Rabu, 03 November 2021

Tekad Yang Kuat Akan Berpahala


Tekad adalah awal dari sebuah komitmen. Tekad adalah saudara kembar niat. Tekad adalah niat yang bulat untuk melakukan atau meraih sesuatu. Tekad adalah sesuatu yang timbul dari dalam diri, dari hati yang terdalam, yang mana dengan itu seluruh sumber daya yang ada pada diri kita akan bergerak mengikuti dan mendapatkan atau mewujudkan apa yang kita tekadkan. Tekad adalah tonggak sebelum kita melangkah. Dengan tekad yang bulat, kita sadar akan apa yang menjadi tujuan kita.

Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, diriwayatkan dari Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ

“Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.” (HR. Bukhari no. 6491 dan Muslim no. 130)

Ibnu Rajab Al Hambali berkata, “Yang dimaksud ‘hamm’ (bertekad) dalam hadits di atas adalah bertekad kuat yaitu bersemangat ingin melakukan amalan tersebut. Jadi niatan tersebut bukan hanya angan-angan yang jadi pudar tanpa ada tekad dan semangat.”(Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 319)

Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas banyak sekali. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat :

إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَلَا تَكْتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَـا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِـيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ؛ فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ

Jika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus (kebaikan).’”

Dalam riwayat Muslim, disebutkan:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا ، وَإِذَا تَـحَدَّثَ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّـئَةً ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْهَا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ بِمِثْلِهَا. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَتِ الْـمَلَائِكَةُ : رَبِّ ، ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيْدُ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً (وَهُوَ أَبْصَرُ بِهِ) فقَالَ : اُرْقُبُوْهُ ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، إِنَّمَـا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّايَ. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَكُلُّ سَيِّـئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِمِثْلِهَا حَتَّى يَلْقَى اللهَ.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ’Jika hamba-Ku berniat mengerjakan kebaikan, maka Aku menuliskan baginya satu kebaikan selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, Aku menuliskan baginya sepuluh kali kebaikannya itu. Jika ia berniat mengerjakan kesalahan, maka Aku mengampuninya selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakan kesalahan tersebut, maka Aku menulisnya sebagai satu kesalahan yang sama.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Para malaikat berkata, ’Wahai Rabb-ku, itu hamba-Mu ingin mengerjakan kesalahan –Dia lebih tahu tentang hamba-Nya-.’ Allâh berfirman, ’Pantaulah dia. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, tulislah sebagai satu kesalahan yang sama untuknya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut, tulislah sebagai kebaikan untuknya, karena ia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.’” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang dikerjakannya ditulis dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat dan setiap kesalahan yang dikerjakannya ditulis dengan satu kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allâh.”

Perihal bertekad dalam beramal di sini, kita dapat melihat pada hadits lainnya,

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

“Barangsiapa yang berdo’a pada Allah dengan jujur agar bisa mati syahid, maka Allah akan memberinya kedudukan syahid walau nanti matinya di atas ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1908).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلاَتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ

“Tidaklah seseorang bertekad untuk bangun melaksanakan shalat malam, namun ketiduran mengalahkannya, maka Allah tetap mencatat pahala shalat malam untuknya dan tidurnya tadi dianggap sebagai sedekah untuknya.” (HR. An Nasai no. 1784, shahih menurut Syaikh Al Albani).

Abud Darda’ berkata, “Barangsiapa mendatangi ranjangnya, lantas ia berniat ingin shalat malam. Sayangnya, tidur telah mengalahkannya hingga ia bangun ketika shubuh, maka akan dicatat sebagai kebaikan apa yang ia niatkan.” (HR. Ibnu Majah secara marfu’. Ad Daruquthni berkata bahwa hadits ini mawquf. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 319). Perkataan Abud Darda’ ini semakna dengan hadits ‘Aisyah di atas.

Sa’id bin Al Musayyib berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan shalat, puasa, haji, umrah atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”

Abu ‘Imran Al Juwani berkata, “Malaikat pernah berseru: catatlah bagi si fulan amalan ini dan itu.” Lantas ia berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya si fulan tidak beramal apa-apa.” Lantas dijawab, “Ia mendapatkan yang ia niatkan (tekadkan).”

Ulama salaf berkata, “Bertekad untuk melakukan kebaikan sudah seperti orang yang melakukannya.”

Hadits berikut pun bisa jadi renungan bahwasanya setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan walau ia tidak sampai beramal asal sudah punya tekad yang kuat untuk beramal. Dari Abu Kabsyah Al Anmariy, ia berkata bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dunia telah diberikan pada empat orang:

Orang pertama, diberikan rizki dan ilmu oleh Allah. Ia kemudian bertakwa dengan harta tadi kepada-Nya, menjalin hubungan dengan kerabatnya, dan ia pun tahu kewajiban yang ia mesti tunaikan pada Allah. Inilah sebaik-baik kedudukan.

Orang kedua, diberikan ilmu oleh Allah namun tidak diberi rizki berupa harta oleh Allah. Akan tetapi ia punya niat yang kuat (tekad) sembari berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti  si fulan.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Pahalanya pun sama dengan orang yang pertama.

Orang ketiga, diberikan rizki oleh Allah berupa harta namun tidak diberikan ilmu. Ia akhirnya menyia-nyiakan hartanya tanpa dasar ilmu, ia pun tidak bertakwa dengan harta tadi pada Rabbnya dan ia juga tidak mengetahui kewajiban yang mesti ia lakukan pada Allah. Orang ini menempati sejelek-jelek kedudukan.

Orang keempat, tidak diberikan rizki oleh Allah berupa harta maupun ilmu. Dan ia pun berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan berfoya-foya dengannya.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Dosanya pun sama dengan orang ketiga.” (HR. Tirmidzi no. 2325, shahih kata Syaikh Al Albani).

Legenda Pulau Seprapat


Pulau ini di sebut Seprapat konon karena Dampo Awang meninggalkan hartanya sebanyak seperempat hartanya di pulau ini.

Pulau ini banyak di tumbuhi pohon-pohon tinggi nan rimbun sejenis pohon bakau sehingga kalau anda berkunjung ke pulau Seprapat akan merasakan kesejukan.

Dulu,konon pulau ini terletak di tengah alur sungai kali Juana atau sungai Silugonggo,tapi sekarang pulau tampak menyatu dengan daratan di sebelah barat bantaran sungai Juana.Mungkin karena terjadi erosi atau pengikisan tanah oleh arus sungai sehingga terjadi penyempitan sungai dan bersatulah pulau Seprapat dengan daratan.Pulau ini mempunyai luas sekira seperempat hektare.

Pulau ini terdapat di desa Bendar kecamatan Juana kabupaten Pati.Bagi anda yang ingin berkunjung ke pulau ini dari jalan besar atau pantura masuk ke arah utara,anda bisa menyusuri jalan di pinggir sungai Siluggongo ke arah utara sekira satu kilometer.

Di pulau ini terdapat makam tua yang merupakan penyebar agama islam di Juana dan sekitarnya yang bernama Lodang Datuk.Makam ini dulu di beri cungkup dan tak terawat,tapi sekarang makam ini di pugar bangunannya dan di bangun lagi seperti mushalla.

Lodang Datuk semasa hidupnya tidak pernah menikah,hanya menggembleng ilmu kanuragan oleh karena saja oleh karena itu murid-muridnya menyebutnya Syekh Lodang Datuk Wali Joko.

Sejarah

Pada zaman Majapahit ada seseorang yang tidak dikenal. Oleh karena penderitaan yang dialaminya, orang itu pergi merantau dan mengasingkan diri di pulau yang sekarang bernama Pulau Seprapat. Di pulau itu dia menjalankan pertapaan. Setelah beberapa lama menjalankan pertapaan itu, ia berhasil mendapat pusaka yang sangat berkasiat. Adapun khasiatnya adalah dapat menyembuhkan atau mengembalikan segala sesuatu yang telah terpisah. Untuk membuktikan kasiat benda tersebut, ular dipotong menjadi dua, kemudian meletakkan pusaka di atas badan ular yang terpotong. Seketika ular tersebut dapat tersambung dan hidup. Setelah kakak perempuannya mencari kian kemari, akhirnya menjumpainya di dalam Pulau Seprapat itu. Ia diajak pulang, tetapi tidak mau. Bahkan ia menceritakan kejadian-kejadian yang telah dialami selama di Pulau Seprapat. Untuk membuktikan hasil pertapaan adiknya benda yang tajam itu hujamkan pada badan adiknya. Pada percobaan pertama setelah dipotong lehernya dapat dipulihkan kembali dengan kesaktian benda tesebut. Karena belum percaya dengan kejadian itu maka dibuktikan sekali lagi pada sang adik. Tetapi pecobaan kedua mengalami kegagalan karena setelah dipenggal ternyata bagian kepala adiknya menghilang. Oleh karena itu, Sang kakak mencari kepala adiknya. Namun, tidak ketemu. Sang kakak menggunakan kepala kera sebagai ganti kepala adiknya. Dengan menggunakan kesaktian benda tersebut. Kepala kera dapat tersambung ke badannya. Dan adiknya dapat kembali hidup. Akan tetapi berkepala kera. Adiknya yang berkepala kera tadi tinggal di Pulau Seprapat.

Setelah kembali, kakaknya menceritakan kejadian-kejadian itu kepada tetangga. Ia mengatakan bahwa adiknya di sana tidak hanya berkepala kera saja, tetapi juga penjaga pulau tersebut. Di samping itu, adiknya juga menjaga harta benda Dampo Awang yang masih berada di sana yang banyaknya seperempat dari harta bendanya yang ada. Ketika dia kalah dalam pengadaan jago. Kakak perempuannya juga mengatakan kepada penduduk bahwa harta benda Dampo Awang itu boleh dimiliki siapa saja ia mau menjadi warga Pulau Seprapat itu. Dengan keterangan-keterangan itu, maka banyak warga datang ke Pulau Seprapat untuk menuruti cita-citanya. Bahkan, disinyalir sampai sekarang. Karena tebalnya kepercayaan, maka menurut berita-berita : “Apabila orang yang ingin kaya itu telah mencapai dan sampai ajalnya, maka orang-orang itu matinya menjadi keluarga di Pulau Seprapat”. Dan menurut kenyataannya apabila yang terlaksana kekayaannya ada yang tembong ada yang guwing (bahasa Jawa). Setelah orang-orang itu meninggal, kera yang di sana dalam keadaan tembong dan guwing.

Perlu diingat bahwa kera-kera yang ada di Pulau Seprapat keadaannya berlainan dengan kera-kera yang ada di lain daerah misalnya :

Kera-kera di Pulau Seprapat seakan-akan dapat mengetahui atau membedakan orang yang berderajat, daripada orang-orang yang tidak, apabila ada orang-orang yang datang ke sana, apabila orang tersebut adalah pimpinan, maka kera-kera di sana tidak mau mendekati terlebih dahulu kepada orang-orang tersebut. Sebelum kepala kera yang menemaninya, (yang dimaksud dalam hal kepala kera ialah kera yang berbadan manusia itu). Setelah kepala kera itu menemui, lalu berduyun-duyun menemui dengan pimpinan tersebut dan kejinakannya.
Bisa dapat mengetahui bila seorang yang mendatangi untuk minta maksud dan tujuannya. Caranya ialah dengan membawa telur.

Biasanya yang sangat disukai kera-kera itu adalah telur. Apabila datang membawa telur, setelah diketahui oleh kera (pimpinan) bahwa yang datang itu tidak dapat keturutan : maksudnya, maka seolah-olah kera itu makannya tidak enak dan dimuntahkan kembali. Ini berarti niatnya yang datang tak terkabul.

Bentuk/rupa dari kera-kera tersebut adalah halus dan jinak. Seakan-akan mengetahui sopan-santun.

Pulau Seprapat merupakan bersejarah bagi warga Juwana yang sudah lama dikenal oleh para pengalap berkah dengan sebutan Pulau Seprapat, dan menjadi bagian dari luas wilayah Desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Pulau dengan pohon tua cukup rindang itu, di tengah-tengahnya terdapat sebuah makam berbentuk mushala yang dibangun oleh warga setempat. Jauh sebelum itu, cungkup makam dari kayu tersebut cukup tua, dan tak terawat. Di balik cungkup itulah, menurut cerita tutur dimakamkan seorang tokoh yang disegani pada masa berkembangnya agama Islam di daerah pesisir Pantai Utara Jawa, yakni Mbah Datuk Lodang.

Oleh warga, sejak pulau tersebut tidak lagi digunakan untuk ngalap berkah, namanya diubah menjadi Syekh Datuk Lodang Wali Joko. Karena itu, tiap tahun sekali pada bulan Syawal, atau bersamaan dengan perayaan tradisional nelayan yang dikenal dengan Sedekah Laut, dilangsungkan pula peringatan atas tokoh tersebut. Di pulau itu diselenggarakan acara ziarah dan dilanjutkan dengan pengajian.

KYAI AGENG JEJER (PANEMBAHAN SUROPROBO)


Pesarean Mbah Kyai Ageng Jejer alias Panembahan Suroprobo dumunung wonten ing dusun jejer II kalurahan Wonokromo Kecamatan Pleret Kalebet wilayah Kabupaten Bantul

Wilayah punika dipun nameni jejeran jalaran Papan punika sumarenipun satunggaling Ulama Agung lan misuwur ingkang cikal bakal utawi ingkang babad kawitan papan wilayah punika.

Ingkang miturut dongèngipun masyarakat
Nalika seda Panjenenganipun Kyai Ageng Jejer tetep Jumeneng ngasta teken wonten ngandhap wit blimbing.

Gegandhengan Ulama punika mboten dipun mangertosi asmanipun lan sedanipun makatên lajêng papan punika dipun nameni Jejeran..

Perlu Kawuningan bilih Kyai Ageng Jejer punika estunipun tasih wayah buyutipun Simbah Kanjeng Sunan Ampel Surabaya utawi Sayyid Ahmad Rahmatillah lan dipun têrangakên bilih Kyai Ageng Jejer punika kalebet turunipun Kanjeng Sunan Ampel ingkang kaping Enem. Kyai Ageng Jejer punika wayah bibi saking Nyai Ageng Pemanahan ing kitha Ageng, jalaran Kyai Ageng Jejer punika putranipun Kyai Ageng Juru Mertani utawi Patih Mondoroko ( patih Mataram kapisan)
Kyai Ageng Juru Mertani Kagungan sederek putri Ingkang dados garwanipun Kyai Ageng Pemanahan.

Kacarita Kyai Ageng Jejer punika Satunggaling Ulama Ingkang Misuwur, inggih jalaran Panjenenganipun punika menawi Da'wah Nibaraken Agami kanthi thokleh, mucalan Agami dipun wedharaken kanthi gamblang punapa wontenipun ingkang dados remenipun ingkang mirengaken. Wucalan Agami ingkang dipun wedharaken ngimenaken babagan Tauhid lan lumaksanipun rukun Islam ingkang gangsal.

Menawi sedanipun Kyai Ageng Jejer tetep Jumeneng kanthi ngasta teken wonten ngandhap wit blimbing punika estunipun namung pralambang. Teken punika pralambang ke-Esaan Allah Ta'ala.

Uwoh blimbing ingkang gligiripun gangsal minangka pralambang rukun Islam ingkang gangsal , Kyai Ageng Jejer Seda kanthi tetep taqwa dumateng Gusti Allah Ta'ala sarta tetep ngugemi Agami Islam, kados ingkang dipun wucalaken dateng masyarakat, Kyai Ageng Jejer Mboten seda jumeneng wonten uwit blimbing, ananging seda kanthi nilaraken wasiyat supados tetep Taqwa dumateng Pengeran lan tetep ngugemi Agami Islam ngantos dumugining pejah.

Putra putrinipun Kyai Ageng Jejer utawi Panembahan Suroprobo ingkang bajeng dipun pundhut garwa Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma lan Kawisudha dados Kanjeng Ratu Kilen ,dados Kyai Ageng Jejer punika marasepuh dalem Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma /Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami

Mekaten sekedhik riwayat lan sujarah ipun Kyai Ageng Jejer kirang langkungipun​ nyuwun agunging pangapunten...

Makam KRT Sosro Digdoyo

 

Menurut catatan sejarah beliau adalah bupati pertama kadipaten karang kemuning yg kemudian di ganti menjadi kadipaten Adikarto
Lokasi makam beliau berada di dusun nosari desa Krembangan kec panjatan kab Kulonprogo Yogyakarta,
Tapi sayangnya makam beliau terkesan sangat tidak terawat ,..
Dari masyarakat maupun pemda setempat pun terkesan tidak ada kepedulian ataupun perhatian...
Sangat ironis sekali..

Semasa hidupnya beliau adalah​ seorang Muslim yang taat  ,Dari batu nisannya tertulis dgn menggunakan arab pégon berbunyi

Lailahailallah Muhamadurrosulullah,
Raden Tumenggung Sasradigdaya Bupati Wedana ing Adikarta wulida fiy yaumil jum'ah fi hilali itsna wa 'asyara fiy syahri rajab fi sanah jim awal wa fiy hijrin nabiy 1251 wafatahu fiy yaumi arba' fi hilali ahadi 'asyara fi syahri dzil qa'dah fi sanah dal wa fi hijrin nabi sanah 1310.

(Raden Tumenggung Sasradigdaya Bupati Wedana ing Adikarta dilahirkan di hari jumat tanggal dua belas  rajab tahun jim awal  1251 H wafatnya hari rabu tanggal sebelas dzulqa'dah tahun dal  1310 H)

Sedangkan papan kedua dengan arab pegon berbunyi :
Raden Tumenggung Sasradigdaya Bupati Wedana Distrik ing Adikarta wektu seda amarengi ing dinten rebo legi tanggal ping 11 wulan dzul qa'dah tahun dal hijri nabi 1310 wiyosanipun ing dinten jumat kliwon tanggal ping 6 wulan rejeb tahun jim awal tahun hijri nabi 1251 yuswa  59

(Raden Tumenggung Sasradigdaya Bupati Wedana Distrik ing Adikarta meninggal bertepatan hari rabu legi tanggal 11 bulan dzulqa'dah tahun dal 1310H lahirnya hari jumat kliwon tanggal 6 rajab tahun jim awal 1251H umur 59)

Dari kedua papan batu tersebut tercatat adalah tanggal lahir dan meninggal serta umurnya.

SEJARAH TENTANG KULON PROGO

Daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo hingga berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda merupakan wilayah dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarto yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman. Kedua kabupaten ini digabung administrasinya menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951. Nama Kulon Progo asal usulnya adalah sesuai namanya, karena letak lokasi daerah ini berada di barat Sungai Progo.

WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO)

Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang masuk wilayah Kasultanan terbentuk empat kabupaten yaitu:

Kabupaten Pengasih, tahun 1831
Kabupaten Sentolo, tahun 1831
Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
Kabupaten Kalibawang, tahun 1855

Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung. Menurut buku 'Prodjo Kejawen' pada tahun 1912 Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto.

Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan dengan delapan Kapanewon, sedangkan ibukotanya dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih yang meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh.
Yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:

RT. Poerbowinoto
KRT. Notoprajarto
KRT. Harjodiningrat
KRT. Djojodiningrat
KRT. Pringgodiningrat
KRT. Setjodiningrat
KRT. Poerwoningrat

WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN ( KABUPATEN ADIKARTA)

Kulon Progo saat ini memiliki daerah di Wilayah selatan yang awalnya bernama Karang Kemuning. Karang Kemuning termasuk keprajan Kejawen. Karang Kemuning sendiri lebih dikenal dengan nama Kabupaten Adikarto. Buku Vorsten landen menjelaskan bahwa pada tahun 1813, Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan memiliki palungguh (Daerah Kekuasaan) di sebelah Barat Kali Progo di sepanjang Pantai Selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Tanah Palungguh tersebut memiliki letak yang berpencar-pencar, menurut cerita Tanah Palungguh itu disatukan yang diprakarsai oleh Sentono Ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I. Kemudian Tanah Palungguh itu diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota di Brosot.

Bupati Pertama Kabupaten Karang Kemuning adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Kemudian disusul Bupati Kedua adalah Rio Wasadirdjo yang mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V untuk mengadakan pengeringan Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang kering tersebut dijadikan tanah persawahan yang Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau bisa diartikan sangat subur. Dan Nama Karang Kemuning diganti menjadi Adikarta pada tahun 1877 oleh Sri Paduka Paku Alam V. Kabupaten Adikarta beribukota di Bendungan, kemudian dipindah ke Wates pada tahun 1903.

Kabupaten Adikarta memiliki dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.

Berikut adalah Daftar Bupati Adikarto yang menjabat hingga tahun 1951 adalah :

Tumenggung Sosrodigdoyo
Tumenggung Rio Wasadirdjo
Tumenggung Surotani
M.T. Djayengirawan
M.T. Notosubroto
R.M.T. Suryaningrat
K.R.T. Brotodiningrat
R.T. Suryaningrat (Sungkono)

PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA

Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Secara yuridis formal Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober 1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai dilaksanakan dengan pusat pemerintahan di Wates.

Makam Putri Pinang Masak Yang Kurang Terawat Di Jambi


Bagi yang tinggal di wilayah Provinsi Jambi, khususnya yang tinggal di Kabupaten Muarojambi, mungkin pernah mendengar nama Putri Pinang Masak.

Konon, pada masa Jambi masih merupakan bagian dari kerajaan Pagaruyung yang berada dibawah naungan kerajaan Majapahit, ada seorang putri cantik bernama Putri Selaras Pinang Masak. Ia bertempat tinggal di hulu sungai Batanghari, yang membelah wilayah Jambi.

Karena tidak mau tunduk kepada kekuasaan Majapahit, yang saat itu akan berpisah dari kerajaan Pagaruyung, maka ia pun melarikan diri dan dikejar-kejar oleh tentara Majapahit. Di dalam perjalanannya itu ia mendapat petuah, untuk mencari lokasi baru untuk tempat tinggalnya kelak . Lalu sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya, ia melepaskan dua ekor angsa, jantan dan betina di sungai Batanghari. Dan melihat di mana kedua angsa itu berhenti berenang, sebagai titik lokasi untuk mendapatkan kepastian di mana ia harus membangun istana yang baru. Pengganti istana yang ditinggalkannya di Pagaruyung.

Akhirnya ia melihat kedua angsa berhenti, di sebuah daratan . Dan di sanalah ia membangun istananya kembali. Lalu sejak itu, legenda tentang Angsa Dua , atau Angso Duo dalam dialek Jambi, menjadi terkenal dan tercatat dalam sejarah berdirinya kerajaan Melayu Jambi . Benar tidaknya kisah ini, wallahu alam…karena ini adalah hikayat turun temurun yang tetap hidup dalam masyarakat Jambi.

Namun banyak warga tidak mengetahui siapa dan di mana letak makam Putri Pinang Masak itu.

Putri Selaras Pinang Masak adalah istri dari Datuk Paduko Berhalo (Beliau bernama lengkap Syeikh Ahmad Salim bin Syeikh Sultan Al-Ariffin Sayyid Ismail. Beliau masih keturunan dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani). dan Ibunda Rajo Jambi Datuk RangKayo Hitam, yang diketahui sebagai Rajo Jambi.

Meskipun tidak sebesar dan setenar Datuk RangKayo Hitam, makam ini mempunyai nilai historis sejarah yang penting untuk ditanamkan pada generasi muda di Jambi.

Pasangan Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak memiliki empat orang anak, yang pertama Rangkayo Pingai alias Sayyid Ibrahim, kedua Rangkayo Hitam Sayyid Ahmad Kamil, ketiga Rangkayo Kedataran Sayyid Abdul Rahman dan terakhir Rangkayo Gemuk Syarifah Siti Alawiyyah.

Makam Putri Pinang Masak ini baru saja dipugar dan diperbaiki kurang lebih sekitar 4 bulan  ini.

Dahulunya kondisi makam tidak seperti ini, hampir tiap hari makamnya dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah.

Makam Putri Pinang Masak sendiri berada di Desa Pemunduran, RT 04, KM 37 dipinggir jalan lintas Jambi-Suak Kandis.

Masih di Desa Pemunduran, kurang lebih 1 KM dari lokasi makam Putri Pinang Masak tepatnya di Dusun Bina Karya, RT 04 terdapat makam Rangkayo Gemuk (anak bungsu Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak). Berbeda dengan makam Putri Pinang Masak yang baru dipugar dan terawat. Kondisi makam Rangkayo Gemuk sangat tidak terawat dan memprihatinkan.

“Mengingat nilai historisnya, kami berharap kepada pemerintah daerah agar dapat memperhatikan makam-makam ini sehingga bisa menjadi destinasi wisata sejarah dan religi di wilayah Provinsi Jambi,”

JEJAK SEJARAH SULTAN HADLIRIN JEPARA


Masjid dan Makam Mantingan adalah bangunan peninggalan sejarah yang merupakan aset wisata sejarah di Jawa Tengah. Bangunan tua tersebut terletak 5 km arah selatan dari pusat kota Jepara, tepatnya di desa Mantingan kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara.

Masjid Mantingan termasuk bangunan megah sebuah masjid yang dibangun oleh seorang Islam terkenal masa itu, yaitu Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat. Masjid ini sejak awal berdirinya difungsikan sebagai pusat aktivitas penyebaran agama islam di pesisir utara pulau Jawa dan merupakan masjid kedua setelah masjid Agung Demak.

Masjid Mantingan merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak yang kesohor itu. Masjid ini dibangun pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi.

Pangeran Toyib memiliki beberapa nama dan gelar, yaitu

1- Sunan Hadiri, yang artinya Ulama Pendatang (Gelar Keagaman); Karena menjadi penyebar agama Islam di Jepara.
2- Sultan Hadlirin, yang artinya Raja Pendatang (Gelar Kesultanan); Karena menjadi sultan pertama di Jepara.
3- Pangeran Kalinyamat, (Gelar Tokoh Masyarakat); Karena sebagai pendiri Kota Kalinyamat.

Sebenarnya Sultan Hadlirin bukan asli orang Jepara melainkan orang aceh.semasa kecilnya sultan Hadlirin bernama Raden Toyib. Beliau merupakan putra dari raja yang berkuasa di wilayah aceh yang bernama Syech Mukhayyat Syah. Raden Toyib memilki kakak bernama Raden Takyim. Perbedaan yang mencolok dari Raden Takyim dan Toyib adalah Raden Takyim suka berfoya-foya, malas serta bermewah-mewahan sedangkan raden Toyib lebih memilih mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tata pemerintahan.

Setelah Syech Mukhayyat syah merasa dirinya telah uzur dan lanjut usia beliau bermaksud mengankat Raden Toyib sebagai seorang sultan, karena kecakapannya dan ketekunananya mempelajari ilmu-ilmu pemerintahan meskipun yang lebih berhakmenjadi sultan adalah kakaknya Raden Takyim.

Karena pengangkatan raden Toyib sebagai sultan menimbulkan konflik baru, maka ketika mengetahui masalah tersebut raden Toyib dengan suka rela menyerahkan tahtanya kepada raden Takyim, karena sebenarnya Raden Toyib tidak mementingkan jabatan seorang sultan hanya saja atas desakan ayahandanya beliau mau menerima jabatan itu.

Begitulah akhirnya raden Toyib pergi mengembara dengan bantuan kapal para pedagang ia berhasil keluar dan mengarungi lautan luas tanpa tujuan yang pasti, kecuali satu niat untuk mengembangkan agama islam.

Raden Toyib kemudian pergi memperdalam ilmu agama Islam dan menambah pengalamannya di negeri Campa. Di negeri Campa ia diambil anak angkat oleh patih kerajaan yang bernama Tji Wie Gwan. Sebagai seorang muslim yang shaleh Raden Toyib dalam waktu dekat mampu merebut hati kalangan raja dan bahkan segenap istana Kerajaan Campa. Bahkan sang patih yang menjadi bapak angkatnya dengan penuh kesadaran mengikutinya beralih agama memeluk Islam.

Pada suatu ketika Raja Campa marah-marah, karena mahkota yang sangat indah yang paling disenangi tampak retak dan sedikit rusak. Sudah banyak para ahli didatangkan untuk memperbaikinya, namun tidak seorangpun yang dapat memperbaiki seperti yang dimaksud oleh raja. Raja Campa gusar dan marah. Ia memutar otak dan mencari cara agar mahkota kesayangannya bisa kembali baik seperti semula.

Secara kebetulan dan tidak diduga sebelumnya, bahwa patih Tji Wie Gwan didakwa mempunyai suatu kesalahan. Dan soal mahkota dibebankan kepadanya untuk diperbaikinya. Patih Tji Wie Gwan harus mampu memperbaiki mahkota raja dan apabila tidak dapat dilakukan, maka ia akan dijatuhi hukuman penggal. Sang Patih terkejut mendengar putusan Sang Raja. Bagaimana mungkin ia mampu memperbaiki mahkota raja sedangkan sudah banyak ahli pembuat perhiasan telah gagal melaksanakannya.

Dalam suasana kegelapan jiwa karena ancaman jatuhnya hukuman penggal atas diri patih itu, maka Raden Toyib menyanggupkan diri untuk memperbaiki mahkota seperti sediakala sebagai balas budi baik kepada patih, bapak angkatnya itu. Raden Toyib tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan keadaan bapak angkatnya. Maka Raden Toyib segera memegang mahkota raja dan berdoa sejenak.

Raden Toyib kemudian meniupkan seruling ajaibnya yang berfungsi sebagai pemanggil jin. Maka beratus-ratus jin berdatangan menghadap Raden Toyib. Setelah diuraikan maksudnya, maka dalam sekejap mata mahkota yang rusak itu menjadi baru kembali, pulih bersih dan bercahaya-cahaya. Patih pun tidak jadi dipenggal, kesalahannya pun diampuni, bahkan tidak sedikit mendapat hadiah anugerah.

Demikian pula Raden Toyib tidak ketinggalan. Bahkan demi didengar kesaktian Raden Toyib, maka akan diperjodohkan dengan putrinya namun Raden Toyib menolak tawaran tersebut secara halus. “Hamba sangat berterima kasih atas pemberian hadiah itu, tetapi maafkan, tentang perkawinan hamba belum bisa melaksanakannya,” demikian jawabnya.

Karena loghatnya Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib.

Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat.

Syahdan, pertemuan Raden Toyib dengan Ratu Kalinyamat telah diatur oleh Tuhan dan keduanya berjodoh sebagai seorang suami-isteri. Maka dilaksanakanlah pesta adat keraton menyambut perkawinan Ratu Kalinyamat dengan Raden Toyib secara besar-besaran. Masyarakat setempat merasa bahagia karena memiliki raja dan ratu ideal sesuai yang mereka harapkan. Setelah resmi menjalani perkawinan, maka dengan resmi pula nama Raden Toyib diganti dengan nama Sultan Hadlirin.

Meskipun ia sudah menjadi sultan, namun ia tidak lupa dengan bapak angkatnya. Maka bapak ibu angkatnya segera dijemput ke Campa, dan diboyong ke Jepara. Kemudian kedua orang tua Sultan Hadlirin diangkat menjadi mahapatih. Kebahagiaan duniawi dirasa sangat berlimpah-limpah oleh masyarakat yang dipimpinnya. Demikian pula dengan Ratu Kalinyamat merasa bahagia karena berhasil memiliki seorang suami berupa lelaki pilihan yang tidak mudah tergoda keindahan duniawi.

Kehidupan pasangan raja dan ratu itu menjadi begitu melegenda di kalangan masyarakat Jawa, terutama sosok Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah simbol kecantikan wanita Jawa dan menjadi idola bagi banyak gadis desa. Sifat tegas Ratu Kalinyamat dalam menolak pria yang tidak berwatak ksatria menginspirasi banyak masyarakat Jawa untuk menirunya. Namun pada akhirnya, masyarakat juga sadar bahwa secantik apapun seorang ratu pada akhirnya ia akan kalah oleh pesona seorang pemuda berwatak ksatria seperti yang ditunjukkan oleh Sultan Hadlirin.

Sultan Hadlirin Menikah Lagi

Perkawinan Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat berlangsung bahagia. Selama bertahun-tahun mereka berdua memimpin kerajaan dengan adil dan sentosa. Namun ada satu hal yang mengkhawatirkan Ratu Kalinyamat mengenai siapa kelak yang akan melanjutkan riwayat Kerajaan Jepara, karena perkawinannya tidak mempunyai keturunan. Maka dengan rendah hati disarankan agar suaminya memperistri putri lagi agar menghasilkan keturunan.

Pada awalnya Sultan Hadlirin menolak saran istrinya agar ia menikah lagi. Ia begitu menyayangi Ratu Kalinyamat sehingga tidak terlintas pikiran untuk mencari wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Namun Ratu Kalinyamat sekali lagi mengutarakan maksudnya agar Sultan Hadlirin menikahi seorang gadis yang mampu memberinya keturunan. Ratu Kalinyamat menyadari bahwa ia memiliki kekurangan tidak bisa hamil. Sultan Hadlirin memikirkan saran tersebut selama berhari-hari.

Demi kelangsungan sejarah Kerajaan Jepara, maka kawinlah Sultan Hadlirin dengan Raden Ayu Prodo Binabar, putri Sunan Kudus. Pernikahan Sultan Hadlirin dengan putri Sunan Kudus juga berlangsung bahagia. Kedua isteri Sultan Hadlirin hidup rukun berdampingan layaknya kakak dan adik yang saling menjaga. Namun takdir berkata lain karena pada perkawinan Sultan Hadlirin yang kedua ini ia juga tidak mempunyai keturunan. Akhirnya diantara mereka bertiga diputuskan untuk mengambil anak angkat Dewi Wuryan Ratnawati, putri Sultan Banten.

Pada suatu waktu Sultan Hadlirin mempunyai kesulitan baik berhubungan dengan masalah keluarga maupun permasalahan kerajaan. Untuk memecahkan hal yang sulit dan rumit itu diperlukan tempat yang agak sunyi agar dapat tenang. Untuk itu ditemukan tempat dekat makam Syeh Siti Jenar. Di tempat sepi itulah ia berdoa dengan khidmat seraya memohon petunjuk kepada Tuhan. Demikian pula seterusnya apabila ada kepentingan, maka dipakailah tempat itu untuk memecahkannya. Sehingga tempat tersebut dinamakan Mantingan.

Sejarah Masjid Mantingan

Selanjutnya Sultan Hadlirin bersama Ratu Kalinyamat merencanakan untuk mendirikan sebuah masjid di daerah Mantingan itu. Maka dengan pertolongan ayah angkatnya dan ditangani sendiri langsung oleh Tji Wie Gwan, mahapatih sekaligus bapak angkatnya, akhirnya pada tahun 1559 Masehi atau 1481 tahun Saka mulai dibangun Masjid Mantingan. Menurutcondro sengkolo yang berbunyi: Rupo Brahmono Warno Sari berdirilah masjid yang indah di Mantingan.

Maha patih ini memang mempunyai otak cerdas dan keahlian mengukir yang cukup mengagumkan. Oleh karena keahliannya itu maka nama Tji Wie Gwan diganti dengan nama Sungging Badar Duwung oleh Sultan Hadlirin. Adapun arti nama itu adalah Sungging berarti ahli ukir, Badarberarti batu, dan Duwung berarti tanah. Demikian sejarah pembangunan Masjid Mantingan dimulai.

Hiasan yang mewarnai dinding masjid dan makam di kompleks Mantingan sebagian besar terdiri dari batu putih yang berukir dengan motif bunga. Keahlian mengukir Tji Wie Gwan ini diwarisi oleh masyarakat sekitarnya, yang dapat kita hayati bahwa sampai sekarang hasil karya ukir ahli-ahli ukir Jepara sangat terkenal. Ahli-ahli ukir terkenal Jepara mengakui bahwa Sungging Badar Duwung adalah cikal bakal dan asal-usul seni ukir Jepara.

Konon Sungging Badar Duwung juga mendirikan masjid di daerah Ngloram Kudus, Tajuk masjid Sunan Kudus juga hasil karyanya. Sungging Badar Duwung telah menjadi tokoh sentral dalam pengembangan seni ukir di Kota Jepara. Saat ini Kota Jepara telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata budaya di Jawa Tengah. Daya tarik wisata Kota Jepara bukan hanya dari hasil kerajinan ukiran yang indah, tetapi juga dari nilai-nilai historis yang terkandung dalam tempat wisata sejarah di Jepara.

Itulah sejarah dan asal-usul pembangunan tempat wisata bersejarah Masjid Mantingan di Kota Jepara.

Wafatnya Sultan Hadirin

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu. Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.  Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Sultan Hadlirin, terbunuh.

Makam Sultan Hadlirin Mantingan Terletak di belakang dibelakang masjid Mantingan yang dimana masjid tersebut merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Demak yang dibangun Ratu Kalinyamat.

Setiap tanggal 17 Robi’ul Awal, sehari sebelum hari jadi Jepara, makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin sering dikunjungi oleh peziarah untuk memperingati meninggalnya Sultan Hadlirin. Pada saat itu dilakukan prosesi buka luwur, yaitu mengganti penutup makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin. Makam mantingan saat ini masih dianggap keramat bahkan sebagian masyarakat meyakini bahwa pohon pace yang tumbuh disekitar makam memiliki kasiat, bagi seorang istri yang belum memiliki anak buah ini bisa menjadi obat. Namun buah jatuh yang memiliki kasiat dan cara makannya harus dimakan bersama suaminya.

Hal lain yang dianggap keramat adalah air yang ada dikomleks makam tersebut. Air keramat ini sangat ampuh untuk menguji kejujuran seseorang. Karena itu air disini sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Caranya dengan berdo’a dan minum air ini, bilah seseorang bersalah dan tidak mau mengakuinya, maka akan mendapatkan hukuman dari Allah Yang Maha Kuasa.

KISAH QUTAIBAH BIN MUSLIM SANG JENDRAL PENAKHLUK


Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di China. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara China dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut.

Orang-orang Bukhara itu lalu menetap di daerah antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias ‘So-Fei Er’, yang kemudian dikenal sebagai `bapak’ komunitas Muslim di China.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di China, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi China Han. Sehingga pengaruh umat Islam di China semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.

Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang (Yusuf Hasan) adalah jenderal Muslim terkemuka sekaligus pewaris ilmu Thaichi dan Pedang Whu dang. Ada lagi Lan Yu Who (Wahab bin Yusuf) sekitar tahun 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Selain itu, di masa Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, yang bernama Laksamana Cheng Ho. Dan masih banyak lagi tokoh islam lain China yang melegenda diantaranya yang kira kenal lewat perfilman Wong Fei Hung (Sayyid Faishol Husain) Fong Sai Yuk (Sayyid Fahmi Salim Yusuf) .

Penakhlukan China Oleh Qutaibah Bin Muslim

Pembawa ajaran Islam di negeri Cina  adalah Abu al-Hafsh Qutaibah bin Muslim bin Amr bin Husein bin al-Amir al-Bahili, seorang panglima besar yang terkenal dalam sejarah Islam. Ia adalah seorang panglima perang yang berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Uni Soviet (sekarang Rusia) hingga sampai di daerah Cina. Banyak penduduk dari negeri-negeri yang ia taklukkan berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah ini, mereka merasakan keindahan dan cahaya Islam yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Qutaibah wafat karena terbunuh pada tahun 96 H, di umur 48 tahun.

Masa Kecil Qutaibah

Ayahnya adalah Muslim bin Amr sahabat dari Mush’ab bin Zubair gubernur Irak dari pihak Abdullah bin Zubair, ayahnya terbunuh bersama dengan Mush’ab pada peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, tahun 72 H / 692 M. Qutaibah dilahirkan di Irak pada tahun 49 H / 669 M.

Di masa kecilnya, ia mulai mempelajari ilmu fikih dan Alquran, kemudian ia juga belajar menunggang kuda dan strategi perang. Ia tumbuh bersama kuda, pedang, dan panah, ia sangat mencintai teknik-teknik menunggang kuda. Pada masa pertumbuhannya, wilayah-wilayah Irak tengah digoncang oleh pemberontakan-pemberontakan. Oleh karena itu, amir-amir di wilayah tersebut sibuk mempersiapkan jihad dan mengajak masyarakat untuk menyiapkan tenaga mereka membantu pemerintah demi tetap kokohnya Islam dan tersebarnya dakwah. Saat itulah Qutaibah muda bergabung dalam jihad di usianya yang sangat belia.

Keberanian dan keterampilan Qutaibah memang memukau banyak orang, hal itu membuatnya dilirik oleh panglima besar, Muhallab bin Abi Shafrah. Muhallab pun menyampaikan kabar tentang Qutaibah ini kepada Hajjaj bin Yusuf. Setelah itu, Qutaibah makin dikenal di kalangan kerajaan, khalifah Abdul Malik bin Marwan menunjuknya menjadi Amir di Kota Ray dan Khurasan.

Kaum muslimin mulai beranjak menaklukkan wilayah Timur, sebuah daerah yang dihuni oleh dua ras besar; orang-orang Sasaniah atau Persia dan orang-orang Turki. Dua kelompok besar ini hanya dipisahkan oleh sungai-sungai saja. Penaklukkan Persia sudah disempurnakan pada masa pemerintahan al-khulafa ar-rasyidun, adapun orang-orang Turki memiliki wilayah yang lebih luas, tersebar, dan jumlah yang lebih banyak, seperti: orang-orang Turki di wilayah Gaza, al-Qarakhta, Qawqaziyun, Bulgaria, dan Mongol.

Menaklukkan Cina

Qutaibah mulai memimpin pasukan perang pada tahun 86 H / 705 M, saat itu Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi mengangkatnya menjadi amir Khurasan atas titah khalifah.

Perjalanan menaklukkan Cina adalah perjalanan yang fenomenal dan membutuhkan waktu yang panjang dan startegi yang matang. Sebelum tiba di negeri tirai bambu ini, Qutaibah bin Muslim menaklukkan daerah-daerah strategis yang membuka jalannya untuk menuju daratan Cina. Jika diurutkan maka strategi Qutaibah dapat diklasifikasi menjadi empat tahap.

Tahap pertama, ia beserta pasukannya menuju daerah Thakharistan pada tahun 86 H. Saat ini, wilayah Thakharistan adalah bagian dari wilayah Afganistan dan Pakistan.

Tahap kedua, antara tahun 87-90 H, ia menguasai wilayah Bukhara dan daerah-daerah sekitarnya di wilayah Uzbekistan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat strategis untuk memantapkan dan melindungi daerah-daerah taklukkan lainnya dari serangan musuh.

Tahap ketiga, tahapan ini berlangsung antara tahun 91-93 H. Pada masa ini, Qutaibah mengokohkan kedudukan umat Islam di wilayah Sungai Jihun dengan sibuk berdakwah dan mengajarkan Islam di wilayah tersebut. Selain itu, pada masa ini juga umat Islam berhasil menguasai Sijistan, Khawarizm, dan Samarkand di jantung Asia.

Tahapan keempat, tahap keempat ini adalah tahapan akhir dari perjalanan Qutaibah menuju Cina, berlangsung antara tahun 94-96 H. Pasukan Islam dibawah kepemimpinan Qutaibah berhasil mengusai daerah Sungai Seihan dan kota-kota di sekitarnya. Setelah itu Qutaibah memasuki wilayah Cina tepatnya di Kota Kashgar. Orang-orang Kashgar yang sebelumnya memeluk agama Zoroaster dan Budha, akhirnya berbondong-bondong masuk ke dalam Islam tanpa paksaan sedikit pun.

Ini adalah penaklukkan terjauh yang dilakukan pasukan Islam sepanjang sejarah. Tidak ada pimpinan umat Islam yang melakukan penaklukkan lebih jauh dari apa yang dilakukan Qutaibah bin Muslim.

Wafatnya Qutaibah

Setelah tiga belas tahun bertualang ke penjuru negeri, akhirnya tibalah akhir hayat Qutaibah bin Muslim. Qutaibah wafat dalam sebuah perselisihan antara umat Islam pada tahun 96 H. Ia terbunuh di tangan Waki’ bin Hasan at-Tamimi di wilayah Ferghana (sebuah daerah di Asia Tengah yang berada di wilayah Uzbekistan, Kirgistan, dan Tajikistan sekarang). Semoga Allah merahmati Qutaibah bin Muslim.

Pelajaran dari kisah

Ada sebuah pelajaran menarik dari kisah penaklukkan yang dilakukan Qutaibah bin Muslim. Di tengah buruknya nama Bani Umayyah di kalangan sebagian umat Islam lantaran sistem monarki yang mereka terapkan, hadir sosok yang gemilang di antara ratusan nama lainnya dari orang-orang Bani Umayyah yakni Qutaibah bin Muslim.

Ada kelompok-kelompok tertentu yang menisbatkan diri mereka kepada Islam menuliskan buruknya sejarah perjalanan Bani Umayyah. Seolah-olah perjalanan kerajaan ini adalah masa kegelapan yang dialami umat Islam. Beredar dan maraknya tulisan-tulisan tersebut akhirnya membentuk opini dan image bahwa Daulah ini sangat jauh sekali dari ajaran Islam.

Orang-orang yang membenci syariat Islam menjadikan catatan senjarah yang penuh manipulasi ini sebagai senjata mereka untuk mengatakan, “Bagaimana mungkin syariat Islam bisa diterapkan di era modern ini, sementara di era yang dekat dengan masa khulafaur rasyidin saja syariat ini tidak bisa ditegakkan?!” Inilah yang mereka inginkan dari pengkaburan sejarah Bani Umayyah. Dan ironisnya, isu picis ini diambil oleh kelompok-kelompok Islam yang sangat vokal menyerukan berdirinya kekhilafahan Islam.

Penaklukkan yang dilakukan Qutaibah menggambarkan betapa besarnya jasa Bani Umayyah. Mereka menaklukkan wilayah Bukhara sehingga lahirlah seorang laki-laki dari kalangan masyarakat Bukhara sekaliber Imam Bukhari. Ditaklukkannya kota-kota di sekitar Sungai Jihun termasuk Naisabur, dari sini lahirlah laki-laki cemerlang bernama Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi atau kita kenal dengan Imam Muslim, penulis Shahih Muslim, dll. Belum lagi penaklukkan Andalusia yang melahirkan ulama-ulama dan ilmuan-ilmuan Islam.

Oleh karena itu, kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang jangan sampai membuat kita tidak bersikap adil dan melupakan lautan kebaikan yang mereka lakukan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...