Rabu, 03 November 2021

Hukum Zakat Pertanian


Tanah adalah salah satu nikmat terbesar yang diciptakan oleh Allah SWT. Tanah diamanahkan kepada umat manusia untuk menjadikannya subur serta menghasilkan tanam-tanaman dan buah-buahan. Sesungguhnya semua tanaman dan buah-buahan yang tumbuh di atas muka bumi ini merupakan kurniaan Allah SWT, dan bukannya datang dari manusia. Maka apabila Allah mengarahkan manusia untuk menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan, maka sudah tentulah umat Islam yang beriman menunaikannya dengan mengeluarkan zakat dari sebahagian dari hasil tanam-tanaman mereka.

Setiap tanaman yang merupakan makanan pokok dan dapat disimpan, menurut ulama Syafi’iyah, wajib dizakati. Berapa besaran zakatnya dan komoditi apa saja yang wajib dizakati serta kapan waktu pengeluaran zakatnya, silakan simak dengan seksama dalam serial zakat kali ini.

Dalil wajibnya zakat pertanian

Hasil pertanian wajib dikenai zakat. Beberapa dalil yang mendukung hal ini adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267). Kata “مِنْ” di sini menunjukkan sebagian, artinya tidak semua hasil bumi itu dizakati.

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (QS. Al An’am: 141).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”

Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari muka bumi, namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat. Akan tetapi, yang dikenai adalah jenis tertentu dengan kadar tertentu.

Dalam menjelaskan 5 wasaq inilah para ulama memberikan keterangan yang mungkin tidak sama antara satu dengan yang lain.

Dalam kitab Fath al-Mu’in, Syaikh Zainuddin al-Malibari dari madzhab Syafi’i memberikan keterangan sebagai berikut;

 وتجب على من مر في قوت اختياري من حبوب كبر وشعير وأرز إلى قوله ...بلغ قدر كل منهما خمسة أو سق وهي بالكيل: ثلاثمائة صاع والصاع أربعة أمداد

Artinya: “Dan wajib zakat bagi orang yang telah lewat pembahasannya (muslim dan merdeka) dalam makanan pokok mereka (dalam kondisi normal) dari biji-bijian seperti gandum dan padi…. yang telah mencapai 5 wasaq, yakni 300 sha’ (dalam timbangan), sedangkan 1 sha’ adalah 4 mud.”

Hasil pertanian yang wajib dizakati

Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis (anggur kering).

عَنْ أَبِى بُرْدَة عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ وَمُعَاذٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ يُعَلِّمَانِ النَّاسَ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ لَا يَأْخُذُوا إِلاَّ مِنَ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ

Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), kurma, dan zabib (kismis).

Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:

الصدقة عن أربع من البر فإن لم يكن بر فتمر فإن لم يكن تمر فزبيب فإن لم يكن زبيب فشعير

“Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak ada maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka sya’ir (gandum kasar).”

Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul Hamid dan Musa bin Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,

إنما الصدقة في الحنطة والتمر والزبيب

“Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).”

Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala sesuatu yang ditanam baik hubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran.

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan.

Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan dan ditakar.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan.

Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat.

Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ

Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]

Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فِيْمَا سَقَتِ الأَنْـهَارُ وَالْغَيْمُ: الْعُشُوْرُ، وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ: نِصْفُ اْلعُشُرِ

Semua yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi dengan disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Muslim]

Sedangkan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,

عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْأَلُهُ عَنِ الْخُضْرَوَاتِ وَهِىَ الْبُقُولُ فَقَالَ « لَيْسَ فِيهَا شَىْءٌ

Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.” Hadits ini menunjukkan bahwa sayuran tidak dikenai kewajiban zakat.

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَهُمَا أَنْ يُعَلِّمَا النَّاسَ أَمْرَ دِينَهِمْ.وَقَالَ :« لاَ تَأْخُذَا فِى الصَّدَقَةِ إِلاَّ مِنْ هَذِهِ الأَصْنَافِ الأَرْبَعَةِ الشَّعِيرِ وَالْحِنْطَةِ وَالزَّبِيبِ وَالتَّمْرِ ».

Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal berkata bahwa  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar, gandum halus, kismis dan kurma.” Hadits ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian bukanlah untuk seluruh tanaman.

Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil pertanian hanya terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan dua alasan berikut:

1. Kita bisa beralasan dengan hadits Mu’adz di atas bahwa tidak ada zakat pada sayur-sayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari tanaman yang bisa disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak. Sedangkan sayur-sayuran tidaklah memiliki sifat demikian.

2. Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang ada pada saat itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan pokok seperti saat itu saja dan tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena syari’at tidaklah membuat ‘illah suatu hukum dengan nama semata namun dilihat dari sifat atau ciri-cirinya.

Pendapat Imam Syafi’i lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah disebutkan di atas memiliki ‘illah (sebab hukum) yang dapat ditarik di mana gandum, kurma dan kismis adalah makanan pokok di masa silam –karena menjadi suatu kebutuhan primer- dan makanan tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat diqiyaskan atau dianalogikan pada padi, gandum, jagung, sagu dan singkong  yang memiliki ‘illah yang sama.

Di antara para ulama kontemporer yang berpendapat tidak ada zakat pertanian dalam sayuran adalah Husain bin ‘Audah dalam bukunya al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdillah dalam bukunya Mau’suah al-Fiqhi al-Islami, Shalih bin Ghanim dalam bukunya Risalah fi Fiqh al-Muyassar,Al-Utsaimin dalam fatwanya (Majmu Fatawa wa Rasail Ibn al-‘Utsaimin) dengan mengutip pendapat Umar bahwa tidak ada zakat dalam sayuran. Begitu juga Ibn Baz dalam fatwanya. Dalam pandangan mereka sayuran wajib dizakati apabila diperdagangkan, yaitu zakatnya adalah zakat perdagangan bukan pertanian.
Di antara alasan ulama tersebut adalah hadits-hadits tidak ada zakat dalam sayuran, pendapat sebagian para sahabat. Dalam pandangan mereka yang wajib dizakati adalah makanan pokok, yang bisa disimpan/tahan lama dan ditimbang. Adapun sayuran tidak seperti itu.

Alasan mereka adalah hadits:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَ

Telah menceritakan kepada Kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata; saya membacakan riwayat kepada Malik bin Anas dari ‘Amr bin Yahya Al Mazini dari ayahnya, ia berkata; saya mendengar Abu Sa’id Al Khudri berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima dzaud (dzaud adalah antara tiga hingga sepuluh), tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada zakat pada buah-buahan yang kurang dari lima wasaq.” (Abu Daud)

Dalam menjelaskan hadits tersebut al-Khithabi (w. 338 H) dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan yang merupakan syarah kitab Sunan Abi Daud mengatakan:

قد يستدل بهذا الحديث من يرى أن الصدقة لا تجب في شيء من الخضراوات لأنه زعم أنها لا توسق ودليل الخبر أن الزكاة إنما تجب فيما يوسق ويكال من الحبوب والثمار دون ما لا يكال من الفواكه والخضر ونحوها وعليه عامة أهل العلم إلاّ أن أبا حنيفة رأى الصدقة فيها وفي كل ما أخرجته الأرض إلاّ أنه استثنى الطرفاء والقصب الفارسي والحشيش وما في معناه

Dengan hadits ini beristidlal orang yang berpendapat bahwa zakat tidak wajib pada sayuran karena itu tidak di wasaq. Khabar tersebut adalah dalil bahwa zakat hanya wajib pada yang diwasaq dan ditimbang dari biji-bijian dan buah-buahan, bukan yang tidak ditimbang dari buah-buahan, sayuran dan lain sebagainya, ini adalah pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi, akan tetapi Abu Hanifah memandang bahwa zakat itu wajib pada semua yang dikeluarkan oleh bumi kecuali pohon tak berbuah, rotan persia dan rumput atau yang sama dengannya. (Ma’alim al-Sunan, 2:14).

Para fukaha yang berpendapat bahwa sayuran terkena zakat pertanian berpendapat bahwa hadits itu berkaitan dengan nishab.

Di antara para ulama kontemporer yang mewajibkan adanya zakat pertanian dalam sayuran bahkan dalam semua apa yang ditanam seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah adalah Hisamuddin bin Musa bin Muhammad bin ‘Affanah salah seorang ulama Palestina, meraih gelar doktor pada tahun 1985 di bidang Fikih dan Ushul Fikih dari Universitas Ummul Qura Arab Saudi, dalam bukunya Yasalunaka ‘Aniz Zakah beliau berpendapat bahwa pendapat Abu Hanifah adalah pendapat yang paling kuat dan Muhammad Nasih ‘Ulwan sebagaimana dikatakan dalam bukunya Ahkamuz Zakah ‘Ala Dhaui al-Mazahib al-‘Arba’ah.
Dalam pandangan mereka yang wajib dizakati bukan hanya makanan pokok, yang bisa disimpan/tahan lama dan ditimbang, akan tetapi semua tanaman yang ditanam apabila mencapai nishabnya maka wajib dizakati dengan zakat pertanian.

Alasan mereka adalah keumuman QS. al-Taubah:103, al-Baqarah: 267, dan al-‘An’am: 141, dan keumuman hadits tentang tanaman yang diari hujan zakatnya 10 %. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar bin al-‘Arabi (1076 M – 1148 M) seorang fukaha klasik dan tokoh Mazhab Maliki mengatakan:

أَقْوَى الْمَذَاهِبِ وَأَحْوَطُهَا لِلْمَسَاكِينِ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَهُوَ التَّمَسُّكُ بِالْعُمُومِ

Mazhab yang paling kuat dan menjaga serta melindungi orang miskin adalah pendapat Abu Hanifah dan ini berpegang kepada keumuman dalil (Fath al-Bari, 3:350)

CARA MENGELUARKAN ZAKAT BIJI-BIJIAN & BUAH-BUAHAN YANG AWET

Yaitu caranya biji-bijian setelah dibersihkan yang mencapai 300 sho’, dan begitupula buah-buahan setelah kering, maka wajib mengeluarkan zakatnya, adapun jika kurang dari 300 sho’ tidak ada zakatnya.

Sho’ adalah alat untuk menakar bukan untuk menimbang, perbedaan antara keduanya bahwa alat menakar ukurannya dengan gram, sedangan alat menimbang dengan timbangan yang berat.

Ukuran sha’ dengan timbangan itu berbeda-beda:

√ada yang mengatakan 3000 gram.

‌Guru kami syekh Ibnu Utsaimin dalam Syarah mumti’ 6/76 berkata:

Ukuran sha’ nabi = 2,040 gram gandum…

‌Adapula yang mengatakan dalam fiqih Zakat dr Yusuf Al-qardowi : 2,176 gram gandum.

Jika kita mau mengambil jalan tengah makaNishob biji-bijian dan buah-buahan yang awet untuk disimpan adalah 300 sho’ × 2,176 = 652,8 kilo gram.

Syekh Abdurrahman As-sa’di berkata:

Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda:

فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ

Pada pertanian yang disirami hujan dan dari mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil 10%, dan yang disirami dengan penyiraman diambil 5%. [HR Al-Bukhori 1412 dari Ibnu Umar].

Artinya jika pertanian yang dihasilkannya tanpa disirami dengan adanya biaya yaitu yang disirami air hujan atau sungai atau mata air dan yang sejenisnya, atau yang menggunakan penyerapan akar, maka mengeluarkan zakatnya 10 %

Adapun yang disirami dengan alat penyiraman dan yang sejenisnya yang membutuhkan biaya maka zakatnya 5 % saja.

Adapun apabila disirami setengah waktu dengan ada biaya dan setengah waktu lainnya tanpa ada biaya, maka wajib mengeluarkan zakatnya 7,5 %, berdasarkan kesepakatan ulama atas hal ini.

Mengapa Dibaca 'Alaihu Pada Ayat 10 Surat Al-Fath


Dalam Bahasa Arab, ada istilah dhomir. Secara ringkasnya, dhomir adalah kata ganti. Jadi dhomir ini dalam penggunaannya yang ada pada Bahasa Arab, berguna sebagai peringkas kalimat. Dengan demikian tidak usah payah menulis kembali kalimat yang sebelum sudah tertulis, cukup menuliskan dhomir yang sesuai dengan marji yang dimaksud. Contohnya:

فتلقى أدم من ربه كلمات فتاب عليه

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima taubatnya.

Dalam contoh tersebut terdapat dhomir (ه) yang mengganti kalimat أدم. Seandainya kalimat adam pada ayat ini tidak diganti dengan kata ganti (dhomir), maka tulisan ayat ini pun akan menjadi lebih panjang

dan bertele-tele. Oleh karenanya kalimat adam di sini diganti dengan dhomir هُ

Dalam pembelajaran Bahasa Arab terdapat beberapa dhomir yang bisa dikelompokan menjadi tiga;

-          Dhomir ghoib (orang ketiga) diantaranya هو، هما، هم، هن، هي

-          Dhomir mukhotob (orang kedua) diantaranyaأنتَ، أنتِ، أنتما، أنتم، أنتن

-          Dhomir mutakalim (orang pertama) diantaranya أنا، نحن

Sudah cukup mungkin perkenalan sedikit mengenai dhomir oleh penulis. Kali ini, dalam penulisan ini penulis ingin sedikit membahas tentang dhomir هُ dalam surat Al-Fath ayat 10. Kenapa penulis menulis tentang dhomir dalam ayat kesepuluh surat Al-Fath ini? Karena dalam ayat ini terdapat sedikit perbedaan mengenai dhomir هُ.

Dhomir Huwa/هُوَ  dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan harokat Dhommah sebagaimana juga boleh dibaca dengan Harokat Kasroh. Dua-duanya adalah bacaan yang benar baik secara Ilmu Qiroat maupun ilmu bahasa Arab.

 Ayat yang disebutkan dalam pertanyaan lafadz lengkapnya adalah sebagai berikut;

{إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا } [الفتح: 10]

Sesungguhnya  orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah . tangan Allah di atas tangan mereka , Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Al-Fath;10)

Lafadz عَلَيْه dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan mendhommahkan huruf Ha’ (عَلَيْهُ) sebagaimana boleh juga dibaca dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ). Dua-duanya adalah bacaan yang benar karena keduanya adalah Qiroat yang Mutawatir. Bacaan dengan mendhommahkan huruf Ha’ (عَلَيْهُ) adalah Qiroat Hafsh dan Az-Zuhry, sementara bacaan dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ) adalah Qiroat Jumhur, yaitu Qiroat Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah, Al-Kisai, Abu Ja’far, Ya’qub Al-Hadhromy, dan Kholaf Al-Bazzar.

Hukum asal Qiroat adalah Tauqifi, artinya diperoleh berdasarkan riwayat. Allah berfirman;

{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ} [القيامة: 16 – 18]

16. janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya .
17. Sesungguhnya atas tanggungankulah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Aku telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyamah; 16-18)

Ayat di atas menjadi dalil bahwa bacaan/Qiroat Al-Quran adalah Tauqifi dan tidak boleh dikarang-karang. Allah memerintahkan kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam agar mengikuti bacaan malaikat Jibril, dan hanya mengikuti tanpa berkreasi. Bacaan tersebutlah yang diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada shahabat dan dan di ajarkan para shahabat kepada para Tabi’in demikian seterusnya hingga sampai ke zaman kita sekarang ini.

Hanya saja, tidak benar jika membayangkan bahwa variasi bacaan Al-Qur’an hanya satu. Variasi bacaan Quran itu banyak karena Al-Quran turun dalam tujuh huruf. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (15/ 391)

عنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bahwa Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma telah menceritakan kepadanya bahwa; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah membacakan padaku dengan satu huruf, maka aku pun kembali kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga berakhirlah dengan Tujuh huruf  yang berbeda).” (H.R. Bukhari)

Muslim juga meriwayatkan;

صحيح مسلم (4/ 257)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا

dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sungai kecil  Bani Ghifar. Kemudian beliau didatangi Jibril ‘Alaihis salam seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan).” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan dua huruf.” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tiga huruf.” Beliau bersabda “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan mereka benar.” (H.R.Muslim)

Kisah Qiroat Umar juga menunjukkan hal ini. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (15/ 459)

عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ حَدِيثِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari hadits Al Miswar bin Makhzamah dan Abdurrahman bin Abd Al Qari` bahwa keduanya mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membacakan surat Al Furqan, maka aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan Huruf (cara bacaan) yang begitu banyak, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka aku pun ingin segera menyergapnya di dalam shalat, namun aku menunggunya hingga selesai salam kemudian memukul bagian atas dadanya  seraya bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini padamu?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan padanya, “Kamu telah berdusta. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membacakan surat -yang telah aku dengar ini darimu- padaku.” Maka aku pun segera membawanya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan cara baca yang belum pernah Anda ajarkan padakku. Dan sungguh, Anda telah membacakan surat Al Furqan padaku.” Akhirnya beliau bersabda: “Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya bacaan yang telah aku dengan sebelumnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seperti inilah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau bersabda lagi: “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian beliau bersabda: “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: “Al Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf,  karena itu bacalah mana yang mudah darinya.” (H.R.Bukhari)

Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengan jelas menunjukkan bahwa Qiroat Al-Quran itu tidak hanya satu variasi, tetapi lebih dari satu dan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan umatnya membaca salah satu dari variasi-variasi Qiroat tersebut. Dengan adanya fakta sejarah pengumpulan Al-Quaran dan periwayatannya maka para ulama merumuskan tiga syarat agar sebuah Qiroat bisa diterima: a.sesuai dengan Mushaf Utsmani b.sesuai dengan bahasa Arab, dan c. sanadnya Shahih.

Berdasarkan hal ini, bisa ditegaskan kembali bahwa Lafadz عَلَيْه dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan mendhommahkan huruf Ha’ (عَلَيْهُ) sebagaimana boleh juga dibaca dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ) karena keduanya Qiroat yang Mutawatir. Yang semisal dengan ini ada dalam surat Al Kahfi. Allah berfirman;

{وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ} [الكهف: 63]

“Tidak ada yang membuatku lupa selain Syetan” (Al-Kahfi; 63)

Lafadz  أَنْسَانِيهُ  bisa dibaca dengan mendhommahkan “Hu” (أَنْسَانِيهُ) bisa juga dengan mengkasrohkannya  (أَنْسَانِيهِ).

Ibnu Mujahid berkata dalam kitabnya As-Sab’ah;

السبعة في القراءات (ص: 603)

قوله ومن أوفى بما عهد عليه الله 10  قرأ حفص عن عاصم عليه مضمومة الهاء وقرأ الباقون عليه بكسر الهاء وهو قياس رواية أبى بكر عن عاصم

 Firman Allah; ومن أوفى بما عهد عليه الله , Hafsh dari ‘Ashim membaca dengan mendhommahkan Ha’ dan Qurro’ yang lain membacanya dengan mengkasrohkan Ha’ dan bacaan ini adalah Qiyas Riwayat Abu Bakr dari ‘Ashim  (As-Sab’ah, hlm 603)

 Ini adalah penjelasan dari segi ilmu Qiroat.

Adapun penjelasan dari segi bahasa, maka Lafadz عَلَيْهُ dalam ayat tersebut asalnya adalah kata عَلى  dan هُوَ kemudian kata ini digabung sehingga menjadi عَلَيْهُ. Kata هُوَ  sendiri dalam bahasa Arab adalah kata yang tergolong kelompok Dhomir (kata ganti), yakni Dhomir untuk orang ketiga tunggal yang maskulin. Dhomir, dalam bahasa Arab ada dua macam; Dhomir Munfashil dan Dhomir Muttashil. Dhomir Munfashil adalah Dhomir yang berdiri sendiri, terpisah dari kata lain seperti أَنَا (saya), نَحْنُ (kami/kita), هُوَ (dia, maskulin, tunggal), dll. Dhomir Muttashil, adalah Dhomir yang bersambung/bergabung dengan kata lain seperti كَتَبْتُ (saya menulis), إِنَّنِيْ (sesungguhnya saya), كِتَابُهُ (bukunya). Jika dhomir berupa Dhomir Muttashil, maka dia tidak akan lepas dari tiga posisi yaitu a.Posisi Rofa’ (Nominatif, pelaku, subyek, inti kalimat dan yang semakna) b.Posisi Nashob (Akusitif, obyek penderita, dan yang semakna) dan c.Posisi Jarr (geminitif, kepemilikan, dan yang semakna dengannya). Lafadz عَلَيْهُ dalam ayat tersebut dalam kajian ilmu Nahwu/I’rob digolongkan sebagai Dhomir Muttashil posisi Jarr/Geminitif karena bersambung dengan salah satu Harf Jarr, yaitu lafadz عَلى

Hukum asal pengharokatan huruf Ha’ Dhomir adalah didhommah tanpa membedakan apakah Harokat huruf sebelumnya adalah Dhommah, Fathah, Kasroh, maupun Ya’ yang disukun. contoh;

هذا كِتاَبُهُ

Ini adalah bukunya

قَرَأْتُ كِتَابَهُ

Saya membaca bukunya

أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهُ

Saya memegang bukunya

غَضِبْتُ عَلَيْهُ

Saya marah kepadanya

Tampak pada contoh-contoh di atas huruf Ha’ pada kata kitabuhu, kitabahu, bikitabihu, dan ‘alaihu, semuanya didhommah dan itu adakah pengharokatan yang benar karena merupakan pengharokatan hukum asal.

Namun, jika harokat sebelum Ha’ Dhomir adalah Kasroh dan Ya’ yang disukun, maka yang lebih afdhol dan lebih baik (tetapi tidak harus) adalah mengubah harokat Dhommah menjadi Kasroh. Hal itu dikarenakan harokat Kasroh “senafas” dengan harokat Kasroh dan Ya’ yang disukun sehingga pengucapannya lebih ringan. Berbeda jika memilih harokat hukum asal, yaitu Dhommah. Harokat Dhommah jika dikombinasi dengan Kasroh atau Ya’ yang disukun terasa berat dilidah untuk mengucapkannya karena tidak “senafas”. Jadi pada contoh diatas, ungkapan;

أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهُ

Saya memegang bukunya

غَضِبْتُ عَلَيْهُ

Saya marah kepadanya

Afdholnya dibaca dengan;

أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهِ

Saya memegang bukunya

غَضِبْتُ عَلَيْهِ

Saya marah kepadanya

Sibawaih berkata;

الكتاب – لسيبويه (ص: 382، بترقيم الشاملة آليا)

باب ما تكسر فيه الهاء التي هي علامة الإضمار

اعلم أن أصلها الضم وبعدها الواو؛ لأنها في الكلام كله هكذا؛ إلا أن تدركها هذه العلة التي أذكرها لك. وليس يمنعهم ما أذكر لك أيضاً من أن يخرجوها على الأصل.

فالهاء تكسر إذا كان قبلها ياءٌ أو كسرة؛ لأنها خفية كما أن الياء خفية

Bab mengkasrohkan huruf Ha’ Dhomir

Ketahuilah, hukum asal (pengharokatan)nya adalah Dhommah yang disusul Wawu karena huruf Ha’ tersebut dalam semua ucapan demikian itu (cara mengucapkannya). Kecuali ada sebab yang saya sebutkan pada Anda. Namun mereka (orang-orang Arab) tidak terhalangi untuk membacanya keluar dari kaidah asal yang telah saya sebutkan. Huruf Ha’ dhomir dikasrohkan  jika didahului Ya’ (yang disukun) atau Kasroh karena Kasroh ringan sebagaimana Ya’ juga ringan (Al-Kitab, hlm 382)

Perbedaan Mani Wanita Dan Keputihan


Banyak wanita yang tidak menyadari dirinya memiliki cairan mani layaknya pria.

Berikut ini sejumlah hadis yang menyebutkan tentang keberadaan mani perempuan:

1.Dari Tsauban, budak Nabi shallallahu’alaihi wasallam beliau berkata,

كُنْتُ قَائِمًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ حِبْرٌ مِنْ أَحْبَارِ الْيَهُودِ … قَالَ : جِئْتُ أَسْأَلُكَ عَنْ الْوَلَدِ ، قَالَ : ( مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ ، وَمَاءُ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ ، فَإِذَا اجْتَمَعَا فَعَلَا مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ أَذْكَرَا بِإِذْنِ اللَّهِ ، وَإِذَا عَلَا مَنِيُّ الْمَرْأَةِ مَنِيَّ الرَّجُلِ آنَثَا بِإِذْنِ اللَّهِ) قَالَ الْيَهُودِيُّ : لَقَدْ صَدَقْتَ

“Suatu ketika aku berdiri di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kemudian datanglah seorang pendeta Yahudi, lalu iapun berkata,
‘Aku datang untuk bertanya kepada Anda tentang anak.’
Jawab Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
‘Mani laki-laki berwarna putih, mani perempuan berwarna kuning. Jika keduanya berkumpul lalu mani laki-laki mengalahkan mani perempuan maka anak yang akan lahir adalah laki-laki, dengan ijin Allah. Namun jika mani perempuan mengalahkan mani laki-laki maka yang akan lahir adalah anak perempuan dengan ijin Allah.’
Lantas pendeta Yahudi tadi berkata, ‘Anda benar.’” (HR. Muslim no. 315)

2. Dari Ummu Sulaim bahwasanya beliau mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya,

يا رسول الله ، إن الله لا يستحي من الحق ، هل على المرأة من غسل إذا هي احتلمت ؟ قال : نعم ؛ إذا رأت الماء .

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu tentang kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah? Beliau lantas menjawab, “Ya, jika ia melihat air mani.” (HR. Bukhari no. 282)

Dalam riwayat lain disebutkan,
Bahwasanya Ummu sulaim bertanya kepada Nabiyullah shallallahu’alaihi wasallam tentang wanita yang bermimpi seperti halnya mimpinya laki-laki (mimpi basah-pen). Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjawab,

إِذَا رَأَتْ ذَلِكِ الْمَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ – وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ – قَالَتْ : وَهَلْ يَكُونُ هَذَا ؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (نَعَمْ ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ ، إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ ، وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ ، فَمِنْ أَيِّهِمَا عَلَا أَوْ سَبَقَ يَكُونُ مِنْهُ الشَّبَهُ

“Jika wanita tersebut mimpi basah hendaknya ia mandi.”
Ummu Sulaim berkata (kepada perowi), “Sebenarnya aku malu menanyakan hal ini.”
Ia kembali bertanya, “Mungkinkah hal itu terjadi (pada wanita)?”
Jawab Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Ya. (jika tidak) dari mana penyerupaan anak bisa mirip orangtuanya. Sesungguhnya air mani laki-laki itu kental putih. Sementara air mani perempuan itu encer kuning. Manakah diantara keduanya yang mengalahkan atau mendahului dari yang lain, darinyalah akan terjadi penyerupaan (terhadap anaknya).”(HR. Muslim no.311)

Hadis diatas secara jelas menyebutkan bahwa wanita itu memiliki mani. Bahkan wanita bisa mengalami mimpi basah seperti halnya laki-laki.

An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim,

وأما مني المرأة فهو أصفر رقيق وقد يَبْيضّ لفَضْل قُوَّتها ، وله خاصيتان يعرف بواحدة منهما أحدهما أن رائحته كرائحة مني الرجل والثانية التلذذ بخروجه وفتور قوتها عقب خروجه

“Mani perempuan berwarna kuning encer dan terkadang menjadi putih karena sebab bertambah kekuatan (syahwat) wanita tersebut. Mani wanita memiliki dua ciri khas yang diketahui dengan salah satu dari keduanya;
Pertama: Baunya seperti bau mani laki-laki.
Kedua: Terasa nikmat saat keluar dan setelah keluar terasa lemas syahwatnya.” (Al-Majmu’, 3:222)

Bila ada cairan yang keluar dari kemaluan wanita dengan salah satu ciri diatas maka sudah bisa dikatakan bahwa itu adalah mani.

An-Nawawi menegaskan, “Tidak disyaratkan harus terkumpul ciri-ciri mani diatas. Bahkan sebaliknya satu ciri saja sudah cukup untuk menghukumi sebagai mani.” (Al-majmu’ 3:222)

Ringkasnya ciri air mani wanita adalah:
1. Keluar dengan syahwat dan terasa nikmat. Artinya seorang wanita merasakan kelezatan saat mani keluar.
2. Terasa lemas setelah mani keluar.
3. Memiliki bau seperti mayang pohon kurma atau adonan tepung.
4. Warnanya kuning encer. Pada sebagian wanita warnanya putih.

Air mani wanita umumnya berwarna kuning encer atau putih encer yang memiliki tiga ciri (sebagaimana tiga ciri ini juga menjadi ciri air mani lelaki); 1.keluarnya disertai syahwat yang disusul perasaan letih/lesu sesudahnya 2.keluar dengan cara memancar/menyembur/menyemprot 3. Berbau khas seperti bau mayang kurma dalam kondisi basah, atau berbau seperti bau telur dalam kondisi kering. Adapun keputihan (Fluor Albus), umumnya berwarna bening atau sedikit kuning/keruh, tidak berbau dan tidak menimbulkan keluhan seperti gatal dan semisalnya.

Air mani dalam syariat dan juga dalam bahasa Arab disebut dengan الْمَنِيُّ  (Al-Maniyy). Penggunaan lafadz ini tidak membedakan antara lelaki dengan wanita. Air mani untuk lelaki disebut الْمَنِيُّ  sebagaimana air mani untuk wanita juga disebut الْمَنِيُّ . An Nawawi dalam Kitabnya “Tahriru Alfadzi At-Tanbih” mendefinisikan mani sebagai berikut;

تحرير ألفاظ التنبيه (ص: 38)

 ومني الرجل في الرجل في حال الصحة أبيض ثخين يتدفق في خروجه دفعة بعد دفعة ويخرج بشهوة ويتلذذ بخروجه ويعقب خروجه فتور ورائحته كرائحة طلع النخل قريبة من رائحة العجين وإذا يبس كانت كرائحة البيض وقد يفقد بعض هذه الصفات مع أنه مني موجب للغسل بأن يرق ويصفر لمرض أو يخرج بلا شهوة ولا لذة لاسترخاء وعائه أو يحمر لكثرة الجماع ويصير كماء اللحم وربما خرج دما عبيطا ويكون طاهرا موجبا للغسل وخواصه ثلاث الخروج بشهوة مع الفتور عقبه والثانية الخروج بتدفق الثالثة الرائحة التي تشبه رائحة الطلع كما سبق فكل واحدة من هذه الثلاث إذا انفردت اقتضت كونه منيا فإن فقد كلها فليس بمني  ومني المرأة أصفر رقيق وقد يبيض لفرط قوتها

“Mani pria pada seorang lelaki dalam kondisi sehat berwarna putih kental yang menyembur dengan cara berdenyut ketika keluar. Keluarnya disertai syahwat, dinikmati, dan disusul perasaan lesu sesudahnya. Baunya seperti bau mayang kurma yang dekat dengan bau adonan roti. Jika kering baunya seperti bau telur. Kadang-kadang beberapa ciri ini tidak terealisasi padahal air tersebut adalah air mani yang mengharuskan mandi, misalnya bersifat encer dan berwarna kuning karena ada penyakit,  atau keluar tanpa perasaan syahwat dan nikmat karena kendornya kantung mani, atau berwarna merah karena kebanyakan berhubungan sex sehingga menjadi seperti air daging, dan kadang-kadang keluar berupa darah kental yang dihukumi suci dan mengharuskan mandi. Cirinya (air mani) tiga; 1.keluar disertai syahwat dan disusul perasaan lesu 2. Keluar dengan menyembur dan 3.baunya menyerupai bau mayang kurma sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Masing-masing ciri ini jika terealisasi salah satu saja, maka pasti  itu air mani. Tapi jika tidak ada satupun yang terealisasi maka cairan itu bukan air mani. Air mani wanita berwarna kuning encer dan kadang-kadang berwarna putih karena kekuatan wanita yang luarbiasa (Tahriru Alfadzi At-Tanbih  hlm;38-39)

Berdasarkan keterangan di atas, air mani memiliki tiga ciri;
a.Keluarnya disertai syahwat dan disusul kelesuan tubuh
b.Keluar dengan menyembur c
.Baunya khas seperti bau mayang kurma.
Hanya saja, ada perbedaan sifat antara air mani laki-laki dengan air mani perempuan. Air mani laki-laki berwarna putih kental sementara air mani wanita berwarna kuning atau putih encer. Penyemburan air mani lelaki yang terjadi mirip denyutan yang semakin melemah dalam istilah zaman sekarang dinamakan Ejakulasi, sementara penyemburan air mani wanita dikenal dengan istilah Squirting.

Kadang-kadang tiga ciri di atas tidak terpenuhi semuanya karena berbagai faktor, seperti penyakit, keletihan, stres, kadar hormon dan sebagainya. Namun, hal ini tidak mengubah status cairan yang dikeluarkan untuk disebut air mani. Selama salah satu/lebih dari ciri-ciri yang dijelaskan tadi terpenuhi, maka cairan tersebut adalah air mani.  Jika cairan tersebut tidak memenuhi satupun dari ciri-ciri yang disebutkan, maka barulah  cairan itu dihukumi bukan air mani.

Jika wanita mengeluarkan air mani, maka wajib baginya untuk mandi besar didasarkan hadis berikut;

مسند أحمد – مكنز (59/ 281، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيمٍ أَنَّهَا سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْمَرْأَةِ تَرَى فِى مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ فَقَالَ « لَيْسَ عَلَيْهَا غُسْلٌ حَتَّى يَنْزِلَ الْمَاءُ كَمَا أَنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ حَتَّى يُنْزِلَ ».

“Dari Khoulah binti Al-Hakim bahwasanya beliau menanyai Nabi SAW tentang wanita yang melihat di dalam mimpi sebagaimana yang dilihat pria (bermimpi senggama/mimpi basah). Maka Nabi SAW menjawab; “Tidak ada kewajiban mandi baginya sampai mengeluarkan air (mani) sebagaimana pria tidak wajib mandi sampai keluar air mani” (H.R.Ahmad)

Adapun keputihan, maka cairan jenis ini adalah cairan normal yang umumnya menjadi ciri berakhirnya haid atau datangnya waktu haid. Secara fisik warnanya bening atau sedikit kuning/keruh. Cairan keputihan dalam bahasa Arab diistilahkan dengan nama التَّرِيَّةُ  (At-Tariyyah). Az-Zabidi dalam kitabnya “Tajul ‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus” menyatakan;

تاج العروس من جواهر القاموس – ث (37/ 246)

التَّرِيَّةُ ، كغَنِيَّةٍ : في بَقِيَّة حيْضِ المرْأَةِ أَقَلَّ من الصُّفْرةِ والُكدْرَةِ ، وأَخْفَى ، تَراها المرأَةُ عنْدَ طهْرِها فتَعْلم أنَّها قد طهرَتْ من حيْضِها

“At-Tariyyah, (dibaca dengan wazan) seperti Ghoniyyah; Pada sisa haid wanita (cirinya fisiknya) lebih terang dan cerah daripada warna kuning/keruh. Wanita melihatnya pada saat suci  sehingga (dengan keluarnya cairan itu) dia tahu bahwa dia telah suci dari haidnya (Tajul ‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus, Vol;38, hlm;246)

Keputihan adalah cairan normal yang ada pada setiap wanita dan tidak membuat wajib mandi besar. Adapula keputihan yang dianggap abnormal secara medis (keputihan patologis) karena berbau tidak sedap dan menimbulkan keluhan, namun keputihan jenis ini tetap dihukumi keputihan dan tidak membuat wajib mandi besar.

Secara medis keputihan disebut dengan “flour Albus” yaitu semacam cairan yang keluar dari vagina wanita. Keputihan ini ada dua jenis
[1] normal (fisiologis) yaitu keluar keluar menjelang menstruasi atau sesudah menstruasi ataupun masa subur,
[2] keputihan penyakit (patologis) yang disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus atau jamur) disertai dengan rasa gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina.

Ulama dahulu membahas istilah “ruthubah” (رطوبة) yaitu lendir yang keluar dari kemaluan wanita dan sekarang dikenal istilah “ifrazat” (إفرازات) yaitu keputihan. Para ulama menjelaskan hukum ifrazat/keputihan ini sebagaimana hukum ruthubah/lendir yang keluar dari kemaluan wanita.

Terdapat perbedaan pendapat ulama terkait pembahasan hal ini:

[1] Apakah keputihan najis atau tidak, pendapat terkuat tidak najis

[2] Jika keluar apakah membatalkan wudhu atau tidak, pendapat terkuat tidak membatalkan wudhu

Pembahasan pertama: keputihan tidak najis

Imam An-Nanawi menjelaskan mengenai ikhtilaf ulama dan merajihkan bahwa keputihan adalah suci, beliau menjelaskan,

رطوبة الفرج ماء أبيض متردد بين المذى والعرق فلهذا اختلف فيها …وقال صاحب الحاوى في باب ما يوجب الغسل نص الشافعي رحمه الله في بعض كتبه علي طهارة رطوبة الفرج

“Keputihan yang keluar dari kemaluan wanita yaitu cairan putih. Diperselisihkan sifatnya apakah disamakan dengan madzi dan cairan kemaluan. Karennya  ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya… Penulis kitab al-Hawi mengatakan, Imam as-Syafii menegaskan dalam sebagian kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita hukumnya adalah suci.”

Demikian Al-Mawardi menjelaskan,

قوله وفي رطوبة فرج المرأة روايتان … إحداهما هو طاهر وهو الصحيح من المذهب مطلقا

“Pendapat mengenai keputihan/lendir dari kemaluan wanita ada dua pendapat salah satunya adalah suci dan inilah yang shahih dalam mazhab kami secara mutlak.”

Dalil sucinya keputihan adalah hadits ‘Aisyah yang mengerik sisa mani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menempel pada baju, sedangkan mani tersebut sudah bercampur dengan cairan lendir kemaluan wanita karena keluar akibat berhubungan badan. Baju tersebut digunakan shalat dan sisa kerikan tersebut masih menempel sisanya

‘Aisyah berkata,

كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku mengerik mani itu dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Ibnu Qudamah menjelaskan mengenai hadits ini,

طهارته لأن عائشة كانت تفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه و سلم هو من جماع

“Hukumnya adalah suci, karena ‘Aisyah mengerik mani dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang keluar karena berhubungan badan.”

Pembahasan kedua: Jika keluar tidak membatalkan wudhu

Pendapat jumhur ulama mengatakan bahwa ini membatalkan wudhu. Mereka berdalil dengan hadits agar wanita yang istihadhah, yaitu keluar darah terus-menerus agar berwudhu setiap kali akan shalat. Ada juga Ulama yang berpendapat membatalkan wudhu, akan tetapi jika keluar terus-menerus, maka tidak membatalkan wudhu, beliau berkata,

فإنه ينقض الوضوء وعليها تجديده، فإن كان مستمراً، فإنه لا ينقض الوضوء

“Keluarnya keputihan membatalkan wudhu dan wajib baginya mengulangi wudhu, jika keluar terus-menerus, maka tidak membatalkan wudhu.”

Ini juga diperselihkan ulama, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah memilih pendapat yang tidak membatalkan wudhu.

Akan tetapi pendapat terkuat adalah tidak membatalkan wudhu dengan beberapa alasan, sebagaimana dalam kitab  “hukmu Ar-Ruthubah”, kami tuliskan rangkuman alasannya:

[1] Tidak ada dalil satupun baik shahih, hasan bahkan dhaif mengharuskan berwudhu jika keluar keputihan

[2] keputihan adalah hal yang biasa terjadi pada wanita baik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu hal yang biasa tentu akan ditanyakan oleh para sahabat wanita atau dijelaskan syariat

[3] Pembebanan harus wudhu setiap keluar  keputihan akan memberatkan bagi para wanita

[4] Allah menyebut haid adalah “kotoran” dalam Al-Quran dan lainnya suci, maka hukum asalnya keputihan adalah suci

[5] Dalam hadits dijelaskan bahwa “flek” yang keluar setelah suci adalah suci, maka apalagi sekedar keputihan yang tidak berkaitan dengan haid?

Jadi kesimpulannya: keputihan adalah suci dan keluarnya tidak membatalkan wudhu

Yang Mesti Diperhatikan Jika Melakukan Oral Seks


Bagi kebanyakan pasangan, seks oral (oral seks) biasanya dilakukan sebagai bagian dari pemanasan atau foreplay.  Kaum lelaki banyak yang menyukai aktivitas ini sebab oral seks mampu membakar fantasi mereka dalam meraih kepuasan.  Pria biasanya merasakan kenikmatan yang lebih tinggi dalam menerima maupun memberikan seks oral.

Dalam tradisi kaum Anshar
Wanita-wanita Anshor memandang jijik dan hina disetubuhi dengan gaya Doggy Style sehingga menolaknya, namun ternyata turun ayat yang mengoreksi bahwa gaya demikian boleh saja. Abu Dawud meriwayatkan;

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَال إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ }  أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ

"Dari Ibnu Abbas berkata, sesungguhnya Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya- dia telah khilaf, sesungguhnya terdapat sebuah pemukiman Anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama pemukiman Yahudi yang merupakan ahli kitab. Mereka memandang orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Maka mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Di antaranya adalah para ahli kitab tidak menggauli isterinya kecuali dengan cara miring berhadapan di mana hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang wanita.

Kaum Anshar mengambil tradisi tersebut sementara kaum Quraisy menggauli isteri mereka dengan cara yang ditentang (oleh kaum Anshar). Kaum Quraisy bersenang-senang dengan isterinya baik dengan model menghadap, membelakangi, serta terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang di antara mereka menikahi wanita anshar. Kemudian dia menggaulinya dengan cara Quraisy itu. Wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata: Sesungguhnya kami hanya didatangi dengan cara miring berhadapan, lakukan hal itu jika tidak jauhilah aku! Akhirnya tersebarlah permasalahan mereka berdua dan sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.

Yakni dalam keadaan menghadap, membelakangi, serta terlentang, pada tempat lahirnya anak (farji)." (HR. Abu Dawud)

Dalam perilaku Umar
Umar juga merasa tidak enak ketika menjimaki istrinya dari belakang sehingga berkonsultasi dengan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, namun ternyata Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam membolehkan. Ahmad meriwayatkan;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ

"Dari Ibnu Abbas berkata, Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bertanya: Apa yang membinasakanmu? Umar menjawab: Aku membalik tungganganku (istriku) tadi malam. Ibnu Abbas berkata: Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Ibnu Abbas melanjutkan: Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Lalu beliau mengatakan): "Bagaimana saja kamu kehendaki, baik dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan wanita haidh." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Thabarani, dan Abu Ya'la)

Alasan bahwa islam mencintai kebersihan, sementara oral seks itu kotor dan najis, juga kurang kuat, karena  peluang munculnya kotor saat bersenang-senang tidak  diharamkan dengan bukti foreplay yg mubah, padahal berpeluang mengeluarkan Madzi yang mengenai tubuh, bantal, selimut, kasur. dll.

Orang yang melakukan oral, sebagian dari mereka, sudah banyak yang dalam kondisi ereksi atau tegang sehingga tidak jarang para pasangan suami-istri ini sudah mengeluarkan pelumas berupa cairan bening atau biasa disebut dengan istilah madzi.

Jika ditelisik lebih dalam, selain air kencing, ada tiga jenis air yang keluar dari kemaluan manusia. Pertama, air sperma (mani). Sperma bisa diidentifikasi dari salah satu beberapa cirinya, yaitu keluar dengan memancar dan tersendat, ada bau yang khas seperti adonan roti/kue, terasa nikmat saat air itu keluar.

Kedua, air wadi, yaitu air keruh, kental yang biasa keluar setelah orang mengeluarkan air kencing mungkin disebabkan faktor capai atau hal lain.

Ketiga, air madzi, yaitu air bening yang keluar dari kemaluan, baik dari seorang pria maupun wanita yang biasanya disebabkan karena faktor syahwat. Baik disebabkan karena membayangkan, melihat atau sedang pemanasan (foreplay).

Di antara semua air yang keluar tersebut hukumnya najis kecuali sperma. Seseorang yang mengeluarkan sperma, wajib mandi. Sedangkan wadi dan madzi hanya mewajibkan wudhu, tidak harus mandi, serta harus dibersihkan sebagaimana membersihkan najis seperti biasanya.

Bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan intim, tentu sangat kesulitan jika harus menghindari madzi ini. Karena madzi memang diciptakan Allah untuk melengkapi kegiatan jima' yang dilegalkan dalam syara' bagi pasangan yang sah. Ia menjadi pelumas untuk sebuah lancarnya hubungan senggama.

Padahal apabila kita melihat fiqih dasarnya, ada sebuah aturan bahwa seseorang tidak diperkenankan mengotori tubuh dengan najis tanpa ada alasan yang jelas, apalagi memasukkan najis tersebut ke dalam tubuh, tentu tidak diperbolehkan.

Madzi merupakan cairan najis. Ia berlaku hukum yang sama. Artinya tidak boleh sampai masuk ke dalam tubuh, termasuk masuk ke kelamin seorang istri. Tetapi karena hal ini sangat sulit dihindari, maka syara' memberikan toleransi sehingga madzi bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan suami-istri hukumnya dima'fu (diampuni).

ومحل طهارة المنى ان كان رأس الذكر والفرج الذى خرج منه المنى طاهرا والا كان متنجسا وحرم الجماع كالمستنجى بالحجر اذا خرج منه منى فانه يتنجس به نعم يعفى عمن ابتلى به بالنسبة للجماع إهـ

Artinya, “Tempat sucinya sperma itu jika memang kepala batang dzakar dan farji yang keluar murni berupa mani yang suci. Jika tidak murni suci, hukumnya (mani itu) najis dan haram bersenggama dengan kondisi seperti demikian sebagaimana orang orang istinja' dengan batu ketika air sperma keluar dari situ. Karena hal itu menjadikan najis. Iya, diampuni dari orang yang kesulitan menghindari hal tersebut dengan nisbat untuk jima',” (Lihat I'anatuth Thalibin, juz I, halaman 85).

Hukum ma'fu hanya mempunyai arti diampuni, tidak mengubah status najis menjadi suci. Maksudnya najis tetap najis, tidak bisa berubah menjadi suci. Madzi itu najis. Selamanya, hukum madzi tetap najis. Tidak bakal berubah menjadi suci. Hanya saja, bagi suami istri yang sedang bercinta, cairan ini diampuni. Sedangkan madzi jika dalam kondisi selain jima', hukumnya tetap najis.

Contoh, darah nyamuk yang sedikit itu hukumnya najis, tetapi dima'fu jika terkena tubuh atau pakaian. Ini dinisbatkan untuk shalat. Jadi orang yang tangannya terkena darah nyamuk, boleh langsung melaksanakan shalat tanpa harus membersihkan darah tersebut karena dima'fu.

Diampuninya darah pada tangan untuk shalat ini tidak berlaku apabila tangan yang terkena darah nyamuk kemudian dicelupkan ke dalam air satu gelas untuk kemudian diminum. Jika dicelupkan ke dalam air segelas, semua air dalam gelas menjadi najis. Ia dima'fu untuk shalat namun tidak dima'fu untuk diminum.

Kembali tentang pembahasan madzi. Madzi merupakan kebutuhan wajib bagi pasangan senggama dan sangat sulit menghindarinya. Oleh karena itu hukumnya dima'fu. Tetapi dima'funya ini tidak berlaku jika madzi masuk mulut bagi orang yang melakukan oral seks. Karena mulut itu bukan tujuan utama orang bercinta yang madzi tidak diciptakan untuk menjadi pelumas mulut, namun pelumas vagina.

Di sinilah alasan sebagian ulama yang tidak memperbolehkan oral seks itu karena hampir pasti akan ada pelumas yang masuk ke mulut. Ini tidak boleh.

Adapun ulama yang memperbolehkan oral seks, mereka tidak melihat dari sudut pandang najis tidaknya madzi. Mereka lebih melihat pada hukum dasar bahwa hal tersebut diperbolehkan tanpa memandang hukum madzi. Mungkin saja ada orang yang hubungan senggamanya kering sehingga ia tidak punya madzi. Jadi tidak mempunyai alasan untuk melarang hubungan oral seks.

Kesimpulannya, pertama, madzi atau air lubricant yang diproduksi tubuh hukumnya najis tetapi dima'fu jika masuk ke vagina istrinya karena hal ini sangat susah untuk dihindari.

Kedua, oral seks diperbolehkan namun tidak boleh mengabaikan hukum bahwa madzi atau cairan yang masuk ke mulut hukumnya adalah najis. Ia dima'fu jika masuk ke liang vagina saja. Jika masuk ke mulut, itu bukan keadaan yang sulit dihindari, maka hukumnya tetap najis tidak dima'fu.

Ketiga, pasangan yang ingin melakukan hubungan oral seks bisa memakai kondom yang suci supaya yang masuk ke mulut adalah benda suci. Jika tidak memakai kondom, apabila ada najis yang masuk ke mulut, harus segera dikeluarkan kembali, tidak boleh ditelan. Setelah itu mulutnya harus disucikan secepatnya dengan mekanisme pembersihan najis sebagaimana pada umumnya yaitu dengan berkumur dan lain sebagainya.

Resiko penyakit pada oral seks adalah informasi medis, bukan bukti medis.

Penjelasannya, informasi medis dan bukti medis diistilahkan oleh KH. Arwani Faishal ketika mengomentari madharat rokok. Diungkapkan olehnya bahwa hasil penelitian medis sekarang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun tentang kemudharatan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi.

Tangan yang tidak dicuci menurut informasi medis rentan resiko penyakit Flu Singapura, Hepatitis A, Shigellosis (bakteri diare), dan Giardiasis (parasit usus). Sementara dari bukti medis belum diketahui berita masyarakat yang jatuh sakit karena makan tidak cuci tangan.

Dalam bahasa fiqih, dharar yang belum tahaqquq (belum sampai pada taraf bukti medis) tidak akan berimbas pada hukum haram.

Ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami:

فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ

"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225).

Perlu diketahui bahwa analisa istinbath hukum dari bahan konsumsi yang madharat setidaknya diproses lewat lima tahapan. Metodologi ini disarikan dari fatwa Ibnu Hajar ketika menjelaskan golongan tumbuhan yang madharat.

1.Tahapan pertama, tahaqquq dharar. Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifat dhararnya tahaqquq. Bila tidak tahaqquq maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah ke tahap kedua.

2.Tahapan kedua, qath'i dharurat dharar. Yakni menelusuri apakah dharar itu bersifat qath'i darurat lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dijamin stabil dihukumi dharar dari masa ke masa. Hal ini mustahil mengingat hasil riset pernyataan madharat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari, sehingga melangkah ke tahap ketiga.

3.Tahapan ketiga, khabar mutawatir tentang dharar. Yakni menelusuri apakah ada khabar mutawatir tentang madharat tersebut dari golongan yang reputasi adil. Bila ada maka dijadikan pegangan, namun bila timbul dua khabar mutawatir saling bertentangan maka melangkah ke tahap keempat.

4.Tahapan keempat, memadukan khabar mutawatir dharar yang bertentangan. Yakni bila dua khabar itu bisa dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengarahkan khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada sebagian kondisi yang lain.

5.Tahapan kelima, tarjih khabar dharar. Yakni bila khabar mutawatir itu tidak bisa dipadukan maka kedua khabar berubah statusnya menjadi hukum zhanni. Dalam perspektif dalil zhanni maka boleh mentarjih satu dari dua khabar bertentangan yang dianggap lebih dipercaya, memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya (ketika tidak ada pertentangan khabar), atau lewat pembuktian pada diri sendiri atas madharat tersebut.

Berikut sejumlah kutipan ta'bir terpisah dari fatwa Ibnu Hajar untuk dijadikan acuan:

Ta'bir tahapan pertama:

فَوَرَاءَ ذلك نَظَرٌ آخَرُ وهو أَنَّ ما يَخْتَلِفُ كَذَلِكَ هل النَّظَرُ فيه إلَى عَوَارِضِهِ اللَّاحِقَةِ له فَيَحْرُمُ على من ضَرَّهُ دُونَ من لم يَضُرَّهُ أو إلَى ذَاتِهِ فَإِنْ كان مُضِرًّا لِذَاتِهِ حَرُمَ مُطْلَقًا وَإِلَّا لم يَحْرُمْ مُطْلَقًا

"Di balik semua pentafshilan itu ada sebuah pertimbangan, yakni pada dampak yang berlainan seperti itu, yang dijadikan pertimbangan nanti apakah karena faktor luar yang dijumpai pada benda itu sehingga diharamkan bagi yang terkena madharat saja dan bukan bagi lainnya, atau bisa karena faktor esensi benda itu, bila secara alamiah berbahaya maka diharamkan sedang bila tidak berbahaya maka tidak diharamkan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)

فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ

"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225)

Ta'bir tahapan kedua:

وَبِالضَّرُورَةِ الْقَطْعِيَّةِ الْعِلْمُ بِحَقِيقَةِ هذا النَّبَاتِ مُتَعَسِّرٌ لِأَنَّهُ لَا طَرِيقَ إلَى الْعِلْمِ بها إلَّا خَبَرُ الصَّادِقِ وهو ما يَئِسَ منه إلَى أَنْ يَنْزِلَ عِيسَى على نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَأَزْكَى السَّلَامِ أو التَّجْرِبَةُ وَهِيَ مُعْتَذِرَةٌ -إلى أن قال-

ثُمَّ قُلْت له لَا بُدَّ أَنْ تَسْتَنِدَ إلَى حُجَّةٍ لم يَقَعْ فيها تَعَارُضٌ وَلَا نِزَاعٌ وَهِيَ التَّجْرِبَةُ فقال لَا يُمْكِنُنِي لِأَنَّ التَّجْرِبَةَ تَسْتَدْعِي مِزَاجًا وَزَمَانًا وَمَكَانًا مُعْتَدِلَاتٍ وَعَدَالَةَ الْمُجَرِّبِ لِأَنَّهُ يُخْبِرُ عَمَّا يَجِدَهُ من ذلك النَّبَاتِ فَلَا بُدَّ من عَدَالَتِهِ حتى يُقْبَلَ إخْبَارُهُ وَذَلِكَ كُلُّهُ مُتَعَذِّرٌ في هذه الْأَقَالِيمِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدِلَةٍ

"Sulit mengetahui hakekat dari tumbuhan ini secara hukum dharurat qath'i. Sebab tidak ada jalan untuk sampai pada taraf tahu kecuali dengan khabar dari seorang yang shadiq, yaitu seseorang yang mampu hidup dari masa ia hidup sampai masa turunnya Nabi Isa kelak -'ala nabiyyina wa 'alaihi wa 'ala sairil anbiyai wal mursalin afdhalush shalat wa azkas salam- ataupun dengan percobaan (riset).

Aku katakan padanya: Hal itu wajib disandarkan pada hujjah yang tidak mengenal pertentangan dan perselisihan. Dia berkata: Itu mustahil bagiku, sebab riset percobaan selalu bergejolak seiring waktu dan tempat yang bersesuaian, juga dikarenakan syarat adilnya pelaku riset mengingat dia yang mengkhabarkan penemuan dari tumbuhan itu, sehingga wajib diketahui sifat adilnya agar khabarnya bisa diterima. Semua hal itu mustahil di masa sekarang sebab hasil riset tidaklah stabil" (Fatawa al-Kubra, 4/224).

Ta'bir tahapan ketiga:

فَنَتَجَ من هذا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا طَرِيقَ لنا إلَى الْعِلْمِ بِحَقِيقَتِهِ إلَّا مُجَرَّدُ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ من مُتَعَاطِيهِ بِمَا يَجِدُونَهُ منه

"Bisa disimpulkan dari semua hal tadi (kemustahilan khabar shadiq dan riset) bahwa tidak ada jalan lain mencapai taraf benar-benar tahu selain dengan khabar mutawatir semata dari penemuan orang-orang yang terlibat dengannya." (Fatawa al-Kubra, 4/224).

Ta'bir tahapan keempat:

ولم يَتِمَّ لِمَا عَلِمْت مِمَّا أَشَرْت إلَيْهِ من الْخِلَافِ فيه وَالِاخْتِلَافِ إذْ الْقَائِلُونَ بِالْحِلِّ نَاقِلُونَ عن عَدَدٍ مُتَوَاتِرٍ أَنَّهُ لَا ضَرَرَ فيه بِوَجْهٍ وَالْقَائِلُونَ بِالْحُرْمَةِ نَاقِلُونَ عن عَدَدِ التَّوَاتُرِ أَنَّ فيه آفَاتٍ وَمَفَاسِدَ

وَغَلَبَ على الظَّنِّ أَنَّ سَبَبَ ذلك الِاخْتِلَافِ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ تَأْثِيرُهُ وَعَدَمُ تَأْثِيرِهِ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ بِغَلَبَةِ أَحَدِ الْأَخْلَاطِ وَالطَّبَائِعِ الْأَرْبَعِ عليها وَأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ التَّوْفِيقُ بين هذه الْأَخْبَارِ الْمُتَنَاقِضَةِ مع عَدَالَةِ قَائِلِهَا وَبَعْدَ كَذِبِهِمْ إلَّا بِأَنْ يُفْرَضَ أَنَّهُ يُؤَثِّرُ في بَعْضِ الْأَبَدَانِ دُونَ بَعْض

وقد أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِمَا قَدَّمْتُهُ فَتَعَيَّنَ الْمَصِيرُ إلَيْهِ وَأَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ إذْ الْقَاعِدَةُ الْأُصُولِيَّةُ أَنَّهُ مَتَى أَمْكَنَ الْجَمْعُ لَا يُعْدَلُ إلَى التَّعَارُضِ

"Hujjah dengan khabar mutawatir tidak sempurna diterima sebab dijumpainya khilaf yang telah aku isyaratkan. Kaum yang berkata halal mengutip khabar dari golongan mutawatir bahwa tumbuhan itu tidak madharat, sementara kaum lainnya berkata haram sembari mengutip juga khabar dari golongan mutawatir tentang bahaya dan dampak buruknya.

Timbul dugaan kuat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara dari bahwasanya berdampak atau tidaknya tergantung dari perbedaan watak seseorang yang dipengaruhi oleh dominasi salah satu dari empat elemen tubuh. Tidak dimungkinkan perpaduan pendapat di antara khabar yang bertentangan ini di mana pembawa kabar telah dianggap adil kemudian dianggap berdusta, kecuali dengan membuat ketentuan bahwa efek tumbuhan tersebut berdampak buruk bagi sebagian orang dan tidak bagi lainnya.

Telah dimungkinkan memadukan dua khabar tadi dengan metode yang kujelaskan, maka kembalilah berpegang pada metode tadi. Dampak buruk itu bisa berbeda tergantung tabiat orangnya, sebab memandang juga kaidah ushul ketika mungkin untuk dipadukan maka tidak boleh beralih pada pertentangan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)

Ta'bir tahapan kelima:

وَلَيْسَ هذا أَمْرًا قَطْعِيًّا كما عَلِمْت لِتَطَرُّقِ التُّهَمِ وَالْكَذِبِ إلَى بَعْضِ الْمُخْبِرِينَ عنه بِضَرَرٍ أو عَدَمِهِ وَتَوَاتُرِ الْخَبَرِ في جَانِبٍ مُعَارِضٍ بِتَوَاتُرِهِ في جَانِبٍ آخَرَ بِخِلَافِهِ فَسَقَطَ النَّظَرُ فيه إلَى الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ وَوَجَبَ النَّظَرُ فيه إلَى أَنَّهُ تَعَارَضَ فيه أَخْبَارٌ ظَنِّيَّةُ الصِّدْقِ وَالْكَذِبِ

وَعَلَى فَرْضِ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بِذَلِكَ لِمَا مَرَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُخْبِرِينَ سَلَبَ الضَّرَرَ عن هذا النَّبَاتِ سَلْبًا كُلِّيًّا وَبَعْضُهُمْ أَثْبَتَهُ له إثْبَاتًا كُلِّيًّا فَيَجِبُ الْإِمْعَانُ في تَرْجِيحِ أَحَدِ الْمُخْبِرِينَ بِدَلَائِلَ وَأَمَارَاتٍ بِحَسَبِ اسْتِعْدَادِ الْمُسْتَدِلِّ وَتَضَلُّعِهِ من الْعُلُومِ السَّمْعِيَّةِ وَالنَّظَرِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْإِلَهِيَّةِ وَهَذَا شَأْنُ كل حَادِثَةٍ لم يَسْبِقْ فيها كَلَامُ الْمُتَقَدِّمِينَ

"Hal ini bukan lagi hukum qath'i sebab ada dugaan sifat tercela dan dusta pada sebagian pembawa khabar dharar atau tidaknya tanaman itu, juga sebab munculnya khabar mutawatir di sisi yang berseberangan dengan khabar mutawatir lainnya. Maka tidak berlaku lagi pertimbangan akan khabar mutawatir, yang menjadi ketentuan sekarang adalah pertimbangan akan adanya pertentangan beberapa khabar zhanni yang mungkin benar dan salah.

Dengan berpijak pada ketentuan tidak dimungkinkannya memadukan khabar tersebut, sebab sebagian kalangan menolak dharar pada tanaman itu sepenuhnya dan sebagian lagi menetapkannya, maka wajib teliti dalam mentarjih salah satu khabar dengan mengacu pada sejumlah dalil dan pertanda tertentu, di mana hal itu tergantung pada kualitas gagasan pendapat orang dijadikan dalil serta kematangan dan analisis ilmu syariatnya. Ini adalah konteks yang berlaku pada setiap perkara kontemporer yang tidak dijumpai pendapat ulama mutaqaddimin mengenainya." (Fatawa al-Kubra, 4/225).

والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام ، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره ، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً ، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها

"Pendapat yang jelas, bahwasanya jika didapati padanya dampak yang diharamkan bagi orang yang terkena dampak buruk tersebut pada pikiran atau tubuhnya maka dihukumi haram. Sebagaimana haramnya madu bagi orang yang sakit demam dan haramnya lumpur bagi yang terkena dampak madharatnya. Kadang dijumpai hal yang membuatnya mubah bahkan sunah, sebagaimana ketika dipergunakan untuk berobat berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa itu bisa diminum untuk dijadikan obat." (Bughyatul Mustarsyidin: 552).

Oral seks secara dzatiahnya dihukumi mubah, mengingat tidak ada ketentuan khusus nash tentang hal itu sehingga dikembalikan pada hukum mubahnya.

Namun oral seks dilihat dari amrun 'aridh (faktor eksternal) bisa menjadi makruh ketika :

- Dilakukan dengan mata terbuka, sebab ada pendapat yang masyhur tentang makruhnya melihat farji (kelamin lelaki dan wanita).

( وَلِلزَّوْجِ ) وَالسَّيِّدِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ ( النَّظَرُ إلَى كُلِّ بَدَنِهَا ) أَيْ الزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوكَةِ الَّتِي تَحِلُّ وَعَكْسُهُ ، وَإِنْ مَنَعَهَا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ ، وَإِنْ بَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ مَنْعَهَا إذَا مَنَعَهَا وَلَوْ الْفَرْجَ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَوْ حَالَةَ الْجِمَاعِ

"[Boleh bagi suami] juga bagi majikan hamba sahaya di masa hidupnya [melihat setiap badan wanita] istrinya dan sahayanya yang mana dihalalkan serta diperbolehkan juga sebaliknya, meskipun suami/majikan itu tidak berkenan [auratnya dilihat oleh wanita, pen] sebagaimana penjelasan general para ulama, meskipun imam az-Zarkasyi membahas tentang larangannya ketika pihak lelaki tidak memperkenankan, meskipun melihat pada farji namun disertai hukum makruh meskpun saat bersetubuh." (Tuhfatul Muhtaj, 29/281).

- Dilakukan sampai inzal (keluar mani), sebab akan terhukumi sebagaimana 'azl yang juga masyhur hukum makruhnya.

ويكره بنحو يدها كتمكينها من العبث بذكره حتى ينزل لأنه في معنى العزل

"Dimakruhkan istimna dengan tangan istrinya, sebagaimana dimakruhkan memperkenankan istrinya bermain-main dengan dzakarnya sampai keluar mani, sebab hal disamakan konteksnya dengan 'azl." (Fathul Mu'in, 4/143).

Seyogyanyalah setiap aktivitas yang berkaitan dengan alat kelamin untuk dibasuh setelahnya ketika hal itu dilakukan sampai terjadinya orgasme (inzal), baik pada mulut ataupun alat kelamin itu sendiri, sebagai sikap kehati-hatian atas peluang keluarnya madzi yang mengiringi mani.

فَلْيَغْسِلْ ما أَصَابَهُ منه وَإِنْ لم نَحْكُمْ بِنَجَاسَتِهِ احْتِيَاطًا رِعَايَةً لِلْغَالِبِ الذي ذَكَرَهُ من سَبْقِ الْمَذْيِ النَّجِسِ لِلْمَنِيِّ الذي يَعْقُبُهُ

"Maka basuhlah apa yang bersentuhan dengan dzakar meskipun ketika kita tidak menghukuminya najis, sebagai sikap hati-hati dan bentuk antisipasi atas umumnya peristiwa yang telah dituturkan mengenai madzi yang keluar mendahului mani." (Fatawa Kubra, 1/42).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...