Rabu, 03 November 2021

LEGENDA KI DANAWANGSA DAN BERDIRINYA DESA SITANGGAL BREBES


Masyarakat Sitanggal boleh bangga kini Desanya pelan tapi pasti telah berubah menjadi kota. Wajah Sitanggal kini sudah sangat berbeda dibandingkan dengan Sitanggal dulu. Kini Sitanggal berubah semakin maju dan sangat maju. Maka tidaklah heran jika tokoh-tokoh nasional asal Brebes  mengusulkan Sitanggal menjadi Ibu Kota Kabupaten Brebes. Konon jika dipindah di wilayah Tengah di Sitanggal maka Kabupaten Brebes akan berkembang semakin maju.

Tapi tahukah warga Sitanggal akan asal mula keberadaan Desanya. Tahukah warga Sitanggal itu sendiri akan sejarah yang terukir di Desanya. Bung Karno sang proklamator sering mendengungkan slogan "JAS MERAH" kepada seluruh rakyat negeri nusantara ini. Yang maknanya jangalah sampai  melupakan sejarah. Ya emang kini orang kadang lupa atau melupakan sejarah. Padahal dalam sejarah ada banyak hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran. Dalam sejarah orang menjadi tahu urutan perkembangan zaman. Orang yang kini ada menjadi sadar bahwa perkembangan yang kini tidak luput dari perkembangan masa lampaunya. Sejarah juga dapat menciptakan karakter mengharagai leluhur Desa, leluhur bangsa, sejarah membuat arif dan melegakan hati kita untuk memaafkan satu sama lainnya.

Sitanggal adalah sebuah Desa yang terletak di wilayah Brebes tengah. Sitanggal berada pada jalur tengah yang melintas membujur dari Jatibarang, Sitanggal, Ketanggungan hingga Ciledug. Sitanggal terletak di barat sungai Pemali, kurang lebih 5 km dari sungai pemali. Sebuah sungai yang pada masa hindu kuno yaitu pada masa kerjaan Tarumanegara  ketiga dikenal dengan sungai Cipamali. Nama Cipamali erat sekali dengan sebutan sunda. Istilah Kerajaan sunda itu sendiri baru muncul pada masa pemerintahan Tarumanegara ketiga yaitu masa kekuasaan Raja Purnawarman yang berkuasa dari tahun 395-434 M.

Kekuasaan Tarumanegara ketiga di masa kerajaan Purnawarman membentang dari barat dan ke timur hingga sungai cipamali, ciserayu dan purwalingga (sekarang Purbalingga). Dapat dipastikan Letak Sitanggal yang di sebelah barat sungai Cipamali adalah masih dalam kekuasaan Tarumanegara III. Walau Sitanggal masuk dalam wilayah kerajaan Tarumanegara III, namun  tidak ada catatan pasti apakah sudah muncul pemukiman perkampungan Sitanggal. Pendek kata pada masa Hindu yaitu masa Kerajaan Hindu Tarumanegara III belum ada pemukiman di Sitanggal. Hal ini berbeda dengan Desa Kedungbokor dan Wanacala yang dimungkinkan sudah ada pemukiman. Hal tersebut masuklah akal, karena moda transportasi pada masa itu adalah sungai. Sungai Cipamali yang pada saat itu lebar dan panjang, memungkinkan orang bermukim di tepian Cipamali.

Kekuasaan Kerajaan Pasundan, walau pun berganti-ganti Raja dan berganti-ganti Ibukota namun hingga abad ke-16 masih bertahan. Hal ini dibuktikan dengan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceritakan tentang perjalanan Bujangga Manik seorang pendeta hindu sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci di Jawa dan Bali pada abad ke-16. Naskah kuno tersebut disimpan di perpustakaan Budiian, Oxford University sejak 1627. Dalam naskah kuno tersebut batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (sekarang sungai Pemali), Sungai Ciserayu (sekarang sungai Serayu) provinsi Jawa Tengah. Pada masa Pajajaran wilayah kekuasaanya juga mencakup wilayah Sumatera bagian Selatan. Berikut peta wilayah Kerajaan Sunda Galuh pada tahun 932-1579 Masehi.

Seiring dengan perkembangan Agama Islam di dunia maka Islam pun masuk ke wilayah kerajaan Hindu Sunda. Islam mulai masuk tatar tanah pasundan mulai abad ke-7, namun penyebarannya secara signifikan barulah sangat terasa pada abad ke-13. Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475M), Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) (1482-1521 M)  yang menganut Islam.

Sebagaimana diketahui Sitanggal adalah sebuah Desa di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Namun karena letaknya di sebelah barat sungai Cipamali maka Sitanggal pada masa kuno adalah salah satu wilayah yang termasuk kedalam wilayah Kerajaan Sunda Galuh yang ber Ibukota di Pakuan Pajajaran (lebih dikenal dengan Kerajaan Pajajaran, sekarang Pakuan adalah Kota Bogor). Di Jawa sendiri (Jawa tengah dan Jawa timur) pada abad ke-12 berkuasa Kerajaan Kediri (116-1222), lalu muncul Kerajaan Singasari (1222-1292), lalu Kerajaan Majapahit (1292-1519), Kemudian muncul Kerajaan Islam Demak (1478-1561), Kerajaan Islam Pajang (1561-1575), lalu muncul mataram Islam (1575-sekarang). Wilayah inti Kerajaan majapahit membentang dari Bali hingga barat Jawa Tengah yaitu sungai Pamali.

Sejarah Desa Sitanggal

Dusun yang sekarang dikenal dengan Sitanggal maka dahulunya dikenal dengan Citanggal, berasal dari kata Caitanggal. Sebagaimana lazimnya penamaan nama Dusun atau desa pada Kerajaan Pasundan. Bahwa banyak Desa yang berada di tepian sungai diberi nama dengan kata depan cai atau ci. Untuk Dusun atau Desa yang masuk wilayah Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Brebes di era kini masih banyak yang hingga sekarang menggunakan istilah ci, contohnya Cikakak Ketanggungan, Cigedog Kersana dan Ciampel Kersana. Beberapa mengalami Transformasi akibat pengaruh budaya Jawa yang kuat contohnya Cilosari sekarang Losari dan Citanggal menjadi Sitanggal.

Sitanggal di Era Kuno Periode (700-1875 M)

Dusun Citanggal pada masa dahulu diperkirakan dimukimi oleh orang pada masa penyebaran Agama Islam pertama di Kerajaan Sunda Galuh yaitu pada abad ke-7 (butuh rujukan). Dalam hal ini dimungkinkan sudah ada orang yang tinggal dan pergi di Sitanggal sejak kerajaan Hindu Pasundan.  Seiring dengan perubahan moda transportasi dari sungai menjadi darat, maka Citanggal sudah mulai berbentuk dusun pada abad ke-14 hingga abad ke-15 yaitu pada masa Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Hal tersebut sejalan dengan perkembangan Agama Islam di Kerajaan Pasundan Galuh. Citanggal sebagai bagian dari kerajaan Pasundan pada era kuno hingga berkembangnya agama Islam di Pasundan tentu merujuk pada nama sebuah kali. Hal tersebut layaknya pemberian nama-nama Desa di Daerah Pasundan. Belum diketahui secara pasti dalam babad Sitanggal kuno. Maka sungai atau kali yang dmaksud sekarang kali yang mana. Ada yang merujuk bahwa yang dimaksud adalah kali buangan yang pernah menjadi tempat pertapaan Ki Danawangsa (Lurah pertama), sebuah kali buangan yang sekarang terletak  di sebelah timur Lapangan Sitanggal atau sebelah timur RS Amanah Mahmudah dan di sebelah barat Puskesmas Sitanggal. Atau bahwa kali yang dimaksud adalah Desa yang terletak sebelah barat Pasar Sitanggal kurang lebih 200m yaitu kali sena. Kali yang terletak di sebelah barat perempatan Sitanggal dan di sebelah timur SD 1 Sitanggal. Namun diperkirakan kali yang dimaksud dalam Citanggal merujuk ke sungai yang sekarang lebih dikenal dengan kali Sena. Sebuah sungai yang kemudian karena ada seorang kaya yaitu Mbah Sena yang tinggal di bantaran sungai maka dikenal dengan sungai kali Sena.

Hancurnya Kerajaan Pasundan akibat diserang oleh Kesultanan Banten yaitu oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579 mengakibatkan pengaruh Sunda di wilayah barat sungai Cipamali mengendur. Selanjutnya sejalan dengan meningkatnya pengaruh Kerajaan Mataram Islam mulai dari tahun 1575 maka pengaruh budaya Jawa makin meningkat menyebrang ke barat sungai Pemali. Rasa-rasanya Citanggal yang mulai ada di abad ke-7 di era Kerajaan Hindu Pasundan, maka setelah mencengkeramnya Kerajaan Mataram Islam hingga terbentuknya Kadipaten Brebes yaitu di abad ke-17, maka nama Citanggal sudah mulai berubah menjadi Sitanggal. Sebagaimana sejarah mencatat lahirnya kadipaten Brebes pertama adalah dengan mulai berkuasanya Tumenggung Arya Surlaya di tahun 1678-1683. Kadipaten Brebes lahir dan berada di wilayah Kerajaan Jawa Mataram Islam.

Dapat dipastikan sejak lahirnya Kadipaten Brebes sebagai Kadipaten Baru, sebuah kadipaten pecahan dari Kadipaten Tegal, maka dusun yang dulunya dikenal dengan Citanggal adalah salah satu daerah kekauasaan Kadipaten Brebes yang membentang hingga sungai Losari. Dusun ini terus berkembang dan menggantikan popularitas Desa yang lebih lama ada di barat sungai Cipamali yaitu Kedungbokor dan Wanacala. Dusun Citanggal yang sekarang dikenal dengan Sitanggal kemudian Menjadi Desa Sitanggal pada bulan Syuro tahun 1875 M, yaitu setelah masuknya sosok tokoh yang bernama Danawangsa yang kemudian menjadi Lurah pertama Desa Sitanggal pada tahun 1875 Masehi.

Kehidupan masyarakat Sitanggal di era kuno awalnya bergantung pada sungai. Untuk transportasi di awal mulai mukimnya orang perorang pada abad ke-7 mereka masih menggunakan sungai Cipamali sebagai andalan yang terletak di timur. Selain sungai Cipamali segelintir orang-orang tersebut juga memanfaatkan Kali  Rambatan di Selatan, di sebelah barat memanfaatkan Kali babakan Ketanggungan  dan sungai Cilosari. Hal itu karena Kali Sena sendiri tidak terlalu lebar dan tidak panjang.

Seiring dengan perkembangan zaman masyarakat beralih ke moda transportasi darat dengan kuda dan kerbau. Pada era ini kehidupan masyarakat mulai menetap penuh membentuk komunitas dusun. Hal ini berbeda dengan kondisi pada awal abad ke-7 yang mana walaupun sudah ada mukimin di citanggal namun mereka masih nomaden. Pada abad ke-13 masyarakat yang bermukim mulai menetap dan menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Namun hingga abad ke-19 sebagian lahan pertanian masih berupa hutan dan semak-semak.

Sitanggal di Era Modern (1875-Sekarang)

Nah, Sejarah berdirinya Desa Sitanggal tak luput dari nama seorang pendirinya yang dikenal dengan nama Ki Danawangsa. Petilasannya pun sampai kini masih ada yaitu di komplek Pemakaman Umum Desa yang dibangunnya ya di Makam Desa Sitanggal. Bagaimana orang mengenalnya, wong diantara makam-makam yang lain, makam Ki Danawangsa sangat sederhana. Makamnya bahkan sangat sederhana, makam orang biasa banyak yang dibangun mencolok, namun makam sang legenda Desa nampak biasa saja.

Hal itu konon karena ketika anak turunannya bermaksud membangunnya, kadang datang semacam wangsit dari tokoh yang selama ini dianggap sakti mandraguna ini yang isinya melarang untuk dibangun. Wangsitnya menyiratkan permintaan agar makamnya dibiarkan apa adanya, sejajar dengan masyarakat kebanyakan lainnya yaitu kaum dhuafa.Padahal semasa hidupnya sosok Ki Danawangsa yang mendirikan Desa Sitannga dan menjadi lurah Pertama, telah melahirkan banyak warisan budaya dan pembangunan (heritage) yang tak ternilai harganya bagi warga Masyarakat Desa Sitanggal.

Untuk tidak menambah rasa penasaran marilah kita simak akan sejarah pendiri Desa Sitanggal yaitu Ki Danawangsa........Ki Danawangsa sebenarnya bukanlah nama sebenarnya. Nama Ki Danawangsa adalah nama samaran, nama perjuangan dalam merebut kemerdekaan dan menegakan tegaknya  bumi pertiwi. Nama sebenarnya dari Ki Danawangsa adalah Haji Abdul Syukur. Di Aceh dikenal dengan Teuku H. Abdul Syukur.  Ki Danawangsa adalah salah seorang pejuang rakyat Aceh....anak buah dari pasukan Teuku Umar dan Istrinya Cut Nyak Din. Setelah pergolakan Aceh mengalami peredaan akibat bombardir pasukan Belanda, maka sebagian anak buah dari Teuku Umar dan Cut Nyak Din bertekad tetap melanjutkan perjuangan perang melawan kolonial Belanda.

Pihak Belanda pun selalu mengendus keberadaan pasukan Teuku H. Abdul Syukur ini. Maka untuk tidak tertangkap Belanda mereka pun selalu berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya. Gunung dan hutan menjadi rumah dan pelindung utama laskar Haji Abdul Syukur.

Sejalan meredanya perlawanan pasukan Teuku Umar akibat ditangkap Belanda, di Tanah Jawa sedang bergolak Perang Diponegoro yang dikenal sebagai perang Jawa. Pasukan Haji Abdul Syukur pun bertekad ke Jawa untuk bergabung dengan Pasukan Pangeran Diponegoro yang menyebar di seluruh antero tanah (pulau) Jawa.  Maka bergeraklah pasukan Haji Abdul Syukur dari Sumatera menuju pulau Jawa. Diperkirakan tahun 1825 Masehi laskar Haji Abdul Syukur tiba di Sumedang setelah melewati Banten dan Tasikmalaya. Laskar Haji Abdul Syukur sendiri sebenarnya dipimpin langsung oleh Mbah Guru Tengku Imam Syafi'i, seorang ulama dari Aceh yang sekaligus Ayahanda dari H. Abdul Syukur. Mbah Guru Tengku Imam Syafi'i didampingi oleh dua orang anaknya yang pemberani yaitu putranya H. Abdul Syukur dan Putrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Mujibah. Selain itu diikuti pula oleh anak buahnya, anak buahnya yang cukup dikenal adalah Haji Malik dan haji Abdul Rohim.

Di Sumedang sebagian pasukan dari Aceh tersebut membubarkan diri sebagai siasat perjuangan menghadapi penangkapan-penangkapan oleh pasukan Belanda. mereka terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok  yang lebih kecil untuk tidak mencurigakan Belanda. Di tanah Jawa sebagian dari mereka ada yang kemudian menetap menjadi petani, pedagang, sebagian besar yang lain tetap meneruskan perjuangan bergerilya melawan pasukan Belanda. Mbah guru besar putranya, yaitu H. Abdul Syukur, putrinya Mujibah dan teman perjuangan yang setia meneruskan perjalanan ke arah timur. Mereka terus mencoba mempertahankan hidup dan melangsungkan perjuangan dengan cara bergerilya. Di Jawa kemudian mereka bersatu dengan pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro melawan pasukan Belanda. Kebetulan pada kurun waktu tersebut terjadi perang di hampir seluruh kadipaten di tanah Jawa terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kadipaten-kadipaten di pesisir utara yang diam-diam membenci terhadap kekejaman tentara Belanda, membenci terhadap penjajahan Belanda diam-diam ataupun secara terang-terangan melakukan perlawanan, mereka berada di belakang dan mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Perang ini meluas sampai ke Kerajaan Banten yang mendukung sepenuhnya perjuangan Pangeran Diponegoro. Perang yang terjadi antara tahun 1825-1830, yang kemudian disebut Perang Diponegoro. Karena wilayah meluas hampir di seluruh tanah Jawa, maka perang tersebut sering dikenal dengan istilah Perang Jawa. Perang yang cukup menguras energi pasukan pasukan Belanda. Perang yang telah membunuh banyak pasukan Belanda. Perang yang bayak menghabiskan keuangan pemerintah Hindia Belanda apalagi terjadi tidak berselang lama dari perang Aceh Raya yang memakan waktu puluhan tahun untuk menaklukkannya.

H. Abdul Syukur beserta dengan Bapaknya Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) dan kakak perempuannya Mujibah Imam Syafi'i serta teman-teman seperjuanagn meneruskan perjalanan dari Sumedang ke Timur melalui hutan belantara, melalui desa-desa. Di suatu pedukuhan memasuki wilayah Kadipaten Brebes rombongan H. Abdul Syukur bertemu dengan Ki Sutawiyana. serombongan pejuang dari Aceh ini sempat bermalam di rumah Ki Sutawiyana, mereka juga secara diam-diam juag selama perjalanan bertemu dengan para simpatisan Pangeran Diponegoro. Rombongan ini kemudian terus melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Kadipaten Tegal, tidak jarang di tengah perjalanan mereka harus berhadapan dengan pasukan Belanda, menghindar dari kepungan pasukan Belanda. Sebab berita tentang mobilitas pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien dari Aceh ke Jawa sebenarnya telah diketahui Belanda malalui para telik sandinya. Dengan melalui jalan yang berliku sebagai taktik menghadapi dan menghindari penangkapan pasukan Belanda, sampailah rombongan H. Abdul Syukur di suatu desa di sebelah timur Kelurahan Tegal Arum. Di Desa tersebut keberadaan mereka sempat diketahui oleh Belanda. Mereka melakukan penyamaran-penyamaran setelah telik sandi mereka di kademangan Banjaran memberitahu akan penyisiran oleh pasukan Belanda. H. Abdul Syukur dan rombongannya selamat. Pasukan Belanda pulang tanpa membawa hasil.

Desa tempat persembunyian H. Abdul Syukur beserta keluarga dan rombongannya diberi nama Desa Dermasandi. Keluarga Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) putranya H.A bdul Syukur, putrinya Mujibah Imam Syafi'i kemudian menetap di Desa tersebut (Dermasandi). Di Dermasandi Mbah Guru dibantu oleh kedua orang anaknya berjuang mengadakan sarasehan-sarasehan, dakwah,dan  pengajian-pengajian umum yang diperkuat oleh saudara-saudara dari Aceh. Dakwah Mbah Guru dan kedua orang anaknya mulia meluas, warga desa dan sekitarnya desa Darmasandi makin banyak yang mengikuti.Mbah Guru kemudian mendirikan masjid dan pesantren kecil tempat pengembangan  dakwah dan alat perjuangannya melawan pemerintahan Hindia Belanda. Di masjid dan pesantren kecilnya itulah para santri dan pengikut Mbah Guru terus memperdalam ilmu agama. Hingga kini masjid dan pesantrennya masih ada.
Masa pengembangan dakwah ini pelan-pelan terus berkembang sejak tahun 1830 M.

Sementara dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh kelicikan Belanda pada kurang lebih tahun 1830-an, praktis perang Diponegoro dapat dipadamkan oleh pemerintah Belanda. Namun, Mbah Guru beserta putranya H. Abdul Syukur dan putrinya Mujibah tetap terus melanjutkan perjuangan melalui dakwah di Desa Dermasandi. Sementara orang tuanya Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) dan kakaknya Mujibah menetap di Desa Dermasandi, H. Abdul Syukur melalang buana ke arah barat sambil melanjutkan perjuangan secara bergerilya.

Selanjutnya untuk lepas dari telik sandi Belanda H. Abdul Syukur mengganti namanya dengan nama samaran Ki Danawangsa. keberadaan Ki Danawangsa di desa tersebut sempat tercium oleh Kadipaten Tegal. Keadaan Kadipaten Tegal dan hampir semua kadipaten di tanah Jawa praktis jatuh dan dipengaruhi kekuasaan Belanda semenjak dipadamkannya perang Diponegoro.

Pada masa itu Pemerintahan Kadipaten Tegal dipegang oleh R.M.A Reksonegoro VI yang berkuasa antara tahun 1821-1857, yang meninggalnya dimakamkan di Desa Tegal Arum Kecamatan Adiwerna. Beliau keturunan Ki Gede Sebayu. Kadipaten Tegal dan sebelah baratnya Kadipaten Brebes ada di bawah payung Kerajaan Mataram Islam. Namun, dengan taatnya penguasa Mataram sejak kekalahan Pangeran Diponegoro, Adipati Tegal R.M.A. Reksonegoro dan Adipati Brebes saat itu dipegang oleh Singosari Panoto Yudha harus tunduk pada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

Di Margadana Ki Danawangsa sempat mendapatkan kendala, Beliau dan teman-teman setianya dihadang oelh segerombolan Begal dan Kecu yang tertarik oleh iming-iming uang sayembara apabila dapat menangkap hidup atau mati dan menyerahkan Ki Danawangsa kepada pasukan Belanda pemerintahan distrik Tegal. Namun, Begal dan Kecu tidak sanggung melawan Ki Danawangsa, mereka semua dapat dikalahkan. Ki Danawangsa seakan mendapat kemukjizatan karena gerombolan Begal dan Kecu tersebut kemudian mau bertaubat, bahkan berbalik setia berjuang melawan Belanda sebagai simbol keangkaramurkaan. Segala hasil jerih payah mereka pun kemudian dimanfaatkan untuk perjuangan melawan penjajahan Belanda. Mencuatlah stigma yang dimunculkan oleh Belanda didukung oleh kadipaten-kadipaten di bawah pengaruh Belanda seakan-akan Ki Danawangsa memimpin para Begal dan Kecu. Pola ini diterapkan sebagai siasat Belanda dan siasat para adipati untuk memberi jarak perjuangan antara Ki Danawangsa dan rakyat yang tak sudi di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga setiap Ki Danawangsa dan kawan-kawan muncul di suatu desa terkesan dan dicap sebagai pengacau, maling, begal dan kecu, pembuat keonaran dan ontran-ontran yang perlu ditangkap. Setelah para begal dan kecu setia pada Ki Danawangsa, pasukan kadipaten Tegal dan Belanda mengobrak-abrik gerakan di Margadana. Namun, Ki Danawangsa dan kawan-kawan telah meninggalkan Margadana dan bergerak menuju Desa Lawa sebelah utara Jatibarang. Di Desa Lawa Ki Danawangsa menyusun kekuatan lagi melalui pengajian dan dakwah islam, sehingga berkembanglah para santri di Desa Lawa, yang kemudian dibentuk paguyuban santri Lawa. Keberadaan Ki Danawangsa di Desa Lawa sempat tercium oleh antek-antek Belanda. Kemudian tempat paguyuban santri lawa diserbu dan dihancurkan.

Ki Danawangsa mundur, menghindari pertumpahan darah yang terlalu banyak. Sampailah beliau di Desa Kampir. Ki Danawangsa teringat sewaktu perjalanan dari Sumedang pernah bertemu dengan seseorang yang bernama Sutawiyana di suatu pedukuhan. Bahkan beliau beserta rombongan mbah guru sempat bermalam.  Pedukuhan tempat Ki Sutawiyana tinggal kemudian dikenal dengan nama padukuhan Sitanggal.

Konon menurut cerita, Dukuh/Desa Sitanggal sendiri sudah ada sejak kerajaan Pasundan dan dahulunya konon Sitanggal masuk wilayah Pasundan. Nama Sitanggal kuno adalah Caitanggal, yang kemudian lebih dikenal dengan citanggal. Citanggal sebagai bagian dari kerajaan Pasundan pada era kuno tentu merujuk pada nama sebuah kali. Layaknya pemberian nama-nama Desa di Daerah Pasundan. Belum diketahui secara pasti dalam babad Sitanggal kuno. Maka sungai atau kali yang dmaksud sekarang kali yang mana. Ada yang merujuk bahwa yang dimaksud adalah kali buangan yang pernah menjadi tempat pertapaan Ki Danawangsa, yang sekarang di sebelah timur Lapangan Sitanggal. Ada yang merujuk bahwa kali yang kemudian menjadi nama desa adalah kali sena, yang terletak di sebelah barat perempatan Sitanggal.

Sudah barang tentu Dukuh/Desa Sitanggal tempat Ki Sutawiyana tinggal,saat itu belumlah banyak penghuninya. Salah seorang tokoh yang tinggal di Desa itu ya Ki Sutawiyana. Selain cerita tentang nama sitanggal yang dinisbatkan pada nama sebuah kali, maka konon dulu ceritanya sebelum dikenal dengan istilah Sitanggal. Di Pedukuhan tersebut ada pohon besar yang diatasnya dihuni oleh puluhan ribu tawon yang menghasilkan madu asli. konon ceritanya setiap tanggal satu di pohon besar tersebut selalu muncul madu, pohon tersebut konon terletak di sekitar makam Sitanggal (sekarang / saat ini). Setiap tanggal satu banyak orang-orang dari luar desa baik dari Kadipaten Brebes, Cirebon dan Tegal datang ke pedukuhan tempat Ki Sutawiyana tinggal untuk mencari madu. Pada tanggal satu mereka mengadakan acara selamatan. Bila dihubungkan antara pohon penghasil madu yang konon berada di sekitar pemakaman yang juga dekat kali sena, maka sangat mungkin pada masa kuno kali yang dimaksud dengan citanggal adalah yang sekarang dikenal orang dengan kali sena.

Dulunya Padukuhan Sitanggal  hanya dikenal dengan penghasilan madunya setiap tanggal satu (istimewanya) penanggalan jawa. Kedatangan Ki Danawangsa ke padukuhan ini dengan menemui Ki Sutawiyana membawa berkah tersendiri. Ki Sutawiyana menerima kedatangan Ki Danawangsa dengan sangat gembira dan senang hati. Beliau menerima dan bahkan kemudian mengakuinya sebagai anak angkat. Sehubungan dengan kondisi padukuhan ini masih sarat hutan, maka Ki Sutawiyana menyarankan Ki Danawangsa untuk melakukan babad alas. Ki Danawangsa kemudian melakukan babad alas dibantu oleh semua teman-temannya. Babad alas persis dimulai pada saat penanggalan jawa yaitu tanggal satu. Tanggal satu dalam terminologi jawa adalah tanggal siji, sitanggal artinya tanggal siji.

Padukuhan ini kemudian terus berkembang setelah babad alas oleh Ki Danawangsa, tanah yang dahulunya terdiri atas hutan belantara kini mulai tampak ladang, kebun, pekarangan dan kemudian menjadi sawah. Tentu tanah hasil babad alas pada masa itu menjadi bagian kepemilikan dari Ki Danawangsa. Rumah-rumah penduduk terus bertambah. para pendatang yang mencari madu setiap tanggal satu mulai berani dan tertarik tinggal di pedukuhan tersebut. Padukuhan yang babad alasnya oleh Ki Danawangsa persis pada tanggal satu penanggalan jawa, padukuhan yang setiap tanggal satu berdatangan para pendatang yang mengadakan selamatan untuk mencari madu, kemudian disebut (dikenal) dengan nama Padukuhan (desa) Sitanggal, sitanggal dalam makna jawa tanggal siji.. Jadi nampak sekali ada hubungan yang erat antara citanggal pada masa kerajaan Pasundan yang bermetamorfose menjadi Sitanggal setelah babad alas yang dilakukan oleh sosok yang dikenal sakti mandraguna yaitu Ki Danawangsa yang dimulai pada tanggal 1 Syura atau 1 Muharam 1252 H atau dalam penanggalan masehi kira-kira tahun 1831 M.  Situasi daerah saat itu semakin mereda dari perang. keberadaan Ki Danawangsa tidak terlalu dikejar-kejar Belanda. Menetaplah Ki Danawangsa beserta Ki Sutawiyana yang setiap harinya bertani, bercocok tanam dan sebagainya.

Dalam cita-cita Ki Danawangsa sesekali  muncul pemikiran bahwa dalam angan-angan perjuangan yang telah dilakukan dengan susah payah belum terwujud, dan rasa dongkol kepada penjajah selalu menghantui. Maka Ki Danawangsa sering menyamar pura-pura jual kayu bakar ke Brebes yang bertujuan untuk ingin melihat situasi daerah.

Datanglah Ki Danawangsa dengan spikul kayu dan bersembunyi sama penjual kayu-kayu yang lain. Kebetulan tempat penjualan kayu tersebut di depan Pendopo Kadipaten Brebes. Dalam penjualan kayu bakar Ki Danawangsa dan temannya selalu bercanda (ngobrol) sambil menanti pembeli datang.

Tiba-tiba di depan Pelataran Pendopo muncul seorang putri, yaitu putri Siti Habibah. Si Putri berjalan kian kemari sambil menikmati udara segar. Setiap langkah Si Putri selalu melempar senyum dan ajakan yang sangat bijaksana. Hari semakin sore, kayu pun belum ada yang beli dan si putri sambil memberikan lemparan pandangan dengan disertai senyum simpul (ketawa kecil) masuklah si putri ke Pendopo Kadipaten. Ki Danawangsa berunding dengan temannya, kayu dititipkan sama temannya dan besok Ki Danawangsa akan datang lagi di tempat penjualan kayu bakar tersebut. Pulanglah Ki Danawangsa dengan berjalan kaki sambil melihat situasi daerah Brebes. Sesampai di rumah, Ki Danawangsa bercerita panjang lebar sama Ki Sutawiyana. Soal situasi daerah dan peristiwa-peristiwa yang sejak pagi sampai sore yang dia lakukan Ki Sutawiyana hanya tersenyum simpul saja.

Setiap malam Ki Danawangsa jarang tidur sore. Selalu berdzikir, berdoa. Bayangan si putri Khabibah  tak pernah musnah. Setelah beberapa hari kemudian Ki Danawangsa pergi ke Brebes, bertemu dengan teman penjual kayu bakar dan penjual kayu cerita bahwa kayu kemarin dibeli oleh pihak Pendopo. Ternyata pembeli kayu milik Ki Danawangsa adalah si Putri Khabibah maka terjadilah saling kenal antara Ki Danawangsa yang menyamar menjadi penjual kayu bakar dan si Putri Adipati putri Khabibah. Persahabatan keduanya pun makin dekat, erat dan supel. Hingga didengar oleh telinga sang Adipati yaitu Adipati Arya Singasari Panatayudha I.

Maka kemudian Adipati memanggil penjual kayu bakar dalam hal ini Ki Danawangsa. Adi pati pun mempertemukannya dengan Si Putri Siti Kabibah dan benar apa yang selama ini Adipati dengar. Ketika keduanya diminta keterangan oleh Adipati dan Adipati melarang hubungan keduanya terutama kepada Ki Danawangsa malahan sang putri mohon ampun beribu ampun, bukan kang mas Danawangsa yang bersalah, melainkan sang putri sudah kadung tresna. Sang putri Siti Khabibah dengan menangis malahan menyatakan  cintanya. Selama Ki Danawangsa dan si putri menjalin persahabatn saat-saat itu kondisi kesehatan Ki Sutawiyana jatuh sakit dan meninggal. Maka Ki Danawangsa sering bermain ke rumah Ki Kertawiyana adik dari Ki Sutawiyana yang rumahnya di padukuhan sebelah selatan.

Melihat ketulusan hati sang putri dan tangisnya tidak meluluhkan hati sang Adipati. Kanjeng Adipati dengan tegas  tidak berkenan kalau putrinya menjalin hubungan dengan Ki Danawangsa. Si Putri pun berontak, sambil sujud dihadapan ayahnya Kanjeng Adipati Arya Singosari Panathayudha I.  Bagaimanapun si putri sudah tidak dapat dipisahkan lagi dengan Ki Danawangsa. Kanjeng Adipati geram, dan saking  geramnya diusirlah sang Putri. Namun Si Putri Siti Khabibah tetap menghadap dan bersujud, hingga Keduanya saling rangkul merangkul. Melihat glagat itu  Kanjeng Adipati tergugah dan dengan  terpaksa memerintahkan kepada panakawan-panakawan Pendopo agar dipersiapkan andong-andong dengan kudanya sekalian. Arak dia kemana saja ! asal pernikahan jangan disekitar pendopo, Ujar Kanjeng Adipati. Kemudian seluruh abdi dalem pendopo mempersiapkan andong dan kudanya beriring-iring disertai pasukan kudanya menuju pernikahan di padukuhan yang Ki Kertawiyana tempati.

Tersebarlah suara bahwa penikahan Ki Danawangsa diiring-iring banyak andong maka dukuh tersebut dinamakan Andong. Rombongan andong dan pasukan kuda pulang ke pendopo kanjengan dan esok harinya Ki Danawangsa dan Siti Habibah kembali ke Sitanggal untuk menempati rumah almarhum Ki Sutawiyana diantar sama Ki Kertawiyana. Ki Danawangsa da Siti Habibah menempati rumah terpencil, tak satupun rumah tangga yang dekat, tapi kehidupannya sangat harmonis.

Seperti biasanya Ki Danawangsa senang mencari sahabat, senang bermasyarakat sehingga ketika ada berita bahwa akan adanya pembentukan kepala suku/lurah, maka masyarakat memintanya. Sebenarnya Kanjeng Adipati kemudian sudah memafkan kedua anak dan menantunya dan berniat mengukuhkan Ki Danawangsa sebagai Lurah Desa Sitanggal. Namun sejarah menyebut bahwa rakyat Desa Sitanggal dengan sendirinya mufakat memilih Ki Danawangsa menjadi Lurah. Maka Jadilah Ki Danawangsa terpilih menjadi lurah yang pertama di Desa Sitanggal. Kanjeng Adipati pun merasa turut bangga.

Dibawah kepemimpinan Ki Danawangsa jangankan masyarakat desa sendiri desa-desa lainpun simpati kepadanya. Beliau senang berorganisasi, anak-anak muda dibina, dibentuk suatu paguyuban jamiyah sambil dilatih memukul terbang jawa. Orang-orang jualan yang datang dari penjuru desa berceceran dipinggir jalaqn oleh ki lurah diperintahkan agar semua orang jualan ditampung kumpul dari satu ditempatkan di tanah milik Ki Lurah.

Semakin hari pedagang dari antar desa berdatangan. Salah satu pedagang dari jatibarang sepulang dagang dari Sitanggal bercerita bahwa di Desa Sitanggal ada lurah yang manampung padagang yang diajak cerita kebetulan orang blok Jatibarang Utara (Desa Lawa). Seorang desa Lawa merasa terpanggil dan datang ke Sitanggal menghadap Ki Lurah yang kebetulan orang tersebut pernah menjadi anak asuhannya waktu masih bergerilya sambil mendirikan Paguyuban Santri Jawa. Orang yang dari Desa Lawa tidak pangling, bahwa Ki Lurah betul-betul orang yang bekas memimpin gerilya lewat pondok pesantren Lawa. Tersebarlah berita Ki Lurah Sitanggal, yang kemudian datang rombongan dari pesantren Lawa, minta pekerjaan membuka tanah lahan perladangan. Ki Lurah selalu memberikan apa-apa yang diminta oleh rombongan pesantren Lawa, baik alat-alat pertanian, maupun bibit-bibitnya. Namun setelah mereka dapat ladang cukup untuk dioleh,  masing-masing pinjam bibit padi sama Ki Lurah. Beberapa kali mengelola tanaman, Ia belum pernah menikmati hasil karena masih hewan-hewan pemakan padi, seperti burung, babi hutan, tikus dan lain-lain.

Saat itu orang-orang Lawa bingung karena punya tanggungan sama Ki Lurah. Kemudian secara bersama-sama orang-orang Lawa menghadap dan pinjaman alat-alat pertanian berserta bibit padinya tidak dapat mengembalikan dan diperhitungkan dengan lahan mereka masing-masing. Walaupun demikian Ki Lurah tetap memberikan pesangon dan selalu memberikan arahan-arahan yang baik.

Rombongan Lawa tidak putus atas tetap membuka ladang semakin luas ke arah selatan.  Di sebelah selatan orang-orang Lawa buka lahan, di sana ada harapan panen, sebab sampai tanaman hampir dipanen belum pernah terserang hama tikus dll. sangkin senangnya orang-orang Lawa mengadakan pengajian dan Ki Lurah diundang. Setelah bubar pengajian Ki Lurah omong-omong dengan para santri bahwa yang terakhir ini kamu akan selalu memetik hasil tanamannya, makanya kalau mau bercocok tanam padi di tanah yang mencil itu. Konon tanah yang mencil oleh Ki Lurah dinamakan SiKancil

Dari pernikahan Ki Lurah dengan Siti Habibah, Ki Danawangsa dikarunia 8 orang anak. Terdiri atas 6 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Anak pertama laki-laki yaitu Wangsadriya (H. Tayib), anak kedua laki-laki yaitu Haji Abdul Karim (lebih dikenal dengan Kaji Sirad), anak ketiga adalah perempuan yaitu Siti Maesaroh yang lahir kembar dengan anak kedua H. Abdul Karim.

Menurut kepercayaan masyarakat jawa (setempat), jika lahir anak kembar semacam itu dapat membawa musibah bagi keluarga. Sehingga Ki Lurah menitipkan Siti Maesaroh kepada seorang tokoh masyarakat di Desa tegalglagah (belum diketahui siapa namanya), sebuah Desa di sebelah utara Sitanggal. Ki Lurah memberikan bekal harta, sawah ladang, emas dan lain-lain bagi kesejahteraan anak yang dititipkannya yaitu Siti Maesaroh. Posisi sejarah anak ketiga dititipkan, bagaimana anak keturunannya, apakah menjalin hubungan keluarga dengan saudara-saudara yang lain atau tidak sampai kini kurang diketahui. Sebab Siti Maersaroh dititipkan oleh Ki Lurah semenjak masih bayi cemenang cenang setelah aqiqah.

Mungkin garis kehidupan dan sejarah baninya ikut lebur dan menyatu dengan keluarga yang diikutinya. Anak keempat laki-laki yaitu Haji Sulaiman lebih dikenal dengan Manten Mun Ambyah. Anak kelima perempuan yaitu Rimbi yang kemudian menikah dengan Arif (Haji Abdul Salam). Anak keenam laki-laki yaitu Dasian dengan telang anak Seba. Anak ketujuh laki-laki yaitu Darsipan. Anak ke delapan laki-laki yaitu Runda dengan telang anak Naisah. Anak keturunan Runda berkembang dan beranak pinak di Daerah Andong. Sekarang Desa Siandong, makam keluarga besar bani Naisah berada di lancipan pasar Lanjaman Desa Sitanggal berbatasan dengan Desa Siandong sekarang.

Selama kepemimpinan Ki Lurah Desa Sitanggal berkembang pesat. pada masa-masa awal kepemimpinannya Ki Lurah membangun Balai Desa. Untuk kesejahteraan rakyatnya saluran irigasi dibangun. Sebelah timur desa yaitu di sungai (sekarang terkenal dengan istilah buangan terletak di sebelah timur lapangan) dibangun pintu air, bekasnya sampai sekarang masih ada. Di sebelah barat selatan sekarang timur pedukuhan blewah dibangun pintu air yang sampai sekarang terkanal dengan sebutan Pintu Danawangsa. Ki Lurah membangun lumbung desa untuk menyimpan hasil panen. Untuk pertumbuhan ekonomi desa Ki Lurah juga membangun saran Pasar Desa. Yang menurut sejarah awalnya bernama Pasar Danawangsa. Kemudian posisi kepemilikan pasar berpindah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Ki Lurah juga membangun sarana beribadatan yaitu Masjid, yang pembangunannya kemudian diteruskan dan didukung sepenuhnya oleh pihak keluarga dan masyarakat, Terutama keluarga dari Haji Abdul Karim (Kaji Sirad) putra kedua Ki Lurah Danawangsa. Kemakmuran warga masyarakat Sitanggal begitu meningkat semenjak kepemimpinan Ki Lurah. Warga masyarakat mampu membayar pajak kepada pemerintah kadipaten dengan baik. Ki Lurah juga mampu memberikan Upeti yang cukup untuk Pemerintahan.

Atas suksesnya dalam membangun tanah perdikan Sitanggal menjadi desa yang maju  Kanjeng Adipati Arya Singasari Panatayudha I mengukuhkan gelar kepada H. Abdul Syukur (nama sebenarnya) dengan gelar Ki Lurah Danawangsa. Posisi Ki Lurah yang kenyataannya adalah menantu dari Kanjeng Adipati, kerja keras Ki Lurah dalam babad alas dan membangun menempatkan posisi Sitanggal seakan-akan sebagai tanah perdikan yang istimewa di mata Kanjeng Adipati Arya Singasari Panata Yudha I (1809-1836) hingga Adipati-adipati seterusnya.

Tidak ada petunjuk yang pasti Ki Lurah Danawangsa memerintah hingga tahun berapa, namun diperkirakan menjadi Lurah Pertama dari tahun 1831-1900. Jabatan periode kedua Lurah Sitanggal berikutnya dipegang oleh H. Sulaeman anak keempat dari Ki Danawangsa yang diperkirakan menjadi lurah hingga masa kemerdekaan.

Nama Ki Danawangsa kini diabadikan menjadi nama PKBM Danawangsa yang bergerak dalam bidang sosial pendidikan baik PAUD, Sekolah Kesetaraan, Sekolah Keaksaraan, Taman Baca Masyarakat, Pendidikan Kursus, dan Kesetaraan gender. Hal ini sesuai dengan visi misi Ki Danawangsa yaitu membangun Sitanggal tiada henti.

IMAM MAHDI YANG AKAN MUNCUL DI AKHIR ZAMAN

 

Sosok Imam Mahdi adalah sosok yang istimewa. Beribu tahun yang lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengabarkan tentang kemunculannya, ciri-ciri dan apa yang akan beliau lakukan ketika memimpin penduduk bumi ini. Sosok figur yang ditunggu kedatangannya di akhir zaman nanti, oleh segenap manusia.

Tak ayal, banyak orang mengaku sebagai imam Mahdi. Padahal jauh panggang dari apinya. Mungkin hanya bermodal mimpi, kemudian di pagi hari dia mengumumkan kepada khalayak,“Sayalah Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu..” Subhanallah.. Namun, kebodohan membuat seseorang buta. Buta logika dan nurani.

Maka dengan ilmu, seorang menjadi terbimbing.
Ilmu, membuatnya tak mudah terkecoh oleh hasutan-hasutan tak berdasar.

Imam Mahdi tidak akan muncul hingga menjelang kiamat. Kiamat sendiri adalah rahasia Allah Ta’ala. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan datangnya kiamat. Tapi dijelaskan dalam dalil bahwa mendekati kiamat bumi mengalami kerusakan. Ini bisa berarti bencana alam yang terjadi terus-menerus, seperti longsor, banjir, gempa bumi, gunung meletus dan sebagainya. Selain itu umat manusia juga melakukan perselisihan dan peperangan tanpa henti. Nah, disaat demikianlah Imam Mahdi akan muncul.

أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنْ النَّاسِ وَزَلَازِلَ فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا

“Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa.  Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kese-wenang-wenangan dan kezaliman.”  (HR Ahmad)

Lantas seperti apakah ciri Imam Mahdi yang asli?

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ – قَالَ زَائِدَةُ فِي حَدِيْثِهِ – لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يَبْعَثَ فِيْهِ رَجُلاً مِنِّي – أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي – يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيهِ اسْمَ أَبِي، يَمْلَأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْرًا

“Bila tidak tersisa dari dunia kecuali satu hari –Za`idah (salah seorang rawi) mengatakan dalam haditsnya– tentu Allah akan panjangkan hari tersebut, sehingga Allah utus padanya seorang lelaki dariku –atau dari keluargaku–. Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya seperti nama ayahku. Ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kedzaliman dan keculasan.” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud, Shahih Sunan no. 4282; sanadnya jayyid menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Al-Manarul Munif; At-Tirmidzi no. 2230, 2231; Ibnu Hibban no. 6824, 6825)

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَخْرُجُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِـي الْمَهْدِيُّ؛ يُسْقِيْهِ اللهُ الْغَيْثَ، وَتُخْرِجُ اْلأَرْضُ نَبَاتَهَا، وَيُعْطِى الْمَالَ صِحَاحًا، وَتَكْثُرُ الْمَاشِيَةُ، وَتَعْظُمُ اْلأُمَّةُ، يَعِيْشُ سَبْعًا أَوْ ثَمَانِيًا (يَعْنِي: حِجَجًا).

“Pada akhir umatku akan keluar al-Mahdi. Allah menurunkan hujan kepadanya, bumi mengeluarkan tumbuhannya, harta akan dibagikan secara merata, binatang ternak melimpah dan umat menjadi mulia, dia akan hidup selama tujuh atau delapan (yakni, musim haji).” [Mustadrak al-Hakim (IV/557-558), beliau berkata, “Sanad hadits ini shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Al-Albani berkata, “Ini adalah sanad yang shahih, perawinya tsiqat.” Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (II/336, no. 711).
Dan lihat Risalah ‘Abdul ‘Alim Ahaadiitsul Mahdi fii Miizaanil Jarh wat Ta’diil (hal. 127-128).]

Dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمُ ابْنُ خَلِيفَةٍ ثُمَّ لاَ يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلاً لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ

“Ada tiga orang yang akan saling membunuh di dekat harta simpanan kalian (manusia). Mereka semua putra khalifah. Kemudian simpanan itu tidak dikuasi salah satu dari mereka. Hingga muncul bendera-bendera hitam dari arah timur, lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaum pun…

Kata Tsauban: “lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak aku hafal, kemudian beliau bersabda,

فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ؛ فَبَايِعُوْهُ، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ؛ فَإِنَّهُ خَلِيْفَةُ اللهِ اَلْمَهْدِيُّ

“Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya dia adalah khalifah Allah al-Mahdi.” (HR. Ibn Majah 4222, Hakim dalam al-Mustadrak 4/463, dishahihkan Hakim dan disetujui adz-Dzahabi. Dan Sanadnya dinilai kuat dan shahih oleh Ibnu Katsir).

Ibnu Katsir menjelaskan hadis ini,

والمقصود أن المهدي الممدوح الموعود بوجوده في آخر الزمان يكون أصل ظهوره وخروجه من ناحية المشرق، ويبايع له عند البيت، كما دل على ذلك بعض الأحاديث

Maksud hadis, bahwa Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu kehadirannya di akhir zaman, munculnya dari arah timur, dan beliau di baiat di sisi Ka’bah. Sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadis.

Beliau juga menjelaskan,

والمراد بالكنز المذكور في هذا السياق كنز الكعبة، يقتل عنده ليأخذوه ثلاثة من أولاد الخلفاء، حتى يكون آخر الزمان، فيخرج المهدي، ويكون ظهوره من بلاد المشرق، لا من سرداب سامرا، كما يزعمه جهلة الرافضة من وجوده فيه الآن

Yang dimaksud ‘harta simpanan’ pada teks hadis adalah simpanan Ka’bah. Tiga orang dari putra khalifah akan saling membunuh, untuk memperebutkannya, hingga tiba akhir zaman. Kemudian keluarlah al-Mahdi dan beliau datang dari arah timur, bukan dari Sardab Samira sebagaimana dikatakan orang bodoh dari kalangan Rafidhah bahwa al-Mahdi saat ini ada di tengah mereka.

Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bendera hitam yang dibawa al-Mahdi,

ويؤيده بناس من أهل المشرق ينصرونه ويقيمون سلطانه ويشدون أركانه وتكون راياتهم سوداء أيضا وهو زي عليه الوقار لأن راية رسول الله صلى الله عليه وسلم كانت سوداء يقال لها العقاب

“Beliau didukung oleh masyarakat dari timur, menegakkan kekuasaannya, memperkuat pasukannya, dan bendera mereka saat itu pun berwarna hitam, yang melambangkan kerendahan hati. Sebagaimana bendera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berwarna hitam, yang bernama al-‘Uqaab.” (an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim, 1/54 – 56).

Imam Mahdi tidak tahu dirinya Imam Mahdi

Sebelum dibaiat sebagai Imam Mahdi, calon Imam Mahdi sama sekali tidak tahu bahwa dirinya adalah al-Mahdi. Sebagaimana dulu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum diutus oleh Allah, dirinya tidak mengetahui akan menjadi nabi.

Kesimpulan ini disampaikan penulis kitab Hilyah al-Basyar, Abdurrazaq al-Bithar. Dalam kitabnya, beliau menyatakan,

ويؤخذ من قوله صلى الله عليه وسلم في المهدي أنه يصلحه الله في ليلته أن المهدي لا يعلم بنفسه أنه المهدي المنتظر قبل وقت إرادة الله إظهاره، ويؤيد ذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم وهو أشرف المخلوقات لم يعلم برسالته إلا وقت ظهور جبريل له بغار حراء

Dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Mahdi  bahwa Allah memperbaikinya dalam semalam menunjukkan bahwa al-Mahdi tidak tahu bahwa dirinnya  itu al-Mahdi yang dinantikan, sebelum waktu Allah menghendaki untuk mengeluarkanya di masyarakat. Kasus ini sejenis dengan apa yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk paling mulia, beliau tidak tahu tentang risalah kenabiannya, hingga Jibril datang menemuinya di gua hira.

Kemudian beliau kembali menegaskan,

فإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم لم يعلم بأنه رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بعد ظهور جبريل عليه السلام له، وقوله: ” اقرأ باسم ربك ” فبالأولى أن المهدي المنتظر لا يعلم بأنه المهدي المنتظر إلا بعد إرادة الله إظهاره

Apabila Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa dirinya adalah utusan Allah kecuali setelah datangnya Jibril ‘alaihis salam kepada beliau dan menyampaikan Iqra, maka lebih layak lagi yang terjadi pada al-Mahdi al-Muntadzar, dia tidak mengetahui bahwa dirinya al-Mahdi kecuali setelah Allah menghendaki untuk ditonjolkan di tengah umat. (Hilyah al-Basyar, 1/358).

Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَهْدِىُّ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ يُصْلِحُهُ اللَّهُ فِى لَيْلَةٍ

Al-Mahdi termasuk golongan kami, ahli bait, Allah memperbaikinya dalam semalam. (HR. Ahmad 655, Ibnu Majah 4223, dishahihkan Ahmad Syakir dan dinilai Hasan oleh al-Albani).

Ada beberapa keterangan ulama tentang makna ‘Allah memperbaikinya dalam semalam’,

Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,

أي يتوب الله عليه، ويوفقه ويلهمه، ويرشده بعد أن لم يكن كذلك

Artinya, Allah menerima taubatnya, memberikan taufiq dan ilham serta petunjuk untuknya, setelah sebelumnya dia tidak seperti itu. (an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim, 1/55).

Keterangan lain disampaikan Imam Ali al-Qori,

“يُصْلِحُهُ اللَّهُ فِي لَيْلَةٍ” أي: يصلح أمره ويرفع قدره في ليلة واحدة أو في ساعة واحدة من الليل ; حيث يتفق على خلافته أهل الحل والعقد فيها

‘Allah memperbaikinya dalam semalam’ artinya Allah memperbaiki urusannya, mengangkat kemualiaannya dalam waktu semalam, dalam satu waktu di malam itu, di mana para tokoh masyarakat sepakat untuk membaiatnya sebagai khalifah. (Mirqah al-Mafatih, )

Dari ‘Ali (bin Abi Thalib) radhiyallahu ‘anhudari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنْ الدَّهْرِ إِلاَّ يَوْمٌ لَبَعَثَ اللهُ رَجُلاً مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَمْلَؤُهَا عَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا

“Bila tidak tersisa dari masa ini kecuali satu hari, tentu Allah akan munculkan seorang lelaki dari ahli baitku (keluargaku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kecurangan.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4283 Kitab Al-Mahdi dan ini adalah lafadznya, Ibnu Majah no. 4085, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi)

Dan dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ؛ يُبْعَثُ عَلَـى اخْتِلاَفٍ مِنَ النَّاسِ وَزَلاَزِلَ، فَيَمْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جُوْرًا وَظُلْمًا، يُرْضِـى عَنْهُ سَاكِنُ السَّمَاءِ وَسَاكِنُ اْلأَرْضِ، يَقْسِمُ الْمَالَ صِحَاحًا.

‘Aku berikan kabar gembira kepada kalian dengan al-Mahdi, yang diutus saat manusia berselisih dengan banyaknya keguncangan. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kelaliman dan kezhaliman sebelumnya. Penduduk langit dan penduduk bumi meridhainya, ia akan membagikan harta dengan cara shihaah (merata).’

Seseorang bertanya kepada beliau, ‘Apakah shihaah itu?’ Beliau menjawab, ‘Dengan merata di antara manusia.’”

Beliau bersabda:

وَيَمْلأُ اللهُ قُلُوْبَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غِنًـى، وَيَسَعُهُمْ عَدْلُهُ، حَتَّى يَأْمُرَ مُنَادِيًا، فَيُنَادِيْ، فَيَقُوْلُ: مَنْ لَهُ فِـي مَالٍ حَاجَةٌ؟ فَمَا يَقُوْمُ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ رَجَلٌ، فَيَقُوْلُ: اِئْتِ السَّدَّانَ -يَعْنِي: الْخَازِنَ-، فَقُلْ لَهُ: إِنَّ الْمَهْدِيَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تُعْطِيْنِيْ مَالاً. فَيَقُوْلُ لَهُ: اِحْثِ، حَتَّـى إِذَا حَجَرَهُ وَأَبْرَزَهُ؛ نَدِمَ، فَيَقُوْلُ: كُنْتُ أَجْشَعَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ نَفْسًا، أَوْ عَجِزَ عَنِّي مَا وَسِعَهُمْ؟ قَالَ: فَيَرُدُّهُ، فَلاَ يُقْبَلُ مِنْهُ فَيُقَالُ لَهُ: إِنَّا لاَ نَاْخُذُ شَيْئًا أَعْطَيْنَاهُ، فَيَكُوْنُ كَذَلِكَ سَبْعَ سِنِيْنَ أو ثَمَانِ سِنِيْنَ أَوْتِسْعَ سِنِيْنَ، ثُمَّ لاَ خَيْرَ فِي الْعَيْشِ بَعْدَهُ أَوْ قَالَ: ثُمَّ لاَ خَيْرَ فِي الْحَيَاةِ بَعْدَهُ.

“Dan Allah memenuhi hati umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan (rasa puas), meliputi mereka dengan keadilannya, sehingga dia memerintah seorang penyeru, maka penyeru itu berkata, ‘Siapakah yang memerlukan harta?’ Lalu tidak seorang pun berdiri kecuali satu orang. Dia (al-Mahdi) berkata, ‘Temuilah penjaga (gudang harta) dan katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkan mu untuk memberikan harta kepadaku.’ Kemudian dia (penjaga) berkata kepadanya, ‘Ambillah sedikit!’ Sehingga ketika dia telah menyimpan di pangkuannya dan menampak-kannya, dia menyesal dan berkata, ‘Aku adalah umat Muhammad yang jiwanya paling rakus, atau aku tidak mampu mencapai apa yang mereka capai?’” Beliau berkata, “Lalu dia mengembalikannya dan harta itu tidak diterima, maka para penjaga gudang harta berkata padanya, ‘Sesungguhnya kami tidak menerima apa-apa yang telah kami berikan.’ Demikian-lah yang akan terus terjadi selama tujuh tahun atau delapan tahun atau sembilan tahun, kemudian tidak ada lagi kehidupan yang baik setelah itu.” Atau beliau berkata, “Kemudian tidak ada lagi hidup yang baik se-telahnya.”[Musnad Imam Ahmad (III/37, Muntakhab al-Kanz).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya dengan banyak diringkas, dan diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad-sanadnya, Abu Ya’la dengan sangat diringkas dan para perawi keduanya tsiqat.” Majmaa’uz Zawaa-id (VII/313-314).]

Hadits ini menunjukkan bahwa setelah kematian al-Mahdi akan muncul kejelekan dan berbagai fitnah besar.

Dengan Apa Al-Mahdiy Menghukumi Manusia ?

حدثنا سليمان بن داود الطيالسي حدثني داود بن إبراهيم الواسطي حدثني حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال تكون النبوة فيكم ما شاء الله ان تكون ثم يرفعها إذا شاء ان يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله ان تكون ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله ان يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله ان تكون ثم يرفعها إذا شاء ان يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan kepadaku Daawud bin Ibraahiim Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepadaku Habiib bin Saalim, dari An-Nu’maan bin Basyiir, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda : “Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat/menghilangkannya kalau Allah kehendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj Nubuwwah selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj Nubuwwah”. Kemudian beliau diam” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/273 dan Ath-Thayalisi no. 439; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 5].

Ada satu faedah yang dapat kita ambil dari hadits di atas. Kekhilafahan di akhir jaman (Al-Mahdiy) akan kembali sebagaimana kekhilafahan di era Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang berada di atas manhaj kenabian secara murni (tanpa penyelewengan). Tidaklah mereka beragama dan bersyari’at kecuali dengan agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sudah diketahui secara aksiomatik bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir dan risalahnya adalah risalah terakhir yang akan berlaku sampai hari kiamat.

GEMPA BUMI BUKAN SEKEDAR FENOMENA ALAM


Gempa rahmat bagi orang yang shaleh, pengurangan dosa, penghilang siksa, penyebab khusnul khatimah sebagai syuhada. Gempa adzab bagi orang berdosa, dan peringatan bagi yang masih hidup agar segera bertaubat dan ingat kepada Allah

أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنْ النَّاسِ وَزَلَازِلَ فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا

“Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa.  Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kese-wenang-wenangan dan kezaliman.”  (HR Ahmad)

Sungguh beruntung orang-orang yang concern menyiapkan bekal untuk menghadapi kiamat. Dan sekali lagi, kematian adalah kiamat personal bagi tiap orang. Oleh Rasulullah, orang yang paling baik bekalnya menghadapi kematian, menghadapi kiamat, dialah mukmin yang paling cerdas.

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لَهُ اِسْتِعْدَادًا قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ بِهِمْ أُوْلَئِكَ مِنْ اْلأَكْيَاسِ

“Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya untuk menghadapi kematian itu sebelum turun kepada mereka. Mereka itulah yang termasuk Mukmin yang paling cerdas” (HR. Ibnu Majah, Hakim, Baihaqi, dan Thabrani)

Gempa-gempa ini juga mengingatkan kita bahwa kematian demikian dekat dan bisa datang kepada kita kapan saja. Ia juga sepatutnya mengikis habis kesombongan kita. Karena bangunan setinggi dan sekokoh apapun, bisa luluh lantak oleh guncangan gempa. Jika Allah menghendakinya.

Penyebab Gempa secara syari’at yang menyebabkan bumi menguncangkan tubuhnya dengan cara menjalankan lempengan bumi di atas magma sehingga berguncang menyebabkan gempa. Setiap orang yang beriman wajib meyakini adanya sebab yang menyebabkab akibat. Begitu juga ketika terjadi gempa, maka ada sebabnya yang membuat Allah menggerakkan lempengan bumi yang bagaikan kulit jeruk, sedangkan isi jeruk tersebut adalah magmanya.

Sesungguhnya adzab Allah, ketika menimpa sekelompok masyarakat maka adzab ini mencakup orang baik dan orang bejat, orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan. Semuanya sama-sama mendapatkan hukuman. Bahkan termasuk makhluk yang tidak memiliki dosa dan kesalahan, semacam anak-anak dan binatang sekalipun, mereka turut merasakannya.

Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam hadis, dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا ظهرت المعاصي في أمتي عمهم الله بعذاب من عنده ، فقلت يا رسول الله ، أما فيهم يومئذ أناس صالحون ؟ قال : بلى ، قلت : كيف يصنع بأولئك ؟ قال : يصيبهم ما أصاب الناس ، ثم يصيرون إلى مغفرة من الله ورضوان

“Apabila perbuatan maksiat dilakukan secara terang-terangan pada umatku, maka Allah akan menimpakan adzab-Nya secara merata.” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah di antara mereka saat itu ada orang-orang saleh? Beliau bersabda, “Benar.” Ummu Salamah kembali bertanya, “Lalu apa yang akan diterima oleh orang ini? Beliau menjawab, “Mereka mendapatkan adzab sebagaimana yang dirasakan masyarakat, kemudian mereka menuju ampunan Allah dan ridha-Nya.” (HR. Ahmad 6:304)

Dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, disebabkan perbuatan maksiat yang pernah mereka lakukan. Allah berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Setiap musibah yang menimpa kalian, disebabkan perbuatan tangan kalian, dan Allah memberi ampunan terhadap banyak dosa.” (QS. As-Syuro: 30)

Allah juga menceritakan keadaan umat sebelum kita:

فَكُلّاً أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِباً وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Masing-masing Kami adzab disebabkan dosa mereka. Di antara mereka ada yang kami kirimi angin kencang, di antara meraka ada yang dimusnahkan dengan teriakan yang sangat pekak, ada yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidaklah menzalimi mereka, namun mereka yang bersikap zalim pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

Ibnul Qoyim menjalaskan,
Terkadang Allah memerintahkan bumi untuk begetar, sehingga terjadilah gempa bumi yang besar. Sehingga manusia pada takut, resah, kembali bertaubat, meninggalkan maksiat, dan tunduk dan menyesal kepada Allah. Sebagaimana yang ditegaskan sebagian sahabat, ketika terjadi gempa bumi, beliau mnyatakan,

إن ربكم يستعتبكم

“Sesungguhnya Tuhan kalian menegur kalian.”

Disebutkan oleh Imam Ahmad, dari Shafiyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

زلزلت المدينة على عهد عمر فقال : أيها الناس ، ما هذا ؟ ما أسرع ما أحدثتم . لئن عادت لا تجدوني فيها

Pernah terjadi gempa di kota Madinah, di zaman Umar bin Khatab. Maka Umar berceramah, “Wahai manusia, apa yang kalian lakukan? Betapa cepatnya maksiat yang kalian lakukan. Jika terjadi gempa bumi lagi, kalian tidak akan menemuiku lagi di Madinah.”

Diceritakan oleh Ibn Abi Dunya dari Anas bin Malik, bahwa beliau bersama seorang lelaki lainnya pernah menemui Aisyah. Lelaki ini bertanya, “Wahai Ummul Mukminin, jelaskan kepada kami tentang fenomena gempa bumi!” Aisyah menjawab,

إذا استباحوا الزنا ، وشربوا الخمور ، وضربوا بالمعازف ، غار الله عز وجل في سمائه ، فقال للأرض : تزلزلي بهم ، فإن تابوا ونزعوا ، وإلا أهدمها عليهم

“Jika mereka sudah membiarkan zina, minum khamar, bermain musik, maka Allah yang ada di atas akan cemburu. Kemudian Allah perintahkan kepada bumi: ‘Berguncanglah, jika mereka bertaubat dan meninggalkan maksiat, berhentilah. Jika tidak, hancurkan mereka’.”

Orang ini bertanya lagi, “Wahai Ummul Mukminin, apakah itu siksa untuk mereka?”

Beliau menjawab,

بل موعظة ورحمة للمؤمنين ، ونكالاً وعذاباً وسخطاً على الكافرين ..

“Itu adalah peringatan dan rahmat bagi kaum mukminin, serta hukuman, adzab, dan murka untuk orang kafir.”  (Al-Jawab Al-Kafi, Hal. 87–88)

Dari pernyataan Umar, beliau memahami bahwa penyebab terjadinya gempa di Madinah adalah perbuatan maksiat yang dilakukan masyarakat yang tinggal di Madinah. Pernyataan ini disampaikan kepada para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa mereka sepakat dengan pemahaman Umar radhiallahu ‘anhu.

Hal yang semisal juga telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau bersabda,

إذا اتخذ الفيء دولا ، والأمانة مغنما ، والزكاة مغرما ، وتعلم لغير الدين ، وأطاع الرجل امرأته ، وعق أمه ، وأدنى صديقه ، وأقصى أباه ، وظهرت الأصوات في المساجد ، وساد القبيلة فاسقهم ، وكان زعيم القوم أرذلهم ، وأكرم الرجل مخافة شره ، وظهرت القينات والمعازف ، وشربت الخمور ، ولعن آخر هذه الأمة أولها فليرتقبوا عند ذلك ريحا حمراء وزلزلة وخسفا ومسخا وقذفا وآيات تتابع كنظام بال قطع سلكه فتتابع

“Jika harta rampasan perang dijadikan kas negara (tidak lagi diberikan kepada orang yang ikut perang), amanah dijadikan rebutan, jatah zakat dikurangi, selain ilmu agama banyak dipelajari, lelaki taat kepada wanita dan memperbudak ibunya, orang lebih dekat kepada temannya dan menjauh dari ayahnya, banyak teriakan di masjid, yang memimpin kabilah adalah orang yang bejat (fasik), yang memimpin masyarakat orang yang rendah (agamanya), orang dimuliakan karena ditakuti pengaruh buruknya, para penyanyi wanita tampil di permukaan, khamr diminum, dan generasi terakhir melaknat generasi pertama (sahabat), maka bersiaplah ketika itu dengan adanya angin merah, gempa bumi, manusia ditenggelamkan, manusia diganti wajahnya, dilempari batu dari atas, dan berbagai tanda kekuasaan Allah (musibah) yang terus-menerus, seperti ikatan biji tasbih yang putus talinya, maka biji ini akan lepas satu-persatu.” (HR. Turmudzi, beliau mengatakan: Terdapat hadis semisal dari Ali, hadis ini gharib, tidak kami jumpai kecuali dari jalur ini)

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ زَكَرِيَّا، حَدَّثَنَا عَامِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَخْطُبُ يَقُولُ -وَأَوْمَأَ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ -يَقُولُ: مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فيها -أو المُداهن فِيهَا -كَمَثَلِ قَوْمٍ رَكِبُوا سَفِينَةً، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا وَأَوْعَرَهَا وَشَرَّهَا، وَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوُا الْمَاءَ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَآذُوهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ خَرَقْنا فِي نَصِيبِنَا خَرْقا، فَاسْتَقَيْنَا مِنْهُ، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ تَرَكُوهُمْ وَأَمْرَهُمْ هَلَكوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا جَمِيعًا.

telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Zakaria; telah menceritakan kepada kami Amir r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar An-Nu'man ibnu Basyir r.a. berkhotbah, antara lain ia mengatakan seraya mengisyaratkan kepada telinganya dengan kedua jari telunjuknya (yang maksudnya dia telah mendengar ucapannya itu dari Nabi Saw.):Perumpamaan orang yang menegakkan batasan-batasan Allah dan arang yang melanggarnya serta orang yang berdiplomasi terhadapnya sama dengan suatu kaum yang menaiki sebuah kapal laut. Sebagian 'dari mereka ada yang menempati bagian bawah dari kapal itu, yaitu bagian yang paling tidak enak dan buruk; sedangkan sebagian yang lain menempati bagian atas (geladak)nya.Orang-orang yang menempati bagian bawah kapal itu apabila mengambil air minum harus melalui orang-orang yang bertempat di atas mereka, sehingga mengganggunya. Akhirnya orang-orang yang tinggal di bagian bawah kapal itu mengatakan, "Seandainya saja kita membuat lubang untuk mengambil bagian kita hingga dapat mengambil air dan tidak mengganggu orang-orang yang ada di atas kita.” Jika orang-orang yang berada di atas membiarkan mereka untuk melakukan niatnya itu, niscaya mereka semuanya binasa (karena kapal akan tenggelam).Dan jika orang-orang yang berada di atas mau saling bantu dengan orang-orang yang ada di bawah mereka, niscaya mereka semuanya selamat.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid tanpa Imam Muslim. Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam Bab "Syirkah" dan Bab "Syahadat" (Persaksian). Imam Turmuzi meriwayatkannya di dalam Bab "Fitan" melalui berbagai jalur, dari Sulaiman ibnu Mahran Al-A'masy, dari Amir ibnu Syurahil Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، حَدَّثَنَا خَلَف بْنُ خَلِيفَةَ، عَنْ لَيْث، عَنْ عَلْقَمَة بْنِ مَرْثد، عَنِ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْد، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَاصِي فِي أُمَّتِي، عَمَّهم اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ". فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا فِيهِمْ أُنَاسٌ صَالِحُونَ؟ قَالَ: "بَلَى"، قَالَتْ: فَكَيْفَ يَصْنَعُ أُولَئِكَ؟ قَالَ: "يُصِيبُهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسُ، ثُمَّ يَصِيرُونَ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ"

telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Lais, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Al-Ma'rur ibnu Suwaid, dari Ummu Salamah —istri Nabi Saw.— yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:Apabila perbuatan-perbuatan maksiat muncul di kalangan umatku, maka Allah menimpakan azab dari sisi-Nya kepada mereka secara menyeluruh. Ummu Salamah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah bila di antara mereka terdapat orang-orang yang saleh?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, ikut tertimpa azab pula." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimanakah nasib mereka selanjutnya?" Rasulullah Saw. bersabda, "Orang-orang saleh itu ikut tertimpa azab yang menimpa kaumnya, kemudian mendapat ampunan dan rida dari Allah Swt"
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا حَجَّاج بْنُ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْمُنْذِرِ بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ قَوْمٍ يَعْمَلُونَ بِالْمَعَاصِي، وَفِيهِمْ رَجُلٌ أَعَزُّ مِنْهُمْ وَأَمْنَعُ لَا يُغَيِّرُونَ، إِلَّا عَمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ -أَوْ: أَصَابَهُمُ الْعِقَابُ".

telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Ishaq, dari Al-Munzir ibnu Jarir, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada suatu kaum pun yang mengerjakan kemaksiatan, sedangkan di antara mereka terdapat seorang lelaki yang paling kuat dan paling berpengaruh di antara mereka, lalu ia tidak mencegahnya, melainkan Allah akan menimpakan siksaan kepada mereka secara menyeluruh, atau Allah menimpakan bencana siksaan kepada mereka.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Musaddad, dari Abul Ahwas, dari Abu Ishaq dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ يُحَدِّثُ، عَنْ عُبَيد اللَّهِ بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَل فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي، هُمْ أعَزّ وَأَكْثَرُ مِمَّنْ يَعْمَلُهُ، لَمْ يُغَيِّرُوهُ، إِلَّا عَمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ"

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah; ia pernah mendengar Abu Ishaq menceritakan hadis berikut dari Ubaidillah ibnu Jarir, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali suatu kaum yang dilakukan perbuatan maksiat di kalangan mereka, sedangkan kaum itu lebih kuat dan lebih berpengaruh (lebih mayoritas) daripada orang-orang yang berbuat maksiat, lalu mereka tidak mencegahnya, melainkan Allah akan menimpakan siksaan kepada mereka secara menyeluruh.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Waki’ dari Israil. Juga dari Abdur Razzaq dari Ma'mar, dari Aswad, dari Syarik dan Yunus; semuanya dari Abu Ishaq As-Subai'i dengan sanad yang sama. Ibnu Majah telah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Wakj', dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ أَبِي رَاشِدٍ، عَنْ مُنْذِر، عَنْ حَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ امْرَأَتِهِ، عَنْ عَائِشَةَ تَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا ظَهَرَ السُّوءُ فِي الْأَرْضِ، أَنْزَلَ اللَّهُ بِأَهْلِ الْأَرْضِ بَأْسَهُ". قَالَتْ: وَفِيهِمْ أَهْلُ طَاعَةِ اللَّهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ، ثُمَّ يَصِيرُونَ إِلَى رحمة الله"

telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Jami* ibnu Abu Rasyid, dari Munzir. dari Al-Hasan ibnu Muhammad, dari istrinya, dari Aisyah yang sampai kepada Nabi Saw. Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Apabila kejahatan muncul di muka bumi, maka Allah menurunkan siksa-Nya kepada penduduk bumi. Siti Aisyah r.a. bertanya, "Bagaimanakah nasib orang-orang yang taat kepada Allah di antara mereka?" Rasulullah Saw. bersabda, "Ya ikut tertimpa pula, kemudian mereka beroleh rahmat dari Allah Swt."

Gempa Bumi Termasuk di Antara Tanda Dekatnya Kiamat

Di antara tanda dekatnya kiamat adalah seringnya terjadi gempa bumi. Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تقوم الساعة حتى يقبض العلم ويتقارب الزمان وتكثر الزلازل ، وتظهر الفتن ، ويكثر الهرج ” قيل وما الهرج يا رسول الله ؟ قال : القتل القتل

“Tidak akan terjadi kiamat, sampai ilmu itu diangkat, waktu semakin pendek, banyak gempa bumi, fitnah meraja lela, dan banyak terjadi al-haraj.” Sahabat bertanya, apa itu al-haraj? Beliau menjawab: “Pembunuhan, pembunuhan”. (HR. Bukhari)

Bukan Hanya Fenomena Alam!!

Sebagian orang tidak menerima pernyataan gempa sebagai peringatan dari Allah. Mereka beranggapan bahwa gempa sama sekali tidak memiliki kaitan dengan perbuatan dan maksiat manusia. Kejadian gempa itu murni fenomena alam, bukan hukuman tuhan. Beristigfar, bukanlah solusi yang tepat dalam hal ini.

Jawaban pernyataan ini, sesungguhnya Allah menjelaskan bahwa gempa bumi, statusnya sama dengan fenomena alam yang lain. Allah ciptakan fenomena semacam ini untuk menakut-nakuti hamba-Nya, agar merka meninggalkan dosa dan kembali kepada Penciptanya.

Pengetahuan kita tentang sebab gempa tidaklah menihilkan bahwa itu merupakan bagian takdir Allah untuk hamba-Nya disebabkan dosa mereka. Sehingga maksiat inilah yang menjadi pemicu sebab. Ketika Allah menghendaki sesuatu, Allah ciptakan sebabnya dan Allah wujudkan akibatnya. Sebagaimana yang Allah nyatakan,

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra: 16)

Solusi Ketika Terjadi Bencana

Karena itu, bertaqwalah kepada Allah, takutlah kepada Allah, mintalah ampunan kepada Allah. Ingatlah firman Allah,

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآياتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ * وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُلْ لَسْتُ عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ * لِكُلِّ نَبَأٍ مُسْتَقَرٌّ وَسَوْفَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)”. Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: “Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu”.  Untuk setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.” (QS. Al-An’am: 65 – 67)

Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat ke berbagai negara bagian. Isinya:

أما بعد فإن هذا الرجف شيء يعاتب الله عز وجل به العباد ، وقد كتبت إلى سائر الأمصار أن يخرجوا في يوم كذا ، فمن كان عنده شيء فليتصدق به فإن الله عز وجل قال : (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى* وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) وقولوا كما قال آدم : (( قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ) وقولوا كما قال نوح : (( وإلا تغفر لي وترحمني أكن من الخاسرين )) وقولوا كما قال يونس : (( لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين ))

Amma ba’du, sesungguhnya gempa yang terjadi ini merupakan teguran dari Allah kepada hamba-Nya. Saya telah mengirim surat ke berbagai daerah untuk keluar pada hari tertentu. Siapa yang memiliki sesuatu, hendaknya dia sedekahkan. Karena Allah berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى* وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى

“Sungguh beruntung orang yang mengeluarkan zakat. Dia mengingat nama Tuhannya kemudian shalat.”

Dan aku perintahkan mereka untuk mengatakan sebagaimana yang diucapkan Adam:

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Allah, kami telah menzalimi diri kami, jika Engkau tidak mengampuni kami dan merahmati kami, tentu kami akan menjaid orang yang rugi.”

Aku juga perintahkan agar mereka mengucapkan sebagaimana yang dikatakan Yunus:

لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين

Laa ilaaha illaa anta, subhaanaka, sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim. (Al-Jawabul Kafi, Hal. 88)

JEJAK PERJUANGAN KHR SUMOMIHARDHO


Kiai Haji Raden Sumomihardo atau Kiai Sumogunardho adalah pengasuh Pesantren Parakan Kauman,Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, dan dikenal sebagai “Kyai Parak Bambu Runcing”. Bersama KH. Subchi Parakan, ayahanda KH. Muhaiminan Gunardo.

Kiai Sumomihardo bin Kiai Kholil lahir pada tahun 1881 di Kauman, Magelang, Jawa Tengah, dengan nama kecil Raden Gunardo atau Abu Hasan dari keluarga penghulu agama. Ayahnya, kiai Raden Kholil, adalah penghulu bupati magelang.

Demikian pula, kakek beliau, kiai Raden Idris, adalah ajung-penghulu Bupati magelang. Beriku silsilah beliau seperti dicatat oleh putra beliau, Kiai Muhaimin Gunardo: Kiai Sumomihardo bin kiai Kholil bin Raden Aryo Atmodipuro (Kiai Idris) bin Raden Tumenggung Wiryodiningrat bin Sultan, Hamengku Buwono II Yogyakarya (1882).

Silsilah beliau juga terhubung dengan Kiai Nur Iman (BPH Sandiyo) (kakak Sultan Hamengku Buwono I) dan pendiri Pesantren Mlangi, Yogyakarta, sekitar tahun 1760-an. Sejak kecil Kiai Sumomihardo diasuh oleh ayahnya, lalu disekolahkan di sekolah Belanda HIS Magelang,

Sebagaimana lazimnya anak-anak penghulu yang merupakan pejabat pemerintah kolonial Belanda. Namun, karena ayahnya ingin mengkader putranya itu sebagai ulama, beliau kemudian dipondokkan di Pondok Pesantren Punduh Magelang, lalu nyantri di beberapa pesantren di Jawa Timur dan Cirebon.

Setelah menuntut ilmu di beberapa pesantren, Kiai Sumomihardo membangun rumah tangga. Semasa hidupnya beliau menikah tiga kali. Pertama menikah dengan Raden Khadijah, adik kandung KH. R. Amar bin KR. Mursyid, penghulu Parakan, lalu menetap di Parakan, Temanggung. Dari istri pertama ini beliau memperoleh dua orang putri dan seorang putra, yaitu Zubaidah, Muawanah dan Fatchullah.

Setelah istri pertama meninggal dunia pada tanggal 20 Maret 1922 dan dimakamkan di Parakan, beliau menikah lagi dengan Nyai Aminah binti Kiai Darwis (janda H. Afandi) Kauman Parakan. Dari istri yang kedua lahir seorang putri, yaitu Mariyatul Qibtiyah dan seorang putra, yakni Masyudi.

Beberapa tahun kemudian istri kedua ini pun meninggal dunia pada tanggal 14 September 1936 dan dimakamkan di makam Gandik Parakan. Kemudian beliau menikah lagi untuk ketiga kalinya, yakni dengan Nyai Mahwiyah binti Kiai Bahrun (sesepuh ulama Kauman Parakan yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya). Dari istri terakhir ini lahir dua orang putra dan seorang putri: Muhaiminan Gunardho, Sofiyudin Gunardho dan Munawaroh.

Kiai Sumomihardho ikut merintis pendirian pesantren di Kauman Parakan bersama dengan beberapa kiai lainnya, seperti KH. Subchi Parakan (wafat 1959) dan KH. Ali Parakan (wafat 1955). Selain mengajar santri ngaji al-Quran dan kitab-kitab kuning dasar, beliau merupakan yang pertama memberi latihan atau kursus pidato (sesorah) di kalangan santri di Parakan, terutama dalam pertemuan sinoman, yakni perkumpulan komunitas untuk memudahkan anggota-anggotanya dalam mengurus dan memakamkan jenazah anggota keluarga, maupun latihan pidato dalam pasrah penganten (upacara serah terima mempelai pengantin perempuan) dalam adat Jawa.

Ketika organisasi Sarekat Islam (SI) berdiri pada tahun 1909, Kiai Sumomihardho juga ikut bergabung dalam pendirian organisasi keislaman kebangsaan ini di Temanggung pada tahun 1913, serta menjabat ketua pertama Sarekat Islam Temanggung yang bermarkas di Parakan. Beliau lalu menfasilitasi pelaksanaan pertemuan SI di rumah Abdul Kadir Parakan yang dipimpin langsung oleh H.O.S. Cokroaminoto, pimpinan pusat SI, bersama Kiai Sumomihardho. Waktu itu pemimpin SI ini rajin menggelar rapat dan pengkaderan (kader-vorming) di beberapa kota di Jawa.

Setelah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926, beliau juga pernah menjadi sekretaris pertama Syuriyah organisasi ulama itu di Parakan. Sementara Kiai Subchi memegang posisi Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Temanggung, didampingi KH. Ali (pendiri Pesantren Zaidatul Ma’arif Parakan, wafat 1955) sebagai wakil rais dan KH. Nawawi (wafat 1968) bertindak sebagai ketua tanfidziyah pertama.

Keempat ulama perintis NU Temanggung inilah yang kemudian dikenal sebagai “kiai-kiai bambu runcing” di masa revolusi kemerdekaan. Ceritanya waktu itu tentara Sekutu yang dibonceng tentara Belanda dari Semarang merebut kota Magelang di bulan November 1945. Ancaman terhadap keutuhan Republik Indonesia yang baru merdeka mulai terasa di Temanggung.

Sutikwo, Bupati Temanggung, mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat dalam sebuah pertemuan di Pendopo Kawedanan Parakan, dan dihadiri juga H. Sukirman dari partai Masyumi Temanggung dan KH. Siradj Payaman, ulama kharismatik Magelang yang waktu itu mewakili MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia).

Di hadapan para ulama dan tokoh masyarakat tersebut, Sutikwo berkata bahwa tidak lama lagi Belanda akan kembali menjajah Indonesia karena Jepang telah kalah perang melawan sekutu. Bupati Sutikno berharap kepada para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir agar dapat memberikan jalan keluar terbaik, yaitu apakah Belanda akan mereka terima kembali sebagai bangsa penjajah ataukah Belanda akan dilawan begitu mereka masuk ke bumi Temanggung.

Bupati Sutikno mengingatkan para hadirin bahwa jika misalnya mereka sepakat untuk melawan, apakah mereka benar-benar sudah memperhitungkan dengan seksama kekuatan yang mereka miliki karena Belanda mempunyai senjata perang dan bom sedang bangsa kita tidak mempunyai persenjataan sama sekali. Setelah mendengarkan penjelasan Bupati Sutikno tersebut, para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir, tidak ada yang berani angkat bicara, apalagi mau mengajukan usul.

Sampai akhirnya di tengah kesunyian yang mencekam peserta musyawarah ketika itu, ada seseorang yang mengangkat tangan guna memohon waktu untuk menyampaikan buah pikirannya. dan peserta tersebut adalah dari kalangan ulama, bernama Kiai Raden Sumomihardho. "Menurut hemat saya, sebaiknya Belanda kita lawan begitu mereka tiba di bumi Temanggung", demikian usulan berani beliau. "Kita tidak rela diperbudak lagi oleh bangsa penjajah. Perkara hidup dan mati semuanya terjadi atas kehendak Allah. Masalah hidup dan mati itu semua adalah urusan Allah, dan kita memang tidak mempunyai persenjataan seperti yang dimiliki bangsa penjajah, tapi kita punya Allah".

Mendengarkan alasan yang disampaikan oleh Kiai Raden Sumomihardho, akhirnya semua ulama dan tokoh masyarakat yang hadir ketika itu menyetujui pendapat beliau. Setelah itu diputuskan sebuah gerakan pertahanan rakyat yang disebut Gerakan Cucukan atau Gerakan Bambu Runcing. Nama organisasinya adalah Barisan Bambu Runcing atau Barisan Muslimin Temanggung (disingkat BMT) bermarkas di Parakan. Dan Kiai Sumomihardho menjadi salah seorang penasehat laskar rakyat itu bersama Kiai Subchi.

Beberapa hari kemudian para pemuda pejuang datang ke pondok pesantren Kiai Sumomihardho. Mereka disuruh mencari bambu wulung (Gigantochloa atroviolacea, berwarna kehitaman nan kokoh) untuk dibuat bambu runcing, lalu dibawa langsung ke rumah Kiai Sumomihardho untuk diberi doa atau disepuh di setiap hari Selasa Kliwon, agar bertuah dan dapat dijadikan senjata untuk melawan musuh. Sementara bagi pemegang senjata bambu runcing tersebut ada persyaratan. Yakni jika bambu runcing itu telah diberi doa atau sudah disepuh, maka tidak boleh dilangkahi. Sebab sangat berbahaya.

Bambu runcing yang sudah diberi asma' (bacaan khusus dan doa-doa) oleh beliau itu memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, siapa saja yang memegang bambu runcing itu tidak memiliki rasa takut terhadap musuh (tentara penjajah), sementara musuh yang melihat bambu runcing tersebut akan kehilangan akalnya. Menurut penuturan Muhammad Asraf, cicit KH. Subchi dan cucu KH. Abdurrahman bin KH. Subchi, ada cerita tentang penunjukan Kiai Sumogunardho sebagai penyepuh bambu runcing.

Pada waktu itu Kiai Sumogunardho muda pernah meletakkan sebilah bambu di tanah. Teman-teman sebayanya mencoba melangkahi bambu itu. Namun, anehnya, tak ada seorang pun yang berhasil melangkahi bambu itu karena selalu terjatuh. Melihat keampuhannya maka Kiai Sumogunardho didapuk untuk melakukan penyepuhan bambu runcing di masa revolusi kemerdekaan.

Kegiatan penyepuhan bambu runcing lalu dipindah ke markas BMT dari rumah beliau karena tidak mampu menampung ribuan orang yang datang meminta barakah penyepuhan bambu runcing. Ada yang datang dengan kereta api dari berbagai kota-kota di Jawa, bahkan ada yang berjalan kaki berhari-hari dari Solo, malah ada pula yang berasal dari Banyuwangi.

Di saat itu ada pembagian tugas di antara kiai-kiai Parakan dalam prosesi penyepuhan ini. KH. Abdurrohman bin Haji Nur Karang Tengah, Parakan (wafat 1947) memberi asma' nasi diberi gula pasir (sehingga disebut sego manis atau nasi manis) untuk kekebalan; Kiai Ali memberi asma' air keberanian (banyu wani) untuk keberanian dan menghilangkan kecapaian; KH. Subchi sebagai kiai paling sepuh dipercaya memberi doa “Bismillahi bi 'Aunillah”, “Allah Ya Hafizhu”, “Allahu Akbar” (masing-masing lafaz dibaca tiga kali) kepada para anggota laskar pejuang pemegang senjata bambu runcing.

Sementara Kiai Sumomihardho sendiri menyepuh bambu runcing menjadi senjata andalan rakyat kita dalam berperang. Tidak heran, dengan persiapan seperti ini, rakyat kita sudah siap terjun menghadapi musuh bangsa asing.

Di awal Desember 1945 seluruh komponen bangsa di Jawa Tengah, baik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) maupun para pejuang laskar rakyat, akan menyerbu tentara Sekutu dan mengusir mereka dari Ambarawa yang punya posisi strategis kala itu. Jarak ibukota Kabupaten Semarang itu ke Parakan sekitar 40 kilometer. Lebih dari itu, tokoh besar TKR juga hadir ke Parakan. Kiai Saifudin Zuhri maupun Kiai Muhaiminan Gunardo menyebut kedatangan Kolonel Soedirman beserta pasukannya membawa peralatan tempur lengkap.

Panglima Divisi V TKR ini – sebelum menjadi Panglima Besar setahun kemudian – sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas BMT di Parakan dalam perjalanan menuju perang Ambarawa. Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subchi dan Kiai Sumomihardho. Itu terjadi setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR dalam pertempuran Ambarawa gugur diserang Sekutu pada tanggal 26 November 1945.

Komando pertempuran Ambarawa lalu diambilalih oleh tentara kader PETA ini. Maka meletuslah pertempuran yang dikenal dengan Palagan Ambarawa pada tanggal 12-15 Desember 1945, yang membuat tentara Sekutu menyerah hingga ke Semarang.

Ini bukti bahwa perjuangan bersenjata melawan penjajah bangsa asing bukan hanya milik militer kita, tapi juga milik rakyat kita, yang memiliki semangat, keuletan dan motivasi tinggi untuk ikut berjuang membela kemerdekaan negara Indonesia – dengan mengorbankan segala yang dimiliki. Dimana lagi semangat, keuletan dan motivasi tinggi itu ditempa kalau bukan di kalangan ulama yang memberi mereka modal kepercayaan diri dalam bela agama dan bela negara. Dan itulah peran yang pernah dimainkan oleh Kiai Sumomihardho di masa-masa awal kelahiran Republik Indonesia.

KR. Sumomihardho wafat pada tahun 1946, dalam usia 65 tahun, di rumah kediamannya di Kampung Parak, Kauman, Parakan, lalu dimakamkan di pemakaman Kyai Parak Tsani (Kyai Parak II) yang kini berada di sebelah timur Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing Parakan, Temanggung. Pesantren ini didirikan oleh putra beliau, KH. Muhaiminan Gunardho, di tahun 1980-an khusus untuk melanjutkan perjuangan KH. Sumomihardho Parakan yang dikenal sebagai “Kyai Parak Bambu Runcing”. Wallahu A'lam.

Jejak Sejarah Pangeran Secogati Dan Pangeran Trenggono Kusumo


Prabu Brawijaya mempunyai putra sebanyak 117 orang yang pada waktu itu sebagian besar maíz berada dalam lingkungan keraton Majapahit. Dengan terjadinya perang tersebut maka para pangeran/putra-putra yang masih ada dalam lingkungan istana menjadi terpisah cerai berai meninggalkan istana, ada yang ke pulau Bali, ke Banten, Cirebon, dan lain-lain tersebar di Pulau Jawa termasuk ke Mataram.

Sudah dipastikan bahwa tiap pangeran pasti dikawal oleh para prajurit. Demikianlah seorang putra yang ke-33 bernama Pangeran Djoko Dander disebut Pangeran Damiaking yang sekarang dimakamkan di pesarean raja-raja Mancingan Parangtritis, sesuai dengan daftar putra raja-raja yang ada di Kraton Yogyakarta Adiningrat.

Pangeran Djoko Dander/Damiaking juga meninggalkan kerajaan Majapahit terpisah dengan keluarga lainnya. Tidak dikisahkan selama perjalanannya, tetapi beliau beserta dua orang putra laki-lakinya lengkap dengan pengawalnya. Adapun kedua petra kakak beradik itu bernama Pangeran Secogati dan Pangeran Trenggono Kusumo juga disebut Pangeran Mahesa Duk.

Mereka terdesak oleh musuh hingga masuk hutan belantara Sapuangin. Hutan Sapuangin ádalah hutan yang Belum tersentuh oleh manusia, sébelah utara adalah hutan belantara Segeblog.

Singkatnya Pangeran Djoko Dander/Damiaking deserta dua orang putra dan rombongan tersesat di dalam hutan Sapuangin tersebut. Padahal mereka sepakat akan pergi ke Mataram. Karena lebatnya hutan itu maka terjadilah perpisahan antara rombongan ayah dan rombongan putra, tetapi semua satu tujuan yaitu ke Mataram.

Pangeran Secogati dan Pangeran trenggono Kusumo dapat keluar dari hutan Sapuangin setelah menuju ke arah selatan dan berhenti di sebelah selatan  lereng hutan Sapuangin, karena lelahnya maka diperintahkan istirahat semuanya dan belum ada minat akan pergi ke Mataram. Maka diperintahkan membuat pesanggrahan membuat baturan rumah di lereng tersebut. Karena memang keadaan medannya tersebut aman, sukar diketahui musuh dari segala arah.

Berapa lama ”bebatur” di tempat tersebut tidak diceritakan. Setelah beberapa tinggal di lereng Sapuangin tersebut dan diperkirakan sudah aman maka kakak beradik sepakat melanjutkan perjalanan ke Mataram menyusul ayahnya Pangeran Djoko Dander/Damiaking, dan disinilah awal kisah terjadinya Desa Kaloran.

Kedua kakak beradik berkemas-kemas meninggalkan pesanggrahan tersebut. Sebelum berangkat dikumpulkanlah para pengawal dan sang adik, bersabdalah Pangeran secogati. Titahnya : Tempat pesanggrahan yang akan kita tinggalkan ini besuk kalau sampai kepada zaman yang sudah baik jadilah sebuah desa BATUR karena disinilah kita terpisah dengan Kanjeng Romo kita telah bebatur disini, marilah kita melanjutkan perjalanan!

Pangeran Secogati beserta pengawalnya berangkat dan berjalan kearah selatan dalam rangka menyusul ayahanda ke Mataram. Rombongan itu berjalan terlebih dahulu tidak bersama-sama rombongan sang adik Pangeran Trenggono Kusumo. Kira-kira berjalan antara 300/400 meter rombongan tersebut berhenti sejenak menoleh  ke belakang dengan maksud ingin mengetahui apakah sang adik dan pengawalnya sudah kelihatan. Seperti di ketahui bahwa lereng Sapu angin sebelah selatan terutama memang tidak ada yang datar, medannya bertebing dan banyak parit serta berliku-liku jalannya. Setelah dinantikan beberapa saat sang adik tidak kelihatan maka berangkatlah melanjutkan perjalanan, dan bersabdalah pangeran(dalam bahasa Jawa): ”He para kanca besuk yen tekan rejehing jaman panggonan iki dadio desa lan dak jenengi desa TOLEH, sebab nalika ingsun mandheg ngenteni adhimas, aku noleh ngalor”.

Perjalanan yang sulit dan sukar melalui tebing-tebing dan jurang menurun sangat lambat, akhirnya sampai juga ke bawah. Kesemuanya kelelahan dan berhentilah mereka di suatu tempat sambil melepaskan lelah dan menantikan rombongan Pangeran Trenggono Kusumo. Setelah dinantikan tidak ujung datang maka berangkatlah mereka dan bersabdalah Pangeran Secogati : ”Dianti-anti kok ora ana mula besuk yen tekan jaman kang becik, panggonan iki dadia desa lan dak jenengi desa Antiyono (TIYONO)”.

Berjalanlah mereka ke arah barat, karena arah selatan terhalang sungai dan jurang-jurang. Setelah menyeberangi sungai sampailah mereka ke tempat yang agak datar. Pangeran Secogati hatinya gundah karena adiknya belum juga menyusul dalam bahasa jawa ”melang-melang”, lalu bersabdalah beliau: "Ingsun kok Sumelang, mbok-mbok adhimas kecekel mungsuh, banjur kepiye? Mula ayo padha neruske laku, nggolek papan kang juwero, papan kang dhuwur ben weruhkiwa tengen, mulo besuk tekan rejehing jaman panggonan iki dadia desa lan dak jenengi desa Sumelang (SEMALANG)’.

Perjalanan terus naik keatas arah barat, mencari tempat yang tinggi mungkin bisa melihat dari jauh rombongan yang dinantikan tersebut, dan sampailah ditempat yang tinggi. Di tempat tersebut dapat melihat kemana-mana, ke timur, ke barat, ke selatan ternyata Pangeran Secogati melihat kemana-mana tidak kelihatan. Lama kelamaan mereka juga merasa khawatir karena tempat tinggi dimungkinkan rombongannya juga diketahui musuh. Maka berlindunglah semua rombongan itu. Setelah beberapa lama tidak terjadi sesuatu berangkatlah mereka kearah selatan. Sebelum berangkat bersabdalah pangeran Secogati: ”Para kanca rehning anggo kita ndhelik ngenteni adhimas ana kene iki panggonan iki besuk dadia desa lan dak jenengi desa nDELIK’.

Berjalanlah rombongan Pangeran Secogati itu kearah selatan dan sampailah pada sebuah lereng bukit yang sebelah timur. Sebelum menyeberangi sungai berhentilah sambil melepaskan lelah beristirahat sebentar. Pada waktu istirahat Pangeran Secogati berkata kepada para pengawalnya; ”Demikianlah saudara-saudara, sudah tak ada harapan lagi kita menemukan adik yang saya kasihi, perasaan hatiku mengatakan bahwa kini aku sudah sendirian, kalau dulu saya dan adik terpisah dengan ayahanda, maka sekarang aku sendirian berpisah dengan dinda Mahesa Duk, semoga mereka dalam keadaan selamat”. Sebelum meneruskan perjalanan Pangeran Secogati berkata demikian: ”Para kanca wis cetha yen aku saiki wis ijen ora ketemu/bareng dhimas maneh, mula yen seksenana panggonan iki besuk yen tekan rejehing jaman dadia desa lan dak jenengi desa Ijen (MIJEN)”.

Selanjutnya berjalanlah ke selatan, sampai ketempat yang membingungkan, berputar-putar tiap berjalan selalu kembali ke tempat yang sudah dilalui. Berputar-putar (minger-minger hal tersebut mungkin sudah sangat kelelahan karena berjalan dari hutan Sapuangin dengan keadaan yang masih semak belukar, jadi wajarlah kalau sangat lelah, maka berhentilah dan beristirahat membuat pesanggrahan. Masih di dalam pesanggrahan beberapa hari maka pangeran bersabda lagi: ”Pesanggrahan kan kita enggoni iki dadia desa lan dak jenengi desa Mingger (MENGGOR) sebabkita teka keke iki klidheng mingger-mingger jebule tekan panggonan kang wis kita liwati maneh”.

Kehidupan selama dalam pesanggrahan beberapa hari bahkan beberapa bulan, tiba-tiba ada sekelompok orang yang mengintai dan mengganggu ketenangan Pangeran Secogati tersebut. Akhirnya terjadilah perselisihan berbuntut peperangan antara kedua belah pihak dan berakhir dengan kemenangan Pangeran Secogati. Rombongan lawan itu kisahnya dipimpin oleh Ki Bawang, yang berdomisili sebelah barat sungai. Mereka punya tempat tinggal sebagai kedhatonnya, yang sampai sekarang tempat itu dinamai Kedhaton (sekarang menjadi ladang/alas). Karena pimpinan rombongan tersebut bernama Ki Bawang, maka desa yang sudah ditempati itu oleh Pangeran secogati diberi nama desa BAWANG. Dengan kekalahan Ki Bawang maka ada perjanjian sebagai berikut:

1- Desa Bawang menjadi bawahan/dibawah perintah Pangeran Secogati.
2- Penduduk desa tidak boleh berbesan (ora keno besanan) dengan orang mengor.
3- Tiap-tiap ada orang yang meninggal dari penduduk desa Bawang harus dikuburkan di perkuburan Mengor yang sebelah bawah/barat.

Kehidupan rombongan Pangeran Secogati di Mengor agak lama. Dalam sabdanya Pangeran Secogati demikian; ”Saudar-saudarku saya pikir kita tidak perlu melanjutkan perjalanan ke Mataram, sebab kalau nanti kita sampai di Mataram tidak bersama Dhimas Trenggono Kusumo, pasti mendapat marah dari ayahanda. Dari sebab itu saya bermaksud menetap di sini sambil mencari sisik melik di mana letak Dhimas Mahesa Duk, mudah-mudahan besuk kalau sudah ditemukan kita dapat melanjutkan perjalanan ini. Dan alangkah baiknya mencari tempat yang lebih baik untuk membuat rumah tinggal. Kemudian rombongan itu berjalan lagi ke arah utara mencari tempat yang baik untuk membuat rumah.

Dan diketemukan tanah yang agak datar dan luas, dan dibuatlah rumah untuk Pangeran Secogati dan di sekitarnya untuk para prajurit yang mengawalnya. Dan diperintahkannnya untuk menanam dua buah pohon pala dan dua buah pohon maja di depan rumah sebagai peringatan bahwa tempat tersebut berasal dari Majapahit.

Pangeran Secogati memberi nama semua daerah kekuasaannya itu sebab dari desa yang paling selatan berderetan ke utara (ngalor) adalah menjadi kekuasaannya. Jadi daerah

bawahannya Pangeran Secagati ialah dari Mengor berderet ke utara sampai Batur. Setelah menetap dan tinggal di Pesanggrahan baru, Pangeran Secagati bersabda: ”Kita wis manggon ana ing omah kang nembe kita bangun, tlatahku wiwit seka Mengor tekan Batur kang arahe mengalor ”NGALOR” dak jenengi tlatah ”KALORAN”. Lan pedaleman ingsun iki ya Krajaanku mula uga dak wenehi tetenger ”KRAJAN KALORAN”.

Dusun Krajan sekarang berubah menjadi dusun Kauman, perubahan ini belum lama kira-kira tahun 1940 masih banyak yang menyebut Krajan, hal ini mungkin disebabkan majunya atau banyaknya pemeluk agama Islam sehingga pada lazimnya tempat yang demikian disebut Kauman.

Demikian secara singkat kisah terjadinya Desa Kaloran. Adapun dusun-dusun lain yang termasuk wilayah desa Kaloran seperti Kampung, Papringan, Dukoh, Pongangan, Gembleb, Jrakah dan Balong tidak dapat di kisahkan mungkin merupakan dusun-dusun pemekaran/perluasan wilayah.

Perjalanan Pangeran Trenggono Kusumo

Dalam kehidupan seorang bangsawan merasa tidak nyaman dan punya tekat hendak ngulandoro yaitu keluar dari kehidupan seorang bangsawan menjadi sufi yang diikuti oleh para sahabatnya dalam pengembaraannya. Sesampainya disebuah bukit yang bernama Gunung Beser K. Ageng hendak bertapa/ melakukan semedi untuk mendekatkan diri kepada Sang Yang Widi, dalam pelaksanaan tersebut dijaga oleh para pendereknya. Namun ditengah-tengah melakukan semedi tersebut salah satu dari pendereknya ada yang sakit keras, K. Ageng merasa bertanggung jawab atas kesehatan dari pada cantriknya, terpaksa K. Ageng mencarikan obat guna menyembuhkan, akhirnya K. Ageng turun ke gunung untuk mencari obat dan berjalan menyusuri hutan yang lebat, karena merasa lelah K. Ageng istirahat dan tongkat yang dibawa untuk menyangga berjalannya di tancapkan di tanah, ketika hendak melanjutkan perjalanannya tongkatnya di cabutnya tapi hati K. Ageng dikejutkan oleh air yang keluar dari dimana tongkat tersebut dicabutnya hati K. Ageng bergumam “Subhanalloh” apakah ini obat yang disediakan oleh Alloh untuk penyembuhan cantriknya? Masih dalam perasaan kekagumannya K. Ageng bergegas membuat gumbangan kecil dengan maksut air bisa ngumpul menjadi satu, agar mudah ditadahi K. Ageng membuat pancuran dari bambu wulung untuk bisa mengambil air tersebut. Kemudian K. Ageng dibingungkan kembali bagaimana cara membawa air sampai dimana tempat cantrik menunggunya dengan menahan rasa sakit dan penuh harap, akhirnya memetik selembar daun awar-awar untuk membawa air ke atas bukit dan sesampainya disana langsung diminumkan pada si sakit, dengan izin Alloh penyakit yang di deritanya berangsur-angsur sembuh.

Setelah sembuh K. Ageng hendak meneruskan perjalannya melewati dimana air itu di temukan dan sampai ditempat tersebut K. Ageng berkata “apabila dikemudian hari tempat ini didirikan sebuah perkampungan maka akan kami beri nama “Dusun Kuwarasan” sampai saat ini dusun tersebut menjadi dusun yang besar  dan menjadi sebagian wilayah Desa Muneng, dan mata air yang digunakan untuk mengobati sahabatnya itu sampai sekarang  masih dikeramatkan warga sekitarnya dengan jaro/pagar, pancuran bambu wulung sebagai awal yang digunakan sampai sekarang masih diikuti untuk penggantinya. Saking keramatnya di bulan Mukharam/Suro digunakan mandi oleh peziarah atau penduduk dengan harapan mendapat kesehatan di tahun mendatang. K. Ageng terus melanjutkan perjalanan ke arah utara dan sekitar 300 meter dari sendang merasa kemalaman dan melakukan sholat diatas batu, anehnya batu yang digunakan sholat ada bekas telapak kaki dan tangan sehingga tempat tersebut disebut tapak suci dan wilayah sekitar itu dinamakan “Kewengen” kemalaman).

K. Ageng terus melanjutkan perjalanannya ke arah utara dan sampai di bukit yang kecil perasaan K. Ageng merasa mangu-mangu tapi senang, akhirnya bukit kecil tersebut di tipar dan dibuang ke arah timur, hari demi hari berjalan terus akhirnya berdirilah sebuah perkampungan dan K. Ageng berkenan memberikan nama dari kampung yang didirikan.

Adapun tanah yang dibuang kesebelah timur tersebut di beri nama “Dukuh Tiparan” dan yang dekat bukit yang ditipar diberi nama “Dukuh Manguneng”. Tahun demi tahun berjalan terus, kampung demi kampung berkembang penduduknya semakin banyak sehingga disatukan menjadi sebuah desa yaitu “Desa Muneng” dan di akhir cerita K. Ageng meninggal dunia dan dimakamkan di Dusun Muneng dimana bukit yang ditipar tersebut dijadikan untuk Makam “K. Ageng R. Trenggono Kusumo” dan sampai saat ini juga makam K. Ageng ramai dikunjungi tamu-tamu dari luar daerah untuk mendapatkan berkah atau sarana memanjatkan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan makam tersebut sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya dan dibulan Ruwah dan bulan Maulut diadakan sadranan yang sebagai ungkapan rasa terima kasih atas limpahan rahmat taufik serta hidayahnya yang diberikan oleh Alloh kepada K. Ageng R. Trenggono Kusumo untuk memberikan sawab kepada penduduk disekitarnya agar menjadi lebih tentram, sejahtera dan aman.

Untuk perjalanan Ziarah ke makam R. Trenggono Kusumo diutamakan mandi lebih dulu disendang Kuwarasan terus napak tilas telapak kaki di tapak suci dan baru menuju makam K. Ageng Trenggono Kusumo. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...