seluruhnya berasal dari keturunan Quraisy. Mereka berkuasa dan berlaku adil. Berita gembira tentang kedatangan mereka itu telah disebutkan pula di dalam kitab-kitab terdahulu.

Kemudian tidak disyaratkan keberadaan mereka berturut-turut di kalangan umat, bahkan keberadaan mereka ada yang berturut-turut dan ada yang terpisah-pisah. Di antara mereka yang keberadaannya berturut-turut yaitu sebanyak empat orang; mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman, kemudian Ali. Selanjutnya sesudah mereka selang beberapa masa muncul pula sebagian dari mereka menurut apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Kemudian masih ada sebagian orang dari mereka yang masih menunggu waktu pemunculannya yang hanya diketahui oleh Allah Swt. Di antara mereka adalah Al-Mahdi, yang namanya sesuai dengan nama Rasulullah Saw. dan kunyah-nya sama dengan kunyah beliau Saw. Dia akan memenuhi dunia ini dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kelaliman.

Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkan melalui hadis Sa'id ibnu Jamhan, dari Safinah maula Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

الْخِلَافَةُ بَعْدِي ثَلَاثُونَ سنة، ثم يَكُونُ مُلْكًا عَضُوضا"

Kekhalifahan sesudahku berlangsung sampai tiga puluh tahun, kemudian muncullah raja yang diktator.

Ar-Rabi' ibnu Anas telah meriwayatkan dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya;Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.(An-Nur: 55), hingga akhir ayat.

Dahulu Nabi Saw. dan para sahabatnya di Mekah tinggal selama dua puluh tahun, menyeru manusia kepada Allah semata dan menyembah­Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya, yang hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Mereka dicekam oleh rasa takut dan tidak diperintah untuk berperang, hingga mereka diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah sebagai pendahuluannya.

Kemudian Allah memerintahkan kepada mereka untuk berperang, dahulu mereka tinggal di Mekah dalam keadaan takut memegang senjata, tetapi setelah di Madinah mereka baru dapat memegang senjata. Mereka dengan penuh kesabaran tinggal dalam keadaan seperti itu (berperang) selama masa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita akan selalu dalam keadaan ketakutan selamanya seperti ini? Tidakkah akan datang suatu masa bagi kita yang di masa itu kita hidup dalam keadaan aman dan meletakkan senjata kita?" Maka Rasulullah Saw. menjawab:

" لَنْ تَغْبروا إِلَّا يَسِيرًا حَتَّى يَجْلِسَ الرَّجُلُ مِنْكُمْ فِي الْمَلَأِ الْعَظِيمِ مُحْتَبِيًا لَيْسَتْ فِيهِمْ حَدِيدَةٌ".

Kalian hanya memerlukan kesabaran sebentar lagi, karena akan datang masanya seseorang di antara kalian duduk bersila di antara sekumpulan orang yang banyak, tanpa ada senjata tajam pun(padanya).

Allah menurunkan ayat ini dan menjadikan Nabi-Nya berkuasa atas seluruh Jazirah Arabia, para penduduknya beriman dan meletakkan senjata (menyerah kepadanya).

Kemudian Allah mewafatkan Nabi-Nya dan kaum muslim masih dalam keadaan aman seperti sebelumnya di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman. Lalu terjadilah peristiwa yang menyebab­kan mereka bercerai-berai, sehingga ketakutan kembali menimpa mereka dan mulailah mereka mengambil (mengangkat) para pengawal pribadi dan para penjaga. Mereka mengubah tatanan kebijakan dan akhirnya mereka berada dalam keadaan yang berbeda dengan masa sebelumnya.

Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar merupakan perkara yang hak yang termaktub di dalam Kitabullah, lalu ia membaca ayat ini.

Al-Barra ibnu Azib mengatakan bahwa ayat ini diturunkan ketika kami (para sahabat) berada dalam ketakutan yang sangat. Ayat ini semakna dengan firman-Nya yang mengatakan:

{وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الأرْضِ}

Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Al-Anfal: 26)

sampai dengan firman-Nya:

لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

agar kalian bersyukur. (Al-Anfal: 26)

Adapun firman Allah Swt.:

{كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ}

sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. (An-Nur: 55), hingga akhir ayat.

Sama seperti apa yang difirmankan oleh Allah Swt. mengenai perkataan Musa kepada kaumnya:

{عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأرْضِ}

Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kalian dan menjadikan kalian khalifah di bumi-(Nya). (Al-A'raf: 129), hingga akhir Ayat.

Dan firman-Nya:

{وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الأرْضِ}

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir). (Al-Qashash: 5), hingga akhir ayat berikutnya.

Firman Allah Swt.:

{وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ}

dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. (An-Nur: 55), hingga akhir ayat.

Sama pula dengan sabda Rasulullah Saw. kepada Addi ibnu Hatim ketika menjadi utusan kaumnya menghadap kepada beliau,

"أَتَعْرِفُ الْحِيرَةَ؟ " قَالَ : لَمْ أَعْرِفْهَا، وَلَكِنْ قَدْ سَمِعْتُ بِهَا. قَالَ: "فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، ليُتمنّ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الحِيرَة حتىتَطُوفَ بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ، وَلَتَفْتَحُنَّ كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ". قُلْتُ: كِسْرَى بْنُ هُرْمُزَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، كِسْرَى بْنُ هُرْمُزَ، وليُبذَلَنّ المالُ حَتَّى لَا يَقْبَلَهُ أَحَدٌ". قَالَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: فَهَذِهِ الظَّعِينَةُ تَخْرُجُ مِنْ الْحِيرَةِ فَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ، وَلَقَدْ كُنْتُ فِيمَنِ افْتَتَحَ كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَكُونَنَّ الثَّالِثَةَ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَهَا

"Tahukah kamu Hirah?" Addi ibnu Hatim menjawab, "Belum, tetapi saya pernah mendengarnya." Rasulullah Saw. bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh Allah benar-benar akan menyempurnakan urusan (Islam) ini hingga wanita pengendara unta berangkat dari Hirah, lalu melakukan tawaf di Baitullah tanpa ada seorang lelaki pun yang menemaninya (keadaannya aman sekali). Dan sungguh Allah akan membuka perbendaharaan Kisra ibnu Hurmuz. Aku bertanya, "Benarkah dia adalah Kisra ibnu Hurmuz?" Nabi Saw. bersabda: Ya, Kisra ibnu Hurmuz. Dan sungguh harta benda akan di­belanjakan tanpa ada seorang pun yang mau menerimanya (karena semuanya sudah berkecukupan).

Addi ibnu Hatim mengatakan, "Wanita pengendara unta ini berangkat dari Hirah, lalu melakukan tawaf di Baitullah tanpa ada seorang laki-lakipun yang mengawalnya, dan sesungguhnya aku termasuk orang yang menaklukkan perbendaharaan Kisra ibnu Hurmuz. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh akan ada peristiwa yang ketiga, karena Rasulullah Saw. telah mengatakannya."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بالسَّناء وَالرِّفْعَةِ، وَالدِّينِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ، فَمِنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Salamah, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Umat ini akan mendapat berita gembira memperoleh ketenaran, kedudukan yang tinggi, agama, kemenangan, dan kekuasaan yang mapan di muka bumi. Maka barang siapa di antara mereka yang mengerjakan amal akhirat untuk dunia(nya), maka tiada bagian baginya kelak di akhirat.

Firman Allah Swt.:

{يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا}

Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.(An-Nur: 55 )

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا هُمَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ حَدَّثَهُ قَالَ: بَيْنَا أَنَا رَدِيفُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا آخِرَةَ الرَّحْل، قَالَ: "يَا مُعَاذُ"، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وسَعْديك. قَالَ: ثُمَّ سَارَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: "يَا مُعَاذُ بْنَ جَبَلٍ "، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ. [ثُمَّ سَارَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: "يَا مُعَاذُ بْنَ جَبَلٍ"، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ"]. قَالَ: "هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ"؟ قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: " [فَإِنَّ] حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا". قَالَ: ثُمَّ سَارَ سَاعَةً. ثُمَّ قَالَ: "يَا مُعَاذُ بْنَ جَبَلٍ"، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ. قَالَ: "فَهَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ"؟، قَالَ: قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّ حَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas,  bahwa Mu'az ibnu Jabal pernah menceritakan kepadanya, "Ketika kami sedang membonceng Nabi Saw. di atas keledainya, tanpa ada jarak antara aku dan dia selain bagian belakang pelananya. Nabi Saw. bersabda, 'Hai Mu'az!' Aku menjawab, 'Labbaika ya Rasulullah, kupenuhi seruanmu dengan penuh kebahagian.'Kemudian Rasulullah Saw. melanjutkan perjalanannya sesaat, lalu bersabda, 'Hai Mu'az!' Aku menjawab,? 'Labbaika, ya Rasulullah, kupenuhi semanmu dengan penuh kebahagian.' Beliau Saw. melanjutkan perjalanannya sesaat, lalu bersabda lagi, 'Hai Mu'az!' Aku menjawab, 'Labbaika, ya Rasulullah, kupenuhi seruanmu dengan penuh kebahagian.' Rasulullah Saw. bersabda: 'Tahukah kamu, apakah hak Allah atas hamba-hamba-(Nya.)? ' Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.? Rasulullah Saw. bersabda; 'Hak Allah atas hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya.'Kemudian Rasulullah Saw. berjalan sesaat dan bersabda, 'Hai Mu'az!' Aku menjawab, Labbaika,ya Rasulullah, kupenuhi panggilanmu dengan penuh kebahagiaan.' Rasulullah Saw. bersabda:'Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah atas Allah bila mereka mengerjakan hal tersebut?'Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. ' Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya hak hamba-hamba atas Allah Swt. ialah Dia tidak mengazab mereka'.”

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Qatadah.

Firman Allah Swt.:

{وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}

Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.(An-Nur: 55)

Yakni barang siapa yang keluar dari ketaatan terhadap-Ku sesudah itu, maka sesungguhnya dia telah keluar dari perintah Tuhannya, dan itu sudah cukup merupakan dosa yang besar baginya.

Para sahabat radiyallahu anhum adalah orang yang paling menegakkan perintah-perintah Allah dan paling taat kepada-Nya sesudah Nabi Saw. Maka pertolongan Allah kepada mereka sesuai dengan keikhlasan mereka. Mereka berhasil memenangkan kalimah Allah di belahan timur dan barat, dan Allah mendukung mereka dengan dukungan yang besar serta menjadikan mereka berkuasa atas semua hamba Allah dan semua negeri. Akan tetapi, setelah kaum muslim sesudah generasi  mereka melalaikan sebagian dari perintah-perintah Allah, maka kemenangan mereka berkurang sesuai dengan keikhlasan mereka.

Akan tetapi, telah ditetapkan di dalam kitabSahihain melalui berbagai jalur dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:

"لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خالفهم إلى اليوم الْقِيَامَةِ"

Masih tetap akan ada segolongan umatku yang memperjuang­kan perkara hak, tiada membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka dan tiada pula orang-orang yang menentang mereka sampai hari kiamat.

Menurut riwayat yang lain disebutkan:

"حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ، وَهُمْ كَذَلِكَ"

sampai datang perintah Allah (hari kiamat),sedangkan mereka tetap dalam keadaan seperti itu (memperjuangkan perkara hak).

Di dalam riwayat lainnya disebutkan:

"حَتَّى يُقَاتِلُوا الدَّجَّالَ"

sampai mereka memerangi Dajjal.

Di dalam riwayat lainnya lagi disebutkan:

"حَتَّى يَنْزِلَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وهم ظاهرون"

sampai Isa putra Maryam turun, sedangkan mereka masih tetap berjuang.
Semua riwayat ini berpredikat sahih, tiada pertentangan di antaranya.

al-Qurthubi rahimahullâh (wafat: 671-H) berpendapat bahwa janji Allâh dalam ayat tersebut berlaku umum untuk seluruh umat Muhammad  Dalam tafsirnya berliau mengatakan:

هَذِهِ الْحَالُ لَمْ تَخْتَصَّ بِالْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُخَصُّوا بِهَا مِنْ عُمُومِ الْآيَةِ، بَلْ شَارَكَهُمْ فِي ذَلِكَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ بَلْ وَغَيْرُهُم… فَصَحَّ أَنَّ الْآيَةَ عَامَّةٌ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مَخْصُوصَةٍ.

“Janji Allâh ini tidak terbatas hanya untuk Khulafâ-ur Râsyidîn radhiallâhu’anhum saja, sampai harus dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan segenap Muhâjirîn dan kaum muslimin yang lain juga masuk dalam janji-janji ayat ini(tentu saja jika syarat-syaratnya terpenuhi-pen)… sampai pada ucapan beliau… Maka pendapat yang shahih adalah bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad r , tidak bersifat khusus (untuk generasi tertentu dari umat ini-pen).” [Tafsîr al-Qurthubi: 12/299]

Al-Imâm as-Sa’di rahimahullâh (wafat: 1376-H) mengatakan:

لا يزال الأمر إلى قيام الساعة، مهما قاموا بالإيمان والعمل الصالح، فلا بد أن يوجد ما وعدهم الله، وإنما يسلط عليهم الكفار والمنافقين، ويُديلهم في بعض الأحيان، بسبب إخلال المسلمين بالإيمان والعمل الصالح.

“(Janji Allâh dalam ayat ini) akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama mereka (kaum muslimin) menegakkan iman dan amal shalih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allâh, adalah sebuah kepastian. Kemenangan orang-orang kafir dan munafik pada sebagian masa, serta berkuasanya mereka di atas kaum muslimin, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran kaum muslimin dalam iman dan amal shalih.” [Tafsîr as-Sa’di hal. 573]

Makna “Wa’amilush shâlihât…”

Ibnu Jarîr ath-Thabari menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan“wa’amilush shâlihât” dalam ayat ini adalah; (وأطاعوا الله ورسوله فيما أمراه ونهياه);“mereka menaati Allah dan Rasul-Nya pada perkara yang diperintahkan dan perkara yang dilarang oleh keduanya.”[lih. Tafsîr ath-Thabari: 19/209]

Dalam konteks kekuasaan, ada 4 jenis amalan lahiriyah yang dijadikan indikasi oleh para ulama atas kekhalifahan Islam yang termasuk dalam janji ayat ini. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengatakan:

وَصَلَاحُ أَمْرِ السُّلْطَانِ بِتَجْرِيدِ الْمُتَابَعَةِ لِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَنَبِيِّهِ وَحَمْلِ النَّاسِ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ جَعَلَ صَلَاحَ أَهْلِ التَّمْكِينِ فِي أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: إقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَر

“Kebaikan seorang penguasa adalah dengan memurnikan ittibâ’ pada Kitabullâh dan Sunnah Rasul-Nya, serta menjadikan orang-orang untuk melakukan hal yang sama. Karena Allâh telah menjadikan kebaikan bagi Ahlut Tamkîn dengan adanya 4 perkara; penegakan shalat, penunaian zakat, amar ma’ruf dan nahi munkar.” [Majmû’ al-Fatâwa: 28/242]

Apa yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah tersebut, didasarkan pada firman Allah:

الَّذِينَ إنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar…” [QS. Al-Hajj: 41]

Dikatakan amal shaleh

Perlu digaris bawahi bahwa suatu amalan harus memenuhi dua syarat agar bisa dikategorikan sebagai “amal yang shâlih”; pertama, amal tersebut harus dilakukan ikhlas karena Allâh, dankedua, amal tersebut punya landasan syar’i dari sunnah Rasulullâh  yang shahîh. Dengan demikian, amalan-amalan bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullâh  dan Khulafâ-ur Râsyidîn, tidak termasuk dalam lingkup definisi “amal yang shâlih”.

Amalan bid’ah yang banyak merebak di tengah-tengah kaum muslimin sedikitpun tidak memberikan saham dalam membangun kekuatan umat Islam. Justru sebaliknya, amalan bid’ah adalah racun yang melemahkan persatuan kaum muslimin. Tidaklah umat Islam berpecah belah dari masa ke masa menjadi sekian banyak sekte dan aliran, melainkan bid’ah—khususnya dalam bentuk ideologi dan pemikiran—, pasti telah mengambil peran yang besar di dalamnya.

Amalan yang bisa mewujudkan janji-janji Allah dalam ayat di atas adalah amalan yang benar, amalan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullâh. Bukan amalan-amalan bid’ah, sekalipun mayoritas manusia menganggapnya sebagai amalan yang baik.

Makna “Ya’budûnanî…”

Dalam Tasîr ath-Thabari disebutkan bahwa makna (يَعْبُدُوْنَنِيْ) adalah

(يخضعون لي بالطاعة ويتذللون لأمري ونهيي)

“Mereka menundukkan diri pada-Ku dengan ketaatan, dan mereka menghinakan diri di bawah perintah-Ku dan larangan-Ku.”Mujahid rahimahullâh mengatakan: (يَعْبُدُوْنَنِيْ) yaitu (لا يخافون غيري); “Mereka tidak takut kepada selain-Ku.”

Sedangkan makna (لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا) adalah

(لا يشركون في عبادتهم إياي الأوثان والأصنام ولا شيئا غيرها، بل يخلصون لي العبادة فيفردونها إليَّ دون كل ما عبد من شيء غيري);

“Mereka tidak menyekutukan Aku dalam peribadatan mereka kepada-Ku dengan sesuatu apapun seperti berhala dan patung-patung, akan tetapi mereka memurnikan peribadatan hanya untuk-Ku. Mereka mengkhususkan ibadah tersebut hanya untuk-Ku, tidak untuk segala macam sesembahan selain-Ku.”

Di sisi yang lain, manusia-manusia moderen yang skeptis (tidak percaya) pada hal-hal yang berbau klenik dan mistik, malah jatuh pada bentuk kesyirikan yang lain, yaitu ketidakpercayaan terhadap perkara-perakara ghaib yang termaktub dalam al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih. Sehingga lahirlah keangkuhan atheisme yang mengingkari eksistensi Allâh (padahal fitrah mereka meyakini keberadaan-Nya)

Al-Qur’ân menegaskan bahwa penyebab utama rasa takut yang merasuki orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh adalah semata-mata karena kesyirikan mereka. Allâh berfirman:

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ

“Kami akan campakkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, disebabkan mereka telah berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan keterangan tentangnya. Tempat kembali mereka adalah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali ‘Imran: 151]

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ عَلَى الْعَدُوِّ

“Aku (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam) ditolong (oleh Allah dengan dicampakkannya rasa takut di hati) musuh-musuhku.” [Shahih Muslim no. 523]

Maka jangan sampai kondisi tersebut berbalik justru menimpa kita, gara-gara kesyirikan yang tumbuh marak di tengah-tengah kaum muslimin.

Renungkanlah sabda Rasulullâh  berikut ini:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ، فَقَالَ: «يَا عَدِيُّ، هَلْ رَأَيْتَ الحِيرَةَ؟» قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا، وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا، قَالَ «فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ، – قُلْتُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِي فَأَيْنَ دُعَّارُ طَيِّئٍ الَّذِينَ قَدْ سَعَّرُوا البِلاَدَ -، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتُفْتَحَنَّ كُنُوزُ كِسْرَى» ، قُلْتُ: كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ؟ قَالَ: ” كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ فَلاَ يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ … قَالَ عَدِيٌّ: فَرَأَيْتُ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ إِلَّا اللَّهَ [ص:198]، وَكُنْتُ فِيمَنِ افْتَتَحَ كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ وَلَئِنْ طَالَتْ بِكُمْ حَيَاةٌ، لَتَرَوُنَّ مَا قَالَ النَّبِيُّ أَبُو القَاسِمِ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّه

“Dari ‘Ady bin Hâtim dia menceritakan: ‘Suatu ketika aku berada di sisi Nabi tiba-tiba seorang pria menghampiri beliau seraya mengeluhkan kefakiran yang menimpanya. Kemudian datang pria lain mengeluhkan maraknya perampokan di jalan (tidak ada rasa aman)’. Lantas beliau berkata: ‘Wahai ‘Ady, pernahkah engkau melihat Hîrah (sebuah tempat di Iraq, dekat Kûfah)’. Aku katakan: ‘Aku belum pernah melihatnya, namun aku pernah dikabari tentangnya’. Beliau  berkata: ‘Jika umurmu panjang, sungguh engkau akan melihat seorang wanita akan melakukan perjalanan dari Hîrah untuk thawaf di Ka’bah, dia tidak merasa takut kepada siapapun kecuali hanya pada Allâh’. Aku berkata dalam hati: ‘Lantas kemana perginya, orang-orang bejat yang membuat fitnah dan huru-hara di negeri-negeri?’ Beliau r berkata: ‘Jika usiamu panjang, sungguh suatu saat akan dibuka perbendaharaan Raja Kisrâ’. Aku berkata: ‘Kisrâ bin Hurmuz’? Beliau r berkata: ‘Ya, Kisrâ bin Hurmuz. Andaikata umurmu masih panjang, engkau akan menyaksikan seorang mengeluarkan segenggam penuh emas atau perak di tangannya, dia mencari orang yang sudi menerimanya, namun ia tidak mendapatkan seorangpun yang mau menerimanya’… … ‘Ady berkata: ‘Aku telah menyaksikan ada seorang wanita yang bepergian dari Hîrah sampai ia thawaf di Ka’bah, tidak ada seorangpun yang ia takuti kecuali hanya Allah. Dan aku (kata ‘Ady) adalah termasuk orang yang menaklukkan Kerajaan Kisrâ dan membuka perbendaharaannya. Sungguh jika umur kalian panjang, kalian akan menyaksikan kebenaran sabda Rasulullâh tentang laki-laki yang mencari-cari orang yang sudi menerima pemberian emasnya (inilah gambaran betapa makmur, aman dan tentramnya kehidupan umat Islam saat itu, dan ini merupakan janji yang bersifat pasti -pen).” [Shahîh al-Bukhâri: 3595]

Abu Hurairah radhiallâhu’anhu meriwayatkan bahwasanya Rasulullâh  pernah bersabda:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ، فَيَقْتُلُهُمُ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ، فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوِ الشَّجَرُ: يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي، فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ، إِلَّا الْغَرْقَدَ، فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ

“Kiamat tidak akan terjadi sampai kaum muslimin memerangi Yahudi. Kaum muslimin membinasakan mereka sampai-sampai mereka bersembunyi di balik batu dan pepohonan, maka saat itulah batu dan pohon berkata: ‘Wahai muslim, wahai hamba Allâh, ini Si Yahudi bersembunyi di balikku, kemari! Bunuhlah dia! Kecuali pohon Gorqod, karena ia adalah pohon Yahudi.” [Shahîh Muslim: 2922]

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...