Rabu, 03 November 2021

Masalah Impotensi Dan Cara Mengatasinya


Allah perintahkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik. Dengan memenuhi setiap kebutuhannya, baik nafkah lahir, dan tentu saja nafkah bathin. Sebagaimana lelaki juga ingin mendapatkan kenikmatan syahwat, wanita juga ingin mendapatkan kenikmatan batin bersama suaminya.

Allah berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Wanita punya hak (yang harus ditunaikan suaminya sesuai ukuran kelayakan), sebagaimana dia juga punya kewajiban (yang harus dia tunaikan untuk suaminya).” (QS. al-Baqarah: 228)

Karena itulah, yang secara sengaja tidak memenuhi kebutuhan bathin istrinya, sampai menyakiti istrinya, maka suami berdosa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan beberapa sahabatnya yang waktunya hanya habis beribadah, sehingga tidak pernah menjamah istrinya.

Diantaranya, peristiwa yang dialami Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu. Sahabat yang menghabiskan waktunya untuk beribadah.

Aisyah bercerita,
Saya pernah menenui Khoulah bintu Hakim, istrinya Utsman bin Madz’un. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Khoulah suasananya kusam, seperti tidak pernah merawat dirinya. Beliaupun bertanya kepada A’isyah,

يَا عَائِشَةُ، مَا أَبَذَّ هَيْئَةَ خُوَيْلَةَ؟

“Wahai Aisyah, Khoulah kok kusut kusam ada apa?”

Jawab Aisyah,
“Ya Rasulullah, wanita ini punya suami, yang setiap hari puasa, dan tiap malam tahajud. Dia seperti wanita yang tidak bersuami. Makanya dia tidak pernah merawat dirinya.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang untuk memanggil Utsman bin Madz’un. Ketika beliau datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat,

يَا عُثْمَانُ، أَرَغْبَةً عَنْ سُنَّتِي؟ ” قَالَ: فَقَالَ: لَا وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَلَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ، قَالَ: ” فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ، فَاتَّقِ اللهَ يَا عُثْمَانُ، فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَصَلِّ وَنَمْ

“Wahai Utsman, kamu membenci sunahku?”
“Tidak Ya Rasulullah. Bahkan aku selalu mencari sunah anda.” Jawab Ustman.
“Kalau begitu, perhatikan, aku tidur dan aku shalat tahajud, aku puasa dan kadang tidak puasa. Dan aku menikah dengan wanita. Wahai Utsman, bertaqwalah kepada Allah. Karena istrimu punya hak yang harus kau penuhi. Tamumu juga punya hak yang harus kau penuhi. Dirimu punya hak yang harus kau penuhi. Silahkan puasa, dan kadang tidak puasa. Silahkan tahajud, tapi juga harus tidur.” (HR. Ahmad 26308 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Pesan ini juga pernah disampaikan Salman kepada Abu Darda radhiyallahu ‘anhuma, karena beliau tidak pernah tidur dengan istrinya,

إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya dirimu punya hak yang harus kau tunaikan. Tamumu punya hak yang harus kau tunaikan. Istrimu punya hak yang harus kau tunaikan. Berikan hak kepada masing-masing sesuai porsinya.”
Pernyataan Salman ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 2413 dan dishahihkan al-Albani).

Al-Imam Muslim berkata dalam Shahih-nya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya sepertihudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Shahih Muslim no. 1433].

Hudbatuts-tsaub maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa tuntutan pemenuhan ‘nafkah biologis’ (= jima’) seorang istri kepada suaminya merupakan suatu hal yang lumrah, diperbolehkan, dan bahkan disyari’atkan. Dengan adanya ikatan pernikahan, seorang istri mempunyai hak dari suami atas nafkah jima’ dan bersenang-senang.

Lantas bagaimana halnya apabila suami tidak dapat memenuhi karena adanya gangguan atau penyakit seperti impotensi dan semisalnya ? Para ulama telah membahas hal ini.

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata saat membahas cacat yang dapat membatalkan nikah :

فاختلف الفقهاءُ فى ذلك، فقال داود، وابنُ حزم، ومَنْ وافقهما: لا يُفْسَخْ النكاحُ بعيب ألبتة، وقال أبو حنيفة: لا يفسخ إلا بالجَبِّ والعُنَّةِ خاصة. وقال الشافعى ومالك: يُفْسَخُ بالجنونِ والبَرَصِ، والجُذامِ والقَرَن، والجَبِّ والعُنَّةِ خاصة، وزاد الإمام أحمد عليهما: أن تكونَ المرأة فتقاءَ منخرِقة ما بينَ السبيلين، ولأصحابه فى نَتَنِ الفرج والفم، وانخراقِ مخرجى البول والمنى فى الفرج، والقروح السيالة فيه، والبواسير، والنَّاصور، والاستحاضة، واستطلاقِ البول، والنجو، والخصى وهو قطعُ البيضتينِ، والسَّل وَهو سَلُّ البيضتين، والوجء وهو رضُّهما، وكونُ أحدهما خُنثى مشكلاً، والعيبِ الذى بصاحبه مثلُه مِن العيوب السبعة، والعيبِ الحادث بعد العقد، وجهان.
وذهب بعضُ أصحابِ الشافعى إلى ردِّ المرأة بكُلِّ عيبٍ تُردُّ به الجاريةُ فى البيع وأكثرُهم لا يَعْرِفُ هذا الوجهَ ولا مظِنَّتَه، ولا مَنْ قاله. وممن حكاه: أبو عاصم العبادانى فى كتاب طبقات أصحاب الشافعى، وهذا القولُ هو القياس، أو قولُ ابن حزم ومن وافقه.
وأما الاقتصارُ على عيبين أو ستة أو سبعة أو ثمانية دون ما هو أولى منها أو مساو لها، فلا وجه له،

“Para fuqahaa telah berbeda pendapat tentang hal tersebut. Abu Daawud, Ibnu Hazm, dan yang sependapat dengan mereka berdua berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan sama sekali pernikahan dengan sebab adanya cacat’. Abu Haniifah berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan kecuali suaminya terpotong kemaluannya (dikebiri) dan impoten’. Asy-Syaafi’iy dan Maalik berkata : ‘(Pernikahan) dibatalkan dengan sebab gila, kusta, lepra, qaran (= semacam kelainan dari kemaluan seorang wanita akibat adanya daging tumbuh atau semacamnya sehingga tersumbat yang mengakibatkan tidak bisa melakukan jima’), terpotong kemaluannya, dan impoten’. Al-Imam Ahmad menambahkan dari yang telah disebutkan keduanya : ‘Jika si wanita mempunyai kelainan pada kemaluannya karena sobek pembatas antara dua lubang (qubul dan dubur)’. Dan menurut shahabat-shahabatnya termasuk bau busuk yang keluar dari farji dan mulut, robeknya saluran kencing dan mani pada kemaluan, luka nanah pada kemaluan, wasir, sembelit, istihadlah, kencing terus-menerus, najwu (= penyakit/kelainan pada perut sehingga mengeluarkan bau busuk dan kotoran), khashaa (terpotong buah dzakarnya), tidak memiliki buah dzakar, waj’u (buah dzakarnya hancur/rusak), berkelamin ganda, dan cacat-cacat lain yang sejenis dengan tujuh cacat ini yang ada pada suami/istri.

Sedangkan cacat yang terjadi setelah ‘aqad, ada dua pendapat. Sebagian shahabat Asy-Syaafi’iy berpendapat untuk mengembalikan wanita (kepada keluarganya) untuk setiap cacat yang ada yang mana jika cacat itu ada pada seorang budak wanita, boleh dikembalikan kepada tuannya. Kebanyakan shahabat Asy-Syaafi’iy tidak mengetahui alasan dan dalil pendapat ini dan tidak mengetahui siapa yang mengatakannya. Dan dari yang dikatakan Abu ‘Aashim Al-‘Abbaadaaniy dalam kitab Thabaqaat Asy-Syaafi’iy, pendapat ini merupakan hasil dari qiyas, atau pendapat Ibnu Hazm dan orang yang sependapat dengannya.

Adapun pembatasan atas dua, enam, tujuh, atau delapan cacat tanpa cacat lain yang lebih tinggi derajatnya (parah) atau sama, maka pendapat itu tidak punya sandaran/dalil….” [Zaadul-Ma’aad, 5/182; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 3/1406].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

ومن الحقوق الأبضاع، فالواجب الحكم بين الزوجين بما أمر الله ـ تعالى ـ به، من إمساك بمعروف أو تسريح بإحسان‏.‏ فيجب على كل من الزوجين أن يؤدي إلى الآخر حقوقه، بطيب نفس وانشراح صدر؛ فإن للمرأة على الرجل حقًا في ماله، وهو الصداق والنفقة بالمعروف‏.‏ وحقًا في بدنه، وهو العشرة و المتعة؛ بحيث لو إلى منها استحقت الفرقة بإجماع المسلمين، وكذلك لو كان مجبوبًا أو عنينًا لا يمكنه جماعها فلها الفرقة؛ ووطؤها واجب عليه عند أكثر العلماء‏.‏

“Termasuk di antara hak-hak (yang harus dipenuhi) adalah hubungan intim. Maka wajib hukumnya bagi suami suami istri melaksanakannya sesuai dengan perintah Allah ta’ala, termasuk di antaranya mempergauli atau menceraikannya dengan baik. Wajib pula bagi setiap pasangan suami istri untuk memenuhi haknya satu dengan lainnya dengan ikhlash dan lapang dada. Sesungguhnya bagi seorang wanita mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suaminya) dari harta yang berupa mahar dan nafkah secara ma’ruf, dan hak badan yang berupa jima’ dan bersenang-senang – dimana jika hak-hak tersebut tidak bisa dipenuhi, maka istrinya berhak menuntut cerai berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Begitu pula apabila suaminya terpotong kemaluannya atau impoten sehingga tidak memungkinkan untuk berjima’, maka si istri juga berhak menuntut cerai. Hal itu dikarenakan menggauli (menjimai) istri hukumnya wajib menurut kebanyakan ulama” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/383].

وكذلك يوجب العقد المطلق سلامة الزوج من الجَبّ والعِنَّة عند عامة الفقهاء‏.‏ وكذلك يوجب عند الجمهور سلامتها من موانع الوطء كالرتق، وسلامتها من الجنون، والجذام، والبرص‏.‏ وكذلك سلامتهما من العيوب التي تمنع كماله، كخروج النجاسات منه أو منها، ونحو ذلك، في أحد الوجهين في مذهب أحمد وغيره ‏‏

“Begitu pula diwajibkan dalam akad pernikahan yang bersifat mutlak, yaitu bebasnya seorang suami dari cacat terpotong kemaluannya dan impotensi menurut jumhur fuqahaa’. Selain itu juga bebas dari penghalang untuk bisa berjima’ seperti tertutupnya lubang kemaluan (ratq), bebas dari gila, lepra, dan kusta. Juga bebas dari cacat yang menghalangi kesempurnaannya seperti keluarnya najis dari kemaluan laki-laki atau wanita; dan yang lainnya. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan lainnya…” [idem, 29/175].

Apabila seorang suami menderita cacat impotensi setelah menjalani bahtera pernikahan, maka dalam hal ini suami diberi tenggang satu tahun. Jika setelah tenggang waktu itu ia belum sembuh, maka istri berhak menuntut cerai.

نا أبو طلحة نا بندار نا عبد الرحمن نا سفيان عن الركين بن الربيع قال : سمعت أبي وحصين بن قبيصة يحدثان عن عبد الله قال يؤجل سنة فإن أتاها وإلا فرق بينهما

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thalhah : Telah mengkhabarkan kepada kami Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Ar-Rukain bin Ar-Rabii’, ia berkata : Aku mendengar ayahku dan Hushain bin Qabiishah menceritakan dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3814; sanadnya shahih].

حدثنا أبو طلحة حدثنا بُندار حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن الركين عن أبي النعمان قال : أتينا المغيرة بن شعبة في العنين، فقال : يؤجل سنة

Telah menceritakan kepada kami Abu Thalhah : Telah menceritakan kepada kami Bundaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman, dari Sufyaan, dari Ar-Rukain, dari Abun-Nu’maan, ia berkata : “Kami mendatangi Al-Mughiirah bin Syu’bah (untuk bertanya) tentang orang yang impoten. Lalu ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3815; kemungkinan Abun-Nu’maan ini bernama Nu’aim bin Handhalah atau dikatakan juga An-Nu’maan bin Handhalah atau dikatakan juga nama yang lainnya. Jika benar ini adalah ia, maka shahih].

حدثنا علي أنا شعبة قال سألت قتادة وحمادا فقالا يؤجل سنة في العنين

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Qataadah dan Hammaad (tentang orang yang impotensi), mereka berdua berkata : “Diberikan waktu satu tahun bagi orang yang impoten” [Musnad Ibni Ja’d no. 1039; sanadna shahih].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

أن كُلَّ عيب ينفِرُ الزوجُ الآخر منه، ولا يحصُل به مقصودُ النكاح مِن الرحمة والمودَّة يُوجبُ الخيارَ، وهو أولى مِن البيع، كما أن الشروطَ المشترطة فى النكاح أولى بالوفاءِ مِن شروط البيع، وما ألزم اللَّهُ ورسولُه مغروراً قطُّ، ولا مغبوباً بما غُرَّ به وغُبِنَ به، ومن تدبَّر مقاصد الشرع فى مصادره وموارِده وعدله وحِكمته، وما اشتمل عليه مِن المصالح لم يخفَ عليه رجحانُ هذا القول، وقربُه من قواعد الشريعة.

“Bahwasannya setiap cacat yang dapat membuat lari pasangannya darinya serta (keberadaan faktor yang) tidak dicapai dengannya tujuan pernikahan yaitu (terwujudnya) cinta dan kasih-sayang; maka mengkonsekuensikan pilihan (untuk meneruskan rumah tangga atau melakukan perceraian). Dan itu lebih dikedepankan daripada akad jual-beli sebagaimana keberadaan syarat yang dipersyaratkan dalam pernikahan lebih dikedepankan untuk dipenuhi daripada persyaratan jual-beli. Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan orang yang tertipu dan terpedaya menerima sesuatu yang tidak diinginkan. Dan barangsiapa yang mentadaburi/memikirkan tujuan-tujuan syari’at berupa prinsip-prinsip keadilan dan hikmah dari suatu hukum dan maslahat-maslahat yang terkandung di dalamnya, tentu tahu kuatnya pendapat ini dan sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at yang ada” [Zaadul-Ma’aad, 5/183].

Al-Imam Al-Qodhi 'Iyadh -rahimahullah- berkata,

اتَّفَقَ كَافَّةُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ حَقًّا فِي الْجِمَاعِ، فَيَثْبُتُ الْخِيَارُ لَهَا إِذَا تَزَوَّجَتِ الْمَجْبُوبَ وَالْمَمْسُوحَ جَاهِلَةً بِهِمَا، وَيُضْرَبُ لِلْعِنِّينِ أَجَلُ سَنَةٍ لِاحْتِمَالِ زَوَالِ مَا بِهِ.

"Para ulama sepakat bahwa seorang wanita punya hak dalam hal jimak. Karenanya, telah tetap baginya pilihan (antara pisah dan tidak), jika ia menikah dengan suami yang kehilangan pelir atau kehilangan kemaluan dalam kondisi ia tak tahu (sebelumnya); dan bagi suami yang impoten diberi masa tenggang selama setahun, karena masih mungkinnya hal itu hilang." [Lihat FathulBari (9/468)]

Al-Imam Utsman Ibnush Sholah -rahimahullah- berkata,

لا يثبت لها الفسخ بعد ثبوت التعنين حتى يضرب له الحاكم أجل سنة فإذا مضت السنة ولم يطأها فلها الفسخ بحكم الحاكم والله أعلم

"Tidak sah baginya fasakh setelah jelasnya padanya impotensi sampai pemerintah menetapkan bagi suami (masa tenggang) selama setahun. Jika setahun telah berlalu dan ia tak mampu menggauli istri, maka istri berhak menggugat fasakh berdasarkan keputusan pemerintah, wallahu a'lam."[Lihat Fatawa Ibnish Sholaah (jld. 1/hlm. 72)]


Syaikh Athiyyah Shoqr Al-Mishriy -rahimahullah- berkata dalam kumpulan fatwa ulama Al-Azhar,

وإذا ظهر أن بالزوج عيبا يمنع الإنجاب . كأن كان مجبوبا -أى مقطوع الذكر-أو عنينا - أى غير قادر على الجماع لضعف خلقى أو كبر السن مثلا-أو خصيا-أى مقطوع الخصيتين -فللزوجة أن ترفع الأمر إلى القضاء لطلب التفريق بينه وبينها ، وإذا ثبت ذلك عند القاضى بأى طريق من طرق الإثبات أمر الزوج بتطليقها ، فإن لم يطلقها ناب عنه القاضى فى تطليقها منعا للضرر الذى يلحقها -وهذا الطلاق يكون بائنا بينونة صغرى

"Jika tampak bahwa pada suami ada aib yang menghalangi terjadinya kelahiran, misalnya: suami terputus dzakarnya atau ia impoten (ia tak mampu berjimak) karena kelemahan fisik, atau lansia –misalnya-, atau terputus pelirnya, maka si istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan demi meminta adanya pemisahan antara suami dan istri. Jika hal itu terbukti di sisi hakim dengan suatu metode diantara metode-metode pembuktian, maka suami diperintah untuk menalak istrinya. Jika ia tidak mentalaknya, maka suami diganti oleh hakim dalam sang istri demi mencegah madhorot yang akan menimpa istri. Talak ini merupakan talak ba'in shugro."[Lihat Fatawa Al-Azhar (10/89)]

Al-Imam Abdullah bin Mahmud bin Mawdud Al-Maushiliy Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata,

فإذاكان الزوج عنينا وخاصمته المرأة في ذلك أجّله القاضي سنة فإن وصل إليها، وإلا فرق بينهما إن طلب المرأة ذلك، لأن لها حقا في الوطء فلها المطالبة به ، ويجوز أن يكون ذلك لمرض ، ويحتمل أن يكون لآفة أصلية فجعلت السنة معرفة لذلك لاشتمالها على الفصول الأربعة ؛ فإن كان المرض من برودة أزاله حر الصيف ، وإن كان من رطوبة أزاله يبس الخريف ، وإن كان من حرارة أزاله برد الشتاء ، وإن كان من يبس أزاله رطوبة الربيع على ما عليه العادة ، وروي ذلك عن عمر وعلي وابن مسعود رضي الله عنهم ، فإذا مضت السنة، ولم يصل إليها علم أنه لآفة أصلية فتخير

"Jika suami impoten, dan istri menggugatnya dalam hal itu, maka hakim memberi masa tempo kepada suami selama setahun. Jika ia telah sampai setahun. Jika ia sudah bisa berhubungan, (maka tidak dipisah). Namun jika tidak mampu, maka dipisah diantara keduanya, jika si istri meminta hal itu. Karena istri punya hak jimak, sehingga ia punya hak tuntutan dalam hal itu.

Impotensi tersebut boleh jadi karena penyakit. Mungkin juga karena gangguan alami, sehingga masa tempo setahun dijadikan sebagai tanda pengenal bagi hal itu, karena setahun itu mencakup empat musim. Jika penyakit impoten itu terjadi karena (pengaruh) dingin, maka ia akan dihilangkan oleh panasnya musim panas. Jika impoten karena kelembaban, maka ia dihilangkan oleh udara kering di musim gugur. Jika impotennya karena  panas, maka ia akan dihilangkan oleh dinginnya musim dingin. Jika impoten karena udara kering, maka ia akan dihilangkan dengan kelembaban musim semi sebagai biasanya. Hal itu (masa tenggang setahun) telah diriwayatkan dr Umar, Ali, Ibnu Mas'ud -radhiyallahu anhum-.

Jika telah lewat setahun, namun suami masih saja belum mampu berjimak dg istrinya, maka diketahuilah bahwa penyakit impotennya (lahir) karena gangguan pembawaan, sehingga si istri diberi pilihan (antara berpisah atau tidak)." [Lihat Al-Ikhtiyar li Ta'lil Al-Mukhtar (3/128-129)]

Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah- berkata,

وَإِذَا وَجَدَتْهُ عَنِيْناً: أُجِّلَ إِلَى سَنَةٍ، فَإِنْ مَضَتْ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ، فَلَهَا الْفَسْخُ

“Jika istri mendapati suaminya impoten, maka ditunda (diberi waktu kesempatan) satu tahun, jika telah berlalu dan suami masih impoten, maka istri berhak menuntut fasakh.”

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj diterangkan bahwa mereka yang terbiasa dengan ejakulasi dini haruslah berusaha untuk menjadi lebih baik. Karena pada hakikatnya ejakulasi dini adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Entah dengan berolah raga ataupun mengatur pola makan dan lain sebagainya. Dengan demikian keutuhan rumah tangga masih layak dan bisa dipertahankan.

وخرج بهذه الخمسة غيرها كالعذيوط بكسر أوله المهمل وسكون ثانيه المعجم وفتح التحتية وضمها ويقال عذوط كعتور وهو فيهما من يحدث عند الجماع وفيه من ينزل قبل الايلاج فلاخيار به مطلقا على المعتمد وسكوتهما فى موضع على ان المرض المأيوس منه زواله ولايمكن معه الجماع فى معنى العنة انما هو لكون ذلك من طرق العنة فليس قسما خارجا عنها.  

Berbeda dengan kasus impoten (unnah) sebagai penyakit yang sangat susah sekali disembuhkan (المرض المأيوس منه زواله ) maka bagi seorang perempuan berhak mengundurkan diri sebagai seorang istri. Artinya jika ternyata seorang suami terbukti impoten maka seorang istri berhak memilih antara meneruskan perkawinannya atau membatalkannya. Akan tetapi ada baiknya bagi istri bersabar barang setahun barangkali ada sebab gangguan psikologis dari organ lain yang diharapkan bisa sembuh.

Seperti kasus yang pernah terjadi pada zaman sahabat Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Al-baihaqy bahwa ada seorang wanita datang kepada Umar mengadukan bahwa suaminya tidak mampu melayani kebutuhan biologisnya. Kemudian Sayyidina Umar memberikan saran agar sang istri memberi waktu satu tahun, dengan harapan penyakit itu dapat disembuhkan. Akan tetapi setelah satu tahun, ternyata sang suami belum juga mampu melayani, dan sang istripun minta untuk diceraikan. Maka kemudian istri punya hak untuk minta cerai.

Air Hujan Untuk Mengobati Berbagai Penyakit Diantaranya Impotensi

Seiring dengan berkembangnya akhir zaman ini, banyak penyakit yang terkendala bagi ummat yang sulit untuk di obatinya. Biasanya penyakit tersebut terjadi pada umur telah berusia lanjut bahkan terkadang rilis bagi pemuda yang berusia muda. Hal ini bukan lain melainkan faktor yang paling banyak adalah disaat kita salah mengkonsumsi makanan yang telah berbaur dengan alat-alat pengawet. sehingga dengan inilah, menjadi efek mudahnya terkena penyakit yang telah beredar pada saat ini. Oleh sebab itu, Maka sedikit kami lansirkan referinsi serta terjemahan kitab yang menyatakan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit dan juga bisa bermanfaat bagi istri yang tidak hamil, lalu akan hamil setelah meminum air ini disertai tidur bersama suaminya, haraplah do'a pada Allah sesungguhnya Allahlah sebaik-baik pertolongan.

Diceritakan sebuah hadits dalam kitab An Nawaadir ; Dari Malaikat Jibril kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang obat super ampuh air hujan;

فائدة ; روي أنه صلى الله عليه وسلم قال: علمني جبريل دواء لا أحتاج معه إلى دواء ولا طبيب ، فقال أبو بكر وعمر وعثمان وعلي رضي الله عنهم ; وما هو يا رسول الله ؟ إن بنا حاجة إلى هذا الدواء . فقال ; يؤخذ شيئ من ماء المطر وتتلى عليه فاتحة الكتاب ، وسورة الإخلاص ، والفلق ، والناس ، وآية الكرسي ، كل واحدة سبعين مرة ويشرب غدوة وعشية سبعة أيام . فو الذي بعثني بالحق نبيا ، لقد قال لي جبريل ; إنه من شرب من هذا الماء رفع الله عن جسده كل داء وعافاه من جميع الأمراض والأوجاع ، ومن سقي منه امرأته ونام معها حملت بإذن الله تعالى “. ويشفي العينين ، ويزيل السحر ، يقطع البلغم ، ويزيل وجع الصدر والأسنان والتخم والعطش وحصر البول ، ولا يحتاج إلى حجامة ولا يحصى ما فيه من المنافع إلا الله تعالى ، وله ترجمة كبير اختصرناها، والله اعلم . ( كتاب النوادر للإمام القليوبي رحمه الله تعالى آمين ، ص ؛ ١٩٤ ).

Artinya: “Faedah”; Diriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda di hadapan para sahabatnya :
“Di ajarkan kepadaku oleh Malaikat Jibril tentang satu obat yang tidak memerlukan kepada obat yang lain dan tidak pula membutuhkan kepada para dokter.

Kemudian sahut Abu Bakar, Umar, Utsman, dan sahabat Ali radhiyallahu an’hum bertanya:
“Apa itu wahai Rasulullah? Sesungguhnya kami sangat membutuhkan obat itu ?”

Kemudian Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata :
“Ambillah secukupnya dari air hujan, lalu bacakanlah surat Al-fatihah, surat Al-ikhlas, surat Al-falaq, surat An-nas dan Ayat Al-Kursi. Setiapnya (masing-masing) dibaca 70 kali, Dan diminum pada pagi dan petang selama tujuh hari.
Demi Dzat yang mengutuskanku dengan yang benar sebagai seorang nabi, kata Rasulullah : Sesungguhnya malaikat jibril telah menyatakan kepadaku:
Barang siapa yang meminum air ini niscaya Allah akan menghilangkan semua penyakit yang ada dalam tubuhnya dan menyembuhkan dari segala penyakit yang ada.

Dan barangsiapa yang memberi air itu untuk istrinya dan tidur bersama istrinya niscaya istrinya akan hamil dengan izin Allah swt.
Dan air tersebut juga dapat menyembuhkan dua mata yang sakit, menghilangkan penyakit sihir, dan menghilangkan dahak dan menghilangkan sakit dada, gigi, pencernaan, sembelit, dan kencing yang tidak lancar.
Dan juga tidak dibutuhkan kepada membekam, serta masih banyak faedah-faedahnya yang lain tidak terhingga kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengenai tentang keutamaan air tersebut ada satu tarjamah besar yang telah kami (mushannif) ringkas. Sesungguhnya Allah Subahanahu wa Ta’ala lah yang maha mengetahui…
(Kitab An-nawadir halaman 194 karya Syaikh Syihabuddin bin Salamah Al-qalyubi)

Adab Bercelana Dan Berpakaian Saat Jima'


Fasal didalam menerangkan sebagian tata krama jima' dan cara yg paling utama di dalam berjima serta apa saja yg berhubungan.

وَاحْذَرْ من الجِمَاعِ فِى الثِّياب # فَهُوَ مِنَ الجَهْلِ بِلا ارْتِياب

"Hindarilah bersegama dengan menggunakan pakaian # itu adalah pekerjaan bodoh, tanpa keraguan"

بلْ كُلُّ مَا عَلَيهَا صَاحَ يُنْزَعُ #وكُنْ مُلاعِباً لهالاتَفْزَعُ

"Melainkan semua pakaian istri dibuka wahai kawan # dan hendaklah kamu bermain main dengannya, dan janganlah kamu takut".

Ibnu Yamun telah memberi isyarah bahwa diantara tata krama seggama adalah suami tidak menyetubuhi istrinya dalam keadaan istrinya menggunakan pakaian. Suami hendaknya melepas semua pakaiannya, kemudian dia bersama istrinya berseggama dalam satu selimut, karena ada hadist yg menerangkan hal tsb.

إذا جَامَعَ أَحَدَكُم فَلَا يَتَجَرَّدَان تَجَرُّدَ الحِمَارَيْنَ

"Apabila salah seorang di antara kalian berseggama dengan istrinya, maka janganlah telanjang, sebagai mana telanjangnya keledai".

Dan adalah Nabi Saw ketika hendak berseggama beliau menggunakan tutup kepala dan melirihkan suaranya serta berkata kepada istrinya: "Hendaklah kamu tenang".

Berkata Iman Khatab,"Dan hendaklah orang yg berseggama selalu menggunakan penutup untuk dirinya dan istrinya, baik ketika menghadap kiblat atau tidak.

Dan didalam kitab madakhil di katakan, bahwa hendaklah suami tidak berseggama dengan istrinya dalam keadaan telanjang. Tanpa ada selembar kainpu yg menutupi keduanya, karena Nabi melarang hal itu dan mencelanya.beliau menyamakan hal itu dengan apa yg dilakukan keledai. Sahab Abu Bakar ra juga menggunakan tutup kepala ketika beliau berseggama dengan istrinya, karena malu kepada Allah Swt.

DUA FAEDAH

Faedah yang pertama: Telanjang ketika tidur memiliki beberapa manfaat. Di antaranya adalah dapat membebaskan tubuh dari panas yg timbul karena gerakan di siang hari, memudahkan untuk membalik balikan tubuh ke kanan dan ke kiri, menimbulkan rasa gembira bagi istri dengan tambahan kemesraan, menjalankan perintah, karena Nabi Saw melarang menyia nyiakan harta dan tidak di ragukan lagi bahwa tidur dengan menggunakan pakaian dapat mempercepat rusaknya pakaian tsb, dan menjaga kebersihan karena pada umumnya pada pakaian tidur terdapat kutu dan binatang yg sejenisnya.

Faedah yg kedua: Berkata sebagian ahli ilmu, bahwa di sunahkan melipat pakaian di waktu malam guna mengembalikan pakaian itu pada keadaan semula dan membaca BASMALAH ketika melipatnya, jika tidak, maka setan akan memakai pakaian tsb di malam hari, sedang pemiliknya memakai disiang hari, dengan demikian akan mempercepat kerusakannya.

Nabi Saw bersabda:"

أُطْوُرْ ثِيابَكم فإنّ الشّيْطَان لا يَلْبَسُ ثَوْباً مَطْوِياً

Lipatlah pakaian kalian, karena sesungguhnya setan tidak mau memakai pakaian yg di lipat".

Adapula hadis yg mengatakan:"

أُطْوُرْ ثِيابَكم تَرْجِعُ إليهَا أروَاحُهَا

Lipatlah pakaian kalian, karena pakaian itu akan kembali pada keadaan semula".

Dan di antara tata krama berseggama adalah sebagai mana yg di terangkan oleh Ibnu Yamun:

مُعَانِقًا مُبَاشِراً مُقّبَلاً # فى غيرِ عَيْنَيْهَا فَهَاكَ وَاقْبَلَا

"Dan hendaklah kamu bercumbu rayu dengan istrimu, janganlah kamu takut". "Merangkul, merapat, dan mencium # selain (mencium) matanya, lakukanlah dan hadapilah".

Maka Ibnu Yamun menjelaskan, bahwasanya di anjurkan bagi seorang suami apabila ia hendak seggama, maka hendaklah ia memulai dengan bersenda gurau dengan istrinya dan juga bermain main dengan istrinya dengan sesuatu yg di perbolehkan, seperti meraba, merangkul, dan mencium selain mata istrinya. Adapun mencium mata maka akan menyebabkan perceraian sebagai mana keterangan yg akan datang. Dan janganlah seorang suami ketika ia seggama dengan istrinya ia melakukannya dalam keadaan lupa diri. Sebagai mana sabda Nabi Saw:

"Janganlah sekali kali ada seseorang di antara kalian yg berseggama dengan istrinya, sebagai mana yg di lakukan hewan, dan hendaklah di antara keduanya menggunakan suatu perantara. Kemudian Nabi di tanya, "Apakah yg di maksud dengan perantara itu?" Nabi menjawab, yaitu mencium dan bercakap cakap dengan bahasa yg indah indah".

Dalam riwayat yg lain. "Jika salah seorang di antara kamu senggama, maka janganlah telanjang bulat sebagai mana telanjangnya kuda"

Sebaiknya saat suami melakukan senggama hendaklah ia memulainya dengan penuh kelemah lembutan sambil berbakap cakap dengan penuh kemesraan dan memberikan ciuman yg penuh dengan kehanggatan. Hal tsb di lakukan karena sesungguhnya wanita cinta kepada pria, sebagai mana pria cinta kepada wanita. Maka jangan sampai suami berseggama bersama istrinya dalam keadaan lupa diri dengan melupakan semua perantara itu. Kalau tidak begitu, maka suami hanya akan dapat memenuhi kebutuhannya saja, sebelum kebutuhan istrinya terpenuhi. Dengan kata lain suami akan mengalami ejakulasi sebelum istri mengalaminya, yg pada akhirnya akan menyebabkan keresahan (ketidak puasan) sang istri atau merusak agamanya (menyebabkan perselingkuhan).

Kebaikan dan kebenaran seluruhnya ada dalam hadis, bahwasanya janganlah sekali kali seorang suami ketika ia hendak seggama dengan istrinya tanpa di dahului dengan bersenda gurau, bermesraan dan bersenang senang. Setelah itu barulah ia bertindak untuk melepaskan keinginannya (berseggama).

Di dalam hadis di katakan: "ada 3 perkara yg termasuk kelemahan, yaitu: seseorang bertemu dengan orang yg ia senangi kemudian ia berpisah sebelum ia mengetahui nama dan nasabnya. Seseorang yg saudaranya ingin menghormatinya, kemudian penghormatan itu di tolaknya. Seorang laki laki yg menggauli hamba sahayanya/ istrinya tanpa di dahului dengan percakapan, bermesraan dan bersenang senang, kemudian ia langsung mencapai puncak ejakulasinya, sementara hamba sahayanya/istrinya sendiri belum terpenuhi kebutuhannya (kebutuhan dalam senggama).

Kemudian Ibnu Yamun berkata:

وَعَكْسُ ذَا يُؤَدّي لِلشِّقَاقِ بَيْنَهُمَا صَاحِ وَلِلفِرَاقِ

"Dan kebalikan (dari tata krama seggama) dapat mendatangkan perselisihan # antara suami istri dan perceraian, wahai sahabat"

Bahwa apa bila seorang suami ketika ia berseggama dengan istrinya tanpa di dahului dengan bermain main (bercumbu rayu) atau tanpa didahului dengan mencium kepala istri atau malah sang suami mencium kedua mata istri, maka hal tsb dapat menyebabkan percekcokan dan perselisihan serta menyebabkan anak yg terlahir dalam keadaan bodoh dan lemah otaknya. Hal itu sebagai mana di jelaskan di dalam kitab An­Nashihah.

Dan datang keterangan, bahwa pahala yang besar didapati bagi suami yang seggama dengan istrinya dengan niat yang baik dan setelah ia melakukan pemanasan pemanasan seperti mencium dan bercumbu rayu.

Dan di antara tata krama jima' adalah, sebagai mana yg di jelaskan oleh Ibnu Yamun dalam syairnya:

وَطَيِّبَنْ فَاكَ بِطَيَّبٍ فَاىِٔحِ # عَلى الدّوَامَ نِلْتُمْ الَمنَاىِٔحِ

"Harumkanlah mulutmu dengan harum haruman # atas selamanya, maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan".

Ibnu Yamun menjelaskan bahwa dianjurkan bagi suami untuk mengharumkan mulutnya dengan sesuatu yg dapat mengharumkan mulut, seperti minyak anyelir, kemenyan, kayu hindi dan sebagainya. Hal ini di lakukan untuk menambah rasa cinta. Dan mengharumkan mulut tersebut tidak hanya di lakukan pada waktu mau berjima' saja, melainkan juga pada setiap waktu, sebagai mana di katakan oleh Ibnu Yamun di dalam syairnya di atas lafaz ALAA DAWAMI "atas selamanya". Dan perkataan Ibnu Yamun FAA_IHIN adalah isim fail dari fiil madhi FAAHA_YAFUHU_ FAIHAN yg artinya bau harum yang menyebar.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa lafaz FAAHA tidak di gunakan kecuali untuk sesuatu yg wangi danharum saja. Dan tidak digunakan untuk sesuatu yg berbau busuk dan menjijikan. Melainkan di katakan ( untuk yg berbau busuk) lafaz HABAT RAIUHA yg artinya: "telah berhembus bau busuk itu", sebagai mana di jelaskan di dalam kitab Almisbah. Dan lafaz WALMANAIHU adalah jama'nya lafaz MUNIHATUN yg artinya pemberian. BEBERAPA FAEDAH Faedah yang pertama, disunahkan bagi wanita hendaklah ia menghias diri dan memakai wangi wangian untuk suaminya.

خيرُالنِّسَاء العِطْرَة المطهَّرَة

Bersabda Nabi Saw: "Sebaik baiknya wanitaa dalah yg selalu menggunakan wangi wangian lagi bersih".

Lafaz AL_ITRU maksudnya adalah: wanita yg suka memakai wangi wangian dari kayu 'ithr, sedangkan ma'na lafaz MUTATOHARAH adalah wanita yg suka membersihkan diri dengan air (mandi).

Dan Syaidina Ali bin Abi thalib Ra: "Sebaik baiknya wanita kalian adalah wanita yg harum baunya dan sedap masakannya, yaitu wanita yg sederhana. Sederhana dalam belanja dan pemeliharaannya (tidak pelit dan tidak boros). Itu semua adalah tindakan karena Alloh, sesungguhnya tindakan yg di landasi karena Alloh itu tidak akan merugi.

Dan  Siti Aisyah Ra: "Adalah kami (kaum wanita) suka membalut kening kening kami dengan pembalut yg telah di beri minyak kesturi. Kemudian jika salah seorang dari kami berkeringat, maka mengalirlah minyak kesturi trb di wajahnya. Dan hal itu dilihat oleh Nabi Saw, dan beliau tidak mengingkarinya".

Di ambil dari perkataan Ibnu Yamun: "Hanya untuk melepas celana dalamnya". Sesungguhnya memakai celana dalam sangat di anjurkan bagi seorang istri. Dan memang demikian (hukum yg benar).

يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِ النَّاظِمِ رَحِمَهُ اللّٰهُ : 《 لِحَلِّهَا السِّرْوَالِ 》 اَنَّ لُبْسَ السَّرَاوِيْلِ مَطْلُوْبٌ فِى حَقِّ الْعَرُوْسِ، وَهُوَ كَذَلِكَ بَلْ يَطْلُبُ فِى حَقِّ الْمَرْأَةِ مُطْلَقًا : فَفِى الْحَدِيْثِ : 《 اَنَّ امْرَأَةٍ صُرِعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، فَانْكَشَفَتْ فَإِذَا هِيَ بِسَرَاوِيْلَ

Mengambil dari perkataan penadzam Rahimahullah tentang lafadz : 《 LIHALLIHAAS SIRWAALI 》 bahwa memakai celana di anjurkan dalam hak pengantin perempuan dan demikian itu adalah akan di anjurkan dalam hak seorang wanita secara mutlak : Maka dalam suatu hadits : 《 sesungguhnya ada seorang wanita yang jatuh pada masa Rasulullh saw, maka tersingkap aurat perempuan tersebut, maka jika di ketahui wanita itu dengan celana

فَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : رَحِمَ اللّٰهُ الْمُتَسَرْوِلاَتُ مِنْ اُمَّتِيْ 》

maka bersabda Nabi saw : Semoga Allah segera memberi rahmat kepada wanita-wanita dari umatku 》

وَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ : يُسْتَحَبُّ لِلْمَرْأَةِ لِبْسُ السَّرَاوِيْلِ اِذَا رَكِبَتْ اَوْ سَافَرَتْ خِيْفَةَ انْكِشَافِ الْعَوْرَةِ اِذَا صُرِعَتْ، وَاَمَّا فِى غَيْرِ رُكُوْبٍ اَوْ سَفَرٍ فَالْمِئْزَرُ شَأْنُهَا

Dan Abdul Malik berkta : disunahkan untuk seorang wanita memakai celana, apabila ia naik kendaraan atau berpergian karena di khawatirkan tersingkap auratnya, jika ia jatuh dan adapun dalam tidak naik kendaraan atau berpergian, maka biasakan memakai kain penutup tentang perihal dirinya

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : رُوِيَ عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، اَنَّهُ لَبِسَ السَّرَاوِيْلَ وَكَانُوْا يَلْبَسُوْنَهُ فِى زَمَانِهِ وَاِذْنِهِ. اِنْتَهَى

Berkata Ibnu Qoyyim : Diriwayatkan dari Rasulullah saw, sesungguhnya memakai celana dan mereka para sahabat memakainya dalam masanya Nabi saw dan Nabi saw mengizinkannya. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat

قَالَ بَعْضُهُمْ : وَمِمَّا يُرَجَّحُ اَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لَبِسَهُ وَاَمَرَ بِهِ

Dan berkata sebagian ulama' : dan dari pendapat yang rajih bahwasannya Nabi saw memakainya celana dan memerintah dengannya

فَقَدْ اَخْرَجَ الْعُقَيْلِيُّ وَابْنُ عَدِيِّ فِى 《 اَلْكَامِلِ 》 وَالْبَيْهَقِيُّ فِى 《 الْاَدَبِ 》 عَنْ عَلِيٍّ مَرْفُوْعًا : 《 اِتَّخَذُوْا السَّرَاوِيْلاَتِ، فَإِنَّهَا مِنْ اَسْتَرِ ثِيَابِكُمْ، وَحَصِّنُوْا بِهَا نِسَاءَكُمْ اِذَا خَرَجْنَ 》. ذَكَرَهُ فِى 《 الْجَامِعِ 》

Maka telah mengeluarkan Al-'Uqailiy dan Ibnu 'Adi dalam kitab 《 AL-KAMIL 》 dan Imam Al-Baihaqi dalam kitab 《AL-ADAB》 dari Syaidina 'Ali secara marfu' : 《 mereka menggunakan celana, maka sesungguhnya dari pakaian yang menutupi mereka dan bentengilah wanita-wanita kalian dengan celana, apabila mereka keluar rumah 》 di sebutnya dalam kitab 《 AL-JAMI' 》

قَالَ السَّيُوْطِيُّ فِى اَوَّلِيَائِهِ : وَاَوَّلُ مَنْ لَبِسَ السَّرَاوِيْلَ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمْ، اَخْرَجَهُ وَكِيْعٌ فِى 《 تَفْسِيْرِهِ 》 عَنْ اَبِى هُرَيْرَةِ. اِنْتَهَى

Dan berkata Imam As-Sayuthi dalam kitab 《 AULIA'NYA 》 : orang pertama orang yang memakai celana adalah Nabi Ibrahim as. Hadits tersebut di keluarkannya lmam Waqi' dalam kitab 《 TAFSIRNYA 》 dari Abi Hurairah ra. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat.

وَذَكَرَ الْعَلاَّمَةُ [ اَبُوْ عَبْدِ اللّٰهِ مُحَمَّدْ بِنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ ] اِبْنُ زِكْرِيْ [ اَلْفَاسِيُّ ] اَنَّ الْإِمَامَ الْجَلِيْلَ الشَّرِيْفَ الْمَاجِدَ الْاَصِيْلَ مَوْلاَنَا عَبْدَ اللّٰهِ بْنِ طَاهِرِ سُئِلَ عَنْ لُبْسِ السَّرَاوِيْلِ، هَلْ هُوَ سُنَّةٌ اَمْ لاَ ؟ فَذَهَبَ اِلَى دَارِ شَيْخِهِ سَيِّدِيْ اَحْمَدَ [ بْنِ عَلِى ] اَلْمَنْجُوْرِ فَسَأَلَ زَوْجَتَهُ فَأَخْبَرَتْهُ اَنَّهُ كَانَ يَلْبَسُهُ تَارَةً وَيَتْرُكُهُ اُخْرَى. فَأَجَابَ السَّائِلَ بِأَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ كَانَ يَلْبَسُهُ تَارَةً وَيَتْرُكُهُ اُخْرَى لِمَا يَعْلَمُهُ مِنْ شِدَّةِ تَجَرُّدِ الشَّيْخِ الْمَذْكُوْرِ لِاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَتَبَحُّرِهِ فِى عِلْمِهِ. اِنْتَهَى

Dan di sebutkan oleh Syaikh Al-'Allamah Abu 'Abdillah bin Muhammad bin 'Abdirrahman bin Zikri Al-Fasi, Bahwa Al-Imam Al-Jalil Asy-Syarif Al-Majid yang di simpulkan oleh tuan kami Abdullah bin Thahir, ditanya tentang memakai celana, apakah sunnah atau tidak ? Maka ia pergi pada rumah gurunya, Syayid Ahmad bin 'Ali Al-Manjuri, maka beliau bertanya kepada istrinya, maka mengabarkan istri gurunya : sesungguhnya suaminya itu kadang-kadang memakainya dan meninggalkannya pada waktu lain, maka Syaikh Abdullah bin Thahir memjawab kepada yang bertanya : Bahwasannya Nabi saw kadang-kadang memakainya dan meninggalkannya pada waktu lain, karena apa yang ia ketahui dari kehebatan kejujuran gurunya yang di sebutkan untuk mengikuti sunnah Nabi saw dan kedalaman dalam ilmunya. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat

وَفى 《 نُزْهَةِ 》 اَلْخَادِمِيِّ مَانَصَّهُ : رُفِعَ لِمُفْتِى الْاِسْلاَمِ فِى الدِّيَارِ الْقُدْسِيَّةِ شَمْسِ الدِّيْنِ مُحَمَّدِ بْنِ اللَّطَفَانِ سُؤَالٌ وَهُوَ [ مِنْ اَلرَّجَزْ ] :

Dan dalam kitab 《 NUZ-HAT 》 karangan Imam Al-Khadimiy apa yang di catatnya : mengangkat pada seorang Mufti Islam dalam desa Qudsiyah yang bernama Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Alla-Thafani yang telah di tanya seseorang dan ia adalah bertanya dari sya'ir bahar rojaznya :

مَاذَا تَقُوْلُ يَاإِمَامَ عَصْرِهِ * يَافَائِقًا بِالْعِلْمِ اَهْلَ دَهْرِهِ

Apa pendapatmu wahai imam semasanya * wahai orang yang unggul dengan ilmu di antara ahli ilmu seangkatannya

اَنْتَ الَّذِى قَدْ حُزْتَ فَضْلاً وَافِرًا * وَفَاحَ مِسْكُ عِطْرِهِ مِنْ نَشْرِهِ

Sungguh engkau yang telah mengukir keutamaan dan kesempurnaan * dan semerbak minyak kasturi yang wanginya dari pancarannya

هَلْ لَبِسَ السِّرْوَالَ طَهَ الْمُصْطَفٰى * وَهَلْ يُسَنُّ لُبْسُهُ بِسَتْرِهِ

Apakah memakai celana adalah dari TOHA AL-MUSH-THOFA * dan apakah di sunahkan memakainya dengan menutupi auratnya

اَمْ لاَ ؟ وَعَجِّلْ بِالْجَوَابِ سَيِّدِيْ * بِسُرْعَةٍ تَحْظَ بِطُوْلِ اَجْرِهِ

Atau tidak ? segeralah dengan jawaban tuanku * dengan cepat akan merasakan dengan keluasan pahalanya

فَأَجَابَ بِمَا نَصَّهُ [ مِنَ الرَّجَزْ ] :

Maka Syaikh menjawab dengan suatu nashihatnya dari sya'ir bahar rojaznya :

اَقُوْلُ : اِنَّ الْمُصْطَفَى قَدِ اشْتَرَى * ذَكَ وَلَمْ يَلْبَسْهُ قَطُّ فِى عُمْرِهِ

Saya berkata : bahwa AL-MUSH-THAFA sungguh membeli celana * itu dan tidak memakainya selama dalam hidupnya

كَمَا الشَّمُوْنِيُّ حَكَى ذَلِكَ فِى * حَاشِيَةِ الشِّفَا فَصَدَّ عَنْ نُكْرِهِ

Sebagaimana Imam Asy-Syamuniy mengisahkan hal itu dalam * kitab 《 HASYIYATUSY SYIFA' 》 maka cegahlah dari mengingkarinya

قَالُوْا : وَمَا فِى الْهَدْيِ مِنْ لِبَاسِهَا * فَذَاكَ سَبْقُ قَلَمٍ لَمْ يَدْرِهِ

Para ulama' berkata : dan apa yang di terangkan dalam kitab 《 AL-HADYI 》 dari memakainya * maka hal itu adalah mendahului tulisan yang tidak dapat di ketahuinya

وَلُبْسُهُ سُنَّةُ اِبْرَاهِيْمَ لاَ * بَأْسَ بِهِ فَالْبَسْ لِاَجْلِ سَتْرِهِ

Dan memakai celana adalah sunnah Nabi Ibrahim as, tidak * apa-apa dengannya, maka pakailah karena untuk menutupi auratnya

JIMA' DALAM BEBERAPA GAYA


Ada istilah “wath’u” (الوطء) dan istilah “jima’” (الجماع), keduanya dimaksudkan untuk hubungan badan atau bersetubuh. Dalam istilah fiqih, jima’ didefinisikan dengan memasukkan kemaluan laki-laki pada kemaluan perempuan sehingga seakan-akan seperti satu kesatuan.

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Dalam hubungan intim suami-istri (antara kalian) itu termasuk sedekah.”

Para sahabat menanggapi, “Kenapa sampai hubungan intim saja bisa bernilai pahala?”

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim, no. 2376)

Berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala seorang pria yang menyetubuhi istri atau budaknya bisa diraih jika didasari niat yang sholeh, yaitu untuk menjaga dirinya atau pula pasangannya agar tidak terjerumus dalam yang haram. Atau jima’ tadi diniatkan untuk menunaikan hak dari pasangannya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Atau hubungan badan tadi bertujuan untuk mencari keturunan sehingga anak-anaknya kelak bisa mewariskan ilmu orang tuanya dan bisa semakin menyemarakkan Islam. Inilah niatan-niatan sholeh yang dimaksud.

Lantas bagaimana jika hubungan badan tersebut hanya ingin memuaskan nafsu syahwat dengan istri atau budak, tidak diniatkan dengan niatan sholeh seperti dicontohkan di atas? Hal ini terdapat khilaf (beda pendapat) di antara para ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu tetap mendapatkan pahala. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu tidak mendapati pahala karena tidak didasari niat yang sholeh saat berhubungan badan. Dalil penguatnya di antaranya adalah hadits berikut,

إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهْوَ يَحْتَسِبُهَا ، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

“Jika seorang muslim berinfak pada keluarganya dengan maksud meraih pahala dari Allah, maka itu dinilai sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351). Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud hadits ini adalah sedekah dan infak secara umum dengan syarat ingin mengharap wajah Allah (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/88). Para ulama yang mengatakan mesti dengan niatan sholeh berkata, “Jika pada infak yang wajib saja disyaratkan meraih pahala Allah, bagaimana lagi dengan jima’ yang asalnya mubah?” Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jima’ yang bisa berpahala adalah jika diniatkan meraih pahala atau didasari niatan sholeh dan tidak sekedar melampiaskan syahwat belaka.

Hendaknya Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu

Inilah alasan kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikahi wanita perawan karena masih bisa untuk bercumbu rayu dengannya sebelum bercinta.

Ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya,

« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا. فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا . فَقَالَ هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ

“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi janda”, jawab Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena engkau bisa bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu mesra denganmu?” (HR. Bukhari, no. 2967; Muslim, no. 715).

مُعَانِقًا مُبَاشِراً مُقّبَلاً # فى غيرِ عَيْنَيْهَا فَهَاكَ وَاقْبَلَا

"Dan hendaklah kamu bercumbu rayu dengan istrimu, janganlah kamu takut". "Merangkul, merapat, dan mencium # selain (mencium) matanya, lakukanlah dan hadapilah".

Boleh-boleh saja suami istri tidak berpakaian sehingga bisa saling melihat satu dan lainnya Hal ini dibolehkan karena tidak ada batasan aurat antara suami istri. Kita dapat melihat bukti hal ini dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

 كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ

“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub” (HR. Bukhari no. 263 dan Muslim no. 321). Al-Hafizh lbnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya.

Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat aurat istrinya. Maka Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1: 364). Sebagai pendukung lagi adalah dari ayat Al Qur’an berikut, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS. Al Mu’minun: 5-6). Ibnu Hazm berkata, “Ayat ini umum, menjaga kemaluan hanya pada istri dan hamba sahaya berarti dibolehkan melihat, menyentuh dan bercampur dengannya.” (Al Muhalla, 10: 33) Sedangkan hadits,

 إِذَا أَتَى أَهْلَهُ فَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ العَيْرَيْن

“Jika seseorang menyetubuhi istrinya, janganlah saling telanjang.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 327 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6: 163. Abu Zur’ah mengatakan Mandal yang meriwayatkan hadits ini adalah keliru).

Penulis Shahih Fiqh Sunnah (3: 188) mengatakan bahwa hadits ini munkar, tidak shahih. Maka asalnya boleh suami istri saling telanjang ketika hubungan intim.

وَاحْذَرْ من الجِمَاعِ فِى الثِّياب # فَهُوَ مِنَ الجَهْلِ بِلا ارْتِياب

"Hindarilah bersegama dengan menggunakan pakaian # itu adalah pekerjaan bodoh, tanpa keraguan"

بلْ كُلُّ مَا عَلَيهَا صَاحَ يُنْزَعُ #وكُنْ مُلاعِباً لهالاتَفْزَعُ

"Melainkan semua pakaian istri dibuka wahai kawan # dan hendaklah kamu bermain main dengannya, dan janganlah kamu takut".

Dalam Kitab Faidh alQadiir I/308

إذا أتى أحدكم أهله) أي أراد جماع حليلته (فليستتر) أي فليتغط هو وإياها بثوب يسترهما ندبا وخاطبه بالستر دونها لأنه يعلوها وإذا استتر الأعلى استتر الأسفل (ولا يتجردان) خبر بمعنى النهي أي ينزعان الثياب عن عورتيهما فيصيران متجردين عما يسترهما (تجرد العيرين) تشبيه حذفت أداته وهو بفتح العين تثنية عير وهو الحمار الأهلي وغلب على الوحشي وذلك حياء من الله تعالى وأدبا مع الملائكة وحذرا من حضور الشيطان فإن فعل أحدهما ذلك كره تنزيها لا تحريما إلا إن كان ثم من ينظر إلى شئ من عورته فيحرم وجزم الشافعية بحل نظر الزوج إلى جميع عورة زوجته حتى الفرج بل حتى ما لا يحل له التمتع به كحلقة دبرها

Apabila salah seorang diantara kalian hendak mendatangi istrinya

artinya berkeinginan menggauli istri halalnya (maka pakailah penutup) artinya disunahkan baginya dan istrinya memakai kain yang dapat menutupi keduanya, yang terkena khithab (perintah menutup) dirinya (suami) bukan istri karena biasanya saat menjalani senggama suami diatas, saat yang diatas sudah memakai penutup dengan sendirinya yang dibawah juga tertutup

(Dan jangan kalian telanjang) artinya keduanya tanpa penutup kain pakaian.

Unsure pelarangan ini disebabkan karena malu dengan Allah, beretika dengan malaikat serta mencegah datangnya syaithan pada keduanya, bila salah seorang dari keduanya melakukan telanjang saat berhubungan hukumnya makruh tanzih kecuali saat disekitar mereka berdua terdapat orang yang dapat melihat aurat keduanya maka hukumnya menjadi haram.

Kalangan syafi’iyyah menilai bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya secara keseluruhan hingga alat kelaminnya bahkan hingga hal yang tidak halal baginya untuk mendatanginya seperti lubang anus istrinya :

نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يقول يأتيها من حيث شاء مقبلة أو مدبرة إذا كان ذلك في الفرج

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki :(QS. 2:223)

Kewajiban seorang suami pada Istrinya Menggaulinya dengan cara apapun?

تتمة يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها أو استمناء بيدها لا بيده

( اعانة الطالبين ج 3 ص 340)

Pada dasarnya bagi suami diperbolehkan melakukan istimta’(bersenang senang) dengan cara apa saja terhadap isteri meskipun dengan cara oral (menghisap bidhir). Yang tidak diperbolehkan adalah istimta' pada dubur.

Menjimak ketika berdiri

واعلم ان الجماع قائما يضر الانسان غاية الضرر ويورث له الخفقان اى اضطراب القلب وذات الجنب والصداع فهذه الامراض قد تحصل تارة على الفور وتارة على التراخى فى اخرالعمر اهـ
( كفاية الاتقياء ص 97)

Kesimpilanya : sesungguhnya menjimak dengan posisi berdiri meski diperbolehkan namun bisa menimbulkan dampak negatif, antara lain bisa menjadikan hati tidak menentu(bingung), sakit lambung, sakit kepala.
Penyakit ini bisa terjadi secara langsung atau menjelang tua.

Fenomena Berpakaian "Sarung Balapan"


Tidaklah dijumpai seorang yang shalat dengan memakai celana panjang dan sarung lalu sarungnya ‘balapan’ kecuali dia adalah seorang ahli sunah alias salafy.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ "،

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah, dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiy, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.

Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].

Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih. 'Utsmaan bin Abi Zur'ah  dalam periwayatan marfuu' telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla'iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a'lam.

Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :

مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء

“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah]

Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :

قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر

“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111].

Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].

أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك " دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه "

Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah  mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis,  hal. 184].

Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :

يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ

“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan,

ومن زبدها هنا قصد اللابس التسنن بإرخاء السراويل و جعل الثوب أقصر منها بقليل فهذا تسنن لا أصل له في الشرع ولا أثارة من العلم تدل عليه

“Di antara penyimpangan yang dilakukan oleh para pemuda shahwah islamiyyah (kebangkitan Islam) dalam masalah pakaian adalah adanya orang yang berpakaian yang dengan sengaja membuat pakaiannya ‘balapan’ (yang satu lebih panjang dari pada yang lain) yaitu dengan memakai celana panjang dan jubah, lalu ujung jubah dibuat sedikit lebih tinggi dari pada ujung celana panjang. Pembiasaan semacam ini tidak ada dalilnya dalam syariat dan tidak ada keterangan ulama yang membenarkannya” (Hadd al Tsaub wa al Uzrah hal 26, cetakan Maktabah al Sunah Kairo cetakan pertama tahun 1421 H).

Semisal dengan apa yang beliau sampaikan adalah kebiasaan sebagian orang di negeri kita yang memakai celana panjang dan sarung, lalu dengan sengaja menjadikan ujung sarung berada sedikit lebih tinggi dari pada celana panjang.

Oleh karena itu, jika ada orang yang sengaja bahkan membiasakan diri membuat sarungnya sedikit ‘balapan’ dengan celana panjangnya karena anggapan bahwa itu adalah ciri seorang ahli sunnah sejati atau ciri khas muslim yang taat maka dia telah melakukan beberapa kekeliruan:

Pertama: Membuat amalan yang mengada-ada. Ingatlah, bahwa di antara bid’ah yang dibuat oleh sebagian orang sufi adalah menjadikan pakaian dari shuf atau wol kasar sebagai ciri khas orang yang zuhud sehingga pada akhirnya mereka merasa bahwa memakai shuf adalah suatu amalan yang berpahala. Tidak jauh dengan hal ini kasus sarung ‘balapan’ dan menjadikannya sebagai ciri khas orang yang shalih.

Kedua: Gaya berpakaian tersebut termasuk libas syuhrah alias pakaian tampil beda dengan umumnya jamaah masjid yang bersarung. Pakaian tampil beda dalam kasus semacam ini adalah suatu hal yang terlarang.

Ketiga: Gaya berpakaian semacam di atas adalah cara berpakaian yang tidak indah dan rapi padahal Allah mencintai keindahan dalam berpenampilan dan berpakaian selama tidak melanggar batasan syariat.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...