Selasa, 02 November 2021

Hukum Seputar Masalah Haidh


Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

اعلم ان باب الحيض من عويص الابواب ومما غلط فيه كثيرون من الكبار لدقة مسائله واعتنى به المحققون وأفردوه بالتصنيف في كتب مستقلة وافرد أبو الفرج الدارمي من أئمة العراقيين مسألة المتحيرة في مجلد ضخم ليس فيه الا مسألة المتحيرة وما يتعلق بها وأتي فيه بنفائس لم يسبق إليها وحقق أشياء مهمة من أحكامها

“Ketahuilah, bahwasannya permasalahan haidl termasuk masalah yang rumit. Dan termasuk di antara permasalahan dimana banyak orang besar telah tersalah di dalamnya, dikarenakan sulitnya permasalahan. Para peneliti (muhaqqiqiin) merasa perlu untuk menuliskannya dalam satu buku tersendiri untuk membahasnya. Abul-Faraj Ad-Daarimiy – salah seorang ulama ‘Iraq – telah menuliskannya dalam satu jilid yang besar dimana tidak ada permasalahan di dalamnya kecuali permasalahan yang membingungkan (bagi banyak orang) dan yang berkaitan dengannya. Beliau menyebutkan dalam kitab tersebut bermacam-macam permasalahan berharga yang belum pernah disebutkan sebelumnya serta melakukan penelitian sesuatu yang penting dari hukum-hukumnya [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 2/380, tahqiq : Muhammad Najiib Al-Muth’iy; Maktabah Al-Irsyaad].

Beliau rahimahullah melanjutkan :

ولا التفات إلى كراهة ذوى المهانة والبطالة فان مسائل الحيض يكثر الاحتياج إليها لعموم وقوعها.

وقد رأيت ما لا يحصي من المرات من يسأل من الرجال والنساء عن مسائل دقيقة وقعت فيه لا يهتدى إلى الجواب الصحيح فيها الا أفراد من الحذاق المعتنين بباب الحيض ومعلوم أن الحيض من الامور العامة المتكررة ويترتب عليه ما لا يحصي من الاحكام كالطهارة والصلاة والقراءة والصوم والاعتكاف والحج والبلوغ والوطئ والطلاق والخلع والايلاء وكفارة القتل وغيرها والعدة والاستبراء وغير ذلك من الاحكام فيجب الاعتناء بما هذه حاله

وقد قال الدارمي في كتاب المتحيرة : (الحيض كتاب ضائع لم يصنف فيه تصنيف يقوم بحقه ويشفي القلب). وانا أرجو من فضل الله تعالى ان ما أجمعه في هذا الشرح يقوم بحقه أكمل قيام وانه لا تقع مسألة الا وتوجد فيه نصا أو استنباطا لكن قد يخفى موضعها على من لا تكمل مطالعته وبالله التوفيق

“Tidak perlu perlu untuk ditengok kebencian orang-orang yang merendahkan dan menghalangi (pembahasan ini). Sesungguhnya permasalahan haidl banyak dibutuhkan karena kejadiannya telah umum menyebar.

Aku telah melihat, tidak terkira banyaknya orang-orang yang bertanya, baik laki-laki maupun wanita, atas permasalahan-permasalahan rumit yang ada padanya, dimana permasalahan itu tidak akan dapat dijawab dengan benar melainkan orang yang memang ahli dan memberikan perhatian kepada masalah haidl. Telah diketahui bahwa haildl merupakan perkara-perkara umum yang terjadi secara berulang, dan berpengaruh pada hukum-hukum yang tidak terhitung banyaknya seperti :thaharah (bersuci), shalat, membaca Al-Qur’an, puasa,i’tikaf, haji, masa baligh, jima’, thalaq, khulu’, iilaa’, kafarat pembunuhan, ‘iddah, istibraa’, dan hukum-hukum yang lainnya. Maka wajib bagi setiap orang untuk memberkan perhatian terhadap permasalahan ini.

Ad-Daarimiy telah berkata dalam kitab Al-Mutahayyirah : “Haidl adalah kitab yang hilang yang tidak ditulis di dalamnya satu tulisan yang dapat yang dapat menerangkannya dengan sebenar-benarnya dan melegakan hati”. Dan aku (An-Nawawi) berharap dari keutamaan Allah bahwa apa yang aku himpun dalam penjelasan ini (yaitu dalam kitab Al-Majmu’) dapat menjelaskan dengan sebenar-benarnya secara sempurna. Dan agar tidak ada satu masalah pun kecuali didapatkan nash atau kesimpulan hukum padanya. Akan tetapi terkadang satu permasalahan menjadi samar bagi orang yang tidak mengkajinya secara menyeluruh. Wabillaahit-taufiq” [idem, 2/381].

Definisi Haidl

1.    Definisi Secara Etimologis (Bahasa)

Al-Mawardi :

وَسُمِّيَ حَيْضًا لِسَيَلَانِهِ مِنْ رَحِمِ الْمَرْأَةِ ، مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِ : حَاضَ السَّبِيلُ ، وَفَاضَ إِذَا سَالَ..... الشَّرْعُ لَهُ بِسِتَّةِ أَسْمَاءٍ : الْحَيْضُ وَالطَّمْثُ وَالْعَرْكُ وَالضَّحِكُ وَالْإِكْبَارُ وَالْإِعْصَارُ

“Darah haidl dinamakan haidl, karema darah itu mengalir dari rahim wanita. Pengertian ini diambil dari perkataan : ‘haadlas-sailu idzaa faadla’ (banjir meluap)”…… Dan syara’ mempunyai enam nama untuk darah haidl, yaitu : al-haidlu, ath-thamtsu, al-‘arku, adl-dlahiku, al-ikbaaru, dan al-i’shaaru” [Al-Haawiy, 2/378-379; Daarul-Fikr – dengan peringkasan].

2.    Definisi Secara Terminologis (Syar’iy).

Al-Kasaaniy rahimahullah berkata :

اسم لدم خارج من الرحم لا يعقب الولادة مقدر بقدر معلوم في وقت معلوم

“Nama bagi darah yang keluar dari rahim wanita yang bukan disebabkan karena melahirkan, dengan dibatasi batas dan waktu tertentu” [Badaai’ush-Shanaai’ oleh ‘Alaauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kassaaniy, 1/39; Daarul-Kutub Al-‘Arabiy, Cet. 1].

Haidl merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi seluruh kaum wanita, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

فإن هذا أمر كتبه الله على بنات آدم

“Sesungguhnya perkara ini (haidl) telah dituliskan (ditetapkan) oleh Allah kepada anak-anak perempuan Adam” [HR. Al-Bukhari no. 294, Muslim no. 1213, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 4/344 no. 8725, dan yang lainnya].

Bahkan Hawaa’ ‘alaihas-salaam merupakan wanita pertama yang mengalami haidl sebagaimana disebutkan Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul-Bariy (1/400) dari Al-Haakim dan Ibnul-Mundzir dengan sanad shahih, bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :

أن ابتداء الحيض كان على حواء بعد أن أهبطت من الجنة

“Sesungguhnya wanita pertama yang mengalami haidl adalah Hawaa’ seteah ia diturunkan dari surga”.

Haidl adalah Salah Satu Tanda Baligh Bagi Wanita

Para ulama telah ijma’ bahwasannya haidl merupakan tanda baligh bagi seorang wanita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

لا تقبل صلاة حائض إلا بخمار

“Tidak diterima shalat wanita yang telah mengalami haidl kecuali ia memakai khimar” [HR. Ahmad 6/259; hasan lighairihi – sebagaimana dijelaskan oleh Abu ‘Amr Dibyaan bin Muhammad Ad-Dibyaan dalam Al-Haidl wan-Nifaas,hal. 46-50]

Lamanya Waktu Haidl

Para ulama berbeda pendapat dalam banyak ragam perkataan. Pendapat yang rajih adalah tidak ada batas minimal dan maksimal bagi wanita yang haidl.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وأما الذين يقولون‏:‏ أكثر الحيض خمسة عشر، كما يقوله‏:‏ الشافعي وأحمد، ويقولون‏:‏ أقله يوم، كما يقوله الشافعي وأحمد‏.‏ أو لا حد له كما يقوله مالك، فهم يقولون‏:‏ لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه في هذا شيء، والمرجع في ذلك إلى العادة، كما قلنا‏.‏ واللّه أعلم‏.

“Baik ulama yang menyatakan bahwa batas waktu haidl paling lama adalah lima belas hari, sebagaimana pendapat Asy-Syafi’iy dan Ahmad, dan paling sedikit satu hari sebagaimana pendapat Asy-Syafi’iy dan Ahmad juga; atau tidak ada batas waktu tertentu seperti Maalik – semua mengakui bahwa tidak ada dalil yang datang dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat dalam hal ini. Sehingga dasar pertimbangan waktu haidl dikembalikan pada kebiasaan, seperti yang telah kami katakan. Wallaahu a’lam” [Majmu’ Fataawaa, 21/623].

Ketentuan di atas berlaku untuk wanita yang mempunyai kebiasaan tetap. Adapun yang kebiasaannya tidak tetap (karena kelainan atau penyakit), maka dia melakukan perbandingan. Maksudnya, jika kebiasaannya terdahulu dari waktu haidl adalah lima sampai tujuh hari dalam setiap bulannya, maka ia hitung masa haidlnya selama waktu itu dan selebihnya dihitung darah istihadlah. Ia mandi dan mengerjakan segala kewajibannya (shalat, puasa, dan yang lainnya) bersamaan dengan darah yang masih keluar. Berkenaan dengan ini terdapat hadits Ummu Salamah yang ia meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan wanita yang mengeluarkan darah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لتنظر عدة الليالي والأيام التي كانت تحيضهن من الشهر قبل أن يصيبها الذي أصابها فلتترك الصلاة قدر ذلك من الشهر فإذا بلغت ذلك فلتغتسل ثم تستثفر بثوب ثم تصلي

“Hendaklah ia menghitung malam-malam dan hari-hari dimana ia haidl di bulan sebelum ia tertimpa (kelainan/penyakit) yang menimpanya. Maka, ia tinggalkan shalat sebanyak hari di bulan tersebut. Apabila ia telah melampaui hitungan hari itu, hendaklah ia mandi dan kemudian mengencangkan pakaiannya, lalu ia melaksanakan shalat” [HR. Ahmad 6/320, shahih].

Dan bila hal itu terus berlanjut pada dirinya, sementara ia tidak memiliki kebiasaan tetap yang diketahui, maka haidlnya terhitung enam atau tujuh hari sesuai dengan kebiasaan kebanyakan wanita.

عن حمنة بنت جحش قالت : كنت أُسْتَحاضُ حيضةً كثيرة شديدة، فأتيت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم أستفتيه وأُخبره، فوجدته في بيت أختي زينب بنت جحش، فقلت: يا رسول اللّه؛ إني امرأةٌ أُستحاض حيضة كثيرة شديدة فما ترى فيها؟ قد منعتني الصلاة والصوم؟ فقال: "أنعت لك الكرسف فإِنّه يذهب الدّم" قالت: هو أكثر من ذلك قال: "فاتّخذي ثوباً" فقالت: هو أكثر من ذلك، إنما أثجُّ ثجّا، قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: "سآمرك بأمرين أيَّهما فعلت أجزأ عنك من الآخر، فإِن قويت عليهما فأنت أعلم" قال لها: "إنّما هذه ركضةٌ من ركضات الشّيطان فتحيّضي ستَّة أيَّامٍ أو سبعة أيَّامٍ في علم اللّه تعالى، ثمَّ اغتسلي، حتى إذا رأيت أنك قد طهرت واستنقأت فصلي ثلاثاً وعشرين ليلةً أو أربعاً وعشرين ليلةً وأيامها، وصومي؛ فإِن ذلك يجزيك، وكذلك فافعلي [في] كلِّ شهر كما تحيض النساء وكما يطهرن، ميقات حيضهنَّ وطهرهنَّ، ...

Dari Hamnah binti Jahsy, ia berkata : Aku pernah mengalami istihadlah yang banyak dan kencang (mengalir). Maka aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa dan mengkhabarkannya. Dan aku mendapati beliau di rumah saudara wanitaku, Zainab binti Jahsy. Lalu aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang ber-istihadlah banyak lagi kencang (mengalir). Apa pendapatmu mengenai hal ini ? (Perlu engkau ketahui) bahwa ia telah mencegahku untuk melakukan shalat dan puasa”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Gunakanlah kapas untukmu sebagai penghambat, karena hal itu menghilangkan darah”. Aku berkata : “Ia lebih banyak mengalir dari itu”. Beliau bersabda : “Ambillah secarik kain”. Aku berkata : “Ia bahkan lebih banyak mengalir dari itu”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Aku akan memerintahkanmu dua hal. Mana saja yang engkau lakukan dari itu, niscaya telah mencukupimu dari yang lain. Engkaulah yang lebih mengetahui jika engkau lakukan keduanya”. Beliau bersabda kepadanya (Hamnah) : “Sesungguhnya ia hanyalah satu gangguan dan gangguan-gangguan syaithan. Maka, bagimu haidl enam hari atau tujuh hari dalam ilmu Allah. Kemudian mandilah hingga engkau lihat bahwa engkau telah dalam keadaan suci dan bersih. Shalatlah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari, dan juga berpuasalah. Sesungguhnya hal itu telah mencukupi bagimu. Begitu pula lakukanlah setiap bulan sebagaimana haidl dan sucinya wanita-wanita yang lain di waktu haidl dan sucinya…” [HR. Abu Dawud no. 287; Ahmad 6/381,439; At-Tirmidzi no. 128; Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 797; dan yang lainnya. Sanad hadits ini hasan].

Kendati demikian, di kalangan syafi’iyah sendiri terdapat perbedaan pendapat. Untuk itu baiklah disimak keterangan Imam Nawawi dalam karyanya Raudhotut Tholibin.

وأقل الحيض يوم وليلة على المذهب، وعليه التفريع. وأكثره خمسة عشر يوما. وغالبه ست أو سبع. وأقل الطهر بين حيضتين خمسة عشر يوما وغالبه تمام الشهر بعد الحيض، ولا حد لأكثره. ولو وجدنا امرأة تحيض على الاطراد أقل من يوم وليلة أو أكثر من خمسة عشر أو بطهر أقل من خمسة عشر، فثلاثة أوجه. الأصح لا عبرة به. والثاني يتبعه. والثالث إن وافق ذلك مذهب بعض السلف، أتبعناه. وإلا فلا

Haid paling sebentar hanya sehari semalam menurut ini Madzhab. Atas dasar pendapat ini persoalan bisa bercabang. Paling lama 15 hari. Lazimnya 6-7 hari. Masa suci antara satu dan haid lainnya, 15 hari. Biasanya masa suci sebulan penuh. Paling banyak, tiada batas. Kalau kita dapati seorang perempuan mengalami haid secara teratur kurang dari sehari semalam atau lebih dari 15 hari; atau perempuan yang suci kurang dari 15 hari, maka sekurangnya ada 3 pendapat berbeda di kalangan ulama. Pendapat pertama, tidak ada model pada kasus ini. Kedua, ia harus mengikuti pola siklus demikian. Ketiga, kalau pola ini sesuai dengan temuan sebagian madzhab ulama salaf, kita ikuti pola demikian. Kalau tidak sesuai, kita tidak terima pola demikian.

Iklim dingin dan panas juga memengaruhi siklus haid perempuan. Ini pula yang membuat penetapan bilangan hari-hari haid menjadi berbeda di kalangan ulama. Demikian diterangkan Imam Nawawi dalam Raudhohnya.

Imam Nawawi dalam Al-Majemuk, Syarah Muhadzdzab menyebutkan sejumlah pendapat ulama yang menyatakan bahwa haid perempuan paling lama 15. Ada lagi yang mengatakan, 17 hari. Ada lagi yang menyatakan, 20 hari.

Ibrahim Al-Baijuri dalam hasyiyatul Baijuri ala Fathil Qarib menyebutkan

قوله والمعتمد في ذلك الاستقراء أي المعول عليه في كون الأقل كذا والأكثر كذا والغالب كذا

Pendapat muktamad pada kasus haid ini harus dadasarkan pada metode istiqra, induktif dengan menarik prinsip umum dari banyak kasus. Artinya prinsip yang bisa dijadikan pedoman dalam menetapkan batas minimal, maksimal, hingga standar kelaziman haid.

Demikian disebutkan Abdurahman Zaidi dalam karyanya Al-Ijtihad bi Tahqiqil Manath wa Sulthonihi fil Fiqhil Islami, Kairo, Darul Hadits, Halaman 429.

اختلف الفقهاء في عدد أيام الحيض فقال مالك والشافعي: أكثره خمسة عشر يوما وقال أبو حنيفة: أكثره عشرة أيام. وليس في ذلك نص صريح يضبطه. والظاهر أن السبب لا يرجع إلى اختلاف الأدلة وإنما هو اختلاف عادات النساء في ذلك

Para ahli fiqih berbeda pendapat di dalam bilangan lamanya haid. Imam Malik dan imam Syafi’I menyebutkan 15 hari sebagai batasan maksimal. Sementara Imam Hanafi, 10 hari. Sementara tidak ada nash jelas yang menyebutkan ketentuan haid ini. yang jelas, sebab itu tidak bisa dipulangkan pada perbedaan dalil, tetapi pada perbedaan kebiasaan masing-masing perempuan.

وإضافة إلى هذا فإنه يمكن معرفة عادة المرأة عن طريق الاستعانة بالكشف الطبي، وما قيل في مسئلة الحيض يقال في مسئلة النفاس

Bersandar pada kaidah ini, bantuan keterangan ahli medis untuk mengetahui kebiasaan haid perempuan sangat dimungkinkan. Demikian halnya pada kasus haid, begitu juga pada kasus nifas.

وإذا كانت المسئلة لا ترجع إلى النصوص حقيقةـوإنستأنس بعضهم ببعضها ـ أمكن الاستعانة بما يقرره الأطباء في تحديد نوع الدم هل هو دم حيض أو استحاضة أو نفاس؟ وبهذا تنتهي مشكلة النساء وحيرتهن في هذا الموضوع

Bila masalah ini tidak bisa dirujuk pada nash secara hakiki-yang mana sebagian dari para ulama merasa nyaman pada sebagian nash-maka dimungkinkan bisa dibantu dengan ketetapan para dokter perihal batasan jenis darah apakah itu memang darah haid, istihadloh, atau nifas. Dengan ini, kesulitan dan kebimbangan perempuan pada isu ini selesai.

Menurut hemat kami, yang lebih pas penetapan jenis darah haid berikut penghitungannya mesti didasarkan pada riset kalangan medis. Mengingat tidak ada nash perihal ini, maka keterangan dokter yang bisa dipercaya akan sangat membantu kita dalam menetapkan apakah darah yang bersangkutan betul darah haid atau bukan.

Jadi, kalau kita memakai patokan sederhana Imam Syafi’i, haid paling lama 15 hari. Lebih dari itu dihukumi sebagai darah istikhadzoh atau darah haid yang tidak lazim dan yang bersangkutan wajib melakukan shalat kembali seperti biasa.

Namun penjelasan dari dokter atau bidan yang mengerti soal ini penting juga sebagai acuan. Pasalnya, makanan, cuaca, macam-macam bahan kimia sudah masuk ke dalam manusia sekarang ini. Itu semua tentu akan memengaruhi darah haid berikut siklus regulernya.

Permulaan dan Akhir Masa Haidl

1.    Permulaan haidl diketahui dengan keluarnya darah pada masa kemungkinan terjadinya haidl. Darah tersebut berwarna kehitaman, kental, dan bau.

عن فاطمة بنت أبي حبيش : أنها كانت تستحاض فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: "إذا كان دم الحيضة فإِنَّه دمٌ أسود يعرف، فإِذا كان ذلك فأمسكي عن الصَّلاة، فإِذا كان الآخر فتوضَّئي وصلِّي فإِنما هو عرقٌ".

Dari Faathimah binti Jahsy : Bahwasannya ia pernah mengalami istihadlah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apabila darah haidl, maka darah itu warnanya hitam lagi diketahui (ciri-cirinya). Apabila memang seperti itu, hendaklah kamu menahan diri dari shalat. Namun jika yang lain (tidak seperti ciri-ciri darah haidl), maka berwudlulah dan shalatlah. Sesungguhnya ia hanyalah penyakit” [HR. Abu Dawud no. 286; An-Nasa’i no. 215, 362; Ibnu Hibban no. 1348; dan yang lainnya. Sanad hadits ini shahih].

2.    Akhir masa diketahui dengan berhentinya darah, keluar cairan berwarna kuning, dan keruh. Haidl benar-benar berakhir jika terjadi salah satu dari keadaan berikut :

a. Daerah sekitar rahim telah kering. Ini terbukti jika dimasukkan sesuatu ke dalam kemaluannya seperti kain atau kapas, ketika dikeluarkan tetap kering.


b. Keluarnya cairan putih setelah darah haidl berhenti.


Ini berdasarkan dari ‘Alqamah bin Abi ‘Alqamah, dari ibunya, Marjanah maula ‘Aisyah, ia berkata :

كانت النساء يبعثن إلى عائشة بالدرجة فيها الكرسف فيه الصفرة فتقول لا تعجلن حتى ترون القصة البيضاء

“Kaum wanita membawa dirajah (sejenis tas tangan) yang di dalamnya ada kapas berwarna kuning. Lalu ‘Aisyah berkata : ‘Janganlah kalian terburu-buru hingga kalian melihat cairan berwarna putih” [HR. Malik 1/334-335 no. 135 dan Al-Bukhari secara mu’allaq sebagaimana terdapat dalam Mukhtashar Shahih Al-Bukhari 1/119; shahih lighairihi].

Hukum Cairan Berwarna Kuning dan Keruh yang Keluar Setelah Bersuci dari Haidl

Cairan kuning keruh adalah cairan yang nampak seperti nanah yang didominasi warna kuning. Apabila seorang wanita melihat cairan ini setelah darah haidl berhenti atau kering, maka tidak dianggap sebagai darah haidl. Dia tetap suci sehingga ia tetap wajib mengerjakan shalat, puasa, dan boleh melakukan jima’.

عن أم عطية، قالت : كنّا لا نَعُـَدُّ الكدرة والصُّفرة بعد الطهر شيئاً.

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata : “Kami tidak menghitung/menganggap cairan keruh berwarna kuning setelah suci sebagai apapun” [HR. Abu Dawud no. 307, Ibnu Majah no. 647, dan An-Nasa’i no. 368; shahih].

Mandi Bagi Wanita yang Telah Selesai dari Haidl

1.    Hukum Mandi Haidl

Wajib hukumnya bagi wanita untuk mandi apabila ia telah bersih dari haidl. Allah ta’ala telah berfirman :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].

عن أم سلمة قالت : قال النبي صلى الله عليه وسلم : دعي قدر تلك الأيام والليالي التي كنت تحيضين فيها ثم اغتسلي واستثفري وصلي

Dari Ummu Salamah ia berkata : Telah bersabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tinggalkanlah sejumlah hari yang engkau mengalami haidl padanya, kemudian mandilah, kencangkanlah (pakaianmu), dan shalatlah”[HR. An-Nasa’i no. 354, Ibnu Majah no. 623, dan yang lainnya; shahih].

2.    Niat Merupakan Bagian Syarat Sahnya Mandi.

Allah ta’ala telah berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”[QS. Al-Bayyinah : 5].

Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap  perbuatan hanyalah tergantung niatnya.  Dan sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” [HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 1907, Abu Dawud no. 2201, At-Tirmidzi no. 1647, dan yang lainnya].

3.    Rukun Mandi Haidl

Rukun mandi haidl adalah niat dan membasahi seluruh badan, karena hakekat mandi wajib adalah menuangkan air ke seluruh bagian tubuh hingga mengenai rambut dan kulit. Tidak ada kewajiban lain selain itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita yang bertanya apakah ia harus menguraikan rambutnya yang dikepang :

إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات. ثم تفيضين عليك الماء فتطهري

"Cukuplah engkau mengguyurkan (air) di atas kepalamu sebanyak tiga kali guyuran, kemudian guyurkan air pada seluruh tubuhmu" [HR. Muslim no. 330, At-Tirmidzi no. 105, Ibnu Majah no. 603, Ibnu Khuzaimah no. 246, dan yang lainnya].

4.    Tata Cara (Kaifiyah) Mandi Haidl

Adapun tata cara mandi bagi wanita yang telah selesai dari haidl sama seperti mandi junub/janabah. Beberapa hadits yang menjelaskan diantaranya adalah :

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا اغتسل من الجنابة بدأ فغسل يديه ثم يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ثم يدخل أصابعه في الماء فيخلل بها أصول شعره ثم يصب على رأسه ثلاث غرف بيديه ثم يفيض الماء على جلده كله

Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamapabila mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan, dilanjutkan dengan wudlu seperti wudlu untuk shalat. Setelah itu, beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air lalu membasahi pangkal rambut. Beliau melanjutkan dengan menuangkan air pada kepala tiga kali, lalu membasahi seluruh kulit (tubuhnya)” [HR. Al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316].

عن ميمونة قالت أدنيت لرسول الله صلى الله عليه وسلم غسله من الجنابة فغسل كفيه مرتين أو ثلاثا ثم أدخل يده في الإناء ثم أفرغ به على فرجه وغسله بشماله ثم ضرب بشماله الأرض فدلكها دلكا شديدا ثم توضأ وضوءه للصلاة ثم أفرغ على رأسه ثلاث حفنات ملء كفه ثم غسل سائر جسده ثم تنحى عن مقامه ذلك فغسل رجليه ثم أتيته بالمنديل فرده

Dari Maimunah ia berkata : “Aku pernah berada di dekat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mandi junub. Beliau membasuh kedua telapak tangannya dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana (untuk mengambil air), lalu beliau tuangkan air itu ke kemaluannya dan mencucinya dengan tangan kirinya. Setelah itu, beliau memukulkan tangan kirinya ke tanah dan menggosoknya dengan sungguh-sungguh. Kemudian beliau wudlu seperti wudlunya untuk shalat. Lalu beliau tuangkan air ke kepalanya tga kali ciduk, dan diteruskan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. Masing-masing ciduk sepenuh dua telapak tangannya. Kemudian beliau bergeser dari tempatnya itu. Lalu beliau membasuh kedua kakinya. Kemudian aku memberi beliau sapu tangan/handuk (untuk mengelap air), namun beliau menolaknya” [HR. Al-Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317].

عن إبراهيم بن المهاجر؛ قال : سمعت صفية تحدث عن عائشة؛ أن أسماء سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن غسل المحيض؟ فقال "تأخذ إحداكن ماءها وسدرتها فتطهر [فتطّهّر؟؟]. فتحسن الطهور. ثم تصب على رأسها فتدلكه دلكا شديدا. حتى تبلغ شؤون رأسها. ثم تصب عليها الماء. ثم تأخذ فرصة ممسكة فتطهر بها" فقالت أسماء: وكيف تطهر بها؟ فقال "سبحان الله! تطهرين بها" فقالت عائشة (كأنها تخفي ذلك) تتبعين أثر الدم. وسألته عن غسل الجنابة؟ فقال "تأخذ ماء فتطهر، فتحسن الطهور. أو تبلغ الطهور. ثم تصب على رأسها فتدلكه. حتى تبلغ شؤون رأسها. ثم تفيض عليها الماء". فقالت عائشة: نعم النساء نساء الأنصار! لم يكن يمنعهن الحياء أن يتفقهن في الدين.

Dari Ibrahim bin Al-Kuhaajir ia berkata : Aku mendengar Shafiyyah menceritakan hadits dari ‘Aisyah : Bahwasannya Asma’ pernah bertanya kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Maka beliau menjawab : “Hendaknya dia mengambil mengambil air dan daun bidara. Lalu bersuci dan menyempurnakannya dan membaguskannya. Kemudian menyiram air di kepalanya, lalu dia menggosoknya dengan gosokan yang kuat hingga menyentuh kulit kepalanya. Lalu dia menuangkan air di kepalanya. Kemudian dia ambil kapas yang diberi minyak wangi, lalu dia bersuci dengan kapas itu”. Asmaa’ bertanya lagi : “Bagaimana aku bersuci dengan kapas itu ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Subhaanallaah, engkau pakai kapas itu untuk bersuci”. ‘Aisyah mengatakan : “(sepertinya dia merahasiakan hal itu). Kamu gunakan kapas itu untuk membersihkan bekas darah”. Asmaa’ bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamtentang mandi junub. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Engkau ambil air dan bersihkan diri sebaik-baiknya. Lalu engkau tuangkan air pada kepala dengan menggosoknya sampai kotoran hilang. Kemudian engkau tuangkan air lagi di atas kepala”. ‘Aisyah berkata : “Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar. Malu tidak menghalanginya memahami agama” [HR. Muslim no. 245].

Dengan menggabungkan beberapa riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa cara mandi yang dianjurkan adalah seperti berikut :

a.      Membasuh kedua tangan tiga kali.

b.      Membasuh kemaluan dengan tangan kiri, tanpa harus memasukkan air ke dalam kemaluan.

c.      Menggosok tangan kiri ke tanah/tembok.

d.      Berwudlu seperti wudlu untuk shalat. Akan tetapi boleh mengakhirkan basuhan pada kedua kaki hingga selesai mandi, jika menggunakan air dari bak atau semisalnya.

e.      Membasahi kepala tiga kali hingga mencapai pangkal rambut serta menggosoknya dengan kuat. Jika rambutnya dikepang, maka ia harus menguraikannya untuk memastikan bahwa air telah mencapai pangkal rambut. ‘Aisyahradliyallaahu ‘anhaa meriwayatkan bahwa ketika dia hendak mandi setelah haidl, maka Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :

انقضي شعرك واغتسلي

“Uraikan (kepangan) rambutmu, lalu mandilah”[HR. Ibnu Majah no. 641 dan Ibnu Abi Syaibah 1/78; shahih].

f.       Membasahi seluruh badan dengan memulai bagian kanan, dilanjutkan dengan bagian kiri.

كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

"Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menyenangi yang kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya".

Dianjurkan memakai sabun atau semisalnya ketika mandi.

g.      Seusai mandi, dianjurkan mengambil kapas atau kain yang telah diolesi minyak wangi untuk digunakan mengusap bekas darah sampai baunya hilang.

Catatan :

Cara mandi di atas hukumnya mustahab (dianjurkan/disukai), karena diambil dari gabungan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berkenaan dengannya. Namun jika ada seorang wanita yang mengikuti sebagian saja dari cara di atas, maka tetap sah – dengan syarat : ia harus membasahi seluruh badan (dan rambut)-nya dengan air. Artinya, jika ada seorang wanita mandi di bawah shower atau menyelam di dalam air, maka cara mandi seperti ini tetap diperbolehkan dan hukumnya sah.

5.    Apabila Seorang Wanita Junub, kemudian Mendapatkan Haidl, Berapa Mandi yang Wajib Baginya ?

Apabila wanita junub dan sebelum mandi dia mengalami haidl, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Jumhur ulama mengatakan sahnya mandi satu kali mandi setelah haidl dengan dua niat sekaligus (yaitu niat mandi junub dan mandi haidl), sebagaimana disebutkan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla(1/291) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/220). Akan tetapi sebagian ulama lain seperti Jabir bin Zaid, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Ibrahim An-Nakha’iy, Al-Haakim bin ‘Utaibah, Thawus, ‘Atha’, ‘Amr bin Syu’aib, Az-Zuhri, dan Maimun bin Mihraan menyatakan wajibnya dua kali mandi (yaitu ia mandi junub, dan ketika selesai haidl, ia mandi lagi).

Yang rajih dalam hal ini adalah pendapat kedua yang mengatakan wajib dua kali mandi. Sebab, satu kewajiban tidaklah mengugurkan kewajiban yang lainnya sebagaimana kewajiban puasa kaffarat tidaklah sah diniatkan juga untuk puasa qadla atau puasa nadzar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap  perbuatan hanyalah tergantung niatnya.  Dan sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” [HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 1907, Abu Dawud no. 2201, At-Tirmidzi no. 1647, dan yang lainnya].

6.    Jika terjadi sesuatu yang membatalkan wudlu saat mandi haidl, maka tidak wajib mengulangi mandi, melainkan melanjutkan mandi hingga selesai. Dia hanya wajib wudlu setelah selesai mandi. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Alasannya, karena hadats tidak membatalkan mandi, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh. Sama seperti tidak terjadi hadats [lihat Al-Mughni 1/290].

7.    Apabila wanita merasa telah suci dari haidl, namun ia tidak mendapatkan air untuk mandi, maka dia diperbolehkan untuk tayamum dan berhubungan badan (jima’) dengan suaminya. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama [lihat Majmu’ Al-Fataawaa1/625, Al-Muhalla 2/171, Syarh Shahih Muslim 1/593, dan Jaami’ Ahkaamin-Nisaa’ 1/152.

Darah yang Mengalir/Keluar dari Kemaluan Saat Hamil : Dihukumi Haidl ?

Para ulama berbeda pendapat mengenai darah yang keluar selama masa kehamilan. Ada dua pendapat mengenai hal ini :

1.    Darah yang muncul saat masa kehamilan dihukumi sebagai darah haidl yang mewajibkan untuk meninggalkan shalat.

Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah dan Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadiid, bahkan ini yang mu’tamad dalam madzhabnya. Telah diriwayatkan dari Az-Zuhriy, Qatadah, Al-Laits, dan Ishaaq. Ibnu Qudamah menegaskan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang shahih dari ‘Aisyah. Ini juga merupakan pendapat Yahya bin Sa’iid, Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman, dan Ibnu Abi Salamah.

2.    Darah yang muncul di masa kehamilan bukanlah darah haidl, namun ia hanyalah darah rusak, sehingga wanita tersebut tidak boleh meninggalkan shalat.

Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Tsaubaan; dan hal itu merupakan perkataan jumhur tabi’in, diantaranya : Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Atha’, Al-Hasan, Jaabir bin Zaid, ‘Ikrimah, Muhammad bin Al-Munkadir, Asy-Sya’biy, Mak-huul, Hammaad, Ats-Tsauriy, Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Sulaiman bin Yasaar, dan ‘Ubaidillah bin Al-Hasan.

Yang rajih dari dua pendapat di atas adalah pendapat yang kedua, dengan dalil diantaranya :

a.    Hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا توطأ حاملٌ حتى تضع، ولا غير ذات حملٍ حتى تحيض حيضةً

“Wanita hamil tidak boleh dikumpuli/digauli hingga ia melahirkan; dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga dia haidl sekali” [HR. Abu Dawud no. 2157, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/124, Ad-Daarimiy no. 2341, dan yang lainnya; shahih lighairihi].

Adanya haidl menjadi indikasi atas bersihnya rahim dimana semua itu menunjukkan bahwa kehamilan tidak bisa bersatu dengan haidl.

b.    Hadits Salim dari bapaknya, bahwa bapaknya (Ibnu ‘Umar) telah menceraikan istrinya dalam keadaan haidl. Lalu ‘Umar bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersabda :

مره فليراجعها. ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا

“Perintahkanlah ia untuk merujuknya, kemudian agar ia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil” [HR. Muslim no. 1471 dan Ahmad 2/58].

Hamil telah dijadikan indikasi atas tidak adanya haidl, sebagaimana suci dijadikan indikasi haidl. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata :

فأقام الطهر مقام الحمل". والله عز وجل يقول: ﴿ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ ﴾ [الطلاق: من الآية : 1]. أي بالطهر في غير جماع

“Kedudukan suci menempati kedudukan kehamilan. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Maka hendaklah kalian menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar)’ (QS. Ath-Thalaq : 1). Yaitu : dalam keadaan suci sebelum dicampuri” [lihat Tafsi Ath-Thabari, 23/432].

b)      Seorang suami boleh tetap bermesraan dengan istrinya dengan mencumbuinya, asalkan tidak melakukan jima’ pada kemaluannya.

قال مسروق لعائشة : إني أريد أن أسألك عن شيء وأنا أستحيي! فقالت: إنما أنا أمُّك، وأنت ابني! فقال : ما للرجل من امرأته وهي حائض؟ قالت له: كل شيء إلا فرجها.

Masruq pernah berkata kepada ‘Aisyah : “Sesungguhnya aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu, namun aku malu”. ‘Aisyah berkata : “Tidak perlu malu, karena aku adalah ibumu dan engkau adalah anakku”. Masruq berkata : “Apa yang boleh dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haidl ?”. ‘Aisyah menjawab : “Dia boleh melakukan apa saja selain pada kemaluannya (jima’)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 4/378; dengan sanad shahih].

c)      Apabila wanita yang haidl telah suci, maka suami tidak boleh melakukan hubungan badan dengannya kecuali setelah istrinya mandi.

Allah ta’ala telah berfirman :

وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” [QS. Al-Baqarah : 222].

عن مجاهد قال : للنساء طهران طهر قوله : حتى يطهرن. يقول إذا تطهرن من الدم قبل أن يغتسلن وقوله : فإذا تطهرن. أي إذا اغتسلن ولا تحل لزوجها حتى تغتسل .يقول : فأتوهن من حيث أمركم الله. من حيث يخرج الدم فإن لم يأتها من حيث أمر فليس من التوابين ولا من المتطهرين

Dari Mujaahid, ia berkata : “Bagi wanita, mereka memiliki dua bentuk kesucian. Pertama, kesucian yang dinyatakan dalam firman Allah ta’ala : ‘hatta yathhurna’, yaitu jika mereka suci dari darah haidl sebelum mereka mandi. (Dan kesucian yang kedua) adalah seperti dalam firman Allah ta’ala :‘faidzaa tathahharna’, yaitu apabila mereka telah mandi. Dan tidak dihalalkan bagi suaminya untuk menggaulinya hingga ia mandi. Allah ta’alaberfirman : ‘fa’tuuhunna min haitsu amarakumullah’, yaitu dari tempat keluarnya darah, sehingga jika suami tidak menggaulinya di tempat yang diperintahkan Allah itu, maka ia tidak termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang membersihkan diri” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq no. 1272; shahih].

d)      Jika seorang suami muslim mempunyai istri dari kalangan Ahli-Kitab, maka ia (istri) harus dipaksa mandi (setelah suci dari haidl) agar halal untuk digauli, karena ayat Al-Qur’an di atas tidak mengkhususkan perintahnya hanya untuk wanita muslimah saja [lihat Tafsir Al-Qurthubi, 3/90].

4.    Thawaf

Ijma’ ulama menyatakan bahwa wanita yang haidl diharamkan melakukan thawaf. Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa ia mengalami haidl saat hendak melaksanakan ibadah haji. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

افعلي كما يفعل الحاج، غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري

“Lakukan semua amalan yang dikerjakan oleh orang yang melaksanakan ibadah haji. Hanya saja engkau tidak boleh thawaf di sekitar Ka’bah, hingga engkau suci” [HR. Al-Bukhari 1650].

5.    Menyentuh dan Membawa Al-Qur’an.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا يمس القرآن إلا طاهر

“Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci” [HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir; shahih, lihat Irwaaul-Ghaliil no. 122].

Sisi pendalilannya adalah : Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci. Dan yang dimaksud dengan hal itu adalah suci dari hadats, termasuk dalam hal ini haidl. Pendapat ini yang beredar di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum. Mereka tidak berselisih pendapat mengenai itu. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’(2/85) dan Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawaa (26/179-180).

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وأما الجنب والحائض فإنه يحرم عليهما قراءة القرآن سواء كان آية أو أقل منها ويجوز لهما إجراء القرآن على قلبهما من غير تلفظ به

“Ada pun junub dan haid, maka keduanya diharamkan membaca Al Quran, sama saja apakah yang dibacanya hanya satu ayat atau lebih sedikit. Dibolehkan bagi keduanya membacanya dalam hati tanpa dilafazkan.” (At Tibyan, Hal. 74)

Beliau juga mengatakan, dibolehkan membacaInna lillahi wa inna ilaihi raji’un, selama tidak dimaksudkan sebagai Al Quran. Kalangan Syafi’iyah di Khurasan juga membolehkan membaca doa naik kendaraan: Subhanalladzi sakhara lana hadza .., juga doa: Rabbana atina fid dunya hasanah …, selama tidak dimaksudkan sebagai Al Quran. Imam Al Haramain mengatakan:“Membaca bismillahirrahmanirrahim jika dimaksudkan sebagai bagian dari  Al Quran maka  itu maksiat, jika tidak bermaksud apa-apa, maka tidak berdosa. “ (Ibid) Ini juga menjadi pendapat Syaikh Wahbah Az Zuhaili dan kalangan Hanafiyah.(Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/474. Al Maktabah Al Misykat)

Imam An Nawawi juga mengatakan dalam Al Majmu’:

مذهبنا أنه يحرم على الجنب والحائض قراءة القرآن قليلها وكثيرها حتى بعض آية؛ وبهذا قال أكثر العلماء كذا حكاه الخطابي وغيره عن الأكثرين، وحكاه أصحابنا عن عمر بن الخطاب وعلي وجابر رضي الله عنهم والحسن والزهري والنخعي وقتادة وأحمد وإسحاق.

“Madzhab kami adalah bahwa haram bagi orang junub dan haid membaca Al Quran sedikit dan banyak,  walau sebagian ayat. Ini juga pendapat kebanyakan ulama, demikianlah diceritakan pleh Al Khathabi dan selainnya dari banyak manusia. Para sahabat kami juga menceritakan dari Umar bin Al Khathab, Ali, Jabir –semoga Allah meridhai mereka-, Al Hasan, Az Zuhri, An Nakha’i, Qatadah, Ahmad, dan Ishaq.” (Al Majmu’ Syarh Al Muadzdzab, 2/127)

Disebutkan  dalam Tuhfah Al Wahdzi   , mengutip dari Imam Al Baihaqi, bahwa Umar bin Al KhathabRadhiallahu ‘Anhu ‘hanya’ memakruhkan saja, berikut teksnya:

وصح عن عمر أنه كان يكره أن يقرأ القرآن وهو جنب

“Telah shahih dari Umar bahwa Beliau memakruhkan membaca Al Quran dalam keadaan junub.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri,Tuhfah Al Wahdzi, 1/412. Cet. 1. 1963M-1383H. Maktabah As Salafiyah. Madinah)

Tetapi, ketika kami periksa langsung ke kitab As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi, tertulis Ibnu Umar, bukan Umar bin Al Khathab, dan juga MENYENTUH MUSHAF, bukan MEMBACA AL QURAN, dan juga WANITA HAID bukan  ORANG JUNUB. Berikut teksnya (perhatikan):

ويذكر عن بن عمر أنه كره للحائض مس المصحف

“Disebutkan dari Ibnu Umar bahwa Beliau memakruhkan wanita haid menyentuh Al Quran.”(As Sunan Al Kubra Al Baihaqi No. 1374. Begitu pula setelah dilihat di As Sunan Al Kubra Imam Al Baihaqi yang kami Download dari shamela.ws, juga seperti ini lafaznya. Lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi versi Syamilah, No. 1534)

Tentang larangan membaca Al Quran bagi orang yang junub dan haid, berkata Imam At TirmidziRahimahullah dalam Sunannya:

وهو قول أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعين ومن بعدهم، مثل: سفيان الثوري، وابن المبارك، والشافعي، وأحمد، وإسحق، قالوا: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك، ورخصوا للجنب والحائض في التسبيح والتهليل.

“Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tabi’in, dan orang setelah mereka seperti Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka mengatakan: Janganlan wanita haid dan orang junub membaca sedikit pun dari Al Quran kecuali  melihat ujung ayat dan huruf dan semisalnya. Mereka memberikan keringanan bagi orang junub dan wanita haid dalam bertasbih dan tahlil.” (Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal.  236, No. 131)

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

وَيَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عِنْدَ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ

“Diharamkan bagi orang junub membaca Al Quran menurut umumnya para ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,dan  Hanabilah.” Lalu disebutlah hadits dari Ali dan Ibnu Umar. (Al Mausu’ah, 16/53)

Demikianlah pandangan  kelompok yang melarang orang berhadats besar membaca Al Quran. Tetapi mereka membolehkan jika baca di hati saja,  atau membaca doa-doa dari Al Quran dengan tidak memaksudkannya sebagai Al Quran. Mereka juga membolehkan berdzikir seperti tahmid, tahlil, takbir, dan tasbih, bahkan kebolehan dzikir ini adalah ijma’, sebagaimana disebutkan dalam At Tibyan-nya Imam An Nawawi.

Menyelisihi hal ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Al-Albani rahimahumullah, dan yang lainnya dari kalangan muta’akhkhiriin. Namun pendapat ini lemah. Wallaahu a’lam.

6.    Menetap/berdiam diri di masjid

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan tidak bolehnya wanita haidl menetap/berdiam diri di masjid. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’iy, dan Ahmad. Pendapat kedua mengatakan bolehnya wanita haidl menetap/berdiam diri di masjid. Ini adalah pendapat Dawud Adh-Dhahiriy, Ibnu Hazm, dan Al-Muzaanniy [Al-Haidl wan-Nifaas, hal. 695].

Dalam pembahasan panjang pendiskusian di antara dua pendapat tersebut, yang rajih adalah pendapat jumhur. Salah satu dalil yang melandasi adalah adalah :

عن أم عطية قالت كنا نؤمر أن نخرج يوم العيد حتى نخرج البكر من خدرها حتى نخرج الحيض فيكن خلف الناس فيكبرن بتكبيرهم ويدعون بدعائهم يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته

Dari Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari ’Ied, hingga kami pun mengeluarkan wanita-wanita gadis dari tempat pingitannya dan para wanita haidl untuk ditempatkan di belakang orang-orang. Maka mereka pun bertakbir mengikuti takbir kaum laki-laki dan berdoa mengikuti doa kaum laki-laki. Mereka mengharapkan barakah dan kesucian pada hari itu” [HR. Al-Bukhari no. 971 dan Muslim no. 890; ini adalah lafadh Al-Bukhari].

Pada riwayat lain disebutkan :

وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى المسلمين

”....dan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan para wanita haidl menjauhi tempat shalat kaum muslimin” [HR. Muslim no. 890].

Segi pendalilannya adalah bahwa wanita haidl dipisahkan dari tempat orang yang shalat kaum muslimin. Sesuai dengan keumumannya, masjid termasuk dalam hal ini.

Hukum Bagi Orang Yang Menunda Upah Pekerja


Perlu dipahami dahulu bahwa hubungan sosial antar manusia dalam dunia pekerjaan termasuk perkara muamalah yang hukumnya mubah selama tidak melanggar ketentuan syariat yang ada. Segala bentuk kesepakatan antara pegawai dan pemilik usaha tetap wajib ditunaikan. Hak dan kewajiban masing-masing pihak tetap wajib dipenuhi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.” (HR. Al-Bukhari, 4/451. Ahmad, 2/366. Abu Dawud no. 3594)

Gaji adalah hak karyawan atau pekerja atas pekerjaan yang didiberikan oleh pemilik usaha kepadanya, dan memberi gaji atau upah adalah kewajiban pemilik usaha.

Pemilik usaha tidak boleh menunda gaji karyawan melebihi waktu yang semestinya harus diserahkan, yaitu setelah pekerjaannya selesai, atau di hari terakhir waktu pekerjaannya. Jika kesepakatannya dengan sistem bulanan, maka gaji karyawan harus diberikan di tiap akhir bulan dia bekerja. Mengakhirkan waktu penyerahan gaji tanpa alasan yang dibenarkan syariat termasuk tindakan zalim.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“Jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Hukum yang disarikan dari ayat di atas, secara jelas Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk segera menyerahkan upah susuan sesegera mungkin setelah pekerjaannya selesai.

Hukum ini dipertegas kembali oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits.

Al-Bukhari dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”

Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari Jabi radhiallahu ‘anhu serta Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”

Maksud hadits di atas, menyegerakan penyerahan upah di penghujung waktu setelah pekerjaan selesai. Tentunya sesuai dengan kesepakatan di awal tentang mekanisme penyerahan upah.

Al-Munawi menjelaskan, Haram hukumnya menunda  gaji karyawan atau pegawai padahal tak ada kendala untuk segera menyerahkannya. Perintah untuk menyerahkan gaji sebelum keringat para pekerja mengering adalah sebuah kiasan atas wajibnya menyegerakan sebelum pekerjaan mereka selesai ketika para pekerja memintanya meskipun belum sampai berkeringat, atau berkeringat dan langsung kering.” (Faidhul Qadir, 1/718)

Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kezaliman, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan ghashab. Di antara bentuk kezalimannya adalah tidak memberikan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para pekerja tidak memiliki bukti. Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa membayar pekerjaan tambahan atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula, terjadi penundaan pembayaran gaji dan tidak memberikannya kecuali dengan usaha keras para pekerja dengan tujuan agar para pekerja melepaskan haknya dan tidak menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud menggunakan upah pekerja tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk diri dan keluarganya.

Termasuk kategori dosa besar adalah melarang orang-orang memanfaatkan sesuatu yang boleh digunakan oleh mereka baik secara umum ataupun khusus, seperti: tanah tak bertuan yang siapapun boleh memilikinya, jalan, masjid, tanah wakaf untuk orang miskin, dan barang tambang yang tidak tampak maupun yang tampak. Maka, bila ada seseorang yang melarang orang lain untuk memanfaatkannya, maka hal itu merupakan bentuk dosa besar, karena serupa dengan tindakan ghashab. Orang seperti ini, layaknya seseorang yang melarang orang lain untuk memilikinya. Sebab, orang yang berhak memanfaatkan sesuatu, maka ia juga berhak untuk memilikinya. Sebagaimana menahan hak milik seseorang termasuk dosa besar, maka perbuatan seperti ini pun hukumnya sama. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan Al-Haitsami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kaba’ir (I/263).

Dalam sebuah hadits disebutkan,

مِنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud, Nasai dan Tirmidzi, hadits hasan)

Nasai juga meriwayatkan sebuah hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban yang berbunyi,

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَلَهُ فِيْهَا أَجْرٌ, وَمَأَكَلَتِ الْعَوَافِي مِنْهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka akan mendapatkan pahala. Dan, apa yang dimakan oleh burung dan binatang buas, maka itu merupakan sedekah baginya.”

Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Hasan bin Samurah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam, beliau bersabda,

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang memberi tanda di bumi (yang tidak ada pemiliknya), maka bumi itu menjadi miliknya.”

Para ulama telah sepakat bahwasanya orang yang menghidupkan tanah (yang tidak ada pemiliknya) merupakan sebab kepemilikan. Kebanyakan dari mereka tidak mensyaratkan adanya izin dari hakim. Hanya saja, sebaiknya tanah tersebut jauh dari keramaian, sehingga tidak ada yang memilikinya. Ada yang berpendapat, bahwa barangsiapa yang memberikan tanda atau memberi garis pembatas (pada tanah yang tak ada pemiliknya), kemudian ia tidak merawatnya dengan diolah, maka sesudah tiga tahun gugurlah kepemilikannya. Jika ada seseorang yang merawat suatu tempat dengan prasangka tempat tersebut tidak ada pemiliknya, kemudian datang seseorang yang mengakui bahwa tempat tersebut adalah miliknya, maka ada dua pilihan; orang yang meramaikan tempat tersebut mengembalikan kepada pemiliknya, setelah ia mengambil bayaran dari pemilik atas apa yang ia lakukan; atau kepemilikan tanah tersebut menjadi miliknya setelah ia membayar harganya. Inilah yang terjadi pada masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz. Diperbolehkan bagi hakim yang adil untuk memberikan kepemilikan seseorang baik dari kepemilikan tanah, pertambangan dan sumur selama di dalamnya terdapat kebaikan. Namun, hal ini tidak diperbolehkan jika alasannya karena faktor ia senang kepada orang tersebut. Dalam sejumlah atsar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam dan para Khulafaur Rasyidin serta orang-orang sesudahnya memberikan tanah kepada sekelompok orang. Akan tetapi, jika hal tersebut tidak ada manfaatnya dengan tidak dirawatnya tanah tersebut, maka pemberiannya tersebut dapat dicabut kembali.

Akibat Menunda Mandi Janabah


Mandi junub adalah mandi yang dilakukan untuk membersihkan diri dari hadas besar, seperti menstruasi. Apabila menstruasi telah selesai maka seorang wanita diwajibkan untuk mensucikan dirinya. Menunda mandi junub berarti menunda mensucikan diri sehingga ia tidak dapat melaksanakan ibadahnya.

Akan tetapi sangat jarang perempuan menunda untuk mandi junub usai mentruasi. Karena perempuan yang sudah suci mempunyai kewajiban untuk membayar hutang sholat yang mungkin pada saat keluarnya darah menstruasi, bersamaan juga dengan masuknya waktu sholat. Otomastis ia harus mengganti sholat yang sudah ia tinggalkan saat bersamaanya darah menstruasi keluar.

Menunda mandi junub ini sering terjadi pada pasangan suami istri yang telah melakukan hubungan intim. Mereka sering menunda mandi junub karena setelah melakukan hubungan suami istri, mereka langsung melanjutkan tidur.

Yang jelas mandi junub karena hubungan intim ada karena dua hal:

1- Bertemunya dua kemaluan, masuknya penis pada vagina (kemaluan wanita), walaupun ketika itu tidak keluar mani.
2- Keluarnya mani walaupun tidak bertemu dua kemaluan.

Dalil dua hal di atas adalah sebagai berikut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen.), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291; Muslim, no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Walaupun tidak keluar mani.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen.) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim, no. 350)

Mandi junub juga bisa jadi karena keluar mani meski tidak terjadi pertemuan dua kemaluan. Misalnya saat bercumbu sudah keluar mani. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ

“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim, no. 343)

Jika memang wajib mandi junub dan hubungan intim terjadi di malam hari, maka boleh tidur dan mandinya ditunda hingga mendekati waktu shalat. Namun disunnahkan berwudhu sebelum tidur, bahkan sangat disunnahkan.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهْوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al-Khattab pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangkan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur.” (HR. Bukhari, no. 287; Muslim, no. 306).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari ,no. 288).

‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qais mengenai keadaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِى الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ. قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ فِى الأَمْرِ سَعَةً.

“Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qais berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim, no. 307).

Tidak ada batas waktu tertentu seorang  boleh dalam keadaan junub sebelum mandi. Hal itu berkaitan dengan pelaksanaan shalat serta ibadah lainnya yang disyaratkan bersuci. Tidak mengapa menunda mandi hingga datang waktu shalat berikutnya selama shalat sebelumnya telah ditunaikan dalam keadaan suci. Akan tetapi disunahkan bagi seseorang untuk segera mandi agar dia selalu dalam keadaan suci sebagaimana hal itu merupakan sunah. Juga karena malaikat tidak mendekati orang yang junub, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

ثَلَاثَةٌ لَا تَقْرَبُهُمْ الْمَلَائِكَةُ جِيفَةُ الْكَافِرِ وَالْمُتَضَمِّخُ بِالْخَلُوقِ وَالْجُنُبُ إِلا أَنْ يَتَوَضَّأَ   (رواه أبو داود، 4180 وحسنه الألباني في صحيح أبي داود، رقم 3522)

"Tiga golongan yang tidak didekati malaikat; Bangkai orang kafir, orang laki yang memakai minyak wangi za'faran dan orang yang sedang junub (dianggap menyerupai wanita), kecuali jika dia telah berwudhu." (HR. Abu Daud, no. 4180, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahi Abu Daud, no. 3522)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تَقْرَبُهُمُ الْمَلَائِكَةُ الْجُنُبُ وَالسَّكْرَانُ وَالْمُتَضَمِّخُ بِالْخَلُوْقِ

“Tiga orang yang tidak didekati oleh malaikat (rahmat): orang junub, orang mabuk dan orang yang berlumuran minyak wangi khaluq.” (HR. Al Bazzar; shahih)

Dijelaskan oleh Al Hafizh bahwa yang dimaksud dengan malaikat pada hadits ini adalah malaikat yang turun membawa rahmat dan berkah, bukan malaikat hafazhah (yang mengawasi) karena mereka selalu bersama manusia dalam kondisi apapun.

Jadi, bagi orang yang menunda mandi junub tanpa alasan –misalnya karena malas atau menyepelekan- maka ia tidak didekati oleh malaikat rahmat. Lalu apakah seseorang harus segera mandi junub begitu ia selesai berhubungan? Rasulullah mencontohkan, setelah menunaikan hajat bersama istrinya kadang beliau langsung mandi junub kadang tidak langsung mandi junub. Ketika beliau tidak bisa langsung mandi junub, maka beliau berwudhu dulu sebelum tidur.

Diperbolehkan bagi suami istri mandi bersama di satu tempat meskipun (suami) melihat (aurat) istri atau sebaliknya. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha berkata:

كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء بيني وبينه واحد تختلف أيدينا فيه فيبادرني حتى أقول : دع لي ، دع لي قالت : وهما جنبان . رواه البخاري ومسلم .

“Dahulu saya mandi bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam satu bejana antara diriku dan dirinya. Bergantian tangan kami dan beliau mendahuluiku sampai saya mengatakan ‘Biarkan untukku, biarkan untukku’ berkata, “Keduanya dalam kondisi junub.” HR. Bukhori dan Muslim. 

Bersihkan Kemaluan Saat Ingin Menambah Lagi


Dari Abu Dzar radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

وفي بُضع أحدكم صدقة ) - أي في جماعه لأهله - فقالوا : يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال عليه الصلاة والسلام : ( أرأيتم لو وضعها في الحرام ، أكان عليه وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر ) رواه مسلم 720

“Dalam kemaluan salah satu diantara kamu itu shodaqoh –maksudnya dalam berjima dengan istrinya- mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah satu diantara kita menyalurkan syahwatnya dia mendapatkan pahala? Beliau sallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Apakah pendapat anda kalau sekiranya diletakkan pada yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Begitu juga kalau diletakkan yang halal, maka dia mendapatkan pahala.” HR. Muslim, 720.

Ini termasuk keutamaan Allah yang agung terhadap umat  penuh berkah ini. Segala puji hanya milik Allah yang kita dijadikan bagian darinya.

Jima’ (bersenggama) termasuk urusan kehidupan yang penting. Dimana agama kita datang dengan penjelasannya. Dan disyareatkan di dalamnya dari adab dan hukum menaikkan (posisi) bukan hanya sekedar kenikmatan hewan semata, dan menyalurkan nafsu bahkan digabungkan dengan masalah niatan yang baik, zikir, adab syariiyyah (agama) yang menaikkan ke posisi ibadah dimana seorang muslim akan mendapatkan pahala. Telah ada dalam sunah nabawiyah menjelaskan hal itu.

Imam Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya ‘Zadul Maad’ (Sementara jima’ (bersenggama) maka petunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam di dalamnya adalah petunjuk yang paling sempurna. Menjaga kesehatan, menyempurnakan kenikmatan dan kegembiraan jiwa. Mendapatkan maksud yang ditempatkan. Sesungguhnya jima ditempatkan pada asalnya untuk tiga perkara yaitu maksud aslinya:

Pertama: menjaga keturunan, terus menerus berkembang biak sampai sempurna bilangan yang Allah tetapkan keturunannya di alam ini.

Kedua: mengeluarkan air, dimana bisa merusak badan ketika ditahan dan dicegahnya.

Ketiga: menunaikan kebutuhan, mendapat kelezatan, menikmati kenikmatan. Faedah ini saja yang ada di surga. Karena di sana tidak ada keturunan dan tidak ada pencegahan untuk mengeluarkannya. Para pakar kedokteran berpendapat bahwa jima termasuk salah satu sebab menjaga kesehatan.” At-Tibbu Nabawi, hal. 249.

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Diantara manfaatnya –maksudnya jima’- menahan pandangan, menjaga diri, mampu menjaga diri dari haram. Hal itu didapatkan untuk wanita. Hal itu bermanfaat untuk dirinya di dunia dan akhiratnya. Dan bermanfaat untuk wanita. Oleh karena itu dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengikat dan mencintainya seraya bersabda:

( حبب إلي من دنياكم : النساء والطيب ) رواه أحمد 3/128 والنسائي 7/61 وصححه الحاكم

“Disenangkan kepadaku masalah dunia kamu semua adalah wanita dan wewangian.” HR. Ahmad, 3/128. Nasa’I, 7/61 dinyatakan shoheh oleh Hakim.

Disunnahkan bagi yang ingin mengulangi hubungan intim dengan pasangannya untuk berwudhu di antara dua aktivitas tersebut. Dikatakan oleh Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal itu lebih menyemangati dalam hubungan intim berikutnya. Pengulangan ini akan mudah ditemukan pada pengantin muda atau yang lama kangen tak berjumpa dengan istri.

Ada hadits yang disebutkan dalam Shahih Muslim,

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ ». زَادَ أَبُو بَكْرٍ فِى حَدِيثِهِ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا وَقَالَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُعَاوِدَ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menyetubuhi istrinya lalu ia ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudhu.” Abu Bakr dalam haditsnya menambahkan, “Hendaklah menambahkan wudhu di antara kedua hubungan intim tersebut.” Lalu ditambahkan, “Jika ia ingin mengulangi hubungan intim.” (HR. Muslim no. 308).

Imam Malik menambahkan lafazh,

فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ

“Berwudhu itu lebih membuat semangat ketika ingin mengulangi hubungan intim.”

Faedah dari hadits di atas:

1- Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berwudhu bagi yang ingin mengulangi hubungan intim dengan istrinya.

2- Menurut jumhur (mayoritas ulama), berwudhu saat itu dihukumi sunnah dan bukan wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengelilingi rumah istri-istrinya dan menyetubuhi mereka hanya dengan sekali mandi dan tidak dinukil beliau berwudhu antara hubungan intim tersebut. Akan tetapi, di antara hubungan intim tersebut, beliau tetap membersihkan kemaluannya.

3- Sunnah untuk wudhu tersebut berlaku jika ingin berhubungan intim lagi dengan istri yang tadi berhubungan atau dengan istri lainnya.

4- Wudhu di antara dua jima’ (hubungan intim) mengandung maslahat diniyah dan duniawiyah. Maslahat diniyah adalah karena taat pada perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan maslahat duniawiyah yaitu badan semakin bertambah segar dan bersemangat.

5- Manusia hendaklah tidak menzhalimi dan membebani dirinya sendiri dengan suatu aktivitas. Hendaklah ia tempuh suatu cara yang membuatnya terus semangat dalam meraih urusan dunia dan akhiratnya.

Bahkan kalau mau lebih afdhal, dianjurkan untuk mandi janabah terlebih dahulu, meski pun tentunya bukan merupakan kewajiban atau syarat. Sebab Rasulullah SAW pernah menggilir para istrinya dengan satu kali mandi janabah.

وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ

Dari Anas radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW pernah menggilir para istrinya dengan sekali mandi janabah.(HR. Muslim)

Namun bila tidak keberatan dan mau dapat yang lebih afdhal, tidak mengapa bila setiap kali melakukan jima' dengan salah seorang istri, diakhiri dengan mandi janabah. Sebab yang seperti itu pun juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.

عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى نِسَائِهِ يَغْتَسِل عِنْدَ هَذِهِ وَعِنْدَ هَذِهِ . فَقُلْتُ لَهُ : يَا رَسُول اللَّهِ ! أَلاَ تَجْعَلُهُ غُسْلاً وَاحِدًا ؟ قَال : هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ

Rasulullah SAW pernah menggilir para istri beliau para suatu hari, tiap selesai dengan yang satu beliau mandi. Aku bertanya,"Ya Rasulullah SAW, tidak cukupkah mandi sekali saja?". Beliau SAW menjawab,"Ini lebih bersih dan lebih suci". (HR. Abu Daud)

Diperbolehkan bagi suami istri mandi bersama di satu tempat meskipun (suami) melihat (aurat) istri atau sebaliknya. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha berkata:

كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء بيني وبينه واحد تختلف أيدينا فيه فيبادرني حتى أقول : دع لي ، دع لي قالت : وهما جنبان . رواه البخاري ومسلم .

“Dahulu saya mandi bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam satu bejana antara diriku dan dirinya. Bergantian tangan kami dan beliau mendahuluiku sampai saya mengatakan ‘Biarkan untukku, biarkan untukku’ berkata, “Keduanya dalam kondisi junub.” HR. Bukhori dan Muslim.

Mujahadah Wali Quthub


مجهدة ولي قطب

بسم اللّه الرحمن الرحيم

اِلىَ حَـضَرَ ةٍ الـنَّبِيِّ المْصطَفَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ اَزْوَاجِهِ وَ ذُ رِّ يَّا تِهِ اَ لْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ جَمِيْعِ اْلاَ نْبِـيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ ، وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّا لِحِيْنَ ، وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ، وَاْلاَوْ لِيَاءِ اْلمُخْلِصِيْنَ ، وَمَشَايِخِ الطُّرُقِ اَ جْمَعِيْنَ ، وَاْلقُرَّاءِ وَاْلمُتَهَجِّدِ يْنَ اَ لْفَاتِحَةْ......

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ   النُّقَبَاءِ    اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  النُّجَبَاءِ    اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ   الرقَبَاءِ    اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلاَ بْدَالِ   اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلاَفْرَ ادِ   اَ لْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلاَوْ تَادْ   اَ لْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلاَخْيَارْ   اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلعِمْرَى   اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلمَلاَمِتِيَّهْ   اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلاِمَامَيْنِ  اَ لْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  اْلغَوْثِ    اَ لْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَلِيِّ الله قُطْبِ  رِجَالِ الله اَ لْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ وَالِدَ يْنَا وَالْمَشَايِخِنَا وَاْلمُسْلِمِيْنَ اَ لْفَاتِحَةْ......

وَاِلىَ حَضْرَةِ الشَيْخِ عَبْدِ اْلقَادِرْ اْلجَيْلاَ نِى وَ اُصُوْ لِهِ وَ فُرُوْ عِهِ   اَلْفَاتِحَةْ.....

وَاِلىَ حَضْرَةِ كُوْرُوْ- ُكوْرُوْ كِيْتَا سدَايَا، ُكوْرُوْ- ُكوْرُوْ نِفُونْ ُكوْرُوْ كِيْتَاسدَايَا خُصُوْصًا سِمْبَاهْ كِيَاهِى حَجِّ اَحْمَدْ بَيْضَاوِيْ كدُوعْ لُوْتَيعْ اَلْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ فُوْ ترَا وَايَاهْ اِ يْفُونْ كُوْرُوْ- ُكوْرُوْ كِيْتَاسدَايَا اِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَهْ اَ لْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ سدَايَا فسَانْتريْن اِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَهْ  اَ لْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ سَانْترِى- سَانْترِى سدَايَا فسَانْتريْن اِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَهْ  اَلْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَةِ تِيَاعْ سفُوهْ كِيْتَاسدَايَا،مبَاهْ-مبَاهْ كِيْتَاسدَايَا،مبَاهْ-مبَاهْ اِيْفونْ مبَاهْ-مبَاهْ كِيْتَاسدَايَا اَلْفَاتِحَةْ....

وَاِلىَ حَضْرَة جيوا رغا كيتا سدايا ِ اَنَاكْ تُوْرُونْ كيْتَاسدَايَا اِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَهْ اَ لْفَاتِحَةْ....

نُوْلِى مَجَا فَا تِحَةْ    × 41

ُنوْلِى تَهْلِيلْ × 1000

الدعــاء

اِلَهِى عِلْمُكَ كَافٍ عَنِ السُّؤَ الِ اِكْفِنِى بِحَقِّ اْلفَاتِحَةِ سُؤَالاً ، وَ كَرَ مُكَ كَافٍ عَنِ اْلمَقَالِ ، اَكْرِ مْنِى بِحَقِّ اْلفَاتِحَةِ مَقَالاً وَ حَصِّلْ مَافِى ضَمِيْرِى . اَللَّهمَّ مَا بَيْنَ لاَ بَيْتَهَا أَفْقَرُ مِنِّى فَاقْضِ حَاجَـتِى.....

Mujahadah Wali Quthub

Bismillahirrahmanirrahim

Ila Hadhrotin Nabiyyil Musthafa Sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa ash-haabihi wa azwaajihi wa dzurriyyatihi.  Al-Fatihah....
Wa ila jami'il Anbiya-i wal Mursalin, was-Syuhada-i was-Sholihin,  wal 'Ulama-il 'Amilin wal Auliya-il Mukhlishin, wa Masyayikhit-Turuqi ajma'in, wal Qurro-i wal Mutahajjidin.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbin-Nuqoba'.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbin-Nujaba'.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbir-Ruqoba'.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-Abdal.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-Afrod.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-Autad.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-Akhyar.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-'Imro.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-Malamatiyyah.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-Imamain.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbil-Ghouts.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Waliyyulloh Quthbi Rijalillah.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Walidaina Wamasyayikhina Walmuslimin.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhrotis-Syaikh 'Abudul Qodir al-Jailani wa Ushulihi wa Furu'ihi.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Guru Guru kito sedoyo lan Gurunipun Guru Guru kito sedoyo khushushon Simbah Kyai Haji Achmad Baidhowi Kedung Loteng.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Putro Wayah ipun Guru Guru kito sedoyo ila yaumil-qiyamah.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti sedoyo Pesantren ila yaumil-qiyamah.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Santri Santri sedoyo Pesantren ila yaumil-qiyamah.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Tiyang Sepuh kito sedoyo, Embah Embah ipun kito sedoyo, Embah Embah ipun Embah Embah kito sedoyo.  Al-Fatihah....
Wa ila Hadhroti Jiworogo kito sedoyo Anak Turun kito sedoyo ila yaumil-qiyamah.  Al-Fatihah....

Nuli moco Al-Fatihah.... 41x

Nuli Tahlil 1000x

Du'a'

Allohumma 'Ilmuka kafi 'anissu-ali ikfinii bihaqqil-fatihati su-alan, wa karomuka kafin 'anil-maqoli,  akrimnii bihaqqil-fatihati maqolan,  wahasshil ma fi dhomirii, Allohumma ma baina laa baitaha afqor minnii,  faqdhii hajatii.....

المجز
احمد الحسني

Mimisan Ketika Menjalankan Sholat


Mimisan atau epistaksis merupakan perdarahan dari rongga hidung, sering dijumpai pada anak-anak dan sebagian besar akan berhenti spontan atau berhenti dengan tindakan (misalnya dengan penekanan hidung). Meskipun demikian, ada pula kasus yang berat sehiungga perlu penanganan segera, agar tidak berakibat fatal. Dari asal sumber perdarahan, mimisan ada 2 macam ; yaitu pertama, berasal dari bagian depan hidung (epistaksis anterior) yang sering ditemui pada anak-anak, biasanya ringan dan mudah diatasi. Yang kedua, berasal dari bagian belakang hidung (epistaksis posterior), sering dijumpai pada usia lanjut akibat tekanan darah yang tinggi atau penyumbatan pembuluh darah (arteriosklerosis). Perdarahan seperti ini biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.

Adapun penyebab perdarahan hidung ini di antaranya:

A.Sebab Lokal (lokasi di hidung)
1. Trauma : bersin, mengorek hidung, terpukul, iritasi gas, adanya benda asing
2. Infeksi : radang di hidung dan sekitarnya (sinus)
3. Tumor / kanker hidung
4. Kelainan kongenital

B. Sebab Sistemik (kelainan lain dalam tubuh)
1. Penyakit jantung dan pembuluh darah : tekanan darah yang tinggi , arteriosklerosis
2. Kelainan darah : ITP, hemofilia, leukemia
3. Penyakit infeksi : Influensa, tifus, morbili, demam berdarah
4. Adanya perubahan tekanan atmosfir
5. Kelainan endokrin misalnya pada saat menarche(haid pertama), kehamilan, menopause.

Penyebab lain mimisan adalah alergi. Mimisan yang disebabkan alergi biasanya disertai dengan pilek kental yang lama dan batuk berdahak, serta napas berbau. Kondisi ini biasa terjadi pada anak usia 4 tahun ke atas.

Lalu bagaimana hukum mimisan atau darah yang keluar dari hidung saat shalat berlangsung, apakah membatalkan shalat? Jika darah mimisan itu mengenai pakaian yang digunakan untuk shalat, bagaimana pula hukumnya?

Menjawab masalah ini haruslah dilihat dulu, apakah mimisan dapat membatalkan wudhu karena setiap yang membatalkan wudhu, sudah pasti membatalkan shalat. Keluarnya darah dari hidung menurut madzhab Syafi’i dan Maliki tidaklah membatalkan wudhu. Imam Nawawi menegaskan bahwa darah yang keluar selain dari dua jalan qubul dan dubur, tidaklah membatalkan wudhu seperti darah yang keluar karena bekam, muntah, atau mimisan baik sedikit maupun banyak tidaklah membatalkan wudhu.

Bahkan menurut Imam Baghawi, pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tabi’in. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, pada dasarnya orang yang telah berwudhu berada dalam kondisi suci, maka jika menyatakan wudhunya batal tentu membutuhkan dalil.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ ) أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَ ه وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ

Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah dari hidung (mimisan) atau mengeluarkan dahak atau mengeluarkan madzi maka hendaklah ia berwudlu lalu meneruskan sisa shalatnya namun selama itu ia tidak berbicara" Diriwayatkan oleh Ibnu Majah namun dianggap lemah oleh Ahmad dan lain-lain [Dhoif, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1221) dalam Iqoomatu ash-Sholaah, bab Maa Jaa a fil Binaa ala ash Sholaah. Dan didhoifkan oleh al-Albani dalam Dhoiif Ibnu Majah no 225]

حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ أَبِي السَّفَرِ وَهُوَ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْهَمْدَانِيُّ الْكُوفِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ حَدَّثَنَا وَقَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ الْمَخْزُومِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ فَتَوَضَّأَ فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صَدَقَ أَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى و قَالَ إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ مَعْدَانُ بْنُ طَلْحَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَابْنُ أَبِي طَلْحَةَ أَصَحُّ قَالَ أَبُو عِيسَى وَقَدْ رَأَى غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ التَّابِعِينَ الْوُضُوءَ مِنْ الْقَيْءِ وَالرُّعَافِ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَيْسَ فِي الْقَيْءِ وَالرُّعَافِ وُضُوءٌ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَقَدْ جَوَّدَ حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ هَذَا الْحَدِيثَ وَحَدِيثُ حُسَيْنٍ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَرَوَى مَعْمَرٌ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ فَأَخْطَأَ فِيهِ فَقَالَ عَنْ يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ الْأَوْزَاعِيَّ وَقَالَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ وَإِنَّمَا هُوَ مَعْدَانُ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah bin Abu As Safar (yaitu) Ahmad bin Abdullah Al Hamdani Al Kufi. Dan Ishaq bin Manshur berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah, Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdu Ashshamad bin Abdul Warits berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Husain Al Mu'allim dari Yahya bin Abu Katsir berkata; telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin 'Amru Al Auza'i dari Ya'isy Ibnul Walid Al Makhzumi dari Bapaknya dariMa'dan bin Abu Thalhah dari Abu Darda` bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam muntah, lalu beliau berbuka dan berwudlu. Abu Darda' berkata; "Lalu aku bertemu dengan Tsauban di masjid Damaskus, aku kabarkan hal itu kepadanya, maka ia pun berkata, "Benar, bahkan akulah yang menuangkan air wudlu kepada beliau." Abu Isa berkata; Ishaq bin Manshur berkata; "Ma'dan bin Thalhah." Abu Isa berkata; "Sedangkan Ibnu Abu Thalhah lebih shahih." Abu Isa berkata; "Tidak hanya satu orang ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan tabi'in yang berpendapat bahwa seseorang itu harus berwudlu karena muntah atau darah (mimisan). Pendapat ini diambil oleh Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq." Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang tidak harus berwudlu karena muntah atau mimisan. Pendapat ini diambil oleh Malik dan Syafi'. Husain Al Mu'allim menganggap bahwa hadits ini baik. Dan hadits Husain adalah hadits yang paling baik dalam bab ini. Ma'mar meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Abu Katsir, namun ia salah di dalamnya. Ia berkata; "Dari Ya`isy Ibnul Walid, dari Khalid bin Ma'dan, dari Abu Darda`, dan ia tidak menyebutkan di dalamnya nama Al Auza'i. Ia menyebutkan dari Khalid bin Ma'dan, padahal ia adalah Ma'dan bin Abu Thalhah."

فائدة : قال في التحفة : ولو رعف في الصلاة ولم يصبه إلا القليل لم يقطعها ، وإن كثر نزوله على منفصل عنه ، فإن كثر ما أصابه لزمه قطعها ولو جمعة ، وإن رعف قبلها واستمر فإن رجى انقطاعه والوقت متسع انتظره وإلا تحفظ كالسلس اهـ.

Faidah: Mushannif berkata dalam kitab Tuhfah: “Andai seseorang mimisan didalam shalat, dan darah yang keluar hanya sedikit, maka tidak membatalkan shalatnya. Apabila darah yang keluar banyak hingga mengenai bagian badan yang lain. Apabila darah yang mengenai bagian badan lain sangat banyak, maka seseorang yang sedang shalat itu harus membatalkan shalatnya meski dia sedang shalat jumat. Bila mimisan keluar sebelum shalat dan keluar terus, namun dimungkinkan mimisan berhenti dan waktu shalat masih cukup, maka dianjurkan untuk ditunggu hingga berhenti, apabila tidak mungkin ditunggu hingga berhenti, maka hidung disumpal saat shalat sebagaimana orang yang beser. (Bughyat al Musytarsyidin Halaman 53)

ولو رعف في الصلاة لم تبطل و إن لوث بدنه مالم يكثر

"Keluar darah dari hidung/mimisan pada waktu shalat tidak membatalkan shalat sekalipun mengenai anggota badan. Dengan sarat darah yang keluar tidak banyak." (Kitab Busyral karim juz 1 hal 91)

Sujud Sahwi Ketika Lupa Dalam Rukun Sholat


Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah lupa dalam shalat. Terdapat juga riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ.

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku.”

Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ، فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ سَجْدَتَي السَّهْوِ.

“Jika salah seorang di antara kalian bangkit dari dua raka’at, dan belum berdiri dengan sempurna, maka hendaklah ia duduk. Namun, jika ia telah berdiri dengan sempurna, maka janganlah ia duduk. Dan hendaklah ia melakukan sujud sahwi dua kali.”

Jika dia telah berusaha mencari yang benar, namun dia belum bisa menentukan suatu kecenderungan, maka dia harus menguatkan perkara yang yakin, yaitu yang paling sedikit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى؟ ثَلاَثًا أَوْ أَرْبَعًـا؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَـا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ. فَإِنْ كَـانَ صَلَّى خَمْسًا شَفِعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا ِلأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ.

“Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam shalatnya. Sehingga dia tidak tahu berapa raka’at yang telah dia kerjakan. Tiga raka’at ataukah empat raka’at. Maka hendaklah ia tepis keraguan itu, dan ikutilah yang dia yakini. Setelah itu, hendaklah dia sujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia mengerjakan lima raka’at, maka dia telah menggenapkan shalatnya. Namun, jika dia mengerjakan empat raka’at, maka dua sujud tadi adalah penghinaan bagi syaitan.”

Hadits sahih riwayat Bukhari Abdullah bin Buhainah

صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين من بعض الصلوات ثم قام فلم يجلس فقام الناس معه فلما قضى صلاته ونظرنا تسليمه كبر قبل التسليم فسجد سجدتين وهو جالس ثم سلم

Artinya: Kami sholat bersama Rasulullah dua rakaat dari sebagian shalat. Lalu Nabi langsung bangun tanpa duduk (untuk tahiyat awal), para makmum juga ikut berdiri. Setelah salat selesai dan kami melihat salamnya, Nabi lalu bertakbir sebelum salam lalu sujud dua kali dalam keadaan duduk lalu mengucapkan salam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ الظُّهْرَ أَوْ الْعَصْرَ قَالَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى خَشَبَةٍ فِي مُقَدَّمِ الْمَسْجِدِ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَيْهِمَا إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ ثُمَّ خَرَجَ سَرْعَانُ النَّاسِ وَهُمْ يَقُولُونَ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ وَفِي النَّاسِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَهَابَاهُ أَنْ يُكَلِّمَاهُ فَقَامَ رَجُلٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَمِّيهِ ذَا الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَسِيتَ أَمْ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ قَالَ لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ الصَّلَاةُ قَالَ بَلْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقَوْمِ فَقَالَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَأَوْمَئُوا أَيْ نَعَمْ فَرَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَقَامِهِ فَصَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ وَكَبَّرَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ وَكَبَّرَ قَالَ فَقِيلَ لِمُحَمَّدٍ سَلَّمَ فِي السَّهْوِ فَقَالَ لَمْ أَحْفَظْهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلَكِنْ نُبِّئْتُ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ ثُمَّ سَلَّمَ

1008. Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah mengerjakan shalat bersama kami pada salah satu shalat di siang hari (Ashar atau Dzuhur), ternyata beliau hanya shalat dua rakaat saja dan langsung salam. Beliau lalu pergi ke sebuah kayu yang melintang di masjid, lalu bersandar seolah-olah sedang marah. Tangan kanannya diletakkan di tangan kirinya sambil mengeramkan jari-jarinya, sedang pipinya diletakkan di atas telapak kiri bagian luar. Orang-orang yang ingin bergegas lalu keluar dari pintu-pintu masjid sambil berkata, ‘Shalat diqashar, shalat diqashar.’ Di antara orang banyak itu ada Abu Bakar dan Umar, keduanya merasa segan untuk menanyakan hal itu. Kebetulan diantara mereka terdapat seseorang yang bernama Dzulyadain, lalu dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apakah anda lupa ataukah memang shalat diqashar?’ Beliau bersabda, Aku tidak lupa, dan shalat juga tidak diqashar,’ kemudian beliau bertanya, ‘Betulkah apa yang dikatakan Dzulyadain itu? ‘ Para sahabat menjawab, ‘Benar.’ Beliau pun lantas maju kembali ke tempatnya semula dan menyelesaikan kekurangan yang tertinggal, kemudian salam. Setelah salam, beliau bertakbir, sujud sebagaimana sujud biasa, atau agak panjang sedikit, lalu mengangkat kepala dan bertakbir. Seterusnya beliau bertakbir lagi, lalu sujud seperti sujud biasa, atau agak lama, kemudian mengangkat kepalanya dan bertakbir. Ayyub (perawi Hadits ini) berkata, ‘Lalu ditanyakan kepada Muhammad bin Sirin (perawi Hadits ini), ‘Apakah beliau salam dalam (sujud) sahwi?’ Dia menjawab, ‘…aku tidak menghafalnya dari Abu Hurairah, tapi aku diberitahukan bahwasanya Imran bin Hushain berkata, “Beliau salam.'””{Shahih: Muttafaq Alaih}

HUKUM SUJUD SAHWI

Hukum sujud sahwi menurut mazhab Syafi'i adalah adakalanya wajib dan adakalanya sunnah.

Sujud sahwi wajib bagi seorang makmum yang imamnya melakukan sujud sahwi. Dalam situasi ini maka wajib bagi makmum untuk sujud sahwi karena ikut imam. Apabila tidak melakukan secara sengaja maka batal shalatnya dan wajib mengulangi salatnya apabila makmum tidak berniat mufaraqah (pisah dari imam) sebelum imam melakukan sujud sahwa. Apabila imam tidak melakukan sujud sahwi, maka makmum tidak wajib sujud sahwi, hanya sunnah.

Sujud sahwi hukumnya sunnah bagi imam atau bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) alias tidak berjamaah.

Orang yang tidak melalukan sujud sahwi, baik shalat berjamaah atau shalat sendirian, hukumnya tidak apa-apa dan salatnya tidak batal. Adapun makmum apabila lupa saat bermakmum maka tidak perlu sujud sahwi karena sudah ditanggung imam. Adapun apabila makmum lupa saat sudah sendirian atau berpisah dari imam, seperti ia lupa dalam keadaan mengqadha perkara yang terlupa, maka ia seperti munfarid, yakni sunnah baginya melakukan sujud sahwi apabila ada sebab.

Sebab sebab Sujud Sahwi

أَسْباَبُ سُجُوْدِ السَّهْوِ أَرْبَعَةٌ , الأَوَّلُ تَرْكُ بَعْضٍ مِنْ أَبْعاَضِ الصَّلاَةِأَوْ بَعْضِ البَعْضِ , الثَّانىِ فَعْلُ ماَيُبْطِلُ عَمْدُهُ وَلاَ يُبْطِلُ سَهْوُهُ إِذاَ فَعَلَهُ ناَسِياً , الثاَّلِثُ نَقْلُ رُكْنٍ قَوْلِىٍّ إِلىَ غَيْرِ مَحَلِهِ الرَّابِعُ إِيْقاَعُ رُكْنٍ فَعْلِىٍّ مَعَ احْتِماَلِ الزِّياَدَةِ

Sebab-sebab sujud sahwi ada empat :

1. Meningalkan sunnah ‘Ab’ad atau bagian sunnah Ab’ad.
2. Melakukan sesuatu, yang jika disengaja membatalkan shalat, tetapi tidak disengaja maka tidak batal
3. Melakukan rukun Qauliy (bacaan) bukan pada tempatnya
4. Menambah rukun Fa’liy (perbuatan) yang disertai adanya keraguan.

أَبْعاَضُ الصَّلاَةِ بِالإِجْماَلِ سَبْعَةٌ أَمَّا بِالتَّفْصِيْلِ فَهِىَ عِشْرُوْنَ فَفِى القُنُوْتِ مِنْهاَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ وَهِىَ القُنُوْتُ وَقِياَمُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِىِّ وَقِياَمُهُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْهِ وَقِياَمُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَى الآلِ وَقِياَمُهُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْهِمْ وَقِـياَمُهُ وَالصَّـلاَةُ عَلَى الصَّحْبِ وَقِـياَمُهُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْهِمْ وَقِياَمُهُ , وَفىِ التَّشَهُدِ سِتَّةٌ وَهِىَ التَّشَهُدُ الأَوَّلُ وَقُعُوْدُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِىِّ فِيْهِ وَقُعُوْدُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَى الآلِ فىِ التَّشَهُدِ الأَخِيْرِ وَقُعُوْدُهُ

Artinya :

Sunnah Ab’ad sholat garis besarnya ada 7, adapun secara rinci ada 20, yaitu ;

Dalam Qunut ada 14 yaitu ; Qunut, berdiri saat qunut, Sholawat pada Nabi SAW di qunut, berdiri saat sholawat, Salam pada Nabi SAW di qunut, berdiri saat salam, sholawat pada keluarga, berdiri saat sholawat pada keluarga, salam pada keluarga, berdiri saat salam pada keluarga, sholawat pada sahabat, berdiri saat sholawat pada keluarga, salam pada sahabat dan berdiri saat salam pada sahabat.

Dalam Tasyahud ada 6 yaitu ; Tasyahud awal, duduk tayashud awal, Sholawat pada Nabi SAW di Tasyahud Awal, Duduk saat sholawat pada Nabi, Sholawat pada Keluarga Tasyahud Akhir, Duduk saat Sholawat pada Keluarga Tasyahud Akhir.

Sujud sahwi hukumnya sunnah, cara sujud sahwi dilakukan dua sujud dan diselingi duduk antara keduanya sama seperti duduk diantara dua sujud dalam shalat. Meskipun banyak melakukan penyebab sujud sahwi, sujud sahwi tetap dilakukan satu kali, waktunya sebelum salam, dan dalam sujud ideualnya tasbih berikut, sebanyak tiga kali ;

سُبْحاَنَ مَنْ لاَيَناَمُ وَلاَيَسْهُ

“Maha suci Dzat yang tidak pernah tidur dan lupa”

Kitab Kasyifatus-Saja, Syarah Safinatun-Naja – Syekh Nawawiy Al-Bantaniy

WAKTU SUJUD SAHWI: SEBELUM ATAU SESUDAH SALAM?

Syairozi dalam Al-Muhadzab menyatakan

وَمَحَلُّهُ قَبْلَ السَّلَامِ لِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَحَدِيثِ ابْنِ بُحَيْنَةَ، وَلِأَنَّهُ يُفْعَلُ لِإِصْلَاحِ الصَّلَاةِ فَكَانَ قَبْلَ السَّلَامِ، كَمَا لَوْ نَسِيَ سَجْدَةً مِنْ الصَّلَاةِ.

Artinya: Letak sujud sahwi adalah sebelum salam berdasarkan pada hadits Abu Said dan hadits Ibnu Buhainah dan kaena sujud sahwi itu dilakukan untuk memperbaiki shalat maka dilakukan sebelum salam sebagaimana apabila orang lupa sujud shalat.

Imam Nawawi berpendapat bahwa sujud sahwi dilakukan sebelum salam, namun boleh dilakukan setelah salam. dalam Al-Muhadzab ia menyatakan

وَقَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي: لَا خِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ، يَعْنِي جَمِيعَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ سُجُودَ السَّهْوِ جَائِزٌ قَبْلَ السَّلَامِ وَبَعْدَهُ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي الْمَسْنُونِ وَالْأَوْلَى

Artinya: Penulis kitab Al-Hawi berkata: Tidak ada perbedaan di antara ahli fikih, yakni seluruh ulama, bahwa sujud sahwi itu boleh dilakukan sebelum dan sesudah salam. Yang terjadi perbedaan adalah apakah ia sunnah atau aula (utama).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...