Rabu, 03 November 2021

Ziaroh Makam Rosululloh Adalah Ibadah


Sejak masa sahabat sampai saat ini. Umat muslim dari segala penjuru tidak ada henti-hentinya datang ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW terutama setelah menunaikan ibadah haji. Tidak ada satu pun ulama yang mengingkari hal ini. Semua ulama ahlu sunnah yang terpercaya menyepakati bahwa bepergian untuk berziarah ke makam Nabi SAW adalah satu di antara ibadah yang paling utama. Satu dari bentuk pengagungan dan rasa syukur atas jasa besar Rasulullah SAW yang tidak mungkin bisa dibalas.

Adanya sempalan umat Islam yang mengaku mencintai mencintai Nabi SAW namun menyatakan bahwa perjalanan untuk menziarahi makam Nabi SAW adalah perbuatan maksiat sungguh sangat mengherankan. Bukankah aneh, mereka memperbolehkan segala jenis perjalanan baik untuk perdagangan, mengunjungi kerabat dan lainnya namun ketika yang dikunjungi itu adalah tempat jasad mulia Nabi Muhammad SAW, Sang kekasih Allah, mereka justru mengharamkannya dengan sangat keras. Terlebih dalil yang mereka gunakan sangat dangkal dan bertentangan dengan banyak dalil shahih.

Yang benar bahwa melakukan perjalanan ke makam Rasulullah SAW adalah perbuatan yang sangat dianjurkan berdasarkan al Quran, sunnah, qiyas dan Ijma. Kami akan merinci satu per satu dalil-dalil ini.

Di dalam al Quran Allah SWT berfirman :

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا [النساء: 64[

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS an Nisa 64)

Ayat di atas berisi anjuran untuk mendatangi Rasulullah SAW untuk mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Allah SWT. Para ulama, di antaranya adalah Ibnu Hajar dan as Subki menyatakan bahwa ayat ini berlaku baik di masa hidup Nabi SAW mau pun setelah beliau wafat. Siapa yang berpendapat bahwa ayat ini berlaku khusus di masa hidup Nabi SAW saja telah keliru. Selain karena tidak ada dalil yang mengkhususkan, juga karena dalam ayat ini terdapat perbuatan yang digantungkan dengan suatu syarat yakni pengampunan yang digantungkan dengan syarat mendatangi Rasulullah SAW. Dalam kaidah ilmu Ushul dikatakan apabila perbuatan digantungkan dengan satu syarat maka ini menunjukkan makna umum, berarti ayat ini bermakna umum.

Para ulama tafsir sekelas al Qurtubi dan Ibnu Katsir pun memahami keumuman ayat ini. Buktinya setelah membawakan tafsir ayat ini, mereka mendatangkan kisah Utbi mengenai kedatangan seorang Arab ke makam Rasulullah SAW untuk memohon ampun dengan membacakan ayat ini di hadapan makam Rasulullah SAW.  Ini artinya ayat ini masih berlaku setelah wafatnya Rasulullah SAW. Para ulama pun menganjurkan bagi peziarah untuk membacakan ayat ini ketika menziarahi makam Beliau SAW.

Ziaroh Makam Rasulullah Saw

Para pengingkar ziarah ke makam Rasulullah SAW menebar isu bahwa semua hadits yang menganjurkan ziarah kubur adalah dhaif (lemah) bahkan maudhu (palsu) sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Ucapan ini jelas keliru. Yang mengatakannya pasti tidak memiliki pemahaman tentang ilmu hadits dan kaidah jarh wat ta`dil (cacat dan keadilan perawi). Dan yang paling penting isu ini bertentangan dengan fakta yang ada.

Dalam satu hal isu ini benar bahwa hampir semua hadits ini lemah (bukan maudhu), namun perlu diketahui bahwa hadits-hadits lemah apabila memiliki banyak jalur periwayatan dan sebab lemahnya bukan karena perawinya dicurigai berbohong maka derajatnya bisa meningkat menjadi hasan (baik) sehingga bisa menjadi dalil syariat. Imam Adz Dzahabi sebagaimana dikutip dalam al Maghosid al Hasanah ketika menjelaskan masalah hadits ziarah kubur mengatakan, “Jalur-jalur periwayatan hadits ini semuanya lemah namun saling menguatkan satu sama lain karena tidak ada perawi yang dicurigai sebagai pembohong.”

Sebagian hadits-hadits tentang ziarah bahkan dishahihkan oleh beberapa Ahli Hadits terkemuka seperti as Subki, Ibnu Sakan, al Iraqi, Qodhi Iyadh, Mala Ali Qori, Asy Syuyuthi, al Khafaji dan lainnya. Mereka semua adalah para panutan dan imam yang dijadikan sandaran. Para Imam yang empat semuanya menyatakan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW adalah dianjurkan. Jika demikian maka ini cukup menjadi dasar atas shahih dan diterimanya hadits-hadits ziarah. Sebab dalam kaidah ilmu Ushul dan Hadits dikatakan, suatu hadits dhaif (lemah) bisa menjadi kuat bila diamalkan dan difatwakan secara umum.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الدارقطني رقم 2695 والبيهقي في شعب الإيمان رقم 3862)

"Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa berziarah ke makamku, maka wajib baginya mendapat syafaatku" (HR al-Daruquthni No 2695 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 3862)

قَالَ الدَّمِيْرِيُّ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ وَرَوَاهُ الْجَمَاعَةُ مِنْهُمْ الْحَافِظُ أَبُوْ عَلِيِّ بْنُ السَّكَنِ فِي كِتَابِهِ الْمُسَمَّى بِالسُّنَنِ الصِّحَاحِ فَهَذَانِ إِمَامَانِ صَحَّحَا هَذَيْنَ الْحَدِيْثَيْنِ وَقَوْلُهُمَا أَوْلَى مِنْ قَوْلِ مَنْ طَعَنَ فِي ذَلِكَ (حاشية السندي على ابن ماجه 6 / 152)

"al-Damiri berkata: Hadis ini diriwayatkan oleh al-Daruquthni dan yang lain, disahihkan oleh Abdul Haqq. (Hadis lain) diriwayatkan oleh segolongan ulama, diantaranya al-Hafidz Ibnu al-Sakan dalam kitabnya al-Sunan al-Shihah. Kedua imam ini telah menilai sahih pada hadis diatas. Pendapat kedua Imam ini lebih utama daripada pendapat ulama yang menilai lemah pada hadis diatas" (Hasyiah al-Sindi ala Sunan Ibnu Majah VI/152)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يُعْلَمُ لَهُ حَاجَةٌ إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الطبراني في الأوسط 4546 والكبير 12971 وقال الهيثمي فيه مسلمة بن سالم وهو ضعيف اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 3 / 6)

"Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa datang kepadaku yang tidak ada kepentingan kecuali berziarah kepadaku, maka wajib bagiku memberi syafaat kepadanya di hari kiamat" (HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Ausath No 4546 dan al-Kabir No 12971. al-Haitsami berkata: di dalam sanadnya ada Maslamah bin Salim, ia dlaif)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي فِي مَمَاتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي (رواه الطبراني في الكبير 13315 والأوسط 3376 وقال الهيثمي فيه حفص بن أبي داود القارئ وثقه أحمد وضعفه جماعة من الأئمة اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 3 / 6)

"Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa melakukan haji kemudian berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka sama seperti ziarah ketika aku hidup" (HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13315 dan al-Ausath No 3376. al-Haitsami berkata: di dalam sanadnya ada Hafs bin Abi Dawud al-Qari', ia dinilai terpercaya oleh Ahmad dan dinilai dlaif oleh imam yang lain)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ زَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ مَوْتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِي حَيَاتِي (رواه الطبراني في الكبير 13314 والأوسط وقال الهيثمي فيه عائشة بنت يونس ولم أجد من ترجمها اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 3 / 6)

"Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka sama seperti ziarah ketika aku hidup" (HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13314 dan al-Ausath. al-Haitsami berkata: di dalam sanadnya ada Aisyah binti Yunus. Saya tidak temukan biografinya)

حَدِيْثُ مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ (اِبْنُ أَبِي الدُّنْيَا وَالطَّبْرَانِي وَالدَّارُقُطْنِي وَابْنُ عَدِيٍّ مِنْ طُرُقٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ)

"Hadis yang berbunyi 'Barangsiapa berziarah ke makamku, maka wajib baginya mendapat syafaatku.' Diriwayatkan Ibnu Abi al-Dunya, al-Thabrani, al-Daruquthni dan Ibnu Adi dengan banyak jalur riwayat dari Ibnu Umar" (al-Suyuthi dalam kitab al-Durar al-Muntatsirah I/19)

قَالَ الذَّهَبِي طُرُقُهُ كُلُّهَا لَيِّنَةُ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا ِلأَنَّ مَا فِي رُوَّاتِهَا مُتَّهَمٌ بِالْكِذْبِ قَالَ وَمِنْ أَجْوَدِهَا إِسْنَادًا حَدِيْثُ حَاطِبٍ مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي أَخْرَجَهُ ابْنُ عَسَاكِرَ وَغَيْرُهُ (الدرر المنتثرة في الأحاديث المشتهرة للحافظ جلال الدين السيوطي 1 / 19)

Al-Dzahabi berkata: Semua jalur riwayatnya lemah, tapi sebagian menguatkan riwayat yang lain, karena diantara perawinya ada yang dituduh berdusta. Al-Dzahabi berkata: Diantara yang paling baik sanadnya adalah hadis riwayat Hatib: Barangsiapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka sama seperti ziarah ketika aku hidup, diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir dan lainnya" (al-Suyuthi dalam kitab al-Durar al-Muntatsirah I/19)

قَالَ الْبَيْهَقِيُّ طُرُقُهُ كُلُّهَا لَيِّنَةٌ وَلَكِنْ يَتَقَوَّى بَعْضُهَا بِبَعْضٍ (تذكرة الموضوعات للفتني 1 / 75 والفوائد المجموعة للشوكاني 1 / 117)

"al-Baihaqi berkata: Semua jalur sanadnya lemah, namun sebagian riwayat memperkuat riwayat yang lain" (al-Fatanni dalam Tadzkirat al-Maudlu'at I/75 dan al-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu'ah I/117)

(فَائِدَةٌ) طُرُقُ هَذَا الْحَدِيْثِ كُلُّهَا ضَعِيْفَةٌ لَكِنْ صَحَّحَهُ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ عُمَرَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ السَّكَنِ فِي إِيْرَادِهِ إِيَّاهُ فِي أَثْنَاءِ السُّنَنِ الصِّحَاحِ لَهُ وَعَبْدُ الْحَقِّ فِي اْلأَحْكَامِ فِي سُكُوْتِهِ عَنْهُ وَالشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْنِ السُّبْكِي مِنَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ بِاعْتِبَارِ مَجْمُوْعِ الطُّرُقِ وَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِي ذَلِكَ مَا رَوَاهُ أَحْمَدُ (10827) وَأَبُوْ دَاوُدَ (2041) مِنْ طَرِيْقِ أَبِي صَخْرٍ حُمَيْدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُسَيْطٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أّرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَبِهَذَا الْحَدِيْثِ صَدَرَ الْبَيْهَقِي اْلبَابَ (تلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير للحافظ ابن حجر 2 / 570)

"Semua jalur riwayat ini adalah dlaif, tetapi hadis riwayat Ibnu Umar disahihkan oleh Ibnu al-Sakan karena ia mencantumkannya dalam kitab karnya yaitu al-Sunan al-Shihah, juga disahihkan oleh Abdulhaqq dalam kitabnya al-Ahkam dan ia tidak memberi komentar, juga oleh Syaikh Taqiyuddin al-Subki dari ulama akhir dengan metode akumulasi seluruh riwayat. Hadis yang paling sahih terkait ziarah ke makam Rasulullah Saw adalah riwayat Ahmad (10827) dan Abu Dawud (2041) dari Abu Hurairah secara marfu': Tidak seorangpun yang mengucap salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruh kepadaku hingga aku menjawab salam kepadanya. Dengan hadis inilah al-Baihaqi (dalam kitab al-Sunan al-Kubra No 0569) mendahulukan bab tentang ziarah ke makam Rasulullah" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Talkhish al-Habir II/470)

وَأَكْثَرُ طُرُقِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ وَإِنْ كَانَتْ ضَعِيْفَةً لَكِنْ بَعْضُهَا سَالِمٌ عَنِ الضُّعْفِ الْقاَدِحِ وَبِالْمَجْمُوْعِ يَحْصُلُ الْقُوَّةُ كَمَا حَقَّقَهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِي التَّلْخِيْصِ الْحَبِيْرِ وَالتَّقِيُّ السُّبْكِيُّ فِي كِتَابِهِ شِفَاءِ اْلأَسْقَامِ فِي زِيَارَةِ خَيْرِ اْلأَنَامِ وَقَدْ أَخْطَأَ بَعْضُ مُعَاصِرِيْهِ وَهُوَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ حَيْثُ ظَنَّ أَنَّ اْلأَحَادِيْثَ الْوَارِدَةَ فِي هَذَا الْبَابِ كُلَّهَا ضَعِيْفَةٌ بَلْ مَوْضُوْعَةٌ(هامش الموطأ - رواية محمد بن الحسن - 3 / 448)

"Kebanyakan jalur riwayat tentang hadis ziarah ke makam Rasulullah kendatipun dlaif, namun sebagiannya tidak sampai pada status yang sangat dlaif, dan secara akumulasi (keseluruhan) hadis tersebut berstatus lebih kuat, sebagimana dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Talkhish al-habir dan Taqiyuddin al-Subki dalam Syifa' al-Asqam. Ada seorang ulama yang satu masa dengan al-Subki, yaitu Ibnu Taimiyah, telah melakukan kesalahan dengan prasangkanya bahwa hadis-hadis tentang ziarah ke makam Rasulullah kesemuanya adalah dlaif bahkan palsu" (Hamisy al-Muwaththa' III/448)

قَالَ أَعْنِي ابْنَ حَجَرٍ وَبِالْجُمْلَةِ فَقَوْلُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ "مَوْضُوْعٌ" غَيْرُ صَوَابٍ (فيض القدير شرح الجامع الصغير للمناوي 6 / 181)

"Ibnu Hajar berkata: Secara global perkataan Ibnu Taimiyah: 'Hadis ini palsu', adalah tidak benar" (al-Munawi dalam Faidl al-Qadir VI/181)

سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمُسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ (العلل ومعرفة الرجال لاحمد بن حنبل 2 / 492 رقم 3243)

"Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari berkah dengan memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya dengan makam Rasulullah seperti diatas dan sebagainya. Ia lakukan itu untuk mendekatkan dir kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: Tidak apa-apa" (Ahmad bin Hanbal al-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243)

Imam Nawawi menjelaskan tatacara dan etika dalam berziarah dan bertawassul di makam Rasulullah Saw:

ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى مَوْقِفِهِ اْلاَوَّلِ قِبَالَةَ وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَوَسَّلُ بِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَيَسْتَشْفِعُ بِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَمِنْ أَحْسَنِ مَا يَقُوْلُ مَا حَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْقَاضِي أَبُوْ الطَّيِّبِ وَسَائِرُ أَصْحَابِنَا عَنِ الْعُتْبِيّ مُسْتَحْسِنِيْنَ لَهُ (المجموع شرح المهذب للامام النووي 8 / 274)

"Kemudian hendaknya peziarah kembali ke tempat semula seraya menghadap kearah Rasulullah Saw, bertawassul kepada beliau untuk dirinya dan meminta syafaatnya kepada Allah. Dan diantara yang paling baik untuk dibaca saat ziarah adalah bacaan dari al-Utbi sebagaimana disampaikan oleh al-Mawardi, al-Qadi Abu al-Thayyib dan seluruh ulama Syafi'iyah, mereka semua menilainya baik" (Imam al-Nawawi dalam al-Majmu' VIII/274)

وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمُ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرِ بْنِ الصَّبَّاغِ فِي كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِي قَالَ كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوْا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوْا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا } وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّي ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:

يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْبقَاعِ أَعْظُمُهُ ... فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ

نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ ... فِيْهِ الْعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ

ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِى اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ(تفسير ابن كثير 2 / 347 وتفسير الوسيط لمحمد الطنطاوي شيخ الازهر 3 / 201 بصيغة الجزم والامام النووي في المجموع 8 / 217 والايضاح 498والامام ابن قدامة المقدسي في المغني 3 / 556والشرح الكبير 3 / 497 والشيخ منصور البهوتي في كشاف القناع على متن الاقناع 5 / 30)

"Golongan para ulama diantaranya Ibnu al-Shabbagh dalam kitab al-Syamil, menyebutkan kisah yang masyhur dari 'Utbi. Ia berkata: Saya duduk di samping makam Rasulullah Saw, kemudian datang seorang A'rabi dan berkata: Salam sejahtera atasmu wahai Rasulullah. Saya mendengar bahwa Allah berfirman: ""Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64). Saya datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolongan kepada Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair:

"Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Disana terdapat kesucian, kemurahan dan kemulian"

Lalu A'rabi itu pergi. Kemudian saya tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah Saw dan beliau berkata: Wahai 'Utbi, kejarlah si A'rabi tadi, sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya" (Tafsir Ibnu Katsir II/347, Tafsir al-Wasith karya Guru Besar al-Azhar, Muhammad al-Thanthawi III/291, al-Majmu' VIII/217 dan al-Idlah 498 karya Imam al-Nawawi, al-Mughni III/556 dan al-Syar al-Kabir III/497 karya Ibnu Qudamah al-Hanbali dan Kisyaf al-Qunna' V/30 karya al-Bahuti)

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَدِمَ عَلَيْنَا أَعْرَابِيٌّ بَعْدَ مَا دَفَنَّا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فَرَمَى بِنَفْسِهِ عَلَى قَبْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَثَا عَلَى رَأْسِهِ مِنْ تُرَابِهِ فَقَالَ قُلْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَسَمِعْنَا قَوْلَكَ وَوَعَيْتَ عَنِ اللهِ فَوَعَيْنَا عَنْكَ وَكَانَ فِيْمَا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْكَ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ) اْلآيَةَ وَقَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَجِئْتُكَ تَسْتَغْفِرُ لِي فَنُوْدِيَ مِنَ الْقَبْرِ أَنَّهُ قَدْ غُفِرَ لَكَ (تفسير القرطبي 5 / 265 والبحر المحيط لابي حيان الاندلسي 3 / 694 وخلاصة الوفا بأخبار دار المصطفى لعلي بن عبد الله السمهودي 1 / 45 وسبل الهدى والرشاد لصالحي الشامي 12 / 390)

"Dari Ali, ia berkata: Seorang A'rabi datang kepada kami setelah 3 hari kami menguburkan Rasulullah Saw. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke makam Rasulullah Saw dan menaburkan debu ke kepalanya sambil berkata: Engkau berkata wahai Rasullah lalu kami mendengar perkataanmu. Engkau menerima ajaran dari Allah, dan kami menerima darimu, dan diantara yang diturunkan Allah kepadamu adalah: "Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64). Sungguh saya telah menganiaya diri sendiri dan saya datang kepadamu agar engkau mohonkan ampunan bagiku. Lalu laki-laki A'rabi itu dijawab dari dalam makam Rasullah Saw bahwa: Kamu telah diampuni" (Tafsir al-Qurthubi V/250, al-Bahr al-Muhith III/694 karya Abu Hayyan, Khulashat al-Wafa I/45 karya al-Sumhudi dan Subul al-Huda wa al-Rasyad XII/390 karya Shalihi al-Syami)

قَالَ ابْنُ الْمُقْرِئِ كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُوْ الشَّيْخِ بِالْمَدِيْنَةِ فَضَاقَ بِنَا الوَقْتُ فَوَاصَلْنَا ذَلِكَ اليَوْمَ فَلَمَّا كَانَ وَقتُ العِشَاءِ حَضَرْتُ الْقَبْرَ وَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ فَقَالَ لِي الطَّبْرَانِيُّ اِجْلِسْ فَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوِ الْمَوْتُ فَقُمْتُ أَنَا وَأَبُوْ الشَّيْخِ فَحَضَرَ اْلبَابَ عَلَوِيٌّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذَا مَعَهُ غُلاَمَانِ بِقَفَّتَيْنِ فِيْهِمَا شَيْءٌ كَثِيْرٌ وَقَالَ اَشَكَوْتُمْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ رَأَيْتُهُ فِي النَّوْمِ فَأَمَرَنِي بِحَمْلِ شَيْءٍ إِلَيْكُمْ(الحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ 3 / 121 وفي سير أعلام النبلاء 31 / 473 والحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى 818)

"Ibnu al-Muqri berkata: Saya berada di Madinah bersama al-Hafidz al-Thabrani dan al-Hafidz Abu al-Syaikh. Waktu kami sangat sempit hingga kami tidak makan sehari semalam. Setelah waktu Isya' tiba, saya mendatangi makam Rasulullah, lalu saya berkata: Ya Rasulallah, kami lapar. Al-Thabrani berkata kepada saya: Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian. Saya dan Abu al-Syaikh berdiri, tiba-tiba datang laki-laki Alawi (keturunan Rasulullah Saw) di depan pintu, lalu kami membukakan pintu. Ternyata ia membawa dua orang budaknya yang membawa dua keranjang penuh dengan makanan. Alawi itu berkata: Apakah kalian mengadu kepada Rasulullah Saw? Saya bermimpi Rasulullah dan menyuruhku membawa makanan untuk kalian" (Diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalamTadzkirah al-Huffadz III/121 dan Siyar A'lam al-Nubala' XXXI/473, dan oleh Ibnu al-Jauzi dalamal-Wafa' bi Ahwal al-Musthafa 818)

قَالَ أَبُوْ الْخَيْرِ اْلأَقْطَعُ دَخَلْتُ مَدِيْنَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِفَاقَةٍ فَأَقَمْتُ خَمْسَةَ اَيَّامٍ مَا ذُقْتُ ذَوَاقًا فَتَقَدَّمْتُ إِلَى الْقَبْرِ وَسَلَّمْتُ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَقُلْتُ أَنَا ضَيْفُكَ اللَّيْلَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَتَنَحَّيْتُ وَنُمْتُ خَلْفَ الْمِنْبَرِ فَرَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعُمَرُ عَنْ شِمَالِهِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ بَيْنَ يَدَيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَحَرَّكَنِي عَلِيٌّ وَقَالَ قُمْ قَدْ جَاءَ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ فَقُمْتُ إِلَيْهِ وَقَبَّلْتُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ فَدَفَعَ إِلَيَّ رَغِيْفًا فَأَكَلْتُ نِصْفَهُ وَانْتَبَهْتُ فَإِذًا فِي يَدِيَّ نِصْفُ رَغِيْفٍ (الحافظ الذهبي في تاريخ الاسلام2632 والحافظ ابن الجوزي في صفة الصفوة 4 / 284 والحافظ السلمي طبقات الصوفية 1 / 281والحافظ ابن عساكر في تاريخ دمشق 66 / 161)

"Abu al-Khair al-Aqtha' berkata: Saya datang ke kota (Madinah) Rasulullah Saw dalam keadaan lapar dan saya menetap selama lima hari. Lalu saya datang ke makam Rasulullah Saw, saya mengucap salam pada Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar, dan saya berkata: Wahai Rasulullah, Saya bertamu kepadamu malam ini. Lalu saya agak menjauh dan tidur di belakang mimbar. Maka saya bermimpi melihat Rasulullah Saw, Abu Bakar berada di sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau dan Ali berada di depan. Lalu Ali membangunkan saya dan berkata: Bangun, Rasulullah telah datang. Saya bangun dan mencium beliau. Beliau memberi roti pada saya dan saya makan separuhnya. Saya pun terbangun, ternyata di tangan saya ada separuh roti tadi" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam 2632, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah IV/284, al-Hafidz al-Sulami dalam Thabaqat al-Shufiyah I/281 dan Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasyqi 66/161)

Keberkahan Dalam Makan Bersama


Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan ke bumi, mengatur segala aspek kehidupan pemeluknya. Dalam kehidupan sehari-hari pun segala tindakan dan tingkah laku umat Islam memiliki aturan yang bersumber dari al Qur’an & al Hadits. Begitu juga dalam hal makan yang kita lakukan setiap hari, dalam sunnah Nabi memiliki aturan yang patut kita tauladani.

Seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam pernah berkata, “Aku pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memberiku, kemudian meminta lagi lalu beliau memberiku, dan meminta lagi lalu Beliau memberiku juga. Kemudian Beliau bersabda:

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau (indah) lagi manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan hati yang puas maka harta itu akan diberikan keberkahan, namun barang siapa yang mengambilnya dengan hati yang tamak maka harta itu tidak akan diberikan keberkahan; perumpamaannya seperti orang yang makan tetapi tidak kenyang. Dan tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta).” (HR. Bukhari)

Dari riwayat Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ « فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ إِذَا كُنْتَ فِى وَلِيمَةٍ فَوُضِعَ الْعَشَاءُ فَلاَ تَأْكُلْ حَتَّى يَأْذَنَ لَكَ صَاحِبُ الدَّارِ.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?” Beliau bersabda, “Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri.” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/138, Kitaabul-Ath’imah, bab : Fil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1093, Kitaabul-Ath’imah, bab :Al-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/501; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 7/327, Kitaabul-Ath’imah, Dzikrul-Amri bil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam Rajaa’al-Barakah fil-Ijtimaa’ ‘Alaih].

Dan di antara yang menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat makan juga adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Abu Hurairah radliyalaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

طَعَامُ اْلإثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاثَةَ  وَطَعَامُ الثَّلاثةِ كَافِي اْلأَرْبَعَةَ

”Makanan dua orang cukup untuk tiga orang, dan makanan tiga orang cukup untuk empat orang” [Diriwayatkan dalamShahih Al-Bukhari 6/200, Kitaabul-Ath’imah, bab : Tha’aamul Waahidi Yakfil-Itsnain; dan Shahih Muslim 3/1630, Kitaabul-Asyribah, bab : Fadliilatul-Muwaasaatu fith-Tha’aamil-Qaliil wa anna Tha’aamal-Itsnaini Yakfits-Tsalaatsati wa Nahwa Dzaalika].

Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :

 طَعَامُ الوَاحِدِ يَكفِي الإثْنَيْنِ, وَطَعَامُ الإثْنَيْنِ يَكفِي اْلأَرْبَعَةَ, وَطَعَامُ اْلأَرْبَعَةِ يَكفِي اْلثََمَانِيَةَ

”Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang, dan makanan empat orang mencukupi delapan orang” [Diriwayatkan dalam Shahih Muslim 3/1630 pada kitab dan bab yang lalu].

An-Nawawi rahimahullah berkata :

في الحديث حث على المواساة في الطعام، وأنه وإن كان قليلا حصلت منه الكفاية المقصودة، ووقعت فيه بركة تعم الحاضرين عليه

”Dalam hadits ini terdapat sebuah anjuran agar saling berbagi dalam makanan. Sesungguhnya walaupun makanan itu sedikit, tetapi akan terasa cukup dan ada keberkahan di dalamnya yang diterima oleh seluruh yang hadir” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 14/23].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

يؤخذ من هذا الحديث أن الكفاية تنشأ عن بركة الاجتماع على الطعام، وأن الجمع كلما كثر ازدادت البركة

”Diambil dari hadits ini (satu faedah), bahwasannya kecukupan itu akan hadir dari keberkahan berkumpul saat makan; dan bahwasannya semakin banyak anggota yang berkumpul, maka akan semakin bertambah barakahnya” [Fathul-Baari 9/535 dengan sedikit perubahan].

Dengan hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa berkumpul saat makan adalah disukai (istihbaab) dan hendaknya seseorang tidak makan seorang diri” [Fathul-Baari 9/535].

Demikianlah anjuran Rasulullah dipegang teguh oleh para sahabat dan keluarganya. Hingga kini para habaib dan kiai di pesantren yang tidak mau makan sehingga datang satu teman untuk makan bersama. Karena makan sendirian  bagi mereka adalah sebuah aib yang harus dihindarkan sebagaimana Rasulullah tidak pernah melakukannya.

وقال أنس رضى الله عنه كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يأكل وحده وقال صلى الله عليه وسلم خير الطعام ماكثرت عليه الأيدى

Sahabat Anas radliyallahu 'anh berkata bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah makan sendirian. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa sebaik-baik makanan adalah yang dimakan banyak tangan.

Disebutkan dalam hadits diatas : “Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya.Maka makanan kalian akan diberkahi”. Oleh sebab itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut nama Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya keberkahan padanya. Sehingga syaithan – semoga Allah melindungi kita darinya – ikut makan, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ الشَّيطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِلَّا يُذْكَرَ اسْمَ اللهِ عَليهِ

”Sesungguhnya syaithan menghalalkan makanan (yang dimakan oleh manusia yang ia mendapatkan bagian daripadanya), kecuali yang disebutkan nama Allah atasnya”[Diriwayatkan dalam Shahih Muslim 3/1597, Kitaabul-Asyribah, bab : Aadaabuth-Tha’aam wasy-Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut mempunyai kisah yang melatarbelakangi].

An-Nawawi rahimahullah berkata :

معنى (يستحل) أي يتمكن من أكله، ومعناه أن يتمكن من أكل الطعام إذا شرع فيه إنسان بغير ذكر الله تعالى، وأما إذا لم يشرع فيه أحد فلا يتمكن، وإن كان جماعة فذكر اسم الله بعضهم دون بعض لم يتمكن منه

 “Arti dari menghalalkan yaitu dapat menikmati makanan tersebut. Maksudnya, bahwa syaithan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya tanpa dzikir kepada Allah ta’ala. Adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka (syaithan) tidak akan dapat memakannya. Jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka menyebut nama Allah sedangkan sebagian lainnya tidak, maka syaithan pun tidak akan dapat memakannya” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 13/189-190].

Dan di antara yang disebutkan oleh An-Nawawi tentang adab-adab tasmiyyah ini dan hukum-hukumnya, yaitu perkataannya :

أجمع العلماء على استحباب التسمية على الطعام في أوله، فإن تركها في أوله عادما أو ناسيا أو مكروها أو عاجزا لعارض الأٓخر، ثم تمكن في أثناء أكله استحب أن يسمي ويقول : بسم الله أوله وأٓخره، كما جاء في الحديث، ويستحب أن يجهر بالتسمية يكون فيه تنبيه لغيره عليها وليقتدى به في ذلك

“Para ulama sepakat bahwa tasmiyah saat awal waktu makan adalah mustahab (sunnah), maka apabila ia meninggalkannya saat di awal makan dengan sengaja maupun tidak sengaja, terpaksa atau tidak mampu karena sebab tertentu, kemudian ia dapat melakukannya pada pertengahan makannya, maka disukai untuk ber-tasmiyyah dan mengucapkan : bismillaahi awwalahu wa aakhirahu(“Dengan menyebut nama Allah di awal dan akhir”), sebagaimana disebutkan dalam hadits. Dan disukai untuk mengeraskan tasmiyyah sehingga ia menjadi satu peringatan pada yang lain agar mencontoh hal tersebut darinya” [Al-Adzkaar, hal. 197, dengan perubahan. Lihat Syarh An-Nawawi li-Shahih Muslim 12/188-189].

Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ. رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان

“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]

Setelah membaca basmallah kemudian membaca do’a sebelum makan yaitu:

اللهم بارك لنا فيما رزقتناوقنا عذاب النار

“ Ya Allah berkatilah kami terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.”

Adapun do’a setelah makan adalah sebagai berikut:

          الحدلله الذياطعمناوسقانا وجعلنا مسلمين

“Segala puji bagi Allah yang telah member kami makan dan minum dan telah menjadikan kami sebagai orang muslim.”(H.R. Ahmad dari abi Said)

Mempraktekkan adab-adab makan, seperti makan dengan mendahulukan bagian pinggirnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلوُاْ مِنْ جَوَانِبِهَا وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهَا فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِيْ وَسَطِهَا

“Makanlah dari bagian pinggir, jangan dari tengahnya, karena berkah turun di tengah-tengah.” (HR. Empat orang ahli hadits, hadits ini adalah lafaz Nasa’i dan sanadnya shahih)

Jila seseorang mendapatkan berkah makanan, maka akan tercapai rasa cukup dalam makan, terjaga dari hal-hal yang kurang baik bagi badan, membantunya untuk beribadah dll.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh kita menjilati jari-jemari sehabis makan, Beliau bersabda:

اِإنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِي أَىِّ طَعَامِكُمُ اْلبَرَكَةَ

“Sesungguhnya kamu tidak mengetahui di bagian mana berkah pada makananmu.” (HR. Muslim)

Mencintai Ahlul Bait Sebagai Tabarruk


al-Barakat dan derivasinya memiliki makna ‘bertambah’ dan ‘berkembang’. Sedangkan ‘Tabarruk’ adalah

والتبرّك: هو طلب البركة، وهي النماء أو السعادة. والتبرّك بالشيء: طلب البركة عن طريقه. قال ابن منظور: تبرّكت به: أي تيمّنت به) لسان العرب:13/408(

“mencari berkah terhadap sesuatu, mencari tambahan dengan metodenya” (Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab 13/408)

Diantara manusia yang boleh diambil berkahnya adalah Nabi kita Muhamamd shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengambil berkah di sini dalam arti mengambil manfaat dari jasad beliau, benda yang berasal dari tubuh beliau, seperti ludah atau keringat atau mengambil berkah dengan anggota badan yang terlepas dari beliau, seperti rambut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan masalah ini, diantaranya,

a. Dari anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صلى الغداة جاء خدم المدينة بآنيتهم فيها الماء، فما يؤتى بإناء إلا غمس يده فيها

“Setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat subuh, orang-orang yang menjadi pembantu di Madinah, datang membawa wadah yang berisi air. Setiap kali dihadapkan bejana berisi air di depan beliau, maka beliau akan mencelupkan tangannya ke bejana tersebut.” (HR. Muslim)

b. Dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم بالهاجرة إلى البطحاء فتوضأ ثم صلى الظهر ركعتين والعصر ركعتين، وقام الناس فجعلوا يأخذون يديه فيمسحون بهما وجوههم، فأخذت بيده فوضعتها على وجهي فإذا هي أبرد من الثلج، وأطيب رائحة من المسك

“Di siang hari yang panas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju tempat namanya Bitha. Beliau berwudhu kemudian melaksanakan shalat zuhur dan asar 2 rakaat. Kemudian berbondong-bondong orang mengambil air wudhu beliau dengan kedua tangannya dan mengusapkannya di wajahnya. Aku pun mengambil sisa air wudhu itu di tanganku, dan aku letakkan di wajahku. Ternyata lebih dingin dari salju dan lebih wangi dari minyak misk.” (HR. Bukhari)

c. Asma binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Nabi memiliki jubah thayalisah, yang ada tambalannya kain sutra. Kata Asma,

هذه كانت عند عائشة حتى قبضت، فلما قبضت قبضتها، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يلبسها، فنحن نغسلها للمرضى يستشفى بها

“Jubah ini dulu dibawa Aisyah. Setelah dia meninggal, aku ambil. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakainya. Kami mencuci baju ini dan airnya diberikan orang sakit untuk obat.” (HR. Muslim)

d. Dari Ibnu Sirin, beliau memiliki rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperoleh dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ubaidah mengatakan,

لأن تكون عندي شعرة منه أحب إلي من الدنيا وما فيها

“Andai aku memiliki rambut beliau, itu lebih aku senangi dari pada aku memiliki dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari)

Demikianlah praktIk sahabat dan tabiin, mereka mengambil berkah dengan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ketika beliau masih hidup maupun sudah meninggal, baik yang melekat di jasad beliau maupun yang terpisah. Itu Hanya Khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Mengambil berkah seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, hanya dilakukan oleh para sahabat terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berikut keterangan para ulama yang menegaskan bahwa para sahabat tidak mengambil berkah dari orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Pertama, Keterangan Imam asy-Syatibi.

Dalam kitab al-I’tisham, beliau mengatakan,

وبالغ بعضهم في ذلك حتى شرب دم حجامته… إلى أشياء لهذا كثيرة. ..

“Sebagian diantara mereka ada yang berlebihan, sampai meminum darah bekam kiyainya.., dst. Semacam ini banyak sekali.”

Selanjutnya asy-Syatibi menegaskan,

وهو أن الصحابة رضي الله عنهم بعد موته عليه السلام لم يقع من أحد منهم شيء من ذلك بالنسبة إلى من خلفه ، إذ لم يترك النبي صلى الله عليه وسلم بعده في الأمة أفضل من أبي بكر الصديق رضي الله عنه ، فهو كان خليفته ، ولم يفعل به شيء من ذلك ولا عمر رضي الله عنهما ، وهو كان في الأمة ، ثم كذلك عثمان ثم علي ثم سائر الصحابة الذين لا أحد أفضل منهم في الأمة .

“Bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum, setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada satupun di kalangan mereka yang melakukan tabarruk ini kepada orang yang menggantikan beliau. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan manusia di tengah umatnya yang lebih mulia dari pada Abu Bakr ash-shiddiq radhiyallahu ‘anhu, beliau menjadi pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak ada bentuk tabaruk apapun yang dilakukan terhadap Abu Bakar, tidak pula Umar radhiyallahu ‘anhuma. Padahal mereka ada di tengah-tengah umat. Kemudian tidak pula tabaruk ini dilakukan tehadap Utsman, Ali, maupun sahabat lainnya, yang mana, tidak ada satupun manusia di kalangan umat ini yang lebih mulia dibanding beliau.

Asy-Syatibi melanjutkan,

ثم لم يثبت لواحد منهم من طريق صحيح معروف أن متبركاً تبرك به على أحد تلك الوجوه أو نحوها ، بل اقتصروا فيهم على الاقتداء بالأفعال والأقوال والسير التي اتبعوا فيها النبي صلى الله عليه وسلم ، فهو إذاً إجماع منهم على ترك تلك الأشياء

“Kemudian juga tidak terdapat riwayat yang shahih yang ma’ruf bahwa ada orang yang mengambil berkah dengan salah satu bentuk di atas. Namun mereka hanya mencukupkan diri dengan meniru perbuatan para sahabat senior itu, memperhatikan petuahnya dan tingkah lakunya yang mereka ikuti dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kondisi ini menunjukkan ijma (kesepakatab) di kalangan sahabat untuk meninggal semua bentuk tabarruk itu kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-I’tisham, 1:310).

Selanjutnya asy-Syatibi menjelaskan sebabnya, mengapa para sahabat tidak melakukan praktik mengambil berkah dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeningal beliau. Asy-Syatibi mengatakan,

وبقي النظر في وجه ترك ما تركوا منه، ويحتمل وجهين: أحدهما أن يعتقدوا في الاختصاص، وأن مرتبة النبوة يسع فيها ذلك كله للقطع بوجود ما التمسوا من البركة والخير؛ لأنه كان نورًا كله في ظاهره وباطنه؛ فمن التمس منه نورًا وجده على أي جهة التمسه، بخلاف غيره من الأمة -وإن حصل له من نور الاقتداء به والاهتداء بهديه ما شاء الله- لا يبلغ مبلغه على حال توازيه في مرتبته ولا تقاربه.

Menyisakan satu pembahasan, tentang alasan mereka meninggalkan perbuatan tersebut. Ada dua kemungkinan,

Pertama, para sahabat meyakini bahwa itu hanya khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwa tingkatan kenabian menyebabkan bolehnya mengambil berkah, karena keberkahan dan kebaikan yang mereka cari pasti ada di jasad nabi. Mengingat semua bagian beliau adalah berkah, yang dzahir maupun yang batin. Siapa yang ingin mencari cahaya dari beliau, dia akan mendapatkannya dengan cara apapun. Berbeda dengan yang lainnya di kalangan umatnya – meskipun mereka mendapatkan cahaya meniti petunjuk beliau sesuai yang Allah kehendaki – namun tidak akan mencapai yang setingkat dengan beliau atau bahkan hanya mendekati tingkatan beliau.

الثاني: ألا يعتقدوا الاختصاص، ولكنهم تركوا ذلك من باب الذرائع خوفًا من أن يجعل ذلك سنة -كما تقدم ذكره في اتباع الآثار-، والنهي عن ذلك، أو لأن العامة لا تقتصر في ذلك على حد، بل تتجاوز فيه الحدود وتبالغ بجهلها في التماس البركة حتى يداخلها المتبرك به تعظيم يخرج به عن الحد، فربما اعتقد في المتبرك به ما ليس فيه.

Kedua, mereka tidak meyakini bahwa itu khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi para sahabat meninggalkannya dalam rangka menutup celah karena khawatir itu akan dijadikan ajaran –sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya– dan itu dilarang. Atau karena masyarakat awam tidak membatasi praktik itu pada batasan tertentu, namun mereka akan melampaui batas dalam mencari berkah karena kebodohannya. Sehingga orang yang menjadi sasaran ngalap berkah diagungkan, yang melampaui batas. Bahkan terkadang muncul keyakinan tentang orang yang menjadi sasaran ngalap berkah berbagai tahayul yang sebenarnya tidak ada dalam dirinya.

Selanjutnya, asy-Syatibi menegaskan bahaya tabarruk yang salah,

وهذا التبرك هو أصل العبادة، ولأجله قطع عمر رضي الله عنه الشجرة التي بويع تحتها رسول الله صلى الله عليه وسلم ، بل هو كان أصل عبادة الأوثان في الأمم الخالية حسبما ذكره أهل السير

“Mencari berkah, merupakan awal mula munculnya ibadah. Karena alasan inilah, Umar bin Khatab menebang pohon yang menjadi tempat baiat Ridwan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sikap mencari berkah merupakan sebab munculnya bentuk penyembahan terhadap berhala yang terjadi pada umat masa silam, sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli sejarah.” (al-I’tisham, 1311 – 312).

Kedua, Keterangan al-Hafidz Ibnu Rajab dalam al-Jadir bil Idza’ah.

وكذلك التبرك بالآثار؛ فإنما كان يفعله الصحابة رضي الله عنهم مع النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكونوا يفعلونه مع بعضهم ببعض ولا يفعله التابعون مع الصحابة، مع علو قدرهم. فدل على أن هذا لا يفعل إلا مع النبي صلى الله عليه وسلم مثل: التبرك بوضوئه وفضلاته وشعره وشرب فضل شرابه وطعامه.

Demikian pula bertabaruk dengan peninggalan orang saleh. Sesungguhnya para sahabat hanya melakukan tabaruk dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara mereka tidak melakukan hal itu antara satu sahabat dengan sahabat lainnya. Tidak pula dilakukan oleh tabiin dengan para sahabat. Padahal mereka sangat tinggi kedudukannya. Ini menunjukkan bahwa ngalap berkah hanya dilakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ngalap berkah dengan air wudhu beliau, atau yang keluar dari tubuh beliau (misal: luldah), atau rambut beliau, atau sisa minuman dan makanan beliau.

Kemudian beliau menegaskan bahaya ngalap berkah yang dilakukan masyarakat awam,

وفي الجملة فهذه الأشياء فتنة للمعظَّم وللمعظِّم؛ لما يخشى عليه من الغلو المدخل في البدعة، وربما يترقى إلى نوع من الشرك، كل هذا إنما جاء من التشبه بأهل الكتاب.

Ringkasnya, tindakan mengambil berkah semacam ini merupakan fitnah yang besar, bagi orang yang diagungkan maupun yang mengagungkan. Mengingat dikhawatirkan muncul tindakan berlebihan yang menjadi pintu bid’ah. Dan terkadang naik tingkatan sampai pada bentuk kesyirikan. Semua ini termasuk meniru kebiasaan ahli kitab. (al-Jadir bil Idza’ah, Hal. 24).

Para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengambil berkah dengan sahabat lain yang lebih senior, seperti Abu bakr atau Umar. Padahal tidak ada satupun manusia yang lebih mulia dibanding Abu bakr dan Umar, meskipun dia ahlul bait. Ini merupakan dalil tegas bahwa mereka sepakat meninggalkan hal itu.

Mengambil berkah dengan orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengantarkan kepada sikap melampui batas dalam mengagungkan orang lain. Jika semacam ini boleh dilakukan terhadap orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan membuka peluang besar bagi orang awam untuk orang melakukan berbagai penyimpangan aqidah. Tentu saja ini berbeda dengan apa yang dilakukan sahabat terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. karena mereka tidak mungkin sampai melampui batas yang diizinkan syariat.

Sangat dimungkinkan munculnya sikap ujub bagi orang yang menjadi sasaran ngalap berkah. Padahal syariat melarang kita melakukan perbuatan yang menjerumuskan orang lain kepada maksiat.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bekhutbah di hadapan para sahabat sekembalinya beliau dari melaksanakan haji Wada’ di suatu tempat antara Makkah dan Madinah di sebut Ghadiir Khum:

« أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى ».

“Berikutnya; Ketahuilah wahai para manusia! Sesungguhnya aku adalah sorang manusia, boleh jadi sudah dekat kedatangan utusan Rabbku, lalu aku menjawabnya. Dan aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara; pertama; Kitabullah (Al Qur’an). Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah dan berpegang teguhlah dengannya. (Berkata rawi hadits): maka ia mendorong dan menganjurkan untuk berpegang teguh dengannya. Kemudia ia (Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) berkata: Dan keluargaku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang (hak-hak) keluargaku. Beliau mengulangnya tiga kali”.

Dalam hadits ini Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam memberitahukan kepada para sahabat tentang ajal beliau yang sudah dekat. Hal Ini menunjukkan akan pentingnya nasehat tersebut untuk senantiasa mereka jaga. Nasehat pertama berpegang teguh dengan Al Qur’an. Nasehat kedua menjaga hak-hak keluarga beliau. Yang dimaksud dengan hak-hak keluarga beliau adalah memuliakan dan menghormati mereka. Dan mengikuti nasehat-nasehat mereka selama sesuai dengan ajaran yang beliau tinggalkan. Adapun jika ada pendapat mereka yang tidak sesuai dengan ajaran yang beliau tinggalkan, maka kita tidak boleh taklit kepada mereka. Karena hadits tersebut tidak ada perintah untuk wajib berpegang teguh dengan segala perkataan mereka. Sebagaimana yang dipahami oleh sebahagian orang.

Berkata Imam Qurtuby: ”Wasiat ini dan ketegasan ini adalah menunjukkan tentang wajibnya menghormati keluarga beliau, berbuat baik, memuliakan dan mencintai mereka. Kewajiban yang sangat ditekankan, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk tidak melaksanakannya.”.

« إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ ».

“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinaanah dari anak keturunan Ismail. Dan memilih Quraisy dari kalangan suku Kinaanah. Dan memilih Bani Hasyim dari kalangan bangsa Quraisy. Dan memilih aku dari kalang Bani Hasyim”.

Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keutamaan Bani Hasyim. Karena mereka memiliki sifat-sifat baik dan terpuji yang lebih menonjol dari sukuk-suku lain, maka Allah memilih Rasul yang paling mulia dari kalangan suku mereka.

((أنا محمَّدُ بْنُ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ إنَّ اللَّهَ تعالى خَلَقَ الخَلْقَ فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ ثمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ فجَعَلَني في خيْرِهِمْ فِرْقَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ قَبائِلَ فَجَعَلَنِي في خيْرِهِمْ قَبِيلَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ بُيُوتاً فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ بَيْتاً فأنا خَيْرُكُمْ بَيْتاً وأنا خَيْرُكُمْ نَفْساً)).

“Saya adalah anak Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan makhluk, lalu Ia menjadikan aku dalam bagian mereka yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka kepada dua golongan, maka Allah menjadikan aku pada golongan yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka berbangsa-bangsa, maka Allah menjadikan aku pada bangsa yang terbaik. Lalu Allah menjadikan mereka bersuku-suku, maka Allah menjadikan pada suku yang terbaik. Aku adalah yang terbaik diantara dari segi suku dan jiwa”.

Dalam hadits ini juga terdapat kemulian Ahlul bait karena Allah telah memilih Nabi yang paling mulia dari suku mereka. Akan tetapi kemulian ini secara umum tidak secara person (setiap pribadi) mereka. Karena dari kalangan luar Ahlull bait secara person ada yang lebih mulia dari sebagian person Ahlul bait. Seperti jawaban Ali Radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh anaknya sendiri Muhammad Ibnul Hanafiah:

((عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لأَبِى أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ. قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَةِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ)).

“Dari Muhammad Ibnu Hanafiyah, ia berkata: aku bertanya pada ayahku, siapa manusia yang paling baik setelah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam?. Jawabnya: Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Kemudia aku tanya lagi, kemudian siapa? Jawabnya: Umar Radhiallahu ‘anhu. Kemudian aku cemas bila ia katakan Utsman, maka aku katakan: kemudian engkau ya ayahku? Ia menjawab: aku ini hanyalah salah seorang dari kaum muslimin”.‎

عن إياس بن سلمة بن الأكوع عن أبيه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا [مناقب أمير المؤمنين لابن المغازلي برقم 174

Dari Iyas bin Salamah bin Al-Akwa’ ra. dari bapaknya berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan ahli baitku adalah seperti kapal Nuh as, barangsiapa menaikinya akan selamat.” [Manaqib Amir Al-Mukminin li Ibni Al-Maghazali hal: 174]

عن عبدالله بن الزبير أن النبي (ص) قال : مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها سلم ومن تركها غرق [مجمع الزوائد الجزء 9 صفحة 265

Dari Abdullah bin Zubair ra. berkata, Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan ahli baitku adalah seperti kapal Nuh as, barangsiapa menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang bertetentangan darinya [tidak menaikinya] akan tenggelam.” [Majma’ Az-Zawaid juz 9: 265]

عن أبو الطفيل عامر بن واثلة ، قال سمعت رسول الله (ص): يقول : مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تركها غرق [الكنى والالقاب لالدولابي – من إبتداء كنيته ( ط

Dari Abu Thufail ‘Amir bin Wailah ra. berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan ahli baitku adalah seperti kapal Nuh as, barangsiapa menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang bertetentangan darinya [tidak menaikinya] akan tenggelam.”

Di antara hal-hak Ahlul-Bait yang diakui dalam syari’at islam yang mulia di antaranya :

‎Hak untuk dicintai.

Wajib mencintai mereka karena hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wa Alihi Wasalam Bersabda;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِى أَهْلَ بَيْتِى. رواه أحمد والترمذي.

“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku meninggalkan dua hal untuk kalian, jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Al-Quran dan keluargaku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Sudah ramai diketahui baik oleh kalangan khusus atau kalangan awam, bahwa hukum mencintai ahlul bait Rasulullah dan dzuriyah-nya adalah wajib bagi seluruh umat Islam. Terdapat banyak ayat-ayat Al-Quran dan sunnah nabawiyah yang berisi anjuran dan perintah mencintai mereka. Hal ini juga dikatakan oleh ulama-ulama sahabat dan tabi'in serta imam-imam kaum salaf.

Allah ta’ala berfirman :

ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ

“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Asy-Syuuraa : 23].

Mengenai makna ayat di atas, Al-Bukhaariy rahimahullah meriwayatkan :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،(إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى)، قَالَ: فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: قُرْبَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ " إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَكُنْ بَطْنٌ مِنْ قُرَيْشٍ إِلَّا وَلَهُ فِيهِ قَرَابَةٌ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ تَصِلُوا قَرَابَةً بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ "

Telah menceritakan kepada kami Musaddad : telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-Malik, dari Thaawuus, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang ayat : ‘kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan’. Perawi berkata : Maka Sa’iid bin Jubair berkata : “Kekeluargaan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Lalu Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada satu pun marga di kalangan Quraisy, kecuali beliau mempunyai kekerabatan dengan mereka. Lalu ayat itu pun turun kepada beliau, yang mengkonsekuensikan agar kalian menyambung kekerabatan antara aku dan kalian” [Shahih Al-Bukhaariy no. 3497].

 عَنْ الْعَبَّاس عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَاللَّهِ لَا يَدْخُلُ قَلْبَ امْرِئٍ إِيمَانٌ حَتَّى يُحِبَّكُمْ لِلَّهِ وَلِقَرَابَتِي "

Dari Al-‘Abbaas, dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Demi Allah, tidak akan masuk iman pada hati seseorang hingga mencintai kalian karena Allah dan karena kekerabatanku” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/207 & 207-208 & 4/165 dan dalam Al-Fadlaail no. 1756-1757 & 1760, ‘Abdullah bin Ahmad dalam ‎Al-Fadlaail no. 1783 & 1792, Al-Haakim 3/332-333, Al-Fasawiy 1/499, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2175, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 12/108-109 dan dalam Al-Musnad no. 918 dan Taariikh Al-Madiinah no. 1049, Al-Marwaziy dalamTa’dhiimu Qadrish-Shalaah 1/453 no. 470, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 12228, Abu Ja’far Al-Bakhtariy dalam Juz-nya no. 574, Al-Khathiib dalam At-Taariikh3/259-260 & 4/596, dan Al-Mizziy dalam ‎Tahdziibul-Kamaal 33/340; hasan – dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dalam ‎syarah-nya terhadap Musnad Ahmad].

Pahala bagi Orang yang Mencintai Ahlulbait Rosululloh

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ مَاتَ شَهِيْدًا. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ مَاتَ مَغْفُورًا لَهُ. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ مَاتَ تَائِبًا. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ مَاتَ مُؤْمِنًا مُسْتَكْمِلَ الإِيْمَانِ. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ بَشَّرَهُ مَلَكُ الْمَوْتِ بِالْجَنَّةِ ثُمَّ مُنْكَرٌ وَ نَكِيْرٌ. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ يُزَفُّ إِلَى الْجَنَّةِ كَمَا تُزَفُّ الْعَرُوسُ إِلَى بَيْتِ زَوْجِهَا. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ فُتِحَ لَهُ فِي قَبْرِهِ بَابَانِ إِلَى الْجَنَّةِ. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ جَعَلَ اللهُ قَبْرَهُ مَزَارً لِمَلاَئِكَةِ الرَّحْمَنِ. أَلاَ وَ مَنْ مَاتَ عَلَى حُبِّ آلِ مُحَمَّدٍ مَاتَ عَلَى السُّنَّةِ وَ الْجَمَاعَةِ

Rasûlullâh saw berkata, “Siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, niscaya dia mati sebagai syahîd. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, niscaya dia mati dalam keadaan diampuni dosanya. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati dalam keadaan bertobat. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, niscaya dia mati dalam keadaan beriman dengan sempurna keimanannya. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, niscaya Malakul Maut memberikan kabar gembira dengan surga, lalu malaikat Munkar dan Nakîr. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia akan diantarkan ke surga seperti pengantin perempuan yang diantarkan ke rumah suaminya. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, niscaya dibukakan baginya dua pintu ke surga di dalam kuburnya. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, niscaya Allah menjadikan kuburnya tempat ziarah para malaikat Al-Rahmân. Ketahuilah siapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, niscaya dia mati di atas Al-Sunnah wal jamâ‘ah.”

عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ : إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: اِلْزَمُوا مَوَدَّتَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ فَإِنَّهُ مَنْ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَ هُوَ يَوَدُّنَا دَخَلَ الْجَنَّةَ بِشَفَاعَتِنَا. وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَنْفَعُ عَبْدًا عَمَلُهُ إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ حَقِّنَا

Dari Al-Hasan bin ‘Ali as: Sesungguhnya Rasûlullâh saw telah berkata, “Teguhkanlah oleh kalian kecintaan kepada kami Ahlulbait, karena sesungguhnya siapa yang berjumpa dengan Allah ‘azza wa jalla sedang dia mencintai kami, niscaya dia masuk surga dengan syafa‘at kami. Demi yang diriku di tangan-Nya, tidak berguna bagi seorang hamba akan amalnya kecuali dengan mengenal hak kami.”

 عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : شَفَاعَتِي لِأُمَّتِي مَنْ أَحَبَّ أَهْلَ بَيْتِي وَهُمْ شِيْعَتِي

Dari ‘Ali bin Abî Thâlib as berkata: Rasûlullâh saw berkata, “Syafa‘atku bagi ummatku yang mencintai Ahlulbaitku dan mereka adalah para pengikutku.”

عَنْ عَلِيِّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ : أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ. قَالَ : ذَاكَ مَنْ أَحَبَّ اللهَ وَ رَسُولَهُ وَ أَحَبَّ أَهْلَ بَيْتِي صَادِقًا غَيْرَ كَاذِبٍ

Dari ‘Ali as bahwa Rasûlullâh saw tatkala turun ayat ini: Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah tenteramlah hati-hati . Dia berkata, “Yang demikian itu ialah orang yang mencintai Allah dan Rasûl-Nya dan mencintai Ahlulbaitku dengan benar tidak dusta.”

 عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ : إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : اِلْزَمُوا مَوَدَّتَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ, فَإِنَّهُ مَنْ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَ هُوَ يَوَدُّنَا دَخَلَ الْجَنَّةَ بِشَفَاعَتِنَا, وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَنْفَعُ عَبْدًا عَمَلُهُ إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ حَقِّنَا

Dari Al-Hasan bin ‘Ali as: Sesungguhnya Rasûlullâh saw telah berkata, “Tetaplah dalam mencintai kami Ahlulbait, sebab sesungguhnya orang yang berjumpa dengan Allah ‘azza wa jalla dan dia mencintai kami niscaya masuk ke surga dengan syafa‘at kami, demi yang diriku di tangan-Nya, tidak berguna bagi seorang hamba amalnya kecuali dengan mengenal hak kami.”

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ يُحِبُّنَا أَهْلَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَ لاَ يُبْغِضُنَا إِلاَّ مُنَافِقٌ شَقِيٌّ

Dari Jâbir bin ‘Abdullâh berkata: Rasûlullâh saw berkata, “Tidak mencintai kami Ahlulbait selain orang mu`min yang ber-taqwâ, dan tidak membenci kami kecuali orang munâfiq yang celaka.”

 عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ : حُبِّي وَ حُبُّ أَهْلِ بَيْتِي نَافِعٌ فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ, أَهْوَالُهُنَّ عَظِيْمَةٌ: عِنْدَ الْوَفَاةِ, وَ فِي الْقَبْرِ, وَ عِنْدَ النُّشُورِ, وَ عِنْدَ الْكِتَابِ, وَ عِنْدَ الْحِسَابِ, وَ عِنْدَ الْمِيْزَانِ, وَ عِنْدَ الصِّرَاطِ

Dari ‘Ali bin Al-Husain berkata: Rasûlullâh saw telah berkata, “Mencintaiku dan mencintai Ahlulbaitku bermanfaat pada tujuh tempat yang ketakutannya sangat besar:

(1) Ketika wafat,
(2) di dalam kubur,
(3) ketika dibangkitkan,
(4) ketika dibagi kitab,
(5) ketika dihisab,
(6) ketika ditimbang amal, dan
(7) ketika di Al-Shirâth.”

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ رَزَقَهُ اللهُ حُبَّ اْلأَئِمَّةِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَقَدْ أَصَابَ خَيْرَ الدُّنْيَا وَ اْلآخِرَةِ فَلاَ يُشَكَّنَّ أَحَدٌ أَنَّهُ فِي الْجَنَّةِ, فَإِنَّ فِي حُبِّ أَهْلِ بَيْتِي عِشْرُونَ خَصْلَةً : عَشْرٌ مِنْهَا فِي الدُّنْيَا, وَ عَشْرٌ مِنْهَا فِي اْلآخِرَةِ. أَمَّا الَّتِي فِي الدُّنْيَا فَالزُّهْدُ, وَ الْحِرْصُ عَلَى الْعَمَلِ, وَ الْوَرَعُ فِي الدِّيْنِ, وَ الرَّغْبَةُ فِي الْعِبَادَةِ, وَ التَّوبَةُ قَبْلَ الْمَوْتِ, وَ النَّشَاطُ فِي قِيَامِ اللَّيْلِ, وَ الْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ, وَ الْحِفْظُ لِأَمْرِ اللهِ وَ نَهْيِهِ عَزَّ وَ جَلَّ, وَ التَّاسِعَةُ بُغْضُ الدُّنْيَا, وَ الْعَاشِرَةُ السَّخَاءُ. وَ أَمَّا الَّتِي فِي اْلآخِرَةِ: فَلاَ يُنْشَرُ لَهُ دِيْوَانٌ, وَ لاَ يُنْصَبُ لَهُ مِيْزَانٌ, وَ يُعْطَى كِتَابُهُ بِيَمِيْنِهِ, وَ يُكْتَبُ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ, وَ يُبَيَّضُ وَجْهُهُ, وَ يُكْسَى مِنْ حُلَلِ الْجَنَّةِ, وَ يُشَفَّعُ فِي مِائَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ, وَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِ بِالرَّحْمَةِ, وَ يُتَوَّجُ مِنْ تِيْجَانِ الْجَنَّةِ, وَ الْعَاشِرَةُ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ. فَطُوبَى لِمُحِبِّي أَهْلِ بَيْتِي

Dari Abû Sa‘îd Al-Khudri berkata: Telah berkata Rasûlullâh saw, “Siapa yang diberi karunia oleh Allah mencintai para imam dari Ahlulbaitku, maka sesungguhnya dia telah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, dan seseorang (yang mencintai mereka) tidak diragukan bahwa dia di surga, maka sesungguhnya dalam mencintai Ahlibaitku itu ada dua puluh perkara: Sepuluh darinya di dunia, dan sepuluh lagi di akhirat. Adapun sepuluh yang di dunia adalah:

(1) Zuhud (tidak dikuasai dunia),
(2) semangat dalam beramal,
(3) wara‘ (berhati-hati menjalankan) dalam ajaran,
(4) senang dalam ibadah,
(5) bertobat sebelum mati,
(6) giat dalam bangun malam,
(7) putus asa dari apa-apa yang ada pada tangan orang lain,
(8) menjaga perintah Allah dan larangannya ‘azza wa jalla,
(9) benci kepada dunia dan
(10) dermawan.

 Adapun yang sepuluh di akhirat adalah:

(1) Tidak dibentangkan dîwân (penayangan amal) baginya,
(2) tidak ditegakkan neraca baginya,
(3) diberikan kitabnya di sebelah kanannya,
(4) dicatatkan baginya 'bebas dari neraka',
(5) diputihkan wajahnya,
(6) diberi busana surga,
(7) disyafa‘ati 100 orang dari keluarganya,
(8) Allah memandang kepadanya dengan kasih,
(9) dimahkotai dengan mahkota surga dan
(10) masuk ke surga tanpa hisab.

Maka beruntung manusia-manusia yang mencintai Ahlibaitku.”

Dari keterangan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa bertabarruk dengan Ahlul Bait Rosululloh SAW bukanlah hal yang menyimpang,  bahkan kita di suruh oleh Beliau Rosululloh SAW untuk mencintai para Ahlul Bait.  Mencintai dengan akhirnya dekat dan nyaman dalam berkehidupan serta bisa menjadi wasilah bertabarruk dengan tubuh (jasad) Dzurriyyah Rosululloh SAW.

Betapa bahagianya seseorang yang bisa mencintai dan di cintai oleh Ahlul Bait Rosululloh SAW.  Sehingga dhohir batinnya diselimuti anugrah dari Alloh melalui keberadaan dan tubuh (jasad)  Ahlul Bait Rosululloh SAW.

اللهم صلِ وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وذريته اجمعين

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...