Rabu, 03 November 2021

PARA ULAMA' BERTEOLOGI ASY'ARIYAH


ASY’ARIYAH adalah madzhab dalam bidang akidah (teologi). Sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang memiliki imam, asy’ariyah memiliki imam yang bernama al-Imam Abu al Hasan al-Asy’ari (873 – 947 M).

Beliau seorang ahli kalam, alim, zahid Ahlus Sunnah wal Jam’ah yang berasal dari suku Asy’ari – suku yg berasal dari sebuah daerah di negeri Yaman. Ia pernah diasuh oleh tokoh Mu’tazilah, Ali al Jubbai, namun beliau akhirnya balik mengkritik kekeliruan-kekeliruan tokoh mi’tazilah. Dan menjadi rujukan ulama dalam menghadapi mu’tazilah.

Imam Asy’ari dikenal  mengkritik mu’tazilah dengan logika-logika mu’tazilah. Dengan pertolongan Allah beliau berhasil mematahkan hujjah mu’tazilah dengan rasional tanpa keluar dari syariat.

Metode Imam Asy’ari lalu diikuti banyak ulama besar di kemudian hari. Hingga beliau diberi gelar “mujaddid” (pembaharu) karena dinilai berhasil mengalahkan dominasi pemikiran mu’tazilah.

Jaminan Al-qur'an dan hadits bahwa golongan Al-Asy'riyah adalah golongan Ahlussunnah wal jama'ah, golongan yang selamat. Allah memuji golongan Asya'iroh dalam sebuah ayat yang mana pada saat ayat ini turun, Rasulullah memberikan isyaratnya kepada seorang sahabat yaitu Imam Abu Musa al-Asy'ari (Datuk dari Imam Abu Hasan al-Asy'ari) seraya menunjuk kepadanya.

Alloh Subhaanahu Wata'ala Berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. al-Maidah : 54).

Rasulullah SAW yang bertugas sebagai mubayyin (penjelas) al-Qur'an telah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan "kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya..", dalam ayat diatas adalah kaum Abu Musa al-Asy'ari berdasarkan hadits shahih berikut

عن عياض الاشعري قال : لما نزلت : {فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه} قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هم قومك يا أبا موسى) وأومأ رسول الله صلى الله عليه وسلم : هم قوم هذا , و أشار إلي أبي موسى الأشعري.

Dari Iyadh al-Asy'ari Radiyallahuanhu dia berkata "Ketika ayat, "Allah SWT akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya", maka Rasulullah SAW bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al-Asy'ari : "Mereka adalah kaumnya laki-laki ini"

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ شَبَّة، حدثنا عَبْدُ الصَّمَدِ -يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْوَارِثِ-حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سِمَاك، سَمِعْتُ عِيَاضًا يُحَدِّثُ عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ} قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُمْ قَوْمُ هَذَا".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad (yakni Ibnu Abdul Waris), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak; ia pernah mendengar Iyad menceritakan hadis dari Abu Musa Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (Al-Maidah: 54) Maka Rasulullah Saw. bersabda: Mereka adalah dari kaum orang ini(seraya mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy'ari, yakni dari penduduk Yaman, pent.).
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang semisal.

قال القشيرى: فأتباع أبى الحسن الأشعرى من قومه لأن كل موضع أضيف فيه قوم إلى نبي أريد به الأتباع، قاله القرطبى فى تفسيره (ج6/220) .

Al-Qusyairi berkata : "Pengikut madzhab Abi al-Hasan al-Asy'ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari , karena setiap terjadi penisbahan kata kaum terhadap nabi didalam al-Qur'an, maka yang dimaksudkan adalah pengikutnya"

وقال البيهقى: وذلك لما وجد فيه من الفضيلة الجليلة والمرتبة الشريفة للإمام أبى الحسن الأشعرى رضى الله عنه فهو من قوم أبى موسى وأولاده الذين أوتوا العلم ورزقوا الفهم مخصوصاً من بينهم بتقوية السنة وقمع البدعة بإظهار الحجة ورد الشبهة ".ذكره ابن عساكر في تبيين كذب المفتري.

Dan telah berkata Imam Bayhaqy " Demikian itu karena telah nyata di temukan keutamaan besar dan dan kedudukan yang sangat mulia pada dari Imam Abu Hasan al Asy'ari Rodiyallahu anhu. Beliau adalah dari kaum Abu Musa al Asy'ari dan termasuk anak turunya. mereka2 itu telah di beri ilmu rezki kefahaman yang di hususkan di antara mereka yaitu dengan menguatkan sunnah dan menghancurkan bid'ah dengan menampakan hujjah dan menolak segala syubhat/kekeliruan".

Disebutkan dalam kitab Ibnu Taimiyah:

ﺃﻥ اﻷﺷﻌﺮية ﺃﻋﻴﺎﻥ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﻧﺼﺎﺭ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻧﺘﺼﺒﻮا ﻟﻠﺮﺩ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺪﺭﻳﺔ ﻭاﻟﺮاﻓﻀﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻓﻤﻦ ﻃﻌﻦ ﻓﻴﻬﻢ ﻓﻘﺪ ﻃﻌﻦ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ، ﻭﺇﺫا ﺭﻓﻊ ﺃﻣﺮ ﻣﻦ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ اﻟﻨﺎﻇﺮ ﻓﻲ ﺃﻣﺮ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺗﺄﺩﻳﺒﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﺮﺗﺪﻉ ﺑﻪ ﻛﻞ ﺃﺣﺪ

"Sesungguhnya Madzhab Asy'ari adalah ahlussunnah itu sendiri, dan mereka adalah penolong Syariah. Mereka berdiri tegak untuk melawan ahli Bid'ah baik dari qodariyah, Syiah rafidhoh dan lainnya. Barangsiapa yang mencela Madzhab Asy'ari maka dia telah mencela ahli sunnah. jika masalah ini dilaporkan kepada pihak yang berwenang dari umat Islam maka wajib baginya untuk mendidik orang tersebut agar orang lain tidak melakukan hal yang sama" (Majmu' Fatawa 6/603)

Benarkah Imam Abu Hasan Al Asy'ari ini menyimpang dari ajaran Ahli sunah? Tidak benar, Imam Adz-Dzahabi pun menilai beliau Ahli sunah:

ﻭﺃﺧﺬ ﻋﻨﻪ ﻓﻦ اﻟﻜﻼﻡ ﺃﻳﻀﺎ: ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ، ﺛﻢ ﺧﺎﻟﻔﻪ، ﻭﻧﺎﺑﺬﻩ، ﻭﺗﺴﻨﻦ.

"Dan diantara yang mempelajari ilmu Kalam dari Ali al-Jubai adalah Abu Hasan Al Asy'ari, lalu dia berbeda pendapat dengan gurunya, kemudian dia menyerangnya dan dia menjadi ahli sunnah" (Siyar A'lam An-Nubala 11/113).

Mayoritas ulama Islam adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah.

Imam Abdul Baqi al-Ba’li al-Hanbali mengatakan :

وللكلام على المقصد الثاني تقدمة،وهي أن طوائف أهل السنة ثلاثة:أشاعرة وحنابلة وماتريدية

“Untuk pembicaraan tujuan kedua telah ada pendahuluannya yaitu sesungguhnya kelompok Ahlus sunnah itu ada tiga : Asya’irah, Hanabilah dan Maturudiyyah"(Al-‘Ain wa al-Atsar : 59)

Muhammad bin Ibrahim Ibnul Wazir al-Yamani mengatakan :

اتفق أهل السنة : من أهل الأثر والنظر والأشعرية على أن الإرادة لا يصح أن تضاد العلم ولا يريد الله تعالى وجود ما قد علم أنه لا يوجد

“Ahlus sunnah : dari kalangan Ahlul Atsar, Nadzar dan al-Asy’ariyyah sepakat bahwasanya iradah itu tidak sah berlawanan dengan ilmu Allah dan Allah Ta’ala tidak berkhendak mewujudkan sesuatu yang Dia telah ketahui bahwasanya sesuatu itu tidak akan diwujudkan“. (Itsar al-Haq : 250)

Imam Muhammad as-Safaraini mengatakan :

أهل السنة والجماعة ثلاث فرق :الأثرية وإمامهم أحمد بن حنبل رضي الله عنه والأشعرية وإمامهم أبو الحسن الأشعري والماتردية وإمامهم أبو منصور الماتريدي

“Ahlus sunnah wal Jama’ah ada tiga kelompok : Pertama kelompok al-Atsariyyah, pemimpin mereka adalah imam Ahmad bin Hanbal radhiallahu ‘anhu. Kedua kelompok al-Asy’ariyyah, pemimpin mereka adalah imam Abul Hasan al-Asy’ari. Ketiga kelompok al-Maturudiyyah, pemimpin mereka adalah imam Abu Manshur al-Maturudi “ (Lawami’ al-Anwar : 1/73)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan :

البخاري في جميع ما يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل ذلك الفن كأبي عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم , وأما المباحث الفقهية فغالبها مستمدة له من الشافعي وأبي عبيـد وأمثالهـما , وأما المسائـل الكلامية فأكثرها من الكرابيـسي وابن كُـلاَّب ونحـوهما

“imam Bukhari di semua apa yang ia bawakan dari tafsir yang gharib, sesungguhnya ia menukilnya dari para ulama yang pakar di bidangnya tersebut seperti Abu Ubaidah, an-Nadhar bin Syamil, al-Farra dan selain mereka. Adapun pembahasan fiqih, maka kebanyakannya beliau bersandar kepada imam Syafi’i, Abu Ubaid dan semisalnya. Adapun masalah kalam / tauhid, maka kebanyakannya beliau mengambilnya dari al-Karabisi dan Ibnu Kullab dan selainnya “. (Fath al-Bari : 1/293)

Dari penejelasan para ulama besar di atas, menajdi jelas bagi kita bahwasanya kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah kelompok terbesar dan mayoritas di seluruh belahan dunia ini sejak masa Abul Hasan al-Asy’ari yang mengikuti akidah ulama salaf sebelumnya hingga masa sekarang ini.

Para sahabat dan tabi’in adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama terdahulu (mutaqaddimin), sedangkan al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama belakangan (mutaakhkhirin). Maka siapa saja yang menghina kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah, sama seja menghina para sahabat dan tabi’in. karena mereka lah kelompok Ahlus sunnah wal Jama’ah.

Ulama Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Senioritas

Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib Al-Muftari menyebut sejumlah ulama besar yang mengikuti madzhab Asy’ariyah. Ia membagi pada lima kategori berdasarkan faktor senioritas. Ulama yang disebut di bawah hanya sebagian kecil untuk sekadar contoh. Menurut Tajuddin Al-Subki, seandainya disebut semua, niscaya hampir semua ulama madzhab empat mengikuti manhaj aqidah Asy’ariyah.

Generasi pertama yang menganut Asy’ariyah adalah para ulama abad Keempat Hijriyah antara lain:
Abu Bakar Al-Baqilani (wafat, 403 H),
Abu Bakar bin Faurak (w. 406 H),
Abu Hamid Al-Isfirayini (w. 406 H),
Abu Ishaq Al-Isfirayini (w. 418 H),
Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H),
Abul Qasim Al-Isfirayini (w. 452 H),
Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H),
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H),
Abul Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H),
Abul Muzhoffar Al-Isfirayini (w. 471 H),
Abul Walid Al-Baji (w. 474 H),
Abu Ishaq Al-Syairazi (w. 476 H),
Abul Ma’ali Al-Juwaini (w. 478 H).

Ulama generasi kedua yang menganut Asy’ariyah adalah para ulama yang hidup pada abad kelima hijrah (abad ke-11 masehi) antara lain:
Abu Hamid Al-Ghazali (wafat, 505 H),
Abul Qasim Al-Anshari (w. 511 H),
Ibnu Rusydi (w. 520 H),
Abu Bakar Ibnul Arobi (w. 543 H),
Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H),
Abul Fath Al-Syahrastani (w. 548 H),
Ibnu Asakir (w. 571 H).

Ulama generasi ketiga yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad keenam hijriyah ( abad ke-12 masehi) antara lain:
Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H),
Abul Qasim Al-Rofi’i (w. 623 H),
Saifuddin Al-Amadi (w. 631 H),
Ibnul Hajib (w. 646 H),
Al-Izz bin Abdissalam (w. 660 H),
Muhyiddin Al-Nawawi atau Imam Nawawi (w. 676 H),
Nasiruddin Al-Baidhawi (w. 691 H).

Ulama generasi keempat yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad ketujuh hijriyah ( abad ke-13 masehi) antara lain:
Ibnu Daqiq Al-Id (w. 702 H),
Kamaluddin Al-Zamlakani (w. 727 H),
Badruddin bin Jamaah (w. 733 H),
Aduddin Al-Iji (w. 757 H),
Taqiuddin Al-Subki (w. 771 H),
Syamsuddin Al-Kirmani (w. 786 H),
Sa’duddin Al-Taftazani (w. 793 H).

Ulama generasi kelima yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kedelapan hijriyah ( abad ke-14 masehi) antara lain:
Sirajuddin Al-Bulqini (w. 805 H),
Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H),
Ibnu Khaldun (w. 808 H),
Al-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H),
Taqiuddin Al-Hishni (w. 829 H),
Ibnu Hajar Al-Asqolani (w. 852 H),
Muhammad bin Yusuf Al-Sanusi (w. 895 H).

Ulama generasi keenam yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesembilan hijriyah ( abad ke-15 masehi) antara lain:
Syamsuddin Al-Sakhawi (w. 902 H),
Jalaluddin Al-Suyuti (w. 911 H),
Syihabuddin Al-Qastalani (w. 923 H),
Zakariya Al-Anshari (w. 926 H),
Abdul Wahab Al-Sya’roni (w. 973 H),
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H).

Ulama generasi ketujuh yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesepuluh hijriyah ( abad ke-16 masehi) antara lain:
Syamsuddin Al-Ramli (w. 1004 H).

Ulama Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Keilmuan

Dari nama-nama ulama yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa pengikut Asy’ariyah adalah kalangan ulama papan atas yang berasal dari berbagai bidang keilmuan Islam. Untuk lebih memudahkan dalam memahami, berikut kategorisasi ulama pengikut aqidah Asy’ariyah berdasarkan keahlian mereka dalam bidang ilmu tertentu.

Dalam bidang tafsir dan ilmu Al-Quran terdapat sejumlah nama terkenal antara lain, Al-Jashash, Abu Amr Al-Dani, Al-Kayya, Al-Harasi, Ibnul Arabi, Al-Razi, Ibnu Atiyah, Al-Mahalli, Al-Baidhowi, Al-Tsa’alibi, Abu Hayyan, Ibnul Jazari, Al-Samarqandi, Al-Wahidi, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Al-Alusi, Al-Zarqani, Al-Nasafi, Al-Qasimi, Ibnu Asyur, dan banyak lagi yang lain.

Dari kalangan ahli hadits dan ilmu hadits terdapat sejumlah nama masyhur berikut: Al-Daruqutni, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ibnu Asakir, Al-Khattabi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Al-Sam’ani, Ibnul Qattan, Al-Qadhi Iyadh, Ibnus Sholah, Al-Mundziri, Al-Nawawi, Al-Haitsami, Al-Muzi, Ibnul Hajar, Ibnul Munir, Ibnu Battal, mayoritas pensyarah kitab Bukhari dan Muslim, mayoritas pensyarah kitab hadits (kutub as-sunan). Juga, Al-Iraqi, putra Al-Iraqi, Ibnu Jamaah, Al-Aini, Al-Ala’i, Ibnul Mulqin, Ibnu Daqiq Al-Id, Al-Zamlakani, Al-Zaila’i, Al-Suyuthi, Ibnu Allan, Al-Sakhawi, Al-Manawi, Ali Al-Qori, Al-Jalal Al-Dawani, Al-Baiquni, Al-Laknuwi, Al-Zubaidi, dan banyak lagi yang lain.

Dari ulama ahli sejarah antara lain: Qadhi Iyadh, Al-Tabari, Khatib Al-Baghdadi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Ibnu Hajar, Al-Muzi, Al-Suhaili, Al-Solihi, Al-Suyuthi, Ibnul Atsir, Ibnu Khaldun, Al-Tilmasani, Al-Qasthalani, Al-Shafdi, Ibnu Khalakan, Qadhi Syuhbah, Ibnu Nasiruddin, dan lain-lain.

Dari ulama ahli bahasa antara lain: Al-Jurjani, Al-Qazwini, Abul Barakat Al-Anbari, Al-Suyuthi, Ibnu Malik, Ibnu Aqil, Ibnu Hisyam, Ibnu Manzhur, Al-Fairuzabadi, Al-Zubaidi, Ibnul Hajib, Khalid Al-Azhari, Abu Hayyan, Ibnul Atsir, Al-Hamudi, Ibnu Faris, Al-Kafawi, Ibnu Ajurum, Al-Hattab, Al-Ahdal, dan lain-lain.

Dari kalangan penguasa muslim, terdapat nama-nama tenar seperti Salahuddin Yusuf Al-Ayubi, Muzhafar, Nizham Al-Muluk, Sultan Al-Fatih Turki dan para sultan Turki Usmani yang lain.

Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Madzhab Fiqih

Dari kalangan ahli fiqih dan ilmu ushul fiqih terdapat nama-nama besar antara lain:

a) Dari madzhab Hanafi:
Ibnu Najim,
Al-Kasani,
Al-Sarakhsi,
Al-Zaila’i,
Al-Haskafi,
Al-Mirghanani,
Al-Kamal bin Al-Hamam,
Al-Syaranbalali,
Ibnu Amir Al-Haj,
Al-Bazdawi,
Al-Khadimi,
Abdul Aziz Al-Bukhari,
Ibnu Abidin Al-Tahtawi,
dan mayoritas ulama India, Pakistan, Bangladesh dan Tiongkok.
b) Dari madzhab Maliki:
Ibnu Rusydi,
Al-Qarafi,
Al-Syatibi,
Ibnul Hajib,
Khalil,
Al-Dardir,
Al-Dasuqi,
Zuruq,
Al-Laqqani,
Al-Zarqani,
Al-Nafrawi,
Ibnu Jazi,
Al-Adwi,
Ibnul Haj,
Al-Sanusi,
Ulaisy,
mayoritas ulama Maroko, dan lain-lain.
c) Dari Madzhab Syafi’i:
Al-Juwaini,
Al-Razi,
Al-Ghazali,
Al-Amidi,
Al-Syairazi,
Al-Isfirayini,
Al-Baqilani,
Al-Mutawalli,
Al-Sam’ani,
Ibnus Sholah,
Ibnu Katsir
An-Nawawi,
Al-Rofi’i,
Al-Iz Ibnu Abdissalam,
Ibnu Daqiq Al-Id,
Ibnur Rif’at,
Al-Adzra’i,
Al-Asnawi,
Al-Subki,
Al-Baidhawi,
Al-Hishni,
Zakariya Al-Anshari,
Ibnu Hajar Al-Haitami,
Al-Romli,
Al-Syarbini,
Al-Mahalli,
Ibnul Muqri,
Al-Bujairami,
Al-Baijuri,
Ibnul Qasim Al-Ibadi,
Al-Qalyubi,
Umairah,
Ibnu Qasim Al-Ghazzi,
Ibnu Naqib,
Al-Attar,
Al-Bannani,
Al-Dimyati,
Al-Ahdal,
dan lain-lain.
d) Dari Madzhab Hambali;
Imam Ibnu Sam’un al-Wa’izh,
Imam Abu Khaththab al-Kalwadzani,
Imam Abu al-Wafa bin ‘Aqil,
al Hafidz Ibn Jauzi Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman al-Quraisy al-Bakri al-Shiddiqi al-Baghdadi al-Hanbali
Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali
Al-Imam al-Syarif abu Ali al-Hasyimi al-Hanbali
al-Imam abu al-Hasan Abdul Aziz bin al-Harits al-Tamimi al-Hanbali
dan lain-lain

Semua pemilik nama-nama besar di atas adalah para pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam aqidahnya, yang para ulama menyebut aqidah Asy’ariyah dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Kalau menurut kalian wahai Wahabiyyun, bahwa Al-Hafidz Ibnul Jauzi, Imam Ibn Hibban, Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali, Al-Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al- Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi,Al-Hafidz Alaai, Al Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasuk ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, maka siapakah yang kalian maksud dengan Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah itu?

Konsekwensi Jika Anggap Ulama Asy’ariyyah Sesat

Kalau mau konsisten dengan pendapat kalian bahwa mereka telah menyimpang dan memasukkan mereka sesat dalam aqidah Islam. Maka konsekwensinya jangan lagi gunakan kitab dan karya Ulama Asy’ariyyah, apalagi menukil pendapat mereka dalam masalah aqidah untuk mendukung pendapat kalian dalam masalah aqidah pula. Sungguh aneh !?

Tapi ternyata hal itu tidak terjadi. Bahkan dalam majalah edisi khusus  yang mereka tulis dalam masalah hadis, pertama kali mereka menunjukkan apa yang mereka anggap sesat dan menyimpang dari aqidah kaum asy’ariyah lalu diberilah vonis sesat bahkan kafir. Tapi yang aneh setelah itu pendapat-pendapat dari para Ulama Hadis pengikut aqidah Asy’ariyah seperti Al-Hafidz Ibn Hajar, Imam Nawawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Iraqi, Ibn Shalah dll menjadi rujukan utama unutk memberi justifikasi dalam masalah aqidah versi mereka. Bukankan ini sebuah keanehan yang menggelikan ?!

Lalu kalian berkata lagi: Ulama kan bukan hanya mereka! Tapi ingat bukankan Salafi Wahabi telah mengadopsi pendapat sebagian Ulama’ yang menyatakan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah Ulama ahli hadits seperti perkataan Imam Ahmad yang mengatakan Kalau bukan ahli hadis, aku tidak tahu lagi siapa mereka ? dll! Biasanya kalian akan berkelit dengan mengatakan : Ulama Ahli Hadis-kan tidak terbatas pada mereka !!? Lalu apakah Al- Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasuk ahli hadis !?

Lalu siapa Ahli hadits yang kalian maksud ?! Lalu manhaj ahli hadis mana yang kalian ikuti !!? Kalau ternyata sebagian besar Para Hufadz Ahli Hadis berada dalam posisi yang berlawanan dengan posisi kalian, ternyata semua Ahli Hadits adalah pengikut aqidah Asy’ariyyah !? Hendaknya ini menjadi bahan renungan bagi orang-orang yg mampu berpikir dengan jujur!

SANAD KEILMUAN AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH


Ajaran Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah atau Maturidiyah berbeda jauh dari ajaran Salafi Wahabi, yang mengakibatkan sikap dan pandangan ulama dan pengikutnya jauh berbeda. Demikian juga dalam mengambil ilmu agama. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah sangat mementingkan sanad dari mana ilmu itu didapat.

Jauh berbeda dari Ulama Salafi Wahabi yang mengatakan bahwa ilmu sudah tertulis lengkap dari zaman salaf. Sanad hanya diperlukan di zaman salaf ketika menyampaikan Hadits. Katanya ilmu pengetahuan sudah berkembang sudah tertulis dalam buku. Jadi dengan membaca Kitab induk itu sudah cukup, tidak perlu pakai sanad yang sambung menyambung hingga ke penulis Kitabnya.

Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah sangat mementingkan sanad ilmu, sebab mereka berkeyakinan ilmu agama itu ada dalam diri manusia yaitu pada hati dan akhlak para Ulama. Sedang Kitab adalah hanya catatan ilmu dari hati para Ulama, yang untuk memahaminya kita perlu kenal Ulama itu, agar pemahaman kita dalam membaca Kitab itu sama dengan yang difahami oleh Ulama yang menulisnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mengisyaratkan bahwa ilmu para Nabi memang diwariskan pada Ulama sebagaimana disebut dalam hadits berikut:

العلماء ورثة الأنبياء

Ulama adalah pewaris Nabi

Kemudian hadits berikut lebih menegaskan lagi bahwa ilmu ada pada ulama

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا-البخاري

Telah bersabda Rasulullahi shallallahu alaihi wassalam: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

Itu sebabnya duduk dan bertemu bersama Ulama adalah media belajar dan menimba ilmu yang utama, selain membaca Kitabnya. Dengan bertemu, melihat dan duduk bersama Ulama, kita akan dapat melihat tauladan, merasakan suasana bersama Ulama yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan bertemu dan duduk bersama Ulama. Bukankah seorang muslim yang bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan wafatnya dalam keadaan muslim mendapat gelar yang tidak diperoleh oleh muslim lain yaitu Shahabat radhiallahu anhum.

Ulama yang Ilmunya bersanad, akan selalu bercerita kepada muridnya tentang gurunya. Bahkan Ulama itu sangat ingin agar murid menjumpai gurunya itu, agar muridnya itu memperoleh ilmu dan berkat sebagaimana yang diperoleh oleh Ulama itu. Demikianlah sikap para Ulama yang ilmunya bersanad.

Bukankah doa yang selalu kita baca dalam Surat Al Fatihah, adalah meminta ditunjukkan oleh Allah, jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat. Nikmat yang dimaksud adalah tentu nikmat Iman dan Islam. Orang yang telah diberi nikmat itulah para guru dan Ulama, yang belajar dari gurunya yang belajar dari gurunya yang sambung menyambung tanpa putus hingga sampai kepada Sahabat dan seterusnya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaih wassalam, puncak pimpinan dari golongan orang yang telah diberi nikmat Iman dan Islam oleh Allah.

Itu pula sebabnya murid-murid sangat hormat pada gurunya, karena memuliakan ilmu warisan Rasulullah shallallahu alaih wassalam yang ada pada diri guru itu. Mereka sangat berterima kasih dan mendatangi gurunya ketika beliau masih hidup maupun sudah wafat dengan menziarahi makamnya. Murid-murid itu juga menziarahi makam Ulama-Ulama terdahulu yaitu guru dari guru mereka, karena begitulah gurunya memberi contoh kepada mereka.

Menziarahi dengan tujuan selain untuk mengingati mati, juga untuk mendoakan, mengingati jasa dan untuk lebih mengenal pribadi Ulama itu untuk dapat mengikuti jejak para Ulama itu. Itu pula sebabnya pengikut Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah menjaga peninggalan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan para Ulamanya agar kita dapat mengenal pribadi, mencintai dan mengikuti jejak para pendahulu mereka.

Kita selalu melihat bagaimana para murid menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada guru-guru mereka, sebagai tanda terima kasih atas jasa para guru, dan berdoa kepada Allah seperti apa yang diminta dalam surat Al Fatihah agar ditunjukkan jalan seperti guru-guru mereka yang telah mendapatkan nikmat Iman dan Islam.

Berbeda jauh dari golongan Salafi Wahabi yang justru menghilangkan jejak dan peninggalan mereka itu, bahkan peninggalan Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam –pun dihancurkan oleh mereka. Mereka merasa tidak perlu mengenal gurunya lebih dekat sebab ilmu agama menurut mereka ada pada Kitab tanpa perlu guru yang bersanad.

Salah satu sebab pentingnya belajar bersanad adalah untuk memastikan bahwa ilmu yang disampaikan dan diterima dari Ulama dari satu generasi ke Ulama di generasi berikutnya adalah sama sebagaimana ilmu itu diterima dar Ulama di generasi sebelumnya. Hal ini sangat penting, sebab cara penyampaian seperti ini menjamin kebenaran pemahaman ilmu yang diwariskan.

Sedang ilmu yang disampaikan dengan hanya membaca Kitab dari Ulama Salaf tanpa sanad ilmu, sangat memungkinkan ilmu yang diterima sudah dimasukkan oleh pemahaman dari dirinya sendiri dan terpengaruh hawa nafsunya.

Belum lagi kalau Kitab itu sudah dipalsukan textnya, sebagaimana yang terjadi pada Kitab-Kitab Ulama Muktabar, Atau diberi catatan kaki yang menyesatkan yang sama sekali tidak jelas sanad asalnya. Bahkan catatan kaki yang menyesatkan ini juga ada pada Kitab terjemah Al Qur’an.

"KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri NU) & Imam Abu Hasan Al Asy'ari (Aqidah Asy'ariyyah) Punya Sanad yang bersambung sampai Rasulullah SAW"

{Mohon bagi warga Aswaja/NU untuk di save/simpan/di share sanad mulia ini demi terwujudnya "Islam Rahmatan Lil Aalamiin"}

1. Sayyidul Wujud Insanul Kamil Nabi Muhammad Rasulullah SAW
2. Al Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Karramallaahu Wajhahu"
3. Muhammad al hanafiyah (Putra Sayidina Ali, dari istri kedua Kaulah bin Ja’far)
4. Al Imam Wasil bin Atho’
5. Al Imam Amr bin Ubaid
6. Al Imam Ibrohim Annadhom
7. Al Imam Abu Huzail Al-Alaq
8. Al Imam Abu Hasi Adzuba’i
9. Al Imam Abu Ali Adzuba’i
10. Al Imam Abu Hasan al Asy'ari (Pendiri Faham “AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH” ASWAJA) 234 Karangannya : Kitab Maqolatul Islamiyin, Al Ibanah, Al Risalah, Al-Luma’, dll
11. Al Imam Abu Abdillah Al Bahily
12. Al Imam Abu Bakar Al Baqilany, karangannya : Kitab At Tamhid, Al Insof, Al bayan, Al Imdad, dll.
13. Al Imam Abdul Malik Imam Haromain Al Juwainy, karangannya : Kitab Lathoiful Isaroh, As Samil, Al Irsyad, Al Arba’in, Al kafiyah, dll
14. Al Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghozali. Karangannya : Kitab Ihya Ulumuddin, Misyakatul Anwar, Minhajul Qowim, Minhajul Abidin dll.
15. Abdul Hamid Assyeikh Irsani. Karangannya: kitab Al Milal Wannihal, Musoro’atul Fulasifah, dll.
16. Muhammad bin Umar Fakhrur Raazi, Karangannya: Kitab Tafsir Mafatihul Ghoib, Matholibul ‘Aliyah, Mabahisul Masyriqiyah, Al Mahsul Fi Ilmil Usul, dll
17. Abidin Al Izzy, karangannya: Kitab Al Mawaqit Fi Ilmil Kalam.
18. Abu Abdillah Muhammad As Sanusi, Karangannya: Kitab Al Aqidatul Kubro dll.
19. Imam Al Bajury, karangannya: Kitab Jauhar Tauhuid, dll.
20. Imam Ad Dasuqy, karangannya: Kitab Ummul Barohin, dll.
21. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, karangannya: Kitab Sarah jurumiyah, Sarah Al Fiyah, dll.
22. Ahmad Khotib Sambas Kalimantan, Karangannya : Kitab Fathul ‘Arifin, dll.
23. Muhammad An Nawawi Banten, Karangannya :Syarah Safinatunnaja, Sarah Sulamutaufiq, dll. Yang Mayoritas Ulama Di Indonesia memakai Karangan Syeikh Nawawi Albantaniy sebagai Kitab Rujukan.
24. Syech Mahfudz At-Termasi (mursyid Hadist Bukhori matan ke-23), muridnya al :– Syech Arsyad Al-Banjari - Banjarmasin– Syaikhona Kholil - Bangkalan Madura–Abdul Shomad Al-Palembangi- Palembang
25. KH. Hasyim Asy’Ari (Pendiri NU)

Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil bangkalan adalah: Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan).

Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil bangkalan adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU).

Dalam proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah.

Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ketangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona Kholil Bangkalan.

Munculnya isyarah sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Para ulama pendiri NU jelas bukan sembarang ulama. Mereka orang-orang khos yang memiliki kualitas keimanan yang luar biasa di zamannya.

Rapat pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai Wahab dan dipimpin oleh Kiai Hasyim. September 1926 diadakanlah muktamar NU yg untuk pertama kalinya yg diikuti oleh beberapa tokoh. Muktamar kedua 1927 dihadiri oleh 36 cabang. Kaum muslim reformis dan modernis berlawanan dgn praktik keagamaan kaum tradisional yg kental dgn budaya lokal. Kaum puritan yg lebih ketat di antara mereka mengerahkan segala daya dan upaya utk memberantas praktik ibadah yang dicampur dgn kebudayaan lokal atau yg lbh dikenal dgn praktik ibadah ygbid’ah. Kaum reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab fiqh klasik salah satu mazhab. Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan kembali kepada sumber yg aslinya yaitu Alquran dan hadis yaitu dgn ijtihad para ulama yg memenuhi syarat dan sesuai dgn perkembangan zaman. Kaum reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional yg dalam formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani pemikiran agama dan kepercayaan lainnya. Bagi banyak kalangan ulama tradisional kritikan dan serangan dari kaum reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan terhadap inti ajaran Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-tradisi menjadi semakin ketat sebagai sebuah ciri kepribadia.

Mazhab Imam Syafii merupakan inti dari tradisionalisme ini . Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan mewajibkan kepada pengikutnya krn di zaman sekarang ini tidak ada orang yg mampu menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yg terkandung di dalam Alquran dan sunah secara menyeluruh.

Nah, inilah kenapa kita harus bermazhab salah satu dari mahzab 4.

Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.

Sahabatku semua yang dirahmati Allah, NU ADALAH SALAH SATU BENTENG AHLISUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA

Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW  dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab al-Hanafi, al-Syafi’i, al-Maliki dan al-Hanbali. Sedangkan orang-orang yang keluar dari madzhab empat tersebut pada masa sekarang adalah termasuk ahli bid’ah.

”Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya. Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf.

- Dalam bidang aqidah atau tauhid tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
- Dalam masalah amaliyah badaniyah terwujudkan dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
- Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali.

Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku sebagai penganut Ahlussunnah Wal-Jama’ah maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar telah mengamalkan Sunnah Rasul dan Sahabatnya.

Pesan untuk para simpatisan, pengikut, bahkan da’i salafi/wahabi ;  mohon luangkan waktu sebentar, renungkan barang sejenak. Bahwa hati yang paling Allah kasihi ialah hati yang paling lembut terhadap saudaranya, paling bersih dalam keyakinannya dan paling baik dalam agamanya. InsyaAllah, jika hati tak sekeras batu, dada akan terasa lapang, pikiran pun tidak beku dan buntu. Semoga kita semua mendapat hidayah serta inayah dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Akeh kang apal Quran Hadise
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale

Banyak yang hafal Quran dan Hadist, suka mengkafirkan orang lain, kafirnya sendiri tidak diperhatikan, (gara-gara) masih kotor hati dan akalnya.

semoga Allah swt meluhurkan setiap nafas kita dg cahaya istiqamah, dan selalu dibimbing untuk mudah mencapai tangga tangga keluhuran istiqamah, dan wafat dalam keadaan istiqamah, dan berkumpul dihari kiamat bersama ahlul istiqamah

Semoga Allah SWT menggantikan segala musibah kita dg anugerah.

UJIAN SAKIT ITU SEBAGAI ROHMAT


Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya. Musibah di dunia yang menjadi sebab terhapusnya dosa.

Sebagaimana disebutkan dalam shahihain (Bukhari-Muslim), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.”

Hendaknya orang yang sakit memahami bahwa sakit adalah ujian dan cobaan dari Allah dan perlu benar-benar kita tanamkan dalam keyakinan kita yang sedalam-dalamya bahwa ujian dan cobaan berupa hukuman adalah tanda kasih sayang Allah. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridho (menerimanya) maka Allah akan meridhoinya dan barangsiapa yang murka (menerimanya) maka Allah murka kepadanya.”

Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang hamba, maka Allah menyegerakan siksaan  baginya di dunia”

Mari renungkan hadits ini, apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan kapada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia dan Allah tidak menghukum kita lagi di akhirat yang tentunya hukuman di akhirat lebih dahsyat dan berlipat-lipat ganda. Dan perlu kita sadari bahwa hukuman yang Allah turunkan merupakan akibat dosa kita sendiri, salah satu bentuk hukuman tersebut adalah Allah menurunkannya berupa penyakit.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(Qs al-baqarah 155-157)

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31)

Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakalanya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ

Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)
Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:

{بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}

dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155)
Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit.
Sedangkan firman-Nya:

{وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ}

dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155)
Yakni lenyapnya sebagian harta.

{وَالأنْفُسِ}

dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)
Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan kekasih-kekasih.

{وَالثَّمَرَاتِ}

dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155)
Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di penghujung ayat ini disebutkan:

{وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)
Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.

Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut:

{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 156)
Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya:

{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ}

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)

Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah.

Firman Allah Swt.:

{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}

Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)

Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:  Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka diberi pahala yang setimpal berikut tambahannya.

Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa musibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud dengan istirja' ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).

Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang mengatakan:

حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا سُررْتُ بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ". قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ: اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ تَرَى مِنِّي شَيْئًا يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ فِي السِّنِّ، وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda:  Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapatkan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw. selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda,'Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw."
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya.  Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw. sendiri."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا -فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala ketika di hari ia tertimpa musibah.
Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya. Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ السَّالَحِينِيُّ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ: دفنتُ ابْنًا لِي، فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ قُرَّة عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَك وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ الْحَمْدِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?" Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi(rumah pujian)."

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...